Category: Uncategorized

  • Amandemen Konstitusi

    Amandemen Konstitusi
    Moh Mahfud MD, GURU BESAR HUKUM KONSTITUSI
    Sumber : SINDO, 11 Februari 2012
    Pekan lalu, selama sepekan, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bekerja sama dengan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) menyelenggarakan Pekan Konstitusi.

    Kegiatan yang dikemas dalam bentuk perjamuan ilmiah secara maraton selama lima hari itu difokuskan pada kajian konstitusi kita, UUD 1945, baik dasar-dasar filosofi dan konseptualnya maupun dalam implementasinya. Seperti bisa diduga,karena salah satu penyelenggara perjamuan ilmiah itu adalah DPD, pembicaraan selama lima hari itu mencari celah bagi kemungkinan dilakukannya perubahan atas UUD 1945 yang sebenarnya sudah diubah dalam empat tahap perubahan (1999-2002).

    DPD sebagai lembaga negara yang lahir dari hasil perubahan UUD 1945 memang gencar memperjuangkan dilakukannya amendemen kembali atas UUD 1945 yang sudah diamendemen itu. Ada yang menilai langkah DPD mengusulkan amendemen kembali (kelima) itu dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan DPD atas fungsinya yang sumir sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat.

    Namun, naskah akademik yang diusung DPD sebenarnya mencakup banyak hal lebih komprehensif yang berintikan pada gagasan penguatan sistem pemerintahan presidensial dalam kerangka checks and balances yang ketat. Apa yang diusung DPD tentang perubahan lanjutan atas UUD 1945 hanyalah salah satu arus yang berkembang di dalam masyarakat setelah hampir 13 tahun kita berkonstitusi dengan UUD 1945 hasil amendemen.

    Masih ada dua arus lain yang juga muncul di tengahtengah masyarakat,yakni arus yang ingin agar kita kembali ke UUD 1945 yang pertama yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dan arus yang menghendaki agar yang ada sekarang dipertahankan. Arus yang mengehendaki agar kita kembali ke UUD 1945 yang pertama beralasan, hasil perubahan UUD 1945 yang berlaku saat ini menimbulkan kerancuan ketatanegaraan dan terbukti tak bisa membuat Indonesia menjadi lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum UUD 1945 diamendemen.

    Sedangkan arus yang menghendaki agar UUD 1945 yang ada sekarang dipertahankan berargumen, konstitusi yang ada sekarang merupakan hasil maksimal yang dicapai sebagai kesepakatan.Menurut penganut arus ini, semua gagasan yang kini disodorkan sebagai gagasan amendemen lanjutan atas UUD 1945 sebenarnya sudah pernah diperdebatkan di dalam forum resmi MPR, tetapi yang disepakati sebagai resultante adalah yang ada dan berlaku sekarang ini.

    Adanya diskusi terbuka atas kemungkinan mengubah kembali atau mempertahankan konstitusi yang sedang berlaku seperti yang kita saksikan saat ini merupakan kemajuan dalam kita bernegara. Ini menunjukkan ada kesadaran bahwa bernegara adalah berkonstitusi. Pada masa lalu konstitusi disakralkan, bahkan diberhalakan, sehingga amat sulit dan hampir tak mungkin membicarakan kemungkinan mengubah konstitusi yang sedang berlaku.

    Padahal di mana pun di dunia ini tak ada konstitusi yang sakral dan tak bisa diubah. Konstitusi adalah produk situasi era dan area tertentu. Kata begawan konstitusi KC Wheare ia adalah resultante alias kesepakatan para pembentuknya berdasar kebutuhan dan situasi politik, sosial, dan ekonomi pada saat dibuat. Konstitusi bisa berubah karena perubahan waktu dan perbedaan situasi tempat.

    Sebab itu, biarlah debat publik tentang eksistensi konstitusi ini berlangsung.Tak boleh ada di antara kita yang mengharamkan gagasan perubahan konstitusi sebab sikap seperti itu sama belaka dengan menjadi Orde Baru yang baru. Begitu pun harus diingat pula oleh mereka yang menginginkan perubahan kembali bahwa apa pun hasil perubahan itu kelak pasti ada lagi yang tak menyetujuinya. Dalam pengalaman kita bernegara sudah berkali-kali kita mengubah konstitusi, tetapi begitu disahkan selalu ada yang tak puas atas hasilnya.

    UUD 1945 yang pertama, yang disahkan pada 18 Agustus 1945, sudah kontroversi sejak awal sehingga selain oleh Bung Karno disebut sebagai UUD kilat yang harus diterima dulu demi kemerdekaan di dalam Aturan Tambahan pun ditentukan bahwa UUD tersebut harus dibicarakan kembali oleh MPR hasil pemilu. Konstitusi RIS yang diberlakukan sejak 27 Desember 1949 sudah dimosi (ada Mosi Integral Natsir) sebelum sampai empat bulan sejak berlakunya.

    Begitu juga UUD Sementara 1950 yang diberlakukan sejak Agustus 1950 sejak awal sudah banyak yang menolak sehingga diberi embelembel kata ”sementara”. Jadi yang harus diingat, kenyataan bahwa konstitusi adalah hasil kesepakatan pembentuknya yang berwenang yang sebenarnya tidak bisa dikatakan baik atau buruk dan tidak bisa dikualifikasi sebagai benar atau salah.

    Konstitusi harus ditaati dan ditegakkan oleh negara bukan karena secara hakiki ia baik atau benar, melainkan karena disepakati oleh mayoritas pembentuknya untuk diberlakukan berdasar prosedur yang konstitusional pula. Jika terhadap konstitusi yang sudah diberlakukan secara sah itu ada yang memandang perlu untuk dilakukan perbaikan,peluang itu harus dibuka secara demokratis sebab sebagai produk era dan area konstitusi itu memang bisa berubah jika era atau situasi poleksosbud areanya berubah.

    Yang penting konstitusi yang sudah diberlakukan secara sah dan belum diubah harus ditaati dan ditegakkan secara konsekuen. Itulah makna dari dalil bahwa ”bernegara adalah berkonstitusi”.

  • Mengkritisi Peningkatan Pendapatan per Kapita

    Mengkritisi Peningkatan Pendapatan per Kapita
    Latif Adam, PENELITI PUSAT PENELITIAN EKONOMI (P2E)-
    LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
    Sumber : SINDO, 11 Februari 2012
    Senin (6/2), BPS melaporkan perekonomian Indonesia pada 2011 tumbuh 6,5%.Dengan demikian,secara nominal (menurut harga berlaku) besaran perekonomian Indonesia pada 2011 tercatat sebesar Rp7.427,1 triliun.

    Seiring dengan tumbuhnya perekonomian, pendapatan per kapita masyarakat juga mengalami peningkatan USD532,8 atau meningkat dari USD3.010,1 (Rp27 juta per tahun) pada 2010 menjadi USD3.542,9 (Rp32 juta per tahun) pada 2011.

    Meskipun masih lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan per kapita rata-rata negara layak investasi yang telah mencapai USD9.800, kenaikan pendapatan per kapita masyarakat negeri ini semakin mengukuhkan posisi Indonesia sebagai middle income country. Tidak mengherankan bila beberapa pejabat tinggi negeri ini menyimpulkan terjadi perbaikan yang signifikan dari kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Benarkah demikian?

    Beberapa Kelemahan

    Kuat dugaan bahwa argumen terjadinya perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi didasarkan pada asumsi bahwa peningkatan pendapatan per kapita diterjemahkan mentah-mentah sebagai peningkatan kesejahteraan masyarakat. Padahal beberapa ekonom pionir seperti Todaro dan Smith (1988) telah lama mengidentifikasi beberapa kelemahan dari mengandalkan pendapatan per kapita sebagai ukuran kesejahteraan masyarakat.

    Dua kelemahan terpenting adalah sebagai berikut. Pertama,mengabaikan distribusi pendapatan. Di Indonesia meskipun pendapatan per kapita terus mengalami peningkatan, distribusi pendapatan sepertiterindikasidari giniratio relatif tidak mengalami perubahan, tetap stagnan di kisaran 0,331. Ini berarti naiknya pendapatan per kapita lebih banyak didorong naiknya pendapatan segelintir kelompok masyarakat tertentu.

    Pola pertumbuhan ekonomi yang eksklusif, hanya bertumpu pada sektor non-tradable,diduga menjadi penyebab mengapa distribusi pendapatan di Indonesia tidak mengalami perbaikan signifikan. Memang , data BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun lalu masih tetap didominasi sektor non-tradable yang menyumbang 67,7% terhadap pertumbuhan ekonomi (4,4% dari 6,5%), sedangkan sektor tradablehanya menyumbang 32,3% (2,1% dari 6,5%).

    Masalahnya, sektor nontradable hanya mampu menyediakan kesempatan kerja yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan sektor tradable. Ini berarti pertumbuhan ekonomi yang didominasi sektor non-tradable akan membuat kue pertumbuhan ekonomi terkonsentrasi dan hanya bisa dinikmati kelompok kecil tertentu, khususnya mereka yang bekerja di sektor non-tradable. Kedua, mengabaikan perubahan pola pendapatan dan pengeluaran.

    Pada 2011, indeks kenaikan harga (inflasi) bahan makanan (3,64%) relatif lebih rendah dibandingkan dengan indeks kenaikan harga kelompok pengeluaran lainnya (kecuali kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 3,47% dan kelompok komoditas transpor,komunikasi, dan jasa keuangan 1,92%).Ini berarti term of trade bahan makanan mengalami pelemahan.

    Pelemahan ini tidak menguntungkan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang bekerja di sektor ini (petani). Pendapatan petani akan mengalami penurunan (karena indeks harga bahan makanan menurun), tetapi pengeluarannya akan meningkat (karena indeks harga kelompok pengeluaran lainnya mengalami kenaikan).

    Masalahnya adalah sektor bahan makanan menyediakan kesempatan kerja yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan sektorsektor ekonomi lainnya. Per Agustus 2011, sektor bahan makanan mampu menyerap 35,9% dari total kesempatan kerja yang tersedia (109.670.399 orang). Dengan demikian, perkembangan indeks harga selama 2011 sebenarnya justru menurunkan tingkat kesejahteraan 39,3 juta orang.

    Beranjak dari pembahasan di atas, tampak dengan jelas bahwa peningkatan pendapatan per kapita tidak secara otomatis menggambarkan terjadinya peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pendapatan per kapita boleh jadi terus mengalami peningkatan.Tapi, karena peningkatan pendapatan itu tidak terdistribusi secara merata, terlalu prematur untuk menyimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan semua kelompok masyarakat naik.

    Data yang tersedia memang menunjukkan bahwa secara relatif beberapa kelompok masyarakat mengalami penurunan tingkat kesejahteraan terhadap kelompok masyarakat lainnya.Karena itu,bagaimana mendorong tingkat kesejahteraan semua kelompok masyarakat dengan mengurangi disparitas pendapatan antarkelompok tetap menjadi agenda penting yang perlu diprioritaskan.

    Middle Income Country

    Dengan naiknya pendapatan per kapita ke level USD3.542,9, Indonesia semakin mengokohkan posisinya sebagai middle income country. Di satu sisi, sebagai middle income country,Indonesia akan memiliki bargaining position yang lebih kuat untuk berpartisipasi dalam menata perekonomian global. Lebih dari itu, posisi sebagai middle income country akan membuat Indonesia menjadi tujuan yang menarik bagi masuknya investasi baik portofolio maupun langsung (foreign direct investment).

    Di sisi lain, sebagai middle income country Indonesia juga akan kehilangan privilege untuk mendapatkan pinjaman luar negeri dengan bunga lunak. Masalahnya,jenis pinjaman itu selama ini menjadi sumber pembiayaan untuk membiayai proyek-proyek peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, agenda peningkatan kesejahteraan masyarakat harus terencana secara baik, termasuk memikirkan sumber pembiayaannya.

    Selain itu, Indonesia perlu punya standing position dan rule of the game yang jelas sehingga masuknya investasi asing ke negeri ini benar-benar bisa dioptimalkan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.

  • Merenungkan Permintaan Maaf

    Merenungkan Permintaan Maaf
    Triyono Lukmantoro, DOSEN SOSIOLOGI KOMUNIKASI FISIP
    UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
    Sumber : SINDO, 11 Februari 2012
    Afriyani Susanti, pengemudi “Xenia Maut” yang menewaskan sembilan orang dalam peristiwa kecelakaan di Tugu Tani akhirnya dijerat dengan pasal pembunuhan oleh pihak kepolisian.

    Dengan penerapan pasal itu, Afriyani terancam hukuman penjara selama 15 tahun.Awalnya Afriyani sekadar dikenai Pasal 283,Pasal 287 ayat 5,dan Pasal 310 ayat 1-4 Undang- Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan ancaman hukuman enam tahun penjara. Tuntutan semacam ini dianggap terlampau ringan oleh pihak keluarga korban. Bagaimana mungkin nyawa sembilan manusia “hanya” ditukar dengan mendekam di penjara dalam waktu yang dinilai sangat singkat itu?

    Penerapan hukuman yang jauh lebih berat itu,tampaknya, sedikit memberikan kelegaan bagi keluarga korban.Mulyadi, seorang keluarga korban, pernah berkata akan menuntut lewat pengadilan dan bahkan mengancam akan membunuh Afriyani jika tersangka dijatuhi hukuman ringan. “Saya tidak main-main. Jika pelaku dihukum di bawah 10 tahun, saya sendiri yang akan menghukumnya. Saya mau dihukum 10 tahun penjara jika sudah membunuhnya,” ungkap Mulyadi (SINDO,25 Januari 2012).

    Reaksi yang kurang-lebih serupa dikemukakan oleh keluarga korban lainnya. Dalam situasi keluarga korban yang dipenuhi kesedihan itu,Afriyani sempat memohon maaf. “Sesungguhnya saya telah merasakan penyesalan yang sangat terdalam kepada semua korban dari saat kejadian tersebut hingga akhir dari perjalanan hidup saya nanti. Terkhusus untuk seluruh keluarga korban… Saya tak lagi bisa berkata- kata untuk mengungkapkan rasa penyesalan yang teramat dalam.Maafkan saya atas semua kehilangan Anda, maafkan saya atas kehilangan cinta Anda, maafkan saya,” tulis Afriyani dengan tinta hitam di surat bermeterai Rp6.000.

    Tidak Ditanggapi

    Namun, permintaan maaf itu tidak ditanggapi secara baik oleh keluarga korban.Ada yang meminta supaya Afriyani datang sendiri untuk menyampaikan permohonan maaf.Mulyadi bahkan secara tegas tidak akan memberikan maaf.Sekalipun keluarga Afriyani mendatangi rumahnya dan meminta seribu maaf, Mulyadi tetap tidak akan memaafkannya.Apa yang dirasakan Mulyadi dan keluarga korban lain amat dapat dimengerti.

    Hukuman dan minta maaf tidak bisa mengembalikan nyawa yang hilang. Meminta maaf yang dilakukan Afriyani sebenarnya memohon ampunan.Pada kejadian itu,pihak yang bersalah memohon ampunan kepada pihak lain yang dilukai.Pada kajian komunikasi, meminta maaf merupakan sebentuk ekspresi dari rasa penyesalan.

    Hanya, apakah mungkin seseorang yang telah mengakibatkan kematian bagi anggota-anggota keluarga yang demikian dicintai gampang menerima ampunan? Bukan kenyataan yang janggal apabila mencuat perkataan: “Tiada maaf bagimu!” Itulah yang dikemukakan Mulyadi dan keluarga korban lainnya. Pada konteks demikian menjadi benar pernyataan yang dikemukakan Jacques Derrida (1930-2004) bahwa pada setiap pengampunan pada dasarnya ada persoalan tentang yang tidak bisa diampuni.

    Dengan begitu, harus ditegaskan, ungkap Derrida dalam On Cosmopolitanism and Forgiveness (2001), pengampunan dengan sendirinya akan menyatakan tentang kemustahilannya sendiri. Pengampunan merupakan kemungkinan belaka dalam melakukan hal yang mustahil.Pengampunan sejati hanya terjadi pada pemberian maaf terhadap hal yang tidak mampu dimaafkan.

    Pernyataan Derrida itu menunjukkan pengampunan memang harus disertai sikap ketulusan. Memaafkan sulit sekali dijalankan karena ada persoalan kejahatan yang memang sulit dimaafkan. Mengampuni atau tidak kesalahan yang telah dilakukan pihak lain merupakan hak individual. Kalkulasi yang bisa digulirkan adalah rasa ke-adilan. Pihak lain yang pernah membuat kesalahan seharusnya dihukum setimpal.

    Mekanisme hukum sudah disediakan, terutama untuk kesalahan yang memuat nilai pemidanaan. Tapi, kesetimpalan itu bersifat ilusif.Tidak ada dendam yang bisa terbalaskan dendam. Namun, mungkin saja, ada individu-individu yang rela memaafkan tindakan orang yang telah menyebabkan kematian orang-orang tercinta. Hanya, memberi ampunan lebih menjadi pilihannya.

    Mungkin kita bertanya mengapa individu itu lebih mengampuni meskipun dalam sikap bungkam daripada membiarkan dendam terus mencengkeram? Kenapa pembunuhan tidak pula direspons dengan pembunuhan pula? Terdapat lima alasan, sebagaimana diuraikan oleh Vincent R Waldron dan Douglas L Kelley(Communicating Forgiveness, 2008) kenapa individu memberi ampunan.

    Pertama, pengampunan dapat memperbaiki relasi-relasi yang sudah rusak. Kedua, pengampunan bisa memperbaiki keadaanbaik individual itu sendiri. Ketiga, pengampunan dapat menjadi ekspresi cinta dan komitmen yang berlanjut. Keempat, pengampunan adalah wujud perilaku pertemanan. Kelima, pengampunan mampu memperbaiki keadilan relasional.

    Pertalian Sosial

    Pengampunan dalam dimensi itu lebih didorong berbagai kepentingan sosial.Pengampunan itu lebih dilandaskan pada keinginan untuk merajut kembali pertalian sosial yang sedang mengalami kekacauan. Dorongan sosial-eksternal menonjol akibat didasari perhitungan supaya dapat diterima pihak-pihak lain.

    Sekalipun begitu, pengampunan atas dasar alasan sosial itu pun lebih baik daripada menciptakan pembalasan (retaliasi) yang hanya mengundang dendam tidak berkesudahan. Dimensi lain yang tidak terpisahkan dari pengampunan adalah nilai psikologis.Ketika perasaan kita terluka akibat perbuatan orang lain pastilah menciptakan trauma.

    Pengalaman yang tidak menyenangkan itu apabila diingat kembali justru mengundang rasa marah atau pun setidaknya kejengkelan. Berbagai kejadian traumatis secara sadar sesungguhnya tidak dapat ditoleransi dan akhirnya ditekan dalam ingatan (memori).

    Namun, seperti dijelaskan Sharon Heller (Freud A to Z, 2005),ketika trauma tersebut diingat kembali dalam terapi, di bawah hipnosis, kita kemungkinan bisa mengalami pelepasan atau kelegaan.Itulah yang disebut dengan katarsis (catharsis), yang dalam bahasa Yunani berarti “pembersihan” atau “penyucian”.

  • Dinamika Berteater

    Dinamika Berteater
    Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
    Sumber : SINDO, 11 Februari 2012
    Pemberian anugerah Tokoh Teater Indonesia kepada Saini KM dan Jakob Oetama membuktikan peristiwa berteater belum mati walau mulai suri—kata lain untuk senja.
    Upacara dan upaya yang dilakukan Federasi Teater Indonesia yang dimotori Radhar Panca Dahana dalam kondisi ginjal tidak normal berusaha menambal kebocoran kelanjutan perkembangan dunia teater dan atau dunia panggung di Indonesia.

     Kebocoran atau penyimpangan dalam arti bahwa mata air teater terlupakan, sementara “anak sungai” yang bernama akting membanjiri televisi dan film dalam segala variannya. Kebutuhan untuk 10 stasiun televisi saja 40 jam sehari yang berarti setiap harinya memerlukan 200 pemain lama dan baru, yang dalam setahun 73.000 wajah, untuk sekadar menangis dan tertawa dan bertanya.

    Makna Berteater

    Peristiwa berteater adalah peristiwa berlelah dalam sunyi. Bukan dunia upacara seseorang merasa mendapat wangsit untuk menjadi Nyi Roro Kidul. Dunia teater adalah dunia atletik, berlari dalam jarak tertentu dengan melawan waktu, bukan sekadar dengan pelari di sebelahnya. Lawan utamanya adalah diri sendiri, bagaimana selalu disiplin dan berlatih bekerja sama dengan 40-an orang lain untuk satu dua kali pementasan, setelah berlatih tiga bulan.

    Keberhasilan dan atau kegagalannya adalah pada bagaimana ia memosisikan diri di antara disiplin lain secara bersama dengan kadar yang kurang lebih sama. Sedemikian keras, ketat, kenyal gemblengan ini sehingga pelaku teater— syukurlah tidak ikutan disebut insan teater seperti dalam film—didewasakan oleh berbagai persoalan dan disiplin sekaligus.

    Peristiwa berteater pada dasarnya mencoba memahami dan menerjemahkan gerak sebelum menjadi tari, bunyi sebelum menjadi nada,cahaya sebelum menjadi gelap dan terang, mantra sebelum menjadi kata, bereaksi kepada sesama atau kepada benda sehingga dikenal istilah olah tubuh dan atau pelatihan tanpa naskah, tanpa cerita, tanpa beban.

     Happening art bisa terjadi setiap saat,spontanitas kreatif lahir dan mengalir. Kalau kita menengok ke belakang—menengok pastilah ke masa lalu, kalau ke masa depan namanya melongok––ke masa jaya Miss Riboet Orion di Batavia tahun 1925, bersama dengan Dardanella di Sidoarjo, Jawa Timur, setahun sesudahnya atau kemudian grup Penggemar Sandiwara Maya, mereka tidak hanya mampu menghasilkan sebuah grup, sebuah komunitas, yang dinamis dalam suatu kelompok, melainkan juga pelaku teater yang bisa keluar dari tradisi kebiasaan yang ada.

    Dalam contoh yang lebih sederhana, Teguh mengukuhkan diri melalui Srimulat dan bersamaan dengan itu melahirkan pelaku-pelaku teater yang bisa berdiri sendiri.Atau juga tradisi yang dibangun Rendra dengan Bengkel Teater,Teguh Karya dengan Teater Populer, serta Arifin C Noer dengan Teater Kecil,yang pada tahun 1970-an merupakan puncak keemasan panggung dan kehidupan berteater di Indonesia.

    Makna Bertradisi

    Semua itu terjadi di masa lalu dan dengan surutnya ketiga tokoh istimewa itu,surut pula peristiwa berteater. Terutama karena padepokan, pusat komunitas teater, yang tadinya merupakan tempat bertanya dan bereksperimen, tak lagi paten dan permanen.

    Generasi berikut mencari sumbersumber kreatif yang lain yang mereka temukan dalam, terutama, dunia film, dunia video-klip, dunia Broadway atau Bollywood, atau yang terakhir ini dunia ala K-Pop, Korean Pop,dengan sandiwara melo atau terutama jenis panggung boys band dan girl band.

    Sebenarnya di awal tahun 1970-an itu, Dewan Kesenian Jakarta melalui Komite Teater telah menyiapkan untuk kelangsungan berteater bagi generasi yang lebih muda.Baik dengan sayembara penulisan naskah—yang menjadi pilihan wajib untuk dipentaskan–– maupun yang dikenal sebagai Teater Remaja, sebutan yang diatasi karena karya panggung mereka tak kalah menarik dari seniornya.

    Nama dua bersaudara Noorca Massardi dan Yudhistira Massardi—seperti halnya Radhar, AGS Arya Dipayana, dan seabrek nama lain––menemukan panggung ekspresinya. Mereka berbeda dengan para pendahulunya dalam konsep berteater sehingga ada wacana dan warna baru yang memperkaya idiom-idiom dunia panggung.

    Pada saat yang sama, dunia perguruan tinggi di berbagai kota juga turut meramaikan dinamika berteater. Teater Rawamangun yang dimotori Fakultas Sastra Universitas Indonesia adalah nama yang pantas dikenang sumbangannya. Dikenang? Karena tradisi berteater di perguruan tinggi nyaris habis setelah itu.

    Dalam konteks tradisi berteater, kita bisa melihat— menengok dan melongok— apa yang dikenal masyarakat sebagai Teatro LSPR. Kegiatan berteater yang dilakukan oleh lembaga pendidikan bidang komunikasi, London School of Public Relations (LSPR) Jakarta yang sejak tahun 2001 menyelenggarakan pentas teater secara kontinu, konsisten, dan menyuguhkan kualitas.

    Untuk Februari 2012 ini saja,14 judul yang diangkat ke panggung, yang berarti 14 grup yang berbeda, dan di akhir bulan masih ada lagi festival yang diikuti grup-grup dari luar kampus. Bukan berlebihan bila LSPR sedang merencanakan pementasan yang ke-100, sebagai salah satu prestasi akademisnya.

    Bahkan di tahun 2008 mereka mendapatkan rekor MURI sebagai penyelenggara pergelaran teater selama 20 hari berturut-turut.Dengan media khusus teater, Ideal,mereka bisa menjadi komunitas teater tersendiri kalau bukan satu-satunya.Dan kalau istilah Teater Akademi—yang dikaitkan dengan tokoh seperti Usmar Ismail,D Djajakusuma, Asrul Sani sampai Teguh Karya––bisa dipergunakan, rasa-rasanya juga tak terlalu jauh.

    Pada masa tahun 1955 itulah lahir Asdrafi,Akademi Seni Drama dan Film,di Yogyakarta serta ATNI, Akademi Seni Teater Indonesia, di Jakarta dengan pergumulan mulai terlibat dalam produksi film. LSPR memiliki pergumulan yang membedakan zaman di mana kini pentas model K-Pop, pentas Broadway bisa diikuti setiap kali melalui internet, di mana keinginan mementaskan Malin Kundang dan berbagai cerita tradisi masih menjadi pilihan.

    Sejarah akan menempatkan posisinya dalam peristiwa teater di Indonesia. Satu hal yang pasti, daya tarik dunia teater masih besar dan diminati.Tahun lalu saya bersama beberapa teman melatih, sampai berpentas, anakanak dari daerah bencana: di Kaki gunung Merapi yang terkena lahar dan di Sidoarjo yang terkena lumpur.

    Kami pun menemukan semangat sekaligus keceriaan untuk berpentas tanpa terkotak-kotak atau disekat oleh prasangka atau kecurigaan. Gema dan getar ini masih terasakan saat melihat Festival Teater LSPR, sebagai bagian dari tradisi berteater,menemukan kembali makna kebersamaan dalam prestasi,dalam sejuknya mata air berkesenian.

  • Utang Pemerintah

    Utang Pemerintah
    (Wawancara)
    A Tony Prasetiantono, EKONOM UNIVERSITAS GAJAH MADA
    Sumber : SUARA KARYA, 11 Februari 2012
    Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), baru-baru ini merilis utang Indonesia yang jumlah totalnya sudah mencapai Rp 1.937 triliun. Fitra juga menyebutkan bahwa utang sejak zaman pemerintahan Megawati Soekarnoputri ke pemerintahan SBY mengalami kenaikan sebesar Rp 705 triliun. Posisi utang di masa Megawati sebesar Rp 1.232 triliun pada tahun 2003. Sedangkan posisi utang pada masa pemerintahan SBY sebesar Rp 1.937 triliun pada tahun anggaran 2012.
    Sementara dalam situs Ditjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Sabtu (4/2) terlihat hingga akhir 2011 total utang Pemerintah Indonesia mencapai Rp 1.803,49 triliun. Pada akhir tahun ini rencananya utang pemerintah bakal bertambah menjadi Rp 1.937 triliun atau naik Rp 134 triliun.
    Bagaimanapun utang mesti disikapi secara hati-hati. Ini penting untuk menghindari agar jangan sampai terjadi default (gagal bayar), semisal, Yunani. Bagi Indonesia utang tetap dibutuhkan dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi, tetapi pemerintah harus mampu mengelolanya dengan baik. Demikian benang merah dari pernyataan ekonom Universitas Gajah Mada, A Tony Prasetiantono ketika diwawancarai wartawan Harian Umum Suara Karya Agus Haryanto dan fotografer Annisa Maya, di Jakarta, Senin (6/2).
    Indonesia memiliki utang yang terus membengkak dari tahun ke tahun. Efeknya terhadap anggaran?
    APBN apabila tidak ada utang berarti tidak ada pengeluaran capital expenditure (belanja modal). Itu sama seperti dengan suatu yang juga harus berutang. Yang terpenting, pertama, utang harus bermanfaat sehingga memberikan multiplier effect (efek berganda). Kedua, utang tentunya harus dilunasi. Sehingga, dipastikan utang tersebut akan naik, cuma kemampuan membayar semakin besar pula, yang ditunjukkan dengan GDP (gross domestic product). GDP kita sekarang sekitar Rp 7.000-an triliun, sedangkan utang Rp 1.937 triliun, sehingga rasionya sebesar 26%.
    Bila memberatkan anggaran, saya rasa tidak, karena utang hanya mencapai Rp 1.937 triliun, sementara anggaran kita Rp 1.400 triliun. Memang lebih tinggi dari angsuran setahun. Tapi dari Rp 1.937 triliun tadi, amortisasinya tidak seketika. Maksudnya, tidak harus dilunasi sekarang, tergantung jatuh temponya.
    Jadi, kenaikan utang optimistis masih bisa dikelola dengan baik?
    Justru Indonesia termasuk yang konservatif. Karena, ekonom membuat rumus suatu negara boleh defisit. Contoh APBN pada level 2% dari PDB (produk domestik bruto) Indonesia, realisasinya di bawah 1,5%. Sehingga, dari sini tidak ada masalah. Hanya, sekarang, yang penting adalah bagaimana utang itu tersalurkan secara tepat sasaran.
    Dampak utang terhadap masyarakat Indonesia? Apakah masih berlaku slogan, ‘setiap bayi Indonesia lahir akan berutang?
    Tetap ada. Tapi, selagi bisa membayar, tidak masalah. Kalau melalui itung-itungan kasar apabila utang mencapai Rp 1.937 triliun dibagi dengan 245 juta maka tiap orang kebagian Rp 7,9 juta.
    Jadi, utang perlu ada dalam setiap negara?
    Diperlukan, asal utang itu dipakai untuk hal-hal yang produktif. APBN itu seperti kantong, begitu uang masuk tidak bisa dibeda-bedakan. Dan, membelanjakannya pun tidak membedakan asalnya dari mana. Saya kira negara harus punya utang, tapi masalahnya, pemerintah tidak bisa membelanjakannya. Itu berarti tidak tepat sasaran. Ada inefesiensi pemerintah.
    Apakah mungkin anggaran negara bocor?
    Jadi, kalau ada pertanyaan apakah ada dana utang yang dikorupsi atau diselewengkan, agak sulit dibuktikan. Karena, sekarang ini utangnya tidak seperti dulu. Bila dulu, utang itu selalu merujuk kepada suatu kegiatan atau program. Kalau sekarang, utang itu berbentuk uang tunai. Uang tunai masuk ke keranjang (APBN). Kalau uangnya diambil orang, kita tidak tahu. Dari mana uang itu berasal, dari pajak atau utang. Potensi APBN yang dikorupsi banyak. Nah mungkin uang itu ada sebagian berasal dari utang.
    Tanpa utang, suatu negara tidak bisa membangun?
    Bisa! Asalkan mobilisasi tabungan masyarakat tinggi. Mungkin negara seperti itu (tanpa utang), harus sudah kaya terlebih dahulu. Tapi, nyatanya seperti AS dan Jepang juga utang. Kecuali, negara-negara kecil yang tidak punya utang. Karena, dananya sudah dipenuhi oleh pembayaran pajak. Jadi, sumber penerimaan negara itu dua, yaitu utang dan pajak. Kalau tidak cukup pajak maka utang diberlakukan. Kalau tidak ada utang, negara tidak bisa membangun, hanya menggaji pegawai.
    Indonesia tidak bisa lepas dari utang untuk beberapa tahun mendatang?
    Oh, iya. Masih panjang. Kecuali, apabila masyarakat kita bersedia mau hidup tidak enak. Artinya, jika jembatan rusak tidak diperbaiki. Pada dasarnya, pengeluaran negara itu terbagi dua, yakni, biaya rutin, seperti, membayar gaji pegawai, dan pembangunan (capital expenditure). Yang rutin itu tidak bisa di-stop. Akibatnya, pembangunan yang dikorbankan. Tapi, saya masih punya harapan apabila aparatnya ‘bersih’. Tapi kalau mau ‘bersih’ harus ada contoh dari pimpinan ‘kan. Masyarakat akan taat membayar pajak, bila pimpinannya taat bayar pajak juga.
    Mungkinkah Indonesia akan default (gagal bayar utang) seperti Yunani?
    Saya kira tidak. Karena, biasanya pemerintah cukup hati-hati. Perlu diketahui, Yunani default karena defisit APBN-nya 13,7%.
    Kebijakan apa yang paling tepat untuk mengurangi utang?
    Meningkatkan pajak. Hanya itu, tidak ada lagi. Tapi, hal itu bukan pekerjaan mudah seperti membalik telapak tangan. perlu kesadaran orang membayar pajak. Dan, ini akan menjadi lingkaran setan. Orang akan melanggar pajak, kalau korupsinya hilang. Jadi, utang harus dimulai dari pemberantasan korupsi. Jika pembayar pajaknya kencang, utang akan turun. Suatu saat akan hilang. Tapi, lama sekali.
    Saya kira saat ini momentum yang sangat bagus bagi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang sedang ‘bersih-bersih’, untuk tujuan jangka panjang, mengurangi utang.
  • Menjawab Perubahan

    Menjawab Perubahan
    Kandyawan WP, DOSEN PRODI ILMU KOMUNIKASI FISIP UNS SURAKARTA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 11 Februari 2012
    HARI ini, Sabtu, 11 Februari 2012, Suara Merdeka genap berusia 62 tahun. Sebagai media cetak yang relatif matang dalam usia dan pengalaman, harian ini telah menunjukkan keberhasilannya melayani publik Jawa Tengah. Tidak sekadar sebagai pemenuh kebutuhan informasi, koran ini dalam batas tertentu telah melakukan multitasking mulia sebagai pencerdas, penerang, pendidik, penasihat, perunding, pengorganisasi, penginisiasi, penghubung, dan penampung kepentingan publik. Tagline ‘’Perekat Komunitas Jawa Tengah’’ telah diemban dengan penuh tanggung jawab, tak heran koran ini menjadi salah satu best brand poduct media cetak Tanah Air.

    Keberhasilannya memenuhi tanggung jawab sosialnya lebih dari 6 dasa warsa merupakan refleksi kemenangan dan soliditas pergulatan manajemen internal dalam menghadapi tantangan  tiga rezim politik berbeda. Meski begitu, tiap era memiliki tantangan tersendiri. Keberhasilan strategi penyelesaian masalah pada zaman tertentu tidak akan menjamin keampuhannya untuk menghadapi era berikutnya. Kandungan problematika berbeda menuntut solusi resep yang berbeda. Inilah tantangan yang perlu diantisipasi media cetak masa kini, termasuk Suara Merdeka.

    Pada awal pertumbuhannya, tantangan terbesar yang dihadapi koran ini adalah persoalan struktural politik kepartaian yang menghanyutkan pers nasional menjadi partisan, di samping rendahnya likuiditas usaha yang memungkinkan pers tetap sehat secara ekonomi. Pers sangat bebas tapi tidak objektif. Menjadi pers bebas dan objektif yang tidak menginduk pada partai merupakan pilihan sulit sekaligus berani pada masanya karena akan menghadapi tekanan partai dan kesulitan likuiditas.

    Pada era Orde Baru tekanan struktural politik negara dan kooptasi kepentingan penguasa menyebabkan fungsi kontrol pers sangat sulit diaktualisasikan. Pers tidak bebas sekaligus tidak objektif. Agenda negara sangat menentukan agenda media (berita). Dalam konteks ini, pers harus memiliki kiat tertentu untuk melakukan kontrol. Lahirlah pers kepiting, pers undur undur, ‘’pers pembangunan’’: intinya fungsi kontrol harus dilakukan dengan sangat hati-hati, penuh eufimisme agar pers tidak diberedel (breidel). Menjadi berani akan mati, menjadi penakut akan larut. Hebatnya, dalam dua era itu Suara Merdeka  berhasil melampui.

    Tantangan Baru

    Tantangan pers pada dua era tersebut bisa disederhanakan sebagai faksionalisasi kepartaian dan  hegemoni negara. Lalu apa tantangan baru yang dihadapi media cetak kini? Tantangan itu adalah kebebasan publik. Gerakan globalisasi yang bersandar pada pemanfaatan teknologi komunikasi-informasi melahirkan proses demokratisasi di seluruh dunia. Publik  sangat dimanjakan dan memiliki kebebasan penuh dalam merepresentasikan kebutuhannya, termasuk dalam mengakses, mengolah, menyimpan, dan mendayagunakan informasi yang dibutuhkan.

    Terkait dengan kebutuhan informasinya, publik menuntut tiga hal: informasi harus cepat, akurat, dan maslahat. Tuntutan khalayak yang kelihatan pragmatis tersebut sebenarnya menyisakan kompleksitas problema yang mesti dicermati sekaligus strategi solusi yang harus segera diambil penjaga gawang media cetak.

    Dulu pers selalu identik dengan paper based media, dengan waktu tunda antara proses produksi dan proses konsumsi informasi. Kalau asumsi ini tetap dipertahankan, pers akan ditinggalkan khalayak. Tuntutan kecepatan real time news meniscayakan —perlahan tapi pasti— pers harus mengganti format dan media distribusi informasinya dari menggunakan media konvensional menjadi media baru (internet).

    Pengelola pers tidak perlu menangisi hilangnya media cetak, karena ‘’kematiannya’’ sudah banyak diramalkan para ahli  (Bill Gates, 1990; Dawson, 2010). Yang perlu dipersiapkan adalah segera mengintegrasikan antara format cetak dan digital (on line news). Integrasi yang terkesan amat teknologis ini sebenarnya bentuk pelayanan paripurna kepada pembaca baru. Pembaca baru membutuhkan media yang memiliki kemampuan digitality, interactivity, hypertextuality, dispersal, dan virtuality (Lister, 2003 : 13).

    Perkembangan online news memaksa (reporter) media cetak mengadopsi gaya broadcast, di mana reporter menulis untuk video, still images, dan suara . Teknologi internet memungkinkan berita (news) dipublikasikan dengan menggunakan format hyper text markup language (HTML).

    Format berita (teks, gambar/foto, video, audio, animasi) disajikan secara digital sehingga pembaca dapat mengakses dari komputer dengan cepat dan seketika pada halaman web (web pages). Fasilitas radio on demand dan video on demand dalam online news merupakan kekuatan yang bisa mempertahankan loyalitas pembaca koran dari godaan televisi. Jadi, Suara Merdeka harus melawan tantangan kecepatan dengan (manajemen kloning) teknologi.

    Perkawinan antara (iklim) kebebasan dan persaingan sengit (usaha) pers melahirkan degradasi mutu produk pers. Keluhan tentang pers kebablasan  merupakan ekspresi skeptisme publik kita akan derajat akurasi pers dalam menjalankan fungsinya.

    Akurasi itu tidak sekadar menyoal produk dan teknis penyusunan berita, namun secara fundamental menyentuh aras politik dan agenda pemberitaan. Kasus program ‘’Silet’’ di salah satu media elektonik menjadi pembelajaran bagi insan media.

    Belum ada penelitian komprehensif tentang profesionalitas dan akurasi kinerja pers nasional kita. Namun, studi-studi reflektif American Society of National Editor (ASNE) di Amerika Serikat bisa digunakan untuk meraba kelemahan pers kita. ASNE mengakui pers di Amerika bekerja jauh dari ideal (www.dailysource.org). Ini ditengarai munculnya beberapa masalah: pergeseran orientasi fungsi utama pers dari media penerangan-pendidikan menjadi penghibur; konsekuensinya, balutan sensasionalitas informasi lebih mengemuka dibanding utilitasnya. Pertarungan sengit antarpemodal besar kadang menenggelamkan agenda publik mayoritas menjadi isu minoritas, digantikan persoalan mereka. Agenda media terkadang bukan representasi agenda publik. Sindrom seperti itu tampaknya juga terjadi di lembaga pers kita.

    Tantangan Riil

    Meski sampai saat ini Suara Merdeka telah menjalankan fungsi sosialnya dengan baik, cerdas, sekaligus santun, tidak ada salahnya melakukan refleksi kritis atas kinerja dan produk informasinya. Sesanti Bill Kovach dalam Nine Element of Journalism  perlu  makin diideologisasi, didesiminasi, dan diaktualisasi kepada para reporter-redaktur baru: pers harus selalu menjaga kebenaran, melayani kepentingan publik, tak kenal lelah memverifikasi fakta, menjaga kebebasan berekspresi, mengontrol kekuasaan, menyediakan forum, dan memberi penyadaran. Pers harus membuat peristiwa tidak sekadar penting, namun relevan dan menarik. Tidak hanya itu berita harus dikemas secara komprehensif, objektif, dan proporsional. Dengan cara tersebut akurasi yang dituntut publik bisa dipenuhi.

    Keberhasilan pers bekerja secara akurat memberi jaminan produk informasinya mengandung kemaslahatan (bagi publik). Hal itu ditandai dengan kemampuan (informasi pers) dalam mengurangi ketidakpastian dan dapat digunakan sebagai alat pengambil keputusan (Schramm,1945; McQuail, 2005). Artinya dengan asupan informasi yang sehat, publik menjadi bertambah cerdas, keputusan yang diambil cukup rasional dan tepat dalam menyikapi dinamika sosial dan  politik budaya lingkungannya.

    Menurut hemat penulis, dua tuntutan terakhir publik  (tentang bakuan akurasi dan manfaat informasi) secara historis telah dapat dipenuhi Suara Merdeka dengan baik. Sebaliknya, tuntutan  pertama (tentang kebutuhan akan kecepatan informasi) berbasis online menjadi pekerjaan rumah sangat serius bagi semua pengelola.

    Perubahan  lanskap khalayak baru dalam memenuhi kebutuhan informasi memicu ketidakpastian hidup dan survivalitasnya koran online. Kebutuhan akan kloning dan adaptasi teknologi menjadi keniscayaan. Hanya pers yang cukup adaptif yang akan bertahan. Inilah tantang riil yang dihadapi pers kita saat ini. Selamat ulang tahun Suara Merdeka, semoga tetap mampu mempertahankan kejayaannya dalam format dan media baru yang dituntut publik. ●

  • Menatap Tantangan di Depan

    Menatap Tantangan di Depan
    Amirudin, DOSEN FAKULTAS ILMU BUDAYA UNDIP, KOMISIONER KOMISI INFORMASI PUSAT (KIP)
    Sumber : SUARA MERDEKA, 11 Februari 2012
    “Sebuah media memang memerlukan stakeholder yang luas, tetapi juga basis pembaca yang kuat”

    MENGELOLA bisnis koran pada era sekarang tidaklah mudah. Satu-satunya bisnis media yang mau tidak mau melibatkan pengorbanan masyarakat adalah media cetak. Masyarakat dilibatkan dalam proses pembelian media, dan ini yang berbeda dari bisnis penyiaran yang memberikan akses isi media secara gratis kepada masyarakat, kecuali hanya untuk pembelian pesawat radio dan televisi.

    Bagi bisnis penyiaran, pembelian produk hanya dilakukan oleh pengiklan untuk ruang dan waktu beriklan. Di sini pengorbanan masyarakat hanya dikaitkan dengan nilai kesediaan membeli ruang dan waktu, sementara untuk koran, nilai pengorbanan itu berkaitan dengan kesediaan dan kemampuan ekonomi masyarakat dalam mengakses koran. Inilah kesulitan mendasar bagaimana koran dituntut tetap dapat mengikat pembaca di tengah situasi kesulitan yang dihadapi masyarakat. Koran mau tidak mau harus terseret dalam pola bisnis seperti ‘’Untung Surapati’’  yang  bersedia berkorban, atau berbisnis dengan hati.

    Tren global yang berkembang khususnya di Amerika Serikat (AS) menunjukkan, koran nasional mulai menurun pendapatannya. Itu terjadi karena banyak pengiklan memandang, koran hanyalah sebagai cara untuk mencapai target konsumen secara massal. Mereka justru cenderung memilih menggunakan media lain seperti radio dan majalah untuk mencapai target konsumen yang lebih tersegmentasi. Ketergantungan pengiklan pada koran nasional telah menciptakan situasi ekonomi yang menyebabkan sesama koran nasional tidak dapat bersaing karena pengiklan akan cenderung memilih memasang iklan di koran dengan sirkulasi nasional nomor satu.

    Di pasar lokal, beberapa koran di AS cenderung mulai mensegmentasi porsi pasar dengan menyediakan edisi lokal yang berdasarkan zona geografis untuk menarik pengiklan lokal. Koran-koran lokal semacam Washington Post, The New York Times, Chicago Tribune, dan Los Angeles Times justru yang berposisi merajai konsumsi media di daerah-masing-masing.

    Peluang danTantangan

    Terlihat di AS sekarang ini sudah sangat sulit menebitkan koran nasional karena tiap kota memiliki segmen, kebutuhan, identitas, dan kebanggaan sendiri-sendiri. Dari dulu, sebagian besar koran yang hidup adalah koran lokal. AS yang sering dijadikan kiblat bagi surat kabar dunia memiliki lebih banyak state newspaper atau koran negara bagian. Demikian juga di negara-negara Eropa, posisi koran lokal lebih berkembang.

    Situasi ini juga yang berlaku di Indonesia, yakni koran berlomba-lomba menyempitkan segmentasi menyesuaikan dengan kebutuhan komunitas lokal dengan membuat edisi lokal —disebut koran multikultural (multicultural newspaper). Pola dan strategi bisnis seperti ini yang telah dipakai Suara Merdeka untuk mempertahankan posisinya di Jawa Tengah. Di posisi terakhir di 2010, data AC Nielsen menunjukkan, Suara Merdeka menjadi bagian dari 15 besar koran (nasional dan lokal) yang memiliki jumlah sirkulasi, pembaca, dan perolehan iklan yang cukup baik.

    Di sisi lain, perkembangan surat kabar juga sangat terkait dengan perkembangan teknologi. Sebagai konsekuensi dari globalisasi dan modernitas, hubungan ini bersifat saling mempengaruhi. Fungsi teknologi yang mempengaruhi perkembangan surat kabar antara lain meliputi aspek produksi, distribusi, dan pola konsumsi masyarakat. Ini  berlangsung terus-menerus sejak penemuan mesin cetak hingga pesatnya penggunaan teknologi internet di berbagai bidang.

    Pada akhir 1990 Bill Gates pernah meramalkan 10 tahun lagi koran cetak akan mati tergantikan teknologi surat kabar baru yang berbasis teks elektronik (online media). Tetapi setelah 10 tahun berselang, ia kembali merevisi prediksinya, yakni sekitar 50 tahun ke depan, ramalannya baru akan mewujud (2050). Masyarakat akan terbiasa dengan electronic newspaper dan secara perlahan surat kabar cetak akan ditinggalkan.

    Prediksi yang dikemukakan Gates tidaklah mengada-ada. Terlepas dari perdebatan apakah terbukti saat ini koran elektronik akan mematikan koran cetak, sekadar menggantikan, atau bahkan menyempurnakannya, teknologi selalu menjadi bagian terpenting dari perkembangan suatu jenis media. Kenyataan ini sejalan dengan teori konvergensi yang menyatakan, berbagai perkembangan bentuk media terus terjadi sejak awal penemuannya Setiap model media terbaru cenderung menjadi perpanjangan atau evolusi dari model-model pendahulunya.

    Teknologi dengan berbagai konvergensinya hanyalah salah satu tantangan. Banyak faktor lain pula yang harus direspons koran jika ingin tetap bertahan di arena industri bisnis surat kabar. Sejumlah tantangan itu antara lain: makin pendeknya siklus hidup sebuah produk koran, karena pesatnya pertumbuhan media baru berupa portal-portal media online seperti detik.com, vivanews.com, dan sebagainya sehingga perlu dikembangkan inovasi dan kreasi baru bagi pembaca.

    Apalagi brand supremacy telah lewat masa jayanya. Loyalitas pada merk bukanlah tidak penting untuk dirawat melainkan melihat pilihan-pilihan rasional media baru yang lebih segar, menarik, dan murah harganya maka mengandalkan nama besar tidaklah cukup dalam persaingan bisnis ini. Diperlukan peningkatan kualitas dan pembenahan manajemen, penguatan, dan pemberdayaan SDM koran, serta riset khalayak yang intensif dan ekstensif.

    Ingat dalam bisnis koran berlaku pula prinsip sebagaimana yang disebut dalam iklan C 1000; healthy insight fresh outside.  Kesehatan dalam  perusahaan sangat menentukan kesegaran tampilan koran. Prinsip-prinsip profesionalitas dengan demikian menjadi sangat menentukan kesehatan koran.

    Jika demikian halnya sandaran mengelola media yang hanya berpedoman pada idealisme tidaklah cukup. Industri media adalah pertempuran pasar maka prinsip-prinsip pengelolaan secara modern dengan standar pengelolaan yang jelas, dan prinsip-prinsip pemasaran mutlak diterapkan. Faktor segmentasi, targeting, dan positioning yang responsif  menjadi strategi dan taktik bisnis yang harus dipilih.

    Sebuah media memang memerlukan stakeholder yang luas, tetapi juga basis pembaca yang kuat. Untuk itu, koran dituntut terus melakukan inovasi di berbagai bidang, baik SDM, insfrastruktur, maupun taktik dan strategi pemasarannya. Semoga pada usianya yang ke-62, Harian Suara Merdeka makin  jaya. Selamat berulang tahun. ●

  • Piramida, Atlantis, dan Jati Diri Bangsa

    Piramida, Atlantis, dan Jati Diri Bangsa
    Daud Aris Tanudirjo, PENGAJAR FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA
    Sumber : KOMPAS, 10 Februari 2012
    Perdebatan tentang ”piramida Sadahurip”memasuki babak baru. Tak kurang dari 200 ilmuwan dan tokoh masyarakat berkumpul di Sekretariat Negara untuk menghadiri gelar penjelasan tentang ”bangunan bersejarah di Gunung Sadahurip, Garut, dan Gunung Padang, Cianjur”, Selasa, 7 Februari lalu.

    Acara yangdiselenggarakan oleh StafKhusus PresidenBidang BantuanSosial danBencanaini adalahfenomenamenarik. Kontroversiada tidaknya piramida buatanmanusia dibawahSadahurip yangsemulahanya beradadi ranahpublik dan ”akademis”rupanyakini telah dibawa masuk ke ranah politik, terutama politik identitas. Hal ini dapatterjadi ketikakonstruksi pengetahuan akademis diharapkandapat dipakaisebagailegi- timasijati diridari suatuko- munitas atau rezim.

    Secara akademis, wacana ”piramida Sadahurip”s e b e n a r ny a bukan masalah besar. Kontroversi dapat segera mendapat penjelasanjika pemerintahmau memfasilitasi kerja multidisiplin. Denganmelibatkan pakarkompeten dan dukungan teknologi memadai, hanya dalam beberapa bulankepastian tentangkeberadaan piramida itu dapat diperoleh. Masalahnyajustru menjadi panjang ketika politik identitas mulai ikut mewarnai wacana ini.

    Politik Identitas

    Temuan ”piramida”yang dikatakanmirip PiramidaGizadi Mesir tetapilebih tuaitu (6.000 tahun lalu) diharapkan dapat membuktikan tingginya peradaban ”Indonesia”jauh sebelum ada peradabanlain di muka bumi ini. Dengan begitu, temuan ”piramida”iniakan mengangkat citra jati diri bangsa ini.

    Harapan ini menjadi cocok ketika orang ingat hipotesis Stephen Oppenheimer.Dalam bukunya  Edenin theEast (1998) yangtelah diterjemahkandalam bahasa Indonesia, dokter ahli genetika ini menyatakan bahwa Paparan Sunda merupakan tempat asal peradaban dunia. Oppenheimer membayangkan,pada akhir Zaman Es telah terjadi setidaknyatigakali banjirbesaryang menenggelamkan Paparan Sunda sehingga terbentuk kepulauan Nusantara yang sekarang.

    Gagasan yang sama pernah digaungkan oleh Arysio Nunes dos Santos dalam bukunya A t l a n t i s -T h e Lost Continent Fi n a l l y Fo u n d  (2005). Sebagai akibatnya, penduduk Paparan Sunda yang ketika itu sudah memiliki peradaban tinggiterpaksa bermigrasike berbagaipenjurudunia: Asia Barat, Asia Selatan, Asia Timur,dan jugaPasifik. Didaerah baru itu,mereka lalu mengembangkan peradaban baru yangmemicu munculnyaperadaban besar,antara laindi Mesir, Mesopotamia, India, China, dan Jepang.

    Di Kepulauan Pasifik, para migran itu menjadi penghuni awal dan perintisperadaban. Hipotesis ”At l a n t i s ”ini memang dibalut dengan penyajian yang menawan dan sederetbukti yang tampaknya kuat, termasuk genetika, mitos, dan geologi.

    Dalam kontekspolitik iden- titas, hipotesis”At l a n t i s ”yang menobatkan Indonesia sebagai pusat peradabandunia itutentu dianggap amat strategis. Bahkan, ada yang menafsirkan Sundaland sebagai ”tanah Sunda”. Maka, kalau benarada piramidadi Jawa Barat, ditambah lagi dengan teras batu berundakdi GunungPa- dang, Cianjur, cocoklah kedua hal itu sebagai bukti kebenaran hi- potesis Atlantisitu. Karenaitu, perludiupayakan agar”pirami da”itu benar-benar ada!

    Rupanya, pesanini yangingin diyakinkan kepadamasyarakat. Dengancara pikirini,kiranya tidak sulit melihat benang merah antara gelar ”piramida Sadahurip”diSekretariat Negaradan audiensiOppenheimer, yangdi- antarsejumlah ilmuwandanpe- tinggi negara, dengan Presiden RI.

    Bias Pengetahuan

    Lalu, mengapa halini terjadi? Adatigahal yangdapatmen- jelaskan fenomenaini. Pertama adalah adabias dalam konstruksi pengeta-huan masyara- kat. Initerkait dengan in- dustri buku yang tidak t e r ke n d a l i . Demi profit besar, yangditerjemahkan dan beredar di masyarakat hanya buku impor yang laris. Genre buku ”sejarah”populer HANDINING ”populer seperti  Da VinciCode karya Dan Brown,  1421 dan  1434 (tentang Zheng-He) karya Gavin Menzies, dan Atlantis karya Arysio Santos itulah yangmengonstruksi pikiran masyarakat umum.

    Padahal, sering kali buku seperti ini”meng ecoh”pikir. Pembaca akanmudah mendapatkesan buku ituilmiah karena datanya meyakinkan,tetapi sebenarnya tidak. Dalam arkeologi, karya seperti inidisebut  pseu d o – a rc h a e o l o g y  . Disisi lain,masyarakat tidak mudah mengakses tinjauan kritis atas karya-karya itu. Jarangada resensiyang cukup berbobot tentang buku-buku itu kecuali dijurnal-jurnal yang sulit diaksespublik. Akibatnya, ada bias pengetahuan dalam ma- syarakat. Seakan pendapat para penulis itu sudah benar.

    Oppenheimer memang ilmuwan andal dalam bidang genetika,tetapi bukunya Eden intheEast tidak cukup dipandang dalam kajian sejarah budaya dunia. Rekonstruksi arkeologis, linguistik, dan geologinya kurang meyakinkan. Buku ini telah mengundangkritik sejakditerbitkan(a.l. Bellwood,2000).Resensi bukuini pernahdimuat di Jurnal Humaniora Universitas Gadjah Mada pada 2003. Tafsiran data genetikahipotesis Atlantis pun pernah diperdebatkan di Indo-Pacific Prehistory Association di Taiwan pada 2002. Sayangnya, tinjauan-tinjauan kritis ini jarang sampaidi masyarakatsehingga pengetahuan yang adadi masyarakat menjadi bias.

    Penjelasan kedua berkaitan dengan kondisi budaya di Indonesia. Memang kinikita telah menjadi masyarakatmodern. Hanya saja, modernitas itu baru menyentuhtataran sosialdan teknologi. Itu terbukti dari penggunaan teknologi maju, gaya hidup, konsumsi tinggi,dan pergaulan dunia. Namun, kita belum mencapai modernitas ideologis (cara pikir rasional) sehingga kita tidak mampu berpikir kritis.

    Sebaliknya, kitamasih mudah dikuasai oleh pikiranmitis, rumor,danisu takjelas.Tendensi konsumerisme yang tinggi adalah bukti pikiranmitis yangmudah ”terhasut”oleh iklanyangmenciptakan mitos-mitos modernitas. Karena itu, tidak heran jika jatidiribangsa yangkinihendak dibangun masih berdasarkan pengetahuanmitis ataudi-misti-fikasikan.

    Kehilangan Jati Diri

    Penjelasan lain soal kontroversi ”piramida Sadahurip” adalah gejala millenarisme, atau cargocult, yang menginginkan kembalinyakebahagiaan dankejayaan masa lalu. Gejala ini umumnyamuncul ditengahmasyarakat yang sedang goyah menghadapi perubahan zaman dan ketidakpastian hidup. Masyarakat akan lari pada bayang-bayang kehidupandi masasilam yangpenuhdengan kejayaan.Kalauitu tidak dapat dialami lagi secara fisik, hal itu dilakukan hanya dalam pikiran (mitis). Ini adalah cermin masyarakat yang frustrasi dan kehilangan jati diri di tengah tataran pikir yang masihmitis. Itulah yang kini sedang terjadi di Indonesia.

    Kalau kita mau becermin dari kasus ini, sesungguhnyakita harus maludengan dirikita. Niatnya, menemukan jati diri bangsa yang luar biasa hebat. Namun, kenyataan menunjukkan,bangsa ini telahkehilangan jatidiri dan sedangmencari jatidiri.Sayangnya,cara-cara yangdigunakan masih beralaskan pikiran mitis. ●

  • Epistemologi Santri Urban

    Epistemologi Santri Urban
    Wahyu Iryana, PENGAJAR UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG;
    PENGURUS ICMI ORWIL JABAR 2011-2012
    Sumber : REPUBLIKA, 10 Februari 2012
    Setidaknya untuk meng identifikasi siapakah santri di butuhkan pemetaan khusus atas generasi santri di Indonesia dari awal hingga sekarang. Istilah santri sebenarnya melekat pada mereka yang pernah belajar di pesantren. Pernah belajar pada seorang kiai atau ajengan dan pernah belajar kitab kuning yang menjadi ciri khas suatu pondok. Sedangkan yang dinamakan santri urban adalah orang yang dahulunya nyantri kemudian melakukan proses urbanisasi (Nur Khalik Ridwan, 2003:4-5).
    Sedikitnya ada dua kelompok santri urban untuk generasi awal.
    Pertama, di kalangan generasi pemurnian yang berbasis di perkotaan, mereka adalah Ahmad Dahlan, A Hassan, dan yang seangkatan. Kedua, dari kalangan pesantren yang berbasis di pedesaan, generasi awal adalah Hasyim Asy’ari, Bisri Syansuri, Wahab Hasbulloh, dan yang seangkatan. Setelah angkatan pertama generasi kedua dari kalangan santri pemurnian adalah Natsir, Isa Anshari, Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, dan yang seangkatan.
    Sedangkan untuk kalangan pesantren di pedesaan digawangi oleh Wahid Hasyim dan yang seangkatan. Generasi ketiga di kalangan pemurnian diwakili oleh para tokoh seperti Amien Rais, Nurcholis Majid (Cak Nur), Ahmad Sumargono, Yusril, dan Dawam Raharjo. Sedangkan di kalangan pesantren generasi ketiga diwakili oleh Gus Dur, Hasyim Muzadi, dan Masdar Farid Mas’udi.
    Setelah Gus Dur dan Cak Nur meninggal, sekarang ini posisi dan wacana keislaman sepenuhnya masih dipegang oleh generasi ketiga, sebagai rujukan utama Amien Rais, Masdar F Masudi, dan kalaupun bisa ditambahkan nama Said Aqil Siraj, Mahfud MD, Din Syamsudin, Suryadharma Ali, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Ahmad Gaus AF, Ahmad Baso, bisa masuk ke dalam jajaran nama-nama sesudah angkatan ketiga.
    Pertanyaannya sekarang, apa peran santri urban untuk bangsa Indonesia? Ada berbagai peran penting yang telah diberikan untuk menggerakkan wacana keislaman di Tanah Air, yang sarat dengan kepentingan, pertarungan, diskusi, dan berhadapan dengan wacana-wacana yang lebih mendunia.
    Semakin lama, jumlah dan wacana yang dikemukakan semakin memiliki gaung yang besar. Setidaknya, golongan penerus kaderkader muda yang mengikuti jejak angakatan sebelumnya telah berperan dalam kantong-kantong gerakan nonformal, seperti LSM, kelompok-kelompok diskusi, dan kelompok partikelir yang dengan sendirian pula bisa menembus ke media massa untuk menulis dan berwacana.
    Pertumbuhan santri urban mengalami berkembang pesat sampai sekarang. Hal ini tidak terlepas dari pertumbuhan pesantren di seluruh Indonesia. Alasan konkret dari menjamurnya pesantren adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional, karena salah satu great traditional yang dikembangkan di Indonesia adalah tradisi pengajaran agama Islam, seperti yang muncul di pesantren.
    Salah satu pengajaran khas di pesantren adalah transformasi keilmuan kitab kuning yang membahas ilmu alat. Dalam penjabaran yang lebih luas ilmu alat ini mencakup tata bahasa Arab tradisional, seperti nahu (sintakstis), sharaf (infleksi), balaghah (retorika), di samping itu juga ada ilmu mantiq (logika) dan ilmu tajwid (ilmu untuk membaca Alquran dengan baik dan benar).
    Pengembaraan santri urban yang datang dari pesantren tradisional ke kota bisa jadi karena wawasan dan skill yang dimiliki para santri tersebut kurang mendapat tempat dalam struktur organisasi di daerahnya. Ini karena kurangnya wadah yang pas untuk menampung alumnus santri yang mempunyai progres yang tinggi.
    Para santri kemudian saba kota untuk melakukan studi di universitas-universitas Islam, seperti di institut agama Islam negeri (IAIN) atau universitas Islam negeri (UIN) bahkan ada juga dari mereka yang belajar ke luar negeri, seperti ke Mesir, Irak, Yordania, dan Madinah. Setelah lulus mereka bergerak dalam pemberdayaan masyarakat, jurnalis, bahkan ada yang tetap menggeluti bidang akademis sebagai staf pengajar dan ada juga dari mereka yang bergerak dalam bidang politik sebagai wakil rakyat di parlemen.
    Santri di Era Global
    Globalisasi, menurut Anthony Giddens dalam British Economist menulis bahwa “The Third Way: The Renewal of Sosial Democracy“ adalah suatu kenyataan saat hubungan sosial mendunia tidak ada lagi hambatan dan jarak antara berbagai realitas, satu peristiwa yang terjadi secara lokal dengan kejadian lain yang berlangsung di belahan dunia lainnya.
    Perkembangan zaman mengharuskan santri urban untuk melakukan rekonstruksi dakwah yang ideal pada zamannya. Santri urban harus tahu dan mengenal substansi dari peradaban global. Secara terminologi peradaban atau civilization sering diartikan sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang mapan dan organisasi sosial yang dinamis. Dalam arti lain, peradaban yang dimaksud adalah kemajuan budaya dari suatu masyarakat pada daerah tertentu dengan ciri organisasi sosial politik yang mapan, pengetahuan, kemajuan di bidang seni, iptek, dan pertumbuhan produkproduk material yang kompleks.
    Sebagai bagian dari masyarakat global, santri urban memiliki tanggung jawab besar untuk merespons isu globalisasi. Karena, motif dari kelahiran santri urban sendiri tidak terlepas dari perkembangan masyarakat global, yang multietnik, politik, budaya, dan multiagama. Urbanisasi masyarakat desa ke kota dengan alasan rasionalnya bahwa kota sebagai pusat kegiatan.
    Meminjam bahasa Rohadi Abdul Fatah, tujuan dari urbanisasi adalah city, large center of population organized as a community, walaupun pada akhirnya urbanisasi mengakibatkan problem baru yang berhubungan dengan tempat tinggal, pangan, fasilitas-fasilatas umum, bahkan kriminalitas yang semakin meningkat. Hal ini harus dipahami dengan kenyataan bahwa masyarakat terdidik, termasuk santri urban, harus mempunyai solusi konkret dalam mengawal keadaban pada era globalisasi tersebut.
    Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah santri urban mampu mengelaborasi dakwah dalam era global? Tentunya santri urban harus mampu masuk dalam dunia media, santri hendaknya tidak gaptek terhadap teknologi yang berkembang. Media dakwah santri bisa melalui radio, televisi, media cetak, maupun dakwah via internet. Banyaknya kontes-kontes dai disadari atau tidak apabila tidak mampu melakukan akses menyeluruh terhadap perkembangan zaman, ia akan dijadikan boneka entertaiment belaka.
    Pada dasarnya untuk melakukan dakwah tidak harus menjadi seorang kiai saja. Di manapun kita berada, seorang santri entah ia sedang berada di pemerintahan, kampus, kantor, ataupun di gedung parlemen, tanggung jawab moral untuk melakukan transformasi nilai-nilai Ilahiyah yang positif sudah selayaknya dilakukan, tentunya dengan diimbangi sikap pekerti santri.
    Dalam hal ini posisi santri urban adalah sebagai mediasi antara relasi agama dan negara. Paling tidak ada dua landasan argumentasi yang melegalkan hal tersebut. Pertama, argumentasi normatif teologis dan yang kedua argumentasi historis, keduanya pernah disampaikan Gus Dur dalam satu seminar di Jakarta yang bertajuk “Relasi Negara dan Agama“.
    Penulis berharap, pesantren tidak lagi dicap sebagai sarang teroris dan semoga dari pesantrenlah akan muncul pangeran bersarung (santri) sebagai pemimpin nasional untuk mengentaskan problem-problem bangsa. Wallahu a’lam.  
  • Sengkarut Senjata Nuklir

    Sengkarut Senjata Nuklir
    Redian Fikri Guspardi, KETUA KOMPARTEMEN PERDAGANGAN LUAR NEGERI KADIN SUMATRA BARAT; KANDIDAT PHD DI UNIVERSITI TEKNOLOGI MALAYSIA
    Sumber : REPUBLIKA, 10 Februari 2012
    Memijaki korelasi lumbung minyak dan dependensi ekonomi, Iran adalah negara dengan separuh pendapatan (PDB) bergantung pada produksi minyak. Menurut data empiris, Iran merupakan produsen minyak mentah terbesar keempat di dunia dengan pangsa pasar global 5,1 persen. Cadangan minyak pun mencapai 151 miliar barel atau sekitar 10 persen dari total cadangan minyak dunia.
    Malangnya, kini negeri kaum mullah itu tengah tercekik atas sanksi embargo minyak dan pembekuan aset bank sentral. Legitimasi sanksi tersebut berpayungkan pengesahan undang-undang anti-Iran oleh Presiden Barack Obama, akhir tahun silam (31/12), dan kesepakatan konferensi para menteri luar negeri Uni Eropa pada 23 Januari lalu.
    Eksistensi program senjata nuklir dijadikan tameng dan stimulus dalam menghalalkan tindakan pihak Barat, bahkan agresi militer sekalipun.
    Tuduhan represif ini mengingatkan kita bagaimana Amerika dan kroni-kroninya membuat sketsa keadaan yang sama dalam invasi Irak pada 2003 lalu. Ketika itu, Presiden George W Bush dan koleganya, Perdana Menteri Inggris Tony Blair, getol mengatakan Saddam Hussein menyimpan senjata pemusnah massal.
    Telah terpahat dalam hati bahwa seluruh dunia sudah tahu apa yang dikatakan Bush dan Blair serta dipropagandakan oleh media-medianya merupakan penipuan belaka.
    Rupanya, tudingan itu hanyalah topeng sandiwara dalam mengeruk dan menjarah pundi-pundi kekayaan Negeri 1001 Malam. Sebut saja Halliburton, sepekan pascaperang langsung mendapatkan proyek miliaran dolar AS. Sejumlah perusahaan Amerika dan sekutu-sekutu pun–Lockheed, Boeing, Rayton, Bechtel, Dincrup–masing-masing bereuforia menerima jatah proyek miliaran dolar lainnya di atas gelimangan darah rakyat Irak.
    Abu kebenaran
    Penggemblengan doktrin barat membuat neraca keadilan jungkir balik. Dan, itu kerap dijadikan referensi hukum dalam mengadili perkara apa pun. Begitu pun dengan pengayaan program nuklir Iran yang disinyalir untuk pengembangan senjata nuklir. Presiden Mahmoud Ahmadinejad berkali-kali menafikan tudingan tersebut.
    Sembari mempertegas program ini murni untuk tujuan pengembangan listrik dan penyembuhan penyakit kanker menggunakan radioisotop, tetap saja pembelaan ini sia-sia belaka. Buih kebenaran telah tersapu bersih dengan penguasaan media global secara de facto di genggaman pihak Barat.
    Ironisnya, tidak sedikit negaranegara Muslim turut memuluskan upaya pengenaan paket sanksi yang mengancam negara Islam itu. Arab Saudi, telah menyatakan kesiapan untuk mendongkrak produksi minyak hingga kapasitas maksimum. Demikian juga negara Timur Tengah lainnya.
    Tidak sebatas hipnotis media, lembaga Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency, IAEA) juga dipolitisasi agar seolah-olah sikap Iran tidak dapat lagi ditoleransi. Merujuk laporan yang dirilis IAEA pada November tahun lalu (8/11) tentang perkembangan program nuklir Iran menyimpulkan bahwa benar terdapat penyimpangan pengembangan nuklir untuk aplikasi militer dan mengarah pada senjata 
    nuklir.
    Paparan itu bertolak belakang dengan keadaan yang sebenar di Fordo, tempat proses pengayaan nuklir. Menurut pantauan terakhir tim penyidik, program nuklir Iran masih berada pada jalurnya. Seharusnya, badan terhormat ini lebih bijak dan independen dalam bersikap, bukan sebaliknya menjadi bayang-bayang.
    Menjilat Israel
    Dalam menyuarakan aksi provokatif dalam sengkarut nuklir Iran, rupanya negara superpower Amerika hanya sebagai pelacut yang ditunggangi bos besarnya, Israel. Tampak pada sikap sungkem negeri Paman Sam ini pada pertemuan kedua negara, pekan lalu (20/1), di Yerusalem membahas sikap Israel yang sewaktu-waktu dapat melancarkan agresi militernya terhadap Iran.
    Tindakan yang lebih kentara terlihat saat lontaran pemikiran para bakal calon presiden Amerika dari Partai Republik tentang isuisu global yang menunjukkan `sikap sujud’ pada negara Zionis ini. Newt Gingrich, misalnya, mantan ketua DPR AS ini menyebut Palestina sebagai bangsa rekaan yang tak punya hak apa pun atas tanah Israel.
    Gingrich juga mengatakan, begitu ia menjadi presiden, ia akan mengeluarkan perintah eksekutif untuk memindahkan kantor kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Bahkan, mantan senator Rick Santorum tak ragu-ragu menegaskan akan mengebom Iran untuk menghentikan program nuklir negara itu.
    Pun, Mahkamah Internasional dan dewan keamanan internasional sering kali bernaung dalam sangkar Zionis. Inilah bentuk tata dunia baru (the new world order) yang memayungi segelintir negara kuasa dan mendiskreditkan negara lainnya.
    Sikap Iran yang acap kali membangkang membuat Israel geram dan naik pitam. Tak tanggung-tanggung, dengan persenjataan tercanggih di dunia, negara agresor itu terobsesi melancarkan agresi militer terhadap negara Persia itu.
    Sebelumnya, Israel juga telah melakukan serangkaian taktik muslihat untuk membungkam barikade kekuatan Iran, termasuk menyabotase pengayaan program nuklir melalui badan intelijennya, Mossad.
    Sudah bukan rahasia umum, cara ini digunakan Mossad, CIA, dan sekutu-sekutunya dalam menimbulkan instabilitas dan kekacauan pada negara-negara yang tidak disukai. Kriminalitas atas nama mereka selalu mendapatkan tempat yang layak tanpa penghakiman secara adil. PBB yang konon badan profesional telah dibeli dan dimanfaatkan sebagai topeng pencitraan bagi mereka di mata masyarakat dunia.
    Mengutip laporan Badan Atom Internasional beberapa waktu lalu, pada saat ini proses pengayaan uranium Iran dalam kadar 20 persen. Secara ilmiah, takaran itu belum cukup untuk dijadikan bom nuklir; paling tidak membutuhkan uranium berkadar 90 persen. Lalu, di mana letak pelanggaran resolusi PBB yang kerap diklaim oleh pihak Barat?
    Kini, dengan bukti tanpa senjata nuklir, malah Iran akan didekap oleh serangkaian sanksi ekonomi dari PBB dan negaranegara Barat. Padahal, merujuk Perjanjian Non-Proliferasi nuklir yang diratifikasi oleh 191 negara, Iran mempunyai hak mengayakan program nuklirnya untuk kepentingan sipil.
    Sepatutnya, sanksi hanya tertuju pada negara yang mempunyai senjata nuklir melebihi batas ambang tertentu. Lalu, bagaimana dengan Israel yang menyimpan lebih dari 200 bom nuklir, Amerika dengan temuan lebih dari 5.000 hulu ledak nuklir, Inggris, Prancis, Rusia, dan sederetan negara Barat lainnya. ●