Category: Uncategorized

  • Integritas Departemen “Suci” Dipertanyakan

    Integritas Departemen “Suci” Dipertanyakan
    Biyanto, DOSEN IAIN SUNAN AMPEL; KETUA MAJELIS DIKDASMEN PWM JATIM
    SUMBER : SINDO, 9 Maret 2012
    Transparansi pengelolaan dana tabungan calon jamaah haji oleh Kementerian Agama (Kemenag) sedang menjadi sorotan. Persoalan transparansi tabungan haji ini penting karena berkaitan dengan dana umat yang menurut hitungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menembus angka Rp38 triliun.
    Dana sebesar ini jelas sangat berpotensi untuk diselewengkan. Karena itulah,KPK mengusulkan untuk menghentikan sementara waktu (moratorium) pendaftaran haji. Sayang, usulan KPK itu ditolak Kemenag dengan alasan belum memiliki mekanisme selain sistem antrean bagi calon jamaah haji.Apalagi tren pendaftaran haji terus meningkat sehingga menyebabkan antrean yang sangat lama.

    Di sejumlah daerah daftar antrean haji bahkan telah mencapai 10 tahun. Kalau ada orang mendaftar tahun ini, 10 tahun mendatang baru bisa menunaikan ibadah haji. Karena pendaftar haji semakin meningkat, tantangan Kemenag adalah memberikan laporan yang well auditeddalam mengelola dana haji yang kian menggunung. Ini penting agar label “agama”yang melekat dalam Kemenag benar-benar menjadi spirit. Dengan memberikan laporan yang transparan terhadap pengelolaan dana haji, Kemenag benar-benar akan menjadi de-partemen berwajah agama, bukan agama yang berwajah departemen.

    Transparansi

    Persoalan transparansi tampaknya harus menjadi perhatian karena menurut survei integritas yang dilakukan KPK pada November 2011, Kemenag diposisikan pada peringkat paling buncit. Survei integritas yang dilakukan KPK itu dilakukan di 88 instansi; 22 instansi pusat, 7 instansi vertikal, dan 69 instansi pemerintah daerah. Hasilnya, nilai indeks integritas Kemenag hanya 5,37, jauh di bawah integritas pusat yang mencapai 7,07.

    Dengan nilai integritas yang sangat rendah, budaya suap berarti masih banyak terjadi. Tidak hanya tingkat pusat, di level kecamatan pun praktik gratifikasi dengan mudah dapat dijumpai. Di antara indikatornya dapat diamati dari besaran biaya administrasi pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) yang seringkali tidak menentu. Dana jamaah haji yang melimpah sejauh ini telah menjadikan Kemenag sebagai sorotan publik.

    Apalagi jika menengok biaya haji yang ditetapkan pemerintah ternyata paling tinggi jika dibandingkan negara lain. Padahal pelayanan yang diberikan masih sangat standar sehingga banyak dikeluhkan jamaah. Jika melihat jumlah biaya haji dan pelayanan yang diberikan,berarti ada yang salah dengan pengelolaan dana haji. Bermula dari sinilah dugaan penyelewengan dana haji terus menggelinding.

    Pemanfaatan DAU

    Dugaan penyelewengan dana haji dan hasil survei integritas KPK itu tentu saja telah mencoreng institusi Kemenag. Sebagai institusi yang menekankan motto “Ikhlas Beramal”, Kemenag sesungguhnya diharapkan banyak pihak dapat menjadi benteng dari kebobrokan moral bangsa.Tetapi, fakta malah menunjukkan terjadi beberapa kasus korupsi di lingkungan Kemenag.

    Akibat itu, perspektif publik pada Kemenag pun turut berubah. Orang-orang di Kemenag yang setiap hari mengurusi agama ternyata tidak mampu menjadi agen pemberantasan korupsi. Mereka justru terlibat dalam banyak kasus suap dan korupsi. Menurut catatan almarhum Rosihan Anwar, mantan menteri yang pertama kali berstatus terpidana dalam kasus korupsi adalah Wahib Wahab.

    Pada Oktober 1962, mantan menteri agama dan putra sulung Abdul Wahab Hasbullah ini dituntut hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp15 juta. Publik juga masih ingat kasus penyelewengan Dana Abadi Umat (DAU) yang menyeret mantan Menteri Agama Said Agil Hussein al-Munawar.Menteri di era Presiden Megawati Soekarnoputri ini pun dinyatakan bersalah di depan pengadilan sehingga dijatuhi hukuman lima tahun penjara dan denda Rp200 juta.

    Sejauh ini keberadaan DAU yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2001 telah menjadi kontroversi. Bagi yang setuju menyatakan bahwa DAU dapat menjadi sumber dana yang sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan untuk perbaikan kesejahteraan umat.Tetapi, justru di sinilah sumber persoalannya karena pemanfaatan DAU seringkali tidak disertai pertanggungjawaban yang memadai.

    Karena itulah, pihak-pihak yang tidak setuju menuntut agar keppres yang mengatur keberadaan DAU dicabut. Lebih dari itu, DAU dianggap tidak produktif. Selama menjadi dana abadi, akan sulit dimanfaatkan sebagai dana bergulir untuk kepentingan pengembangan usaha dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat.

    Dana triliunan rupiah DAU yang dihimpun dari efisiensi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) itu pun sangat rawan disalahgunakan.Apalagi mekanisme pertanggung jawaban penggunaan DAU belum jelas. Sebagai dana umat, pertanggungjawaban DAU juga seharusnya kepada umat. Namun, hal itu tidak pernah dilakukan Kemenag. DAU juga seharusnya lebih banyak dimaksimalkan pemanfaatannya untuk perbaikan pelayanan ibadah haji.

    Tetapi, fakta menunjukkan pelayanan ibadah haji dari tahun ke tahun terus menjadi sorotan jamaah. Pertanyaan nya,mengapa di Kemenag yang sejatinya dihuni oleh orang-orang yang berlatar belakang pendidikan agama masih muncul budaya korup sehingga integritasnya dianggap rendah? Salah satu jawaban yang sangat mungkin relevan adalah karena mereka belum sepenuhnya memahami kriteria tindakan yang dapat dikategorikan korupsi. Apalagi modus operandi korupsi sangat bervariasi.

    Di tengahtengah masyarakat praktik korupsi telah disamarkan dengan banyak istilah seperti uang administrasi, uang tip,angpau, uang diam, uang bensin, uang pelicin, uang ketok, uang kopi, uang makan, uang pangkal, uang rokok, uang damai, uang di bawah meja,tahu sama tahu, dan uang lelah. Karena itu, Mochtar Lubis dalam Bunga Rampai Korupsi (1988) menyebut fenomena korupsi sebagai perilaku yang berwajah banyak (multi faces).

    Untuk itulah,Kemenag harus terus berkaca sehingga budaya integritas dapat melekat dalam diri setiap pegawai dan pejabatnya. Jika budaya integritas ini telah tumbuh, pada saatnya kita akan menyaksikan Kemenag benar-benar menjadi departemen “suci”. Kemenag bahkan bisa menjadi pelopor dalam gerakan pemberantasan korupsi dan perwujudan nilai-nilai integritas di negeri ini. Karena itu, jangan menunggu KPK untuk menjadikan Kemenag sebagai institusi yang berintegritas.

  • Antisipasi Terkait Harga BBM

    Antisipasi Terkait Harga BBM
    Purbayu Budi Santosa, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS (FEB) UNDIP
    SUMBER : SUARA MERDEKA, 9 Maret 2012
    KEPUTUSAN pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi per 1 April 2012 mengakhiri dilema terkait dengan berbagai alternatif solusi atas kondisi minyak Indonesia, yang beberapa waktu terakhir ini cukup memprihatinkan. Sebelumnya, ada wacana membatasi BBM bersubsidi untuk golongan tertentu namun tak dapat diterapkan mengingat ketidaksiapan pelaksana. Menurut Dirut Pertamina Karen Agustiawan, saat ini dari 3.062 SPBU di Jawa-Bali baru 2.082 yang memiliki infrastruktur untuk menjual pertamax sehingga untuk merealisasikan gagasan itu harus menyiapkan 687 unit lagi (Tempo, 5-11 Maret 2012).

    Harga minyak internasional akhir-akhir ini naik cukup tajam berkaitan dengan memburuknya hubungan Iran dengan negara Barat dan sekutunya. Harga minyak mentah di pasar internasional hampir 115 dolar AS per barel, jauh melampaui asumsi APBN yang mendasarkan patokan 90 dolar per barel.

    Dengan ICP 90 dolar AS per barel, memberikan harga keekonomian tanpa subsidi sekitar Rp 7.500 (berdasarkan asumsi-asumsi tertentu). Adapun dengan ICP 100 dolar AS per barel memberikan harga keekonomian tanpa subsidi  sekitar Rp 8.000 per liter, ICP 110 dolar AS menghasilkan harga keekonomian sekitar Rp 8.500 per liter, dan kalau naik sampai 120 dolar maka harga keekonomian  tanpa subsidi menjadi sekitar Rp 9.000. Artinya, jika harga minyak internasional naik lebih tinggi lagi, beban subsidi kita makin berat.

    Jika harga BBM naik Rp 1.500 per liter maka dana subsidi yang bisa dihemat Rp 31,58 triliun dan bila naik Rp 2.000 per liter bisa dihemat Rp 25,77 triliun. Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan terkait dengan kenaikan harga minyak, angka inflasi dalam APBN 2012 perlu dikoreksi dari 5,3 persen menjadi 6-7 persen, pertumbuhan ekonomi menjadi 6,5 -6,7 persen, dan defisit anggaran diperkirakan 2,2 persen.

    Siapa pun merasa terpukul dengan kenaikan harga BBM karena akan memicu angka inflasi. Namun perlu juga melihat neraca pembayaran Indonesia, khususnya pos transaksi berjalan impor minyak yang naik cukup besar. Misalnya defisist neraca perdagangan (ekspor-impor) minyak tahun 2009 sebesar 4 miliar dolar AS, tahun 2010 menjadi 8,6 dolar AS miliar, dan 2011 menjadi 16,3 miliar dolar AS.

    Prioritas Rakyat

    Angka defisit dalam impor minyak makin mengkhawatirkan kondisi minyak Indonesia. Hal itu ini disebabkan rendahnya produktivitas minyak kita yang di bawah 950 ribu barel per hari, kalah jauh dari tahun 2000 yang rata-rata 1,4 juta barel. Biar tidak terus defisit perlu mencari daerah baru penghasil minyak, tak hanya mengelola sumur tua yang tingkat produktivitasnya sudah menurun. Begitu juga konversi untuk kendaraan dari BBM ke gas. Peluang pengembangan energi lain juga terbuka lebar, seperti batu bara yang cadangannya melimpah, energi tenaga surya, angin, dan sebagainya.

    Dalam jangka pendek, yang perlu diantisipasi adalah mengawal keputusan pemerintah. Berbagai dampak kelangkaan minyak bersubsidi di berbagai daerah perlu diwaspadai karena biasanya banyak pihak memanfaatkan situasi untuk menimbun BBM. Aparat keamanan perlu bekerja keras bersama masyarakat untuk menutup langkah spekulan.
    Pemerintah sebenarnya sudah menyediakan dana kompensasi Rp 22 triliun bila harga BBM naik Rp 1.500 per liter (SM, 07/03/12). Dana itu dialokasikan untuk empat program yaitu bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), pemberian beasiswa, beras bagi rakyat miskin (raskin), dan kompensasi untuk sektor transportasi. Sepintas program itu terlihat baik tetapi pelaksanaannya bisa berdampak sebaliknya.

    BLSM misalnya, sebagaimana bantuan langsung tunai (BLT) pada masa lalu, berisiko salah sasaran. Sebenarnya yang lebih penting bukan bantuan uang tunai melainkan bagaimana menciptakan peluang kerja di pedesaan. Misalnya melalui proyek padat karya, pelatihan keterampilan bagi penduduk pedesaan guna mencegah urbanisasi. Jangan sampai muncul anggapan BLSM hanya bagi-bagi uang dan bukannya mendidik masyarakat supaya kreatif dan inovatif sebagai ciri penting kewirausahaan.

    Demikian juga, program pemberian beasiswa, jangan sampai salah sasaran, mengingat praktiknya relatif mudah memperoleh surat miskin. Dua program lainnya juga baik, misalnya bantuan raskin (terlepas dari rendahnya daya serap Bulog) dan kompensasi sektor transportasi.

    Jangan sampai semua itu memperlebar jurang perbedaan pendapatan antara si kaya dan si miskin. Perlu kesadaran dari kedua belah pihak untuk bertindak nyata yang bersifat membangun agar ke depan semua anggota masyarakat merasakan kue pembangunan dengan lebih merata. ●
  • Membumikan Indahnya Kebersamaan

    Membumikan Indahnya Kebersamaan
    Aloys Budi Purnomo, ROHANIWAN, BUDAYAWAN INTERRELIGIUS, TINGGAL DI SEMARANG
    SUMBER : SUARA MERDEKA, 9 Maret 2012
    ’’KAMI menghargai para ulama yang ikut mengawal Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final negara Indonesia.’’ Penggalan kalimat ini disampaikan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Ahmad Helmy Faishal Zaini dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar Jamiyah Ahl at-Thoriqoh al-Muktabaroh An-Nahdiyah di Pekalongan, 22 Februari lalu.

    Saya sebagai rohaniwan Katolik, yang kebetulan bertugas sebagai Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang, bersyukur bisa hadir dalam hajatan mulia itu dan duduk bersama undangan lain dari unsur pemerintah di tengah jamaah.

    Kami duduk di karpet yang sama, bersama Menhan Purnomo Yusgiantoro, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, Staf Khusus Presiden Bidang Publikasi dan Dokumentasi Ahmad Yani Basuki, dan Rois Aam Jamiyah Ahl at-Thoriqoh al- Muktabaroh An-Nahdiyah KH Habib Muhammadi Luthfy bin Ali bin Yahya yang sekaligus menjadi tuan rumah yang ramah.

    Apa yang menarik dari peristiwa itu? Habib Luthfy, panggilan akrab KH Habib Muhammadi Luthfy bin Ali bin Yahya, sepanjang acara, setelah para pejabat pemerintah pulang, sementara hajatan mulia masih berlangsung, terus menggenggam tangan saya sambil tak henti-hentinya mengatakan kalimat ini secara berulang, ’’Alangkah indahnya kebersamaan seperti ini, Rama!’’
    Saya pun menjawab mantap, ’’Abah, saya sungguh mengalami kebenaran Islam sebagai rahmatan lil alamin!’’ Beliau makin erat menggenggam tangan saya.
    Bahkan di tengah-tengah lantunan shalawat itu, tak segan-segan, beliau memberikan tisu untuk mengelap wajah saya yang penuh keringat dan memberikan segelas teh yang beliau mintakan dari petugas.

    Tampaknya sederhana, namun sungguh sangat istimewa bagi saya, sebagai potret kebersamaan yang indah secara lintasiman. Saya bukan satu-satunya orang Katolik yang hadir dalam kesempatan itu, sebab saya berjumpa dengan pengurus Gereja Katolik Pekalongan yang juga hadir bersama pastor Paroki Pekalongan Rama Sheko.
    Gerakan akar-rumput kebersamaan untuk mewujudkan kerukunan dan harmoni seperti ini, betapa tidak akan menjadi berkat bagi masyarakat, bangsa, dan negara, bila terjadi di seluruh hamparan Nusantara ini. Kebersamaan yang indah lintas iman, lintas budaya, dan lintas etnis akan menjadi penopang keutuhan NKRI.

    Komunitas Kebangsaan

    Sayang, kita kerap berhadapan dengan realitas sebaliknya, bahkan tak jarang diwarnai tindakan kekerasan, baik secara internal seiman-seagama, maupun secara eksternal terhadap pemeluk agama lain. Kita sadari dengan jujur, kerentanan konflik antaragama, antarbudaya, dan antaretnis merupakan salah satu bom waktu yang bisa meledak tiap saat di negeri ini.

    Saya sependapat dengan Purnomo Yusgiantoro dan Helmy Faishal Zaini pada kesempatan itu, bahwa menjaga NKRI merupakan tanggung jawab semua lapisan bangsa, baik pemerintah, ulama, maupun masyarakat. Secara khusus, kepada ulama, Helmy Faishal berharap agar mereka mendorong pemahaman Islam sebagai agama yang mengajarkan perdamaian untuk membangun persaudaraan antarumat dan antarmanusia, sebab Islam juga mementingkan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah).

    Untuk menjaga keutuhan NKRI, perlu terus-menerus ditingkatkan pentingnya hidup berbangsa dan bermasyarakat sebagai komunitas. Seluruh warga bangsa ini, apa pun agama, budaya, dan sukunya, dari segala macam tempat dan zaman, kendati punya latar belakang dan sejarah berbeda, merupakan bagian dari satu tubuh yang sama, yakni NKRI.
    Makin banyak komunitas yang berwawasan kebangsaan, seperti dalam Jamiyah Ahl at-Thoriqoh al-Muktabaroh An-Nahdiyah di Pekalongan, atau komunitas adat di Kalimantan Tengah yang menolak kehadiran FPI – karena dianggap beraliran garis kerasñ yang kemudian memunculkan wacana gerakan Indonesia Tanpa FPI dan Indonesia Tanpa Kekerasan yang digagas sebagian masyarakat sipil di negeri ini kian memperkuat harapan memperkokoh komunitas kebangsaan untuk menjaga NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945 sebagai pilar hidup berbangsa dan bernegara. ●

  • Menyoal Ketahanan Energi Indonesia

    Menyoal Ketahanan Energi Indonesia
    Abdurrahman Abdullah, ANGGOTA DPR RI, KOMISI VI, FRAKSI PARTAI DEMOKRAT
    SUMBER : KORAN TEMPO, 8 Maret 2012
    Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada April 2012 adalah bagian dari strategi pemerintah untuk menopang pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Alasan utamanya adalah besaran subsidi yang terus membengkak akibat semakin meroketnya harga minyak dunia. Harga minyak dunia (ICP) pada APBN 2012 dipatok US$ 90 per barel, sementara tren kenaikannya sangat tinggi, tren rata-rata harian minyak dunia saat ini adalah US$ 105-110 per barel. Bahkan sangat besar kemungkinan angkanya akan menembus US$ 120 per barel karena dipengaruhi kondisi politik di Timur Tengah yang kurang kondusif.
    Permasalahan kenaikan harga BBM merupakan persoalan rutin negara kita. Hal serupa pernah terjadi pada 2005, di mana pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 32 persen, dan pada 2008, ketika harga naik sangat signifikan sebesar 87 persen. Jika tak ada strategi untuk berdaulat secara energi, permasalahan harga BBM ini akan terus menghantui bangsa pada tahun-tahun berikutnya.
    Importir Neto Minyak
    Permasalahan mendasar ketahanan energi Indonesia adalah tidak mencukupinya produksi minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini menyebabkan pemerintah, melalui anak perusahaan Pertamina (dalam hal ini Petral), harus mengimpor minyak dalam jumlah besar. Tetapi, anehnya, Indonesia juga pada saat yang sama adalah pengekspor minyak. Di sini permasalahannya: kebutuhan nasional terus meningkat, sementara pada saat yang sama produksi nasional terus menurun.
    Secara nasional kebutuhan akan minyak adalah sebesar 1,2 juta barel per hari. Sedangkan target produksi minyak nasional Indonesia pada 2012 adalah sebesar 950 ribu barel per hari. Meskipun meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 900, angka itu masih jauh dari kebutuhan. Ditambah lagi, realisasi produksi minyak sering kali tidak sesuai dengan target. Pada 2011, realisasi produksi minyak hanya menyentuh angka 902 ribu barel. Trennya menurun terus tiap tahun. Penurunan produksi tiap tahun berkisar 3-5 persen. Hal ini meleset dari ketentuan Perpres Nomor 2 Tahun 2012 bahwa ketahanan energi harus ditopang oleh peningkatan produksi minyak dalam negeri. Presiden menargetkan pencapaian produksi minyak bumi nasional paling sedikit rata-rata 1,01 juta barel per hari pada 2014 .
    Permasalahan ditambah lagi dengan kenyataan bahwa produksi minyak dari BUMN Pertamina hanya 195 ribu barel per hari atau hanya 8 persen. Meskipun ada ekstensifikasi dan intensifikasi yang dilakukan Pertamina, paling tinggi hanya mencapai 12-15 persen dari total target produksi. Sisanya atau sekitar 707 ribu barel adalah dari KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama). Dari produksi KKKS tersebut, yang menjadi milik pemerintah adalah 60 persen atau sekitar 619 ribu barel per hari. Sisanya diekspor oleh KKKS yang mayoritas perusahaan asing, lalu dibeli lagi sebagian oleh Indonesia: diekspor lalu diimpor lagi. Maka, pantaslah kalau Indonesia disebut sebagai negara pengimpor neto minyak.
    Atas besaran angka 619 ribu di atas, Pertamina sering mengklaim bahwa produksinya sebesar angka tersebut, padahal angka itu adalah gabungan dari hak pemerintah dari KKKS serta Pertamina sendiri. Di sini terlihat bahwa Pertamina lebih menempatkan diri sebagai brokeratau istilahnya “tukang jahit”, hanya menjahit minyak-minyak dari KKKS dan mendapatkan margin.
    Dari segi jenisnya, Indonesia mestinya berbangga karena minyak mentah Indonesia umumnya termasuk dalam jenis light crude(dengan API 31 ke atas) dan mengandung sulfur yang rendah. Jenis minyak mentah yang bagus secara kualitas. Tetapi, karena bagus, maka oleh KKKS diekspor. Untuk di Indonesia sendiri umumnya yang digunakan adalah minyak mentah Duri kualitas rendah (API 21) milik Chevron, dicampur dengan jenis Saudi Light (API 32) yang diimpor.
    Indonesia juga bukan hanya pengimpor neto minyak mentah, namun sekaligus pengimpor minyak olahan. Bahkan Premium pun masih diimpor. Dari data Pertamina, kebutuhan nasional premium adalah 24,9 juta KL. Adapun produksi dari kilang pengolahan sebesar 10,69 KL (43 persen), sisanya dari impor sebesar 14,21 KL (57 persen).
    Kedaulatan Energi
    Dari data dan fakta di atas, ketahanan energi rupanya masih sebatas pengertian “bagaimana mencukupi kebutuhan minyak”, meskipun risikonya harus menjadi negara pengimpor neto minyak, padahal sumber daya alam kita sesungguhnya mampu memberdayakan sendiri bangsa ini tanpa ketergantungan yang tinggi pada minyak impor.
    Presiden RI dalam pidatonya pada Hari Kebangkitan Nasional pernah menegaskan agar meninjau kembali kontrak kerja sama yang dilakukan dengan asing untuk kepentingan bangsa yang lebih luas. Kaitannya dengan masalah energi, hal ini memberikan sinyalemen bahwa harus ada upaya dari kementerian terkait untuk meninjau kembali kesepakatan-kesepakatan dalam masalah pertambangan minyak, di mana misi utamanya adalah agar Indonesia secara pelan tapi pasti dapat mewujudkan cita-citanya sebagai negara yang berdaulat dalam energi.
    Selain itu, Pertamina harus mempersiapkan diri sebagai perusahaan yang benar-benar tangguh, bukan hanya perusahaan “penjahit” minyak, baik dari segi teknologi, manajerial, SDM, dan lainnya. Tak kalah penting adalah membangun pengolahan-pengolahan minyak baru agar kegiatan impor minyak olahan dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan, digantikan dengan mengolah sendiri. Premium yang diimpor sebesar 57 persen jika diolah di unit pengolahan sendiri berpengaruh terhadap harga jual. Jika dikelola secara benar akan dihasilkan harga jual yang lebih rendah. Hal ini pun dapat memberikan multiplier effects yang lebih positif terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan kinerja perusahaan.
    Langkah di atas perlu ditempuh, tetapi harus diingat juga bukan sebagai langkah “anti-asing”. Investor asing sudah banyak menanamkan modalnya di bidang perminyakan nasional. Ini pun harus tetap dijaga, tetapi porsinya lebih diutamakan untuk kepentingan dalam negeri (domestic market obligation).
    Masih terkait dengan hal di atas, ada wacana akhir-akhir ini mengenai pembubaran Petral (Pertamina Energy Trading Limited), anak perusahaan PT Pertamina (Persero) yang menangani impor minyak dan berkantor di Singapura. Petral memiliki 53 rekanan impor minyak mentah, di antaranya BP, Shell, Chevron, ExxonMobil, StatOil, Total Trading, PTT Thailand, Itochu, dan lainnya. Selain masalah kantor di Singapura, juga dipermasalahkan mengenai peran strategisnya.
    Pajak PPh memang lebih murah di Singapura sebesar 5 persen, karena Petral mendapatkan keringanan setelah memperoleh sertifikat Approved Oil Trading Firm. Tetapi hal ini bukan satu-satunya alasan. Pertamina dan semua anak perusahaannya harus diarahkan pada paradigma di atas, bukan diarahkan sebagai perusahaan “penjahit” atau broker minyak, melainkan sebagai perusahaan BUMN yang memiliki tugas mendukung kepentingan bangsa yang lebih besar, khususnya di bidang energi. ●
  • Optimalisasi Peran Perempuan di Parlemen dalam Pencapaian Target MDGs 2015

    Optimalisasi Peran Perempuan di Parlemen dalam Pencapaian Target MDGs 2015
    GKR Hemas, ANGGOTA DPD, KETUA KAUKUS PEREMPUAN PARLEMEN DPD RI
    SUMBER : SINAR HARAPAN, 8 Maret 2012
    Mr Milorad Kovacevic, Chief Statistician For Human Development Report, mewakili UNDP pada 3 November 2011 mengumumkan peringkat Human Development Index (HDI). Kriteria untuk menetapkan HDI adalah pemerataan pendidikan, kesehatan, dan pendapatan di dalam negeri.  
    Pada 2011 ada perubahan jumlah negara yang berhasil didata. Tahun 2010 tersedia data dari 182 negara anggota PBB, tahun 2011 meningkat menjadi 187 negara, termasuk yang baru didata adalah negara-negara kepulauan kecil di Karibia dan Pasifik. Ada beberapa negara maju terpental dari daftar 10 terbaik, sementara posisi terbawah diduduki Kongo, Nigeria, dan Burundi.
    Hal yang mengejutkan justru peringkat Indonesia anjlok dari posisi ke 111/182 negara di tahun 2010 ke posisi 124/187 negara pada 2011. Angka HDI Indonesia 0,617 bahkan kini berada di bawah rata-rata regional Asia 0,671.  Penyebabnya terutama datarnya angka pendidikan selama 2010-2011 dan Angka Kematian Ibu (AKI) yang masih tertinggi di ASEAN.
    Kondisi itu harus menjadi refleksi buat kita, apalagi jika dikaitkan dengan 11 tahun pelaksanaan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) sebagai kesepakatan global  KTT Millenium PBB pada September 2000, yang diikuti 189 negara anggota PBB, termasuk Indonesia.
    Dalam MDGs sebenarnya Indonesia punya posisi penting, yang ditunjukkan dengan penunjukan Erna Witoelar sebagai utusan khusus Sekjen PBB untuk MDGs Asia Pasifik periode 2003-2007.  
    Sebagai kesepakatan internasional, MDGs dimaksud sebagai upaya menghapus kelaparan dan kemiskinan di dunia, yang mencapai delapan tujuan:
    memberantas kemiskinan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV AIDS, memastikan pelestarian lingkungan hidup, dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
    Kedelapan tujuan tersebut terkait erat dengan kepentingan perempuan.  Oleh karena itu, tak heran jika MDGs menjadi advokasi isu perempuan.
    Selain menggunakan HDI sebagai landasan fakta maka ada istilah advokasi three in one, yakni CEDAW sebagai landasan hukum, Beijing Platform For Action (BPFA) dengan 12 landasan aksi sebagai landasan operasional, dan MDGs dengan target tahun 2015 sebagai tujuan.
    Ancaman Kegagalan
    Oleh karena itu, gerakan perempuan, di antaranya Pokja Peningkatan Keterwakilan Perempuan dan Partnership (Kemitraan) sangat gencar mensosialisasikan MDGs dengan menggunakannya sebagai materi penting dalam pelatihan bagi para caleg perempuan di tingkat nasional dan daerah masa Pemilu 2009.  
    Selanjutnya partnership membuat buku manual MDGs untuk parlemen di pusat dan daerah yang disertai dengan workshop dan pelatihan, khususnya bagi anggota legislatif perempuan di tingkat nasional dan provinsi. Buku ini juga banyak disosialisasikan melalui diskusi atas kerja sama dengan berbagai pihak di seluruh Indonesia. 
    Namun demikian, harus diakui ada ancaman kegagalan dalam pelaksanaan MDGs di Indonesia yang sudah terbukti memengaruhi posisi HDI Indonesia saat ini.
    Dalam laporan regional pencapaian MGDs Asia Pasifik yang dibuat bersama Asian Development Bank (ADB) dengan UNDP dan UNESCAP (United Nation Economic and Social Commission for Asia and the Pacific) bahkan menempatkan posisi Indonesia pada peringkat terburuk negara-negara yang terancam gagal dalam mencapai target MDGs pada 2015 bersama Bangladesh, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, dan Filipina.
    Kenyataan itu harus diterima sebagai realitas dan tantangan. Harus juga disadari bahwa jumlah keterwakilan perempuan di parlemen relatif rendah, ditambah pengalaman berpolitik yang sangat berbeda dengan para politikus laki-laki.
    Patut pula dicermati apakah sosialisasi MDGs di parlemen sudah merata? Terakhir, harus ada evaluasi menyeluruh sejauh mana sinergi bersama dalam pemerintahan ketika menggunakan MDGs sebagai landasan target ketika menyusun  anggaran.
    Tinggal Empat Tahun
    Berbagai pertanyaan itu penting untuk mengevaluasi langkah kita ke depan untuk menggunakan empat tahun terakhir dalam mengejar target pencapaian MDGs pada 2015.
    Terkait dengan perbedaan pengalaman berpolitik dan minimnya keterwakilan perempuan di parlemen, salah satu solusi utama adalah memperkuat organisasi/jaringan perempuan parlemen seluruh Indonesia.  
    Saat ini sudah ada Kaukus Perempuan Parlemen di DPD dan DPR, dan beberapa di tingkat DPRD provinsi/kabupaten/kota. Namun, itu tak cukup. Harus ada keseriusan dalam memperluas jaringan sampai ke seluruh provinsi dan kabupaten/kota.
    Penguatan organisasi akan sangat penting dalam mengefektifkan komunikasi dan orientasi bersama para anggota legislatif perempuan ketika memengaruhi proses menyusun kebijakan, anggaran dan pengawasan.  
    Dengan jaringan yang kuat maka akan memudahkan reposisi anggota parlemen perempuan dalam menentukan kebijakan yang diharapkan mempunyai nilai kesetaraan dan keadilan gender, di antaranya sangat erat dengan target MDGs tahun 2015.
    Terkait dengan itu, pada 2009-2010 Kaukus Perempuan Politik (KPP) DPD bekerja sama dengan KPP DPR sudah mengadakan pertemuan dengan jaringan perempuan parlemen di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang dibagi dalam tiga workshop di Indonesia Barat (Medan), Indonesia Tengah (Pontianak) dan Indonesia Timur (Ambon), dengan melibatkan para anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota.
    Hasilnya, disepakati untuk mendorong pembentukan kaukus perempuan parlemen tingkat provinsi/kabupaten/kota dan menggagas pertemuan nasional, mengulang peristiwa sejenis pada 2007 di Jakarta.
    Susun Strategi  
    Jaringan KPP se-Indonesia digelar bertepatan dengan memperingati hari perempuan internasional pada 8 Maret 2012.
    Pertemuan itu untuk lebih memperkuat jejaring dan komunikasi antaranggota perempuan parlemen dalam akhir periode ini sekaligus membuat strategi dalam peningkatan keterwakilan dalam Pemilu 2014. Untuk itu materi MDGs menjadi bagian dalam sesi penguatan orientasi bersama dan strategi advokasi para anggota parlemen perempuan.
    Saat ini, KPP sudah ada di 18 provinsi dan 15 provinsi lainnya sedang  membentuk. Diharapkan pada saat pertemuan semua KPP provinsi sudah terbentuk, demi memudahkan pelaksanaan rencana tindak lanjut dari hasil pertemuan nasional mendatang.  
    Pertemuan nasional ini diharapkan akan menjadi momen penting memperkuat orientasi perempuan parlemen dalam mendorong kemajuan Indonesia dalam memperjuangkan dan mengimplementasikan kebijakan, anggaran dan monitoring pembangunan.
    Namun demikian, optimalisasi peran perempuan di parlemen tidaklah cukup karena harus seiring dengan kesadaran dan komitmen pihak lainnya di parlemen dan pemerintahan.
    Akhirnya, dalam kondisi apa pun kita semua harus terus berusaha membangun optimisme. Semoga realitas HDI Indonesia dan target MDGs 2015 dapat dijadikan landasan kuat dalam mengajak semua unsur pemerintahan bisa lebih baik dalam bersinergi memajukan bangsa. ●
  • Dhana, Saya, dan Mafia Pajak (605)

    Dhana, Saya, dan Mafia Pajak
    Heri Prabowo, BEKAS NARAPIDANA PENGGELAPAN PAJAK
    SUMBER : KOMPAS, 8 Maret 2012
    Nama Dhana Widyatmika sebagai pegawai negeri sipil pajak pemilik rekening gendut telah mengguncang Indonesia.
    Saya terkejut. Nama teman sekelas saya di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) angkatan 1993 diberitakan berbagai media massa. Mungkin Dhana merasakan hal serupa pada Mei 2005 ketika saya diberitakan dalam kasus mafia pajak: faktur pajak fiktif di Surabaya oleh Alfian dan kawan-kawan.
    Seingat saya, Dhana anak baik. Dari kalangan berada, tetapi tak sombong. Kadang ia terlambat masuk kuliah demi mengantar ibunya yang berobat jalan saban pekan. Selama berdinas di kantor pajak, saya tak pernah dengar berita negatif tentang Dhana. Saya, Dhana, dan sesama mahasiswa STAN mendapat pendidikan gratis dan berkualitas. Kami dididik jadi pegawai pajak berintegritas. Toh, tak sedikit alumni STAN, seperti saya dan Gayus Tambunan, akhirnya terjerumus dalam lingkup mafia pajak.
    Saya tak kenal Gayus, tetapi kenal sejumlah orang ”top” di mafia pajak atau mereka yang diduga masuk lingkup mafia pajak. Saya mulai dari Delip V yang bikin heboh karena vonis bebasnya di Pengadilan Negeri Surabaya dalam kasus restitusi pajak fiktif. Kami bertemu di Rumah Tahanan Medaeng, Sidoarjo, karena Delip akhirnya divonis MA dua tahun penjara.
    Lalu Siswanto, tukang bersih-bersih kantor pajak, dan Suhertanto, juru sita kantor pajak, yang terjerat kasus penggelapan pajak senilai Rp 300 miliar. Mereka pernah sekantor dengan saya. Terakhir Pulung Sukarno yang kini ditahan Kejaksaan Agung karena penyimpangan pengadaan sistem teknologi informasi (TI).
    Watak mereka berbeda-beda. Ada yang baik, alim, dan ”nakal”. Jadi, masuk ke lingkup mafia pajak tak berkaitan dengan watak seseorang. Mafia pajak terbentuk karena budaya dan sistem. Budaya korupsi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selama puluhan tahun telah membentuk jaringan mafia pajak yang kuat mapan. Apalagi, sebelum reformasi, pemberantas korupsi nyaris tak bergigi. Istilah nego atau all in (wajib pajak kasih uang pajak dan suap dalam satu paket) sudah kaprah di kantor pajak.
    Maka, tak salah jika pada 2007 pemerintah mereformasi birokrasi DJP. Di awal hasil reformasi sangat menggembirakan. Berdasarkan survei Transparency International 2007, kantor pajak tak masuk lagi sebagai instansi yang dipersepsikan terkorup.
    Apakah mafia pajak yang telah beroperasi puluhan tahun dengan hasil miliaran rupiah langsung bubar hanya karena gajinya jadi belasan hingga puluhan juta? Mereka tiarap sejenak cari celah. Yang bertobat hanya yang masuk lingkup mafia pajak karena ikut-ikutan dan gaji pas-pasan. Pengawasan yang mulai ketat dan berkurangnya kawula mafia pajak justru menaikkan tarif kawula mafia pajak. Jangan kaget, muncul kasus Dhana dan Gayus setelah reformasi DJP.
    Masih Eksis
    Ada lima penyebab mengapa mafia pajak masih eksis. Pertama, kekuasaan besar. Lingkup kekuasaan DJP tak hanya menetapkan pajak, tetapi juga mengadili sengketa pajak dalam proses keberatan, menyita aset wajib pajak (WP), memblokir rekening bank, menyidik tindak pidana pajak, minta pencekalan WP hingga menahan WP (penyanderaan). Ungkapan ”kekuasaan cenderung korup” berlaku mutlak.
    Kedua, banyaknya hubungan kekerabatan antarsesama karyawan di DJP. Ini tak lazim di institusi keuangan, karena kekerabatan mendorong persekongkolan, dan persekongkolan sulit dideteksi. Ketiga, lemahnya pengawasan internal di DJP. Kasus Gayus jadi bukti. Jangankan investigasi, DJP baru menskors Gayus setelah kasus mencuat di media massa. Padahal, sesuai Pasal 2 PP 4/1966 tentang pemberhentian sementara PNS, Gayus seharusnya diskors sejak jadi tersangka dalam kasus pertama saat dia pernah divonis bebas.
    Keempat, rendahnya target pajak. Dalam RAPBN 2012 rasio pajak ditetapkan 12,72 persen dari PDB. Angka ini jauh di bawah rata-rata ASEAN yang berkisar 15-20 persen. Kelima, adanya wilayah abu-abu. Sesuai Pasal 23A UUD 1945, semua pajak dan pungutan lain yang bersifat memak- sa untuk keperluan negara harus diatur dengan UU. Namun, dalam UU Pajak, selain obyek pajak, yang bukan obyek pajak pun ditentukan. Asal tahu saja, transaksi di luar obyek dan non-obyek adalah wilayah abu-abu yang berpotensi jadi sumber korupsi. Apalagi, ada seloroh bahwa UU Pajak Indonesia merupakan UU perpajakan paling tipis di dunia.
    Modus Korupsi
    Sebelum reformasi, kantor pajak tak hanya dianggap sebagai sarang koruptor, tetapi juga dianggap momok oleh masyarakat. Ini karena WP kerap diperas oleh aparatur pajak, misalnya dalam pemeriksaan atau pengurusan pengembalian kelebihan pajak atau restitusi. WP ditakut-takuti dengan ”perhitungan” pajak yang tak masuk akal. Masalah ini cukup teratasi sebab setelah reformasi birokrasi, diadakan jabatan account representative (AR), mirip konsultan pajak, yang bertugas membantu WP. WP tak usah pusing berurusan dengan banyak pihak di kantor pajak. Cukup dengan AR.
    Target penerimaan pajak setiap kantor pajak dibagi kepada setiap AR. Maka, AR jadi tulang punggung kantor pajak hingga dijuluki ”ahli rekoso”. DJP pun memberi wewenang besar kepada AR, mulai dari meneliti laporan pajak, konseling, kunjungan kerja ke WP, hingga mengusulkan pemeriksaan khusus.
    Akses besar kepada WP, sistem TI DJP yang canggih, dan pasokan data keuangan dari banyak instansi membuat AR mudah mendeteksi jika ada laporan pajak yang tak benar. Apakah AR meminta WP membetulkan laporan atau AR justru membantu WP ”membetulkan” laporan pajak untuk melakukan penghindaran/penggelapan pajak dengan memanfaatkan celah aturan yang ada atau memanipulasi laporan keuangan WP sehingga laporan pajak seolah telah benar lalu AR dapat imbalan, itu perkara lain.
    Dengan budaya korupsi yang masih kental, kemungkinan AR melakukan penyimpangan sangat besar. Apalagi, jika AR dibebani target pajak yang rendah. Godaan kian besar bagi AR ketika menangani WP besar yang membayar pajak triliunan rupiah. Dengan mudah AR meraup puluhan miliar dengan menawarkan jasa utak-atik laporan pajak. Apakah Dhana juga mempraktikkan ini mengingat dia pernah jadi AR di KPP WP Besar? Pengadilanlah yang membuktikan ini semua.
    Kalaupun ternyata AR tak melakukan penyimpangan dan mengusulkan WP diperiksa, peluang korupsi masih ada. Dalam pemeriksaan, bahkan hingga penyidikan, bisa terjadi negosiasi antara WP dan pemeriksa/penyidik pajak. Praktik ini sudah terjadi sebelum reformasi birokrasi.
    Peluang negosiasi terhambat jika AR berani menghambat. Namun, toh, jalan untuk menilep pajak masih ada jika WP mengajukan keberatan. Negosiasi dengan penelaah keberatan (PK) bisa terjadi. Negosiasi bisa berlanjut bila WP mengajukan banding atas putusan keberatan.
    PK bisa memberi ”bantuan” agar DJP kalah dalam persidangan. Bantuan itu bisa berwujud mengonsep surat banding untuk WP, membuat lemah argumen dalam memori banding lalu membocorkannya ke WP, dan terakhir PK sengaja tak mengajukan permohonan peninjauan kembali ke MA atas kekalahan DJP dalam banding. Kebijakan DJP yang membatasi wewenang penyelesaian keberatan di kantor wilayah berakibat menumpuknya kasus keberatan di kantor pusat. Dengan demikian, pengawasan sulit dilakukan.
    Maka, petugas PK di kantor pusat yang nakal bisa mengumpulkan banyak uang suap. Adakah keterlibatan atasan mereka? Bisa ya bisa tidak. Pejabat pajak bisa saja ikut mengamankan laporan pajak buatan AR. Dengan bantuan staf TI pajak yang nakal, data perpajakan di pangkalan data DJP bisa ”disesuaikan” dengan data laporan pajak yang tak benar. Keterlibatan pejabat pajak tampak nyata jika korupsi ada di pemeriksaan atau keberatan sebab atasan PK atau pemeriksa ikut menelaah hasil keberatan atau pemeriksaan.
    Modus korupsi yang dilakukan AR atau PK bukan hal baru di DJP. Jadi, sulit membantah bahwa pejabat pajak tak tahu. Jauh sebelum reformasi birokrasi, banyak petugas hingga pejabat pajak berlaku seperti konsultan pajak. Mereka tak hanya ”mengutak-atik” laporan pajak, tetapi bahkan mengintervensi pemeriksaan, keberatan, hingga banding. Mereka disebut pawang pajak. Karena tak punya jabatan AR atau PK, pawang pajak tak bisa pasang tarif tinggi. Jadi, korupsi yang ada di DJP saat ini hanya beda kemasan dan tarif.
    Tak adanya pembersihan mafia pajak secara menyeluruh dalam reformasi birokrasi berakibat adanya pejabat pajak yang tutup mata atas penyimpangan ini selama penyimpangan itu tak melibatkannya. Soalnya, sang pejabat pajak sudah kaya raya dari hasil korupsi sebelumnya. Dia sungkan jadi maling teriak maling. Prinsip yang penting target pajak tercapai dan tetap bergaji besar sering jadi pegangan.
    Mafia pajak seharusnya menjadi sejarah jika reformasi birokrasi DJP berhasil. Banyak pihak berharap kinerja aparat pajak bagus agar pendapatan negara meningkat. Bayangkan jika nisbah pajak Indonesia mencapai 20 persen. Kita tak perlu bingung dengan subsidi BBM. Semoga DJP bisa memperbaiki diri. ●
  • Indonesia, Maju dan Sejahtera…

    Indonesia, Maju dan Sejahtera…
    Siswono Yudo Husodo, KETUA YAYASAN PEMBINA UNIVERSITAS PANCASILA
    SUMBER : KOMPAS, 8 Maret 2012
    Dengan segala kekurangan yang ada, kita patut bersyukur produk domestik bruto Indonesia tumbuh signifikan dari Rp 1.846 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp 7.031 triliun pada tahun 2011. Kondisi ini menjadikan besaran ekonomi Indonesia (menurut Forum Ekonomi Dunia 2011) berada di peringkat ke-18 dunia, naik dari peringkat ke-20 pada 2000. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia melewati Polandia dan Swiss.
    Cadangan devisa yang pada 2006 baru 42,6 miliar dollar AS melonjak hampir 3 kali menjadi sekitar 110 miliar dollar AS pada awal 2012. Ekspor terus meningkat menjadi sekitar 208 miliar dollar AS pada tahun 2011.
    Penghitungan BPS, 2011, produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia 3.542 dollar AS, lebih tinggi daripada India yang menurut Bank Dunia 1.340 dollar AS. Bank Dunia menyatakan, jumlah kelas menengah Indonesia meningkat dari 25 persen populasi pada 1999 menjadi 56,5 persen pada 2010. Menurut riset Standard Chartered Bank, jumlah orang sangat mapan Indonesia (berpenghasilan Rp 240 juta atau investasi Rp 150 juta per tahun) sekitar 4 juta orang, mengalahkan Korea Selatan yang hanya 3,2 juta orang. Ini juga menggambarkan besarnya ketimpangan kesejahteraan warga kita.
    Optimisme Harus Dibangun
    Pada masa krisis ekonomi 2008-2009 dan di tengah kemerosotan ekonomi global 2010, Indonesia merupakan satu dari tiga negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.
    Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 10 tahun terakhir 4,5-6,6 persen. Ada potensi menjadi di atas 7 persen melalui penambahan defisit anggaran belanja negara sekitar 0,4 persen serta meningkatkan bagian pendapatan negara dari pertambangan—khususnya batubara, tembaga, dan emas—dan mengurangi subsidi guna meningkatkan pembangunan infrastruktur serta menurunkan bunga pinjaman bank sampai 3 persen di atas SBI untuk merangsang dunia usaha. Indonesia bisa mencapai hal itu dan kita pernah mengalaminya selama tiga dasawarsa pada masa Orde Baru.
    Dengan pertumbuhan ekonomi 7 persen per tahun, PDB per kapita kita berlipat dua setiap 10 tahun. Jika itu terjadi, satu generasi dari sekarang (2037), PDB per kapita per tahun Indonesia akan di atas 18.000 dollar AS, berstatus negara maju dan sejahtera dengan jumlah penduduk lebih 370 juta jiwa. Ini sekaligus akan menjadikan ekonomi Indonesia—menurut studi Citibank—di peringkat ketujuh dunia setelah China, AS, India, Jepang, Jerman, dan Rusia.
    Optimisme ini juga wajar karena sejak Desember 2011, Indonesia mendapatkan kembali status investment grade yang lepas sejak akhir 1997. Status layak investasi itu kondusif untuk perekonomian nasional karena akan terjadi kenaikan arus modal asing berbentuk investasi asing langsung (FDI) secara signifikan.
    China yang meraih status investment grade tahun 1992 menikmati lonjakan aliran investasi asing dari 11,1 miliar dollar AS pada tahun 1992 menjadi 57,8 miliar dollar AS pada 1993 dan menjadi 115 miliar dollar AS pada 2011. Begitu juga India. Sejak meraih status investment grade tahun 2007, arus modal asing ke India melonjak rata-rata 30 miliar dollar AS per tahun. Brasil yang meraih investment grade pada 2008 mengalami peningkatan pemasukan modal asing rata-rata 40 miliar dollar AS per tahun.
    Lonjakan arus modal asing masuk ke Indonesia sudah didepan mata. Selayaknya kita memanfaatkan peluang yang ada ini untuk meraih kemajuan bangsa dan negara di berbagai bidang, utamanya meningkatkan kapasitas nasional.
    Tingginya aliran investasi dari luar adalah positif selama dikelola dengan benar. Artinya, kita tidak sekadar menyediakan tempat bagi produksi barang yang dijual di dalam negeri ataupun diekspor, tetapi warga negaranya hanya jadi buruh yang dibayar murah. Yang perlu dilakukan terutama meningkatkan jumlah dan kemampuan pelaku usaha dan kapasitas warga yang terbentuk dari arus modal masuk itu. Kodeco, milik Korea, menambang batubara di Kalimantan, dikirim ke Korea juga dengan kapal Korea. Begitu pula CNOOC, perusahaan migas China.
    Korea Selatan, India, dan China memiliki strategi jangka panjang yang konsisten dilaksanakan menuju kemandiriannya dengan memanfaatkan modal asing dan kerja sama antarnegara untuk memperbesar kapasitas nasionalnya. Porsi kepemilikan nasional yang proporsional dalam ekonomi sebuah negara amat penting untuk menjaga kestabilan sosial politik masyarakat yang amat diperlukan untuk membuat semua investasi (domestik dan asing) dapat tumbuh optimal.
    Di Meksiko, aktivitas pengusaha asing telah mengurangi ruang kreativitas ekonomi 
    warganya untuk berkembang. Bahkan, menghasilkan kerawanan sosial politik karena aktivitas kriminal warga yang frustrasi.
    Di perbankan China, asing hanya boleh memiliki kurang dari 15 persen, sementara Indonesia bisa mencapai 99 persen. Dulu, Aqua, kecap Bango, kecap ABC, BCA, dan Bank Niaga milik pengusaha nasional. Sekarang tidak lagi. Perspektif ini perlu dibangun dalam ekonomi nasional.
    Membesarnya kelas menengah Indonesia harus direspons dengan melahirkan dan membesarkan industri milik warga negara kita. Kelengahan mengantisipasi peningkatan jumlah kelas menengah telah meningkatkan impor berbagai barang dan jasa secara luar biasa, mulai dari pangan, seperti buah-buahan dan daging, hingga telepon seluler, mobil, dan fashion.
    Industrialisasi dan modernisasi pertanian/perikanan dalam negeri guna melayani pasar dalam negeri yang membesar dan industrialisasi produk hilir tambang di dalam negeri diperlukan untuk menjadi negara maju dan sejahtera dalam satu generasi kedepan pada tahun 2037.
    Dekadensi Moral
    Dalam optimisme dan kebahagiaan saya menerawang masa depan kejayaan Indonesia tercinta, sulit meniadakan kekhawatiran tentang tak akan terwujudnya harapan itu jika melihat dekadensi moral yang meluas berupa korupsi, suap, dan politik transaksional. Belum lagi penyalahgunaan wewenang, melebarnya kesenjangan, anarki, merosotnya toleransi, bentrokan horizontal dan vertikal, separatisme, serta semangat kemandirian yang merosot tajam.
    Sebagai suatu negara-bangsa, tingkat ketergantungan kita kepada asing untuk hal-hal yang sesungguhnya dapat kita penuhi sudah terlalu besar. Taruhlah seperti impor pangan, kepemilikan asing di perbankan, perkebunan, industri makanan, pertambangan, dan telekomunikasi yang terus meningkat. Kita cenderung memilih solusi instan yang untuk jangka panjang merugikan kepentingan negara dan bangsa. Juga menghambat peningkatan kapasitas nasional.
    Semoga semua unsur negara-bangsa ini—pemerintah serta lembaga-lembaga negara lain, partai politik, lembaga pendidikan, para profesional, TNI/Polri, dunia usaha, buruh, tani, nelayan, dan masyarakat luas—menyadari peluang emas yang ada di depan kita dan dengan mantap bergerak maju meniadakan setiap rintangan yang ada. Semoga! ●
  • Otoritas Jasa Keuangan (185)

    Otoritas Jasa Keuangan
    Anwar Nasution, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI UI
    SUMBER : KOMPAS, 8 Maret 2012
    Setelah lama ditunggu dan dua tahun tertunda, akhirnya Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan disetujui oleh DPR. Kini, pemerintah tengah memilih komisionernya dan setelah itu diharapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa mulai beroperasi. Menurut Ayat (2) Pasal 34 UU BI Tahun 2004, OJK seharusnya berdiri selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Penyatuan semua lembaga yang mengatur dan mengawasi lembaga keuangan (BI dan Bapepam-LK) diharapkan dapat memberikan perlakuan sama bagi semua jenis industri keuangan dan semua bentuk hukum kepemilikannya (negara, koperasi, serta swasta nasional dan asing). Penyatuan itu sekaligus diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan mengatasi keterbatasan tenaga profesional serta memudahkan koordinasi antarlembaga yang selama ini berdiri sendiri.
    Pendirian OJK bagian dari program IMF, 1997-2003, untuk meningkatkan standar acuan serta mutu pengaturan dan pemeriksaan serta pengawasan lembaga-lembaga keuangan, terutama industri perbankan, di Indonesia. Buruknya mutu pemeriksaan atas lembaga keuangan itu tecermin dari krisis keuangan 1997-1998 yang sangat mahal biayanya bagi perekonomian nasional. Pemeriksaan dan pengawasan lembaga keuangan tersebut tak mampu mendeteksi potensi krisis.
    Setelah BLBI, terus terjadi krisis lanjutan, termasuk kasus Bank Bali (1998) dan Bank Century (2008). Keterkaitan kegiatan PT Antaboga Delta Sekuritas, PT Century Mega Investindo, dan PT Century Super Investindo dengan PT Bank Century yang tak terpantau Bapepam-LK dan BI menggambarkan kurangnya koordinasi dan pertukaran informasi antar-kedua lembaga pengawas. Ketiga perusahaan reksa dana dan sekuritas itu dimiliki pemilik Bank Century dan digunakan untuk merongrong bank ini. Belakangan terungkap, perusahaan itu tak punya surat izin operasi dari Bapepam-LK.
    Pengalaman di sejumlah negara, integrasi seluruh lembaga pengatur dan pengawas lembaga keuangan perlu 3-5 tahun. Di Indonesia, integrasi BI dengan Bapepam-LK mungkin bisa lebih cepat karena dilihat dari nilai aktiva dan jumlah kantor cabang. Bank adalah inti industri keuangan Indonesia. Lembaga keuangan non-bank, seperti reksa dana, asuransi, dan dana pensiun, memang tumbuh dengan cepat dari tahap awal yang sangat rendah. Lembaga keuangan non-bank yang tumbuh pesat adalah perusahaan asing, seperti Schroders, Manulife, AIA, dan Allianz.
    Pro-Kontra Penyatuan
    Penyatuan lembaga-lembaga pemeriksa keuangan dalam satu badan mengandung lima manfaat dan sekaligus potensi permasalahannya. Manfaat pertama, efisiensi karena besarnya skala organisasi lembaga yang disatukan. Kedua, menekan biaya dengan memanfaatkan skala ekonomi. Ketiga, meningkatkan akuntabilitas. Keempat, meniadakan persaingan antarlembaga pemeriksa dan meniadakan duplikasi pekerjaan. Kelima, memudahkan kesamaan perlakuan dalam pengaturan dan pengawasan atas semua industri keuangan.
    Di lain pihak ada potensi permasalahan penyatuan lembaga pemeriksa lembaga keuangan dalam satu badan. Pertama, jika tujuan pendirian tak jelas, lembaga yang menyatu ini kurang efektif dibandingkan dengan lembaga supervisi yang terpisah. Kedua, biayanya justru sangat mahal jika organisasi terlalu besar. Di Singapura, pengaturan dan pengawasan seluruh lembaga keuangan di tangan Monetary Authority of Singapore (MAS) yang didirikan 1984. Jumlah personel MAS jauh lebih sedikit dan struktur organisasi jauh lebih sederhana dibandingkan dengan kedua lembaga pengawas Indonesia itu. Padahal, jumlah lembaga keuangan di Singapura jauh lebih banyak dan kegiatan jauh lebih kompleks.
    Potensi masalah ketiga, adanya aji mumpung (moral hazard) jika sasaran tak dikomunikasikan dengan jelas. Keempat, proses integrasi dapat memicu politisasi atau masuknya kepentingan tertentu dalam kerangka pengaturan dan pengawasan industri keuangan yang pada hakikatnya bersifat teknis. Politisasi semakin dimungkinkan jika sebagian komisioner OJK berasal dari kalangan anggota DPR yang tak menguasai masalah teknis. Potensi masalah kelima, kemungkinan kehilangan staf inti jika proses integrasi tak dapat dikendalikan dengan baik. Pemeriksa dan pengawas bank dari BI enggan pindah ke OJK karena masalah gaji, perumahan, dan manfaat lain lebih besar di BI daripada di instansi pemerintah lain.
    Pola Inggris versus Amerika
    Program IMF 1997-2003 mendesain OJK menurut model Financial Services Authority (FSA)yang diintroduksi di Inggris 1997. FSA merupakan lembaga independen yang terpisah dari bank sentral dan departemen keuangan. Setelah berpindahnya fungsi pengawasan dan pemeriksaan bank ke OJK, bank sentral dapat memusatkan perhatiannya pada pengaturan masalah moneter dan ekonomi makro. Bank sentral memeriksa bank hanya berkaitan dengan penggunaan kreditnya oleh bank penerima kredit.
    Karena dua alasan, setelah krisis keuangan global 2008, muncul gagasan baru menyatukan pengawasan dan pemeriksaan semua lembaga keuangan di tangan bank sentral. Karena menimbulkan dampak besar, beberapa perusahaan non-keuangan yang merupakan nasabah besar lembaga-lembaga keuangan (seperti General Motors) tak luput dari pengawasan the Federal Reserve, bank sentral AS.
    Alasan pertama, ternyata FSA Inggris pun tak dapat mendeteksi kondisi keuangan the Northen Rock, bank penyedia kredit perumahan skala kecil yang menempatkan dananya dalam porsi cukup besar di subprime mortgages yang menjadi masalah di AS. Pemerintah Inggris terpaksa mengambil alih saham bank itu untuk menyelamatkannya. Alasan kedua, dan terpenting, untuk memudahkan penyaluran dana dalam rangka lender of last resort dan quantitative easing guna mengatasi kekeringan likuiditas di pasar uang nasional dan internasional di tengah berlangsungnya krisis.
    OJK diharapkan dapat menyiapkan industri perbankan nasional agar mampu jadi pelaku global. Untuk itu, OJK dapat membantu bank-bank negara (termasuk BPD) meningkatkan mutu personel, memodernisasi sistem dan mengubah cara kerja agar dapat menyamai Development Bank of Singapore. Kelompok bank negara tetap inti industri perbankan Indonesia.
    Bank-bank swasta yang terafiliasi dengan kelompok konglomerasi usaha juga harus menaati aturan prudensial, termasuk batas minimum pemberian kredit (BMPK) dan posisi devisa neto (PDN), agar jangan memobilisasi dana hanya bagi keperluan pembiayaan modal anak-anak perusahaannya. Pelanggaran atas ketentuan BMPK dan PDN merupakan penyebab krisis 1997. Dari kasus Bank Century, aturan fit and proper test saja belum dapat mencegah kemungkinan masuknya elemen kriminal dalam industri perbankan. Walaupun bukan anggota Dewan Direksi Bank Century, Robert Tantular dapat mengendalikan operasi tersebut tanpa terpantau pengawas on-site dan off-site BI.
    Pemeriksaan dan pengawasan bank tak penting selama Orde Baru. Kini, selain perlu memantau perubahan standar dan aturan prudensial yang berlaku secara internasional, OJK pun perlu ikut aktif membuat standar serta aturan itu melalui forum Basel dan G-20 agar sesuai dengan kondisi dan kepentingan nasional. KTT G-20 di Seoul, 11-12 November 2010, menerima Basel-3 sebagai inti kerangka pengaturan baru industri keuangan. Untuk membuat bank lebih kokoh, mampu menyerap kerugian, serta kian kuat menghadapi krisis, Basel-3 meningkatkan keperluan modal bank, memperketat standar pengertian modal, menertibkan transaksi derivatif, serta mengatur lebih ketat likuiditas perbankan dan sumber pembelanjaannya serta cara pemberian bonus ke karyawan bank ataupun cara penanganan bank bermasalah.
    Basel-3 meningkatkan keperluan modal dasar bank menjadi 7 persen dari risiko tertimbang (RWA) mulai 2019. Bank yang masuk kategori systematically important financial institutions wajib menambah ekstra modal 1,0-2,5 persen dari RWA. Bank juga wajib menambah modal dalam transaksi derivatif. Sumber dana dan likuiditas perbankan diharapkan kian bergeser dari sumber dana jangka pendek dan kekayaan yang kurang likuid ke sumber dana jangka panjang dan lebih likuid. Penanganan bank bermasalah akan tetap mencari keseimbangan antara upaya melindungi deposan dan mengurangi beban pembayar pajak lewat anggaran negara. ●
  • Titik Rawan Korupsi Pajak

    Titik Rawan Korupsi Pajak
    Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR INDONESIAN CORRUPTION WATCH (ICW)
    SUMBER : JAWA POS, 8 Maret 2012
    RENTETANkasus dugaan korupsi pajak yang melilit Gayus Tambunan, Bahasyim Assifie, dan yang terakhir Dhana Widyatmika mengingatkan banyak orang bahwa perang terhadap korupsi tak boleh berhenti. Munculnya jejeran nama pegawai negeri yang masih muda dan menduduki jabatan biasa dalam skandal korupsi mengisyaratkan adanya transformasi korupsi, yang dulu dilakukan rezim orang tua, ke anak-anak muda.

    Tentu saja tampilnya anak muda sebagai pelaku korupsi amat memprihatinkan di tengah harapan masyarakat luas bahwa generasi muda akan memperbaiki Indonesia. Kasus Gayus, Dhana, dan ramainya pemberitaan PNS muda memiliki rekening jumbo memberikan petunjuk bahwa praktik korupsi sebenarnya tak mengenal usia, jenis kelamin, dan agama. Siapa pun yang punya kesempatan dan niat korupsi rentan untuk melakukannya.

    Tali-temali antara anak muda dan orang tua, antara suami dan istri yang bekerja sama untuk melakukan korupsi menegaskan bahwa korupsi sebagai kejahatan sudah terlembaga dengan sangat kuat. Artinya, korupsi bukan lagi hanya masalah individual penyimpangan perilaku dari segelintir orang, tetapi sudah menjadi jejaring yang kukuh. Karena terorganisasi, praktik korupsi dalam level itu sulit dideteksi dan ditangani. Berharap kepada aparat penegak hukum saja tak akan mampu menyelesaikan persoalan itu.

    Sektor Rentan Korupsi

    Karena pajak merupakan lumbung pendapatan negara, sektor itu merupakan yang paling rentan terjadi korupsi. Jika pemerintah mampu merealisasikan penerimaan pajak pada 2011 mencapai Rp 872,6 triliun atau naik 26 persen dari tahun sebelumnya, dapat diartikan bahwa potensi pajak yang seharusnya menjadi penerimaan negara masih sangat besar. Tetapi, angka statistik penerimaan pajak menunjukkan gejala yang aneh.

    Mengapa realisasi penerimaan pajak pada 2010 hanya berkisar Rp 648 triliun, atau mencapai target 98,12 persen? Di sisi yang lain, pemerintah selalu optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi akan selalu berada di atas angka enam persen. Logikanya, dengan pertumbuhan ekonomi yang baik, transaksi keuangan meningkat dan akan berimplikasi kepada penerimaan pajak yang meningkat pula. Lantas, mengapa pula penerimaan pajak bisa tidak sesuai dengan target?

    Pejabat di direktorat pajak dengan mudah menunjuk bahwa masalah tidak tercapainya realisasi pajak disebabkan masih banyaknya wajib pajak yang tidak taat membayar pajak. Pejabat pajak, tampaknya, lupa bahwa nakalnya petugas pajak turut memberikan kontribusi atas penerimaan sektor pajak yang fluktuatif. Perlu diingat bahwa dalam hubungan antara petugas pajak dan wajib pajak, tidak ada wilayah transparan yang dapat diketahui publik sehingga praktik kongkalikong antara petugas pajak dan wajib pajak tidak dapat diidentifikasi dengan mudah.

    Sebagaimana tabiat suap pada umumnya, yang mengetahui adanya suap-menyuap antara satu pihak dan yang lain adalah lingkaran yang mengetahui langsung praktik itu. Oleh karena itu, dalam rezim antisuap, yang menjadi pemantik bagi terbongkarnya praktik atau skandal suap adalah para whistle-blower atau justice collaborator yang memiliki informasi faktual atas kejahatan itu. Dengan demikian, jika aparat penegak hukum ingin dapat membongkar skandal pajak secara mudah, memberikan perlindungan terhadap whistle-blower adalah langkah yang tidak bisa diabaikan.

    Titik Paling Rawan

    Sebagaimana dilansir oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo, titik rawan korupsi pajak adalah wilayah tempat pegawai pajak memiliki akses langsung terhadap wajib pajak. Bentuknya bisa bermacam-macam, sesuai dengan fungsi dan wewenang yang diatur dalam struktur di Direktorat Jenderal Pajak, termasuk di direktorat keberatan dan banding pajak. Pada direktorat itu, Gayus dan Dhana bekerja dan ditengarai mengeruk banyak uang dari para wajib pajak.

    Direktorat lain yang sama rentannya adalah pada direktorat pemeriksaan dan penagihan, direktorat intelijen dan penyidikan, serta direktorat ekstensifikasi dan penilaian. Kesemua direktorat ini membuka akses yang besar bagi pegawai pajak untuk bertemu langsung dengan wajib pajak. Karena itulah, peluang terjadinya kongkalikong menjadi lebih besar.

    Semua direktorat di atas memungkinkan petugas pajak melakukan ancaman, intimidasi, pemerasan, atau suap-menyuap agar pembayaran pajak tidak sebesar yang seharusnya dibayarkan kepada negara. Bahkan, untuk skandal pajak yang semestinya masuk ke ranah hukum, oknum petugas pajak dapat menjadikan itu sebatas persoalan administratif belaka.

    Terakhir, restitusi pajak atau pembayaran kembali pajak lebih oleh negara kepada wajib pajak merupakan celah korupsi yang lain. Pada sektor itu, bukan hanya petugas pajak yang memiliki otoritas tertentu yang dapat ”bermain”, tetapi petugas administrasi juga dapat menggunakan akses dan pengetahuannya untuk kepentingan memanipulasi restitusi pajak. Modus yang umum terjadi dalam kasus korupsi restitusi pajak adalah petugas pajak menjadi konsultan bagi perusahaan tertentu, menyediakan bukti-bukti fiktif transaksi jual beli, dan membantu secara langsung penagihan restitusi pajak kepada negara.

    Jika pemerintah ingin serius memberantas mafia pajak, pada sektor-sektor itulah seharusnya reformasi difokuskan. Caranya, menempatkan aktor-aktor berintegritas untuk menjadi pengendali utama pada sektor tersebut. Dengan begitu, para petugas pajak yang nakal akan menemui kesulitan untuk melakukan anti korupsi.

    Perlu dipahami, korupsi sektor pajak bukan hanya melibatkan satu dua orang, akan tetapi sudah merupakan organisasi kejahatan yang harus diputus mata rantainya. Penempatan orang-orang yang berintegritas pada sektor yang rawan korupsi akan membuka jalan bagi program reformasi birokrasi yang dijalankan pemerintah. Tanpa hal itu, agenda reformasi birokrasi di sektor pajak hanya akan menjadi catatan kegagalan sejarah belaka. ●

  • Hukum dan Kutukan Sosial

    Hukum dan Kutukan Sosial
    Sudjito, GURU BESAR DAN KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UGM  
    SUMBER : SINDO, 8 Maret 2012
    “Cantik kok pembohong”. Cemoohan itu muncul spontan, datar, dan mengalir dalam diskusi informal di warung angkringan di Kota Yogya. Sesekali berkumpul mahasiswa di tempat santai seperti ini sungguh amat menyenangkan.
    Diskusinya berkualitas walaupun tanpa awal dan akhir yang jelas. Persoalan akan menjadi lain dan serius apabila guyon parikena itu dicerna dalam-dalam dengan kejernihan hati nurani. Kaum hawa khususnya pasti tersinggung. Cemoohan itu tergolong nylekit dan menusuk perasaan. Tetapi itulah justru pesan moral sesungguhnya, yaitu agar kaum hawa di negeri ini cantik luar-dalam, lahir-batin.

    Jangan seperti Angelina Sondakh ketika bersaksi di Pengadilan Tipikor dalam kasus Wisma Atlet belum lama ini. Ada kasus berbeda, tetapi serupa. Di Pengadilan Tipikor Bandung terjadi pembacokan terhadap jaksa Sistoyo oleh Deddy Sugarda. Hal itu diakui oleh pelakunya sebagai pesan kepada para penegak hukum untuk tidak berkhianat pada program pemberantasan korupsi. Cemoohan maupun pembacokan tersebut merupakan bentuk sanksi (kutukan) sosial.

    Ini bukan sesuatu hal baru.Jauh sebelum ada sanksi hukum formal, sanksi sosial telah ada,dan sesekali muncul ketika kehidupan berjalan tidak normal. Kebohongan dan pengkhianatan merupakan awal dan sebab ketidaknormalan kehidupan itu. Hukum formal berjalan terseok-seok karena dimainkan oleh kekuatan politik, uang, maupun kekuasaan. Awam sudah muak terhadap kepalsuan, kemunafikan, dan kamuflase proses peradilan yang berlangsung sebagai drama berseri itu.

    Dengan logika dan caranya sendiri, awam menumpahkan kejengkelannya dalam bentuk kutukan sosial tersebut. Lantas, apa hikmah dan pelajaran dari kasus-kasus seperti itu? Pertama, kembalikan pemahaman secara utuh bahwa hukum tidak terpisahkan dari habitat sosialnya. Detak jantung dan suara hati masyarakat jangan disepelekan. Berbahaya.

    Boleh jadi pada kesempatan berbeda kutukan sosial juga menimpa pada hakim, pengacara,saksi ahli,dan aparat penegak hukum lain.Pengalaman telah banyak berbicara tentang hal ini. Kedua, jangan melawan kodrat bahwa manusia adalah makhluk sosial. Paham individualisme dan liberalisme yang cenderung mendorong para penegak hukum bersikap congkak, arogan, dan sombong mesti ditinggalkan.

    Gantilah dengan paham kolektivisme, sosialisme dalam suasana kekeluargaan.Di negeri berfalsafah Pancasila ini paham kekeluargaan itu telah mengakar sebagai budaya dan adat istiadat. Pengingkaran terhadap paham ini serta merta menggantinya dengan paham individualisme dipastikan akan menggun-cangkan sendi-sendi kehidupan. Ingatlah ungkapan ”sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”.

    Ketiga, karakter liberal yang melekat pada hukum dan peradilan di Indonesia mestinya dibenahi secara sungguh-sungguh. Keberadaan hukum adat, syariat, dan tuntunan moral mestinya diterima sebagai upaya pembenahan tersebut sehingga watak liberal itu segera berganti menjadi watak komunalistik, sosial-religius.

    Keempat, jaga kemandirian lembaga pengadilan dan arahkan kiblat proses peradilan semata- mata demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedikit saja kiblat itu bergeser, misal ke arah ”keuangan yang maha kuasa”—sehingga jaksa atau hakim menerima suap—hancurlah martabat lembaga pengadilan beserta insan penegak hukum yang ada di dalamnya.

    Kekecewaan

    Hukum negara beserta aparatur penyangganya sebagaimana ”disakralkan” dalam praktik peradilan tidak mungkin mampu meminggirkan secara total bentuk-bentuk kutukan sosial yang muncul secara spontan dan alami sebagai bagian dari tatanan lokal. Dalam konteks budaya hukum, sebenarnya hukum negara (positif) itu kalah awu (kalah wibawa) dibandingkan hukum adat karena selain umurnya tergolong lebih muda, lebih nyata lagi bahwa hukum adat telah mengakar kuat dan mampu bekerja efektif di masyarakatnya selama berabad-abad.

    Pada saat komunitas lokal kecewa terhadap kinerja pengadilan dalam pemberantasan korupsi, komunitas lokal akan bereaksi untuk menunjukkan kekuatannya guna melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat pada hukum negara. Dengan munculnya reaksi sosial atas hukum dan praktik peradilan, sejak saat itu terlihat seolah-olah ada keterbelahan (split) antara ”sanksi hukum” dan ”kutukan sosial”.

    Aparat penyangga hukum negara umumnya mendaku (claim) bahwa sanksi hukum adalah satu-satu jenis sanksi untuk segala kejahatan,dan hanya mereka sajalah yang berwenang menjatuhkan sanksi hukum itu. Warga masyarakat yang melakukan kutukan sosial tidak jarang ditangkap dan dijerat hukum karena dianggap ”main hakim sendiri”.

    Mereka lupa bahwa hukum dan praktik peradilan tidak mungkin lepas dari pengamatan dan kepentingan masyarakat yang senantiasa mendambakan kejujuran, keterbukaan,dan keadilan.Mereka juga lupa bahwa kutukan sosial hanyalah pelengkap sanksi hukum formal, bukan tindakan yang berdiri sendiri lepas dari kegeraman terhadap para koruptor dan drama pengadilan.

    Apabila cemoohan dan pembacokan di atas ditanggapi secara emosional dan legalistik, aparat penyangga hukum negara itu sesungguhnya sedang membiarkan separuh dirinya yang egois-individual dipisahkan dari separuh diri mereka yang lain (sebagai makhluk sosial). Dengan kata lain, mereka asosial. Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengatakan bahwa akan ada peningkatan pengamanan di persidangan, terutama untuk kasus yang menarik perhatian masyarakat dan dianggap sensitif.

    Pada hemat saya, gagasan ini bagus untuk sesaat, tetapi tidak menyentuh akar permasalahan. Mengapa? Pengadilan bukanlah menara gading. Selama lembaga ini masih bermain-main dengan hukum, sementara hak-hak masyarakat akan keadilan, kejujuran, kebenaran, dan keterbukaan dilecehkan, kutukan sosial akan terus muncul secara sporadis dan bisa terjadi di luar persidangan.

    Dulu kita memiliki pengadilan adat, tetapi oleh rezim Orde Baru dibubarkan dan tidak diakui lagi keberadaannya oleh negara sampai saat ini.Sungguh bijaksana apabila pengadilan adat itu dihidupkan kembali. Apabila aspek sosial dan kultural itu benar-benar diperhatikan, dapat diyakini bahwa kutukan sosial akan ”tertidur nyenyak” dalam buaian kehidupan bernegara hukum yang aman dan nyaman.