Blog

  • Titik Rawan Korupsi Pajak

    Titik Rawan Korupsi Pajak
    Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR INDONESIAN CORRUPTION WATCH (ICW)
    SUMBER : JAWA POS, 8 Maret 2012
    RENTETANkasus dugaan korupsi pajak yang melilit Gayus Tambunan, Bahasyim Assifie, dan yang terakhir Dhana Widyatmika mengingatkan banyak orang bahwa perang terhadap korupsi tak boleh berhenti. Munculnya jejeran nama pegawai negeri yang masih muda dan menduduki jabatan biasa dalam skandal korupsi mengisyaratkan adanya transformasi korupsi, yang dulu dilakukan rezim orang tua, ke anak-anak muda.

    Tentu saja tampilnya anak muda sebagai pelaku korupsi amat memprihatinkan di tengah harapan masyarakat luas bahwa generasi muda akan memperbaiki Indonesia. Kasus Gayus, Dhana, dan ramainya pemberitaan PNS muda memiliki rekening jumbo memberikan petunjuk bahwa praktik korupsi sebenarnya tak mengenal usia, jenis kelamin, dan agama. Siapa pun yang punya kesempatan dan niat korupsi rentan untuk melakukannya.

    Tali-temali antara anak muda dan orang tua, antara suami dan istri yang bekerja sama untuk melakukan korupsi menegaskan bahwa korupsi sebagai kejahatan sudah terlembaga dengan sangat kuat. Artinya, korupsi bukan lagi hanya masalah individual penyimpangan perilaku dari segelintir orang, tetapi sudah menjadi jejaring yang kukuh. Karena terorganisasi, praktik korupsi dalam level itu sulit dideteksi dan ditangani. Berharap kepada aparat penegak hukum saja tak akan mampu menyelesaikan persoalan itu.

    Sektor Rentan Korupsi

    Karena pajak merupakan lumbung pendapatan negara, sektor itu merupakan yang paling rentan terjadi korupsi. Jika pemerintah mampu merealisasikan penerimaan pajak pada 2011 mencapai Rp 872,6 triliun atau naik 26 persen dari tahun sebelumnya, dapat diartikan bahwa potensi pajak yang seharusnya menjadi penerimaan negara masih sangat besar. Tetapi, angka statistik penerimaan pajak menunjukkan gejala yang aneh.

    Mengapa realisasi penerimaan pajak pada 2010 hanya berkisar Rp 648 triliun, atau mencapai target 98,12 persen? Di sisi yang lain, pemerintah selalu optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi akan selalu berada di atas angka enam persen. Logikanya, dengan pertumbuhan ekonomi yang baik, transaksi keuangan meningkat dan akan berimplikasi kepada penerimaan pajak yang meningkat pula. Lantas, mengapa pula penerimaan pajak bisa tidak sesuai dengan target?

    Pejabat di direktorat pajak dengan mudah menunjuk bahwa masalah tidak tercapainya realisasi pajak disebabkan masih banyaknya wajib pajak yang tidak taat membayar pajak. Pejabat pajak, tampaknya, lupa bahwa nakalnya petugas pajak turut memberikan kontribusi atas penerimaan sektor pajak yang fluktuatif. Perlu diingat bahwa dalam hubungan antara petugas pajak dan wajib pajak, tidak ada wilayah transparan yang dapat diketahui publik sehingga praktik kongkalikong antara petugas pajak dan wajib pajak tidak dapat diidentifikasi dengan mudah.

    Sebagaimana tabiat suap pada umumnya, yang mengetahui adanya suap-menyuap antara satu pihak dan yang lain adalah lingkaran yang mengetahui langsung praktik itu. Oleh karena itu, dalam rezim antisuap, yang menjadi pemantik bagi terbongkarnya praktik atau skandal suap adalah para whistle-blower atau justice collaborator yang memiliki informasi faktual atas kejahatan itu. Dengan demikian, jika aparat penegak hukum ingin dapat membongkar skandal pajak secara mudah, memberikan perlindungan terhadap whistle-blower adalah langkah yang tidak bisa diabaikan.

    Titik Paling Rawan

    Sebagaimana dilansir oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo, titik rawan korupsi pajak adalah wilayah tempat pegawai pajak memiliki akses langsung terhadap wajib pajak. Bentuknya bisa bermacam-macam, sesuai dengan fungsi dan wewenang yang diatur dalam struktur di Direktorat Jenderal Pajak, termasuk di direktorat keberatan dan banding pajak. Pada direktorat itu, Gayus dan Dhana bekerja dan ditengarai mengeruk banyak uang dari para wajib pajak.

    Direktorat lain yang sama rentannya adalah pada direktorat pemeriksaan dan penagihan, direktorat intelijen dan penyidikan, serta direktorat ekstensifikasi dan penilaian. Kesemua direktorat ini membuka akses yang besar bagi pegawai pajak untuk bertemu langsung dengan wajib pajak. Karena itulah, peluang terjadinya kongkalikong menjadi lebih besar.

    Semua direktorat di atas memungkinkan petugas pajak melakukan ancaman, intimidasi, pemerasan, atau suap-menyuap agar pembayaran pajak tidak sebesar yang seharusnya dibayarkan kepada negara. Bahkan, untuk skandal pajak yang semestinya masuk ke ranah hukum, oknum petugas pajak dapat menjadikan itu sebatas persoalan administratif belaka.

    Terakhir, restitusi pajak atau pembayaran kembali pajak lebih oleh negara kepada wajib pajak merupakan celah korupsi yang lain. Pada sektor itu, bukan hanya petugas pajak yang memiliki otoritas tertentu yang dapat ”bermain”, tetapi petugas administrasi juga dapat menggunakan akses dan pengetahuannya untuk kepentingan memanipulasi restitusi pajak. Modus yang umum terjadi dalam kasus korupsi restitusi pajak adalah petugas pajak menjadi konsultan bagi perusahaan tertentu, menyediakan bukti-bukti fiktif transaksi jual beli, dan membantu secara langsung penagihan restitusi pajak kepada negara.

    Jika pemerintah ingin serius memberantas mafia pajak, pada sektor-sektor itulah seharusnya reformasi difokuskan. Caranya, menempatkan aktor-aktor berintegritas untuk menjadi pengendali utama pada sektor tersebut. Dengan begitu, para petugas pajak yang nakal akan menemui kesulitan untuk melakukan anti korupsi.

    Perlu dipahami, korupsi sektor pajak bukan hanya melibatkan satu dua orang, akan tetapi sudah merupakan organisasi kejahatan yang harus diputus mata rantainya. Penempatan orang-orang yang berintegritas pada sektor yang rawan korupsi akan membuka jalan bagi program reformasi birokrasi yang dijalankan pemerintah. Tanpa hal itu, agenda reformasi birokrasi di sektor pajak hanya akan menjadi catatan kegagalan sejarah belaka. ●

  • Hukum dan Kutukan Sosial

    Hukum dan Kutukan Sosial
    Sudjito, GURU BESAR DAN KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UGM  
    SUMBER : SINDO, 8 Maret 2012
    “Cantik kok pembohong”. Cemoohan itu muncul spontan, datar, dan mengalir dalam diskusi informal di warung angkringan di Kota Yogya. Sesekali berkumpul mahasiswa di tempat santai seperti ini sungguh amat menyenangkan.
    Diskusinya berkualitas walaupun tanpa awal dan akhir yang jelas. Persoalan akan menjadi lain dan serius apabila guyon parikena itu dicerna dalam-dalam dengan kejernihan hati nurani. Kaum hawa khususnya pasti tersinggung. Cemoohan itu tergolong nylekit dan menusuk perasaan. Tetapi itulah justru pesan moral sesungguhnya, yaitu agar kaum hawa di negeri ini cantik luar-dalam, lahir-batin.

    Jangan seperti Angelina Sondakh ketika bersaksi di Pengadilan Tipikor dalam kasus Wisma Atlet belum lama ini. Ada kasus berbeda, tetapi serupa. Di Pengadilan Tipikor Bandung terjadi pembacokan terhadap jaksa Sistoyo oleh Deddy Sugarda. Hal itu diakui oleh pelakunya sebagai pesan kepada para penegak hukum untuk tidak berkhianat pada program pemberantasan korupsi. Cemoohan maupun pembacokan tersebut merupakan bentuk sanksi (kutukan) sosial.

    Ini bukan sesuatu hal baru.Jauh sebelum ada sanksi hukum formal, sanksi sosial telah ada,dan sesekali muncul ketika kehidupan berjalan tidak normal. Kebohongan dan pengkhianatan merupakan awal dan sebab ketidaknormalan kehidupan itu. Hukum formal berjalan terseok-seok karena dimainkan oleh kekuatan politik, uang, maupun kekuasaan. Awam sudah muak terhadap kepalsuan, kemunafikan, dan kamuflase proses peradilan yang berlangsung sebagai drama berseri itu.

    Dengan logika dan caranya sendiri, awam menumpahkan kejengkelannya dalam bentuk kutukan sosial tersebut. Lantas, apa hikmah dan pelajaran dari kasus-kasus seperti itu? Pertama, kembalikan pemahaman secara utuh bahwa hukum tidak terpisahkan dari habitat sosialnya. Detak jantung dan suara hati masyarakat jangan disepelekan. Berbahaya.

    Boleh jadi pada kesempatan berbeda kutukan sosial juga menimpa pada hakim, pengacara,saksi ahli,dan aparat penegak hukum lain.Pengalaman telah banyak berbicara tentang hal ini. Kedua, jangan melawan kodrat bahwa manusia adalah makhluk sosial. Paham individualisme dan liberalisme yang cenderung mendorong para penegak hukum bersikap congkak, arogan, dan sombong mesti ditinggalkan.

    Gantilah dengan paham kolektivisme, sosialisme dalam suasana kekeluargaan.Di negeri berfalsafah Pancasila ini paham kekeluargaan itu telah mengakar sebagai budaya dan adat istiadat. Pengingkaran terhadap paham ini serta merta menggantinya dengan paham individualisme dipastikan akan menggun-cangkan sendi-sendi kehidupan. Ingatlah ungkapan ”sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”.

    Ketiga, karakter liberal yang melekat pada hukum dan peradilan di Indonesia mestinya dibenahi secara sungguh-sungguh. Keberadaan hukum adat, syariat, dan tuntunan moral mestinya diterima sebagai upaya pembenahan tersebut sehingga watak liberal itu segera berganti menjadi watak komunalistik, sosial-religius.

    Keempat, jaga kemandirian lembaga pengadilan dan arahkan kiblat proses peradilan semata- mata demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedikit saja kiblat itu bergeser, misal ke arah ”keuangan yang maha kuasa”—sehingga jaksa atau hakim menerima suap—hancurlah martabat lembaga pengadilan beserta insan penegak hukum yang ada di dalamnya.

    Kekecewaan

    Hukum negara beserta aparatur penyangganya sebagaimana ”disakralkan” dalam praktik peradilan tidak mungkin mampu meminggirkan secara total bentuk-bentuk kutukan sosial yang muncul secara spontan dan alami sebagai bagian dari tatanan lokal. Dalam konteks budaya hukum, sebenarnya hukum negara (positif) itu kalah awu (kalah wibawa) dibandingkan hukum adat karena selain umurnya tergolong lebih muda, lebih nyata lagi bahwa hukum adat telah mengakar kuat dan mampu bekerja efektif di masyarakatnya selama berabad-abad.

    Pada saat komunitas lokal kecewa terhadap kinerja pengadilan dalam pemberantasan korupsi, komunitas lokal akan bereaksi untuk menunjukkan kekuatannya guna melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat pada hukum negara. Dengan munculnya reaksi sosial atas hukum dan praktik peradilan, sejak saat itu terlihat seolah-olah ada keterbelahan (split) antara ”sanksi hukum” dan ”kutukan sosial”.

    Aparat penyangga hukum negara umumnya mendaku (claim) bahwa sanksi hukum adalah satu-satu jenis sanksi untuk segala kejahatan,dan hanya mereka sajalah yang berwenang menjatuhkan sanksi hukum itu. Warga masyarakat yang melakukan kutukan sosial tidak jarang ditangkap dan dijerat hukum karena dianggap ”main hakim sendiri”.

    Mereka lupa bahwa hukum dan praktik peradilan tidak mungkin lepas dari pengamatan dan kepentingan masyarakat yang senantiasa mendambakan kejujuran, keterbukaan,dan keadilan.Mereka juga lupa bahwa kutukan sosial hanyalah pelengkap sanksi hukum formal, bukan tindakan yang berdiri sendiri lepas dari kegeraman terhadap para koruptor dan drama pengadilan.

    Apabila cemoohan dan pembacokan di atas ditanggapi secara emosional dan legalistik, aparat penyangga hukum negara itu sesungguhnya sedang membiarkan separuh dirinya yang egois-individual dipisahkan dari separuh diri mereka yang lain (sebagai makhluk sosial). Dengan kata lain, mereka asosial. Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengatakan bahwa akan ada peningkatan pengamanan di persidangan, terutama untuk kasus yang menarik perhatian masyarakat dan dianggap sensitif.

    Pada hemat saya, gagasan ini bagus untuk sesaat, tetapi tidak menyentuh akar permasalahan. Mengapa? Pengadilan bukanlah menara gading. Selama lembaga ini masih bermain-main dengan hukum, sementara hak-hak masyarakat akan keadilan, kejujuran, kebenaran, dan keterbukaan dilecehkan, kutukan sosial akan terus muncul secara sporadis dan bisa terjadi di luar persidangan.

    Dulu kita memiliki pengadilan adat, tetapi oleh rezim Orde Baru dibubarkan dan tidak diakui lagi keberadaannya oleh negara sampai saat ini.Sungguh bijaksana apabila pengadilan adat itu dihidupkan kembali. Apabila aspek sosial dan kultural itu benar-benar diperhatikan, dapat diyakini bahwa kutukan sosial akan ”tertidur nyenyak” dalam buaian kehidupan bernegara hukum yang aman dan nyaman.

  • Budaya Instan dan Mentalitas Jalan Pintas

    Budaya Instan dan Mentalitas Jalan Pintas
    Benny Susetyo, SEKRETARIS EKSEKUTIF KOMISI HAK KWI, PEMERHATI SOSIAL  
    SUMBER : SINDO, 8 Maret 2012
    Tajuk harian Seputar Indonesia (17/2) mengenai pungli (pungutan liar) yang dituding sebagai penyebab maraknya kecelakaan transportasi umum belakangan ini menarik dicermati.
    Tudingan ini disampaikan berdasarkan fakta bahwa sekitar 25% pendapatan pengusaha transportasi umum tergerus oleh pungli, mulai dari pengurusan administrasi, uji kelaikan kendaraan, izin trayek, keluar-masuk terminal, hingga pungutan sopir di tengah jalan. Mencermati tudingan tersebut, layaknya kita langsung percaya karena kita hidup di negeri yang begitu banyak pungli di berbagai sektor.

    Realitas ini begitu menyakitkan karena korupsi terbukti bisa menghancurkan nilai-nilai kehidupan berbangsa. Keselamatan manusia diabaikan akibat begitu membudaya korupsi dalam sendi-sendi kehidupan kita. Nilai, harkat, dan martabat kemanusiaan sudah tidak lagi dianggap penting. Sudah jelas dan terbukti bahwa akar semua itu adalah maraknya korupsi dalam kehidupan publik kita.

    Semuanya berdampak pada sarana keselamatan publik. Mental birokrat yang korup ini mengingatkan kita pada mentalitas birokrasi zaman VOC, yang bangkrut akibat korupsi para pegawainya. Birokrasi yang gemuk dan tidak efektif menghasilkan tata kelola yang jelek. Itulah yang melahirkan mentalitas jalan pintas. Mentalitas yang menunjukkan tanda tanya besar apakah benar bahwa bangsa ini memang pemalas.

    Bangsa yang selalu ingin mencari keuntungan tanpa mau kerja keras. Ini mengingatkan kita akan ungkapan Mochtar Lubis yang mengemukakan ciri manusia Indonesia antara lain munafik, segan dan enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, berwatak lemah (cengeng), tidak hemat, kurang gigih, serta tidak terbiasa bekerja keras. Karakter kita sebagai bangsa semakin rusak dari hari ke hari.

    Mentalitas jalan pintas akibat sebagai bangsa kita tidak memiliki visi dan karakter. Ketidak jelasan arah pendidikan dan visi yang hendak dicapai merupakan problem paling berat negeri ini tidak saja di masa kini, tapi juga di masa mendatang sebagai ancaman yang sangat mengkhawatirkan. Buah paling aktual yang dapat dirasakan adalah pendidikan belum berhasil membentuk karakter anak bangsa.

    Budaya Instan

    Budaya instan alias siap saji membuat manusia tidak lagi berpikir jangka panjang. Berbagai kebijakan negeri ini pun terjebak pada budaya instan. Model seperti ini amat berbahaya bagi masa depan bangsa ini. Cita-cita untuk mencerdaskan rakyat hanyalah angan-angan. Kita setuju secara teoritik bahwa pendidikan untuk memerdekakan.

    Tapi dalam tindakan, sampai saat ini kita tak pernah sampai pada kesadaran bahwa pendidikan merupakan proses menjadikan manusia berpikir merdeka dan dengan demikian diikuti tindakan-tindakan yang mendukung nya. Merdeka bukan berarti liar tanpa aturan atau tidak mau diatur.Berpikir merdeka dalam pengertian ini membuat manusia memiliki daya nalar yang kritis serta mampu menentukan pilihan dalam hidupnya.

    Dalam konteks globalisasi pilihan lebih banyak ditentukan oleh apa yang terlihat oleh pancaindra. Pilihan ini bukan digerakkan daya nalar yang sehat, melainkan hanya sekadar pemenuhan akan kebutuhan penyenangan indrawi belaka. Media iklan yang begitu dahsyat kerapkali membuat mata kita tidak lagi awas.Ini menciptakan mentalitas konsumtif. Fenomena ini sekarang membudaya dalam sanubari publik bangsa ini.Semua serbainstan.

    Hal ini terjadi karena manusia yang dihasilkan selama ini adalah sosok instan yang cenderung berpikir pendek dan sempit. Aura batin kita tak mampu menembus mata hati yang berkesadaran dalam menciptakan cara berpikir dan bertindak dalam kerangka kemanusiaan dan keadilan.Hal ini tak akan pernah menjadi gagasan dasar dalam membentuk perilaku bangsa. Bangsa ini juga kehilangan daya kreativitas karena miskin cita-cita dan gagasan.

    Politik tidak lagi mampu melahirkan gagasan besar untuk membangun sebuah cita-cita besar bagaimana membawa gerbang Indonesia menuju masa depan berperadaban. Inilah yang membuat bangsa ini terpuruk karena kurangnya cita rasa dan karsa dalam perilaku seharihari kita. Diakui maupun tidak, budaya berbangsa kita belum mampu melahirkan anak didik yang berkualitas dan berbudi pekerti luhur.

    Salah satu faktornya yang memengaruhi di antaranya belum sinkronnya hubungan agama,budaya,dan pendidikan sehingga pendidikan agama dan budaya belum terintegrasi dalam membangun karakter bangsa,yaitu karakter yang mengutamakan keadilan, perdamaian,dan kemandirian.

    Pragmatisme Politik

    Dalam konteks politik,mentalitas jalan pintas ini diajarkan setiap hari kepada publik. Kekuasaan berpikir pragmatis semata-mata untuk kepentingan stabilitas kekuasaannya belaka di satu sisi dan di sisi lain budaya pragmatisme politik partai di Indonesia begitu kuat. Korbannya adalah negeri ini, rakyat ini.

    Ini semua juga berpangkal dari budaya politik Indonesia yang memandang politik bukanlah seni untuk mencapai cita-cita kesejahteraan rakyat, melainkan dimaknai sekadar alat transaksi, sebagaimana transaksi perdagangan. Politik bukan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk kesejahteraan diri sendiri dan golongan tertentu. Mempertahan kan budaya seperti ini sama saja dengan memeliharawajahkeadabanpolitik Indonesia yang semakin lama semakin kehilangan akal sehatnya.

    Akal sehat yang menjadi prinsip bagi semua orang untuk mempertimbangkan yang baik dan buruk. Akibat kerapkali mengabaikan akal sehat, keutamaan pun sirna waktu demi waktu. Pemimpin dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap selera politik sering menghilangkan ketegasannya sendiri.Padahal keberanian dan ketegasan memilih itu sendiri sudah terjamin dalam undangundang.

    Yang sangat dikhawatirkan dalam hal ini adalah ketika para bawahan hampa visi kerakyatannya, malah sering membuat rakyat semakin menderita, mengabaikan perasaan rakyat,dan kadang menjadikan rakyat jadi korban. Setelah itu pertanyaan lainnya, adakah para punggawa republik ini sebagaimana disebutkan dalam ciri-ciri di atas? Merosotnya kredibilitas pemerintah akhir-akhir ini membuktikan bahwa masyarakat sudah bosan dengan janji-janji. Semakin lama rakyat bukan semakin apresiatif terhadap kerja-kerja pemerintah, melainkan justru semakin tidak mempercayainya.

  • Sasaran Tepat Program Raskin

    Sasaran Tepat Program Raskin
    Wahyu Siswanti, KABAG PEREKONOMIAN SETDA KABUPATEN KEBUMEN
    SUMBER : SUARA MERDEKA, 8 Maret 2012
    Untuk menertibkan administrasi,  terutama pelunasan hasil penjualan beras, sudah saatnya menerapkan sistem  cash and carry
    BERAS sebagai komoditas strategis yg dilindungi oleh UUD 1945 adalah salah satu hak asasi manusia. Dipertegas dalam kesepakatan Millennium Development Goals bahwa dunia internasional menargetkan pada 2015 semua negara, termasuk Indonesia, sepakat menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan sampai separonya.
    Upaya memerangi angka kemiskinan dan kelaparan baru berhasil menurunkan 16,66% pada 2004, menjadi 12,5% pada 2011. Belum lagi permasalahan lain yang krusial menyangkut tingginya angka pengangguran, dan jumlah daerah tertinggal di berbagai wilayah, memerlukan perhatian khusus. Untuk menjawab permasalahan itu, rencana kerja pemerintah 2012 mengang-kat tema
     ’’Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif dan Ber-keadilan bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat’’.
    Konsumsi beras sebagai pangan utama di Indonesia, dengan rata-rata konsumsi 113,7 kg/ jiwa/ tahun (BPS, 2011), di atas rata-rata konsumsi dunia dan negara te-tangga seperti Malaysia, Thailand, dan Jepang. Inilah salah satu alasan bahwa beras merupakan komoditas strategis, sehingga perlu kepastian stabilitas perberasan nasional agar kondusivitas terwujud.
    Bantuan beras bersubsidi untuk rakyat miskin (biasanya disebut raskin) merupakan program strategis yang dikelola secara lintas sektor antara pemerintah daerah dan pusat. Sasaran program itu adalah berkurangnya beban pengeluaran rumah tangga sasaran (RTS) dalam mencukupi kebutuhan pangan beras melalui pendistribusian beras bersubsidi 180 kg/ RTS/ tahun atau setara 15 kg/ RTS/ bulan dengan harga tebus Rp 1.600/ kg.
    Sistem yang Tepat
    Filosofi negara kesejahteraan untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat dengan mengucurkan subsidi untuk rakyat miskin merupakan kebijakan yang tepat. Dalam perjalanannya program raskin menimbulkan ragam masalah; seperti salah sasaran atau ’’bagita’’ (bagi rata) yang sering menimbulkan protes warga, keterlambatan pelunasan hasil penjualan beras, data program pendataan perlindungan sosial dianggap tidak valid, dan kualitas berasnya.
    Hal ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia yang merepotkan berbagai pihak. Kondisi yang sama dialami Pemkab Kebumen, dan hasil monitoring menunjukkan beberapa desa dan kecamatan mengondisikan sasaran raskin dengan pola bagi rata dan tidak tepat sasaran. Banyak dijumpai orang atau rumah tangga yang seharusnya tidak menerima, karena dengan berbagai alasan merasa wajar ikut menikmati raskin itu.
    Salah satu penyebab kegagalan suatu kebijakan karena tidak dipahaminya atau adanya kesalahan persepsi dari para aktor. Aktor di tingkat pemda terbagi atas level atau layer (lapis pemerintahan). Solusi beras dibagi rata yang dilakukan aktor di level terbawah menunjukkan adanya kelemahan persepsi terhadap tujuan kebijakan dan sebagai upaya meredam konflik sosial. Im-plikasi lain adalah munculnya moral hazard  kelompok masyarakat tidak miskin untuk memiskinkan diri supaya mendapatkan bantuan tersebut.
    Belajar dari masalah raskin, menyamakan persepsi akan tujuan program merupakan hal yang penting. Selain itu, sudah saatnya Pemkab Kebumen merevisi juknis pendistribusian.
    Harus dipertegas bahwa raskin merupakan beras bersubsidi khusus untuk warga miskin, dan melalui sosialisasi di media memberikan penyadaran kritis kepada masyarakat yang mampu, PNS, anggota TNI/ Polri agar ’’malu’’ menerima raskin.
    Untuk menertibkan administrasi,  terutama pelunasan hasil penjualan beras, sudah saatnya menerapkan sistem  cash and carry, yakni ada uang ada barang, untuk mengeliminasi  penyalahgunaan hasil pembelian beras oleh oknum. Tidak kalah penting penegakan hukum harus ditempuh untuk oknum yang nakal, melalui ketentuan yang berlaku. ●
  • Nation Branding

    Nation Branding
    Rhenald Kasali, KETUA PROGRAM MM UNIVERSITAS INDONESIA   
    SUMBER : SINDO, 8 Maret 2012
    Tak dapat dipungkiri, setiap bangsa punya sisi plus dan minus. India, misalnya, dikenal sebagai bangsa pekerja keras dengan nilai-nilai budaya dan spiritual tinggi.
    Tetapi dalam berbagai pemberitaan, India selalu dikaitkan dengan luapan penumpang kereta api, kesemrawutan, jorok, dan kemiskinan. Negara-negara maju dan kaya sama saja.Mereka punya sistem pendidikan dan kesehatan bagus, lalu lintas tertib, lapangan kerja terjamin, dan bebas korupsi. Namun di sisi lain, sebagian penduduknya punya masalah kebahagiaan, sektor keuangannya egocentrist, rendahnya ikatan-ikatan sosial yang membuat hubungan antargenerasi menjadi datar, tingkat stres tinggi, dan seterusnya.

    Demikian pula dengan Indonesia, ada orang terkaya di dunia dan ada yang hidup di bawah garis kemiskinan.Ada yang asyik menghisap sabusabu dan ada yang memilih jalan bunuh diri. Ada penerima Olimpiade Fisika,namun tak sedikit yang sekolahnya ambruk. Perusahaan asal Indonesia adalah pembeli pesawat terbang Boeing, konsumen alatalat berat, dan sepeda motor terbesar di dunia.

    Namun yang sering diberitakan adalah konflik, tawuran, tabrakan, pesawat jatuh, banjir, korupsi, dan kemiskinan. Indonesia adalah sebuah negara dengan nation branding yang tak jelas. Sudah tak jelas, masih bisa dibuat lebih tidak jelas lagi kalau para elite tak berhati-hati.

    Manipulasi Persepsi

    Citra yang tidak jelas, jelas sebuah masalah.Karena itulah, ia harus dibenahi, diperbaiki. Dari mana membenahinya? Insan-insan periklanan bisa datang dengan segudang konsep, dengan dalih nation branding tentunya.Namun harap diingat, dunia pencitraan memiliki dua mazhab.Yang pertama mazhab propaganda dan yang kedua mazhab integrity.

    Mazhab propaganda adalah warisan dari era peperangan yang percaya bahwa “musuh” harus ditaklukkan dengan memanipulasi pikiran para prajurit di negeri seberang bahwa jenderal (panglima) mereka telah berhasil ditaklukkan atau dipermalukan. Berbagai fakta-fakta bohong diciptakan dan disebarkan sehingga terkesan dapat dipercaya.

    Di era pasca perang, mazhab propaganda berganti baju, berevolusi menjadi alat manipulasi persepsi yang dibuat melalui pendekatan media elektronik (TV) dan virtual (internet). Iklan, video, atau kampanye “public relations” banyak dipakai untuk memanipulasi persepsi. Para pengikut mazhab ini percaya bahwa “perception is reality”. Benar, apa yang ditangkap melalui persepsi membentuk pandangan tentang realitas.

    Namun, begitu suatu realitas sulit diperbaiki,mereka lari ke dunia gaib, dunia pikiran. Bukan reality yang diperbaiki agar membentuk persepsi,melainkan persepsi itulah yang dimanipulasi. Cara kerjanya benar-benar hebat seperti dukun yang menggunakan setan atau jin, tetapi memulai layanannya dengan ayat-ayat kitab suci yang membuat pasiennya percaya bahwa dukun yang dihadapinya adalah “dukun putih”.

    Dukun tukang manipulasi persepsi ini pun memulai tesisnya dengan pentingnya “honesty”, namun diakhiri dengan membuat Anda menyerah bahwa ujungnya Anda harus membuat iklan dan abaikan persoalan-persoalan yang ada. Hebat bukan! Entah karena kurang ilmu, entah karena conflict of interest, pengonsepannya di sini menjadi rancu.Nation branding itu kalau dalam perusahaan sejajar dengan corporate branding, bukan product branding.

    Pemimpin corporate itu namanya CEO. Kalau pemimpin a nation ya tentu saja kepala pemerintahan atau kepala negara. Kalau pemimpin departemen, ya namanya menteri yang memimpin secara sektoral. Jadi lucu juga kalau nation branding Indonesia dijalankan oleh menteri. Ini reduksi namanya. Orang di seluruh dunia bisa bertanya, Indonesia itu ada presidennyakah? Aneh tapi nyata, nation of branding di Indonesia ini digembar-gemborkan oleh menteri.

    Pertanyaannya,bagaimana koordinasinya? Apakah ini benarbenar niat membangun branding atau sekadar cari uang proyek dari penempatan iklan? Lantas bagaimana sektor-sektor yang terkait? Harap diingat, nation branding itu adalah bagian dari marketing places yang cakupannya interdepartemen,mulai dari tempat untuk berwisata, tempat tinggal,tempat berobat, tempat sekolah, serta tempat berinvestasi dan menghasilkan barang-barang ekspor.

    Karena itulah, perlu dipahami mazhab kedua yaitu mazhab integrity. Mazhab integrity bukan tidak percaya bahwa “perception is reality”, melainkan titik awalnya harus dari sisi “reality”.Apalagi ini abad internet dengan generasi baru yang disebut gen c yang connected (terhubung) dan curious (memiliki rasa ingin tahu yang besar) dan pembaharu-pembaharunya berkelakuan crakers. Manipulasi persepsi itu mudah sekali diurai dan dipatahkan. Inilah abad di mana reality tidak dapat lagi dikemas lebih baik dari isinya. Maka integritas menjadi penting.

    Dalam abad ini, reality creates perception. Setiap realitas bahkan akan menemukan pintu persepsinya sendiri. Caranya? Ikuti saja global standard, buat segala sesuatu lebih bagus. Perbaiki infrastruktur,keamanan, pembuangan sampah, dan ciptakan daya tarik. Dari pada uangnya dipakai buat beriklan lebih baik perbaiki dahulu sanitasi. Jadi semuanya harus menyatu dan kerjanya tak boleh sendiri-sendiri. Nation branding adalah sebuah kerja bareng, sebuah konsensus!

  • Belas Kasih yang Makin Hilang

    Belas Kasih yang Makin Hilang
    Falasifatul Falah, DOSEN PSIKOLOGI SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA) SEMARANG, MASTER OF ARTS IN WOMEN STUDY FLINDERS UNIVERSITY OF SOUTH AUSTRALIA
    SUMBER : SUARA MERDEKA, 8 Maret 2012
    Pemenuhan kebutuhan masyarakat bukan merupakan sesuatu yang mustahil diupayakan di tengah krisis bila moral tetap ditegakkan
    MASIH melekat dalam ingatan, peristiwa tragis yang diberitakan oleh berbagai media elektronik nasional pekan lalu, ketika kerumunan massa di Deli Serdang, Sumatera Utara, mengeroyok dua pemuda hingga tidak berdaya, lalu membakar mereka hidup-hidup, hanya karena provokasi seseorang yang menuduh dua orang itu pencuri ternak (detik.com, 27/03/12).
    Tuduhan itu tidak terbukti, bahkan oknum yang melemparkan tuduhan tak berdasar itu pun melarikan diri, namun dua pemuda malang itu telanjur tewas dengan cara mengenaskan.
    Mengapa penduduk negeri ini bisa sedemikian beringas? Kegelisahan makin bertambah mengingat bahwa peristiwa ini hanya salah satu dari sekian banyak kasus kekejaman kolektif. Ke mana perginya rasa belas kasihan dalam benak masyarakat? Inikah potret bangsa yang mendengungkan frasa kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai salah satu komponen dasar negara?
    Harus diakui, kemampuan masyarakat kita dalam memelihara rasa iba pada sesama memang melemah. Lebih jauh lagi, hilangnya kepercayaan rakyat terhadap hukum membuat rasa saling percaya antarsesama ikut pudar. Tragedi di Deli Serdang bukan peristiwa pertama atau terakhir main hakim. Seseorang bahkan bisa ikut menghukum terdakwa kasus suap lewat aksi bacok seusai sidang (SM, 29/02/12).
    Para psikolog sosial berpendapat bahwa dorongan untuk menyakiti orang lain muncul karena rasa frustrasi. Meskipun frustrasi adalah kondisi yang manusiawi dan terjadi pada semua orang, pada level tertentu bila terjadi secara terus-menerus tanpa penyelesaian akan menjadi berbahaya karena individu itu akan mencari cara pelepasan secara sembarangan.
    Pada kasus di Deli Serdang, warga telah lama gusar karena sering kehilangan sapi (Tempo, 27/02/12). Tipisnya harapan untuk menemukan kembali ternak yang dicuri, ditambah rendahnya kepercayaan terhadap kinerja aparat penegak hukum, menimbulkan frustrasi hebat, yang membuat massa tidak bisa mengendalikan diri untuk melampiaskan kemarahannya.
    Penyaluran Emosi
    Gejala-gejala sosial yang tampak memang menunjukkan bahwa frustrasi telah menghinggapi sebagian anak negeri ini. Bila kita cermati, mereka yang melakukan kekejaman dan menyakiti orang lain secara brutal bukanlah individu yang merasa bahagia. Pengeroyokan dan penganiayaan hampir selalu melibatkan orang-orang yang sedang merasa tidak puas dengan kehidupannya, misalnya karena miskin, menganggur, atau sakit hati.
    Tidak sulit mencari jawaban mengapa sebagian masyarakat kita merasa frustrasi. Faktanya, bangsa kita memang belum meninggalkan masa krisis. Rakyat masih merasakan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, bahkan belitan kemiskinan baru saja memicu tindakan bunuh diri seorang perempuan di Bandung (Metronews.com, 03/02/12). Kondisi krisis bahkan menjalar di segala aspek kehidupan kita, termasuk krisis moral. Tetapi pantaskah krisis menjadi pembenaran memudarnya rasa kemanusiaan?
    Thurgood Marshall, mantan anggota Mahkamah Agung Amerika Serikat, mengatakan bahwa ukuran kehebatan sebuah bangsa terletak pada kemampuannya memelihara rasa belas kasihan dalam masa krisis. Jadi kalau kita ini bangsa yang hebat, kita pasti mampu mengembalikan kelembutan hati anak-anak negeri ini, menjadi bangsa yang penuh empati dan memiliki rasa belas kasihan.
    Jane Strayer, psikolog, meyakini bahwa pada dasarnya semua manusia dilahirkan dengan kapasitas untuk berempati pada makhluk lain. Namun perkembangan kemampuan berempati dipengaruhi oleh pengalaman hidup tiap individu. Empati berkembang bila individu diberi ruang dan kesempatan melepaskan emosinya secara wajar.
    Sebaliknya, perkembangan empati terhambat, bahkan pudar, bila pihak otoritas menggunakan kemarahan sebagai alat untuk mengontrol individu di bawah kekuasaannya.
    Dengan demikian, pihak yang memiliki wewenang atas orang lain perlu memberikan ruang untuk penyaluran emosi, dan menghindari mengendalikan pihak yang lebih inferior dengan kemarahan; baik orang tua terhadap anak, guru terhadap murid, atasan terhadap bawahan, atau pemerintah terhadap rakyat.
    Bila keberingasan dipicu oleh frustrasi maka harus ada upaya mengurangi hal-hal yang menyebabkan masyarakat frustrasi lewat upaya memenuhi kebutuhan mereka, seperti kebutuhan akan rasa aman, kepastian hukum, dan keadilan.
    Pada kasus pencurian ternak di Deli Serdang misalnya, masyarakat sudah merasa kehilangan rasa aman atas harta miliknya serta kehilangan harapan akan jaminan perlindungan dari aparat berwenang. Pemenuhan kebutuhan masyarakat bukan merupakan sesuatu yang mustahil diupayakan di tengah krisis, bila moral tetap ditegakkan.
    Lebih lanjut, para pakar ilmu perilaku juga meyakini bahwa perilaku menyakiti sesama juga merupakan hasil dari proses belajar, artinya individu melakukan kekejaman setelah mempelajari fenomena di lingkungan. Bukan hanya anak-anak kecil yang meniru adegan kekerasan yang pernah disaksikannya melainkan orang dewasa pun mengimitasi sikap dan perilaku yang diamatinya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
    Misalnya pengamatan masyarakat atas tindakan dan keputusan aparat penegak hukum yang minim empati pada rakyat kecil; di satu sisi memang meng-gelitik nurani individu-individu yang masih memiliki kepekaan pada rasa keadilan, namun di sisi yang lain juga mendidik masyarakat untuk menyingkirkan rasa empati dan mengeraskan hati.
    Dengan demikian, pihak yang senantiasa menjadi sasaran pengamatan masyarakat, baik pejabat maupun figur publik lainnya, memiliki peran cukup penting dalam mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku masyarakat.
    Media pun memegang andil mendidik masyarakat karena hitam-putihnya perilaku yang diamati masyarakat juga dipengaruhi keputusan media dalam menyeleksi kontennya. Mengupayakan hal ini tentunya tidak mudah, namun juga bukan hal mustahil. ●
  • Perempuan dan Keluarga Berkualitas

    Perempuan dan Keluarga Berkualitas
    Siti Muyassarotul Hafidzoh, IBU RUMAH TANGGA,
    PENELITI PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
    SUMBER : SUARA KARYA, 8 Maret 2012
    Laki-laki merupakan kepala keluarga, tetapi perempuanlah yang justru “hidup” dan menghidupkan keluarga. Hadirnya kasih sayang dan keharmonisan dalam keluarga seringkali lahir dari rahim seorang perempuan. Suatu keluarga tanpa kehadiran ayah tetap bisa berdiri tegak, tetapi tak bisa dibayangkan suatu keluarga tanpa kehadiran seorang ibu. Dalam diri seorang ibu, tertancap jiwa kemanusiaan, kenabian dan ketuhanan secara berimbang, sehingga kunci kesuksesan keluarga banyak ditentukan oleh peran krusial seorang ibu.
    Keluarga merupakan institusi terkecil dalam lingkungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keluarga menjadi tempat berseminya cinta, kasih sayang, keteladanan dan kearifan. Keluarga menjadi “sekolah pertama” seorang anak untuk mencerap ilmu kehidupan. Kalau keluarga bisa menjadi surga yang penuh ilmu dan keteladanan, maka anak-anak akan mendapatkan warisan agung yang menjadi bekal kehidupan di masa depan. Keluarga yang terjaga akan menegakkan Indonesia yang bermartabat. Keluarga menjadi tempat pertama lahirnya peradaban Indonesia yang maju dan berkeadaban.
    Momentum peringatan hari perempuan sedunia, 8 Maret 2012 harus menjadi refleksi dalam meningkatkan kualitas keluarga. Sesuai yang tercantum dalam diktat Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 1992, keluarga berkualitas ialah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
    Sejahtera, berarti sebuah keluarga dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Sehat, mencakup sehat jasmani, rohani, dan sosial. Maju, bermakna memiliki keinginan untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan diri dan keluarganya guna meningkatkan kualitasnya. Berjiwa mandiri, diartikan memiliki wawasan, kemampuan, sikap dan perilaku tidak tergantung pada orang lain.
    Kemudian jumlah anak ideal ialah jumlah anak dalam keluarga yang diinginkan dan dianggap sesuai dengan kemampuan keluarga, namun tetap memperhatikan kepentingan sosial. Berwawasan, berarti memiliki pengetahuan dan pandangan yang luas, sehingga mampu, peduli, dan kreatif dalam upaya pemenuhan kebutuhan keluarga dan masyarakat secara sosial. Harmonis, mencerminkan kondisi keluarga yang utuh dan mempunyai hubungan yang serasi di antara semua anggota keluarga. Yang terakhir, bertakwa, berarti taat beribadah dan melaksanakan ajaran agamanya.
    Keluarga berkualitas yang diimpikan tersebut sekarang sedang dipersimpangan jalan. Tak lain karena institusi keluarga kurang mendapatkan perhatian serius, baik oleh masyarakat dan pemerintah. Kebutuhan menciptakan keluarga berkualitas belum menjadi stressing masyarakat dan pemerintah, sehingga berbagai program peningkatan keluarga berkualitas seringkali mandek di tengah jalan.
    Dalam konteks itulah, pemerintah seharusnya segera menyosialisasikan UU 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga beserta Perpres No 62/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaannya kepada seluruh stakeholder pada semua tingkat/kalangan, termasuk upaya penguatan database program KB agar mempunyai kekuatan dan posisi tawar yang layak dalam pembangunan.
    Pembangunan masa depan harus didukung oleh sumber daya manusia handal yang lahir dari keluarga berkuaitas. Di samping itu, pemerintah juga harus segera menggalang komitmen dengan unsur pimpinan daerah secara mantap tentang pentingnya pembangunan kependudukan dan program KB, termasuk upaya keringanan jasa medis dalam pelayanan KB.
    Keluarga berkualitas sangat ditunggu untuk Indonesia masa depan, karena akan menjadi sumber Indonesia berkualitas. Renald Kasali dalam Change (2010) memberikan tips khusus membangun keluarga berkualitas dengan perencanaan masa depan yang komprehensif. Pertama, mulailah dengan diri sendiri (start with yourself). Keluarga berkualitas akan melakukan sesuatu yang positif dari diri sendiri. Lakukan intropeksi diri keluarga sebelum menuntut orang lain untuk melakukan sesuatu.
    Kedua, jangan berorintasi pada orang lain tapi bagi diri sendiri (dont oriented to another but yourself). Keluarga harus ikhlas dalam mendisiplinkan diri, jangan karena ingin mengalahkan atau mendapatkan pujian orang lain. Keluarga akan kecewa ketika orang lain tidak bisa dikalahkan, atau akan menyesal ketika tidak ada orang lain yang memuji kita. Jadi dampak disiplin yang lahir karena orang lain tidaklah permanen untuk memajukan diri kita.
    Ketiga, jangan menunda. Lakukan dari sekarang (start early). Kebiasaan buruk kita adalah menunda pekerjaan, memperlambat memulai hal-hal baik yang sudah ada dalam pikiran kita. Jangan tunggu sore datang kalau di pagi hari kita mampu menyelesaikan pekerjaan untuk sore hari. Kita harus adopsi cara-cara bekerja orang besar, kerja keras dengan tidak menunda pekerjaan, persistent (ulet dan tekun), bertanggungjawab dan bersikap positif.
    Keempat, mulailah dari hal yang kecil (start small), jangan abaikan hal-hal kecil, karena hal-hal besar selalu diawali dari yang kecil. Perubahan besar tidak akan terjadi jika tidak diawali dari perubahan kecil. Disiplin untuk membuang sampah pada tempatnya, shalat tepat waktu, bangun sebelum subuh adalah perkara kecil yang mampu mendorong kita untuk melakukan kedisiplinan yang lebih besar. Ingatkah kita dengan pepatah China yang mengatakan, bahwa orang yang memindahkan gunung memulai dengan memindahkan batu-batu kecil.
    Mulai sekarang juga (start now) membangun keluarga berkualitas, jangan tunda esok hari, karena bisa membuat kehilangan fokus. Sekarang adalah waktu terbaik untuk menjadi keluarga yang terbaik.
  • Memperjuangkan Hak-Hak Perempuan

    Memperjuangkan Hak-Hak Perempuan
    Zainul Mun’im, STAF PENELITI PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM (PSKH)
    UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
    SUMBER : SUARA KARYA, 8 Maret 2012
    Hak konstitusional warga negara maupun hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dalam UUD 1945 berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perumusannya yang menggunakan frasa ‘setiap orang’, ‘segala warga negara’, atau ‘setiap warga negara’, yang menunjukkan bahwa hak konstitusional dimiliki oleh setiap individu warga negara tanpa adanya perbedaan suku, ras, agama, keyakinan politik, maupun jenis kelamin.
    Bahkan, UUD 1945 menegaskan bahwa ‘Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.’ Dengan demikian, jika terdapat ketentuan atau tindakan yang mendiskriminasikan warga negara tertentu, hal itu berarti bertentangan dengan UUD 1945.
    Oleh karena itu setiap warga negara perempuan memiliki hak konstitusional yang sama dengan warga negara laki-laki. Perempuan juga memiliki hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif, baik berdasarkan statusnya sebagai perempuan ataupun berdasarkan perbedaan lainnya. Semua hak konstitusional yang telah diuraikan sebelumnya merupakan hak konstitusional setiap warga negara berjenis kelamin perempuan.
    Namun faktanya, perempuan selalu menjadi ladang dalam perlakuan diskriminatif. Ketika ada masalah yang menyangkut hak perempuan dan laki-laki, bisa dipastikan perempuan-lah yang mendapatkan perlakuan diskriminatif. Semisal, diskriminasi terhadap buruh perempuan dalam pengupahan, hak upah yang didapatkan perempuan tak sebanding dengan yang didapatkan kaum laki-laki, walaupun buruh perempuan tidak kalah rajin dengan laki-laki dalam menjalankan tugasnya.
    Agar perempuan Indonesia bisa selalu memperjuangkan hak-haknya dan tidak selalu mendapat perlakuan diskriminatif, diperlukan adanya perlakuan khusus bagi kaum perempuan. Hal ini penting mengingat perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional tanpa adanya perlakuan khusus, justru cenderung akan mempertahankan diskriminasi terhadap kaum perempuan, dan tidak mampu mencapai keadilan.
    Pentingnya perlakuan khusus bagi perempuan untuk menghapus perlakuan diskriminatif juga telah diakui secara internasional. Bahkan, hal itu diwujudkan dalam konvensi tersendiri, yaitu Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW).
    Pada tingkat nasional, upaya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan menuju kesetaraan jender telah dilakukan walaupun pada tingkat pelaksanaan masih membutuhkan perhatian serius. Hal ini setidaknya dapat kita lihat melalui beberapa peraturan perundang-undangan, yakni berupa prinsip-prinsip umum. Bahkan, untuk memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan dari aksi kekerasan, telah dibentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
    Di samping ketentuan-ketentuan hukum yang telah memberikan perlakuan khusus terhadap perempuan, atau paling tidak telah disusun untuk mencapai kesetaraan jender, tentu masih terdapat peraturan perundang-undangan yang dirasakan bersifat diskriminatif terhadap perempuan, atau paling tidak belum sensitif jender. Apalagi, hingga saat ini masih banyak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibuat pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
    Untuk itulah, upaya identifikasi harus dilakukan yang diikuti dengan penataan dan penyesuaian berdasarkan UUD 1945 pasca perubahan. Hal itu dapat dilakukan melalui mekanisme judicial review.
    Selain dari sisi substansi aturan hukum, tantangan yang dihadapi adalah dari struktur penegakan konstitusi. Untuk mencapai perimbangan keanggotaan DPR dan DPRD, misalnya, tidak cukup dengan menentukan kuota calon perempuan sebanyak 30% yang diajukan oleh setiap partai politik.
    Ketentuan tentang kuota itu tentu harus menjamin bahwa tingkat keterwakilan perempuan di parlemen akan semakin besar. Padahal, saat ini jumlah anggota DPR perempuan baru 11 persen, dan di DPD 21 persen. Bahkan jumlah pegawai negeri sipil (PBN) eselon I yang perempuan hanya 12,8 persen. Untuk itu, perlu dirumuskan mekanisme yang dapat menjamin keterwakilan perempuan di sektor publik agar semakin meningkat di masa-masa mendatang.
    Tantangan di bidang struktur penegak hukum juga diperlukan, misalnya, terkait dengan proses hukum dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebagai korban atau saksi, perempuan memerlukan kondisi tertentu untuk dapat memberikan keterangan dengan bebas tanpa tekanan. Untuk itu, proses perkara, mulai dari penyelidikan hingga persidangan perlu memperhatikan kondisi tertentu yang dialami perempuan. Demikian pula terkait dengan persidangan yang membutuhkan jaminan keamanan, baik fisik maupun psikis perlu diberikan kepada perempuan.
    Yang tidak kalah pentingnya dalam upaya menegakkan hak konstitusional perempuan adalah menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi terutama yang terkait dengan hak konstitusional perempuan. Hal ini penting untuk menyadarkan masyarakat bahwa kaum perempuan pun memiliki hak konstitusional yang sama dengan laki-laki. Hal ini penting mengingat kesadaran tersebut belum tertanam di jiwa masyarakat, sehingga tidak sedikit seorang perempuan yang layak dipilih atau diangkat untuk jabatan tertentu, namun tidak dipilih atau diangkat karena perempuan dinilai mempunyai kelemahan tertentu dibanding laki-laki.
    Dengan adanya perbaikan melalui struktur penegakan hukum, substansi hukum, dan sekaligus membudayakan konstitusi yang lebih menjunjung tinggi nilai kesetaraan jender, diharapkan hak-hak perempuan seperti yang dikehendaki oleh Ibu Kartini akan tercapai. Tentunya, dengan menjadikan hak-hak tersebut sebagai bagian dari konstitusi yang benar (the right constitunional).
  • Matahari Kembar Pemerintahan Daerah

    Matahari Kembar Pemerintahan Daerah
    Teuku Kemal Pasya, DOSEN ANTROPOLOGI DI UNIVERSITAS MALIKUSSALEH, LHOKSEUMAWE
    SUMBER : SINAR HARAPAN, 7 Maret 2012
    Gerakan reformasi 1998 telah berhasil mengecilkan sentralisme dan arogansi pusat dalam mengurus daerah.Filosofi desentralisasi adalah memperkuat kemandirian pemerintahan daerah, di mana pada masa Orde Baru kepala daerah nyaris seperti karyawan yang diperbantukan pusat: tanpa improvisasi, kreativitas, dan inovasi.
    Gagasan desentralisasi juga dimajukan untuk mencegah terpecahnya NKRI. Ketika bangunan kekuasaan Soeharto runtuh, publik menyaksikan dengan telanjang aneka gerakan separatisme yang timbul akibat Jakarta salah urus daerah.
    Di samping itu, desentralisasi juga untuk mengurangi beban wewenang pusat melalui pendelegasian hampir sebagian besar kewenangan daerah, plus mempraktikkan demokrasi lokal.
    Meskipun demikian, tidak semua idealisme mampu terpenuhi. Ide pembentukan wilayah administrasi baru demi mengefektifkan rentang kendali birokrasi dan pelayanan telah berubah menjadi politik pemekaran penuh nafsu kekuasaan.
    Demikian juga, efek negatif otonomi daerah telah mendidik kepala daerah untuk menjadi raja-raja lokal yang keras kepala, egois, dan tak bertanggung jawab, baik kepada pusat maupun masyarakat.
    Terakhir, simptom negatif otonomi daerah juga disumbangkan oleh sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang telah menyebabkan instabilitas pemerintahan daerah. Kasus mundurnya Wakil Gubernur Jakarta Prijanto dan Wakil Bupati Garut Dicky Chandra menjadi contoh sistem pilkada tak kunjung menghasilkan pemerintahan daerah yang solid.
    Harmonis di Awal
    Gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota adalah pasangan harmonis pada masa kampanye dan pilkada. Senyum pasangan kepala daerah itu mengembang dalam poster-poster kampanye dan baliho, dan menjadi semakin masam ketika bertugas.
    Pasangan kepala daerah hanya menjadi duet strategis pada dua tahun pertama masa pemerintahan, setelah itu biasanya mulai ditumbuhi konflik dan rivalitas.
    Pemandangan ini menjadi pengalaman yang jamak ditemukan di banyak daerah. Di Aceh sendiri, dari beberapa hasil penelitian demokrasi, menunjukkan lebih 70 persen pasangan kepala daerah menjadi “pasangan cerai” dan selalu bertengkar. Pertengkaran itu bahkan menjadi perbincangan publik dan bukan hanya diketahui internal pemerintahan.
    Dari wawancara dengan seorang bupati di Aceh yang pernah meminta mundur, saya mendapatkan informasi bahwa ada dua hal yang menjadi sumbu konflik antara kepala dan wakil kepala daerah, yaitu ketika terjadi penempatan pejabat dan urusan pengelolaan proyek.
    Hal ini juga biasanya ditambah dengan adanya tim kerja masing-masing yang membangun informasi negatif sehingga hubungan mereka semakin memburuk.
    Aura negatif pemerintahan daerah itu seperti menunggu hari-hari tanpa makna hingga masa pilkada kembali tiba. Untuk periode Pilkada 2012, di Aceh hampir semua pasangan incumbent tidak lagi maju bersama.
    Mereka akhirnya berpisah di ujung jalan dan memilih kendaraan politik masing-masing, baik melalui partai politik atau meminang partai politik lain, dan juga melalui jalur perseorangan.
    Reformasi Setengah Sistemik
    Sebenarnya konflik ini telah disadari oleh Kementerian Dalam Negeri. Sejak UU No 32/2004 diberlakukan, ditemukan banyak sekali kelemahan sistemik duet kepala daerah. Itu kemudian diantisipasi melalui amendemen undang-undang pemerintahan daerah yang mengatur tugas pokok dan fungsi (tupoksi) wakil kepala daerah.
    Dalam Pasal 26 UU No 12/2008 disebutkan secara tegas peran wakil kepala daerah, di antaranya fungsi pengawasan pembangunan, bidang pemberdayaan perempuan dan pemuda, dan mengupayakan pengembangan serta pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup. Wakil kepala daerah hanya akan memiliki fungsi kepala daerah jika ada kesepakatan khusus atau kepala daerah sedang berhalangan.
    Namun ternyata aturan normatif itu tidak juga berjalan efektif. Praktik politik lebih mengemuka dibandingkan menyesuaikan diri pada regulasi dan perundang-undangan. Dari pengalaman di lapangan diketahui konflik pasangan kepala daerah mudah terjadi jika di antara mereka memiliki basis politik yang tidak tunggal.
    Koalisi partai yang mengusung duet kepala daerah itu hanya menjadi koalisi taktis dan bukan koalisi ideologis yang permanen. Konflik juga semakin bernyala jika basis politik partnernya lebih besar di parlemen.
    Tak urung kepala daerah itu digoyang oleh politisasi partnernya yang berkonspirasi dengan basis politik di DPRD/K, termasuk melakukan mobilisasi massa untuk memperkeruh suasana.
    Kekisruhan ini jelas membawa pengaruh buruk bagi demokrasi lokal. Idiom demokrasi lokal tidak dapat diintroduksi dengan hanya mengandalkan lembaga-lembaga lokal (termasuk lembaga adat) dan akar rumput saja.
    Karena dalam banyak hal, terutama di era modern ini, lembaga formal negara, seperti bupati memiliki kekuasaan yang besar mengatur aset dan kekayaan daerah, termasuk kewenangan regulasi untuk menentukan kebijakan daerah.
    Solusi
    Belajar dari pengalaman itu, sudah harus dipikirkan untuk menghilangkan adanya raja kembar dalam pemerintahan daerah. Satu raja saja sudah cukup membuat iklim birokasi menjadi kerepotan, apalagi dua. Semakin sering rivalitas keduanya dalam perang birokrasi, semakin membangkrutkan daerah dan sepi dari pembangunan yang berkelanjutan.
    Pemerintah perlu memikirkan untuk membuat undang-undang pemerintahan daerah baru yang mengatur bahwa sistem pilkada hanya untuk memilih gubernur/bupati/wali kota. Peran wakil hanya akan ditentukan ketika sang kepala daerah terpilih, apakah ia memerlukan sebagai sistem pendukung birokrasi atau tidak.
    Jika kepala daerah menganggap keberadaan sekretaris daerah dan satuan kegiatan perangkat daerah (SKPD) telah cukup, maka tidak diperlukan lagi penambahan jabatan wakil yang juga akan berimplikasi pada anggaran. Logika efisiensi harus dipikirkan dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan banyak.
    Kepala daerah tidak memerlukan citra atau gincu lebih banyak lagi di pemerintahannya hanya dengan menambah posisi wakil. Cukuplah ia sendiri secara kesatria menanggung hasil pembangunan daerahnya, tanpa perlu mencari-cari kesalahan dari wakil atau sebaliknya. ●
  • Pengaruh Hindia Belanda

    Pengaruh Hindia Belanda
    Robbert Dijkgraaf, ILMUWAN BELANDA,
    PRESIDEN THE ROYAL NETHERLANDS ACADEMY OF ARTS AND SCIENCES
    SUMBER : KORAN TEMPO, 7 Maret 2012
    Di ruang kerja saya, tergantung dua buah foto Ketua Akademi terdahulu, dengan ciri khas orang terpelajar dari awal abad sebelumnya: terhormat, beruban, berjenggot, dan berkacamata. Foto pertama adalah seorang eksakta tulen, fisikawan Hendrik Lorentz, yang terlihat ramah tapi tegas. Ia bukan hanya seorang arsitek teori modern tentang radiasi dan benda, tapi juga bertanggung jawab atas pembangunan Afsluitdijk (bendungan yang menghubungkan Provinsi Noord-Holland dan Friesland).
    Orang kedua adalah seorang ahli humaniora tulen. Dia membungkuk di atas sebuah buku tebal, hidungnya hampir masuk ke halaman-halaman–sebuah gambaran karikatur ilmuwan linglung, kutu buku yang hampir tidak sadar akan sisa dunia di luarnya. Tapi gambaran itu sama sekali tidak benar. Ahli bahasa Sanskerta, Hendrik Kern (1833-1917), setidaknya sama jeniusnya dan relevan seperti Lorentz. Dia menguasai hampir semua bahasa yang bisa dibayangkan, baik bahasa yang masih dipakai maupun yang sudah punah. Seorang ahli tingkat dunia dalam bidang bahasa-bahasa wilayah timur, mulai bahasa Farsi melalui Jawa kuno sampai Polinesia. Kern lahir di Hindia Belanda dan berjasa besar terhadap tanah kelahirannya. Di Indonesia, Kern dihormati karena dia menunjukkan bahwa kepulauan yang terbagi-bagi itu, dari segi bahasa merupakan suatu kesatuan alami.
    Cukup aneh bahwa Indonesia kurang mendapat perhatian dari kita, juga dalam hal ilmu pengetahuan. Apakah ini karena kita tidak ingin mengingat sejarah kolonialisme–semacam peredaman ala teori Freud? Biarkan saya memberikan lagi dua contoh tentang pengaruh Hindia Belanda. Eugene Dubois (1858-1940) adalah seorang dokter muda yang berbakat dan keras kepala. Terinspirasi oleh Darwin, ia yakin bisa menemukan mata rantai yang hilang antara kera dan manusia di Asia Tenggara.
    Pada 1887, ia bergabung dengan tentara Hindia Belanda (KNIL) sebagai dokter dan kemudian berangkat bersama istri dan putrinya yang baru lahir menuju wilayah timur. Dubois tidak hanya pantang menyerah, ia juga beruntung atas penggalian-penggalian yang dilakukannya. Dengan cepat ia menemukan sebuah tengkorak, gigi geraham, dan sebuah tulang paha dari “manusia Jawa”, contoh pertama dari apa yang saat ini disebut Homo erectus. Seiring dengan waktu, ia juga menemukan sebuah ilmu pengetahuan baru yang sepenuhnya baru, yaitu paleoantropologi.
    Christiaan Eijkman (1858-1930), sama seperti Dubois, bekerja sebagai dokter di tentara Hindia Belanda. Pada 1888, dia diangkat sebagai direktur pertama di Centraal Geneeskundig Laboratorium (Laboratorium Kedokteran Pusat) di Batavia. Bersama asistennya, Gerrit Grijns, dia melakukan serangkaian uji coba untuk mencari penyebab penyakit tropis beri-beri. Semua orang mengira beri-beri disebabkan oleh bakteri, tapi dari hasil uji coba yang dilakukan terhadap ayam, muncullah ide lain. Ketika ayam itu memakan beras tanpa kulit ari, terlihat gejala penyakit beri-beri. Namun, ketika diberi beras yang masih memiliki kulit ari, gejala itu hilang. Demikianlah mereka menemukan bahwa beri-beri disebabkan oleh kekurangan vitamin. Dari penemuan vitamin B1 inilah Eijkman mendapatkan penghargaan Nobel, sedangkan Grijns disisihkan. Hal itu merupakan sebuah ketidakadilan karena justru Grijns yang berperan krusial dalam penetapan adanya kekurangan zat nutrisi sebagai penyebab.
    Lembaga Eijkman di Jakarta saat ini merupakan salah satu lembaga ilmiah yang paling terkemuka di Indonesia. Lembaga itu bangga atas sejarah panjang beserta prestasi yang telah diukir oleh direktur pertamanya. Gedung yang bergaya kolonial telah direnovasi secara indah dan memuat peralatan penelitian terbaru. Terlebih dalam sebuah negara dan kota yang mengalami ledakan jumlah penduduk luar biasa, suasana tenang dalam koridor panjang terasa amat melegakan. Anda merasa kembali ke masa yang telah hilang.
    Pada kunjungan yang belum lama saya lakukan, memang begitulah keadaannya. Kami disuguhi sebuah tontonan film yang menarik berlatar Batavia pada 1920-an. Kamera berputar mengelilingi kota dan bergerak dengan halus terayun menggambarkan pemandangan saat itu. Semuanya memancarkan ketenangan nan asri, terutama ketika kamera mendekati daerah kosong tempat sekolah kedokteran dan Lembaga Eijkman berada. Alangkah besar perbedaannya saat kita berjalan keluar setelah menonton film itu dan merasakan hiruk-pikuk Jakarta masa kini dengan aliran sepeda motor yang melaju tanpa hentinya disertai bunyi klakson yang bising. Mengesankan begitu cepatnya negara ini telah berubah dalam waktu singkat dan tak terbayangkan perubahannya di kemudian hari.
    Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN. Bagian dunia ini berjumlah lebih dari setengah miliar penduduk dan memiliki beberapa “macan teknologi” yang berkembang pesat. Saat ini Indonesia memang belum menjadi pelopor, tapi tidak bisa dimungkiri kelak Indonesia akan berkembang secara spektakuler. Apakah masih ada perannya bagi negeri Belanda? Apakah kita masih memiliki ide tentang apa yang bisa kita lakukan terhadap negara yang sudah berabad-abad lamanya memberi kita begitu banyak, termasuk dalam hal ilmu pengetahuan?
    Ada seseorang yang tidak ragu akan pentingnya Indonesia. Dulu ia pernah tinggal di Indonesia saat berumur 6 tahun sampai 10 tahun. Ia ingin memperkuat hubungannya. Ia telah mengirim utusan ilmiah khusus, dan juga akan berinvestasi secara besar-besaran. Dalam kunjungannya pada 2010, Presiden Barack Obama memuji keragaman dan toleransi di Indonesia. Terlihat jelas bahwa hubungan erat antara sebuah negara muslim yang besar dan moderat sangat cocok dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. (Sebuah pemikiran menarik bahwa Belanda selama berabad-abad telah menjadi negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.)
    Obama sangat menyadari peluang-peluang yang ada di Indonesia. Dari segi jumlah penduduk, Amerika dan Indonesia adalah negara urutan ketiga dan keempat terbesar di dunia. Pada 2012, sumber kekayaan alam terbesar di kepulauan raksasa ini bukan lagi rempah-rempah atau tenaga kerja murah, melainkan generasi muda berbakat yang tak ada habisnya. Pengaruh Hindia Belanda akan jauh lebih besar daripada sekadar nasi goreng di menu restoran kita. ●