Blog
-
Sinterklas dan Natal
Sinterklas dan NatalTrisno S. Sutanto, EDITOR JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)Sumber : JIL, 26 Desember 2011Kadang saya ragu, apakah Natal memang masih merupakan perayaan kelahiran Yesus yang diyakini sebagai pemenuhan janji berabad-abad lamanya tentang kedatangan Sang Mesias? Atau sesungguhnya, paling tidak dalam imajinasi populer, Natal adalah perayaan tentang figur Sinterklas dan kesempatan berbelanja habis-habisan sebelum tahun berganti?Tokoh satu ini memang luar biasa populer dan disukai hampir oleh setiap kalangan, apapun latar belakang keagamaannya, dan berapapun usianya—walau paling populer di kalangan anak-anak. Dilukiskan sebagai kakek tua berjenggot putih, dengan perut buncit, pipi merah dan wajah selalu tersenyum gembira, berpakaian baju hangat berwarna merah-putih dan paling suka berseru, ‘Ho..ho..ho!’, Sinterklas sekilas kelihatan lebih afdol dan layak dijadikan simbol meriahnya Natal ketimbang figur Yesus. Sebab, dalam soal Sinterklas, memang tidak dibutuhkan laku iman. Dan ini punya ironi tersendiri.Maksud saya begini: Anda tidak perlu menjadi orang kristiani agar mampu jatuh hati pada Sinterklas dan merasakan kegembiraan masa Natal. Juga tak perlu percaya maupun berdebat sengit, apakah benar Sinterklas datang dari kutub Utara, naik kereta salju yang ditarik Rudolph, si reindeer berhidung merah, dan masuk lewat cerobong asap untuk membagi-bagikan hadiah. Semua kisah itu, anggaplah saja, legenda guna memaniskan jalannya cerita yang tak perlu membuat orang terusik. Dan mungkin karena itulah, sejak awal bulan Desember, berbagai mall dan pusat-pusat belanja di Jakarta sudah berhias diri dengan pernak-pernik Natal, lengkap dengan figur Sinterklas maupun putih kapas pengganti salju. Semua orang menerimanya—dan, saya rasa, MUI belum mengeluarkan fatwa haram terhadap figur satu ini, walau melarang orang mengucapkan ‘Selamat Natal’.Namun ada sisi ironis di sini. Pada satu sisi, gambaran tentang Sinterklas merupakan distorsi historis terhadap figur St. Nicholas, Uskup Myra yang dikenal memberi perhatian besar pada kaum miskin dan anak-anak, dan meninggal 6 Desember 343. Tanggal kematiannya itu, sampai sekarang, dirayakan oleh gereja sebagai St. Nicholas Day. Sementara itu Santa Claus (di Indonesia, karena warisan Belanda, lebih dikenal sebagai Sinterklas) adalah adaptasi sekaligus temuan jenial di Amerika abad ke-19 guna menjinakkan pesta-pesta libur Natal yang kerap berisi mabuk-mabukan, sekaligus mencerminkan nilai-nilai baru tentang keluarga dan masa kanak-kanak yang harus dilindungi dari lingkungan berbahaya.Tanpa harus masuk ke rincian historisnya—untuk telaah lebih rinci, lihat http://www.stnicholascenter.org/pages/origin-of-santa/yang memikat—bisa dikatakan, di tengah konteks baru itu figur St. Nicholas berubah bentuk dan fungsi. Apalagi pada tahun 1821 terbit buku bergambar berjudul Children’s Friend yang pertama kali melukiskan ‘Sante Claus’ datang dari kutub Utara naik kereta salju—cerita yang, dalam sekejap, memikat imajinasi publik. Maka legenda baru, yang dirasa lebih cocok dari segi didaktis maupun komersial, pun lahir.Sisi lain dari ironi itu lebih menohok: Sinterklas merupakan distorsi dan pendangkalan makna Natal. Sebab dalam figur Sinterklas, seluruh pewartaan Natal kehilangan arti dan kekuatannya sebagai warta tentang solidaritas radikal Allah pada kehidupan manusiawi yang serba rentan, dan hanya tinggal sebagai peristiwa liburan, hiburan, dan ilusi kenikmatan berbelanja sesaat.Dalam diri Sinterklas, kita tidak dapat mencandra wajah-wajah kesengsaraan dan kerentanan hidup manusiawi, tempat di mana Yang Ilahi justru memilih untuk hadir, dan karenanya disebut ‘Imanuel’, ‘Allah-beserta-kita’. Sebaliknya, raut wajah Sinterklas selalu tersenyum dan tertawa gembira, memberi kesan ilusif bahwa everything’s okay, sekaligus membujuk orang untuk berbelanja lebih banyak agar bisa memberi lebih banyak lagi. Bukankah, dalam cerita Sinterklas, apa yang disebut kasih sayang hanyalah jika seseorang memberi banyak barang kepada orang lain? Karena itu, saya lupa siapa yang mengatakannya dengan bagus, Sinterklas patut dijuluki sebagai salesman paling berhasil dalam seluruh sejarah bisnis modern.Padahal warta Natal persis kebalikannya! Natal bukanlah soal berbagi hadiah—kalau hanya itu, orang dapat melakukan kapan saja, tak perlu menunggu sampai masa Natal tiba. Sebaliknya, Natal adalah soal penantian penuh harap (itu sebabnya ada masa penantian, adventus, selama empat minggu sebelum Natal tiba), dan warta tentang jawaban radikal Allah yang menerima kerentanan hidup manusiawi sebagai sarana bagi kemuliaan-Nya. Natal juga merupakan pilihan-pilihan eksistensial manusia guna menjawab undangan Yang Ilahi itu: Maria yang menjawab ‘Ya!’ terhadap salam malaikat Gabriel; Yusuf yang harus menjawab ketika melihat tunangannya sudah hamil; orang Majus yang harus memilih kembali ke Herodes atau mengambil jalan lain, dstnya.Tetapi seluruh kompleksitas cerita Injil tentang kelahiran Yesus itu hilang ketika masa Natal direduksi menjadi sekadar figur Sinterklas, undangan belanja, dan masa libur panjang di akhir tahun. Mungkin ini ‘nasib’ yang harus diterima ketika suatu perayaan keagamaan kehilangan élan vital-nya, entah terserap menjadi sekadar pernak-pernik budaya konsumerisme global, atau menjadi sekadar seremoni yang membosankan dan membuat orang mengantuk. Di situ pesan-pesan keagamaan mengalami proses insignifikansi maupun irrelevansi—tak lagi mampu memberi horison guna memaknai kehidupan, sekaligus tak lagi gayut dengan pergulatan sehari-hari.Masa Natal adalah contoh par excellence kedua proses tadi. Di situ ibadah Natal di gereja kerap menjadi sekadar repetisi ritus-ritus lama, mengulang cerita yang sudah didengar sejak masa kanak-kanak tentang seorang perawan yang melahirkan Yesus di kandang domba di kota kecil Bethlehem—sebuah kisah yang hampir tak lagi mampu berbicara apa-apa bagi orang yang tinggal di kota besar seperti Jakarta. Sementara itu, kegembiraan Natal direduksi menjadi sekadar kegembiraan masa liburan panjang akhir tahun, ajang promosi dan pemuasan ‘mesin hasrat’ berbelanja tanpa batas.Lalu orang memang layak bertanya, apa yang masih tersisa dari Natal? Jawabnya terserah Anda! ● -
Quo Vadiz Indonesia? (3-Habis)
Quo Vadiz Indonesia? (3-Habis)Bacharuddin Jusuf Habibie, MANTAN PRESIDEN RISumber : REPUBLIKA, 24 Desember 2011Ketika Presiden Soeharto lengser, maka sesuai dengan konstitusi, wakil presiden harus melanjutkan tugas presiden. Dalam waktu 24 jam, saya mengeluarkan kebijaksanaan sebagai berikut: Bebaskan semua tahanan politik di Indonesia; Bebaskan pemberian informasi dan pendapat yang bertanggung jawab, melalui media cetak dan elektronik yang bebas dan bertanggung jawab; Bebaskan masyarakat berdemonstrasi tanpa merusak dan merugikan modal pribadi atau negara.Dengan kebijakan tersebut, semuanya segera menjadi lebih transparan dan lebih dapat diperhitungkan. Kebijakan itu berdampak positif pada pasar ekonomi dan pasar politik. Free fall nilai mata uang Rupiah segera dapat dihentikan dan secara tahap demi tahap nilai mata uang rupiah kembali ke nilai yang lebih stabil. Demikian pula pasar politik menjadi lebih transparan dan stabil. Semuanya ini penting untuk dipersiapkan sebelum pemilihan umum dilaksanakan dengan keadaan ‘merdeka dan bebas bertanggung jawab’, berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah.
Mekanisme pemerintahan pusat dan daerah perlu dikembangkan dan disempurnakan yang disesuaikan dengan keadaan setelah otonomi daerah diberikan agar budaya setempat dipertahankan dan ketahanan budaya meningkat. Semua ini dilaksanakan dalam rangka peningkatan daya saing sumber daya manusia dalam menghadapi globalisasi.
Mengapa Dihentikan?
Walaupun demikian, patut kita bertanya: (1) Apa pelaksanaannya sudah optimal bahkan maksimal? (2) Bagaimana kesadaran kita terhadap pengembangan dan pengamanan lapangan kerja? (3) Bagaimana ‘neraca jam kerja’? (4) Apakah dalam perilaku kita tiap hari sudah berorientasi pada produk dalam negeri?Tiap tanggal 17 Agustus kita rayakan Proklamasi Kemerdekaan, tiap tanggal 20 Mei kita peringati hari Kebangkitan Nasional, dan tiap tanggal 10 Agustus Hari Kebangkitan Teknologi kita renungkan, mengenang terbang perdana pesawat turboprop canggih-N250 Gatotkaca-rekayasa dan produksi sumber daya manusia Indonesia. (1) Dapatkah dibenarkan jika hasil semua perjuangan kita dalam mengembangkan potensi dan daya saing sumber daya manusia Indonesia selama lebih dari 50 tahun kita hentikan dan persulit pembinaan prestasi nyatanya dalam bidang teknologi canggih dirgantara, kelautan, dan transportasi darat yang sudah dimiliki? (2) Apakah kita biarkan para ahli Indonesia bekerja di mancanegara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah, Asia Utara dan ASEAN dengan alasan makroekonomi?
Memang, tenaga kerja Indonesia yang pindah kerja ke luar negeri akan mendapat gaji dan upah yang lebih besar sehingga pendapatan pribadi mereka meningkat. Namun, kita ketahui juga bahwa yang bersangkutan tidak membayar pajak kepada Pemerintah Indonesia dan karena berada di luar negeri, maka biaya kehidupan dikeluarkan di luar negeri pula sehingga tidak berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi nasional. Apakah hal yang demikian itu kita biarkan saja?
Teori apa pun dalam ilmu pengetahuan harus didasarkan pada filsafat dan keadaan (realitas) alami yang diketahui, disadari dan diyakini oleh masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, teori dibuat oleh manusia memiliki ‘kendala awal’ (initial condition) dan ‘kendala batasan’ (boundary condition) yang tergantung pada tempat dan waktu.Semua masyarakat di mana pun di dunia menghendaki adanya kesejahteraan, kualitas hidup, dan ketenteraman yang merata. Untuk mencapai hal tersebut, telah diaksanakan beberapa pendekatan, seperti: (1) Pendekatan top down atau dari yang kaya ke yang miskin, yang juga dikenal sebagai sistem kapitalisme. (2) Pendekatan bottom upatau dari yang miskin (proletar) ke yang kaya, yang juga dikenal sebagai sistem komunisme. (3) Pendekatan dari tengah ke atas maupun ke bawah yang dikenal sebagai pasar yang berorientasi pada nilai-nilai sosial (soziale marktwirtschaft).
Sejarah telah membuktikan bahwa pendekatan kedua diakhiri dengan bangkrutnya masyarakat yang menganut pendekatan tersebut. Sedangkan pendekatan pertama, jika tidak diadakan koreksi yang mendasar, akan menuju proses kebangkrutan pula.
Untuk mencapai tujuan yang kita cita-citakan bersama sebagai bangsa, sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945, kita harus belajar dari kesalahan dan kekeliruan orang lain juga kekeliruan kita sendiri. Ingat bahwa dari pendekatan-pendekatan pertama, kedua, dan ketiga oleh para ilmuwan mancanegara telah dikembangkan banyak teori, yang ternyata juga perlu ditinjau kembali.
Uraian di atas menyadarkan kita bahwa yang harus kita perhatikan dan prioritaskan adalah kepentingan rakyat Indonesia sendiri, sebagai bangsa yang bermartabat yang sedang berjuang menuju cita-cita dengan berbagai keterbatasan yang ada. Terkait dengan masalah kepentingan tersebut, kita juga perlu bertanya: Mengapa kita biarkan pemakaian cadangan devisa dari hasil penjualan sumber daya alam kita untuk mengembangan produk militer di luar negeri?
Berbagai keadaan yang saya gambarkan sebelumnya dan ditambah lagi dengan berbagai permasalahan lain yang sedang menerpa bangsa kita, seolah telah melahirkan suatu keadaan paradoksal di Indonesia, yang dilukiskan dengan: Kita kaya tapi miskin, merdeka tapi terjajah, kuat tapi lemah, indah tapi jelek.
Orientasi dan Mentalitas Kasir
Situasi paradoksal tersebut terjadi karena seolah-oleh kita menderita penyakit orientasi, yaitu wawasan, kebijakan, atau langkah yang sejatinya akan melemahkan produktivitas, daya saing, dan bahkan ekonomi kita yang pada gilirannya akan melemahkan bangsa kita secara keseluruhan. Penyakit orientasi yang saya maksud adalah kita lebih mengandalkan sumber daya alam daripada sumber daya manusia. Selain itu, kita juga lebih berorientasi jangka pendek daripada jangka panjang (mentalitas kasir).Kita lebih mengutamakan citra daripada karya nyata, lebih melirik makro daripada mikro ekonomi, serta lebih mengandalkan cost added daripada value added (more comparative rather than competitive advantages)./ Kita juga lebih berorientasi pada neraca perdagangan dan pembayaran daripada neraca jam kerja, lebih menyukai ‘jalan pintas’ (korupsi, kolusi, penyelewengan) daripada kejujuran dan kebajikan. Kita lebih menganggap jabatan (power)sebagai tujuan daripada sebagai sarana untuk mencapai tujuan (power centered rather than accountable [amanah] orientation).
Keadaan paradoksal tersebut amat berbahaya kalau tidak segera kita sadari dan koreksi. Koreksi yang dapat kita lakukan ialah dengan ‘penyembuhan’ orentasi atau ‘pelurusan’ orientasi.
Di samping upaya ‘penyembuhan’ atau ‘penyehatan’ orientasi di atas, kita juga tidak henti-hentinya harus selalu menyegarkan kembali kesadaran sebagai warga bangsa yang ber-Pancasila, beragama, dan mempunyai cita-cita luhur sebagai bangsa yang beradab dan terhormat sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945.
Kita juga harus menyadari akan betapa besar risiko yang kita hadapi sebagai suatu bangsa apabila keadaan paradoks bangsa tersebut terus berlanjut tanpa adanya kesadaran dan upaya koreksi yang berarti, serius, serta berkesinambungan. Tidak mustahil, kita akan menjadi bangsa yang gagal. Memang, kita perlu memahami kesalahan (kolektif) bangsa-yang diindikasikan dengan ‘penyakit orientasi’-dan kesadaran serta kesungguhan kita untuk melakukan upaya ‘penyembuhan’ yang serius dan berkelanjutan.
Kita mesti berkeyakinan bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh keunggulan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki nilai-nilai budaya dan agama yang tinggi serta memahami dan menguasai mekanisme pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secanggih apa pun. Prasyarat merdeka dan bebas telah kita raih bersama untuk masa depan yang lebih sejahtera, tenteram, dan cerah merata bagi kita. Namun, akankah kita dapat meraih cita-cita masa depan kita? Akan ke sanakah kita menuju ? Mau ke mana kita? Quo vadis Indonesia! ●
-
Evaluasi Diri 2011 dan “Learning by Mistakes”
Evaluasi Diri 2011 dan “Learning by Mistakes”Puspita Zorawar, EXPERTISE PERSONAL DEVELOPMENT INDONESIASumber : SINAR HARAPAN, 24 Desember 2011Memasuki saat-saat akhir tahun seperti ini, sudah menjadi fenomena yang biasa terjadi di sekitar kita dari tahun ke tahun, para profesional memutuskan mengambil cuti agar dapat melaksanakan program liburan bersama keluarga.Ya… suasana liburan yang pasti dinanti-nantikan setiap orang. Banyak orang sudah mempersiapkan acara liburan di akhir tahun, me-match-kan jadwal cuti antara suami dan istri yang bekerja, agar dapat berlibur bersama dengan putra-putri mereka yang sudah tidak sabar akan acara liburan bersama keluarga.Fenomena ini ditangkap oleh biro-biro travel, bisnis hotel, dan tempat hiburan sebagai peluang emas. Mereka sudah mulai melakukan promo di bulan-bulan sebelum Desember untuk menawarkan paket acara liburan akhir tahun dengan menjamu para keluarga yang melepaskan kepenatan bekerja selama hampir satu tahun.Fenomena menarik lainnya yang selalu terjadi dari tahun ke tahun adalah suasana Natal. Kita bisa menyaksikan di hotel-hotel, di seluruh pusat perbelanjaan, di public area lainnya, telah dipasang hiasan dan dekorasi Natal. Di kantor-kantor, karyawan juga sibuk merayakan Natal.Organisasi-organisasi nonformal pun merayakan Natal bersama untuk membangun ikatan kasih di antara anggota organisasi tersebut, termasuk mempererat ikatan persaudaraan antarumat beragama.Keluarga kita atau saudara, tetangga kita juga ada yang sedang mempersiapkan Natal, termasuk menjadi salah satu agendanya adalah tukar-menukar kado sebagai simbolisasi dari giving (memberi). Namun, marilah jangan hanya berhenti di hal-hal tersebut.Marilah kita saling mengingatkan agar di akhir tahun seperti ini ada suasana yang tidak kalah penting yang juga harus kita prioritaskan dalam kesibukan kita di akhir tahun, yaitu evaluasi diri 2011. Bahkan, evaluasi diri 2011 ini sangat penting untuk memasuki langkah-langkah baru di tahun depan, yaitu 2012.Semua perusahaan dan organisasi di akhir tahun telah melakukan evaluasi pencapaiannya di tahun 2011 melalui raker (rapat kerja), rakor (rapat koordinasi), rapim (rapat pimpinan).Dalam acara tersebut dibahas atau di-reviewsemua kegiatan dan program-program yang telah terjadi dan apa saja yang telah dicapai setiap tim kerja yang ada dalam perusahaan tersebut. Evaluasi 2011 tersebut untuk melihat kemajuan apa yang sudah terjadi dan apa yang belum terjadi, atau apakah malah ada kemunduran.Yang tidak kalah penting dalam pembahasan evaluasi 2011 adalah apakah yang menjadi hambatan untuk mencapai suatu pencapaian yang ditargetkan. Dengan mengetahui hambatan dan permasalahan intinya, tim kerja yang ditugaskan akan dapat mencari solusinya agar pencapaian yang ditargetkan tidak terhambat lagi di masa yang akan datang.Bagaimana dengan evaluasi diri 2011 bagi kita dan keluarga? Pertanyaan-pertanyaan di atas masih relevan untuk kita pakai dalam melaksanakan evaluasi diri 2011.Peristiwa apa saja yang telah terjadi di bulan Januari– Desember 2011? Apakah diri kita dan keluarga berhasil melewati masa-masa sulit dan tantangan hidup dengan baik? Tentu saja banyak hal penting dan krusial yang harus kita perbaiki.Apa saja hal-hal penting yang harus kita perbaiki agar diri kita, keluarga kita, tim kita lebih berhasil di masa yang akan datang? Bagaimana agar diri kita, keluarga kita, tim kita tidak menyia-nyiakan waktu hidup yang kita miliki, bakat dan potensi diri yang dianugerahkan Tuhan kepada kita?Bagaimana agar pada akhirnya diri kita, keluarga kita, dan tim kita dapat memberikan sesuatu yang bernilai tambah bagi kehidupan di dunia melalui bidang profesi dan pekerjaan kita?Learning by mistakes yaitu suatu nilai yang sangat baik kita miliki. Kita harus selalu belajar dari kesalahan-kesalahan kita yang telah terjadi. Tidak ada seorang pun yang ingin membuat kesalahan. Tantangan kita adalah apakah kita dapat benar-benar mempelajari kesalahan kita atau kita telah mengabaikan kesalahan-kesalahan tersebut?Marilah kita bersama-sama mengambil waktu untuk melihat ke dalam diri, apakah ada kesalahan yang telah terjadi dalam cara berpikir (the way of thinking) kita? Apakah ada kesalahan yang telah terjadi dalam kita berkata-kata (choice of words)?Apakah kesalahan yang telah terjadi dalam tindakan-tindakan (actions) kita? Apakah ada kesalahan dalam kebiasaan-kebiasaan (habits) kita, sehingga ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang sulit dihindari?Bagaimana dengan karakter dan nilai-nilai kita ketika berhubungan dengan anggota keluarga dan orang lain? Apakah segala sesuatunya sudah sesuai dan sejalan dengan tujuan hidup kita?“Keep your thoughts positive, because your thoughts become your words.Keep your words positive, because your words become your behaviours.Keep your behaviours positive, because your behaviours become your habits.Keep your habits positive, because your habits become your values.Keep your values positive, because your values become your destiny.” (Mahatma Gandhi)Marilah kita terus-menerus mengevaluasi diri dan melaksanakan learning by mistakes. Mari kita tetap bersemangat menghadapi tantangan di tahun 2012. Selamat Hari Natal bagi yang merayakannya dan Selamat Tahun Baru 2012. ● -
Kebudayaan Bukan Kebinatangan
Kebudayaan Bukan KebinatanganArswendo Atmowiloto, BUDAYAWANSumber : KORAN TEMPO, 24 Desember 2011Kebudayaan, dengan segala tata nilai dan tata krama yang dinamis, merupakan ciri keberadaan kita sebagai manusia, yang terbedakan dengan binatang. Meskipun sama-sama mengalami kelahiran, perkawinan, dan kematian, manusia mampu menciptakan ritual atas peristiwa itu. Menjadikannya sebagai peristiwa budaya, dan dengan demikian mampu belajar dari pengalaman yang mendahului, dan karenanya menuju ke stilisasi yang disebut peradaban. Binatang tak memiliki kemampuan budaya untuk kreatif, sehingga tak mengenal pernikahan, dan bahkan cara kawinnya selalu dengan model yang sama, doggy style. Gaya yang bisa dilakukan manusia di samping gaya-gaya yang lain.Jalan BudayaSaya mencoba merumuskan karakteristik yang berlangsung dalam peristiwa budaya dengan tiga unsur utama. Pertama, kebudayaan mendahulukan dialog dibanding kekerasan. Dalam bentuk kesenian wayang orang, ketoprak, atau segala jenis seni tradisi–selalu terjadi dialog, yang bahkan menjelang peperangan pun masih terjadi dialog dalam bentuk tembang, dalam tantang-menantang. Kekerasan adalah jalan akhir ketika semua bentuk dialog menemukan jalan buntu.Kedua, peristiwa budaya mengedepankan karya selain wacana. Itulah sebabnya, lahir puisi, tari, irama, yang selalu diciptakan, di samping wacana yang mempersoalkan atau mempertanyakan. Lakon dalam wayang selalu berkembang, produksi film terus berkelanjutan, apa pun situasi dan kondisinya. Unsur ketiga, kebudayaan tidak memonopoli satu-satunya kebenaran, dan karenanya perlu bersama dengan disiplin lain.Dalam dunia kepenyairan, tak ada penyair nomor satu dan nomor dua. Tidak juga aliran atau bentuk tertentu mengalahkan, atau mengenyahkan, jenis lain. Jenis musik klasik tidak dengan sendirinya yang paling benar dan meniadakan dangdut, pop, keroncong, atau campur sari. Dalam seni lukis, tak berarti nanti aliran kubisme melenyapkan naturalisme, dan sejenisnya.Jalan budaya, pendekatan melalui unsur-unsur dinamis dalam peristiwa kebudayaan, inilah yang agaknya ditinggalkan atau ditanggalkan sejak era Reformasi bergulir. Nyaris kita mendengar, atau bahkan mengalami, tiadanya pendekatan budaya dalam beberapa masalah besar, seperti kasus pembantaian Mesuji, korupsi para petinggi dari seluruh jabatan dan institusi, tawuran yang makin menjadi-jadi, sampai dengan pelanggaran tata krama berlalu-lintas, mendapatkan KTP yang dianggap wajar, pragmatis, dan lebih benar.Jalan BinatangIni yang pada beberapa bagian kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi merana. Bahkan bisa lebih. Manusia bukan hanya serigala bagi manusia lainnya. Manusia adalah zombie bagi manusia lain. Yang besar akan memangsa yang kecil, yang kuat dan mempunyai akses lebih meniadakan yang lemah. Korupsi, juga pemerasan, berangkat dari tata nilai dan tata krama yang berasal dari dunia binatang. Menerkam habis kelompok lain untuk kelangsungan hidup dan atau memperkuat diri. Keberhasilan, karena itu, dihitung dari berapa banyak korban yang dihancurkan, berapa tengkorak yang bisa dipajang sebagai tanda keberhasilan.Memperlakukan makhluk lain sebagai binatang bisa dalam contoh yang sederhana. Adalah garis-garis yang membedakan jalur kendaraan. Karena ini tak juga dipahami masyarakat, tindakan berikutnya adalah membuat separator jalan. Karena ini juga tidak dipatuhi, dibuatkan gundukan separator, dan juga ditinggikan. Ini adalah cara perlakuan kepada binatang, yang karena tidak mampu mengenali tanda, dibuatlah pagar. Karena masih diterobos, pagar dialiri listrik.Pendekatan melalui pendidikan, melalui kesadaran, dinilai terlalu lama dan tidak mempunyai efek, sehingga perlakuan sebagaimana yang diterapkan pada binatang dianggap lebih manjur dan mengatasi masalah. Padahal justru di sinilah masalah itu muncul. Contoh yang lebih sederhana adalah pengaturan lalu lintas untuk mengatasi kemacetan dengan “3 in 1”, minimal tiga penumpang dalam kendaraan roda empat untuk jalan dan waktu tertentu. Yang muncul adalah para joki yang tak mempunyai akses untuk mendapatkan pekerjaan. Karena dianggap mengganggu, menyalahi tata krama, para joki inilah yang menjadi sasaran razia, dengan segala akibat buruknya. Mereka yang kalah dibuat salah, mereka yang dimusuhi akan dihabisi, dengan segala pembenaran. Inilah nasib para TKW, para pengemis, dan atau anak-anak jalanan, yang terjadi setiap hari.Jalan PencegahanPendekatan budaya, tak bisa tidak, harus disertakan dalam berbagai kebijakan yang nyatanya tidak bijak karena memihak, untuk mengerem kebinatangan dalam diri kita. Jalan budaya memang bukan jalan singkat, karena yang disodorkan adalah menumbuhkan karakter, memperkuat pribadi. Jalan budaya lebih menekankan proses pencegahan dibanding tindakan seketika. Mencegah seseorang menjadi koruptor, menjadi pelanggar tata krama, menjadi pendurhaka kepada bangsa dan negara.Pencegahan yang diwujudkan dalam bahasa seni melalui tembang-tembang, melalui lambang, melalui mitos, melalui rasa malu, melalui empan-papan, yaitu mengenali situasi dan lokasi waktu maupun lokasi tempat. Dalam bentuk yang sederhana adalah mengenal kehormatan, dan rasa hormat. Baik kepada orang tua, sahabat, lingkungan, alam, maupun kepada bangsa negara, dalam keimanan. Semua nilai-nilai itu ada dalam kebudayaan, dan nenek moyang kita telah sangat jenius merumuskannya dalam aktualisasi. Di awal berdirinya republik ini, tampillah para pendiri negara yang terhormat, yang mengutamakan pilihan ini, dengan segala cita-cita yang gemanya masih memanggil kita untuk memenuhi.Jalan budaya, karena itu, menyiapkan sebuah pribadi, juga sebuah generasi yang dibekali perbedaan yang jelas dan tegas antara benar dan salah, antara nakal dan jahat, sebuah kesatuan besar untuk belajar dari pengalaman buruk. Sebuah generasi manusia yang tak menempuh jalan hidup binatang.Karena sesungguhnyalah manusia bisa mengajari binatang, dan bukan belajar dan meniru dari cara hidup binatang. Kalau itu terjadi, bencana kebudayaan yang lebih mengerikan dari bencana alam maupun bencana sosial terus melangsungkan pemusnahan peradaban. ● -
Imigran Gelap
Imigran GelapJames Luhulima, WARTAWAN KOMPASSumber : KOMPAS, 24 Desember 2011Tanggal 17 Desember lalu, kapal yang mengangkut 248 imigran gelap asal Irak, Iran, dan Afganistan, yang berniat memperbaiki nasib di Australia, pecah dan tenggelam di perairan Pantai Prigi, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Hingga Jumat (23/12), sebanyak 146 penumpang ditemukan, 97 di antaranya tewas dan 49 selamat.Kejadian itu membuat kita terenyak. Impian imigran gelap yang bersedia mempertaruhkan nyawa mereka untuk mengenyam kehidupan yang lebih baik itu kandas bersama dengan tenggelamnya kapal yang mereka tumpangi. Bukan hanya impian mereka yang kandas, sebagian besar di antara mereka bahkan kehilangan nyawa. Sebagian kecil yang selamat pun ada yang kehilangan sanak saudara.Itu bukanlah kejadian yang pertama, dalam 10 tahun terakhir, sedikitnya ada tujuh kecelakaan kapal di wilayah Indonesia yang melibatkan imigran gelap. Namun, kejadian pada tanggal 17 Desember 2011 itu adalah kecelakaan kapal yang meminta korban terbanyak.Australia sebagai negara seluas benua yang minim penduduk itu menjadi salah satu tujuan utama bagi imigran gelap. Mereka bermimpi dapat membangun kehidupan yang baik di Australia. Bahkan, untuk mewujudkan impiannya, mereka bersedia membayar uang 4.000 dollar AS hingga 6.500 dollar AS per orang.Impian untuk mempunyai kehidupan yang lebih baik itu adalah impian semua orang. Akan tetapi, memang tidak semua orang memiliki keberanian untuk mencoba peruntungan di negara lain, yang tidak jarang letaknya sangat berjauhan dengan negaranya sendiri. Apalagi memasuki negara yang diimpikannya itu secara ilegal.Namun, ketika sedikit orang yang berani mencoba peruntungan itu sukses memperbaiki tingkat kehidupannya di negara impian, mereka menjadi gula yang menarik minat banyak semut untuk mengikuti jejak mereka.Daya penarik itulah yang memancing munculnya organisasi gelap yang bekerja secara internasional, yang mengatur perjalanan orang-orang secara ilegal ke negara impiannya (human trafficking).Ketika Australia menjadi salah satu negara tujuan utama, Indonesia sebagai negara yang letaknya paling dekat dengan Australia ikut dibuat repot mengingat tidak sedikit imigran gelap yang menggunakan Indonesia sebagai negara antara sebelum melompat ke Australia. Bahkan, tidak sedikit dari mereka (imigran gelap) masuk ke Indonesia dengan surat-surat kelengkapan resmi dan membuangnya sebelum berangkat ke Australia. Atau ada pula yang datang ke Malaysia secara resmi kemudian berangkat ke Australia dengan kapal dan terdampar di sini. Bahkan, tidak sedikit yang menggunakan kapal dari Malaysia kemudian singgah di Indonesia untuk melengkapi perbekalannya sebelum berangkat ke Australia.Posisi SulitSebagai negara yang letaknya berdekatan dengan Australia, Indonesia memang berada dalam posisi sulit. Misalnya, mereka terdampar di sini, apa yang harus dilakukan? Memulangkan mereka kembali ke negara asalnya, pasti tidak mungkin karena mereka pasti akan menentangnya mati-matian. Selain sudah menghabiskan semua harta benda, mereka juga tidak berani mengira-ngira apa risiko yang mereka terima jika sampai dipulangkan paksa kembali ke negaranya. Menampungnya juga sulit. Selain harus menyediakan sarana dan prasarana, Indonesia juga harus memberi mereka makan selama berada di negeri ini. Mengusir mereka dari wilayah Indonesia dan membiarkan mereka berlayar dengan segala keterbatasannya ke Australia juga tidak mungkin dilakukan.Dulu semasa manusia perahu dari Vietnam dan Kamboja datang ke sini, Indonesia menampung mereka di Pulau Galang sebelum ditempatkan ke negara ketiga. Namun, pada waktu itu persoalannya berbeda, karena itu adalah masalah internasional. Manusia perahu itu dilihat negara Barat sebagai pelarian dari negara yang dikuasai rezim komunis, dan negara Barat yang antikomunis berupaya menerima mereka dengan memberikan suaka. Bahkan, dunia internasional ikut membiayai kehidupan mereka selama berada di penampungan (Pulau Galang) hingga mereka ditempatkan, melalui Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR).Kini, keadaannya berbeda. Imigran gelap itu dianggap sebagai pengungsi ekonomi sehingga perlakuannya juga berbeda.Namun, khusus untuk kasus yang terakhir ini, kita kecewa. Oleh karena aparat keamanan, dalam hal ini oknum Tentara Nasional Indonesia, yang seharusnya menangkap mereka dan memprosesnya sesuai hukum yang berlaku di negara ini, bukan mengambil keuntungan dari imigran gelap, yang memang akan menempuh cara apa pun untuk mewujudkan impiannya.Seperti yang telah dikemukakan, persoalan imigran gelap, juga mencakup soal human trafficking (penyelundupan manusia), sangat rumit. Itu sebabnya, penanganannya harus melibatkan banyak pihak, baik di negara asal, negara transit, negara tujuan, maupun lembaga-lembaga internasional. ● -
Budaya Konsumtif Kelas Menengah
Budaya Konsumtif Kelas MenengahJanianton Damanik, GURU BESAR PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN,FISIPOL UGMSumber : KOMPAS, 24 Desember 2011Rasa bangga muncul seketika di kala media massa menabur berita bahwa jumlah kelas menengah kini sekitar 43 persen dari total penduduk Indonesia.Berarti setidaknya 100 juta orang mampu meraih penghasilan 2-20 dollar AS per kapita per hari. Pengamat memperkirakan, jika pertumbuhan ekonomi terus membaik, setiap tahun akan bertambah 7 juta kelas menengah baru. Mereka adalah orang yang beruntung lolos dari penjara kemiskinan yang memasung ratusan juta warga miskin lainnya karena berpenghasilan kurang dari 1 dollar AS per hari.Setelah menelisik data aslinya, ternyata sebagian besar dari angka 50 persen itu hanya berpenghasilan 2-4 dollar AS per hari. Semakin mendekati penghasilan 20 dollar AS, semakin menciut persentase kelas menengah ini. Bisa disimpulkan, mereka sangat rentan terhadap krisis ekonomi yang sewaktu-waktu bisa bergejolak. Jika itu terjadi, barisan inilah yang pertama tergiring ke kumpulan warga miskin.Namun, bukan itu yang membuat rasa bangga menjadi sirna, melainkan kegemaran kelas menengah mengonsumsi barang impor. Entah karena merasa baru merdeka dari koloni kemelaratan menahun atau ingin pamer kepemilikan materi, libido konsumtif mereka begitu menggelora. Ketika barang konsumsi teranyar dilempar ke pasar, seketika itu pula mereka menyerbunya. Banyak pengamat mengatakan, kelas menengah Indonesia adalah penggila produk asing, mulai dari makanan, fesyen, barang elektronik, sampai otomotif.Mungkin potret kegilaan yang dipicu libido konsumtif itulah yang mencuat ketika ribuan orang antre berjam-jam dan berdesak-desakan untuk membeli telepon seluler merek Blackberry Bold 9790 di sebuah mal di Jakarta baru-baru ini. Ini bukan kasus pertama. Dua minggu sebelumnya peristiwa konyol serupa juga muncul di Manado (Kompas, 12/11/2011). Tragis, karena kegilaan untuk memiliki telepon bermerek itu berbuah celaka. Seribu biji telepon pintar mengecoh ribuan manusia yang kurang pintar sehingga puluhan jatuh pingsan dan terkapar.Tragedi KulturalKalau boleh disebut, inilah serial lanjutan tragedi kultural bangsa kita. Galibnya, peningkatan status ekonomi berjalan seiring eskalasi kecerdasan sosial. Andai pun tidak bersemangat kapitalis tulen dalam arti hemat dan kerja keras, minimal orang tidak hedonis-konsumtif.Namun, yang terjadi sebaliknya. Mobilitas vertikal kelas menengah ini merangkak tanpa pijakan nilai dan etos hidup yang mencerahkan. Harga diri sebagai kelas ekonomi baru hanya disangga oleh pilar nilai yang keropos: emo ergo sum, saya belanja, maka saya ada!Hidup menjadi arena pacuan gengsi yang hampa isi. Medianya adalah belanja dan kepemilikan materi. Nafsu belanja terus menyeruak di tengah defisit kearifan kolektif. Hidup konsumtif dan boros begitu seksi dan menggoda. Nilai kultural sekuat apa pun nyaris tak mampu menghalanginya. Belilah, mumpung barang belum habis. Ada diskon sekian persen, plus diskon tambahan buat pemilik kartu anggota. Pakai selagi belum ketinggalan mode. Tertibkan alis mata, haluskan kulit tubuh, dan wangikan raga di ruang spa. Jangan pikir besok lusa karena semua ada waktunya. Begitu bujuk rayu yang menghanyutkan kelas menengah ke ajang perburuan materi.Lantas, budaya konsumtif pun menggiring mereka memproduksi keinginan-keinginan baru yang nyaris tak bertepi. Batas-batas kebutuhan lenyap akibat ditelikung libido liar untuk memiliki segala yang berbentuk materi.Adalah usaha sia-sia menautkan hasrat memiliki materi dengan penggunaan akal sehat. Tak tabu berutang, yang penting bergengsi, gaya, dan gaul. Di tingkat ini, kepemilikan tak lagi berfungsi produktif. Sebaliknya ia terdegradasi jadi simbol gengsi sosial yang acap kontraproduktif.Maka, bisa dipahami mengapa industri otomotif dan elektronik mengguyur kelas menengah yang baru bangkit ini dengan produk unggulannya secara masif. Tak lain adalah karena wabah budaya konsumtif tadi.Majalah The Economist belum lama ini menempatkan Indonesia di peringkat teratas sebagai pengguna sepeda motor sekawasan Asia Tenggara. Tahun 2010, tak kurang 8 juta unit disapu bersih oleh pasar konsumen lokal dan hanya tersaingi oleh konsumen di China dan India. Masih di tahun yang sama, lebih dari 760.000 unit mobil berbagai kelas terjual laris manis di pasar otomotif. Perusahaan RIM, produsen Blackberry, mengklaim kelas menengah Indonesia salah satu pasar terbesarnya. Ini pun belum apa-apa dibandingkan dengan jumlah pelanggan (kartu telepon) aktif yang mencapai 240 juta.Mengapa budaya konsumtif mereka menggelora? Jawabnya ada pada faktor kendali diri dan daya kritik yang majal. Terbentuknya kelas menengah di negeri ini ternyata tidak melahirkan kelompok masyarakat kritis.Kalau boleh disebut, mereka adalah kelas menengah yang secara psikososial sangat labil dan permisif. Ciri-cirinya, antara lain, mudah terpengaruh, lekas berpuas diri, alergi bernalar, dan suka dipuji. Bukan kebetulan, pemeo the consumer is king cocok benar dengan karakter tersebut. Sebab, hanya dengan menjadi pembelilah mereka merasa jadi raja. Sayang, itu cuma perasaan belaka. Faktanya, konsumen yang tak kritis hanya menjadi budak nafsu konsumtifnya sendiri.Wabah budaya konsumtif sangat mencemaskan. Bukan karena ia terkait dengan persoalan etika dan rapuhnya karakter anak bangsa. Hal yang berbahaya adalah ketergantungan pada barang-barang impor yang niscaya akan mematikan pasar produk lokal. Taruhannya adalah daya tahan perekonomian nasional. Budaya konsumtif jadi bentuk undangan terbuka bagi kapitalisme global untuk leluasa menyetir pola pikir, gaya hidup, selera, bahkan ideologi kelas menengah kita sesuai dengan nilai yang melekat pada barang yang mereka hasilkan.Melihat ancaman besar seperti itu, tampaknya harus dicari jurus jitu untuk meredam penyebaran budaya konsumtif tadi. Jika tidak, kita harus rela menerima kenyataan jadi bangsa yang kehilangan jati diri. ● -
Olga Ngesot
Olga NgesotArswendo Atmowiloto, BUDAYAWANSumber : SINDO, 24 Desember 2011Olga Syahputra, 38,pembawa acara juga pelawak, kena teguran telak dari Komisi Penyiaran Indonesia( KPI) karena ketika menampilkan diri sebagai Suster Ngesot mengeluarkan alasan: gara-gara diperkosa sopir angkot.
Dia dianggap melecehkan korban perkosaan. Ini juga bukan pertama kali teguran yang diterima. Sebelumnya grup band Five Minutes juga protes karena namanya dilecehkan, atau Yuni Shara dan Luna Maya mengeluhkan sikapnya. Teguran KPI adalah peringatan dini, yang agaknya harus sering dilakukan.Karena pertelevisian kita makin tak terkontrol, terutama untuk siaran live. Bukan hanya cerocosan spontan yang kadang menyebutkan alat kelamin, melainkan yang terutama tampilan gaya banci. Bahkan kalau Olga banci tulen lahir batin, gaya itu kurang pas untuk anak-anak.
Bukan Bahasa Narasi
Posisi Olga sebagai presenter sebenarnya menempatkan sebagai narator, sebagai pembawa narasi. Memberitahukan, mengantarkan keberadaan acara, bintang tamu, atau narasumber, dan atau juga topik permasalahan episode tertentu. Namun dalam hal ini Olga memberi komentar dengan celetukan. Yang tidak apa-apa, memang begitulah gaya bicara gokil-gokilan, yang ngetren di televisi.
Kadang juga noyor— memperolok, atau membuat lucu lawan bicara. Spontanitas inilah yang ketika bersama Luna Maya yang tengah menceritakan gempa di Chili, disambar dengan ucapan “Chili? Sambal kali.” Atau komunitas Kaskus, disambar dengan guyonan “Kakus, WC kali..” Atau mempersoalkan kejandaan Yuni Shara. Materi tentang gempa, materi komunitas yang berkualitas, materi keberadaan seorang perempuan, tak menimbulkan kepekaan akan suatu yang lebih besar dari sekadar “agar ditertawakan”.
Atau berkaca pada model lama di mana dengan merendahkan orang lain, dengan mengolok-olok, dia bisa mengangkat dirinya. Sesuatu yang keliru. Kekeliruan besar mana kala masyarakat— yang menonton atau mendengar kemudian— sedang prihatin akan tema aktual tersebut. Dalam hal terakhir adalah kasus perkosaan yang menimpa seorang ibu di angkot. Wajar kalau terjadi penolakan banyolan model begini.
Jangankan kata Olga, Gubernur Foke pun kena demo ketika menyarankan agar para gadis tidak memakai rok mini. Kalaupun maksudnya setengah— atau sepenuh—memainkan humor, yang terasakan adalah humor kotor. Kegeraman pada pemerkosa menemukan sasaran yang memperolokannya. Olga bisa belajar banyak dari pembawa acara yang juga bagian dari pengisi acara yang keren dan tak kalah beken pada masanya. Kus Hendratmo, Kris Biantoro, Miing Bagito adalah pembawa acara,pengisi acara, juga ngebodor, yang sukses dan tidak melukai audience.
Kalau soal kritis bahkan untuk acara yang sedang dibawakan, barang kali Kris Biantoro dan Miing adalah biang kritik, baik secara langsung atau menikung. Penguasaan materi yang dibawakan, serta sudah barang tentu persiapan, merupakan modal dan pengalaman. Yang diperoleh dari bacaan, dari buku, dari berefleksi. Olga dalam kepenuhan job barangkali tak mempunyai waktu untuk itu.
Atau merasa tak perlu. Atau kalau dari teman seangkatan, Olga bisa belajar dari Indi Barends, Indra Bekti, atau yang juga bernama Olga, Olga Lydia. Ketiga nama sepantaran ini juga keren cool, menghibur, ramai bersapa, noyor, kritis, tapi tahu dan mampu membaca situasi.
Bukan Bahasa Verbal
Protes KPI kali ini mencerminkan kegelisahan masyarakat atas tampilan televisi yang selama ini menganggap sepi. Keberatan atas ucapan spontan sebenarnya merupakan bagian dari “kekerasan” yang merajalela. Pada tata krama FCC di Amerika Serikat—seposisi dengan KPI di sini—kekerasan yang harus dihindarkan oleh tayangan televisi adalah kekerasan verbal dan nonverbal.
Yang termasuk nonverbal adalah gaya yang disampaikan Olga secara kebanci-bancian. Karena efeknya dianggap kurang baik bagi anak-anak, terutama untuk anak-anak di bawah usia sembilan tahun. Dalam penelitian di Prancis, anak-anak di usia itu sangat rawan akan pengaruh—kecuali untuk anak yang jenius. Karena mereka belum bisa dengan jelas membedakan antara fiksi dan nonfiksi.
Itu pula sebabnya tokoh kartun digambarkan berjari empat—agar ada informasi pada anak-anak bahwa itu bukan tokoh nyata. Hal yang sama dengan tampilan banci— banci kaleng atau banci “Taman Lawang”, yang bagi anak-anak bisa diartikan sebagai mode, sebagai gaya, sebagai cara yang wajar. Saya kira KPI pernah mengeluarkan “pedoman” untuk tidak menampilkan peranan banci yang tak perlu. Komedian Srimulat seperti Tessy pun perlahan surut dan menghilang.
Saya juga tak berkeberatan kalau Olga seorang gay—apa hak saya berkeberatan?—namun jangan itu yang ditampilkan. Kecuali kalau memang memerankan karakter itu dalam sebuah film atau sinetron. Bergaya gay tidak menarik, juga tidak mendidik. Protes KPI sekaligus membuka catatan lama bahwa tampilan kekerasan nonverbal masih menjadi menu utama yang disadari atau tidak masih terjadi.
Misalnya menampilkan adegan satu frame, orang tua bertengkar di depan anaknya, adegan murid menghina dan memarahi guru di dalam kelas, atau juga anak sekolah entah dari mana dengan seragam mewah yang bermobil saling merendahkan untuk alasan tak jelas, sampai dengan tayangan yang menamai diri dari jenis reality show. Semua kebohongan, semua rekayasa, semua setting-an, seharusnya juga menjadi perhatian. Mana bagian yang memang diambil apa adanya— yang hampir tidak mungkin, dan mana yang diskenariokan, harus diberi penjelasan sepanjang pengadegan berlangsung.
Bukan pengaburan dan bersembunyi di balik sekadar teks: ”diambil dengan kamera tersembunyi.” Sampai dengan mendudukkan persoalan yang sebenarnya bahwa ada jenis yang lebih mendidik yang dinamai reality tv. Sehingga bukan hanya jenis sampah yang kita tiru—kalau mau meniru. Artinya peringatan kasus Olga Ngesot adalah peringatan dini, untuk terus menerus diulang, diperbarui, diteriakkan tanpa henti, sebab kita bukan sekadar membicarakan salah ucap, bukan sekadar ralat meralat, melainkan sedang berbicara mengenai pendidikan dalam arti luas untuk sebuah generasi.
Sudah saatnya kita kembali menggali tata nilai dan tata krama yang sudah dirumuskan dengan jenius nenek moyang kita dalam soal kepribadian nasional, soalnya membangun karakter. Sudah waktunya. Dan time is up, bro! ● -
Platform Durban dan Hutan Kita
Platform Durban dan Hutan KitaBernadinus Steni, KETUA PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI)Sumber : KOMPAS, 24 Desember 2011Sejak disepakatinya Konvensi Perubahan Iklim pada 1992, perdebatan utama yang tidak kunjung tuntas adalah pemilahan antara negara maju dan negara berkembang. Ini berdampak pada pembagian beban pengurangan emisi bagi negara maju sekaligus membantu negara berkembang menghadapi perubahan iklim.Konferensi Para Pihak (COP) yang ke-17, yang baru saja berakhir di Durban, juga diwarnai perdebatan serupa: sangat alot dan hampir terkatung-katung tanpa keputusan. China, India, Kanada, dan Amerika Serikat berusaha keras agar tidak ada pembicaraan untuk membentuk protokol baru yang mengikat sebagaimana diusulkan oleh Uni Eropa dan negara-negara kecil kepulauan.Meski sama dalam target, keempat negara itu memiliki latar kepentingan yang sama sekali berbeda. India dan China merasa belum saatnya mendapat beban pengurangan emisi seperti negara-negara maju. India bahkan masih ingin melihat kemungkinan hasil temuan baru IPCC pada 2014, apakah memang ada pelepasan emisi yang membahayakan manusia atau tidak.Argumen itu tentu tidak beralasan karena perubahan iklim sudah terjadi. Menunggu hingga 2014 untuk bersikap adalah pikiran konyol karena makin memperburuk dampak pemanasan Bumi dan perubahan iklim.Sebaliknya, AS dan Kanada tidak mau ada komitmen pengurangan emisi global. Mereka menghendaki semua pembicaraan dikembalikan ke komitmen pengurangan emisi domestik setiap negara, dan menempatkan perundingan PBB sebagai upaya mencari jalan keluar yang murah dan mudah dalam pengurangan emisi domestik. Menurut mereka, semua negara bertanggung jawab mengurangi emisi, tanpa kecuali.Argumen ini sama anehnya dengan India. Sudah menjadi prinsip konvensi bahwa negara pihak bertanggung jawab terhadap perubahan iklim, tetapi dengan beban yang berbeda (Pasal 3 Ayat 1 Konvensi Perubahan Iklim). Akan sangat tidak adil jika negara-negara kepulauan, yang sudah terempas gelombang pasang dan terancam menjadi negara hilang, bebannya sama dengan AS ataupun Kanada.AS masih menempati urutan kedua pelepasan emisi setelah China dengan jumlah 5.425 juta ton per tahun. Posisi ini terus bertahan tiga tahun terakhir. Jumlah tersebut bahkan jauh melampaui gabungan emisi dari 129 negara berkembang yang menempati urutan 89-217.Platform DurbanPutaran perundingan para pihak ke-17 di Durban akhirnya menghasilkan kesepakatan Platform Durban. Isinya kompromistis, masih menggantung, dan sarat keengganan. Meski diterima para pihak secara politis, hal ini belum menjamin pencegahan terhadap perubahan iklim.Untuk Indonesia, setidaknya ada dua hal penting. Pertama, disepakatinya usulan membuat kesepakatan baru yang mengikat pada 2015 dan selambat-lambatnya dilaksanakan pada 2020. Kesepakatan baru ini termasuk Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Perumusan detail kesepakatan ke depan jelas akan menyita energi politik sejumlah negara. Dia menjadi ajang pertaruhan kepentingan nasional.Kedua, prinsip beban tanggung jawab dalam kesepakatan baru akan mengacu pada tingkat pelepasan emisi dan meninggalkan pola lama yang memisahkan negara maju-negara berkembang. Artinya, negara berkembang pun wajib mengurangi emisi dengan beban yang sama dengan negara maju. Hal ini tentu akan terus menjadi perdebatan dalam perundingan ke depan.Hutan IndonesiaKeputusan Durban juga berkonsekuensi pada agenda nasional. Pertama, hingga 2015 perangkat hukum nasional hingga program kerja pemerintah harus disiapkan agar sejalan dengan keputusan Durban. Persiapan itu perlu karena beban pengurangan emisi juga ada di pundak kita negara berkembang.Kedua, jika dari skala pelepasan emisi Indonesia diperhitungkan sebagai negara yang harus mengurangi emisi, seperti China dan India, kewajiban tersebut bisa menjadi pintu masuk upaya pemulihan hutan Indonesia. Kecenderungan ke arah sana sangat mungkin karena pelepasan emisi Indonesia sangat tinggi dalam dua dekade terakhir, terutama dari laju kerusakan hutan dan pembukaan lahan gambut (Houghton, 2003).Ketiga, perubahan pada paradigma dan cara kerja pembangunan saat ini mutlak diperlukan karena eksploitasi hutan dan gambut pertama-tama berawal dari pikiran dan gaya hidup barat. Pergeseran sikap dan mental tradisional ke modern telah mengubah keseluruhan pola kerja terhadap alam. Prinsip hidup saat ini telah terjajah kapitalisme sehingga orang teraniaya konsumtivisme hingga mata batin.Ketiga hal di atas hampir pasti turut memengaruhi posisi Indonesia sejak awal perundingan hutan dan perubahan iklim di Bali, tahun 2007. Indonesia, antara lain, mendorong agar negara maju dan pasar menyediakan dana memadai untuk memulihkan kerusakan hutan.Posisi itu banyak dikritik sebagai posisi ”Ali Baba”, tak mau rugi dan tak mau lelah. Alhasil, dalam tiga tahun terakhir hampir semua pelaku internasional yang mendorong REDD+ dalam perundingan global memboyong proyek ke Indonesia.Lebih dari 40 proyek contoh berkembang biak di lapangan saat ini. Posisi itu sangat kontras dengan beberapa negara seperti Bolivia dan Brasil yang solid dengan kepentingan nasional, termasuk membatasi dan bahkan mendorong hapusnya pasar dari skema pendanaan.Sudah selayaknya urusan hutan dalam negeri tidak lagi bergantung pada posisi ”Ali Baba”, tetapi menjadi kewajiban nasional. Konsekuensinya, ke depan anggaran negara harus ada untuk mengurangi emisi domestik.Jika pemerintah berkukuh menerima semua sumber pendanaan, terutama pasar, upaya pengurangan emisi domestik akan berebut dengan offset—kompensasi atas emisi gas rumah kaca—negara lain. Padahal, keputusan Durban, bahkan sejak Bali, sangat pro-offset. Maka, negara maju melirik hutan Indonesia sebagai potensi offset.Melalui upaya di Indonesia, para pemburu sertifikat offset meringankan pekerjaan mereka untuk memenuhi kewajiban internasional pengurangan emisi melalui teknologi hijau atas industri mereka yang boros bahan bakar fosil. Belum lagi jika menengok investasi pasar swasta di hutan yang sama.Kapling klaim akan muncul dan potensial menjadi konflik baru. Banyak yang khawatir pada ujung perundingan ini, bukan hanya soal ketidakadilan dalam skema offset dan pasar, melainkan juga potensi terjadinya perebutan ruang antara pemain karbon dan komunitas adat.Tentu tidak ada yang ingin rakyat Indonesia jadi pengemis di kampung sendiri. Kita menunggu langkah pemerintah untuk mengurangi kekhawatiran itu. Kita juga menunggu pemerintah mampu memainkan posisi dan kepentingan nasional dalam panggung perundingan ini. ● -
Spiritual dan Keadilan Sosial
Spiritual dan Keadilan SosialAndreas A Yewangoe, KETUA PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI)Sumber : KOMPAS, 24 Desember 2011Dunia dewasa ini menderita dua jenis kelaparan: spiritualitas dan keadilan sosial. Kelaparan spiritualitas mungkin mengundang pertanyaan karena gairah keberagamaan ada di mana-mana. Sebaliknya kelaparan keadilan sosial lebih dipahami karena penindasan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi manusia masih menjadi menu sehari-hari kita.Soal keberagamaan memang justru menjadi pangkal persoalan. Ketika gairah dan semarak beragama terasa di mana- mana, ternyata ia minus spiritualitas. Gairah beragama kita hanyalah menyangkut kulit-kulit dan bentuk. Kita lebih mementingkan forma ketimbang isi.Keberagamaan kita masih sangat mengarah ke dalam diri sendiri. Alhasil, kendati agama diamalkan secara sangat nyata, berbagai tindakan yang bertentangan dengan hakikat agama justru marak.Di negeri kita, perbuatan korupsi masih mendominasi kehidupan sehari-hari kendati begitu banyak orang menjalankan ritual agama. Pengunjung tempat-tempat ibadah berjubel, tetapi begitu banyak pula perbuatan-perbuatan buruk dipraktikkan.Praktik ketidakadilan terlihat di mana- mana tanpa usaha sungguh-sungguh mengakhirinya. Penindasan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi manusia menjadi menu keseharian. Di negeri kita tak kurang-kurang orang bertobat, hanya saja pertobatan itu bersifat ritualistis.Makna pertobatan belum diterjemahkan ke dalam kehidupan sosial. Itulah kehidupan beragama tanpa spiritualitas yang selalu mengarah ke dalam, bagi kepuasan diri sendiri. Keberagamaan seperti ini tidak berdampak apa pun bagi kehidupan bersama.Arahkan ke LuarSpiritualitas sejati adalah justru ketika kita mengarahkan kehidupan kita ke luar. Ketika kita mendambakan kebaikan bagi semua orang. Ketika kita memedulikan kesejahteraan orang lain. Ketika kita merindukan keadilan bagi siapa pun. Ketika kita menganggap kepentingan orang lain jauh lebih penting daripada kita.Maka seseorang yang sungguh-sungguh beragama dengan spiritualitas sejati pasti tidak akan segan-segan memperjuangkan keadilan bagi siapa saja. Ada kaitan erat antara spiritualitas dan keadilan sosial sebagaimana ditegaskan para nabi ribuan tahun lalu. Nabi Amos mengalimatkannya dengan sangat keras: ”Aku (yaitu Tuhan) membenci, Aku menghinakan perayaanmu, dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban bakaran dan korban sajianmu, Aku tidak suka. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.”Tidak kurang kerasnya, seorang nabi lain, Yesaya, mengingatkan, ”Untuk apa itu korbanmu yang banyak? Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan. Jangan lagi membawa persembahan yang tidak sungguh sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Perayaan-perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap, Aku benci melihatnya. Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan muka-Ku, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkan sebab tanganmu penuh dengan darah. Belajarlah berbuat baik; usahakan keadilan, kendalikan orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkan perkara janda-janda.”Allah bukanlah Tuhan yang gampang disogok dengan persembahan kita. Ia bukan Allah yang mudah disuap dengan pemberian kita. Ia bukan Allah yang bisa dibujuk dengan doa-doa kita. Sangat jelas, keberagamaan tanpa penegakan keadilan adalah kosong. Spiritualitas tanpa memperjuangkan hak-hak mereka yang paling menderita dan disisihkan di dalam masyarakat adalah hampa.Ketika Natal datang lagi menyapa kita, kita pun diajak merenungkan secara sangat mendalam makna kehausan spiritualitas dan keadilan ini bagi kemanusiaan. Benarkah kita merasakan kehausan itu, atau kita menutup-nutupinya dengan kepuasan beragama semu.Kembalikan Makna NatalJangan-jangan perayaan-perayaan Natal menjadi hampa ketika sekian banyak uang dibelanjakan bagi pesta-pesta mewah. Jangan-jangan kita begitu sibuk dengan berbagai upacara rumit dan melewatkan justru jiwa Natal itu sendiri, yaitu kesederhanaan.Jangan-jangan kita sekadar mengumandangkan lagu-lagu Natal yang merdu tanpa penghayatan terhadap isi Natal itu sendiri, yaitu ketika Allah justru mengosongkan diri-Nya di dalam peristiwa inkarnasi. Ya, jangan-jangan.…Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dalam Pesan Natal Bersama tahun ini mengambil tema ”Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar (Yesaya 9:1a).”Di dalam kehausan akan spiritualitas dan keadilan sesungguhnya kita sedang berjalan di dalam kegelapan. Kegelapan mengindikasikan kehilangan arah, tetapi justru di dalam keadaan seperti ini pengharapan diberikan kepada kita.Ada terang yang besar. Terang itu berasal dari Allah sendiri. Terang yang merangkul kegelapan. Nabi Yesaya menggambarkan Sang Terang itu sebagai seorang putra, lambang pemerintahan ada dalam tangan-Nya dan namanya disebut orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang kekal, Raja Damai.Umat beriman tidak hanya diminta meneruskan terang dari Allah itu melalui berbagai karya pelayanan mereka kepada masyarakat, melainkan juga melalui hidup dan pergaulan mereka. Ketika umat beriman mengusahakan perwujudan keadilan di dalam masyarakat, sesungguhnya mereka sedang meneruskan Terang itu.Kenyataannya, ketika kita tidak peduli dengan nasib sesama yang diperlakukan tidak adil, kita tidak hanya gagal meneruskan Terang itu, tetapi juga menghalangi-halangi Terang yang sedang datang. Selamat Natal! ● -
Yang Gelap dan Terang di Hari Natal
Yang Gelap dan Terang di Hari NatalMartin Lukito Sinaga, PENDETA GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN;KINI BEKERJA DI LEMBAGA OIKOUMENE DI GENEVA, SWISSSumber : KOMPAS, 24 Desember 2011Tentulah kita merasa waswas membaca pesan Natal 2011 dari dua lembaga utama Kristiani di Indonesia, PGI dan KWI, sebab judulnya berbunyi ”Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar (Yesaya 9:1a)”.Pasti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tak sedang mendaku sebagai yang terang dan di luar mereka yang gelap. Juga bukan bahasa eksklusif beragama yang kadang-kadang kita dengar dari kaum fundamentalisnya. Tentu bukan pula tentang bertakhtanya kuasa gelap atau yang occult, yang sering menjadi obsesi para penengking roh-roh jahat itu.Kalau acuan Kitab Yesaya dari pesan itu kita selisik, maka kegelapan kala itu berarti suasana mencekam dan linglung akibat ancaman Kerajaan Asyur seputar tahun 700 SM. Lalu penulis kitab itu menubuatkan mesias yang akan datang memberi terang dan jalan baru bagi umat-Nya. Kekristenan yang lahir 800 tahun setelah catatan kitab ini mengulang harapan mesianik tadi dan menunjuk kepada bayi Yesus sebagai terang tersebut.Lantas mengapa PGI dan KWI kini perlu mengulang seruan gelap dan terang itu? Apakah karena keadaan sosial politik kita di Indonesia ini linglung dan gelap berkepanjangan yang membuat seorang pemuda seperti Sondang Hutagalung perlu mencucuh api ke tubuhnya? Apakah karena keadaan serba suram begitu menetap di dalam ekonomi rumah tangga sehari-hari umat sehingga terang sudah sedemikian mendesak agar datang?Yang Gelap dalam HidupNamun, tentulah terang di satu hari Natal takkan bisa menyelesaikan soal yang berat dari negeri ini. Maka, percakapan tentang terang itu bukan tentang mesianisme, bukan bahwa akan ada yang datang serta-merta membebaskan kita dari keadaan linglung di Nusantara ini.Pesan Natal tentang yang gelap dan terang tadi ialah tentang realisme hidup dan secercah harapan untuk mengerjakan yang baik di tengah-tengahnya. Ini seperti jawaban Presiden Obama terhadap pertanyaan wartawan tentang makna agama dan pemikiran Reinhold Niebuhr baginya, yang tersua pada The New York Times terbitan 27 April 2007: ”yang jahat atau gelap sungguh ada dalam kehidupan dan kita harus dengan rendah hati kalau hendak menghadapinya. Namun, tak perlu jadi sinis walau benar bahwa pekerjaan memang sungguh berat. Di sini kita tak perlu berayun pada idealisme naif atau realisme pahit.”Maka, tentang realisme hidup beragamalah yang tampaknya hendak dipesankan kepada kita kini. Terhadap yang gelap—katakanlah tragedi penyakit, bencana tsunami, atau kedurjanaan kekuasaan ekonomi politik—dalam sejarah dan pengalaman harian manusia, agama tak boleh mendaku mampu menyelesaikannya.Pergulatan sungguh-sungguh atas yang gelap dan jahat dalam dunia dari seorang pemikir besar seperti Leibniz turut meneguhkan realisme tadi. Tuhan memberi manusia ”dunia yang terbaik dari yang mungkin ada”, demikian simpulnya di tengah absurditas dan nestapa hidup manusia.Seorang pemikir marxis kontemporer, Eagleton, malah meminjam bahasa agama, yaitu Evil-, untuk menjelaskan tentang kekejian yang tak terperikan dan kopong makna dari yang gelap itu. Ungkapan agama ini menurut Eagleton membantu kita menangkap entah kekelaman batin manusia, entah kedurjanaan politik yang kerap memainkan kuasanya hanya demi kekejaman belaka.Namun, ini juga berarti bahwa yang gelap ada di dalam dan di antara kemanusiaan kita. Maka, program pembangunan atau teriakan revolusi perlu senantiasa menjernihkan batas-batas pencapaiannya.Yang Terang di Hari NatalRealisme beragama dengan demikian membuat kita perlu mengenal batas-batas dari cerita dan ikhtiar termurni iman sehingga ”anak-anak terang”, memakai metafor Niebuhr, jangan jadi naif dan alpa akan kekuatan kepentingan diri yang bekerja dalam sistem sosial-ekonomi sehari-hari manusia.Peristiwa hidup yang tampak gelap ini tak bisa dipaksakan agar menjadi terang atau lebih baik dan adil. Kita yang mencoba bekerja demi sekadar perbaikan sosial masih akan terus menyaksikan beroperasinya ketidakadilan, tetapi juga di sini letak harapan tersebut: menyeruaknya sekadar kesungguhan dan kebaikan dalam hidup.Mengutip Niebuhr, sekali lagi, jelaslah bahwa ”tidak ada yang sungguh berharga yang kita bisa capai dalam hidup, maka kita perlu ditolong oleh adanya harapan. Yang tulus yang kita niatkan tak akan bisa kita tuntaskan sendirian, maka kita perlu ditolong oleh kasih dari orang lain. Dan yang tulus itu pun tak akan sungguh jelas di hadapan orang lain tadi, maka memang kita perlu ditolong oleh adanya pengampunan darinya”.Syukurlah, anak-anak terang tadi antara lain menjelma dalam multitude atau orang ramai dari berbagai kalangan, lintas agama dan kelas sosial, yang saling mendukung kedatangan musim semi di Arab itu.Seruannya akhirnya terdengar realistis: kefaya ’cukuplah sudah’. Seruan ini melintas batas, ia transenden sebab mengundang begitu banyak generasi memasukinya, bahkan kini mengglobal dalam gerakan occupy Wallstreet tersebut.Seruan dan gerakan ini, meminjam perkataan Antonio Negri dan Michael Hardt, bisa melintas batas karena cinta kasih tengah meliputi kerumunan manusia tadi. Bukan cinta kasih yang paternalistik dari atas, tetapi cinta yang tersebar melintas dan berdiam di antara manusia. Dan, kita pun bisa menambahkan di sini, bahwa terang Natal ialah tentang realisme cinta kasih seperti itu. ●