Category: Uncategorized

  • Mengenang Jejak Pak Widjojo

    Mengenang Jejak Pak Widjojo
    Christianto Wibisono, PENGAMAT EKONOMI
    SUMBER : KOMPAS, 10 Maret 2012
    Jumat (9/3) dini hari Prof Dr Widjojo Nitisastro wafat di RSCM. Selama sakit hingga wafat, beliau percaya dokter dan rumah sakit Indonesia.
    Selama 26 tahun dari 85 tahun usianya dihabiskan untuk memimpin Bappenas (sejak 1967), menjabat sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (sejak 1971), dan Menko Ekuin (sejak 1973). Setelah keluar dari kabinet tahun 1983, dia tetap menjadi penasihat senior Presiden Soeharto hingga presiden kedua RI tersebut lengser pada Mei 1998.
    Dialah arsitek Widjojonomics, trilogi pembangunan: stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Sejak 1983 muncul aliran Habibienomics yang mengacu historisismus dan proteksi industri balita (infant industry protection) yang digawangi teknolog Habibie dengan lompatan jauh mendongkrak industri strategis, seperti pesawat terbang dan kapal laut, melalui Badan Pelaksana Industri Strategis.
    Soeharto mengawinkan kedua mazhab dalam Soehartonomics. Ia tak ingin sekadar dikenal sebagai presiden yang berhasil mengatasi inflasi 650 persen pada akhir Orde Lama dan mencapai swasembada beras 1985. Ia ingin mewariskan legacy yang tangible, monumental. Habibie punya kartu akses, latar belakang teknologi dan lobi Jerman yang tak kalah dari latar belakang mazhab Berkeley Widjojo cs.
    Dilibas Rezim KKN
    Sebenarnya ekonomi dunia itu universal merupakan interaksi antara negara (kendali politik) dan pasar. Yang paling tepat memang ekonomi jalan tengah, eklektik memilah dan meramu proses kimia antara peranan negara dan peranan pasar. Bung Karno secara mendasar telah merumuskan jalan tengah Pancasila antara sistem liberal dan etatisme sebab kedua ekstrem itu telah terbukti gagal. Ekstrem dominasi negara dengan ideologi fasisme kanan model Hitler ataupun diktator proletariat model komunisme gagal total.
    Yang bertahan adalah ekonomi jalan tengah, yaitu pasar yang pas dengan intervensi negara yang pas. Anatole Kaletsky dengan tepat merumuskan, kapitalisme telah bermetamorfosa melakukan adaptasi terhadap tantangan kelemahan internal ataupun ideologi tandingan. Deng Xiaoping dengan tepat memutuskan China kembali ke pasar karena Marxisme komunisme jadi predator yang menghancurkan pasar (the market is older and was there before Marx. So when Marxism failed China just return to the market).
    Tentu saja, pasarnya harus dikendalikan politik negara yang mencegah dan mengawasi keserakahan dan kegagalan pasar yang terbukti hanya dimiliki sistem demokrasi dengan kebebasan menawarkan alternatif kebijakan secara eklektik. Syaratnya, kepemimpinan harus bersih atau sistem perimbangan kekuasaan yang mencegah dua ekstrem kegagalan pasar atau kegagalan negara karena aparatnya dibajak oleh monster koruptor yang menjadi predator terhadap rakyatnya sendiri.
    Widjojo mungkin sempat membaca Kaletsky yang terbit 2009 dan tetap merasa percaya diri resep Widjojonomics-nya adalah bauran yang tepat secara teknokratis. Namun, resep itu gagal oleh sistem KKN rezim Soeharto yang pada dekade terakhirnya mengabaikan pasar untuk kroni KKN.
    Saya teringat dialog saya dengan Prof Widjojo saat membahas Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Saya mengusulkan proteksi petani cengkeh dilakukan melalui lindung nilai (hedging) bursa komoditas berjangka dan bukan model BPPC. IMF memasukkan BPPC sebagai salah satu monster predator pasar yang harus dibubarkan. Sayang, advis tidak didengar sama sekali oleh Pak Harto hingga Pak Harto lengser pada 1998.
    Prof Widjojo juga tak segan menerabas pakem, mengontrakkan bea cukai ke perusahaan multinasional, SGS. Saya waktu itu menyatakan ia semestinya lebih canggih dengan membeli dulu saham SGS di Swiss, lalu Indonesia Inc jadi pemilik SGS yang kemudian mengontrak fungsi bea cukai RI. Pak Widjojo tersenyum dan berkata, ”Wah, kalau itu urusan Pak Harto dan Oom Liem, Anda usulkan saja”. Saya jawab, ”Wah, sudah telat Pak, begitu SGS ditunjuk, sahamnya langsung melejit dan terlalu mahal untuk beli. Namun, barangkali hopeng atau kerabat sudah membeli.”
    Tugas Selesai
    Memang ironis, kita lebih mudah meraih popularitas dengan mengibarkan bendera populisme. Misalnya, negara harus komando (leading and commanding position). Namun, saat diberi posisi itu malah utang 10 miliar dollar AS, seperti Ibnu Sutowo dalam kasus Pertamina. Pelajaran berharga, jangan pernah memberikan kekuasaan absolut kepada siapa pun, presiden republik, pimpinan Pertamina, atau presdir BUMN. Tentu saja CEO harus diberi keleluasaan kreatif memimpin BUMN, seperti BUMN Singapura yang sukses jadi kekuatan global, Temasek.
    Pak Widjojo hanya menghela napas panjang dan menyatakan, tugasnya untuk Indonesia selesai dengan mengantarkan Indonesia satu generasi lebih dulu menginsafi peranan pasar yang klasik, tradisional dan universal. Pasar difasilitasi negara, yang tak boleh jadi monster predator terhadap masyarakat dan pasar. Namun, negara dan politisi yang bertanggung jawab harus amankan kepentingan nasional dari kegagalan dan keserakahan pasar.
    Dalam sebuah debat di televisi, ekonom Kwik Kian Gie dari Rotterdam yang mendukung campur tangan pemerintah dengan telak mengalahkan tim Kabinet Indonesia Bersatu II yang tak jelas merumuskan dalam interaksi negara dan pasar itu apa peranan proaktif, kreatif, dan perspektif negara. Dalam rapat Komisi Ekonomi Nasional, 6 Maret, Wakil Ketua KEN Chatib Basri mengungkapkan, KIB II memang tak responsif dan cerdas dalam membela kebijakan. Kurang asertif dan ”rendah diri” terhadap oposisi yang all out walau tak sepenuhnya benar. Pak Widjojo telah tiada. Hidup Widjojo! Para penganut Widjojonomics bangkitlah atau Indonesia akan terbajak oleh diktator opini partisan sektarian yang menyesatkan. ●
  • Arsitek Ekonomi Indonesia Berpulang

    Arsitek Ekonomi Indonesia Berpulang
    ST Sularto, WARTAWAN SENIOR KOMPAS
    SUMBER : KOMPAS, 10 Maret 2012
    Hari Jumat (9/3) subuh, dr Erwin, menantu Prof Dr Widjojo Nitisastro, mengirim pesan pendek, ”Pak Widjojo barusan meninggal.” Pakar ekonomi yang disebut Prof Subroto dan Prof Ali Wardhana sebagai satu-satunya arsitek ekonomi Indonesia itu pergi meninggalkan kita.
    Kepergiannya mengejutkan, kata dr Wida—putra Widjojo, istri Emir—dalam pembicaraan di depan jenazah di rumah duka, Bukit Golf Utama, Pondok Indah, Jumat pagi.
    ”Siang kemarin, Bapak cuci darah. Sore hari, ketika saya tanya bagaimana rasanya, Bapak mengedip-ngedipkan mata. Bapak sadar, jadi kondisinya bagus,” kata Wida. Komentar Wida diperjelas Dodi, putra Widjojo lainnya, ”Orang yang menjelang meninggal biasanya memperlihatkan kondisi baik, tetapi kemudian redup.”
    Kepergian Widjojo meninggalkan jejak langkah pertumbuhan ekonomi negara Indonesia, dari sebuah negara nyaris bangkrut pada awal tahun 1966 menjadi negara yang pertumbuhan ekonominya tinggi. Kalau tidak salah urus pada tahun-tahun kemudian, kondisinya niscaya tidak seburuk sekarang.
    Jakob Oetama, satu dari antara teman dekat Widjojo, 12 Juli 2011, datang menengok. Ketika Wida menyebutkan nama Jakob Oetama di dekat telinga Widjojo, pakar kependudukan dan ekonomi itu terlihat membelalakkan mata. ”Bapak bereaksi. Silakan bicara,” kata Wida. Jakob pun menyebutkan jasa besar Widjojo bagi bangsa Indonesia. Jasa Prof Widjojo akan terus dikenang dan dilanjutkan. Widjojo diam. Namun, Wida berkata, ”Bapak bereaksi. Bapak ngerti.”
    Sepi sendiri, tidak ingin tampil, tahu banyak hal, sosok Widjojo yang mengesan di hampir semua kolega dan muridnya. Emil Salim, misalnya, rekan di Tim Ahli Ekonomi, mengatakan, Widjojo selalu mengambil posisi diam. Ia selalu berada di belakang panggung, tidak mau populer di bawah lampu sorot dan tepuk tangan.
    Kesan Emil, yang ditulisnya sebagai pengantar buku Kesan Para Sahabat tentang Widjojo Nitisastro (2007) itu, mewakili kesan 55 koleganya. Karena sikap bawaannya ingin di belakang panggung, naskah buku yang sedianya terbit tahun 1997—bertepatan usianya 70 tahun—baru terbit tahun 2007.
    ”Saya tak enak, sebab banyak dari antara mereka sudah ada yang meninggal,” kata Widjojo berdalih. Begitu pula dengan naskah tribute 71 koleganya yang berasal dari 27 negara, pun baru terbit tahun 2007. Naskah kedua buku itu mengendap hampir 10 tahun.
    Dari antara sekian tribute itu, menarik yang disampaikan Wapres Boediono, yang saat itu menjabat Menko Perekonomian. Sosok Widjojo sekaliber Mohamad Hatta dan Soemitro Djojohadikusumo. Mereka adalah men of letters sekaligus men of affairs. Mereka memberikan bentuk dan warna terhadap perkembangan pemikiran ilmu ekonomi di Indonesia.
    Penilaian Boediono dipertajam Emil Salim. Ada tiga ciri pokok Widjojo. Pertama, seorang intelektual yang bertindak sesuai hati nurani. Kedua, seorang pekerja keras, nyaris gila kerja, teguh memegang sasaran yang ingin dicapai. Ketiga, sikap berjuang tanpa pamrih.
    Dalam buku tribute itu, digambarkan cara tim Widjojo berkomunikasi. Widjojo menjalin hubungan akrab dengan media, melakukan pertemuan rutin, serta memberikan penjelasan kepada media tentang latar belakang, tujuan, dan implikasi kebijakan-kebijakan strategis ekonomi. Terbangunlah sikap dan semangat saling menghargai.
    Tribute tidak hanya diberikan oleh kolega dalam negeri, tetapi juga kolega dari luar. Prof Lawrence H Summers dari Harvard, salah satu kandidat Direktur Bank Dunia, misalnya. Ia menempatkan Widjojo sebagai sosok yang punya komitmen luar biasa bagi kesejahteraan bangsanya, sosok yang amat menghargai data untuk pengambilan keputusan.
    Prof Nathan Keyfitz dari Harvard, kolega ahli kependudukan, menggambarkan Widjojo sebagai sosok yang mengagumkan. Ia tidak pernah mendengar rumor Widjojo korup, kecuali bahwa Widjojo tidak bisa diajak korupsi.
    Sebegitu tidak ingin tampil ke panggung, untuk merelakan naskah pidato dan tulisannya dibukukan pun perlu pendekatan ekstra. Perlu waktu lebih dari dua tahun membujuk Widjojo sehingga baru pada 2010 terbit buku Pengalaman Pembangunan Indonesia. Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro, terkumpul dari 30 tulisan.
    Dalam menentukan judul pun, Widjojo tidak ingin jemawa. Tidak ingin menonjol. Padahal, sejarah mencatat, konsepnya tentang pembangunan ekonomi menjadi dasar kebijakan ekonomi dan pembangunan Indonesia.
    Dalam sosok Widjojo terentang karakter unggul universal, kunci kemajuan bangsa. Ulet, pekerja keras, sepi ing pamrih rame rame ing gawe, mengedepankan kemaslahatan bersama yang dilandasi pemikiran-pemikiran menerobos—warisan Widjojo Nitisastro untuk bangsa ini. Warisan itu semakin berharga ketika bangsa dan negara ini terkesan melalaikan! Warisan itu semoga tidak ikut terkubur di bawah gundukan tanah di TMP Kalibata!
    Selamat jalan Prof Widjojo Nitisastro! ●
  • Mengendalikan Laju Inflasi

    Mengendalikan Laju Inflasi
    Nugroho SBM, DOSEN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS SERTA KELAS BEASISWA UNGGULAN DIKTI PROGRAM MAGISTER ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN (MIESP) UNDIP
    SUMBER : SUARA MERDEKA, 10 Maret 2012
    SETELAH pemerintah menaikkan harga BBM per 1 April 2012, salah satu dampak yang paling dikhawatirkan adalah meningkatnya inflasi. Beberapa lembaga telah menghitung besarnya dampak itu. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan kenaikan harga BBM Rp 500 per liter menyebabkan tambahan inflasi langsung 0,31 persen dan inflasi tidak langsung 1-2 kali inflasi langsung. Bila dinaikkan Rp 1.500 mengakibatkan inflasi langsung bertambah  0,93 persen dan inflasi tidak langsung 0,93-2,79 persen.

    Kajian Universitas Indonesia menyebutkan kenaikan harga Rp 1.500 per liter menyebabkan tambahan inflasi  2,15 persen. Bank Indonesia memperdiksikan tambahan inflasi 0,33 persen jika harga BBM dinaikkan Rp 500 per liter, dan jika dinaikkan Rp 1.500 per liter maka inflasi tambahannya 0,99 persen. Sementara itu, Reforminer Institute menyatakan kenaikan harga Rp 1.500 per liter menyebabkan inflasi tambahan 1,58 persen.

    Inflasi tinggi sebagai salah satu penyakit ekonomi memang selalu dihindari oleh semua pemerintahan, termasuk Indonesia, mengingat beberapa dampak negatifnya. Pertama; akan mengurangi daya beli masyarakat. Yang terparah penurunan daya belinya adalah mereka yang berpendapatan rendah dan tetap.

    Kedua; bisa makin memperlebar kesenjangan sosial ekonomi masyarakat. Logikanya ada golongan masyarakat yang nilai kekayaannya justru meningkat dengan terjadinya inflasi, yaitu mereka yang memiliki tanah dan bangunan, dan di sisi lain ada golongan yang bertambah miskin karena yang dipegang berwujud uang tunai atau tabungan. Ketiga; inflasi bisa menggoyahkan pemerintahan.

    Berapa inflasi yang dikategorikan tinggi dan harus dikendalikan? Inflasi dikatakan tinggi bila mencapai 10 persen ke atas per tahun, yang dalam istilah kebijakan moneter Indonesia diistilahkan  inflasi double digit. Beberapa ekonom mengibaratkan inflasi seperti tekanan darah. Ada yang cenderung tekanan darahnya tinggi tapi ia biasa-biasa saja, tetapi ada yang tekanan darahnya naik sedikit saja sudah kesakitan. Tiap negara punya batas toleransi inflasi yang dikatakan tinggi itu.

    Kendali Kebijakan

    Melihat risiko tambahan inflasi akibat kenaikan harga BBM memang perlu beberapa kebijakan untuk mengendalikannya. Pertama, pemerintah hendaknya mengendalikan secara ketat harga komoditas yang diatur (administered commodity). Ada 4 kelompok komoditas yang selama ini bobot pengaruhnya besar terhadap perhitungan indeks harga konsumen sebagai dasar perhitungan inflasi.

    Pertama; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar (bobot 24,28 persen); kedua, bahan makanan (23,45 persen); ketiga, makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau (17,53 persen); dan keempat, transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan dengan bobot 16,18 persen.

    Pada kelompok pertama dan keempat, banyak komoditas dan jasa yang harganya diatur pemerintah, misalnya tarif listrik, angkutan umum, telepon, air minum (PDAM), taksi, dan tarif jalan tol. Untuk berbagai tarif itu hendaknya pemerintah lebih berhati-hati bila ingin menaikkannya, bahkan kalau bisa dihindari.

    Kedua, pemerintah seyogianya menggelar operasi pasar (OP) untuk komoditas beras dan minyak goreng, bahkan bila perlu diperbanyak jenisnya yang bisa diintervensi lewat operasi pasar.

    Kesulitannya memang menentukan target yang tepat supaya komoditas itu jatuh ke tangan mereka yang berhak, dan bukannya penimbun atau spekulan. Kesulitan lain adalah Bulog kini berstatus perusahaan yang harus cari untung, dan tak punya cukup dana karena tidak ada lagi subsidi pemerintah.

    Ketiga, pemerintah menindak spekulan yang menimbun barang untuk kemudian menaikkan harganya. Keempat, pemerintah bisa mengaudit untuk memeriksa pengusaha yang menaikkan harga barangnya melebihi seharusnya. Yang terjadi selama ini jika harga BBM naik 33,33 persen maka pengusaha menaikkan harga 33,33 persen.

    Padahal, cara yang betul adalah menghitung dulu berapa persen komponen biaya BBM terhadap total biaya. Katakanlah 10 persen maka kenaikan harga barang dengan adanya kenaikan harga BBM 33,33 persen adalah 10 persen x  33,33 persen atau hanya 3,33 persen. ●

  • Refleksi tentang Kekerasan dan Premanisme

    Refleksi tentang Kekerasan dan Premanisme
    Fachry Ali, DOSEN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA DAN PENASIHAT AHLI KAPOLRI
    SUMBER : Jaringnews.com, 9 Maret 2012
    “Ada kemungkinan bagi kita menemukan perspektif dalam melihat peningkatan eskalasi aktivitas premanisme dewasa ini.”
    JAKARTA, Jaringnews.com – Dibandingkan dengan ribuan tulisan miliknya, catatan pinggir (caping) Goenawan Mohamad yang diterbitkan majalah Tempo pada Senin (5/3), yang berjudul ‘Berani’, tidak terlalu menarik. Akan tetapi, justru isi caping terakhir itu relevan dengan tema diskusi kita sekarang. Goenawan memang menyatakan bahwa capingnya kali ini berkaitan dengan meningkatnya aktivitas premanisme. Oleh karena itu, ia mempersoalkan usaha merumuskan definisi ‘berani’–seperti yang selalu ingin ditekankan filosof Yunani kuno Socrates. Bagi dia, usaha membuat definisi atas fakta pada esensinya adalah reduksi. Hal yang sama, terjadi pada kata ‘berani’. Dalam hal ini, Goenawan menyatakan:

    Perilaku yang beragam selamanya berlangsung dalam pengalaman yang beragam, pengalaman yang kongkret. Terutama dalam Grenzsituation, ‘situasi perbatasan’, antara hidup dan mati, antara selamat dan celaka. Dalam situasi yang genting itu setiap pilihan bukan saja menyangkut cuma kesadaran, bukan cuma proses penalaran, tetapi juga endapan trauma, magma nafsu dan hasrat.

    Keragaman situasi membuat perilaku dan motif di belakangnya tidak bisa digeneralisasikan. Dalam konteks inilah Goenawan memahami ‘keberanian’. Secara khusus, ia memberikan catatan:

    Begitulah keberanian. Keberanian para pembajak pesawat yang menabrakkan diri ke Menara Kembar New York 11 September 2001 punya titik persamaan dengan keberanian seorang prajurit yang menubruk granat yang meledak agar teman-temannya selamat; tapi masing-masing mengandung pertimbangan, pengalaman dan hasrat yang sama sekali lain.

    Dengan mengacu pada logika yang dibangun Goenawan ini, ada kemungkinan bagi kita menemukan perspektif dalam melihat peningkatan eskalasi aktivitas premanisme dewasa ini. Menjadi seorang preman, sudah tentu menunjukkan adanya sikap atau perilaku ‘berani’ penyandangnya. Akan tetapi, ‘keberanian’ itu sendiri bisa kita asumsikan tidak lahir oleh sumber atau motif yang sama.

    Para penggemar musik Dangdut tentu pernah mendengar lagu ciptaan Rhoma Irama yang berjudul Darah Muda. Dalam kenyataannya, lagu tersebut adalah refleksi pengalaman Rhoma sendiri. Di dalam masa remajanya, sambil tetap bercita-cita menjadi pemusik akhir 1960-an dan awal 1970-an, Rhoma bergabung dengan kelompok anak muda yang siap berkelahi apa yang sering sebagai ‘geng’. Pada masa itu memang tumbuh berbagai ‘geng’ di Jakarta, seperti Kenari Boys, Cobra Boys, yang saling bermusuhan satu sama lain.

    Rhoma menjadi salah satu pentolan (tokoh utama) di dalam gengnya, dan karena itu acap terlibat perkelahian dengan geng lain. Walau beberapa kali memenangkan perkelahian, Rhoma pernah babak belur dalam sebuah perkelahian di Megaria, karena dikeroyok oleh lima belas lawannya. Lagu Darah Muda, dengan demikian, mengabadikan pengalaman remaja, seperti bunyi bait pertamanya: Darah Muda darahnya para remaja/Yang selalu merasa gagah/Tak pernah mau mengalah.

    Jelas, bahwa dalam kasus Rhoma remaja, ‘keberanian’ dan ‘kekerasan’ terungkap secara menyatu. Akan tetapi ‘kekerasan’ tersebut bukan saja tidak berkembang menjadi organized crime, melainkan juga tidak berlanjut. Rhoma sendiri, seperti kita ketahui mengungkapkan pesan-pesan keagamaan di dalam lagu-lagunya–setelah sukses dengan lagu-lagu komersial. Di sini kita melihat masa ‘keberanian’ yang bergabung dengan ‘kekerasan’ tampaknya hanya merupakan persinggahan sementara.

    Perubahan besar dunia politik tampaknya menjadi settingkemunculan berbagai geng anak muda itu. Yaitu ketika rezim Orde Lama di bawah Presiden Soekarno (1959-1967)–yang secara berlebihan menekankan semangat nasionalisme di dalam berbagai bidang dan ‘mengharamkan’ semua hal berbau asing, termasuk ekspresi budaya–berganti dengan rezim Orde Baru (1967-1998) yang lebih liberal. ‘Keberanian’ yang bergabung dengan ‘kekerasan’ pada masa Rhoma remaja bisa kita tafsirkan sebagai ungkapan ‘rasa bebas’ dari kungkungan politik budaya yang terlalu menekankan nasionalisme ‘sempit’.

    Mengacu kepada logika Goenawan Mohamad di atas, kita melihat ‘keberanian’ remaja tersebut tidak bisa digeneralisasikan, karena sikap itu hanya memberi respons terhadap momen perubahan sebuah politik budaya. Setting dan momen sosial-politik dan budaya–termasuk juga ekonomi–dengan demikian menjadi sangat penting diperhitungkan di dalam menganalisa gejala premanisme dan kekerasan di tengah-tengah masyarakat. Sebab, dengan memperhatikan setting dan momen itu, kita bisa menemukan premanisme, kekerasan dan keberanian yang begitu tipikal di dalamnya.

    Tidak perlu menjadi seorang sejarahwan untuk mengenal Ken Arok atau Angrok. Tokoh ‘preman’ ini bahkan dimitoskan telah memiliki kesaktian ketika masih berada di dalam kandungan. Ketika menyetubuhi sang ibu yang sedang mengandung Ken Arok, sang ayah menemui ajalnya–yang dipercayai karena kesaktian sang calon bayi. Sang ibu, Ndok, segera membuang bayi Arok setelah dilahirkan, karena terdorong rasa takut. Petualangannya sebagai preman terjadi setelah ia dipungut oleh preman senior yang membawanya ke singgasana kekuasaan Singasari, setelah membunuh Tunggul Ametung. Kepremanan Ken Arok bukan saja menjadi salah satu simbol bahwa orang biasa bisa menjadi penguasa, melainkan juga menandai sebuah tradisi pertalian antara politik, kekuasaan dengan premanisme.

    Di sini, settingdan momen telah menyebabkan premanisme, keberanian dan kekerasan menemukan framework atau kerangka perspekstif tersendiri. Maka, menjadi tidak mengherankan jika revolusi 1945-1949 telah melahirkan settingdan momen khusus untuk terciptanya panggung bagi aktor-aktor yang bisa kita identifikasikan sebagai preman. Studi Anton Lucas tentang Revolusi di Tegal, Jawa Tengah, menemukan seorang Lenggaong (bahasa lokal untuk preman) yang mengambil peran sosial di dalam masa yang penuh kecamuk itu. Walaupun lenggaong ini, yang dipanggil sebagai Kutil, sejatinya adalah preman, namun ia menggembangkan gagasan ‘sama rasa sama rata’ dalam distribusi kekayaan yang direbut dari tangan para pejabat selama masa Revolusi.

    Di atas settingdan momen Revolusi yang sama, studi William Frederick menemukan tokoh kekerasan yang lebih brutal di Jawa Timur. Namanya adalah Zainul Sabaroeddin, sering dipanggil hanya dengan Bodin.

    Lahir di Kutaradja, Aceh, pada 1922, Bodin adalah anak seorang jaksa bernama Gunung Nasution, yang bertugas di Sidoarjo pada 1928-33. Beberapa saat setelah menyelesaikan MULO (sekolah menengah atas masa Kolonial), Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Tentara Pendudukan Jepang pada 1942. Sebagai remaja, Bodin terpanggil untuk bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air). Maka, ketika Revolusi Nasional berkecamuk, Bodin menjadi salah satu yang paling siap dengan konflik militer. Di dalam studi William Frederick itu ditemukan bahwa Bodin lebih senang membangun pasukan tersendiri yang terdiri dari berbagai orang dengan perangai kasar. Di dalam situasi di mana ia mendapatkan kesempatan kekuasaan dalam settingdan momen Revolusi inilah ia melakukan tindakan kekerasan. Selain membunuh R. P. Suryoatmodjo, menantu bupati Sidoarjo, ia melakukan serangkaian pembunuhan terhadap orang-orang Belanda sipil–bahkan mereka yang telah berada di dalam penjara kaum Republik. Ia juga membunuh seorang tentara Inggris keturunan India. Dan untuk memuaskan nafsunya, Bodin membangun harem tersendiri dengan mengumpulkan perempuan-perempuan mulai dari etnik Jawa, Sunda, Cina dan Eropa.

    Premanisme, kekerasan dan keberanian, dengan kasus-kasus di atas, menuntut kita melihat gejala tersebut pada akar-akar yang spesifik. Dalam arti, seperti logika Goenawan Mohamad di atas, akan menjadi sia-sia jika kita melihat makna konseptualnya dengan cara menggeneralisasikannya.

    Mungkin, dengan sikap intelektual yang sama kita juga harus melihat eskalasi kekerasan dan premanisme dewasa ini. Yaitu melihat gejala ini dari sebuah pertanda tentang perubahan. Saya ingat rumusan Robert Cribb tentang Revolusi Indonesia 1945-49 itu sebagai refleksi dari diskrepansi (ketidakcocokan) struktural. Dalam hal ini Cribb menulis:

    There is a broad scholarly consensus today that Indonesian revolution was essentially an artefact of Dutch colonial rule, that it was a product of social, economic and intellectual changes wrought by the colonialism in the Indonesian archipelago. This transformation gave society and politics a new form and new problems to which people sought new solutions, one of the most important of which was independence, in the form of the Indonesian Republic. Many have suggested that independence as it was ultimately obtained may not have been as much of a solution as was originally expected, but the assumption remains that the revolution was, or at least could have been, a new phenomenon in Indonesian history.

    Studi Robert Cribb ini memang melihat bagaimana para gangsters (preman) menyatu ke dalam perjuangan kemerdekaan di Jakarta. Akan tetapi, paragraf yang saya kutip di atas tampak lebih menarik sebagai sebuah sarana berefleksi. Bahwa, jika Revolusi Nasional 1945-49 tersebut adalah produk gerakan rakyat untuk mencari pemecahan baru akibat ketidakcocokan struktural dari perubahan-perubahan sosial-politik dan ekonomi yang diperkenalkan kolonial Belanda–seperti tertera dalam paragraf Cribb di atas–maka dapatkah kita mengambil perspektif ini untuk memahami pasangnya premanisme dan kekerasan dewasa ini? Bahwa proses demokratisasi, perubahan-perubahan sosial-politik dan ekonomi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan kesadaran baru dari berbagai kelompok masyarakat untuk menyatakan diri secara terbuka, di mana kaum preman dengan tradisi kekerasan membonceng di dalam proses itu? ●

  • Petaka Peradilan

    Petaka Peradilan
    Saharuddin Daming, KOMISIONER KOMNAS HAM
    SUMBER : REPUBLIKA, 9 Maret 2012
    Terkuaknya kasus kriminalisasi tiga warga Cicaringin, Karang Tengah, Garut, yang ditahan, (17/2), dengan tuduhan pembalakan liar atas dua pohon pinus milik Perhutani, yang akhirnya dilepas oleh Polsek setempat, Ahad (4/3) akibat bombardir pemberitaan makin membuktikan pola penegakan hukum kita tak bernurani dan berselera rendah. 
    Hukum sungguh tak ubahnya seperti pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
    Inilah yang menjadi problem karena sejak hukum tercipta sebagai pilar penataan kesinambungan eksistensi para makhluk. Maka, setiap perbenturan dan segala yang mengganggu harmoni keberadaan selalu diselesaikan melalui badan peradilan. Dalam mitologi hukum, badan peradilan adalah istana Dewi Keadilan untuk menjalankan takhta penegakan hukum dan keadilan.
    Sungguh amat disayangkan karena pamor kecemerlangan dari singgasana Dewi Keadilan dengan derajat yang amat mulia dari waktu ke waktu tampaknya mengalami pergeseran dan meredup hingga pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Mulai dari performa institusi dan personalia hingga output dan outcome yang dihasilkannya, kesemuanya mengalami degradasi dan dekadensi. Tidak heran jika citra buruk peradilan kita saat ini telah tersungkur.
    Tengoklah peran peradilan dalam penanganan beberapa kasus yang melibatkan wong cilik sebagai tersangka/terdakwa sebagaimana yang menimpa Nenek Minah (pencurian tiga biji kakao) di Banyumas dan Manisih (pencurian sisa panen kapuk randu) di Batang. 
    Selain itu, ada juga Basar dan Cholil (pencurian semangka) di Kediri, Syukri (pencurian sisa panen kelapa Sawit) di Bangkinang Riau, Kuatno dan Topan (pencurian pisang) di Cilacap, dan berbagai kasus sejenis. Mereka semua divonis bersalah dengan sanksi tegas meski perbuatan mereka sangat remeh.
    Ironisnya, meski dikecam oleh berbagai pihak, fungsionaris peradilan tak sedikit pun merasa malu atau risau dengan kritikan publik dan terus saja memperturutkan syahwat kebiadaban peradilan. Mereka telah memasuki wilayah penyalahgunaan wewenang dan jabatan.
    Meski Amar Abdullah telah mengalami kebutaan pada mata kanan akibat insiden penganiayaan berat oleh Fenly M Tumbuan sehingga harus dilakukan perawatan intensif demi mencegah kerusakan lebih parah, namun PN Jaktim tetap saja melakukan penahanan kepada yang bersangkutan. Hal yang lebih parah lagi menimpa Samuri bin Darimin (35) yang mengambil bebatuan kira-kira 1/2 karung di sawahnya sendiri dengan kan dungan tembaga 0,03 persen, tiba-tiba divonis bersalah oleh PN Trenggalek Jatim sebagai pelaku illegal mining (Pasal 158 jo 67 UU No 04/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara).
    Tragisnya, karena pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (MA) yang harusnya mengkonter semua putusan pengadilan di bawahnya yang dirasakan bertentangan dengan sense of law and justice value, justru larut dalam euforia peradilan yang hanya menegakkan peraturan. Mereka memperkosa hak asasi warga negara untuk memperoleh keadilan.
    Antagonisme peradilan di alam refor masi ini tampak pada putusan PN Ran tau Prapat 2008 yang menjatuhkan pidana 33 tahun kepada M Nur dan Warsiah, sepasang suami-istri tunanetra dengan kasus narkoba. Menariknya, karena meski keduanya telah mengajukan grasi, presiden hanya mengabulkan permohonan grasi Warsiah, itu pun hanya pengurangan hukuman selama lima tahun. Sehingga, Warsiah terpaksa menitipkan ke dua anaknya kepada orang tuanya yang sudah renta lantaran ia harus menjalani sisa hukuman 10 tahun lagi.
    Bandingkan dengan kasus penyelewengan pajak oleh Gayus Tambunan dan sejumlah pejabat aktif dan nonaktif di Dirjen Pajak yang telah merugikan ratusan miliar rupiah uang rakyat, ternyata hanya divonis ringan bahkan sebagian besar belum disentuh oleh hukum. Tengok pula kasus Century dan rekening gendut oleh oknum petinggi Polri maupun sejumlah pejabat negara lainnya, semuanya sengaja diendapkan tanpa tindakan hukum.
    Mereka semua dapat mengintervensi proses peradilan untuk mendapatkan imunitas kalau bukan peradilan sesat. Fenomena kebangkrutan hukum seperti ini sungguh telah membolak-balikkan kebenaran dan keadilan.
    Kurang Bermanfaat
    Penulis menilai bahwa robohnya benteng terakhir keadilan tersebut adalah petaka besar dalam law enforcement di negeri yang telah mendudukkan diri sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Hal tersebut terjadi akibat makar yang dilakukan oleh para fungsionaris hukum sendiri (polisi, jaksa, hakim, dan advokat).
    Peradilan kini terkesan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya dalam menegakkan hukum. Banyak aparat penegak hukum tidak malu lagi menjadi jongos mafia peradilan. Mereka telah menjungkalkan penegakan hukum ke jurang otoritarianisme peradilan demi gengsi maupun karena kekerdilan interpretasi hukum.
    Sayangnya, karena pimpinan MA, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat yang masing-masing diserahi tanggung jawab untuk membersihkan lembaga peradilan, bukan saja terkesan melakukan pembiaran, malah justru melindungi dalam bingkai solidaritas korps. Bahkan, kadang-kadang menjadi bagian dari mafia. Legislatif juga turut berkontribusi karena tidak berani menolak RUU yang masih memberi ruang bagi mafia peradilan.
  • Hakim atau Guru Biologi?

    Hakim atau Guru Biologi?
    M Arqom Pamulutan, HAKIM PENGADILAN AGAMA PANGKALAN KERINCI RIAU
    SUMBER : REPUBLIKA, 8 Maret 2012
    Belum pupus dari ingatan publik betapa hebohnya tanggapan berbagai         kalangan terutama para ulama dan ormas Islam terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis yang beranggotakan sembilan orang Hakim MK telah memutus perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945 yang diajukan Aisyah alias Machica Mochtar dan M Iqbal Ramadhan Bin Moerdiono, sebagaimana putusan No 46/PUU-VIII/2010 yang dibacakan Jumat (17/2) lalu.
    Putusan ini seolah melegitimasi anggapan sebagian besar orang bahwa seorang laki-laki dapat disebut sebagai `ayah’ bagi anak dengan segenap hak keperdataannya jika terbukti secara biologis merupakan orang yang punya hubungan darah meski tidak menikah dengan ibu yang melahirkannya. Dampaknya, mungkin tidak lama lagi anakanak yang lahir di luar nikah atau perempuan yang melahirkan anak di luar nikah akan berbondong-bondong membawa laki-laki mana saja untuk diperiksa. Jika laki-laki itu terbukti punya hubungan darah, itulah ayahnya.
    Hal tersebut tergambar secara gamblang dalam salah satu amar putusan yang berbunyi, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya“ tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan lakilaki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
    Sehingga, ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.“
    Pertimbangan Hukum
    Jika lebih teliti membaca pertimbangan hukum putusan MK No 46/PUUVIII/2010 tersebut, maka terlihat jelas MK terlalu menganggap enteng bahkan mengabaikan alasan-alasan hukum yang diajukan oleh Pemerintah dan DPR.
    Pertimbangan itu intinya menjelaskan pentingnya lembaga perkawinan untuk memperjelas status seorang anak dan pentingnya perkawinan diatur oleh negara guna ketertiban dan keteraturan hukum.
    Sehingga, tanpa adanya sebuah pernikahan yang sah, anak itu tidak berayah dan hanya dapat dihubungkan secara hukum dengan ibunya. Karena, dalam kehidupan manusia, seseorang dapat menjadi ayah melalui dua cara. Pertama, ia menghamili ibu sang anak setelah terlebih dahulu menikahinya secara sah.
    Kedua, karena ditetapkan atau diakui secara hukum maupun adat menjadi ayah (baca: ayah angkat, ayah baptis, dan sebagainya).
    Ironisnya, dengan `mengabaikan’ semua alasan itu, justru Hakim MK membuat pertimbangan hukum yang insya Allah dapat diduga mengutip materi pelajaran biologi di sekolah. Argumentasi yang diberikan adalah argumen yang biasa dijelaskan guru atau dosen biologi ketika menjelaskan tentang ketidakmungkinan kucing betina dapat hamil jika tidak ada kucing jantan yang menghamilinya. Lalu, jika dapat dibuktikan secara ilmiah, maka kucing jantan itu dapat disebut ayah bagi anak kucing dan harus ikut bertanggung jawab terhadap sang anak kucing.
    Dengan dalih bahwa untuk kepentingan anak maka seorang laki-laki yang telah menghamili ibu anak tersebut dapat disebut ayah meskipun keabsahan perkawinannyadipersengketakan. Lalu, dengan berbekal pertimbangan hukum ala guru biologi tersebut, MK membuat amar yang sulit dimengerti (obscure).
    Sikap para hakim MK ini boleh dikatakan terlalu berani dan gegabah sehingga di satu sisi keberanian itu dinilai sebagian orang sebagai `terobosan hukum’ karena muatannya seolah membela kepentingan anak dan perempuan. Sementara di sisi lain, mengandung kegegabahan dan dinilai sebagian yang lain sebagai sebuah `kecelakaan hukum’ yang dapat mengancam eksistensi lembaga perkawinan.
    Tawaran Solusi
    Seperti halnya kebanyakan orang, penulis yakin bahwa tujuan hakim MK membuat putusan sedemikian rupa adalah baik. Yakni, untuk memberikan keadilan dan persamaan perlakuan bagi semua anak agar mendapat pengakuan di tengah masyarakat, tidak peduli anak hasil pernikahan ataupun luar nikah. Dan, untuk memberikan perlin dungan hukum serta meringankan beban bagi ibu yang melahirkan anak tanpa sekaligus tidak membiarkan laki-laki lari dari tanggung jawab.
    Akan tetapi, dengan pertimbangan hukum dan bunyi amarnya justru dikhawatirkan akan merusak tatanan hidup bermasyarakat. Sebagai produk hukum, putusan hakim menjadi media untuk merekayasa sosial yang bisa membangun tata nilai bahwa seorang laki-laki secara perdata dapat jadi ayah karena ia terbukti secara ilmiah atau bukti lain.
    Menurut penulis, ada cara lain yang bisa dilakukan, yaitu dengan memperkaya pertimbangan hukum dan mengubah redaksi amar putusan hingga berbunyi        “ … mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dikategorikan sebagai anak telantar yang ditanggung oleh negara yang dalam hal berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum telah diketahui siapa laki-laki yang menghamili ibu anak tersebut maka tanggungan negara dapat dibebankan kepadanya.“
    Hal ini karena sejak awal, ibu dan orang yang menghamilinya sudah berniat menelantarkan anak itu. Jika tidak, sudah barang tentu sebelumnya mereka akan menikah dulu sehingga menghasilkan anak yang sah dan tidak akan telantar. Lalu, dalam hal ini negara dan lingkungan sosial ikut bertanggung jawab atas adanya anak yang lahir di luar nikah karena negara dan lingkungan sosial telah gagal mendidik dan membina manusia untuk taat hukum dan menghargai etika kemanusiaan. ●
  • Aceh, Banten, dan Mindanao

    Aceh, Banten, dan Mindanao
    Oman Fathurahman, DOSEN FAH UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA,
    KETUA UMUM MASYARAKAT PERNASKAHAN NUSANTARA
    SUMBER : REPUBLIKA, 9 Maret 2012
    Siapa mengira bahwa seorang ulama penting Kesultanan Banten pada abad   ke-18, Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani, adalah ternyata guru intelektual bagi sejumlah ulama Mindanao, Filipina Selatan, pada masa lalu? Dan, siapa sangka, bagi Muslim Mindanao, Aceh pernah menjadi kiblat keilmuan Islam sejak ratusan tahun lalu?
    Nyatanya, begitulah yang terekam dalam beberapa manuskrip Islam Melayu di Marawi City, sebuah kota berpenduduk 90 persen Muslim di Pulau Mindanao. Ini baru terungkap setelah ratusan tahun terkubur dalam sejarah masyarakat Melayu di wilayah tersebut.
    Perjalanan udara dan darat yang cukup melelahkan dari Manila ke Kota Marawi City pada Sabtu (25/2) lalu seakan terbayar ketika saya bersama sejarawan dari Sophia University, Profesor Kawashima Midori, dan Ervan Nurtawab dari STAIN Jurai Siwo Metro Lampung, akhirnya dapat membuka-buka 12 manuskrip Islam berbahasa Melayu.
    Naskah itu teronggok tak terawat dalam karung plastik di Shiek Ahmad Basher Memorial Research Library, Jamiat Muslim Mindanao di Matampay, Marawi City, Filipina. Sehari sebelumnya, Alim Usman Imam membawa kami ke Maktabat al-Imam Assadiq, Masjid Karbala, tempat tersimpannya 49 manuskrip Islam Melayu dan Arab warisan Haji Muhammad Said atau Sayyidna. Dia adalah ulama pengembara abad ke-19 asal Magonaya, Mindanao, yang pernah singgah di Borneo, Lingga, Johor, dan Palembang sebelum tujuh tahun belajar di Haramayn.
    Kondisi manuskrip di tempat ini sudah lebih tertata berkat ‘sentuhan’ filolog dari Universitas Indonesia, Tommy Christomy. Dia sudah datang beberapa tahun sebelumnya bersama Kawashima Midori.
    Jaringan yang Terlupakan
    Sejauh ini, “Jaringan Ulama“ Azyumardi Azra (1994) dianggap sebagai kajian terlengkap saling silang hubungan keilmuan antarulama Melayu-nusantara dan Haramayn. Tapi, keterlibatan ulama Melayu-Mindanao ternyata masih luput dari pengamatannya. Itu mungkin karena sulitnya akses terhadap khazanah naskah Melayu di wilayah konflik ini. Menyimak lembar demi lembar manuskrip yang ham pir seluruhnya berbahasa Melayu dan Arab tersebut, membawa saya pada satu asumsi bahwa hubungan keilmuan Muslim Mindanao dengan ulama-ulama nusantara di Aceh dan Banten telah terjalin cukup kuat pada masa lalu.
    Salah satu manuskrip tasawuf berjudul Sayyid al-Ma’arif karangan ulama Mindanao, Syekh Ihsan al-Din, misalnya, menyebutkan, “… bahwasanya Syekh ki ta, Syekh Haji Abdullah ibn Abdul Qahhar al-Syattari al-Syafi’i Banten telah mengambil Tarekat al-Syattari ja lan kepada Allah ….” Seperti kita mafhum, Abdul Qahhar al-Bantani yang disebut sebagai ‘Syekh kita’ itu adalah mursyid Tarekat Syattariyah pada masa Sultan Zain al-Asyiqin, penguasa Kesultanan Banten abad ke-18.
    Nama-nama guru yang disebut dalam silsilah ulama Mindanao ini ujung-ujungnya ternyata juga terhubungkan kepada Ahmad al-Qusyasyi. Dia adalah guru bagi ulama Aceh terkemuka pada abad ke-17, Abdurrauf al-Jawi al-Sinkili.
    Bukti hubungan intelektual Muslim Maranaos dengan Aceh juga dapat ditemukan dalam beberapa manuskrip koleksi Shiek Ahmad Basher di Jamiat Muslim Mindanao. Dalam manuskrip ter sebut, antara lain, disebutkan kitab tasawuf Umdat al-muhtajin karya alSinkili dan kitab hadis Hidayat alHabib fi al-Targhib wa al-Tarhib karya Nuruddin al-Raniri sebagai rujukan da lam karya-karyanya.
    Bahkan, di Perpustakaan Nasional Jakarta, kita menjumpai sebuah naskah Melayu ML 361 berjudul Bidayat al-Mubadi ‘ala ‘Aqidat al-Mubtadi karangan “…Abdul Majid Mindanawi pada nama negerinya, Syafi’i pada mazhabnya …” Di akhir halaman, Abdul Majid menjelaskan bahwa ia menulis karyanya ini fi balad al-Asyi (Aceh) pada Jumat, 6 Rajab masa Pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1767-1787), pewaris takhta dari Sultan Johan Syah. Bisa jadi, Abdul Majid pernah belajar langsung kepada ulama-ulama terkemuka di Aceh masa itu dan cukup dekat dengan kalangan istana.
    Akses dan Konflik
    Sulitnya akses terhadap bukti-bukti tertulis sejarah Melayu Islam di Mindanao memang menjadi masalah tersendiri. Konflik etnis dan politis yang berlarut-larut mengakibatkan setiap orang cenderung curiga dan hati-hati kepada setiap pendatang. Andai tidak ditemani Alim Usman Imam, alumni Universitas Al-Azhar yang sangat mengagumi Soekarno itu, tak terbayangkan kami dengan mudah bisa melewati puluhan titik checkpointyang dikawal tentara dengan senjata berlaras panjang ini.
    Akses terhadap jejak-jejak intelektual Muslim di bagian lain Melayu-nusantara pun kini telah terbuka. Bukan hanya Koleksi Haji Muhammad Said dan Shiek Ahmad Basher, melainkan juga koleksi-koleksi lain yang mulai terkuak, seperti Koleksi Gurosa Masiu, Ismael Yahya, Nuska Alim, Abdulmajeed Ansano, Guro Alim Saromantang, dan Sheikh Abdul Ghani.
    Manuskrip di Marawi City adalah representasi sejarah dan identitas Muslim Melayu Maranos. Jika tidak ada tindakan cepat untuk melestarikan dan kemudian mengkajinya, ia sangat rapuh dan akan segera musnah dari memori kolektif kita. Irina Bokova, direktur jenderal UNESCO, saat terbakarnya hampir 70 persen koleksi Manuskrip the Institute of Egypt akibat konflik dan gejolak politik di Kairo mengatakan, “…this is an irreversible loss to Egypt and to the world…these ma nuscripts represent the history and iden tity of a people. I call for light to be shed on the causes of the fire, and for serious measures to be taken quickly to sa ve what can be saved…” (UN News Centre, 20/12/11).
    Masyarakat Muslim Maranaos kini sudah hampir tidak mengenal lagi bahasa Melayu yang pada 200 tahun lalu menjadi bahasa intelektual leluhurnya. Salah satu manuskrip dalam Koleksi Shiek Ahmad Basher berisi pernyataan penulisnya bahwa ia sangat bangga dan telah berusaha keras menulis menggunakan bahasa Melayu agar terhubung kan dengan masyarakat Muslim lain di nusantara meski bahasa ibunya sendiri adalah Maranao.  ●
  • Mengenal Sosok Fethulah Gulen

    Mengenal Sosok Fethulah Gulen
    (Tanggapan Atas Artikel ‘Ancaman dari Pennsylvania’)
    Ali Unsal, DIREKTUR FETHULLAH GULEN CHAIR UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
    SUMBER : REPUBLIKA, 8 Maret 2012
    Sejak 2009 hingga sekarang, penulis adalah direktur Fethullah Gulen Chair yang secara resmi dibuka oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak datang ke Indonesia, penulis mulai tertarik mengikuti perkembangan media, terutama harian Republika. Dan, penulis sangat senang ketika di harian Republika, beberapa kali memuat artikel yang berhubungan dengan Turki atau tentang Fethullah Gulen.
    Hingga akhirnya, pada 5 Ma ret 2010 dalam lembar Teraju, harian Republika memuat ulasan “Cara Erdogan” (Resep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri Turki) dan di bagian terakhir menceritakan tentang M Fethullah Gulen dengan judul artikel “Ancaman dari Pennsylvania”. Khusus dalam ulasan mengenai Fethullah Gulen yang banyak mengutip secara langsung dari majalah The Economist, penulis ingin berbagi (sharing) tentang bagian-bagian dari ulasan tersebut yang kurang penulis setujui.
    Pertama, dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa Fethullah Gulen adalah        seorang pebisnis yang sukses. Justru sebaliknya, Fethullah Gulen adalah seorang alim ulama dan pemikir yang ba nyak menginspirasi orang banyak.     Banyak sekali orang-orang yang terinspirasi dengan pemikiran beliau sehingga mereka berinisiatif untuk mendirikan berbagai lembaga pendidikan (sekolah-sekolah, universitas, dan bimbingan belajar), lembaga kesehatan atau rumah sakit, dan mereka juga membuka televisi, koran, majalah, dan radio.
    Namun, terhadap lembaga-lembaga ini Fethullah Gulen sama sekali tidak me milikinya bahkan tidak mendapatkan sedikit pun hasilnya. Beliau menjalani kehidupan dengan sangat sederhana dan menjauhkan diri dari materi.
    Kedua, dalam tulisan tersebut, digambarkan bahwa Fethullah Gulen dan RecepTayyip Erdogan, serta Partai AKP (partai yang dipimpin oleh Erdogan) seolah-olah sedang dalam perseteruan. Opini ini sangat tidak memiliki dasar dan sumber yang benar. Bahkan sebaliknya, baru-baru ini ketika PM Turki menjalani operasi usus besar tiga minggu yang lalu, Fethullah Gulen menyampaikan doa untuk kesembuhan Erdogan.
    Kutipan doa beliau yang dimuat oleh beberapa media di Turki, Fethullah Gulen mengatakan, “Dalam setiap doa saya, ketika saya mendekatkan diri dan berdoa kepada Allah SWT, saya selalu berdoa untuk PM Turki, saya pun sangat sedih ketika mendengar beliau harus menjalani operasi kedua.“ Pada bulan Februari 2012, pada acara ulang tahun koran Zaman (salah satu media yang didirikan oleh orang-orang yang terinspirasi oleh pemikiran Gulen) yang ke25, Erdogan hadir bersama sembilan orang menteri.
    Ketiga, dalam tulisan tersebut dinyatakan bahwa Fethullah Gulen menyusupkan orang-orangnya dalam lembaga peradilan dan kepolisian Turki. Di dalam website (http://www.herkul.org) secara langsung dalam ceramahnya, Fethullah Gulen mengatakan, “Selama lebih dari 50 tahun saya memberikan ceramah yang selalu dihadiri puluhan ribu orang, saya tekankan bahwa generasi muda Turki harus selalu mengabdi kepada bangsa dan negaranya.“ Untuk hal ini, seorang anak bangsa tidak akan mungkin `menyusup’.
    Keempat, dalam tulisan tersebut digunakan kata `Gulenist‘ bagi orang-orang yang terinspirasi oleh pemikirannya.Untuk hal ini, penulis ingin menjelaskan bahwa Fethullah Gulen adalah seorang pemikir yang telah menulis lebih dari 60 buku tentang agama, masalah sosial, pendidikan, dan isu-isu kontemporer yang telah diterjemahkan dalam 40 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
    Dengan demikian, orang-orang di ber bagai penjuru dunia membaca, meneliti, dan mengkaji pemikiran serta ide-ide Fethullah Gulen.Tentu saja, setiap orang dari berbagai belahan dunia bisa mengambil faedah dari pemikirannya. Oleh karena itu, istilah ‘Gulenist’ sangat tidak tepat dan Fethullah Gulen sendiri menolak istilah tersebut.
    Kelima, satu hal lagi yang ingin penulis sampaikan, dalam tulisan tersebut, Fethullah Gulen selalu dikaitkan dengan isu-isu politik. Penulis ingin menyampaikan bahwa Fethullah Gulen sepanjang hidupnya selalu berada di luar pergulatan politik dan selalu menjaga jarak yang sama terhadap kekuatan politik manapun.
    Keenam, dalam tulisan tersebut seolah-olah Fethullah Gulen digambarkan mengambil contoh-contoh Calvinist dalam penerapannya di dalam Islam           (reformasi agama). Fethullah Gulen sendiri mengatakan bahwa dalam Islam tidak ada reformasi pada substansi Agama, yang ada adalah tajdid dan mujadid (pembaruan dan pembaru).
    Yang paling penting serta membuat penulis perlu menjelaskan lebih jernih dalam tulisan tersebut digambarkan dengan judul “Ancaman dari Pennsylvania” dengan gambar seseorang memegang senjata (gambaran seorang teroris). Hal ini justru sebaliknya, sepanjang hidupnya, Fethullah Gulen adalah sosok yang mengedapankan dialog, toleransi, serta kasih sayang. Bagaimana mungkin judul tersebut dapat dihubungkan dengan kepribadian dan kehidupan beliau yang sebenarnya?  
  • Ekonomi-Politik Kompensasi Kenaikan Harga BBM

    Ekonomi-Politik Kompensasi Kenaikan Harga BBM
    Khudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI),
    ANGGOTA KELOMPOK KERJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014)
    SUMBER : KORAN TEMPO, 9 Maret 2012
    Kenaikan harga bahan bakar minyak kini menjadi keniscayaan. Setelah program pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan konversi BBM ke gas menuai protes bertubi-tubi, pemerintah sepertinya tegap melangkah: per 1 April harga BBM akan naik sebesar Rp 1.500-2.000 per liter. Selain untuk menyelamatkan APBN, menurut pemerintah kenaikan harga itu adalah konsekuensi meroketnya harga BBM yang tersengat konflik AS-Iran. Menurut kalkulasi, dengan tingkat kenaikan sebesar itu akan dihemat subsidi sebesar Rp 57-76,15 triliun. Pemerintah tidak ingin subsidi BBM tahun ini sebesar Rp 123,6 triliun akan membengkak seperti tahun lalu (dari Rp 129,7 triliun menjadi Rp 160 triliun).
    Di luar itu, seperti yang sudah-sudah, kenaikan harga BBM didasari melencengnya subsidi. Menurut pemerintah, subsidi banyak dinikmati kaum berpunya, bukan warga miskin. Menyadari dampak negatif kenaikan harga BBM terhadap warga miskin, pemerintah memberikan kompensasi. Ada empat bentuk kompensasi. Pertama, bantuan langsung tunai (BLT) Rp 150 ribu kepada 18,5 juta rumah tangga (74 juta jiwa) selama sembilan bulan. Kedua, penambahan subsidi siswa miskin. Ketiga, penambahan jumlah penyaluran beras untuk warga miskin (raskin). Keempat, subsidi pengelola angkutan masyarakat.
    Pemerintah yakin, dengan empat bentuk kompensasi itu kenaikan jumlah warga miskin sebesar 1-1,5 persen bisa dihindari. Bahkan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono yakin ada peluang warga miskin yang saat ini berjumlah 29,89 juta orang (12,36 persen) bisa ditekan. Agung mengutip hitungan BPS bahwa kenaikan harga BBM Rp 1.500 per liter hanya menaikkan inflasi 1-2 persen. Secara akademik, data-data itu terbuka diperdebatkan. Sebab, bagaimanapun canggihnya sebuah pisau analisis, ia tidak bisa mewakili realitas obyektif. Output-nya bergantung pada asumsi yang dibangun dan “alat” analisis yang digunakan.
    Pada 2005, pemerintah dua kali menaikkan harga BBM dengan total kenaikan 87 persen. Dengan memanfaatkan kalkulasi LPEM-FEUI, pemerintah yakin kenaikan harga BBM yang disertai program kompensasi akan menurunkan jumlah penduduk miskin dari 16,43 persen menjadi 13,87 persen. Kenyataannya, kenaikan harga BBM mendongkrak inflasi menjadi 17,1 persen dan jumlah warga miskin justru naik dari 15,97 persen menjadi 17,75 persen (BPS, 2007). Sekali lagi, perhitungan-perhitungan semacam ini dilakukan dengan sejumlah asumsi yang tidak mungkin mewakili realitas sesungguhnya. Hasilnya bisa saja menyesatkan.
    Mempercayai hasil perhitungan teknis-matematis semacam itu sama saja kita percaya bahwa di negeri ini sudah tidak ada korupsi, birokrasi sudah siap dan kapabel dalam menjalankan program kompensasi, aktivis LSM sepenuhnya mandiri dan berada di pihak yang lemah, dan birokrat serta komunitas bisnis serta politik sudah jauh-jauh meninggalkan sikap sebagai rent seeker. Faktanya, kondisi sosial-ekonomi, politik, dan budaya kita nyaris tidak berubah. Dengan demikian, hasil perhitungan itu bisa jadi benar di atas kertas. Tapi, secara empiris, belum tentu sesuai dengan kondisi di lapangan.
    Apalagi, pengalaman program kompensasi BBM di masa lalu tidak cukup meyakinkan untuk membuat kita percaya bahwa kapasitas pemerintah dengan birokrasi pelaksana dan pengawasannya sudah cukup cakap. Mereka sudah jauh dari mental korup dan oportunistik. Contohnya, dari Rp 4,4 triliun dana kompensasi BBM tahun 2003, hanya Rp 2,94 triliun (66,3 persen) yang bermanfaat bagi kelompok sasaran. Sisanya, Rp 0,939 triliun (21,2 persen) bermanfaat tapi salah sasaran karena diterima bukan oleh kelompok sasaran. Bahkan Rp 0,553 triliun (12,5 persen) seharusnya tak masuk program kompensasi BBM (Indef, 2003).
    Seandainya hasil perhitungan tersebut benar, menggunakan hal ini sebagai judgement kenaikan harga BBM adalah kamuflase yang menyesatkan dan menipu publik. Tidak banyak diketahui publik, dana kompensasi kenaikan harga BBM itu bersumber dari utang. Itu artinya, kompensasi kenaikan harga BBM tidak lebih dari “suap politik” penguasa kepada rakyat. “Suap politik” diberikan agar kebijakan kenaikan harga BBM tidak diprotes. Mengguyur rakyat dengan kompensasi Rp 30-40 triliun di saat popularitas partai penguasa merosot kian memperkuat dugaan modus “suap politik” itu.
    Selain itu, menggunakan kalkulasi di atas sebagai judgement jelas menyesatkan. Sebab, muncul kesan seolah-olah santunan sosial, akses pendidikan, kesehatan dan beras murah, hanya bisa dilakukan apabila subsidi BBM dipangkas. Padahal sesungguhnya tidak demikian. Adalah amanat konstitusi bahwa negara menyediakan penghidupan yang layak, tempat tinggal, dan lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi rakyat, serta rakyat berhak memperoleh pelayanan kesehatan (pasal 28h ayat 1), akses pendidikan (pasal 31ayat 1 dan 2), dan hak untuk dipelihara bagi fakir miskin dan anak-anak telantar (pasal 34 ayat 1).
    Rakyat juga berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2), hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (pasal 28h ayat 3), hak mendapatkan fasilitas pelayanan umum yang layak (pasal 34 ayat 1), dan hak mengembangkan diri lewat pemenuhan kebutuhan dasar (pasal 28c ayat 1). Ada-tidaknya pengurangan subsidi BBM tidak menghapuskan kewajiban negara untuk memenuhi hak dasar warganya itu.
    Selama ini kewajiban tersebut belum ditunaikan dengan baik oleh negara. Dengan memeluk erat-erat neoliberalisme, negara punya alasan tidak terlibat lagi dalam urusan-urusan publik. Intervensi negara dalam berbagai sektor publik dianggap sebagai biang distorsi. Pasar dipercaya amat perkasa dan bahkan bisa meregulasi diri sendiri. Kebijakan “emoh negara” itu terus-menerus dikampanyekan oleh kolaborasi birokrat, intelektual, aktivis LSM, kaum profesional, rohaniwan, jurnalis, pengusaha, politikus, dan akademisi ke ruang-ruang publik. Itu semua dilakukan untuk lepas tangan dari tanggung jawab.
    Apa yang sesungguhnya terjadi? Jantung persoalannya adalah tidak adanya keseriusan penyelenggara negara untuk memenuhi kewajiban-kewajiban normatif kepada rakyatnya. Memberikan kompensasi dengan mengurangi subsidi BBM seolah-olah jadi satu-satunya solusi negara dalam memenuhi kewajiban dan tanggung jawab kepada rakyat. Tidak pernah dicoba cara-cara penyelesaian yang tidak ad hoc, reaktif, dan jangka pendek, seperti merenegosiasi kontrak tambang, mengoptimalkan pengolahan BBM domestik, investasi besar-besaran dalam penemuan cadangan migas baru, memasifkan konversi ke gas, dan pengembangan bahan bakar alternatif. Tanpa program yang berdimensi jangka panjang, negeri ini akan selalu terjebak dalam pusaran tanpa solusi konkret karena harga BBM merupakan variabel yang sepenuhnya tidak berada dalam kendali pemerintah. ●
  • Penyebab Kerusuhan Penjara

    Penyebab Kerusuhan Penjara
    Ahmad Taufik, PENULIS BUKU BISNIS SEKS DI BALIK JERUJI,
    ADVOKAT PADA STP LAW OFFICE, JAKARTA
    SUMBER : KORAN TEMPO, 9 Maret 2012
    Kerusuhan di penjara sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi, dan bukan hanya di Indonesia. Sebelum rusuh di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan, Bali, yang mendapat perhatian media massa, dalam pekan yang sama kerusuhan dan kebakaran juga terjadi di penjara Apocada, Monterey, Meksiko, yang menyebabkan 44 narapidana tewas, dan di Honduras, yang menyebabkan 375 orang tahanan meninggal. Jika melihat jumlah korbannya, kerusuhan di Penjara Kerobokan tidak ada apa-apanya.
    Namun efek media massa, terutama televisi, yang memberitakan kerusuhan dan penguasaan penjara oleh narapidana, membuat kita merasa dekat bahwa hal yang sama juga terjadi di sini, Indonesia. Belum lagi LP Kerobokan terkenal dengan banyaknya tahanan asing, asal negeri tetangga Australia, dan Bali adalah pulau turis mancanegara yang terkenal di berbagai belahan dunia.
    Ada tiga pemicu utama yang menyebabkan terjadinya kerusuhan di suatu penjara. Pertama, bisnis. Bukan rahasia umum, penjara merupakan lahan bisnis, mulai dari tahap penempatan, kenyamanan, hingga ruang keintiman. Seseorang yang masuk sebuah penjara jika ingin mendapatkan tempat yang layak bisa memesan ruang yang diinginkannya. Sel, ruang, atau blok biasanya sudah dikuasai seseorang, baik yang berada di dalam maupun di luar penjara, atau bisnis sipir (petugas penjara).
    Di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat, misalnya, untuk meminta ruang yang diinginkan, seseorang bisa membayar Rp 2 juta sampai Rp 15 juta, tergantung kondisi sel dan blok yang sudah dikapling-kapling itu. Belum lagi uang mingguan, bulanan, listrik, alat-alat elektronik, dan biaya lainnya. Bahkan, jika dibesuk, ada juga uang macam-macam, dari panggilan tamping, buka kunci (sel), pintu, setoran blok, hingga hal-hal lain.
    Begitu juga, untuk memperoleh keamanan dan kenyamanan, seseorang harus menyetor dana khusus sebagai voorman(narapidana kepala blok) atau petugas (sipir) penjara. Seorang akan bebas dari gangguan tahanan abal-abal (kecil tapi kadang-kadang merepotkan), bebas menggunakan telepon seluler dan alat-alat elektronik, seperti televisi, kipas angin, kulkas. Belum lagi bisnis-bisnis yang beredar dimulai dari yang legal, seperti makanan, bacaan, hiburan, dan sebagainya, sampai yang ilegal, seperti judi, ganja, ekstasi, sabu-sabu (narkoba), dan prostitusi.
    Kerusuhan bisa terjadi juga karena kesamaan kelompok. Selama menjalani hukuman di dua rumah tahanan dan tiga lembaga pemasyarakatan, selama hampir tiga tahun, yang paling jelas adalah di tiga tempat: Salemba, Cipinang, dan Cirebon-Jawa Barat. Di Rutan Salemba, Jakarta Pusat, pengelompokan bisa terjadi mulai berdasarkan asal tahanan (polisi), daerah asal (seperti Tanjung Priok), suku, hingga jenis kasus. Di LP Cipinang, Jakarta Timur, yang paling kentara adalah pengelompokan berdasarkan suku atau sebutan (seperti Arek/Jawa, Korea/Batak, atau Ambon). Di LP Cirebon, juga terjadi pengelompokan berdasarkan asal tahanan (pindahan dari daerah tertentu), pribumi, atau suku yang mengeras.
    Saat saya tinggal di LP Cirebon, terjadi kerusuhan besar antara tahanan asal Bandung dan “pribumi” (Cirebon/Indramayu dan sekitarnya) ditambah kelompok asal Cipinang. Kebetulan saat itu saya sudah bekerja di luar sel, dan turut membersihkan batu-batu dan senjata-senjata (sikim) bekas kerusuhan itu. Awal bentrokan hanya dimulai dari persoalan kecil saling tersinggung antara tahanan asal Bandung dan pribumi (Cirebon), tak jauh dari masjid di dalam penjara itu. Penjara percontohan yang dikenal disiplin pada masa itu (tahun 1996) porak-poranda dalam sekejap.
    Kedua pemicu di atas berhubungan erat dengan pemicu ketiga, diskriminasi. Nah, perlakuan diskriminatif yang diterapkan sipir, mulai penjaga sampai kepala LP, terhadap tahanan berada dan anak ilang (abal-abal) sering kali menyulut awal kerusuhan itu. Perlakuan diskriminatif itu adalah puncak gunung es yang dibawa sejak sebelum tahanan itu masuk rutan atau LP. Perlakuan itu dimulai sejak orang mulai dilaporkan polisi, diselidiki, disidik, ditahan, diproses dalam pemeriksaan polisi, pemberkasan, pelimpahan kepada jaksa, penahanan jaksa, penuntutan, proses sidang, putusan hakim, proses lanjutan, sampai eksekusi penahanan. Di rumah tahanan, proses diskriminasi itu masih berlanjut, mulai dari penempatan, kunjungan, fasilitas, hak remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat sampai kembali ke luar penjara.
    Kadang-kadang ada pula perlakuan yang di luar kewajaran yang dilakukan sipir penjara sehingga para tahanan atau narapidana berontak. Seperti penyiksaan, pemerasan atau perlakuan sewenang-wenang lain yang dianggap keterlaluan. Tentu saja semua yang disebut di atas bukanlah niat yang dimaksud Menteri Kehakiman Saharjo saat mencetuskan sistem pemasyarakatan pada 5 Juli 1963 yang kemudian diadopsi oleh amanat Presiden pada 27 April 1964 untuk menggantikan sistem penjara. Rumusan Saharjo pada waktu itu, “Di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.”
    Dari rumusan Menteri Saharjo itulah, tercipta 10 prinsip sistem pemasyarakatan, yaitu (1) Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat; (2) Menjatuhkan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara; (3) Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan; (4) Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/jahat daripada sebelum ia masuk lembaga; (5) Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya; (6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan jawatan atau kepentingan negara sewaktu saja; (7) Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila; (8) Tiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun tersesat; (9) Narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan kemerdekaan; (10) Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan.
    Alih-alih ideal seperti 10 prinsip di atas, ternyata sistem pemasyarakatan pada prakteknya tak jauh berbeda dengan sistem penjara, malah lebih buruk lagi dengan adanya berbagai bisnis di dalamnya. Memang sulit menuju sistem pemasyarakatan atau penjara yang ideal, apalagi jika mengingat kapasitas penjara di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia overloaded(kelebihan penghuni).
    Penjara juga cerminan suatu masyarakat. Jika persoalan penjara tak segera diatasi, jangan-jangan revolusi bisa terjadi dari penjara, seperti yang terjadi pada 14 Juli 1789, saat Penjara Bastille, Prancis, diduduki dan memicu pecahnya Revolusi Prancis. ●