Blog

  • Peta Jalan KPK

    Peta Jalan KPK
    Asmar Oemar Saleh, MANTAN KOORDINATOR BADAN PEKERJA
    ANTI-CORRUPTION COMMITTEE (ACC) SULAWESI
    Sumber : REPUBLIKA, 29 Desember 2011
    Terpilihnya Abraham Samad sebagai ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membinarkan harapan baru bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Komitmennya dalam memberangus korupsi tampak sejak dini. Bersama-sama saya, Abraham turut serta dalam pendirian Anti-Corruption Committee (ACC) Sulawesi dan kemudian memegang estafet kepemimpinan menggantikan saya. Tak berhenti sebagai aktivis, ia berhasil memperoleh gelar doktor hukum dari Universitas Hasanuddin.

    Selain Samad, terdapat nama-nama lain pimpinan KPK yang juga cukup menjanjikan, seperti Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas. Keduanya dikenal bersih dan tak kenal kompromi dalam perang melawan korupsi. Di tengah maraknya perilaku korup politikus dan pejabat publik, para pemimpin KPK yang baru itu menjadi satu-satunya harapan rakyat bagi terciptanya keadilan dan Indonesia yang bersih dari korupsi.

    Namun, meski ditakuti, kinerja KPK belum berhasil memantik efek jera pada koruptor. Indikasinya adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang masih rendah. Pada 1999, IPK Indonesia adalah 1,9. Pada 2006, setelah ada KPK, naik jadi 2,4, dan 2010 bertahan pada angka 2,8. Dengan indeks di bawah tiga, Indonesia masih tergolong sebagai negara yang korup. Dalam laporan Transparency International 2010, Indonesia berada pada urutan 110, di bawah negara-negara ASEAN, seperti Singapura (9,3), Brunei (5,5), Malaysia (4,4), dan Thailand (3,5).

    Salah satu sebab absennya efek jera tersebut adalah ringannya hukuman yang diterima koruptor. Vonis yang dijatuhkan para hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) rata-rata hanya empat tahun dua bulan penjara. Hukuman itu jauh berada di bawah hukuman maksimal sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat berupa hukuman mati.

    Dengan adanya KPK, IPK Indonesia seharusnya bisa meningkat jauh lebih tinggi. Sayangnya, KPK belum menggenjot kinerjanya ke arah pemberantasan korupsi secara radikal dan revolusioner. Di sinilah, pimpinan KPK yang baru mesti mampu mengakselerasi kinerjanya dalam memberantas korupsi dengan arah dan strategi yang jelas.

    Peta Jalan
    Dalam Pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tugas KPK adalah berkoordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi; supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; melakukan pencegahan korupsi; dan memonitor penyelenggaraan pemerintahan negara.

    Mengacu pada UU tersebut, seharusnya fokus penanganan korupsi KPK diarahkan pada tiga rute. Pertama, pembersihan instansi-instansi penegak hukum yang potensial menjadi sarang mafia korupsi, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan advokat.

    Kedua, penanganan kasus-kasus korupsi skala besar, seperti dugaan korupsi terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Bank Century, dan proyek Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). Ketiga, berkonsentrasi pada lembaga tinggi negara, tempat dibuatnya kebijakan-kebijakan penting yang menjadi pangkal megakorupsi. Artinya, musuh KPK adalah para pejabat tinggi di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

    Agar tak kelebihan beban, korupsi kecil dan menengah sebaiknya diserahkan kepada kejaksaan dan kepolisian, di bawah pengawasan KPK. Harus selalu diingat bahwa KPK adalah lembaga luar biasa yang sifatnya sementara. Karena itu, ketika saatnya KPK harus bubar, lembaga penegak hukum lain harus telah bersih dari korupsi untuk melanjutkan tugas yang semula diemban KPK.

    Untuk menjalankan misi besar di atas, para pimpinan KPK harus memiliki komitmen yang tak terbeli, berpihak pada kebenaran dan berintegritas tinggi. Indonesia telah menjadi negeri para koruptor, penanganannya pun meniscayakan para penegak hukum kelas satu yang siap menjadi “martir” dalam perang melawan korupsi.

    Belajar pada Negara Lain
    Sejumlah negara dapat menjadi contoh sukses. Korupsi yang merajalela di Hongkong pada 1970-an mendorong lahirnya Independent Commission Against Corruption (ICAC) pada 15 Februari 1974. ICAC berhasil mengadili 119 pimpinan polisi Hong Kong mengenai tuduhan konspirasi pada 24 polisi, serta menangkap ratusan aparat pemerintah korup.

    Korupsi di tubuh polisi Hong Kong pun turun hingga 70 persen. Dari 1.443 laporan pada 1974, menjadi 446 laporan pada 2007. Hong Kong menjelma menjadi negara terbersih kedua di Asia dan berhasil menarik minat investor asing untuk menanam modalnya di Hong Kong

    Korea Selatan menjadi preseden lain negara yang sukses memberantas korupsi dengan mendirikan Komisi Independen Antikorupsi pada 2002 dan mengadili pejabat tinggi negara. Contohnya, dua mantan presiden negara itu, Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo, dihukum penjara sebelum akhirnya diberi pengampunan. Akibat tindakan tegas itu, dalam delapan tahun, Korea Selatan dapat memperbaiki IPK-nya dan masuk dalam 40 besar negara yang korupsinya rendah dari 180 negara.

    Cina adalah contoh lain dari sebuah negara yang sangat serius dalam membasmi korupsi. Dalam 10 tahun terakhir ini, tercatat lebih dari 3.000 pejabat pajak, wali kota, pejabat tinggi polisi, dan pejabat kota yang diganjar hukuman mati. Akibatnya, korupsi di negeri itu dapat ditekan dan berkurang drastis.

    Sementara itu, di usianya yang menginjak delapan tahun, KPK belum memperlihatkan prestasi gemilang. KPK kini justru menghadapi parasit di tubuhnya sendiri. Pengadilan tipikor akhir-akhir memperlihatkan gejala buruk dengan banyaknya terdakwa korupsi yang dibebaskan. Padahal, tren ini hanya lazim di pengadilan umum, bukan di pengadilan tipikor. Maka, evaluasi dan pengawasan pada hakim-hakim pengadilan tipikor di daerah perlu menjadi perhatian bagi KPK.

    Medan Tempur
    Menjelang Pemilu 2014, KPK akan menjadi medan pertempuran bagi partai-partai politik besar. KPK menjadi arena untuk saling menjatuhkan kredibilitas bagi masing-masing partai. Terungkapnya satu kasus korupsi politikus akan berdampak hilangnya kepercayaan, baik pada politikus bersangkutan maupun partainya. Apalagi, jika kemudian terbukti ada aliran dana korupsi ke kas partai, tentu dampaknya ke konstituten akan makin besar. Dan, inilah musuh utama KPK.

    Dalam konteks itulah, KPK harus dapat melepaskan diri dari segala intervensi dan kepentingan jahat politik dan kekuasaan. KPK harus selalu dapat menjaga independensinya dari segala macam godaan dan tekanan. Mesti disadari bahwa sebagai lembaga superbody, KPK bukannya tanpa kelemahan. Tantangan utama internal KPK adalah keterbatasan personel.

    Secara kuantitatif, sejak berdiri hingga Oktober 2011, KPK baru menuntaskan 228 dari sekitar 50 ribu kasus yang dilaporkan masyarakat. Tentu masih jauh dari harapan. Selain itu, belum ada jaringan mafia megakorupsi yang melibatkan oknum petinggi penegak hukum yang berhasil dibongkar dan dipenjarakan.

    Oleh karena itu, kita bisa mengukur keberhasilan KPK melalui tiga keberhasilan. Pertama, kemampuan mengungkap kasus-kasus korupsi-korupsi berskala besar. Kedua, menyingkap praktik mafia korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Ketiga, membersihkan praktik-praktik korupsi para pejabat tinggi negara di departemen-departemen pemerintahan.

    Mengacu pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan belajar pada ICAC di Hong Kong, KPK harus kembali ke khitahnya. Ini dimaksudkan agar pemberantasan korupsi di Indonesia dapat menangkap tuntas para koruptor kelas kakap serta melibas jaringan mafia hukum.

    Kembali khitah maksudnya adalah melakukan akselerasi pada tiga hal. Pertama, melakukan pembersihan di instansi-instansi yang potensial menjadi sarang korupsi dan mafia hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung), dan advokat.

    Kedua, dari sisi penindakan, KPK seharusnya hanya fokus pada penanganan kasus-kasus korupsi yang membuat negara mengalami kerugian yang sangat besar. Ketiga, dalam upaya pencegahan, sasaran utama KPK adalah birokrasi pemerintahan-tempat dibuatnya kebijakan-kebijakan penting negara. Birokrasi inilah yang menjadi pangkal bagi munculnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

  • Demokrasi yang Kehilangan Hati

    Demokrasi yang Kehilangan Hati
    Wiranto, JENDERAL (PURN)
    Sumber : KOMPAS, 29 Desember 2011
    Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya. Pasal 28E Ayat 2 UUD 1945 menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kebebasan politik untuk menyuarakan hati nurani tanpa tekanan dan paksaan pihak lain.
    Ketentuan itu pun mengandung arti adanya perintah normatif agar hati nurani jadi dasar bagi kebebasan politik dan sistem politik secara keseluruhan.
    Ketentuan konstitusi ini sejalan dengan ketentuan Artikel 1 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang menyebutkan, ”All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood”.
    Secara kodrati, demokrasi yang bersendikan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan harus dibangun berdasarkan nalar dan hati nurani. Dengan hanya kekuatan nalar akan melahirkan sistem demokrasi yang rasional, sekaligus melahirkan pemerintahan yang ”disregard and contempt for human rights have resulted in barbarous acts which have outraged the conscience of mankind” (Preamble of UDHR).
    Akibatnya, sistem politik hanya tunduk pada formalitas yuridis yang ditentukan oleh batasan sah (legal) dan tidak sah (ilegal) berdasarkan pertimbangan rasional semata, tetapi tidak memiliki landasan etis atas penilaian baik dan buruk.
    Di bidang ekonomi, situasi serupa dewasa ini juga terjadi. Noam Chomsky berpendapat, ideologi pasar bebas yang tak berhati nurani hanya meningkatkan keserakahan korporasi, yang diwujudkan dalam bentuk demokrasi elektoral nominal.
    Namun, perlu pula diwaspadai data yang diajukan Larry Diamond. Ia mencatat adanya kecenderungan kontradiktif: di satu pihak terjadi pertumbuhan demokrasi elektoral (atau demokrasi formal), di pihak lain terjadi stagnasi dalam pemenuhan kebebasan dan kesejahteraan warga. Menurut Diamond, kecenderungan tersebut merupakan petunjuk dari terjadinya ”kedangkalan demokratisasi”.
    Situasi kontradiktif seperti itu ditunjukkan dengan kian banyak negara yang gagal memetik keuntungan dari demokrasi elektoral. Mereka malah menghasilkan pemerintahan yang—sekalipun punya legitimasi tinggi—tak efisien, korup, rabun, tidak akuntabel, dan didominasi kepentingan jangka pendek (Azhari, 2004). Situasi ini melahirkan kekhawatiran akan terjadi arus balik yang oleh Diamond disebutnya sebagai the third reverse wave.
    Moral dan Etika
    Keberhasilan reformasi politik di Indonesia sejak 1998 memang telah diakui dunia. Sistem demokrasi elektoral telah dijalankan melalui pemilihan umum yang kompetitif untuk tujuan memperoleh kekuasaan efektif. Paling tidak Indonesia sudah melakukan pemilu tiga kali, yakni pada tahun 1999, 2004, dan 2009, yang menghasilkan pemerintahan yang cukup legitimate.
    Namun, kenyataannya, Indonesia pun harus mengalami akibat dari demokrasi tanpa hati itu dengan adanya kontradiksi antara keberhasilan mengembangkan demokrasi politik di satu pihak dan penurunan kesejahteraan di pihak lain.
    Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia, dalam tiga tahun terakhir jumlah orang miskin di Indonesia meningkat tajam dari 40,4 juta tahun 2008 menjadi 43,1 juta tahun 2010, meningkat sekitar 2,7 juta orang. Ironisnya, saat yang sama juga terjadi peningkatan pendapatan per kapita dari Rp 23,1 juta tahun 2009 menjadi Rp 27 juta tahun 2010 (BPS, 27 Februari 2011). Adanya peningkatan jumlah orang miskin di satu sisi dan pendapatan per kapita di sisi lain menunjukkan terjadi ketimpangan sosial-ekonomi yang mencolok.
    Kenyataan ini menunjukkan, demokrasi elektoral tak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Demokrasi elektoral, yang merupakan instrumen bagi sistem ekonomi pasar bebas, terbukti hanya memfasilitasi kepentingan korporasi yang bertujuan untuk meraih keuntungan finansial dan mengakumulasi kapital semata-mata. Dalam ungkapan Chomsky, demokrasi elektoral hanya memfasilitasi keserakahan korporasi.
    Sejalan dengan rasionalitas ekonomi, demokrasi elektoral yang mengandalkan kalkulasi rasional akhirnya berkembang ke arah bentuk politik transaksional. Proses-proses politik akhirnya dikendalikan oleh kapital atau uang. Akibatnya, rakyat hanya jadi obyek transaksi dalam proses demokrasi. Dalam situasi seperti ini, sistem demokrasi berkembang menjadi sistem oligarkis yang hanya dinikmati oleh segelintir elite.
    Keadaan seperti itu menyadarkan kita untuk mengembalikan demokrasi agar tidak mengutamakan akal semata, tetapi harus diimbangi pertimbangan moral dan etika yang bersumber pada hati nurani. Hal ini bukan saja merupakan kewajiban etis yang bersifat universal, melainkan juga memiliki rujukan normatif dalam UUD 1945.
    Meminjam ungkapan Chomsky, pertimbangan etis dalam kehidupan politik dan ekonomi yang bersumber pada hati nurani akan membentuk sistem demokrasi partisipatif yang dapat mewujudkan keadilan sosial.
  • Indonesia sebagai Laboratorium

    Indonesia sebagai Laboratorium
    Dian R. Basuki, PEMINAT MASALAH SAINS
    Sumber : KORAN TEMPO, 29 Desember 2011
    Indonesia adalah laboratorium raksasa. Di negeri ini ada berlimpah persoalan yang dari dalamnya kita dapat menggali berbagai berkah. Kita hidup berdampingan dengan 129 gunung berapi, yang letusan dahsyatnya mengirim maut sekaligus menebarkan kekayaan mineral. Kita dikepung laut yang sangat luas, yang sanggup menelan kapal-kapal namun menawarkan makhluk air yang amat bermanfaat.
    Jumlah penghuni yang bergerak menuju 250 juta merupakan tempat belajar yang kaya perihal penyakit, genetika, bahasa, ketegangan sosial, korupsi, dan sebut saja apa. Ini negeri yang memberi inspirasi bagi orang-orang yang berkehendak meneguk pengetahuan, bahkan sejak dulu telah menawan Wallace dan Junghuhn.
    Dengan persoalan yang begitu berlimpah, kita sepertinya tidak cukup memiliki kehendak untuk belajar dari alam. Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh, rob yang menerjang Jakarta, Merapi yang memuntahkan isi perutnya, dan Krakatau yang selalu disebut oleh ilmuwan dunia seolah tak cukup membuat kita tergerak untuk menjadikan ilmu pengetahuan (sains) sebagai basis dalam mengelola kehidupan. Mitigasi bencana jadi sekadar wacana lantaran pengetahuan yang terbatas mengenai alam kita.
    Sains, di negeri ini, belum lagi menjadi basis bagi pengambilan kebijakan pembangunan. Kepentingan bisnis kerap mengalahkan pertimbangan rasional. Misi yang dicanangkan Dewan Riset Nasional untuk menempatkan iptek sebagai landasan kebijakan pembangunan nasional dan berkelanjutan akan membentur dinding tebal bernama kepentingan politik dan ekonomi.
    Hingga akhir 2011 ini, kita mendengar keluhan yang sama seperti tahun-tahun yang silam: biaya riset yang kecil, penghargaan yang rendah kepada ilmuwan, arah penelitian yang tidak jelas, dan hasil riset yang kurang termanfaatkan. Zuhal Abdul Kadir, Ketua Komisi Inovasi Nasional, mengatakan kemampuan riset iptek peneliti Indonesia tak perlu diragukan. Soalnya ialah, ilmuwan tak cukup mampu menyuburkan lahan persemaiannya sendiri tanpa kepemimpinan negara dalam riset.
    Penguasaan sains dan teknologi tengah bergerak dari Barat menuju Timur, kata Kishore Mahbubani dalam Asia Hemisfer Baru Dunia. Ramalan itu benar untuk Cina dan Korea Selatan. Sedangkan bagi kita, kita harus membuktikan bahwa pandangan Mahbubani itu benar. Riset yang berperan penting dalam percepatan kemajuan ekonomi bangsa hanya akan berhenti sebagai jargon bila dana riset tidak didongkrak dari angka 0,03 persen dari PDB.
    Lukman Hakim, Ketua LIPI, menyebutkan angka 1 persen sebagai minimal–itu berarti pelipatgandaan sebesar 33 kali. Anggaran riset Cina sudah 1,5 persen PDB dan menuju 2 persen. Korea Selatan, yang pada 1970-an masih setara dengan kita, kini melaju lebih cepat. Laporan Royal Society, Networks and Nations: Global Scientific Collaboration in the 21st Century, mencatat pertumbuhan biaya riset yang meningkat rata-rata 45 persen dalam kurun 2002-2007. Pertumbuhan terbesar ditunjukkan Cina.
    Dalam publikasi ilmiah, Cina naik dari posisi keenam menjadi kedua dengan jumlah penerbitan melonjak dari 4,4 persen menjadi 10,2 persen. Di urutan pertama masih AS, dengan kontribusi yang menurun signifikan dari 26 persen menjadi 21 persen. Iran tumbuh luar biasa dalam publikasi ilmiah, dari 736 artikel (1996) menjadi 13.238 artikel (2008).
    Pelajaran apa yang dapat dipetik dari Cina? Bukan hal yang luar biasa. Sebab, pelajaran itu sudah jelas: sediakan biaya riset dan pendidikan dasar sains yang besar. Iran menargetkan biaya ini mencapai 4 persen dari PDB pada 2030, melonjak tajam dibanding 0,59 persen pada 2006. Komitmen pengambil keputusan (eksekutif dan legislatif) untuk membangun bangsa berbasis sains dan teknologi masih harus didorong. Dibandingkan dengan insentif penelitian Rp 50 juta per topik, biaya pemilu sangat mewah dan berfoya-foya.
    Indonesia memang dipuji sebagai negara yang ekonominya tengah bagus ketika Amerika dan Eropa diguncang prahara. Di balik itu, survei Bank Indonesia menemukan fakta yang mencemaskan: inovasi terbesar di sektor usaha merupakan inovasi rendah (78 persen), sedangkan menengah 20 persen dan inovasi tinggi hanya 2 persen. Kontribusi usaha besar bagi perekonomian nasional memang mencapai 44,9 persen. Tapi, seperti disebutkan B.J. Habibie di depan sidang Dewan Riset Nasional baru-baru ini, sumbangan itu bukan berasal dari penguasaan iptek, melainkan dari penjualan hasil tambang.
    Penghargaan yang rendah bagi ilmuwan bukan satu-satunya alasan, bahkan mungkin bukan alasan utama, bagi ilmuwan Indonesia untuk berkiprah di negeri orang. Bagi ilmuwan, kesempatan untuk menguak misteri alam ini merupakan penghargaan yang jauh tak ternilai. Seorang ahli gunung berapi dengan nada iri menceritakan bagaimana Singapura, yang relatif aman dari bencana geologi, memiliki pusat kajian gunung berapi, Earth Observatory of Singapore. Beberapa ilmuwan kita bergabung di sana.
    Brain drain adalah fenomena yang mungkin kurang kita cermati. Jika kita berkeliling ke banyak negara, kita akan mendapati astronom hebat kita di Max Planck Institute, ahli neurosciencekita mengajar di University of Wisconsin, ahli oseanografi kita mengajar di Louisiana State University. Sudut pandang nasionalisme, barangkali, terlalu sempit untuk memahami situasi brain drain.
    Kita memang masih memiliki lembaga riset yang membanggakan, seperti Bosscha dalam astronomi dan Eijkman dalam riset dasar biomedik. Pusat riset semacam ini semestinya memperoleh perhatian serius. Ketimbang memecah anggaran riset untuk membiayai banyak sekali topik, fokus pada isu-isu tertentu yang fundamental akan lebih bermakna dalam jangka panjang.
    Di luar itu, ada isu yang tak kalah strategisnya: menjadikan “literasi (melek) sains” (science literacy, scientific literacy) sebagai program negara. Di samping mendongkrak anggaran riset sainsnya agar menjadi basis pembangunan, Cina menempuh strategi membuat rakyatnya melek sains agar mampu mengimbangi pertumbuhan cepat jumlah doktor mereka.
    Bagaimana dengan kita? Yang kita saksikan ialah relatif jauhnya jarak yang terbentang antara pengetahuan dan tindakan. Pengambilan keputusan kerap kehilangan konteks dari ilmu pengetahuan.
    Alih-alih berbicara tentang “partikel Tuhan” yang menjadi isu panas tahun ini di kalangan fisikawan, yang sangat kita butuhkan dalam waktu dekat ialah mewujudkan kemauan untuk menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai basis pembangunan manusia. Pertama-tama, dengan menyediakan anggaran riset yang besar. Indonesia adalah laboratorium alam raksasa yang membuat kita menyesal bila mengabaikannya. 
  • Kembalinya Kebudayaan ke Pendidikan

    Kembalinya Kebudayaan ke Pendidikan
    Darmaningtyas, PENULIS BUKU TIRANI KAPITAL DALAM PENDIDIKAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 29 Desember 2011
    Banyak catatan yang dapat diberikan untuk pendidikan nasional pada akhir 2011 ini, mengingat ada sejumlah persoalan muncul, baik pada tingkat kebijakan maupun praktek di lapangan. Pada tingkat kebijakan, misalnya, adalah dikembalikannya kebudayaan ke dalam sistem pendidikan nasional, dan munculnya wacana untuk menarik kembali urusan pendidikan ke pusat. Ini merupakan momentum yang amat penting karena, selama satu dekade lebih, pendidikan berjalan tanpa roh kebudayaan. Sedangkan pada tingkat praksis di lapangan, muncul sejumlah kasus mengenai keterlambatan penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah, murid yang diminta memberikan sontekan kepada murid lain pada saat ujian nasional, dan kisruh di Universitas Indonesia.
    Ironi Dana BOS
    Kementerian Pendidikan Nasional pada 2011 ini mencoba melakukan perubahan dalam hal penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ke sekolah-sekolah. Sejak tahun ajaran 2005/2006 sampai 2010, dana BOS tersebut disalurkan langsung dari pemerintah pusat ke rekening sekolah-sekolah. Tapi, dengan maksud menyesuaikan dengan kebijakan politik nasional yang mendesentralisasi urusan pendidikan ke daerah, pemerintah pun mencoba melakukan eksperimen dengan cara menyalurkan dana BOS lewat pemerintah daerah (kabupaten/kota), dengan harapan pemda turut bertanggung jawab atas penggunaan dana BOS tersebut. Ada nota kesepakatan antara Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan agar dana BOS untuk semester genap atau awal tahun kalender ditransfer pada Januari 2011; dan itu sudah dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Namun ternyata, dalam perjalanannya, dana BOS tersebut sampai ke sekolah-sekolah terlambat 2 hingga 6 bulan.
    Keterlambatan dana BOS ke sekolah-sekolah pada 2011 ini suatu ironi besar, mengingat hal ini justru terjadi pada saat penyaluran dana BOS dilakukan lewat pemda, yang secara fisik dekat dengan sekolah dan secara hierarki menjadi tanggung jawab pemda. 
    Seharusnya pemda memperlancar penyaluran dana BOS tersebut agar proses pendidikan di wilayahnya berjalan lancar dan berkualitas. Kebanyakan pemda menahan dana BOS tersebut di rekening pemda selama 2-6 bulan dengan harapan dapat memetik keuntungan berupa bunga bank. Atas dasar pengalaman buruk tersebut, penulis melalui rubrik Opini di media ini mengusulkan agar mekanisme penyaluran dana BOS dikembalikan seperti semula, yaitu dari pusat langsung ke rekening sekolah-sekolah.
    Kasus keterlambatan penyaluran dana BOS, yang terjadi justru pada saat dana BOS disalurkan melalui pemda, menunjukkan bahwa para pemimpin daerah kurang peduli terhadap nasib pendidikan warganya. Yang mereka pedulikan hanyalah uang yang dapat mereka korupsi. Mereka tidak berpikir jauh bahwa, dengan menahan penyaluran dana BOS, sesungguhnya mereka telah mengganggu proses belajar-mengajar di wilayahnya.
    Ujian Kejujuran
    Masalah kontroversi ujian nasional (UN) sebagai penentu kelulusan sampai sekarang belum kunjung selesai, bahkan tidak akan pernah selesai, karena saya mengetahui bahwa ada sekelompok guru maupun mereka yang peduli pada pendidikan yang sekarang justru sedang menyiapkan semacam buku putih sebagai sarana untuk kampanye menolak UN. Ujian nasional sebagai penentu kelulusan cenderung mereduksi proses belajar-mengajar lantaran tujuan akhir belajar adalah lulus UN. Persoalan UN mencuat ke permukaan pada 2011 ketika Ibu Siami, orang tua dari Alif Ahmad Maulana, murid SDN Gadel 2 Tandes, Surabaya, dan Irma Winda Lubis, ibu dari Muhamad Abrary, murid SDN 6 Pesanggrahan, Jakarta Selatan, mengungkapkan kepada publik bahwa anak mereka diminta memberikan sontekan kepada murid lain pada saat ujian nasional. Berita itu cukup menghebohkan karena berbuntut pada diusirnya keluarga Ibu Siami dari rumah kontrakannya di Tandes oleh masyarakat sekitar. Masyarakat tetangga Ibu Siami marah lantaran mereka khawatir akan ada UN ulangan dan akhirnya anak mereka tidak lulus. Demikian pula yang dialami Muhamad Abrary, dia akhirnya tidak berani masuk ke sekolah negeri karena di sekolah negeri justru merasa terteror oleh birokrasi.
    Apa yang terjadi pada keluarga Siami di Surabaya dan Irma Winda Lubis di Jakarta tersebut menunjukkan bahwa, dalam sistem pendidikan nasional, yang sedang mengalami ujian bukan hanya murid-murid di kelas akhir (VI SD atau III SMP-SMTA). Kejujuran birokrasi pendidikan itu sendiri juga sedang diuji. Ironisnya, meskipun hal yang paling ditekankan pada pendidikan karakter itu adalah masalah kejujuran, dalam realitas sosiologisnya kita jengah terhadap mereka yang bertindak jujur. Birokrasi pendidikan sangat tidak ramah terhadap anak-anak yang bertindak jujur, bahkan menuduhnya berhalusinasi. Ini mencerminkan adanya ketidakkonsistenan antara kebijakan yang dibuat dan yang dijalankan.
    Pada tingkat pendidikan tinggi, tahun ini ada perubahan kebijakan pola penerimaan mahasiswa baru di PTN yang lebih banyak (60 persen) diterima melalui tes bersama. Sebelumnya, terutama di perguruan tinggi badan hukum milik negara (PTBHMN), kuota penerimaan mahasiswa baru melalui tes bersama itu beragam, ada yang hanya 10 persen, ada juga yang mencapai 50 persen. Tapi mulai 2011 ini, berdasarkan PP Nomor 66/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, kuota mahasiswa yang diterima melalui tes bersama itu mencapai 60 persen. Selain itu, juga mengembangkan sistem undangan. Keduanya itu merupakan langkah baru bagi pemerintah untuk membuka akses masyarakat tidak mampu terhadap pendidikan tinggi yang lebih luas.
    Di sisi lain, keberadaan PP Nomor 66/2010 juga dapat memicu persoalan baru, seperti terlihat di Universitas Indonesia (UI). Gonjang ganjing di UI yang kemudian memunculkan kasus saling pecat antara rektor dan Majelis Wali Amanah (MWA) terjadi karena ada distorsi pemahaman terhadap keberadaan PP Nomor 66/2010. Dalam PP tersebut, ada aturan mengenai masa transisi PTBHMN untuk kembali menjadi perguruan tinggi negeri sampai 31 Desember 2012, tapi Rektor UI ingin secepatnya menjalankan peran sebagai rektor PTN, sehingga menisbikan keberadaan MWA yang pada 2007 memilihnya menjadi rektor. Tindakan rektor itu pun memicu MWA melakukan penisbian yang sama terhadap rektor. Namun, melalui mediasi yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, akhirnya disepakati bahwa masa transisi berlangsung sampai 31 Desember, dan organ-organ dalam PTBHMN masih berlaku hingga September 2012 nanti. Kasus UI itu memberi kita refleksi bahwa privatisasi PTN menjadi PTBHMN tidak otomatis mampu menciptakan transparansi dan akuntabilitas kepada publik yang lebih baik.
    Catatan akhir tahun 2011 ini tidak melulu sedih. Ada pula yang menggembirakan, yaitu kembalinya roh kebudayaan ke pendidikan nasional sejak 20 Oktober 2011, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan perubahan susunan kabinet dan di sana diangkat seorang Wakil Menteri Pendidikan untuk urusan kebudayaan, dan mengubah nomenklatur dari Kementerian Pendidikan Nasional menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelumnya, kebudayaan melekat pada Kementerian Pariwisata. Kembalinya roh kebudayaan ke dalam sistem pendidikan nasional tersebut diyakini akan memberikan dasar yang kuat pada praksis pendidikan nasional, sehingga tidak hanya terjebak pada persoalan-persoalan manajerial belaka, tapi juga sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan pembangun peradaban bangsa.
  • Matinya Narasi

    Matinya Narasi
    Acep Iwan Saidi, KETUA FORUM STUDI KEBUDAYAAN FSRD-ITB
    Sumber : KOMPAS, 29 Desember 2011
    Akhir tahun adalah sebuah ”jeda”, titik penghubung ke awal dalam suatu siklus. Di dalam siklus, titik pertemuan dari akhir ke awal sebenarnya berada di lapis luar, sesuatu yang dirumuskan manusia berdasarkan fenomena yang terjangkau nalar: bahwa ada 12 bulan dalam setahun, 7 hari dalam seminggu, 24 jam dalam sehari, dan seterusnya.
    Siklus ini menyebabkan kita, pada pergantiannya, seolah menghadapi yang baru sehingga galib menyebut 1 Januari tahun baru. Padahal, pada titik substansi (lapis dalam), kehidupan sebenarnya bergerak terus ke arah yang mungkin tak bisa disikluskan, tidak juga dapat dikatakan linear. Ke manakah kehidupan bergerak, ke depan atau justru ke belakang?
    Nalar manusia cenderung menangkap bahwa kita sedang bergerak ke depan. Kecenderungan pemahaman ini juga sering disertai keyakinan ”mistis”: bergerak ke depan identik menyongsong kemajuan (ke depan kita maju, ke belakang kita mundur). 
    Faktanya kita melihat kian hari peradaban manusia tak membaik. Berbagai penemuan bidang sains dan teknologi yang lahir dari kecanggihan berpikir manusia ternyata tak serta-merta membuat kehidupan lebih tenteram. Alih-alih kian damai, penemuan itu justru membuat manusia merasa terancam, panik, skizoprenik, dan irasional.
    Dalam konteks lain yang lebih aktual, kita bisa mengambil proposisi ekstrem: jika kian hari manusia kian berpikir canggih, kota metropolitan macam Jakarta mestinya kian jadi kota yang tertata baik. Pun demikian kasus pengelolaan negara: pemerintahan SBY seharusnya lebih bagus dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Namun, bukankah kenyataannya tak begitu. Jakarta justru bergerak ke arah nekropolis (kota kehancuran). Kebobrokan moral pada tubuh pemerintahan sama parahnya dengan masa lalu.
    Itu berarti kita sebenarnya tak bergerak ke depan dalam arti ke arah lebih maju. Kiranya juga tak melangkah ke belakang sebab kebaikan dan prestasi di belakang tak terlampaui; keburukannya tak bisa diperbaiki. Kita, hemat saya, jadi patahan-patahan mengambang. Kita ahistoris, tapi juga tak progresif. Tak mengenal masa lalu sekaligus buta terhadap masa depan. Inilah yang saya sebut matinya narasi.
    Tragedi Kebudayaan
    Narasi, dalam arti sempit, adalah rangkaian peristiwa (Gennete, 1980). Rangkaian peristiwa meniscayakan unsur pelaku, waktu, ruang, dan realitas peristiwa. Relasi semua unsur itu membentuk durasi, yakni gerak maju masa lalu ke masa kini, dan lantas ”memersepsi” masa depan. Sebuah gerak maju adalah kesatuan yang tidak dapat dibagi (dure) dari masa lalu sehingga dengan begitu ia mengandaikan masa depan (Bergson, 2002). Dengan inilah, dalam arti luas, narasi membentuk pengetahuan (Lyotard, 1989). Kebudayaan atau lebih luas peradaban terbentuk dari ”praktik narasi” ini.
    Akan tetapi, hal itu tidak terjadi dalam kehidupan kebudayaan kita, setidaknya dalam dua dekade terakhir. Demokrasi yang telah direbut dengan gemilang oleh gerakan reformasi ternyata tidak dimaknai dan dimanfaatkan dengan baik. Alih-alih memanfaatkan kebebasan berbicara untuk mengonstruksi pengetahuan naratif, kita justru mengambil demokrasi untuk menghancurkan pengetahuan.
    Elemen-elemen narasi terlempar ke berbagai arah, tak ada relasi, apalagi kesatuan yang utuh. Kita mengambil ruang dan waktu penceritaan, tetapi tidak memiliki waktu dan ruang cerita. Artinya, kita hanya bercerita, tetapi penceritaannya tak menapak pada ruang dan waktu di mana di dalamnya kita terlibat secara nyata. Dalam perspektif semiotika, kita hanya bermain-main dengan tanda, tetapi tanda tersebut tidak mengakar pada realitas. Ia terbelokkan dan hanya berputar-putar di dunia tanda itu sendiri. Segalanya adalah tanda, adalah image.
    Image adalah sebuah ”realitas metaforik”, yakni realitas baru yang diciptakan (bukan realitas sebenarnya). Untuk menciptakan realitas ini, sejarah harus diputus dan masa depan tak boleh ditetapkan. Dengan kata lain, narasi mesti dibunuh sehingga tak ada lagi pengetahuan, tak ada lagi esensi. Dalam kondisi demikian, kita dipaksa melihat dan memaknai hari ini untuk hari ini saja.
    Kita dipaksa untuk selalu lupa. Tiba-tiba, misalnya, kita mendapatkan seseorang menjadi pejabat publik, anggota DPR, atau bahkan penegak hukum. Padahal, beberapa saat sebelumnya, kita menemukan orang tersebut adalah koruptor, pelaku kriminal, atau penjahat lain. Kita tidak boleh mengingat masa lalu, sekaligus tak harus peduli pada masa depan. Dalam image, dalam kematian narasi, kita dipaksa untuk terus-menerus mengelabui realitas. Itulah mengapa Umberto Eco (1979) menyebut tanda sebagai dusta, ilmu tanda (semiotika) adalah ilmu tentang dusta.
    Hasil Konspirasi
    Realitas metaforik sedemikian tentu tidak terbentuk dengan sendirinya. Ia adalah konstruksi dari konspirasi berbagai pihak: penguasa, pengusaha, politisi, media (terutama televisi), praktisi bidang tertentu seperti desainer, sampai akademisi. Semua bersama-sama (seperti jargon pemerintahan SBY) mengoyak-ngoyak narasi, menghancurkan pengetahuan. Bagi saya, matinya narasi sedemikian adalah tragedi kebudayaan, bahkan malapetaka peradaban yang mengerikan. Matinya narasi membuat kita dalam jagat dusta.
    Apakah dengan begitu kita sedang bergerak ke ruang dan waktu masa lalu peradaban, yakni zaman kegelapan? Dalam bahasa, kiranya terasa hiperbolis jika kita menjawab pertanyaan itu dengan ”ya”. Namun, secara faktual kita menemukan kenyataan tak terelakkan: matinya narasi menyebabkan irasionalitas nyaris di seluruh kehidupan. 
    Beranalogi pada Schroeder dalam Visual Consumption (2002), belanja dan konsumsi sehari-hari kita adalah image, adalah dusta. Akan tetapi, di bawah tenung televisi, kita terlena. Bukankah dengan begitu sesungguhnya kita tengah berada dalam gelap? Semoga kita bisa menutup tahun ini dengan mata terbuka agar tahun berikutnya menjadi harapan. Selamat berakhir tahun!
  • Pers Indonesia dan Problem Kekerasan

    Pers Indonesia dan Problem Kekerasan
    Agus Sudibyo, KOMISI PENGADUAN MASYARAKAT DAN PENEGAKAN ETIKA, DEWAN PERS
    Sumber : KOMPAS, 29 Desember 2011
    Tindakan main hakim sendiri terhadap jurnalis masih terjadi di negeri ini.
    Senin 12 Desember 2011, sekelompok orang dengan brutal merusak dan membakar rumah wartawan Rote Ndao News, Dance Henukh, di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur.
    Dalam aksi brutal ini, anak Dance yang baru berusia satu bulan, Gino Novridi Henukh, meninggal dunia karena shock. Peristiwa kekerasan ini terkait pemberitaan Rote Ndao News tentang dugaan korupsi alokasi dana desa dan pembangunan rumah transmigrasi lokal senilai Rp 3,1 miliar di Rote Ndao.
    Wartawan tidak kebal hukum. Media juga tak selalu benar. Namun, kekecewaan terhadap pemberitaan media tak dapat diselesaikan dengan kekerasan. Kekerasan atas nama apa pun adalah tindakan melawan hukum.
    Persoalan jurnalistik mestinya diselesaikan secara jurnalistik. Dalam jurnalistik, tanggung jawab atas berita yang telah dipublikasikan bukan lagi pada jurnalis penulis berita, melainkan pada medianya. Maka, kekesalan terhadap pemberitaan media tidak semestinya ditimpakan kepada jurnalis sebagai pribadi.
    Tidak Ada Perlindungan
    Kekerasan demi kekerasan terhadap jurnalis menunjukkan pers belum sepenuhnya dipandang sebagai institusi yang mewakili kepentingan masyarakat. Akibatnya, unsur masyarakat ataupun pemerintah tak segan-segan melakukan kekerasan jika merasa dirugikan media. Masyarakat juga tidak melakukan pembelaan berarti ketika terjadi kekerasan terhadap jurnalis atau media.
    Namun, sikap acuh tak acuh masyarakat ini juga dilatarbelakangi sikap kalangan pers yang sering tidak profesional. Berdasarkan data Pengaduan Dewan Pers, tingkat pelanggaran Kode Etik Jurnalistik secara nasional masih sangat tinggi.
    Begitu sering pemberitaan yang tidak berimbang, tak akurat, lemah konfirmasi, bahkan menghakimi. Para jurnalis juga masih sering melanggar privasi, memaksa-maksa atau menghina sumber berita, memeras, bahkan melakukan kekerasan.
    Bentrok antara siswa SMA Jakarta dan sekelompok jurnalis beberapa bulan lalu adalah contoh menarik. Pada akhirnya terbukti bukan hanya oknum siswa SMA Negeri 6 yang melakukan penganiayaan, melainkan juga oknum jurnalis sendiri. Wartawan tak sepenuhnya jadi korban, tetapi juga pelaku kekerasan.
    Faktor berikutnya adalah lemahnya perlindungan hukum terhadap profesi jurnalis. Kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi karena negara cenderung melakukan pembiaran terhadap pelaku kekerasan. Berbagai pihak tak ragu-ragu melakukan kekerasan terhadap jurnalis karena kenyataannya tidak ada hukuman berat bagi pelaku.
    Dalam kasus Rote Ndao News, misalnya, Dance sebenarnya telah melapor dan meminta perlindungan ke kepolisian setempat dari tindakan teror orang-orang yang cukup jelas identitasnya. Namun, perlindungan tidak juga diberikan dan tidak ada tindakan apa pun terhadap pelaku teror, hingga terjadilah insiden pembakaran rumah Dance.
    Dalam beberapa kasus kematian jurnalis, kepolisian terburu- buru menyimpulkan jurnalis meninggal karena sakit, karena masalah pribadi. Padahal, jelas sekali ada tanda-tanda penganiayaan fisik pada jasad jurnalis dan kematian terjadi tidak lama setelah dia menulis berita tentang kasus korupsi, pembalakan liar, perusakan lingkungan, dan lain-lain. Kepolisian juga sering membebaskan pelaku dengan alasan tidak ada bukti-bukti kuat telah melakukan kekerasan.
    Lembaga peradilan juga beberapa kali melakukan blunder dalam memutuskan perkara terkait fungsi pers. Sebagai contoh, 28 November 2011, Pengadilan Negeri Idi Raya, Aceh Timur, memutuskan jurnalis bernama Basri bersalah telah melakukan pencemaran nama baik dengan hukuman enam bulan penjara. Penyebabnya adalah berita berjudul ”PN Idi Raya Aceh Timur Penganut Peradilan Sesat: Oknum Panitera PN Idi Raya Double Job Mafia Tanah”, dimuat Mapikor edisi Mei 2010. Persoalannya, sekali lagi, yang harus bertanggung jawab atas pemuatan sebuah berita adalah institusi media, bukan jurnalis si pembuat berita. Di sini, Pengadilan Negeri Idi Raya membuat kesalahan serius.
    Kasus Mapikor ini juga menunjukkan masalah berikutnya bahwa institusi media sering tak memberikan perlindungan berarti kepada jurnalis yang sedang terjerat masalah hukum atau kekerasan. Jurnalis sering dibiarkan sendirian menghadapi pemeriksaan polisi atau tuntutan hukum di pengadilan, tanpa mendapat dukungan memadai dari media tempatnya bekerja. Jika ada kekerasan terhadap jurnalis, yang getol membela adalah lembaga semacam AJI, PWI, IJTI, dan LBH Pers, bukan perusahaan media yang memberikan penugasan liputan kepada jurnalis tersebut.
    Banyak Faktor
    Tak ada penjelasan tunggal penyebab maraknya kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Kekerasan terhadap jurnalis terjadi karena kontribusi banyak faktor: sikap acuh tak acuh masyarakat terhadap pers, profesionalisme pers yang masih rendah, ketidaktegasan penegak hukum terhadap pelaku kekerasan, serta lemahnya perlindungan perusahaan pers terhadap karyawannya.
    Setiap upaya untuk mereduksi angka kekerasan terhadap jurnalis harus memperhatikan faktor tersebut secara keseluruhan.
  • Rehabilitasi Sekolah Model Swakelola

    Rehabilitasi Sekolah Model Swakelola
    Mutsyuhito Solin, KONSULTAN BASIC EDUCATION PROJECT (2001-2005);
    DOSEN UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
    Sumber : KOMPAS, 29 Desember 2011
    Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menggagas untuk memperbaiki sekolah rusak dengan mekanis swakelola. Alasannya, ”mekanisme swakelola lebih baik karena bisa menghemat anggaran 25-30 persen” (Kompas, 28/11).
    Bagi mereka yang pernah terlibat merehabilitasi sekolah dengan cara swakelola, tentu menyambut dengan sukacita gagasan ini. Namun, dengan karut-marut pembangunan yang selalu terjerat macam-macam bentuk korupsi, gagasan seperti ini diragukan banyak orang.
    Kompas sendiri (29/11) menulis tajuk ”Mekanisme Swakelola Proyek” agar keputusan itu dikaji kembali karena faktor kontekstual masyarakat sebagai kultur yang sudah koruptif. Selain itu, membangun pekerjaan rehabilitasi gedung dan ruang kelas baru pun bukan kompetensi utama lembaga pendidikan.
    Gagasan Mendikbud bagus jika dilihat dalam perspektif lebih luas. Rehabilitasi gedung sekolah rusak—bahkan membangun unit sekolah baru—dengan model swakelola pernah dilakukan beberapa provinsi 2000-2005, difasilitasi Bank Dunia melalui Basic Education Project.
    Pemberdayaan Masyarakat
    SD yang rusak, terutama yang rusak berat, umumnya ada di pinggiran kota atau di desa-desa yang jauh dari kota. Penyebab sekolah rusak atau lebih cepat rusak dari usia penggunaan yang diharapkan adalah karena tidak ada kepedulian sekolah. Sekolah tidak terawat, tidak terurus, ditumpukan perbaikannya kepada dinas pendidikan. Para pemangku kepentingan pendidikan di sekitar sekolah tak tergerak untuk berbuat apa-apa karena kerusakan bukan bagian dari pekerjaan yang harus mereka kerjakan.
    Memperbaiki SD secara teknis dengan model tender mungkin tidak begitu berat. Akan tetapi, pemeliharaan sekolah yang diperbaiki dan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk ikut merawat sekolah tidak dapat diharapkan dengan model tender.
    Itulah informasi yang diolah Bank Dunia sehingga perbaikan sekolah dan pemberdayaan masyarakat dilakukan simultan. Lurah atau kepala desa dilibatkan, diinformasikan tentang perbaikan sekolah, sembari mengajak masyarakat untuk berpartisipasi. Pemangku kepentingan pendidikan yang dipelopori oleh proyek itu sekarang sudah dikenal luas dengan komite sekolah.
    Komite sekolah (unsur masyarakat), kepala sekolah, bendahara (unsur guru), kepala tukang (unsur masyarakat), serta proyek yang menyediakan dana dan tenaga ahli adalah aktor-aktor yang telah disosialisasikan ke masyarakat desa yang berperan sebagai eksekutor perbaikan sekolah. Mereka dilatih (diberdayakan) mengenai prosedur rehabilitasi sekolah, manajemen, dan pertanggungjawaban keuangan.
    Sepanjang pengerjaannya, penyandang dana melakukan pendampingan, terutama pendampingan secara teknis yang biasanya mempekerjakan tenaga ahli bangunan. Para perancang sekolah yang direhabilitasi itu memberikan jaminan terhadap mutu pekerjaan paling tidak dapat difungsikan 25 tahun.
    Dampak pembangunan sekolah yang pernah dilakukan melalui proyek Bank Dunia ini adalah meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap sekolah. Di Tanjung Sigoni, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, masyarakat menerima dan mengapresiasi rehabilitasi sekolah di desa mereka dengan mencanangkan ”Jumat Bersih” sebagai hari keterlibatan masyarakat untuk mengurus dan merawat sekolah. Di Dairi, ada kepala sekolah dan masyarakat yang berinisiatif menanam pohon dan bunga-bungaan sehingga sekolah jadi nyaman dan potensial menuju ”sekolah hijau”.
    Bangunan-bangunan sekolah itu hingga kini masih menjadi yang terbaik di deretan sekolah-sekolah yang dibangun kemudian. Di Nias, ada dua unit baru SMP yang dibangun dan sejumlah SD dapat terus berdiri kokoh meski gempa pernah meluluhlantakkan kabupaten itu.
    Mutu bangunan sekolah tidak diragukan karena secara teknis diawasi konsultan bangunan. Bahkan, tukang-tukang desa juga dibimbing konsultan sehingga keterampilan mereka meningkat. Proses pembangunan melibatkan masyarakat. Bahan bangunan, seperti pasir dan batu, dibeli dari masyarakat desa sehingga dengan rehabilitasi model swakelola ini perputaran uang di desa lebih meningkat. Masyarakat desa yang masih tinggi semangat gotong royongnya tak terlalu sulit digerakkan, apalagi itu untuk keperluan pendidikan anak-anak mereka. Kuncinya keterbukaan, kejujuran, dan keikhlasan semua aktor yang terlibat.
    Merehab sekolah dengan swakelola, dengan prosedur dan melibatkan aktor-aktor seperti yang pernah dilakukan melalui proyek Bank Dunia ini, juga dapat menepis tentang kurangnya kompetensi kepala sekolah dalam merehabilitasi sekolah. Berkaitan perilaku masyarakat yang sudah semakin koruptif dapat dieliminasi dengan pembukuan dan pendampingan yang intensif.
    Korupsi Dapat Dicegah
    Peluang korupsi pada rehabilitasi sekolah model ini hanya pada pembelian bahan-bahan bangunan. Jumlah bahan bangunan yang dibeli ditentukan oleh konsultan pengawas bangunan, yang disinyalir dapat bekerja sama dengan kepala sekolah yang membeli bahan bangunan dimaksud. Tetapi, hal itu dapat diatasi oleh petugas pengawas dan evaluasi yang dibentuk dinas pendidikan.
    Risiko untuk korupsi memang ada, tetapi jumlahnya tidaklah besar-besaran. Jika perbuatan itu juga dilakukan, tidaklah sulit menemukan aktor-aktornya, selain juga mudah ditindak. Namun, dibanding dengan dampak positifnya yang dapat memberdayakan masyarakat, bangunan sekolah dengan mutu yang baik, menambah keterampilan masyarakat, menambah perputaran uang di desa, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan menuntaskan kesadaran warga sekolah akan pentingnya memiliki sekolah yang baik dan nyaman, semua nilai-nilai yang tak dapat diukur dengan uang ini masih diperlukan sekolah. Merehabilitasi sekolah dengan sistem tender tak menampakkan nilai-nilai itu.
    Selain itu, semangat membangun otonomi sekolah dapat direalisasikan dengan model swakelola ini. Salah satu faktor untuk menjalankan otonomi sekolah adalah ketika uang dapat diserahkan langsung ke sekolah sebagaimana pengelolaan dana BOS. Manajemen mereka ditingkatkan dengan merencanakan dan membelanjakan sendiri uangnya untuk kebutuhan mereka. Mungkin ada baiknya kita tidak terlalu mencurigai pihak sekolah sembari melihat bahwa di sana masih ada orang baik yang tulus mengabdi dan mengurus sekolah.
  • Banjir: Tanggul Vs Tangan

    Banjir: Tanggul Vs Tangan
    Munawir, KEPALA PUSAT KAJIAN SUMBER DAYA AIR DAN LAHAN LP3ES
    Sumber : KOMPAS, 29 Desember 2011
    Memasuki musim hujan akhir 2011, perhatian publik terwacanakan pada masalah longsor, banjir, dan dampak ikutannya. Siklus banjir besar lima tahunan diperkirakan terjadi pada awal 2012.
    Bahkan, baru-baru ini banjir besar sudah melanda Nias dan Aceh Singkil. Pada kondisi demikian, pemerintah dan pihak terkait biasanya sudah mengantisipasi dengan berbagai kegiatan, seperti normalisasi drainase perkotaan dan pembuatan tanggul-tanggul tebing sungai. Pemecahan masalah banjir sering kali mengedepankan pendekatan fisik. Banjir dipahami lebih sebagai masalah sektor dan karenanya dipecahkan melalui dominasi fisik prasarana.
    Fisik dan Parsial
    Dominasi pendekatan fisik dan parsial yang begitu kental tercirikan dari banyak investasi pemerintah dalam membangun tanggul-tanggul sungai di mana-mana. Pelurusan sungai dengan membangun tanggul-tanggul sungai dan tebing beton sumber-sumber air lainnya ditemui di banyak tempat. Boleh jadi istilah ”penanggulangan” dalam mengatasi masalah banjir merefleksikan dominasi pendekatan tersebut. Kini, banjir jadi sebuah kata yang telah mewabah dan kian menakutkan.
    Pembuatan tanggul sungai (baca: penanggulangan) yang tak selektif dan parsial justru kontraproduktif. Genangan air di suatu wilayah yang berkurang boleh jadi membuat banjir di daerah lain. Dengan demikian, penanggulangan yang dilakukan tidak selektif dan komprehensif cenderung memindahkan masalah dan menambah biaya pemeliharaan.
    Otoritas Sungai Emon, Distrik Vetlanda di Swedia—yang pernah penulis kunjungi—tak mengizinkan petani membangun tanggul guna menghindari genangan air banjir. Pemecahan parsial inilah yang dihindari. Cara pemecahan masalah semacam ini juga lebih bersifat simptomik; akar masalah yang menyebabkan sedimentasi dan penyempitan badan-badan air bahkan tidak pernah disentuh secara komprehensif.
    Penanggulangan dan pembangunan prasarana pengairan lainnya yang tak memperhatikan kelestarian lingkungan, termasuk habitat air, hanya menambah deret masalah ikutannya. Siklus kehidupan aneka ikan dan biota air lain bisa terputus. Akibatnya, kelestarian sumber pangan dan nutrisi bagi masyarakat terancam.
    Potret banjir yang kejadiannya kian intensif dan ekstensif, disadari atau tidak, merupakan respons balik alam atas perbuatan tangan manusia. Boleh jadi, bencana longsor, banjir, dan kekeringan di mana-mana berikut dampak ikutannya merupakan akibat investasi pembangunan yang sporadis dan parsial tanpa arah yang jelas. Motif kepentingan (elite) ad hoc kedaerahan disinyalir turut mempercepat laju degradasi lingkungan.
    Ketenangan hidup dan kohesi sosial yang telah lama berkembang juga terusik keberadaannya. Melemahnya akses masyarakat pada pangan dan nutrisi, air bersih, dan kesehatan, yang sangat bergantung pada keberadaan sungai yang sehat, bersih, dan produktif, benar-benar telah mengancam harkat dan martabat bangsa Indonesia.
    Lalu, apa kaitan banjir dengan tangan? Istilah ”penanganan” berasal dari kata tangan. Kata ini telah muncul dalam Al Quran sejak berabad-abad lalu. ”Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan tangan manusia; supaya Allah membuat mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatannya agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS 30:41).
    Dari ayat ini dapat dipahami bahwa bencana banjir terkait erat dengan ”tangan”, yang berarti regulasi, program, dan anggaran pemerintah. Banyak investasi penghijauan, bangunan penahan banjir, dan pengerukan lumpur terbukti tidak efektif.
    Kejadian bencana alam yang kian intensif dan ekstensif menjadi contoh nyata. Baru-baru ini, diberitakan bahwa sebagian Jakarta bagian utara telah mulai tergenang air. Ancaman banjir bukan hanya dari wilayah hulu, melainkan juga dari rob akibat kenaikan muka air laut. Lebih dari itu, mengapa di daerah parkir air bisa berdiri bangunan? Mengapa sempadan badan-badan air bisa bersertifikat? Ini semua karena ”tangan” yang tidak akuntabel.
    Selain itu, masalah banjir yang multidimensi dan kompleks masih dipecahkan dengan cara-cara konvensional dan sendiri-sendiri. Tindakan kuratif lebih dominan daripada preventif yang komprehensif. Sifat dasar ekosistem alam yang saling mengait antarsubsistem dibaca dengan tupoksi pemerintahan sektoral. Akibatnya, diagnosis atas masalah melahirkan kebijakan, program, dan anggaran yang kurang tepat. Pembangunan acapkali dilihat dari angka-angka dan volume-volume yang tak menyentuh akar masalahnya. Keterkaitan hulu-hilir dan keadilan lingkungan pun belum jelas wujudnya.
    Perlunya Pendekatan DAS
    Penanganan atas masalah banjir perlu mengadopsi pendekatan wilayah sungai. Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Secara kontekstual, definisi ini didukung oleh kenyataan bahwa hubungan hulu-hilir dan darat-lautan sebagai cermin ekosistem. Karena itu, satu kesatuan pengelolaan adalah keniscayaan.
    Setidaknya dua ranah pemecahan perlu dikedepankan. Pertama, perlu mengembangkan kolaborasi sinergis antarinstansi dan pihak terkait, baik secara horizontal maupun vertikal. Prakondisi yang harus dibangun adalah tapak bersama (common ground) sebagai refleksi pengakuan bahwa persoalan kompleks dan saling mengait di atas tak akan pernah terpecah dengan baik melalui intervensi sporadis dan sektoral, yang cenderung menafikan kerangka pendekatan DAS secara utuh.
    Acuan hasil yang multidimensi dan berjenjang perlu dirumuskan bersama agar target yang terukur mencerminkan komitmen kebersamaan. Pola realisasi progresif atas ”hasil kebersamaan” akan jadi alat pemantauan yang baik. Untuk itu, sangat diperlukan mekanisme penataan yang kuat. Kepemimpinan yang tangguh dan penganggaran yang paham atas persoalan dan akar masalah serta urgensi keterpaduan tidak bisa ditawar.
    Kedua, kebijakan dan program komprehensif. Pendekatan simptomik dan sektoral telah disadari tak mampu menyentuh persoalan banjir dan akar masalahnya yang sangat kompleks. Arahan dan acuan ataupun strategi yang dibangun di atas (ranah pertama) ditindaklanjuti oleh kebijakan dan program yang komprehensif. Hasil multidimensional yang telah ditetapkan bersama perlu dirumuskan dalam indikator-indikator capaian.
    Intinya, tak ada persoalan dan akar masalah yang boleh terlewatkan. Strategi delegasi dengan pengelompokan dan penjenjangan persoalan patut didorong untuk menjamin lahirnya gerakan-gerakan variatif dan simultan yang mengarah pada ”pemanenan hasil” yang telah ditetapkan bersama.

  • Potret Buram Fungsi Legislasi

    Potret Buram Fungsi Legislasi
    Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA DAN DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI (PUSAKO) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG
    Sumber : SINDO, 29 Desember 2011
    Pergantian tahun merupakan salah satu waktu yang tepat untuk melakukan perenungan atau refleksi atas capaian yang diraih sepanjang satu tahun terakhir. Sekiranya refleksi dilakukan secara jujur, segala bentuk kekurangan yang dilakukan berpotensi menjadi dorongan dalam menatap tahun baru yang segera menyapa.

    Sementara itu,jika perjalanan selama satu tahun yang akan ditinggalkan berada pada neraca positif, capaian menggembirakan tersebut harus tetap dipertahankan agar tidak terjadi penurunan sepanjang tahun mendatang. Apabila refleksi akhir tahun diletakkan dalam koteks penyelenggaraan pemerintahan, sejauh ini perenungan paling umum yang sering dilakukan adalah potret pencapaian bidang penegakan hukum.

    Sengaja keluar dari perenungan umum itu,capaian proses pembentukan undang-undang (fungsi legislasi) tahun 2011 sengaja dipilih menjadi sasaran refleksi karena banyaknya kritik yang dialamatkan pada hasil kerja bareng Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah ini.Bahkan,banyak kalangan menilai hasil proses legislasi hari demi hari hadir bak sebuah potret buram. Bagi mereka yang concern terhadap fungsi legislasi, setidaknya ada dua kriteria yang digunakan dalam penilaian.

    Kriteria pertama, jumlah UU yang dapat diselesaikan dalam satu tahun. Meskipun secara kuantitatif UU yang dihasilkan tahun 2011 ini lebih banyak (24 UU) dibandingkan tahun 2010 (16), jumlah tersebut jauh dari target program legislasi nasional.


    Selain itu, secara kualitatif, banyak UU hadir dengan kualitas yang kurang memadai. Bahkan,Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menambah proses keterlibatan publik menjadi faktor lain untuk menilai kinerja legislasi.

    Kehilangan Fokus

    Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Dari ketiganya, fungsi legislasi dan fungsi anggaran seperti berebut mendapatkan panggung. Bahkan banyak pengalaman, penggunaan fungsi pengawasan jauh lebih dominan dibandingkan dengan penggunaan fungsi legislasi. Setidaknya penguatan panggung fungsi pengawasan dapat dilacak dari pengalaman Komisi III.

    Sejauh ini,Komisi Hukum DPR ini begitu dominan memanggil lembaga penegak hukum dengan menggunakan jubah rapat dengar pendapat (RDP). Sejauh yang bisa dilacak, upaya itu dilakukan apabila langkah penegakan hukum berpotensi merugikan kekuatan di DPR. Banyak pihak khawatir, instrumen RDP lebih banyak digunakan untuk membelokkan bekerjanya proses hukum.

    Contohnya, bagaimana Komisi III “meneror”KPK ketika hendak mendalami indikasi mafia anggaran di DPR. Tidak hanya itu, hilangnya fokus pada fungsi legislasi juga disebabkan menguatnya fungsi lain yang tidak diatur dalam UUD 1945, yaitu fungsi pengisian jabatan publik.

    Sekali lagi, dengan mengambil contoh Komisi III,Komisi Hukum DPR ini menjadi alat kelengkapan DPR yang paling banyak terlibat dalam melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).Karena bergesernya fokus tersebut, fungsi legislasi menjadi semacam tugas sekunder DPR. Celakanya, ketika DPR melakukan fungsi legislasi, banyak UU hadir dengan kualitas seadanya.

    Tiga Contoh

    Potret buram fungsi legislasi sepanjang tahun 2011, setidaknya dapat dilacak dari substansi revisi UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diketahui, revisi UU No 24/2003 (yaitu UU No 8/2011), sejumlah substansinya bertentangan dengan konstitusi. Bahkan, alasan pembentuk UU yang menyatakan sebagian substansi UU No 24/2003 tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan kenegaraan terbukti hanya penilaian sepihak.

    Setidaknya, hal itu dapat dibaca dalam Putusan MK No 49/PUUIX/ 2011 yang menyatakan sejumlah pasal hasil perubahan bertentangan dengan UUD 1945. Misalnya,Pasal 57 Ayat (2a) UU No 8/2011 yang intinya dapat diartikan membatasi dan melarang MK memutus melebihi petitum pemohon. Padahal, praktik di MK, memutus lebih dari yang dimohonkan secara eksplisit adalah cara memberikan tafsir konstitusional atas norma dalam UU.

    Bahkan, penggantian hakim konstitusi mengikuti pola pergantian antar waktu anggota DPR menjadi bukti lain betapa kuatnya logika politik dalam menyusun UU. Dominasi itu juga dapat dilacak dari Pasal 27A Ayat (2) huruf c dan d UU No 8/2011 yang menempatkan unsur pemerintah dan DPR sebagai anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.

    Selanjutnya,UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menggantikan UU No 10/2004. Bagi akademisi hukum terutama yang menekuni ilmu perundang-undangan, substansi UU No 12/2011 memicu perdebatan baru terutama terkait masuknya Ketetapan (Tap) MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundangundangan.

    Namun demikian, sebagai peraturan yang berada di bawah UUD 1945, UU No 12/2011 tidak menjelaskan materi dan muatan Tap MPR. Pertanyaannya, mengapa UU No 12/2011 memasukkan Tap MPR menjadi bagian dari jenis dan hierarki perundangundangan? Barangkali, alasan hadirnya jenis dan “hierarki baru” ini untuk menampung sejumlah Tap MPR yang tersisa.

    Sekiranya hal itu yang menjadi basis argumentasi, pembentuk UU tidak perlu memasukan Tap MPR. Secara konstitusional, Tap MPR yang tersisa telah tertampung Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.Lebih celaka, sejumlah aturan membatasi peran DPD dalam proses legislasi. Salah satu faktanya, program legislasi nasional hanya dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.

    Terakhir, UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Sebagai sebuah UU yang terkait langsung dengan kepentingan partai politik di DPR, sejumlah substansinya berubah drastis dari UU sebelumnya. Perubahan ini dapat dilacak dari terbukanya peluang bagi kader partai menjadi calon anggota KPU.

    Banyak pihak menilai, pilihan pembentuk UU membuka ruang bagi kader partai potensial membunuh kemandirian penyelenggara pemilu sebagaimana diamanatkan Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945.Bahkan ada juga ancaman serius terhadap hasil kerja tim seleksi, yaitu dengan adanya ruang bagi DPR menolak calon anggota yang dihasilkan dari proses seleksi. Merujuk ketiga UU tersebut, sepanjang 2011 fungsi legislasi benar-benar menggambarkan potret buram.

    Sekiranya masalah ini tidak dicegah pada 2012, fungsi legislasi berpotensi menghadirkan bencana dalam praktik ketatanegaraan kita.

  • Gayus, Nazar dan Nunun

    Gayus, Nazar dan Nunun
    Zainal Arifin Mochtar, PENGAJAR ILMU HUKUM DAN DIREKTUR PUKAT KORUPSI
    FAKULTAS HUKUM UGM YOGYAKARTA
    Sumber : SINDO, 29 Desember 2011
    Setahun belakangan ini sangat banyak hal yang wajib dan patut untuk ditorehkan sebagai bagian dari catatan akhir tahun. Sungguh teramat banyak. Dalam wilayah penegakan hukum saja, ada begitu banyak catatan yang menarik untuk diperlihatkan sebagai bagian dari cerminan reflektif yang selayaknya dipakai menuju tahun-tahun mendatang.

    Tahun 2011 barangkali adalah tahun yang menunjukkan gejala pemberantasan korupsi yang kelihatan “menggeliat”, namun belum juga “terbangun” dari tidur panjang. Geliat yang tampak dari kemampuan pengembalian aset, kemampuan menggelar temuan penting permainan mafia anggaran, kemampuan untuk kembali hadir di daerah, meskipun pada saat yang sama belum juga ada kemampuan besar untuk mengejar semua pelaku dan menjadikan perkara tersebut sebagai pintu masuk untuk perbaikan sistemik.

    Gagalnya kemampuan untuk memijaki penegakan hukum untuk membangun sistem yang antikoruptif. Dari sekian banyak catatan, hal yang paling mengkhawatirkan tentu saja adalah kemampuan penegakan hukum untuk membongkar semua pelaku tindak pidana korupsi. Pun ketika tertangkap tangan, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membedah secara kuat.

    Selalu yang dibutuhkan setelah itu adalah peran dan kerja sama yang dilakukan oleh orang yang terlibat di dalam untuk mau menyanyi dan membongkar secara sukarela. Herannya, tidak terbangun nyanyian yang sungguh-sungguh bisa memberikan sumbangan yang besar untuk penyelesaian perkara-perkara tersebut. Semacam nyanyian sumbang, yang nyaring tapi tidak terlalu mengenakkan.

    Paling tidak, ada tiga perkara penting yang melibatkan orang potensial sebagai whistle blower, tetapi hingga kini tidak banyak memberikan sumbangan untuk membongkar kasus sesungguhnya, yakni perkara yang melibatkan Gayus, Nazaruddin, dan yang terkini Nunun. Gayus punya peran besar untuk bisa membongkar permainan mafia pajak yang sangat mungkin melibatkan petinggi besar, bukan saja petinggi di Kementerian Keuangan, melainkan juga petinggi negara yang memiliki perusahaan-perusahaan besar.

    Hingga kini, penegakan hukum masih gagal menyentuh mafia-mafia lainnya. Hanya Gayus yang notabene pegawai muda golongan tiga, yang dihukum dengan kejahatan yang hampir mustahil dikerjakan hanya oleh PNS muda yang minim kewenangan ini. Selebihnya, bebas dan merdeka. Tidak ada atasan Gayus yang dikejar.Tidak ada perusahaan penyogok untuk bermain pajak yang dikejar.

    “Nyanyiannya” nyaris menjadi tidak berguna. Setali tiga uang dengan Nazaruddin. Orang yang menjadi tersangka setelah rekan bisnisnya tertangkap oleh KPK juga banyak berjanji untuk membuka banyak hal. Bahkan, ia pun “mencicil” beberapa pernyataan perihal keterlibatan pihak-pihak lain selama pelariannya di luar negeri.

    Nyanyian yang cukup “wah”, bukan hanya karena melibatkan banyak petinggi partai, melainkan juga karena menyeret begitu banyak kegiatan internal kepartaian. Yang lebih mengkhawatirkan adalah kasus ini merupakan kasus yang sangat penting karena menjadi pelambang kegiatan banal para politisi merampok uang negara melalui praktik mafia anggaran.

    Kegagalan mengungkap perkara ini secara terang benderang, akan mengancam kemampuan negara ini untuk menjinakkan mafia anggaran. Begitu pula dengan Nunun. Setelah sekian lama buron, ia akhirnya tertangkap, meski masih belum mampu digunakan maksimal untuk membongkar mafia pengusaha yang menjadi penyuap untuk menempatkan “boneka” kepentingan dalam jabatan deputi gubernur senior di Bank Indonesia. Kita semua paham bahwa ada sesuatu di balik “membeli” jabatan seperti ini.

    Tapi hingga kini,penegakan hukum masih gagap untuk mengejarnya. Bahkan,orang yang paling diuntungkan dalam penyuapan tersebut juga belum dapat diungkap. Hanya sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menikmati uang sogokan tersebut, yang kemudian sudah menuju dan menjalani proses hukum.

     Perilaku Mafia

    Mungkin,ketiga perkara tersebut dipersatukan oleh satu kata kunci yang sama, yakni perilaku mafia.Yang sayangnya, tidak (atau boleh jadi belum) terlihat pola penyelesaiannya secara baik dan pas.Belum ada skema penyelesaian yang diharapkan, bahkan boleh jadi masih jauhdariharapanpenyelesaian perkara yang diharapkan.

    Kemungkinan, setidaknya ada tiga penyebab utamanya. Pertama, tentu saja adalah kemauan sang whistle blower. Orang yang potensial menjadi pembongkar ini sering kali diragukan kemauannya untuk membongkar segalanya. Dalam banyak kesempatan, ada yang ditutupi, bahkan terlihat tidak konsisten dalam memberikan keterangan. Belum lagi wilayah-wilayah yang tidak pas dan seakan-akan menyerang balik penegakan hukum.

    Sulit untuk kemudian percaya begitu saja apa pun yang dikatakannya. Sulit untuk memberikan jaminan bahwa yang dikatakannya benarbenar merupakan upaya untuk memperjelas perkara, atau bisa jadi hanya sekadar memperkeruh. Mana yang benar dan mana yang pembenaran.

    Kedua, tentu saja kemampuan negara untuk menggunakannya. Ada kesan kelambanan dalam memproses beberapa perkara. Juga ada kesan kreativitas yang rendah dalam menggunakan dan mengorek perkataan whistle blower. Ada sekian banyak pengakuan yang sudah diberikan, tapi sangat jarang yang kemudian ditindaklanjuti.Baik Gayus, Nazaruddin, maupun Nunun terlihat belum dipergunakan secara maksimal untuk membongkar yang lebih besar.

    Ketiga, kesungguhan negara untuk memprakarsai dan mendorong penggunaan model whistle blower sebagai justice collaborator demi penegakan hukum. Dengan konsep keuntungan yang masih minimalis, sulit dibayangkan seseorang mau menjadi justice collaborator dengan keuntungan rendah tersebut. TentubaikGayus,Nazaruddin, maupun Nunun punya problemnya masing-masing di wilayah itu.

    Tetapi jika kita tetap saja memola penegakan hukum dengan mirip perlakukan atas kasus-kasus yang membelit Gayus, Nazaruddin, maupun Nunun, rasanya sulit untuk segera “bangun” dalam pemberantasan korupsi.Gayus, Nazaruddin, dan Nunun pun bisa “menguap”.Semoga tidak!