Category: Uncategorized
-
Persidangan Umar Patek
Persidangan Umar PatekNoor Huda Ismail, ALUMNUS NGRUKI DAN DIREKTUR EKSEKUTIF YAYASAN PRASASTI PERDAMAIAN, ORGANISASI PENDAMPING MANTAN KOMBATANSumber : KOMPAS, 14 Februari 2012Umar Patek, yang diduga sebagai pelaku terakhir peledakan bom Bali pada 12 Oktober 2002 dan akhirnya ditangkap aparat, akan menjalani serangkaian persidangan.Apa makna persidangan tersebut bagi penanganan terorisme di Indonesia yang sudah 10 tahun berjalan, tetapi belum jelas arah kebijaksanaannya?Umar Patek adalah contoh klasik korban dari doktrin kelompoknya, yaitu ”sami’na wa atho’na” atau ”kami mendengar dan taat”. Di dalam kelompok ini, tradisi berpikir kritis terhadap keputusan amir atau pemimpin adalah tabu, bahkan bisa dianggap pengkhianatan terhadap nilai kelompok dan keluar dari agama (in and out group dynamic).Dalam kasus pengeboman Bali pertama, ia terlibat dalam peracikan bahan peledak. Namun, ia bukan aktor utama seperti almarhum Ali Ghufron atau Imam Samudra. Keberhasilannya lolos dari sergapan polisi—baik di Indonesia maupun di Asia Tenggara—dan tertangkap atau tewasnya para senior kelompoknya membuat Umar Patek meroket.Amerika mematok harga kepalanya 1 juta dollar AS. Dalam berbagai laporan media, ia lalu digambarkan sebagai ”monster” yang sangat membahayakan.Memaknai SidangPersidangan Umar Patek dapat dibaca sebagai berikut:Pertama, persidangan dapat menjadi ajang pembuktian bahwa ia sosok penting untuk memahami jaringan Indonesia dan Asia Tenggara. Setelah peristiwa pengeboman Bali pertama 2002, Umar Patek bersama Dulmatin berhasil masuk ke Mindanao dan bergabung dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF), kemudian Abu Sayyaf Group.Berdasarkan pengakuan beberapa mantan kombatan dari Indonesia, ada banyak kombatan dari Malaysia, Singapura, bahkan Timur Tengah yang bergabung dalam kamp pelatihan militer di Mindanao. Jaringan mereka terjalin dengan baik hingga kini.Kedua, fakta bahwa Umar Patek tinggal di Indonesia selama lebih kurang satu tahun bersama istrinya—asal Filipina Selatan—sepulang dari Mindanao menunjukkan bahwa jejaring Umar Patek sangat rapi dan loyal. Mereka tidak tergiur imbalan Amerika ataupun program deradikalisasi negara.Setelah tewas dan tertangkapnya para senior kelompok, mereka sangat haus sosok pemimpin dengan ”CV” hebat di wilayah konflik seperti Umar Patek. Bagi kelompok ini, terlibat di wilayah konflik berarti jihad nyata. Mereka mendapat posisi khusus dibandingkan dengan para pemimpin yang hanya tahu teori jihad.Maka, dalam pelatihan militer di Aceh oleh organisasi Lintas Tandzim, akhir 2009, ia ditawari menjadi salah satu pelatih. Ia menolak karena ada beberapa nama dalam pelatihan itu yang berisiko tinggi terendus aparat.Ia memilih bergabung dengan jaringan jihad global di Pakistan. Lagi-lagi, jaringan Umar di Indonesia dan Pakistan mampu mengatur perjalanannya: mendapatkan paspor resmi untuk dirinya dan istri, berikut tiket penerbangan dari Indonesia ke Pakistan tanpa terdeteksi.Ketiga, dalam persidangan ini, hendaknya pihak pengadilan tidak terpengaruh opini publik melalui media dan juga pernyataan-pernyataan para pengamat yang tidak mendudukkan masalah sesuai porsi.Hukum dengan BijakMemberikan hukuman mati, seperti terhadap Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Ghufron, bukan pilihan bijak. Umar dikenal sangat kooperatif selama proses penyidikan sehingga memudahkan polisi memahami jejaringnya di luar penjara. Hukuman mati bagi terdakwa teroris juga hanya memberi percepatan terhadap apa yang mereka inginkan: mati syahid (mati di tangan musuh).Belum lagi kalau kita mempertimbangkan jarak antara keputusan hukuman mati dan eksekusi yang panjang. Artinya terdakwa akan dikurung dalam sistem penjara kita yang memprihatinkan, baik dari sisi sumber daya maupun fasilitas. Nyaris tidak ada pemahaman akan tingkat keterlibatan (level of engagement) pada setiap teroris, padahal perbedaan motif akan membedakan pula jenis teroris yang dihadapi.Dalam kondisi seperti ini, penjara justru menjadi ”school of radicalization” atau lahan radikalisasi, terutama bagi narapidana ”mirip” teroris—karena peran mereka yang sangat pinggiran—menjadi teroris yang sebenarnya.Pada peristiwa bom Marriott kedua, Juli 2009, seorang narapidana teroris yang semula tidak paham gambar besar dunia perteroran justru menjadi lebih yakin dengan pilihan jalan kekerasan. Setelah bebas, ia terlibat aksi bom Marriott kedua itu.Radikalisasi juga terjadi pada dua sipir penjara Kerobokan dan Palembang. Mereka bukannya memengaruhi para narapidana teroris untuk berintegrasi ke dalam masyarakat dan merayakan perbedaan, justru larut dalam gerakan. Sipir Kerobokan menyediakan laptop bagi Imam Samudra yang diduga menjadi embrio lahirnya bom Bali kedua.Persidangan Umar Patek harus ditangani dengan bijak agar menghasilkan ketetapan hukum yang tidak kontraproduktif. ● -
Bola Api Turbulensi Partai Demokrat
Bola Api Turbulensi Partai DemokratJ. Kristiadi, PENELITI SENIOR CSISSumber : KOMPAS, 14 Februari 2012Tidak berlebihan kalau dikatakan kedigdayaan Partai Demokrat seakan mampu menundukkan kemustahilan. Sebagai parpol yang berumur di bawah lima tahun, pengurusnya belum lengkap, dan mesin partai belum bekerja penuh, Partai Demokrat mampu merebut hati pemilih sehingga mendapatkan dukungan 7 persen dalam pemilu legislatif tahun 2004. Bahkan, lima tahun kemudian kemenangannya hampir 300 persen dari pemilu sebelumnya. Kemampuan melawan anomali dan mengalahkan kemuskilan tersebut adalah daya tarik pendiri, penggagas, sekaligus Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono. Ia tokoh populis yang berkat perilaku yang amat santun berhasil memesona rakyat sehingga pemilih percaya kepada janji-janjinya.Publik semakin kepincut karena Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menyatakan dengan tegas sanggup menjadi panglima perang melawan kejahatan luar biasa yang disebut korupsi. Citra sebagai partai yang memusuhi korupsi masih melekat di pelupuk mata publik melalui akting beberapa kader terbaik di televisi, seperti Anas Urbaningrum, Ibas, Andi Mallarengeng, dan Angelina Sondakh, yang dengan lantang mengucapkan kata-kata: ”nyatakan tidak terhadap korupsi”. Suara itu masih terngiang di telinga masyarakat. Partai Demokrat dengan SBY-nya menjadi darling-nya publik.Namun, ternyata citra dan reputasi bukanlah kenyataan. Imaji dan fantasi hanya bayang-bayang. Mereka itu bukan hakiki yang mempunyai watak. Politik tanpa karakter serta hanya mengandalkan sensasi dan eksploitasi daya tarik ilusi dan mimpi ternyata tidak tahan uji. Kasus dugaan korupsi wisma atlet yang melibatkan secara langsung kader-kader penting Partai Demokrat, dan kemungkinan besar juga melibatkan kader-kader partai lain, telah merontokkan reputasi yang dibangun atas dasar fiksi.Pamor Partai Demokrat pudar dan buram. Berbagai survei menunjukkan tingkat popularitas partai ini (bahkan mungkin tingkat elektabilitasnya kalau dilakukan pemilu saat ini) merosot dari sekitar 20 persen menjadi lebih kurang 13-14 persen saja. Kemelut partai ini tentu akan dimanfaatkan partai lain. Namun, tidak sesederhana itu mengingat kredibilitas parpol kompetitor tak lebih baik daripada Partai Demokrat. Tak ada jaminan pemilih partai ini akan lari ke partai lain. Kemungkinan mereka justru tidak memilih.Sejalan dengan merosotnya pamor Partai Demokrat, meluncur pula gengsi dan reputasi SBY. Bukan disebabkan pudarnya partai ini, melainkan akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan yang dipimpinnya. Popularitas SBY meluncur dari sekitar 60 persen menjadi 50 persen. Memang tidak sedramatis kemerosotan partai, tetapi hal itu juga menunjukkan kegagalan pemerintahan memenuhi harapan publik.Rakyat bersuara dengan nyaring meskipun letih bahwa peran negara nyaris nihil, negara autopilot, dan ungkapan sejenis yang menunjukkan rakyat sangat kecewa dengan kinerja pemerintah. Namun, yang menyedihkan, tiada tanda-tanda negara mempunyai niat sungguh-sungguh mengelola kekuasaan yang dipercayakan rakyat secara amanah.Oleh karena itu, tanggung jawab SBY dalam mengatasi gonjang-ganjing Partai Demokrat tidak cukup hanya berkisar menyelamatkan partai atau secara lebih sempit terfokus kepada nasib ketua umum. Urusan Anas Urbaningrum bagi SBY seharusnya sangat sederhana. SBY sebagai pemimpin beberapa lembaga internal Partai Demokrat, seperti Majelis Tinggi, Dewan Kehormatan, dan Dewan Pembina, kapan saja dapat dengan mudah menentukan nasib Anas. Melalui institusi-institusi tersebut, SBY dapat secara elegan mengundurkan ketua umum tanpa dituduh sewenang-wenang oleh pendukung Anas. Namun, dengan syarat, SBY harus adil, tegas, dan bermartabat. Siapa pun yang melanggar etik dan hukum harus ditindak.Kemelut Partai Demokrat kali ini tidak dapat diatasi dengan manuver taktikal dan kutak-kutik politik. Langkah itu hanya cara mengakali kematian partai yang hasilnya akan sia-sia.Namun, isu yang jauh lebih serius dan mencemaskan yang dipicu oleh dugaan skandal korupsi wisma atlet tidak hanya mengakibatkan kredibilitas lembaga negara dan politik semakin merosot, tetapi juga dapat dipastikan kepercayaan publik terhadap demokrasi bertambah melorot. Tertib politik yang secara intrinsik mengandung nilai-nilai peradaban akan ditinggalkan publik.Kegagalan pemerintahan yang demokratis dapat dipastikan. Mereka yang semula yakin dan bahkan mati-matian mempertahankan demokrasi akan semakin berkurang. Akibat yang membuat miris, masyarakat akan memilih tatanan politik lain yang dianggap dapat memenuhi harapan publik. Padahal, pilihan hanya satu: kembalinya sistem otoritarian atau anarki sosial. Pilihan yang mematikan.Skenario akan semakin apokaliptik karena merebaknya berbagai konflik vertikal dan horizontal telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bersama. Peristiwa itu juga mengungkapkan kenyataan merosotnya tingkat saling percaya sesama warga. Modal sosial yang semula dapat dijadikan bantalan perubahan transformasi akhir-akhir ini tergerus oleh reformasi yang disesatkan elite politik.Oleh karena itu, dalam mengelola musibah Partai Demokrat, SBY diharapkan dapat melakukannya dengan perspektif kepentingan bangsa dan negara. Membiarkan kemelut Partai Demokrat menjadi bola api liar sama saja dengan membumihanguskan demokrasi di Indonesia. ● -
Peduli Kerugian Negara
Peduli Kerugian NegaraBambang Soesatyo, ANGGOTA KOMISI III DPR RI FRAKSI PARTAI GOLKARSumber : SINDO, 14 Februari 2012Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melangkah berani. Sosok tokoh yang berada dalam pusaran kekuasaan pun dilibas. Kasus Wisma Atlet mulai terang- benderang menyeret tokoh partai.
Siapa yang bermain dan siapa yang terlibat mulai dimunculkan.Penetapan Angelina Sondakh sebagai tersangka mengonfirmasi bahwa ucapan Nazarudin bukanlah isapan jempol.KPK telah menemukan momentum untuk mengembalikan kepercayaan publik. Kerugian negara dan rakyat sudah tak terbilang. Korupsi semakin merajalela, sementara ulah oknum penguasa dan mafia pajak mencuri uang negara belum juga bisa dihentikan. Menyedihkan, karena kepedulian dan keprihatinan rakyat belum mendapat respons maksimal dari pemerintah.Memang,negara sudah memiliki institusi KPK.Eksistensi KPK boleh ditafsirkan sebagai kepedulian negara terhadap pencurian uang negara. Namun, sebagaimana terlihat oleh publik, KPK baru mampu melakukan penindakan, belum sampai pada tahap pencegahan. Karena KPK belum mampu mencegah, korupsi justru tampak semakin merajalela dalam beberapa tahun terakhir ini. Kehadiran KPK belum menimbulkan efek jera. Dari setiap kasus korupsi yang terungkap, jumlah atau nilai uang yang dicuri pun membuat orang kebanyakan ternganga, setengah tak percaya.
Belasan hingga puluhan miliar rupiah dana proyek disisihkan sebagai fee atau uang jasa bagi kekuatan-kekuatan yang bisa meloloskan sebuah proyek. Karena masih hangat diperbincangkan publik,kasus suap dalam proyek WismaAtlet SEA Games di Palembang patut dikedepankan sebagai contoh kasus.Berapa nilai anggaran yang dikorup dalam kasus ini masih harus dihitung dengan cermat.
Namun, kalau seorang tersangka bisa menjinjing uang miliaran rupiah, anggaran yang dikorup dari proyek ini pasti jauh lebih besar. Itu baru satu kasus.Jangan lupa bahwa korupsi di negara ini sudah berlangsung puluhan tahun. Seperti diketahui,kerugian negara tidak hanya karena manipulasi nilai proyek, melainkan juga dari penggelapan pajak.Potensi riil pendapatan negara dari pajak saat ini mestinya sudah di atas Rp1.000 triliun.
Namun, perampokan uang negara oleh mafia pajak memaksa Indonesia terus mencari utang di pasar uang internasional untuk menyangga APBN. Rakyat pun diminta terus berkorban dengan mencicil pokok dan bunga utang luar negeri. Seorang guru besar ekonomi pernah mengungkapkan perkiraannya bahwa kerugian negara per tahun bisa mencapai Rp360 triliun karena perampokan oleh mafia pajak. Perkiraan ini logis kalau kita mengacu pada modus yang diterapkan terdakwa penggelap pajak Gayus Tambunan.
Minim Kepedulian
Rakyat dan komunitas pemerhati sangat peduli pada masalah kerugian negara.Namun, pemerintah memperlihatkan kecenderungan sebaliknya.Sejak dulu, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang indikasi penyalahgunaan keuangan negara tidak pernah mendapat respons yang maksimal dari penegak hukum. Dari begitu banyak laporan yang pernah dibuat BPK, tidak banyak yang ditindaklanjuti penegak hukum. Semakin memprihatinkan karena pemerintah pun tidak pernah bersikap tegas melihat kecenderungan yang negatif itu.
Memang, minimnya kepedulian terhadap kerugian negara sudah berlangsung lama. Namun, di era reformasi sekarang, kepedulian seharusnya ditingkatkan dari waktu ke waktu, sejalan dengan ambisi mewujudkan good and clean governance.Korupsi dan penggelapan pajak mencerminkan pemerintahan yang tidak bersih. Demikian pula halnya dengan semua laporan BPK tentang indikasi penyalahgunaan keuangan negara.
Kalau laporan BPK pun sudah dianggap angin lalu oleh pemerintah dan penegak hukum, kepada siapa lagi negara harus memercayakan pengawasan penggunaan keuangannya? Ketidakpedulian pemerintah sangat nyata dalam kasus mafia pajak. Dengan restu pemerintah, mayoritas anggota DPR pendukung pemerintah mestinya meloloskan penggunaan hak angket pajak. Awalnya Partai Demokrat (PD) ikut dalam barisan pendorong hak angket pajak pada awal 2011.
Tiba-tiba,PD balik badan dan gigih menggugurkan usul hak angket itu. Dibandingkan dengan ambisi pemerintahan SBY-Boediono mewujudkan good governance, manuver politik para pendukungnya di parlemen— yang menggugurkan usul hak angket pajak itu—adalah sebuah harga yang sangat mahal bagi SBY dan pemerintahannya. Citra pemerintahannya tak hanya semakin rusak, tapi keberpihakan Presiden pun mulai dipertanyakan.
Gugurnya usul hak angket pajak itu dimaknai sebagai ketidakpedulian pemerintahan SBY terhadap masalah kerugian negara dan rakyat. Publik mencatat bahwa dalam konteks perang melawan mafia pajak, pemerintah tidak all out. Masalah besar juga terlihat dalam kasus bailout Bank Century. Pekan lalu, rapat BPK dengan Tim Pengawas DPR untuk proses hukum kasus Bank Century menelurkan kesimpulan mengenai adanya indikasi kerugian negara dari bailoutbank tersebut.
Kesimpulan ini tidak mengada-ada, pun tidak bertujuan politis. Karena itu, jangan juga kesimpulan ini ditanggapi dalam perspektif politik, melainkan dalam konteks good and clean governance. Agar rakyat bisa melihat adanya kepedulian pemerintah, Presiden harus kooperatif menyikapi kesimpulan itu.Kepedulian dan sikap kooperatif Presiden amat diperlukan agar pemerintahannya tidak menjadi target tuduhan dan kecurigaan masyarakat.
Kepedulian dan sikap kooperatif Presiden-Wapres harus ditunjukkan dengan aksi nyata, yakni memerintahkan semua institusi penegak hukum segera merespons kesimpulan rapat BPK dan Timwas DPR itu.Walaupun proses hukumnya menjadi tanggung jawab institusi penegak hukum, Presiden-Wapres tidak seharusnya lepas tangan atau tidak peduli. Kalau perlu, Presiden sendiri langsung yang mengawal kerja penegak hukum menangani penyidikan kasus Bank Century.
Kalau Presiden-Wapres minimalis menyikapi kesimpulan rapat BPK-Timwas DPR itu, taruhannya adalah reputasi dan kredibilitas pemerintahan SBY-Boediono. Jika tidak segera merespons kesimpulan itu, sama artinya Presiden-Wapres membiarkan posisi mereka menjadi target tuduhan dan kecurigaan masyarakat. Selama ini, masyarakat sudah telanjur berasumsi bahwa proses hukum kasus Bank Century sengaja diambangkan. Sudah terbentuk keyakinan publik bahwa kerugian negara dari dana bailout itu menguntungkan pihak-pihak yang tidak menginginkan adanya proses hukum untuk kasus ini.
● -
Konflik dan Reforma Agraria
Konflik dan Reforma AgrariaW. Riawan Tjandra, DIREKTUR PROGRAM PASCA SARJANA DAN
DOSEN FH UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTASumber : SINDO, 14 Februari 2012Akhirnya SK Bupati Bima No 188 Tahun 2010 tentang Izin Pertambangan yang memberikan lisensi penambangan kepada PT Sumber Mineral Nusantara di Bima, NTB dicabut oleh bupati setelah mendapat rekomendasi pencabutan dari Kementerian ESDM.Hal itu dilakukan setelah beberapa saat sebelumnya situasi Bima memanas dan puluhan ribu massa membakar sejumlah kantor pemerintah termasuk Kantor Bupati Bima. Di wilayah barat negeri ini sebelumnya juga terjadi sengketa lahan antara PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dan warga Kampung Sritanjung,Keagungan Dalam, dan Nipahkuning di Mesuji Lampung.Sengketa yang bermuara pada persoalan upah tenaga kerja juga pernah terjadi sebelumnya di PT Freeport Papua yang menimbulkan konflik berkepanjangan di Bumi Cenderawasih tersebut. Akar masalah konflik-konflik antara warga masyarakat atau pekerja pertambangan dan korporasi pengelola tambang/ sumber daya alam (SDA) jika ditelusuri umumnya berakar dari disparitas penguasaan lahan dan pengelolaan SDA yang cenderung merugikan rakyat/pekerja.
Berbagai permasalahan di seputar konflik agraria tersebut kini kian meluas dan semakin menjadi gerakan sistematis yang menggugat ketimpangan dalam struktur produksi dan pengelolaan SDA. Sistem saat ini hanya menempatkan mayoritas warga masyarakat sekadar sebagai sarana untuk semakin melanggengkan ketimpangan dalam struktur agraria. Dalam pandangan Anthony Giddens dengan teori strukturasi tindakan sosialnya, interaksi yang berulang dan terpola dalam jangka waktu tertentu dan dalam ruang tertentu akan menghasilkan struktur.
Struktur agraria yang timpang terbentuk karena ada pola penguasaan lahan yang tidak adil. Interaksi antara pemilik lahan/ pengelola SDA dan rakyat yang bekerja sebagai buruh dalam struktur yang timpang tersebut telah memicu berbagai konflik dalam skala yang cenderung semakin meluas. Jawaban atas permasalahan tersebut sebenarnya bisa dilakukan dengan kembali pada gagasan yang pernah dimunculkan sejak 1960 melalui UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dengan melakukan penataan kembali sistem kepemilikan tanah (landreform).
Para pendiri republik ini sedari awal telah menyadari bahwa untuk melaksanakan program pembangunan yang memihak rakyat banyak perlu didasarkan atas penataan kembali masalah pertanahan. Hal itulah yang mendasari pernah dibentuknya Panitia Agraria pada 1948 untuk memikirkan secara serius berbagai masalah agraria.
Kegagalan pemerintah semasa Orde Baru yang melakukan apa yang oleh Christodoulou (1990) disebut sebagai bypass approach dalam bentuk misalnya Revolusi Hijau tanpa landreform, pembangunan sistem ekonomi tanpa memikirkan keadilan sosial,dan seterusnya telah menghasilkan sistem pembangunan tanpa transisi sosial (development without social transition).
Hal itu rupanya masih terus berlanjut hingga saat ini dengan eksploitasi SDA atas nama akumulasi modal dengan mengabaikan struktur agraria yang timpang. Isu konflik bisa bermacammacam seperti masalah ganti rugi, izin tambang, pelecehan hak-hak adat, dan lain-lain yang jika ditelusuri akar masalahnya sebenarnya bersumber dari kesenjangan pemilikan tanah dalam struktur agraria yang tak adil.
Penguasa negeri ini perlu menyadari bahwa puncak-puncak gunung es konflik agraria tersebut membutuhkan kemauan negara didukung kesadaran dari semua pihak untuk mengintegrasikan kembali keadilan sosial dalam struktur agraria dan pola pengelolaan SDA. Di sinilah sebenarnya titik mula untuk mengingatkan kembali relevansi gagasan negara kesejahteraan dalam perlindungan sosial bagi rakyatnya.
Perlunya Reforma Agraria
Kata “reforma agraria”yang gencar disuarakan (kembali) di muka publik akhir-akhir ini sesungguhnya bukan hanya varian dari sebuah kebijakan sektoral semata-mata. Kata itu sebenarnya merujuk pada sebuah paradigma penataan ulang penguasaan, peruntukan, dan penggunaan tanah melalui apa yang dalam kosakata bahasa Inggris dikenal sebagai agrarian reform/landreform
atau dalam bahasa Spanyol sebagai reforma agraria.Reforma agraria sering dikaitkan dengan keadilan sosial yang untuk mewujudkannya dilakukan melalui sebuah perubahan kebijakan (policy change) dan perubahan hukum (law reform) dengan didasarkan atas asumsi bahwa semua hukum merupakan ekspresi dari rasa keadilan rakyat.Ada pula yang mengaitkan reforma agraria dengan perubahan sosial, karena melaluinya jalur utama transformasi pertanian dari pola ”eksklusif” (terpisah dari industri) ke pula ”inklusif” (menyatu dengan industri).
Dalam konteks tersebut, reforma agraria merupakan prakondisi bagi proses industrialisasi dan perkembangan ekonomi lanjut. Warisan masa kolonial berupa diferensiasi sosial (proses penggolongan di dalam masyarakat berdasarkan penguasaan terhadap alat-alat produksi dan modal terutama tanah) dan proletarisasi (proses separasi petani dari alat produksinya yaitu tanah,menuju terbentuknya buruh tani) yang membentuk struktur agraria hingga saat ini merupakan hambatan utama untuk melaksanakan reforma agraria.
Pencanangan kebijakan reforma agraria di Indonesia sebenarnya sudah dimulai ketika UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mengatur dua arus kebijakan yang harus dilaksanakan secara serempak. Pertama, di satu sisi, negara membatasi luas maksimal pemilikan tanah untuk menghindari tumbuhnya tuan tanah yang menghisap tenaga kerja petani melalui sewa dan gadai.
Kedua, di sisi lain, pengaturan batas minimal pemilikan tanah dengan tujuan agar petani tidak hidup dengan luas lahan yang kecil yang berakibat kecilnya pendapatan. Saat ini pemerintah perlu menginisiasi kembali gagasan reforma agraria guna melakukan penataan ulang penguasaan lahan/tanah berdasarkan asas keadilan.
Hal itu tentu membutuhkanpemikirankonseptual yang komprehensif untuk melakukan perubahan kebijakan (policy change) agar pola dan struktur penguasaan lahan secara adil mampu mewujudkan amanah Pasal 33 UUD 1945 untuk memberikan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat di negara kesejahteraan (welfare state) ini.
● -
Tarif Dasar Listrik Naik Lagi?
Tarif Dasar Listrik Naik Lagi?Eddie Widiono Suwondho, MANTAN DIRUT PLN DAN ANGGOTA DEWAN ENERGI NASIONALSumber : SINDO, 14 Februari 2012Tidak terasa beberapa pekan lagi pemerintah berencana menaikkan (lagi) tarif dasar listrik (TDL) sebesar 10% . Ini kenaikan pertama sejak kenaikan TDL berkala dibekukan pemerintahan Megawati pada ujung tahun 2003.
Dalam kurun waktu 2003-2011,biaya produksi PLN telah naik 2,8 kali lipat, sementara tarif rata-rata hanya naik 0,25 kali.Selama “puasa “ kenaikan TDL 8 tahun itu telah menyebabkan separuh pendapatan PLN harus ditambal dari subsidi. Pada 2011 realisasinya diperkirakan mencapai Rp93,4 triliun.Kenaikan TDL 10% hanya akan menambah pendapatan PLN sebesar Rp9 triliun, amat kecil bila dibandingkan dengan biaya usaha PLN tahun 2012 yang diperkirakan mencapai Rp191 triliun.Juga masih terasa kecil bila dibandingkan dengan kebutuhan dana investasi PLN yang besarnya pada 2012 akan mencapai Rp68 triliun. Jadi jangan berharap kenaikan TDL akan memberi dampak meningkatnya pelayanan PLN karena tidak akan mengubah besaran investasi PLN secara drastis.
Lebih lagi kenaikan TDL initerjadisaatketeganganiklim politik sedang meningkat, sehingga besar kemungkinan adanya embusan angin politik yang berimbas pada meningkatnya sorotan terhadap kinerja PLN. PLN kerap menyatakan bahwa kenaikan TDL adalah urusan pemerintah. PLN tentu saja lebih suka penyesuaian tarif berkala dibandingkan dengan penerapan subsidi.
Alasannya sederhana, subsidi besar menyebabkan intervensi politik yang besar pula.Intervensi inilah yang selama ini menyebabkan manajemen kehilangan independensi dalam banyak pengambilan keputusan.Selain itu, kenaikan berkala lebih memberikan keyakinan bahwa PLN akan mampu memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap mitra swastanya. Sebenarnya PLN tidak bisa tenang-tenang menghadapi situasi seperti ini. Sudah berulang kali terjadi, kenaikan TDL justru membawa dampak buruk bagi PLN.
Dalam situasi di mana subsidi sudah demikian besar, alih-alih “ngalap berkah” dari kenaikan TDL,ujungujungnya PLN justru dikuliti oleh masyarakat, segala sumpah serapah bahkan sampai tuntutan hukum. “Ketenangan” PLN menghadapi kenaikan TDL ini cukup mengkhawatirkan,karena bisa jadi merupakan suatu bentuk apatisme atas segala hirukpikuk politik.
Hal ini menjadi berbahaya karena PLN yang apatis tidak akan mampu mengikuti dinamika masyarakat. Akibatnya selalu akan ada cukup alasan untuk menerjunkan orang luar PLN sebagai pemimpin PLN. Tidak berarti kursi pemimpin PLN hanya untuk orang PLN, tapi kalau PLN hanya digunakan untuk batu loncatan yang menghasilkan promosi bagi si orang luar dan meninggalkan PLN yang terjerumusmakindalam, tentu ini akan merupakan kerugian besar bagi bangsa ini.
Membenahi Kelistrikan Nasional
Lha, kalau konsumen dan PLN pun tidak diuntungkan oleh kenaikan TDL,terus bagaimana membenahi kelistrikan nasional? Kunci perbaikan kelistrikan nasional terletak pada dua hal pokok. Pertama, penurunan biaya produksi. Kedua, meningkatkan kapasitas produksi listrik untuk kepentingan produktif. Sebagai gambaran,dari total Rp148 triliun biaya operasi PLN tahun 2010, Rp84 triliun (hampir 60%) diperuntukkan bagi pembelian BBM.
Jumlah ini melonjak sangat tinggi bila dibandingkan biaya operasi tahun 2004 sebesar Rp60 triliun, di mana biaya bahan bakar hanya Rp25 triliun (42%). Bila biayabiaya itu dihitung dalam satuan kwh, biaya bahan bakar tahun 2010 sebesar Rp549 rupiah/kwh atau hampir 75% dari TDL yang mencapai 700 rupiah/kwh. Karenanya agak mengherankan ketika tahun 2010 lalu Menteri ESDM meminta agar PLN menurunkan biaya operasi.
Akan lebih tepat kiranya kalau yang terjadi justru sebaliknya, manajemenPLNyang mohon bantuan kepada Menteri ESDM agar dapat menurunkan biaya bahan bakarnya. Dari data keuangan PLN terlihat bahwa dari 2004-2010 biaya produksi PLN naik 2,5 kali. Komponen kenaikan biaya yang terbesar adalah biaya BBM dan pelumas yang naik 3,4 kali lipat. Biaya ini adalah biaya yang nyaris tak dapat dikendalikan mana-jemen (uncontrollable cost), karena harganya yang ditetapkan pemerintah.
Selain faktor kenaikan harga BBM yang dibeli PLN dari Pertamina,kenaikan biaya ini juga dipicu oleh upaya jangka pendek mengatasi krisis listrik denganmenggunakan diesel sewa yang terjadi dalam dua tahun terakhir.Padahal krisis ini terjadi karena keterlambatan pembangunan pembangkit-pembangkit berbahan bakar non-BBM. Ironisnya pemerintah lebih cepat (baca: mudah) dipaksa menambah subsidi daripada menambah anggaran investasi.
Para praktisi menyatakan bahwa sekurangnya dibutuhkan waktu 3-4 tahun untuk menyiapkan pinjaman pemerintah guna membangun PLTU 2X100 MW. Ironisnya, untuk menentukan subsidi sebesar Rp50 triliun per tahun, hanya dibutuhkan rapat beberapa bulan.Padahal, subsidi sebesar itu cukup untuk membangun 4.000 MW PLTU kualitas terbaik! Biaya-biaya yang dapat dikendalikan manajemen kenaikannya relatif lebih kecil, yaitu biaya administrasi (1,49 kali), biaya pemeliharaan (1,9 kali) dan biaya pegawai (2,31 kali ).
Ini menunjukkan bahwa manajemen telah berusaha keras mengimbangi gejolak biaya uncontrollable dengan pengendalian biaya yang controllable. Hal yang menarik adalah biaya penyusutan, yang kenaikannya terendah (1,32 kali). Padahal penyusutan adalah biaya tidak riil yang secara sah boleh dialokasikan serta merupakan sumber pendanaan bagi PLN untuk menjaga kemampuan mesin-mesin produksinya.
Kenaikan 30% biaya penyusutan ini tidak cukup untuk memelihara penuaan mesin, pertambahan kapasitas sebesar 30% dan inflasi 8 tahun terakhir sekaligus. Bila rendahnya kenaikan biaya pemeliharaan dan biaya penyusutan itu dilakukan dengan sengaja dan berkelebihan oleh manajemen, maka akan timbul risiko jangka menengah/ panjang, yaitu turunnya keandalan mesin-mesin pembangkit listrik PLN yang akhirnya merugikan konsumen juga. Boleh jadi tanpa sengaja manajemen PLN telah mulai mengorbankan masa depannya untuk meredam dampak biaya yang tidak dapat dikendalikan olehnya.
Masalah Bauran Energi
Bauran jenis energi primer yang dipakai memang merupakan problem klasik PLN yang sampai saat ini belum mampu diatasi. Problem ini muncul karena jenis bahan bakar tertentu membutuhkan jenis pembangkit tertentu pula. Hanya beberapa jenis pembangkit yang mampu membakar lebih dari satu macam bahan bakar (dual fired), misal PLTG mampu membakar minyak atau gas.PLTG tidak bisa membakar batu bara dan biaya mengonversi batu bara menjadi gas atau minyak cukup mahal pada saat ini,dan belum ekonomis untuk dipertimbangkan dalam skala besar.
Disparitas biaya bahan bakar dalam produksi listrik amat besar, sebagai contoh PLTGU dual fired—gas dan BBM—bila membakar gas maka biaya bahan bakar dalam setiap kwh produksi adalah Rp500/kwh, tetapi bila membakar HSD (solar), biaya itu mencapai Rp1.700an/kwh. Kalikan jumlah itu dengan 40 miliar kwh produksi tahunan PLTGU, maka selisih membakar BBM dengan membakar gas sudah mencapai Rp48 triliun/tahun.
Biaya batu bara dalam membangkitkan 1 kwh dengan mesin PLTU mencapai Rp430 rupiah, dan bila terjadi hambatan produksi PLTU,sehingga produksinya diganti dengan produksi PLTD sewa, maka biaya bahan bakarnya dapat mencapai Rp2.000/kwh.Karena pelbagai hal, saat ini PLN menyewa PLTD untuk mengatasi krisis listrik akibat keterlambatan proyek-proyek dan percepatan proses penyambungan (program GRASS– Gerakan Sejuta Sambungan Sehari).
Produksi PLN pada 2012 akan mencapai 12 miliar kwh, atau berarti loss of opportunity sebesarhampir Rp19 triliunsetahun. Angka-angka di atas menunjukkan dampak yang dahsyat dari keterlambatan konversi BBM ke batu bara atau kehilangan alokasi gas.Kedua hal tersebut merupakan masalah utama PLN terkait dengan upaya penurunan biaya pokok produksinya (BPP),yang perlu bantuan pemerintah mengatasinya.
● -
Soal Pelaksanaan Konstitusi
Soal Pelaksanaan KonstitusiSabam Leo Batubara, WARTAWAN SENIORSumber : SUARA KARYA, 14 Februari 2012Sistem bernegara kita mirip sistem Perserikatan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). PSSI semestinya menjadi panggung bagi pemain untuk berkompetisi meraih prestasi puncak paling tidak di tingkat Asia. Ternyata PSSI hanya panggung bagi pengurus untuk saling cakar-mencakar. Pengupayaan prestasi pemain diabaikan.Sistem bernegara kita semestinya taat asas konstitusi, fokus mewujudkan tujuan bernegara dengan mentaati aturan main yang diamanatkan konstitusi. Dalam pelaksanaan, konstitusi yang sebenarnya sudah cukup baik malah dimanipulasi. Kemudian konstitusi sudah diamandemen menjadi lebih baik, tapi masih juga dilanggar.Rakyat mengharap para elite bangsa bersatu memedomani dan menaati konstitusi. Namun, di usia Indonesia merdeka menjelang 67 tahun, para elite bangsa masih menyuarakan pendapat yang saling bertentangan. Bagaimana mungkin tujuan bernegara untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat terwujud, jika elite bangsa masih berbeda pendapat tentang konstitusi?Pendapat pertama, UUD 1945 yang asli sudah cukup baik. Namun, fakta-fakta menunjukkan penguasa rezim Orde Lama dan Orde Baru memanipulasi konstitusi. Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto masing-masing boleh menjadi presiden seumur hidup selama 36 tahun. Untuk mengamankan kekuasaan otoriter, penguasa rezim ABRI diberi fungsi melakukan politik praktis.Tujuan bernegara bukan untuk kepentingan umum, memajukan dan menyejahterakan bangsa, tetapi demi kepentingan penguasa rezim, keluarga, pendukung dan kroni-kroninya. Implementasi kemerdekaan, kecuali bagi pendukung rezim, dicabut, yang berani melanggar dibredel dan, atau dipenjarakan. Sesuai idiologi negara Pancasila, HAM Indonesia dihormati, tetapi ABRI boleh melanggar HAM demi stabilitas kekuasaan. Hukum pun tunduk kepada kehendak penguasa rezim.Pendapat kedua, empat amandemen konstitusi jauh lebih baik. Dalam acara Pekan Konstitusi bertemakan UUD 1945, Amandemen, dan Masa Depan Bangsa, di Jl Dempo Jakarta (30/1/2012), Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari menegaskan konstitusi hasil amandemen jauh lebih baik dibanding UUD 1945 yang asli. Di akhir pembahasan perubahan konstitusi (10/8/2002), perumus amandemen menegaskan, perubahan itu bertujuan selain untuk mengoreksi penyimpangan oleh rezim sebelumnya juga untuk memperkuat kedaulatan rakyat.Dalam bukunya, Manusia Indonesia (1977), wartawan kawakan Mochtar Lubis menulis antara lain, manusia Indonesia memiliki kemampuan seni. Sepertinya Mochtar Lubis ingin mengatakan manusia Indonesia pandai merumuskan, lemah dalam praktik. The founding fathers pandai merumuskan UUD 1945 tapi lemah melaksanakannya. Demikian juga di era reformasi ini, MPR 1999-2002 pandai merumuskan amandemen konstitusi. Namun, penyelenggara negara mengabaikannya.DPR terkesan memperdagangkan kewenangannya dalam pelaksanaan fungsi legislasi dan anggaran, dan melupakan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Jumlah anggota dewan yang menjadi tersangka dan dipenjarakan pun semakin banyak. Aparat pemerintah untuk melayani kepentingan rakyat, tetapi penjara dipenuhi mantan walikota, bupati, gubernur, dan sejumlah menteri, karena mengorupsi dana pembangunan bangsa.Sebagai negara hukum, praktik pengadilan mengalami public trust, karena jual-beli putusan dan suap yang lazim disebut dengan mafia pengadilan (Muh Busyro Muqqodas).Pendapat ketiga, sejumlah elite bangsa menyalahkan amandemen konstitusi. Dalam acara Pekan Konstitusi itu, mantan Wapres Try Soetrisno berpendapat, empat amandemen itu menyimpang dari cita-cita kemerdekaan Indonesia dan membuat bangsa Indonesia kurang merdeka, kurang bersatu, kurang berdaulat, kurang memperoleh keadilan dan kemakmuran. Dikhawatirkan adanya intervensi asing dalam proses amandemen itu. Pada kesempatan itu Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengemukakan, amandemen itu telah membuat ekonomi Indonesia dikuasai modal asing.Dalam dialog kenegaraan yang digelar Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta (8/2/2012), Ketua Dewan Pembina Komite Restorasi Indonesia (KORI) Prof Dr M Dimyati Hartono berpendapat, amandemen konstitusi itu keliru. Hasilnya ternyata tidak memberi kemaslahatan bagi bangsa dan negara, karena itu sistem bernegara perlu ditata ulang.Pendapat keempat, Indonesia perlu amandemen ke-5. Usul DPD agar amandemen ke-5 memberi kewenangan kepada DPR dan DPD menjadi sama-sama a law making body patut dipertimbangkan. Namun, terkait kebebasan pers, usul perubahan DPD justru kembali ke konsep Orba, yang mengekang dan mengendalikan pers.Pendapat kelima, konstitusi sudah benar, pelaksananya tidak benar. Dalam seminar konstitusi di Makassar (31/1/2012), Ketua MK Mahfud MD menyatakan, saat ini terdapat 167 kepala daerah terlibat korupsi. Banyak hakim, jaksa, polisi, pengacara ditangkap karena korupsi. Ketiga pilar demokrasi, legislatif, eksekutif, yudikatif dalam kondisi buruk. Hal itu terjadi karena kondisi buruk itu bukan kesalahan Pancasila dan UUD 1945. Yang salah adalah manajemen pemerintahan dan penegakan hukum yang moralitasnya terlepas dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. (Suara Karya, 1/2/2012)Sejalan dengan pendapat Jaksa Agung di era pemerintahan Presiden Gus Dur, Baharuddin Lopa bahwa betapa pun baiknya konstitusi dan UU, jika pelaksananya buruk, hasilnya pasti buruk. Betapa pun buruknya konstitusi dan UU, jika pelaksananya beritikad baik dan jujur, hasilnya pasti baik.Akhirnya, jika penyelenggara negara masih berkultur melanggar dan mengabaikan konstitusi, dan elite bangsa hanya sibuk menyalahkan konstitusi, arah NKRI pasti menuju negara gagal. Jika elite bangsa bersatu membangun sistem bernegara taat asas konstitusi, berorientasi mengupayakan realisasi tujuan nasional dengan mempedomani aturan main konstitusi, hasilnya pasti sukses. ● -
Budaya Sadar Berkonstitusi
Budaya Sadar BerkonstitusiZainul Mun’im, ANGGOTA PUSAT STUDI DAN
KONSULTASI HUKUM (PSKH) UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTASumber : SUARA KARYA, 14 Februari 2012Dewasa ini, kesadaran berkonstitusi terhadap UUD 1945 mulai diabaikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Setidaknya hal itu dapat kita lihat dari potret bangsa ini sepanjang tahun 2011, di mana dunia politik tidak mampu lagi mempersatukan seluruh warga.Praktik politik yang selintas terlihat ‘demokratis’ tersebut bukannya mempersatukan seluruh warga dalam rangka membangun negara, justru semakin memperluas jurang perseteruan antar-sesama rakyat Indonesia. Begitu bahayanya pengabaian kesadaran berkonstitusi ini, sehingga tergambar dalam sebuah adagium ‘salah satu penyakit lupa yang sangat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu hilangnya kesadaran berkonstitusi’.Kita sebagai bangsa Indonesia tentunya menghendaki agar UUD 1945 menjadi konstitusi yang benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti harapan The Founding Fathers untuk mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan, berdaulat, adil, dan makmur, sebagaimana tertuang dalam alinea Preambul UUD 1945.Bagaimanapun budaya sadar berkonstitusi penting agar setiap lembaga dan segenap warga negara dapat melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan UUD 1945. Untuk menumbuhkannya, tidak cukup hanya dengan pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma dasar konstitusi. Lebih dari itu, diperlukan pengalaman nyata (empirik) dalam menerapkan konstitusi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi merupakan suatu upaya yang harus melalui beberapa proses.Pertama, adanya ketaatan kepada aturan hukum sebagai aturan main (rule of the game) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Segenap komponen bangsa harus bertindak sesuai aturan yang ditetapkan, serta apabila timbul permasalahan atau sengketa, harus diselesaikan melalui mekanisme hukum. Budaya mentaati aturan hukum ini merupakan salah satu ciri utama masyarakat beradab.Hal ini sangat perlu, mengingat Indonesia sebagai negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada aturan hukum.Aturan HukumNamun demikian, prinsip supremasi hukum ini harus selalu diiringi dengan pelaksanaan prinsip demokrasi yang menjamin peran masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan rasa keadilan kepada masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/ atau hanya untuk kepentingan penguasa.Tanpa adanya kesadaran mentaati aturan hukum, momentum politik yang sejatinya untuk membentuk pemerintah yang demokratis, justru akan tergelincir pada jurang konflik berkepanjangan, dan akhirnya merugikan masyarakat, bangsa dan negara ini.Kedua, perlunya keterlibatan seluruh elemen bangsa dalam bentuk kesadaran, tidak hanya menuntut kesadaran elite politik saja, melainkan juga masyarakat luas. Hal ini mengingat konstitusi mengikat segenap lembaga negara dan seluruh warga negara. Oleh karena itu, yang menjadi pelaksana konstitusi adalah semua lembaga negara dan segenap warga negara sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing sebagaimana diatur dalam UUD 1945.Keterlibatan rakyat merupakan syarat mutlak, mengingat konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat, harus berdasarkan kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Indonesia sebagai negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Hal ini-lah yang disebut oleh para ahli sebagai kekuatan konstitusi (constituent power) yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Untuk itu, di lingkungan negara-negara demokrasi liberal, rakyatlah yang menentukan berlakunya suatu konstitusi.Ketiga, setiap warga negara dan penyelenggara negara diharuskan mempelajari dan memahami tentang konsep UUD 1945 secara menyeluruh, tidak hanya sekedar menghafalnya tanpa dihayati. Untuk itu, pemerintah perlu menyiapkan media berisi informasi tentang konstitusi yang dengan mudah dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat.Jika masyarakat telah memahami norma-norma dasar dalam konstitusi dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka mereka pasti mengetahui dan dapat mempertahankan hak-hak konstitusionalnya yang terjamin dalam UUD 1945. Selain itu, masyarakat dapat berpartisipasi secara penuh terhadap pelaksanaan UUD 1945 baik melalui pelaksanaan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, serta dapat pula melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan jalannya pemerintahan. Kondisi tersebut dengan sendirinya akan mencegah terjadinya penyimpangan ataupun penyalahgunaan konstitusi.Dengan kesadaran ini pula, momentum politik akan sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh UUD 1945. Yakni, dapat menjadikan pemerintahan Indonesia menjadi demokratis, dan pada akhirnya mampu mengantarkan Indonesia kepada kemerdekaan yang hakiki, makmur, adil, dan beradab. Amin. ● -
Uji Keberanian Abraham
Uji Keberanian AbrahamSumaryoto, ANGGOTA DPR FRAKSI PDI PERJUANGANSumber : SUARA MERDEKA, 14 Februari 2012KURSI panas Ketua KPK Abraham Samad kini bertambah panas ketika beberapa petinggi partai berkuasa ditetapkan menjadi tersangka. Abraham bahkan bak duduk di atas bara. Selain intervensi dan tekanan eksternal, dia juga harus menghadapi resistensi internal. Kecuali itu, ekspektasi publik terhadapnya yang begitu tinggi kian menambah panas kursinya.Intervensi dan tekanan eksternal bisa datang dari partai yang kadernya berurusan dengan KPK. Reistensi internal datang dari kolega, sesama pimpinan KPK. Lihat saja, ketika mengumumkan status Angelina Sondakh sebagai tersangka, Abraham hanya ditemani Kabag Pemberitaan Priharsa Nugraha. Saat mengumumkan Miranda S Goeltom sebagai tersangka kasus cek perjalanan, dia pun tampil solo. Ke mana empat pemimpin KPK lainnya?Dua dari lima pemimpin KPK disebut-sebut tidak setuju dengan penetapan Angie sebagai tersangka. Hal ini disinyalir terkait dengan proses pemilihan pemimpin KPK di DPR. Diduga ada politik etis atau politik balas budi sehingga hubungan pemimpin KPK itu dengan fraksi di DPR pun ibarat relasi patron-klien.Kini, setelah menetapkan M Nazaruddin dan kemudian Angie sebagai tersangka kasus wisma atlet SEA Games 2011, Abraham ditantang menetapkan Anas Urbaningrum, yang namanya kerap disebut dalam persidangan Nazar, sebagai tersangka. Bahkan bukan hanya Anas, melainkan juga mereka yang oleh LSI disebut Pandawa Lima (sejatinya istilah ini tidak pas mengingat Pandawa menyimbolkan kebaikan), dan dua di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka. Beranikah Abraham?Dalam berbagai kesempatan, Abraham menyatakan bahwa penegakan hukum bukan masalah berani atau tidak melainkan soal alat bukti. Sepanjang cukup alat bukti, sesuai prinsip equality before the law, siapa pun bisa ditetapkan sebagai tersangka.Alat bukti? Hanya penyidik yang tahu. Apakah ada jaminan penyidik KPK bekerja profesional, objektif, dan independen sehingga bisa menemukan alat bukti itu? Ingat sejumlah penyidik KPK berasal dari kejaksaan dan kepolisian yang selama ini, maaf, dikenal belum bersih dan sering tidak independen. Mestinya KPK juga mengedepankan logika dan akal sehat, dua hal yang tak pernah bisa disembunyikan.Tiga Kasus BesarDari sisi legal formal, boleh saja Abraham mendalihkan pada alat bukti. Tapi bukankah alat bukti bisa dicari, dan bila sudah ditemukan bisa saja dimunculkan atau sebaliknya disembunyikan, bergantung niat penyidik? Sejumlah kasus yang menyeret nama petinggi partai, baik dalam BAP maupun keterangan terdakwa di persidangan, banyak yang justru ditenggelamkan KPK dengan melawan logika dan akal sehat. Dalihnya satu: alat bukti!Begitu pun dalam kasus Bank Century, di mana rapat paripurna DPR 3 Maret 2011 memutuskan kebijakan bail out Rp 6,7 triliun melanggar hukum. Mengapa setelah hampir setahun kasus ini dilaporkan, KPK tak kunjung menetapkan tersangka?Apakah Abraham dan pemimpin KPK lainnya takut di-Baharuddin Lopa-kan atau di-Antasari Azhar-kan? Kita tidak tahu. Dalam kasus Wisma Atlet, misalnya, bukankah pemimpin tertinggi di partai berkuasa mempersilakan siapa pun yang diduga terlibat, diusut tuntas? Bahkan KPK didesak mempercepat penanganan kasus ini karena bila berlarut-larut akan merongrong citra partai itu menghadapi Pemilu 2014.Kini, keputusan ada di tangan Abraham. Apakah kursi panas yang ia duduki itu bisa didinginkan dengan menuntaskan kasus-kasus yang sementara ini bolehlah kita jadikan test case, yakni cek perjalanan, Century, dan wisma atlet? Kita sepakat KPK bekerja berdasarkan alat bukti, juga logika dan akal sehat sehingga tidak bisa dihambat atau didorong oleh kepentingan politik mana pun.Abraham yang saat fit and proper test di Komisi III DPR berjanji pulang kampung bila dalam tempo setahun tidak behasil memimpin KPK, tak perlu muluk-muluk. Cukup tiga kasus itu yang jadi indikator keberhasilannya memimpin. Bila tak berhasil, selain akan dipermalukan karena telanjur berjanji, harapan rakyat yang terlalu tinggi terhadapnya bisa membakar Abraham bersama kursinya. Kursi panas itu juga bisa membakar Anas, bahkan Partai Demokrat, bila penanganan kasus wisma atlet berlarut-larut sampai mendekati Pemilu 2014. ● -
Indonesia Tanpa FPI
Indonesia Tanpa FPIEvie Rahmawati, STAF PROGRAM LEMBAGA STUDI AGAMA DAN FILSAFAT (LSAF)JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)Sumber : JIL, 13 Februari 2012Adalah kabar baik ketika Sabtu 11 Februari lalu masyarakat adat suku Dayak menegaskan sikapnya menolak kehadiran FPI di Bandar Udara Cilik Riwut, Palangkaraya. Mengapa kabar baik? Ini tidak berarti pihak-pihak yang selama ini dibuat gerah oleh satu kelompok kecil yang kerap melakukan tindakan anarkis dalam aksi-aksinya hendak merayakan sedikit kemenangan para pejuang pluralisme. Juga bukan berarti kita melanggar kebebasan suatu kelompok masyarakat dalam berserikat. Tetapi, ini berdasar pada kebutuhan mutlak manusia: kebebasan dari tekanan.Adalah kabar baik ketika Sabtu 11 Februari lalu masyarakat adat suku Dayak menegaskan sikapnya menolak kehadiran FPI di Bandar Udara Cilik Riwut, Palangkaraya. Mengapa kabar baik? Ini tidak berarti pihak-pihak yang selama ini dibuat gerah oleh satu kelompok kecil yang kerap melakukan tindakan anarkis dalam aksi-aksinya hendak merayakan sedikit kemenangan para pejuang pluralisme. Juga bukan berarti kita melanggar kebebasan suatu kelompok masyarakat dalam berserikat. Tetapi, ini berdasar pada kebutuhan mutlak manusia: kebebasan dari tekanan.Memang benar, adalah hak setiap individu untuk berekspresi dan berserikat, termasuk individu yang terwadahi dalam FPI. Namun tengok kembali aksi-aksi melawan hukum yang dilakukan FPI (rangkaian ancaman serta tindak kekerasan terhadap gereja dan jemaatnya, Ahmadiyah, Komunitas Lia Eden, pers, orientasi seksual yang berbeda, tempat-tempat hiburan, warung makan kecil di bulan Ramadlan, Tragedi Monas, perusakan gedung Kementerian Dalam Negeri, dll.) Bukankah melanggar hak asasi warga negara lainnya manakala mereka terus melakukan kekerasan keji dalam setiap aksinya? Apalagi seraya tangan mereka menghunus senjata tajam, pekik Allahu Akbar dimanipulasi sebagai perisai untuk menyatakan bahwa kekerasan yang mereka lakukan atas persetujuan Tuhan. Ironis, bukan?Karenanya, aksi penolakan yang dilakukan masyarakat adat Dayak di Palangkaraya pun menginspirasi warga negara lainnya untuk melakukan keberanian serupa dalam menanggapi arogansi FPI atau milisi sipil lainnya yang gemar melakukan tindakan kekerasan atas nama apapun.Di Jakarta, Minggu sore, 12 Februari 2012, puluhan individu dari berbagai latar belakang yang terinspirasi aksi masyarakat Dayak di Palangkaraya mengadakan pertemuan yang mendiskusikan pentingnya menyatukan semangat dalam menolak eksistensi FPI sebagai entitas masyarakat yang secara sistematis kerap melakukan kekerasan dalam aksi-aksinya. Berawal dari sebaran undangan melalui twitter, Tunggal Pawestri, salah seorang aktivis yang memiliki inisiatif mengadakan pertemuan tersebut, tidak menduga kalau banyak yang datang dalam acara yang digelar di Bakoel Koffie, Cikini. Beberapa nama seperti George Junus Aditjondro, Marco Kusumawijaya, M. Guntur Romli, Mariana Amirudin, dan aktivis lainnya ikut memenuhi ruangan. Begitupun salah seorang dokter dari perwakilan masyarakat adat Dayak yang tinggal di Jakarta dan seorang mahasiswa yang mengaku telah begitu muak dengan aksi-aksi kekerasan FPI, hadir dalam diskusi itu. Ini menjadi bukti, betapa masyarakat Jakarta, bukan hanya aktivis kemanusiaan semata melainkan dari berbagai unsur masyarakat, cukup terganggu dengan kehadiran FPI di Indonesia.Pada kesempatan yang dibangun dalam suasana yang karib tersebut, seorang peserta menyatakan bahwa banyak alasan mengapa FPI pantas ditolak. Di samping aksi-aksi kekerasannya, alasan yang lebih fundamental adalah karena FPI memperlihatkan penolakannya terhadap perbedaan melalui aksi-aksi mereka yang ditujukan terhadap kalangan minoritas. Pantaskah selalu ingin menang sendiri dengan memamerkan kekerasan di tengah-tengah masyarakat kita yang begitu majemuk? Alasan lain, sudah saatnya media mengabarkan pada masyarakat luas bahwa tidak sedikit kelompok masyarakat yang jengah dengan kehadiran FPI yang memanipulasi jubah putih dan sorbannya itu menjadi simbol mereka.Mengenai simbol, menurut penuturan peserta lainnya, yakni seorang perempuan yang dibesarkan di daerah Petamburan (dekat markas FPI), merasa perlu sekali sosialisasi terus-menerus perihal bahaya premanisme FPI. Artinya, masyarakat kita yang masih begitu khidmat mematuhi simbol-simbol, jangan sampai tertipu oleh pakaian yang dikenakan FPI. Sebagaimana telah dimafhumi, di Indonesia jubah dan sorban putih merupakan simbol kesalehan, identik dengan Islam. Jadilah simbol tersebut dimanfaatkan FPI untuk menyembunyikan wajah aslinya. Sehingga, lanjutnya, sedemikian brutal kelompok ini melakukan kekerasan dan pengrusakan, namun masyarakat kerap diam bahkan ironisnya ada yang menyetujui tindakan FPI yang selalu mengatasnamakan agama itu.
Pada titik inilah tantangan terbesar adalah penyadaran terhadap masyarakat perihal wajah asli FPI yang tiada lain hanyalah titisan Ares Sang Dewa peperangan.Lalu, dokter Tata, perwakilan masyarakat adat Dayak, tampak antusias menjelaskan mengapa keberanian mengemuka dari masyarakatnya. Di Palangkaraya, aksi yang patut dicontoh tersebut tidak akan terjadi tanpa dukungan dari semua elemen masyarakat, termasuk pemerintahan setempat. Berkat kerjasama yang solid antara masyarakat dan elemen pemerintahan, yang sama-sama sadar akan bahaya pengaruh anarkisme FPI, aksi tersebut kemudian mencuat. Karena itu, kesadaran dan solidaritas antarelemen masyarakat itulah yang perlu dicontoh masyarakat Jakarta khususnya, dan masyarakat di berbagai daerah pada umumnya. Menurutnya, sebenarnya penolakan FPI juga telah disuarakan di daerah Kalimantan lainnya.Sementara, sambil mengutip sebuah hasil riset yang menyatakan bahwa di tahun 2015 mendatang Indonesia akan didominasi oleh kalangan muda, Marco Kusumawijaya merasa yakin perlu mengorganisir para pemuda untuk terlibat dalam aksi penolakan FPI ini. Pemuda adalah tonggak bangsa yang sudah semestinya menjadi garda depan dalam menyuarakan kebebasan dan keharmonisan Indonesia yang kerap diaduk-aduk FPI.
Yang cukup menggembirakan para peserta, pada kesempatan itu dihadiri banyak kalangan pemuda yang bersemangat menyimak bahkan berpartisipasi di dalamnya.Pelbagai alasan di atas dan pertimbangan lainnya yang muncul dalam pertemuan itu, lantas pada sekitar pukul 17.00 WIB disepakati kelahiran “Gerakan Indonesia Tanpa FPI.” Gerakan ini memiliki satu visi: penolakan terhadap kekerasan atas nama apapun. Tugas pertama yang ingin diembannya adalah menolak secara tegas keberadaan FPI di Indonesia. Pernyataan sikap berupa petisi dan press release mengenai penolakan ini menjadi prakondisi yang akan ditempuh gerakan ini. Petisi akan diajukan di antaranya kepada Kemendagri, Kemenkumham, Polri dan kelompok FPI itu sendiri. Di samping itu, gerakan ini pun akan memanfaatkan momentum Valentine’s day (yang diharamkan FPI) sebagai hari di mana aksi penolakan terhadap FPI akan dilakukan secara massif di Jakarta.Jadi, bagi Anda yang merasa bahwa tindakan kekerasan dalam bentuk dan atas nama apapun harus ditentang, tidak ada salahnya menyempatkan diri bergabung dalam aksi tersebut pada Selasa besok, 14 Februari 2012. Salam perdamaian. ● -
Terjepit di Antara Komunitas dan Kebebasan
Terjepit di Antara Komunitas dan KebebasanUlil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)Sumber : JIL, 13 Februari 2012Saya, secara pribadi, mempunyai simpati pada dua kutub itu sekaligus, meskipun pada akhirnya saya lebih mencintai kebebasan individual. Saya menaruh simpati pada komunitas manapun, dan dari agama manapun, yang berusaha sekuat tenaga untuk menjaga norma, tradisi dan identitasnya agar tak lebur dalam “panci mayoritas”. Kita semua tahu, komunitas yang kebetulan berada dalam posisi mayoritas akan cenderung memaksa semua komunitas lain yang kecil untuk menceburkan diri dalam “panci peleburan” (melting pot). Sebaliknya, komunitas-komunitas kecil itu sudah pasti akan melakukan perlawanan terhadap pemaksaan semacam itu.Terdapat ketegangan yang terus-menerus terjadi antara dua hal berikut ini: komunitas dan kebebasan. Setiap komunitas biasanya tegak berdiri atas sekumpulan nilai dan norma yang mengikat anggota-anggotanya. Tanpa norma itu, komunitas tersebut tentu akan bubar. Tetapi, karena komunitas selalu berada bersama dengan komunitas-komunitas yang lain, dalam keadaan dan situasi sosial yang juga terus berubah, maka komunitas bersangkutan juga kudu sanggup melakukan perubahan, termasuk pada level norma yang ia ikuti.Manakala komunitas itu gagal melakukan perubahan seperlunya, biasanya akan muncul sejumlah individu dari dalam dirinya yang melakukan “oto-kritik” atas norma yang sudah dianggap kurang relevan itu. Di sinilah, kita berjumpa dengan dilema antara kebebasan dan komunitas. Di manapun, komunitas biasanya tak suka pada individu-individu dalam “rahim”-nya sendiri yang melalukan kritik internal. Sebisa mungkin para tetua yang menjaga keutuhan komunitas tersebut akan berusaha untuk membungkam suara individu itu.Sebaliknya, individu tersebut tentu akan melakukan segala daya upaya untuk melawan pembungkaman itu. Dia akan menuntut kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya. Sementara pihak-komunitas akan membalas balik tuntutan kebebasan itu dengan menekankan pentingnya menjaga keutuhan komunitas, meskipun harus dengan mengorbankan kebebasan individual.Dilema semacam ini akan kita jumpai dalam masyarakat manapun, dan dalam lingkungan agama manapun juga. Para pengkaji sejarah pemikiran teologi biasa menyebut hal ini sebagai hubungan-penuh-tegang antara dua kutub: kutub ortodoksi yang biasanya menjaga norma komunitas yang dianggap benar, dan kutub heterodoksi, yakni suara lain yang menentang ortodoksi.Saya, secara pribadi, mempunyai simpati pada dua kutub itu sekaligus, meskipun pada akhirnya saya lebih mencintai kebebasan individual. Saya menaruh simpati pada komunitas manapun, dan dari agama manapun, yang berusaha sekuat tenaga untuk menjaga norma, tradisi dan identitasnya agar tak lebur dalam “panci mayoritas”. Kita semua tahu, komunitas yang kebetulan berada dalam posisi mayoritas akan cenderung memaksa semua komunitas lain yang kecil untuk menceburkan diri dalam “panci peleburan” (melting pot). Sebaliknya, komunitas-komunitas kecil itu sudah pasti akan melakukan perlawanan terhadap pemaksaan semacam itu.Apa yang kita saksikan di Palangkaraya saat masyarakat Adat Kalimantan Tengah menolak kedatangan tokoh-tokoh FPI (Front Pembela Islam) dari Jakarta pada Sabtu (11/2/2012) kemarin adalah contoh saja dari penolakan minoritas atas pemaksaan kultural semacam itu. FPI tentu hanya simbol saja yang mewakili kekuatan komunitas besar, dalam hal ini Islam (dengan corak tertentu, tentunya), yang hendak memaksakan gaya hidup tertentu pada masyarakat adat.Tetapi, hal serupa juga dialami oleh masyarakat Muslim di Eropa. Dalam makalahnya yang diterbitkan oleh ISIM, Amsterdam, beberapa tahun lalu, Bikhu Parekh, seorang political theorist terkemuka dari Inggris saat ini, melontarkan kritik terhadap regim sekular-liberal yang berlaku di masyarakat di Eropa yang cenderung “dismissive” atau meremehkan identitas-identitas khusus seperti agama.Parekh berpandangan bahwa sikap myopik atau buta terhadap agama dalam masyarakat Eropa itu harus dikritik. Regim liberal-sekular di Eropa, menurut dia, haruslah mampu mengakomodasi agama dalam dirinya. Meskipun, pada saat yang sama, Parekh juga menekankan bahwa tindakan dari pihak Muslim sendiri untuk mengapresiasi tradisi liberal-sekular di Barat juga penting. Multikulturalisme, bagi Parekh, bukan relativisme kultural, seperti dikemukakan para pengkritik kebijakan itu selama ini di Eropa; tetapi dialog dua arah antara tradisi liberal-sekular dan identitas-identitas relijius. (Baca Bikhu Parekh, “European Liberalism and ‘The Muslim Question’”, ISIM Paper 9, 2008).Jika di Indonesia, sejumlah masyarakat adat mencoba melawan untuk tidak lebur di dalam panci peleburan yang dibentuk oleh identitas komunitas besar, yakni umat Islam, maka di Eropa sebaliknya: masyarakat Muslimlah yang berusaha untuk melawan terhadap panci peleburan yang berbasis pada budaya liberal-sekular.Dalam dua kasus itu, simpati saya ada pada dua kelompok tersebut—baik dalam kasus masyarakat adat di Indonesia, atau komunitas Muslim di Eropa. Saya menaruh simpati kepada dua komunitas itu, karena mereka memang memiliki hak untuk menjaga agar identitasnya tetap utuh dan dapat mereka wariskan kepada generasi kemudian.Akan tetapi, ada sisi lain yang tak boleh dilupakan di sini. Baik dalam masyarakat adat tersebut, atau komunita Islam di Eropa, suatu kemungkinan berikut ini bukan mustahil akan terjadi: yakni, komunitas bersangkutan memaksakan norma dan gaya hidup tertentu kepada individu yang menjadi anggotanya.
Contoh vulgar dari pemaksaan semacam ini adalan tradisi honor killing (pembunuhan kerabat sendiri untuk menjaga kehormatan keluarga) yang ada pada komunitas Muslim imgran tertentu di Kanada dan Eropa. Kasus honor killing terakhir yang ramai diberitakan media adalah pembunuhan yang dilakukan oleh Muhammad Shafia, seorang warga asal Afghanistan yang berimigrasi ke Ontario, Kanada, terhadap tiga puterinya dan isteri keduanya. Kasus ini baru saja diadili dan diputus oleh Pengadilan Ontario pada 30/1/2012 lalu.Dalam kasus pembunuhan semacam ini, pola yang terjadi selalu berulang dari satu kasus ke kasus yang lain: konflik antara keluarga tradisional yang tinggal di masyarakat Barat yang sekular, dengan anak-anaknya yang mulai menyerap gaya-hidup masyarakat modern di sekitarnya. Pihak keluarga merasa bahwa tindakan semacam ini menyinggung kehormatan keluarga. Tindakan ekstrim muncul di sini: meng-eliminasi sama sekali individu yang melakukan penyelewengan semacam itu.Dalam situasi semacam ini, jelas, simpati saya adalah untuk generasi baru yang mencoba gaya hidup baru karena tuntutan lingkungan yang berubah. Saya tak bisa membela pihak komunitas yang mencoba memaksakan norma tertentu pada anggotanya dalam situasi semacam itu, apalagi dengan cara keji seperti honor killing itu.Dalam situasi yang pertama (kasus masyarakat Adat di Indonesia dan minoritas Muslim di Eropa), pihak komunitas berada dalam ancaman koersi atau pemaksaan yang berasal dari regim liberal-sekular. Dalam situasi kedua, pihak komunitas itulah yang melakukan koersi. Sesuai dengan prinsip liberal yang saya anut, saya berpihak kepada pihak yang kebetulan menjadi korban dari koersi, entah itu komunitas atau individu. ●