Blog

  • Indonesia Menyongsong 2012

    Indonesia Menyongsong 2012
    Irman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI)
    Sumber : SINDO, 29 Desember 2011
    Sebentar lagi tahun 2011 akan segera kita tinggalkan dan tahun 2012 akan kita jelang. Tahun 2011 yang akan segera kita lepas ini memberi kita banyak catatan manis, sekaligus pekerjaan rumah yang harus kita tuntaskan di tahun mendatang.

    Apa saja catatan keberhasilan dan pekerjaan rumah tersebut? Tulisan ini akan sedikit mengulasnya sebagai sebuah refleksi akhir tahun untuk dijadikan potret dalam memulai tahun baru 2012.

    Catatan Keberhasilan

    Sepanjang tahun 2011, catatan keberhasilan dapat kita potret dari beberapa aspek. Pertumbuhan ekonomi terjaga di atas level 6% per tahun.Sejak 2007, prestasi tersebut mampu kita pertahankan meskipun di tengah krisis ekonomi yang tengah melanda dunia. Kita juga mendapatkan predikat investment grade yang merupakan kali pertama sejak reformasi.

    Sebagai Ketua ASEAN 2011, kita berhasil mendorong komitmen bersama negara-negara ASEAN untuk menuju Komunitas ASEAN 2015, sekaligus mendorong peran ASEAN yang lebih besar dalam komunitas global.Juga di mata dunia internasional nama baik bangsa semakin harum dengan keberhasilan penyelenggaraan SEA Games ke-26,sekaligus prestasi membanggakan sebagai juara umum.

    Penguatan sistem demokrasi baik di tingkat lokal dan nasional juga berhasil kita jaga dengan konflik yang minimal.Berbagai pemilihan kepala daerah langsung yang dilaksanakan di berbagai daerah relatif berjalan baik dan demokratis, meskipun beberapa pilkada diwarnai oleh gugatan kandidat di MK.

    Hubungan kelembagaan antara DPR dan DPD RI makin baik dengan keberhasilan penyelenggaraan Sidang Bersama DPR-DPD RI pada 16 Agustus untuk mendengarkan pidato kenegaraan Presiden RI. Sidang Bersama tersebut merupakan momentum untuk memperkuat hubungan kemitraan DPR dan DPD RI serta checks and balances,baik dalam rumpun legislatif maupun legislatif dengan eksekutif.

    Jelang penutupan tahun 2011,ada catatan manis dengan terpilihnya pimpinan KPK yang baru. Terpilihnya pimpinan KPK yang baru ini membangkitkan gairah pemberantasan korupsi, sekaligus memberi harapan baru bagi masyarakat.

    Pekerjaan Rumah

    Tentu 2012 harus kita hadapi dengan rasa optimistis untuk menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil serta diraihnya predikat investment grade, kita dihadapkan persoalan kesenjangan ekonomi serta kesenjangan antarwilayah. Mata rantai kesenjangan ekonomi ini harus diputus agar kesejahteraan masyarakat dapat dipacu.

    Kita harus membangun fundamen ekonomi yang kuat.Lapangan pekerjaan harus dibuka sebanyak-banyaknya, salah satunya dengan mendorong tumbuhnya para usahawan muda dengan menyediakan kemudahan dalam saluran kredit perbankan. Selama ini, kredit yang dikucurkan BI masih di bawah rata-rata 30%.

    Padahal, idealnya 100% dari PDRB agar sektor swasta dapat terstimulusi. Program MP3EI juga harus dibarengi dengan pembangunan infrastruktur di daerah sehingga tersambungnya desakota, antardesa, antarkota, dan antarprovinsi akan memperlancar alur distribusi barang dan jasa untuk memacu pertumbuhan ekonomi daerah.

    Kebijakan pemberdayaan ekonomi masyarakat seperti PNPM mandiri,KUR,dan program subsidi juga harus difokuskan pada kesejahteraan masyarakat. Harus ada pengawasan agar kebijakan-kebijakan tersebut tidak disalahgunakan. Serta dukungan birokrasi yang bersih merupakan salah satu faktor utama mendorong daya saing dan pembangunan ekonomi daerah ke depan.

    Penegakan hukum, keadilan, dan HAM juga menjadi pekerjaan rumah penting pada 2012. Beberapa kejadian pelanggaran HAM yang mencuat di akhir 2011 harus segera dituntaskan. Kasus pembakaran rumah ibadah, konflik lahan dalam kasus pembantaian warga di Mesuji, sampai kekerasan aparat kepolisian di Bima merupakan cermin dari masih lemahnya penghormatan terhadap keadilan dan hak asasi manusia.

    Salah satu tugas yang penting juga adalah menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Rasa aman ini penting karena masyarakat membutuhkan kepastian hidup. Tantangan ke depan menyangkut pemberantasan terorisme, penanggulangan kejahatan dan kekerasan. Begitu juga komitmen atas pemberantasan korupsi harus benar-benar ditunjukkan dengan kerja keras KPK.

    Indeks persepsi korupsi menurut Transparansi Internasional Indonesia akhir 2011 ini masih rendah di peringkat 100 dari 183 negara dengan skor 3,0, sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya 2,8. Untuk mencapai target indeks persepsi korupsi sebesar 5,0 pada 2014, kita memerlukan kerja keras dengan kunci penegakan hukum tanpa pandang bulu dan menciptakan sistem birokrasi pemerintahan yang bersih.

    Otonomi daerah dan desentralisasi juga harus diperkuat. Tahun 2012 harus diarahkan untuk menyelesaikan kasus Otsus Papua, Aceh, Keistimewaan Yogyakarta, serta penyelesaian revisi UU Pemerintah Daerah. Dalam konteks otonomi dan desentralisasi juga, persoalan konflik lahan yang selama ini menguat di daerah harus diselesaikan dengan pendekatan keadilan ekonomi dan hak-hak adat masyarakat.

    Kebijakan landreform merupakan suatu keharusan yang mesti berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Terkait juga dengan penguatan pangan nasional tugas ke depan adalah menyelesaikan pembahasan RUU tentang Pangan dan RUU tentang Perlindungan Petani. Kedua RUU tersebut dapat menjadi bentuk kesadaran negara untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yaitu pangan, serta untuk mendorong petani sebagai aktor dalam produksi pangan nasional yang mandiri.

    Pekerjaan-pekerjaan rumah di atas tentu saja membutuhkan komitmen serta kerja keras semua pihak. Karena tanpa kerja keras dan kerja sama, apa yang menjadi harapan dan citacita bersama pada 2012 akan sulit dicapai. Selamat tahun baru 2012, semoga di tahun baru ini kehidupan menjadi lebih baik!

  • Karakter Bangsa dalam Media

    Karakter Bangsa dalam Media
    Triyono Lukmantoro, DOSEN JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FISIP UNDIP SEMARANG
    Sumber : SUARA MERDEKA, 29 Desember 2011
    Tanpa media, bangsa dan karakter yang hendak dibentuknya tak mungkin dapat dikomunikasikan pada anggota komunitas yang dibayangkan itu

    ADA kaitan yang tidak terpisahkan antara media massa dan formasi karakter bangsa. Media tidak sekadar membantu tapi bahkan mampu mengarahkan pembentukan karakter itu. Tentu saja, dalam membentuk dan mengarahkan berbagai karakter bangsa, media tidak menjalankannya sebagaimana para tokoh etikawan ataupun pemandu moralitas. Media mengoperasikannya melalui aneka mekanisme spesifik, seperti memprioritaskan berita-berita yang dianggap penting bagi kehidupan publik, menampilkan wawancara dengan tokoh yang memiliki kredibilitas tinggi, dan bahkan teknik lain yang dapat ditempuh adalah melalui produksi berbagai jenis hiburan.

    Lebih dari semua itu, yang disebut sebagai bangsa terlahir dari wacana yang dihasilkan oleh media. Fenomena itu dapat disimak dalam kajian Benedict Anderson (Imagined Communities, 2006). Bangsa, demikian Anderson berpendapat, adalah komunitas politik yang dibayangkan. Apa yang dibayangkan itu bergulir dari kapitalisme cetak (print capitalism) yang sudah begitu meluas dalam kehidupan masyarakat.

    Melalui kapitalisme cetak itu, berbagai kelompok yang memiliki bahasa khas mampu berkomunikasi. Kapitalisme cetak juga memberikan kepastian bahasa yang mampu membentuk gagasan subjektif tentang bangsa. Pada akhirnya kapitalisme cetak pun menciptakan bahasa kekuasaan yang berbeda dari bahasa kelompok administratif lama.

    Pendapat yang dikemukakan Anderson tentang bangsa sebagai komunitas politik yang dibayangkan itu memberikan perspektif tersendiri, yakni betapa penting kekuatan media dalam sejarah manusia terjajah untuk melawan ketertindasannya. Hal yang harus dijelaskan lebih jauh adalah mengapa bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan? Anderson mengemukakan empat alasan substansialnya.

    Pertama; dibayangkan karena anggota-anggota dari bangsa yang paling kecil sekali pun tidak pernah saling mengenal, bertemu, dan bahkan mendengar keberadaan mereka. Kedua; dibayangkan karena bangsa yang paling besar sekali pun memiliki batas wilayah jelas. Ketiga; dibayangkan karena bangsa hendak mendirikan kedaulatan dalam zaman Pencerahan dan Revolusi untuk menghancurkan dinasti-dinasti politik yang mengklaim kekuasan dari Tuhan yang berwatak hierarkis. Keempat; dibayangkan sebagai komunitas karena bangsa dipandang sebagai bentuk perkawanan (comradeship) horizontal ketika terjadi ketidakadilan dan eksploitasi.

    Kesadaran Nasional

    Tampaknya, dengan perkembangan globalisasi dan merebaknya industri media (televisi dan internet), Anderson ingin menegaskan kembali kekuatan media dalam formasi nasionalisme pada saat ini. Dalam penilaiannya, televisi dengan berbagai tayangannya yang menonjolkan aspek spektakularitas imaji-imaji dan simbol-simbol mampu memungkinkan terjadinya komunikasi yang bersifat cepat. Penduduk di suatu negeri yang memiliki tingkat keterampilan menonton yang berbeda dan berbahasa secara berlainan pula makin terbiasa menggunakan media ini.

    Pada momentum itu, terciptalah identifikasi nasional. Hal ini ditambah lagi dengan perkembangan media internet, perbankan elektronik, dan perjalanan internasional yang murah menjadikan banyak orang memberikan pengaruh yang kuat terhadap tanah kelahiran mereka meskipun mereka tidak lagi berkeinginan untuk tinggal di negeri asalnya itu. Dalam perkembangan media yang sangat pesat itu dapat disimpulkan bahwa nasionalisme bangsa Barat dan bangsa Timur ternyata tidak memiliki perbedaan tajam.

    Hal ini dapat dipahami bahwa perkembangan media menjadikan pola-pola pembentukan kesadaran nasional dengan berbagai karakternya pada berbagai bangsa mengikuti rute yang serupa. Media menjadi kekuatan yang menentukan di dalamnya. Tanpa media, bangsa dan karakter yang hendak dibentuknya tidak mungkin dapat dikomunikasikan pada anggota-anggota komunitas yang dibayangkan tersebut.

    Dengan demikian, media memang dapat dipandang sebagai agen konstruksi bangsa. Dikatakan demikian karena media membentuk, membangun, dan juga mereka-ulang tentang realitas sosial bernama bangsa. Sebagai agen atau kekuatan konstruksi realitas, media tidak akan mampu terlepas dari keinginan dan kehendaknya untuk mengoperasikan politik representasi.

    Sementara itu, sebagaimana dikemukakan Jen Webb (Understanding Representation, 2009), apa yang disebut sebagai politik representasi dapat diartikan sebagai dimensi-dimensi etis tentang bagaimana kita mendelegasikan, memberikan dan mengorganisasikan objek-objek, gagasan-gagasan dan makna-makna.

  • Ekonomi Tumbuh Positif, tapi Masih Sub-Optimal

    Ekonomi Tumbuh Positif, tapi Masih Sub-Optimal
    Sunarsip, EKONOM KEPALA THE INDONESIA ECONOMIC INTELLIGENCE (IEI)
    Sumber : KORAN TEMPO, 28 Desember 2011
    Tahun 2011 sebentar lagi berakhir. Kita mencatat ada banyak hal positif yang berhasil ditorehkan perekonomian Indonesia. Kesimpulan tentang hal positif yang diraih perekonomian kita sebenarnya tecermin dari perbaikan peringkat sovereignIndonesia menjadi investment grade oleh Fitch pada 15 Desember 2011. Fitch baru saja menaikkan peringkat Indonesia untuk foreign currency long-term senior debt menjadi BBB- dengan outlook stable dari peringkat sebelumnya (BB+/positive). Keputusan menaikkan peringkat ini didasarkan pada peningkatan kinerja perekonomian, likuiditas eksternal yang lebih kuat, rasio utang pemerintah (public debt) yang rendah dengan tren menurun, serta kebijakan makro yang berhati-hati.
    Penulis sendiri memang mencatat beberapa hal positif yang pantas dihargai dengan investment grade. Di tengah krisis ekonomi global (terutama di Eropa) selama 2011, tiga pilar utama ketahanan ekonomi kita–perdagangan, keuangan, dan fiskal–tetap menunjukkan kinerja yang solid. Hingga kuartal III 2011, perekonomian Indonesia mencatatkan pertumbuhan sebesar 6,5 persen, tertinggi di Asia Tenggara. Diperkirakan, pada 2011 ini, perekonomian Indonesia tumbuh 6,5 persen, melampaui pencapaian tahun lalu sebesar 6,1 persen.
    Kuatnya kinerja pertumbuhan ini terutama ditopang oleh kuatnya basis permintaan domestik dalam struktur perekonomian kita. Sehingga, dampak rambatan krisis Eropa melalui jalur perdagangan (trade channel), yang telah kita rasakan dalam beberapa bulan terakhir, tidak mempengaruhi kinerja perekonomian secara keseluruhan. Terlebih lagi, meskipun ekspor (secara volume) kita mulai terganggu, nilainya tetap meningkat karena ditopang oleh tingginya harga komoditas.
    Ketangguhan stabilitas sistem keuangan Indonesia juga teruji di tengah persistensi gejolak pasar keuangan global. Indeks Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia turun ke 1,68 (Oktober 2011) dari 1,75 pada awal 2011, atau jauh lebih rendah daripada periode krisis 2008 sebesar 2,43. Ini tidak terlepas dari kemampuan perbankan (termasuk lembaga keuangan nonbank) kita yang semakin baik dalam menyerap risiko instabilitas.
    Di sisi fiskal, kita juga berhasil menjaga fiskal kita tetap aman, khususnya dalam menjaga rasio utang pemerintah. Rasio utang pemerintah terhadap PDB saat ini diperkirakan berada di level 25 persen, jauh menurun dibanding posisi pada 2005 yang sebesar 47 persen. Realisasi defisit fiskal 2011 juga diperkirakan lebih rendah dibanding asumsi defisit APBN-P 2011 sebesar 2,1 persen. Perkiraan ini didasari oleh lebih baiknya realisasi penerimaan pemerintah dibanding 6 tahun terakhir serta relatif lebih terbatasnya belanja pemerintah. Hanya, rendahnya defisit APBN 2011 ini juga menunjukkan masih berlanjutnya kelemahan pengelolaan fiskal kita, terutama upaya untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas realisasi belanja pemerintah.
    Penyerapan belanja kementerian/lembaga sampai Oktober 2011 tercatat masih rendah dan diperkirakan, hingga akhir 2011, realisasi belanja pemerintah pusat hanya mencapai 95 persen dari APBN-P. Sebaliknya, belanja subsidi justru meningkat signifikan dan dipastikan melebihi pagu APBN-P 2011, terutama disebabkan oleh tingginya harga minyak mentah dan volume konsumsi BBM bersubsidi yang di atas target. Sementara itu, alokasi belanja modal yang lebih tinggi ternyata tidak mendorong peningkatan realisasi investasi pemerintah, sehingga terjadi penurunan kontribusi fiskal terhadap investasi pemerintah. Berdasarkan situasi ini, kontribusi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi 2011 diperkirakan lebih rendah.
    Tanpa bermaksud mencari-cari kekurangan, tampaknya kita juga tetap perlu kritis dalam membaca kinerja positif perekonomian kita tersebut. Pertama, masih tanda tanya: apakah kinerja positif ini akan berlanjut pada tahun depan. Faktanya, dampak rembetan krisis Eropa kini telah mulai memberi pengaruh negatif terhadap perekonomian Indonesia. Rupiah kini mulai tertekan, dan cadangan devisa kita mengalami penurunan. Pada 7 Desember 2011, cadangan devisa turun menjadi US$ 111 miliar dari posisi US$ 113,96 miliar pada Oktober 2011. Dalam tiga bulan terakhir ini, cadangan devisa menurun sekitar US$ 13,5 miliar.
    Dari jalur perdagangan, akibat krisis Eropa, ekspor pada Oktober lalu memperlihatkan penurunan cukup signifikan, yaitu sebesar -4,21 persen (month to month), sedangkan impor tumbuh sebesar 3,18 persen (month to month). Kinerja ekspor-impor ini menyebabkan surplus perdagangan mengalami penurunan signifikan menjadi US$ 1,15 miliar dari US$ 2,37 miliar pada September 2011. Kinerja ekspor ini sejatinya juga tertolong oleh masih tingginya harga-harga komoditas, karena ekspor kita relatif masih didominasi oleh ekspor komoditas. Di samping itu, relatif kuatnya ekspor Indonesia disebabkan oleh permintaan di Asia (khususnya Cina dan India) yang masih tinggi, karena belum terlalu terpengaruh krisis Eropa.
    Pada 2012, Asia (khususnya Cina dan India) diperkirakan tak akan bisa lari dari guncangan perekonomian global saat ini. Di Cina, tanda-tanda melemahnya perekonomian telah sangat jelas, dan bukan hanya terlihat di sektor yang bergantung pada pertumbuhan ekspornya. Laju ekspor Cina per Oktober 2011 hanya naik 15,9 persen (year on year), yang merupakan angka terendah selama dua tahun terakhir. Kondisi Cina ini cukup mengkhawatirkan, sehingga dunia pun meminta Cina meningkatkan konsumsi domestik. Dan melemahnya perekonomian Cina (termasuk India) diperkirakan akan melanjutkan penurunan kinerja ekspor Indonesia.
    Kedua, Bank Indonesia (BI) telah membuat estimasi bahwa perekonomian Indonesia berpotensi meraih pertumbuhan potensial sebesar 7,0 persen. Syaratnya, apabila ditopang pertumbuhan investasi minimal 12 persen setiap tahun. Sayangnya, berdasarkan pengalaman setidaknya dalam lima tahun terakhir, realisasi pertumbuhan investasi Indonesia kurang dari 10 persen per tahun. Investasi pemerintah, yang kita harapkan menjadi stimulator investasi nasional, justru kinerjanya mengecewakan, seperti terlihat dari APBN 2011. Di sisi lain, APBN kita justru memperbanyak pengeluaran yang tidak produktif (seperti subsidi BBM), akibat kurang tegasnya kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi dan kenaikan harga BBM. Padahal pengurangan subsidi BBM diperlukan untuk memperbesar investasi pemerintah.
    Kita memang bersyukur atas kinerja perekonomian selama 2011. Namun patut digarisbawahi bahwa kinerja tersebut masih sensitif terhadap pengaruh eksternal dan sub-optimal. Karena itu, sangat dibutuhkan terobosan penting untuk memperkuat fondasi perekonomian kita. Dalam pengamatan penulis, BI telah memulai langkah-langkah yang mungkin tidak populer, tetapi penting dilakukan untuk mengarahkan kebijakan moneter agar lebih pro terhadap sektor riil. Tetapi itu belum cukup. Kita juga menunggu terobosan penting di sisi kebijakan fiskal. Termasuk, kita juga memerlukan terobosan kebijakan di sisi supply, khususnya yang terkait dengan penyediaan infrastruktur dan pembenahan birokrasi.
  • Antara Konsolidasi Kekuasaan dan Relevansi Media bagi Publik

    Antara Konsolidasi Kekuasaan dan
    Relevansi Media bagi Publik
    Ignatius Haryanto, DIREKTUR EKSEKUTIF LEMBAGA STUDI PERS DAN PEMBANGUNAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 28 Desember 2011
    Menjelang tutup tahun 2011, kita melihat banyak hal yang penting untuk digarisbawahi atas sejumlah peristiwa yang menyangkut perkembangan pers/media di Indonesia. Ada beberapa peristiwa atau fenomena yang penting maknanya terjadi pada 2011 ini: yang paling menonjol adalah bagaimana kekuatan politik, ekonomi, dan media makin bersatu-padu menjelang Pemilihan Umum 2014. Kemudian kita pun melihat betapa kekerasan terhadap wartawan masih terus terjadi. Sementara itu, kita pun melihat bagaimana pengaturan terhadap pers/media terus dilakukan.
    Kita akan mulai dengan menengok kembali bagaimana kerja sama dilakukan oleh kedua pemilik media, yaitu Surya Paloh dan Hary Tanoesoedibjo, ketika akhirnya pemilik Grup MNC ini masuk ke partai politik baru yang dipimpin oleh Surya Paloh. Sekarang kita melihat konstelasi bagaimana sebuah partai baru yang belum dikenal publik dan belum membuktikan kiprahnya dalam pemilu telah memiliki senjata media yang lengkap, dari surat kabar, televisi, radio, hingga media online. Empat dari 10 stasiun televisi yang bersiaran nasional memberikan favoritisme kepada Nasional Demokrat sebagai partai politik.
    Bandingkan situasi ini dengan favoritisme kepada Partai Golkar, di mana ketua umumnya adalah bos dari dua stasiun televisi nasional: ANTV dan TV One. Sementara itu, stasiun televisi sisanya belum terlihat secara signifikan menunjukkan favoritisme tertentu, walau satu-dua mungkin sudah perlahan-lahan menunjukkan keberpihakannya. Namun bagaimana dengan partai politik lain yang tak memiliki akses pada media-media yang ada? Apakah ini situasi yang fair? Silakan publik yang menjawabnya.
    Tiga Kekuatan
    Menjelang Pemilu 2014, dua tahun lagi, kita akan melihat tiga kekuatan yang terus dimobilisasi oleh berbagai pihak, yaitu kekuatan politik (dalam bentuk dukungan partai-partai), kekuatan ekonomi (dalam rupa uang sebagai logistik, yang datang dari pelbagai sumber), serta kekuatan media (yang diharapkan bisa menyiramkan citra-citra positif dari para politikus yang hendak bertarung dua tahun ke depan). Ketiga kekuatan yang dimobilisasi ini merujuk pada penumpukan kekuasaan yang diistilahkan oleh almarhum Prof Dedy Nur Hidayat sebagai “M-P-M” (money-power-more money).
    Di luar pertarungan menuju Pemilu 2014, kita memang melihat betapa industri media di Indonesia masih berkembang dengan pesat. Kondisi inilah lagi-lagi yang membedakan dengan kemurungan yang terjadi di Eropa dan Amerika terkait dengan industri media, di mana kondisi perekonomian di kedua belahan dunia itu memang sedang sakit parah. Tak ada alasan untuk terlalu khawatir bahwa surat kabar di Indonesia akan banyak tutup dalam waktu dekat sebagaimana pernah disebutkan oleh sejumlah jurnalis senior atau pengamat. Jika merujuk pada data yang disebutkan oleh Merlyna Lim (2011), kita akan melihat jumlah surat kabar dan majalah di Indonesia stabil di angka 1.000 penerbitan di seluruh Indonesia, dan tren ini rasanya masih akan terus bertahan dalam beberapa waktu ke depan.
    Dalam dunia penyiaran, kita melihat memang industri ini sangat menggiurkan secara ekonomi. Total belanja iklan (untuk seluruh jenis media) pada 2010 telah mencapai angka Rp 60 triliun, dan 90 persen di antaranya masuk ke industri televisi. Dengan nilai sebesar itu, siapa pengusaha–juga politikus–yang tidak mengincar industri ini untuk didekati, baik dalam kepentingan ekonomi ataupun politik? Mungkin pula ini alasan mengapa akhirnya Grup Kompas Gramedia mau “comeback” masuk ke dunia pertelevisian, setelah sebelumnya mereka memiliki TV7sebelum kemudian dijual kepada Trans Corp pada 2006.
    Apakah ada agenda-agenda politik di balik pembelian media-media tersebut? Prinsip utama yang hendak dibela di sini adalah keragaman pemilik dan keragaman isi media (diversity of ownership, and diversity of content). Apakah prinsip ini dalam kondisi terancam ketika banyak media mulai makin mengerucut di tangan segelintir orang saja? Apakah sejumlah stasiun televisi yang bernaung di satu grup media otomatis berarti ia telah menawarkan keragaman isi medianya? Para pekerja media di sini pun ada dalam kondisi yang tak mudah. Apakah kesejahteraan mereka meningkat seturut dengan meningkatnya kinerja keuangan grup-grup besar itu? Dan apakah grup-grup besar media ini memberikan keleluasaan untuk hadirnya serikat pekerja media yang tak hanya bicara soal kesejahteraan pekerja, tetapi juga membela independensi ruang-ruang redaksi dari aneka kepentingan yang mau selalu mendikte mereka?
    Mengatur Media
    Dewan Pers menjelang akhir 2011 sudah menyelesaikan draf untuk panduan bagi media cybermelakukan kegiatan jurnalistiknya. Kita mengetahui, perkembangan media cyberadalah suatu belantara tersendiri yang di dalamnya juga terkandung sejumlah kompleksitas. Dewan Pers bersama sejumlah pengelola situs berita onlineberkali-kali bertemu untuk merumuskan panduan ini. Bagaimanapun usaha ini harus diapresiasi, walaupun nature dari media online ini sering kali adalah bauran-bauran apa yang disebut sebagai jurnalistik dan bukan jurnalistik.
    Selain itu, di DPR telah banyak dibicarakan masalah revisi Undang-Undang Penyiaran, lalu juga yang menyangkut era digitalisasi, serta kondisi konvergensi media. Tiga hal ini dibicarakan, namun tidak menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Sementara itu, sejumlah kelompok masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) belum lama ini mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk mempertanyakan apakah merger-merger yang dilakukan oleh sejumlah grup media ini bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Proses uji materi ini masih berlangsung.
    Sisi lain dari perkembangan industri media yang marak, kita pun melihat bagaimana hubungan antara media yang ada di pusat (Jakarta) dan yang ada di daerah-daerah (luar Jakarta) dalam kondisi yang mendominasi. Kemunculan TV Kompas(kini hanya disebut sebagai “Kompas” dalam versi TV) menyiratkan kompleksnya masalah perizinan untuk menjadikan TV saling berjaringan. Fenomena beli-membeli stasiun televisi yang dilakukan sejumlah grup televisi menunjukkan esensi dari UU Penyiaran tahun 2002 belum ditangkap sepenuhnya oleh para pebisnis, atau mereka tahu namun menghindari semangat berjaringan tersebut. Sederhana saja, menurut mereka, kondisi ini tidak ekonomis.
    Kekerasan terhadap Wartawan
    Dua hal yang disebutkan di sini mungkin dalam suatu relasi yang saling berhubungan, mungkin juga tidak. Kekerasan terhadap wartawan masih terjadi di berbagai tempat, dan Aliansi Jurnalis Independen selalu mengangkat hal tersebut dan memiliki catatan yang lengkap atas kekerasan yang menimpa wartawan. Terakhir adalah kasus wartawan Rote Ndao News di Nusa Tenggara Timur.
    Kekerasan terhadap wartawan tentu kita sesali, namun kita pun perlu berefleksi, apa yang menjadi dasar kekerasan terhadap wartawan terus terjadi? Apakah ini bermula dari ketidakprofesionalan wartawan? Dalam beberapa kasus, mungkin hal itu yang terjadi. Namun, dalam kasus lain, pihak aparat keamanan, narasumber yang tersinggung, juga menunjukkan ketidakprofesionalan mereka. Namun, lepas dari itu semua, publik menginginkan pekerja media yang terus mengasah diri menjadi makin profesional. Dengan wartawan yang profesional, publik akan lebih bisa mempercayai produk informasinya. Dan, jika tidak, media semacam ini akan makin kehilangan kepercayaan publik.
  • 2011, Tahun Siasat Politik Tontonan Nazaruddin

    2011, Tahun Siasat Politik Tontonan Nazaruddin
    Triyono Lukmantoro, Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang
    Sumber : SINAR HARAPAN, 28 Desember 2011
    Muhammad Nazaruddin tiada pernah henti membuat siasat pada 2011. Bekas bendahara umum Partai Demokrat itu menggelindingkan aneka kejutan bagi publik.
    Setelah ditetapkan sebagai tersangka pada kasus wisma atlet SEA Games, Nazaruddin secara lihai lolos dari tangkapan aparat keamanan. Selama hampir tiga bulan dalam pelariannya, Nazaruddin menghubungi berbagai kantor redaksi media massa.
    Layanan pesan pendek (SMS) dikirimkannya via BlackBerry. Nazaruddin “bernyanyi riang” tentang keterlibatan sejumlah elite Partai Demokrat dalam kasus korupsi yang telah menjerat dirinya.
    Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Edi Baskoro Yudhoyono, Angelina Sondakh, belakangan Saan Mustofa dan Jafar Hafsah, merupakan orang-orang yang secara eksplisit dituding Nazaruddin menikmati uang hasil korupsi. Media massa pun menjadikan semua omongan Nazaruddin sebagai berita utama. Dalam kedudukan itu, Nazaruddin menjadi “bintang media”.
    Gravitasi pemberitaan media mengarah pada dirinya. Tanpa terkecuali ketika Nazaruddin tertangkap di Kota Cartagena, Kolombia, hingga pemulangannya yang harus menggunakan pesawat yang dicarter KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) seharga Rp 4 miliar. Kalangan jurnalis dengan setia menunggunya selama berjam-jam.
    Siasat selanjutnya yang digulirkan Nazaruddin adalah sikap bungkamnya ketika diinterogasi KPK. Nazaruddin menyatakan lupa semuanya dan ingin divonis tanpa melalui proses hukum. Serentak dengan itu, Nazaruddin justru mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
    Isinya adalah permintaan agar SBY tidak mengganggu istri dan anak-anaknya. Cerobohnya, presiden membalas surat sang tersangka itu. Tidak cukup sampai di situ, Nazaruddin pun hendak melapor ke Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa karena merasa teraniaya.
    Sinetron Kekuasaan
    Semua kejadian itu menunjukkan Nazaruddin sedemikian menyadari bagaimana media bekerja. Nazaruddin juga paham bahwa inilah era tontonan politik dan politik tontonan. Tontonan politik menunjukkan bagaimana politik yang memuat pertarungan kekuasaan telah hadir sebagai sajian yang menyenangkan bagi kehidupan publik.
    Ketika politik telah berhenti mengurusi permasalahan-permasalahan publik, yang tersisa sekadar tontonan yang menghadirkan konflik di antara elite-elite partai yang sedang berkuasa. Tontonan politik merupakan nama lain dari sinetron kekuasaan yang meskipun menyebalkan, tetap layak terus diberitakan.
    Dalam situasi politik sebagai tontonan itu, Nazaruddin menyeruak secara sadar untuk menghadirkan politik tontonan. Nazaruddin mampu tampil secara utuh meski dengan mulut terkunci.
    Tapi, publik masih teringat bagaimana suara-suaranya yang menebarkan berbagai tudingan ke arah rekan-rekan separtainya. Politik tontonan yang digelarnya itu, pada kenyataannya, memiliki efek yang kuat.
    Berbagai pembicaraan, analisis, bahkan simpati, terus tertuju ke arahnya. Nazaruddin dalam keadaan terjepit menjadi sang pemenang, sementara teman-teman separtainya yang mendapatkan tudingan darinya berubah sebagai pecundang, atau setidaknya kelimpungan.
    Ketika para jurnalis terkesima dengan segala perilaku Nazaruddin serta publik amat terhipnotis dengan sosoknya, serentak dengan itu, Nazaruddin menjelma sebagai imaji dalam masyarakat tontonan (society of the spectacle), sebagaimana dikemukakan Guy Debord (1931-1994).
    Publik media tidak pernah melihat buronan KPK dan kepolisian negara itu secara langsung. Apa yang mampu ditangkap publik hanyalah gambar dan suara Nazaruddin belaka. Tapi, Nazaruddin tetap bisa menyedot perhatian massa secara luar biasa.
    Berbagai unjuk bincang (talk show) televisi digelar. Para komentator politik diundang. Berbagai laporan dan analisis terhadap Nazaruddin dipampangkan. Itulah fenomena yang dinamakan siasat politik tontonan Nazaruddin.
    Kehilangan Kepercayaan
    Persoalan-persoalan kompleks yang melibatkan kekuasaan politik dan korupsi yang menyelimuti kasus Nazaruddin telah dipertunjukkan media. Dalam masyarakat tontonan, segala persoalan yang rumit terasa menjadi ringan dipikirkan.
    Pada konteks ini, Debord menyatakan ketika dunia yang nyata berubah menjadi imaji-imaji yang sederhana, imaji-imaji yang sederhana itu menjadi keadaan yang nyata. Media telah mengonstruksikan kompleksitas persoalan korupsi Nazaruddin sebagai konflik antara faksi-faksi dalam Partai Demokrat.
    Padahal, sangatlah mungkin, persoalannya tidak sesederhana itu. Boleh jadi, faksi-faksi yang bertikai dalam partai yang sedang berkuasa itu sama-sama menikmati hasil korupsi Nazaruddin.
    Namun, mengapa segala perilaku Nazaruddin lebih mendapatkan posisi yang menguntungkan? Penyebabnya adalah publik, dan terutama media, telah kehilangan kepercayaan terhadap siapa pun yang sedang berkuasa. Pihak yang sedang berada dalam kedudukan oposisional dengan penguasa secara otomatis mendapatkan “angin” yang lebih segar dari media.
    Nazaruddin mungkin menjadi salah satu aktor intelektual korupsi, tapi karena kemampuannya dalam membaca bagaimana media bekerja, Nazaruddin berhasil memanfaatkan media. Lebih dari itu, media menjadi forum bagi Nazaruddin membela dan membongkar borok politik rekan-rekannya.
    Dalam kajian media terdapat teori pengaturan agenda yang berisi pengandaian: apa pun yang diprioritaskan media menjadi pembicaraan utama dalam kehidupan publik. Media dianggap memiliki kekuatan yang berlebih daripada publik itu sendiri.
    Teori pengaturan agenda yang telah sangat klasik itu kini mendapatkan pembaharuan. Ini karena, dalam berbagai peristiwa politik, justru seseorang yang menjadi sorotan publik dapat mengatur agenda media. Nazaruddin mengerti benar situasi ini meskipun dia belum tentu pernah mempelajari teori-teori media.
    Bukan menjadi realitas yang janggal jika selama dalam pelariannya Nazaruddin mengontak sejumlah redaksi media. Begitu pula ketika Nazaruddin bungkam, pasti akan menjadi sorotan media. Nazaruddin mendapatkan keuntungan, demikian pula pihak media. Itulah simbiosis mutualisme antara media dan Nazaruddin.
    Nazaruddin juga menyadari kedudukannya sebagai buronan sebenarnya juga berstatus sebagai pemegang kotak pandora. Dalam pemahaman kontemporer, Pandora yang pada awalnya sosok yang cantik dan menyenangkan, kini berubah sebagai figur yang membawa malapetaka.
    Pandora adalah profil yang sedang melampiaskan dendam karena pernah disia-siakan. Bukankah itu pula yang sekarang dialami Nazaruddin? Ketika berada dalam Partai Demokrat, Nazaruddin berhasil menggapai posisi istimewa sebagai bendahara umum yang bertugas menjadi mesin uang.
    Tapi, ketika skandal korupsi yang membelit partai bersimbol berlian itu hanya diarahkan pada dirinya, Nazaruddin meronta dan memberontak. Perlawanan ala Pandora yang dilakukan Nazaruddin itu telah menjadi tontonan politik. Namun, media dan publik pada akhirnya paham: semua tontonan itu ialah siasat politik Nazaruddin.
  • Bancakan Anggaran pada Akhir Tahun

    Bancakan Anggaran pada Akhir Tahun
    Busthomy Rifa’i, MAHASISWA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA;
    DIREKTUR KORNAS LAPMI 2009-2010
    Sumber : REPUBLIKA, 28 Desember 2011
    Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja dilantik. Banyak rasa optimisme disematkan ke pundak para pimpinan baru KPK ini dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air. Namun, berbanding terbalik dengan apa yang terjadi menjelang pergantian tahun ini. Terjadi gerakan menghabiskan anggaran dan bukan sebaliknya, penghematan.

    Sudah menjadi kebiasaan bahwa pada setiap menjelang akhir tahun anggaran bagi kementerian dan lembaga beserta instansinya masing-masing sangat sibuk melaksanakan berbagai kegiatan, terutama yang berkaitan dengan anggaran yang sebentar lagi akan habis masa berlakunya. Kebiasaan yang sebenarnya telah banyak menuai kritik tersebut sampai saat ini masih saja terus berlangsung dengan berbagai alasan. Artinya, meskipun dalam rentang waktu 12 bulan, ternyata masih belum bisa membagi kegiatan dalam bulan-bulan awal, sehingga kegiatan-kegiatan tersebut tidak menumpuk pada akhir tahun.

    Ukuran kesuksesan bagi para aparat birokrasi pemerintahan seperti itu, maka disadari atau tidak, mendorong mereka melakukan apa saja yang sekiranya bisa menyerap anggaran. Kegiatan apa saja dilakukan, asalkan bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, menyelenggarakan seminar, workshop, pelatihan, evaluasi kegiatan, dan atau apa lagi lainnya, yang sekiranya anggaran dimaksud bisa dibelanjakan.

    Kesan yang kemudian timbul dengan banyaknya kegiatan pada akhir tahun tersebut ialah hanya untuk menghabiskan anggaran semata, tanpa memikirkan tujuan dan target yang ingin dicapai dengan kegiatan yang mereka selenggarakan. Kesan negatif tersebut memang sangat beralasan karena dengan menumpuknya kegiatan pada dua bulan terakhir menunjukkan bahwa perencanaan yang dilakukan tidak baik dan administrasi yang diterapkan juga menjadi tidak tertib. Di samping itu, sudah barang tentu pelaksanaan kegiatan itu sendiri juga kurang maksimal.

    Masih dalam niatan agar dana yang tersedia habis, maka kegiatan yang dilakukan boleh ditempatkan di hotel mewah, sekalipun sebenarnya instansinya memiliki fasilitas sendiri. Berhemat dianggap tidak perlu. Toh, semua itu bisa dipertanggungjawabkan. Ruang pertemuan, kamar, biaya transportasi, uang saku, tas, dan lain-lain, dibiayai dari anggaran itu. Apa pun yang dilakukan akan dibenarkan, asal biaya yang dimaksud bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, ada bukti-bukti fisik pembelanjaan itu. Misalnya, ada kuitansi, daftar hadir bagi orang yang terlibat, dan lain-lain.

    Sebagai ilustrasi sederhana, misalnya, anggaran departemen A tahun 2011 sebesar Rp 1 miliar, lalu pada Desember ini dana baru dikeluarkan sebesar Rp 800 juta. Maka, ada kewajiban bagi departemen tersebut untuk mengembalikan sebesar Rp 200 juta kepada negara sebagai pemberi anggaran tersebut. Karena masih tersisa, maka si A meminta anggaran baru untuk tahun 2012 sebesar Rp 1 miliar lagi. Namun, oleh negara, karena anggaran tahun sebelumnya tidak habis diberikan sebesar Rp 1 miliar, maka anggaran yang diberikan hanya sebesar Rp 800 juta, sebagaimana anggaran yang dipergunakan tahun lalu.

    Berkaca dari hal itu, mereka berupaya menghabiskan anggaran yang ada dengan menyelenggarakan sejumlah kegiatan, kendati program yang dilaksanakan tidak bagus. Maka itu, jangan heran ketika menjelang akhir tahun ini, banyak sekali iklan departemen atau kementerian, bahkan lembaga negara di televisi.

    Sinergi BPK-KPK
    Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah institusi yang mempunyai peran sentral dalam mengawasi sirkulasi keuangan. Lembaga ini harus mewaspadai berbagai modus pemborosan anggaran dari kementerian/lembaga publik lainnya pada akhir tahun. Dalam pengawasan BPK, ditemukan bahwa lembaga tinggi negara hingga triwulan II-2011 masih rendah dalam penyerapan anggaran, sehingga lembaga-lembaga tersebut biasanya menyerobot anggaran pada akhir tahun, tanpa perencanaan yang benar-benar matang.

    Dalam sebuah laporan, BPK telah melakukan PDTT atas 208 objek pemeriksaan yang terdiri atas 61 objek pemeriksaan di lingkungan pemerintah daerah, 44 objek pemeriksaan di lingkungan BUMN, sembilan objek pemeriksaan di lingkungan BUMD, dan dua objek pemeriksaan di lingkungan BHMN/BLU/badan lainnya. Hasil pemeriksaan ini harus ditindaklanjuti secara serius oleh pihak-pihak berwajib agar efisiensi dan checks and balances bisa dipertanggungjawabkan. Karena, faktanya, pemantauan BPK terhadap rekomendasi yang sudah ditindaklanjuti mencapai 55,3 persen dan tindak lanjut yang belum sesuai rekomendasi atau dalam proses tindak lanjut tercatat sebanyak 40.841 atau 21,29 persen. Sedangkan, yang belum ditindaklanjuti sebanyak 44.858 rekomendasi atau 23,39 persen.

    Sinergi antara BPK dan KPK dalam menjalankan tugas adalah kunci utama dalam memotong dan menindak indikasi kasus korupsi di Indonesia. Hasil penemuan dari BPK tersebut harus cepat dikomunikasikan kepada lembaga KPK agar segera disiapkan penanganan dan tindakan khusus. BPK dan KPK harus membangun sinergi karena institusi tersebut yang sangat berperan dalam proses pengungkapan korupsi di Indonesia.

    Selama ini, pemerintah dalam mengelola keuangan lebih memilih pendekatan konvensional. Masing-masing instansi diberi anggaran sejumlah tertentu dan diperinci hingga penggunaannya. Menyalahi aturan itu, sekalipun sebenarnya menguntungkan negara, dianggap salah, dan bahkan harus mengembalikan ke kas negara. Kreatif dalam penggunaan anggaran pemerintah tidak dibenarkan. Dalam keadaan seperti ini, maka yang terpenting adalah mengikuti aturan. Apakah hal itu menguntungkan atau tidak, tidak perlu dipikirkan. Menghabiskan anggaran pada akhir tahun sekalipun tidak ada untungnya bagi pemerintah tetap dibolehkan. Anehnya, sekalipun merugikan pemerintah tidak disebut sebagai tindakan menyimpang atau korup.

    Pemerintah mesti mengupayakan bagaimana setiap departemen bisa menyerap anggaran sesuai dengan kinerja dan program yang ada, jangan sampai pada akhir tahun baru semua anggaran dicairkan. Karena, kalau begitu terus bukan hanya kinerja dan program yang tidak berjalan, melainkan anggaran negara juga dihabiskan tanpa hasil yang pasti. Kalau begitu, rakyat juga yang dirugikan.

  • Resolusi Konflik pada 2012

    Resolusi Konflik pada 2012
    Danang Probotanoyo, PENELITI CENTER FOR INDONESIAN REFORM
    Sumber : REPUBLIKA, 28 Desember 2011
    Miris, satu kata yang tepat menyikapi berbagai konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia sepanjang 2011. Mesuji, Papua, Ahmadiyah, Ambon, “ritual” tawuran mahasiswa di Makassar, tawuran kolosal pelajar di Ibu Kota, dan kasus Bima hanyalah sederet kecil potret konflik yang sarat kekerasan bangsa Indonesia pada 2011. Hampir tak bisa dipercaya semua itu terjadi pada bangsa yang mengaku mempunyai Pancasila, bahkan lebih jauh lagi sebagai bangsa yang menganut agama-agama dalam peri kehidupannya.

    Memang, fenomena konflik telah hadir sejak awal keberadaan umat manusia dan terjadi di setiap bangsa. Diawali dari perselisihan (dispute) antara Habil dan Qabil-putra Nabi Adam-hal persembahan untuk menentukan jodoh keduanya berujung pada konflik kekerasan (violent conflict), yang membawa petaka kematian Habil di tangan Qabil. Lakon Habil-Qabil setidaknya menjadi catatan awal dari sejarah panjang konflik manusia. Katastropik akibat konflik bisa dibuktikan berupa hilangnya jutaan nyawa dan kehancuran berbagai peradaban monumental manusia.

    Indonesia memiliki sejarah panjang konflik dan kekerasan (violent) dari era prasejarah hingga era reformasi sekarang ini. Ditemukannya tengkorak purba yang retak akibat pukulan kampak batu, huru-hara keris Empu Gandring yang memakan korban nyawa tujuh turunan di Singosari, tewasnya jutaan patriot di berbagai kancah pertempuran melawan kolonialisme, tragedi makar, kerusuhan politik, konflik horizontal yang berdarah-darah menjadi memorabilia konflik dan kekerasan bangsa ini.

    Bila menginventarisasi konflik secara lebih mikro, yakni pada ranah interaksi bermasyarakat, niscaya akan membuat kita bergidik. Dari berbagai media massa, setiap waktu kita disuguhi pertikaian dan konflik yang tak jarang berujung pada kekerasan, seolah konflik dan kekerasan menjadi stereotip bangsa ini.

    Corak dan motif konfliknya pun beragam, mulai dari yang sederhana dan interpersonal, seperti perselisihan dalam keluarga, ribut antartetangga, konflik di tempat kerja, perkelahian remaja, tawuran antarkampung dan lain-lain, hingga konflik yang bersifat komunal dan complicated, seperti masalah perburuhan, penertiban PKL, konflik pertanahan, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, hak ulayat yang terabaikan, sengketa pemilu/pemilukada, konflik SARA, pertikaian politik, dan masih banyak lagi. Singkatnya, konflik dengan segala varian sumber dan manifestasinya akan selalu hadir mengiringi perjalanan hidup kita.
     
    Jangan Sembunyikan Potensi Konflik

    Lalu, bagaimana menyikapi fenomena konflik yang bisa muncul setiap saat dengan berbagai dimensi perwujudannya? Apakah kita mempunyai kuasa untuk menghindarkan bahkan melenyapkan konflik itu sendiri?

    Telah diulas di atas bahwa konflik akan selalu hadir selama peradaban manusia itu masih ada (inherent omni presence). Kodrat manusia sebagai makhluk berakal akan selalu menumbuhkan pikiran, gagasan, dan perilaku yang beragam, sehingga konflik menjadi suatu keniscayaan yang terus muncul sebagai akibat manifestasi dari segala perbedaan tersebut.

    Dalam kalimat Chris Mitchell (1981), Konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau mereka mengira memiliki tujuan yang tidak sejalan dan berkesesuaian (incompatible). Apalagi, dalam konteks Indonesia yang memiliki keragaman, baik dalam hal etnis, budaya, keyakinan, agama, disparitas status sosioekonomi, bahkan aspirasi politik bermacam-macam yang setiap saat bisa menjadi letupan-letupan konflik.

    Yang perlu dilakukan di sini bukanlah menghindari konflik yang sudah telanjur muncul (manifest conflict). Fokus perhatian justru dicurahkan pada bagaimana kita mampu memahami dan mengelola konflik agar tidak menjelma menjadi konflik kekerasan (violent conflict) yang dapat berakibat destruktif, kemudian mentransformasi konflik tersebut menjadi energi positif untuk perbaikan dan perubahan di setiap lini kehidupan.

    Selama ini terjadi salah kaprah di masyarakat dengan menyalahkan, mencegah, bahkan memusuhi pihak lain ketika mengungkapkan secara terbuka segala ketimpangan sosial-ekonomi, kebijakan yang salah dari para pengambil kebijakan, dan mengkritisi segala hal yang dirasakan tidak berpihak pada rakyat. Justru, perilaku berusaha menekan atau menyembunyikan segala hal yang berpotensi menimbulkan konflik (suppressing conflict) pada masa yang akan datang harus dihindari. Dengan menutupi segala ketimpangan dan semua yang serbabias dari hadapan publik justru akan membuat timbunan masalah semakin menumpuk dan terakumulasi, yang akan menimbulkan potensi konflik besar ke depannya.

    Para aktivis, pengamat, dan pemerhati yang memfokuskan diri pada upaya pengkritisan dan pengungkapan segala masalah justru harus diapresiasi dan diberi ruang, karena dari merekalah segala masalah yang memendam potensi konflik (latent conflict) akan terungkap ke permukaan (intensifying conflict). Sehingga, memunculkan upaya pencarian solusi guna perbaikan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Mencegah konflik tidak berarti menghindari atau berusaha menekannya, apalagi menyembunyikannya, karena hal itu sama dengan menyimpan bom waktu.

    Menurut Lacey (2003), menangani konflik berarti mengelola dan menggunakan konflik tersebut untuk memperoleh kesempatan guna kemajuan ke depan. Singkatnya, janganlah suka menyimpan kotoran di bawah permadani yang indah. Untuk itu, perlu penguasaan seluk-beluk tentang konflik, baik segi teoritis maupun aksi-aksi yang bersifat praktis, guna mencegah konflik (conflict prevention), menangani konflik (conflict settlement), mencari penyelesaian konflik (conflict resolution), dan mengubah konflik menjadi perubahan yang bersifat positif (conflict transformation).

    Tanggap Konflik
    Dengan demikian, bangsa Indonesia tidak perlu takut, apalagi minder dengan keberagaman yang dimiliki, yang sewaktu-waktu bisa memunculkan konflik. Yang lebih urgen untuk dipikirkan dan diupayakan adalah mencegah konflik agar tidak bermetamorfosis menjadi kekerasan yang bisa berakibat destruktif.

    Bangsa Indonesia harus diyakinkan untuk bisa “hidup berdampingan secara harmonis” dengan produk sosial yang bernama konflik, sebagaimana keharusan bangsa Indonesia untuk bisa hidup secara akrab dengan bencana alam yang menjadi kodrat geografisnya. Terus dipupuk pikiran positif dan kesadaran kolektif bahwa setiap konflik mengandung suatu blessing in disguise untuk perbaikan, kemajuan, dan kedamaian bangsa yang majemuk ini.

    Mari, memasuki tahun 2012 nanti, kita harus lebih cerdas lagi dalam mengantisipasi dan mengatasi segala kemungkinan konflik yang timbul. Tinggalkan cara-cara tidak beradab dalam menghadapi segala persoalan dan perselisihan di antara kita. Bila itu tidak kita lakukan, berarti kita termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi.

  • Buruknya Pengelolaan Energi

    Buruknya Pengelolaan Energi
    Anggito Abimanyu, DOSEN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UGM, YOGYAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 28 Desember 2011
    Pengelolaan energi yang meliputi investasi, produksi dan konsumsi, serta subsidi sumber daya energi sepanjang tahun 2011 dapat dikatakan buruk.
    Target-target yang telah ditetapkan jauh melenceng. Investasi hilir dan listrik tak tercapai, produksi atau lifting di bawah target, serta volume konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik membengkak. Peningkatan penggunaan energi terbarukan, seperti gas dan panas bumi, untuk kebutuhan dalam negeri belum terealisasi. Masalah Newmont dan Freeport menunjukkan kemunduran iklim investasi asing di Indonesia.
    Kementerian Keuangan menyatakan bahwa realisasi subsidi BBM bakal melebihi kuota yang dianggarkan dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2011. Hal ini dikonfirmasikan oleh PT Pertamina yang memprediksi realisasi konsumsi BBM bersubsidi tahun ini akan melebihi kuota APBN-P 2011 sebesar 1,4 juta kiloliter menjadi total 41,8 juta kiloliter, dari target sebelumnya 40,4 juta kiloliter.
    Naiknya harga minyak dunia juga menyebabkan bengkaknya subsidi BBM. Dalam APBN-P 2010 pemerintah mencantumkan asumsi Indonesian Crude Price (ICP) sebesar 80 dollar AS per barrel, sedangkan dalam APBN-P 2011 asumsi ICP ditetapkan 95 dollar AS per barrel, realisasi di atas 110 dollar AS per barrel.
    Akibat lonjakan harga dan konsumsi, realisasi subsidi BBM dalam APBN-P 2011 diperkirakan naik Rp 30 triliun menjadi Rp 160 triliun, melebihi rencana awal Rp 130 triliun. Opsi kenaikan harga dan pengendalian volume konsumsi BBM ada dalam APBN-P 2011, tetapi pemerintah tidak mengajukannya ke DPR. Yang terjadi pemerintah justru merengek minta kenaikan kuota konsumsi BBM. Jadilah usulan naik dari 40 juta ke 42 juta kiloliter.
    Subsidi listrik lebih parah lagi. Hingga kuartal III-2011, subsidi mencapai Rp 65,7 triliun, melebihi kuota APBN-P 2011 sebesar Rp 65,5 triliun. Besaran subsidi sepanjang Januari-September itu naik 57 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu didorong kenaikan konsumsi bahan bakar minyak untuk PLN.
    Tingginya konsumsi BBM karena mundurnya penyelesaian proyek 10.000 megawatt tahap I serta rendahnya realisasi konsumsi gas dan batubara PLN, membengkakkan subsidi hingga Rp 20 triliun.
    Dengan realisasi subsidi listrik hingga akhir tahun diproyeksikan berkisar Rp 90 triliun, pemerintah harus mencari sumber pendanaan untuk menutupi subsidi listrik yang melebihi kuota tersebut. Dalam hal ini, pemerintah dan PLN bertanggung jawab atas meningkatnya subsidi listrik karena APBN-P adalah dana publik.
    Tingginya konsumsi bahan bakar minyak di pembangkit PLN juga disebabkan oleh banyaknya pembangkit listrik tenaga diesel yang dihidupkan. Kebijakan itu dinilai bagus karena dapat meningkatkan rasio elektrifikasi nasional. Di sisi lain, ada konsekuensi biaya dari pemerintah melalui subsidi listrik. Langkah itu bagus, tetapi tidak rasional karena semua beban diserahkan kepada publik.
    Minyak dan Investasi Meleset
    Jika subsidi terus membengkak, pendapatan juga terancam karena lifting (produksi) minyak di bawah target. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengaku berat mengejar target produksi minyak tahun 2011 sekitar 945.000 barrel per hari (bph) karena kini masih 900.000 bph. Setiap 10.000 konsekuensi pendapatan negara adalah Rp 2 triliun. Penurunan produksi 45.000 menyebabkan menambah defisit APBN hampir Rp 5 triliun.
    Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) juga mengaku sangat berat mengejar target produksi minyak tahun ini 945.000 bph. Disampaikan alasan akan banyaknya hambatan untuk mencapai target: hambatan proses produksi karena kebakaran dan kecelakaan.
    BP Migas mencanangkan peningkatan lifting gas. Paling tidak tercatat lifting gas dari 14 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dari total 56 KKKS yang beroperasi di blok migas produksi, telah melampaui target lifting gas dalam APBN-P 2011. Namun, kenaikan lifting gas tidak dapat mengompensasi penurunan minyak. Untuk mengurangi tekor, pemerintah dan DPR biasanya memotong cost recovery para kontraktor.
    Dalam soal investasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengklaim bahwa realisasi investasi di sektor hulu migas telah melampaui target pemerintah hingga September 2011. Namun, realisasi investasi sektor hilir jauh dari target. Investasi di sektor hilir baru 25 persen dengan total target investasi 2011 mencapai 13,6 miliar dollar AS.
    Energi Tanpa Kebijakan
    Selama dua tahun terakhir, pemerintahan SBY-Boediono telah mengalokasikan subsidi BBM dan listrik hampir Rp 400 triliun, hampir setara dengan alokasi belanja seluruh kementerian dan lembaga pemerintah tahun 2011. Bahkan, pada 2011 alokasi subsidi energi mencapai lebih dari Rp 250 triliun. Dibandingkan dengan perencanaannya (APBN), terdapat lonjakan subsidi energi lebih dari Rp 100 triliun. Jumlah ini setara dengan belanja modal pemerintah untuk pertumbuhan dan penyerapan lapangan pekerjaan.
    Meskipun telah mendapat kewenangan dari UU APBN untuk mengendalikan baik harga maupun konsumsi, pemerintah tidak melakukan (alias tidak berani) dengan alasan tak jelas. Pemerintah membiarkan anggaran dihamburkan untuk subsidi BBM dan listrik yang merugikan program pengentasan orang miskin.
    Kebijakan optimalisasi produksi minyak juga ambivalen. Selama hampir 10 tahun tidak ada investasi migas yang signifikan. Penurunan alamiah produksi minyak harus ditutupi dengan pemotongan biaya recovery migas yang berdampak pada produksi masa depan.
    Penurunan lifting minyak tidak mampu dikompensasi dengan kenaikan lifting gas. 
    Kenaikan lifting minyak justru lebih banyak dimanfaatkan untuk ekspor, padahal jika untuk bahan bakar pembangkit PLN, manfaat ekonomi akan lebih besar.
    Dalam Undang-Undang APBN 2012, lagi-lagi pemerintah membuat blunder dengan mengunci berbagai kebijakan untuk menanggulangi kenaikan subsidi energi, baik BBM maupun listrik. Penyesuaian harga BBM dan tarif dasar listrik sudah ditutup untuk 2012. 
    Pelaksanaan penghematan penggunaan volume BBM, baik untuk kendaraan maupun listrik, belum jelas perencanaannya. Tahun 2013 hampir dipastikan pemerintah dan DPR akan menolak semua kebijakan energi yang tidak populer karena menjelang pemilu. Maka hampir dipastikan pemerintahan SBY-Boediono telah dan akan menghamburkan uang publik melalui subsidi energi salah sasaran lebih dari Rp 700 triliun selama pemerintahannya. Suatu kehilangan kesempatan yang luar biasa dengan beban di pundak pemerintah mendatang.
    Demikian pula pada kisruhnya Newmont dan Freeport. Kacaunya solusi divestasi kasus Newmont tidak perlu terjadi jika Presiden sejak awal menegaskan bahwa pemerintah mengambil opsi divestasi untuk kepentingan nasional dan tak dijual kepada pihak swasta. Hasilnya bisa saja dibagihasilkan kepada daerah penghasil, yakni NTB. Namun, yang terjadi justru pembiaran perebutan kekuasaan antara Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi NTB, dan DPR. Pengusaha swasta yang telah mendapatkan manfaat dari divestasi tenang-tenang saja.
  • Pembangunan dan Korupsi

    Pembangunan dan Korupsi
    L. Wilardjo, DOSEN PROGRAM DOKTOR STUDI PEMBANGUNAN DAN PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UK SATYA WACANA
    Sumber : KOMPAS, 28 Desember 2011
    Ideologi pembangunan yang kita pegang selama ini keliru. Sebab, pembangunan diukur dengan (peningkatan) pendapatan rata-rata per kepala. Itu menurut Daoed Joesoef (Kompas, 23/11).
    Ideologi, kata Daoed, bagian dari citra tentang apa yang dianggap seseorang esensial bagi jati dirinya dan bagi citra mengenai dirinya sendiri. Saya kira Arief Budiman akan mengatakan rumusan Daoed belum cukup. Itu hanya merupakan outlook, dan baru akan menjadi ideologi kalau ada pergerakan yang secara aktif memperjuangkan aktualisasinya. Karena ideologi pembangunan kita keliru, perlu dihadirkan ideologi baru, yang di dalamnya bersinergi tiga strategi pokok. Menurut Daoed, ketiga siasat utama itu ”to have more” (lebih makmur), ”to be more” (lebih luhur), dan ”to have more prowess” (lebih perkasa karena ketahanan nasionalnya dijaga dengan strategi hankam yang tepat).
    Yang menjanjikan, kata Daoed Joesoef, adalah ideologi pembangunan yang memberikan Lebensraum bagi partisipasi warga masyarakat, dan yang mengakui HAM untuk meraih kebahagiaan. Di sini ia terdengar seperti warga negara ”the land of the free and the home of the brave” (tanahnya bangsa yang merdeka dan rumahnya bangsa pemberani) yang merasa sok jadi pendekar HAM. Tiga di antara HAM itu adalah kehidupan, kemerdekaan, dan mengejar kebahagiaan.
    Maslow atau Romo Paul?
    Jika sampai terjadi benturan kepentingan antara ”lebih makmur” dan ”lebih luhur”, entah akan memberat ke mana pilihan Daoed Joesoef. Kalau ia penganut Abraham Maslow, ia akan mengutamakan ”lebih makmur” karena yang ”lebih luhur” itu baru mulai dipikirkan setelah tuntutan perut terpenuhi. Atau, bagi dia, mungkin pertanyaannya bukan ”to be or not to be” seperti dilontarkan Shakespeare, tetapi bagaimana cara untuk sekaligus ”to have more” dan ”to be more”.
    Kalau demikian, ia berbeda pandangan dengan Paul Suparno (Sanata Dharma). Pakar pendidikan sains dan romo Yesuit ini menyatakan”less is more” [lebih sedikit itu (justru) lebih banyak]. Membatasi diri untuk menerima dan mensyukuri yang lebih sedikit berarti menghadirkan berkat yang lebih banyak bagi liyan.
    Pada hemat saya, ”less”-nya Paul harus ada batasnya. Anjuran Theodore Roszak agar kita menentang teknologi dan hanya memakai ”teknologi kaki telanjang dan tangan kosong” (technology with bare feet and bare hands) hanya romantisme khayalan yang tidak realistik.
    Di Bumi yang dipadati eksplosi populasi, yang daya dukungnya sudah lemah karena ulah manusia yang mencemarinya dan menguras kekayaannya, tanpa kemudahan yang ditawarkan teknologi, kehidupan kita akan sedemikian sulitnya sehingga tak manusiawi. Anjuran EF Schumacher agar kita menjalani kehidupan ala biarawan juga hanya ”pas” untuk biarawan. Kita, manusia biasa, punya kebutuhan. Kepentingan diri (self interest) itu sah-sah saja untuk dipenuhi asal jangan kebablasan menjadi hanya mengumbar kerakusannya sendiri (selfish).
    Tidak Berkaca
    Sayang, yang hanya mementingkan diri sendiri (dan keluarganya) dalam mengejar ”kebahagiaan” (dalam arti ”to have more”) ada banyak di antara elite pejabat tinggi negeri ini. Mereka lupa diri, dan tak mau berkaca pada apa yang dialami pejabat tinggi korup dan curang di luar negeri. Wapres Spiro T Agnew yang korup beruntung diselamatkan oleh vonis ”nolo contendere” (tidak melakukan perlawanan) atas dakwaan jaksa sehingga ia tidak masuk bui. Namun, sanksi sosial dari masyarakat tetap disangganya. Hancurlah reputasinya di mata publik. Tamatlah riwayatnya di ranah politik.
    Lalu, giliran Richard M Nixon. Ketika ”Deep Throat” mulai membeberkan skandal Watergate melalui duo wartawan The Washington Post, dengan lantang Nixon berteriak, ”I am not a crook (aku bukan bajingan)!” Tetapi, kecurangannya bersama ”all the president’s men” terbukti. Nixon dimakzulkan, tetapi tertolong grasi yang langsung diberikan oleh Wapres Gerald Ford yang menggantikannya sebagai ”potus” (President of the United States). Rakyat AS menghormati hak prerogatif presidennya untuk memberi pengampunan.
    Lebih celaka lagi Caesescu di Romania dan Khadafi di Libya. Caesescu ditembak mati di halaman bersalju setelah diseret ke ”pengadilan rakyat”. Khadafi juga ditembak dan jenazahnya dibiarkan tergeletak di selokan.
    Pejabat tinggi yang korup dan curang di republik ini tak menjadi takut melihat nasib Gloria Macapagal-Arroyo yang diciduk di bandara ketika hendak berobat ke luar negeri. Mungkin karena di Indonesia yang diperlakukan seperti itu hanya sampai ke tingkat Kabareskrim (Susno Duadji) dan anggota DPR dari partai oposisi (Panda Nababan). Melihat tak beruntungnya rakyat kecil di Indonesia selama ini, saya jadi teringat lagu yang sering dinyanyikan pemuda pejuang di masa Orde Lama, kira-kira begini:
    Cukup sudah duka-derita
    rakyat yang sakit dan miskin
    Saatnya pembalasan tiba,
    kita yang menjadi hakim
    Kita yang majas hakim!
    Ayo, ayo bergerak
    Sekarang!
    Pemerdekaan telah datang
    Merah-Putih panji kita
    Merah warna darah rakyat
    Merah warna darah rakyat…
    Mengapa saya tiba-tiba teringat lagu itu? Entahlah. Barangkali karena kegeraman yang tersirat dalam syairnya penad (relevan) dengan peri-keadaan yang kita alami sekarang dan selama ini. Bukankah kata orang Jerman, ”Pendidikan ialah apa yang (masih) tertinggal apabila semua yang kita pelajari sudah kita lupakan (Bildung ist das, was bleibt, wenn man alles Gelehrnte vergessen hat).” Yang tertinggal setelah semuanya terlupakan itu yang penad, yang kena-mengena dengan nasib bangsa kita.
  • Desentralisasi Pendidikan

    Desentralisasi Pendidikan
    Feliks Tan, PROFESOR PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS FKIP UNIVERSITAS NUSA CENDANA, KUPANG; ALUMNUS SENIOR RESEARCH PROGRAM FULBRIGHT 2008-2009 DI NEW YORK, AS
    Sumber : KOMPAS, 28 Desember 2011
    Ada yang aneh dengan wacana peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Ketika roh reformasi peradaban Indonesia menuju desentralisasi, dunia pendidikan malah menghendaki sentralisasi (Mohammad Abduhzen, ”Sentralisasi Pendidikan”, Kompas, 10/12/2011).
    Selain bertentangan dengan roh reformasi, menghendaki sentralisasi pendidikan juga aneh karena menghendaki hal yang selama ini sudah dilaksanakan. ”Kurikulum, gaji guru, bantuan operasional sekolah, sertifikasi, infrastruktur, ujian nasional, dan buku pelajaran juga ditetapkan pusat,” kata Abduhzen.
    Tidak salah dan karena itu tidak aneh kalau hal yang sama yang dikehendaki itu baik adanya. Namun, adakah yang istimewa dari sentralisasi pendidikan? Hampir tidak ada. Sentralisasi pendidikanlah yang antara lain justru meruntuhkan mutu pendidikan Indonesia. Adalah aneh tentu saja kalau kita tetap menghendakinya.
    Seharusnya sentralisasi pendidikan yang gagal itulah yang diganti. Diganti dengan apa? Dengan desentralisasi pendidikan secara total yang bisa memberi ruang luas untuk meningkatkan mutu pendidikan.
    Implementasi
    Persoalannya adalah bagaimana desentralisasi pendidikan bisa diimplementasikan. Ada beberapa cara. Pertama, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 harus dilaksanakan secara penuh. Artinya, setiap tingkat satuan pendidikan (TSP), sebutlah masing-masing sekolah dasar (SD), harus menyusun sendiri kurikulumnya. Jangan seperti sekarang: namanya KTSP, tetapi kurikulum SD masih disusun pemerintah pusat.
    Kedua, kurikulum yang disusun setiap TSP harus berdasarkan minat, bakat, dan kebutuhan belajar (MBKB) murid. Artinya, setiap SD di negeri ini harus dibiarkan untuk memilih mata pelajaran sesuai kondisi muridnya. Tidak masalah, misalnya, hanya mengajarkan mata pelajaran inti: membaca, menulis, berhitung, plus bermain sepak bola.
    Di SD lain, mungkin membaca, menulis, dan berhitung plus pelajaran menari. Bisa juga pelajaran inti plus IPA atau plus pendidikan moral dan karakter. Yang penting sesuai dengan MBKB murid. Bukan seperti sekarang: seragam dan semua anak harus bisa semua mata pelajaran. Padahal, yang genius seperti BJ Habibie hanya bisa dihitung dengan jari di setiap sekolah.
    Ketiga, kurikulum sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan tingkat atas (SLTA) juga harus disusun dengan filosofi seperti itu. Murid harus dibiarkan bertumbuh kembang sesuai bakat dan kemampuannya. SLTP bisa mengajarkan mata pelajaran membaca-menulis-berhitung plus Bahasa Inggris dan bermain bola. Bisa juga belajar fisika dan matematika saja karena memang demikianlah MBKB murid di sekolah itu. Demikian seterusnya sampai perguruan tinggi (PT).
    Keempat, ujian nasional dihapus. Biarkan setiap sekolah menentukan muridnya lulus atau tidak. Sesungguhnya, ketika pembelajaran sesuai MBKB murid, murid akan bisa mengevaluasi kompetensi dirinya. Dia sejatinya tahu apakah dia bisa atau tidak, lulus atau tidak. Guru malah tidak perlu repot untuk itu (baca Carl R Rogers, 1983. Freedom to Learn. Merrill: New York).
    Kelima, manajemen berbasis sekolah perlu diterapkan secara sungguh-sungguh, termasuk untuk pengangkatan dan pemberhentian guru dan pegawai administrasi oleh pimpinan TSP tertentu, penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran, serta berbagai anggaran penyelenggaraan pendidikan pada TSP yang terkait, dengan memperhatikan salah satunya pertimbangan dewan guru dan komite sekolah.
    Dalam hal manajemen pendidikan, pemerintah, pusat dan/atau daerah, cukup menyiapkan anggaran dengan pertanggungjawaban yang benar. Penyiapan anggaran pun jika perlu saja. Ketika sekolah menjadi sangat bermutu dengan ukuran, tamatannya akan beradab, tidak menganggur, dan antikorupsi. Orangtua, baik yang berpunya ataupun papa, tidak akan ragu membiayai pendidikan anaknya di sekolah itu.
    Berbasis Kompetensi
    Keenam, pemangku kepentingan pendidikan, termasuk sekolah lanjutan dan PT, tidak lagi terpaku pada ijazah formal saat menerima calon murid/mahasiswa atau karyawan, tetapi pada kompetensi nyatanya. Artinya, jurusan matematika suatu universitas akan menerima calon mahasiswa dengan kemampuan (dasar) bermatematika, bukan kemampuan dalam bidang lain. Maka, ujiannya juga langsung kompetensi bidang. Calon dengan hasil bagus diterima, yang jelek ditolak.
    Yang ditolak, tetapi tetap berminat studi matematika di universitas tersebut harus meningkatkan kemampuan bermatematikanya. Misalnya, dengan mengulang kembali kelas XII atau di mana saja sampai dia memenuhi standar universitas yang dituju. Calon yang standar matematikanya terpenuhi harus diterima. Tidak peduli dia apakah punya ijazah SMA atau tidak, kompetensinya di bidang lain baik atau jelek.
    Demikian juga, apabila suatu perusahaan pers membutuhkan wartawan ekonomi. Yang bisa menulis berita ekonomi dengan baik harus diterima, tanpa mempersoalkan apakah dia berijazah sarjana (ekonomi) atau tidak.
    Di mana kewajiban pemerintah? Pemerintah bertugas memastikan bahwa setiap anak berkesempatan bukan hanya sekadar belajar, melainkan bisa belajar secara total sesuai MBKB-nya. Pemerintah juga harus mengontrol secara ketat setiap TSP supaya setiap lembaga melaksanakan tugas dengan total sesuai dengan teori ilmu pendidikan universal. Untuk itu, pemerintah juga perlu menyiapkan dana dan infrastruktur secukupnya, terutama untuk TSP yang belum bisa membiayai dirinya sendiri.
    Jadi, yang dibutuhkan Indonesia sebenarnya bukan sentralisasi pendidikan, tetapi desentralisasi pendidikan yang konsisten-nyata. Sekali lagi, biarkan setiap TSP menentukan sendiri apa yang diajar sesuai MBKB muridnya, mematok standar kelulusan, menerapkan manajemen berbasis sekolah, termasuk untuk pengangkatan dan pemberhentian staf, mengatur belanja sesuai kebutuhan TSP terkait. Selanjutnya ini semua akan mengubah paradigma penerimaan calon murid/mahasiswa dan/atau karyawan baru dengan menomorsatukan kompetensi.
    Dalam konteks itu, fungsi pemerintah, pusat, dan daerah hanya mengawasi dan menyediakan dana secukupnya dengan dua tujuan utama.
    Pertama, menjamin bahwa setiap anak Indonesia berkesempatan belajar secara sungguh-sungguh untuk mengaktualisasikan dirinya.
    Kedua, setiap TSP melaksanakan tugasnya secara benar demi Indonesia yang satu, utuh, sejahtera, dan lebih beradab.
    Itulah arti desentralisasi.