Blog

  • Prediksi Suhu Politik 2012

    Prediksi Suhu Politik 2012
    Syamsuddin Haris, KEPALA PUSAT PENELITIAN POLITIK LIPI      
    Sumber : SINDO, 1 Januari 2012
    Meskipun diwarnai dinamika politik tinggi, hampir tidak ada prestasi politik signifikan yang dicapai bangsa kita pada 2011 yang segera berakhir. Perombakan kabinet yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih terpenjara kebutuhan harmoni politik di antara partai-partai politik koalisi pendukung pemerintah.

    Di sisi lain,
    prestasi DPR pun tidak lebih baik dibandingkan 2010. Bagaimana arah dan kecenderungan politik nasional pada 2012 mendatang? Perlu digarisbawahi bahwa dinamika politik nasional pada 2011 yang sangat mungkin berlanjut pada 2012, dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, pola relasi politik yang berkembang di antara dua cabang utama kekuasaan, yakni Presiden di satu pihak,dan DPR yang berisi para politisi partai politik di lain pihak.

    Sekalipun masih banyak institusi dan lembaga negara lainnya yang turut menentukan dinamika politik Tanah Air, sulit dibantah bahwa berbagai isu politik dan kebijakan strategis akhirnya berujung pada cara Presiden dan parpol di DPR merespons dan mengelolanya. Kedua, pola relasi Presiden dan DPR sendiri ditentukan oleh dinamika internal Sekretariat Gabungan Koalisi Parpol Pendukung Pemerintah yang beranggotakan enam parpol, Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB.

    Apabila muncul riak-riak konflik atau perpecahan dalam Setgab Koalisi, kemungkinan besar hal itu berimbas pola relasi antara Presiden dan DPR.Persoalannya, Golkar dan PKS yang menjadi “duri dalam daging” Setgab Koalisi sewaktu-waktu bisa menarik dukungan PDI Perjuangan, Gerindra, dan Hanura menghadapi Presiden SBY dan Partai Demokrat beserta parpol-parpol yang relatif loyal dalam Setgab, yakni PAN, PPP, dan PKB.

    Dua Isu Besar

    Paling kurang ada tiga isu politik besar yang diduga mempertinggi memanasnya suhu politik 2012 mendatang yang berpengaruh pada dinamika politik nasional.Pertama, tarik-menarik kepentingan parpol terkait isu-isu krusial yang belum disepakati dalam revisi UU Pemilu yang dijadwalkan akan diselesaikan pada Maret atau April 2012.

    Hingga saat ini DPR gagal menyepakati empat isu krusial materi UU Pemilu, yakni (1) besaran persentase ambang batas parlemen (parliamentary threshold); (2) alokasi kursi per daerah pemilihan; (3) sistem pemilu; dan (4) cara atau teknik penghitungan suara. Terkait ambang batas parlemen misalnya,sikap parpol dalam Setgab Koalisi terpolarisasi ke dalam beberapa kelompok.

    Golkar mengusulkan 5%, tiga parpol kecil,PAN,PPP,dan PKB menghendaki tidak ada perubahan (tetap 2,5% seperti Pemilu 2009), Demokrat usul 4%, sementara PKS antara 3- 4%. Bagi parpol kecil, ambang batas parlemen adalah soal hidup- mati sebagai parpol pasca- Pemilu 2014, sehingga tidak ada toleransi jika kenaikan ambang batas melampaui angka 3%. Kedua, tarik-menarik kepentingan parpol terkait penyelesaian skandal Bank Century yang menyedot dana talangan Rp6,7 triliun rupiah.

    Meski secara politik DPR telah “mempermalukan” pemerintah SBY melalui keputusan rapat paripurna hak angket Century pada awal 2010, beberapa parpol seperti Golkar, PKS,PDIP,dan Hanura masih mempersoalkan tidak adanya itikad baik pemerintah menyelesaikannya secara tuntas. Sebagai kebijakan yang dinilai DPR bermasalah secara hukum, parpol-parpol tersebut masih menuntut kejelasan aliran dana Century.

    Meski tidak ada yang baru dari hasil audit forensik atas skandal Century yang diserahkan BPK kepada DPR, namun perpanjangan tiga bulan masa kerja Tim Pengawas Century tentu memungkinkan parpolparpol yang kecewa menghimpun amunisi politik baru, yakni mencoba menggulirkan penggunaan hak menyatakan pendapat.

    Secara matematis memang tidak mudah mewujudkan usulan hak menyatakan pendapat sebagai hak DPR mengingat prasyarat persetujuan atas penggunaan hak tersebut adalah dua pertiga dari anggota DPR yang hadir. Namun jika kepentingan parpol kecil yang selama ini loyal kepada SBY tidak direspons oleh Partai Demokrat dalam soal ambang batas parlemen, hak menyatakan pendapat akan menjadi kartu truf PAN, PPP, dan PKB untuk tawar- menawar dengan pemerintah SBY.

    Tantangan Setgab Koalisi

    Setgab Koalisi semula dibentuk untuk memudahkan kompromi politik di antara enam parpol pendukung pemerintah, sehingga diharapkan memuluskan pengambilan keputusan di DPR.Namun sejauh ini, sejumlah rapat internal Setgab gagal menyepakati isuisu krusial RUU Pemilu.Dalam soal calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi pun suara parpol yang tergabung dalam Setgab bahkan terpecah belah, terutama antara Partai Demokrat dan Partai Golkar yang mengajukan paket berbeda.

    Jika paket Pimpinan KPK (Abraham Samad dkk) saat ini benar-benar lebih merupakan pilihan Golkar yang didukung PDIP,tidak mustahil kasus Century bakal menjadi prioritas, sehingga kemudian berujung pada munculnya konflik baru di internal Setgab Koalisi. Riak-riak konflik internal Setgab Koalisi ini tampaknya akan terus berlanjut pada 2012 ketika dalam waktu dekat DPR harus memutuskan sikap politiknya atas empat isu krusial RUU Pemilu.

    Selain soal ambang batas parlemen, potensi konflik Setgab bisa muncul dari masalah sistem pemilu, apakah proporsional terbuka seperti Pemilu 2009 atau proporsional tertutup sebagaimana diusulkan PKS dan PKB yang saat ini mendapat dukungan PDIP dari luar koalisi. Partai Golkar belakangan mewacanakan sistem campuran dengan skema 70% caleg dipilih melalui daftar terbuka sedangkan 30% ditentukan oleh pimpinan parpol melalui daftar tertutup.

    Namun demikian,meski potensi konflik internal Setgab yang berujung pada ketegangan relasi Presiden dan DPR cukup tinggi,seperti biasanya,pada dasarnya tidak adalah masalah politik yang tidak bisa diselesaikan. Karena itu,meningginya suhu politik pada 2012 hampir pasti akan diikuti pula oleh mengentalnya transaksi-transaksi politik, baik yang bersifat internal Setgab maupun antara Presiden dan parpol di DPR.

    Itu artinya,memasuki 2012, kita sebagai masyarakat harus siap-siap mengurut dada kembali atau merajut harapan baru kembali yang tak kunjung bisa digapai karena para elite dan politisi parpol hanya peduli pada kepentingan mereka sendiri. Selamat Tahun Baru 2012.

  • Pendekatan Hati di Papua

    Pendekatan Hati di Papua
    W. Riawan Tjandra, DIREKTUR PROGRAM PASCA SARJANA DAN DOSEN FAKULTAS HUKUM
    UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 
    Sumber : SINDO, 1 Januari 2012
    Mengapa Papua masih terus bergejolak meskipun sudah triliunan rupiah dana Otonomi Khusus (Otsus) dialirkan oleh Pemerintah Pusat ke Pulau Cendrawasih itu?

    Pertanyaan tersebut sangat layak dikemukakan mengingat sejak 2001 melalui UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,Pemerintah pusat telah menetapkan Provinsi Papua sebagai Daerah Otonomi Khusus. Pengaturan mengenai penerapan Otsus di Papua merupakan kebijakan nasional yang melakukan diferensiasi kebijakan atas daerah yang memiliki kekhasan baik ditinjau dari sisi sejarah maupun budaya dengan menerapkan sistem desentralisasi asimetris.

    Penerapan Otsus Papua diikuti dengan memberikan kekhususan dalam melaksanakan desentralisasi fiskal yang diatur dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c UU No. 21 Tahun 2001, yang memberikan ruang terhadap adanya penerimaan provinsi dalam rangka Otonomi Khusus. Pola semacam itu dikenal dengan metode transfer antarpemerintah (intergovernmental transfers), yaitu pemindahan penerimaan umum yang berasal dari berbagai pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah/lokal untuk pembiayaan tertentu.

    Hal itulah yang dikenal sebagai dana Otsus. Pemberian dana Otsus tersebut merupakan tindak lanjut dari penerapan sistem desentralisasi asimetris di Papua.Tak salah jika dikatakan bahwa desentralisasi asimetris merupakan bentuk federalisasi lunak (soft federalism) guna memberikan ruang yang lebih luas kepada suatu daerah tertentu dalam suatu negara yang mengalami krisis hubungan politik antara pusat-daerah. Model desentralisasi asimetris semacam itu mirip dengan kebijakan pemerintah pusat terhadap Nanggroe Aceh Darussalam.

    Sejarah Integrasi

    Papua pada hakikatnya bukan hanya salah satu pulau di kawasan timur negeri ini, namun merupakan bagian yang sangat penting untuk melacak sejarah pendirian republik ini. Bahkan,ada yang mengatakan bahwa Papua merupakan tempat lahirnya ide Pendirian Republik Indonesia. Boven Digoel, salah satu wilayah di Papua yang saat ini sudah menjadi sebuah kabupaten di Papua, sebenarnya merupakan tempat yang bersejarah yang menjadi tempat pembuangan di zaman kolonialisme.

    Papua juga pernah melahirkan beberapa tokoh lokal,seperti Silas Papare kelahiran Serui, 18 Desember 1918, yang memiliki jiwa kebangsaan yang tinggi. Begitu mendengar Indonesia telah merdeka, ia kemudian bersama-sama temantemannya yang tergabung dalam Batalion Papua pada Desember 1945 melakukan pemberontakan terhadap Belanda.

    Ada beberapa tokoh Papua lainnya yang berperan dalam sejarah perjuangan Indonesia sebagai Pahlawan Nasional seperti Frans Kaisiepo (1921-1979) dan Marten Indey (1912-1986) yang membuktikan bahwa sejak pendudukan Belanda rakyat Papua sudah menjadi bagian dari NKRI dan berjuang bersamasama melawan Belanda. Proses integrasi Papua di pangkuan ibu pertiwi membutuhkan proses yang panjang.

    Melalui proses perjuangan militer dan diplomasi yang panjang, kesepakatan RI-Belanda sedikit mencapai titik terang dengan dilaksanakannya Perjanjian New York pada tanggal 15 Agustus 1962 di Markas Besar PBB.Isi dari Perjanjian New York adalah Belanda harus menyerahkan wilayah Papua Barat kepada PBB/United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang selanjutnya akan menyerahkan Papua kepada RI dengan syarat, pemerintah RI harus memberikan kesempatan referendum kepada masyarakat Papua.

    Proses pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sendiri mulai dilaksanakan tanggal 24 Juli sampai dengan Agustus 1969, yang dilaksanakan di delapan kabupaten, yaitu Merauke, Jayawijaya,Paniai, Fakfak,Sorong,Manokwari, Biak,dan Jayapura oleh 1.026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili jumlah penduduk Papua pada saat itu yang berjumlah 809.327 jiwa.

    DMP tersebut terdiri atas 400 orang mewakili unsur tradisional (kepala suku/adat), 360 orang mewakili unsur daerah dan 266 orang mewakili unsur organisasi politik/organisasi kemasyarakatan. Petugas PBB yang mewakili Sekjen PBB adalah Dubes Bolivia, Fernando Ortiz Sanz bersama- sama 16 orang pengawas PBB lainnya. Hasil dari Pepera yang digelar di delapan kabupaten Irian Barat (Papua),

    semuanya memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia.Ini menandai bahwa secara de facto masyarakat Papua memilih untuk berintegrasi dengan NKRI. Dengan dikeluarkannya Resolusi PBB nomor 2504 pada Sidang Umum PBB 19 November 1969, dengan 82 negara yang setuju, 30 negara abstain dan tidak ada yang tidak setuju, menunjukkan bahwa dunia Internasional sudah mengakui keabsahan Pepera 1969.

    Dana Otsus Bocor

    Pertanyaan kritis yang perlu dikemukakan terkait kembali menguatnya gejolak sebagian unsur masyarakat di Papua yang konon disponsori oleh OPM adalah sejauh mana keterkaitan aksi- aksi tersebut dengan kebocoran dana Otsus yang menurut temuan BPK telah mencapai angka Rp4,2 triliun? Pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan melakukan pendekatan komprehensif dalam menyelesaikan kompleksitas permasalahan di Papua yang memicu terjadinya peningkatan suhu politik di Papua.

    Semakin meluasnya ketidakpuasan akibat kesenjangan ekonomi yang kian melebar di Papua kini kian berkelindan dengan isu politik yang selama ini diusung oleh para aktivis yang bernaung di bawah OPM. Bahkan, sumbu pendek sebagian besar masyarakat Papua yang merasa tidak puas atas penerapan transfer fiskal yang salah urus di Papua kini sangat mudah dinyalakan oleh siapa pun yang ingin mengail di air keruh.

    Kesuksesan pemerintah dalam menggelar KTT ASEAN di Nusa Dua Bali kiranya bisa menjadi modal politik internasional yang penting untuk tetap mendapatkan dukungan internasional, sekurang-kurangnya pada level ASEAN untuk tetap memastikan bahwa pemerintah pusat tetap memegang kendali politik atas salah satu daerahnya di ujung Timur Indonesia tersebut.

    Kasus penyimpangan dana Otsus Papua merupakan sebuah pelajaran sangat berharga bahwa kebijakan mengalirkan sejumlah besar dana atas nama Otsus harus berjalan seiring dengan upaya membangun transparansi, akuntabilitas dan partisipasi rakyat lokal. Dengan kondisi yang berkembang saat ini di Papua, tak ada pilihan lain selain mencoba melakukan pendekatan dengan hati melalui sistem desentralisasi berbasis empati (emphatic decentralization).

  • Tanggung Jawab Kaum Samurai Sejati

    Tanggung Jawab Kaum Samurai Sejati
    M. Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
    Sumber : SINDO, 1 Januari 2012
    Negeri Jepang, yang jauh dari sini, rasanya seperti hanya sejauh Jakarta–Surabaya. Kekaguman kita terhadap kebudayaan Jepang tampak seperti kekaguman seorang saudara muda kepada saudara tua.
    Mungkin ini merupakan satu dari banyak kenangan terhadap negeri yang pernah menjajah kita itu. Sebagian kenangan itu buruk, dan menimbulkan kemarahan. Sebagian bagus, dan membuat kita agak geli ketika mereka mengaku sebagai saudara tua yang ternyata menjajah dengan berbagai kekejaman militer pendudukan yang galak melebihi singa padang pasir. Tapi selebihnya,kita respek mendalam terhadap ketegasan sikap para pejabat Jepang.

    Mereka menampilkan citra dan semangat kaum samurai yang memiliki ‘diginity’ yang tinggi dan dipelihara dengan baik agar tak tercemar oleh kotoran apa pun. Inilah ‘diginity’ yang merupakan energi kebudayaan yang mengagumkan. Ketegasan sikap dan tanggung jawab publik di kalangan para pejabat negara di negeri ini mungkin masih menempati urutan pertama di dunia.

    Mereka memelihara tradisi kuno di kalangan kaum samurai– ksatria sejati––yang melindungi pihak yang lemah, dan menjaga harmoni sosial sebagai kebajikan hidup utama. Boleh dikatakan,tak ada bangsa lain yang memiliki karakter sekuat bangsa Jepang dalam urusan disiplin, mengabdi bangsa dan negara, dan mempertanggungjawabkan hasil pengabdian kepada publik secara terbuka, transparan, dan akuntabel.

    Kita tahu, sejak dulu nama bangsa ini harum, karena jika seorang pejabat berbuat salah dalam merumuskan kebijakan publik, atau berbuat sesuatu yang merugikan kepentingan publik, yang bersangkutan akan menyesali diri bukan sekadar dengan kata-kata kosong seperti kebiasaan para pejabat kita, melainkan dengan gagah dan anggun mereka melakukan hara kiri. Mati lebih agung––dan menjadi solusi heroik––daripada hidup tercemar.

    Maka, banyak pejabat yang mundur dari jabatan,atau—sekali lagi—bunuh diri tadi. Dulu, harakiri dilakukan karena alasan-alasan moral. Kini alasan yang lebih kuat bersifat sosial. Bila seorang pejabat melakukan kekeliruan dalam pembuatan kebijakan atau melakukan kesalahan yang membuat harmoni sosial-politiknya rusak, kawan-kawan dekatnya akan otomatis menjauhinya. Bisa saja secara biologis yang bersangkutan masih anggota masyarakat, tetapi secara kultural dan etis,sudah bukan bagian hangat dari warga masyarakat lagi.

    Koruptor Dilindungi dan Dimuliakan

    Terkadang kita malu memandang “wajah” kebudayaan kita sendiri. Dalam semangat melawan korupsi, semangat yang masih “mengepul” dan menjadi harapan terbesar masyarakat, kemunafikan yang muncul di sana sini. Pejabat tertinggi melindungi anggotanya yang korup,merupakan kebiasaan “terkutuk” di mata masyarakat, tetapi menjadi tradisi agung di kalangan pejabat.

    Koruptor yang seharusnya diganti orang lain, tak jadi diganti. Mereka mengira, alasanalasan di balik itu semua masih merupakan rahasia di kalangan birokrasi sendiri. Mereka tak menyadari, di Republik yang “luka parah” ini tak ada lagi barang yang bernama rahasia. Para pimpinan tertinggi di berbagai tingkatan dan orangorang terdekatnya,sebenarnya sudah “telanjang” bulat, karena segenap kedurjanaan mereka sudah terbuka tapi mereka merasa aman karena mengira publik tak tahu-menahu.

    Sejak lama kita menantikan munculnya seorang pejabat mundur dari jabatan, dengan alasan politik dan etika yang kuat demi membela bangsa,tapi hal itu bagaikan—kata Narto Sabdo— menanti tumbuhnya jamur di musim kemarau. Tapi tiba-tiba muncul nama Wagub DKI Jakarta Prijanto, jenderal yang menjadi bahan diskursus politik karena pengunduran dirinya dari jabatan tersebut.

    Ada yang mencela, dan menyalahkannya sebagai tindakan “ngacir”, tidak etis, dan tidak bertanggung jawab. Cukup kuatkah alasan para pengamat? Ada data sahih pada mereka? Kalau hanya berdasarkan spekulasi,saya pun bisa berspekulasi. Maka saya melihatnya secara lain. Jabatan itu “empuk”,fasilitas bagus, gengsi tinggi, tapi mengapa mundur? Tentu saja ada latar belakang yang kuat: kondisi birokrasi tidak sehat.

    Kalau birokrasi Pemda DKI sehat, segala hal transparan,pembagian kerja antara gubernur dan wakilnya tertata baik, dan memberi kedua belah pihak rasa hormat dan kemanusiaan yang bergengsi, mengapa terjadi perpecahan di pucuk pimpinan tertinggi? Mengapa kita ribut? Bukankah seharusnya yang mulia Pak Gubernur yang “jejeritan” karena ditinggal pasangannya? Perceraian hanya sah bila ada alasan yang kuat.

    Dan, itu pun menjadi pilihan terakhir. Maka kerinduan kita akan sikap kaum samurai yang teguh memegang prinsip, nilai-nilai dan etika,memperoleh jawaban. Prijanto mundur, mengapa tak dianggap justru etis,sangat etis, dan tanda rasa tanggung jawab publik yang besar? Kalau dia tak memiliki prinsip itu, dan rela menjadi “boneka” manis, hidupnya sudah enak dan makmur. Gengsinya pun tinggi.

    Maka ketika kenyataannya dia lebih memilih mundur, apakah artinya secara moral politik, bila bukan keteguhan seorang “samurai” Jawa yang memberi kita teladan laku, bahwa mundur dari jabatan itu sebuah kebajikan budaya? Saya kira saatnya sudah tiba bagi bangsa kita untuk membangun tradisi sehat dalam politik, dan dalam birokrasi,baik di lingkungan swasta maupun pemerintahan, agar generasi tua berhak merasa bangga telah mewariskan kemuliaan hidup bagi generasi muda.

    Kita sibuk memberi makan badan kita, tapi kita lalai memberi makanan bagi jiwa bangsa, dengan makanan rohani yang sehat seperti itu. Kita sibuk mengejar makna “keabadian”,sebagai langkah masa depan,tapi kita tak menyadari bahwa kita sudah terjerembap dalam kefanaan yang memalukan. Mempertahankan jabatan, yang tak memberi kesempatan beribadah secara tulus, dan nyata,itu kebutaan moral yang tak akan pernah menerangi sisi-sisi gelap di dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan kita.

    Ringkasnya, bagi saya, Prijanto mundur merupakan jawaban atas kehausan kultural kita untuk melihat orang terhormat, dan manusia merdeka, yang tetap merasa utuh sebagai pribadi,biarpun tak lagi punya jabatan.Ini modal kebudayaan untuk membangun karakter yang anggun,dan bermartabat. Pemimpin tulen memang harus memperlihatkan tanggung jawab kaum samurai kepada publik untuk tumbuh sebagai bangsa bermartabat.

  • Pak Presiden, Mohon Bapak Turun Tangan Langsung!

    Pak Presiden, Mohon Bapak Turun Tangan Langsung!
    Gomar Gultom, PENDETA HKBP,
    SEKRETARIS UMUM PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 31 Desember 2011
    Salah satu persoalan serius yang kita hadapi sampai di penghujung 2011 adalah semakin terancamnya kebebasan beragama.
    Sepanjang 2011 kita menyaksikan begitu banyaknya kasus-kasus kekerasan atas nama agama dan berbagai bentuk pelarangan beribadah yang dilakukan sekelompok masyarakat yang begitu memprihatinkan, dan itu semua terjadi seolah dibiarkan negara. Negara yang direpresentasikan pemerintah sering ragu menindak kelompok-kelompok yang senang bertindak anarkis atas nama agama.
    Yang paling mencolok adalah kasus yang dihadapi jemaat GKI Yasmin, di mana Wali Kota Bogor mencabut IMB gereja yang sudah terbit sebelumnya.
    Walau Mahkamah Agung telah mengeluarkan penetapan final yang memenangkan GKI Yasmin dan Ombudsman RI telah mengeluarkan rekomendasi yang memerintahkan wali kota melaksanakan penetapan Makamah Agung tersebut, Wali Kota Bogor tetap pada tekadnya membekukan IMB GKI Yasmin, hanya atas dasar desakan sekelompok masyarakat.
    Selama setahun penuh ini kepada kita disuguhkan dua tontonan yang begitu menyesakkan dada. Pertama, pembangkangan hukum oleh pejabat publik setingkat wali kota dan tidak mendapat teguran apa pun dari atasannya, dalam hal ini Mendagri dan presiden.
    Kedua, jemaat GKI Yasmin harus terlunta-lunta melaksanakan ibadahnya setiap Minggu, dan berjuang keras di bawah ancaman gerombolan tertentu, sementara aparat negara malah ikut memaksakan ancaman gerombolan tersebut. Kedua hal ini nyata-nyata merupakan pengkhianatan terhadap amanat Pasal 29  UUD 1945. 
    Kita juga sangat prihatin dengan terjadinya kecenderungan praktik impunitas terhadap para pelaku kekerasan atas nama agama. Mereka dibiarkan bebas tanpa ditindak secara hukum.
    Selain itu kita menyaksikan bias agama dalam pengambilan keputusan di lembaga peradilan, sebagaimana nampak dalam kasus penganiayaan pendeta dan penatua HKBP Ciketing, Bekasi, kasus Temanggung, Jawa Tengah, serta kasus penganiayaan dan pembunuhan jemaah Ahmadiyah, di Cikeusik, Banten. 
    Pengadilan Bias
    Membandingkan kasus Temanggung dan kasus lain, kasus HKBP Ciketing Bekasi dan kasus Ahmadiyah Cikeusik, maka kita akan mendapatkan gambaran betapa putusan pengadilan sangat tidak adil dan bias agama.
    Dalam kasus Ciketing dan Cikeusik, para pelaku penganiayaan (dan pembunuhan) hanya dihukum 5-7 bulan kurungan, sementara dalam kasus Temanggung terdakwa yang terbukti hanya menyebarkan selebaran bernuansa penghinaan agama, divonis maksimal 5 tahun kurungan penjara.
    Fenomena ini menggambarkan peradilan kita telah dipengaruhi kepentingan kelompok dengan model penafsiran berdasar agama tertentu, sehingga putusannya tidak memberi keadilan yang sejati bagi masyakarat.
    Kita juga makin prihatin dengan penguatan resistensi masyarakat sekitar terhadap pendirian rumah ibadah. Hal itu  tidak hanya terjadi terhadap rumah ibadah Kristen, tapi juga terhadap rumah ibadah umat beragama lain.
    Banyak kasus keberatan terhadap pendirian rumah ibadah muncul di beberapa daerah dan dilakukan agama dengan jumlah umat terbanyak di daerah tersebut.
    Hal ini ditandai dengan munculnya keberatan dan penolakan untuk mendirikan gereja, pura, dan vihara di daerah-daerah lainnya. Bahkan simbol-simbol budaya yang dianggap tidak sejalan dengan selera penganut agama tertentu pun harus dirobohkan, seperti patung-patung tokoh pewayangan dan patung Buddha.
    Fenomena ini tentunya harus mendapatkan penyikapan yang lebih serius, tidak hanya oleh kalangan umat dan tokoh agama, namun yang lebih penting oleh pemerintah. Ini karena jika dibiarkan terus seperti yang sekarang berlangsung, maka akan rawan menimbulkan konflik sosial, dan dengan sendirinya mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    Hukum Dilemahkan
    Kenyataan di atas membawa kita pada empat masalah pokok yang sangat mengganggu penataan kebangsaan kita di masa depan. Pertama, hilangnya kepatuhan hukum.
    Pembangkangan hukum yang dilakukan aparat negara dan dibiarkan tanpa mendapat teguran dari atasannya merupakan contoh buruk dalam penegakan hukum dan tiadanya kepastian hukum. Entah pendidikan apa yang sedang kita tanamkan kepada generasi muda kita dengan peristiwa semacam ini. 
    Kedua,  Indonesia telah bergeser dari rechtstaat atau Negara Hukum sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 menjadi semacam mobokrasi, negara yang diatur para gerombolan (yang marah).
    Di berbagai tempat kita menyaksikan sepanjang 2011 ini bagaimana gerombolan yang marah dan mengamuk mengambil alih peran negara memaksakan kehendaknya. 
    Dari kasus GKI Yasmin dan beberapa kasus sejenis, kita juga belajar bagaimana penegakan hukum dikalahkan desakan segerombolan anggota masyarakat yang mengedepankan kekuatan.
    Ini tentu mengancam eksistensi RI sebagai negara hukum. Anehnya, gerombolan yang memaksakan kehendak ini acap menggunakan tameng hendak menegakkan hukum. Hukum yang mana, tak pernah jelas. 
    Ketiga, sulitnya mendirikan rumah ibadah di beberapa lokasi dan kecenderungan memaksakan alternatif berupa relokasi, sebagaimana dengan entengnya selalu ditawarkan pemerintah dalam kasus-kasus penutupan gereja dan pelarangan beribadah, hanya akan menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan agama. 
    Keempat, preseden relokasi tersebut hanya akan mempersubur keengganan sebagian masyarakat untuk tidak lagi mampu dan sedia hidup berdampingan di tengah realitas keberagaman masyarakat Indonesia.
    Hal ini ditopang berbagai penelitian (PPIM-UIN, Setara Institute, dan LaKIP) yang menunjukkan kecenderungan makin mengkhawatirkan, di mana angka-angka hasil penelitian menunjukkan semangat intoleransi makin naik. 
    Penelitian yang diselenggarakan Biro Liktom PGI juga menunjukkan hal yang kurang lebih sama.
    Masyarakat pada umumnya mengatakan penolakan mereka atas berdirinya rumah ibadah di luar agama Islam adalah bagian dari akidah atau ajaran agamanya. Yang sangat memprihatinkan adalah abainya negara terhadap kecenderungan yang bisa memecah masyarakat dan bangsa Indonesia ini.
    Bukan “Policy” Negara
    Dengan demikian, pertanyaan yang sangat mengusik, masihkah Indonesia akan bertahan sebagai sebuah bangsa dengan kondisi seperti ini? Itulah pertanyaan yang kini menghantui benak banyak orang kini di penghujung 2011. Tentu, harapan kini ditujukan kepada negara, dalam hal ini pemerintah, yang diharapkan dapat bertindak tegas atas nama konstitusi. 
    Menarik menyimak apa yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan pemimpin PGI dan pemimpin gereja-gereja di Papua, 16 Desember 2011, “Apa yang terjadi sekarang itu bukanlah sebuah policy. Saya mencintai pluralisme, dan kebebasan sesuai dengan konstitusi. Terkait dengan GKI Yasmin, putusan hukum yang sudah final tidak boleh diabaikan. Kalau ada masalah dalam menjalankannya, masalah itu yang harus diselesaikan. Saya sudah minta menteri menyelesaikannya, kalau tidak, saya akan turun tangan langsung.” 
    Terima kasih, pak presiden! Melihat kenyataan di lapangan kini, sudah waktunya bapak turun tangan langsung, demi keutuhan Republik yang sama-sama kita cintai ini. Bersegeralah, sebelum lebih terlambat lagi. Mayoritas rakyat menunggu dan mendukung tindakan nyata dan tegas bapak dalam hal ini.
  • Wajah Manusia Indonesia 2011

    Wajah Manusia Indonesia 2011
    Al Andang L Binawan, PENGAJAR DI SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA JAKARTA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 31 Desember 2011
    Dalam khazanah moralitas dibedakan antara actus hominis (tindakan atau perbuatan manusia) dan actus humanus (tindakan manusiawi). Keduanya mempunyai persamaan karena bertolak pada tindakan manusia, tetapi juga mempunyai perbedaan yang besar.
    Actus hominis mengacu pada manusia sebagai makhluk biologis saja. Contoh actus hominis adalah makan, minum, dan tidur dalam konteks kesehatan dirinya. 
    Sementara itu, actus humanus mengacu pada manusia sebagai subjek moral yang mempunyai nurani, kebebasan, serta rasio dan juga dalam konteks manusia sebagai makhluk sosial. Karena itu, makan yang sopan dan baik serta mengingat kepentingan orang lain adalah contoh dari actus humanus.
    Actus humanus adalah tindakan-tindakan yang selama ini dipandang sebagai tindakan berbudaya yang khas manusia dengan tidak mengingkari actus hominis. Ini supaya manusia bisa beranjak menjadi makin manusiawi (baca: berbudaya), dan mempunyai actus humanus, dibutuhkan pendidikan dalam proses yang panjang. Dalam hal ini, peran negara sangat menentukan.
    Tulisan ini akan mencoba merefleksikan situasi manusia Indonesia 2011 berdasarkan pendekatan ini. Dengan kata lain, dicoba diukur apakah manusia Indonesia sudah cukup berbudaya dan menjadi makin manusiawi. Peran negara akan disoroti terutama menyangkut upaya yang perlu diprioritaskan pada tahun depan.
    Indonesia 2011
    Meski pada 2011 negara Indonesia telah berusia 66 tahun, saya yakin belum banyak warga yang merasa bangga dengan Indonesia. Benar, Indonesia kembali menjadi juara umum SEA Games 2011, tetapi hal itu tidak mendongkrak kebanggaan. Banyak peristiwa, juga hasil riset dan jajak pendapat, yang menunjukkan masih terseoknya negara ini di tengah modernitas.
    Simak misalnya beberapa laporan ini: tentang indeks korupsi (menurut Transparency International), pada 2011 Indonesia menempati peringkat 100 dari 182 negara yang disurvei, tentang indeks perkembangan manusia (human development index) dalam laporan 2011 Indonesia ada di peringkat 124 dari 196 negara. 
    Kemudian, tentang kualitas pendidikan, berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011, Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. Jangan lupa, peringkat kesebelasan Indonesia pada bulan lalu juga “hanya” 140 di antara dari 208 anggota! 
    Meski peringkat tidak mengatakan banyak hal tentang situasi nyata, tetapi memberi indikasi bahwa kondisi sosial Indonesia belum sungguh baik. Melihat peringkatnya, bisa dikatakan Indonesia adalah negara medioker di tengah pergaulan masyarakat dunia. Ini pun bisa mengindikasikan manusia Indonesia adalah manusia medioker, manusia setengah-setengah.
    Setengah Manusia?
    Pada dasarnya setiap manusia itu egosentris, tetapi hal ini penting untuk keselamatan (survival)-nya. Paham tentang manusia sebagai serigala bagi yang lain (homo homini lupus) seperti dikatakan Thomas Hobbes jelas terkait dengan kecenderungan dasar ini. Kecenderungan ini pulalah yang mendasari berbagai actus humanus.
    Sebenarnya pula, kecenderungan dasar ini pulalah yang menciptakan dinamika hidup manusia. Jika manusia itu altruis atau tidak egosentris, sulit dibayangkan adanya dinamika politik dan bisnis.
    Kecenderungan egosentris ini pun memungkinkan adanya pertandingan-pertandingan olahraga, termasuk sepak bola. Politik dan bisnis yang fair dan semangat sportivitas serta fair-play dalam olahraga adalah pengembangan actus hominis menjadi actus humanus. 
    Hanya, egosentrisme yang berlebihan menciptakan segala macam masalah sosial. 
    Keserakahan pada dasarnya adalah egosentrisme yang berlebihan itu. Korupsi dalam segala wujudnya adalah contoh paling transparan. Jelas, korupsi tidak bisa dikatakan sebagai actus humanus karena mengingkari kontrol nurani dan hidup bersama.
    Menjadi makin jelas bahwa idealnya, egosentrisme manusia perlu dikelola supaya mendatangkan kebaikan, baik itu kebaikan si individu maupun kebaikan orang lain. Inilah yang disebut budaya sebagai actus humanus, yaitu mengelola kecenderungan natural manusia supaya manusia menjadi lebih manusiawi. 
    Menatapkan cermin manusia Indonesia tadi pada idealitas ini bisa menggiring pada kesimpulan bahwa manusia Indonesia 2011 belum sungguh manusiawi. Manusia Indonesia 2011 belum sungguh berbudaya.
    Kesimpulan ini pun bisa didukung dengan pengamatan singkat atas situasi karut marutnya jalan raya di Jakarta, masih berserakannya sampah di mana-mana, sungai-sungai yang kotor, dan banyaknya kerusakan lingkungan yang lain, serta juga masih terjadinya intoleransi di berbagai tempat.
    Hukum Kuncinya
    Siapa yang harus bertanggung jawab mengelola kecenderungan manusia itu? Setidaknya ada dua lembaga. Pertama adalah agama, yang kedua adalah negara. Peran agama adalah mengasah nurani dan memberi dorongan spiritual untuk pengelolaan diri dari dalam.
    Melihat maraknya hidup beragama di Indonesia sebenarnya peran agama bisa dikatakan cukup. Hanya, menjadi pertanyaan besar mengapa Indonesia terasa jalan di tempat?
    Dalam hal inilah perlu ditengok peran negara. Dalam konteks pembentukan budaya manusiawi, pemerintah berperan memberi bantuan eksternal pada manusia atau warganya.
    Selain dengan fasilitas, pemerintah menyediakan hukum yang dibuatnya dan ditegakkannya. Di sinilah makna hukum sebagai sarana rekayasa sosial (tools of social engineering) dapat dipahami. Jika ternyata hasilnya manusia yang setengah-setengah, dapatlah dipertanyakan bagaimana hukum ini berfungsi.
    Laporan the World Justice Project tentang Rule of Law Index 2011 juga “memotret” Indonesia sebagai negara medioker. Dari kedelapan faktor yang dinilai, sebagian besar mendapat nilai di kisaran 0,50 dan ada di peringkat sekitar 30-an dari 66 negara yang diteliti.
    Bahkan, untuk indeks korupsi, Indonesia hanya mendapat 0,46, atau peringkat 47 dari 66. Di antara kedelapan faktor itu, yang peringkatnya paling bagus hanyalah pembatasan kekuasaan negara yang mendapat nilai 0,66 atau peringkat 22 dari 66.
    Melihat cermin ini, dan digabungkan dengan cermin-cermin lain di atas, menjadi makin jelas hukum di Indonesia belum sungguh bisa berfungsi semestinya. Hukum Indonesia belum bisa “membentuk” wajah manusia Indonesia yang berbudaya. 
    Karena itu, seharusnya, untuk 2012 penegakan hukum perlu mendapat perhatian lebih serius.
    Jika tidak, segala macam resolusi, baik yang dilakukan pribadi maupun institusi, betapa bagusnya, hanya akan menjadi resolusi setengah hati, resolusi tanpa tulang, resolusi tanpa penyangga. Jika memang begitu, nanti di akhir 2012 Indonesia tetap saja menjadi negara medioker dan warganya tetap menjadi setengah manusia!
  • Saatnya Berbenah di Penghujung Tahun

    Saatnya Berbenah di Penghujung Tahun
    Said Aqil Siradj, KETUA PB NU
    Sumber : REPUBLIKA, 31 Desember 2011
     “Hisablah diri kalian sebelum dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah untuk menghadapi hari penampakan yang agung.”
    (Umar bin Khattab RA)

    Rasanya sudah menjadi tradisi di setiap penghujung tahun masyarakat selalu merayakannya. Di seluruh dunia akan berbinar dan bertaburan cahaya oleh “erupsi” kembang api dan berbagai model perayaan. Seolah ini sudah menjelma sebagai hajatan akbar yang berspektrum internasional. Tak terkecuali di negeri kita, hingga ke pelosok desa akan mudah kita jumpai gegap gempita selebrasi pergantian tahun.

    Ya, banyak cara untuk merayakan ritual ini. Orang biasa membeli terompet kertas atau plastik untuk kemudian bersiap-siap meniupnya, jika jarum jam mendekati pukul 24.00 tanggal 31 Desember tahun lama, yang konon juga berarti pukul 00.00 tanggal 1 Januari tahun baru. Orang sangat beragam dalam cara dan acara perayaannya. Yang berjiwa bisnis memanfaatkan momen ini dengan menjual terompet dan produk lainnya. Mereka yang berkantong tebal biasanya menggelar acara-acara khusus menyambut tahun baru di hotel, klub malam, dan tempat mewah lainnya. Bagi mereka yang hidup sederhana, cukup buat acara sendiri dengan sesama teman atau bersama keluarganya.

    Mengapa kita begitu hangar bingar merayakan tahun baru? Ada yang dengan sinis menyebut ritual tahunan ini merupakan hasil hegemoni Barat. Padahal, bagi umat Islam sendiri sudah mempunyai kalender Hijriah. Karenanya, mengapa harus turut serta dalam “hura-hura” kalender yang dibuat berdasarkan perhitungan Julius Cesar itu?

    Lalu, orang menganggap sikap meniru-niru ini sebagai tasyabbuh. Ada hadis yang menyabdakan, “Barang siapa yang meniru-niru suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut.” (HR Abu Dawud). Boleh-boleh saja berpendapat demikian. Akan tetapi, perdebatan tentang hal itu hanya akan menguras energi. Barangkali, lebih baik dan bijak kita kembali pada tuntunan keislaman yang substansial. Tahun baru bukan “ritual sakral” bagi umat Islam, melainkan hanya merupakan “ritual profan” yang bisa dijadikan sebagai momentum untuk peningkatan kesadaran manusia dalam menghadapi dinamika dunia yang terus melesak cepat ini.

    Nah, bagi umat Islam, yang perlu diwejangkan adalah jangan sampai terjebak atau ikut-ikutan berhura-hura. Kebanyakan perayaan tahun baru selama ini menjadi ajang hura-hura. Alangkah baiknya, jika harta yang dihamburkan hanya untuk kesenangan itu digunakan untuk membantu mereka yang tengah membutuhkan atau ditimpa musibah. Apalagi, negeri kita tercinta saat ini tengah ditimpa banyak musibah di berbagai daerah, seperti gempa bumi, banjir, tsunami, tanah longsor, dan angin puting beliung. Belum lagi kemiskinan yang masih menjadi sengkarut fakta yang belum jua tuntas penyelesaiannya. Apakah tega kiranya kita sebagai satu bangsa ini lantas melupakan atau tak mau berempati terhadap penderitaan saudara-saudara kita itu? Harta dan kekayaan yang kita miliki jangan sampai mubazir alias digunakan hanya untuk hal-hal yang hanya bisa memberi kenikmatan sekejap saja. Alquran mengingatkan,”Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (Al-Isra’:27).

    Esok Harus Lebih Baik

    Sebagian aktivis muslim menanggapi tahun baru Masehi dengan acara yang menurut mereka lebih sejuk. Yaitu, dengan menggelar acara zikir dan istigasah bersama pada malam tahun baru. Ramai-ramai mereka merenungi apa yang telah dilakukan pada hari-hari kemarin dan apa yang mesti direncanakan tahun depan.

    Tentu saja, langkah yang demikian itu sangat baik dan dianjurkan. Umar bin Khattab pernah berkata,”Hisablah diri kalian sebelum dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah untuk menghadapi hari penampakan yang agung.”

    Dalam bermuhasabah ini sesungguhnya kita sedang mengorek-ngorek kedirian kita tentang apa yang sudah selama ini kita lakukan. Kita “membaca” perbuatan apa yang kita lakukan dalam mengisi hidup kita sehari-hari. Para ulama salaf selalu melakukan muhasabah dengan menuliskan apa yang diperbuatnya dalam keseharian menjelang mereka tidur. Ibnu Arabi, seorang sufi besar dari Andalusia, bahkan menuliskan apa saja yang membuatnya lupa kepada Allah dalam hari-harinya. Sehingga, dengan cara demikian bisa menjadi pengingat untuk tidak lagi melupakan Allah dalam kehidupannya, walau sedetik pun. 

    Inilah cara terbaik untuk melakukan muhasabah, yakni dilakukan setiap waktu, setiap ia merasa telah melakukan kesalahan sekecil apa pun dan setiap kali ia telah selesai melakukan amal kebajikan. Tak perlu menunggu satu tahun, apalagi menunggu adanya acara muhasabah tahunan.
    Dalam Alquran, bukankah Allah sendiri bersumpah dengan waktu? Dalam pepatah Arab dikatakan, waktu adalah pedang. Artinya, jika kita tidak hati-hati menggunakan waktu, kita sendiri yang akan binasa.

    Karakteristik waktu adalah selalu bergulir dengan cepat, kerap tak terasa tiba-tiba kita sudah berada di petang hari. Alquran menyatakan,”Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia), melainkan (sebentar saja seperti di suatu waktu) di waktu sore atau pagi hari.” (An-Naziat:46).

    Waktu juga bersifat mustahil kembali. Kata Hasan al-Basri, “Tiada hari tanpa menyeru, ‘Hai, anak Adam, aku adalah makhluk baru dan aku menjadi saksi terhadap amalmu. Maka, berbaik-baiklah denganku sebab jika aku sudah lewat, tak mungkin bisa kembali sampai hari kiamat.’”

    Waktu merupakan kehidupan yang sebenarnya. Kata Hasan al-Basri lagi, “Hai anak Adam, sesungguhnya hidup kamu adalah himpunan hari-hari. Setiap hari milikmu itu pergi, berarti pergilah sebagian darimu.”Demikianlah, bila kemudian kita gayutkan dengan kenyataan yang terjadi di negeri kita, banyaknya tragedi dan musibah yang kerap menerpa merupakan iktibar untuk menjadikan waktu ke depan dengan penuh kehati-hatian serta mempersiapkan cara yang tepat, efisien, dan lebih bermanfaat bagi hajat hidup rakyat.

    Dalam hal ini, bagi para pengambil kebijakan perlu melakukan muraqabah, yakni dengan bersikap lebih cermat dan penuh kesadaran untuk membangun Indonesia masa depan yang lebih baik. Kita perlu selalu optimis dalam membangun negeri ini. Betapa pun banyak rintangan dan musibah yang datang, optimisme sepatutnya terus menyala-nyala. Optimisme ini dibangun dengan cara muhasabah dan muraqabah yang terus menerus sehingga jauh dari sikap keputusasaan.
       
    Setiap hari adalah modal keselamatan setiap anak manusia. Tak bijak jika dilewatkan dengan hura-hura. Setiap hari harus dipersiapkan dengan baik. Setiap hari butuh semangat baru untuk hidup baru yang lebih baik. Setiap hari yang berlalu harus dihisab setiap hari. Untuk kemudian memperbaiki kesalahan hari ini agar hari esok lebih baik.

  • Mendung Membayangi Tahun Bertarung

    Mendung Membayangi Tahun Bertarung
    Zainal Arifin Mochtar, PENGAJAR ILMU HUKUM DAN DIREKTUR PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA, YOGYAKARTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 31 Desember 2011
    Sesungguhnya, tidaklah terlalu sulit memetakan apa yang terjadi di wilayah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi pada 2011. Sebab, memang tidak banyak perubahan berarti yang diberikan negara ini jika dibanding 2010. Lihat saja prestasi yang dapat ditorehkan di wilayah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Sesungguhnya tidak banyak. Apalagi jika dikonversi dari semangat, iktikad, dan riuhnya ruang publik dengan penegakan hukum, khususnya di wilayah pemberantasan korupsi. Semisal Indeks Persepsi Korupsi pada 2010 yang naik 0,2 poin dari tahun sebelumnya. Pada 2011, kenaikan 0,2 poin juga terjadi. Bandingkan dengan semangat “kuda” yang mengecewakan dengan hasil “ayam”.
    Kenaikan yang hanya “kecil” ini sulit dipercayai jikalau dibaca bersamaan dengan berbagai pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan memimpin langsung pemberantasan korupsi, pembentukan berbagai satuan tugas dengan kerja-kerja yang dilakukan, unit kerja yang dipakai untuk memonitor secara langsung kerja kabinet negara, dan berbagai janji yang ditorehkan seiring dengan penggantian pemimpin penegakan hukum. Dengan langkah sedikit menyentuh perbaikan terhadap Imigrasi dan Bea Cukai, toh, kita sudah mendapatkan kenaikan poin 0,2 pada 2010. Maka artinya tidak banyak perbedaan dengan yang dilakukan pada 2011.
    Miskin perbedaan ini boleh jadi juga diakibatkan oleh minimnya terobosan. Tercatat lembaga dan satuan tugas yang ada tidak banyak memberikan model terobosan yang berarti dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Terobosan yang paling berarti hanya berada di ujung 2011, yakni ketika pemerintah dengan tegas menyatakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat. Itu pun dilakukan secara agak teledor dan tidak secara jeli melihat basis aturan yang ada di balik kebijakan baru pengetatan tersebut. Hal yang menggambarkan bahwa kebijakan itu bukanlah by design, tapi terbentuk lebih banyak by accident oleh penentu kebijakan yang memang punya pemihakan yang jelas pada penegakan hukum antikorupsi. Kebijakan yang tidak terencana rapi, tapi terburu-buru karena semata ingin mengejar quick wins.
    Selebihnya tidak banyak. Tahun 2011 malah mempertontonkan “meluruhnya” semangat penegakan hukum antikorupsi di balik “desentralisasi” Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah. Yang terjadi, bukannya penegakan hukum secara substantif di daerah, tapi kecurigaan publik terjangkitnya penyakit lama pengadilan umum ke Pengadilan Tipikor. Penyakit yang sangat rentan terhadap berbagai dampak yang ikut mempengaruhi putusan-putusan yang aneh dengan membebaskan pelaku-pelaku korupsi. Apalagi melihat masifitas pembebasan ini, sulit mempercayai bahwa tidak ada penyakit yang sedang hinggap di sistem peradilan dalam mekanisme penegakan hukum antikorupsi.
    Dari segi pengungkapan perkara, masih melanjutkan tradisi tahun-tahun sebelumnya, yakni rajin melakukan pengungkapan, tapi gagap melakukan penyelesaian. Belum ada satu pun perkara yang dapat diselesaikan secara baik dengan mengejar semua pelaku, membawa ke dalam proses penegakan hukum, lalu memetakan kasusnya menjadi bagian dari rekomendasi perbaikan sistemik pencegahan peristiwa serupa terjadi di kemudian hari. Alih-alih membongkar perkara, yang terjadi malah pembuntuan penyelesaian perkara.
    Maka, jika menggunakan barometer secara sederhana melalui capaian dan terobosan, harus dikatakan jujur jika kita masih berada di era mendung penegakan hukum. Hal yang mendatangkan elegi, semacam nyanyian sunyi bagi terpenuhinya keadilan yang diharapkan.
    Momok Tahun 2012
    Bahayanya, dengan berbagai catatan yang belum banyak terobosan dan capaian, kita sudah dipaksa memasuki 2012, yang sejujurnya teramat wajib diwaspadai. Seperti praktek selama ini, dua tahun menuju perhelatan akbar “perebutan” kekuasaan di negeri ini selalu diiringi dengan berbagai praktek politik yang sangat manipulatif dan mencoba mempengaruhi berbagai proses yang diharapkan dari penegakan hukum yang seharusnya substantif.
    Jangan lupakan praktek banal partai politik yang mulai akan semakin masif mengakumulasi modal menjelang pemilihan umum. Praktek yang tentu saja membahayakan karena tahun-tahun sebelumnya kita masih gagal melakukan penegakan hukum untuk mengejar praktek-praktek buruk perampasan uang negara oleh partai. Belum ada perkara yang selesai dan dapat menjinakkan tradisi banal perampokan uang negara tersebut. Pada saat yang sama, berharap dilakukan perbaikan aturan dasar untuk mencegah praktek perampokan uang negara oleh partai persis “menunggu godot”. 
    Mereka jauh lebih riuh memperdebatkan soal thresholddibanding keinginan membangun pemilu yang benar-benar bersih, sehingga partai politik tidak “dipaksa” melakukan pembiayaan atas pesta demokrasi yang berbiaya mahal.
    Bukan hanya upaya memanen uang negara, kemungkinan besar juga terjadi upaya memanen dukungan publik dengan memanipulasi penegakan hukum. Semua kasus korupsi yang berdimensi atau bersinggungan secara langsung ataupun tidak langsung dengan politik akan mengalami perubahan orientasi penyelesaian hukum menuju penyelesaian politik. Kasus-kasus mega yang berdimensi semakin besar karena partai-partai akbar akan kembali masuk ke agenda partai politik untuk memainkannya demi memperoleh dukungan atau bargaining kekuatan politik. Tanpa bermaksud meramalkan, tapi kasus-kasus semisal Century, mafia pajak, dan mafia anggaran kemungkinan besar hanya akan menjadi penghias media massa serta konsumsi politik tanpa diikuti dengan penyelesaian hukum.
    Mudah menduga bahwa kasus-kasus tersebut akan dijadikan alat untuk mendulang suara dukungan, atau malah dijadikan alat tawar-menawar menuju perhelatan politik. Dengan pengedepanan barometer politik, lembaga penegakan hukum akan sulit bergerak dengan cepat dan tepat, karena pada saat yang sama beberapa bagian dari lembaga penegakan hukum punya sangkut-paut dengan kekuasaan politik.
    Tentu saja sebuah catatan dibuat dengan maksud. Tiada maksud untuk membangun pesimisme dengan menegasikan semangat untuk optimistis. Tapi penting untuk mengingatkan karena dari sinilah kita akan punya early warning system bahwa kita sudah punya pengalaman pada masa lalu yang seharusnya kita tidak terjebak lagi pada lubang yang sama pada tahun kemudian. Semacam penanda dan pengingat bahwa jika mendung dan akan hujan, selayaknya kita segera menyediakan payung. Semoga ada semangat untuk membuktikan bahwa kita punya semangat baru untuk melakukan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi pada tahun baru ini. Semoga!  

  • Puisi Getir dari Titik Nadir

    Puisi Getir dari Titik Nadir
    Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITÉ PLURIDISCIPLINAIRES PANTHÉON-SORBONNE
    Sumber : KOMPAS, 31 Desember 2011
    Ketika dilantik menjadi pembesar, sang reformis membuat ikrar: ”Di negeri ini kami berniat mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan untuk semua.”
    Karena ikrar sepanjang ini di mana-mana diucapkan, dia lama-kelamaan kelelahan. Ada usul dihapus saja kata ”di negeri ini” berhubung dia toh bukan pembesar di tempat lain, melainkan di sini. Usul ini dia setujui.
    Ada pendapat supaya kata ”kami” tidak diucapkan lagi, bisa-bisa dianggap menyombongkan diri. Pendapat ini pun dia akui. Ada pula orang yang mengingatkan bahwa kata ”berniat” sudah tak lagi tepat. Ini berlaku sebelum dia diangkat. Jadi, sekarang dia sudah beraksi, mewujudkan apa-apa yang dikehendaki. Dia rasa memang begitulah seharusnya, maka kata ”berniat” dicoreng saja.
    Mengingat roda pemerintahan berjalan lamban, kata ”mewujudkan” mengundang kegelisahan. Rakyat menjadi semakin tak sabar, cepat marah, dan bertindak kasar. Untuk mengelakkan semua ini, kata ”mewujudkan” tak perlu diulang lagi. Dia sependapat dengan ide cemerlang ini.
    Setelah berjalan beberapa waktu, ada bisikan bahwa kata-kata ”keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan” merupakan pleonasme yang sarat dengan harapan yang bukan-bukan. Kalau semua itu suatu keniscayaan, tidak perlu kiranya digembar-gemborkan. Takut disebut demagog belaka, itu pun tidak lagi dia ucapkan.
    Jadi, dari rangkaian ikrar begitu panjang, tinggal kata ”untuk semua”. Apa yang perlu ia ulang-ulang? Bukankah kedua kata tersebut mengandung tanda tanya: semua yang mana? Semua dari kelompok siapa? Siapa dari parpol apa? Dari daerah pemilihan mana? Kan, tidak semua yang dulu memilih dia? Maka agar rakyat tidak curiga, pemilih tidak kecewa dan tidak terus teringat menagih janji, kata ”untuk semua” tak usah dibicarakan lagi.
    Tanpa Ikrar
    Sekarang di mana pun dia berada, ikrar yang dulu dia diamkan. Lagi pula untuk apa direkayasa? Rata-rata orang Indonesia adalah makhluk pelupa. Kini dia cukup mengumbar senyum ceria, menyebar santun dan pesona. Protokol kenegaraan toh membuat dia bagai raja yang tak tercela.
    Jadi ke titik nadir dia mundur kembali, untuk nyepi menenteramkan diri. Dia merasa berhak melakukan itu karena toh sudah berupaya sepenuh hati.
    Rakyat yang berjejal di titik nadir sejak dahulu, sudah terbiasa menunggu. Maka sungguh beruntung jika pembesar bersedia turun gunung. Wis piro-piro, jika sang pembesar bersedia datang. Pawang hujan diminta menolak hujan, sedangkan para pelajar, dengan bendera di tangan, dikerahkan berjejer di sepanjang jalan.
    Kegiatan lain kecuali penyambutan segera dilarang. Spanduk pun sudah siap terpasang: selamat datang pembesar sayang! Ini bukan spanduk usang yang baru dikeluarkan dari gudang. Ini spanduk baru dibuat dengan dukungan proyek setempat. Walaupun kemakmuran dan kesejahteraan masih jauh panggang dari api, wajah rakyat diminta tetap berseri. Sampai kapan hidup bersandiwara?
    Senandung puitis tentang kegagalan reformasi perlu dicermati secara analitis karena secara alami ia merupakan ouverture dari nada ganas bergejolak keras. Aneka kejadian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bukan lagi indikasi reformasi bakal gagal, melainkan sudah merupakan kegagalan itu.
    Analisis melihat kegagalan reformasi terkandung dalam kekeliruan awalnya. Kekeliruan, tepatnya dosa awal ini, berupa pretensi sang reformis berkeadaan lain daripada diri yang sebenarnya. Adalah suatu privilese untuk berusaha menjadi apa saja yang kita inginkan, tetapi adalah keliru berpretensi menjadi apa yang sebenarnya bukan kesejatian kita dan menipu diri sendiri dengan membiasakan hidup dengan asas palsu mengenai diri kita. 
    Jika perilaku biasa diri seseorang, dari suatu lembaga, adalah palsu, langkah selanjutnya adalah demoralisasi. Lalu menyusul kemunduran sebab tidak mungkin seseorang membeberkan kepalsuan dirinya tanpa kehilangan self-respect.
    Asas Palsu
    Berarti suatu usaha atau lembaga atau usaha yang dilembagakan, yang berlagak memberi atau menuntut apa yang di luar kemampuan, adalah palsu dan demoralized. Walaupun begitu, asas kelancungan ini masih terus ditemukan di sepanjang perjalanan reformasi, dalam keseluruhan rencana dan struktur lembaganya.
    Ada politikus yang tetap saja berpretensi reformis, padahal sebenarnya bukan. Mentalnya murni Orde Baru, bahkan ada karakter Orde Lama. Orang-orang seperti ini membuat kebijakan ala prareformasi yang mereka cela habis-habisan.
    Mereka bukan tidak sadar karena yang mereka maksudkan dengan reformasi adalah sebenarnya ”gantian menjarah” kekayaan Ibu Pertiwi. Maka, di mana-mana terjadi korupsi. Merebak secara sistematik dan terencana. Tidak hanya di kalangan pejabat teknis-administratif, tetapi juga di lingkungan pembuat keputusan publik selaku wakil rakyat. Jika ada yang tertangkap, parpol induknya bukan memecat, melainkan membela mati-matian.
    Maka terjadilah hal yang krusial: parlemen yang bermartabat ditunggangi anggota-anggota yang tidak bermartabat. Namun, rakyat tetap dituntut membahasakan mereka sebagai ”Yang terhormat Saudara…”. Mana disiplin parpol yang berpotensi mendukung pelaksanaan hasrat kedemokrasian reformasi?
    Jadi, kesimpulan analisis yang tak terelakkan adalah bahwa para reformis supaya berhenti berpretensi menjadi orang yang bukan dirinya. Cintailah kebenaran. Be honest to and about yourself!
    Inilah kiranya mengapa Leonardo da Vinci berkata: ”Chi non puo quel che voul, quel che puo voglia”—Siapa yang tak sanggup meraih apa yang dia inginkan, sebaiknya menginginkan apa yang dia sanggupi. Maxim Leonardo inilah yang seharusnya memandu reformasi sejak awal.
  • Radikalisasi Tunas Muda

    Radikalisasi Tunas Muda
    Hasibullah Satrawi, PENGAMAT POLITIK TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM
    PADA MODERATE MUSLIM SOCIETY (MMS) JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 31 Desember 2011
    Radikalisme masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Alih-alih menemukan solusi komprehensif, jaringan radikalisme mulai menembus kehidupan tunas- tunas muda bangsa yang masih berada di jenjang pendidikan menengah atas.
    Pada awal bulan ini penulis diminta mengisi materi Islam Rahmatan Lil’alamin (visi kerahmatan Islam) dalam acara pesantren kilat (di Bogor) yang diadakan oleh Kementerian Agama untuk para aktivis kerohanian Islam (rohis). Ada lebih kurang 200 aktivis rohis secara nasional yang mengikuti acara tersebut, dibagi dalam empat kelas.
    Secara umum mereka dapat dikatakan sangat berpotensi radikal. Bahkan, bisa dipastikan ada 2-3 orang dari setiap kelas yang sudah positif terjangkiti ideologi radikal. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari ekspresi ”sinisme” mereka terhadap sejumlah budaya Muslim-Nusantara seperti ziarah kubur, tawassul, dan kemajemukan. Bahkan, ada sebagian pembina rohis (juga hadir dalam acara tersebut) terang-terangan mengakui sejumlah anak didiknya sudah direkrut dan menjadi anggota NII KW 9.
    Kabar baiknya (jika boleh dikatakan demikian), mereka yang positif terjangkiti ideologi radikal masih sangat terbatas. Baru 2-3 orang di setiap kelas yang memuat sekitar 50 siswa.
    Namun, hal di atas tak dapat sepenuhnya bisa disebut kabar baik mengingat mereka masih berada di jenjang pendidikan menengah atas. Dengan kata lain, kenyataan ini harus tetap diwaspadai karena setidaknya menunjukkan betapa jaringan radikalisme menjalankan aksinya sedemikian sistematis. Tunas-tunas muda seperti aktivis rohis pun mulai dibidik secara serius oleh mereka.
    Tentu saja ini hanyalah kesan subyektif penulis. Sangat boleh jadi kesan subyektif di atas salah alias tak sesuai dengan realitas keseharian mereka.
    Sebaliknya, jika kesan subyektif tadi benar, tidak ada yang salah pada para tunas muda di atas. Jika harus ada yang disalahkan, mereka adalah ”para ustaz” (biasa disebut mentor dalam istilah mereka) dari luar sekolah yang memberikan pemahaman yang salah kepada siswa-siswi yang ada.
    Al Quran dan Sunah
    Setidaknya ada dua hal yang bisa menjelaskan pemahaman salah yang telah diberikan kepada siswa-siswi itu. Pertama, semangat kembali ke Al Quran dan sunah. Sebagaimana di kalangan puritan dan kaum radikal, istilah kembali ke Al Quran dan sunah juga jadi semangat keberagamaan sejumlah siswa dalam acara tersebut. Padahal, mereka bahkan tak menguasai bahasa Arab, alih-alih keilmuan Islam yang termaktub dengan bahasa Arab (termasuk Al Quran dan sunah).
    Tidak ada satu orang pun dari umat Islam yang tidak mau kembali kepada Al Quran dan sunah mengingat hanya Al Quran dan sunah yang ditinggalkan oleh Nabi kepada umatnya sebagai jalan selamat di dunia dan di akhirat. Namun, kembali kepada Al Quran dan sunah tak semudah yang kerap disampaikan kaum puritan dan radikal.
    Kembali kepada Al Quran dan sunah membutuhkan semangat intelektualisme yang tinggi, sebagaimana keteladanan para ulama terdahulu. Kembali kepada Al Quran dan sunah berarti menguasai semua perangkat keilmuan Islam yang telah disampaikan para ulama terdahulu, mulai ilmu bahasa Arab, ilmu hadis, Al Quran, dan lainnya.
    Tanpa memperhatikan hal-hal di atas, kembali kepada Al Quran dan sunah akan menjadi istilah benar yang ditujukan salah (kalimatu haqqin yuradu bihal bathil). Terkecuali jika yang dimaksud kembali kepada Al Quran dan sunah adalah kembali kepada Al Quran dan sunah versi terjemahan atau buku panduan Islam yang banyak terdapat di sejumlah kedai buku.
    Jika ini yang dimaksud, kembali kepada Al Quran dan sunah jadi sangat mudah dan tak membutuhkan ketentuan-ketentuan ilmiah sebagaimana prasyarat di atas. Konsekuensinya, hal-hal yang tak termaktub dalam Al Quran dan sunah versi terjemahan pun dianggap bidah, khurafat, dan sebagainya.
    Teriakan Takbir
    Kedua, teriakan takbir (Allahu Akbar) yang sudah jadi tradisi siswa-siswi dalam acara tersebut, termasuk di dalam kelas. Secara normatif tentu tak ada salahnya seseorang mengucapkan takbir, apalagi membacanya sebagai zikir. Namun, segala sesuatu ada tempatnya. Itu sebabnya para ulama melarang membaca asma dan ayat-ayat Allah di tempat membuang kotoran karena dianggap tidak pada tempatnya.
    Dalam sejarah Islam, teriakan takbir sebagai yel-yel lazim digunakan di medan perang. Hal ini mengingat medan perang membutuhkan semangat tempur yang berkobar-kobar untuk menghadapi musuh yang nyata di depan mata. Dalam konteks di luar perang, yang dianjurkan oleh para ulama adalah selawat mengingat selawat diyakini punya pengaruh psikologis yang bersifat positif- konstruktif (ngademin). Takbir juga dianjurkan, tetapi dalam kapasitasnya sebagai zikir (dibaca pelan), bukan sebagai yel-yel.
    Inilah kesalahan fatal yang kerap dilakukan oleh kaum radikal dan puritan. Di mana-mana mereka meneriakkan takbir (sebagai yel-yel), termasuk di forum-forum sosial dan keilmuan (seperti seminar dan diskusi). Ini pula yang sudah mulai menjadi tradisi baru di kalangan aktivis rohis. Bahkan, mereka secara jujur mengakui hampir di setiap forum (bahkan rapat) dibiasakan meneriakkan takbir sebagai yel-yel pembangkit semangat.
    Apakah konteks sosial dan keilmuan sama dengan medan perang yang sudah secara jelas berhadapan dengan musuh yang nyata? Atau mereka memang sengaja dibidik dan dididik oleh kaum radikal untuk menjadi ”tentara perang muda” untuk menghadapi bangsanya sendiri seperti yang dilakukan oleh kaum radikal dan para teroris?
    Sejatinya para aktivis rohis adalah potensi bangsa yang sangat besar. Sangat disayangkan jika potensi besar itu harus jatuh ke tangan kaum radikal dan puritan yang anti-NKRI, Pancasila, dan kemanusiaan.
  • Moderasi dan Radikalisasi Gerakan Politik Islam

    Moderasi dan Radikalisasi Gerakan Politik Islam
    Ibnu Burdah, PEMERHATI TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM
    UIN SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 31 Desember 2011
    Angin kencang perubahan yang melanda negara-negara Arab mendatangkan harapan, tetapi juga sekaligus kekhawatiran.
    Harapan itu sangat beralasan mengingat besarnya tekad dan cita-cita rakyat Arab untuk berubah menuju kehidupan berbangsa dan bermasyarakat secara lebih demokratis, berkeadilan, terbuka, serta setara. Namun, kekhawatiran yang muncul tidak bisa diremehkan sebab prosesnya sering berlangsung tidak seperti yang diharapkan: sangat kompleks dan meminta pengorbanan yang luar biasa.
    Bagi Indonesia, proses perubahan itu juga bisa berdampak negatif ataupun positif. Kendati secara geografis jauh, perubahan dinamis itu, menurut mantan Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda, salah satunya terkait dengan dinamika ideologi kelompok-kelompok politik Islam.
    Moderasi Islam
    Komitmen kuat gerakan rakyat terhadap demokrasi, masyarakat sipil, dan keadilan sosial amat berpengaruh terhadap moderasi gerakan dan kelompok-kelompok politik Islam di negara-negara Arab. Hampir semua partai politik Islam yang ada di negara-negara itu saat ini tidak lagi mewacanakan bentuk negara Islam, khilafah, atau Pan-Islamisme; kecuali satu ”partai” saja, yaitu Hizb al-Tahrir.
    Mereka justru menyatakan komitmen untuk mendukung kesatuan negara-bangsa, rakyat sebagai sumber kekuasaan, dan tentunya prinsip-prinsip keadilan yang menjadi slogan perjuangan mereka sejak lama.
    Sebagian besar partai atau kelompok Islam itu menggunakan kata ’adalah (keadilan) sebagai bagian dari namanya’. Mereka juga menolak cara-cara kekerasan untuk mencapai kekuasaan. Lebih dari itu, mereka sepertinya tidak memandang proses demokrasi sebagai instrumen untuk berkuasa belaka, melainkan juga mulai meneguhkan bahwa demokrasi sejalan dengan ajaran Islam kendati hal itu juga tidak boleh dipandang berlebihan.
    Itulah sebagian perubahan penting yang terjadi terhadap beberapa partai dan kelompok Islam hasil revolusi Arab yang setahun ini berkobar, seperti Hizb al-Nahdhah al-Islamiy di Tunisia, Hizb al-Tanmiyah wa al-Adalah di Maroko, dan Hizb al-Hurriyah wa al-Adalah di Mesir. Ketiga partai itu adalah pemenang pemilu secara demokratis di negara masing-masing.
    Bagi Indonesia, perkembangan itu sungguh positif dan diharapkan membawa pengaruh baik bagi perkembangan serta dinamika politik di Tanah Air, khususnya di lingkungan partai dan kelompok Islam. Bagaimanapun, pengaruh gerakan dan partai-partai itu terhadap dinamika politik Islam di Indonesia tidak bisa diremehkan.
    Partai al-Hurriyah wa al-Adalah, yang merupakan sayap resmi kelompok al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir, diperkirakan masih memiliki posisi khusus di hati aktivis politik Islam dunia. Secara ideologis dan mental, kelompok Ikhwan yang melahirkan partai itu semula adalah induk dari banyak kelompok gerakan atau partai Islam yang menyebar ke berbagai negara Islam sekarang.
    Perkembangan baru di negara-negara Arab itu diharapkan dapat memantapkan komitmen partai dan kelompok Islam di Tanah Air terhadap keindonesiaan, pembangunan demokrasi, penguatan masyarakat madani, serta nilai-nilai kemanusiaan yang lain. Pergerakan partai dan kelompok Islam Indonesia ke ”spektrum tengah” memang sudah mulai berlangsung. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa ”impian” Pan-Islamisme, negara Islam, dan khilafah masih menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian konstituen yang ada di lapisan tertentu.
    Perkembangan baru di Timur Tengah, yakni moderasi partai Islam ”induk”, jelas akan memberikan dukungan ”teologis dan ideologis” amat penting bagi penguatan komitmen mereka terhadap demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan.
    Peluang Radikalisasi
    Di sisi lain, proses perubahan di kawasan Arab yang kerap melibatkan kekerasan dan konflik telah menjadi lahan subur bagi kebangkitan serta perkembangan gerakan radikal, termasuk yang menggunakan basis Islam. Jika dalam suasana stabil kelompok-kelompok ini relatif ”tiarap”, maka dalam situasi yang tidak stabil aktivitas mereka untuk merekrut anggota, indoktrinasi, hingga eksekusi aksi serta penyebaran ideologi justru memperoleh ruang.
    Perkembangan ini harus benar-benar diwaspadai, mengingat jaringan kelompok-kelompok radikal itu sering bersifat trans-nasional. Indonesia adalah negara yang memiliki hubungan kuat dengan negara-negara di Timur Tengah. Situasi kacau di negara-negara itu sangat mungkin menjadi ”tempat pendidikan” baru bagi pengikut gerakan radikal, termasuk dari Indonesia.
    Kita tentu mudah mengingat bahwa sebagian besar pentolan gerakan radikal di Indonesia adalah alumni perang Afganistan. Yaman, Suriah, dan negara-negara Arab lain yang dalam situasi konflik, bukan hanya berpotensi mendiseminasikan ideologi dan rekrutmen anggota kelompok radikal, tetapi juga menjadi ”Afganistan baru” bagi Indonesia.
    Abdurrahman M Fachir, mantan Duta Besar RI untuk Mesir, mengingatkan bahwa pemuda-pemuda kita yang berangkat ke negara-negara Arab sering tidak memperoleh bekal memadai mengenai ”keindonesiaan”. Bahkan, ibarat disket, tidak jarang mereka berangkat dengan pikiran kosong. Mereka yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari kita, baik masyarakat maupun pemerintah, tentu rentan menjadi sasaran kelompok radikal.