Category: Uncategorized
-
Mempersoalkan Konglomerasi New Media
Mempersoalkan Konglomerasi New MediaFirdaus Cahyadi, KNOWLEDGE MANAGER FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT,ONEWORLD-INDONESIASumber : KORAN TEMPO, 15Februari 2012Hari masih pagi. Namun gerbong kereta rel listrik Commuter Line rute Bogor-Jakarta sudah mulai penuh. Ada beragam cara para penumpang KRL Commuter Line melepas kejenuhan menunggu keberangkatan KRL. Beberapa penumpang tampak sedang asyik mendengarkan musik, bermain game, dan merambah Internet melalui telepon seluler, iPad, dan laptopnya.Apa yang terjadi di gerbong KRL Commuter Line tersebut menunjukkan betapa perkembangan information and communication technology begitu pesat akhir-akhir ini di Indonesia. Jumlah pengguna Internet pun melonjak dari tahun ke tahun. Tren baru itu juga membawa perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap media di negeri ini. Hasil survei Media Index yang dilakukan oleh Nielsen Media Survey pada 2009 menunjukkan jumlah pembaca koran konvensional menurun, sedangkan pengguna Internet mengalami kenaikan.Data itu juga dikuatkan oleh riset yahoo.comdan TNS mengenai tren pengguna Internet di Indonesia pada 2010. Riset itu menyebutkan bahwa telah terjadi lonjakan yang signifikan dalam pengaksesan berita online, 28 persen pada 2009 dan 37 persen pada 2010. Di sisi lain, jumlah pembaca media cetak terus menurun.Perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap media itu segera ditangkap oleh pemilik modal di sektor media massa. Mereka tentu tidak ingin struktur konglomerasi media yang telah ada digilas oleh perkembangan tren teknologi baru ini. Dan kini dapat kita lihat bersama, hampir semua konglomerasi media memiliki portal berita online.Lengkap sudah kepemilikan media oleh para konglomerat itu. Dari cetak, radio, televisi, hingga online telah mereka miliki. Bahkan tak jarang pula berita dari media cetak, radio, dan televisi bisa dinikmati sekaligus di portal berita milik konglomerasi media tersebut. Penggabungan ini sering disebut sebagai media baru atau new media.Struktur konglomerasi media konvensional telah bertransformasi menjadi konglomerasi new media. Beberapa pihak menilai ini sebuah keniscayaan. Efisiensi proses produksi berita menjadi argumentasinya. Di era new media ini, seorang wartawan bisa meliput suatu peristiwa yang hasilnya bisa ditampilkan secara bersamaan di media dengan platform yang berbeda. Hasil liputan wartawan bisa ditayangkan di televisi, disiarkan di radio, dan diunggah atau upload di Internet. Biaya produksi dapat dipangkas, dan itu berarti efisiensi ekonomi bagi pemilik modal di industri new media.Namun persoalan konglomerasi new mediaini bukanlah sekadar persoalan efisiensi ekonomi. Konglomerasi new mediaini juga merupakan persoalan dominasi wacana di ranah publik. Dominasi wacana ini tentu sangat berbahaya, terlebih bila pemilik modal industri konglomerasi new media itu juga berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu. Pemilik modal dari konglomerasi new media dengan dominasi wacana di publik bisa dengan mudah mengarahkan sebuah kebijakan publik sesuai dengan kepentingannya.Di era digital ini sebenarnya dominasi wacana publik dari konglomerasi new media bisa dilawan oleh publik. Publik secara individual atau bersama-sama dapat menuliskan perlawanannya itu melalui blog dan website pribadi atau organisasinya. Publik juga dapat melawan melalui video yang di-upload di situs jejaring sosial di Internet.Namun potensi perlawanan publik terhadap dominasi wacana oleh konglomerasi new media di Indonesia masih lemah. Riset yang dilakukan oleh MarkPlus Insight tentang aspirasi dan perilaku anak muda di enam kota besar di Indonesia pada awal 2010 menunjukkan pengguna Internet yang aktif hanya 4,4 persen. Pengertian pengguna Internet yang aktif dalam riset itu adalah mereka yang memiliki dan menulis artikelnya di blog pribadi mereka dan juga di forum-forum online.Celakanya, dari sedikit pengguna Internet yang aktif itu, sebagian tulisan mereka masih berkisar pada isu-isu yang didorong oleh industri konglomerasi new media. Penelitian Merlyna Liem, seorang peneliti new media dari Arizona State University, mengungkapkan bahwa topik yang ramai dibicarakan pengguna Twitter di Indonesia adalah persoalan gaya hidup dan isu yang sebelumnya telah diberitakan oleh media arus utama (mainstream).Di sisi lain, masih menurut Merlyna Liem, isu-isu yang terkait dengan persoalan masyarakat pinggiran, seperti isu tentang kasus Lapindo dan Ahmadiyah, juga tidak banyak muncul di blog-blog milik para bloggerIndonesia. Sebagian besar blogger Indonesia lebih suka menulis soal isu yang menyangkut persoalan artis atau selebritas, seperti kasus munculnya video mesum mirip artis Ariel dan Luna Maya.Celakanya, lemahnya perlawanan publik pengguna Internet di Indonesia terhadap dominasi wacana dari konglomerasi new media itu semakin diperlemah oleh berbagai kebijakan telematika yang ada atau yang sedang dirancang pemerintah. Setidaknya ada dua kebijakan dan rancangan kebijakan yang berpotensi semakin memperlemah potensi perlawanan publik terhadap dominasi wacana di ranah Internet.Pertama, masih dipertahankannya pasal karet pencemaran nama baik dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Penggunaan pasal karet itu berpotensi membungkam publik pengguna Internet yang kritis. Setiap saat pengguna Internet yang kritis terancam terkena hukuman 6 tahun penjara dari UU ITE.Kedua, Rancangan Undang-Undang Konvergensi Telematika. Dalam RUU Konvergensi Telematika disebutkan bahwa setiap penyelenggara layanan aplikasi penyebaran konten dan informasi wajib mendapatkan izin dari menteri dan membayar biaya hak penyelenggaraan.Ketentuan izin dari menteri tentu tidak jadi masalah bagi pemilik modal di industri konglomerasi new media. Namun, bagi website yang dikelola oleh organisasi yang selama ini kritis terhadap pemerintah, ketentuan itu akan berpotensi mempersulit mereka. Begitu pula kewajiban membayar biaya hak penyelenggaraan. Bagi pemilik modal di industri konglomerasi new media, hal itu tidak menjadi persoalan. Namun, bagi organisasi kecil yang mengelola website, hal itu akan menjadi sebuah persoalan besar.Singkat kata, pertarungan wacana antara publik dan konglomerasi new media adalah sebuah ajang pertarungan yang jauh dari seimbang. Kebijakan telematika yang dikeluarkan pemerintah pun justru memperlemah potensi perlawanan publik yang sejak awal sudah lemah. Jika sudah demikian, hal yang bisa dilakukan publik adalah mendesak pemerintah melakukan perubahan terhadap serangkaian kebijakan telematika, dan tentu saja membuat kebijakan baru yang membatasi gurita industri konglomerasi new media di Indonesia. ● -
Komitmen Melawan Korupsi
Komitmen Melawan KorupsiTaufiequrachman Ruki, KETUA KPK PERIODE 2003-2007Sumber : KOMPAS, 15Februari 2012Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bulan lalu mengucapkan untuk kesekian kali jargon kampanye sebagai calon presiden, yakni akan memimpin langsung pemberantasan korupsi. Kali ini janji itu disampaikan di depan tokoh-tokoh LSM penggiat antikorupsi dalam satu kesempatan di Istana Negara, Jakarta.Sebagai kemauan politik, pemberantasan korupsi memang berkali-kali digaungkan oleh Presiden pada berbagai kesempatan. Dalam kehidupan kesehariannya, tuduhan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang ditujukan kepada pribadi dan keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga tidak banyak. Kalaupun ada, masih isu dan rumor yang lebih banyak sensasi dan dipolitisasi daripada faktanya.Persoalannya, bagaimanakah pelaksanaan dari memimpin pemberantasan korupsi seperti jargon kampanyenya? Jawabannya: masih pada kemauan politik, belum sampai kepada tindakan nyata sehingga hasilnya pun hanya sampai wacana.Faktanya indeks persepsi korupsi Indonesia masih di kelas bawah, political economy risk country kita juga masih seperti kata Yudoka: katame waza alias main bawah. Artinya, pelaku bisnis di dalam dan di luar negeri—juga orang-orang yang bersentuhan dengan birokrasi di Indonesia—masih menganggap korupsi di negeri ini masih seperti dulu.Wakil Presiden Boediono ketika masih Menteri Koordinator Perekonomian pernah berujar di depan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa untuk memberantas korupsi diperlukan strong and sustainable commitment dari pemimpin. Daniel Sparringa, ketika masih sebagai pengajar di Universitas Airlangga, juga pernah berucap, terjadinya korupsi itu bukan hanya akibat adanya bad people, melainkan juga akibat wrong system, bad system and weak system.Harus Pimpin LangsungDi negara mana pun sampai kini tidak pernah ada lembaga ad hoc sejenis KPK yang berhasil memberantas korupsi sampai tuntas, termasuk di Hongkong, Korea Selatan, atau Perancis. Fungsi lembaga ad hoc itu terbatas pada trigger mechanism-nya. Keberhasilan pemberantasan korupsi bergantung pada komitmen, kemampuan, dan keberanian dua pemimpin negara, yaitu Presiden dan Ketua Mahkamah Agung.Mengapa Presiden? Karena sebagai kepala pemerintahan sesungguhnya, pada Presidenlah segala upaya penindakan terhadap korupsi berawal. Di sinilah, sesuai jargon kampanye SBY, yakni akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi.Dalam pelaksanaannya, bidang pencegahan sangat bergantung pada pembantu Presiden, yakni menteri dan pimpinan lembaga pemerintahan. Karena itu, kriteria untuk memilih pembantu ini harus diawali dari penilaian terhadap komitmen dan kemampuan untuk menata sistem yang eksis di kementerian/lembaganya. Langkah ini harus diikuti keberanian untuk membersihkan perilaku koruptif pada kementerian/lembaga yang dipimpinnya.Namun, yang terjadi, Presiden memilih pembantunya dengan pertimbangan utama adalah alokasi posisi menteri dan pimpinan lembaga negara untuk partai politik koalisi dan gelar akademis yang dimilikinya. Sudah terbukti, orang yang dipilih dengan kriteria itu tidak berani dan tidak berbuat apa-apa, bahkan justru terlibat dalam korupsi di lembaga yang dipimpinnya.Hal itu terjadi bukan karena mereka adalah pribadi yang buruk, melainkan sebagian karena tak menyadari masuk ke dalam putaran sistem yang buruk dan salah. Bukan regenerasi koruptor, melainkan pejabat baru pun, jika masuk ke dalam lingkaran sistem yang salah, akan terdorong menjadi koruptor. Apalagi, sistemnya tidak ditinjau sejak awal.Pada sisi represif, Presiden punya dua institusi yang sesungguhnya memiliki kewenangan dan kapasitas yang bagus untuk memberantas korupsi, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Namun, semua kembali berpulang kepada ketepatan Presiden memilih orang yang ditugasi untuk menjadi Kapolri dan Jaksa Agung. Keduanya memang harus orang yang luar biasa.Selain dituntut mampu membersihkan institusinya yang dikenal tercemar berat oleh korupsi, Kapolri dan Jaksa Agung juga harus jadi raja tega serta berani menyidik dan menuntut setiap kasus korupsi yang dilakukan oleh sesama pejabat—pusat dan daerah—serta kolega satu korps, bahkan oleh petinggi negara yang mungkin atasannya. Komitmen dua pejabat ini harus benar-benar kuat.Kalau popularitas dan harapan rakyat kepada Presiden turun, penyebabnya mungkin pembantu Presiden yang diharapkan rakyat—punya komitmen kuat, kemampuan yang baik, dan keberanian yang boleh diuji untuk memberantas korupsi—ternyata mengecewakan.Hakim juga BerperanHakim juga berperan menentukan keberhasilan pemberantasan korupsi. Sebab, akhir dari pemberantasan korupsi sebagai upaya penegakan hukum adalah vonis pengadilan. Vonis yang keras dan progresif akan menimbulkan efek pencegahan terhadap terjadinya tindakan pidana.Contohnya, putusan pengadilan yang ringan dalam kasus narkotika diduga menjadi penyebab maraknya penggunaan, peredaran, dan pemasukan narkotika di Indonesia. Penyelundup dan pengedar narkotika sangat menghindari Singapura dan Malaysia karena hukuman mati menunggu mereka di sana.Vonis terhadap pelaku korupsi di Indonesia, baik hukuman badan, hukuman denda, maupun hukuman tambahan, sangat tidak memadai dibandingkan dengan kerja keras penyidik dan penuntut umum untuk membawa kasus korupsi ke pengadilan. Juga tidak seimbang dengan biaya yang mereka keluarkan untuk kasus itu, apalagi jika diukur dengan rasa keadilan masyarakat.Bayangkan, ada putusan di satu pengadilan negeri yang hanya menjatuhkan hukuman kepada koruptor di bawah satu tahun penjara. Pelaksanaannya pun masih akan dikurangi remisi. Putusan yang lunak ini sangat tidak mendukung harapan masyarakat dan aparat yang menghendaki korupsi diberantas. Sebaliknya, ia memarakkan praktik korupsi.Memang tidak boleh Ketua MA mencampuri kewenangan majelis hakim yang sedang menyidangkan sebuah kasus. Hakim harus bebas dan mandiri dalam menjatuhkan putusannya. Namun, tidak salah juga apabila Ketua MA mengeluarkan surat edaran yang merupakan kebijakan umum dalam pemberantasan korupsi, yakni agar hakim pengadilan tindak pidana korupsi menjatuhkan hukuman maksimal jika terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi. Hal ini adalah bagian dari pelaksanaan UU.Rendahnya komitmen dan keberanian hakim inilah penyebab vonis rendah dalam menjatuhkan hukuman terhadap koruptor yang terbukti secara sah di pengadilan. Ini pula yang kemudian membuat penggiat pemberantasan korupsi menjadi frustrasi dan aparat buang batu sembunyi tangan, mencari kambing hitam, yaitu menyalahkan pengadilan yang membebaskan pelaku korupsi. Padahal, mungkin saja kasusnya dipaksakan dengan bukti dan tuntutan yang lemah. ● -
Skenario Konferensi Pers Presiden
Skenario Konferensi Pers PresidenTomy C. Gutomo, WARTAWAN JAWA POS, PERNAH BERTUGAS DI ISTANA PRESIDENSumber : JAWA POS, 15Februari 2012BANYAK yang kecewa menyaksikan tanya jawab Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan wartawan di Istana Negara pada Senin malam (13/2). Dingin dan tidak ada gereget. Jawaban-jawaban presiden begitu aman dan seperti biasa, normatif. Wartawan yang hadir di Istana Negara malam itu mungkin juga bingung sendiri memilih angle berita yang menarik untuk ditulis.Saat tanya jawab antara presiden dan wartawan yang disiarkan langsung oleh beberapa stasiun televisi nasional itu berlangsung, berbagai kicauan berseliweran di Twitter maupun Facebook. Ada yang mengkritik wartawan istana terlalu santun kepada presiden, pertanyaannya kurang ”menggigit”, dan seperti sudah di-setting. Namun, saya yakin, wartawan istana malam itu tidak sedang ”diamankan” oleh istana. Sebab, wartawan istana yang saya tahu selama ini, setidaknya setelah reformasi, cukup kritis dan memiliki idealisme.
Tapi, apakah tanya jawab SBY dan wartawan malam itu sudah diskenario? Itu memang menjadi pertanyaan banyak pihak. Dari pengalaman saya ngepos di istana pada periode pertama kepemimpinan SBY (2004-2009), nyaris tak ada konferensi pers yang alami. Biasanya ada dua skenario ketika presiden mengadakan konferensi pers.
Skenario pertama, juru bicara presiden -saat itu Andi Mallarangeng- telah membuat sejumlah pertanyaan. Kemudian, pertanyaan tersebut dititipkan kepada sejumlah wartawan yang dia percaya. Saat sesi tanya jawab, Andi akan menunjuk wartawan-wartawan yang sudah dipilih tadi.
Skenario kedua, beberapa jam sebelum konferensi pers dimulai, staf biro pers dan media rumah tangga kepresidenan meminta wartawan mengirimkan SMS pertanyaan yang akan diajukan kepada presiden. Sekian pertanyaan itu akan diseleksi dan dipilih Jubir presiden. Saat sesi tanya jawab, Jubir tinggal menunjuk wartawan yang pertanyaannya sudah terpilih tersebut. Karena itu, di layar kaca, presiden terlihat sangat menguasai semua materi yang ditanyakan wartawan.
Lalu, konferensi pers Senin malam itu menggunakan skenario yang mana? Menurut informasi dari teman-teman yang meliput di istana, biro pers dan media menggunakan skenario kedua. Kali ini lebih parah. Pertanyaan dari wartawan di-listingsejak seminggu sebelum acara tanya jawab digelar. Jadi, wartawan yang ditunjuk Julian Adrian Pasha, Jubir presiden, malam itu adalah wartawan yang pertanyaannya terpilih oleh pihak istana.
Skenario itu mungkin bertujuan untuk meminimalkan berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan. Misalnya, menghindarkan pertanyaan wartawan yang kurang bermutu atau pertanyaan yang tidak berkaitan dengan tugas-tugas presiden. Juga, untuk menghindarkan pertanyaan yang bisa menjatuhkan wibawa presiden.
Namun, akibatnya, yang terlihat di layar kaca Senin malam lalu justru wartawan yang menuai kritik dari publik. Sebab, publik menaruh harapan besar kepada wartawan saat itu untuk ”memaksa” SBY menjelaskan berbagai isu terkini secara gamblang.
Wartawan di istana tak bisa begitu saja disalahkan dalam kasus tersebut. Pertanyaan yang diajukan wartawan sudah cukup bagus. Namun, sistem tanya jawab malam itu jelas menguntungkan SBY. Selain sudah diskenario, terlalu banyak isu yang diangkat, sehingga tidak fokus. Ada 16 pertanyaan yang diajukan wartawan malam itu dalam waktu 90 menit.
Satu faktor lagi, konferensi pers berlangsung saat malam, yakni pukul 20.00-21.00 WIB. Bagi media cetak, itu tentu sudah mendekati deadlinepukul 24.00. Karena itu, konsentrasi wartawan sudah bercabang antara mengejar berita dan mengejar deadline.
Ke depan, sebaiknya wartawan bisa memiliki bargaining positionyang lebih kuat dengan istana. Jangan mau mengikuti skenario yang dibuat biro pers dan media. Tolak segala bentuk setting-an.
Wartawan istana harus kompak. Misalnya, menentukan tiga isu penting yang akan ditanyakan. Tiga isu itu harus dijawab tuntas oleh presiden. Ketika jawaban presiden belum memuaskan, wartawan yang lain bisa mempertajam. Tidak seperti konferensi pers Senin malam lalu, jawaban presiden tidak bisa dipertanyakan lagi oleh wartawan.
Saya yakin, kalau wartawan kompak, pihak istana bisa menerima. Dulu pernah terjadi, kamerawan TV kompak menolak setting-an biro pers dan media. Akhirnya, SBY mengalah dan mengikuti skenario kamerawan TV. Sudah saatnya skenario konferensi pers di istana diakhiri. Masyarakat sudah semakin cerdas dan bisa menilai perilaku pemimpinnya. ●
-
Dasar Bubarkan Ormas Anarkistis
Dasar Bubarkan Ormas AnarkistisHasibullah Satrawi, ALUMNUS AL-AZHAR, KAIRO, MESIR; TINGGAL DI JAKARTASumber : JAWA POS, 15Februari 2012KETEGASAN masyarakat Kalimantan Tengah (Kalteng) dalam menolak kehadiran Front Pembela Islam atau FPI (11/2) menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih menyadari pentingnya melestarikan kerukunan bangsa yang majemuk.Telah maklum bersama, FPI merupakan salah satu ormas yang kerap terlibat dalam sejumlah aksi kekerasan, khususnya aksi kekerasan yang bernuansa agama. Sebagian pihak telah mendesak pemerintah dan aparat keamanan untuk membubarkan ormas anarkistis (termasuk FPI). Bahkan, pembubaran ormas anarkistis pernah disarankan Kapolri, waktu itu, Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri di DPR (Media Indonesia, 31/8/10). Tapi, faktanya, saran itu tak dilaksanakan hingga hari ini.
Setidaknya ada dua alasan penting bagi pembubaran ormas anarkistis. Pertama, alasan kebangsaan. Dari segi kebangsaan, cara-cara anarkistis yang kerap dilakukan ormas keagamaan (termasuk FPI) dalam menghadapi masalah tertentu merupakan ancaman serius bagi kerukunan. Terutama dalam menghadapi perbedaan yang bersifat keyakinan dan keagamaan.
Bangsa ini ada bukan untuk menjadi “area perang” bagi segenap warganya karena alasan perbedaan tertentu. Sebaliknya, bangsa ini ada untuk menjadikan warna-warni perbedaan yang ada sebagai “pelangi kehidupan” nan indah. Inilah yang oleh almarhum Cak Nur disebut dengan istilah kemajemukan sebagai nikmat. Jangankan melakukan kekerasan, sebaiknya kita mengambil hikmah dan rahmat dari semua perbedaan ini.
Islam Jadi Korban
Kedua, alasan keislaman. Bisa dikatakan, Islam adalah korban utama dari berbagai macam aksi anarkistis yang dilakukan ormas keagamaan seperti FPI. Mengingat aksi anarkistis yang dilakukan ormas keagamaan kerap dilakukan atas nama agama (khususnya ajaran amar makruf dan nahi mungkar). Padahal, Islam tidak membenarkan aksi kekerasan hanya karena sebuah perbedaan atau atas nama dakwah. Bahkan, dalam konteks membela diri sekalipun, Islam lebih mengutamakan pengampunan daripada membalas (wan ta’fu khairun lakum).
Dalam sebuah hadis, contohnya, disebutkan bahwa Tuhan adalah Dzat Yang Mahalembut, menyukai kelembutan dan memberikan sejumlah keistimewaan pada kelembutan yang tak diberikan pada aksi kekerasan. Bahkan, Imam Ali bin Abi Thalib pernah meriwayatkan hadis Rasulullah yang menegaskan bahwa akan banyak perbedaan setelah beliau meninggal dunia. Dalam menghadapi berbagai perbedaan yang ada, Rasulullah menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib agar senantiasa memilih dan mengedepankan perdamaian, meskipun harus mengerahkan segenap kemampuan.
Bahkan, ajaran amar makruf (menyeru pada kebaikan) dan nahi mungkar (mencegah kemungkaran) pun harus dijalankan sesuai dengan semangat kerukunan (bukan semangat kekerasan seperti yang kerap dilakukan ormas anarkistis). Apa yang disampaikan Syekh Ali Muhammad Ali Syarif dan Syekh Usamah Ibrahim Hafiz menarik untuk diperhatikan. Dalam sebuah bukunya berjudul An-Nushuh wa At-Tabyin fi Tashihi Mafahimi Al-Muhtasibin (Nasihat bagi Penegakan Amar Makruf Nahi Mungkar), dua ulama Jamaah Islamiyah (JI) Mesir yang telah bertobat dari berbagai macam aksi kekerasan ini menegaskan, ajaran amar makruf dan nahi mungkar tidak boleh dilakukan dengan semangat mencari-cari kemungkaran atau kesalahan orang lain. Para penegak syariat hanyalah berkewajiban menyikapi kemungkaran yang tampak di depan mata, bukan keburukan atau kemungkaran yang tersembunyi di balik tembok atau di dalam kamar (hal. 63).
Dalam bukunya berjudul, Ihya`u Ulumi ad-Din, Imam Al-Ghazali yang menjadi panutan mayoritas umat Islam di Indonesia melansir sebuah cerita menarik terkait dengan penegakan amar makruf dan nahi mungkar. Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah mengintai seseorang yang sedang melakukan kemaksiatan/keburukan di dalam rumahnya dari atap.
Saat diinterogasi, orang tersebut menjawab: saya mungkin benar telah melakukan kemaksiatan/keburukan di dalam rumah. Tapi saya pastikan, itu hanya satu kemaksiatan/keburukan. Sedangkan Anda (sahabat Umar) dengan melakukan penegakan amar makruf dan nahi mungkar seperti ini melakukan tiga kemaksiatan/keburukan sekaligus.
Pertama, Anda mencari-cari kesalahan orang lain atau mengintip. Padahal, Alquran melarang perbuatan ini, sesuai dengan ayat yang berbunyi, … wala tajassasu… (jangan mencari-cari kesalahan orang lain, QS Al-Hujurat [49]: 12). Kedua, Anda datang ke rumah orang lain tidak melalui pintu (mengingat sahabat Umar mengintip dari atap rumah sebagaimana di atas). Padahal, Alquran memerintahkan, … wa’tul buyuta min abwabiha … (masuklah ke rumah orang lain melalui pintu, QS Albaqarah [2]: 189).
Ketiga, Anda datang ke rumah orang lain tanpa mengucapkan salam (baca: assalamualaikum). Alquran memerintahkan: … wa tusalimmu ala ahliha… (janganlah kalian memasuki rumah orang lain tanpa mengucapkan salam kepada penghuninya, QS An-Nur [24]: 27).
Inilah yang kerap diabaikan para aktivis ormas anarkistis dalam menjalankan perjuangan keagamaan. Hingga aksi anarkistis mereka mendapatkan kecaman dari banyak pihak (termasuk dari masyarakat Kalteng dalam konteks FPI). Bahkan, tak jarang Islam pun menjadi korban dari aksi anarkistis mereka, sebagaimana disampaikan di atas. Sudah sepantasnya bila ormas anarkistis dibubarkan. ●
-
MOU Dewan Pers-Polri
MOU Dewan Pers-PolriAgus Sudibyo, ANGGOTA DEWAN PERSSumber : KOMPAS, 15Februari 2012Pada 9 Februari 2012, Dewan Pers dan Kepolisian RI meresmikan nota kesepahaman yang sangat penting untuk pelembagaan kemerdekaan pers di Indonesia.Perjalanan pembahasan nota kesepahaman (MOU) ini cukup panjang dan berliku. Kedua pihak butuh waktu lebih dari tiga tahun—melewati sekali momen pergantian Kapolri dan keanggotaan Dewan Pers—untuk mereduksi perbedaan-perbedaan pandangan tentang bagaimana semestinya kasus-kasus pers diselesaikan.Penyelesaian JurnalistikNota kesepahaman ini dilatarbelakangi oleh ketidakpastian tentang proses penanganan kasus-kasus pers. Sebagian pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers mengadukan masalahnya ke Dewan Pers. Namun, tidak sedikit pihak dengan masalah yang sama memilih mengadu ke polisi. Sebagian pihak memperkarakan kinerja pers berdasarkan UU Pers. Sebagian pihak lain tidak mau tahu dengan duduk perkara UU Pers dan menggunakan UU lain untuk memeja-hijaukan media atau jurnalis. Pada titik ini sering muncul perbedaan pendapat antara penegak hukum di satu sisi dan Dewan Pers serta unsur-unsur media pada sisi lain.Terjadi benturan tafsir tentang perlindungan nama baik dan ketertiban umum dengan prinsip-prinsip universal kemerdekaan pers. Dalam ketakpastian ini, peristiwa kriminalisasi terhadap insan atau institusi pers beberapa kali terjadi dan memicu kontroversi yang tak kondusif bagi hubungan antara komunitas pers dan penegak hukum. Berangkat dari situasi inilah, Polri dan Dewan Pers kemudian menjajaki kemungkinan membangun saling pemahaman dan kerja sama dalam menyelesaikan kasus-kasus pers yang diadukan ke polisi.Nota kesepahaman Polri-Dewan Pers pertama-tama menegaskan bahwa sengketa jurnalistik semestinya diselesaikan secara jurnalistik. UU Pers No 40/1999 dan Kode Etik Jurnalistik telah menyediakan penyelesaian secara jurnalistik ini dengan mekanisme hak jawab, hak koreksi, permintaan maaf secara terbuka, mediasi Dewan Pers, serta sanksi pidana bagi media yang tidak mematuhi ketentuan hak jawab.Dalam konteks ini, jika Polri menerima pengaduan langsung tentang pers, Polri akan terlebih dahulu meminta Dewan Pers menilai apakah pengaduan itu tentang perkara jurnalistik atau bukan. Jika pengaduan tersebut sepenuhnya perkara jurnalistik akan diselesaikan oleh Dewan Pers. Sebaliknya, jika pengaduan itu ternyata tentang perkara non-jurnalistik menjadi kewenangan Polri untuk menyelesaikannya.Penyelesaian secara jurnalistik dapat saja tak menyelesaikan masalah. Misalnya, karena hak jawab tidak dipenuhi oleh media atau karena media mengulangi kesalahan yang sama setelah memuat hak jawab. Jika ini terjadi, Dewan Pers tidak menghalangi upaya pihak-pihak untuk menempuh jalur hukum dengan menggunakan delik pers.Namun, untuk menangani kasus seperti ini, polisi harus berpedoman pada UU Pers, bukan UU lain. Polisi juga akan memastikan, sebelum menempuh jalur hukum, pengadu telah terlebih dahulu menempuh prosedur penyelesaian secara jurnalistik: hak jawab, hak koreksi, atau mediasi Dewan Pers. Polisi juga berkomitmen untuk mengarahkan pengadu menempuh jalur hukum perdata. Dalam proses penyidikan perkara delik pers pada tahap selanjutnya, polisi akan selalu berkonsultasi dengan Dewan Pers.Kriminalisasi PersGuna mengevaluasi pelaksanaan nota kesepahaman, Dewan Pers dan Polri akan melakukan pertemuan koordinasi sekurang- kurangnya enam bulan sekali. Koordinasi ini sangat penting untuk memperbaiki kualitas penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis.Selama 2011, Dewan Pers mencatat 85 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam berbagai bentuk: penganiayaan, perusakan, intimidasi, pengusiran, hingga penghilangan nyawa. Pelakunya pun beragam: pejabat publik, pegawai pemerintah, artis, warga masyarakat, dan preman suruhan pihak tertentu. Masalah yang menonjol dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis adalah belum ada koordinasi yang memadai antara Polri sebagai penegak hukum dan Dewan Pers sebagai lembaga pelindung kebebasan pers untuk secara sigap dan secepatnya mengambil langkah-langkah penyelidikan dan penanganan masalah.Kemerdekaan PersNota kesepahaman ini secara teoretis merupakan terobosan penting untuk mengeliminasi kriminalisasi dan kekerasan terhadap pers yang masih marak terjadi di Indonesia. Nota kesepahaman ini akan jadi pedoman bagi jajaran Polri, khususnya di daerah, yang sering menerima pengaduan tentang kinerja pers, tetapi belum sepenuhnya memahami mekanisme penyelesaian perkara jurnalistik.Apresiasi tinggi patut diberikan kepada Polri. Kemauan baik Polri untuk memberikan kesempatan kepada komunitas pers, yang direpresentasikan oleh Dewan Pers, untuk menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri melahirkan optimisme bahwa ke depan, tingkat kriminalisasi terhadap pers akan semakin menurun. Dengan sendirinya kemudian Indonesia akan semakin dikenal sebagai negara dengan pemerintahan yang mempunyai komitmen terhadap kemerdekaan pers.Dewan Pers di sisi lain dihadapkan pada keharusan untuk meningkatkan kapasitas dalam menangani kasus-kasus pers secara sigap, adil, dan imparsial. Tantangan Dewan Pers adalah sanggup senantiasa bertindak tegas dan tidak kompromistis terhadap institusi atau insan pers yang tidak profesional dan melanggar Kode Etik Jurnalistik.Dewan Pers perlu membuktikan bahwa fungsinya tidak sekadar melindungi kemerdekaan pers, tetapi juga menegakkan Kode Etik Jurnalistik tanpa pandang bulu. Hal ini demi menegakkan martabat pers itu sendiri serta untuk memberikan rasa keadilan bagi berbagai pihak. ● -
Penguasa (yang) Tak Acuh (118)
Penguasa (yang) Tak AcuhFarid Muttaqin, MAHASISWA PROGRAM DOKTOR DEPARTEMEN ANTROPOLOGI, BINGHAMTON UNIVERSITY STATE UNIVERSITY OF NEW YORK, ASSumber : KOMPAS, 15Februari 2012Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto menjadi tokoh sentral dan amat dominan dalam membangun dan menerapkan berbagai strategi politik. Lalu, lahir apa yang tenar disebut sebagai the silent majority, mayoritas (tetapi) diam.Mereka sebagian besar, bahkan terbesar, rakyat Indonesia yang tak memiliki kemampuan berekspresi, mengungkapkan suara, serta keinginan atas negara terhadap pemerintah dan penguasa. Opresi negara (state’s oppression) yang dilakukan penguasa Orde Baru membuat rakyat negeri ini memilih diam daripada mempertaruhkan hidup jika mengekspresikan suara politik.Lalu, kebobrokan di berbagai bidang selama 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru itu seperti sebuah kenormalan yang wajar, yang tak perlu mendapat reaksi selain dengan diam. Bahayanya, hampir semua orang, terutama yang punya pengalaman langsung hidup di bawah kepemimpinan Soeharto, tahu betapa banyak ketidakadilan dan kekerasan terjadi saat itu.Era the silent majority sudah lewat. Ia secara ”alami” jadi usang dan karenanya menuntut perubahan. Artinya, gerakan reformasi pada 1998 sebenarnya bukan hanya reaksi dan respons politik atas kebobrokan akibat represi, opresi, dan totaliterianisme Orde Baru.Gerakan itu merupakan reaksi ”alamiah” atas kebosanan dan ”hidup dalam keusangan” ala situasi akibat the silent majority yang tak dinamis dan tak berwarna. Gerakan reformasi yang ditandai gelombang deras suara publik menjadikan negara ini penuh kegaduhan, mengganti the silent majority menjadi the noisy majority, mayoritas yang berisik.Situasinya tentu berbeda ekstrem. Jika yang pertama hanya berisi suara Presiden Soeharto, baik langsung maupun lewat para menteri dan kaki-tangannya yang lain, di era ini, koran, televisi, forum diskusi, seminar, internet, dan ruang komunikasi publik lain—termasuk kendaraan umum—hampir tak pernah sepi dari suara gaduh massa itu selama 24 jam. Talk show yang secara harfiah berarti ”pentas omongan” jadi acara paling sering ditayangkan di televisi kita, menandai dengan jelas era the noisy majority itu.Apakah situasi yang tercipta lebih baik?Seharusnya, era ”mayoritas yang berisik” ini dapat mengubah kondisi kekuasaan totaliter semacam Orde Baru menjadi kekuasaan yang lebih menggantungkan diri pada suara publik. Tidak hanya untuk mengontrol agar tidak jadi kekuasaan represif dan totaliter, tetapi juga untuk membuat program-program pembangunan yang lebih kreatif, inovatif, serta tentu saja partisipatif dan responsif terhadap kebutuhan publik. Namun, hal ini tidak menjadi kenyataan di era the noisy majority sekarang ini.Sikap AbaiIndonesia pasca-Soeharto menjadi negara dengan kebebasan berekspresi paling besar di dunia. Setiap warga bisa mengungkapkan pikiran, bahkan paling kritis atau paling ”kasar” sekalipun terhadap penguasa, tanpa khawatir akan ”digebuk” atau ”dilibas”.Sekali lagi, apakah hal ini membuat kondisi menjadi lebih baik, dalam arti (penguasa) negara menjadi lebih berkenan mendengar serta mempelajari dan belajar dari suara rakyat nan gaduh itu? Ternyata tidak!Sering sekali saya ditanya kolega dari beberapa negara sahabat tentang perkembangan kondisi kenegaraan di Indonesia. Saya hanya menjawab, ”Di Indonesia rakyat bebas bicara, diberi hak berekspresi tanpa batas, bahkan termasuk ungkapan yang sebenarnya ”menghina” kekuasaan, tetapi para penguasa juga merasa punya hak untuk mengabaikan suara-suara itu.”The noisy majority ditanggapi sederhana dengan apa yang disebut the silent authority. Suatu sikap abai, tak acuh, dan tak menganggap penting suara-suara yang ramai diungkapan rakyat. Apalagi, untuk menjadikannya pertimbangan bagi keputusan dan kebijakan pembangunan.Penguasa yang diam, abai, dan tak acuh ini tentu tak hanya merugikan dari segi kebijakan yang tidak responsif terhadap kepentingan publik. Sikap tak acuh ini justru mengancam fondasi kenegaraan, terutama ketertiban hukum, politik, dan sosial.Tanda-tandanya sudah kian jelas: kekerasan massal semakin sering terjadi, pemerkosaan dan pelecehan seksual di tempat terbuka terjadi berulang, korupsi seperti terus melahirkan generasi baru. Di sana sama sekali tak terlihat rasa takut atau rasa hormat kepada hukum dan institusi negara yang merupakan salah satu fondasi utama bernegara.Jika ini terus terjadi, bisa dibayangkan akhir tragis negeri ini. Kita perlu sesegera mungkin melakukan langkah-langkah serius untuk mengubah kondisi the silent authority menjadi the responsive authority dan tidak menunggu rasa bosan memuncak. Sebab, perubahan akibat rasa bosan sering tak berujung pada kondisi yang lebih baik, seperti kita rasakan pada pengalaman gerakan reformasi. ● -
Pengabdian Taat Asas
Pengabdian Taat AsasBS Mardiatmadja, ROHANIWANSumber : KOMPAS, 15Februari 2012Banyak media memaparkan catatan penting mengenai tuntutan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang syarat untuk lulus sarjana, magister, dan doktor serta untuk kenaikan pangkat dosen, baik sebagai opini maupun berita. Hampir semua menegaskan: tuntutan itu mustahil dilaksanakan.Pantas dihormati hasrat orang yang menginginkan peningkatan keilmiahan hasil akhir proses persekolahan kita. Peningkatan itu perlu dilakukan dengan taat asas, secara berdaya guna, dan akhirnya berhasil guna.Berita dan opini-opini dalam media menunjukkan bahwa tuntutan Kemdikbud hampir pasti tidak akan berhasil guna. Pertanyaannya, apakah berdaya guna dan taat asas?Keduanya erat berkaitan. Sesuatu di bidang pendidikan hanya berdaya guna apabila taat-asas, yakni sesuai dengan tujuan pendidikan. Tuntutan Kemdikbud itu menonjolkan gambaran tugasnya sebagai pengurus lembaga persekolahan. Itu pun hanya dari sudut administratif (yang bertahun-tahun tidak terlaksana dengan baik juga), bahkan menjadikan evaluasi administratif itu disempitkan menjadi kuantitatif (kalau tidak malah meminggirkannya menjadi bersifat ”justru tidak ilmiah dan tidak edukatif”).Mangunwijaya, sekitar 25 tahun lalu, mengajarkan kepada saya: seorang calon penulis harus banyak kontak dengan dewan redaksi media. Ini agar tulisannya yang mungkin bermutu itu dapat diperkenalkan dengan penjelasan lisan. (Kelak apabila sudah dikenal, redaksi akan dapat percaya pada mutu tulisannya, yang tentu saja harus dipertahankan terus).Keilmiahan tidaklah cukup untuk pemuatan tulisan dalam media. Harus ditambah banyak faktor, misalnya aktual, dipaparkan dengan bahasa yang sesuai dengan pembaca, dan tidak melampaui panjang tertentu.Ketiga faktor itu tidak selalu dibutuhkan untuk diluluskan dalam ujian skripsi. Apalagi, skripsi, tesis, dan disertasi dilengkapi pertanggungjawaban lisan (yang tidak terjadi dalam pemuatan di media). Karena itu, banyak sarjana yang tulisannya diluluskan, tetapi tak pernah diterbitkan media. Di sini, tuntutan Kemdikbud tak akan berhasil guna.Ambisius vs Logika yang KeliruKeilmiahan adalah sesuatu yang majemuk. Karena itu, sangat mungkin penemuan baru sulit dipahami oleh dewan redaksi media sehingga tidak diterbitkan karena jurusnya baru dan kebaruan merupakan salah satu hal penting dalam penulisan disertasi. Tuntutan Kemdikbud berakibat pencegahan aspek kebaruan yang menyuburkan ilmu, tetapi tidak senantiasa terpahami dalam pemasaran media.Kebaruan itu juga dapat menyebabkan ”media baru” tidak mendapat akreditasi dari Kemdikbud sehingga kegagalan terbit justru didasarkan pada kelemahan Kemdikbud. Namun, bisa dipahami kalau Kemdikbud tidak mungkin ”memuat segala ilmuwan dari dunia ilmu sehingga sulit memahami keilmiahan penemuan-penemuan baru”. Ataukah Kemdikbud mau mensponsori terbitnya media ilmiah dari segala jenis ilmu tanpa peduli mutu?Tuntutan Kemdikbud ”memutlakkan penerbitan karya ilmiah” seakan dapat dipahami, tetapi tidak dapat dibenarkan jika mengingat bahwa kita tak punya media sebanyak yang diperlukan untuk calon sarjana. Sementara dunia permediaan tidak dapat memiliki ahli-ahli penilai (”tim bijak bestari”) yang siap menilai segala jenis ilmu atau penulisan baru (teolog Karl Rahner ditolak disertasinya, yang kemudian justru menjadi best seller di dunia, begitu pula banyak tokoh lain). Tuntutan itu ambisius, tetapi tak memperhitungkan realitas kemanusiaan yang umum di seluruh dunia (tak ada negara yang mewajibkan lulusan sarjana untuk memublikasikan karyanya sebagai syarat kelulusan).Tuntutan Kemdikbud menyimpan harapan agar lulusan bermutu lahir lebih banyak lagi. Dilupakan bahwa untuk kelahiran itu diperlukan bahwa sekolah-sekolah (tinggi-universitas) tidak dibuat ”impoten” dan penerima ”benih keahlian” sungguh ”subur”. Namun, tuntutan Kemdikbud justru membuat perguruan kena bahaya ”impotensi” karena memindahkan kewenangan meluluskan dari sidang ujian internal ke kewenangan publikatores, yang penghitungannya tidak hanya keilmiahan dan Kemdikbud berpretensi mampu menentukan kriteria kelulusan.Dunia publik kita, yang menjadi kancah para publikatores, tidak sedang subur karena remuknya situasi politis, mahakuasanya uang, dan bengkoknya banyak logika. Tanpa logika yang tepat, sulit lahir ilmuwan tangguh. Salah satu logika yang keliru adalah ”memprasyaratkan penerbitan karya sebagai syarat kelulusan sarjana”, bukannya merangsang keilmiahan dengan menyuburkan pembentukan istilah keilmuan, penghargaan kepada peneliti, evaluasi perguruan tinggi secara mendalam (ini malah dengan menekankan aspek administratif).Seorang ahli metodologi ilmu, Lonergan, mengajak kita meningkatkan keilmuan dengan pendalaman metodologi ”dalam masing-masing disiplin ilmu”, bukan dengan ”berpamer keluar” walau lingkup luar dapat menjadi sarana komunikasi keilmiahan universal. Komunikasi lintas ilmu dapat merangsang pendalaman keilmiahan, tetapi tidak dapat senantiasa dituntut. Itulah masalahnya ketika Kemdikbud memaksa semua sarjana hanya diluluskan kalau karya tulisnya diterbitkan oleh media. Tuntutan itu justru menafikan disiplin keilmuan yang beraneka.Alat Coba-CobaSetiap orang yang berkecimpung di dunia ilmu mafhum bahwa masa studi awal adalah masa mengenali cara kerja dasariah. Baru kemudian perlahan-lahan orang dapat menguasai bidangnya dan singgungan dengan ilmu-ilmu lain, lalu berkembanglah penguasaan keilmuannya untuk dihidangkan kepada publik. Pada waktu itulah media-media ilmiah siap menampung luapan keilmiahan orang.Dengan pengertian itu, tuntutan Kemdikbud adalah cara baik untuk merosotkan mutu media-media ilmiah, dengan menerima tulisan-tulisan yang masih merupakan awal masa bakti ilmuwan. Alih-alih meningkatkan keilmiahan bangsa, tuntutan Kemdikbud justru memandang rendah keilmuan dan karena itu menurunkan derajat media ilmiah sebagai alat coba-coba.Dalam pada itu, pasti ada sejumlah ”calon lulusan” sarjana kita yang bermutu: kita persilakan setiap perguruan tinggi menilai mereka. Siapakah kita yang mampu menilai ratusan ribu halaman dan mengecek ”catatan kaki” dan ”daftar bacaan” sehingga akurat dan tidak hanya merupakan copy-paste dari internet. (Apalagi orang Kemdikbud yang amat sibuk sehingga bahkan sulit membaca sekian ribu halaman laporan setiap perguruan tinggi kita sampai sering meminta laporan lagi walau isinya akan mirip dengan yang dilaporkan sekian tahun yang lalu). Sementara itu, peraturan negara mengizinkan perguruan tinggi tertentu tidak lagi mewajibkan skripsi dan memilih cara lain untuk meluluskan mahasiswanya.Tidak terbayangkan gunung pekerjaan yang timbul dengan adanya peraturan baru ini. Gunung itu tidak hanya secara kuantitatif tak teratasi, tetapi secara kualitatif juga mustahil sehingga pewajiban ini sulit disebut ”taat asas”. Jadi, nonedukatif juga! ● -
Membangun Kedaulatan Petani demi Pangan
Membangun Kedaulatan Petani demi PanganAgnes Aristiarini, WARTAWAN KOMPASSumber : KOMPAS, 15Februari 2012Inilah ironi yang terjadi di negeri ini. Ketika kesalahan kebijakan membuat masyarakat meninggalkan diversifikasi pangan dan semakin tergantung pada beras, pemerintah justru meninggalkan petani sebagai tulang punggung ketahanan pangan. Bukannya membantu petani agar berdaulat dengan membenahi produksi pangan, pemerintah memilih jalan pintas: impor beras.Berdasarkan data Kementerian Pertanian, ada tujuh komoditas pangan pokok yang diimpor dan itu belum termasuk gandum, garam, gula, dan produk hortikultura. Impor beras tahun 2010 mencapai 1,6 juta ton, jagung 2,8 juta ton, dan kedelai lebih dari 1,2 juta ton. Nilai impor mencapai Rp 50 triliun dan angka itu terus meningkat signifikan.Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, tecermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Betul tidak disebutkan bahwa pangan harus dipenuhi dari dalam negeri, tetapi menyandarkan kebutuhan pada impor amatlah riskan dan ada 42,5 juta petani dikorbankan.Maka, membangun ketahanan pangan seharusnya menjadi agenda terpenting pemerintah saat ini. Cara yang paling dasar adalah memperluas area atau meningkatkan produksi per satuan luas. Kelemahan perluasan area, terutama di luar Jawa, adalah masih belum optimalnya lahan-lahan yang baru dibuka dibandingkan dengan lahan tercetak di Jawa.Sebaliknya, peluang peningkatan produktivitas lebih terbuka. Membatasi bahasan pada tanaman padi, pilihannya adalah mengembangkan padi hibrida ataupun padi tipe baru, selain memperbaiki teknologi budidaya ataupun pasca-panennya.Adalah Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) yang telah menghasilkan 17 varietas dari 57 varietas padi hibrida yang kini beredar di Indonesia. Menurut Satoto, Ketua Kelompok Peneliti Pemuliaan, Plasma Nutfah, dan Perbenihan di BB Padi, padi hibrida bisa menjadi alternatif pilihan karena tingkat produksi sudah stagnan saat ini.”Padi hibrida mempunyai keunggulan morfologi, terutama komponen akhir. Jumlah gabah isi per malai sampai 400 butir, sementara ciherang sebagai padi tipe baru favorit saat ini sekitar 150 butir,” kata Satoto.Pemuliaan tanaman hibrida memanfaatkan fenomena genetika yang disebut vigor hibrida atau heterosis, yaitu kecenderungan individu hasil persilangan (F1, turunan pertama) yang akan lebih baik dibanding salah satu atau rata-rata kedua tetuanya.Perkembangan HibridaSaat ini negara paling maju dalam pengembangan hibrida adalah China, yang sudah mengaplikasikannya sejak tahun 1976. Prof Yuan Longping, Direktur Jenderal Pusat Penelitian dan Pengembangan Padi Hibrida Nasional China, dalam Konferensi Pangan yang diselenggarakan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) 2004, mengatakan, padi hibrida sudah ditanam di 15 juta hektar sawah atau 50 persen dari total sawah di China.”Rata-rata produksi padi hibrida nasional 7 ton per hektar, lebih tinggi 1,4 ton per hektar dibanding produksi padi biasa,” katanya.Peningkatan produksi padi hibrida berperan besar dalam ketahanan pangan karena memberi makan 60 juta jiwa setiap tahun. Inilah yang menjadikan China sebagai negara dengan penduduk terbesar dunia yang sudah swasembada beras.Sayangnya, keberhasilan China—sekali lagi—justru menjadi jalan pintas para pengusaha untuk mengimpor benih serupa ke Indonesia. Mereka lupa, padi hibrida asal China lebih rentan saat ditanam di Indonesia karena tetuanya dari dataran tinggi dengan iklim yang berbeda pula. Akibatnya, petani lagi-lagi dirugikan.Sebaliknya, padi hibrida Indonesia dikembangkan dengan dengan tetua yang sesuai dengan kondisi lokal. Kelemahan dalam pengembangan padi hibrida adalah sebagian besar tetua yang baik tidak punya gen ketahanan terhadap ancaman wereng coklat, hawar daun bakteri, dan tungro.”Sebenarnya kami sudah menghasilkan Hipa 7 yang tahan tungro serta Hipa 8, 12, 13, 14 yang tahan hawar daun bakteri. Namun, kalau serangannya meluas, padi apa pun tidak akan ada yang tahan,” tuturnya.Kendala berikutnya adalah benih. Selain harganya masih mahal—sekitar Rp 15.000 dibandingkan dengan benih biasa yang hanya Rp 7.000—penggunaan benih bersertifikat juga menjadi syarat agar yang ditanam benar-benar masih F1. ”Orang suka salah kaprah bahwa setelah F2 tidak bisa ditanam lagi. Bisa, tetapi kami tidak menganjurkan karena kalau ditanam akan terjadi segregasi,” katanya.Meski demikian, sebenarnya sudah banyak petani yang sukses menanam padi hibrida. Di beberapa kabupaten di Jawa Timur, sebutlah Blitar, Madiun, Malang, dan Tulungagung, ada peningkatan hasil padi hibrida. Demikian pula di Sukoharjo, Sragen, Klaten, dan Delanggu di Jawa Tengah. Yang terpenting memang bagaimana memilih varietas padi hibrida sesuai kondisi daerah masing-masing dan memberi perlakuan budidaya sesuai rekomendasi.Alangkah sayang jika hasil yang baik dari negeri sendiri tidak berkembang karena politisasi di sana-sini. Apa boleh buat, kuncinya kembali ke pemerintah agar tidak mengkhianati program swasembada dan berpihak kepada petani membangun kedaulatannya. ● -
Mohon Maaf, Saya Korupsi
Mohon Maaf, Saya KorupsiDjoko Pitono, JURNALIS DAN EDITOR BUKUSumber : SUARA MERDEKA, 15Februari 2012”SAYA memang telah melakukan tindak pidana korupsi. Ketika saya mulai diperiksa oleh KPK bulan lalu, saya me-ngatakan bahwa saya tidak bersalah. Saya menyatakan dengan tegas, saya bukan koruptor. Mengapa saya mengatakan hal itu? Karena saya tidak kuat menghadapi kenyataan. Jadi saya terpaksa membohongi keluarga saya, staf saya di DPR, kawan-kawan, kolega, dan masyarakat, bahkan saya sendiri. Karena itu, saya benar-benar mohon maaf…”Anda ingat kata-kata siapa itu? Siapa anggota DPR di negeri ini yang ditangkap KPK dan minta maaf atas tindakan korupsinya meskipun belum diadili? Tentu saja Anda bingung. Pasalnya, memang tidak ada koruptor di negeri ini yang begitu jantan mengakui perbuatannya lalu minta maaf.
Kata-kata itu adalah kutipan dari ungkapan (dengan sedikit perubahan) anggota DPR AS, Randall Harold Cunningham, yang ditangkap polisi federal pada 2005 karena korupsi, diadili, dan dihukum berat.
Dari begitu banyak pejabat di negeri ini dan kemudian diadili, sulit sekali menemukan kasus dengan terdakwanya meminta maaf. Bahkan setelah vonis, bahkan lagi setelah Mahkamah Agung mengukuhkan hukumannya. Ungkapan penyesalan dan permintaan maaf tampaknya bukan budaya bagi pelanggar hukum, termasuk dalam kasus-kasus tipikor di negeri ini. Yang ada malah pemberian remisi bagi koruptor. Rasanya perlu penelitian, mengapa begitu. Mengapa pelanggaran tindak pidana luar biasa itu tidak membuat para pelaku luluh perasaannya. Mereka tampak tetap tebal muka, membantah, dan mengajukan banding atas putusan hakim.
Sebuah Pembelajaran
Padahal, apalah sulitnya meminta maaf dan menyampaikan penyesalan atas kesalahan yang dilakukan dan memberikan pembelajaran pada publik? Seperti yang dilakukan Randall Harold Cunningham? Ada banyak kasus korupsi, tidak pidana lain, dan pelanggaran etika yang melibatkan pejabat publik di AS, serta kemudian yang bersangkutan meminta maaf.
Mantan Gubernur negara bagian Illinois AS, Rod Blagojevich (54), meminta maaf menjelang vonis awal Desember 2011 dalam persidangan atas tindakan korupsinya. Ia tetap dihukum berat, 14 tahun dan denda 20.000 dolar AS, dan akan dibawa ke penjara pada 16 Februari 2012.Politikus Partai Demokrat AS itu diputuskan bersalah karena menerima 17 gratifikasi alias suap, termasuk mencoba menjual kursi Senat yang pernah diduduki Presiden Barack Obama.
Permintaan maaf kepada publik juga disampaikan mantan Ketua DPR negara bagian Pennsylvania John M Perzel menjelang vonis sidang korupsinya pada 31 Agustus 2011. Hakim menjatuhkan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara kepada politikus Partai Republik AS tersebut. Namun kasus Cunningham paling dramatis. Cunningham (kini 70 tahun) adalah mantan anggota Partai Republik di DPR (House of Representatives) AS dari negara bagian California dari 1991 hingga 2005.Cunningham mengundurkan diri dari DPR pada 28 November 2005 setelah mengaku bersalah menerima suap paling tidak 2,4 juta dolar AS dari kontraktor pertahanan dan menggelapkan pajak pada 2004. Mantan pahlawan Perang Vietnam itu terbukti bersalah dan pada 3 Maret 2006 dihukum 8 tahun 6 bulan dan membayar ganti rugi 1,8 juta dolar.
Yang istimewa, penyesalan dan permintaan maaf Cunningham disampaikan sebelum dia diadili. Pada intinya, dia mengatakan telah membohongi keluarga, staf, kawan-kawan dan koleganya, publik serta dirinya sendiri. .
Dia mengakui, dirinya telah melanggar hukum, menutupi tindakan-tindakannya, dan merendahkan jabatan tingginya. Dia mengatakan sadar bahwa dia akan kehilangan kebebasan, reputasi, harta milik duniawi, serta yang paling penting, kepercayaan kawan-kawan dan keluarganya.Dia pun memberikan pembelajaran yang luar biasa dengan menambahkan, ‘’Dalam hidup saya, saya telah mengalami kegembiraan yang luar biasa dan kesengsaraan yang besar. Dan sekarang, saya menghadapi rasa malu yang besar. (Tapi) saya belajar di Vietnam bahwa ukuran sejati seorang laki-laki adalah bagaimana dia menghadapi kesulitan. Saya tidak dapat mengubah apa yang telah saya lakukan. Tetapi saya dapat bertobat. Saya sekarang berusia hampir 66 tahun dan pada saat saya memasuki masa senja kehidupan saya, saya akan berusaha menggunakan sisa waktu yang diberikan Tuhan pada saya untuk bertobat.’’
Di negara lain seperti Korea Selatan dan Jepang, meminta maaf kepada publik adalah etika dasar bagi politikus atau pejabat yang dinilai atau merasa bersalah dalam tugas dan tanggung jawabnya. Seringkali pula, permintaan maaf itu disertai tindakan bunuh diri, seperti mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo Hyun. Roh yang sedang diselidiki dalam kasus korupsi, bunuh diri dengan terjun ke jurang pada 23 Mei 2009.
Pengakuan Terpaksa
Dari ratusan kasus korupsi di Indonesia yang diamati penulis —setidaknya dari laporan media massa— nyaris tidak ada terdakwa yang menyatakan penyesalan dan meminta maaf. Pengamatan itu menyangkut kasus yang melibatkan berbagai kalangan, seperti mantan menteri, mantan gubernur, anggota DPR dan DPRD, bupati dan wali kota, jaksa, polisi, hakim, dan sebagainya. Hampir tak ada di antara mereka yang secara jantan mengakui perbuatan korupsinya. Yang menonjol adalah bantahan terhadap dakwaan dan pernyataan tidak bersalah.
Sedikit perkecualian barangkali Urip Tri Gunawan (UTG), jaksa dari Kejaksaan Agung yang terbukti menerima suap Rp 6 miliar lebih dari Arthalita Suryani dalam kaitan kasus BLBI. Saat diadili pada 2008, Urip menyatakan menyesali perbuatannya. Namun hal itu terucap setelah dia mengajukan hukuman ringan dengan alasan anak-anaknya masih kecil dan istrinya sedang hamil. Ketika dia ditanya hakim apakah dirinya menyesal, jaksa Urip menjawab, ‘’Benar Pak Hakim, saya menyesal.”
Itu pun tidak ada permintaan maaf. Mengherankan memang. Sudah jelas bersalah pun tak mau meminta maaf. Ada yang perlu dikaji, di mana letak permasalahannya. Apakah (lagi-lagi) kesalahan di sekolah kita? ● -
Lembar Baru Kasus Nazar
Lembar Baru Kasus NazarFebri Diansyah, KOORDINATOR DIVISI HUKUM DAN MONITORING PERADILAN ICWSumber : SINDO, 15Februari 2012Belum usai persidangan Nazaruddin dengan dakwaan menerima suap di Pengadilan Tipikor, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan mantan bendahara umum Partai Demokrat ini sebagai tersangka dengan menggunakan UU Pencucian Uang (13/2).Fakta persidangan, kesaksian Yulianis yang mengatakan bahwa dana Permai Group senilai Rp300 miliar digunakan untuk pembelian saham Garuda Indonesia, tampaknya menjadi salah satu dasar penyidikan tersebut. Seberapa signifikan pengaruhnya untuk pemberantasan korupsi? Jika sudut pandangnya hanyalah untuk menjerat orang perorangan seperti Nazaruddin, dengan mudah kita bisa mengatakan, penetapan tersangka ini sia-sia.Akan tetapi, tujuan pemberantasan korupsi tentu saja tidak semata menangkap orang dengan strategi follow the suspect, tapi juga asset recovery melalui strategi follow the money. Apalagi, ini kasus pertama KPK yang menggunakan kewenangannya sebagai penyidik tindak pidana asal (predicate crime) menurut UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang. Kendati terhitung lama sejak UU TPPU ini disahkan pada 5 Oktober 2010,langkah KPK ini patut diapresiasi.
Serangan Ganda
Betapa tidak, terobosan KPK ternyata bukan hanya penggunaan pidana pencucian uang dengan predicate crime korupsi, melainkan sekaligus menerapkan ketentuan tentang pidana korporasi. Sesuatu yang juga belum pernah dilakukan KPK sejak lembaga ini berdiri, bahkan belum pernah diterapkan oleh penegak hukum lainnya dalam kasus korupsi.
KPK menyatakan menggunakan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 UU Pencucian Uang untuk menjerat Nazar terkait pembelian saham PT Garuda Indonesia Airways Indonesia. Jika diurai, kita bisa memahami bahwa KPK sudah masuk pada dua tahapan pencucian uang yaitu placement dan layering. Artinya, pembelian saham Garuda dari kas Permai Group tersebut dianggap sebagai penempatan hasil kekayaan yang diduga berasal dari kejahatan (Pasal 3), dan upaya menyembunyikan dan menyamarkan asal-usul kekayaan tersebut (Pasal 4).
Berdasarkan fakta persidangan, mantan bawahan Nazaruddin atau wakil direktur keuangan Group Permai mengungkapkan pernah disuruh Nazaruddin pada Januari 2011. Saat itu dana Rp300 miliar dialokasikan untuk membeli saham dengan menggunakan nama lima perusahaan lain. Bagaimana konstruksi pencucian uangnya? Tentu tidak bisa dipisahkan dari asal-usul dana yang digunakan untuk membeli saham tersebut.
Dalam kesaksian di bawah sumpah, Yulianis juga mengatakan, selama 2009 dan 2010 Permai Group mencatatkan keuntungan Rp400 miliar dari komitmen fee proyek dan Rp1,2 triliun (masing-masing Rp600 miliar) dari pengerjaan proyek. Sedangkan kelaziman penerimaan fee dari proyek yang “dibantu” Nazaruddin berkisar 13–20%.
Untuk proyek Wisma Atlet saja, yang sekarang sedang berjalan,komitmen fee-nya sebesar 13% dan sisanya dibagi pada sejumlah aktor di Kemenpora dan daerah. Di sinilah salah satu urgensi penggunaan UU Pencucian Uang. Jika KPK hanya menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi, tentu sangatlah sulit menjerat perbuatan menempatkan dana hasil kejahatan untuk pembelian saham atau objek lainnya.
Pidana Korporasi
Selain memperluas wilayah kerja KPK, penggunaan Pasal 6 UU Tipikor juga merupakan catatan pertama sejak pemberantasan korupsi pernah dilakukan, yaitu penerapan pidana korporasi. Di sana dikatakan dalam hal dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personel pengendali korporasi.
Meski demikian, tentu saja tidak mudah membangun konstruksi hukum tersebut hingga membuktikannya di persidangan kelak. Karena itu, menjadi penting bagi kita, akademisi hukum pidana, PPATK, dan masyarakat yang berkomitmen dengan pemberantasan korupsi, untuk mengawal dan membantu KPK menangani skandal besar ini. Bisa diperkirakan, potensi serangan balik terhadap lembaga antikorupsi ini akan menjadi kian besar.
Tidur Nyenyak?
Apakah pengertian korporasi? Mengacu pada Pasal 1 angka 10 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang dan Pasal 1 angka 1 UU 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi, pengertian korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi,baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Pertanyaan berikutnya, siapa saja yang dapat disebut korporasi? Permai Group? Garuda Indonesia? Bagaimana dengan partai politik? Poin terakhir itulah yang menurut saya akan membuat para politisi dan pembesar partai tidak bisa tidur nyenyak.
Jika terbukti ada aliran dana pada partai, konsekuensinya tidak sederhana. Hal ini memang sudah dibantah oleh Partai Demokrat dengan mengatakan, kalaupun ada aliran dana, itu tanggung jawab personal dari pengurus partai. Kita mencatat pernyataan berulang tersebut dengan baik, yang sekaligus mengingatkan kita pada keterangan sejumlah saksi tentang aliran dana ke kongres partai sebesar Rp30 miliar dan USD5 juta yang dikatakan Nazaruddin sebagai dana pemenangan ketua umum Demokrat.
Dari sudut pandang penggunaan pencucian uang, aliran dana tersebut kita bisa mencocokkannya dengan Pasal 5 UU TPPU, yaitu perbuatan menerima, menguasai pemberian, sumbangan,hibah,atau menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari kejahatan. Masih banyak kelebihan yang bisa dimanfaatkan oleh KPK ketika menggabung kan penggunaan UU Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang seperti pembalikan beban pembuktian dan proses yang cepat untuk pemblokiran dan penyitaan. Karena itulah, saya melihat jalan yang jauh lebih panjang ke depan dari satu langkah KPK yang mulai “berani” membuka lembaran baru menggunakan UU Pencucian Uang di kasus Nazaruddin.
●