Category: Uncategorized

  • Mendidik Mental Pengemis

    Mendidik Mental Pengemis
    Benny Susetyo, PEMERHATI SOSIAL
    Sumber : SINAR HARAPAN, 11Februari 2012
    Cara-cara pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan sejauh ini masih harus mendapatkan sorotan tajam. Misalnya rencana mengalokasikan Rp 1,8 triliun untuk Program Keluarga Harapan (PKH) tahun ini dengan sasaran 1,5 juta rumah tangga sangat miskin (Media Indonesia, 21/1). Bahkan rencananya, program bantuan langsung tunai itu akan berlangsung hingga 2014 dengan target 3 juta keluarga miskin dengan dana Rp 4,2 triliun.
    Orientasi kebijakan tersebut menunjukkan pemerintah seolah tidak pernah belajar dari pengalaman. Suatu cara berpikir kebijakan yang tidak bervisi dalam mengatasi kemiskinan sesungguhnya. Apa yang dilakukan justru hanya akan mendidik rakyat bermental pengemis, dan jauh dari menciptakan kemandirian.
    Dapat ditebak dengan cepat bahwa kebijakan tersebut bersifat pragmatis hanya untuk mencari dukungan politik. Orientasi penguasa sekadar mencari dukungan politik sesaat. Kemerdekaan rakyat tidak menjadi perhatian utama, alih-alih justru menciptakan rakyat ke dalam jurang kesengsaraan.
    Sudah terbukti di masa lalu bahwa kebijakan seperti itu gagal mengatasi kemiskinan. Angka kemiskinan justru semakin meningkat. Dengan bantuan langsung rakyat tidak mampu menjadi manusia mandiri. Kebijakan tersebut hanya akan mendorong rakyat bermental pengemis.
    Tanpa disadari bahwa hal tersebut akan semakin membuat rakyat berada dalam posisi tergantung pada penguasa. Pada akhirnya penguasa dengan mudah merekayasa kepentingan demi kekuasaan. Rakyat pun potensial kehilangan posisi tawar dalam berbagai pengambilan keputusan politik. Rakyat mudah digiring dalam berbagai kemauan politik penguasa. Berbagai kecurigaan pun muncul bahwa ini semua dilakukan agar rakyat mudah dikendalikan menjadi alat kekuasaan.

    Negara Sinterklas
     

    Tak pelak kebijakan bantuan tunai seperti Program Keluarga Harapan (PKH) menuai banyak kritik tajam. Dalam upaya mengatasi kemiskinan, pemerintah lebih cenderung berusaha mengatasi rasa sakit jangka pendek. Rakyat akan terdidik bermental konsumtif.
    Pemerintah tidak serius dalam membongkar akar kemiskinan sesungguhnya selama ini. Padahal, dana besar yang disalurkan dalam bantuan tunai melalui PKH akan lebih efektif jika dimanfaatkan untuk program jangka panjang, misalnya dalam bentuk keterampilan dan modal.
    Kecuali dalam keadaan darurat, hampir tidak ada argumentasi apa pun yang secara rasional masuk di akal sehat kebijakan membagi-bagi uang kepada masyarakat. Justru kebijakan tersebut dicurigai sarat dengan berbagai kepentingan politik dan pencitraan kekuasaan. Kemiskinan Indonesia tidak akan bisa tuntas dengan model kebijakan seperti ini. Kita justru akan semakin sengsara bila mendasarkan kebijakan yang seolah-olah memihak rakyat, tapi nyatanya sama sekali tidak demikian.
    Negara bukanlah sosok sinterklas yang hanya datang pada momen-momen tertentu untuk menghibur anak-anak. Negara bukan untuk menghibur, melainkan melindungi warganya dari penderitaan. Hiburan itu sangat kecil maknanya dibandingkan dengan beban penderitaan yang akan ditanggung rakyat dari sebuah kebijakan yang dilakukan tanpa visi yang sehat.
    Negara harus benar-benar menyadari bahwa problem kemiskinan di negeri ini benar-benar pelik. Kita bahkan terlalu sering meributkan mengenai berapa banyak jumlah orang miskin di negeri ini. Penguasa selalu bermulut manis melaporkan angka kemiskinan yang terus berkurang. Faktanya, kita semua merasakan, tidaklah seperti demikian.
    Tak bisa dipungkiri faktor politik merupakan penyebab kemiskinan di Indonesia, di masa lalu dan sampai sekarang. Pengalaman di era Orde Baru pertumbuhan ekonomi yang semakin bagus bagi sebagian besar orang justru merupakan bencana. Tak lain karena antara yang bertumbuh dan merana semakin dalam jurang pemisahnya. Banyak orang yang dibuat bangga dalam kubangan kemiskinan.
    Membanggakan angka pertumbuhan yang tidak berurat nadi pada kenyataan hidup sebagian besar rakyat Indonesia.

    Sesat Pikir Kebijakan
     

    Sudah semenjak dulu kemiskinan hanya dijadikan alat atau isu belaka. Tidak pernah dicarikan jalan keluar secara serius untuk mengatasi kemiskinan. Kemiskinan menjadi isu yang terbaik untuk mencari dukungan rakyat miskin. Sungguh ironis karena tanpa elite menyadarinya, mereka terlalu sering menjual rakyat miskin atas nama kemiskinan mereka.
    Sulit akal sehat bisa menerima fakta bahwa di negara yang terus-menerus melakukan pembangunan ekonomi dan memiliki konstitusi jelas meningkatkan kesejahteraan rakyat, jumlah kaum miskin dan mereka yang kelaparan justru meningkat. Diakui atau tidak, krisis ekonomi tidak selalu menjadi alasan yang baik untuk memberikan penjelasan soal ini. Ketidakjelasan orientasi kebijakan ekonomi serta kondisi politik bangsa inilah yang menyebabkan sulitnya Indonesia keluar dari krisis.
    Sumber bencana utama negeri ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan ekonomi tidak diarahkan atau berpihak pada penguatan masyarakat kecil. Kebijakan ekonomi terlalu mendongak ke atas dan tak jarang menjadikan rakyat kecil sebagai “batu injakan” saja. Alih-alih memperkuat ekonomi rakyat dan memperjuangkan dengan sungguh-sungguh nasib rakyat dari derita kemiskinan dan pengangguran, justru yang terjadi kesejahteraan rakyat kecil diabaikan.
    Layak disadari oleh semua pihak bahwa akar kemiskinan di Indonesia lebih banyak disebabkan masalah-masalah struktural. Rakyat Indonesia bukan bangsa pemalas dan dengan demikian miskin karena sikap malasnya. Umumnya kemiskinan Indonesia karena pemerintah dan kebijakannya abai dan sering menutup serta membatasi akses perekonomian rakyat.
    Banyak situasi yang menyebabkan masyarakat tidak bisa melakukan kegiatan produktifnya secara penuh. Adanya kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran merupakan sebab struktural yang penyelesaiannya harus melalui tindakan struktural pula.
    Selain itu, selama ini pembangunan tidak memperhatikan aspek kehidupan dalam jangka panjang dan hanya berorientasi memenuhi kebutuhan material.
    Pembangunan bukan saja telah gagal mensejahterakan manusia, melainkan juga merupakan biang dari masalah. Selama ini pembangunan tidak menciptakan kemerdekaan dan kesejahteraan di tengah masyarakat. Pembangunan sekadar alat bagi kapital untuk berkuasa.
    Pemerintah perlu belajar banyak dari pengalaman mengelola problem kemiskinan yang terjadi. Itu semua perlu dipertimbangkan agar pemerintah terhindar dari tuduhan hanya mempermainkan orang miskin untuk kepentingan kekuasaan. ●
  • Kebijakan Pengupahan dan Investasi

    Kebijakan Pengupahan dan Investasi
    Indrasari Tjandraningsih, PENELITI PERBURUHAN AKATIGA—
    PUSAT ANALISIS SOSIAL, BANDUNG
    Sumber : KORAN TEMPO, 11 Februari 2012
    Tahun 2012 kita masuki dengan rangkaian gejolak rakyat kecil yang menuntut dan mempertahankan haknya: buruh menuntut kenaikan upah minimum, petani menuntut lahan, pedagang kaki lima mempertahankan lapaknya. Gejolak ini secara jelas memperlihatkan dua kecenderungan yang semakin tajam.
    Pertama, pengabaian negara terhadap kesejahteraan warga negara. Dan kedua, pemihakan pemerintah terhadap pemilik modal. Kedua kecenderungan ini paling jelas tampak dari rangkaian demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah minimum. Ironisnya, peristiwa ini terjadi di saat secara makro Indonesia dinyatakan sebagai negara yang amat diminati investor asing dan peringkat investasinya dinyatakan terus membaik. Bagaimana menjelaskan ironi ini? Jawabannya ada pada kebijakan investasi yang ketinggalan zaman dengan menjual upah murah, di tengah tuntutan investor yang sudah jauh bergeser dari aspek upah murah ditambah dengan ketidaktegasan pemerintah terhadap peraturan-peraturannya sendiri.
    Secara resmi pemerintah Indonesia, melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), mengundang investor (asing) dengan mengunggulkan murahnya harga tenaga kerjanya dibandingkan dengan harga tenaga kerja di Filipina, Thailand, Malaysia, India, dan Cina, di samping kelimpahan sumber daya manusianya (http://www.bkpm.go.id). Harga tenaga kerja Indonesia secara mencolok dinyatakan paling murah di antara negara-negara tersebut, yakni US$ 0,6 per jam (=Rp 5.400). Bandingkan dengan upah di Filipina dan Thailand serta Malaysia, yang masing-masing US$ 1,04, US$ 1,63, dan US$ 2,88. Secara tegas dinyatakan dalam laman tersebut bahwa, dari aspek biaya tenaga kerja,“upah buruh di Indonesia adalah yang paling rendah di antara 10 negara ASEAN dan bahkan jika dibandingkan dengan pusat-pusat investasi di Cina dan India“.
    Menjual tenaga murah di tengah persaingan global yang semakin sengit dan masuknya Indonesia sebagai anggota G-20 merupakan cara yang terlalu primitif dan melukai harga diri bangsa. Apalagi kedatangan investor asing ke Indonesia paling utama didasarkan pada pertimbangan letak geografis Indonesia yang amat strategis untuk menjangkau pasar regional Asia yang kini semakin kuat dan kekuatan pasar domestik Indonesia yang makin menjanjikan keuntungan.
     
    Dari titik ini, menjual murah tenaga kerja justru menjadi disinsentif bagi investasi, karena menurunkan daya beli buruh yang juga adalah sasaran pasar produk bagi investasi asing. Rendahnya upah yang menurunkan daya beli telah terbukti dari penelitian di tingkat mikro yang menunjukkan bahwa upah minimum hanya mampu membiayai 62 persen pengeluaran riil buruh, dan sebagian besar pengeluaran tersebut adalah untuk kebutuhan dasar pangan (Akatiga 2009).
    Upah yang rendah juga menurunkan produktivitas dan mutu tenaga kerja–satu hal yang justru diakui menjadi keunggulan dan daya tarik bagi investor asing untuk berkegiatan di Indonesia. Berbagai manajer perusahaan besar multinasional mengakui bahwa kualitas produk yang dihasilkan oleh tangan-tangan buruh Indonesia jauh di atas yang dihasilkan oleh tangan-tangan buruh di Cina, Kamboja, dan Vietnam. Itulah se babnya, ketika investor Indonesia atau perusahaan multinasional lain melebarkan sayapnya ke negara-negara tersebut, mereka membawa serta tenaga-tenaga Indonesia untuk melatih dan menularkan keunggulan mutu kerjanya kepada buruh-buruh di negara-negara itu. Upah yang rendah memaksa buruh bekerja lembur. Penelitian Akatiga bersama ILO akhir tahun lalu menemukan para buruh garmen di Kawasan Berikat Nusantara baru akan memperoleh Rp 2,5 juta per bulan apabila mereka bekerja 12-16 jam sehari. Jam kerja sepanjang itu akan berdampak negatif terhadap produktivitas, karena berkurangnya waktu untuk mereproduksi tenaganya untuk esok hari. Jika upah murah dipertahankan, hal itu justru akan menjadi disinsentif lain bagi investor.
    Bahwa upah buruh–pun dengan kenaikan upah minimum setiap tahun–bukan persoalan utama bagi investor dan bagi usaha menggairahkan iklim investasi sudah berkali-kali dan secara rutin dinyatakan oleh berbagai survei berskala internasional maupun dan mikro. Laporan AD, misalnya, menyebutkan bahwa hambatan utama yang dihadapi investor adalah birokrasi yang korup dan buruknya infrastruktur. Ketua Dewan Ekonomi Nasional Chairul Tanjung juga menyebutkan bahwa tiga hambatan utama investasi adalah korupsi, birokrasi, dan infrastruktur. Berbeda dengan arus utama pemberitaan di media massa yang acap kali menyebutkan bahwa investor resah karena upah buruh yang terlalu tinggi, sebagian kalangan pengusaha asing maupun dalam negeri mengakui bahwa upah buruh bukan masalah dan mereka akan membayar berapa pun yang ditetapkan pemerintah asalkan peraturannya jelas dan konsisten serta mereka tidak dibebani oleh berbagai pungutan yang justru menghambat jalannya usaha.
    Jelaslah hal tersebut menunjukkan bahwa masalah upah buruh hanya menempati urutan belakang dari deretan problem investasi. Maka, amat tidak adil dan tidak menjawab persoalan jika upah buruh terus ditekan dan dijadikan prioritas dalam pembenahan iklim investasi. Sebab, bukan di situ persoalannya.
    Menekan upah buruh juga tidak sejalan dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan taraf industrialisasi ke tingkat yang lebih tinggi. Upah yang layak dan investasi untuk peningkatan sumber daya manusia menjadi penting, ketika Indonesia hendak menuju ke negara industri tahap ketiga yang mengandalkan sumber daya manusia berketerampilan dan pengetahuan yang tinggi.
    Dari sisi regulasi, inkonsistensi aparat pemerintah dalam penerapan peraturan amat mengganggu operasi investasi. Sudah jamak ditemukan di lapangan bahwa peraturan dapat diperjualbelikan dan berlaku “semua urusan musti memakai uang tunai“, yang amat membebani usaha dan menekan upah buruh. Berbagai pengalaman di tingkat mikro menunjukkan perilaku aparat pemerintah yang longgar terhadap peraturan menyebabkan terjadinya trade-off dengan pengusaha yang menyebabkan semakin tertekannya upah. Temuan survei Akatiga (2007) terhadap pengusaha tekstil dan garmen di Bandung, misalnya, menunjukkan ketidakberdayaan pengusaha menghadapi pungutan-pungutan daerah dan, sebagai akibatnya, mereka harus menekan upah buruh agar pembiayaan dan kegiatan usaha dapat tetap berjalan.
    Sudah semakin jelas dari fakta-fakta tersebut bahwa strategi untuk memenangi hati para investor bukanlah dengan menjual buruh dengan upah murah, melainkan dengan meningkatkan daya beli dan produktivitas buruh dengan memberikan upah yang layak. Pemberian upah layak akan berkorelasi positif dengan peningkatan produktivitas, karena buruh dapat bekerja dengan tenang.
     
    Meningkatkan profesionalisme aparat pemerintah di daerah dan di pusat dan membenahi infrastruktur menjadi prioritas utama yang amat dinantikan oleh para investor. Menempuh ketiga langkah itu secara bersama-sama pasti akan semakin menggairahkan investasi, karena buruh akan semakin produktif, keuntungan pengusaha lebih pasti, dan gejolak hubungan industrial akan jauh berkurang. Ketiganya akan dapat dicapai dengan tampilnya para penyelenggara dan aparat negara yang konsisten dan memegang teguh nilai-nilai kejujuran dalam menjalankan tugasnya menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi seluruh warga negara.
  • Ketika Buruh Turun ke Jalan

    Ketika Buruh Turun ke Jalan
    Andi Irawan, PEMINAT TELAAH EKONOMI-POLITIK INDONESIA
    Sumber : KORAN TEMPO, 11 Februari 2012
    Para buruh melakukan demo yang memacetkan perjalanan pengguna jalan raya hampir 10 km di jalan tol Jakarta-Cikampek. Bukan hanya itu, demo buruh yang berdurasi satu hari tersebut menyebabkan setidaknya 5.000 perusahaan tutup sementara waktu sepanjang 27 Januari 2012 di kawasan industri Jababeka. Bekasi sebagai lokasi utama demo buruh merupakan kawasan utama ekspor. Adanya demonstrasi menghambat pengiriman barang-barang ekspor, yang akibatnya menimbulkan kerugian miliaran rupiah.
    Demonstrasi ini dipicu oleh dikabulkannya gugatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terhadap keputusan Gubernur Jawa Barat mengenai upah minimum oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jawa Barat. Pengusaha menilai gubernur melanggar kesepakatan lantaran menetapkan upah sedikit di atas yang diputuskan dalam musyawarah antara wakil pengusaha dan buruh.
    Angka yang dipatok oleh Gubernur Jawa Barat itu terdiri atas tiga kelompok, sesuai dengan masa kerja, yakni Rp 1,5 juta per bulan untuk kelompok I, Rp 1,7 juta untuk kelompok II, dan Rp 1,8 juta untuk kelompok III. Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung mengabulkan keberatan kalangan pengusaha itu. Dengan kata lain, upah mesti diturunkan sekitar Rp 100-200 ribu (Editorial Koran Tempo 31 Januari).
    Secara substansi, penolakan kalangan pengusaha itu tidak selayaknya terjadi. Ada beberapa alasan mengapa kita tidak setuju terhadap gugatan pengusaha tersebut dan bisa memahami demonstrasi yang dilakukan para buruh.
    Pertama, struktur pasar tenaga kerja domestik adalah pasar yang monopsonistik.
    Struktur pasar yang demikian terutama ditandai oleh sedikitnya perusahaan yang meminta tenaga kerja dan sangat banyaknya pencari kerja.
    Dengan logika sederhana segera terlihat bahwa struktur pasar yang demikian ini akan menempatkan buruh dalam posisi tawar yang lemah dibandingkan dengan perusahaan. Dalam struktur pasar monopsonistik ini, teori ekonomi mikro mengatakan upah keseimbangan yang terjadi di pasar pasti lebih rendah dibandingkan dengan nilai produk marginal tenaga kerja.
    Artinya, buruh dibayar di bawah nilai produktivitasnya. Dengan kata lain, buruh menerima imbalan yang lebih rendah dibandingkan dengan sumbangan yang mereka berikan kepada perusahaan. Selisih antara produktivitas dan upah yang diterima buruh sering disebut sebagai eksploitasi. Dengan memahami perilaku pasar tenaga kerja yang monopsonistik ini, maka tuntutan kenaikan upah yang diminta para buruh itu adalah hal yang rasional.
    Kedua, upah minimum buruh yang digugat para pengusaha berkisar Rp 1,5-1,8 juta per bulan tersebut sesungguhnya masih jauh untuk bisa mencukupi kebutuhan primer mereka dalam satu bulan. Artinya, kita tidak selayaknya menggunakan asumsi kapitalisme primitif yang mengatakan bahwa upah buruh yang murah merupakan keunggulan kompetitif untuk menarik investasi, padahal tingkat upah buruh tersebut masih jauh dari hidup patut. Karena, sesungguhnya tingkat kesejahteraan berkorelasi erat dengan produktivitas.
    John Stuart Mill (1806-1873) dalam bukunya, Principles of Political Economy, mengemukakan bahwa biaya tenaga kerja tidak sama dengan upah. “Biaya tenaga kerja kerap kali paling tinggi jika upah berada pada tingkat yang paling rendah…. Tenaga kerja, walaupun murah, boleh jadi tidak efisien.“Biaya tenaga kerja turun jika para buruh bekerja lebih efisien. Karena itu, laba perusahaan yang besar dan upah yang tinggi bisa terjadi secara bersamaan.
    Mankiw (1997) bahkan mengemukakan bahwa efficiency wages sangat penting diterapkan di negara-negara berkembang yang mengalami surplus tenaga kerja. Efficiency wages adalah tingkat upah yang lebih tinggi dari tingkat upah keseimbangan pasar guna menjaga keberlanjutan efisiensi produksi perusahaan. Dalam konteks kita, efficiency wages ini adalah tingkat upah yang mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan (kebutuhan primer) buruh secara memadai.
    Apa arti penting efficiency wages bagi perusahaan? Pertama, tingkat upah ini akan memberikan kebutuhan gizi yang cukup bagi buruh untuk mempertahankan produktivitasnya, dalam konteks kekinian kita sekitar 2.800-3.200 kalori per hari. Selain itu, buruh mendapatkan fasilitas kerja dan alat pelindung kesehatan yang cukup, tempat pemondokan yang layak, dan asuransi kesehatan bagi buruh dan keluarganya. Jika seluruh hak ini bisa terpenuhi, layak bagi pengusaha untuk menuntut produktivitas tinggi.
    Kedua, mencegah terjadinya moral hazard oleh buruh. Sebab, pada hakikatnya perusahaan akan sangat sulit untuk melakukan pengawasan dan kontrol secara perfeksionis sepanjang waktu terhadap buruhburuhnya. Seorang buruh dengan upah rendah akan mudah bersikap lalai dan tidak bertanggung jawab atas pekerjaannya walaupun ia tahu dampaknya ia bisa dipecat. Tingkat upah yang tinggi akan memberinya motivasi untuk bertanggung jawab dan berproduktivitas tinggi dalam pekerjaannya.
    Ketiga, tingkat upah ini mencegah setiap buruh berkualitas prima meninggalkan perusahaan karena mencari pekerjaan yang lebih baik. Akibatnya, yang tinggal di perusahaan adalah buruh baru dengan pengalaman kerja minim yang membutuhkan pelatihan dan adaptasi. Semua ini akan mengurangi efisiensi produksi perusahaan.
    Sebenarnya ada titik temu antara buruh dan pengusaha. Pengusaha sesungguhnya masih mampu memenuhi tuntutan para buruh untuk mendapatkan efficiency wages seandainya transaction cost berupa biaya siluman, biaya pelicin, dan lain-lain yang mencapai 30-40 persen dari biaya produksi dapat dihilangkan. Sebagaimana yang diketahui, komponen upah buruh besarnya sekitar 10-15 persen dari biaya produksi.
    Transaction cost yang besar tersebut merugikan baik pengusaha maupun buruh. Memerlukan upaya bersama untuk memangkas bahkan menghilangkan transaction cost tinggi tersebut. Dengan demikian, kesejahteraan buruh bisa ditingkatkan, meskipun upaya ini cukup berat karena harus berhadapan dengan mesin birokrasi negara yang ber-transaction cost tinggi.
    Sebaiknya aksi demo para buruh itu ditujukan kepada mesin birokrasi negara untuk segera membersihkan perilaku ekonomi biaya tinggi tersebut. Begitu juga para pengusaha melalui asosiasi-asosiasinya berani secara tegas mendeklarasikan penolakan terhadap semua bentuk biaya siluman yang membebani mereka selama ini. ●
  • Globalisasi dan Upah Minimum

    Globalisasi dan Upah Minimum
    Razali Ritonga, DIREKTUR STATISTIK KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN BPS RI
    Sumber : REPUBLIKA, 11 Februari 2012
    Era globalisasi yang kini tengah ber langsung ternyata membawa dampak besar dalam per ubahan sosial ekonomi. Di bidang ekonomi, misalnya, globalisasi menyebabkan perubahan dalam pasar tenaga kerja hampir di semua negara.
    Boleh jadi diskursus sistem pengupahan dengan upah minimum yang diterapkan saat ini semakin tidak relevan pada masa yang akan datang. Sebab, perubahan pengupahan akan mengikuti perubahan dalam pasar tenaga kerja.
    Maka, atas dasar itu, pemerintah perlu melakukan kajian saksama atas dampak globalisasi terhadap perubahan pasar tenaga kerja dimaksud. Keterlambatan akan kajian itu akan memperburuk kondisi ketenagakerjaan di Tanah Air.
    Pasar Tenaga Kerja
    Deeringer dan Piore (1971) membagi pasar tenaga kerja atas empat sektor, yaitu primer, sekunder, informal, dan ilegal. Pembagian tersebut didasarkan pada status pekerjaan, regulasi, upah, dan pajak pendapatan.
    Sektor primer umumnya ditandai dengan tenaga kerja berstatus kerah putih (white collar), memiliki izin usaha, menerapkan sistem pengupahan dan kondisi ketenagakerjaan yang tertata baik, serta membayar pajak perusahaan dan pajak pendapatan buruh.
    Sektor sekunder diklasifikasikan pada tenaga kerja kerah jingga (pink collar), yakni kombinasi antara kerah putih dan kerah biru (blue collar), memiliki izin usaha, regulasi yang belum tertata baik, tapi membayar pajak perusahaan dan pajak pendapatan buruh.
    Sektor informal umumnya dikategorikan pada pasar tenaga kerja yang mayoritas tenaga kerjanya tidak dapat mengakses sektor primer dan sekunder. Sedangkan sektor ilegal ditandai pada pasar tenaga kerja yang pekerjanya pada kegiatan kriminal, seperti pelacuran, perjudian, penyelundupan, perdagangan narkotika, dan pembalakan liar hutan.
    Hampir dapat dipastikan setiap negara memiliki keempat sektor itu, namun dengan skala yang berbeda. Sebelum era globalisasi berlangsung, suatu negara dengan skala besar pasar tenaga kerja di sektor primer dapat dikategorikan sebagai negara maju. Sedangkan sektor sekunder sebagai negara transisi dari berkembang ke ne gara maju, dan sektor informal berkutat di negara-negara berkembang. Sementara pasar tenaga kerja sektor ilegal membiak di negara miskin dengan penegakan hukum yang lemah.
    Dari sisi pengupahan, tingkat upah umumnya mengikuti keempat sektor itu. Tingkat upah di sektor primer merupakan yang tertinggi berdasarkan regulasi yang menjadi acuan usaha dan perusahaan.
    Tingkat upah kemudian lebih rendah pada sektor sekunder. Meski tingkat upah sektor ini telah ditetapkan berdasarkan regulasi, namun penerapannya kerap tidak sesuai sehingga rawan konflik. Indonesia termasuk dalam kategori ini, termanifestasi dari unjuk rasa yang kerap dilakukan buruh.
    Selanjutnya, tingkat upah di sektor informal umumnya berada di bawah upah minimum dan ditentukan bukan dengan regulasi, melainkan dengan kesepakatan antara pengusaha dan buruh (bipartit). Kemudian, tingkat upah di sektor ilegal sulit diketahui mengingat aktivitasnya beraliansi tindakan kriminal.
    Efisiensi Versus Upah Minimum
    Namun, pada era globalisasi penggolongan upah menurut kategori itu diperkirakan mengalami perubahan. Perubahan terutama menimpa negara dengan penerapan regulasi yang lemah dalam pendirian perusahaan dan penetapan upah minimum.
    Era globalisasi juga bisa dimaknai dengan kompetisi antarnegara, khususnya kompetisi dalam kegiatan ekonomi. Untuk memenangkan persaingan ditentukan oleh tingkat daya saing.
     
    Semakin tinggi tingkat daya saing suatu negara akan semakin besar peluang untuk memenangkan kompetisi dalam pasar global.
    Aspek terpenting dalam bersaing di kegiatan ekonomi itu adalah efisiensi. Semakin besar efisiensi biaya ekonomi akan semakin besar potensi memenangkan persaingan karena biaya produksi barang dan jasa yang semakin murah.
    Salah satu faktor penting penentu efisiensi adalah upah buruh karena upah buruh yang semakin murah akan memberikan kontribusi yang semakin besar dalam menurunkan biaya produksi. Maka itu, dengan mencermati perubahan dengan basis efisiensi itu, diperkirakan struktur pasar tenaga kerja akan mengerucut ke sektor informal.
    Secara faktual, sektor informal akan memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan sektor formal. Tingginya daya saing sektor informal karena biaya produksi yang lebih murah, yang tidak hanya disebabkan upah buruh murah, tapi juga terbebasnya sektor ini dari biaya lain yang menjadi hak buruh, seperti uang pesangon serta absennya perusahaan dari kewajiban membayar pajak usaha.
    Terjadinya fenomena ini tentu sangat merugikan karena akan menyeret buruh ke dalam jurang kemiskinan akibat tingkat upah yang cenderung semakin rendah.
    Celakanya, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi untuk meningkatkan upah buruh. Sebab, sektor informal belum dilibatkan dalam penetapan upah minimum. Diketahui, penentuan upah minimum masih dalam lingkup formal dengan melibatkan tripartit, yaitu pemerintah, serikat pekerja, dan dunia usaha.
    Meski demikian, untuk mencegah degradasi upah buruh dalam era globalisasi ini, pemerintah masih dapat melakukan dua hal.  Pertama, menerapkan sistem upah minimum tidak hanya untuk sektor formal, tapi juga sektor informal. Kedua, memudahkan persyaratan perizinan untuk mendirikan usaha formal, serta membantu pengembangan usaha formal berskala mikro dan kecil.
    Berbagai upaya kiranya diperlukan guna menyelamatkan nasib buruh dari keterpurukan akibat upah yang rendah. Kehadiran era globalisasi suka atau tidak suka memang harus diterima sebagai konsekuensi dari perubahan zaman. Sebab, menutup pintu dari arus globalisasi itu akan terkucilkan. Meski demikian, kita harus cerdas untuk menyiasatinya agar tidak menjadi korban arus globalisasi. ●
  • Myanmar dan San Suu Kyi

    Myanmar dan San Suu Kyi
    Ismatillah A Nu’ad, PENELITI HUKUM, BEKERJA DI KEMITRAAN/PARTNERSHIP, JAKARTA
    Sumber : REPUBLIKA, 11 Februari 2012
    Pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi menegaskan, akan mencalonkan diri untuk kursi parlemen dalam Pemilihan Umum Myanmar pada April. Banyak pengamat politik internasional mempertanyakan apakah ini sebagai efek domino dari peranan diplomatik AS yang dewasa ini sangat intens di Myanmar, sehingga seakan-akan Suu Kyi melunakkan diri dalam arus kekuasaan militer di Myanmar.
    Sebab, keputusan Suu Kyi untuk kembali terlibat dalam arus kekuasaan politik bukanlah kali pertama. Pada 1990, partainya, LND, pernah memenangi Pemilu Myanmar meskipun kemudian pemerintahan militer di sana tidak merestuinya.
    Peraih Nobel Perdamaian 1991 itu malah dikenai tahanan rumah karena kemenangannya. Pengaruh politiknya dianggap membahayakan kekuasaan militer. Sejak itulah, sejarah kelam politik dan demokrasi di Myanmar dan Asia Tenggara umumnya berada dalam titik nadir.
    Sepanjang masa penahanannya, putri pahlawan kemerdekaan Burma itu pernah menghirup udara bebas pada 2002. Tapi, itu tak lama karena pada 2003 ia kembali menjadi tahanan rumah. Anaknya yang menetap di London tak pernah bisa menemui dia selama 10 tahun terakhir karena junta militer selalu menolak visanya.
    Perjuangan Suu Kyi menegakkan demokrasi dan menentang rezim militeristik selalu menghadapi risiko yang berbahaya karena dianggap melawan arus.
    Saat dibebaskan, dia disambut ratusan pendukungnya di pintu rumahnya setelah tujuh tahun berada dalam status tahanan rumah. Suu Kyi telah menghabiskan 15 tahun dalam 21 tahun terakhir dalam tahanan rumah. Hukuman tahanan rumah terakhir dijatuhkan pada Agustus 2010 setelah pengadilan memvonisnya melanggar hukum karena membiarkan seorang diplomat Amerika John W Yettaw menginap di rumahnya selama dua malam.
    Kekuasaan militeristik di Myanmar masih eksis, maka demokrasi Myanmar mengalami apa yang diistilahkan Samuel Huntington dalam The Third Wave Democratization (1998) sebagai penurunan gelombang demokrasi. Jika demokrasi ibarat pendulum, demokrasi Myanmar yang kini di posisi bawah mengalami penurunan yang sangat drastis. Demokrasi haruslah diperjuangkan karena merupakan sebuah sistem yang lebih baik. Demokrasi memang bukanlah sebuah sistem yang final digagas manusia, melainkan lebih baik dibanding sistem-sistem lainnya, seperti sistem otokrasi, otoriterisme, monarki, dan sebagainya.
    Ciri-ciri negara demokratis, menurut Huntington, salah satunya adalah kekuatan militer harus kembali ke barak. Tugas militer ialah mengamankan negara dari kemungkinan “serangan musuh“, baik dari dalam maupun luar. Tugas kekuasaan diberikan kepada masyarakat sipil yang representatif dan memenuhi syarat sebagai pemimpin.
    Ciri negara demokratis lainnya adalah kebebasan untuk menyuarakan pendapat, pers dijamin dan diberi kebebasan oleh undang-undang, terjadinya pemilu secara jujur dan adil, serta adanya otonomi masing-masing kelembagaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif (trias politica).
    Masing-masing lembaga itu bekerja sesuai kinerja yang diatur oleh undang-undang dan satu dengan yang lainnya independen tanpa ada campur tangan yang akan melunturkan otonomi kelembagaan.
    Lewat rezim militer pimpinan Jenderal Than Swee, di satu sisi kehidupan politik Myanmar memang kuat, terutama soal keamanan. Tapi, di sisi lain, seperti mekanisme berkenegaraan jelas menjadi tak sehat, otoriterisme menyeruat, serta rakyat ditebar teror-teror penculikan, penahanan, bahkan pembunuhan.
    Hal itu memang menjadi pemandangan umum di negara-negara yang dikuasai militer. Hal tersebut juga pernah terjadi di Indonesia ketika masih dikuasai oleh rezim militer Orde Baru. Mekanisme berkenegaraan yang menakutkan itu pernah dirasakan oleh para mantan aktivis prodemokrasi.
    Pengalaman di Indonesia yang kini menjadi negara demokrasi termaju di Asia Tenggara semasa pemerintahan militer Orde Baru ialah pada setiap lini kehidupan tidak memungkinkan rakyat untuk mengaspirasikan suara dan pendapatnya. Semua kebijakan dikuasai oleh penguasa. Jelas, kebijakan itu tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita rakyat.
    Setiap ada perbedaan, pasti diselesaikan dengan cara-cara kekerasan, teror, dan penistaan terhadap HAM. Banyak kasus-kasus kekerasan dan penghilangan nyawa yang dilakukan oleh rezim militer Orde Baru ketika itu, terutama yang terjadi antara 19651966 hingga kini, belum terusut (Cribb: 2003).
    Selain itu, belum lagi kasuskasus kekerasan, seperti di Tanjung Priok, kasus Lampung, DOM di Aceh, serta kasus-kasus yang terjadi mengiringi masa-masa reformasi. Pendeknya, jika militer berkuasa maka negara yang dikuasainya akan dibungkam serapat mungkin.
    Pada era negara-bangsa modern ini, Myanmar masih dikuasai rezim militer. Tentunya akan banyak terjadi fenomena kekerasan yang terjadi di sana, paling tidak karena masyarakat sipil akan terus dibungkam hak-haknya atau setidaknya ada tiga konsekuensi logis yang akan dihadapi secara internal dalam negara Myanmar sendiri.
    Pertama, terjadi penutupan dan pemberangusan hak-hak pendapat dan suara masyarakat sipil. Kedua, sistem pemerintahan trias politica membeku dan diperkosa oleh keinginan-keinginan diktator-militeristik. Undang-undang demokratis jelas diubah oleh peraturan yang berdasar dan selaras dengan kepentingan rezim militer yang ada.
    Dan ketiga, ada pembatasan atau pelarangan serta pemberangusan media-media cetak dan elektronik, selanjutnya media massa akan dikuasai oleh satu gerbong yang dimiliki penguasa militer.
    Sedangkan, relasi antara negara Myanmar dan pergaulan internasional, terutama di kawasan ASEAN, dapat dipastikan mengalami kesenjangan. Dari titik itu pula, sesungguhnya komunitas internasional harus terus menekan Pemerintah Myanmar. Karena, bagaimanapun demokrasi di Myanmar sungguh mengalami ancaman serius dan harus segera dipulihkan. Jika terlambat menyelamatkannya maka proses kepemimpinan militer akan terus mengakar.
    Komunitas internasional harus segera menghentikan rezim militeristik. Bagaimanapun, proses demokratisasi di Myanmar tak boleh terus terpuruk. Negara-negara ASEAN mestinya sudah steril dari kekuasaan militeristik yang otoriter dan diktator, serta membangun kekuasaan demokratis, sehingga proses untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera bisa terwujud secara nyata di kawasan ini. ●
  • Musuh Besar KPK

    Musuh Besar KPK
    Henry MP Siahaan, PENELITI HUKUM, BEKERJA DI KEMITRAAN/PARTNERSHIP, JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 11 Februari 2012
    Ancaman korupsi terbesar pada 2012 dan 2013 akan dilakukan oleh partai politik. Demikian sinyalemen yang disampaikan Indonesia Corruption Watch.
    Ada tiga alasan mengapa sinyalemen ini muncul. Pertama, dari perspektif historis pemilu pasca-Orde Baru, kasus besar selalu terkait parpol dan biasanya terungkap seusai pemilu. Selesai Pemilu 1999 muncul kasus Bank Bali, seusai Pemilu 2004 ada kasus suap cek perjalanan, pasca-Pemilu 2009 ada skandal Bank Century. Kedua, momentum pemilu. Menjelang Pemilu 2014 saat paling membahayakan aset negara, APBN, dan APBD. Parpol akan menyalahgunakan proyek pemerintah untuk kepentingannya (Kompas, 30/1/2012). Ketiga, komitmen pemerintah (pusat-daerah) yang manis dalam janji memberantas korupsi, tetapi lemah implementasi.
    Sinyalamen memosisikan parpol sebagai aktor paling berpotensi yang perlu diwaspadai tak sepenuhnya benar. Apakah parpol dapat bertanggung jawab secara institusional ketika korupsi? Siapa yang dapat menjerat parpol secara hukum dan menjebloskannya ke penjara atau bahkan membubarkannya? Parpol tak dapat dipenjara. Parpol juga tak dapat dibubarkan karena korupsi. Belum ada fakta empiris yang menunjukkan itu.
    Parpol adalah salah satu organ penting demokrasi, meminjam istilah Roberth A Dahl. Parpol tak pernah salah dan tak akan pernah melakukan korupsi. Parpol bukanlah pelaku korupsi, melainkan orang-orang di dalam parpol dapat melakukannya untuk menjalankan mesin parpol. Karena itu, yang perlu diwaspadai adalah setiap individu yang berafiliasi dengan parpol atau lainnya. Jadi, bukan semata-mata politisi.
    Karakter alamiah manusia yang tak pernah puas serta nafsu serakah menggapai kekuasaan dengan cara yang tidak halal akan selalu mewarnai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Robert Klitgaard menegaskan, semua aktor—tak terkecuali eksekutif, legislatif, yudikatif, termasuk LSM—dapat korupsi akibat peluang yang dimiliki.
    Menurut Klitgaard, rumus korupsi C>D+M-A. Artinya, korupsi (C) terjadi akibat diskresi (D) dan monopoli (M) yang tak terkontrol serta kurangnya akuntabilitas (-A). Situasi ini sangat tepat menggambarkan kondisi korupsi di Indonesia. Karena itu, yang perlu jadi kesadaran bersama: setiap aktor dapat memanfaatkan semua cara, dengan semua ruang, untuk mewujudkan hasratnya mencari keuntungan.
    Ruang yang dimaksudkan adalah seluruh prosedur, tahapan, mekanisme aturan yang memiliki celah, dan wilayah abu-abu (multitafsir). Namun, pertanyaan selanjutnya, di mana ruang untuk menemukan pelaku korupsi?
    Ruang Korupsi
    Dari data kasus yang ditangani KPK, 2004-2010, secara berurutan menunjukkan ruang pelaku sebagai berikut, pengadaan barang dan jasa (86 kasus), penyuapan (57), penyalahgunaan APBN/APBD (31), pungutan (12), serta perizinan (10). Kasus- kasus ini tali-temali dengan pengadaan barang dan jasa. Ruang ini dikerubuti multiaktor karena peluang dan sistem yang lemah. Karena itu, musuh besar yang harus diperangi KPK di level penindakan dan aksi pencegahan adalah buruknya mekanisme/sistem pengadaan barang dan jasa.
    Menurut pihak KPK, pengadaan barang dan jasa jadi kasus terbanyak karena pasar yang tak terbuka (kolusi panitia-rekanan, kolusi arisan antar-rekanan, monopoli dan premanisme, minimnya akses publik ke pasar pengadaan); kurangnya manajemen; buruknya governance (panitia tak transparan dan akuntabel, penyalahgunaan wewenang, pengawasan internal tidak berfungsi, tak efisien); serta banyaknya kasus tindak pidana korupsi (suap-menyuap, kick back, menyalahi prosedur, mark-up harga, pengaturan tender, kerugian negara).
    Berbagai hal ini terjadi di semua tahap kegiatan pengadaan barang dan jasa, mulai dari perencanaan sampai tahapan penyerahan barang dan jasa.
    Kita tak ingin wabah korupsi terus menggurita. Yang perlu dilakukan untuk membendung kejahatan para pelaku adalah mendorong seluruh instansi pemerintah menerapkan pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-procurement). E-procurement merupakan aksi pencegahan dan pendekatan yang baik untuk menghalangi korupsi. 
    Penerapan e-procurement memberi banyak keuntungan, baik dari sisi pengguna maupun penyedia barang/jasa. Dari sisi penyedia, banyak biaya dapat dihemat, seperti biaya transportasi, akomodasi, konsolidasi, dan biaya cetak dokumen. Dari sisi pengguna, layanan pengadaan secara elektronik mendukung iklim persaingan antar-penyedia yang lebih adil dan berkualitas. Pengguna punya lebih banyak pilihan dan mendapatkan penawaran lebih murah dengan kualitas lebih baik.
    Namun, sekali lagi, maukah pemerintah berhenti bermulut manis dan benar-benar beraksi untuk membersihkan negara ini dari korupsi? Saya yakin, negara ini tahu cara-cara strategis untuk membendung korupsi oleh banyak penjahat yang sedang dan mau menggerogoti uang negara. Haruskah negara kalah? ●
  • Etika (Pejabat) Politik

    Etika (Pejabat) Politik
    W Riawan Tjandra, DIREKTUR PROGRAM PASCASARJANA;
    DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMA JAYA, YOGYAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 11 Februari 2012
    Ruang publik di Tanah Air kembali dihangatkan suhu politiknya setelah muncul nama Anas Urbaningrum. Beberapa nama politisi Senayan juga disebutkan berkali-kali dalam persidangan di pengadilan tindak pidana korupsi dalam kasus korupsi wisma atlet SEA Games. Kasus itu sebelumnya menyeret mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin sebagai terdakwa.
    Kali ini, nama Anas disebutkan dalam keterangan resmi dalam persidangan, baik oleh terdakwa maupun beberapa saksi di persidangan. Misalnya, keterangan Direktur Pemasaran Grup Permai Mindo Rosalina Manulang tentang korupsi bersama yang dilakukan beberapa anggota Partai Demokrat, diperkuat keterangan saksi kunci, Yulianis, tentang aliran uang ke Ketua Umum Partai Demokrat (PD).
    Dalam hukum acara pidana, keterangan-keterangan tersebut bisa jadi alat bukti yang kuat untuk membongkar semua konspirasi dugaan korupsi dalam pembangunan wisma atlet.
    Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya serius mendalami kasus dugaan korupsi proyek pembangunan gedung dan sarana olahraga senilai Rp 1,2 triliun di Hambalang, Bogor. Semua nama yang diduga terlibat dalam proyek tersebut dijadwalkan akan dipanggil untuk pemeriksaan lebih lanjut, termasuk Anas.
    Sebagaimana diketahui, nama Anas beberapa kali disebut Nazaruddin sebagai dalang dalam proyek Hambalang. Hal itu diperkuat pernyataan Ketua Badan Legislasi DPR Ignatius Mulyono yang mengaku pernah dimintai tolong oleh Anas untuk melobi Kepala Badan Pertanahan Nasional agar membebaskan lahan Hambalang.
    Bukti-bukti yang semakin mengarah ke petinggi Partai Demokrat itu telah menyampaikan pesan di ruang publik politis mengenai semakin kenyalnya persenyawaan antara politik dan konspirasi ekonomi, yang bersimbiosis mutualisme. Tak mungkin kuasa politik akan diraih tanpa dukungan politik uang, yang hanya bisa diperoleh melalui eksploitasi proyek-proyek, dan pada ujungnya telah membelokkan aliran uang negara dari APBN ke arena transaksi politik di kalangan elite.
    Kisah Century yang tak tuntas hingga kini seharusnya jadi cambuk untuk menuntaskan pengungkapan kasus-kasus korupsi politik, yang selama ini tak mudah dibongkar karena dominannya kepentingan politik. Akibatnya, ayunan pedang dewi keadilan tak jarang melemah.
    Ayunkan Pedang Keadilan
    Kini hanya pedang Damocles, seperti yang pernah diletakkan di atas takhta Raja Dionysius di Syracuse Sisilia (406-307 SM), yang membuat Damocles insaf akan bahayanya sebuah kekuasaan jika pedang dewi keadilan tersandera kepentingan politik.
    Agar pedang dewi keadilan bisa berayun menegakkan keadilan, harus diawali dengan hadirnya etika politik. Etika politik tak hanya berkutat pada perilaku para politisi, tetapi juga berkelindan dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, serta struktur sosial, politik, dan ekonomi.
    Dari dalam diri sang pelaku/politisi harus lahir keutamaan yang merupakan faktor stabilisasi tindakan. Keutamaan itu akan berpengaruh terhadap efektivitas praktik penegakan hukum, peran institusi penegak hukum ataupun institusi politik.
    Institusi hukum, politik, ataupun ekonomi gagal melaksanakan peran sesuai mandat karena absennya etika (pejabat) politik. Kuasa selalu membutuhkan dana untuk menopangnya. Hal itulah yang telah menjadikan negeri ini melaksanakan demokrasi yang tengah mengalami defisit integritas dan akuntabilitas, menegakkan hukum minus keadilan, dan sejenisnya.
    Anthony Giddens menyatakan bahwa kejahatan struktural selalu dimulai dari kejahatan moral di ranah privat individu dan kolektif. Guna memutus mata rantai kejahatan struktural perlu dimulai dari kesadaran individual dan kolektif dari para pejabat politik untuk menegakkan etika (pejabat) politik. ●
  • Membangun Kedaulatan Pangan

    Membangun Kedaulatan Pangan
    Dwi Andreas Santosa, KETUA PS S-2 BIOTEKNOLOGI TANAH DAN LINGKUNGAN;
    AKTIF DI GERAKAN PETANI
    Sumber : KOMPAS, 11 Februari 2012
    Di suatu siang yang terik pada 18 Januari 2012 lalu, penulis berkesempatan berbincang dengan seorang petani (wanita) di suatu desa di Distrik Medak, Andhra Pradesh, India. Di hadapan kami terbentang luas ladang yang ditanami sekitar 20 jenis tanaman.
    Tanaman-tanaman tersebut tumbuh subur di tengah cuaca kering tanpa hujan selama enam bulan terakhir. Tanah seluas hampir 10 hektar tersebut semula adalah tanah kering tidak produktif yang dibeli bersama-sama oleh kelompok petani wanita (sanghams) dari seorang tuan tanah sekitar 20 tahun silam. Sistem pengelolaan berbasis agroekologi yang mereka lakukan ternyata mampu membalikkan kondisi tanah: dari yang semula tidak produktif menjadi produktif.
    Gerakan ”kedaulatan pangan” tersebut perlahan-lahan membesar dan sejak tahun 2000-an mulai diadopsi menjadi gerakan massal petani kecil di India. Mereka mengembangkan benih, membuat pupuk organik, pestisida nabati, menanam berbagai varietas tanaman lokal di ladang-ladang mereka, dan mengembangkan lumbung pangan sendiri. Melalui gerakan semacam itu, terjadi peningkatan produksi pangan yang tinggi di wilayah-wilayah tersebut, yang mampu menopang kebutuhan pangan setempat dan komunitas di luar mereka.
    Krisis Ketahanan Pangan
    Kondisi yang bertolak belakang kita alami saat ini di Indonesia. Presiden dalam pembukaan ”Jakarta Food Security Summit, Feed Indonesia Feed The World 2012” menyatakan tidak mudah meningkatkan produksi pangan dunia di masa depan (Kompas, 8 Februari 2012). Alih-alih akan memberi makan dunia (feed the world), perkembangan produksi pangan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini justru mengarah yang sebaliknya.
    Apabila kita bandingkan data perdagangan pangan periode 2009/2010 dengan periode 2010/2011, terjadi peningkatan luar biasa impor pangan. Impor beras meningkat 141 persen, jagung 89 persen, dan kedelai 19 persen (USDA, Desember 2011). Impor gandum yang tahun sebelumnya sudah menembus angka di atas 5 juta ton, pada periode sekarang masih meningkat lagi dan mencapai 6,6 juta ton atau peningkatan sebesar 23 persen. Total impor biji-bijian, termasuk tepung, untuk periode 2010/2011 mencapai 17,2 juta ton, suatu angka impor yang fantastis.
    Ironisnya, bukan hanya berbagai ”pangan pokok” tersebut, rak-rak supermarket di Indonesia 60-80 persen diisi buah-buahan impor. Impor apel, anggur, pir, dan jeruk pada 2010/2011 meningkat masing-masing sebesar 37, 39, 44, dan 19 persen dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya.
    Terdapat berbagai permasalahan besar yang menyebabkan produksi pertanian kita stagnan, bahkan cenderung menurun. Iklim selalu menjadi ”kambing hitam” jika terjadi penurunan produksi pertanian di Indonesia. Tak bisa dipungkiri bahwa pada kondisi musim kering berkepanjangan produksi pertanian biasanya menurun. Akan tetapi, dalam kondisi yang relatif normal, terlalu naif menyalahkan iklim sebagai biang keladi penurunan produksi.
    Salah satu penyebab terkait hal tersebut adalah ketidakmampuan kita mengelola air. Hanya 10 persen air irigasi yang bisa dikendalikan, 50 persen jaringan irigasi strategis nasional di Pulau Jawa rusak, dan 27 persen seluruh jaringan irigasi nasional perlu rehabilitasi ringan hingga berat (DA Santosa, ”Waspadai Pangan 2012”, Kompas, 11 November 2011).
    Lahan pertanian merupakan persoalan besar lainnya. Dengan luas lahan pertanian pangan yang hanya 358 meter persegi per kapita untuk sawah atau 451 meter persegi jika digabungkan juga dengan lahan kering, upaya dan terobosan apa pun untuk peningkatan produksi akan mengalami jalan buntu. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Angkanya 100.000 hingga 110.000 per hektar per tahun. Padahal, lahan-lahan pertanian itu sebetulnya sudah ”dilindungi” oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
    Teknologi peningkatan produksi juga memiliki keterbatasan. Stagnasi peningkatan produksi melalui asupan teknologi tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, yang merupakan salah satu eksportir pangan dunia, produktivitas tiga jenis tanaman utama mereka (gandum, jagung, dan kedelai) tidak banyak berbeda dibandingkan dengan tahun 1980-an. Upaya melalui teknologi transgenik yang sudah diterapkan sejak tahun 1996 untuk empat jenis tanaman, yaitu jagung, kedelai, kanola, dan kapas, juga tidak membawa dampak positif terhadap produktivitas tanaman tersebut.
    Membangun Kedaulatan Pangan
    Lalu, bagaimana upaya-upaya yang dapat kita kerjakan pada masa depan? Gerakan petani kecil di India yang diulas sebagai pengantar tulisan ini dapat dijadikan contoh nyata bagaimana upaya pemenuhan kebutuhan pangan seharusnya dikembalikan ke ranah petani kecil.
    Konsep yang mereka kembangkan sangat berbeda dibandingkan dengan konsep ketahanan pangan yang menempatkan pangan sebagai komoditas perdagangan serta pemisahan tegas antara produsen, pedagang, dan konsumen. Petani kecil di India memahami kedaulatan pangan dengan bahasa yang sangat sederhana, yaitu pangan lokal, produksi lokal, penyimpanan lokal, dan distribusi lokal.
    Melalui gerakan kedaulatan pangan yang dirintis lembaga nirlaba Deccan Development Society (DDS), yang melibatkan para petani di 77 desa, mereka berhasil memproduksi pangan (biji-bijian) ekstra sebesar 2.000.000 kilogram per tahun. Melalui program ini pula mereka menciptakan 250.000 lapangan kerja harian dan mampu menyumbang pangan bagi 50.000 penduduk miskin (DDS, 2008).
    Sebagaimana di Indonesia, Pemerintah India dalam upaya penanggulangan kemiskinan juga melakukan program bantuan pangan untuk masyarakat miskin, yang dikenal dengan Public Distribution System. Dibandingkan dengan program pemerintah tersebut, program yang mereka kerjakan jauh lebih efisien. Hanya Rp 1 per Rp 7 rupiah pengeluaran pemerintah yang benar-benar diterima oleh masyarakat sasaran.
    Pengeluaran terbesar adalah untuk administrasi, transportasi, dan distribusi pangan. Sebaliknya, melalui gerakan kedaulatan pangan, setiap Rp 1,6 dana yang dikeluarkan, sebesar Rp 1 akan diterima langsung oleh masyarakat sasaran.
    Pemerintah India mendukung dan mendanai gerakan kedaulatan pangan yang dimotori oleh lebih dari 500 organisasi akar rumput. Gerakan tersebut menjadi salah satu pilar yang berhasil membantu Pemerintah India menyediakan pangan bagi 1,21 miliar penduduknya. Ketika Indonesia dengan jumlah penduduk 241 juta jiwa harus mengimpor belasan juta ton bahan pangan, sebaliknya India pada tahun 2011 mampu mengekspor beras sebesar 4,5 juta ton, jagung 2,2 juta ton, dan tepung kedelai sebesar 4,2 juta ton.
    Indonesia masih memiliki 23,24 juta lahan kering yang bisa digunakan untuk memproduksi pangan, yaitu seluas 8.136.646 hektar di dalam kawasan hutan dan 15.106.234 hektar di luar kawasan hutan (Departemen Kehutanan, 2002). Lahan seluas itu potensial untuk menghasilkan 25 juta ton hingga 50 juta ton biji-bijian atau 75 juta ton hingga 150 juta ton umbi-umbian per tahun.
    Petani kecil memiliki potensi besar untuk mengubah hitungan tersebut menjadi kenyataan, bukan korporasi atau para pemburu rente ekonomi. ●
  • Menonton Penonton Film Indonesia

    Menonton Penonton Film Indonesia
    Adrian Jonathan Pasaribu, Redaksi Filmindonesia.or.id
    Sumber : KOMPAS, 11 Februari 2012
    Di atas kertas, 2011 adalah tahun buruk bagi sinema Indonesia. Jumlah penonton menurun. Tahun sebelumnya, film Indonesia ditonton 16 juta orang. Tahun 2011, hanya ditonton 14 juta orang saja.
    Tahun 2008 dan 2009, film Indonesia pernah meraup 30 juta penonton lebih. Padahal, jumlah film yang beredar hampir sama: 88 film tahun 2008, 80 film tahun 2009, 82 film tahun 2010, dan 84 film tahun 2011. Berarti, tahun ini, rata-rata penonton per film adalah 176.000 orang, sementara rata-rata tahun lalu 195.000 orang.
    Apa yang terjadi? Usaha menjawab pertanyaan ini berujung pada sejumlah catatan.
    Distribusi Film
    Pertama, tentang kelesuan perbioskopan nasional tahun ini. Pemantiknya adalah pajak impor film sejak Januari, tetapi dampaknya baru terasa awal Maret hingga akhir Juli. Sepanjang periode itu, Motion Pictures Association of America (MPAA) memboikot Indonesia. Film-film blockbuster, macam Harry Potter and the Deathly Hallows Part Two dan Transformers 3: The Dark of the Moon, tidak bisa masuk ke jaringan distribusi nasional.
    Masyarakat merespons kasus tersebut dengan eksodus sementara ke Singapura dan Malaysia. Apa boleh buat. Film Hollywood masih menjadi faktor penarik massa ke bioskop dan hajat hidup film Indonesia suka tidak suka bergantung pada film impor, terutama keluaran MPAA.
    Untuk film-film MPAA, akhir Oktober, situs Mojo mulai menyediakan data pendapatan kotornya. Kesulitannya untuk Indonesia dengan ketaktersediaan data-data demikian adalah saat melakukan perbandingan. Karena itu, dengan sedikit nekat data-data pendapatan kotor khusus Indonesia dari Mojo dicoba ”dikonversikan” ke jumlah tiket/penonton dengan harga tiket.
    Harga tiket bioskop di Indonesia Rp 20.000-Rp 100.000 tergantung dari kelasnya: 21, XXI, atau Premiere. Dengan jumlah 248 layar pada XXI dan Premiere—sepertiga dari total 592 layar—dan memperhitungkan ”nonton hemat” dari Senin sampai Kamis, maka ”dengan nekat” diambil rata-rata harga tiket Rp 30.000. Data penonton dalam tulisan ini adalah hasil ”konversi” pendapatan kotor dibagi rata-rata harga tiket yang Rp 30.000 itu.
    Tampaklah bahwa penonton film MPAA tahun ini tidak terlalu cemerlang. Rata-rata berpuncak pada 700.000-900.000 penonton. Ambil contoh Fast Five. Dalam 12 minggu peredaran di bioskop, film tersebut meraup lebih dari 930.000 penonton (Rp 27.906.432.017). Tidak jauh di bawahnya ada Final Destination 5 dengan 851.000 lebih penonton (Rp 25.542.458.705,
    13 minggu pemutaran), Johnny English Reborn dengan 741.000 lebih penonton (Rp 22.250.361.807, tujuh minggu pemutaran), dan Real Steel dengan 651.000 lebih penonton (Rp 19.554.382.588, delapan minggu pemutaran).
    Bandingkan dengan lima besar film Indonesia tahun ini. Di puncak ada Surat Kecil untuk Tuhan dengan 748.000 penonton. Tidak jauh di bawahnya ada Arwah Goyang Karawang dengan 727.000 penonton, Poconggg Juga Pocong dengan 575.000 penonton (masih beredar), Get Married 3 dengan 563.000 penonton, dan Tanda Tanya dengan 552.000 penonton. Jumlah penonton ini masih di bawah jumlah penonton film impor, tetapi selisih tidak besar.
    Pola pembangunan bioskop yang umumnya berprinsip ”satu mal satu bioskop” memosisikan penonton film Indonesia sama dengan penonton film impor: kelas menengah ke atas. Apabila film impor masih menjadi magnet agar penonton ke bioskop, prosedur yang mendahului ketersediaan film-film tersebut harus diurus dengan benar. Kasus pajak di atas sampai kini juga belum jelas penyelesaiannya.
    Ketersediaan film impor di bioskop barulah satu hal. Hal lain adalah bagaimana pelaku bioskop memperlakukan film Indonesia. Apa yang baik bagi film impor belum tentu baik untuk film Indonesia, padahal keduanya berebut penonton yang sama.
    Berikutnya soal data penonton. Belum ada upaya penertiban dari pemerintah terkait ketersediaan data penonton atau data pendapatan kotor. Padahal, Pasal 33 Undang-Undang Perfilman Tahun 2009 menyebutkan, pelaku usaha pertunjukan film ”wajib memberitahukan kepada menteri secara berkala jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan”. Ayat kedua menjelaskan hak masyarakat atas data penonton: ”Menteri wajib mengumumkan kepada masyarakat secara berkala jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan di bioskop”.
    Kesulitan mengakses data penonton menghadirkan sejumlah konsekuensi. Jumlah total penonton bioskop setiap tahun adalah hasil perkiraan. Maka, pemetaan mendetail terhadap siapa saja dan bagaimana pola konsumsi penonton bioskop di Indonesia jadi sulit dilakukan.
    Bagaimana publik bisa mengetahui bioskop untung atau rugi kalau jumlah penonton bioskop tidak dibuka? Bagaimana pemerintah bisa meyakinkan calon investor bahwa bioskop adalah bisnis potensial? Bagaimana penggiat film membuat terobosan kalau tak ada data penonton?
    Keterlibatan publik dalam mengamati (dan mengawasi) kegiatan pelaku bisnis bioskop pun jadi terbatas. Apabila masa edar film ditentukan dari hold over figure (jumlah minimum penonton), harus ada keterbukaan pada publik perihal data penonton.
    Bioskop tidak pernah memublikasikan informasi tersebut. Bioskop juga tidak pernah mengumumkan ataupun menjelaskan berapa hold over figure. Alhasil, bioskop punya kebebasan yang tak terkontrol.
    Satu contoh kasus terjadi Juli silam. Tanggal 7 Juli, Surat Kecil untuk Tuhan (SKUT) rilis di 59 layar. Dua hari kemudian, SKUT naik ke 73 layar dan bertahan dengan rata-rata 65 layar sampai 3 Agustus. Jumlah penonton sampai tanggal tersebut 687.000 orang. Berarti, setiap layar meraup 400.000 penonton. Ini prestasi menggembirakan mengingat tanggal 28 Juli, Harry Potter masuk bioskop dan SKUT masih mampu meraup penonton. Sayang, begitu Transformers 3: Dark of the Moon masuk, jumlah layar SKUT turun jadi 30.
    Tidak adanya kejelasan hold over figure memicu dugaan bahwa pihak 21 menggusur SKUT demi memberi ruang Transformers. Apalagi, seminggu sebelumnya, ada Harry Potter yang di hari pertama beredar di 353 layar sekaligus. Jumlah seluruh layar di Indonesia: 676. Berarti, Harry Potter mengisi 52 persen jumlah layar, sementara SKUT 10 persen. Dari persentase layar SKUT yang tidak seberapa itu, pihak 21 mengambil setengahnya untuk Transformers: hari pertama saja 130 layar. Jadi, sebenarnya 21 berpihak kepada siapa?
    Keragaman Konten
    Permainan layar bioskop jelas merugikan sinema Indonesia. Kesempatan penonton mengapresiasi perkembangan film nasional terpangkas. Tahun ini, dari 84 film nasional yang beredar di bioskop, setiap film rata-rata beredar dua minggu dan menggaet 176.000 penonton. Bukan jumlah ideal mengingat jumlah penduduk negeri ini 200 juta lebih. Namun, lebih dari separuh layar bioskop terpusat di wilayah Jabodetabek. Sisanya tersebar di 30 kota.
    Timpangnya peredaran film bioskop dan pendeknya masa edar menjadikan perbedaan antara yang sudah dihasilkan para pembuat film dengan yang diterima penonton. Orang beranggapan sinema Indonesia masih didominasi film horor dan komedi cabul, padahal kenyataannya tidak.
    Ada keragaman dalam film Indonesia tahun ini. Dari 84 film yang beredar, ada 35 drama, 13 komedi, 12 horor-komedi, 10 horor, 8 laga, 3 thriller, 2 musikal, dan 1 dokumenter. Tahun 2010: 28 drama, 20 komedi, 19 horor, 3 horor-komedi, 3 musikal, 2 thriller, dan 1 fantasi. Tahun 2009: 26 komedi, 22 drama, 22 horor, 4 horor-komedi, 3 laga, 1 fantasi, 1 animasi, dan 1 musikal.
    Masuk ke masing-masing genre juga ada keragaman tema. Khusus untuk film komedi, tema-tema ”dewasa” tidak terlalu dominan tahun ini. Tahun lalu, hampir separuh dari film komedi Indonesia bertema semacam itu: Ngebut Kawin, Lihat Boleh Pegang Jangan, Sssstt… Jadikan Aku Simpanan, dan Susah Jaga Keperawanan di Jakarta. Tahun ini hanya dua: Mati Muda di Pelukan Janda dan Perempuan-perempuan Liar.
    Perkembangan film drama juga menarik. Ada semacam tren di kalangan pembuat film untuk bergerak keluar Jakarta dan mengangkat cerita dari sejumlah daerah. Satu yang cukup menonjol adalah The Mirror Never Lies, karya Kamila Andini, yang berkisah tentang seorang anak perempuan dan ibunya di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
    Inisiatif serupa adalah Batas (Kalimantan Barat), Serdadu Kumbang (Nusa Tenggara Barat), Badai di Ujung Negeri (sebuah pulau di Laut China Selatan), Lost in Papua (pedalaman Papua), dan Pengejar Angin (Palembang).
    Eksplorasi lokalitas berpotensi dikembangkan. The Mirror Never Lies, misalnya, membawa penonton ke perspektif Indonesia sebagai bangsa maritim. Maka, tren eksplorasi lokalitas ini memberi kesempatan penonton Indonesia untuk lebih mengenal negerinya. Untuk itu, perlu pemetaan daya serap penonton.
    Sesuai kalkulasi, drama jadi penyumbang penonton terbesar tahun ini: 45 persen dari total 13,9 juta penonton. Jika dihitung rata-rata penonton per genre, horor-komedi dan horor yang paling tinggi. Tahun ini, setiap film horor-komedi menyedot 251.000 penonton, sementara horor rata-rata menarik 241.000 penonton per film. Sebagai bandingan, drama punya rata-rata 177.000 penonton per film dan komedi 168.000 per film.
    Dengan jumlah film lebih banyak, film drama dan komedi memiliki rata-rata penonton lebih rendah dibandingkan film horor dan horor-komedi. Tahun ini ada 38 film drama dan 13 film komedi yang dirilis. Bandingkan dengan 12 film horor-komedi dan 10 film horor. Kesimpulannya: film horor dan horor-komedi adalah dua jenis film yang paling mudah dipasarkan di Indonesia.
    Penonton
    Pada titik inilah isu pendidikan penonton menjadi genting. Ketiadaan sarana ekshibisi alternatif menjadikan referensi mayoritas penonton Indonesia terbatas pada sajian di bioskop sehingga perlu kehadiran tontonan alternatif lewat festival film.
    Jakarta International Film Festival dalam 12 kali penyelenggaraan rata-rata menyedot 15.000 penonton per festival. Jogja-NETPAC Asian Film Festival tahun ini meraih sekitar 4.000 penonton. Namun, belum konstannya dana pemerintah ke festival-festival film di Indonesia ini membuat penyelenggaraan festival film terbatas dan tidak punya jaminan bertahan. Sementara jumlah bioskop alternatif di Indonesia terlampau sedikit.
    Ketiadaan sarana ekshibisi alternatif sebenarnya peluang bagi pihak bioskop. Mereka bisa memutar film-film festival atau film-film impor yang dianggap tidak laku. Contohnya sudah ada: pemutaran Tree of Life di 21 (Agustus-September) atau Drive di Blitz (Desember). Namun, karena tidak ”diprogram”, film-film itu kurang ”bunyi”.
    Keuntungan bioskop yang sudah cukup besar tidak akan berkurang jika beberapa layar ”dikorbankan” untuk pemutaran terprogram. Dengan memberikan pilihan sajian, bioskop bisa berperan menantang pembuat film Indonesia untuk mengembangkan kontennya. ●
  • Melawan Entropi Budaya

    Melawan Entropi Budaya
    Ary Ginanjar Agustian, PENDIRI ESQ LEADERSHIP CENTER
    Sumber : JAWA POS, 11 Februari 2012
    ADAyang menarik dari hasil sebuah survei yang diumumkan Juli 2006 oleh Leicester University, Inggris, tentang negeri Bhutan. Berdasar Peta Kebahagiaan Dunia, disimpulkan bahwa kebahagiaan rakyat Bhutan secara global berada pada peringkat kedelapan tertinggi. Negeri Bhutan menjadi perhatian dunia karena 97 persen rakyat negara di dekat Himalaya tersebut merasa diri mereka berbahagia, dengan 45 persen di antaranya merasa ”sangat berbahagia”.

    Pendapatan per kapita hanya USD1.400, namun peringkatnya 9 level lebih tinggi dibanding AS yang memiliki pendapatan per kapita USD 41.800. Hal itu membuat tingkat kepuasan penduduk Bhutan berada dalam kelompok 10 persen tertinggi di dunia berdasar Happy Planet Index.

    Lembaga riset Barrett Values Centre yang membuat peta nilai-nilai individu, organisasi, dan negara mengukur entropi (derajat ketidakteraturan) budaya Bhutan. Ternyata, angkanya sangat kecil, yaitu kurang dari 4 persen. Bhutan menjadi salah satu negara yang memiliki entropi terkecil di dunia.

    Di sisi lain, Barrett juga melakukan penelitian di beberapa negara lain. Di Islandia, penelitian dilakukan pada Agustus 2008. Hasilnya, entropi budaya di Islandia sangat tinggi, lebih dari 54 persen. Ternyata, sebulan kemudian, Islandia mengalami kebangkrutan ekonomi. Agustus 2007, dilakukan penelitian terhadap rakyat Latvia, entropi budayanya juga mencapai 54 persen. Dua bulan kemudian, terjadi huru-hara dan pemerintahan Latvia pun jatuh.

    Yang dimaksud budaya dalam hal ini bukanlah kesenian, tapi kumpulan karakter sebuah organisasi, lembaga, perusahaan, atau bahkan bangsa. Apa yang dimaksud entropi?

    Dalam ilmu fisika diketahui bahwa jumlah energi yang dihasilkan sebuah mesin adalah sama dengan jumlah energi yang dimasukkan ke dalamnya. Namun, jika ada kerusakan komponen mesin, sebagian energi akan digunakan untuk mengatasi kerusakan tersebut. Energi itu dinamakan entropi.

    Contoh pada kendaraan, sebuah mobil dengan seliter bensin dapat menempuh jarak 10 km. Namun, ketika beberapa komponen rusak seperti aus, berkarat, atau tersumbat, dengan seliter bensin itu, mobil tersebut hanya mampu menempuh 5 km. Setengah energi yang seharusnya digunakan untuk menempuh 5 km lagi dipakai untuk mengatasi kerusakan sistem. Dengan kata lain, entropi mobil tersebut menjadi 50 persen.

    Ternyata, hal itu juga berlaku pada organisasi, instansi, atau perusahaan swasta maupun pemerintah, bahkan negara. Jumlah energi yang dihasilkan sebuah organisasi sama dengan jumlah energi yang dimasukkan ke dalamnya. Ketika gangguan dalam organisasi meningkat, misalnya karena birokrasi, hierarki, kompetisi internal, ketidakjujuran, saling menyalahkan, atau komunikasi tertutup, energi karyawan untuk melakukan pekerjaan harus meningkat. Energi tambahan itu disebut ”entropi budaya”. Padahal, energi yang digunakan dalam mengatasi entropi budaya adalah energi yang seharusnya untuk menghasilkan, tapi menjadi terbuang percuma.

    Contoh dalam lingkup korporasi atau instansi, besarnya biaya dan energi karyawan yang dapat berkontribusi ke perusahaan akan bergantung pada tinggi rendahnya entropi budaya. Ketika entropi rendah, energi karyawan yang tersedia untuk melakukan pekerjaan produktif menjadi tinggi sehingga kinerja perusahaan menjadi tinggi. Sebaliknya, ketika entropi budaya tinggi, energi karyawan yang tersedia untuk melakukan pekerjaan menjadi rendah, sehingga kinerja perusahaan pun rendah.

    Entropi budaya terdiri atas tiga unsur. Pertama, faktor-faktor yang memperlambat organisasi dan mencegah pengambilan keputusan yang cepat: birokrasi, hierarki, ketidakjelasan, pertengkaran, dan kekakuan. Kedua, faktor-faktor yang mengakibatkan gesekan antaranggota: persaingan internal, menyalahkan intimidasi, dan manipulasi. Ketiga, faktor-faktor yang mencegah anggota dari kerja secara efektif: kontrol berlebihan, terlalu berhati-hatian, mikro-manajemen berlebih, fokus jangka pendek, dan teritorialisme.

    De-entropi-sasi Budaya

    Di Indonesia, istilah entropi budaya belum begitu dikenal. Padahal, gejala tiga unsur entropi tersebut tampak di mana-mana. Namun, ada fenomena menarik sehubungan dengan pengangkatan Dahlan Iskan sebagai menteri BUMN.

    Kali pertama bertemu, saya menyapa dengan sebutan ”Pak Menteri”. Beliau langsung menukas, ”Nama saya Dahlan Iskan, jangan panggil saya menteri!”

    Perjalanan ke suatu tempat dilakukan tanpa pengawalan. Bahkan, Dahlan tidak mau menggunakan fasilitas voorijder (pembuka jalan). Dalam perjalanan ke luar kota tersebut, rombongan kami sempat malah diminta minggir, mengalah.

    Ketika acara dimulai bersama jajaran Dirut BUMN, seperti pada umumnya, pembawa acara (MC) membuka acara dengan sambutan pendahuluan yang penuh basa-basi. Dahlan langsung memotong, ”Sudah, langsung saja pada inti pembicaraan!”

    Menurut stafnya, Dahlan Iskan tidak pernah memfungsikan bel di meja kerjanya untuk memanggil sekretarisnya. Dia antarkan sendiri surat-surat yang sudah ditandatangani langsung ke meja sekretarisnya.

    Cara komunikasi terus terang, apa adanya, egaliter, dan sangat membuka jalur komunikasi tentu saja sangat efisien dan cepat serta memudahkan dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Gaya berpakaian Dahlan pun sangat bersahaja, simpel, serta efisien. Dalam acara resmi sekalipun, dia tidak menggunakan dasi dan jas mahal. Cukup kemeja dengan sepatu ketsnya yang membuatnya gesit bergerak.

    Apa yang saya tangkap dan tercermin dari sikap Dahlan Iskan adalah sebuah pesan tanpa pidato untuk mengikis birokrasi yang mengungkung, kekakuan yang membeku, dan jalur komunikasi yang tersumbat yang sesungguhnya merupakan bagian dari tiga unsur entropi yang melanda negeri ini. Sebuah pesan di balik sepatu kets dan kemeja putih. Semua itu bukanlah tontonan unik, tapi sebuah pesan untuk jajaran BUMN dan bahkan negara ini yang sudah lelah dengan entropi budaya. ●