Category: Uncategorized

  • Keanekaragaman Hayati Melawan Kemiskinan

    Keanekaragaman Hayati Melawan Kemiskinan
    Fachruddin Mangunjaya, KANDIDAT DOKTOR PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
    Sumber : KORAN TEMPO, 10 Februari 2012
    Raja Ampat di Papua adalah sebuah kabupaten baru yang alamnya masih asli. Lautnya bersih, pantainya indah, hutan di pulau-pulau yang ada di bagian leher “Kepala Burung” Papua ini masih relatif belum terjamah. Masyarakatnya hidup tenang. Karena alamnya kaya dengan ikan, jika ingin mendapatkan lauk untuk makan siang, penduduk cukup pergi ke dermaga memancing tanpa umpan, yang mereka sebut mencigi. Ribuan ikan berenang di dermaga seperti di kolam kaca. Saking banyaknya ikan, orang tidak lagi perlu menunggu umpan digigit ikan, melainkan cukup menjerat salah satu dari tumpukan ribuan ikan yang berkeliaran itu dengan menarik kail secara mendadak.
    Inilah modal alam (natural capital) yang memberikan ketersediaan pangan bagi mereka. Keberadaan modal alam ini tersedia berkat dukungan jasa ekosistem yang lain: terumbu karang yang sehat, hutan bakau yang sehat sebagai tempat pemijahan, aliran nutrisi laut yang tidak tercemar, dan suhu laut yang mendukung segala jenis dan daur produksi yang ada di laut. Dengan alam yang kaya ini tidak mungkin masyarakat di sana kelaparan dan kekurangan gizi.
    Alam yang asli dan terjaga dapat menjadi sebuah kapital yang terkadang lepas dari perhitungan. Keanekaragaman hayati merupakan aset alami, termasuk di antaranya jasa ekosistem seperti air tawar, tempat pemijahan ikan, penangkal gelombang, regulasi iklim, suplai oksigen, dan pengganti fisik penanggulangan badai, obat-obatan, zat pewarna, dan seterusnya. Ahli keanekaragaman hayati, E.O. Wilson, mengatakan, bangunan alami mempunyai kelebihan yang sangat banyak dibanding dengan bangunan fisik yang dibuat oleh manusia. Bangunan fisik tidak akan mampu menandingi jasa alam yang bangunannya terdiri atas makhluk hidup (organik) yang mempunyai banyak kelebihan dan harganya sangat murah. Tetapi bangunan fisik, selain tidak mampu berbuat banyak, pembangunannya menelan biaya dan investasi tidak sedikit.
    Hutan bakau, jika dipertahankan, dapat berfungsi untuk banyak hal: penyedia nutrisi, pencegah abrasi, tempat pemijahan ikan dan udang, serta penyerap oksigen sebagai regulasi iklim dan buah-buahnya dapat dibudidayakan sebagai pendapatan alternatif masyarakat. Sebaliknya, jika hutan bakau diubah menjadi bangunan fisik, keuntungan ekonomi hanya dapat dihitung sebagai kepentingan sesaat dan hanya untuk fungsi bangunan itu saja. Penanggulangan abrasi di pantai utara Jakarta menggunakan biaya ratusan miliar rupiah akibat hilangnya ekosistem hutan bakau dan ekosistem bakau, yang mengakibatkan kestabilan tanah terganggu dan intrusi terjadi, air tanah tidak bisa digunakan untuk mandi karena asin. Hal ini juga mengakibatkan permukaan tanah beberapa kawasan di Jakarta turun lebih rendah dari permukaan laut. Ujungnya, pemerintah lalu harus mengeluarkan anggaran dengan melakukan adaptasi. Sama halnya dengan upaya membuat jalan layang untuk menghindari intrusi dan rob masuk, melalui Bandara Soekarno-Hatta.
    Rawan Konflik
    Fenomena konflik lahan dan penguasaan sumber daya alam menjadi marak akhir-akhir ini disebabkan oleh dua hal: pertama, masyarakat yang telah lama dekat dengan sumber daya alam, seperti masyarakat adat, merasa sangat kehilangan hak atas sumber daya yang mereka miliki secara turun-temurun, terutama yang mereka peroleh secara cuma-cuma dan disediakan oleh alam. Mereka pun telah merawat alam atas kearifan turun-temurun untuk menghargai dengan tidak merusak alam. Konversi lahan–seperti perubahan menjadi lahan perkebunan sawit, tambang, dan konsesi kayu–memperparah keadaan dan rasa kehilangan hak tersebut.
    Masyarakat yang biasa subsisten menerima keberkahan alam dengan memungut hasil hutan dan ketersediaan yang gratis dari alam sebagai sumber kehidupan mendadak merasa kehilangan apa yang semestinya mereka dapatkan dengan mudah. Hipotesisnya adalah, masyarakat pinggiran hutan, yang berbasis pembuka lahan dan perkebunan serta pengumpul, tidak siap, tanpa ada perubahan gradual keterlibatan pemberdayaan yang berarti dalam kehidupan mereka, untuk menerima perubahan fungsi lahan.
    Kedua, masyarakat di daerah, walaupun dengan adanya otonomi dan desentralisasi, tetap merasa tidak dihargai dalam ikut mengelola alam mereka sendiri. Hal tersebut terjadi karena proses pengambilan kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak dilakukan secara partisipatif dari bawah. Ketika banyak sumber daya alam dan habitat yang sifatnya vital, seperti penyedia air, keragaman plasma nutfah, pencarian bahan makanan, dan kesuburan tanah, telah terenggut dari sisi masyarakat awam yang masih hidup subsisten, dan telah tidak dapat lagi mereka peroleh di alam karena fungsi lahan yang telah berubah maka mereka merebut, dengan segala risiko, hidup atau mati, untuk mengambil kembali lahan mereka sebagai sumber penghidupan.
    Mengentaskan Masyarakat Miskin
    Target pengentasan masyarakat dari kemiskinan dalam Millennium Development Goal’s (MDGs) hanya menghitung tingkat nilai finansial standar kemiskinan yang setara dengan perolehan tidak kurang dari US$ 1 per hari. Indikator ini semestinya tidak menilai alam hanya secara fisik. Merujuk pada studi terbaru yang dipublikasikan oleh Turner dkk (2012) dalam jurnal Bioscience yang mengatakan bahwa natural capital sangat penting sebagai upaya kompensasi pada masyarakat miskin dan upaya melindungi habitat yang bersifat vital yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Laporan tersebut mencatat dua solusi persoalan dunia yang dapat diatasi sekaligus: keanekaragaman hayati dan kemiskinan.
    Masyarakat di pinggiran hutan yang subur, apalagi jika diperkenankan mengelola sendiri haknya secara berkelanjutan, niscaya akan mampu terangkat dari kemiskinan dengan pemberdayaan tanpa merusak alam. Kawasan hot spots keanekaragaman hayati, menurut laporan tersebut, dapat bernilai lebih dari US$ 500 miliar per tahun atau mampu menyediakan kebutuhan bagi 330 juta penduduk miskin dunia. Di Indonesia, konversi lahan mengubah banyak habitat–yang berfungsi sebagai jasa ekosistem–yang lalu tidak menciptakan kesejahteraan untuk masyarakat sekitarnya. Sebab, keuntungan hanya diperoleh para pemegang modal yang bersifat kapitalistik untuk melanggengkan usahanya.
    Kawasan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, seperti Indonesia, sesungguhnya menyediakan sumber-sumber modal alam yang dibutuhkan untuk kehidupan atau mereka yang dianggap miskin. Maka, memberikan hak sekaligus melakukan perlindungan pada kawasan-kawasan produktif sesungguhnya tidak hanya melindungi keanekaragaman hayati, namun juga dapat dihitung sebagai upaya mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, sebagaimana yang ditargetkan oleh MDG Perserikatan Bangsa Bangsa. *
    Masyarakat di daerah, walaupun dengan adanya otonomi dan desentralisasi, tetap merasa tidak dihargai dalam ikut mengelola alam mereka sendiri. Hal tersebut terjadi karena proses pengambilan kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak dilakukan secara partisipatif dari bawah. ●
  • Mengurai Pemicu Megakorupsi Politik

    Mengurai Pemicu Megakorupsi Politik
    Hanta Yuda A.R., ANALIS POLITIK THE INDONESIAN INSTITUTE
    Sumber : KORAN TEMPO, 10 Februari 2012
    Indikasi keterlibatan petinggi partai dalam megaskandal korupsi proyek Wisma Atlet dan Hambalang kian terang dengan kesaksian Mindo Rosalina Manulang dan Yulianis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan sejumlah nama petinggi Partai Demokrat dan siapa sesungguhnya “Ketua Besar” dan “Bos Besar”. Potret buram seperti ini tak hanya menjangkiti Demokrat, karena hampir tak tersisa satu pun partai di DPR yang tak terserempet kasus korupsi.
    Fenomena seperti ini boleh jadi merupakan “gejala” ketidakberesan cara berdemokrasi kita. Ibarat mengobati pasien kanker dengan gejala nyeri dan pusing. Dokter hanya memberikan obat antinyeri dan antipusing, tanpa pernah melakukan tindakan medis untuk membunuh sel-sel kanker di dalam tubuh pasiennya. Apa yang terjadi? Tentu saja penyakit kanker itu tak kunjung sembuh, dan justru semakin mengganas. Seperti itulah fenomena kian mengganasnya korupsi politik di negeri ini. Kita hanya berfokus pada upaya mengatasi “gejalanya”, tetapi lengah dalam membereskan sumber pemicunya, sehingga korupsi politik terus mengalami diaspora–berkembang-biak dan menyebar–dengan sangat cepat.
    Mengatasi gejala–tindak pidana korupsi–melalui penegakan hukum yang tegas memang sangat penting, tetapi mengurai dan mengatasi pemicu utama terjadinya skandal-skandal itu juga tak kalah penting. Situasi ini memunculkan sebuah pertanyaan reflektif: mengapa hal itu terjadi dan apa saja pemicu maraknya megaskandal korupsi politik yang melibatkan para petinggi partai?
    Lima Pemicu
    Paling tidak ada lima hal yang terindikasi kuat menjadi pemicu sekaligus akar penyebab terjadinya korupsi politik yang melibatkan para elite partai secara bervariasi: imbas dari rapuhnya sistem pendanaan partai yang tak transparan, mulai tahap pemasukan hingga pengeluaran; efek dari liberalisasi sistem pemilihan yang menyebabkan prosedur pemilihan berbiaya tinggi (high-cost procedure); implikasi dari rapuhnya sistem rekrutmen dan suksesi kepengurusan di internal partai; buruknya sistem penganggaran di DPR yang mendorong terjadinya penyimpangan; serta kebobrokan birokrasi dan sistem tender proyek pemerintah.
    Sistem pendanaan publik dan mekanisme iuran anggota, yang seharusnya menjadi tulang punggung pendanaan partai, gagal diterapkan. Akibatnya, sumber pemasukan partai mengandalkan sumbangan pengusaha–secara legal maupun ilegal–dan setoran kader serta pengurus yang menjadi pejabat publik. Pola relasi seperti inilah yang berpotensi besar mendorong terjadinya penyimpangan elite partai berkolaborasi dengan kepentingan bisnis melalui permainan anggaran dan tender proyek pemerintah. Pendanaan partai yang ditopang setoran kader di DPR dan pemerintah juga mendorong terjadinya pengurasan uang negara melalui permainan anggaran. Apalagi undang-undang hanya membatasi sumbangan maksimal dari luar, tetapi tak membatasi besaran sumbangan pengurus kepada partai.
    Sistem pemilihan yang kian liberal menyebabkan biaya politik (kampanye) sangat tinggi. Setiap partai dan kandidat dituntut memiliki modal kampanye sangat besar. Partai dan kandidat yang tidak memiliki modal cukup akhirnya melakukan transaksi dengan pengusaha penyandang dana politik sebagai sponsor, atau menggerus uang negara secara ilegal melalui praktek permainan anggaran dan proyek pemerintah.
    Rapuhnya sistem rekrutmen dan suksesi kepengurusan di lingkup internal partai juga berkontribusi memicu terjadinya korupsi politik. Mekanisme seleksi jabatan publik yang tak transparan dan transaksional menyebabkan partai terperangkap dalam kebutuhan finansial, dan dijadikan sumber pemasukan partai. Kondisi ini menjadi pintu masuk perilaku koruptif, karena para kandidat yang mengeluarkan biaya tinggi hampir pasti berpikir bahwa biaya politik yang dikeluarkannya harus kembali. Sementara itu, suksesi kepengurusan di lingkup internal partai juga menjadi pertarungan kekuatan kapital yang kerap disertai praktek politik uang. Hal ini jelas menyebabkan kandidat ketua umum dan tim pemenangannya membutuhkan sumber finansial sangat besar.
    Adapun proses penyusunan anggaran di DPR yang tak transparan dijadikan sebagai lahan subur bagi praktek korupsi politik. Apalagi DPR memiliki kewenangan dalam menentukan besar-kecilnya anggaran untuk kementerian dan lembaga negara, bahkan ikut menentukan perusahaan-perusahaan mana yang akan melaksanakan sejumlah proyek di kementerian. Pada situasi besarnya kebutuhan finansial dalam sistem pemilihan berbiaya tinggi, sistem pendanaan partai yang bermasalah, serta sistem rekrutmen/suksesi internal partai berbasis pertarungan kapital, partai memanfaatkan celah kelemahan sistem penganggaran dan bobroknya birokrasi tender proyek pemerintah melalui modus praktek percaloan anggaran dan permainan proyek pemerintah. Karena itu, para politikus yang korup sejatinya tak hanya didorong oleh motif memperkaya diri, tetapi juga untuk mengisi pundi-pundi partai.
    Jalan Keluar
    Beberapa proposal jalan keluar dapat diajukan untuk mengantisipasi kelima pemicu itu, atau paling tidak mengurangi potensi terjadinya “diaspora korupsi politik”. Pertama, pembenahan sistem pendanaan partai, mulai aspek pemasukan, pengelolaan, hingga transparansi pengeluaran. Karena itu, diperlukan secara khusus pengaturannya melalui UU Keuangan/Pendanaan Partai. Kedua, regulasi pembatasan belanja kampanye (limited spending) partai dan kandidat dalam UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu Presiden, dan UU Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya praktek korupsi anggaran karena motif untuk mengisi kas partai atau mengembalikan modal ketika terpilih, sekaligus mendorong agar pelaksanaan pemilu semakin murah dan adil.
    Ketiga, demokratisasi dan reformasi sistem rekrutmen serta suksesi kepengurusan partai melalui mekanisme yang transparan. Hal ini membutuhkan kesadaran elite partai untuk melakukan perubahan dari dalam, serta melalui pengaturan yang lebih tegas dan terperinci di UU Partai Politik. Keempat, pembenahan sistem pembahasan APBN–di komisi-komisi maupun Banggar–dan sistem tender proyek pemerintah agar lebih transparan dan akuntabel dengan melibatkan pengawasan KPK dan BPK untuk memperkecil celah permainan mafia anggaran.
    Kelima, regulasi sistem pembuktian terbalik bagi pejabat publik, kandidat, dan partai. Sehingga diperlukan aturan dan sistem yang mengharuskan para kandidat dan partai membuktikan bahwa sumber pemasukan diperoleh secara legal. Jika melanggar, kandidat dan partai tersebut dilarang mengikuti pemilu, bahkan dibubarkan.
    Karena itu, upaya mengatasi skandal-skandal megakorupsi politik tak hanya dilakukan melalui penegakan hukum yang tegas, tetapi juga harus memutus mata rantai penyebaran virus korupsi politik yang kian mengganas dan menggurita itu dengan membereskan penyebabnya. *
    Adapun proses penyusunan anggaran di DPR yang tak transparan dijadikan sebagai lahan subur bagi praktek korupsi politik. Apalagi DPR memiliki kewenangan dalam menentukan besar-kecilnya anggaran untuk kementerian dan lembaga negara, bahkan ikut menentukan perusahaan-perusahaan mana yang akan melaksanakan sejumlah proyek di kementerian. ●
  • Menggagas Sosiologi Pancasila

    Menggagas Sosiologi Pancasila
    Satrio Wahono, SOSIOLOG DAN MAGISTER FILSAFAT UI
    Sumber : SINAR HARAPAN, 10 Februari 2012
    Jika ada satu hal yang paling patut disesalkan dari kekuasaan Orde Baru, itulah penyimpangan Pancasila dari ideologi negara menjadi ideologi penguasa. Rezim Soeharto kala itu memperalat Pancasila sebagai justifikasi untuk memberangus aspirasi warga negara demi melanggengkan kekuasaan semata.
    Alhasil, tercipta stigma buruk bagi Pancasila. Bahkan, segala ikhtiar ilmiah untuk membuat ideologi itu aktual, seperti konsep Ekonomi Pancasila oleh Mubyarto, hanya mengundang cibiran. Padahal, segala usaha ilmiah tersebut sebenarnya menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang terbuka terhadap kritik sebagaimana fitrah ilmu pengetahuan.
    Lagi pula, sebagai pandangan hidup, Pancasila merupakan landasan filosofis kuat bagi siapa pun yang ingin mengembangkannya dalam aras ilmu pengetahuan. Jadi, tentu sah bagi kita merintis “Pancasilaisasi pengetahuan”. Asalkan jangan kebablasan seperti ada istilah menggelikan “Sepak Bola Pancasila” di zaman Orde Baru.
    Adapun salah satu bidang yang belum tergarap benar dalam upaya Pancasilaisasi pengetahuan adalah sosiologi. Sebagai ilmu yang menganalisis relasi antara faktor dan aktor sosial dalam fenomena kemasyarakatan, sosiologi selama ini didominasi pemikiran Barat.
    Karena itu, jika kita menyepakati Pancasila sebagai pandangan hidup, sudah sepatutnya satu sosiologi khas masyarakat Indonesia—sosiologi Pancasila—dirumuskan.
    Mazhab Sosiologi
    Dalam pemikiran Barat, berbagai teori sosiologi bisa dikelompokkan ke dalam tiga mazhab arus utama (mainstream). Pertama, mazhab struktural fungsional. Mazhab ini menganggap masyarakat sebagai struktur yang terdiri dari orang-orang yang memiliki fungsinya masing-masing.
    Oleh karena itu, masalah sosial diakibatkan tidak berjalannya salah satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut. Sebagai contoh, jika terjadi korupsi, seorang sosiolog akan mencari apakah ada masalah dalam fungsi-fungsi kemasyarakatan, seperti pendidikan dan ekonomi.
    Sang sosiolog, misalnya, lantas bisa mengatakan korupsi terjadi akibat pendidikan karakter kita yang bermasalah.
    Kedua, mazhab interaksionis-simbolis. Jika mazhab pertama bersifat makro, mazhab ini lebih mikro. Cara kerja sosiolog mazhab ini adalah menganalisis interaksi antaraktor dalam masyarakat, kemudian berusaha meluaskan analisis mikro ini pada tingkatan makro.
    Umpamanya, kasus tawuran karena perebutan lahan parkir akan dianalisis lewat interaksi antaraktor utama yang saling bertikai. Jika ditemukan para aktor itu berpandangan masing-masing telah melanggar “daerah kekuasaan” lahan parkir, sang sosiolog akan berusaha meluaskan pandangannya bahwa “daerah kekuasaan” merupakan simbol yang wujudnya bisa bermacam-macam dalam beraneka kasus.
    Ketiga, mazhab konflik. Mazhab ini beranggapan masyarakat hanya terdiri dari dua kelas, yaitu kelas borjuis yang menguasai alat produksi dan menjalankan modus produksi kapitalis, dan kelas proletar (buruh) yang tertindas dan tidak memiliki alat produksi.
    Berdasarkan ini, masalah pendidikan mahal, misalnya, bisa didekati seorang sosiolog dengan menganalisis apakah sebenarnya ongkos tinggi itu dirancang kaum borjuis demi melanggengkan kekuasaannya atas kaum proletar.
    Jalan pikirannya sebagai berikut. Kaum kapitalis menguasai alat produksi, termasuk alat produksi untuk menghasilkan pengetahuan yang bermanfaat bagi dunia kerja, yaitu sekolah.
    Selanjutnya, supaya kelas proletar tidak bisa mengancam kekuasaan kaum borjuis, kaum borjuis pun mengkomersilkan pendidikan agar hanya orang berduit yang mempunyai akses ke sana. Akibatnya, mayoritas orang pintar adalah orang berduit dan kekuasaan kaum borjuis pun dapat dipertahankan.
    Tiga Asumsi Dasar
    Kita lihat betapa ketiga mazhab di atas mengandung ketimpangan. Ada yang terlalu menekankan pada struktur dan menafikan aktor di satu sisi, dan ada yang menekankan pada aktor di sisi lain.
    Karenanya, satu sosiologi yang ideal—harapannya Sosiologi Pancasila—adalah yang mampu menyeimbangkan keduanya. Untuk itu, kita perlu memeriksa tiga asumsi dasar yang selalu niscaya dalam sosiologi.
    Pertama, asumsi tentang sifat manusia. Fachry Ali dalam Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik (1984) menyatakan Pancasila memandang manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi sehingga manusia bersifat pemelihara.
    Artinya, segala bentuk hubungan antara manusia dan lingkungannya adalah fungsional dan memiliki kesalingterkaitan. Ini sekaligus bermakna manusia harus selalu mengembangkan kemampuan-kemampuannya yang berguna untuk dirinya sendiri dan sesama. Dalam asumsi ini, sosiologi Pancasila mirip mazhab struktural fungsional.
    Kedua, asumsi tentang masyarakat. Pancasila menolak pandangan yang memberikan penekanan kuat pada individualitas manusia dan paham yang terlalu mengutamakan masyarakat. Pertemuan antara asumsi ini dan realitas bahwa Indonesia memiliki kemajemukan budaya membuat Pancasila tidak mendukung multikulturalisme ataupun uniformisme.
    Multikulturalisme adalah pandangan yang memberikan hak bagi semua kaum untuk mengunggulkan budayanya masing-masing secara eksklusif. Sementara itu, uniformisme adalah paham yang ingin menyeragamkan semua kemajemukan budaya ke dalam satu kebudayaan saja, misalnya Jawa.
    Bertolak dari jalan tengah ini, sosiologi Pancasila meyakini pertukaran dan dialog sehat antara kebudayaan demi melahirkan simbol-simbol kultural yang bisa ditoleransi bersama.
    Sebagai contoh, konsep ukhuwah dalam Islam bisa disimbiosiskan dengan konsep persatuan demi mendukung simbol kebangsaan yang lebih universal. Dalam asumsi ini, sosiologi Pancasila lebih dekat dengan mazhab interaksionis-simbolis.
    Ketiga, asumsi tentang fungsi ilmu. Menurut Pancasila, tujuan satu masyarakat adalah memeratakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pendeknya, segala fungsi dalam masyarakat—termasuk ilmu pengetahuan—bertujuan melakukan perubahan sosial lewat upaya penguakan kesadaran kritis masyarakat terhadap ketidakberesan.
    Ilmu pengetahuan jadinya bersifat praksis dan membebaskan, berbeda dengan asumsi struktural-fungsional yang sebatas preservatif (melestarikan struktur yang ada) atau interaksionis yang interpretif (hanya menafsirkan). Karena itu, asumsi ketiga ini mendekati mazhab konflik.
    Berbekal ketiga asumsi di atas, sosiologi Pancasila ternyata mampu meramu kekuatan-kekuatan dari tiga arus utama dalam mazhab sosiologi Barat. Jika ikhtiar pembuka jalan ini dapat dikembangkan lebih jauh, semoga kita di masa depan benar-benar dapat memiliki suatu bentuk sosiologi Pancasila yang lebih mapan! ●
  • Apakah Wartawan Perlu Sertifikasi?

    Apakah Wartawan Perlu Sertifikasi?
    Ignatius Haryanto, DIREKTUR EKSEKUTIF LEMBAGA STUDI PERS DAN PEMBANGUNAN, JAKARTA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 10 Februari 2012
    Dalam dua tahun belakangan, wacana soal sertifikasi wartawan sudah menjadi lebih praktis ketimbang ketika dibicarakan 13 tahun lalu, di masa pemerintahan Habibie.
    Reaksi pertama yang kala itu muncul adalah penolakan. Banyak pihak khawatir sertifikasi yang dimaksudkan untuk menjamin adanya standar kompetensi tertentu para wartawan, akan mudah jatuh dan diselewengkan penguasa untuk kembali mengontrol pers.
    Memang saat itu adalah masa yang masih belum lama keluar dari otoritarianisme Orde Baru, sehingga sindrom “emoh negara” memang masih sangat kental.
    Pers kala itu masih punya ingatan segar akan pemberedelan pers, pemaksaan masuk dalam organisasi kewartawanan, sistem perizinan, sistem rekomendasi untuk jadi pemimpin redaksi atau pemimpin umum, dan lain-lain.
    Kini setelah masa Reformasi berjalan hampir 14 tahun, apakah yang bisa kita pertimbangkan atas ide sertifikasi wartawan ini?
    Sertifikasi wartawan jika dilihat dari proses pembuatannya harus kita lihat sebagai hal positif. Dewan Pers menginisiasi berbagai kegiatan untuk menyusun standar kompetensi wartawan, dan setelah standar tersebut disusun, dihasilkanlah sejumlah penatar atau penguji standar kompetensi tersebut.
    Mereka yang berhasil lolos dari standar kompetensi ini layak menerima sertifikat. Ini semacam cap atau tanda bahwa mereka adalah wartawan yang memang profesional.
    Namun dalam pelaksanaan di lapangan, ke mana arah sertifikasi ini? Ini yang harus cermat dilihat. Sertifikasi di satu sisi memberikan jaminan bagi kelompok masyarakat lain (juga bisa berarti narasumber para wartawan atau kelompok profesional lain) bahwa wartawan yang memiliki sertifikat adalah wartawan yang memang profesional.
    Ia telah melewati proses panjang untuk menjadi seorang wartawan profesional. Tetapi kita harus tetap melihat hal ini sebagai suatu yang sifatnya sukarela dan bukan pemaksaan.
    Dengan tetap sadar bahwa banyak masalah ada pada sejumlah komunitas wartawan, saya agak khawatir jika sertifikasi ini disalahgunakan untuk menjadi bagian dari cara baru bagi wartawan terlibat dalam aneka manipulasi. Sama seperti SIM atau KTP yang masih bisa dibuat karena pesanan tertentu, saya berharap proses sertifikasi wartawan jangan jatuh dalam kondisi serupa.
    Di sini kata kuncinya adalah mekanisme kontrol dari pihak organisasi wartawan atau lembaga yang mengeluarkan sertifikasi dan juga mekanisme adanya pelaporan dari masyarakat atau pihak yang dirugikan atas wartawan yang tidak profesional, serta adanya sanksi yang tegas bagi para pelanggar kode etik jurnalistik atau para penyalah guna sertifikat wartawan.
    Jika mekanisme semacam ini ada, kita bisa lebih berharap sertifikasi memang menuju pada perbaikan profesionalisme para wartawan di Indonesia.
    Makna Kontekstual
    Kita tentu berharap wartawan menjadi makin profesional. Bukan dalam arti penghasilannya bisa menyamai profesi-profesi lain, tetapi terutama dalam hal bagaimana mereka menjadi relevan bagi kehidupan publik saat ini. Di tengah derasnya persaingan dan hiruk pikuk dalam industri media, kita melihat para wartawan kerap terombang-ambing di dalamnya.
    Lansekap media yang baru—dengan penuh teknologi canggih, kecepatan penyampaian berita, simpang siurnya informasi—membuat wartawan tidak mudah beradaptasi. Mungkin lebih banyak pertanyaan hadir ketimbang jawaban yang ditemui oleh para wartawan zaman sekarang.
    Bagaimanapun juga kita perlu kembali pada etos kerja seorang jurnalis yang sesungguhnya. Kekuatan jurnalis terletak pada makna kontekstual yang ia bisa berikan kepada pembaca, penonton, atau pendengarnya.
    Jurnalistik untuk kepentingan publik. Itulah pendasaran yang selalu ditekankan duo jurnalis senior Amerika, Bill Kovach & Tom Rosenthiel, baik dalam buku Elements of Journalism (2001) maupun Blur: How to Know the Truth in the Age of Information Overload(2010).
    Pertanyaan mendasar yang harus diajukan pada masa sekarang harusnya demikian: dengan segala kemudahan teknologi yang ada, kecanggihan cara pengiriman berita, apakah hal ini mempertinggi mutu wartawan zaman sekarang, atau sebaliknya, malah para wartawan menjadi makin malas?
    Ada beberapa contoh misalnya: ada wartawan yang merasa sudah puas untuk menghubungi narasumber atau mencoba meminta komentar narasumber hanya lewat SMS, atau mengirim pesan via BlackBerry.
    Jika narasumber tak menjawab, ia cukup menulis “narasumber sudah kami kontak via SMS, BBM, namun mereka tidak merespons”. Apakah kerja jurnalistik seperti ini cukup memadai?
    Kesungguhan kerja wartawan harusnya tetap dipertahankan. Cepat puas diri, malas, tidak mau mengembangkan diri, dan sok tahu adalah bagian dari perangai wartawan yang justru akan perlahan-lahan membunuh jurnalisme.
    Tanpa keingintahuan yang makin tinggi, kemauan untuk terus belajar, wartawan akan berhenti berpikir. Jika sudah berhenti berpikir, ia pun akan setop menghasilkan karya-karya terbaik. Kalau sudah begini, publik juga yang akan dirugikan.
    Kembali pada soal sertifikasi, wartawan yang sungguh-sungguh bekerja dengan memiliki etos yang kuat, tidak perlu khawatir soal sertifikasi. Pun tanpa sertifikasi, jika wartawan tersebut menunjukkan karya-karya yang baik dan relevan untuk publiknya, wartawan seperti ini sudah beyond dari soal sertifikasi.
    Jadi buat saya perlu atau tidaknya sertifikasi harus dibuktikan dari pekerjaan sesungguhnya para wartawan, menghasilkan karya yang relevan bagi publik, menjadi instansi kritis bagi para penguasa, dan menjadi mata hati kehidupan masyarakat luas. Tanpa itu, lupakan sertifikasi, karena itu artinya pula jurnalisme telah mati. ●
  • Makin Adil…?

    Makin Adil…?
    Makmur Keliat, PENGAJAR FISIP UNIVERSITAS INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 10 Februari 2012
    “Secara moral, upah pekerja harus semakin baik, layak, dengan demikian semakin adil.” Kutipan di atas berasal dari pernyataan SBY yang dimuat Kompas, 2 Februari 2012, ketika menanggapi tuntutan kenaikan upah buruh. Namun, apakah yang dimaksud dengan adil itu?
    Pernyataan ”semakin adil” memang gampang diucapkan. Namun, kebijakan apakah yang harus diluncurkan sehingga semua pihak merasakannya sebagai suatu ungkapan ”keadilan” (justice) tidaklah soal semudah membalik telapak tangan.
    Pada masa lalu tersedia jalan pintas untuk mendefinisikan upah yang ”adil” itu. Dalam sistem politik otoriter seperti Orde Baru, keadilan dalam pengupahan haruslah sesuai dengan apa yang dipatok dan dirumuskan penguasa. Bukan hanya buruh yang harus taat, melainkan juga seluruh kelompok sosial lain. Yang tak taat harus siap menderita, bahkan harus kehilangan hak hidupnya seperti dalam kasus tewasnya Marsinah. Namun, dalam alam demokrasi seperti sekarang, kata-kata penguasa tentu bukanlah sabda atau kata akhir.
    Tangan Keadilan Gaib
    Ada dua jebakan besar yang dihadapi sistem politik demokratis dalam merumuskan upah yang adil. Jebakan pertama terkait kuatnya keinginan mengaitkan kebijakan upah dengan semangat pasar. Gagasan utamanya adalah upah yang ”adil” seharusnya dibuat atas dasar interaksi bebas antara pelaku pasar, dalam hal ini tentu saja di antara setiap individu buruh, dan perusahaan. Ada dua argumen dasar yang sering disebut oleh para pendukungnya mengapa pengaitan ini dianggap menjadi pilihan kebijakan ”terbaik”.
    Alasan pertama, watak mekanisme interaksi di pasar disebutkan berlangsung secara sukarela tanpa paksaan. Alasan lain, pasar dikonsepsikan sangat efisien. Jika dibiarkan bekerja sepenuhnya, pasar lalu dianggap menjadi mekanisme terbaik untuk pendistribusian ”keadilan”.
    Dalam rumusan kalimat yang lebih membujuk, logika ini melahirkan keyakinan tentang adanya ”tangan keadilan gaib” (invisible hand of justice) yang bekerja di dalam pasar. Dalam konteks upah buruh, logika ini berarti menganjurkan: biarkan hukum permintaan dan penawaran tenaga kerja berlaku tanpa campur tangan pihak ketiga.
    Jika argumen ”tangan keadilan gaib” ini dipakai sebagai rujukan, negara tentu saja dianggap tak perlu campur tangan dalam mendistribusikan kesejahteraan, termasuk dalam isu pengupahan. Seseorang yang bekerja sebagai buruh di pabrik, misalnya, tak pernah dipaksa untuk bekerja sebagai buruh. Pilihan itu bukan kebijakan kerja paksa seperti masa kolonial Belanda, melainkan buah dari pilihan bebas dan rasional setiap orang. Jika setiap orang berpikir berdasarkan logika pilihan bebas tanpa paksaan dan rasional seperti ini, diyakini redistribusi kesejahteraan akan terjadi secara otomatis.
    Sejauh menyangkut intervensi negara, gagasan ”tangan keadilan gaib” ini biasanya hanya menganjurkan intervensi ”minimum”. Negara hanya diizinkan mentransfer kesejahteraan bagi orang-orang yang tak dapat mendukung kelangsungan hidupnya. Namun, istilah intervensi ”minimum” ini pun tidak didorong oleh pertimbangan moral, tetapi lebih karena pertimbangan stabilitas politik.
    Campur tangan ”minimum” dilakukan hanya untuk mencegah agar tidak terjadi pergolakan politik dan bukan karena pertimbangan moral. Dalam konteks di Indonesia, istilah ”upah minimum” yang merupakan warisan dari rezim Orde Baru sebelumnya tampak sangat diinsiprasikan oleh gagasan ”tangan keadilan gaib” ini.
    Jebakan kedua terkait adanya upaya untuk menghubungkan gagasan upah yang ”adil” dengan semangat komunitarian. Intinya, kebijakan ”upah” yang adil itu perlu dihubungkan dengan keragaman sosial-kultural yang terdapat di masyarakat.
    Asumsi dasar pengikut komunitarian ini diletakkan pada gagasan berikut: keadilan bukanlah merupakan konsep tunggal. Apa yang dimaksud ”adil” di suatu komunitas bisa jadi dipandang tidak ”adil” di komunitas lain. Selain itu, redistribusi kesejahteraan bukan sekadar soal upah semata, melainkan juga menyangkut aspek kesejahteraan lain.
    Asumsi berikutnya, setiap komunitas memiliki kapasitas untuk membuat konsensus. 
    Karena itu, kelompok ini menolak logika redistribusi kesejahteraan yang bersifat tunggal dan universal yang dibuat oleh negara.
    Ada beberapa konsekuensi khas jika gagasan komunitarian ini dipakai sebagai rujukan untuk merumuskan kebijakan upah yang adil. Pertama, pelibatan setiap orang pada tingkat komunitas menjadi sangat penting. Kedua, perbedaan antara suatu komunitas dan komunitas lain tentang apa yang disebut ”adil” akan mengakibatkan adanya variasi yang sangat besar dalam penetapan tingkat upah. Ketiga, pelibatan negara juga menjadi sangat minim karena pandangan komunitarian pada dasarnya melekatkan ketidakpercayaan yang sangat besar terhadap negara. Mirip gagasan tangan keadilan gaib, pengaturan oleh negara dalam pendistribusian kesejahteraan melalui birokrasi diyakini para komunitarian hanya akan menghasilkan inefisiensi dan korupsi.
    Walau secara sekilas tampak baik, gagasan komunitarian untuk merumuskan upah yang ”adil” itu sangat mustahil dilakukan di Indonesia. Dengan keragaman kultural kita yang luar biasa, konsep ”upah” yang adil dengan basis pemikiran komunitarian hanya akan memunculkan kerumitan luar biasa.
    Kerumitan pertama, tidak ada jaminan seluruh komunitas terbebas dari penyakit perkoncoan berdasarkan ikatan darah dan personalisasi sehingga konsensus tidaklah mudah dan dapat saja dimanipulasi. Kesulitan kedua, konsensus biasanya juga akan lebih mudah tercapai dalam suatu komunitas yang latar belakang sosial-ekonominya berada pada lapisan atas. Namun, konsensus akan menjadi sangat sulit bagi lapisan bawah dan rentan terhadap tindakan-tindakan manipulatif.
    Keadilan Tanpa Negara?
    Bagaimana meloloskan diri dari jebakan berbahaya yang ada di konsep ”keadilan pasar” dan ”keadilan komuntarian” ini? Ia disebut jebakan berbahaya karena keduanya menafikan pentingnya peran negara dan menyiratkan ketidakpercayaan terhadap negara.
    Kedua jebakan itu sebenarnya bermuara pada suatu mimpi besar yang sama, yaitu berusaha untuk mewujudkan gagasan tentang ”keadilan tanpa negara”. Gagasan seperti ini bukan hanya problematik secara akademik, secara politik juga sangat berseberangan dengan semangat konstitusional negeri ini yang memandatkan keadilan sosial sebagai bagian dari tanggung jawab negara.
    ”Keadilan pasar” sebenarnya bisa saja dimaksudkan untuk menyembunyikan motif akumulasi laba dari pemilik modal dan perusahaan. Bukankah tak ada perusahaan di dunia ini yang menyatakan ”cukuplah sudah besaran laba yang kami peroleh demi peningkatan kesejahteraan buruh dan penyerapan tenaga kerja”.
    Demikian juga dengan ”keadilan komunitarian”. Gagasan ini dapat menjadi tempat yang paling nyaman dan aman untuk menyembunyikan semangat komunal. Dengan menguatnya sentimen kedaerahan dan politik lokal di negeri ini, misalnya, melalui slogan ”ekonomi daerah untuk putra daerah”, gagasan komunitarian sangat mudah tergelincir menjadi tindakan-tindakan komunalisme. Gagasan itu dapat menjadi variabel dependen dari sentimen sektarian dan tunduk pada perhitungan politik jangka pendek dari kompetisi elite di tingkat lokal.
    Karena itu, tidak ada cara lain untuk melawan dua gagasan tersebut kecuali dengan menciptakan tangan keadilan negara menjadi lebih visible, lebih tampak. Namun, gagasan tangan keadilan negara yang tampak itu bukan berarti kembali ke masa Orde Baru yang sekadar terfokus pada penetapan tingkat upah minimum. Lebih dari itu, tangan keadilan negara harus dapat diperluas sehingga dapat menjangkau tindakan-tindakan konkret untuk mewujudkan fungsi-fungsi kesejahteraan yang harus dijalankan dan diberikan negara kepada setiap warganya.
    Adalah fakta yang menyedihkan, seperti yang dikemukakan dalam tulisan opini Anwar Nasution (Kompas, 2 Februari 2012), rasio penerimaan negara dari pajak (11,6 persen pada 2010) di negeri ini adalah salah satu yang paling rendah di antara negara-negara berkembang. Kemampuan fiskal yang rendah inilah yang jadi salah satu sebab mengapa ”gagasan keadilan tanpa negara” menjadi tumbuh subur dan merebak di negeri ini.
    Suatu fakta yang menyedihkan juga bahwa hingga kini jaminan asuransi kesehatan hanya dijamin negara kepada warganya yang, terutama, bekerja sebagai pegawai negeri. Kebijakan ini seakan menyiratkan buruh bukanlah warga negara.
    Bahkan, terobosan hukum yang dibuat tahun lalu dengan mengeluarkan UU BPJS belum juga dapat diberlakukan. Selain karena kemampuan keuangan negara yang terbatas, juga terdapat pesimisme yang besar apakah ketentuan hukum ini dapat diberlakukan secara efektif pada Juli 2015. Ringkasnya, sukar sekali berharap akan ada keadilan sosial yang semakin baik dalam negara dengan kapasitas finansial yang sangat terbatas seperti Indonesia.
    Penulis sangat yakin demonstrasi buruh tidak berangkat dari gagasan keadilan yang revolusioner. Mereka tidaklah menuntut kesetaraan dalam distribusi kesejahteraan. Mereka tak pernah menuntut agar jumlah total produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang kian membesar itu (kini diperkirakan Rp 7.000 triliun) harus didistribusikan atau dibagi secara merata kepada setiap warga. Yang mereka tuntut dan pertanyakan sebetulnya sederhana: mengapa PDB yang semakin besar itu belum juga membesarkan kehidupan diri mereka dan keluarganya? ●
  • Kembali ke Pesantren

    Kembali ke Pesantren
    Said Aqil Siroj, KETUA UMUM PBNU
    Sumber : KOMPAS, 10 Februari 2012
    Mengapa pesantren? Bisa ditebak, pertanyaan ini memang bisa memantik rasa penasaran banyak orang. Patut diingat, memperbincangkan pesantren berarti tidak bisa ”pukul rata” pada semua pesantren.
    Dalam perkembangannya sekarang, pesantren memang perlu dipilah-pilah agar tidak rabun saat menatapnya. Masyarakat bisa saja ”jengah” melihat sepak terjang seperti pesantren di Bima yang berpapan nama Pesantren Umar bin Khaththab dan digerebek polisi karena menyimpan amunisi bom beberapa waktu lalu. Inilah tipe pesantren sarang radikalisme.
    Dalam suasana merebaknya radikalisme agama, wajar jika kita terus ”siaga satu” meneropong kehadiran pesantren. Apalagi, saat ini ditengarai munculnya pesantren-pesantren ”dadakan” yang eksklusif. Kehadiran pesantren jenis ini tampaknya tengah menggempur kota hingga desa. Militansi yang berlebihan dari sekelompok Muslim dengan dalih ”dakwah” telah menjadikan pesantren bercita rasa menakutkan. Padahal, selama ini pesantren mempunyai citra teduh dan santun dalam menggembleng santri memahami ajaran Islam.
    Kekayaan Budaya
    Perlu untuk membaca kembali pesantren sebagai warisan kekayaan budaya Nusantara. Dalam sejumlah aspek, pesantren juga dipandang sebagai benteng pertahanan kebudayaan karena peran sejarah yang dimainkannya.
    Harapan ini tentu saja tidak terlalu meleset dari konstruksi budaya yang digariskan pendirinya. Selain diangankan sebagai pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan yang berdimensi religius atau sekadar improvisasi lokal, pesantren juga dipersiapkan sebagai penggerak transformasi bagi komunitas masyarakat dan bangsa. Angan-angan tersebut justru diberangkatkan dari ”landasan tradisi” masyarakat setempat.
    Sebagai hasil dari pergulatan kebudayaan yang kreatif antara tradisi kajian, sistem pendidikan, dan pola interaksi kiai-santri-masyarakat yang dibangun, pesantren akhirnya memiliki pola yang spesifik. Maka, pesantren pun menjadi subkultur dalam kultur bangsa Indonesia.
    Dengan pola kehidupannya yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Pesantren bersemayam sebagai lembaga pendidikan Islam yang sangat berakar di masyarakat. Kiai pendiri sebuah pesantren akan berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan masyarakat pun merasa memilikinya.
    Dalam perkembangannya, pesantren berada dalam kedudukan kultural yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan masyarakat sekitar. Kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren bertransformasi total dalam sikap hidup tanpa mengorbankan identitas diri. Pola pertumbuhan pesantren menunjukkan kemampuan untuk berubah total itu.
    Kebebasan relatif pondok pesantren dari intervensi eksternal dalam skala besar telah memberikan ruang untuk melakukan transformasi yang dibutuhkan bagi eksperimentasi dengan ide-ide dan gagasan para pemikir. Kebebasan relatif hasil dari keterampilan pesantren merespons metode konstruktif dari tantangan eksternal seperti sistem sekolah Barat adalah situasi otonom yang diberikan oleh pesantren dan cukup fleksibel dalam rangka memelopori konsep pendidikan baru. Dalam perspektif kebudayaan, melaksanakan peraturan pelengkap dengan kesadaran ideologis memberikan landasan kuat untuk transformasi sosial yang fundamental dan dibutuhkan oleh negara ke depan.
    Sejarah membuktikan bahwa pesantren telah berperan sebagai agen ortodoksi Islam yang paling penting. Ini berarti bahwa pesantren lebih banyak memperhatikan bagaimana menjaga ajaran Islam dan tarikan akulturatif berbagai unsur sistem kepercayaan lokal atau asing. Soal kesinambungan menjadi sangat penting. Akibatnya, di samping menjadi ”makelar kebudayaan” (cultural broker), pesantren juga berfungsi sebagai filter dari unsur-unsur luar yang dominan.
    Menghindari ”Kalap Teks”
    Kitab kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik pesantren. Selain sebagai pedoman bagi tata cara keberagamaan, kitab kuning juga difungsikan oleh kalangan pesantren sebagai referensi (marji’) nilai universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan.
    Segi dinamis yang diperlihatkan kitab kuning adalah transfer pembentukan tradisi keilmuan yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu humanistik (adab). Tanpa kitab kuning, dalam pengertian yang lebih kompleks, tradisi intelektual sulit bisa keluar dari kemelut ekstremitas.
    Pesantren ”jenis kelamin” inilah yang membedakan dengan pesantren-pesantren ”kagetan” yang lebih menekankan pada upaya puritanisme radikal. Pesantren model ini berisiko menafikan peran khazanah klasik keislaman yang menyimpan jamak mutiara pemikiran ulama. Islam kemudian dipahami secara ”kering kerontang” oleh sebab pengajaran Islam dijauhkan dari tradisi estafeta pemikiran. Sebaliknya, pesantren yang mengakrabi pengajaran secara ”sistematis” keilmuan dengan senantiasa merujuk pada pemahaman ulama terdahulu tanpa meninggalkan semangat penggalian terhadap sumber primer keislaman, pesantren inilah yang mampu melahirkan sikap-sikap yang tasamuh (lapang dada), tawazun (seimbang), dan i’tidal (adil). Pendidikan pesantren seperti ini tidak akan memproduksi sikap radikal yang berpunggungan dengan kultur azali moderat ajaran Islam.
    Prinsip mengemban Islam yang ramah dan penuh kasih merupakan jihad suci. Pemikiran yang demikian sudah menjadi dasar pesantren dalam kurun waktu lama. Sedari awal berdirinya, pesantren sudah diarahkan sebagai komponen bagi pembaruan masyarakat. Dan, pembaruan yang diungkapkan oleh pesantren itu melalui proses yang lentur, tidak kaku atau menutup diri terhadap dunia luar. Inilah yang justru menumbuhkan sikap para santri untuk terbuka wawasannya, menerima, dan sekaligus kritis terhadap gejala-gejala baru yang muncul.
    Ada tiga hal yang perlu dikokohkan pesantren. Pertama, tamadun, yaitu merancang bangun pesantren sebagai model pendidikan yang terbuka, baik secara keilmuan maupun kemasyarakatan. Kedua, tsaqafah, yaitu memberikan pencerahan kepada masyarakat agar kreatif-produktif sehingga pesantren mampu jadi agen perubahan yang bermanfaat dalam spektrum keindonesiaan. Ketiga, hadharah, membangun budaya. Di sini, pesantren diharapkan mampu melestarikan dan mengembangkan tradisi adiluhung di tengah pengaruh dahsyat globalisasi yang menyeragamkan budaya melalui produk teknologi.
    Islam bukanlah agama akidah dan syariat semata. Persentase akidah dan syariat hanya 10 persen, sedangkan kandungan lain adalah peradaban akhlak dan budaya. Tugas umat Muslim tidak melulu mendoktrinkan akidah-syariat (halal-haram) atau melahirkan fatwa sesat-menyesatkan, tetapi juga bagaimana doktrin dengan kebenaran ilmiah, bukan dogma kaku akibat ”kalap teks”.
    Prinsipnya adalah al-muhafadzah ’ala al qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Dengan demikian, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam dengan visi mencetak manusia-manusia unggul yang inklusif dan kosmopolit. ●
  • Buruk Muka, Pers Jangan Dibelah

    Buruk Muka, Pers Jangan Dibelah
    S Sinansari Ecip, PERNAH MEMIMPIN KOMISI PENYIARAN INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 9 Februari 2012
    Pers adalah cermin masyarakat. Bagian-bagian penting yang terjadi di tengah masyarakat akan tampak di dalam pers.
    Lembaga pers dengan media massanya melalui mekanisme saringannya, baik yang umum maupun yang khusus, akan memilih bagian-bagian yang dianggap penting tersebut. Itulah yang lebih kurang dikatakan Walter Lippmann: ”pers menampilkan sesuatu seperti yang disorot lampu senternya”.
    Indonesia sudah 20-an tahun memasuki masa media massa baru atau media massa alternatif, bersamaan dengan maraknya internet. Beberapa koran mempunyai edisi online. Beberapa situs berita lahir. Media tradisional, yaitu media cetak dan radio/TV, terikat pada kekuasaan formal. Mereka tunduk pada aturan formal yang dikontrol penguasa.
    Kelahiran media massa bawah tanah memperkuat kehadiran situs berita. Menjelang jatuhnya Presiden Soeharto, kita tentu ingat ada dua situs berita bawah tanah yang menonjol: Tempointeraktif dan Apakabar. Isinya kritik-kritik kepada kekuasaan dan berita-berita terbaru yang tak muncul di media tradisional itu.
    Media alternatif itu punya kelebihan, terutama kecepatan dalam pemberitaannya. Acap terjadi karena pengutamaan kecepatan, ketepatan dikeduakan. Teknologi memberi kemudahan memperbaiki berita yang kurang tepat pada menit kedua. Akurasi dikesampingkan. Dalam jurnalisme, akurasi sangat penting. Caranya: melakukan konfirmasi atau verifikasi atau istilah yang lebih populer cek-ricek. Idealnya pemberitaan di situs berita adalah cepat dan tepat.
    Kepemilikan Silang
    Di banyak negeri yang sudah lebih dulu maju, kepemilikan media tak mengunggulkan satu jenis media, kepemilikan silang. Satu grup perusahaan mempunyai ko- ran, radio, TV, dan situs berita. TV adalah media yang paling ku- rang interaktif. Pemirsa TV kurang bisa berinteraksi aktif. Itu kontradiktif dengan kepopuleran siaran TV yang sekarang ini jumlahnya paling banyak ketimbang khalayak media lain. Stasiun TV seolah-olah menjadi penguasa dan khalayaknya adalah yang mereka kuasai.
    Di Indonesia juga demikian. Harian Kompas mempunyai banyak koran di daerah, kebanyakan dengan menggunakan nama Tribun. Radio juga berkembang dengan jaringan Sonora. TV memanfaatkan berbagai jaringan TV lokal. Situs beritanya juga lumayan.
    Grup Jawa Pos punya banyak koran daerah dengan mengangkat nama Radar, Pos, Ekspres, dan lain-lain. Tiras koran di Jakarta turun, tetapi tiras anggota Grup Jawa Pos di daerah naik dengan harga stabil. Pesaing yang berharga rendah sulit menaikkan tiras karena itu akan berakibat subsidi bertambah. Radio belum banyak. Jaringan TV lokal belum kuat, tetapi JTV di Surabaya sangat fenomenal dengan logat bahasa Surabaya yang kental. Situs beritanya juga lumayan.
    Media Indonesia—dan sedikit koran daerah—punya Metro TV. Dalam kaitan Partai Nasdem, Surya Paloh diperkuat oleh bos RCTI, Hary Tanoesoedibjo. Sulit dihindari orang menduga bahwa keduanya akan didukung tambahan media karena ada anggota kelompok Global TV dan eks-TPI, jaringan radio Tri Jaya, dan koran Seputar Indonesia.
    TransTV dan Trans7 adalah kekuatan baru. Kedua stasiun TV ini berada di papan atas karena perkawinan pemodal dan profesional yang tepat. Mereka mengutamakan program produksi sendiri. Situs berita Detik.com yang sangat kuat dibeli kelompok ini kemudian dikembangkan menjadi media-media yang lebih baru di dunia maya.
    TVOne adalah TV berita yang kedua dan lahir setelah Metro TV dengan memperkuat diri pada berita dan olahraga. Dalam kaitan berita harian, kedua stasiun TV ini merajai pemirsa. TVOne bersaudara dan diperkuat oleh ANTV.
    Hitungan Politik
    Dengan kepemilikan silang dan konglomerasi, dikhawatirkan media akan memberi informasi dengan pandangan satu sisi. Dengan perkembangan seperti itu, bukan tak mungkin akan terjadi monopoli informasi. Monopoli informasi akan membuat massa tidak demokratis karena mereka akan seperti mengenakan kaca mata kuda.
    Dalam kaitan pemilu legislatif dan pemilihan presiden, pengaruh media massa sangatlah kuat. Survei-survei menjelang pemilih- an umum presiden sebagian besar adalah hasil terpaan media. Orang kemudian menghitung-hitung, siapa yang ”menguasai” media akan beroleh kemenangan. Penguasaan media di sini tidak selalu berarti memiliki media, tetapi juga dapat berarti memanfaatkan media.
    Memanfaatkan media bisa dalam bentuk pemberitaan ataupun iklan. Dalam pemberitaan ada aturannya, harus berimbang, tetapi sering dalam praktik sulit terlaksana. Iklan juga harus berimbang, tetapi parpol yang kaya lebih sering tampil dibandingkan parpol yang miskin. Bawaslu, Dewan Pers, dan Komisi Penyiaran Indonesia harus bertindak lebih tegas jika ada pelanggaran.
    Penulis mengambil misal sembarangan, ada lima parpol papan atas: Partai Demokrat (PD), Partai Golkar (PG), Partai Demokra- si Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Hanya PG yang ”mempunyai” media kuat (TVOne, ANTV, dan koran Suara Karya). PD hanya ”punya” koran Jurnal Nasional. PDI-P, PKS, dan PAN tak punya media umum. Partai Nasdem ”punya” Grup Metro TV dan Grup RCTI.
    Untuk pemilihan umum presiden, akan lain lagi hitung-hitungannya. Calon presiden PG ”punya” TVOne, ANTV, dan Suara Karya. Jika dugaan benar, tokoh PG yang kaya dapat memanfaatkan media yang lain secara komersial. Calon presiden PD belum diketahui, mungkin akan memanfaatkan Grup Jawa Pos dan TransTV karena Dahlan Iskan jadi menteri yang mungkin jadi calon wakil presiden dan Chairul Tanjung dekat dengan pemerintah sekarang.
    Tentu saja kita berharap, media massa akan berlaku adil dan jujur. Pemberitaan dan ruang iklan sepantasnya berimbang, tidak ada monopoli. Media yang tidak berimbang menunjukkan dirinya tidak dewasa. Jangan masyarakat dipaksa menggunakan kacamata kuda. Sudah waktunya media massa lebih profesional.
    Pada pemilu yang lalu, PD dan SBY menang tidak melulu karena pemanfaatan media massa. Mereka melakukan ”operasi bawah tanah” yang luar biasa. Konon PG akan melakukan hal yang sama dengan mengumpulkan para pensiunan perwira tinggi.
    Banyak kritik terhadap pers, yaitu media massa yang menyajikan kemasan informasi dalam karya jurnalisme. Kekuasaan dijadikan sasaran kritik supaya mereka menggunakan kekuasaan secara tidak berlebihan.
    Pemerintah bukan lagi penguasa, melainkan pelayan untuk kepentingan rakyat. Manakala pemerintah merasa menjadi bulan-bulanan pers, pertama-tama pemerintah harus bercermin. Jika yang terpampang di cermin buruk, jangan pers dibelah atau dihancurkan. Pers sepantasnya dipelihara bersama, disehatkan. ●
  • Korupsi Sektor Swasta

    Korupsi Sektor Swasta
    Jamin Ginting, DOSEN TINDAK PIDANA KORUPSI FAKULTAS HUKUM
    UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
    Sumber : KOMPAS, 9 Februari 2012
    Korupsi tak hanya terkait dengan kerugian negara dan badan-badan usaha yang kekayaannya milik negara atau ada penyertaan keuangan negara. Korupsi sektor swasta juga dapat memengaruhi kerusakan perkembangan pembangunan di suatu negara.
    Hal yang sering terjadi adalah korupsi dalam transaksi bisnis di sektor publik. Namun, juga tak kalah penting adalah korupsi di antara para pelaku bisnis di sektor swasta. Semakin korup sektor swasta, perekonomian sebuah negara kian sulit berkembang.
    Rumusnya sederhana: investor tentu lebih memilih negara yang memihak pebisnis. Investor sangat menyukai negara yang pelayanan publiknya bebas pungutan liar, aturan pembayaran pajak transparan, serta adanya jaminan kepastian hukum terkait kemungkinan sengketa bisnis melalui jalur hukum. Sebaliknya, investor sangat tidak suka rantai birokrasi yang berbelit, adanya biaya tambahan dalam pengurusan kepentingan bisnis, serta aparat penegak hukum yang korup.
    Berdasarkan Pasal 12 dan 21 Konvensi PBB Antikorupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC), yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No 7/2006, diatur tentang penyuapan di sektor swasta, termasuk tindak pidana korupsi. Bahkan, dalam OECD Anti-Bribery Convention diatur soal penyuapan oleh pejabat publik asing yang menyangkut transaksi bisnis internasional.
    Meski UNCAC telah diratifikasi dengan UU No 7/2006, ketentuan tentang korupsi di sektor swasta belum dicantumkan dalam RUU Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Juga belum ada satu peraturan tentang korupsi di sektor swasta. Padahal, dalam melaksanakan bisnis diperlukan adanya kepatuhan, etika, dan kepercayaan di sektor swasta.
    Berdasarkan laporan World Economic Forum, Indonesia menempati urutan ke-46 dari 142 negara yang disurvei dalam hal daya saing ekonomi. Posisi Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Singapura (2), Malaysia (21), Brunei (28), dan Thailand (39).
    Salah satu penyebabnya terkait masalah korupsi dan etik, yang menempati urutan ke-69 (skor 3.24). Bandingkan dengan Singapura yang berada di urutan pertama (6.51). Masalah suap dan pembayaran yang tidak wajar di urutan ke-103 (Singapura urutan ke-3). Terlihat bagaimana etika dan korupsi sangat rendah, serta suap dan pembayaran yang seharusnya tak perlu jadi masalah jika saja pemerintah serius membuat pengaturan terkait korupsi di sektor swasta.
    Regulasi Sektor Swasta
    Regulasi terkait masalah korupsi di sektor swasta adalah suatu hal yang sangat mendesak dan penting untuk diatur. Hal ini demi kesinambungan perekonomian dan iklim investasi di Indonesia. Adanya aturan yang fairness, adil, terhadap pelaku bisnis swasta yang berusaha menyuap, bukan hanya pejabat publik melainkan juga pelaku bisnis swasta lain, sudah waktunya dibuat dan ditegakkan.
    Untuk jangka pendek mungkin perusahaan penyuap mendapatkan keuntungan, tetapi dia akan jadi sasaran empuk untuk diperas oleh pejabat ataupun pelaku bisnis lain yang disuap tersebut. Pemberian imbalan akibat persekongkolan bisnis, baik bagi pejabat publik maupun swasta, akan menyisakan bukti-bukti yang harus ditutupi dengan biaya yang jauh lebih mahal daripada jika dilakukan dengan jujur.
    Negara-negara di Afrika telah memiliki konvensi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi. Lewat apa yang disebut sebagai African Union Convention on Preventing and Combating Corruption 2003, diatur ketentuan tentang korupsi di sektor swasta.
    Dalam Pasal 11 konvensi itu disebutkan: setiap negara harus mengambil tindakan-tindakan dalam rangka mencegah dan memberantas korupsi yang berkaitan dengan agen-agen di sektor swasta; membuat mekanisme untuk meningkatkan partisipasi sektor swasta untuk memerangi persaingan curang; menghormati prosedur tender dan hak atas kekayaan intelektual; serta mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan dalam rangka mencegah perusahaan-perusahaan dari pemberian suap untuk memenangi suatu tender di antara para pelaku bisnis.
    Penyuapan sektor swasta di Estonia, misalnya, menunjukkan 34 persen pengusaha di sana menyuap penyelenggara tender untuk memenangi suatu tender yang dilakukan oleh pemerintah. Tindakan semacam itu dikategorikan sebagai penyuapan sektor swasta. Persekongkolan di antara peserta tender untuk memenangkan salah satu peserta, dengan melakukan penyuapan di antara mereka, juga dikategorikan sebagai korupsi oleh swasta.
    Estonia tidak jauh berbeda dengan negara kita. Berdasarkan survei Transparansi International Indonesia (TII) pada 2008, 90 pebisnis paham UU Tindak Pidana Korupsi, tetapi praktik suap dan persekongkolan untuk memenangkan tender di antara mereka terus berjalan, bahkan amat merugikan pebisnis lain.
    Jika suatu perusahaan menganggarkan 10 persen saja untuk uang pelicin dan suap, tentu akan berdampak pada biaya konsumen terhadap harga barang tersebut. Begitu pun jika seorang bankir merampok banknya sendiri tanpa diberi sanksi pidana, atau terjadi kartel di antara para pengusaha untuk mengatur harga barang-barang dengan mendapatkan keuntungan dengan saling suap di antara mereka. Praktik-praktik semacam itu, termasuk suap kepada para agen-agen penilai, dapat dikategorikan sebagai korupsi sektor swasta.
    Model-model korupsi kalangan swasta tersebut seharusnya mendapatkan perhatian negara. Caranya? Segera revisi UU Tindak Pidana Korupsi dan mencantumkan korupsi sektor swasta sebagai suatu bagian dari tindak pidana korupsi di Indonesia. ●
  • Membubarkan Partai Korup

    Membubarkan Partai Korup
    Muhammad Aziz Hakim, MASTER HUKUM ALUMNUS UNIVERSITAS INDONESIA;
    PENGURUS PP GP ANSOR
    Sumber : KOMPAS, 9 Februari 2012
    Pernyataan bahwa partai politik adalah bungker koruptor harus dilihat sebagai sebuah sindiran terhadap realitas partai politik saat ini. Adalah fakta bahwa terpidana, tersangka, dan bakal tersangka korupsi sebagian besar adalah politikus.
    Partai politik seperti berganti peran. Ia menjadi tempat perburuan rente sekaligus pelindung dari ancaman tindak pidana korupsi. Partai politik bukan lagi pencipta demokrasi, seperti yang disebutkan Schattscheider, melainkan pencipta koruptor. Pertanyaan kita, mungkinkah membubarkan partai korup?
    UUD 1945 yang diamandemen memberi pengakuan konstitusional terhadap partai politik dan mengatur pembubaran partai politik. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final untuk memutuskan pembubaran partai politik. Berdasarkan pasal ini, pembubaran partai menjadi yurisprudensi Mahkamah Konstitusi.
    Landasan Yuridis
    Saat ini pembubaran partai politik dia- tur oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah oleh UU No 2/2011 tentang Perubahan UU No 2/2008 tentang Partai Politik dan UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan pada Pasal 48 Ayat (3) dan Ayat (7) UU No 2/2008, partai politik dapat dibubarkan karena beberapa alasan.
    Pertama, melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan. Kedua, melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI. Ketiga, menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme, marxisme-leninisme.
    Satu-satunya pihak yang berhak mengajukan permohonan perkara pembubaran partai politik, menurut Pasal 68 Ayat (1) UU No 24/2003, adalah pemerintah. Ketentuan pada pasal ini juga menegaskan kewajiban pemohon untuk secara jelas menguraikan dalam permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
    Pendeknya, secara yuridis formal pembubaran partai politik di Indonesia dimohonkan oleh pemerintah dengan alasan ada pelanggaran konstitusi.
    Di negara lain secara umum terdapat dua model alasan membubarkan partai politik. Pertama, partai melanggar konstitusi, prinsip-prinsip demokrasi, pemerintahan berdasarkan hukum, serta membahayakan kedaulatan dan integritas bangsa. Negara yang menganut model ini, antara lain, Thailand, Turki, Korea Selatan, dan Jerman. Kedua, partai tidak lagi memenuhi syarat sebagai partai politik: gagal memperoleh jumlah kursi tertentu dalam pemilihan umum. Alasan kedua ini administratif. Negara-negara yang menerapkan alasan kedua, antara lain, Romania, Polandia, dan Hongaria.
    Pada umumnya hak mengajukan permohonan pembubaran partai politik diberikan hanya kepada pemerintah melalui penuntut umum. Namun, permohonan pembubaran partai politik di Jerman dan Romania diajukan pemerintah atau parlemen; di Eritrea dan Yaman diajukan oleh Komisi Pemilihan Umum; di Slowakia oleh pemerintah atau partai politik; di Slovenia dapat diajukan oleh setiap warga negara.
    Dengan ketentuan yuridis yang termaktub pada UU No 2/2008—sebagaimana diubah UU No 2/2011 dan UU No 24/2003—sudah tertutupkah peluang membubarkan partai korup?
    Saat ini, misalnya, apakah mungkin membubarkan Partai Demokrat yang sedang dihantam badai korupsi? Peluangnya sangat tipis. Hampir tidak ada pintu masuk sebagai landasan hukum yang kuat untuk menjerat Partai Demokrat apabila ketua umumnya, Anas Urbaningrum, terseret sebagai terdakwa.
    Satu-satunya peluang—itu pun sangat sempit— adalah menjerat Partai Demokrat dengan Pasal 40 Ayat 2 huruf (a) UU No 2/2008 yang berkaitan dengan larangan melakukan kegiatan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Selain landasan hukumnya lemah, menjerat Partai Demokrat dengan pasal ini pastilah sangat sulit karena mustahil bagi pemerintah, yang notabene dikuasai Partai Demokrat, selaku satu-satunya pihak yang berhak untuk membubarkan partainya sendiri.
    Sebuah Utopia?
    Berpijak pada realitas ini, perlu dipikirkan rekonstruksi terhadap sistem kepartaian, terutama menyangkut alasan pembubaran partai politik dan pihak yang berhak mengajukan permohonan perkara pembubaran tersebut. Rekonstruksi harus dimulai dengan melakukan revisi terhadap UU No 2/2008, UU No 2/2011, dan UU No 24/2003.
    Pertama, menyangkut alasan pembubaran partai. Sudah waktunya tindak korupsi yang sistematis, terstruktur, dan masif dalam sebuah partai politik menjadi salah satu alasan hukum yang dapat digunakan untuk membubarkan partai. Pertimbangan hukum apakah tindak korupsi yang dilakukan seorang kader partai sistematis, terstruktur, dan masif yang berakibat terseretnya institusi partai sehingga layak dibubarkan adalah domain Mahkamah Konstitusi. Di tangan Mahkamah Konstitusi inilah diputuskan layak tidaknya kategori korupsi kader itu sebagai tindak pidana yang sistematis, terstruktur, dan masif.
    Dengan masuknya ketentuan ini, setiap kader partai lebih memiliki tanggung jawab menjaga ”kebersihan” partainya. Ketentuan ini juga dapat mengembalikan fungsi sejati partai politik sebagai kawah ”candradimuka” bagi para calon pejabat publik. Partai yang bersih akan menghasilkan kader yang bersih. Pada akhirnya pejabat publik yang tampil adalah kader-kader partai yang bersih pula.
    Kedua, menyangkut pemohon. Rekonstruksi mengenai pemohon perkara pembubaran partai politik mutlak dilakukan. Sudah saatnya pemohon perkara pembubaran partai tak hanya dimonopoli pemerintah. Berbagai elemen bangsa yang lain perlu mendapat hak yang sama.
    Bagaimanapun, partai politik adalah faktor kunci keberhasilan demokrasi. Maka, menjaga partai politik dari perilaku korup merupakan tugas bersama segenap elemen bangsa. Barangkali terlalu revolusioner jika setiap warga negara berhak mengajukan permohonan pembubaran partai politik. Oleh karena itu, minimal ketentuan yang berlaku di Slowakia patut ditiru: pemerintah atau partai politik mempunyai hak mengajukan permohonan pembubaran partai.
    Pada akhirnya kemauan politik anggota parlemen sangat menentukan dalam upaya rekonstruksi ini. Dengan tidak adanya kemauan politik ke arah rekonstruksi ini, langgam perjalanan partai politik di Indonesia dipastikan tak akan mengalami perubahan signifikan. Partai sebagai bungker koruptor masih langgeng dan membubarkan partai korup benar-benar utopia. ●
  • Negara Hukum Seharusnya Bagaimana?

    Negara Hukum Seharusnya Bagaimana?
    Suhartono Ronggodirdjo, MANTAN DIPLOMAT; PEMERHATI MASALAH INTERNASIONAL
    Sumber : KOMPAS, 9 Februari 2012
    Suatu hari pada Februari 1992, Stella Liebeck bersama cucunya—dalam perjalanan di Albuquerque, New Mexico, AS—mampir beli kopi panas di restoran cepat saji McDonald’s.
    Di mobil, nenek Liebeck hendak menuang krim ke kopinya, kopi pun tumpah mengenai paha dan pinggulnya. Kopi yang masih sangat panas itu membuat kulit pahanya mengelupas sehingga ia harus dirawat di rumah sakit selama satu minggu.
    Karena kejadian itu, Liebeck dengan bantuan pengacara menuntut McDonald’s membayar ganti rugi. Liebeck memenangi perkara dan McDonald’s harus membayar 480.000 dollar AS. Kasus ini terjadi di Amerika Serikat. Dari sudut pandang kita dan berdasarkan pengalaman di Indonesia, kasus ini terbilang aneh, tetapi di Amerika Serikat penyelesaian kasus semacam ini banyak terjadi.
    Mengapa Amerika Serikat? Ini hanya untuk mempermudah contoh kasus karena selama ini kita menganut sistem kenegaraan yang ”sama”, yakni demokrasi, kapitalis liberal (walau secara resmi tidak pernah diakui), dan negara yang mengutamakan supremasi hukum. Bahkan, para petinggi kita sering mengatakan bahwa kita ini negara hukum.
    Namun, tampaknya ada kekurangjelasan dalam pengertian negara hukum. Bisa dimaklumi karena mayoritas rakyat Indonesia tidak pernah belajar ilmu hukum, apalagi jadi ahli hukum. Akan tetapi, untuk mengetahui sesuatu kejadian itu ada pelanggaran hukum atau tidak rasanya common sense bisa merasakan.
    Sejumlah kasus akhir-akhir ini, seperti di Mesuji, Bima, dan kasus serupa di tempat-tempat lain, jelas merupakan pelanggaran hukum dan baru terkuak setelah media menjadikannya laporan dan berita. Seandainya tidak jadi berita publik, barangkali kasus itu ”tidak ada”.
    Tanggung jawab Siapa?
    Permasalahan yang jelas, tetapi jadi tak jelas karena tak pernah disinggung dan terpikirkan adalah ”siapa bertanggung jawab atas kejadian yang merugikan seseorang karena lingkungan”.
    Sebagai contoh, kejadian ketika seorang mahasiswi yang terperosok ke saluran air di pinggir jalan yang terbuka dan tertutup air karena hujan sehingga kelelep dan meninggal; seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh karena jalan aspal yang berlubang cukup dalam sehingga terluka parah; karena hujan deras baliho reklame besar roboh menimpa manusia dan kendaraan; serta baru-baru ini seorang mahasiswi satu universitas swasta nasional meninggal dunia akibat tertimpa pohon yang tumbang karena angin.
    Semua ini terjadi di Jakarta, pusat pemerintahan. Logikanya, jalan umum itu milik siapa dan siapa yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pengawasan jalan itu, dialah yang bertanggung jawab. Siapa yang memiliki dan bertanggung jawab atas pemeliharaan got atau saluran air di jalanan umum?
    Mengapa sampai terjadi got terbuka dan tidak diperbaiki sehingga menghilangkan nyawa seseorang. Siapa pula yang bertanggung jawab atas jalan umum yang berlubang? Juga siapa yang bertanggung jawab atas pengawasan dan pemeliharaan serta penertiban baliho dan pohon-pohon besar di pinggir jalan yang tumbang karena ”tidak diurus” hingga menyebabkan seseorang kehilangan nyawa? Di negara beradab, nyawa seseorang yang tidak berdosa itu sangat mahal.
    Juga tidak kalah penting ”makanan”. Sudah sering ditemukan dan dipublikasikan makanan-makanan yang dijual di pasar menggunakan zat-zat berbahaya yang dapat merusak kesehatan, seperti formalin, zat pewarna, dan pengawet dari bahan kimia. Benar operasi pasar pernah dilakukan, tetapi tak pernah ada tindakan tegas kepada penjual dan pembuatnya. Apa yang akan dilakukan jika makanan-makanan itu menelan korban? Dan, masih banyak lagi, termasuk malapraktik kedokteran.
    Sekali lagi Indonesia adalah negara hukum dan dalam Pembukaan UUD 1945 Ayat 4 berbunyi, ”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia….” Mungkin kasus-kasus semacam itu tidak termasuk ranah ”negara hukum” dan secuil Ayat 4 Pembukaan UUD 1945 ini tidak jelas mengarah ke perlindungan warga negara dalam kasus-kasus seperti itu sehingga penyelesaian kasus seperti pada awal tulisan ini tidak terjadi di Indonesia. ●