Blog

  • Gerakan Syariah dan Demokrasi

    Gerakan Syariah dan Demokrasi
    Hakimul Ikhwan, DOSEN SOSIOLOGI FISIPOL UGM;
    SEDANG MENYELESAIKAN S-3 SOSIOLOGI DI ESSEX, INGGRIS
    Sumber : KOMPAS, 26 Desember 2011
    Satu dekade lalu, awal 2000-an, lahir banyak produk hukum syariah di sejumlah daerah. Disebut syariah karena merujuk kepada doktrin ajaran dan moralitas Islam.
    Saat itu banyak pihak menentang, mencemaskan, atau menaruh curiga. Perda syariah dianggap membahayakan, setidaknya berpotensi merongrong persatuan nasional Indonesia. Bahkan, di internal Islam sendiri terjadi pertentangan. Pihak yang menolak menilai perda syariah adalah bentuk formalisasi, bahkan politisasi agama. Karena itu, perda syariah dikhawatirkan mereduksi nilai-nilai sakral agama.
    Setelah 10 tahun berlalu, apakah kekhawatiran dan posisi negatif tersebut terjadi? Tulisan ini ingin melihat dimensi sosiologis gerakan atau perda syariah. Dalam perspektif inilah penulis menemukan fakta kontribusi positif gerakan syariah bagi transisi demokrasi Indonesia.
    Ada dua argumentasi utama. Pertama, syariah merupakan alternatif penawar krisis hukum sistemik saat itu. Alternasi tersebut bukan dalam pengertian substitusi formal-legalistik, melainkan diskursus kekuasaan untuk menciptakan referensi (baru) basis tertib sosial dan moralitas.
    Kedua, gerakan syariah mendorong partisipasi politik Islam ideologis sekaligus mengonsolidasi kekuatan masyarakat sipil (non-negara).
    Penawar di Tengah Krisis
    Transisi demokrasi awal tahun 2000-an diwarnai beragam persoalan. Hal yang paling menonjol adalah ketidakmampuan negara menjamin keamanan, ketertiban, dan kepastian hukum.
    Di satu sisi, alat keamanan negara mengalami delegitimasi dan ketakmampuan akibat beban sejarah Orde Baru; juga tuntutan reformasi internal kelembagaan Polri dan TNI. Di sisi lain, kelompok-kelompok sosial menikmati euforia kebebasan berekspresi, berserikat, dan berpendapat. Ruang kebebasan menjadi arena ekspresi beragam kelompok menggunakan standar moralitas masing-masing. Akibatnya, konflik dan ketegangan sosial sering terjadi, bahkan berujung pada anarkisme massa dan premanisme jalanan.
    Di tengah kondisi tersebut, syariah menjadi alternatif, terutama di daerah berpenduduk mayoritas Muslim seperti Cianjur, Bulukumba, Madura, dan Padang. Alternasi bukan dalam pengertian substitusi formal-legalistik, melainkan lebih merupakan konstruksi diskursif sebagai rujukan baru standar moralitas dan tertib sosial.
    Disebut konstruksi diskursif karena sesungguhnya gerakan syariah bersifat parsial dan supervisial. Parsial karena cenderung sangat terbatas di wilayah ritual keagamaan, misalnya shalat berjemaah, membaca Al Quran, dan berbusana muslim/muslimah. Sementara terkait problem kemiskinan, pendidikan, korupsi, toleransi, dan integrasi sosial belum tersentuh. Apalagi isu-isu menyangkut hubungan manusia dengan alam dan lingkungan.
    Karena itu, gerakan syariah masih bersifat supervisial, wilayah permukaan. Gerakan syariah cenderung belum berorientasi jangka panjang penyelesaian masalah sosial ekonomi masyarakat. Sebaliknya, ia masih berorientasi hasil jangka pendek dalam waktu singkat dan terukur.
    Terlepas dari berbagai keterbatasannya, diskursus syariah setidaknya mampu menjadi ikatan moralitas bersama, terutama di daerah berpenduduk mayoritas Muslim. Dalam kondisi krisis, masyarakat membutuhkan sistem nilai yang menjadi pegangan bersama. Krisis sering kali menimbulkan anomi di mana sistem lama tak berlaku lagi, atau terdelegitimasi, sementara sistem baru pengganti belum ada.
    Pertumbuhan pesat perda syariah terjadi dalam periode anomi ini. Dalam konteks inilah inisiasi syariah berjasa menghindarkan masyarakat dari risiko chaos yang lebih besar akibat ketiadaan basis nilai (moralitas) bersama. Argumentasi ini diperkuat fakta: periode ”keemasan” gerakan syariah di daerah-daerah rata-rata hanya 3-5 tahun, kemudian kehilangan pesona dan pengaruhnya di masyarakat.
    Konsolidasi Sosial
    Gerakan syariah di tingkat lokal juga telah jadi momentum konsolidasi demokrasi. Diskursus syariah telah menarik kelompok Islam ideologis untuk masuk ke episentrum dinamika demokrasi lokal. Mereka sebelumnya tereksklusi (excluded) dari aktivisme politik. Mereka adalah eks Masyumi dan Darul Islam serta pengusung ideologi syariah. Selama empat dekade (1950-1990-an) mereka mengalami represivitas militer dan stigmatisasi rezim.
    Selama periode tersebut mereka terpaksa atau dipaksa apolitis. Padahal, untuk membangun demokrasi substantif diperlukan partisipasi aktif semua elemen masyarakat. Dalam konteks inilah diskursus syariah jadi magnet sekaligus ruang partisipasi politik kelompok Islam ideologis. Perkembangan ini tentu saja sangat bermakna bagi peningkatan kualitas demokrasi Indonesia.
    Menarik untuk melihat konsolidasi dan partisipasi politik kelompok Islam ideologis tak hanya terjadi pada periode keemasan gerakan syariah. Untuk kasus Cianjur, misalnya, periode keemasan gerakan syariah terjadi pada 2001-2006 di bawah Bupati Wasidi Swastomo. Pada periode tersebut, gerakan syariah mampu memobilisasi sumber daya manusia dan finansial dalam jumlah besar. Diskursus syariah mewarnai birokrasi pemerintahan, pendidikan, dan pengajaran di sekolah, bahkan acara hajatan perkawinan di masyarakat.
    Setelah 2006, ketika kekuasaan lokal berganti, gereget syariah meredup. Dukungan finansial menipis. Mobilisasi kiai dan ustaz juga berhenti.
    Akan tetapi, hal itu tak serta-merta me-redepolitisasi kelompok Islam ideologis. Konsolidasi gerakan tetap terjaga. Partisipasi substantif dalam proses kebijakan juga secara konsisten tetap dilakukan. Jika sebelum deklarasi gerakan syariah mereka cenderung menarik diri dari aktivisme politik, kini mereka aktif memengaruhi proses kebijakan. Mereka tidak masuk struktur kekuasaan politik, tetapi memiliki medium penyaluran aspirasi politik yang efektif dalam nalar demokrasi lokal.
    Selain itu, kelompok Islam ideologis yang semula sering menggunakan aksi jalanan sebagai media amar makruf nahi mungkar, mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran, kini mulai mengadopsi metode yang lebih elegan. Gerakan moral tak lagi beringas, tetapi damai dan terukur. Tindak kekerasan fisik tidak lagi terjadi, terutama dalam menyikapi praktik immoral seperti judi dan prostitusi.
    Kondisi ini dipengaruhi setidaknya dua hal. Pertama, internalisasi nilai syariah yang damai dan merahmati semua pihak. Kedua, mekanisme demokratis dipercaya membuka ruang posibilitas (kemungkinan) mewujudkan cita-cita perjuangan.
    Dengan demikian, gerakan syariah di banyak daerah telah berkontribusi membangun dan memperkuat demokrasi. Relasi keduanya tidak terjadi dalam pertarungan saling menegasi. Sebaliknya, perlu dipahami dalam bingkai saling mengisi dalam membangun sistem demokrasi.
  • Tahun Intoleransi dan Lilin yang Tetap Menyala

    REFLEKSI AKHIR TAHUN
    Tahun Intoleransi dan Lilin yang Tetap Menyala
    Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 26 Desember 2011
    “Dalam aransemen baru yang menekankan dimensi desentraslisasi dan penghormatan atas HAM ini, kita menyaksikan kegamangan pemerintah, baik pusat atau daerah, dalam menghadapi sejumlah kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras yang memakai “baju agama”. Selain itu, tak mustahil bahwa di dalam birokrasi pemerintah sendiri, ada elemen-elemen tertentu yang boleh jadi menaruh simpati kepada kelompok-kelompok intoleran semacam ini.”
    Situasi ideal dalam kehidupan keagamaan akan terwujud di Indonesia manakala semua golongan dan individu, tanpa terkecuali, menikmati kebebasan untuk memeluk (atau tak memeluk) agama dan keyakinan yang ia percayai.
    Situasi ideal akan terjadi manakala tak ada diskriminasi, apalagi kekerasan, atas golongan atau individu manapun hanya gara-gara kepercayaan dan agama yang ia peluk; atau gara-gara paham dan penafsiran beda yang ia miliki.
    Jaminan atas kebebasan beragama sudah tercantum dalam konstitusi negara kita. Negara tentu berkewajiban untuk memastikan agar jaminan konstitusional bagi kebebasan beragama itu benar-benar bisa dinikmati oleh setiap warga negara.
    Apakah cita-cita ideal itu sudah terpenuhi di negara ini? Jawabannya sangat gamblang: Belum!
    Secara formal, jaminan konstitusional bagi kebebasan beragama memang ada. Tetapi dalam praktek, kita masih melihat banyak insiden kekerasan terhadap kelompok minoritas tertentu yang beragama lain, atau golongan tertentu yang memiliki paham dan tafsiran yang berbeda dengan “sekte” dominan dalam agama tertentu.
    Dalam kenyataan di lapangan, kita masih kerap menyaksikan sejumlah insiden intoleransi. Sepanjang tahun 2011 ini, kita masih melihat serangkaian kekerasan atas sejumlah kelompok minoritas. Pada 6/2/2011, misalnya, terjadi penyerangan atas anggota Ahmadiyah di Cikeusik. Tiga anggota kelompok itu meninggal.
    Pada 9/2/2011, terjadi lagi rencana penyerangan terhadap pemukiman warga Ahmadiyah di desa Cisalada, Bogor. Penyerangan ini masih ada kaitannya dengan penyerangan sebelumnya yang terjadi pada Oktober 2010. Untung saja, aparat keamanan berhasil menggagalkan rencana tersebut.
    Setelah reformasi, kita memang menyaksikan sejumlah penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Jawa Barat dan Mataram. Memang agak aneh, kenapa tiba-tiba masalah Ahmadiyah ini muncul ke permukaan, padahal kelompok ini, sejak sebelum kemerdekaan negeri kita, bisa hidup dengan tenang, tanpa masalah.
    Ketidaksetujuan sebagian besar umat Islam terhadap keyakinan Ahmadiyah, terutama menyangkut doktrin kenabian (nubuwwah), sudah ada sejak kehadiran jemaat Ahmdiyah di Indonesia pada dekade 20an abad yang lampau. Debat antara misionaris Ahmadiyah dengan tokoh-tokoh dari kalangan Islam yang lain sudah kerap terjadi sejak dulu. Debat yang masyhur antara Ahmadiyah dan kalangan yang menentangnya terjadi pada 28-29 September 1933 di sebuah gedung di Gang Kenari, Salemba, Jakarta Pusat.
    Pihak Ahmadiyah diwakili oleh Rahmat Ali (misionaris Ahmadiyah dari India) dan Abubakar Ayyub (murid dari madrasah Thawalib di Sumatera Barat). Sementara pihak yang kontra-Ahmadiyah diwakili oleh Ahmad Hassan, pendiri organisasi Islam yang terkenal, Persatuan Islam (Persis). Debat ini diliput oleh banyak media saat itu, antara lain Sin Po, Pemandangan dan Bintang Timur. Tak ada kekerasan fisik yang terjadi karena perdebatan semacam ini. Tentu saja, debat seperti itu jauh lebih sehat dan mendidik publik ketimbang kekerasan fisik seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
    Kekerasan fisik dan penyerangan terhadap warga Ahmadiyah benar-benar fenomena baru pasca-reformasi. Kemungkinan besar, ini ada kaitannya dengan maraknya “ideologi jihad” yang banyak dikemukakan oleh beberapa kelompok garis keras Islam. Kemunculan ideologi semacam ini menandai fase baru dalam sejarah pergerakan Islam modern, yakni fase di mana kekerasan “dihalalkan”, bahkan terhadap kelompok-kelompok dalam Islam sendiri yang berbeda.
    Sumber utama ideologi jihad modern ini tak pelak lagi adalah dua ideolog terkenal; satu dari Pakistan, yakni Abul A’la al-Maududi; dan satunya lagi dari Mesir, yakni Sayyid Qutb dari gerakan Ikhwanul Muslimin.
    Dengan kemunculan ideologi jihad di arena pergerakan Islam modern ini, suasana menjadi sedikit berbeda. Perdebatan merosot, terutama dengan kelompok-kelompok dalam Islam sendiri yang berbeda seperti Ahmadiyah, digantikan dengan wacana lain, yaitu wacana kekerasan.
    Kasus yang patut mendapatkan perhatian kita dan sangat tragis tentunya adalah sengketa tak berkesudahan di sekitar izin pembangunan gereja GKI Yasmin di Bogor. Ini adalah masalah klasik, yakni soal izin pembangunan gereja. Pada 14 Februari 2008, Walikota Bogor, Diani Budiarto, mencabut izin pembangunan gereja yang sudah dikeluarkan oleh walikota sebelumnya pada 19 Juli 2006 untuk jemaat GKI Yasmin.
    Sebetulnya, hak warga GKI Yasmin untuk membangun gereja di lokasi yang mereka kehendaki saat ini harus dipenuhi oleh pemerintah Kota Bogor, karena sudah ada keputusan Mahkamah Agung yang sudah mengikat pada 9 Desember 2010. Keputusan itu menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Walikota Bogor atas Izin Mendirikan Bangunan (IMB) GKI Yasmin Bogor. Dengan demikian, keputusan Walikota untuk mencabut IMB GKI Yasmin dengan sendirinya batal demi hukum.
    Sementara itu, Ombudsman RI, lembaga yang bertugas mengawasi setiap bentuk maladministrasi dalam pelayanan publik oleh pemerintah,  telah mengeluarkan rekomendasi pada 8 Juli 2011 agar Walikota Bogor mencabut keputusannya berkaitan dengan pencabutan IMB GKI Yasmin.
    Berhadapan dengan keputusan-keputusan yang dengan konsisten menjamin hak warga jemaat GKI Yasmin untuk membangun gereja ini, sikap Walikota tetap tak berubah. Dia tetap tak mau mencabut keputusannya. Di sini, kita sedang menyaksikan suatu praktek pemerintahan (governance) yang janggal, karena pemerintah lokal mengabaikan perintah dari otoritas yang lebih tinggi. Apakah ini ekses “kebablasan” dari otonomi daerah?
    Trend yang sangat menonjol pasca-reformasi adalah maraknya gejala intoleransi terhadap agama lain, atau kelompok yang memiliki tafsir yang berbeda. Beberapa data survey yang diadakan oleh pollster terakhir memang menunjukkan hal ini. Tentu ini adalah kecenderungan yang sama sekali tak positif karena mengganggu upaya membangun kehidupan antar-agama yang harmonis dan damai.
    Insiden kekerasan terhadap kaum minoritas sekarang ini, menurut saya, jelas berkaitan langsung dengan maraknya intoleransi tersebut. Yang amat disesalkan adalah gejala ini muncul pada saat terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam aransemen kelembagaan negara kita sebagai resultante dari reformasi.
    Dalam aransemen baru yang menekankan dimensi desentraslisasi dan penghormatan atas HAM ini, kita menyaksikan kegamangan pemerintah, baik pusat atau daerah, dalam menghadapi sejumlah kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras yang memakai “baju agama”. Selain itu, tak mustahil bahwa di dalam birokrasi pemerintah sendiri, ada elemen-elemen tertentu yang boleh jadi menaruh simpati kepada kelompok-kelompok intoleran semacam ini.
    Di tengah-tengah situasi yang carut-marut seperti ini, kita menyaksikan tahun 2011 sebagai tahun intoleransi dalam kehidupan beragama – tahun di mana terjadi banyak insiden intoleransi, kekerasan, dan penyerangan terhadap golongan minoritas. Sementara itu, pemerintah kurang menampakkan sikap yang tegas terhadap tindakan-tindakan semacam ini.
    Tentu keadaannya tak semuanya gelap. Saya kurang sepakat dengan pihak-pihak yang selalu menguarkan diskursus pesimisme dan “kegelapan” tentang situasi di negeri ini. Di tengah-tengah tahun intoleransi ini, tetap ada lilin yang terus menyala.
    Apa yang saya sebut dengan lilin menyala itu ialah peran media massa kita, baik cetak maupun elektronik, yang dengan cukup baik terus mengungkap kasus-kasus kekerasan dan intoleransi agama ini. Meskipun liputan media kita tentang kasus-kasus intoleransi itu belum sepenuhnya ideal (kadang masih cenderung menekankan aspek “sensasionalitas” ketimbang mendidik publik tentang pentingnya “religious freedom”), kita tetap perlu mengangkat topi kepada media kita yang terus menjalankan fungsi sebagai “watch-dog”, anjing pengawas, untuk setiap insiden kekerasan dan intoleransi agama di negeri ini.
    Lilin-menyala yang lain adalah masyarakat sipil, baik ormas (termasuk ormas Islam) dan LSM, yang tanpa lelah terus menyadarkan masyarakat tentang pentingnya diskursus kebebasan agama. Kita tentu beruntung bahwa setelah reformasi, kekuatan masyarakat sipil kita kian menguat. Meskipun, harus diakui, bahwa kekuatan-kekuatan yang “un-civil” (un-civil society) juga menguat di antara kelompok-kelompok tertentu.
    Kebebasan pers dan masyarakat sipil yang kuat adalah dua elemen penting untuk menjaga agar demokrasi kita tetap “on track” dan setiap penyalahgunaan kekuasaan bisa terus dikontrol dan diluruskan.
    Tahun 2011 adalah tahun intoleransi. Tetapi tahun yang sama juga menyaksikan peran media dan masyarakat sipil yang cukup kuat untuk mengontrol setiap gejala intoleransi itu. Tentu saja kita berharap, tahun-tahun mendatang trend intoleransi ini pelan-pelan menurun, dan pemerintah memiliki sikap yang lebih tegas dan jelas untuk menindak segala bentuk kekerasan dan intoleransi yang mengancam kebebasan beragama di tanah air.
  • Misteri Politik Kaum Menengah Negeri Ini

    Misteri Politik Kaum Menengah Negeri Ini
    Bestian Nainggolan, DIVISI LITBANG KOMPAS
    Sumber : KOMPAS, 26 Desember 2011
    Di tengah situasi politik yang masih saja menyimpan ketidakpuasan, sosok dan peran kelas menengah di negeri ini amat dinantikan. Persoalannya, apakah mereka layak diharapkan menjadi barisan terdepan penjaga demokrasi di negeri ini?
    Mempersoalkan eksistensi kelas menengah di negeri ini seolah menjadi suatu pertanyaan klasik lantaran kerap muncul tanpa berkesudahan. Di manakah kelas menengah kita? Menariknya, keberadaan sosok kaum menengah ini selalu diperdebatkan pada saat tingginya kekhawatiran akan keterpurukan politik bangsa berlanjut.
    Di negeri jiran, seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina, bahkan kawasan Asia Timur 
    pun eksistensi kelas menengah menjadi bahan kajian. Kaum menengah dinilai istimewa lantaran anggapan nilai strategis yang disandang kelompok ini. Semua bermula dari acuan sejarah munculnya istilah kelas menengah. Kemunculan mereka tidak lepas dari revolusi industri di negara-negara Barat. Waktu itu, industrialisasi melahirkan nilai-nilai entrepreneurship yang kian gencar memacu pola kehidupan masyarakat di sana.
    Akibatnya, timbul sekelompok kalangan yang menyandang beberapa kelebihan, antara lain kekuatan dan kemandirian ekonomi, berpendidikan, dan profesional. Berbekal kelebihan semacam itu, tak heran jika salah satu peran mereka adalah kemampuan mengendalikan kesewenang-wenangan kalangan atas alias pemilik modal terhadap buruh.
    Selain itu, mereka juga mampu berperan sebagai jembatan dalam konflik yang terjadi antara kelas atas dan bawah. Keistimewaan semacam ini pula yang menjadikan dasar kerinduan banyak kalangan terhadap peran kaum menengah terhadap problematika politik bangsa seperti saat ini.
    Kontradiksi
    Sayangnya, guratan kesan pesimistis ditujukan kepada kalangan menengah. Tahun 1997, misalnya, sebelum reformasi politik, survei yang dilakukan Litbang Kompas bersama Academia Sinica Taiwan mengurai berbagai kontradiksi kelas menengah di negeri ini. Di satu sisi, kalangan yang disebut sebagai anak kandung kemajuan ekonomi ini tampil sebagai kalangan yang bersikap kritis terhadap situasi yang dihadapinya, termasuk persoalan yang mengungkung negara ini. Namun, di sisi lain, kecenderungan bersikap mendua dan cenderung konservatif terlihat tatkala mereka dihadapkan pada aksi ataupun aktivitas sosial dan politik.
    Sekalipun demikian, tekanan situasi sanggup mengubah segalanya. Reformasi politik pada Mei 1998 pun bergulir. Salah satu ulasannya terkait dengan Revolusi Mei 1998 dalam buku Self-Originated Being (2011), Dedy N Hidayat mengurai keberadaan kalangan menengah yang semula diremehkan dari sisi jumlah dan sikapnya yang mendua ini pada satu titik justru menjadi garda terdepan perubahan tersebut.
    Mereka yang sebelumnya masih lebih menunjukkan perhatian besar pada pertumbuhan ekonomi, dan seiring dengan itu cenderung konservatif dalam menampilkan sikap politik, sontak berubah menjadi kalangan paling progresif dalam sikap dan aksi politik. Menurut dia, fakta demikian menjungkirbalikkan analisis struktural yang cenderung memandang kurang signifikannya peran kelas menengah.
    Saat ini, kecenderungan memandang pesimistis terhadap keberadaan ataupun peran kelas menengah pun mulai tampak. Hasil jajak pendapat seminggu terakhir ini, misalnya, menunjukkan bahwa karakteristik kelompok menegah yang relatif tidak berubah dari masa-masa sebelumnya.
    Di satu sisi, kalangan yang secara langsung menyebutkan dirinya sebagai ”kelas menengah” ini memiliki perhatian yang tergolong sangat tinggi terhadap persoalan di negeri ini. Sebagai gambaran, bagian terbesar dari kalangan ini mengamati terus-menerus hampir setiap hari—baik membaca maupun menonton—berbagai pemberitaan terkait dengan persoalan politik, sosial, ataupun ekonomi. Tidak hanya berhenti sampai di situ, sebagian besar dari mereka pun berupaya mendiskusikan berbagai persoalan yang diamatinya dengan orang lain, baik kepada sesama anggota keluarga, lingkungan tempat tinggal, maupun rekan sekerja.
    Akan tetapi, perhatian kalangan ini terhadap persoalan bangsa tampaknya hanya sebatas itu. Ketika diperluas hingga penyingkapan tinggi-rendahnya derajat partisipasi mereka dalam berbagai aksi sosial maupun politik, justru sebaliknya yang terjadi. Tampak benar kecenderungan untuk menjauh dari berbagai kegiatan kolektif ataupun aksi-aksi konkret sebagai bentuk perhatian terhadap pemecahan persoalan bangsa. Hasil jajak pendapat ini, misalnya, mengungkapkan betapa rendahnya keterlibatan mereka dalam kegiatan keorganisasian sosial hingga politik yang berurusan dengan upaya perbaikan kondisi bangsa.
    Demikian pula terkait dengan beragam aksi yang terkait persoalan sosial politik, dari sekadar aksi protes hingga bentuk yang lebih sistematis, seperti upaya mengajak kalangan lain untuk memboikot ataupun memprotes suatu kebijakan, tidak menjadi suatu pilihan ekspresi bersikap mereka.
    Kalaupun mereka tampak terlibat, lebih menonjol keterlibatan tersebut pada persoalan-persoalan yang secara langsung berdampak terhadap diri mereka, seperti keterlibatan dalam pemecahan persoalan keamanan lingkungan tempat tinggal.
    Ujung Tombak
    Hasil jajak pendapat ini, sebagaimana survei kelas menengah terdahulu, dapat saja 
    menguak berbagai kontradiksi politik kaum menengah. Demikian pula berbagai kontradiksi tersebut dapat saja dipandang secara pesimistis, terutama terkait dengan harapan yang bergantung pada pundak mereka sebagai ujung tombak demokratisasi di negeri ini.
    Akan tetapi, tidak pula selamanya sikap yang seolah pasif ini bersifat kekal. Dalam beberapa kasus, perhatian kalangan menengah dapat saja berubah dari sekadar perhatian pasif menjadi keterlibatan aktif. Merujuk pada upaya kriminalisasi pimpinan KPK beberapa waktu lalu, misalnya, munculnya gerakan dukungan terhadap eksistensi KPK mengindikasikan kelas menengah yang tidak selamanya apatis sekalipun sejauh ini tidak terhindarkan pula bahwa apa yang diekspresikan masih bercorak insidental dan kurang sistematis.
    Terlebih, hadirnya teknologi komunikasi dalam wujud jaringan sosial media kian memungkinkan pengekspresian sikap hingga aksi publik ke dalam bentuk-bentuk yang konkret.
    Namun, saat ini, di tengah menguatnya ketidakpuasan publik sepanjang tahun 2011, berharap kelas menengah mampu menjadi ujung tombak demokrasi tampaknya masih menjadi sebuah misteri.
  • Indonesia Menjadi Tujuan Investasi

    Indonesia Menjadi Tujuan Investasi
    Umar Juoro, EKONOM
    Sumber : REPUBLIKA, 26 Desember 2011
    Sejak krisis ekonomi di AS pada 2008 dan Eropa sekarang ini membuat negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi semakin menarik bagi tujuan investasi. Pada 2011 ini diperkirakan investasi langsung (PMA) mencapai sekitar 13 miliar dolar AS dan investasi portofolio mencapai sekitar 10 miliar dolar.

    Kemungkinan investasi masih tinggi pada tahun depan sekalipun kecenderungan ekonomi dunia melemah. Apalagi, dengan lembaga peringkat Fitch menaikkan peringkat Indonesia ke investment grade, lembaga peringkat lain kemungkinan akan juga mengikutinya.

    Indonesia dipandang menarik sebagai tujuan investasi karena pertumbuhan ekonomi tinggi, stabilitas makro terjaga, serta pasar dalam negeri dan sumber daya alam yang besar. Selain itu, adanya stabilitas politik.

    Aliran modal ke dalam negeri di satu sisi memberikan manfaat, terutama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, utamanya dalam bentuk investasi langsung. Namun, di lain sisi, aliran modal masuk membutuhkan alokasi pada kegiatan yang produktif. Jika tidak, itu hanya akan meningkatkan harga aset. Aliran modal juga membutuhkan sterilisasi oleh Bank Indonesia yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

    Peningkatan investasi membutuhkan kredit dolar di dalam negeri untuk membiayai realisasi investasi tersebut. Misalnya, untuk membiayai pengadaan alat berat di bidang pertambangan. Dalam kondisi sekarang ini, ketersediaan dana dolar di perbankan dalam negeri sangat ketat, terutama juga karena ketatnya dana dolar di tingkat internasional.

    Belum pastinya keadaan ekonomi di Eropa dan AS membuat kemungkinan aliran modal keluar, terutama dalam bentuk portofolio, dapat membuat ketidakstabilan ekonomi. Lembaga keuangan Eropa dan AS mencari imbal hasil yang lebih tinggi, yaitu di negara berkembang. Namun, perbankan di negara maju dituntut untuk menambah modalnya. Dalam keadaan seperti ini, aliran modal masuk dan keluar menjadi rentan.

    Negara lain berusaha membatasi aliran modal ini untuk mencegah terjadinya bubble atau kenaikan harga aset yang berlebihan. Negara-negara seperti Cina, India, Malaysia, dan Thailand menerapkan semacam capital control. Mereka berusaha menghindar dari bubble. Konsekuensinya modal mengalir ke negara lain yang tidak menerapkan capital control, di antaranya Indonesia. Karena itu, Indonesia juga tidak perlu ragu untuk menerapkan kebijakan supaya aliran modal masuk lebih lama tinggal.

    Krisis Eropa dan masih lemahnya perekonomian AS kemungkinan akan menurunkan ekspor, tetapi minat investasi, baik langsung maupun portofolio, ke Indonesia masih tetap tinggi. Jika saja investasi langsung dapat diarahkan pada industri manufaktur, tidak hanya sumber daya alam, akan sejalan dengan transformasi perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Dengan biaya produksi yang terus meningkat di Cina, terbuka kesempatan bagi Indonesia. Tentunya, peningkatan infrastruktur untuk memfasilitasinya yang sering kali dikeluhkan dapat dilakukan.

    Krisis ekonomi dan melemahnya perekonomian negara maju memperkuat terjadinya pergeseran kekuatan ekonomi terutama ke Asia. Pergeseran ini tidak dapat terjadi mendadak, tetapi bertahap dalam jangka panjang. Indonesia merupakan bagian dari pergeseran ini dan semestinya kita dapat memanfaatkannya sebaik-baiknya.

  • Desain Demokrasi dan Indonesia Makin Korup

    CATATAN AKHIR TAHUN 2011
    Desain Demokrasi dan Indonesia Makin Korup
    Khaerudin, WARTAWAN KOMPAS
    Sumber : KOMPAS, 26 Desember 2011
    Wakil Menteri Perdagangan Amerika Serikat Francisco J Sanchez dalam pertemuan Bali Democracy Forum IV yang digelar di Nusa Dua, Bali, 8-9 Desember 2011, menyatakan, untuk membangun sistem demokrasi yang lebih baik, semua negara harus bekerja keras mewujudkan keterbukaan, membasmi korupsi, dan menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Menurut Sanchez, pertumbuhan ekonomi yang sehat dapat mewujudkan politik dan penghargaan terhadap kemanusiaan yang lebih baik.
    Para bapak pendiri bangsa ini sesungguhnya sudah bisa memandang ke depan, kapitalisme ekonomi yang bersanding dengan demokrasi liberal sesungguhnya tak cocok diterapkan di negeri ini.
    Ketika corak kapitalisme ekonomi dibungkus lewat sistem pemerintahan otoriter pada era Orde Baru akhirnya tumbang dan demokrasi menemukan fajar baru di Indonesia, yang kemudian bersanding demokrasi dan ekonomi liberal. Namun, berbeda dengan model yang sama di AS, demokrasi dan ekonomi liberal pascareformasi di Indonesia ini lahir tanpa prasyarat yang memadai.
    Menurut pemikir kenegaraan yang juga pengarang buku Negara Paripurna, Yudi Latif, reformasi yang berarti menata ulang hanya berhenti pada sisi politik. Pasca-1998 menurut Yudi, penerimaan Indonesia atas demokrasi liberal, seperti dipraktikan di Barat, tanpa pernah menjalani uji kepatutan apakah dengan sistem ini rakyat mampu menjadi sejahtera. Demokrasi langsung seperti dipraktikkan dalam pemilu di Indonesia tak pernah diuji apakah bisa membawa kesejahteraan.
    Terbukti demokrasi langsung seperti dalam pemilihan kepala daerah membuat rakyat justru tak berdaya secara politik. Utang politik para kandidat kepada pemodal membuat secara moral mereka bangkrut. Desain institusionalisasi demokrasi di Indonesia yang salah, menurut Yudi, yang kemudian menyuburkan praktik korupsi. Bupati kemudian menggadaikan sumber daya alam daerahnya kepada pemodal yang memberinya kesempatan bertarung. Akibatnya sumber daya alam yang sesungguhnya untuk kemakmuran rakyat di daerah dirampok pemodal yang telah bersekongkol dengan pemodal.
    Menurut Yudi, demokrasi liberal yang mengusung keterpilihan individu mensyaratkan tatanan ekonomi masyarakat yang mapan. Di negara yang menganut sistem ini, seperti AS, calon presiden, seperti Barrack Obama, bisa menolak dana federal dari negara. Pencalonan Obama justru dibiayai oleh rakyat AS. Rakyat berdaya secara politik untuk ikut membiayai partai politik atau kandidat mereka.
    Yudi menuturkan, melihat realitas sosial Indonesia yang sangat majemuk, founding fathers negara ini dengan jelas merumuskan demokrasi yang seharusnya dianut Indonesia terformulasikan dalam keterwakilan politik lewat partai, utusan daerah dan golongan. Formula tiga bangunan keterwakilan ini yang kemudian memastikan, demokrasi di Indonesia melindungi kelompok minoritas. Bagaimana suku-suku terpencil di pedalaman Papua juga bisa merasakan keterwakilannya dalam politik. Bagaimana kelompok penganut kepercayaan yang berbeda dari arus utama punya keterwakilan di parlemen.
    Namun, sayangnya, pasca- 1998, hanya keterwakilan politik yang ditonjolkan. Kontestasi individual seperti dalam demokrasi liberal yang menjadi penting. Belakangan, daerah terwakili melalui Dewan Perwakilan Daerah, tetapi utusan golongan betul-betul dihapus.
    Ini yang sesungguhnya meresahkan. Bila melihat fakta bahwa terjadi banyak sekali sengketa pilkada, seharusnya kita disadarkan bahwa institusionalisasi demokrasi di Indonesia telah gagal. Tribalisme kepada banyak suku terpencil di Indonesia muncul ketika mereka dipaksa mengadopsi pemilihan langsung. Ini yang menjelaskan mengapa pilkada bisa membuat potensi konflik besar terjadi di beberapa daerah di Papua.
    Tak hanya memformulasikan bangunan keterwakilan dalam tiga lapis, politik, daerah dan golongan, bapak pendiri Indonesia, menurut Yudi, juga ikut merumuskan bagaimana konstitusi negara seperti dalam Pasal 18 UUD 1945 yang memberi tempat pada lokalitas dan adat setempat dalam menyusun bentuk pemerintahan daerah. Pemahaman multikulturalisme para pendiri bangsa ini yang kemudian tidak serta-merta Indonesia mengadopsi sistem keterpilihan individu dalam pemilu.
    Dengan demikian, dalam satu sidang Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI ), Sukisman sempat berpidato soal mengapa Presiden Indonesia nantinya dipilih melalui keterwakilan rakyat, tidak lewat pemilihan umum langsung. Yudi menuturkan, saat itu BPUPKI sadar betul bahwa masyarakat Indonesia belum terdidik sehingga presiden diusulkan dipilih melalui MPR. Sekarang, apakah asumsi tersebut bahwa masyarakat Indonesia masih belum terdidik itu masih berlaku atau  tidak.
    Peneliti utama dari Lembaga Survei Indonesia, Saiful Mujani, dalam Mengkonsolidasikan Demokrasi Indonesia, Refleksi Satu Windu Reformasi (2006) menyebutkan, evaluasi positif atau negatif terhadap kinerja lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, DPR atau presiden, dipercaya berakar dalam evaluasi publik atas kinerja ekonomi nasional. Saiful menyoroti, sejak otoritarianisme Soeharto tumbang, masyarakat umumnya tak pernah merasa bahwa keadaan ekonomi lebih baik ketimbang tahun sebelumnya.
    Menurut Saiful, masalah ekonomi berhubungan secara berarti dengan kinerja lembaga- lembaga demokrasi, kepuasan publik atas praktik demokrasi, dan dukungan keyakinan mereka bahwa demokrasi merupakan sistem politik terbaik. Akibatnya, lambatnya pemulihan ekonomi bisa berdampak negatif terhadap kepuasan publik terhadap praktik demokrasi di Indonesia.
    Bila merunut pengalaman di Amerika Latin, suara-suara yang muncul di Indonesia mulai mempertanyakan keberhasilan ekonomi liberal yang dibungkus demokrasi sejak reformasi ini. Tuntutan nasionalisasi perusahaan tambang, seperti Freeport, tak berdiri sendiri dengan kekerasan di Papua. Ada kerinduan bahwa Indonesia seharusnya bisa mengelola sumber daya alamnya sendiri demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Seperti ketika Soekarno berpidato soal pentingnya Indonesia berdikari. Populisme ekonomi yang akhirnya muncul. Tak seperti di Amerika Latin, di Indonesia populisme ekonomi belum menemukan tokohnya.
    Populisme ekonomi bisa dibaca sebagai kemuakan rakyat melihat demokrasi berjalan beriringan dengan praktik korupsi penguasa. Demokrasi yang di Barat berjalan seiring dengan penegakan hukum tak terjadi di Indonesia. Hukum bisa dibeli. Hingga akhirnya, suara publik pun bisa dibeli. Demokrasi di Indonesia kemudian hanya menjadi stempel bagi berlanjutnya praktik korup otoritarianisme pada era sebelumnya. Kali ini lewat selubung hukum dan peraturan perundangan yang dibuat di lembaga perwakilan.
    Tuntutan reformasi agar Indonesia bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme lebih dari satu dekade silam tak juga berhasil. Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya 3,0, yang berarti tetap berada di kelompok negara terkorup. Tahun 2011, Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat ke-100 dari 189 negara yang disurvei untuk menyusun indeks persepsi korupsi.
    Fakta yang mencengangkan, misalnya, wakil rakyat, sebagai bentuk nyata keterwakilan individu dalam sistem politik demokrasi, justru jadi bagian yang korup, membuat demokrasi di Indonesia patut dipertanyakan kembali kemanfaatannya. Kaderisasi di partai politik tak lahir dari regenerasi intelektual, tetapi kekuatan politik uang. Dengan demikian, seperti yang dikatakan Indonesianis dari Northwestern University AS, Jeffrey Winters, pada akhirnya oligarki, sekelompok kecil orang yang memiliki kapital dalam jumlah luar biasa, yang bisa membajak demokrasi di Indonesia.
    Akibatnya, ketika demokrasi terbajak oleh oligarki, institusi hukum sebagai turunannya pun dengan mudah dikendalikan mereka.
  • Konflik Bima akibat Komunikasi Politik Macet

    Konflik Bima akibat Komunikasi Politik Macet
    Honest Dody Molasy, KANDIDAT DOKTOR DI SWINBURNE UNIVERSITY OF TECHNOLOGY, AUSTRALIA; SEDANG MELAKUKAN PENELITIAN DI BIMA, NTB
    Sumber : SUARA MERDEKA, 26 Desember 2011
    Konflik antara masyarakat dan pemerintah tampaknya semakin memanas di pengujung tahun 2011 ini. Baru saja kita dihebohkan dengan konflik Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan, Sabtu pagi (24/12) di Bima, Nusa Tenggara Barat, meledak bentrokan antara masyarakat dan polisi.

    Data jumlah korban pun simpang siur, versi pemerintah sampai Sabtu siang, setidaknya ada dua orang dinyatakan tewas tertembus peluru polisi, sementara versi masyarakat ada 12 korban tewas yang semuanya adalah warga Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima.Selain itu,belasan korban dirawat di sejumlah rumah sakit dan puskesmas di Kabupaten Bima. Kantor Polsek Lambu dan sejumlah kantor pemerintahan juga ikut dirusak massa sebagai aksi balas dendam terhadap aksi polisi yang melakukan penembakan.

    Konflik yang terjadi di Bima ini sebenarnya adalah satu dari sekian banyak kasus pertambangan di Kabupaten Bima. Konflik serupa juga terjadi di pertambangan pasir besi di Kecamatan Wera dan Kecamatan Soromandi, tambang emas di Kecamatan Prado, bahkan di Kota Bima juga terjadi penolakan pertambangan marmer.Meledaknya konflik pertambangan emas di Kecamatan Lambu, Sape, dan Langgudu ini dikhawatirkan akan memunculkan aksi serupa di daerah-daerah rawan konflik lainnya. Konflik ini juga cukup unik.

    Pertama karena terjadi di kantong pendukung bupati terpilih Ferry Zulkarnain ST. Di Kecamatan Lambu misalnya, Bupati Ferry mendapat dukungan lebih dari 70% pada Pilkada 2009 lalu. Belum genap dua tahun pemerintahan Bupati Ferry, warga Kecamatan Lambu menentang kebijakan bupati terpilih. Kedua,dalam sejarah Kesultanan Bima sejak pemerintahan sultan pertama Abdul Kahir (1621), sampai sultan terakhir Sultan Muhammad Shalahudin (1951) penduduk kawasan timur Bima ini adalah pendukung setia kesultanan. Kini saat cucu Sultan Shalahudin mengambil alih kekuasaan sebagai Bupati Bima, muncul aksi kekerasan yang berujung pada bentrok berdarah antara masyarakat dan aparat keamanan.

    Kenapa Terjadi?

    Konflik ini sebenarnya muncul sejak awal 2011 lalu, dipicu oleh kegiatan eksplorasi tambang yang dilakukan PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di sejumlah titik di tiga kecamatan di Kabupaten Bima, yaitu Kecamatan Lambu, Kecamatan Sape, dan Kecamatan Langgudu. Ketiga kecamatan ini terletak di areal perbukitan di ujung timur Pulau Sumbawa, berbatasandenganProvinsiNusa Tenggara Timur (NTT). Kegiatan eksplorasi ini mengganggu aktivitas masyarakat setempat, yang sebagian besar berprofesi sebagai peternak dan petani bawang.

    Kegiatan eksplorasi yang dilakukan PT SMN ini didasarkan pada Surat Keputusan Bupati Bima Nomor 188.45/357 /004/2010 yang intinya memberikan penyesuaian izin usaha pertambangan eksplorasi kepada PT MSN. Munculnya SK Bupati yang kemudian dikenal dengan sebutan SK 188 ini menimbulkan amarah masyarakat karena masyarakat tidak pernah diajak bicara tentang persoalan pertambangan ini.Sejumlah kepala desa juga mengaku tidak tahu tentang munculnya SK 188 ini, bahkan DPRD juga tidak diajak bicara soal penerbitan SK pertambangan ini.

    Di sinilah kemudian muncul gerakan penolakan pertambangan emas di Bima Timur ini. Beberapa kali masyarakat menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan Bupati Bima, Ferry Zulkarnain ST,tetapi pertemuan itu belum juga terwujud. Kejengkelan masyarakat kemudian dilampiaskan dengan membakar Kantor Kecamatan Lambu pada 10 Februari 2011 lalu. Setidaknya ada lima kekhawatiran masyarakat terhadap kegiatan pertambangan emas di wilayah mereka. Pertama, proses pertambangan dikhawatirkan akan merusak ladang dan areal penggembalaan hewan ternak.

    Kedua, lokasi pertambangan berdasarkan peta dalam lampiran SK 188 memasukkan juga areal hutan lindung. Ketiga, lokasi pertambangan juga memasukkan areal permukiman warga.Keempat,di dalam areal pertambangan juga terdapat sejumlah tempat keramat yang sangat dihormati secara adat oleh warga setempat. Kelima, pertambangan juga dikhawatirkan akan merusak mata air dan satu-satunya sungai yang mengairi ladang-ladang masyarakat.

    Komunikasi Politik yang Tidak Jalan

    Tampaknya, pecahnya konflik antara masyarakat dan pemerintah ini sebagai akibat dari macetnya komunikasi politik antara masyarakat dan Bupati. Sejak meletusnya kasus tambang di ujung timur Pulau Sumbawa ini, belum pernah dilakukan komunikasi antara masyarakat dan Bupati Bima. Masing-masing mengklaim dirinya paling benar bersandar pada alasan dan argumentasi sendiri-sendiri.

    Pihak pemerintah mengklaim bahwa tambang akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapat daerah serta diyakini akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Sementara masyarakat merasa dirinya telah ditipu pemerintah daerah karena dalam proses penerbitan SK 188, rakyat sama sekali tidak pernah dilibatkan.DPRD pun tidak berhasil menjembatani aspirasi rakyat. Meskipun konflik sudah berjalan hampir setahun, belum ada pernyataan resmi dari DPRD terkait tuntutan masyarakat ini.

    Tampaknya perlu mediator untuk menjembatani pertikaian antara masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Bima.Setidaknya ada dua alasan kenapa mediator ini diperlukan. Pertama, saat ini terjadi krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan alat-alat pemerintah. Apalagi polisi telah melakukan gerakan represif terhadap aksi demonstrasi masyarakat yang mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka. Kedua, mediator diperlukan untuk menciptakan suasana yang kondusif agar terjadi dialog antara masyarakat dan Bupati Bima.

    Dialog ini adalah cara satu-satunya untuk menyelesaikan konflik pertambangan ini dengan damai.Pendekatan kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan dengan tuntas, bahkan sebaliknya akan memunculkan persoalan baru. Sejumlah tokoh ulama, tokoh adat, dan tokoh sepuh keluarga Istana Bima yang tampaknya masih dihormati dan disegani masyarakat perlu untuk tampil ke depan menjadi mediator dalam menyelesaikan konflik yang cukup rumit ini.

    Munculnya tokoh-tokoh ini diharapkan mampu menata kembali masyarakat yang karut-marut akibat konflik berkepanjangan antara masyarakat dan pemerintah daerah. Sementara proses dialog dan negosiasi sedang dilakukan, polisi dan aparat keamanan diharapkan untuk menahan diri, tidak melakukan kegiatan yang memancing emosi masyarakat.

  • Media dan Konsekuensi Janji

    Media dan Konsekuensi Janji
    Gunawan Witjaksana, DOSEN STIKOM SEMARANG DAN JURUSAN ILMU KOMUNIKASI USM
    Sumber : SUARA MERDEKA, 26 Desember 2011
    KITA tentu ingat pepatah bahwa janji adalah utang. Kita pun tidak asing dengan moto para raja di Jawa yaitu sabda pandita ratu tan kena wola-wali.  Pandangan ilmiah terkait dengan disiplin ilmu public relations pun menyatakan bahwa janji yang pernah diucapkan kelak harus dapat diwujudkan. Bila tidak maka kepercayaan masyarakat terhadap pejabat yang berjanji itu akan berujung pada menurunnya kepercayaan, bahkan antiklimaksnya menjadi antipati terhadap si pengucap janji. Terlebih bila kita kaitkan dengan Teori Penyalahan Individu (Individual Blame Theory), sebuah teori pembangunan liberal yang saat ini lebih dominan kita anut.

    Bila hal itu kita kaitkan dengan janji Abraham Samad, setelah terpilih menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maka apa yang dijanjikannya di depan berbagai media, membawa konsekuensi sangat berat. Keinginannya bersama pimpinan KPK yang lain untuk menuntaskan kasus-kasus besar yang pada periode kepemimpinan sebelumnya belum tersentuh, tentu tidak semudah membalik telapak tangan.

    Berbagai kasus korupsi besar yang secara kasat mata bukan saja murni masalah hukum melainkan sarat nuansa politik, sebelumnya hampir tidak tersentuh dengan alasan klasik: belum cukup bukti. Padahal secara politis DPR sudah menyatakan banyak bukti, misalnya kasus Century. Bahkan BPK menemukan sejumlah transaksi tidak wajar (SM, 24/12/11). Sebagai nakhoda baru KPK tampaknya Abraham Samad telah memperhitungkan kekuatan skuadnya yang secara kolegial diharapkan mendukungnya.

    Persoalannya, apakah aparat di bawahnya, misalnya bagian penyelidikan dan penyidikan siap secara mental menerjemahkan kebijakan itu? Bukankah perlu juga memperhitungkan bahwa penyidik di lembaga itu merupakan pinjaman dari institusi lain, yang secara logika tidak mungkin terlepas penuh dari kepentingan instansi induknya? Bagaimana pula Abraham dan kawan-kawan menghadapi aspirasi, harapan, dan tuntutan masyarakat yang makin meningkat terkait dengan pengeksposan janji di depan berbagai media?

    Interaksi Para Rasional

    Abraham Samad, doktor Ilmu Hukum yang sebelumnya belum banyak dikenal masyarakat ketimbang nama lain seperti Busyro Muqoddas atau Bambang Widjojanto secara tiba-tiba menjadi sangat terkenal bahkan akrab dengan masyarakat.

    Hal itu tak lain dampak dari kemampuan media massa sebagai media interaksi para rasional.

    Dengan kemampuannya itu, media massa seolah-olah mampu membuat orang yang semula tidak saling kenal (misal Abraham dengan mayoritas masyarakat ), bisa berinteraksi sekaligus berkomunikasi. Melalui cara itu pula maka janji Abraham yang relevan dengan keresahan dan tuntutan masyarakat terkait dengan pemberantasan korupsi, terasa lebih mengakrabkan keduanya.

    Namun di balik sisi positifnya, masyarakat yang seolah menganggap Abraham sebagai teman yang berjanji memenuhi keinginannya, menjadikannya sebagai fokus perhatian, dan masyarakat pun tentu memperhatikan dengan seksama kinerja Abraham apakah sesuai dengan janji yang pernah diucapkannya.

    Kesan akrab dan janji yang selalu dinantikan perwujudannya oleh masyarakat tentu menjadi beban berat bagi Abraham dan pimpinan lain KPK. Terlebih, ia berjanji mengundurkan diri  bila dalam setahun belum mampu memenuhi janji yang diucapkan di depan media massa

    Karena itu, Abraham Samad dan pimpinan lain KPK perlu memprioritaskan pembenahan aparatnya, utamanya merevitalisasi komitmen mereka untuk bekerja hanya semata demi kebenaran dan keadilan, dan bukan demi hal lainnya yang akhir-akhir ini dikesankan terhadap KPK, hingga menurunkan kredibilitasnya di mata sebagian masyarakat.

    Memang pimpinan KPK dan jajarannya tetaplah manusia sehingga sangat sulit menjadikannya sebagai manusia setengah dewa. Namun bila mereka bisa mewujudkan janjinya dalam  menegakkan hukum yang berkeadilan sekaligus mencegah kerugian negara serta mengembalikannya maka kesan tebang pilih seperti dituduhkan saat ini bisa dihilangkan. Demikian pula pencampuradukkan masalah pribadi dengan tugas seperti terjadi pada Angelina Sondakh dengan penyidiknya, yang anggota Polri. Meski hal itu manusiawi, mestinya dari awal pimpinan KPK bisa mencegahnya.

    Ke depan, Abraham Samad dan pimpinan lain KPK harus selalu ingat bahwa media sesuai dengan fungsi mediasi dan advokasi yang diembannya akan terus mengamati kinerja lembaga itu. Karena itu, lembaga antikorupsi tersebut tidak mungkin menggunakan model seolah-olah telah bekerja dengan baik berdasarkan persepsinya yang mereka lontarkan melalui media, padahal masyarakat baik melalui media maupun diperkuat oleh fakta, merasakan bahwa KPK ”belum melakukan” apapun.
  • Perda Antirokok Nirkeadilan

    Perda Antirokok Nirkeadilan
    Gugun El Guyanie, STAF PENELITI PADA PUSAT KAJIAN KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UGM YOGYAKARTA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 26 Desember 2011
    ADA pendapat yang menyatakan bahwa produktivitas sebuah pemerintahan di daerah yang diselenggarakan oleh eksekutif dan dan DPRD diukur dari berapa banyak produk hukum berupa perda yang dihasilkan. Jelas ini pendapat yang menyesatkan karena belum tentu produk legislasi daerah yang disebut perda itu bermanfaat untuk kepentingan umum.  

    Maka banyaknya perda antirokok saat ini justru merusak cita-cita masyarakat lokal untuk menikmati kesejahteraan secara adil dan merata. Perda antirokok itu di antaranya telah berlaku di Kota Bogor (Perda Nomor 12 Tahun 2009), Kota Surabaya (Perda Nomor 5 Tahun 2008), Kota Padang Panjang (Perda Nomor 8 Tahun 2009),  Kota Palembang (Perda Nomor 7 Tahun 2009), Kota Tangerang (Perda Nomor 5 Tahun 2010), Kota Bandung (Perda Nomor 11 Tahun 2005). Yang lain ada yang berbentuk pergub, perwali/ perbup, atau surat edaran.

    Dalam konstitusi (Pasal 18 Ayat 6) pemda berhak menetapkan perda dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi daerah memiliki makna bahwa hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Artinya apa? Spirit konstitusi memberikan kebebasan mengatur sendiri daerahnya adalah dalam rangka mewujudkan masyarakat lokal yang berdaulat. Sesuai dengan potensi daerah, kearifan lokal masing-masing, tidak didikte, diintervensi oleh pusat, apalagi ditunggangi kepentingan asing.

    Berkaitan dengan perda-perda antirokok, apa yang terjadi? Justru perda antirokok di beberapa daerah merupakan wujud penyeragaman, tidak memperhatikan ciri khas masing-masing daerah sebagaimana diatur Pasal 136 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ini bermakna bahwa regulasi di daerah, baik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi adalah pesanan pemerintah pusat, dan pusat adalah pesanan dari imperialis asing. Masyarakat lokal memiliki nilai kearifan, ideologi kebudayaan, dan cara pandang tersendiri tentang rokok keretek dan tembakau. Maka jangan ada peraturan atas nama wakil rakyat yang menyeragamkan pandangan hidup mereka. Lantas dimana spirit otonomi untuk membangun masyarakat lokal yang mandiri dan berdaulat penuh?

    Simbol Kedaulatan

    Dari sisi filosofis, perda antirokok jelas tidak mendasarkan pada asas materi muatan perda; seperti asas pengayoman, kenusantaraan, asas Bhinneka Tunggal Ika, dan asas keadilan. Perda-perda tersebut tidak memberikan pengayoman terhadap petani tembakau di lereng-lereng bukit, tidak melindungi nasib pedagang rokok asongan, juga buruh pabrik yang nasibnya tak menentu. Filosofi kenusantaraan juga pasti tidak dijadikan sandaran. Bagaimana mungkin mengakui kenusantaraan, jika yang terjadi malah mengkriminalisasi produk rokok keretek yang telah menjadi simbol Nusantara yang menyejarah, menjadi kebanggaan produk Nusantara yang mendunia. Siapapun akan mengakui bahwa tembakau kretek rokok adalah simbol nasionalisme, bukan barang haram yang harus dimusnahkan.

    Di sinilah juga rokok keretek dan tembakau menjadi simbol kedaulatan rakyat pribumi. Kedaulatan, bagi Prof Jimly Asshiddiqie adalah konsep kekuasaan tertinggi.

    Dalam konteks rokok keretek dan tembakau, kekuasaan tertinggi sejak berabad-abad, bahkan sebelum berdirinya NKRI, rakyatlah yang memegang kendalinya. Mulai dari kemandirian petani tembakau menyediakan bibit, pupuk, hingga panen, penjualan.

    Diteruskan dalam industri-industri kretek lokal yang bermodal pas-pasan, diolah oleh buruh rumahan, dijual eceran oleh pedagang kecil, dikonsumsi menjadi simbol kultural Nusantara yang membanggakan. Benar-benar terintegrasi.
    Walaupun negara tak pernah memikirkan subsidi pupuk untuk petani tembakau, tak pernah juga mencairkan kredit untuk modal industri rokok rumahan; cukai rokok yang menyumbang triliunan rupiah buat negara, selalu dikeruk tak kenal henti.

    Bandingkan dengan pertambangan yang justru sudah digadaikan dan dikangkangi oleh pemodal asing yang tak manusiawi.
    Maka wajar saja jika implementasi dari perda antirokok sudah gagal duluan di tengah jalan. Lagi-lagi karena faktor pembentukan perda yang sekadar menerima pesanan asing, asal ada kucuran miliaran rupiah. Tidak ada riset dalam law making process (Ann Seidman dan Robert Seidmann); terutama terhadap biaya penerapan dan kemungkinan dampak penerapannya. Jelas perda antirokok menjadi kontraproduktif ketika menghitung biaya untuk menegakkan regulasinya dengan hasil yang ditargetkan.  

    Lantas buat apa mematuhi regulasi yang melumpuhkan kedaulatan ekonomi rakyat? Jika jalur yuridis konstitusional sudah tak menyediakan ruang untuk mendapatkan keadilan, mengapa tak segera ada civil disobedience atau pembangkangan sipil?

  • Pabrik Semen Vs Bencana

    Pabrik Semen Vs Bencana
    Richo Andi Wibowo, DOSEN ILMU HUKUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK FAKULTAS HUKUM UGM
    Sumber : SUARA MERDEKA, 26 Desember 2011
    TIDAK bisa membangun pabrik semen di Pati, PT Semen Gresik berniat mengalihkan pembangunan pabriknya ke Rembang. Pemkab bergegas menyambut positif gagasan tersebut (SM, 04/12/11). Penting mengulas rencana pendirian (kembali) pabrik semen mengingat hingga saat ini Mahkamah Agung belum memberikan putusan apa pun atas gugatan uji materi Perda Provinsi Jateng Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

    Padahal perda tersebut merupakan payung hukum atas cetak biru boleh tidaknya suatu daerah digunakan sebagai kawasan pertambangan. Sekadar menyegarkan memori pembaca, perda tersebut digugat awal 2011 karena dalam pembentukannya dianggap tidak mendasarkan pada kajian lingkungan hidup, hasil konsultasi publik, serta mengabaikan sejumlah peraturan seperti UU tentang Penataan Ruang dan UU mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup.

    Rencana pembangunan pabrik semen akan selalu menghadirkan posisi yang dilematis pada pemerintah daerah. Di satu sisi, pemda mengharapkan bahwa dengan adanya investasi langsung maka akan terjadi efek berganda (multiplier effect) yang dapat cepat menggerakkan perekonomian daerah.

    Di sisi lain, pendirian pabrik semen merupakan awal dari aktivitas pertambangan; aktivitas yang dianggap mengancam kelestarian lingkungan dan dapat mengakibatkan bencana. Akibatnya, banyak masyarakat menolak. Pertanyaannya adalah bagaimana pemda sebaiknya bersikap atas rencana pembangunan pabrik itu?

    Pertemuan pemimpin dunia pada forum Disaster Risk Reduction- Hyogo Framework for Action menghasilkan keputusan penting yang mengingatkan masyarakat internasional bahwa bencana dapat memorakporandakan hasil dari pembangunan, namun di sisi lain pembangunan juga dapat memproduksi terjadinya bencana (Jonatan Lassa, 2006).

    Jadi dapat disarikan suatu pedoman untuk pemerintah bahwa kebijakan pembangunan yang benar adalah pembangunan yang dapat menekan risiko bencana. Sesungguhnya, pemerintah tidak perlu khawatir untuk mengambil sikap ini karena kebijakan tersebut justru akan memberikan kemanfaatan yang optimal.

    Biasanya, guna mengundang investasi masuk ke wilayahnya, pemerintah menurunkan kualitas peraturan, terutama yang terkait dengan penurunan pajak dan penurunan syarat menjaga kelestarian lingungan. Namun, aturan menjaga kualitas lingkunganlah yang kerap dipilih. Hal ini karena ajak dianggap diperlukan guna pemasukan kas pemerintah.

    Format Masa Depan

    Padahal, penelitian yang dilakukan oleh Oates dan Schwab membuktikan bahwa daerah-daerah yang menurunkan aturan lingkungan guna menarik investasi justru akan mengalami kerugian yang lebih besar daripada keuntungan investasi yang didapatkan. Hal ini karena kerusakan pada lingkungan hidup akan menimbulkan biaya yang besar yang bersifat tidak terduga sebelumnya.

    Kerusakan lingkungan yang terjadi pun, tidak dapat segera pulih. Akibatnya hal itu dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat dalam jangka panjang. Padahal aspek kesehatan akan mempengaruhi produktivitas kerja masyarakat, yang akhirnya dapat mempengaruhi perekonomian wilayah tersebut (Journal of Public Economics, 1988).

    Berdasarkan hal itu maka pemda terkait perlu menelaah secara mendalam atas kebijakan pembangunan yang akan dipilih, termasuk untuk pro atau kontra atas rencana pendirian pabrik semen. Pilihan kebijakan yang diambil haruslah mendasarkan pada kajian lingkungan hidup yang bersifat objektif serta perlu memperhatikan aspirasi dari masyarakat.

    Perlu diingat bahwa secara filosofis masyarakat tunduk pada aturan hukum karena substansi yang terdapat dalam aturan tersebut berasal dari perasaan hukum sebagian besar anggota masyarakat. (Rasjidi dan Rasjidi, 2007). Dengan demikian, jika pemerintah melalaikan poin-poin itu maka kebijakannya tidak akan mendapat legitimasi dari masyarakat.

    Akibatnya, pemerintah hanya akan menghadapi permasalahan yang sama: kebijakan yang diambil akan kembali digugat oleh masyarakat.
  • Sepak Bola Ken Arok

    Sepak Bola Ken Arok
    Amir Machmud NS, WARTAWAN SUARA MERDEKA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 26 Desember 2011
    KUTUKANEmpu Gandring lewat keris bergagang cangkring sebagai realitas buram perjalanan sejarah Singasari, rupanya juga terefleksi menjadi ”kutukan aktual” bagi sepak bola Indonesia, seperti halnya lanskap ambisi Ken Arok yang bertabur daki kekuasaan, cara meraih kemuliaan, dan pendakuan hak.

    Keris itu memakan penciptanya sendiri karena Arok ingin memutus hulu mata rantai pergerakan ambisinya, lalu menghabisi Akuwu Tunggul Ametung sebagai target utama. Namun spiral kutukan memakan pula Arok saat sudah bergelar Sri Rajasa Ranggah Sang Amurwabhumi lewat tangan seorang pengalasan yang akhirnya tewas oleh keris yang sama.

    Lalu episode saling menjegal: Anusapati tewas di tangan Tohjaya, giliran putra Ken Arok dari Ken Umang itu ditikam dalam pelarian karena pengejaran para pembalas dendam. Sampai di sini, keris haus darah itu ”mengikuti” mekanisme aksi-reaksi, respons-merespons yang sulit menemukan hilir peredaan.
    Maka ketika Ketua Indonesia Football Watch Sumaryoto menganalogikan PSSI ”terkena kutukan keris Empu Gandring”, metafora tentang tikam-menikam dan jatuh-menjatuhkan itu nyata tergambarkan dari sepak bola yang bertanah lapang kekuasaan, bisnis, dan politik menjelang 2014.

    VANDALISME, yang biasanya ditakutkan dari suporter sepak bola, secara sistemik kini justru dilakukan oleh orang-orang yang merasa berhak mengendalikan persepakbolaan nasional. Sistem dihantam dengan pendekatan kekuasaan, berbagai keputusan dijustifikasi dengan mengklaim kebenaran. Pengkubuan antara yang di dalam sistem dan di luar sistem –antara kompetisi di jalur Indonesia Premier League dan Indonesia Super League– mengetengahkan atmosfer yang tak berbeda dari model perlawanan pada era Nurdin Halid.
    Sedemikian pentingkah menguasai induk organisasi sepak bola itu, sehingga seolah-olah menafikan apa pun untuk menjadi pengendali yang menentukan semua?

    Sedemikian kuatkah tuah sepak bola sebagai pengantar orang atau sekelompok orang meraih popularitas ke tujuan kemuliaan?
    Sedemikian berprospekkah industri kompetisi kita, sehingga secara bisnis pantas diperebutkan?
    Sedemikian strategiskah PSSI sebagai penggalang massa bagi kepentingan-kepentingan kontestasi politik 2014 nanti?

    Jika pertanyaan-pertanyaan itu kita pahami sebagai latar mengapa organisasi sepak bola kita diperebutkan orang dan kelompoknya, sulit membayangkan akan adakah solusi yang mampu mementahkan ”kutukan Empu Gandring” itu.
    Rezim Nurdin Halid dijatuhkan, kekuasaan Djohar Arifin Husin digoyang. Jika Kongres Luar Biasa PSSI bisa terselenggara dan Djohar pun  ”di-skak mat”, adakah jaminan siapa pun yang nanti terpilih tidak juga terancam oleh ”keris milik Ken Arok” itu? Budaya tanding akan selalu muncul seiring dengan semangat pendakuan hak yang mengikuti rezim demi rezim.

    Awam pun membaca, kristal pengkubuan itu merepresentasikan dua kekuatan politik besar. Antara kubu Kuningan (Nirwan Bakrie) dan Jenggala (Arifin Panigoro), yang dalam polarisasi pendukungan merefleksikan kekuatan Partai Golkar dan Partai Demokrat.

    Jadi tegakah kita membiarkan sepak bola dijadikan permainan kepentingan, yang hanya meminggirkan peran para pemilik dan pelaku sejati: penggemar bola, pemain, pelatih, wasit, serta para pengabdi yang sesungguhnya?
    Dari kegelisahan itu, kehendak KLB vis a vis defensivitas status quo dengan semua pernik yang melatari pertikaian ini harus segera terbaca oleh FIFA dengan kacamata jernih dari investigasi aktif.

    KEHENDAK saling menguasai PSSI, dengan konstelasi demikian, rasanya sulit menggugah nurani rekonsiliasi. Semangat ”keris Empu Gandring” lebih menghegemoni. Padahal, akan banyak korban ketika satu pihak mendelegitimasi pihak lain dengan segala dampaknya.

    Kepada siapa harapan peredaan disampirkan? Jika FIFA hanya menunggu insiatif penyelesaian dari kubu-kubu yang merasa punya keyakinan dan argumentasi karena latar politik yang lebih mendesakkan kepentingan, konflik akan terus menganga dalam format ”legitimasi formal” vs ”legitimasi faktual”.

    Pastilah pemerintah canggung memainkan perannya secara berwibawa, karena para elite kekuasaan tak terhindar pula dari keberpihakan politis. Dari hulu persoalannya, sejarah juga mencatat keterlibatan pemerintah ketika ”memesan keris” lewat Kongres Sepak Bola Nasional di Malang pada 2009 sebagai pengibas bendera start kemelut panjang ini.
    FIFA mesti mengirim tim untuk melihat fakta-fakta, bukan hanya laporan secara de jure dari pengurus.

    Namun jika FIFA memandang PSSI sekadar sebagai noktah kecil yang tak terlalu penting dalam orbit kekuasaan mereka, atau merasa hanya membuang waktu untuk turun tangan membangun stabilitas sepak bola di negeri ini, itulah tanda fenomena saling tikam bakal terus terpelihara.
    Sulit untuk tidak mengatakan, jalan politik telah sedemikian tega mengolengkan bahtera sepak bola kita…