Blog
-
Demokrasi, Keniscayaan Sejarah
Demokrasi, Keniscayaan SejarahBudiarto Danujaya, PENGAJAR FILSAFAT POLITIK DEPARTEMEN FILSAFAT FIB UISumber : KOMPAS, 30 Desember 2011Kesetaraan dan kebebasan tampaknya lebih gegas berlabuh sebagai keniscayaan sejarah ketimbang keadilan dan kesejahteraan bersama. Inilah ”moral” cerita Arab Spring, pergolakan demokratisasi di 17 negara Afrika Utara dan Timur Tengah yang telah menelan lebih dari 30.000 jiwa.Pergolakan ini telah menumbangkan tiga kepala negara, mencopot lima perdana menteri, dan mengurungkan pencalonan kembali beberapa kepala negara/ perdana menteri. Belum terbilang sejumlah konsesi politik, mulai pelepasan tahanan politik, pencabutan undang-undang darurat, sampai ke pengakuan hak-hak sipil.Musim semi Arab boleh jadi merupakan fenomena politik paling signifikan di bumi dalam dua dasawarsa terakhir setelah keterkepingan Uni Soviet dan ”balkanisasi” Eropa Timur awal 1990-an.Setelah berabad sunyi dalam cengkeraman tirani politik totalitarian ataupun hegemoni sosiokultural, masyarakat negeri-negeri Arab mendadak tergolak gelombang demokratisasi. Gelombang demokrasi ketiga ini—pertama, Revolusi Perancis dan ikutannya; kedua, kemerdekaan negara-negara Asia-Afrika dari kolonialisasi—mewujud lewat politik ”keras” maupun politik ”lunak”.Di satu sisi, ada penumbangan rezim penguasa baik lewat revolusi seperti di Tunisia dan Mesir maupun perang sipil di Libya. Di sisi lain, aksi artikulatoris kolektif menggerogoti politik yang melembagakan subordinasi, dominasi, dan operasi, baik lewat demonstrasi maupun pembangkangan sipil. Salah satu perwujudannya: penguasa Arab Saudi mengakui hak konstitusional perempuan ikut pemilu.Perkembangan ini sungguh tak terbayangkan sebelumnya. Pada abad demokrasi ini, di kawasan itu masih ada pemegang monopoli membuat hukum; undang-undang darurat militer yang sudah berusia 19 tahun; bahkan pemerintahan phalosentris yang menempatkan perempuan warganya tanpa hak-hak politik laiknya budak abad lampau.Bukan TakdirSeperti diungkap Amartya Sen dalam The Idea of Justice (2009), masih banyak pihak yang berilusi bahwa tidak demokratis sudah menjadi takdir negeri-negeri Arab. Bahkan, seolah-olah demokrasi tidak kompatibel dengan budaya Islam.Ironisnya, pendapat semacam itu datang dari yang mencerca maupun membela. Di Indonesia kita sempat menyimak perdebatan serupa di jejaring sosial, terutama setelah Abu Bakar Baasyir mengatakan bahwa demokrasi tidak cocok dengan Allahkrasi sebagai konsep pemerintahan Islam (Al Jazeera, 8/9/2006).Maka kebangkitan dunia Arab membuktikan kepada kita, pandangan-pandangan semacam itu jauh panggang dari api. Benih nilai-nilai demokrasi, yakni menghargai kesetaraan dan kebebasan, ada dalam kebudayaan mana pun (Graeber, 2004). Boleh jadi, ini perwujudan kerinduan manusia untuk dihargai sebagai sesosok unikum dengan kekhasan pribadi dan kepentingannya sehingga berkehendak mengartikulasikan keunikan ke dalam imajineri bersama komunitasnya. Demokrasi institusional ini memang fenomena baru namun berlaku universal.Seperti diutarakan Sen, dalam selisih artikulatif ini yang kita butuhkan adalah pemahaman lebih menyeluruh mengenai watak dasar dan dinamika politik identitas. Maksudnya manusia diajak mengenali afiliasi berganda yang dimilikinya: terhadap agama,prioritas sekular, sampai kepentingan politis dalam mengeksploitasi perbedaan religius.Gamblangnya, identitas kewargaan seseorang dalam komunitas bersifat multitudo. Dia dapat sekaligus menjadi warga dari berbagai komunitas: negeri, agama, parpol, etnis, kerabat, tempat kerja, profesi, sampai hobi: dengan derajat loyalitas yang berbeda-beda. Keragaman identitas kewargaan itu menerbitkan paradoks artikulatif, tetapi tidak saling menegasikan.Jadi, kewargaan sekadar ”sebentuk prinsip pengartikulasian yang memengaruhi posisi-posisi subyek berbeda dari agen sosial, sementara membolehkan keragaman atas kepatuhan khusus dan bagi penghormatan atas kemerdekaan individual” (Mouffe: 1993). Dengan begitu, kewargaan sebagai rakyat dalam komunitas anak negeri, misalnya, pada dasarnya mempunyai fungsi mediasi, baik bagi keragaman masing-masing posisi subyek yang berbeda dari agen sosial maupun bagi keterjalinan antarindividu dengan komunitas-komunitas kecil lingkupnya.Legitimasi PolitikMusim semi Arab semakin mengukuhkan ketakterbendungan demokrasi sebagai label legitimasi tata kelola pemerintahan dan sistem politik lebih menyeluruh yang hendak dianggap absah oleh komunitas politik global.Sebuah penelitian memperlihatkan, dalam satu abad terakhir, jumlah negara yang memadai disebut demokratis melonjak 10 kali lipat menjadi 100 negara (Inoguchi dkk, 1998) Menilik penelitian ini berlangsung 1996, dapat diduga bahwa dewasa ini semakin sedikit negara yang masih bertahan dengan sistem totaliter.Memang, sebagian besar klaim ini masih dalam batasan formal-prosedural. Setidaknya dalam konteks terbatas, demokrasi telah menjadi semacam jargon keberadaban sistem dan perilaku politik; semacam prasyarat untuk legitimasi dalam pergaulan global.Barangkali yang menggelitik tinggallah mengapa nilai-nilai demokrasi tiba lebih dahulu sebagai keniscayaan sejarah mendahului keadilan dan kesejahteraan bersama yang diusung kebanyakan narasi besar termasuk sosialisme dan agama?Barangkali, seperti ditandaskan Sen, ”Keadilan tunadebat boleh jadi sebuah gagasan terpasung”. Kiranya, seturut konteks itulah peraih Nobel Ekonomi 1998 ini dalam berbagai bukunya selalu menekankan kembali ”pembangunan sebagai kebebasan”. Demokrasi, dengan kebebasan dan kesetaraannya mendatangkan kapabilitas untuk senantiasa menyempurnakan bahkan merekonstruksi prosedur dan proses pemerintahan dan politik.Jadi, selain nilai-nilai intrinsiknya demokrasi mempunyai kapasitas informatif, deliberatif, protektif, formatif, dan rekonstruktif; termasuk bagi artikulasi maupun praksis keadilan dan kesejahteraan.Kalau keterkepingan Uni Soviet dan ”balkanisasi” negara-negara satelitnya mengajarkan kepada kita bahwa keadilan dan kesejahteraan bersama tak perlu dipertentangkan dengan kesetaraan dan kebebasan; musim semi Arab barangkali mengajarkan kepada kita bahwa ”keselamatan” bersama di akhirat juga tak perlu dipertentangkan dengan kesetaraan dan kebebasan di dunia. ● -
Satu Tahun Terakhir
Satu Tahun TerakhirIndra J. Piliang, KETUA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGANDEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI GOLKARSumber : KORAN TEMPO, 30 Desember 2011Bangsa yang besar ini sekarang menjadi bangsa yang malang. Bukan karena kesalahan rakyatnya, melainkan akibat ketiadaan keseriusan aparatur hukum dan pemerintahan dalam menyelesaikan persoalan. Pada Desember 2011 ini saja mengemuka persoalan lahan dan konflik di belahan barat, tepatnya di Mesuji, yang terletak di wilayah Lampung dan Sumatera Selatan. Dari belahan timur menyeruak persoalan di Bima, Nusa Tenggara Barat, ketika aparat keamanan membubarkan aksi mahasiswa dan petani dengan tembakan. Korban nyawa tak terelakkan.Sementara itu, kalender pemilihan umum mulai berjalan. Proses seleksi 14 calon anggota Komisi Pemilihan Umum sudah dimulai pada tahap awal, yang dilakukan oleh pemerintah. Dari ke-14 nama itu, akan dipilih 7 orang untuk menjadi komisioner yang menjalankan pemilu legislatif 2014 serta pemilihan presiden dan wakil presiden 2014. Belum lagi kesibukan di Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk menyelesaikan paket undang-undang bidang politik. Proses itu berjalan bersamaan.Yang juga sudah dimulai adalah konsolidasi di kalangan peserta pemilu, yakni partai-partai politik. Daftar nama calon presiden dan wakil presiden sudah mulai dimunculkan. Masyarakat yang semakin kritis malah seperti tak membutuhkan partai-partai politik, terutama akibat banyaknya kasus korupsi yang melibatkan politikus dan penyelenggara negara lainnya. Hanya, kita patut bersyukur, mengingat mayoritas rakyat mendukung demokrasi dengan segala risiko negatifnya.Catatan lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sepertinya lebih banyak terlibat dalam agenda-agenda internasional, baik yang diadakan di Indonesia ataupun di luar negeri. Bahkan peluncuran bukunya pun dilakukan di Paris, Prancis. Kalaupun “terdengar” bersuara dalam masalah-masalah dalam negeri, lebih banyak masuk ke persoalan manajemen pemerintahan. Agenda-agenda besar sepertinya kurang dikumandangkan, terutama di bidang perlindungan warga negara dari perilaku aparatur pemerintahan yang jauh dari prinsip-prinsip hak asasi manusia.Padahal Presiden memiliki segalanya untuk melakukan kampanye apa pun. Presiden adalah panglima tertinggi Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara, serta atasan langsung Kepala Kepolisian RI dan Jaksa Agung. Masalah sepertinya dibiarkan berlarut, misalnya menyangkut Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor. Dalam penyelesaian masalah Papua, Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat kurang mendapatkan dukungan logistik, sumber daya manusia, dan payung regulasi. Masalah pertanahan yang semestinya menjadi pekerjaan utama Badan Pertanahan Nasional kurang menampakkan hasil. Kaum tani makin terjepit dalam pusaran arus liberalisasi di bidang pertanahan.Mau tidak mau, pemerintahan di masa mendatang layak menyusun skala prioritas dari karut-marut persoalan negeri ini. Dan semuanya itu berujung pada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Kinerja ekonomi sudah relatif baik, terutama karena kemampuan Wakil Presiden Boediono bersama timnya yang menjalankan prinsip “banyak bekerja, sedikit bicara”. Maka saya termasuk yang tidak sependapat dengan argumen bahwa bangsa ini dipimpin oleh autopilot. Kita punya sejumlah pemimpin, baik di dalam maupun di luar pemerintahan, tapi tidak semuanya mendapatkan porsi pemberitaan yang maksimal akibat banyaknya masalah.Prioritas masalah yang patut dikerjakan dalam setahun ke depan adalah keadilan sosial menyangkut pertanahan. Tanah di Indonesia tidak semuanya milik negara, tapi juga milik perseorangan, ulayat ataupun kaum adat. Pesatnya usaha eksploitasi kekayaan alam Indonesia berupa tambang, dan proses pembangunan infrastruktur yang membutuhkan lahan, pastilah bersentuhan dengan tanah. Belum lagi usaha perkebunan besar yang mayoritas adalah penanaman modal asing. Silang-sengkarut masalah pertanahan muncul akibat ketidakjelasan soal kepemilikan atas tanah.Masalah lain terkait dengan posisi aparatur penegak hukum dan penjaga keamanan. Polisi, dalam hal ini, menjadi instansi yang paling disorot. Sepanjang 2011, begitu banyak konflik yang terjadi antara warga dan polisi, mulai persoalan sederhana seperti salah tembak dan salah tangkap, sampai salah prosedur sengketa perusahaan dengan warga. Posisi polisi sebagai pelindung masyarakat menjadi kehilangan makna ketika yang terjadi justru sebaliknya. Karena itu, perlu usaha yang serius dari lingkup internal dan eksternal kepolisian untuk mengembalikan posisi polisi sebagai instansi yang dipercaya publik.Yang lain adalah semakin banyaknya persoalan yang terkait dengan menurunnya kekuatan infrastruktur fisik, seperti jembatan dan jalan. Publik teraniaya di jalan, selama berjam-jam dan berhari-hari, hanya karena kemacetan lalu lintas, termasuk di pelabuhan penyeberangan. Anggaran bidang infrastruktur malah digunakan untuk kepentingan di luar itu atau bahkan terindikasi dikorupsi oleh pejabat publik. Bencana alam menambah tingkat kerusakan. Prioritas penggunaan anggaran di bidang infrastruktur ini diperlukan sehingga lalu lintas barang dan manusia semakin lancar. Keselamatan manusia juga hendaknya makin terjamin.Tentu prioritas lain juga susul-menyusul. Ada agenda-agenda di bidang legislasi yang melibatkan pemerintah dan DPR. Ada agenda-agenda di bidang hukum yang terkait dengan lembaga yudikatif, termasuk prosedur penyidikan, penyelidikan, sampai penuntutan di kepolisian dan kejaksaan. Ada juga agenda di bidang pertahanan yang menyangkut posisi Indonesia sebagai negara yang berbatasan dengan sepuluh negara lain. Semakin banyak inventarisasi agenda-agenda persoalan itu, lalu dilakukan kajian yang bersifat empiris, serta diusung sebagai agenda bersama oleh elemen-elemen penting warga negara–termasuk masyarakat sipil dan pers–maka semakin jelas arah perjalanan bangsa ini ke depan.Yang patut digarisbawahi adalah semakin terbatasnya waktu yang dimiliki, terutama oleh pemerintah dan anggota legislatif hasil Pemilu 2009. Tahun 2012 bisa dikatakan sebagai tahun terakhir untuk menyelesaikan agenda-agenda besar itu. Soalnya, terus-terang saja, 2013 adalah tahun kalender politik nasional. Sistem multipartai tanpa pemenang mayoritas menyebabkan setiap elemen partai politik di pemerintahan dan di luar pemerintahan akan bekerja keras menang dalam pemilu.Belum lagi pemilihan kepala daerah yang berlangsung di provinsi dengan jumlah penduduk besar yang berlangsung pada 2012-2013, seperti DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Seluruh elemen partai politik dipastikan akan terlibat penuh dalam agenda pemilihan kepala daerah yang berjalan, selain mempersiapkan diri di seluruh area untuk Pemilu 2014. Akibatnya, bisa jadi nantinya akan sedikit sekali pihak yang mengurus pemerintahan, apabila semakin banyak pemimpin partai politik yang berada di lembaga eksekutif dan legislatif yang bekerja untuk pemilihan kepala daerah.Tidak adanya “jeda pemilihan kepala daerah” di Indonesia, akibat pelaksanaannya yang tidak serentak, menimbulkan implikasi berupa campur aduknya kerja di pemerintahan (publik) dengan kerja di ranah politik praktis. Model pemilihan kepala daerah di Indonesia juga memunculkan persoalan dengan ketiadaan partai oposisi, karena semua partai politik bekerja sama di daerah.Singkatnya, perlu penegasan komitmen dari elemen partai-partai politik untuk bekerja lebih keras demi publik. Komitmen itu ditambah dengan pemberian konduite kepada partai-partai politik yang memang menempatkan posisi dengan baik, di satu sisi bekerja di level pemerintahan pusat dan daerah, di sisi lain melakukan diferensiasi dengan program-program internal kepartaian. Pendidikan politik juga ditujukan ke arah itu sehingga tidak mudah muncul generalisasi. Karena sistem politik di Indonesia sepenuhnya bersifat “pengeroyokan”, penjelasan yang bersifat mendetail sangat dianjurkan dilakukan. Dan semoga 2012 berjalan dengan lebih baik lagi?. Selamat tahun baru. lCatatan lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sepertinya lebih banyak terlibat dalam agenda-agenda internasional, baik yang diadakan di Indonesia maupun di luar negeri. Bahkan peluncuran bukunya pun dilakukan di Paris, Prancis. ● -
Perikanan Salah Urus
Perikanan Salah UrusOkki Lukito, KETUA FORUM MASYARAKAT KELAUTAN DAN PERIKANAN;PELAKU BUDIDAYA LAUT DAN TAMBAKSumber : KOMPAS, 30 Desember 2011Ulasan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri (Kompas, 22/12/2011) sangat menginspirasi dan menyejukkan di tengah kegerahan membaca berita soal impor ikan. Namun, apakah dengan (ulasan) itu lalu produksi ikan Indonesia akan pulih kembali?Sebagai negara produsen ikan, kita terpuruk akibat program orientasi industri yang ambisius. Nilai kearifan lokal ditinggalkan, ekosistem perairan dan pesisir sebagai tempat pemijahan ikan banyak yang rusak.Pertanyaannya, dengan hitungan potensi di atas kertas yang melimpah itu, sebagaimana diulas Rokhmin Dahuri, apakah produksi ikan Indonesia akan mampu melampaui India atau mendekati China?Tak Dikelola dengan BaikSelama 10 tahun lebih menekuni usaha budidaya, di antaranya marine culture, serta menyaksikan fakta di lapangan, yang diperlukan adalah langkah nyata. Lupakan dahulu teori produksi yang pernah dilakukan. Para pelaku bisnis di sektor perikanan berharap perlu ada skala prioritas jika ingin memperbaiki produksi perikanan yang besar potensi tetapi miskin produksi itu.Di sektor perikanan tangkap, menumpuknya kapal tuna longline di Pelabuhan Benoa, Bali, membuktikan armada perikanan kesulitan mendapatkan ikan. Biaya yang dikeluarkan tak sebanding dengan penjualan ikan tangkapan. Pengusaha kapal tuna memutuskan memarkir kapal karena tangkapan terus menurun.Seperti dilaporkan Asosiasi Tuna Longline Indonesia, tangkapan tuna sekitar 950 kapal longline pada 2009 mencapai 32.504 ton. Jumlah ini turun tajam pada 2010, di mana produksinya kurang dari separuh capaian tahun sebelumnya.Di harian ini pun sudah diulas panjang lebar kondisi sentra perikanan tangkap utama di ranah bahari. Produksi ikan di Pelabuhan Muncar, Jawa Timur, dan Bagan Siapiapi, Riau, turun drastis. Tanpa disadari, eksploitasi besar-besaran perikanan tangkap menyebabkan stok ikan di sebagian besar wilayah penangkapan mengalami overfishing dan fully exploited. Kondisi ini dipacu pula penjarahan ikan oleh kapal-kapal asing serta kerusakan ekosistem utama di laut seperti terumbu karang dan padang lamun.Di sektor budidaya, para pembudidaya harus menelan pil pahit akibat pencemaran laut yang digunakan sebagai bahan baku utama tambak dan hatchery, tempat penetasan, serta kerusakan lingkungan akibat program intensifikasi. Udang vanamei yang diimpor dan diyakini tahan segala serangan penyakit ternyata jadi sumber malapetaka karena ketergantungan pada pakan konsentrat, yang telah menyebabkan lingkungan tambak tercemar.Pada awalnya usaha budidaya udang vanamei memang menguntungkan. Setiap hektar tambak mampu memproduksi 5-6 ton, dengan kepadatan rata-rata 100-150 ekor per meter persegi. Pembudidaya tradisional yang semula menekuni udang windu (Penaeus monodon) pun banyak yang beralih dan terpikat vanamei. Kenikmatan sesaat itu tidak berlangsung lama sebab setelah 4 kali panen, produksi terus turun hingga di bawah 1 ton per musim tanam selama 4 bulan akibat serangan virus dan penyakit.Pengalaman membudidayakan rumput laut Gracilaria spp dan Eucheuma spp di perairan Desa Gelung dan Gundih, Kecamatan Panurakan, Situbondo, dan Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean, Jawa Timur, tidak sesuai harapan. Kelompok nelayan yang dipilih untuk program pemberdayaan dengan modal Rp 750.000 untuk membeli bambu, tali plastik (sistem ancak), dan bibit rumput laut 1,5 kuintal hanya menghasilkan 4,5 kuintal dan dijual Rp 1.500/kg basah. Produksi rumput laut per hektar yang dalam promosinya bisa menghasilkan 30-40 ton dalam waktu relatif singkat, selama 45 hari, ternyata sulit dibuktikan.Demikian pula kondisi sentra penghasil rumput laut di Kabupaten Pacitan, tepatnya di Desa Sidomulyo, Kecamatan Donomulyo, yang pernah mendapat penghargaan nasional. Saat ini kondisinya terpuruk. Padahal, pemerintah memberikan fasilitas gudang, tempat menjemur rumput laut, dan menara air bersih.Usaha budidaya marine culture bersama kelompok nelayan di perairan Situbondo tak semulus yang dibayangkan. Ikan kerapu sebanyak 2.000 ekor setelah 1 tahun baru bisa mencapai berat 500 gram/ekor. Selain itu, kualitas air di Selat Madura yang buruk menyebabkan bentuk ikan tidak wajar alias cacat (bengkok) sehingga dibeli murah di bawah harga pasar oleh pembeli.Perairan Situbondo yang menjadi daya tarik investasi marine culture tak dikelola dengan baik. Seorang pengusaha budidaya kerapu di perairan Asembagus kecewa setelah 500.000 bibit kerapu yang dibudidayakan dalam 200 keramba mati karena minim informasi soal kualitas air. Padahal, tidak jauh dari lokasi ada Balai Budidaya Ikan Laut milik Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Dinas Perikanan Jawa Timur.Pemerintah pun belum melirik potensi perikanan di pulau kecil. Hasil usaha kelompok nelayan Mina Gili Makmur, NTB, kendati belum maksimal, sudah menunjukkan prospek.Pulau-pulau kecil sejatinya lebih berpeluang sukses sebagai kegiatan budidaya mengingat tingkat pencemarannya relatif masih kecil. Budidaya udang, bandeng, dan rumput laut dengan pola polikultur produksinya lebih sehat karena dibudidayakan secara tradisional. Demikian pula budidaya ikan air tawar seperti sidat, gurami, lele, dan nila untuk pulau-pulau kecil yang memiliki sumber air bersih.Revitalisasi BirokrasiApa yang diungkap Rokhmin Dahuri memberikan gambaran betapa besar potensi perikanan di negara kepulauan ini. Akan tetapi, harus diakui, selama ini sektor perikanan salah urus.Orientasi intensifikasi produksi telah membuat kita terlena dan menikmatinya sesaat. Besarnya potensi jadi malapetaka yang memukul sektor perikanan dari hilir ke hulu. Kebijakan memacu produksi telah menjebak kita masuk perangkap liberalisme sehingga lumbung ikan dan garam serta hasil laut lainnya terpaksa harus dimpor.Kementerian Kelautan dan Perikanan harus merevitalisasi birokrasi serta merevisi programnya yang tidak relevan dan tidak berorientasi kepada masyarakat. Revitalisasi birokrasi di antaranya memangkas sejumlah direktorat dan badan yang tidak relevan. Anggaran yang selama ini sebagian besar untuk membiayai birokrasi dialihkan untuk usaha masyarakat pesisir.Pembangunan fisik, seperti membangun pelabuhan di perairan yang sumber ikannya terbatas, supaya dihentikan. Modal kerja untuk nelayan dan pembudidaya, yang selama ini dititipkan bank, bagaimana caranya bisa langsung diterima kelompok usaha nelayan/petambak atau koperasi mina dengan aman. ● -
Pak Polisi, Tolong…
Pak Polisi, Tolong…Radhar Panca Dahana, BUDAYAWANSumber : SINDO, 30 Desember 2011Setiap Sabtu, lebih dari sepuluh tahun belakangan, ketika sebagian besar pegawai dan karyawan di Jakarta dan sekitarnya menikmati hari krida, saya harus keluar rumah menjalani satu rutin yang tak terelakkan.
Sejak terutama tiga-empat tahun terakhir dalam rutin itu, saya melihat dan merasakan, bagaimana lalu lintas di hampir semua pinggiran Ibu Kota, kian bertambah sesak, sejak mulai pukul delapan pagi hingga lepas tengah hari. Dan ketika saya tiap Sabtu harus melewati perempatan pertama selepas perumahan di bilangan Selatan Jakarta–di mana saya menetap—dalam 15 hingga 25 menit karena antrean kemacetan, saya mulai bertanya- tanya, kenapa orang-orang kaya Jakarta dan sekitarnya mengisi hari krida itu dengan keluar rumah?Kenapa kemacetan Sabtu bisa dua kali lebih merugikan ketimbang hari biasa? Dan mengapa justru di hari krida itu, lebih banyak petugas lalu lintas, terutama polisi, tinggal di rumah ketimbang mengatasi persoalan jalan raya ini, dan membiarkan “pak ogah”ganti mengurusnya dengan cara mendahulukan siapa saja yang memberinya persen atau tip?
Saya pun melewati beberapa pos polisi, kantor polsek atau polres yang selalu dihias oleh spanduk atau grafiti berisi slogan indah tentang kesigapan aparat keamanan dan ketertiban melayani masyarakat. Namun, apa yang dimaksudkan dengan “melayani” itu ketika saya melihat polisi membiarkan berbagai jenis kendaraan, terutama sepeda motor, dengan santainya melanggar rambu dan marka jalan,seperti dengan sengaja melecehkan petugas negara yang tengah berdiri di hadapan mereka dengan raut wajah tanpa bersalah.
Bahkan di banyak kesempatan, saya—dan tentu banyak dari kita—mengalami kerugian waktu, materil, dan emosional karena tidak dijalankannya aturan, adab, atau kesantunan berkendaraan di sekalangan pengendara.
Namun, bukannya kita melihat tindakan preventif dan kuratif yang tegas untuk itu, sebagai bagian dari law enforcement, malah kerap kita melihat mereka menggunakan kendaraan dinas (sepeda motor, mobil, atau bus) dengan cara yang juga kehilangan adab dan kesantunannya.
Tampaknya pada saat itu, sang petugas tengah lebih melayani (kepentingan) diri sendiri, ketimbang melayani kepentingan publik, walaupun seragam “pelayan masyarakat” (public servant) itu masih melekat kuat di badannya.
Tolong, Pak Polisi..
Seragam itu, Tuan Polisi, tentu Tuan sadari, dibeli dari uang (pajak) rakyat, dari cucuran peluh dan keringat masyarakat, yang dengan ikhlas diberikan agar kebutuhan mereka akan ketertiban dan keamanan terpenuhi. Bahkan hingga tiap liter bensin yang terpakai, biaya membuat satu strip tanda pangkat dan membeli sebuah peluit, termasuk mobil dan rumah mewah yang dimiliki para petinggi polisi, rela hati rakyat bekerja untuk membiayainya.
Namun, lihatlah mediamedia massa,statistik yang tertera, kenyataan mutakhir di kota- kota seperti Jakarta,dan kejadian yang terjadi di depan mata kita, ancaman dan rasa tidak aman semakin membiak dalam kehidupan individual hingga komunal kita.Kenapa para kriminal itu seperti semakin tidak jeri (takut) pada Tuan, bahkan sebagian terbukti bukan hanya melakukan pembiaran, melainkan malah justru terlibat dalam persekongkolan?
Belakangan hari, banyak bagian dari rakyat yang membentuk dan membangun bangsa ini justru –bukan hanya merasa, tapi jelas terbukti—dihina, direndahkan, disiksa, hingga diambil nyawanya, oleh tangan-tangan yang kuat karena makanan yang dibeli dari uang rakyat itu, dihumiliasi oleh sikap mental dan pikiran yang biaya pendidikannya dari rezeki dan jerih payah rakyat, terluka parah bahkan binasa oleh popor senjata atau peluru yang juga dibuat dan dibeli dengan biaya rakyat.
Semua yang seharusnya untuk melayani, melindungi,kini menjadi teror dan senjata mematikan, yang ancamannya bahkan tidak kalah dengan para kriminal atau teroris yang menakutkan, sebagaimana yang terjadi di Palu,Mesuji,Bima,dan banyak wilayah lainnya. Pak Polisi,tolonglah jangan lagi digunakan semua yang telah rakyat dan bangsa ini berikan dan percayakan penuh pada Pak Polisi untuk membela kepentingan yang bukan kepentingan rakyat.
Memahami Budaya
Sebagai aparatus utama dalam penyelenggaraan negara, alangkah bijaksana jika Tuan Polisi belajar memahami kami, rakyat, melalui cara hidup, adat, tradisi, atau kebudayaan kami. Tidak melalui doktrin, teori, atau pemahaman yang hierarkis, arogan, dan eksklusif sebagaimana selama ini.
Bagus sekali sistem rotasi kepemimpinan atau penugasan yang menempatkan seorang polisi di wilayah yang berbeda dengan asal-usul etniknya: orang Jawa di Papua,orang Papua di Bali, atau perwira Aceh bertugas di Nusa Tenggara. Tapi,mengapa pemahaman kebudayaan mereka tetap saja minim,dan penugasan atau rotasi di atas hanya menjadi semacam diseminasi nilai dan perilaku eksklusif polisi ke seluruh negeri?
Dalam pengalaman penulis, dibandingkan banyak lembaga kenegaraan maupun swasta lainnya, memang lembaga kepolisian, di tingkat apa pun, hampir tidak pernah terdengar meminta pertimbangan kebudayaan— dari para ahli maupun pelaku praksisnya—dalam menyusun kebijakan,program kerja,atau visi ke depannya. Namun, bisa jadi mereka memiliki mekanisme atau saluran tersendiri untuk mendapatkan itu.
Entah bagaimana. Yang menjadi ukuran akhirnya, adalah implementasi dari visi, kebijakan, dan program itu, dari cara bersikap dan berperilaku, Tuan Polisi.Cukuplah sudah apa yang telah terjadi, kekecewaan berdekade rakyat pada kekuatan satu ini. Tidaklah perlu kekecewaan itu memuncak, menjadi tekanan yang mereduksi habis wibawa Tuan Polisi—katakanlah ia sebaiknya didegradasi menjadi salah satu perangkat Kementerian Dalam Negeri—atau lebih tidak diinginkan lagi ketika rakyat umum menolak dan berseteru dengannya.
Rakyat adalah daulat itu sendiri, kekuatan (terbesar) itu sendiri, dan kepadanyalah semua kepentingan kita selaiknya mengacu dan menuju.Pak Polisi, saya kira Anda pasti setuju. Marilah hati, pikiran,dan jabat tangan kita bertemu.
● -
Akrobatik Hukum Akan Berjanjut pada 2012
Akrobatik Hukum Akan Berjanjut pada 2012Bambang Soesatyo, ANGGOTA KOMISI III DPR FRAKSI PARTAI GOLKARSumber : SINDO, 30 Desember 2011Pengingkaran terhadap kebenaran menyebabkan mekanisme penegakan hukum terus menggugat hakikat kebenaran itu sendiri.Kebenaran ditafsirkan sebagai kepentingan kekuasaan dan pengadil.
Potret penegakan hukum 2011 pun identik dengan tontonan sirkus yang mengecewakan, memalukan sekaligus menakutkan, dan memprihatinkan. Untuk meyakinkan publik atau sekadar memuaskan dahaga pers, badut-badut sirkus penegakan hukum tampil di ruang publik menyosialisasikan konstruksi sejumlah kasus itu.Menggunakan kewenangan, didukung dalih hukum yang ditafsirkan sesukanya, badut-badut itu merekayasa dan menyulap salah menjadi benar dan benar menjadi salah. Sirkus dan ulah para badut tadi, plus kepentingan sempit kekuasaan dan uang suap, menyebabkan hukum di negara ini tidak memiliki kepastian lagi. Sudah barang tentu publik merasa geli dan bingung menyikapi kebuntuan proses hukum Skandal Bank Century.
Ketua KSSK mengaku hanya bersedia bertanggung jawab atas sekitar Rp680 miliar lebih dana talangan. Kalau jumlah yang dicairkan sampai Rp6,7 triliun,bukankah angka itu sudah menunjukkan ada penyimpangan dalam bailout dan valid sebagai bukti? Kalau dikatakan belum ada bukti, itu jelasjelas kebohongan.
Apalagi surat SMI kepada Presiden mengonfirmasi ada penyelewengan itu, yakni data BI tidak akurat. Publik pun dibuat tercengang ketika menyimak isi dakwaan terhadap aktor utama kasus dugaan suap proyek Wisma Atlet SEA Games Muhammad Nazaruddin. Dakwaan itu memperlihatkan ada penjungkirbalikan fakta pengakuan Nazaruddin.
Nama-nama penting sebuah partai politik dan seorang menteri yang keterlibatannya telah berulangkali diteriakkan Nazaruddin sama sekali tidak disebut- sebut dalam dakwaan itu. Dalam kasus mafia pajak, upaya membohongi publik praktis gagal total.Karena disebut mafia,publik langsung mendeskripsikan kasus ini sebagai sebuah organisasi kejahatan dengan spesialisasi penggelapan atau pencurian pajak negara.
Organisasi mafia punya anggota banyak dengan jaringan luas. Ketika Gayus Tambunan akhirnya berhasil dibawa pulang ke Jakarta oleh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH),publik membayangkan Gayus yang eselon bawah di Direktorat Jenderal Pajak akan menyebut sejumlah nama.Lagilagi, penegak hukum menghindar dari kewajibannya memeriksa sosok-sosok penting yang diduga terlibat kejahatan.
Kebijakan Amatiran
Penanganan kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) pun sama menggelikannya. Faktanya dijungkirbalikkan agar pihak yang melaporkan memenuhi syarat menjadi tersangka. Mantan panitera pengganti MK,Zaenal Arifin Hoesein, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Padahal, Zaenal yang melapor pemalsuan itu kepada Ketua MK Mahfud MD.
Sementara mantan pejabat KPU Andi Nurpati yang kini menjadi petinggi partai berkuasa yang diduga terlibat praktis belum ditetapkan statusnya sebagai tersangka. Padahal,kesaksian para terperiksa nyata-nyata memojokkan mantan pejabat KPU itu. Kasus aneh yang tetap menjadi perhatian publik hingga kini adalah suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004.
Tanpa pernah mendengar keterangan atau kesaksian dari pihak yang melakukan suap, sejumlahorangdivonisbersalah dan dipenjarakan. Setiap kali ditanyakan siapa penyuap sesungguhnya dan kapan akan ditangkap, penegak hukum hanya bisa berdalih. Setelah sekian lama, baru sekarang terbuka kemungkinan untuk mengungkap sosok pemberi suap dalam kasus ini.
Kepentingan kekuasaan dalam proses penegakan hukum tampak jelas dalam kebijakan pengetatan remisi bagi terpidana koruptor dan terorisme. Sudah diperkirakan sebelumnya bahwa kebijakan ini bakal menimbulkan guncangan politik. Kebijakan itu abnormal sejak proses perumusannya.Banyak kalangan sudah mengingatkan bahwa kebijakan ini melanggar Undang-Undang Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28/2006 tentang Remisi.
Begitu diumumkan ke publik, kebijakan ini dihujani kritik dan kecaman.Sadar bahwa penggunaan kata moratorium itu salah,Wamenkumham Denny Indrayana buru-buru mengubahnya menjadi pengetatan. Dia melakukan perubahan itu dalam hitungan jam. Dari situ, tergambar jelas betapa rapuhnya kebijakan pengetatan remisi itu.
Fenomena Berbahaya
Fenomena penegakan hukum sedang mempertontonkan preseden sangat buruk. Rakyat kecewa karena terusmenerus dibohongi. Sebagai bangsa,rakyat merasa malu karena penegakan hukum dikelola dengan manajemen kebohongan publik. Para ahli hukum mengimbau Presiden agar peduli pada keanehan proses penegakan hukum sekarang ini.Toh, pada akhirnya Presiden tampak ambivalen.
Dalam kasus perburuan Nazaruddin, Presiden bisa mengeluarkan instruksi terbuka kepada Polri untuk menangkap Nazaruddin.Itu bukan intervensi hukum, melainkan kepedulian terhadap penyelesaian sebuah masalah. Pertanyaannya, kalau Presiden begitu peduli pada kasus Nazaruddin,mengapa kadar kepedulian yang sama tidak diberikan terhadap kasus lain? Semua kejanggalan dalam proses penegakan hukum itu mengindikasikan masih kuatnya peran mafia hukum.
Artinya, pemberantasan mafia hukum sudah bisa dikatakan gagal total.Karena itu,masa tugas Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) tak perlu diperpanjang. Satgas ini makin nyata tidak berperan manakala vonis bebas puluhan terdakwa koruptor terjadi di sejumlah Pengadilan Tipikor.
Singkat kata, tahun 2011 merupakan tahun kelam kemanusiaan dengan terjadinya peristiwa Mesuji dan NTB dan tahun penjungkirbalikan hukum untuk kepentingan kelompok tertentu. Memasuki 2012 pun menurut saya tidak akan membawa perubahan yang berarti. Hampir tidak ada celah untuk terjadinya situasi hukum yang kondusif. Imbas politik sandera yang terjadi selama pemerintahan SBY-Boediono sejak 2009 akan terus mewarnai hingga tahun depan.
Tarik-menarik kepentingan elite akan terus meningkat yang berakibat mandeknya penegakan hukum. Kasus korupsi besar yang terjadi tidak akan terselesaikan dengan baik. Tak aneh bila kemudian kasus- kasus korupsi besar yang terjadi pada 2011 akan terus menjadi batu sandungan pemerintahan SBY-Boediono pada 2012. Menurut saya, kasus Century pada 2012 akan ‘meledak’ menjadi lebih besar.
Kekecewaan penanganan kasus Century dan hasil audit forensik BPK yang jauh panggang dari api akan berujung pada hak menyatakan pendapat. Bila itu terjadi, kegaduhan politik akan mengiringi pergantian pemerintahan SBY dengan pemerintahan baru.
● -
Adakah Cerita Keberhasilan?
Adakah Cerita Keberhasilan?Bahtiar Effendy, GURU BESAR ILMU POLITIK,DEKAN FISIP UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTASumber : SINDO, 30 Desember 2011Adakah hal yang menarik, menggembirakan, dan mungkin membanggakan, yang bisa dibicarakan berkaitan dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia?
Jika membaca berbagai laporan media massa tentang apa yang terjadi di sepanjang 2011, bahkan mungkin juga tahun sebelumnya, jawaban atas pertanyaan di atas pasti negatif. Pertimbangkan saja pemberitaan mengenai penegakan hukum, pelayanan kesehatan, ketakterjangkauan biaya pendidikan, korupsi, kekerasan, membanjirnya produk luar negeri, perkembangan politik kepartaian yang hanya berkutat dengan threshold, kelakuan elite politik yang saling menyandera, dan sebagainya.Dalam konteks tema-tema itu,niscaya akan sulit ditemukan ihwal yang menggembirakan dan menjanjikan bagi perbaikan Indonesia. Hampir tak ada apa yang bisa disebut sebagai success story. Adamemang,pelaku-pelaku korupsi yang ditangkap untuk kemudian diajukan ke pengadilan. Meski demikian,masih saja muncul pertanyaan: apakah memenjarakan banyak koruptor berarti kemenangan memerangi korupsi?
Semua orang tahu bahwa korupsi tetap marak,dilakukanolehterutama para penyelenggara negara— eksekutif,legislatif,maupun yudikatif. Tidakkah yang sedemikian itu merupakan pertanda bahwakorupsimasihbelumbisa diatasi? Bukankah memenjarakan banyak koruptor di tengah masih banyaknya tindak pidana korupsi merupakan bukti bahwa korupsi sebenarnya tak terberantaskan?
Kuliah umum Dr N Hassan Wirajuda di FISIP, Universitas Islam Negeri, Jakarta, beberapa waktu lalu,menyiratkan bahwa setidaknya ada dua wilayah cerita keberhasilan. Pertama ekonomi dan yang kedua politik.
Perkembangan Ekonomi
Sebetulnya, jika kita bersedia untuk sedikit lebih nuchter dalam melihat, di bidang ekonomi terdapat isyarat yang menjanjikan. Kalau dikelola dengan sungguh-sungguh, diperlakukan secara baik,bukan mustahil sektor-sektor tertentu ekonomi kita bisa menjadi ikon keberhasilan nasional.
Secara umum, ekonomi makro kita berpenampilan bagus. Hal ini ditandai dengan inflasi dan suku bunga rendah,nilai tukar menguat,dan pertum buhan yang relatif tinggi.Di tengah krisis yang melanda Amerika Serikat dan Uni Eropa, ekonomi Indonesia bukan hanya tidak terganggu, melainkan masih bisa tumbuh di atas 6%—sebuah angka yang hanya dikalahkan oleh India (7%) dan China (9%).
Sementara itu, jumlah usia produktif mencapai 7%. Pun, sebagaimana terbukti selama ini,daya tahan ekonomi masyarakat masih tetap kuat. Ditambah dengan investment grade (negara layak investasi) yang baru saja diperoleh, terbuka kemungkinan ekonomi kita di tahun-tahun mendatang akan sangat menjanjikan.
Dalam situasi seperti itu, tidak mengherankan jika banyak pihak yang berpendapat bahwa empat negara kelompok BRIC akan segera bertambah satu— Indonesia.Yang tidak lagi bersifat spekulatif adalah, seperti disebut banyak pengamat dan dilaporkan media massa, bertambahnya jumlah orang yang bisadikategorikansebagaikelas menengah.
Menurut Bank Dunia, sekarang ini 56,5% dari 237 juta penduduk Indonesia masuk kategori kelas menengah. Kata banyak orang,bahkan para ekonom sendiri, realitas yang menggembirakan ini bukan akibat langsung dari kinerja pemerintah.Untuk sebagian besar, hal itu lebih disebabkan oleh kegiatan dunia usaha.
Konsumsi menjadi penggerak utama ekonomi Indonesia. Tidak semua setuju dengan pandangan di atas. Negara dengan aparatnya yang banyak itu pasti merasa punya andil lewat kebijakan yang dirumuskannya. Ini mirip dengan perdebatan mengenai kualitas pertumbuhan yang di atas 6% itu.
Banyak yang mempertanyakan, siapa sesungguhnya yang menikmati pertumbuhan itu? Apakah seluruh rakyat menikmati pertumbuhan tersebut? Juga soal mengenai munculnya kelas menengah yang semakin banyak. Ukuran yang digunakan untuk menentukan kelas menengah masih mengundang pertanyaan.
Hal ini terutama berkaitan dengan penilaian bahwa seseorang bisa dikategorikan sebagai kelas menengah jika ia membelanjakan uangnya antara Rp18.000 sampai Rp180.000 per hari. Bagi mereka yang bukan ekonom, angka Rp18.000, bahkan sampai Rp100.000 sekalipun, akan sulit memahami pengeluaran sebesar itu sebagai ukuran kelas menengah.
Barangkali, kisaran antara Rp150.000- 180.000 lebih bisa diterima sebagai pengeluaran golongan kelas menengah bawah—lebihlebih jika mereka hidup di kota kecil atau di daerah. Terlepas dari perdebatan yang ada, secara agregat ekonomi Indonesia memang membaik. Lebih dari itu, ekonomi rakyat juga telah menunjukkan daya tahan yang luar biasa selama 13 tahun terakhir ini.
Transformasi Politik
Di luar ekonomi, Indonesia sebenarnya bisa berbangga dengan proses transformasi politik yang berlangsung sejak 1998. Memang pada tahun-tahun awal reformasi,kita mengalami pergolakan yang luar biasa. Di dalam proses penjebolan benteng otoritarianisme Orde Baru,banyak korban yang jatuh,baik dalam konteks jiwa maupun harta.
Ketika pemilu demokratis diselenggarakan pada 1999,masih terdapat korban jiwa.Hal itu terjadi bukan pada hari dilaksanakannya pemungutan suara, melainkan pada suatu kesempatan ketika kampanye berlangsung.Gesekan-gesekan politik partisan, seperti yang terjadi di daerah Jepara pada waktu itu, telah menimbulkan korban jiwa.
Sebagai antisipasi, di kota besar semisal Jakarta, sekolah-sekolah diliburkan. Sementara itu,banyak gedung yang dipasangi pelbagai alat pengaman bangunan agar tidak menjadi sasaran kemarahan. Akan tetapi, lima tahun setelah itu, proses demokratisasi berjalan damai. Pemilu 2004 boleh dibilang aman. Demikian juga pada Pemilu 2009. Yang pantas dibanggakan di sini tentu bukan soal kualitas demokrasinya.
Tetapi, Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilu demokratis secara damai, yang melibatkan lebih dari 170 juta pemilih, 600.000 tempat pemungutan suara (TPS), jutaan petugas, beban logistik yang berat, dan voting turnout yang besar, adalah hal yang luar biasa.
Jika pemilu demokratis di India masih diwarnai kekerasan, dan di Amerika Serikat hanya mampu mendatangkan voting turnout di bawah 50%, pemilupemilu di Indonesia pasca-1998 sebenarnya merupakan cerita keberhasilan tersendiri. Ditambah dengan pemilihan umum kepala daerah, baik pada tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota,yang jumlahnya lebih dari 400, dapat dikatakan bahwa pusat sirkulasi kekuasaan secara demokratis ada di Indonesia.
Komunikasi
Kenyataannya adalah dua hal di atas,ekonomi dan politik, justru menggenapkan persoalan- persoalan yang ada di Indonesia. Praktik ekonomi dan demokrasi di negeri ini masih ada masalah—seperti dalam kualitas––adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Akan tetapi, Indonesia mengalami capaian-capaian yang luar biasa di kedua bidang tersebut juga tidak bisa dinafikan.
Salah satu kunci persoalan dalam hal ini adalah komunikasi. Mengomunikasikan kepada publik bahwa secara bersamasama— bukan hanya negara, apalagi pemerintah periode tertentu—kita telah mencapai tahapan penting dalam perjalanan sejarah.
Secara bersama- sama kita telah berhasil mentransformasikan Indonesia dari negara otoriter yang di penghujung hayatnya mengalami krisis moneter dan finansial yang luar biasa ke negara demokratis yang bukan hanya mampu keluar dari krisis, tetapi juga berkembang secara ekonomi.
Ini penting sebab di tengah masih banyaknya masalah, publik memerlukan keyakinan dan peneguhan secara terusmenerus bahwa memang ada capaian-capaian yang berguna bagi masa depan Indonesia. Memang harus diakui bahwa hal ini tidak mudah dilakukan.
Keberhasilan membangun demokrasi yang masih diwarnai politik transaksional yang kental, kemampuan menjaga inflasi, suku bunga, nilai tukar rupiah, dan pertumbuhan yang hanya disaingi India dan China mungkin, barangkali tidak dirasakan secara langsung dan segera manfaatnya oleh sebagian masyarakat—apalagi mereka yang sehari-hari masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Kalangan kelas menengah yang semakin berkembang pun tidak begitu menghiraukan atas apa yang dilakukan negara. Di tengah hiruk-pikuknya politik transaksional, yang terpenting bagi mereka adalah bekerja dan bekerja.
Kenyataan bahwa yang lebih banyak dicerna masyarakat adalah masalah demi masalah, ketimbang cerita keberhasilan mengenai transformasi Indonesia,boleh dibilang negara telah gagal dalam mengomunikasikan kepada publik mengenai pentingnya demokrasi dan pertumbuhan ekonomi.
Sayangnya, pemerintah tidak melihat hal ini sebagai prioritas. Alih-alih mereka sibuk dengan berbagai urusan teknis komunikasi—soal BlackBerry yang harus mendirikan pabrik di Indonesia, mengontrol isi dan arus komunikasi, desa yang harus kemasukan jutaan jaringan telepon, dan sebagainya.
Pendeknya, negara telah gagal mengomunikasikan apa yang seharusnya dikomunikasikan, sehingga dalam diri masyarakat tumbuh optimisme—bahwa memang ada sesuatu yang penting yang telah dihasilkan,dan kita semua menuju ke arah dan titik yang lebih baik. Sampai kita semua menyadari bahwa memang ada cita- cita bersama yang harus disongsong secara bersama-sama pula, optimisme tidak akan tumbuh.
Cerita keberhasilan hanya menjadi sesuatu yang diaku oleh kelompok,yang tidak dirasakan secara bersamasama. Sementara itu, tahun 2012 dijamin tidak akan memiliki resolusi apa-apa, sematamata berjalan atas apa yang sudah digariskan di tahun-tahun sebelumnya.
● -
Dilema Menaikkan Harga Minyak
Dilema Menaikkan Harga MinyakPurbayu Budi Santosa, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNDIPSumber : SUARA MERDEKA, 30 Desember 2011”Subsidi untuk minyak yang terkurangi hendaknya juga bisa dialokasikan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran”BEBAN pemerintah terkait dengan subsidi minyak terlihat kian berat yang dapat mengganggu pembangunan berbagai sektor lainnya. Pemerintah menyatakan dana anggaran BBM subsidi diperkirakan menembus angka Rp 160 triliun sampai akhir 2011. Dengan begitu pemerintah harus menambah anggaran hingga Rp 30 triliun karena dalam APBN-P 2011 subsidi BBM dipatok Rp 129,7 triliun. Tahun 2012, pemerintah menganggarkan subsidi energi Rp 168,56 triliun terdiri atas subsidi BBM dan elpiji 3 kg Rp 123,6 triliun, serta subsidi listrik Rp 44,96 triliun termasuk pembayaran kekurangan subsidi listrik 2010 Rp 4,5 triliun (SM, 14-15/12/11).Fluktuasi harga minyak bukan isu baru mengingat sejak beberapa waktu lalu sering ditiupkan kabar bahwa tanpa penyesuaian harga minyak maka beban subsidi membengkak. Alternatif pemecahannya waktu itu sudah sering dikemukakan seperti pada Maret 2011 akan dilakukan pembatasan BBM bersubsidi mula-mula di Jabodetabek dan secara bertahap berlaku secara nasional, yang diperkirakan bisa menghemat sekitar Rp 3,3 triliun.Meskipun telah disosialisasikan lewat berbagai media dan studi penjajakan yang memakan biaya yang relatif besar, tindak lanjutnya tidak ada. Bahkan berita terbaru pemerintah bulat tekad melakukan pembatasan konsumsi BBM mulai April 2012 (SM, 26/ 12/11), perlu dicermati apa betul-betul dijalankan? Bahkan rasanya kenaikan harga minyak 2013 tidak dimungkinkan karena berkaitan dengan persiapan pemilu.Kemudian ada alternatif pemecahan yang dikemukakan Tim Pengkaji Pembatasan BBM Bersubsidi dengan memakai asumsi tiap kenaikan harga minyak 1 dolar AS akan menambah defisit APBN Rp 0,8 triliun. Ada tiga opsi yang dikemukan tim ini untuk melakukan pemecahan masalah kenaikan harga minyak dunia di atas batas psikologis 100 dolar per barel, yang mengakibatkan kenaikan beban subsidi .Pertama; menaikkan harga premium Rp 500 per liter dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.000, namun angkutan umum diberi jaminan kembalian (cash back) sehingga tarif angkutan umum tidak naik. Kedua; harga pertamax dibatasi maksimal Rp 8.000 per liter. Ketiga; menjatah konsumsi BBM dengan sistem kendali (SM, 10/03/11).Kajian yang telah dilakukan ini juga tidak ditindaklanjuti, sepertinya halnya berbagai penelitian yang hasilnya hanya ditumpuk. Kebijakan yang diambil lebih berdasarkan kepentingan politis, bukan kepentingan rakyat banyak. Justru yang muncul dari permerintah terkait dengan pemakaian BBM subsidi adalah imbauan moral.Perlu KeberanianDalam situasi yang makin membebani anggaran pembangunan, Bank Dunia menyarankan untuk menaikkan BBM Rp 1.000 atau secara bertahap Rp 500/ liter. Saran ini sebenarnya sudah dikemukakan oleh Tim Pengkajian BBM Bersubsidi dengan opsi lebih rinci. Pertanyaannya, apakah pemerintah sekarang benar-benar berani menaikkan harga BBM, paling tidak tahun depan?Mestinya pemerintah melakukan langkah penyesuaian harga. Memang dampak kenaikan harga akan memacu inflasi, tetapi subsidi yang terkurangi kiranya dapat digunakan membangun infrastruktur yang tertinggal dari negara lain. Akibatnya, peluang Indonesia menerima limpahan dana berkurang karena buruknya kondisi infrastruktur, terlebih lagi kecepatan dan transparansi layanan perizinan kalah dari negara lain.Subsidi untuk minyak yang terkurangi hendaknya juga bisa dialokasikan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Belum lagi, posisi indeks pembangunan manusia Indonesia seperti dilaporkan UNDP) beberapa waktu lalu hanya 0,617. Angka ini merosot ke posisi 124 dari 187 negara, dari tahun lalu peringkat 108 dari 169 negara. Dengan demikian pembangunan ekonomi kerakyatan, pendidikan, dan kesehatan harus terus dipacu agar kualitas manusia Indonesia dapat bersaing.Pengambil keputusan seyogianya bijak menyikapi perlu tidaknya menaikkan harga minyak. Jangan sampai harga minyak dinaikkan tetapi di belakang layar ternyata berisi kebohongan semata karena dalam eksplorasi tambang pihak Indonesia sering dirugikan. Sudah menjadi berita umum bahwa dalam kontrak eksplorasi minyak kita mendapat porsi lebih besar, tetapi pada akhirnya bisa terkalahkan karena ketidakjelasan biaya pengelolaan (cost recovery).Sudah saatnya pemerintah dalam memutuskan harga barang publik memakai prinsip pengelolaan yang transparan dan akuntabel sehingga harga yang ditetapkan lebih menguntungkan masyarakat banyak. Kalau selama ini pemerintah mengejar usaha dalam negeri terkait dengan pengelolaan yang baik kini saatnya kita melakukan kepada pihak mana pun, termasuk pihak asing. ● -
Plato dan Pengadilan Calciopoli
Plato dan Pengadilan CalciopoliSiti Marwiyah, DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DR SOETOMO SURABAYASumber : SUARA KARYA, 30 Desember 2011Sejarawan TS Illiot berkata, “Kalau ingin menuai kehidupan yang lebih baik, kemajuan, dan pencerahan, maka belajarlah dari peristiwa masa lalu. Apa yang terjadi di masa lalu, adalah guru yang paling menentukan warna kehidupan masa kini dan masa depan.”Pernyataan itu mengingatkan para penyelenggara negara untuk mau belajar dari sejarah. Kalau mereka betul-betul mau belajar dari sejarah, maka mereka bukan hanya sukses menghadirkan dirinya sebagai pelaku sejarah yang negarawan, tetapi juga akan dicatat di hati rakyat sebagai pejuang dan pahlawan riil karena jasa-jasanya yang dikontribusikan untuk negeri.Sayangnya, banyak elemen negara, khususnya elemen penegak hukum yang tidak mau belajar dari sejarah. Perjalanan buram jagat penegakan hukum di Indonesia, yang hingga orde reformasi ini masih sarat dengan “borok”, merupakan bukti emprik kalau komunitas penegak hukum masih belum menginginkan terwujudnya atau membuminya pencerahan. Mereka masih menyukai terkerangkeng dan terhegemoni oleh sekumpulan petualang politik dan ekonomi (pengusaha) yang dinilai mampu menyenangkan dan menguntungkannya lewat kolaborasi berparadigma penyamanan dan pelanggengan praktik korupsi.Itulah diantaranya yang diingatkan oleh Guru Besar Indriyanto Seno Adji (17 Oktober 2011), bahwa pemberantasan korupsi menuju ambang kegagalan. Ini ditengarai terjadi karena maraknya intervensi penguasa dan pengusaha. Penegak hukum seperti jaksa, polisi, hakim, bahkan komisi pemberantasan korupsi (KPK), belum sepenuhnya bebas dari intervensi.Rekaman KPK berdurasi 4,5 jam yang pernah disiarkan MK, setidaknya dapat dijadikan sebagai agenda sejarah yang menunjukkan atau melengkapi tragedi yang menimpa dunia peradilan di negeri ini, atau membenarkan kalau peradilan Indonesia sedang diserang terjangkit tumor ganas, yang penyakit ini bisa menggerogoti dan memasturbasinya sampai mati.Mereka itu membuat wajah peradilan layaknya sanggar dagelan yang mempertontonkan sepak terjang segelintir orang yang dengan gampangnya melucuti atau menelanjangi hukum sebulat-bulatnya. Supremasi hukum di tangan penegaknya tak ubahnya macan kertas yang “ditenggak” sendiri atau dibuat tidak berdaya menghadapi taring-taring gorila atau kriminal elit ganas yang mencengkeram dan menghegemoninya.Pengadilan skandal dunia sepakbola professional di Italia (Calciopoli) yang menghukum beberapa klub yang terlibat pengaturan skor pertandingan layak dijadikan pelajaran bersejarah bukan hanya oleh manajer sepakbola semacam PSSI, tetapi juga oleh elit fundamental yang membingkai manajemen peradilan Indonesia mulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, KPK, KY, MK, maupun institusi lain yang mengibarkan bendera hukum.Pengadilan yang menangani skandal pengaturan skor pertandingan di Italia tersebut tetap tidak bergeming dengan pengaruh publik yang maunya meminta ada “toleransi” dengan klub-klub yang telah berjasa menyumbangkan sebagian besar pemainnya dalam mengantarkan Tim Nasional Italia menjuarai Piala Dunia 2006, suatu gelar bergengsi, yang barangkali bagi negeri (Indonesia) ini hanya sebatas mimpi.Klub sebesar Juventus maupun AC Milan, yang waktu itu paling banyak menyumbangkan pemainnya di Timnas Italia, tetap terkena hukuman yang tergolong berat. Jasa besar yang sudah diberikan kedua klub ini pada citra negara, tidak membuat pengadilan calciopoli bergeming atau memberikan hak privilitasnya. Tidak ada perlakuan istimewa atau penganaak-emasan pada klub yang terbukti mempermainkan “hukum sepakbola” atau citra hukum di jagad olahraga.Saat itu, Juventus, yang di dalamnya terdapat sejumlah besar pemain tenar seperti Cammonaresi, Buffon, Del Piero, Fabio Cannavaro, atau Zamrota, harus menerima kenyataan pahit untuk melepas gelar juaranya atau kehilangan mahkota skudetonya, setelah pengadilan Calciopoli mencopotnya dan menggusurnya dari Seri-A menuju Seri-B. Juventus yang merasa dirugikan oleh pengadilan Calciopoli mengajukan upaya hukum berkali-kali, tetapi tetap juga gagal. Akhirnya Juventus terpaksa harus memulai kompetisi di Seri-B dengan kondisi yang porak-poranda, karena sejumlah pemain terasnya telah pindah ke klub lain yang lebih menjanjikan masa depan.Juventus atau Ac Milan yang berjasa pada negara dan rakyat Italia, sepintas layaknya pepatah yang sering kita suarakan: “air susu dibalas air tuba”, suatu jasa besar, prestasi istimewa, dan reputasi di tingkat dunia, ternyata kembali ke negeri sendiri disambut dengan pelecehan dan penghancuran. Apa yang sudah diperjuangkan dengan susah payah demi negara, faktanya bukan penghargaan yang diperoleh, tetapi justru sanksi hukuman menyakitkan. (Zahra, 2011).Meski begitu, kedua Klub itu tetap sportif, berjiwa besar, atau menerima menjalani sanksi hukum yang diberlakukan kepadanya. Juventus mau menjalani pertandingan di level klas dua yang jauh dari sorotan media. Mengapa klub bermodal besar seperti Juventus mau menerima “dikalahkan” atau disungkurkan oleh pengadilan demikian?Karena, Pengadilan Calciopoli sudah dipercaya menjadi pengadil yang berasas fair play, jujur, adil, tidak diskriminatif, dan independen, demi tegaknya kedisiplinan, ketertiban, dan keharmonisan sosial dalam dunia sepak bola. Prestasi pengadilan Calciopoli tersebut terletak pada kapabilitas moralnya dalam menjaga independensi, yang kapabilitas ini tidak dimiliki oleh dunia peradilan di negeri ini.Plato mengingatkan, negara adalah apa yang menjadi perilaku manusianya. Karena itu, kita tidak dapat mengharapkan keadaan negara menjadi lebih baik, jika manusianya tidak lebih baik juga perilakunya. Kita tidak akan bisa mengharapkan citranya sebagai organisasi yang beradab, kalau manusianya suka memilih perilaku tak bermoral. ● -
Kasus Century Bakal “Meledak” di 2012
Kasus Century Bakal “Meledak” di 2012Bambang Soesatyo, INISIATOR HAK ANGKET CENTURY, ANGGOTA KOMISI III DPRSumber : SINAR HARAPAN, 29 Desember 2011Potret penegakan hukum 2011 masih sangat mengecewakan. Masih banyak terjadi penjungkirbalikan fakta untuk membantah kebenaran dalam setiap kasus hukum.Tahap demi tahap penyidikan, penyelidikan, hingga peradilan bahkan identik sandiwara. Ini karena “kebenaran” dan “keadilan” versi kekuasaan dan uang suap sudah dirumuskan, bahkan sebelum peradilan itu dimulai.Tengok saja kasus Century. Publik tentu merasa geli menyikapi kebuntuan proses hukum Skandal Bank Century. Ketua KSSK mengaku hanya bersedia bertanggung jawab atas sekitar Rp 680 miliar lebih dana talangan.Kalau jumlah yang dicairkan sampai Rp 6,7 triliun, bukankah angka itu sudah menunjukkan adanya penyimpangan dalam bailoutdan valid sebagai bukti? Kalau dikatakan belum ada bukti, itu jelas kebohongan.Hasil audit forensik Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mengecewakan. Laporan audit forensik BPK yang akan diserahkan ke DPR, Jumat (23/12), tidak memuat hal baru dan jauh dari harapan. Tekanan kekuasaan berhasil mereduksi audit forensik tersebut.Laporan BPK tidak beda jauh dengan laporan audit investigasi BPK yang pertama. Tidak ada pengungkapan aliran data detail yang kita harapkan dengan berbagai alasan. BPK hanya mengungkap ada aliran dana ke PT MNP, penerbit koran partai tertentu pada periode 2006-2009 senilai Rp 100,95 miliar.Auditor forensik yang menangani audit lanjutan kasus Bank Century juga diduga telah membohongi publik. Pemimpin BPK mengatakan penanggung jawab audit investigasi lanjutan mempunyai sertifikat CFE, ternyata tidak. Auditor Forensik BPK itu adalah I Nyoman Wara, Novy Gregory Antonius Palenkahu, dan Harry Purwaka.Di kasus lain, publik dibuat tercengang ketika menyimak isi dakwaan terhadap aktor utama kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games Muhammad Nazaruddin.Dakwaan itu memperlihatkan adanya penjungkirbalikan fakta pengakuan Nazaruddin. Nama elite partai politik dan seorang menteri yang keterlibatannya telah berulang kali diteriakkan Nazaruddin sama sekali tidak disebut-sebut dalam dakwaan itu.Dalam kasus mafia pajak, upaya membohongi publik praktis gagal total. Eksistensi mafia pajak berawal dari pengungkapan oleh seorang pejabat tinggi Polri. Karena disebut mafia, publik langsung mendeskripsikan kasus ini sebagai organisasi kejahatan dengan spesialisasi penggelapan atau pencurian pajak negara.Organisasi mafia mempunyai anggota banyak dengan jaringan luas. Ketika Gayus Tambunan akhirnya berhasil dibawa pulang ke Jakarta oleh (katanya) Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), publik membayangkan Gayus yang eselon bawah di Direktorat Jenderal Pajak akan menyebut sejumlah nama.Gayus memang melakukannya. Tetapi dalam proses penanganan kasusnya kemudian, penyidikan dan penyelidikan hanya fokus pada kasus Gayus, tidak menyentuh kasus penggelapan pajak lainnya, seperti dugaan manipulasi restitusi Wilmar Group, Asian Agrie, Ramayana Group, dan lain-lain yang pernah diperiksa Panitia Kerja (Panja) DPR.Lagi-lagi, penegak hukum menghindar dari kewajibannya memeriksa sosok-sosok penting yang diduga terlibat kejahatan.DPR kemudian menggagas Hak Angket mafia pajak. Aneh bin ajaib, justru pemerintah dan partai pemerintah berupaya menggagalkan Hak Angket tersebut, sehingga 151 perusahaan kakap yang diduga “bermain” pajak menjadi bebas.Penanganan kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) pun sama menggelikan. Fakta dijungkirbalikkan sehingga justru yang melaporkan menjadi tersangka. Mantan panitera pengganti MK Zaenal Arifin Hoesein ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Sementara Andi Nurpati yang diduga memalsukan justru dilindungi. Publik melihat ada kejanggalan.Jangan Hanya “Perang-perangan”Kasus yang menjadi perhatian publik hingga kini adalah suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Tanpa pernah mendengar keterangan dari pihak yang melakukan suap, sejumlah orang divonis bersalah dan dipenjarakan.Setiap kali ditanyakan siapa penyuap sesungguhnya dan kapan akan ditangkap, penegak hukum hanya bisa berdalih. Setelah sekian lama, baru sekarang terbuka kemungkinan untuk mengungkap sosok pemberi suap dalam kasus ini. Pulangnya Nunun akan mengungkap kotak pandora itu.Menjelang tutup tahun 2011 ini, Jakarta dikejutkan oleh terungkapnya kasus kekerasan di Mesuji. Proses penanganan tragedi Mesuji terasa janggal.Kalau terjadi pelanggaran HAM berat di Mesuji pada April dan November 2011, mengapa Jakarta (pemerintah pusat) harus dibuat terkejut beberapa bulan kemudian? Tidakkah berarti ada SOP yang dilanggar pihak berwenang di daerah kejadian?Tragedi Mesuji terasa janggal karena tidak menimbulkan heboh segera setelah terjadinya peristiwa. Ini menjadi heboh setelah korban dan keluarga korban bersusah payah mencari akses di Jakarta untuk mengadukan nasib mereka ke Komisi III DPR.Hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, skala kasusnya memang tidak sedramatis yang dilaporkan kepada Komisi III DPR. Kedua, ada pihak yang berupaya menyederhanakan kasus. Ketiga, ada upaya menutup-nutupi tragedi ini.Tragedi Mesuji terjadi pada April 2011. Kalau tragedi itu baru menjadi cerita yang menghebohkan di Jakarta pada pertengahan Desember 2011, itu adalah rentang waktu yang sangat panjang untuk mengungkap tragedi kemanusiaan. Ini jelas tidak wajar.Bandingkan dengan keadaan di Papua. Dalam hitungan menit, aparat yang tertembak penyerang tak dikenal segera menjadi berita berskala nasional. Dengan begitu, dalam kasus Mesuji, patut diduga ada pihak yang berusaha menutup-nutupi tragedi ini. Apalagi, warga setempat mengaku selalui dihantui rasa takut untuk melapor karena mendapat ancaman.Bagaimana dengan 2012? Menurut saya, ke depan hampir tidak ada celah untuk terjadinya situasi hukum yang kondusif. Imbas politik sandera yang diterapkan Pemerintahan SBY-Boediono sejak 2009 pasti akan terus mewarnai tahun depan. Tetap akan ada tarik-menarik kepentingan elite. Kasus korupsi besar yang terjadi tidak akan terselesaikan dengan baik.Sikap ambigu dari SBY yang selalu menggembor-gemborkan penegakan hukum, tetapi pada kenyataannya tidak memposisikan diri sebagai panglima untuk pemberantasan korupsi, akan terus terjadi. Dinamika hukum yang terkesan saling sandera tetap dibiarkan, sebagai bentuk usaha lari dari tanggung jawab.Tak aneh bila kemudian kasus-kasus korupsi besar yang terjadi di 2011 akan terus menjadi batu sandungan pemerintahan SBY di 2012. Menurut saya, kasus Century di tahun depan akan “meledak” menjadi lebih besar.Kekecewaan penanganan kasus Century dan hasil audit forensik BPK yang jauh panggang dari api, akan berujung pada Hak Menyatakan Pendapat. Bila itu terjadi bukan tak mungkin kegaduhan politik akan mengiringi pergantian pemerintahan SBY dengan pemerintahan baru.Belum terlambat untuk memperbaiki penegakan hukum dan mengembalikan kepercayaan rakyat. Itu dapat dimulai dengan mengungkap kasus-kasus besar yang hingga kini masih mengendap di institusi penegak hukum, termasuk di KPK. Jika penegak hukum berhasil mengungkap kasus itu, yang lainnya juga akan terungkap.Kita berharap pemimpin KPK yang baru bisa menunjukkan keberanian melawan segala bentuk tekanan dan intervensi yang dilancarkan kekuatan-kekuatan tertentu. Jika harapan publik itu tidak direalisasikan, pemimpin KPK yang baru harus merealisasikan janjinya untuk mengundurkan diri.SBY juga harus menunjukkan kemauan politik untuk tidak diskriminatif lagi dalam penegakan hukum. Kalau perilaku pemimpin masih tetap “sontoloyo”, agenda penegakan hukum pasti terus karut marut. Tekad presiden dalam perang melawan korupsi pun tetap dibaca publik sebagai “perang-perangan” melawan korupsi. ● -
2011, Tahun Kebohongan?
2011, Tahun Kebohongan?Tom Saptaatmaja, PEGIAT LINTAS AGAMA;ALUMNUS STFT WIDYA SASANA MALANG DAN SEMINARI ST VINCENT DE PAULSumber : SINAR HARAPAN, 29 Desember 2011Tidak terasa 2011 sudah akan berakhir dalam hitungan hari. Waktu terasa begitu cepat, sedangkan ada beberapa agenda atau rencana di awal tahun ternyata tidak tuntas menjelang tutup tahun.Salah satu agenda yang tampaknya belum tuntas adalah agenda melawan kebohongan. Tahun 2011 memang pernah diagendakan sebagai Tahun Melawan Kebohongan. Ini dicanangkan para tokoh agama di gedung dakwah PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin, 10 Januari 2011.Para tokoh itu di antaranya Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Mgr Martinus Situmorang, Ketua Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Pendeta Andreas Yewangoe, Buya Syafii Maarif, Frans Magnis Suseno, Shalahudin Wahid, dan Bhikku Sri Pannyavaro.Yang penting lagi, para tokoh itu juga memberi batasan tegas tentang kebohongan sebagai tidak satunya kata dengan perbuatan. Misalnya kebohongan tentang jumlah penduduk miskin.Pemerintah berkali-kali menyatakan telah berhasil mengurangi kemiskinan menjadi 31,02 juta jiwa. Faktanya, jika digunakan pendekatan penduduk yang layak menerima beras untuk rakyat miskin, pada 2010 jumlah penerima raskin mencapai 70 juta orang.Jika dilihat dari data penduduk yang berhak menerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas), jumlah warga miskin di Indonesia malah mencapai 76,4 juta jiwa.Menjelang tutup tahun seperti sekarang, mayoritas warga miskin kian merasakan beratnya beban hidup, akibat melambungnya harga sembako dan anomali cuaca.Hanya para koruptor, mafia hukum, mafia pajak, dan mafia lainnya yang hidup dalam kemakmuran dan kelimpahan materi (uang) sambil terus korupsi dan mempermainkan ayat-ayat hukum di atas penderitaan rakyat miskin.Melihat pernyataan-pernyataan para tokoh lintas agama, publik pun merespons dengan antusias. Di Surabaya, misalnya, para tokoh lintas agama dan para akademikus juga menggemakan perlawanan terhadap kebohongan, tepatnya di kampus Universitas Muhammadiyah Surabaya pada Rabu, 19 Januari 2011.Di berbagai kota besar dan kecil juga bermunculan Posko Antikebohongan. Sepanjang Januari 2011 hingga pekan pertama bulan berikutnya, berbagai media mem-blow up agenda melawan kebohongan itu.Tapi entahlah, agenda untuk melawan kebohongan itu tiba-tiba gemanya melemah, setelah terjadi perusakan atau tindakan anarkisme terhadap tiga gereja di Temanggung, 8 Februari 2011.Berbagai spekulasi pun merebak, di antaranya bila para tokoh lintas agama tetap lantang meneriakkan perlawanan terhadap kebohongan, peristiwa SARA akan banyak terjadi di akar rumput. Pendapat seperti ini juga dilontarkan kolega saya, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Surabaya KH Imam Ghazali Said.Selain peristiwa Temanggung itu, juga ada serangan balik dan kecaman pada para tokoh lintas agama, yang tampak di berbagai spanduk di Jakarta pada awal Februari 2011. Bahkan para tokoh lintas agama dianggap telah melakukan kebohongan dan dinilai telah memasuki wilayah politik praktis.Bukan Politik PraktisMenurut Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan, Romo Benny Susetyo Pr, melalui kritik-kritiknya pada pemerintah, para tokoh lintas agama tidak bermaksud melakukan politik praktis yang berorientasi pada jabatan atau kekuasaan. Mereka juga tidak bermaksud membela kekuatan oposisi yang kebetulan berseberangan dengan pemerintah.Dari perspektif agama, sebenarnya lontaran kritik para tokoh lintas agama di atas merupakan peristiwa besar. Hal seperti itu belum pernah terjadi dalam 66 tahun negeri ini.Memang gaung dari kritik mereka bisa saja melemah atau diperlemah, tapi esensi dari lontaran kritik mereka tidak boleh padam di hati siapa pun yang berkomitmen hendak menegakkan kebenaran dan keadilan.Apalagi, pada hakikatnya setiap umat beragama dipanggil untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Bila Islam mengajarkan “amar ma’ruf nahi munkar”, Kristen, Hindu, dan Buddha juga mengajarkan hal yang sama, meski agama-agama ini tidak sama.Agama-agama yang sejati, meski tidak sama, sebenarnya mempunyai visi sama dalam memandang persoalan keadilan dan kebenaran.Agama-agama itu juga mengajarkan umatnya untuk tidak jatuh dalam praksis beragama yang abstrak, seolah ketidakbenaran (baca: kebohongan) atau ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita, khususnya yang mengorbankan kaum miskin, boleh dibiarkan. Bila di tengah ketidakadilan para tokoh agama atau umat beragama diam saja, ini justru kesalahan besar.Kritik ProfetisPara tokoh lintas agama kita sesungguhnya hanya melontarkan kritik profetis. Agama-agama memang harus menyuarakan kritik profetisnya dan tidak boleh lupa pada perjuangan penegakan kebenaran dan keadilan.Sebaiknya memang agama tidak banyak memasuki ranah politik, melainkan dalam ranah kritik profetis (baca Martin Maier: “Theologie de Befreiung” dalam Stimmen der Zeit, 1991, halaman 711-712).Karena agenda melawan kebohongan hanya kritik profetis, jika kemudian agenda itu tampak melemah atau tak ada gaungnya di akhir tahun, tidak menjadi masalah. Apalagi, agenda di ranah agama beda dengan agenda di bidang lain. Yang penting, agenda yang berisi kritik profetis itu semoga menembus telinga dan hati siapa pun yang mendengar.Penguasa atau pemerintah sebaiknya tidak perlu mengajukan apologi atau pembelaan. Langsung saja melakukan aksi, jika memang ada kebohongan seperti yang dituduhkan, misalnya kritikan terkait korupsi.Presiden SBY pernah berkata hendak berdiri di garda depan dalam pemberantasan korupsi. Buktikan saja. Rakyat sudah bosan dengan retorika, sementara korupsi justru kian marak di semua lini.Din Syamsudin juga baru menyebut 2011 sebagai tahun penuh dusta atau kebohongan. Namun, biar sejarah yang akan menjadi hakim yang adil serta memberi penilaian, apakah rezim ini memang sungguh telah melakukan kebohongan atau tidak.Apalagi, akan tiba saatnya kelak di suatu waktu, ketika yang tersembunyi di dalam lubuk hati yang terdalam akan dibukakan, dan ketika yang jahat tidak bisa dikemas serta dicitrakan baik, atau sebaliknya. Mari kita tinggalkan 2011 dengan segala suka dukanya dan menyongsong fajar baru 2012. ●