Blog

  • Pola Penularan Korupsi

    Pola Penularan Korupsi
    Haryatmoko, DOSEN DI PASCASARJANA FIB UI DAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
    Sumber : KOMPAS, 27 Desember 2011
    Rekening gendut PNS muda membuat terkesima masyarakat. Banalitas korupsi (korupsi sudah jadi hal yang biasa) menjelaskan mengapa masih muda sudah korup.
    Banalitas itu adalah indikator korupsi sudah jadi kejahatan struktural. Ciri struktural kejahatan korupsi ini memudahkan penularannya ke generasi muda. Korupsi telah begitu mengakar sampai membentuk struktur kejahatan, yaitu ”faktor negatif yang terpatri dalam institusi-institusi masyarakat yang bekerja melawan kesejahteraan bersama” (Sesboüé, 1988).
    Akibatnya, orang muda yang meniti karier dalam organisasi pelayanan publik mudah terjebak masuk ke jalur rentan korupsi tanpa perlawanan nurani. Struktur dasar masyarakat sudah dibusukkan. Pembusukan lembaga sosial, padahal berperan mendefinisikan hak dan kewajiban warga negara, jadi sumber kepincangan dan ketidakadilan. Jadi, korupsi kian memperparah kemiskinan, bahkan—karena sistematis—sudah seperti mafia.
    Mafia dan Komunikasi Kekuasaan
    Munculnya organisasi mafia menunjukkan gejala krisis institusional negara di mana ketidakadilan lebih dominan daripada keadilan; korupsi merajalela sampai mengaburkan batas yang boleh dan dilarang, yang legal dan ilegal, pelanggaran dan norma (Ayissi, 2008). Korupsi kartel- elite merupakan korupsi berbentuk mafia. Banyak tokoh muda sudah terlibat dan berperan dalam korupsi ini. Pendorong utama korupsi jenis ini: pendanaan parpol!
    Korupsi ini melibatkan jaringan parpol, pengusaha, penegak hukum, dan birokrat karena parpol tidak mengakar, tapi lebih mewakili kepentingan elite; sistem peradilan korup; birokrasi rentan korupsi. Situasi ini membuat politik penuh risiko dan ketidakpastian (Johnston, 2005: 89-90). Korupsi jenis ini adalah cara elite menggalang dukungan politik dari masyarakat, lembaga legislatif, penegak hukum, dan birokrasi (Lordon, 2008: 10). Jadi, korupsi telah menjadi kejahatan yang mengakar dan habitus buruk bangsa.
    Habitus dipahami sebagai hasil keterampilan yang jadi tindakan praktis yang tak selalu harus disadari. Tindakan praktis itu menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Bourdieu, 1994: 16-17). Habitus korupsi ditularkan tanpa harus melalui bahasa langsung atau disadari, tapi melalui ajakan yang terpatri pada praktik yang biasa sekali.
    Modalitas praktiknya tampak dalam (i) cara membuat laporan; (ii) cara berinteraksi dengan atasan atau dengan instansi lain; (iii) dalam kontrak/tender; (iv) cara membuat anggaran; (v) cara mendapat jabatan, penempatan anak buah, penerimaan anggota baru; (vi) syarat urusan bisa beres. Suap ke birokrat tak memecahkan masalah kemacetan administrasi, tetapi justru memberitahukan kepada pejabat lain mereka bisa memperoleh uang dengan memperlambat prosedur administrasi. Korupsi mengomunikasikan praktik pelaksanaan kekuasaan.
    Modalitas itu sulit ditolak karena cukup tersembunyi dan sengaja dibuat untuk tak meninggalkan jejak (tak ada kuitansi, menghindari transaksi lewat bank, tak ada perjanjian tertulis), tapi bisa dirasakan ada yang tak beres. Di balik praktik korupsi tersembunyi kode rahasia. Kerahasiaan ini hanya akan tersingkap apabila terjadi krisis hubungan di antara yang terlibat.
    Ketika Nazaruddin merasa dikorbankan, ia membuka rahasia jaringan, tetapi rantai terputus. Yang terjadi justru desolidarisasi terhadap kambing hitam dan penggalangan solidaritas untuk melindungi tokoh-tokoh kunci karena merupakan simbol kohesi sosial partai. Korupsi sudah jadi tindakan praktis yang tak menumbuhkan rasa salah. Maka, setiap orang yang masuk ke struktur kekuasaan cenderung korupsi. Tak aneh apabila orang muda PNS sudah mempunyai rekening gendut.
    ”Agentic Shift” dan Meniru
    Banalitas korupsi membuat koruptor mencari alibi tanggung jawab. Bentuk alibi tanggung jawab disebut S Milgram sebagai agentic shift. Hal ini terjadi ketika orang menimpakan tanggung jawab kepada pihak lain yang dianggap lebih penting, seperti atasan, organisasi, agama, Tuhan (Dobel, 1999: 30). Bersembunyi di balik perintah atasan atau kepentingan organisasi/kelompok jadi pola pengalihan tanggung jawab. Kelompok sering makin memperparah kecenderungan alibi tanggung jawab ini karena kelompok melebih-lebihkan distorsi informasi, sekaligus memberikan sumber rasa nyaman atau simpati sehingga semakin meneguhkan pejabat publik seakan korupsi bisa dibenarkan.
    Upaya mengelak dari tanggung jawab membungkam kemampuan pertimbangan moral. Akibatnya, koruptor tidak merasa bersalah karena biasanya korbannya. Mekanisme silih sering dipakai untuk mengurangi rasa salah. Sebagian uang disumbangkan untuk rumah ibadah, lembaga agama, atau bentuk kesalehan lain. Upaya ini untuk menghindari rasa salah moral, setelah secara hukum bisa lepas dari sanksi berkat impunitas.
    Jaringan korupsi terbentuk mengikuti pola sistem isolasi sesuai model pembagian kerja. Maka, koordinasi tetap efektif dan kerahasiaan terjaga. Strategi ini memungkinkan memutus rantai sehingga jaringan tak mudah terbongkar. Hanya oknum yang terkena. 
    Kasus Nazaruddin contoh nyata bagaimana penegak hukum tak mampu membongkar jaringan korupsi. Negara yang secara institusional sarat korupsi mengondisikan munculnya bentuk-bentuk kriminalitas lain dan membangun pola reproduksi kejahatan korupsi. Efek peniruan korupsi merasuk ke generasi muda. PNS muda sudah biasa membuat proposal dengan penggelembungan angka atau menerima gratifikasi tanpa rasa salah. Semua seakan sah.
    Pengakuan legitimitas itu terpatri pada praktik sosial sehingga membentuk kecenderungan yang sama pada hampir setiap warga negara. Kejahatan korupsi biasanya ditanamkan lewat proses mimesis (meniru). Apabila ada upaya melawan atau bersikap jujur, lingkungan memberi sanksi. Akhirnya, kepatuhan tanpa tekanan akan mengikuti karena menyesuaikan diri menjanjikan keuntungan materi dan simbolis atau promosi jabatan.
  • Menyikapi Kepemilikan Media

    Menyikapi Kepemilikan Media
    Sabam Leo Batubara, ANGGOTA TIM PERANCANG AWAL RUU PENYIARAN 1999, 2000
    Sumber : KOMPAS, 27 Desember 2011
    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Penyiaran mendapat ujian. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
    Mereka tergabung dalam Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP). Para pengaju uji materi ini berpendapat bahwa penyiaran merupakan suatu media yang menggunakan ranah publik, yaitu frekuensi, yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Namun, pada praktiknya para pemimpin media penyiaran kerap memperjualbelikan frekuensi penyiaran dan menciptakan pemusatan kepemilikan media penyiaran.
    Menurut Koordinator KIDP Eko Maryadi, Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Komisi Penyiaran Indonesia selama ini membiarkan pelanggaran tersebut.
    Pemusatan Kepemilikan
    Apakah pemusatan kepemilikan atau konglomerasi media salah? Apa alat ukurnya?
    Awal tahun 2000-an saya— sebagai Ketua Pelaksana Harian Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS)—dan pengurus lain diundang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ke kantornya di Jakarta. KPPU meminta pendapat SPS, apakah harian Kompas dapat dinilai telah mempraktikkan monopoli dan grup Jawa Pos telah memusatkan kepemilikan media yang tidak sehat?
    Pengurus SPS menilai, media-media tersebut jauh dari praktik monopoli. Alasannya, Kompas baru bertiras sekitar 500.000 eksemplar, baru 10,2 persen dari jumlah tiras surat kabar harian nasional sebesar 4,9 juta eksemplar. Tiras lima puluhan surat kabar harian yang tergabung dalam grup Jawa Pos ditaksir satu juta eksemplar, yakni 20,4 persen dari jumlah seluruh tiras surat kabar harian.
    Penilaian itu berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang menyebutkan bahwa praktik monopoli baru terjadi jika melebihi batasan Pasal 27 Huruf a: ”Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”. Pasal 27b: ”dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”.
    Sejak sembilan tahun lalu UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran berlaku. UU itu berparadigma demokratisasi penyiaran dan demokrasi ekonomi. Artinya, industri penyiaran dari segi idiil harus diselenggarakan berdasarkan keanekaan kepemilikan dan isi serta untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
    Pertanyaannya, benarkah sudah ada sejumlah pelaku industri penyiaran yang melanggar landasan yuridis itu? Fakta-fakta menunjukkan bahwa tuduhan ini masih tanpa bukti dan pendapat tentang pemusatan kepemilikan media belum tentu benar.
    Untuk mengamankan terwujudnya demokrasi ekonomi dan demokratisasi penyiaran, pertama, UU Penyiaran Pasal 34 Ayat 4 melarang pemindahtanganan izin penyelenggaraan penyiaran.
    Menurut sejumlah kalangan, sejumlah pelaku usaha penyiaran televisi telah melakukan jual-beli frekuensi penyiaran. Kalau bukti-buktinya ada, mengapa pelanggarnya tidak diajukan ke jalur hukum? Ketentuan pidana Pasal 58 UU Penyiaran dapat memidana-penjarakan sampai dua tahun dan/atau denda sampai Rp 5 miliar.
    Kedua, UU Penyiaran Pasal 18 Ayat 1 jelas membolehkan pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta, tetapi dibatasi. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (22 Juli 2004), hanya pemerintah yang berwenang membuat peraturan tentang batasan itu. Jika rumusan peraturan pemerintah tentang batasan itu salah, mestinya permasalahan diajukan ke Mahkamah Agung.
    Tidak Hanya di Indonesia
    Ketentuan UU Penyiaran bahwa pemusatan kepemilikan media dibolehkan tetapi dibatasi juga dianut oleh UU penyiaran negara-negara demokrasi lainnya, seperti AS dan Australia. Bedanya, batasan pemusatan kepemilikan industri penyiaran di Indonesia diatur oleh peraturan pemerintah, di AS oleh Komisi Penyiaran AS, di Australia masuk UU Penyiaran.
    Kemudian, penentu kebijakan nasional, pelaku usaha, dan pemerhati industri penyiaran kita juga perlu memahami prinsip ekonomi media yang berlaku dalam bisnis media penyiaran. Sehat tidaknya bisnis penyiaran televisi bergantung pada daya dukung ekonomi yang tersedia.
    Berdasarkan daya dukung ekonomi, di Australia hanya tiga TV komersial yang bersiar nasional, yakni Channel 7, Channel 9, dan Channel 10. Selebihnya adalah lembaga penyiaran swasta lokal, publik, berlangganan, dan komunitas. Di AS pun hanya tiga stasiun televisi bersiar nasional, yaitu American Broadcasting Company (ABC), National Broadcasting Company (NBC), dan Columbia Broadcasting System (CBS).
    Daya dukung ekonomi Indonesia tidak lebih baik dibandingkan Australia dan AS. Berdasarkan kondisi itu, Indonesia diperkirakan paling hanya mampu menghidupi tiga TV komersial bersiar nasional yang sehat idiil dan bisnis. Sekarang di Jakarta terkonsentrasi paling tidak 10 TV komersial yang memilih segmen nasional. Untuk meraih posisi tiga stasiun TV yang sehat—menurut hemat saya—pelaku usaha media penyiaran televisi boleh saja melakukan upaya pemusatan kepemilikan sesuai batasan yang memadu kepentingan terwujudnya misi idiil dan misi bisnis penyiaran.
    Kesimpulan dan Saran
    Dari uraian di atas disimpulkan: pertama, penyelesaian pelanggaran oleh lembaga penyiaran yang terbukti melakukan jual-beli frekuensi penyiaran dan/atau melakukan pemusatan kepemilikan media seyogianya diajukan ke jalur hukum, bukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Pelanggarnya berdasarkan UU Penyiaran dapat dipidana penjara dan/atau dipidana denda.
    Kedua, ketentuan UU Penyiaran bahwa ”pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, dibatasi” tidak melanggar prinsip demokratisasi penyiaran. Jika rumusan peraturan pemerintah tentang ketentuan itu salah, solusinya menjadi kewenangan Mahkamah Agung.
    Ketiga, karena jumlah lembaga penyiaran televisi yang bersiar nasional terlalu banyak dibandingkan daya dukung ekonomi, upaya industri media televisi menuju tiga stasiun TV yang sehat bisnis dan sehat idiil tidak dapat serta-merta dinilai sebagai praktik monopoli yang mematikan keanekaan informasi.
    Keempat, dalam revisi UU Penyiaran yang sudah diagendakan patut dipertimbangkan agar semua peraturan pemerintah tentang penyiaran sebaiknya dibahas di DPR untuk menjadi bagian dari UU Penyiaran. Rumusannya selain taat asas demokrasi ekonomi dan demokratisasi penyiaran juga mengakomodasi prinsip ekonomi media.
  • 2011, Tahun Pemutarbalikan dan Rekayasa Hukum

    CATATAN AKHIR TAHUN
    2011, Tahun Pemutarbalikan dan Rekayasa Hukum
    Sumber : KOMPAS, 27 Desember 2011
    Tahun 2011 dinilai sebagai tahun yang penuh pemutarbalikan dan rekayasa fakta hukum demi kepentingan politik penguasa. Sebaliknya, tahun 2012 akan menjadi tahun penentuan bagi penguasa, apakah mereka mampu melanggengkan model pemutarbalikan dan rekayasa fakta hukum pada tahun sebelumnya atau malah terjungkal oleh kekuatan politik yang justru selama ini menjadi koalisi demi persaingan Pemilu 2014.
    Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, dalam diskusi Refleksi Akhir Tahun 2011 di Bidang Hukum dan Politik, di Jakarta, Senin (26/12), menyatakan, tahun 2011 menjadi tahun yang menyesakkan bagi banyak pihak. Bahkan, pengamat politik seperti dirinya, menurut dia, juga mendapat intimidasi. Sesuatu yang, menurut Ikrar, tak pernah dia dapatkan ketika mengemukakan pendapatnya di era Orde Baru sekalipun.
    Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, mengatakan, jika dirunut, pada 2011 banyak sekali terjadi pemutarbalikan fakta dan rekayasa atas berbagai kasus hukum di negeri ini. Sekadar mencontohkan, Bambang menyebut skandal Bank Century yang belum bisa dituntaskan lewat proses hukum.
    Bambang juga menyebut kasus mafia pajak yang ternyata hanya menyeret Gayus Tambunan dan tak juga mampu menyeret petinggi Direktorat Jenderal Pajak hingga perusahaan-perusahaan besar yang memanipulasi pajak.
    Kasus hukum lain yang menarik perhatian publik tetapi penyelesaiannya masih dirasakan mengecewakan publik, menurut Bambang, adalah kasus korupsi yang melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
    ”Sepertinya ada upaya melokalisasi kasus ini hanya pada Nazaruddin dan tak mau menyentuh petinggi-petinggi partai politik yang saat ini berkuasa,” kata Bambang.
  • Mahasiswa dan Kolaborasi

    Mahasiswa dan Kolaborasi
    Okki Sutanto, MAHASISWA PSIKOLOGI UNIKA ATMA JAYA
    Sumber : KOMPAS, 27 Desember 2011
    Di tengah sulitnya menemukan tulisan mahasiswa di media cetak nasional, tulisan Herlianto di Opini Kompas (21/12) menarik untuk dicermati.
    Sebagai mahasiswa, tulisan itu menjadi otokritik yang bisa memberikan perspektif baru dalam memahami mahasiswa Indonesia. Meski demikian, ada beberapa poin yang perlu dikritisi lebih lanjut untuk mempertajam otokritik sekaligus memperluas perspektif tentang mahasiswa.
    Gerakan Mahasiswa
    Dalam tulisannya, Herlianto tidak memberikan definisi yang cukup jelas terkait gerakan mahasiswa. Hal ini berpotensi membuat gerakan mahasiswa ke depan selalu merujuk pada gerakan yang sudah pernah dilakukan pada masa lampau—khususnya gerakan mahasiswa 1998—tanpa dibarengi evaluasi kritis serta inovasi dan adaptasi konteks.
    Herlianto juga menekankan pentingnya gerakan mahasiswa berskala nasional. Hal ini penting untuk dikritisi karena bisa jadi gerakan mahasiswa berskala nasional sudah tidak tepat dan justru berpotensi memunculkan kevakuman, sebab masalah nasional yang ”membutuhkan” mahasiswa tidak selalu ada.
    Dalam hemat penulis, gerakan mahasiswa memang penting, tetapi berskala nasional bukanlah syarat mutlak. Poin penting dalam gerakan mahasiswa adalah ada kontribusi nyata dalam memecahkan berbagai masalah dan ketidakadilan di masyarakat, dengan mengedepankan intelektualitas dan kompetensi mahasiswa itu sendiri. Kontribusi perlu untuk masalah lokal atau nasional. Isu lokal juga perlu diangkat dan diperjuangkan sebagaimana mahasiswa era 1980-an tatkala membela hak-hak nelayan di Lampung atau petambak di Tangerang.
    Herlianto juga menyebut bahwa parsialisasi gerakan mahasiswa semata disebabkan oleh spesialisasi yang melunturkan kolektivitas. Padahal, mundurnya gerakan mahasiswa berskala nasional tidak bisa dilepaskan dari fakta historis, khususnya sejak diberlakukan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus tahun 1978. Ali (2006) menyatakan bahwa kebijakan tersebut melumpuhkan gerakan mahasiswa ekstrakampus, yang implikasinya terasa hingga sekarang. Berbagai faktor lain di tataran mikro, meso, dan makro juga berkontribusi pada menurunnya kuantitas dan kualitas gerakan mahasiswa.
    Memusuhi Kekuasaan
    Terakhir, Herlianto menempatkan kekuasaan sebagai musuh. Hal ini memiliki implikasi berbahaya karena jika semua pihak yang berkompeten dan peduli kepada negara—termasuk mahasiswa—enggan masuk ke lingkaran kekuasaan, akhirnya yang berkuasa hanyalah kaum oportunis yang tidak kompeten, apalagi berdedikasi terhadap kemajuan Indonesia.
    Sejatinya mahasiswa tak perlu memusuhi kekuasaan secara membabi buta. Konsep triple helix yang mengedepankan kolaborasi antara kalangan akademisi, industri, dan pemerintah justru perlu dikembangkan dan diimplementasikan. Kolaborasi yang sehat dengan tetap menjaga sikap kritis dan mengesampingkan kepentingan individu atau kelompok jauh lebih konstruktif daripada secara naif menciptakan permusuhan.
    Meski mengkritisi beberapa hal, pada intinya tulisan ini dan tulisan Herlianto memiliki harapan dan semangat yang sama: mengajak mahasiswa berkontribusi untuk Indonesia yang lebih baik. Memang, tidak mudah menyepakati perbedaan pandangan terkait peran dan fokus mahasiswa. Ada pandangan bahwa mahasiswa seharusnya fokus mempersiapkan diri memasuki dunia kerja dan industri. Ada pula yang menekankan pada peran sebagai agen kontrol dan perubahan.
    Menurut teori representasi sosial yang dikemukakan Moscovici, hal ini menandakan ada antinomi pada konsep mahasiswa. Antinomi ini menandakan bahwa konsep mahasiswa memiliki karakter yang dinamis sehingga tidak bisa dibakukan dalam suatu kerangkeng tertentu. Hal ini membuka ruang bagi mahasiswa untuk terus beradaptasi sesuai konteks zaman. Jadi, yang perlu dirisaukan bukan perbedaan mahasiswa sekarang dengan generasi sebelumnya karena potensi mahasiswa saat ini jauh lebih penting.
    Pendidikan
    Potensi mahasiswa jelas bergantung pada latar belakang ilmunya. Mahasiswa kedokteran, ekonomi, dan sipil tentu tidak perlu diseragamkan bentuk kontribusinya kepada masyarakat.
    Selain kompetensi khusus, mahasiswa zaman sekarang juga memiliki kemampuan yang cenderung umum seperti penguasaan teknologi. Masih segar di ingatan bagaimana Komisi VIII DPR dalam kunjungan kerja ke Australia, akhir April 2011, membuktikan rendahnya tingkat penguasaan teknologi mereka. Evaluasi kritis Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia membuktikan bagaimana mahasiswa sebenarnya bisa dan mau berkontribusi.
    Kejadian tersebut sebenarnya membuka ruang kolaborasi antara mahasiswa dan penyelenggara negara. Misalnya dengan menjadikan mahasiswa sebagai staf ahli anggota DPR ketimbang menggaji staf ahli yang bahkan tak mampu membuatkan alamat surat elektronik (e-mail)yang benar dan resmi. Contoh ini hanya satu dari sekian banyak kolaborasi potensi yang bisa melibatkan mahasiswa. Pada akhirnya, tidak bijak memandang mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang berdiri terpisah. Ada interaksi tak berkesudahan antara mahasiswa, keluarga, masyarakat, kalangan industri, dan pemerintahan. Oleh sebab itu, segala upaya mengoptimalkan potensi mahasiswa perlu dukungan semua pihak.
    Mahasiswa tak perlu dipandang sebagai juru selamat atau ratu adil yang kedatangannya perlu dinantikan. Mahasiswa juga tidak perlu dipandang eksklusif sehingga harus selalu berjuang sendirian. Mari berkolaborasi untuk Indonesia yang lebih baik!
  • Mempersiapkan Jaminan Pensiun

    Mempersiapkan Jaminan Pensiun
    Sulastomo, ANGGOTA/KETUA TIM SJSN, 2001-2004
    Sumber : KOMPAS, 27 Desember 2011
    Presiden SBY akhirnya menandatangani UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
    Dengan demikian, RUU BPJS resmi disahkan sebagai UU. Kini tinggal meningkatkan dukungan terhadap penyelenggaraan program jaminan sosial ini. Dalam UU BPJS antara lain dikatakan BPJS II sebagai BPJS Ketenagakerjaan, sebagai transformasi dari PT Jamsostek, bertugas menyelenggarakan program jaminan pensiun dan mulai beroperasi pertengahan 2015. BPJS I (Kesehatan), transformasi PT Askes Indonesia, beroperasi 2014.
    Semua butuh waktu karena harus mempersiapkan program jaminan pensiun yang lebih kompleks. Soalnya program pensiun telah dilaksanakan sejumlah lembaga penyelenggara jaminan pensiun dalam berbagai bentuk.
    Kalau nanti dapat melaksanakan tugas dengan baik, BPJS II akan menjadi lembaga dana pensiun sangat besar yang menyimpan dana pensiun ribuan triliun rupiah. Dampaknya positif bagi pembangunan ekonomi dan upaya mewujudkan kesejahteraan serta kemandirian bangsa.
    Penahapan
    Dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, jaminan pensiun akan diselenggarakan dengan masa transisi 15 tahun. Jaminan pensiun ini bersifat wajib, manfaat pasti, dan menerapkan funded system atau sistem pembayaran yang ditetapkan di muka sebelum mendapat pelayanan.
    Dengan ketentuan seperti itu, perlu pembaruan atau bahkan koreksi atas penyelenggaraan jaminan pensiun, khususnya penyelenggaraan pensiun bagi pegawai negeri sipil dan anggota TNI/Polri. Koreksi ini diperlukan agar jaminan pensiun mereka tidak membebani APBN.
    Perbaikan atau koreksi itu harus mengacu kepada UU No 40/2004. Intinya, jaminan pensiun harus menjadi beban bersama antara pekerja dan pemberi kerja, dalam hal ini antara PNS/anggota TNI/Polri dan pemerintah. Membebankan pensiun mereka pada APBN, sebagaimana selama ini berjalan, tidak saja membebani APBN, tetapi juga diskriminatif. Sebagian pembayar pajak belum menikmati pensiun, tetapi mereka harus membayari pensiun PNS dan anggota TNI/Polri.
    Koreksi itu tentu saja bukan tugas ringan. Dengan mengonversi sistem pensiun menjadi funded system, dana terutang dikabarkan mencapai Rp 350 triliun. Harus dicari jalan keluar agar dana terutang itu tidak mengganggu keuangan negara.
    Caranya mungkin bisa dengan cicilan yang dibayar setiap tahun dari APBN. Dalam UU No 24/2011 tentang BPJS antara lain dikatakan, PT Taspen dan Asabri wajib bertranformasi ke BPJS II selambat-lambatnya tahun 2029. Kalau tenggang waktu itu dimanfaatkan sebagai masa pembayaran cicilan, berarti setiap tahun sekitar Rp 2,5 triliun. Mestinya bisa diperpendek.
    Hal ini dimungkinkan karena pada saat perubahan sistem pensiun menjadi funded system, APBN hanya berkewajiban membayar dana pensiun 4 persen anggaran gaji, apabila iuran jaminan pensiun nanti sebesar 8 persen dari gaji, sehingga sisanya bisa digunakan untuk cicilan dana pensiun yang terutang.
    Uang Negara Aman
    Kekhawatiran akan mengganggu keuangan negara dengan demikian dapat diabaikan. Kalau konversi itu segera dilakukan, momentum BPJS II menjadi lembaga pensiun terbesar akan terbuka lebar. Bagi peserta, juga terbuka manfaat tambahan dari hasil investasi dana pensiun seperti halnya di banyak negara.
    Selanjutnya, bagi pekerja formal dan nonformal, kita juga menghadapi masalah yang tidak ringan. Bagaimana menghadapi perusahaan yang telah memiliki program pensiun melalui berbagai penyelenggara Dana Pensiun Pemberi Kerja/Dana Pensiun Lembaga Keuangan, sesuai UU No 11/1992 tentang pensiun atau asuransi swasta?
    Dalam mengimplementasikan jaminan pensiun, target awal, sebaiknya diperuntukkan bagi dunia usaha yang belum memiliki jaminan pensiun. Program pensiun sukarela yang telah berjalan bisa menjadi program pensiun tambahan atau dikonversikan menjadi program pensiun wajib sesuai SJSN. Ini apabila program pensiun SJSN dinilai lebih memberikan manfaat, baik bagi pekerja maupun pemberi kerja.
    Pendekatan seperti ini diperlukan agar kehadiran program jaminan pensiun sesuai SJSN dirasakan sebagai kebutuhan. Demikian juga penahapannya harus mempertimbangkan kemampuan perusahaan swasta. Dengan cara ini, program jaminan pensiun ini bisa tetap menjamin kelangsungan usaha.
    Secara bertahap, cakupan jaminan pensiun akan mampu mencakup semua penduduk, ketika BPJS II berkembang jumlah pesertanya, sehingga nilai investasi menghasilkan nilai tambah memperbesar manfaat dan memperluas kepesertaan. Dengan bantuan iuran dari pemerintah, terbuka peluang program jaminan pensiun sosial bagi yang tidak mampu sehingga seluruh rakyat Indonesia tercakup dalam program jaminan pensiun.
  • Menuju Macan Baru Asia

    Menuju Macan Baru Asia
    Jony Oktavian Haryanto, ALUMNUS PROGRAM DOKTOR FAKULTAS EKONOMI UI;
    DOSEN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA (UKSW)
    Sumber : SUARA MERDEKA, 27 Desember 2011
    TAHUN 2011, yang tinggal dalam hitungan hari, bangsa kita menorehkan sejumlah prestasi. Misalnya menjadi juara umum SEA Games XXVI, pertumbuhan ekonomi di atas 6%, tertangkapnya Nazaruddin dan Nunun Nurbaetie, serta beberapa prestasi lain. Hadiah lain akhir tahun kita dapatkan ketika lembaga pemeringkat Fitch Ratings menaikkan peringkat Indonesia dari BB+ menjadi BBB- dengan gambaran stabil. 
    Peringkat BBB- merupakan peringkat yang layak investasi.
    Fitch menaikkan country ceiling menjadi BBB, dan utang jangka pendek dalam mata uang asing dinaikkan menjadi F3. Philip McNicholas, Direktur Fitch’s Asia-Pacific Sovereign Ratings mengatakan bahwa kenaikan peringkat ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berdaya tahan, rasio utang publik yang rendah dan terus menurun, likuiditas eksternal yang menguat, dan kerangka kebijakan makro yang hati-hati. (Kompas.com, 16/12/11).
    Meskipun beberapa prestasi dapat kita capai pada 2011, beberapa hal perlu mendapatkan perhatian ekstra. Kepala Ekonom Bank Dunia di Indonesia Shubbam Chaudhuri mengatakan bahwa Bank Dunia merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 6.2% dari prediksi 3 bulan sebelumnya 6.3%. Demikian pula neraca berjalan defisit 1.7 miliar dolar AS yang merupakan revisi dari surplus 0.3 miliar dolar AS (Bisnis Indonesia, 15/12/11). Di pihak lain, survei dari Transparency International menunjukkan bahwa Indonesia masih merupakan negara terkorup rangking 100 dengan skor 3, dari 183 negara.
    Kalangan masyarakat menengah dan menengah bawah belum merasakan dampak dari pertumbuhan ekonomi. Masyarakat mengeluh harga-harga barang yang makin melonjak tetapi tidak diikuti kenaikan pendapatan. Pengusaha mengeluh serbuan produk impor, terutama dari China dan lesunya daya beli masyarakat. Resesi di Amerika Serikat dan Eropa juga menimbulkan kekhawatiran banyak pihak sehingga semua pihak mengerem belanja mereka. Kondisi ini berisiko  memperdalam resesi dan bisa memicu krisis global yang lebih parah dari krisis 2008.
    Lebih Percaya Diri
    Beberapa masalah itu perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Beberapa masalah klasik seperti proses perizinan yang lambat dan berbelit-belit, pembebasan lahan yang tak kunjung usai, distribusi logistik yang tak terurus, dan biaya produksi yang tinggi merupakan persoalan yang tak kunjung selesai dari tahun ke tahun. Pemerintah ditengarai sedang berubah dari rezim keterbukaan pasar global menjadi rezim proteksi. Kebijakan keterbukaan atau proteksi seharusnya dalam konteks pembangunan nasional. Contohnya, proteksi impor buah seharusnya diikuti dengan pembangunan holtikutura buah.
    Pertumbuhan ekonomi tercekik oleh infrastuktur dan institusi. Pelabuhan-pelabuhan laut sangat memprihatinkan keadaannya dibandingkan pelabuhan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Jalan menuju Tanjung Priok harus ‘’menyeberangi’’ kemacetan parah yang menghabiskan energi dan menambah biaya. Demikian juga kondisi bandara-bandara utama di Indonesia seperti Bandara Soekarno-Hatta yang kumuh dan semrawut sehingga tidak menarik wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia.
    Di atas semuanya itu adalah masalah korupsi yang terus menghantui setiap elemen pemerintahan, dari dari tingkat atas hingga bawah belum bebas dariu KKN yang sangat menganggu. Jembatan Kutai yang baru berusia 10 tahun sudah ambruk, padahal Golden Gate di Amerika Serikat dalam usianya yang ke-74 masih kokoh. Jika diusut dengan benar dan dapat dibuktikan, pasti tak terlepas dari korupsi.
    Melihat banyaknya pekerjaan rumah, pemerintah perlu bekerja lebih keras lagi membenahi banyak lini. Presiden dan para pembantunya tidak boleh lagi berpikir sempit untuk kepentingan partai atau golongannya tapi harus bekerja demi kepentingan rakyat yang telah memberikan amanat kepada mereka. Dengan sumber daya alam melimpah, kondisi politik yang relatif stabil, jumlah penduduk besar, dan lokasi geografis yang strategis seharusnya Indonesia mampu mencatatkan diri sebagai bangsa yang memiliki harkat dan martabat tinggi.  
    Stereotipe sebagai bangsa babu karena hanya bisa mengekspor TKI yang banyak dilecehkan di luar negeri harus bertahap dihilangkan serta menjadi bangsa yang disegani dan dihormati karena kekuatan ekonominya.
    Tahun 2012 menanti dan dengan kepercayaan diri yang tinggi, semangat kerja keras, dan pengabdian untuk kepentingan rakyat saya yakin kita mampu menjadi macan baru Asia.
  • Catatan Politik Akhir Tahun

    Catatan Politik Akhir Tahun
    M. Alfan Alfian, DOSEN PASCASARJANA ILMU POLITIK UNIVERSITAS NASIONAL, JAKARTA
    Sumber : SINDO, 27 Desember 2011
    Banyak hal yang dapat dicatat dari politik kita pada 2011.Namun, pertama kali yang hendak saya bahas adalah yang agak abstrak, politik sebagai nilai kebudayaan, karena sejatinya politik yang dikehendaki demokrasi substansial adalah politik tingkat tinggi (high politics).

    Ini persoalan penting dan mendasar mengingat bagaimana mungkin kalau penataan teknis demokrasi prosedural, seolaholah jauh dari persoalan substansial. Berbagai kasus selama ini mencatat, kekerasankekerasan politik masih sering terjadi, sikap dan aksi diskriminasi, serta kasus-kasus korupsi yang menghiasi lembaran surat kabar kita, tentu mengonfirmasikan betapa masih bermasalahnya kualitas demokrasi kita.

    Pada perspektif makro, fokus perhatian kita seyogianya pada adanya gejolak sosial dan politik yang terjadi di Papua yang merebak pada 2011 ini. Kasus Papua bagaimanapun pertaruhan bagi masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Demikian juga dengan gejolak politik lokal,khususnya di Aceh,harus segera dicarikan jalan keluar agar tidak memunculkan konflik politik yang fatal.

    Politik Prosedural dan Elektoral

    Secara prosedural, demokrasi kita masih menjumpai banyak soal teknis antara lain membuat para anggota DPR sibuk merumuskan kembali semua UU bidang politik. Penyusunan atau penataulangan prosedur demokrasi politik memang banyak pilihan, dan memungkinkan kekuatan-kekuatan politik yang kuat dominan.

    Perbedaan kepentingan itu biasa dalam politik, tetapi kita dihadapkan pada persoalan yang selalu berulang. Misalnya, secara praktis-pragmatis fraksi-fraksi di DPR bertele- tele dalam menentukan besaran angka parliamentary threshold (PT).

    Dinamika politik elektoral 2011 berakhir dengan pengumuman Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin bahwa hasil verifikasi partai politik yang memperoleh status badan hukum hanya Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang lolos dari 14 partai yang mendaftar.

    Ini artinya, jumlah partai baru tidak bertambah signifikan. Walaupun demikian, bukan berarti kompetisi politik tidak akan ramai. Berbagai diskusi dan protes tentang siaransiaran iklan partai itu di stasiun televisi milik pendiri ormas NasDem merupakan satu potret dari banyak hal yang diperkirakan membuat dinamika politik elektoral semakin ramai.

    Pada 2012 juga merupakan awal dari ujian hubungan tokoh dan partai. Ketika Partai Serikat Independen (SRI) tidak lolos verifikasi di Kementerian Hukum dan HAM, nasib Sri Mulyani sebagai bakal capres semakin tak menentu. Peluang untuk hadir memang masih begitu terbuka,namun pengikutnya masih perlu berjuang ekstrakeras untuk mencantolkan pada partai-partai politik peserta pemilu kelak.

    Politik Pemerintahan

    Dalam politik pemerintahan, publik juga disuguhi berbagai persoalan teknis yang tampak dramatis.Pada 2011 ini ada reshuffle kabinet,peristiwa politik yang juga selalu berulang. Walaupun reshuffle hakikatnya urusan presiden, prosesnya cukup menyita perhatian, dan sayangnya berakhir dengan antiklimaks.Pertimbangan politik tampak lebih menonjol dalam reshuffle kabinet yang lalu.

    Hingga penghujung 2011 ini kinerja kabinet baru belum menunjukkan prestasi yang signifikan. Ini tentu dapat menggoyahkan harapan bahwa kabinet akan dapat bekerja secara lebih optimal ketimbang sebelumnya. Apalagi, kompetisi politik diasumsikan semakin menguat pada 2012 hingga 2014.

    Apakah konsentrasi kabinet tidak memudar manakala fokus menteri- menterinya ke 2014? Hatta Rajasa misalnya, menko perekonomian yang juga ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini, telah didorong partainya sebagai calon presiden (capres).Di Partai Golkar,nama Aburizal Bakrie, sang ketua umum, juga menduduki ranking satu capres.

    Partai-partai lain yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) pemerintahan tampak sudah ancang-ancang ke 2014,walaupun Partai Demokrat belum mau mewacanakan siapa capres mereka. Soliditas Setgab pada 2011 telah diuji oleh beberapa hal yang membuat mereka harus memutuskan,di tengah kepentingan politik beragam.

    Pada 2012 tantangan Setgab diperkirakan semakin kompleks dan rumit sehingga manajemen pengelolaan Setgab juga akan semakin longgar.Kecuali, manakala reward and punishment diterapkan secara sungguhsungguh oleh Presiden SBY.

    Sisi Oposisi Politik

    Masa depan politik pemerintah secara khusus memang ditentukan oleh soliditas Setgab dan dinamika politik DPR. Sejak tampil dan terbentuk kabinet pemerintahan, oposisi formal tidak signifikan. Kasus Bank Century di DPR memang memukul telak politik pemerintah, karena kubu oposisi ternyata memperoleh dukungan signifikan partai-partai propemerintah. Kasus itu anomali.

    Dalam banyak kasus oposisi formal yakni terutama PDIP, juga Hanura dan dalam batasbatas tertentu juga Gerindra, masih belum efektif sebagai kekuatan penekan. Oposisi PDIP cenderung susah dipahami dalam kerangka oposisi politik yang efektif.Konflik antara Megawati Soekarnoputri dan Taufiq Kiemas menghasilkan corak kepolitikan PDIP yang terkesan hanya tampil setengah hati dalam beroposisi.

    Hanura tampak lebih konsisten,tapi kekuatan kursinya sedikit. Sementara Gerindra, walaupun dalam banyak kasus kritis, terkesan sangat hati-hati menjaga hubungan dengan pemerintah. Dari sisi ini diperkirakan tidak akan ada perubahan gaya beroposisi pada 2012. Masa depan politik pemerintahan juga harus memperhatikan faktor-faktor di luar dinamika politik formal.

    Tekanan-tekanan protes yang terusmenerus mengemuka dalam banyak isu pada 2011 tampaknya tidak akan mereda pada 2012. Pada 2011 ditutup oleh aksi bunuh diri aktivis Sondang Hutagalung. Meskipun konteksnya sangat lain dengan Bouazizi di Tunisia yang mengobarkan Arab Spring itu, kelompok-kelompok oposisi jalanan luar parlemen kelihatan seperti memperoleh bahan bakar baru.

    Tekanan-tekanan berbagai kelompok kepentingan terhadap kasus-kasus hukum yang sedang diproses juga diperkirakan masih akan tetap semarak pada 2012. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilantik bulan ini, ujian pertama mereka adalah menangani kasus-kasus korupsi politik.

    Kisah kasus Bank Century mungkin akan berlanjut dengan kejutan-kejutan. Juga, tidak menutup kemungkinan akan semakin banyaknya politisi-politisi yang kasusnya ditangani KPK. Gebrakan para pendekar antikorupsi pada 2012 kemungkinan besar akan membuat situasi politik semakin menghangat, walaupun penegakan hukum harus bersih dari intervensi politik.

    Meskipun banyak catatan, kita berharap hari esok lebih baik dari kini dan kemarin. Juga dalam dunia politik kita. Wallahua’lam.

  • Landreform Berdasarkan TAP MPR: Suatu Keharusan

    Landreform Berdasarkan TAP MPR:
    Suatu Keharusan
    Hajriyanto Y. Thohari, WAKIL KETUA MPR RI
    Sumber : SINDO, 27 Desember 2011
    Kasus sengketa tanah selalu melibatkan dimensi emosi dan harga diri lebih dari sengketa lain apa pun. Soal tanah bagi masyarakat agraris seperti Indonesia ini adalah soal hidup-mati.

    Lihat saja sesanti sakral yang berbunyi: “sak dumuk bathuk, sak nyari bumi” akan aku bela sampai mati! Tak heran jika kasus sengketa tanah selalu berpotensi untuk melahirkan tindak kekerasan yang tidak jarang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, baik orang seorang maupun massal. Kasus kekerasan seperti yang terjadi di Mesuji, Bima, dan tempat-tempat lain telah banyak terjadi di negeri ini. Kasus Mesuji ini hanyalah puncak dari gunung es.

    Banyaknya kasus sengketa tanah yang berujung pada kekerasan massa yang tidak jarang memakan korban jiwa terutama di pihak rakyat menunjukkan bahwa persoalan tanah masih menjadi permasalahan serius di negeri ini. Masih banyak lubang kelemahan dalam kepemilikan agraria terutama diletakkan dalam konteks keberpihakan kepada rakyat.

    Maka mutlak harus ada penyelesaian yang menyeluruh dan radikal (baca: to radix,sampai ke akar-akarnya) dalam persoalan agraria di negeri ini. Penyelesaian yang parsial dan ad hoctidak akan pernah dapat mengakhiri problem pertanahan yang sudah sangat akut, parah, dan eksplosif ini.

    Laksanakan Tap MPR

    Dalam konteks dan perspektif ini saya mengajukan “appeal” kepada Presiden dan DPR RI untuk melaksanakan dengan serius Ketetapan MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan MPR (Tap MPR) yang sangat penting dan strategis ini telah diabaikan sama sekali oleh rezim-rezim yang memerintah negara ini sampai era reformasi sekarang ini!

    Tidak ada alasan untuk mengabaikan Tap MPR sekarang ini.Pertama,dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan ditegaskan bahwa Tap MPR masuk dalam tata urut peraturan perundangan kedua di bawah UUD.Tap MPR merupakan sumber hukum (baik formal maupun material) bagi setiap UU yang dibentuk dan diberlakukan di Indonesia.

    Kedua, Presiden dan lembaga- lembaga negara lainnya memang harus menaati dan melaksanakan Tap MPR sebagai “aturan dasar” negara. Setiap UU dan kebijakan publik harus berdasarkan dan merujuk pada UUD maupun Tap MPR. Keduanya adalah aturan dasar yang memang harus mendasari setiap kebijakan presiden dalam semua kebijakan yang diambilnya. Tidak relevan berdalih bahwa oleh karena sejak amendemen UUD 1945 Presiden tidak lagi berada di bawah MPR,Presiden tidak perlu lagi melaksanakan Tap MPR.

    Jika demikian dalihnya, pertanyaannya adalah bukankah UUD 1945 sama dengan Tap MPR yang dibuat oleh MPR, toh presiden wajib menaati dan melaksanakan UUD? UUD 1945 sebagaimana Tap MPR adalah produk politik yang dibuat MPR. Keduanya wajib ditaati dan dijalankan oleh presiden.

    Pandu yang Bagus

    Tap MPR mestinya dilihat sebagai pandu yang memandu jalannya negara ke depan. Janganlah Tap MPR dilihat sebagai beban yang memberatkan Presiden seperti sekarang ini. Jika dilihat sebagai beban, biasanya lantas dicari-cari dalih untuk mengabaikannya. Tap MPR ini, sebagaimana Tap MPR lainnya yang masih berlaku, bagus-bagus sekali isinya dan sebenarnya bisa menjadi pedoman sekaligus solusi bagi banyak persoalan bangsa.

    Juga dalam soal sengketa pertanahan yang sudah makan korban begitu banyak di negeri ini. Satu-satunya jalan yang legal dan konstitusional untuk mengatasi persoalan pertanahan dan agraria yang karut-marut di negeri ini, sekaligus menjadikannya sebagai instrumen bagi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,adalah dengan melakukan pembaruan agraria dengan melaksanakan Tap No IX/MPR/ 2001 tentang Pembaruan agraria ini.

    Landreform: Jalan Pembaruan

    Kata-kata kunci dari Tap ini terdapat di Pasal 5, yaitu keharusan dilakukannya penataan kembali, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. Untuk itu, harus dibentuk satu paket undang-undang tentang pembaruan agraria yang benar-benar berkeadilan.

    Langkah ini harus dimulai dengan terlebih dahulu mengkaji ulang seluruh peraturan perundang- undangan tentang agraria yang ada dalam sorotan spirit reformasi agraria. Menurut Tap ini landreform semacam ini adalah satu-satunya kunci penyelesaian persoalan tanah yang memang sudah berkembang menjadi amat sangat rumit dan penuh sengkarut.

    Sangat meyakinkan jika tidak ada landreform yang berpihak kepada rakyat, akan muncul kasus-kasus sengketa tanah di manamana yang akan memakan banyak korban jiwa lagi. Kasus sengketa tanah antara rakyat dan pengusaha,antara rakyat dan PTP, antara rakyat dan instansi pemerintah,dan antara rakyat dan pihak lain lagi, adalah potensial dan secara laten terjadi di mana-mana!

    Yang laten ini akan segera termanifestasi hanya dengan faktor picu yang sangat sederhana. Jika tidak ada pembaruan agraria,rakyat akan selalu kalah dan dikalahkan oleh para pihak lain, terutama para pengusaha tambang,atau hutan, atau perkebunan, yang notabene memiliki dokumen hukum lebih lengkap.

    Sementara rakyat meski telah tinggal di tanah itu secara turun-temurun sering tidak memilikinya. Tanpa landreform, rakyat kecil akan selalu kalah dan tersingkir.

  • Lemah Jantung tetapi Takut Berutang

    Lemah Jantung tetapi Takut Berutang
    Faisal Basri, EKONOM
    Sumber : KOMPAS, 26 Desember 2011
    Perekonomian memiliki dua jantung. Sektor keuangan bisa kita ibaratkan sebagai jantung utama, sedangkan pemerintah sebagai jantung penunjang. Kedua jantung ini bertugas menyedot dana dari masyarakat dan memompakannya kembali ke dalam perekonomian. Jantung akan berperan optimal jika volume dana dan yang disedot dan dipompakan memadai serta irama gerakannya beraturan dan harmonis.
    Sudah berulang kali disampaikan di kolom ini betapa jantung utama perekonomian kita sangat lemah. Kemampuan menyedot dana, sebagaimana terlihat dari indikator nisbah dana pihak ketiga (deposit) terhadap produk domestik bruto, hanya 34 persen. 
    Sementara itu, kemampuan memompakan dana, sebagaimana terlihat dari nisbah kredit terhadap produk domestik bruto, juga sangat rendah, bahkan tergolong terendah di dunia, yakni 23 persen. Tak ayal, kedalaman sektor keuangan kita sangat cetek, hanya di urutan ke-51 dari 57 negara yang disurvei oleh Forum Ekonomi Dunia pada tahun 2010.
    Pemerintah, lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), merupakan jantung penunjang. Sekalipun penunjang, peranannya tak tergantikan dan sangat strategis. Betapa lemah keberadaan jantung penunjang ini tampak dari daya sedotnya, yakni nisbah pajak terhadap produk domestik bruto yang tak kunjung beranjak dari kisaran 13 persen. Kemampuan memompa pun lemah. Belanja pemerintah untuk barang dan jasa terhadap produk domestik bruto tak sampai 10 persen. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang nisbahnya dua kali lipat lebih besar daripada Indonesia, padahal akar ideologi Negeri Paman Sam ini adalah libertarian.
    Dengan volume darah yang terbatas dan fungsi jantung yang lemah, perekonomian tak bisa berlari kencang. Perekonomian cepat lelah. Kita patut kian prihatin karena sejauh ini tak kunjung melihat langkah nyata untuk membenahi kondisi lemah jantung ini. Bahkan, ada kecenderungan kondisi jantung penunjang (APBN) semakin lemah. Tak kurang Gubernur Bank Indonesia berulang kali menyesalkan kondisi yang tak kunjung membaik. Bahkan, masih menurut Gubernur Bank Indonesia, kondisi tahun ini lebih buruk daripada tahun lalu.
    Dalam empat tahun terakhir, kemampuan memompa pemerintah memang kian memburuk. Dana yang mengendap di rekening pemerintah di Bank Indonesia bertambah besar. Sejak tahun lalu rekening pemerintah di Bank Indonesia November—yang berarti hanya dua bulan menjelang tutup tahun anggaran—masih di atas Rp 150 triliun. Padahal, selama kurun waktu 2004-2007, saldo rekening pemerintah November hanya sekitar Rp 60 triliun. Akibatnya, belanja pemerintah menumpuk pada akhir tahun. Sedemikian parahnya, lebih dari seperlima belanja pemerintah dilakukan pada bulan terakhir tahun anggaran, yakni Desember.
    Distribusi belanja yang tak merata membuat denyut jantung tak beraturan. Penumpukan belanja pada bulan Desember juga berdampak buruk terhadap laju inflasi. Secara sadar justru pemerintah melakukan tindakan yang bertentangan dengan fungsinya, yakni meredam pengeluaran kala masyarakat justru sedang gencar belanja menjelang akhir tahun. Pemerintah menyia-nyiakan kesempatan untuk kian meredam laju inflasi. Betapa mahal perilaku buruk itu.
    Fungsi jantung bisa ditingkatkan dengan cara meningkatkan defisit APBN lewat berutang lebih banyak. Bukankah tingkat tabungan masyarakat tergolong relatif sangat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat investasi. Penerbitan surat utang pemerintah bisa jadi alternatif sangat menjanjikan untuk menyerap potensi tabungan masyarakat.
    Pemerintah pun bisa memetik keuntungan karena suku bunga sudah menunjukkan kecenderungan turun. Keuntungan lainnya adalah bisa menurunkan ketergantungan pada asing untuk investasi portofolio.
    Yang tak kalah penting adalah peran negara bisa lebih sigap dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Pemerintah akan lebih mampu mengakselerasikan pembangunan, khususnya pembangunan sektor riil, lebih khusus lagi sektor pertanian dan industri manufaktur, lewat penyediaan infrastruktur vital seperti jalan raya, irigasi, pelabuhan, dan bandara.
    Mengingat struktur penduduk kita sangat didominasi oleh penduduk usia muda yang sangat produktif, lebih bijak untuk membiayai pemenuhan infrastruktur lewat berutang ketimbang menggenjot penerimaan pajak lewat penambahan jenis pajak dan peningkatan tarif pajak. Sangatlah ironis kalau Presiden berulang kali menyampaikan tekad untuk menurunkan utang dan menargetkan anggaran berimbang tanpa defisit. Lebih ironis lagi, Presiden mengklaim penurunan nisbah utang sebagai keberhasilan.
    Pada waktu bersamaan Presiden menghendaki percepatan pembangunan. Terakhir Presiden meluncurkan Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang cukup ambisius. Tanpa keberanian untuk lebih banyak berutang, pilihan pemerintah kian terbatas. Pembangunan infrastruktur fisik vital harus lebih banyak melibatkan swasta yang masif. Dan, cara demikian berpotensi menjadi sarana empuk pemburuan rente dengan modus baru. Pun, berpotensi membuat pembangunan infrastruktur menjadi bias sehingga gagal meraih manfaat maksimal bagi perekonomian dan kepentingan rakyat banyak.
    Sudah cukup banyak contoh yang menyesakkan. Misalnya rencana pembangunan jembatan Selat Sunda yang makin menjauhkan kita dari ciri negara kepulauan. Contoh lain adalah pembangunan jalan tol di perkotaan yang sangat dipaksakan. Sebaliknya, pembangunan infrastruktur yang vital bagi perekonomian seperti pelabuhan terabaikan. Persoalan ongkos logistik yang mahal tak kunjung terselesaikan. Maka, target inflasi yang rendah pun akan kian sulit tercapai secara berkelanjutan.
    Visi jangka panjang sepatutnya lebih mengemuka, bukan target-target jangka pendek yang pragmatis. Presiden harus diingatkan.
  • Menemukan Adab Indonesia

    Menemukan Adab Indonesia
    Radhar Panca Dahana, BUDAYAWAN
    Sumber : KOMPAS, 26 Desember 2011
    Soal perilaku manusia Indonesia belakangan ini, yang negatif, destruktif, kriminal, penuh nafsu, bahkan telengas, sudah cukup banyak di analisis. Pada umumnya mereka melihat hal itu antara lain akibat naluri dasar manusia (bangsa) Indonesia yang—ternyata—mengandung semua hal negatif di atas. Benarkah demikian?
    Sebagian dari amatan itu juga mencoba melihat, mempelajari, atau bahkan meneladani bagaimana bangsa-bangsa lain memperadabkan dirinya. Beberapa bangsa/negara, yang sebelumnya justru belajar dari kita, dijadikan acuan.
    Dalam pergaulan internasional, semangat koreksi diri adalah hal yang wajar. Namun, apa pun hasil amatan dan analisis itu tetap meninggalkan pertanyaan dasar yang—pada akhirnya—menentukan pertanyaan dan jawaban berikutnya: apa dan bagaimana kita melihat diri sendiri, dan akhirnya juga melihat orang lain?
    Semua kecenderungan mental dan perilaku manusia yang destruktif dan instingtif primitif sesungguhnya bukan milik spesifik bangsa kita. Logika psikososial dan psikokultural semacam ini sebenarnya sudah umum dipahami. Setiap bangsa punya riwayat kekerasan manusia, perilaku negatif yang bahkan kadang begitu mengerikan. Adab keras dan negatif adalah sisi lain dari mata uang kebudayaan: di mana pun dan kapan pun.
    Persoalannya tinggal bagaimana (produk) kebudayaan positif dapat jadi penyeimbang atau alat/mekanisme untuk mencegah, menanggulangi, atau memberi sanksi bagi negativitas destruktif di atas. Tak bisa dielak, bangsa Indonesia juga memiliki warisan kekerasan yang merusak. Namun, harus diakui juga, bahkan di tingkat kekerabatan (komunitas) terkecil, sebenarnya bagian-bagian dari bangsa ini memiliki alat dan mekanismenya masing-masing menghadapi kecenderungan negatif dan destruktif tersebut.
    Tuntutan Material dan Lupa Diri
    Karena itu, taklah elok jika kita melihat kedegilan manusia Indonesia sekarang dari faktor intrinsik alamiahnya saja. Jika dengan jernih dan jujur kita identifikasi, di tingkat pertama penyebab dari semua kekerasan, tindak negatif dan destruktif sebagian dari saudara-saudara kita itu sebenarnya ada pada tuntutan (kebutuhan) material yang kian besar dan menekan. Situasi psikologis dari adab modern inilah yang ada di balik korupsi, manipulasi, kolusi, perampokan, pembunuhan, penjarahan, hingga kekerasan institusional (baik negara maupun non-negara). Bahkan pada beberapa tindakan super-ekstrem seperti separatisme atau terorisme.
    Tentu ini bukan simplifikasi yang meniadakan beberapa faktor non-material, seperti ideologi, agama, dan adat-tradisi. Namun, tanpa kelindan faktor material di atas, kondisinya tak akan mencapai tingkat kerumitan dan kesulitan setinggi apa yang terjadi saat ini. Faktor atau tuntutan material di sini dapat ditegaskan bermuara pada persoalan finansial, dasar ekonomi dari mulai tingkat personal hingga komunal atau institusional.
    Setiap orang di negeri ini, terutama di daerah urban, sub-urban dan sekitarnya, setiap hari disodori tawaran-tawaran mencengangkan dari gaya hidup yang berkembang saat ini. Dengan semua tawaran yang tak terbendung oleh tanggul moral (agama, adat, hukum, dan lain-lain) itu sesungguhnya telah menguras lebih separuh dari penghasilan rutin kita.
    Katakanlah dari penggunaan telepon. Jika dahulu cukup hanya satu telepon dari Telkom, kini satu keluarga bisa memiliki 10, yang semua dibayar oleh orangtua penghasil uangnya. Dengan angka ajaib 175 juta pelanggan seluler, puluhan triliun kita habiskan setiap tahunnya hanya untuk pulsa dari miliaran SMS, yang sebagian besar tidak produktif.
    Mereka yang kaya raya mengganti mobilnya setiap tahun (bisa beberapa kali), yang menengah mengganti televisi atau stereonya, yang lebih bawah mengganti telepon seluler, busana, atau sandalnya beberapa kali dalam setahun. Bayangkan juga konsumsi produk-produk impor, barang dan jasa yang harganya berlipat-lipat dari nilai produksinya.
    Tidak mengherankan jika kita sampai kehilangan peluang Rp 26,42 triliun lebih dari bisnis buah, atau hilang 2,34 juta lapangan kerja karena kegilaan kelas menengah-atas pada buah dan sayuran impor. Tak mengherankan pula jika kita adalah negara unggul dalam akses pelbagai media sosial global. Juga tak mengherankan lebih banyak turis kita pergi ke satu negara ketimbang sebaliknya.
    Mengapa kita begitu lupa diri? Tampaknya semua itu bukti kegagalan kita, sebagai bangsa dan negara, menyiapkan modal mental dan kultural yang tangguh untuk menghadapi kekuatan yang mengglobal itu. Harus diakui, ini bukan kegagalan di tingkat sub-sistem atau etnik, tapi kegagalan di tingkat nasional, sebagai universe dari lokal-lokal yang ada.
    Sebagai bangsa, juga negara sebagai obligor utama, kita belum berhasil membangun dasar-dasar moral, nilai, dan peradatan—juga peradaban—yang membuat tiap warga negara tahu bagaimana merespons semua infiltrasi dan intervensi kultural di atas. Bahkan untuk soal sepenting ini kita serahkan kepada pasar.
    Adab Indonesia
    Untuk mengatasinya, negara melalui pemerintah patut menjadi inisiator utama dan pertama. Kementerian Informasi, bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan, misalnya, dapat menyebarluaskan tentang nilai-nilai utama hingga praksisnya dari budaya hidup di alam posmodern ini. Dari melihat nilai guna sebuah barang dan jasa, cara dan pola konsumsi, keuntungan dan kerugiannya, cara berkonflik, kesantunan dalam bersosialisasi, hingga berlalu lintas.
    Ini beban kerja lintas sektoral/kementerian. Setiap kementerian mengeluarkan semacam kode etik yang bisa berlaku umum. Persoalan ini harus diatasi dan diselenggarakan secara komprehensif di mana semua instansi terlibat.
    Di bagian utama, kebudayaan, kementerian yang membawahinya mesti segera menemukan atau mengidentifikasi nilai-nilai utama dari adat dan istiadat lokal kita yang dapat dipekerjakan secara nasional/universal. Lalu, biarkan publik memprosesnya secara alamiah melalui proses akulturasi yang sudah mereka kukuhi sejak lama, untuk menjadikan semua itu sebuah kultur dan adab baru: kultur dan adab Indonesia, yang (maaf!) memang belum kita miliki.