Blog

  • Membakar Diri

    Membakar Diri
    Fidelis Regi Waton, PAMONG ROHANI KMKI BERLIN;
    BELAJAR FILSAFAT DI HUMBOLDT UNIVERSITAET ZU BERLIN, JERMAN
    Sumber : KOMPAS, 28 Desember 2011
    ” Membakar diri kini telah menoreh sejarah perlawanan politik Indonesia melalui aksi tragis Sondang Hutagalung.
    Biksu Vietnam, Thich Quang Duc, menggemparkan dunia dengan tindakan membakar diri (self-immolation) tahun 1963. Ia memprotes rezim komunis yang merepresi aktivitas keagamaan. Sejak itu pembakaran diri menular dan diadopsi sebagai bentuk perlawanan politik.
    Karena tidak setuju dengan perang Vietnam, empat orang membakar diri di AS (1965). Jan Palach dari Ceko membakar diri (1969) sebagai reaksi atas invasi Uni Soviet yang menamatkan Prague Spring.
    Lantaran muak dengan pemerintahan Jerman Timur, pendeta Oskar Bruesewitz (1976) melakukan aksi serupa. Buruh migran asal Turki, Semra Ertan (1982), membakar diri di Hamburg sebagai protes terhadap maraknya kekerasan anti-orang asing di Jerman.
    Aksi serupa Mohammed Bouazizi dari Tunisia menyulut bara reformasi dan revolusi di dunia Arab (2010). Di Tibet, 10 warga membakar diri (2011) melawan impresi politik China.
    Pembakaran diri lazimnya lahir dari kekecewaan dan frustrasi terhadap situasi sosial dan politik. Aksi perlawanan politik tanpa senjata ini mengandaikan kebulatan tekad pengorbanan diri. Sasaran tindakan heroik eksentrik ini adalah membangkitkan kesadaran, merangsang perhatian, reaksi, dan simpati publik.
    Bunuh Diri
    Pembakaran diri yang berujung kematian dikategorikan sebagai bunuh diri (suicide). Secara sosiologis, Emile Durkheim membedakannya menjadi bunuh diri egoistis, fatalistis, anomis, dan altruistis.
    Bunuh diri egoistis adalah pelarian dari depresi, putus asa, kekecewaan. Orang merasa diri hampa dan mengisolasikan diri. Yang dilihat hanyalah pintu integrasi yang tertutup rapat dan fokus pada dirinya yang kalah, tidak lagi kompatibel dengan tuntutan lingkungan dan zaman.
    Bunuh diri fatalistis berkaitan dengan kontrol dan reglemen, norma, serta aturan sosial yang ekstrem. Kebebasan individu dirampok. Masyarakat jadi penjara raksasa tanpa jalan keluar. Lingkup sosial yang asimetris dan kacau-balau (chaos) juga menyebabkan bunuh diri (anomic suicide). Kebutuhan pribadi tidak pernah lagi dipenuhi. Kompetisi sosial sangat ketat, kotor, najis, dan tidak manusiawi sehingga orang kehilangan hasrat hidup.
    Menurut Durkheim, bunuh diri altruistis mendapat legitimasi sosial dan transendental (dalam agama Panteistis). Ikatan sosial dan kesadaran kolektif jadi tiran atas individu karena hidup pribadi nyaris tidak dihargai. Secara eksplisit model kematian ini ditagih masyarakat, misalnya tradisi Sati di India yang menuntut istri ikuti kematian suaminya.
    Durkheim memetakan tiga jenis bunuh diri altruistis: ”obligatoris” (orang wajib membunuh diri karena tekanan sosial sangat kuat), ”fakultatif” (orang hendaknya membunuh diri; bunuh diri tidak ditagih, tetapi dihargai), dan ”mistis” (orang boleh membunuh diri). 
    Hinduisme dan Jainisme mempropagandakan bunuh diri mistis. Eksistensi individu tak diakui dan hidup duniawi dianggap penderitaan. Kematian berarti pembebasan.
    Etika sosial dan religius di dunia Barat, kekristenan, dan Islam melarang bunuh diri. Menghindari larangan bunuh diri ini, kaum fundamentalis Islam melihat aksi bom bunuh diri sebagai tindakan kemartiran.
    Menghina Kehidupan
    Bunuh diri merupakan penghinaan makna, arti hidup, dan individu. Pada abad pertengahan, para pelaku bunuh diri diekskomunikasikan dari ikatan sosial dan agama. Tindakan ini dianggap menajiskan Bumi dan Yang Ilahi. Jenazah mereka tak boleh dimakamkan, tetapi dipajang di tempat umum sebagai awasan (perventif). Setelah sekularisasi, banyak negara mempertahankan larangan bunuh diri secara hukum hingga abad XX.
    Meskipun kini tindakan bunuh diri secara umum masih tabu dan dikategorikan sebagai kejahatan—karena merampas hak untuk hidup—bunuh diri tidak lagi dipandang hitam-putih.
    Dalam hal ini, pembakaran diri mahasiswa dan aktivis Sondang Hutagalung pun harus dilihat bukan sekadar aksi eksentrik yang konyol. Pengorbanan Sondang adalah peringatan serius bagi rezim pasca-Reformasi. Gaung reformasi yang berawal dari dunia kampus kini nyaris raib. Tagihan reformasi politik, sosial, dan budaya belum diejawantahkan secara konsekuen.
    Gejala ”politik verdrossenheit” (kesuraman, kemandekan politik) semakin merebak. Kita perlu dijagakan kembali agar kritis dan korektif memantau roda politik biarpun dikendalikan oleh pemerintahan demokratis.
    Kata Lenin: ”Trust is good, control is better” (kepercayaan itu baik, tetapi kontrol lebih baik). ”Kebahagiaan politik”—menurut Montesquieu—”baru diketahui jika ia sudah berakhir”.
    Wahai Sondang, saudaraku sebangsa dan setanah air: ”Requiescat in pace!” (Beristirahatlah dalam damai!).
  • Sang Kala dan Kesekejapan Kita

    Sang Kala dan Kesekejapan Kita
    Ninok Leksono, PIMPINAN REDAKSI KOMPAS
    Sumber : KOMPAS, 28 Desember 2011
    ”Time was, when we had fun on the schoolyard swings; When we exchanged graduation rings. One lovely yesterday” (”Duerme/Time Was”, lagu ciptaan Miguel Prado, lirik [Inggris] SK Russell, [Spanyol] Gabriel Luna)
    ”It is not what the man of science believes that distinguishes him, but how and why he believes it. His beliefs are tentative, not dogmatic; they are based on evidence, not on authority or intuition (Yang membuat pekerja sains dihormati bukan ’apa’ yang ia yakini, tetapi ’bagaimana’ dan ’mengapa’ ia meyakini hal itu. Keyakinannya bersifat sementara, tidak dogmatik; dan keyakinan tersebut didasarkan pada bukti, bukan pada kekuasaan atau intuisi)”, Bertrand Russell (1872-1970), seperti dikutip John Gribbin, The Universe-A Biography, 2006).
    Manakala sebuah tahun nyaris berakhir, banyak orang mengambil waktu untuk mengenang kembali apa yang telah berlalu setahun kemarin. Itu sebabnya dalam bahasa Latin ada peribahasa ”olim meminisse iuvabit”, yang artinya ”menyenangkan untuk menoleh pada hal-hal yang telah lewat”.
    Itu sebabnya pula penulis lagu seperti Miguel Prado tergerak untuk menulis kenangan saat di sekolah. Semua kenangan tersusun dalam kerangka waktu, mulai dari yang ”serasa baru kemarin” (recent past) atau yang ”sudah lama sekali”, mungkin hingga saat kita masih anak kecil, saat terjauh kita bisa mengingat, dan lebih dari itu kita tak mampu lagi mengingatnya.
    Dalam film fiksi ilmiah, pernah muncul judul Back to the Future atau—sebaliknya—kembali ke masa silam, misalnya ke era dinosaurus sebelum punah 65 juta tahun silam. Kuncinya tentu saja ada ”mesin waktu”. Menurut fisikawan teoretik Paul Davis, membuat mesin semacam itu tidak akan mudah, tetapi bisa jadi mungkin (Scientific American, Special Collector’s Edition, Vol 21, No 1, Spring 2012).
    Kita tahu, riwayat seorang manusia, riwayat satu bangsa, riwayat peradaban, juga riwayat Bumi, bahkan riwayat alam semesta, bertumpu pada rentang waktu. Namun, di sisi lain, waktu sendiri bukan ”hal biasa” yang simpel. Pemahaman manusia akan waktu berkembang dari waktu ke waktu. Dalam kaitan inilah pernyataan filsuf Bertrand Russell di atas kita angkat.
    Edisi khusus Scientific American di atas juga kita angkat karena ada banyak wawasan baru yang dijelaskan di sana, sebagian sudah pernah kita dengar dan sebagian lainnya benar-benar hal baru yang mencengangkan.
    Satu hal yang dibahas dalam edisi ini adalah waktu dari sisi biologi. Wujudnya adalah jam biologi yang bekerja menurut menit, bulan, atau tahun yang membantu otak dan tubuh bekerja dalam jadwal. Seperti ditulis Karen Wright, ada kronometer (penala waktu) di sel yang seperti membunyikan alarm hingga—misalnya—ada kenaikan hormon untuk menstruasi setiap bulan.
    Belum seluruh fisiologi tentang bekerjanya jam biologi diketahui oleh para ahli, tetapi neurolog dan pakar jam tubuh sudah mulai menjawab sejumlah pertanyaan mendesak yang dipicu oleh pengalaman manusia terkait dengan dimensi keempat ini (tiga dimensi lain adalah panjang, lebar, tinggi, atau ruang). Antara lain, mengapa waktu serasa terbang saat kita bersenang-senang?
    Kesekejapan dan Kesemestaan
    Dari satuan-satuan waktu yang lazim dalam ranah ilmu pengetahuan ataupun kehidupan, ada yang paling sekejap (kalau ini boleh untuk melukiskan pendeknya waktu terpendek) hingga yang paling lama. Yang jelas, rentang yang terpendek dan terpanjang dalam satuan waktu sungguh lebar.
    Yang terpendek adalah attosekon. Ini adalah sepermiliar-miliar detik. Dengan laser berkecepatan tinggi, peneliti bisa menghasilkan cahaya yang berpendar hanya selama 250 attosekon. Luar biasa singkat bukan? Bahkan, mungkin sulit untuk dibayangkan. 
    Namun—menurut David Labrador yang menyusun daftar satuan waktu terpendek dan terpanjang di Scientific American—cahaya laser di atas masih jauh lebih panjang dibandingkan dengan apa yang disebut ”waktu Planck”, yang kalanya adalah sekitar 10 pangkat minus 43 detik, yang merupakan durasi paling pendek yang mungkin.
    Setelah attosekon, ada femtosekon (sepersejuta-miliar detik), pikosekon (seperseribu-miliar detik), nanosekon (sepermiliar detik), mikrosekon (sepersejuta detik), milisekon (seperseribu detik), sepersepuluh detik, detik, menit, jam, hari, tahun, abad, juta tahun, miliar tahun.
    Aktivitas kehidupan manusia umumnya adalah dalam satuan detik (misal untuk rekor olahraga), menit, jam, hingga tahun. Angka 100 tahun untuk harapan hidup manusia masih antara ”ya” dan ”tidak”.
    Namun, 100 tahun dibandingkan dengan cahaya laser tersingkat dalam attosekon di atas jelas sudah berlipat miliar kali. Sebaliknya, dibandingkan dengan kala geologis, atau kala kosmik, 100 tahun masih masuk dalam per miliarnya.
    Dalam umurnya yang sekitar 13,7 miliar tahun, alam semesta telah mengembang demikian mahaluas, berisi triliunan obyek, mulai dari planet, bintang, galaksi, hingga berbagai obyek eksotik, mulai dari komet hingga pulsar dan kuasar. Salah satu galaksi terdekat dari Bumi adalah Andromeda, tetapi jaraknya adalah 2,3 juta tahun cahaya (satu tahun cahaya sekitar 9,5 triliun km). Artinya, kalau manusia bisa punya pengalaman hidup dalam juta tahun dan ia bisa punya wahana antariksa berkecepatan cahaya, yang 300.000 km per detik, dalam satu juta tahun ia belum sampai separuh jalan menuju Andromeda.
    Namun, meski terkungkung oleh berbagai keterbatasan, dalam usia peradaban—dan kala hidup pendek—manusia berhasil menjangkau kejauhan, dan dengan itu mendapatkan pemahaman baru, pertama tentang waktu dan berikutnya tentang kesemestaan, serta seiring dengan itu hakikat eksistensi.
    Ketika mengamati galaksi-galaksi tua, astronom menyadari, citra yang mereka lihat melalui perangkat Ultra Deep Field Hubble sudah menempuh perjalanan tidak kurang dari 13,6 miliar tahun. Karena pentingnya instrumen ini, sebelum Hubble purnatugas, AS-Kanada dan negara Eropa telah menyiapkan teleskop angkasa generasi maju, yakni James Webb Space Telescope (Astronomy, September, 2010)
    Menurut Herman Minkowski (ahli matematika guru Albert Einstein), saat kita melihat Matahari, kita tidak saja melihat sebuah benda di ruang, tetapi sekaligus juga benda pada satu waktu. Jadi, ”di mana” yang sebelumnya sering dibedakan dengan ”kapan”, sejak pencerahan Minkowski tahun 1908 di atas, lalu menjadi satu kesatuan (Tim Folger, Extreme Universe, Discover, 2010).
    Dari rangkaian pertanyaan tentang ”kapan” dan ”bagaimana” alam semesta tercipta, sepotong demi sepotong terkuak misteri tentang waktu, tentang keperiadaan manusia, juga tentang grand-design seperti yang diajukan oleh fisikawan Stephen Hawking (dan Leonard Mlodinov, 2010).
  • Rapuhnya Konsolidasi Demokrasi

    Rapuhnya Konsolidasi Demokrasi
    Gun Gun Heryanto, DIREKTUR EKSEKUTIF THE POLITICAL LITERACY INSTITUTE;
    DOSEN KOMUNIKASI POLITIK UIN JAKARTA
    Sumber : SINDO, 28 Desember 2011
    Larry Diamond,akademisi dari Stanford University, menulis soal definisi konsolidasi demokrasi dalam bukunya, Developing Democracy Toward Consolidation (1999).

    Menurutnya, konsolidasi demokrasi itu sebagai persoalan bagaimana merawat stabilitas dan persistensi demokrasi.Konsolidasi demokrasi menekankan pada proses pencapaian legitimasi yang kuat dan dalam, sehingga semua aktor politik yang signifikan, baik pada level massa maupun elite, dapat menumbuhkan kepercayaan satu sama lain, karena mereka yakin bahwa pemerintahan demokratis adalah yang paling tepat bagi masyarakat mereka.

    Jika kata kunci itu merujuk pada kepercayaan dan legitimasi yang kuat, dinamika politik Indonesia sepanjang 2011 menunjukkan kian rapuhnya konsolidasi demokrasi. Momentum akhir tahun ini seyogianya menjadi saat yang tepat untuk membuat refleksi perjalanan demokrasi prosedural yang kita jalani, minimal dalam satu tahun terakhir ini. Sungguh! 2012 persoalan politik akan kian kompleks dan tren politisasi beragam isu akan kian eskalatif seiring dengan fokus para politisi yang kian tajam mengarah ke gelanggang Pemilu 2014.

    Catatan 2011

    Salah satu indikator kian rapuhnya konsolidasi demokrasi adalah persepsi publik yang semakin tidak puas dengan laju reformasi, bahkan sebagian di antaranya sudah menganggapnya gagal. Kita tentu masih ingat dengan salah satu hasil survei nasional Indo Barometer sepanjang 25 April hingga 4 Mei 2011.

    Dari 1.200 responden di 33 provinsi yang menyatakan tidak merasa ada perubahan kondisi sebelum dan sesudah reformasi berjumlah 55,4%.Hanya 31% masyarakat yang menganggap kondisi bangsa setelah reformasi jauh lebih baik. Survei ini juga mencatat 55% di antaranya tak puas dengan reformasi, hanya 29,7% yang menyatakan puas.

    Hasil survei tersebut setidaknya menjadi penguat dari pendekatan akademik dalam meraba gejala kekecewaan masyarakat kepada kaum elite baik di kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Sebenarnya tanpa survei ilmiah pun gejala kekecewaan atas jalannya reformasi bisa kita rasakan mulai dari diskusi di kampus-kampus, hingga warung kopi.

    Bedanya, riset ilmiah meyakinkan kita dengan data dari sejumlah sampel, sehingga asumsi terverifikasi di lapangan. Sepanjang 2011 kita mencatat sejumlah sumbatan yang kian nyata kehadirannya. Jika dianalogikan,kondisi politik kita sepanjang tahun ini ibarat kemacetan Jakarta yang semakin parah.

    Para pemain menumpuk di jalanan, sibuk saling mencaci satu sama lain dan lupa bahwa keegoan diri untuk melaju sesungguhnya menghambat dirinya sendiri dan orang lain. Dalam kekalutan ini, lantas perang pun berjalan asimetris. Tidak lagi jelas siapa kawan dan lawan, karena kerapkali mereka yang menjadi mitra koalisi justru lebih mengancam dan mematikan!

    Paling tidak ada dua sumbatan utama dalam laju konsolidasi demokrasi sepanjang 2011. Pertama, pola ambigu dalam konsolidasi kekuatan penopang rezim SBY-Boediono. Cara kerja pemerintah lebih berorientasi ke dalam atau fokus mengelola risiko konflik dengan mitra koalisi dibanding orientasi ke luar guna memenuhi harapan publik.

    Pola konservatif berbasis koorporatisme politik seperti tergambar dalam pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) ternyata tidak berjalan mulus,bahkan menimbulkan sejumlah paradoks karena gaya kepemimpinan SBY yang sangat kompromistik. Secara faktual, SBY gagal mendisiplinkan banyak parpol yang merasa menjadi pemilik saham dalam rezim kekuasaannya.

    Berbagai momentum politik menunjukkan hanya Demokrat, PKB,PPP, dan PAN yang benarbenar menjadi poros kekuatan SBY.Sementara Golkar dan PKS justru membawa agendanya sendiri-sendiri dan kerapkali menunjukkan identitasnya sebagai partai koalisi bercitarasa oposisi.

    Momentum reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II Oktober lalu menjadi sinyal kuat bahwa SBY lebih berorientasi pada adaptasi kekuasaan untuk memelihara rezim hingga 2014. Dengan demikian, hubungan mesra, tapi “munafik” ini sempurna hanya untuk saling menjaga diri para elite dan bukan diposisikan untuk konsolidasi demokrasi.

    Hubungan ini jelasjelas membuat rezim SBY tidak mampu bekerja optimal, tidak memperkuat institusionalisasi sistem presidensial,serta menghambat tuntasnya sejumlah regulasi untuk konsolidasi dan pelembagaan politik. Contoh aktual adalah ketidakjelasan Setgab dalam revisi UU Pemilu.

    Energi mereka hanya dihabiskan untuk polemik seputar parliamentary threshold. Kedua, laju politik para elite tersandera oleh sejumlah kasus hukum. PDIP tersandar oleh kasus BLBI, SBY dan Demokrat tersandera Century, Golkar tersandera kasus Lapindo, dan banyak politisi lintas parpol yang terjerat atau terancam dengan berbagai laku korupsi politik.

    Banyak pintu menuju korupsi bagi para politisi.Hanya,sangat sulit pintu korupsi tersebut dilewati oleh aktor tunggal. Korupsi politik pun akhirnya dilakukan secara berjamaah dan risikonya satu sama lain akan saling melindungi. Tidak heran jika Corruption Perception Index (CPI) menurut versiTransparency International (TI) tidak beringsut dari angka negara terkorup.

    Skor Indonesia tahun ini 3,0 sekelas dengan Argentina,Benin,Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi,Meksiko, Sao Tome dan Principe, Suriname, dan Tanzania. Artinya Indonesia menempati posisi 100 dari 183 negara yang diukur. Tentu bukan prestasi yang membanggakan bukan?

    Rivalitas Politik

    Tahun 2012 segera datang. Alih-alih tensi politik menurun, yang akan terjadi justru kondisi politik yang semakin memanas. Para politisi akan semakin intensif melakukan tes pasar jelang Pemilu 2014. Berbagai strategi pencitraan, attacking lawan,publisitas,dan kontestasi regulasi seputar pemilu akan menjadi-jadi.Konsekuensi dari pertarungan tersebut,sejumlah langkah menjegal legitimasi lawan akan menyeruak ke permukaan.

    Karena itu, proses konsolidasi demokrasi sangat tak mungkin dilakukan para elite parpol, karena energi mereka akan habis tersedot ke dalam pusaran kontestasi yang seolah tak pernah bertepi.

  • Saling Sandera Terkait Century

    Saling Sandera Terkait Century
    Bambang Soesatyo, INISIATOR HAK ANGKET CENTURY, ANGGOTA TIMWAS DPR
    Sumber : SUARA MERDEKA, 28 Desember 2011
    PENUTUP tahun 2011 benar-benar tidak mengenakkan. Setelah kita dikejutkan oleh tragedi Mesuji Lampung dan Sumsel, serta Bima NTB, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) makin mengeskalasi kekecewaan publik. Pasalnya, hasil final audit forensik BPK atas bailout Bank Century tidak sejalan dengan sejumlah fakta yang selama ini mengemuka di ruang publik. Audit forensik terhadap aliran dana talangan itu mencakup fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) dan penyertaan modal sementara (PMS).

    Hasil final audit itu sangat minimalis, nyaris tidak memberi gambaran apa pun tentang dugaan aliran dana ilegal. Padahal hasil sementara audit forensik BPK yang diperoleh anggota DPR menunjukkan ada dana yang dialirkan ke kelompok tertentu untuk membiayai kegiatan politik 2009. Sebagian lagi dialirkan ke yayasan dan perusahaan.
    Tekanan kekuasaan menyebabkan pimpinan BPK memilih bermain aman. Ada indikasi pimpinan lembaga negara itu berada dalam tekanan dan faktor inilah yang diduga membuat mereka menyederhanakan hasil audit forensik. Bisa dipastikan bahwa hasil audit forensik BPK yang diserahkan ke DPR pekan lalu itu tidak memuluskan upaya mengungkap aliran dana itu.

    Walaupun BPK menyajikan 13 temuan baru, secara keseluruhan hasil audit itu cenderung menyederhanakan persoalan. Bahkan mementahkan optimisme Tim Pengawas (Timwas) DPR untuk proses hukum megaskandal itu. Muatan dokumen audit forensik juga berlawanan dengan optimisme unsur pimpinan KPK yang pernah disampaikan sebelumnya. 

    Sekadar mengingatkan, Timwas Century pernah menyampaikan optimisme ketika hasil audit forensik BPK sudah mencapai 35 persen. Baru pada posisi itu saja, hasil audit sudah menunjukkan jalan terang. Misalnya, uang miliaran rupiah yang tercatat sebagai milik orang tertentu yang profilnya diragukan. Waktu itu, proses audit menemukan ratusan transaksi janggal, termasuk rekening/ alamat fiktif. Tidak kurang dari 60 transaksi baru yang jumlahnya terbilang sangat besar namun benar-benar sangat janggal.

    Tak berapa lama setelah Timwas menerima bocoran hasil audit forensik itu, beredar informasi di ruang publik tentang temuan lain BPK. Antara lain, ditemukan aliran dana Rp 1 miliar dari mantan pemilik Bank Century Robert Tantular kepada Deputi Gubernur BI Budi Mulya. Dana itu diberikan sesaat menjelang BI mengucurkan talangan dana Rp 689 miliar kepada Bank Century pada pertengahan Oktober 2008.

    Independensi KPK

    Saat dana itu dikeluarkan dari BI, dicatat atau diklaim bahwa dana itu akan diserahkan kepada manajemen Century sebagai bagian dari  dana talangan. Namun, setelah ditelusuri, dana itu tak pernah diterima oleh manajemen bank tersebut. Belakangan diketahui bahwa dana itu diterima Budi Mulya sebagai pinjaman dari Robert. Mengenai kejanggalan aliran dana, hasil audit sementara menemukan fakta bahwa ada pembantu rumah tangga, tukang kebun, dan sopir pribadi menerima miliaran rupiah.

    Temuan sementara tadi awalnya berhasil membangun optimisme berbagai kalangan. Bukan hanya  Timwas Century melainkan juga orang-orang BPK. Optimisme tadi pun berlatar belakang pada hasil audit investigasi BPK yang diserahkan ke DPR November 2009 yang mengungkap  berbagai kelemahan dalam proses penanganan PT Bank Century oleh BI hingga saat bail-out pada 21 November 2008. Misalnya, BI dan LPS merekayasa aturan agar bisa memberikan suntikan dana untuk Century. Tentang  bank gagal berdampak sistemik, BPK berpendapat bahwa BI tidak memberi informasi yang akurat, lengkap, dan terkini kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

    Sayang, tekanan kekuasaan mendorong pimpinan BPK berubah sikap. Skenario menekan pimpinan BPK sama persis dengan tekanan yang diberikan kepada unsur pimpinan KPK terdahulu. Ekstremnya, saling menyandera. Apakah  BPK perlu melanjutkan audit forensik itu? Tidak! Kecuali jika mengubah komposisi kepemimpinan di BPK. Jika audit forensik masih ingin diteruskan, harus dicari auditor profesional yang independen. Kalau tak bisa mendapatkan dari dalam negeri, tidak ada salahnya menghadirkan auditor internasional yang kredibilitasnya sudah teruji. 

    Karena itu, harapan untuk menuntaskan skandal ini patut dibebankan ke pundak lima pimpinan baru KPK yang fokus pada penindakan dan pencegahan. Lima pimpinan KPK bersama-sama membawahi bidang penindakan dan pencegahan. Jika solid dan mematuhi etika, mereka tidak bisa disandera. Independensi KPK menjadi faktor utama berjalannya proses hukum skandal Bank Century.

  • Gengster Berlabel Penegakan Hukum

    Gengster Berlabel Penegakan Hukum
    Saharuddin Daming, KOMISINER KOMNAS HAM
    Sumber : REPUBLIKA, 27 Desember 2011
    Belum usai penanganan kasus pembantaian Mesuji dan berbagai tindak kekerasan lainnya yang diduga melibatkan unsur Polri sebagai aktor, (Sabtu 24 Des 2011) pasukan berseragam coklat ini kembali berulah dengan tindakan represif hingga jatuh dua korban jiwa dan puluhan luka-luka dari warga sipil di Pelabuhan Sape, Bima, NTB. Tak urung, publik dari berbagai lapisan mengecam pedas aksi brutal Polri tersebut yang seakan tak pernah mau belajar dari kesalahan dan tak peduli sama sekali pada citra buruk yang disandang Polri selama ini. Lantaran selalu mengedepankan pola pendekatan represif daripada persuasif dalam menghadapi kelompok unjuk rasa.

    Tidak dapat disangkal jika Polri menurut UU N0 2 Tahun 2002 diberi tanggung jawab untuk tugas Kamtibmas dan penegakan hukum. Namun, kita tentu tidak dapat menerima jika Polri dalam melaksanakan tugasnya, justru melanggar hukum dan hak asasi manusia. Masalahnya karena Protap No 1/X/2010 yang menjadi acuan bagi Polri dalam  penanggulangan anarkisme menimbulkan fobia dan trauma yang begitu serius dari berbagai elemen masyarakat tentang rentannya arogansi anggota Polri dalam melakukan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM atas nama hukum. Betapa tidak, karena dengan postur dan perilaku anggota Polri terlihat sangat garang, bengis, dan menggunakan fasilitas persenjataan dari uang rakyat untuk menembak secara membabi buta kepada siapa pun yang dianggap sebagai bagian dari kelompok pengganggu Kamtibmas.

    Semula pimpinan Polri sangat percaya terhadap eksistensi Protap yang dipilih untuk mengoptimalkan tugas Polri dalam menanggulangi gangguan Kamtibmas yang dirasakan meningkat eskalasi dan intensitasnya belakangan ini. Sayangnya, karena mainan baru tersebut sarat dengan nuansa represif, hal ini sangat bertolak belakang dengan wacana Polisi masyarakat (Community Police) yang pernah digadang-gadang pimpinan Polri sebagai salah satu agenda penting dalam reformasi Polri. Betapa tidak, karena dalam Protap tersebut terdapat ketentuan yang memberi wewenang secara individu kepada anggota Polri untuk melakukan tembak di tempat.

    Apa pun alasannya, rumusan ketentuan seperti ini tentu sangat bertentangan dengan Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (International Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment Of Punishment) diratifikasi Undang-Undang No 5/1998, Tanggal 28 September 1998. Protap tersebut juga tidak sejalan dengan  UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang diperkuat dengan kovenan hak sipil dan politik (diratifikasi dengan UU No 12 Tahun 2005). Saya menilai bahwa usaha keras pimpinan Polri untuk membentengi diri dengan Protap yang sangat represif seperti itu menunjukkan bahwa pimpinan Polri justru mendorong Polri bergerak mundur seperti pada zaman Orde Baru dulu.

    Untuk menanggulangi anarkisme seharusnya kapolri meningkatkan kapasitas dan profesionalisme anggota, antara lain, mendesain ulang format dan tata kerja satuan Intelijen maupun Dalmas. Dengan kemampuan yang lebih maksimal dari satuan Intelijen untuk melacak dan mendeteksi suatu keadaan, maka saya pikir Polri selalu bisa melakukan tindakan preventif dan antisipatif secara dini terhadap potensi anarkisme. Selanjutnya, Polri memiliki Dalmas dengan bekal kemampuan berkomunikasi dan berbagai keterampilan adaptif yang benar-benar terlatih. Bagaimanapun, kondisi masyarakat yang mendekati rusuh atau anarkis sebagaimana yang terjadi di Pelabuhan Sape Bima NTB pasti dapat diredam dan digiring ke dalam suasana yang kondusif.

    Sebenarnya, publik sangat mendambakan model pendekatan persuasif selalu hadir dalam setiap pelaksanaan tugas Polri. Sebab, dengan pola pendekatan represif, mengandung risiko untuk disalahgunakan oleh oknum anggota Polri. Ini sangat berbahaya karena dalam kajian psiko-kriminologi menyebutkan bahwa seseorang yang memegang senjata, apalagi senjata api, selalu ada keinginan untuk melakukan eksperimentasi. Sehingga, yang timbul dalam benaknya adalah bagaimana dan kapan bisa senjata itu digunakan, kalau perlu momen diciptakan demi memenuhi syahwat pemegangnya untuk beraksi.

    Saya tidak bisa membayangkan jika polisi dibekali senjata api dengan kewenangan penuh untuk tembak di tempat, akan sulit mengatakan tidak untuk menarik pelatuk senjatanya ketika berhadapan dengan keadaan yang menurut penilaiannya sesuai dengan Protap. Keadaan inilah yang kerap memicu terjadinya shooting error dan peluru nyasar oleh petugas Polri karena soal disiplin dan profesionalisme sebagian anggota Polri saat ini sangat rendah. Jangankan prajurit yang berpangkat tamtama atau bintara, oknum Polri yang berpangkat perwira, bahkan pada level bintang sekali pun yang telah kenyang makan asam garam dinas kepolisian, seperti Komjen Pol (Purn) SY, dapat dengan mudah memuntahkan peluru dari pistolnya walau semula hanya sekadar menakut-nakuti warga.

    Tak hanya itu keadaannya. Dari hal tersebut terbuka peluang bagi oknum Polri menyalahgunakan senjata dan kewenangannya untuk tujuan kriminal sebagaimana yang banyak terungkap pada sejumlah aksi perampokan, pencurian pengeroyokan, dan lain-lain. Dalam konflik lahan yang menghadapkan warga dengan otoritas perkebunan atau kehutanan yang berujung pada kasus penembakan warga sipil, ternyata diduga keras melibatkan oknum Polri.

    Selain itu, suatu kelompok massa yang menggelar aksi unjuk rasa damai yang kebetulan berseberangan dengan kepentingan penguasa, dapat di-setting dengan skenario sedemikian rupa, antara lain, provokasi dari pihak tertentu atau mungkin dari oknum polisi sendiri sehingga kelompok massa tergiring ke lembah anarkisme sesuai dengan skenario yang disusun oleh provokator. Dengan modal ini, polisi berdasarkan Protap sudah dapat melakukan tembak di tempat terhadap kelompok massa.

    Sampai di sini, Polri kembali menjadi instrumen penekan elite penguasa untuk membungkam lawan politiknya maupun daya kritis masyarakat melalui aksi unjuk rasa. Apalagi, dalam Protap tersebut batasan tentang anarkisme sangat kabur sehingga berpeluang untuk menimbulkan multitafsir. Celakanya, pihak yang boleh menafsirkan Protap itu adalah Polri sendiri.

    Dengan hadirnya Protap yang melegitimasi tindakan tembak di tempat, berarti pimpinan Polri menciptakan lembaga imunitas bagi anggotanya untuk menjadi gengster dalam fungsi Kamtibmas. Saya menilai, Protap seperti ini akan mereinkarnasi kebijakan Petrus yang pernah diterapkan pada zaman Orde Baru terhadap siapa pun yang dicap sebagai residivis. Dengan demikian, Polri berada pada posisi ambigu yang secara konstitusional menjadi alat negara untuk melindungi rakyat, namun faktanya justru menjadi instrumen kezaliman rakyat. Semua biaya untuk membeli senjata dan pelurunya, juga membayar gaji anggota Polri, seluruhnya berasal dari uang rakyat. Dan, ternyata justru itu semua digunakan untuk tindakan represif kepada rakyat.

    Reformasi Polri tampaknya bukan obat mujarab untuk mengobati penyakit yang melilit satuan bayangkara ini. Rupanya kita perlu revolusi dengan merombak UU No 2 Tahun 2002 maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang mendudukkan organisasi Polri tidak lagi bersifat nasional, tetapi menjadi unit pemerintah daerah demi memudahkan elemen masyarakat lokal melakukan kontrol. Paling tidak, tugas Reskrim yang selama ini menjadi core business Polri dilepaskan menjadi badan yang bersifat netral dan mandiri sebagaimana FBI di Amerika Serikat, Australia, dan di beberapa negara lainnya.

  • Menggapai Prestasi Olahraga

    Menggapai Prestasi Olahraga
    Halim Mahfudz, CEO HALMA STRATEGIC
    Sumber : KORAN TEMPO, 27 Desember 2011
    Ketika Wakil Presiden Boediono membuka acara Hari Olahraga Nasional pada 9 September 2011, maskot SEA Games XXVI yang diletakkan oleh Wakil Presiden terguling dan jatuh karena kaki-kaki maskot kurang mapan. Setelah itu, Wapres Boediono menyampaikan sambutan dan salah satu poin pentingnya adalah pernyataan bahwa prestasi olahraga Indonesia belum membanggakan. “Kita harus mengakui bahwa, dalam membangun olahraga di Indonesia, masih banyak yang jauh dari harapan kita,” kata Wapres waktu itu.
    Pernyataan itu sesungguhnya merupakan ekspresi wajar dan senada dengan harapan seluruh warga bangsa ini. Kita pernah bangga akan cabang bulu tangkis di zaman Rudi Hartono, Tjun Tjun-Johan Wahyudi, hingga Liem Swie King. Itulah zaman ketika kejuaraan bulu tangkis menyedot perhatian masyarakat dan mampu menghentikan kegiatan seluruh warga Indonesia. Jalan-jalan sepi dan semua orang menyaksikan Sang Maestro mengalunkan nada-nada kemenangan dengan wajah dingin. Rudi Hartono dengan tenang menghabisi lawan-lawannya dan terus menanjak hingga ke posisi puncak.
    Kita juga pernah bangga akan nama besar di sepak bola, dari Ramang, Abdul Kadir, hingga Ronny Pattinasarani. Namun, setelah itu, kita menyaksikan prestasi olahraga yang merosot dan makin kabur. Kisruh dan perebutan kekuasaan terjadi di tingkat federasi baik pusat maupun daerah. Dan prestasi olahraga kita terus meredup. November lalu, setelah lama menantikan, kerinduan pada prestasi olahraga terobati ketika Indonesia berhasil menjadi juara umum South East Asian Games 2011. Prestasi itu membuktikan anak-anak bangsa ini sesungguhnya mampu mencapai puncak prestasi olahraga di kawasan Asia Tenggara. Pencapaian ini adalah keberhasilan Indonesia yang kesepuluh dalam arena SEA Games setelah menjadi juara umum sebelumnya pada 1997. Tetapi apakah dengan keberhasilan menjuarai SEA Games ini berarti pernyataan Wapres ternyata dibuktikan terbalik selama ajang SEA Games?
    Kerja Saling Dukung
    Indonesia memang berhasil menjuarai SEA Games XXVI 2011 di Palembang. Tetapi pernyataan Wapres adalah dalam konteks yang jauh lebih luas daripada menjuarai satu peristiwa olahraga. Pernyataan itu harus dipahami sebagai sebuah bentuk pengamatan tentang pola pengelolaan, pengembangan, dan program versus potensi olahraga bangsa dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ini. Pernyataan itu juga mengekspresikan harapan yang sesungguhnya bisa diraih oleh bangsa ini dari apa yang ada sekarang ini jika ada pengembangan dan pengelolaan yang lebih baik.
    Satu hal penting yang sering kali dilupakan oleh banyak pihak adalah kenyataan bahwa di zaman ini semua masalah terkait satu dengan yang lain. Tidak ada satu masalah pun yang tidak terkait dengan pembuatan kebijakan dan keputusan, otoritas, fasilitas, dukungan atau penolakan dari pihak lain, moralitas dan mentalitas, serta peran publik. 
    Olahraga juga bukan masalah yang bisa berdiri sendiri. Olahraga membutuhkan sarana untuk memfasilitasi peningkatan kualitas dan keahlian para atlet. Sarana membutuhkan ruang dengan berbagai fasilitas, infrastruktur, sistem pengelolaan, instruktur, sumber daya, dan sumber dana. Ini pasti bukan hal-hal yang bisa dipenuhi sendiri oleh pemerintah, apalagi oleh satu kementerian atau hanya oleh DPR. Olahraga melibatkan individu yang menjadi atlet, pelatih, official, dan orang-orang yang mengurus olahraga tersebut. Dan di zaman yang serba canggih ini, olahraga juga membutuhkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dibutuhkan untuk melakukan kajian dan menemukan secara ilmiah faktor-faktor yang bisa dikembangkan untuk peningkatan daya tahan, teknik, dan skill. Hal ini sudah diberlakukan di banyak negara, dan Indonesia tertinggal dalam soal ini.
    Sebuah prestasi dicapai melalui proses, upaya, dan kerja keras yang harus dicapai melalui peran dan partisipasi banyak pihak. Sementara di lain pihak masih banyak pandangan bahwa pengembangan olahraga adalah tugas dan kewajiban Kementerian Pemuda dan Olahraga serta federasi olahraga bersangkutan. Masih banyak anggapan bahwa memperbaiki sepak bola adalah tugas PSSI, meningkatkan prestasi bulu tangkis adalah tugas PBSI, dan seterusnya. Sebaliknya, masyarakat luas termasuk pemerintah sendiri, DPR, serta perusahaan swasta justru berpandangan “hak” mereka adalah menikmati prestasi meski tanpa ikut andil.
    Di Indonesia, kerja sama, dukungan, dan koordinasi antarinstansi pemerintah, peran swasta dan dukungan publik, masih jauh dari harapan. Masih ingat bagaimana lapangan Menteng berubah menjadi sebuah taman? Atau kasus megakorupsi Wisma Atlet? Itu hanya dua contoh bagaimana upaya mencapai prestasi tidak didukung oleh kerja sama bahkan di instansi pemerintah sendiri dan moral yang baik. Kasus mega korupsi Wisma Atlet mencerminkan bahwa tanggung jawab moral dan mental para pengelola sendiri sedang dalam titik nadir. Justru para pembuat keputusan yang menghancurkan jalan menuju peningkatan prestasi olahraga. Soal lapangan Menteng, ada argumen bahwa Jakarta membutuhkan paru-paru kota. Tetapi, pertanyaannya, kenapa harus memilih lapangan Menteng yang sebenarnya bisa menjadi penunjang prestasi olahraga Indonesia. Kenapa tidak membatalkan rencana pembangunan sebuah mal, karena pasokan mal sudah mencapai titik jenuh.
    Apa pun yang kita lakukan sekarang ini adalah sebuah kompleksitas. Membangun sebuah stadion, misalnya, tidak bisa hanya menjadi urusan Kemenpora atau KONI, tetapi juga banyak pemangku kepentingan lain yang harus paham dan memberi dukungan. Ini tantangan tersendiri yang harus dipahami dan ditangani dengan baik.
    Pengelolaan
    Membangun fasilitas olahraga, seperti stadion, hanya salah satu bagian dari rentetan pentingnya pengelolaan olahraga bagi satu bangsa. Banyak orang melupakan bahwa olahraga adalah medium sangat strategis untuk membangun citra dan reputasi, diplomasi, dan keutuhan bangsa, bukan dengan basa-basi dan omong kosong. Dengan prestasi olahraga yang kita capai di SEA Games, reputasi Indonesia sebagai bangsa meningkat di dunia internasional. Dengan prestasi runner-up Piala SEA Games di cabang sepak bola, prestasi itu mengobati kekangenan pada kemenangan dan kebanggaan meski sebelumnya Indonesia gagal unjuk prestasi di penyisihan Piala Dunia.
    Olahraga seharusnya bisa menjadi alat pemersatu bangsa dan alat diplomasi ampuh. Tampaknya potensi ini belum mendapatkan pemahaman yang baik. Yang terjadi di Indonesia justru masalah moral dan mental mereka yang berniat mengelola olahraga itu sendiri. Sebagai contoh, kisruh yang berkelanjutan di PSSI mengecewakan pemain, pelatih, dan penggemar cabang olahraga ini. Ironisnya, kisruh itu terjadi karena kepentingan di luar sepak bola. Dan kisruh PSSI itu hanya masalah permukaan, karena masalah sesungguhnya adalah masalah di luar sepak bola sebagai sebuah olahraga. 
    Jadi, masalah lebih mendasar adalah bahwa banyak kepentingan di luar olahraga yang mengontrol dan mengendalikan langkah dan keputusan di bidang olahraga. Hal ini juga terjadi di tempat lain. Di Indonesia, parahnya, tekad mengontrol dan mengendalikan itu bukan untuk tujuan kemajuan dan prestasi olahraga, melainkan untuk tujuan lain, seperti politik, yang justru merusak olahraga.
    Dengan ego sektoral dan koordinasi kacau di pemerintahan, mental dan moral para pembuat keputusan negeri ini, kepentingan di luar olahraga, dan publik yang tidak terlibatkan, apa yang disampaikan oleh Wapres Boediono adalah pernyataan yang tepat dan harus dipahami dengan hati terbuka.
  • Intoleransi Intra dan Antar Agama

    Intoleransi Intra dan Antar Agama
    Azyumardi Azra, ANGGOTA COUNCIL ON FAITH, WORLD ECONOMIC FORUM, DAVOS
    Sumber : KORAN TEMPO, 27 Desember 2011
    Konflik berbau agama masih sangat laten di Indonesia. Sepanjang 2011, menurut catatan Setara Institute, terjadi setidaknya 244 kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama yang mencakup pemaksaan kehendak, main hakim sendiri, dan kekerasan. Angka ini tidak terlalu jauh menurun dibanding 2010, yang dalam catatan Setara Institute mencapai 262 kasus serupa.
    Selain itu, terjadi beberapa kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sering dikutip orang: kasus gereja HKBP Ciketing yang berlarut-larut sejak 2010; kekerasan massal terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, 6 Februari 2011; pembakaran tiga gereja di Temanggung, 8 Februari 2011; serta bom bunuh diri masing-masing di Masjid Polresta Cirebon 15 April 2011 dan di GBIS Solo 25 September 2011. Kasus-kasus ini secara jelas menunjukkan masih bertahannya intoleransi intra dan antar-agama dengan melibatkan kekerasan di Tanah Air.
    Lebih jauh, kasus-kasus seperti itu sering menjadi pertanyaan dan gugatan berbagai pihak dalam banyak forum internasional. Sebagai contoh, dalam dialog dengan Parlemen Eropa di Brussel pada 1 Juni 2011, seorang audiens dengan menyebutkan kasus Ciketing dan Cikeusik menyatakan Indonesia terlihat mengalami peningkatan intoleransi dan kekerasan berbau agama. Bagi dia, Indonesia gagal mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin UUD 1945.
    Agak terperangah menghadapi gugatan ini, saya terpaksa bersikap defensif dan apologetik dengan menyatakan adanya kasus-kasus semacam itu tidak bisa menjadi dasar sweeping generalization untuk mengambil kesimpulan bahwa kehidupan beragama di Indonesia secara keseluruhan telah dikuasai intoleransi dan kekerasan; seolah-olah tidak ada lagi kerukunan intra dan antar-agama. Sebaliknya, secara umum, kehidupan dan hubungan intra dan antar-agama masih relatif baik di banyak provinsi dan daerah Indonesia. Meski demikian, keadaan ini tidak bisa disikapi secara taken for granted, karena masih banyak terjadi pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
    Kegagalan Pemerintah
    Jika kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan masih belum sesuai dengan UUD 1945, lebih memprihatinkan lagi, pemerintah masih terlihat gagal menegakkan Konstitusi untuk menjamin kebebasan, toleransi, dan kehidupan bersama yang damai bagi setiap dan seluruh warga negara. Belum terlihat kebijakan dan langkah sistemik untuk mencegah pelanggaran hak konstitusional para warga tersebut; dan sebaliknya berusaha sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya.
    Kegagalan itu pertama-tama terkait dengan ketidakseriusan aparat penegak hukum sejak dari Polri, kejaksaan, sampai pengadilan menegakkan hukum guna mencegah terus terjadinya pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Misalnya saja, Polri tidak mampu menghentikan dan bahkan cenderung melakukan “pembiaran” terhadap berbagai tindakan intoleran dan kekerasan, baik intra maupun antar-agama. 
    Jika para pelaku kekerasan akhirnya ditahan Polri dan diproses lebih lanjut ke pengadilan, mereka umumnya dijatuhi hukuman relatif sangat ringan hanya dalam bilangan beberapa bulan hukuman kurungan. Dengan begitu, aparat penegak hukum gagal memperlihatkan kepada publik bahwa tindakan intoleransi dengan kekerasan tidak bisa ditenggang sama sekali.
    Lebih parah lagi, pesan toleransi pada tingkat pemerintahan cenderung hanya sekadar jargon dan basa-basi daripada merupakan realitas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurut catatan Setara Institute, mengeluarkan tidak kurang 19 pernyataan publik tentang pentingnya toleransi. Tetapi pesan tinggal pesan seperti “jauh panggang dari api”, yang tidak dilaksanakan aparat pemerintahan pada seluruh tingkatannya.
    Lebih kontradiktif, masih terdapat kalangan pejabat tinggi pemerintah yang justru menerima dan melayani kelompok intoleran yang gemar melakukan kekerasan. Atau bahkan mengeluarkan pernyataan terbuka agar kelompok dalam agama tertentu dinyatakan sebagai terlarang. Tak kurang memprihatinkan, Polri malah bekerja sama dengan berbagai kelompok seperti itu untuk turut melakukan “pengamanan” masyarakat. Apa jadinya negara ini jika kelompok sipil malah seolah mendapat pembenaran dan sekaligus memperoleh semacam otoritas?
    Peran Masyarakat Sipil
    Meski perkembangan kehidupan beragama 2011 masih ditandai bertahannya berbagai gejala intoleransi, sementara belum ada tanda meyakinkan bagi perbaikan, apa yang masih bisa diharapkan ke depan pada 2012 dan seterusnya?
    Pada satu segi, kita masih layak memelihara cara pandang positif bahwa, dalam perspektif perbandingan dengan banyak negara lain, kehidupan intra dan antar-agama di Indonesia umumnya masih lebih baik. Jika ada kejadian intoleransi dan kekerasan intra dan antar-agama di tempat tertentu, tidak terlihat gejala secara signifikan penyebaran hal seperti itu ke berbagai pelosok Nusantara lainnya.
    Keadaan ini boleh membuat kita sedikit optimistis: intoleransi dan kekerasan bukanlah sikap dasar mayoritas warga bangsa. Hal ini sejalan dengan temuan Pew Research Institute (2011) tentang kehidupan agama secara global. Meski demikian, intoleransi dan kekerasan berbau agama bukan tidak bisa meruyak, sehingga perlu diwaspadai dan dicermati karena memang ia tetap laten di sebagian bangsa kita.
    Optimisme itu kian memiliki pijakan kuat karena tanah air kita kaya akan berbagai organisasi masyarakat sipil (civil society/CS), khususnya yang berbasis agama, seperti NU, Muhammadiyah, dan ormas arus utama lain; dan juga majelis-majelis agama yang mewakili beragam agama di Indonesia. Mereka memiliki komitmen kuat bagi terwujudnya kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada saat yang sama, melalui berbagai program seperti dialog intra dan antar-agama, mereka terus berusaha memperkuat saling pengertian dan kerja sama. Tantangan ke depan bagi religious-based civil society ini adalah memperluas dialog dan kerja sama mereka ke berbagai lapisan kepemimpinan, khususnya pada tingkat menengah dan bawah.
    Selain itu, optimisme juga bersumber dari adanya masyarakat sipil yang tergabung dalam LSM Advokasi yang bergerak dalam pemantauan kehidupan agama. Mereka ini juga sangat penting karena terus memantau, mencatat, dan berteriak lantang tentang bahaya laten intoleransi dan kekerasan yang tidak hanya mengganggu kehidupan keagamaan, tetapi juga kehidupan negara-bangsa secara keseluruhan.
  • Kekuatan Hidup dalam Kebenaran

    Kekuatan Hidup dalam Kebenaran
    Jeffrey D Sachs, GURU BESAR EKONOMI DAN DIREKTUR EARTH INSTITUTE PADA COLUMBIA UNIVERSITY, PENASIHAT KHUSUS SEKRETARIS JENDERAL PBB MENGENAI MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS
    Sumber : KORAN TEMPO, 26 Desember 2011
    Hal yang paling langka di dunia saat ini bukanlah minyak, air bersih, atau pangan, melainkan kepemimpinan moral. Dengan komitmen pada kebenaran–ilmiah, etika, dan pribadi–suatu masyarakat bisa mengatasi penyebab banyak krisis kelaparan, penyakit, dan ketidakstabilan yang kita hadapi saat ini. Tapi kekuasaan membenci kebenaran, dan melawannya dengan tidak henti-hentinya. Maka, marilah kita berhenti sejenak untuk menyatakan terima kasih kita kepada Vaclav Havel, yang meninggal bulan ini, karena memungkinkan suatu generasi memperoleh kesempatan hidup dalam kebenaran.
    Havel adalah pemimpin utama dari gerakan revolusioner yang berpuncak pada dibebaskannya Eropa Timur dan berakhirnya Uni Soviet 20 tahun yang lalu. Serangkaian drama, esai, dan surat yang ditulis Havel melukiskan perjuangan moral hidup dengan jujur di bawah kediktatoran di Eropa Timur. Ia mempertaruhkan segalanya untuk apa yang disebutnya hidup dalam kebenaran–jujur kepada diri sendiri dan jujur dengan heroik kepada kekuatan otoriter yang menindas rakyat dan mengekang kebebasan ratusan juta manusia pada saat itu.
    Havel membayar mahal untuk pilihan yang diambilnya, meringkuk selama beberapa tahun dalam penjara dan hidup lebih lama lagi di bawah pengawasan dan gangguan penguasa yang menyensor tulisan-tulisannya. Namun cahaya kebenaran yang dibawakannya menyebar. Havel memberi harapan, keberanian, bahkan ketidaktakutan kepada suatu generasi bangsanya. Ketika jaring kebohongan ini runtuh pada November 1989, ratusan ribu rakyat Cek dan Slovakia membanjir di jalan-jalan raya merayakan kebebasan–dan mengangkat dramawan yang dikucilkan dan dipenjarakan itu sebagai presiden terpilih Cekoslovakia yang baru.
    Saya sendiri menyaksikan kekuatan hidup dalam kebenaran ini tahun itu, ketika para pemimpin Gerakan Solidaritas Polandia meminta saya membantu Polandia melewati masa transisi ke demokrasi dan ekonomi pasar–bagian dari apa yang dinamakan rakyat Polandia “kembalinya (mereka) ke Eropa”. Saya berjumpa dan mendapatkan ilham yang mendalam dari banyak orang di kawasan ini yang, seperti Havel, hidup dalam kebenaran: 
    Adam Michnik, Jacek Kuron, Bronislaw Geremek, Gregorsz Lindenberg, Jan Smolar, Irena Grosfeld, dan, sudah tentu, Lech Walesa. Para pria dan wanita yang berani ini, dan mereka seperti Tadeusz Mazowiecki dan Leszek Balcerowicz, yang memimpin Polandia selama langkah-langkah pertama negeri itu menapaki kebebasan, berhasil melalui masa-masa kritis itu berkat kombinasi keberanian, kecerdasan, dan integritas diri mereka.
    Kekuatan menyatakan kebenaran pada tahun itu membukakan kemungkinan yang luar biasa, karena ia terbukti berhasil meruntuhkan salah satu hegemoni paling ketat dalam sejarah: dominasi Soviet atas Eropa Timur. Michnik, seperti Havel, mencerminkan kebenaran penuh keberanian ini. Saya bertanya kepadanya pada Juli 1989, ketika rezim komunis Polandia sudah mulai mengurai, kapankah kebebasan akan tiba di Praha. Jawabnya: “Sebelum akhir tahun.”
    “Bagaimana Anda tahu?” tanya saya. “Saya baru saja bertemu dengan Havel di daerah pegunungan pekan lalu,” katanya. “Jangan khawatir. Kebebasan segera tiba.” Ramalannya ternyata benar, sudah tentu, sebulan lebih cepat.
    Seperti kebebasan dan korupsi itu yang cepat menular, begitu juga kebenaran dan keberanian moral menular dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Havel dan Michnik bisa berhasil sebagian karena mukjizat Mikhail Gorbachev, pemimpin Soviet yang berangkat dari suatu sistem yang meracun, namun yang menghargai kebenaran di atas kekerasan. 
    Dan Gorbachev bisa memenangi pertarungan sebagian karena kuatnya kejujuran pada diri warga sebangsanya, Andrei Sakharov, ahli fisika nuklir yang gagah berani yang juga mempertaruhkan segalanya di jantung emporium Soviet–dan yang membayar mahal untuk itu dengan dikucilkannya dirinya dari pergaulan masyarakat.
    Para pemberani moral ini menerima inspirasi dari tokoh-tokoh besar lainnya, termasuk Mahatma Gandhi, yang memberi judul The Story of My Experiments with Truth (Kisah Pengalamanku dengan Kebenaran) pada otobiografinya. Mereka semua meyakini bahwa kebenaran, baik ilmiah maupun moral, bisa pada akhirnya mengatasi setiap rintangan kebohongan dan kekuasaan. Banyak yang tewas demi keyakinannya. Kita semua hari ini menuai manfaat dari keyakinan mereka pada kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
    Kehidupan Havel mengingatkan kita akan mukjizat yang bisa dibawakan kredo kebenaran itu. Ia juga mengingatkan kita akan fakta yang lebih suram, yaitu bahwa dimenangkannya kebenaran itu tidak selalu pasti. Setiap generasi mesti menyesuaikan fondasi moralnya dengan kondisi politik, budaya, masyarakat, dan teknologi yang terus berubah.
    Wafatnya Havel tiba pada saat berlangsungnya demonstrasi besar-besaran di Rusia yang memprotes kecurangan pemilihan, kekerasan di Mesir, kebangkitan di pedesaan Cina melawan pejabat-pejabat setempat yang korup; dan polisi dengan perisai pelindung diri membongkar dengan kekerasan tenda-tenda pemrotes keserakahan korporat di kota-kota di Amerika. Kekuasaan dan kebenaran masih terlibat dalam pertarungan di seantero dunia.
    Banyak di antara pertarungan yang terjadi hari ini–di mana-mana–melibatkan kebenaran melawan keserakahan. Bahkan jika tantangan yang kita hadapi hari ini berbeda dengan tantangan yang dihadapi Havel, pentingnya hidup dalam kebenaran tidak berubah.
    Realitas hari ini adalah realitas suatu dunia di mana kekayaan berarti kekuasaan, dan kekuasaan disalahgunakan untuk menambah kekayaan pribadi yang mengorbankan rakyat miskin dan lingkungan. Sementara itu, mereka yang berkuasa merusak lingkungan, melancarkan perang dengan dalih yang palsu, mengobarkan keresahan masyarakat, dan mengabaikan penderitaan rakyat miskin, tampaknya tidak menyadari bahwa mereka dan anak-cucu mereka bakal juga membayar mahal.
    Para pemimpin moral sekarang harus membangun di atas fondasi yang telah diletakkan Havel. Banyak orang, sudah tentu, sekarang putus asa akan kemungkinan tibanya perubahan yang konstruktif. Namun pertarungan yang kita hadapi–melawan kekuatan lobi korporat, aksi humas yang tidak putus-putusnya, dan kebohongan pemerintah yang tidak henti-hentinya–merupakan bayang-bayang dari apa yang dihadapi Havel, Michnik, Sakharov, dan lainnya ketika melawan rezim-rezim dukungan Soviet yang brutal di masa lalu.
    Berbeda dengan raksasa-raksasa perlawanan ini, kita sekarang diberdayakan oleh instrumen-instrumen media sosial untuk menyebarkan berita, mengatasi keterpencilan, dan memobilisasi jutaan pendukung perubahan dan pembaharuan. Banyak di antara kita menikmati proteksi minimum berbicara dan berserikat, walaupun ini harus dicapai dengan susah payah, tidak sempurna, dan rapuh. Namun yang paling penting dan paling besar manfaatnya adalah bahwa kita diberkati dengan ilham yang dibawakan Havel dalam apa yang disebutnya hidup dalam kebenaran.
  • Bangsa Pengimpor yang Melupakan Petani

    Bangsa Pengimpor yang Melupakan Petani
    Khudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA AEP); ANGGOTA KELOMPOK KERJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014)
    Sumber : KORAN TEMPO, 26 Desember 2011
    Salah satu ciri Kabinet Indonesia Bersatu adalah membuat target tertentu. Tahun ini pemerintah mematok target produksi lima bahan pangan utama: beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Target produksi empat dari lima bahan pangan utama itu tidak tercapai. Satu-satunya yang tercapai adalah daging sapi. Produksi beras, jagung, dan kedelai malah turun. Dibanding target produksi, produksi padi lebih rendah 5,2 juta ton gabah kering giling, jagung 4,77 juta ton pipilan kering, kedelai 629.932 ton kupasan kering, dan gula kristal putih 400 ribu ton. Dibanding tahun lalu, produksi padi turun 1,63 persen, sedangkan produksi jagung dan kedelai masing-masing turun 6 persen dan 4 persen. Kegagalan semacam ini bukan hal baru.
    Akibat target produksi tak tercapai, kita rugi dua kali. Pertama, negara kehilangan potensi pendapatan riil dari empat komoditas strategis itu sekitar Rp 40,2 triliun. Kedua, devisa melayang untuk mengimpor pangan yang target produksinya tak tercapai. Dengan asumsi harga US$ 600 per ton, impor 1,9 juta ton beras tahun ini bernilai Rp 10,26 triliun (kurs Rp 9.000 per dolar). Devisa yang melayang makin besar untuk impor 2 juta ton jagung, 1,63 juta ton kedelai, dan 0,7 juta ton gula kristal putih. Uang itu menciptakan dampak berganda luar biasa jika berputar di dalam negeri. Karena berputar di luar negeri, justru negara lainlah yang menikmatinya.
    Nilai impor semakin besar apabila keseluruhan komoditas pertanian, baik pangan, hortikultura, perikanan, maupun makanan-minuman, diperhitungkan. Hingga Oktober lalu, impor komoditas hortikultura dan produk olahannya, misalnya, mencapai Rp 17,6 triliun, naik 36 persen dari periode yang sama tahun lalu. Sepanjang Januari-November 2011, impor makanan-minuman mencapai US$ 220,9 juta (hampir Rp 2 triliun), naik 16,2 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Secara keseluruhan, impor pangan, baik di bawah kewenangan Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, maupun Kementerian Perindustrian, tahun ini hampir Rp 100 triliun, hampir 6 kali anggaran Kementerian Pertanian.
    Membanjirnya komoditas pangan, peternakan, dan hortikultura impor membuat produksi petani/peternak domestik terdesak. Ini bukan semata-mata soal daya saing, melainkan lebih karena taktik dan politik dagang yang tidak fair dan minimnya proteksi dari negara. Hampir semua bahan pangan penting, seperti gandum, beras, jagung, gula, kedelai, dan daging, harganya terdistorsi oleh berbagai bantuan/subsidi domestik, pembatasan akses pasar, dan subsidi ekspor. Akibatnya, harga di pasar dunia bersifat artifisial dan rendah. Karena tak ada perlindungan memadai, berbagai produk itu mengalir deras menyasar 240 juta warga kita.
    Indonesia ibarat rumah besar dengan pintu terbuka lebar. Siapa pun bisa bebas keluar-masuk tanpa halangan berarti. Lihat saja aneka sayur, kentang, dan aneka benih, termasuk yang berbakteri dan berpenyakit, dengan mudah masuk wilayah Indonesia. Misalnya, kentang impor asal Cina dan Prancis ternyata mengandung bakteri Erwinia carotovora, penyebab penyakit batang hitam pada kentang. Benih jagung Thailand dan padi asal India terbukti mengandung bakteri Pseudomonas syringae, Pantoea stewartii dan Pantoea aglomerans, yang belum ada di Indonesia. Masuknya aneka bahan pangan tak aman itu tak hanya merugikan konsumen, tapi juga menyengsarakan petani. Ketika petani kentang babak-belur dan terpaksa turun ke jalan, pemerintah baru sadar dan buru-buru mengaktifkan balai karantina serta mengatur impor melalui pembatasan pelabuhan impor, dan kode harmonisasi impor (HS).
    Dibanding era 1970-an, tantangan produksi pangan saat ini semakin kompleks. Lahan pertanian kian sempit dan kelelahan (fatigue), produktivitas melandai karena degradasi lahan dan lingkungan, air kian langka, serta anomali iklim dan cuaca kian sulit diprediksi. Itu semua membuat produksi pangan berisiko tinggi. Karena kepemilikan lahan yang sempit, ujung-ujungnya kesejahteraan petani sebagai produsen tidak pernah membaik. Kondisi ini diperparah oleh mazhab pembangunan pertanian-pangan yang berorientasi produksi, bukan kesejahteraan. Pertanian dikonstruksikan sebagai sektor produksi, tak peduli kesejahteraan petani. Bahkan ada kecenderungan kebijakan yang melupakan, bahkan meniadakan, para petani.
    Sampai saat ini pemerintah masih mengidap mentalitas kolonial: sikap percaya pada kekuatan usaha besar. Lebih dari 400 tahun evolusi pembangunan selalu dibimbing oleh jiwa yang meniadakan petani/warga sebagai subyek pembangunan. Premis dasar kebijakan yang diyakini adalah, usaha besar selalu memiliki kapasitas lebih tinggi dari petani. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu, mazhab ini bisa dilihat dari program food estate, Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi, dan rencana pembentukan BUMN Pangan oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan. Padahal bukti-bukti empiris menunjukkan sebaliknya. Buktinya, siapa yang memproduksi pangan bagi 240 juta warga kita kalau bukan petani? Itu dilakukan di 7,5 juta hektare sawah; 3,6 juta hektare area karet; 3,7 juta hektare kebun kelapa; dan ratusan ribu hektare kebun kopi, teh, tebu, lahan kedelai, jagung, serta yang lain. Apa jadinya jika mereka mogok?
    Kebijakan lain yang meniadakan petani bisa dilihat dari janji-janji membagi 8 juta hektare lahan untuk petani yang tak kunjung ditunaikan. Berulang kali pemerintah merilis data bahwa potensi perluasan kawasan budidaya pangan masih cukup luas. Tapi lahan itu tidak diberikan kepada petani, pekebun, warga pinggir hutan, atau kaum marginal lainnya. Puluhan juta hektare lahan justru diserahkan hanya kepada segelintir pengusaha dan konglomerat dalam aneka konsesi dengan lama puluhan tahun: Hak Pengusahaan Hutan, Hutan Tanaman Industri, atau eksploitasi tambang di hutan lindung. Hasilnya sudah sama-sama kita rasakan: hutan gundul dan habis tapi tak membuat kita kaya. 
    Sebaliknya, kita panen banjir-tanah longsor. Dalam waktu dekat berharap ada teknologi baru semanjur revolusi hijau rasanya mustahil. Tanpa penambahan lahan baru buat pangan, kita akan jadi bangsa ayam broiler: bangsa pengimpor.
  • Arus Balik Reformasi Indonesia

    Arus Balik Reformasi Indonesia
    Maria M. Wihardja, PENELITI DI CENTRE FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL STUDIES
    Sumber : KOMPAS, 27 Desember 2011
    Dewasa ini Indonesia jadi pusat perhatian para investor, apalagi setelah Fitch menaikkan peringkat investasi Indonesia menjadi Investment Grade.
    Tampaknya kini Indonesia siap jadi pemain ekonomi global yang diperhitungkan. 
    Benarkah demikian?
    Saya sependapat dengan Hall Hill, HW Arndt Professor di Australian National University, bahwa tak diragukan retorika dan prestasi ekonomi Indonesia cukup mengagumkan. Namun, gejala-gejala menguatnya arus balik reformasi kebijakan ekonomi terbuka dan beberapa persoalan akut tetap ancaman mengkhawatirkan bagi para investor.
    Larangan ekspor semua jenis rotan mentah sudah dikeluarkan dan hanya barang rotan jadi yang boleh diekspor. Di samping itu, pemerintah bertekad swasembada garam konsumsi dan industri. Sementara itu, mulai pertengahan tahun 2012, buah dan sayuran segar hanya bisa masuk di empat (sebelumnya delapan) pelabuhan. Undang-Undang Pertanian tahun 2010 menetapkan pemberian prioritas kepada produk-produk pertanian lokal. Hambatan-hambatan juga bertambah di berbagai bidang usaha jasa seperti pendidikan tinggi.
    Selain itu, iklim usaha semakin tidak menentu. Insentif-insentif fiskal sedang diperkenalkan secara ad hoc dengan kriteria penerima tidak jelas. Demikian pula ketidakpastian jaminan izin usaha di bidang pertambangan saat ini sedang jadi topik utama.
    Arus barang dan jasa antarprovinsi hingga kini masih terkena berbagai pungutan legal dan ilegal. Hambatan-hambatan ini salah satu penyebab mengapa lebih murah mengangkut rotan dari Sulawesi ke China dibandingkan ke Pulau Jawa.
    Pembalikan Arah
    Beberapa hambatan ini bertentangan dengan komitmen-komitmen pemerintah kepada masyarakat internasional.
    Sebagai anggota Masyarakat Ekonomi ASEAN, Indonesia seharusnya telah menghapus semua hambatan nontarif pada akhir 2010. Namun, pemerintah malah menciptakan kebijakan nontarif. Ada juga tekanan yang kuat untuk mundur dari kesepakatan ASEAN-China FTA (ACFTA) yang telah berlaku sejak awal 2010, walaupun Indonesia telah menandatanganinya pada 2004.
    Mengapa terjadi pembalikan arah reformasi? Pertama, walau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menang besar pada Pemilu 2009, landasan koalisi partai pemerintahan amat rapuh. Walaupun koalisi pemerintah menduduki hampir 75 persen kursi di DPR, mereka lebih tertarik mempersiapkan diri untuk Pemilu 2014. Salah satu isu murah tapi populis untuk menarik simpati publik, meski tak menguntungkan perekonomian Indonesia dalam prospektif regional-global, adalah proteksionisme.
    Kedua, meski retorika perdagangan bebas tetap kedengaran di berbagai pertemuan internasional, banyak negara saat ini berputar haluan ketika terjadi resesi global. Putaran Doha WTO masih jauh dari pencapaian sebuah kesepakatan akhir. Sengketa perdagangan dan nilai tukar antara Amerika Serikat dan China sudah mulai terjadi.
    Ketiga, walaupun rupiah telah melemah kembali dalam beberapa bulan terakhir, apresiasi nilai tukar rupiah sebelumnya—yang merupakan cerminan dari meningkatnya ekspor komoditas dan arus masuk modal asing—telah memberikan tekanan terhadap industri-industri Indonesia yang diperdagangkan secara internasional.
    Keempat, penyediaan lapangan kerja Indonesia terus menjadi kelemahan yang nyaris tak dapat mengejar pertumbuhan angkatan kerja. Oleh karena itu, ada persepsi bahwa globalisasi tak memberikan keuntungan yang dapat dinikmati semua orang.
    Perlu ditekankan, kelemahan penyediaan lapangan kerja bukan datang dari globalisasi tetapi dari iklim bisnis yang tidak kondusif. Salah satu penyebabnya adalah undang-undang ketenagakerjaan yang sangat kaku, yang membuat enggan para pengusaha untuk menambah pekerja.
    Beberapa Prasyarat
    Meski demikian, bukan berarti perekonomian Indonesia tak berpeluang untuk berperan dalam ekonomi global. Beberapa persyaratan perlu dipenuhi.
    Pertama, Presiden mungkin memberikan pernyataan yang jujur, tetapi dia masih harus bergulat untuk mewujudkan visinya. Namun, itu tidak mudah, mengingat para pendukung reformasi dari luar politik yang berada di dalam pemerintahan—yang berjuang di barisan belakang pertempuran—terus diserang dengan julukan peyoratif ”neo-lib”.
    Kedua, kebijakan perdagangan serta kebijakan pendukung lain harus didasari studi-studi akademik obyektif dan tidak ditunggangi kepentingan populis dan pencari rente. Banjir produk asing tak boleh jadi alasan pemerintah menutup diri. Pemerintah justru harus memperbaiki regulasi, infrastruktur, dan birokrasi. Perlu diingatkan, meningkatkan hambatan nontarif bukan hanya mengundang retaliasi negara lain, melainkan juga meningkatkan kesempatan menarik pungutan ilegal dan memperbesar arus barang-barang ilegal.
    Momentum dewasa ini harus dimanfaatkan dengan maksimal. Peningkatan peringkat investasi Fitch didasarkan pada makroekonomi indikator yang kuat, tetapi sering kali realitas di sektor mikroekonomi dan sektor riil berbeda, seperti tingginya pengangguran usia muda di kisaran 21 persen. Peningkatan peringkat investasi bisa mendatangkan investasi masuk. Namun, tanpa diimbangi reformasi domestik dan iklim bisnis, masuknya investasi justru bisa mendatangkan wabah bagi Indonesia, seperti pelarian modal di kemudian hari.