Category: Uncategorized

  • Menimbang Perlunya Bank Infrastruktur

    Menimbang Perlunya Bank Infrastruktur
    Paul Sutaryono, PENGAMAT PERBANKAN
    Sumber : SINDO, 16Februari 2012
    Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution menyatakan,Indonesia membutuhkan bank infrastruktur karena bank komersial akan mengalami kesulitan untuk menyediakan dana bagi proyek infrastruktur. 
    Sejatinya, sejauh mana perlunya bank infrastruktur? Untuk menangani proyek yang prospeknya kurang menarik bagi bank nasional untuk membiayai atau proyek yang kurang berhasil,biasanya muncul ide pembentukan bank khusus.Masih ingat? Pada Mei 2009 mencuat ide untuk membentuk bank pertanian. Namun, gagasan itu kini tak terdengar lagi.Saat ini muncul gagasan untuk membentuk bank infrastruktur.

    Apakah kredit infrastruktur tidak pernah mengucur? Sesungguhnya, kredit infrastruktur mengucur namun kurang deras.Tengoklah data berikut. Bank Mandiri telah mengucurkan kredit infrastruktur untuk jalan tol senilai Rp9,6 triliun hingga September 2011. Hal ini terdiri dari Rp1,8 triliun berupa pembiayaan bilateral dan Rp7,8 triliun berupa kredit sindikasi.BNI mengalokasikan Rp10 triliun.

    Dari jumlah tersebut, kredit Rp7 triliun telah ditandatangani. Hingga September 2011,BNI telah mengucurkan kredit sindikasi ke PT Kereta Api Indonesia sebesar Rp2,01 triliun. Sementara, BTN menyediakan Rp2 triliun untuk proyek jalan tol. Data itu menegaskan bahwa pendanaan proyek infrastruktur tidak menjadi kendala utama. Lalu di mana akar masalahnya sehingga proyek infrastruktur kurang gereget? Masalah utama antara lain berasal dari kurangnya ketersediaan lahan.

    Untuk itu, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.RUU itu telah disahkan DPR pada 19 Desember 2011. Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum itu meliputi apa saja? Menurut UU tersebut,yang dimaksud pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah antara lain jalan umum,jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api,

    dan fasilitas operasi kereta api; waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; pelabuhan, bandar udara, dan terminal; infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi yang meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak, gas dan panas bumi; pembangkit, transmisi, gardu, jaringan,dan distribusi tenaga listrik, serta jaringan telekomunikasi dan informatika.

    Sangat diharapkan, UU tersebut mampu mengatasi kurangnya ketersediaan lahan itu. Kurangnya ketersediaan lahan telah memberikan kontribusi terciptanya kredit yang sudah menjadi komitmen tetapi belum dicairkan (undisbursed loan).Statistik Perbankan Indonesia, November 2011 yang terbit pada 13 Januari 2012 menunjukkan total kredit (bukan hanya kredit infrastruktur) yang belum dicairkan naik 19,60% dari Rp553,39 triliun per November 2010 menjadi Rp661,87 triliun per November 2011.

    Ternyata, kelompok bank umum swasta nasional (BUSN) devisa menjadi kontributor terbesar yaitu Rp273,95 triliun atau 41,39%; kelompok bank persero Rp176,62 triliun atau 26,68%; kelompok bank campuran Rp89,24 triliun (13,48%); kelompok bank asing Rp106,45 triliun (16,09%); kelompok BPD Rp12,82 triliun (1,94%) dan kelompok BUSN nondevisa Rp2,79 triliun (0,42%).

    Faktor apa saja yang patut dipertimbangkan dalam membentuk bank infrastruktur? Minimal ada tiga hambatan utama. Pertama, dana yang amat besar. Sungguh tidak mudah membentuk bank infrastruktur antara lain karena membutuhkan dana sangat besar. Pembentukan itu memerlukan sekitar Rp30 triliun. Jumlah itu justru akan lebih ampuh untuk membiayai proyek infrastruktur daripada untuk membentuk bank infrastruktur. Kedua, tenor yang panjang.

    Selain itu, dana untuk proyek infrastruktur juga memakan waktu panjang, minimal lima tahun. Oleh karena itu, hanya bank nasional papan atas minimal 14 besar yang mampu menyalurkan kredit infrastruktur. Bank nasional papan menengah dan bawah memiliki preferensi untuk membiayai proyek yang lebih kecil dengan tenor lebih pendek. Ketiga, sumber daya manusia (SDM).

    Akan menjadi siasia ketika membentuk bank infrastruktur tetapi tanpa SDM yang memiliki kompetensi tinggi dalam bidang kredit infrastruktur. Kompetensi ini hanya dimiliki bank nasional papan atas,padahal hal ini mutlak diperlukan. Bagaimana mengatasi hambatan tersebut? Pertama,membentuk sindikasi kredit. Ingat, dulu Indonesia pernah memiliki Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebagai bank yang fokus pada sektor pembangunan.

    Sementara, BNI, Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD), dan BTN masing-masing fokus pada sektor perindustrian,perdagangan, perkebunan, dan perumahan. Untuk itu,akan lebih strategis untuk membentuk sindikasi kredit (loan syndication) yang terdiri dari bank pelat merah dan atau bank nasional papan atas.Sarinya,sindikasi kredit bukan hanya melibatkan bank persero tetapi juga bank swasta nasional. Kedua, menerbitkan obligasi.

    Pemerintah pun bisa menerbitkan obligasi jangka panjang sebagai sumber pendanaan lain yang tidak kalah perkasa. Predikat layak investasi yang disandang Indonesia sungguh akan mendukung penerbitan obligasi semacam ini. Ketiga, menagih kemauan politis pemerintah. Pemerintah harus mampu menjadi komandan yang tegas dalam membangun infrastruktur. Tidak berhenti pada imbauan namun langsung terjun ke lapangan.

    Dengan alternatif solusi demikian, pemerintah lebih efektif dan efisien dalam menuntaskan proyek infrastruktur. Intinya, pemerintah harus berdiri tegak menjadi pandu utama dalam pembangunan vital untuk menciptakan kesempatan kerja lebih luas. Hal ini bermanfaat untuk lebih menipiskan tingkat pengangguran yang kini mencapai 6,80% per Februari 2011.

  • Perubahan Konstitusi

    Perubahan Konstitusi
    Janedjri M Gaffar, SEKRETARIS JENDERAL MAHKAMAH KONSTITUSI RI
    Sumber : SINDO, 16Februari 2012
    Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dan mendasar pada awal reformasi.Perubahan UUD 1945 pada era reformasi memang belum cukup lama dilakukan,namun sudah ada pendapat yang memandang perubahan perlu dilakukan kembali.

    Pendapat tersebut merupakan hal yang wajar karena sebagai hasil karya manusia tentu tidak lepas dari kelemahan atau kekurangan baik yang terjadi karena ketidaksempurnaan manusia itu sendiri maupun sebagai konsekuensi dari sistem yang dipilih. Selain itu, perubahan konstitusi juga menjadi kewajaran karena masyarakat memang senantiasa berkembang.

    Ketika teks konstitusi dan konteksnya tidak lagi mampu mewadahi perkembangan masyarakat, perubahan pun diperlukan. Dari sisi politik, konstitusi merupakan resultan dari berbagai kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi pada saat pembentukan nya. Pada saat berbagai kekuatan itu mengalami perubahan besar, tentu dapat mendorong adanya perubahan konstitusi yang mengatur tatanan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan ini dapat terjadi, baik secara formal maupun melalui putusan hakim dan kebiasaan ketatanegaraan. Perubahan formal adalah perubahan terhadap teks konstitusi dengan prosedur yang diatur di dalam konstitusi itu sendiri.

    Konstitusi Rigid

    Konstitusi sebagai hukum tertinggi (supreme law of the land) tentu diharapkan berlaku dalam jangka waktu panjang dan tidak mudah usang dihadapkan dengan perkembangan masyarakat. Karena itu, mayoritas konstitusi negara di dunia bersifat kaku atau rigid, yaitu tidak mudah diubah. Konstitusi mengatur cara perubahan konstitusi melalui berbagai mekanisme khusus yang berbeda dengan perubahan undang-undang biasa.

    Ketentuan cara perubahan yang lebih sulit dari pembentukan hukum biasa dimaksudkan agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang benar-benar matang, bukan pertimbangan sederhana apalagi hanya karena keinginan atau kepentingan kelompok tertentu. Mekanisme khusus juga dimaksudkan agar dalam proses perubahan konstitusi memberikan ruang dan waktu yang memadai bagi rakyat untuk menyampaikan pandangan dan terlibat dalam diskursus publik.

    Dengan demikian, konstitusi akan benar-benar terwujud sebagai kesepakatan bersama seluruh rakyat, bukan produk elite politik semata. Karena itu, usulan perubahan konstitusi harus dilandasi oleh pemikiran mendasar dan penting. Pemikiran mendasar dimaksudkan bahwa perubahan tersebut dilandasi oleh perubahan mendasar yang terjadi di masyarakat atau perubahan tersebut benar-benar dibutuhkan untuk memperbaharui tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.Perubahan juga harus bersifat penting, artinya tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan selain melalui perubahan secara formal.

    Mekanisme Perubahan

    Salah satu ketentuan yang diubah dalam Perubahan UUD 1945 pada 1999–2002 adalah ketentuan tentang perubahan yang diatur dalam Pasal 37. Perubahan Pasal 37 UUD 1945 membawa konsekuensi sifat rigid UUD 1945 semakin kuat karena syarat persetujuan yang lebih berat serta ada pembatasan terhadap materi perubahan. Ketentuan Pasal 37 UUD 1945 sebelum perubahan hanya mengatur tentang jumlah kuorum dan suara yang dibutuhkan untuk mengubah Undang-Undang Dasar.

    Ditentukan bahwa untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR harus hadir dan putusan harus disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.Ketentuan tersebut cukup mudah karena tidak mengatur tentang mekanisme dan pembatasan perubahan, serta pada akhirnya cukup disetujui oleh 2/3 dari 2/3 anggota MPR yang berarti kurang dari setengah anggota MPR.

    Perubahan Pasal 37 menentukan mekanisme yang lebih rinci, persyaratan yang lebih ketat, serta pembatasan materi perubahan.Mekanisme perubahan diatur tidak hanya melalui sidang MPR untuk mengambil putusan, tapi juga persyaratan pengajuan usul perubahan. Pasal 37 ayat (1) menyatakan usul perubahan pasal-pasal UUD 1945 hanya dapat diagendakan dalam sidang MPR jika diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

    Pengajuan usul itu harus dilakukan secara tertulis dan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Jika dibandingkan dengan ketentuan sebelum perubahan, ketentuan Pasal 37 UUD 1945 pascaperubahan juga mengatur mekanisme pengambilan putusan yang lebih ketat. MPR hanya dapat bersidang untuk membahas dan mengambil putusan terkait perubahan UUD 1945 jika dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.

    Jika sebelum perubahan ditentukan bahwa putusan mengubah UUD 1945 dilakukan dengan persetujuan 2/3 dari anggota yang hadir,Pasal 37 UUD 1945 setelah perubahan mensyaratkan lebih berat yaitu harus disetujui oleh sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR.

    Batasan Perubahan

    Selain mekanisme dan persyaratan yang lebih ketat,UUD 1945 pascaperubahan juga menentukan batasan terhadap perubahan yang dapat dilakukan. Pasal 37 ayat (5) secara tegas bahwa mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.Ketentuan ini mengandung arti bahwa dua prinsip dasar negara tidak dapat diubah yaitu bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik.

    Batasan lain dituangkan dalam kata “pasal-pasal”yang selalu mengikuti kata “perubahan” yang diatur dalam Pasal 37. Kata “pasal-pasal” tersebut lahir berdasarkan kesepakatan bersama para perumus perubahan UUD 1945 yang meyakini bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan dokumen pernyataan kemerdekaan yang melandasi berdirinya negara Indonesia. Karena itu, Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah karena mengubahnya berarti membubarkan negara Indonesia.

    Pemahaman kedudukan dan sifat Pembukaan UUD 1945 dituangkan dalam pasal perubahan dengan menegaskan bahwa usul perubahan dan putusan yang dilakukan sebatas pada “pasal-pasal” dan tidak mencakup Pembukaan.Dengan sendirinya prinsip-prinsip dasar yang terkait tujuan nasional dan dasar negara Pancasila juga tidak dapat diubah.

  • Membubarkan Ormas Anarkistis

    Membubarkan Ormas Anarkistis
    Biyanto, DOSEN IAIN SUNAN AMPEL;
    KETUA MAJELIS DIKDASMEN PW MUHAMMADIYAH JAWA TIMUR
    Sumber : SINDO, 16Februari 2012
    Tuntutan sebagian kelompok masyarakat untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan (ormas) anarkistis harus segera direspons pemerintah.Tuntutan itu jelas ditujukan pada ormas yang selama ini sering terlibat aksi kekerasan dalam kasus-kasus bernuansa agama.

    Front Pembela Islam (FPI) menduduki peringkat pertama ormas yang dituntut untuk dibubarkan karena dianggap sering terlibat aksi kekerasan. Kasus penolakan delegasi FPI oleh masyarakat Kalimantan Tengah (11/2) harus dipahami sebagai wujud dari keinginan membubarkan ormas anarkistis. Beberapa komponen masyarakat di Jakarta juga telah melakukan demo anti- FPI (14/2).

    Sangat mungkin demo anti-FPI akan terus menggelinding di beberapa daerah. Jika ini terjadi, pemerintah harus segera bertindak. Ini karena FPI dengan jaringan yang dimiliki dan ormas pendukungnya sangat mungkin tidak akan tinggal diam. Keinginan pemerintah untuk membubarkan ormas anarkistis pernah mengemuka seiring dengan meningkatnya gejala radikalisme sosial bernuansa agama.

    Salah satu kasus yang sempat menjadi perhatian nasional adalah kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah di Pandeglang, Banten.Kekerasan sosial bernuansa agama juga pernah terjadi di Temanggung dan Pasuruan. Kasus mutakhir adalah kekerasan terhadap kelompok Syiah di Sampang yang juga menjadi atensi nasional. Beberapa kasus ini menunjukkan bahwa masyarakat ternyata belum siap dengan perbedaan paham keagamaan.

    Masyarakat juga begitu mudah terprovokasi untuk melakukan kekerasan. Ironisnya, aparat keamanan yang seharusnya hadir untuk memberikan rasa aman bagi warga terkesan kurang tegas. Secara yuridis pemerintah sejatinya memiliki sandaran hukum untuk menertibkan ormas anarkistis seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Keormasan. Persoalannya, beranikah pemerintah menertibkan atau bahkan membubarkan ormas anarkistis? Jawaban terhadap persoalan ini tentu tidak sederhana karena jika pemerintah salah mengambil langkah, pasti akan dikatakan telah melanggar hak asasi manusia (HAM).

    Wajah Islam Indonesia

    Diakui atau tidak, wajah Islam di Indonesia telah diwarnai perdebatan dan persaingan antara kelompok Islam fundamental dan Islam moderat. Fenomena tersebut memang bukan sesuatu yang baru. Jika dilihat secara historis, pergumulan kelompok Islam fundamental versus Islam moderat telah terjadi sejak 1970-an. Saat itu kelompok Islam moderat melalui tokoh utamanya, Nurcholish Madjid (Cak Nur) terlibat perdebatan dengan kelompok Islam fundamental.

    Kelompok Islam fundamental adalah penentang gagasan Cak Nur tentang sekularisasi, Islam yes partai Islam no, kebebasan berpikir (intellectual freedom), ide tentang kemajuan (the idea of progress), dan pentingnya sikap terbuka (inklusivisme). Perkembangan Islam fundamental sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari krisis yang hampir merata di dunia Islam.

    Krisis tersebut bersifat menyeluruh; sosial-ekonomi, politik, budaya, psikologi, dan spiritual. Situasi krisis multidimensi ini telah menghadirkan semangat baru bagi kelompok Islam fundamental dengan berbagai variannya. Meski bervariasi, jika diamati, dapat dikatakan bahwa umumnya kelompok Islam fundamental selalu menekankan ajaran Islam yang bersifat formal-simbolik.

    Salah satu ciri yang menonjol dari kelompok Islam fundamental ditunjukkan melalui cara berpakaian dan tampilan fisik lainnya. Islam fundamental juga menekankan prinsip kesatuan agama dan negara (al-din wa aldawlah). Fenomena ormas keislaman bercorak radikal juga menunjukkan ada karakteristik polycentrism (banyak pusat). Karakter ini dapat diamati dari banyaknya organisasi keagamaan yang menunjukkan ideologi fundamental seperti FPI, Laskar Jihad, Jama‘ah Islamiyyah,Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Ikhwanul Muslimin.

    Yang menarik, setiap ormas ini secara organisatoris tidak saling berhubungan. Karakter lain yang patut didalami adalah sikap yang militan, gigih, ulet, dan tidak pernah mengenal kata menyerah.Dalam fase tertentu kelompok Islam fundamental ini bahkan membenarkan perjuangan secara fisik (jihad). Dalam perkembangannya, terutama sejak era reformasi, tampak sekali ada upaya dari sebagian kelompok Islam fundamental untuk memperluas wilayah dakwah dengan terjun dalam ranah politik praktis.

    Inilah fenomena yang menarik diamati dari kelompok Islam fundamental karena mereka telah berupaya untuk menyinergikan perjuangan melalui jalur kultural dan politik kekuasaan. Karena telah bercampur dengan kepentingan politik kekuasaan inilah, kelompok Islam fundamental berubah menjadi kian radikal dan reaksioner.

    Alternatif Solusi

    Berkaitan dengan keinginan untuk membubarkan ormas anarkistis, yang terpenting untuk dilakukan adalah jangan sampai pemerintah memberikan kesempatan (window of opportunity) bagi munculnya tindakan anarkistis. Keinginan membubarkan ormas anarkistis akan sia-sia jika pemerintah tidak berusaha untuk meminimalisasi faktor-faktor pemicunya (triggering factors).

    Termasuk dalam kategori faktor pemicu di sini adalah ketidakadilan sosial, ekonomi, dan hukum,tersumbatnya partisipasi politik, tersedianya persenjataan,serta kepentingan elite politik. Selain itu, pemerintah juga harus meminimalkan faktor sosial-budaya,yang berpotensi untuk membentuk karakter seseorang/kelompok menjadi fanatik dan militan.

    Untuk itu, pemerintah perlu melibatkan sebanyak mungkin kelompok masyarakat guna membina umat sehingga memiliki pemahaman keagamaan yang moderat dan terbuka. Peran ini sejatinya dapat dimainkan ormas seperti Muhammadiyah dan NU yang telah teruji menjalankan tugas sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi munkar.

  • Jiwa yang Merajut Nusantara

    Jiwa yang Merajut Nusantara
    Irman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA 
    Sumber : SINDO, 16Februari 2012
    Bertepatan dengan sukuran 50 tahun yang jatuh pada 11 Februari 2012, saya meluncurkan sebuah buku autobiografi sebagai sebuah bentuk keterbukaan kepada masyarakat luas.

    Saya bersyukur buku yang berjudul Jiwa yang Merajut Nusantara tersebut mendapat sambutan hangat. Awalnya saya sama sekali belum memikirkan untuk menulis buku autobiografi. Karena kuatnya dorongan banyak pihak, staf, sahabat, kerabat, dan keluarga, saya menyerah juga untuk menulis buku tersebut. Buku itu mengisahkan banyak hal: tanah kelahiran, budaya masyarakat Minang, pendidikan,latar belakang keluarga, dinamika demokrasi sejak reformasi 1998, kelahiran DPD RI,dan tentu beberapa pemikiran kebangsaan untuk pembangunan.

    Negeri Mukjizat

    Ide penulisan buku ini sebenarnya berangkat dari pengalaman batin saya yang melihat betapa mukjizatnya Indonesia sebagai sebuah bangsa besar yang mampu menyatukan berbagai perbedaan (suku, ras, dan agama). Awal 2000, ketika saya sebagai anggota MPR Utusan Daerah,pada suatu momen resepsi diplomatik memperingati ulang tahun sebuah negara di Timur Tengah, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan seorang diplomat senior.

    Cerita itu sampai sekarang masih terngiang- ngiang di ingatan saya dan membuat saya terdorong untuk menuangkan pengalaman batin tersebut ke dalam buku itu. Diplomat senior itu bercerita bahwa di belahan bumi yang nun jauh di sana, di atas satu hamparan tanah yang luas, hidup satu suku bangsa yang berjumlah ratusan juta jiwa,bahkan mereka berbicara dalam bahasa yang sama dan penganut agama Samawi.

    Namun, mereka sering terlibat konflik dan perang.Akibatnya apa? Mereka terpisah dan tercerai berai menjadi puluhan negara.Itulah tanah Arab,yang sekarang terbelah menjadi banyak negara. Hal ini berbeda dengan Indonesia, yang terdiri lebih ribuan pulau, ratusan suku bangsa, dan bahasa dengan latar belakang adat dan budaya serta agama yang berbeda. Tetapi mampu bersatu dalam semangat kebersatuan yang utuh.

    Oleh diplomat senior itu, Indonesia dijuluki sebagai sebuah “Negeri Mukjizat”(the miracle nation). Saya teringat juga saat musim semi pada 1988 sewaktu masih menjadi mahasiswa S-2 di Amerika Serikat dan berkesempatan mengunjungi negara-negara Eropa Timur, yang dipisahkan oleh Tembok Berlin. Saat itu Eropa Timur sedang dilanda persoalan besar yakni ketimpangan, krisis ekonomi, dan krisis politik, yang melahirkan kebijakan glasnost (keterbukaan politik) dan perestroika(restrukturisasi ekonomi) serta perubahan dan demokratisasi.

    Kenyataannya, kebijakan itulah yang menyebabkan runtuhnya imperium Uni Soviet yang terpecahbelah menjadi 16 negara baru. Disusul pula bubarnya negara Yugoslavia yang menjadi enam negara baru,atau yang dikenal dengan Balkanisasi. Sebenarnya bangsa kita nyaris punya pengalaman yang hampir sama akibat ketidakadilan, ketimpangan antarwilayah, kesenjangan ekonomi yang melahirkan gerakan reformasi 1998.

    Namun, kita patut bersyukur tidak sampai menggoyahkan sendi-sendi dan pilar kehidupan bangsa dan negara. Inilah yang merupakan sebuah kemukjizatan di mana perbedaan dan keberagaman yang bagi bangsa lain menjadi sumber perpecahan, ternyata bagi bangsa kita adalah perekat persatuan.

    Ikatan Kebangsaan

    Kenapa Indonesia sebagai bangsa yang beragam multietnis dan agama bisa bertahan dan kokoh dari badai kehancuran seperti dua cerita pengalaman batin saya di atas? Ternyata kuncinya ada pada ikatan kebangsaan yang kuat. Dengan segala keragamannya, Indonesia memiliki modal spiritual, kultural, sosial, dan kesejarahan untuk bisa bersatu seperti dilukiskan secara tepat dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

    Sejarah bangsa kita mengajarkan, keberagaman tidak mesti mengarah pada perpecahan dan permusuhan,tapi sebaliknya, bisa melahirkan kekuatan persatuan dan peradaban. Sejauh kita masih berpegang teguh pada semangat dasar dan karakter yang menghidupi bangsa ini yakni “gotong-royong”. Seperti dikemukakan oleh Bung Karno, “Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama.

    Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Dengan kata lain, gotongroyong memijarkan semangat kebersamaan,kerja sama, dan silaturahmi, yang tidak mengenal sekat-sekat perbedaan pandangan politik, ideologi, maupun agama,serta tidak pula dibatasi oleh keberagaman latar belakang suku, adat, dan budaya maupun perbedaan generasi. Semangat “gotongroyong” juga berarti semangat menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok, suku, agama,maupun aliran politik.

    Tantangan

    Meskipun kita adalah negeri mukjizat, kita tentu tidak bisa lepas dari banyaknya persoalan. Negara-bangsa bukan sekadar imajinasi, melainkan harus hadir dalam kenyataan hidup setiap anak bangsa.Kita tentu apresiasi, selama satu dekade setelah reformasi, sudah cukup banyak kemajuan yang dicapai.Kendati demikian, kita tentu tidak boleh menutup mata atas berbagai persoalan serius yang sedang dihadapi bangsa kita dewasa ini.

    Dalam konteks itulah, ke depan kita memerlukan penguatan demokrasi agar demokrasi yang sekarang sedang dibangun tidak terjebak hanya pada aspek-aspek prosedural. Kita butuh demokrasi yang substantif yang fokusnya adalah kesejahteraan, keadilan, dan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Melalui demokrasi yang substantif inilah, Nusantara yang luas ini bisa kita rajut dalam bingkai kebersamaan. Inilah yang menjadi impian saya untuk negeri mukjizat ini seperti yang tertuang dalam buku autobiografi Jiwa yang Merajut Nusantara.

  • MK dan Parasit Demagogisme

    MK dan Parasit Demagogisme
    Siti Marwiyah, DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DR SOETOMO SURABAYA
    Sumber : SUARA KARYA, 16Februari 2012
    Budayawan Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia mengingatkan, salah satu penyakit mentalitas orang Indonesia adalah munafik. Pemujaan budaya ambiguitas itu, kini paling menyolok dilakukan oleh komunitas politisi yang sibuk menggelar akrobat politik. Mereka berambisi mendapatkan kekayaan serta kedudukan dengan cara instan dan melawan norma yuridis. Mereka bukan saja menghalalkan penipuan dan pendustaan (pembohongan) publik, tetapi juga pintar menggunakan rumus ‘simbiosis mutualisme’ dan rekayasa hukum secara sistemik.
    Mereka berani menerima dana ilegal itu sebagai imbas dari mental hipokrit yang disembah-sembah. Tanpa keberdayaan dan keberjayaan mentalitas demagogisme ini, tidak akan mungkin mereka berani dan tega ‘menjarah’ hak-hak masyarakat. Dan, keberaniannya bisa merajalela, jika tetap ditoleransi atau diberi kelonggaran untuk memproduk kejahatan elitenya itu, khususnya oleh oknum pilar-pilar peradilan. Dukungan berbentuk sindikasi dari oknum ini menguatkan asumsi selama ini, bahwa mafia masih menjadi kekuatan tersendiri yang ikut mewarnai dan menentukan perjalanan bangsa.
    Budaya hipokrit yang digerakkan oleh mesin politik dengan dukungan oknum pilar peradilan akan terus menggelinding dari generasi ke generasi atau menjadi semacam parasit di tubuh institusi peradilan maupun politik, selama tidak ada keberanian dari elemen bangsa ini untuk mereformasi atau memerdekakannya dari cengkeraman virus kemunafikannya. Parasit demagogisme (pemujaan ketidakjujuran) ini pun dapat mengancam dan bahkan menghambat cita-cita terkonstruksinya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
    Sangat sering ditemukan pilar-pilar institusi peradilan, misalnya, yang belum berkinerja maksimal untuk melawan segala bentuk penyakit yang bersumber dari sekumpulan elitisme kriminal. Mereka malah lebih senang menjatuhkan opsi untuk menjadi ‘instrumen’ yang memilari berdirinya dan menguatnya sindikasi kriminalitas. Mereka yang semestinya menjadi kekuatan strategis untuk melawan segala bentuk ‘penjarahan’ kekayaan negara yang dilakukan sekelompok elite, tergelincir menjadi instrumen neokleptokratisme (maling gaya baru) atau bermodus operandi modern dalam melakukan dan memperbanyak pencurian kekayaan negara dan rakyat.
    Kalau sudah begitu, maka beban Mahkamah Konstitusi (MK) yang mendapatkan peran mengawal konstitusi, menjadi semakin berat dan kompleks. Karena, kekuatan yang berdiri, mengelaborasi, atau mengagregasikan neokleptokratisme merupakan kekuatan intelek, berkedudukan mapan, punya pengaruh besar, atau memiliki akses besar di berbagai lini strategis, yang bukan tidak mungkin bisa ‘menyentuh’ ke dalam pilar-pilar MK.
    Yang terjadi, di antara kita terjebak menciptakan atmosfer euforia dan arogansi untuk membela para pendusta (demagogis) dan penyelingkuh kekuasaan. Mereka pun berupaya menghancurkan dan melumpuhkan setiap gerakan publik dan moral yang berusaha menegakkan keadilan bernyawakan keadaban dan egalitarian.
    Kita gampang membaca fenomena, ketika seseorang diberi kepercayaan mengendarai atau menahkodai suatu lembaga kenegaraan prestius, bukannya amanat publik berbasis keadilan, kerakyatan, dan egalitarian, serta akuntabilitas yang ditegakkan, tetapi kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan partai. Kepentingan inilah yang membuatnya rela dan berani mengadopsi pola neokleptokratisme dengan cara memarjinalkan amanat jabatan atau mematikan berfungsinya kode etik profesinya, di samping menolak memerdekakan dirinya dari jebakan kolaborasi kriminalisi politik-yuridis.
    Ketika pilar peradilan ikut terjerumus di dalamnya, maka bukan hanya wajah hukum yang menjadi buram, tetapi wajah demokrasi pun ikut tercabik-cabik. Pilar peradilan ini bisa berasal dari polisi, jaksa, hakim, panitera, pegawai/tenaga administrasi, dan lainnya, yang memanfaatkan tugas dan kewajibannya untuk disalahgunakan.
    Kasus terbongkarnya pemalsuan surat putusan MK, beberapa waktu lalu juga dapat dibaca sebagai bentuk praktik neokleptokratisme, karena cara ini dilakukan demi terjadinya atau terwujudnya konvergensi kepentingan politik dan ekonomi, serta kemungkinan kepentingan lainnya yang belum terbongkar. Kasus ini juga bisa dijadikan sebagai indikator, bahwa kekuatan di balik neokleptokratisme sangat terorganisir dan kuat, sehingga membuat kasusnya hingga sekarang belum jelas.
    Bagaimanapun kehadiran MK sangat berperan dalam pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini dimungkinkan oleh wewenang MK. Selain itu, didukung dengan keberadaan hakim MK yang harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
    Dengan demikian MK melalui hakim konstitusi sangat berperan dalam upaya menegakkan prinsip-prisip negara hukum di Indonesia. Upaya MK ini, idealnya, dijadikan sebagai sumber keteladanan bagi Polri kalau dirinya pun mampu menjadi pilar negara hukum yang baik dan profesional, yang salah satunya bisa ditunjukkan dengan mengonstruksi dan mengimplementasikan sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang baik dan benar.
    Ketika yang dihadapi oleh MK semakin besar atau penyakit yang mengujinya bermacam-macam dan dahsyat, sementara dengan tantangan atau ujian ini, MK mampu menjawab dengan kinerja berbasis integritas moral, independensi, dan nalar cerdasnya, seperti yang selama ini sudah ditunjukkannya, maka MK bukan hanya menjadi institusi peradilan yang memberikan kontribusi terhadap citra jagad hukum, tetapi juga memperlicin jalan bagi penguatan demokrasi dan perlindungan HAM, kini dan di masa mendatang.
  • Menjadi Anggota DPR, Ngantre!

    Menjadi Anggota DPR, Ngantre!
    Mimi Raja Piliang, PENGAMAT SOSIAL EKONOMI DAN POLITIK
    Sumber : SUARA KARYA, 16Februari 2012
    Pada suatu kesempatan dalam masa jabatannya yang pendek (23 Mei 1998 – 20 Oktober 1999) sebagai Menteri Koperasi dan UKM, Adi Sasono setengah bergurau mengungkapkan kekecewaannya pada era kepemimpinan mantan Presiden Soeharto. Menurut menteri era Presiden BJ Habibie ini, waktu itu susah sekali untuk menjadi anggota DPR RI. Waktu itu di Golkar mau menjadi calon anggota DPR harus masuk antrean panjang sementara politikus tua umumnya ingin bertengger terus di paling depan karena kekuasaannya.
    Meskipun kemudian lolos di partai, masih belum tentu bisa dinyatakan sebagai calon anggota DPR-RI, karena masih harus mengikuti penyaringan khusus (screening) yang dibentuk oleh Presiden Suharto (Pak Harto). Terakhir, oleh Pak Harto sendiri semua calon dari Golkar diteliti satu persatu, ditanyakan anak siapa, dari lingkungan yang bagaimana. Pokoknya, menurut Adi Sasono untuk menjadi anggota DPR-RI di zaman Pak Harto sulitnya minta ampun.
    Pengalaman selama Orde Baru inilah salah satunya yang mendorong banyak orang ingin mendirikan partai sendiri begitu Orde Baru tumbang dan berganti dengan Era Reformasi. Kebanyakan yang menjadi pelopor partai baru itu juga berasal dari orang-orang Golkar sendiri. Partai tumbuh bagaikan cendewan di musim hujan, dan Adi Sasono sendiri mendirikan Partai Merdeka. Bahkan dia mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden pada 1999. Namun, suara yang diperolehnya dalam pemilu terlalu kecil dan akhirnya tidak lulus electoral threshold (pemilihan ambang). Partai Merdeka pun tamat bersama banyak partai gurem lainnya ketika itu.
    Golkar kemudian berubah menjadi Partai Golkar (PG) dipimpin oleh Ir Akbar Tandjung. Walau dengan susah payah PG mampu bertahan dan menjadi pemenang kedua setelah PDI Perjuangan pada pemilu 1999. Saat itu sedang terjadi euforia reformasi dan banyak pihak meniupkan rasa permusuhan pada TNI dan PG. Bahkan, ada juga tokoh yang sempat dijuluki sebagai Bapak Reformasi, berusaha mencari popularitas dengan mengeksploitasi rasa benci kepada Presiden Soeharto.
    Kondisi ini, mendorong petinggi PG merapat ke Poros Tengah yang dipimpin Amin Rais dari Partai PAN, dan memilih Abdurrachman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden menggantikan BJ Habibie.
    Dalam perjalanan bangsa ini Gus Dur pun pada akhirnya dilengserkan dan digantikan oleh Megawati dengan Wakil Presiden Hamzah Haz oleh Poros Tengah yang menjadi kekuatan dominan di MPR-RI ketika itu. Selanjutnya, sejarah politik Akbar Tandjung sepertinya stagnan, diawali dengan mundurnya HM Jusuf Kalla (JK) dari arena konvensi Penyaringan Calon Presiden dari Partai Golkar. Setelah keduanya lolos dan menjadi Presiden dan Wapres pada 1999 – 2004, JK pun berhasil merebut kursi ketua umum PG. Sementara, capres Partai Golkar Wiranto yang gagal terpilih menjadi presiden, dalam perjalanannya juga mendirikan Partai Hanura, sebagaimana calon capres Partai Golkar lainnya, Prabowo Subianto yang mendirikan Partai Gerindra.
    Dari sedikit kisah ini, saya ingin mengungkapkan bahwa bagaimana pun dalam perjalanan dan perkembangan politik di Indonesia, faksi-faksi di tubuh PG yang besar dan terkader sampai ke desa-desa selama lebih kurang 32 tahun kekuasaan Orde Baru, mereka juga yang banyak berkiprah dalam kancah perkembangan politik di Era Reformasi ini. Kecuali PDI-Perjuangan, hampir semua partai yang ada saat ini dihuni orang-orang Golkar atau kader Golkar.
    Banyak juga di antara mereka itu tadinya adalah orang-orang yang sudah tak kuat lagi ngantre di barisan panjang Partai Golkar disebabkan oleh karena masih banyaknya tokoh tua ingin terus menjadi anggota DPR-RI sampai 2 – 3 bahkan 4 priode. Bahkan ada yang bercita-cita,jika dia menemui ajalnya, dia ingin meninggal saat masih menjadi anggota DPR-RI.
    Tetapi, benarkan semua kader PG yang kemudian besar dengan bendera partai lain itu mampu mewujudkan cita-cita luhur bangsa, yaitu bangsa yang makmur sejahtera serta di ridhoi Tuhan Yang Maha Esa?
    Kelihatannya, kesejahteraan bangsa ini masih jauh dari harapan. Malahan, dari waktu ke waktu kekuatan bangsa ini terus merosot. Simak saja, berapa besaran utang luar negeri kita sekarang, tak kurang dari Rp 1.937 triliun, meningkat sebesar Rp705 Triliun dari masa Megawati sebesar Rp 1.232 triliun (pada 2003). Ironisnya, hasil mineral dan tambang, sebagian besar sudah terikat untuk diekspor. Padahal, dalam negeri sangat membutuhkannya. Semua ini terjadi, karena pemerintahan yang dikembangkan sejak awal reformasi memang cenderung lebih liberal dari negara kapitalis sekalipun, menyebabkan negeri ini sangat tergantung pada asing.
    Cita-cita luhur pendiri bangsa, Soekarno-Hatta yang ingin agar Indonesia berjaya dan dipandang sebagai negara besar, rasanya makin jauh panggang dari api. Apa mungkin pemerintah mendatang setidaknya bisa melakukan koreksi dalam mengelola kekayaan sumber daya alam seperti sumber migas dan tambang yang diyakini bisa mengembalikan cita-cita bangsa ini ke relnya, hingga masyarakat bangsa bisa menikmati kekayaan yang terkandung dalam perut bumi negeri ini.
    Ada benarnya juga tak sembarang orang bisa menjadi anggota Dewan Yang Terhormat (DPR), seperti di era Orde Baru. Hingga hanya orang-orang pilihan saja yang bisa menduduki kursi yang terhormat itu, hingga sepanjang Orde Baru tak terdengar ada anggota DPR-RI yang berurusan dengan aparat penegak hukum karena korupsi. Dan perlu dipertanyakan juga niat orang-orang yang tadinya berada di antrean panjang di Golkar, lalu mendirikan partai baru dan berhasil menjadi anggota DPR-RI, menteri atau bahkan penguasa di negeri ini.
    Hal yang terpenting menurut saya, dalam pemilu 2014 mendatang, sebaiknya setiap orang benar-benar menggunakan suaranya dengan kembali mengingat cita-cita luhur pendiri bangsa. Lepaskan pengaruh eforia yang berlebihan, apalagi orang yang tadinya dikira hebat dan mampu mewujudkan cita-cita bangsa, namun tak lebih sebagai pendongeng semata!
  • Jokowi untuk DKI-1?

    Jokowi untuk DKI-1?
    Joko Riyanto, KOORDINATOR RISET PUSAT KAJIAN DAN PENELITIAN KEBANGSAAN
    (PUSKALITBA) SOLO
    Sumber : SINAR HARAPAN, 15Februari 2012
    Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta akan diselenggarakan Juli 2012 mendatang. Namun demikian, sudah banyak calon yang muncul dan dimunculkan, baik dari parpol maupun independen.
    Salah satu calon gubernur (cagub) DKI Jakarta yang santer dibicarakan adalah Joko Widodo (Jokowi) yang saat ini menjadi Wali Kota Solo untuk periode kedua.
    Jokowi juga direkomendasikan lembaga survei Cyrus Network untuk memimpin DKI-1.
    Dalam survei yang mereka lakukan, Jokowi memperoleh nilai tertinggi untuk dimensi kepemimpinan, intelektualitas, political skills, political communication skills, emotional stability, leadership style, dan physical appearance. Jokowi mengungguli tokoh lain, di antaranya Faisal Basri, Fadel Muhammad, Sandiaga Uno, Chairul Tanjung, bahkan Gubernur DKI saat ini, Fauzi Bowo.
    Publik DKI Jakarta di tingkat akar rumput pun sudah banyak menyatakan dukungan terhadap Jokowi untuk menjadi pemimpin. Jokowi untuk DKI-1 memang patut dipertimbangkan.
    Di media, Jokowi menyatakan bahwa menjadi Gubernur DKI Jakarta sangat menantang karena Ibu Kota menjadi barometer Indonesia secara nasional. Bila Jakarta bagus dalam tata kelola pemerintahan dan pembangunan, maka wilayah ini akan menjadi cerminan untuk daerah lainnya.
    Jokowi memang layak menjadi figur ideal untuk memimpin DKI Jakarta. Hal ini karena Jokowi memiliki banyak prestasi dan jiwa kepemimpinan.
    Karena keberhasilannya memimpin Solo, Jokowi meraih banyak penghargaan, di antaranya oleh majalah Tempo dipilih sebagai salah satu tokoh 2008 dari 10 peraih penghargaan bergengsi itu. Pada 2010, dia menerima penghargaan Bung Hatta Anticorruption Award (BHAA).
    Pada 20ll, harian Republika juga menganugerahkan tujuh tokoh perubahan terbaik dan Jokowi salah satu yang terpilih. Pada 2011, dia juga meraih UNS Award di bidang Pengelolaan Pemerintahan dan Pelestari Budaya karena dianggap sukses mengembangkan Kota Solo tanpa meninggalkan budaya.
    Dan, yang tak kalah pentingnya, tahun ini Jokowi mendapat penghargaan dari Menteri Dalam Negeri sebagai Wali Kota Terbaik di Indonesia.
    Di bawah kepemimpinannya, Kota Solo mengalami perubahan yang pesat. Dengan semboyan “Solo: The Spirit of Java”, dia mampu memberikan pelayanan yang baik. Jokowi juga berhasil menata 5.817 pedagang kaki lima (PKL) tanpa ada unjuk rasa. Pedagang diberi kios dengan membayar retribusi Rp 3.000 per hari. Bagi Jokowi, PKL merupakan potensi yang tidak perlu disingkirkan.
    Selain itu, Jokowi dinilai berhasil melakukan reformasi birokrasi. Sejak awal dia berupaya memperbaiki, mengubah, dan membenahi sistem. Menyangkut fasilitas pelayanan Asuransi Kesehatan untuk Keluarga Miskin (Askeskin), pada Januari 2008 Jokowi meluncurkan program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Solo (PKMS).
    Dengan program tersebut, setiap warga Solo di luar pemegang Askeskin, Askes, dan asuransi kesehatan lain bisa mendapat kartu PKMS serta memperoleh layanan kesehatan dengan biaya dari APBD.
    Hal yang luar biasa adalah seluruh proyek-proyek pemerintah di Kota Solo juga diumumkan secara terbuka sehingga masyarakat dapat berpartisipasi penuh untuk mengawasi hingga di tingkat kelurahan.
    Artinya, partisipasi publik menjadi bagian yang menentukan dalam pelaksanaan pembangunan. Hal yang lebih spektakuler adalah yang selama 20 tahun terakhir ini, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang hanya menerapkan sistem copy-paste dari anggaran sebelumnya, kini tidak dilakukan lagi.
    Ini karena semua penyusunan APBD sepenuhnya berbasis kepada kepentingan rakyat, artinya inisiatif pemerintah daerah untuk membuat proyek-proyek selalu diselaraskan dengan kepentingan dan kemauan masyarakat dalam setiap tahun anggaran.
    Yang cukup menghebohkan publik di Tanah Air, Jokowi menolak mengganti mobil dinas dengan mobil baru berharga ratusan juta rupiah. Namun, dia tergiur oleh mobil hasil karya siswa SMK Negeri 2 dan SMK warga Surakarta. Mobil dengan merek Kiat Esemka kini menjadi tunggangan baru sang wali kota. Sikap Jokowi patut ditiru.
    Dia melawan arus utama ketika begitu banyak pejabat di Jakarta dan kota lain hidup dengan semangat hedonisme. Mereka ramai-ramai menguras APBN atau APBD untuk membeli mobil dinas berharga ratusan juta rupiah.
    Perubahan Nyata
    Jokowi telah menunjukkan hasil perubahan yang nyata dan pasti terhadap kemajuan dan kemakmuran Kota Solo. Jokowi juga memberikan keteladanan bagaimana menjadi seorang pemimpin. Hemat saya, Jokowi memiliki tipologi kepemimpinan transformasional (transformational leadership).
    Menurut Kristiadi (2004), situasi transisional menuntut peran pemimpin yang efektif karena perubahan yang terjadi bukan dalam arti change semata-mata, melainkan juga dalam pengertian transform.
    Artinya, apa yang terjadi bukan sekadar perubahan bentuk, melainkan juga perubahan substansi yang menyangkut nilai, hakikat, dan karakter kehidupan masyarakat maupun kehidupan birokrasi.
    Ibarat kata, modal sosial Jokowi lumayan harum dan mendapat apresiasi tinggi. Jokowi telah memperlihatkan diri sebagai pribadi yang memiliki sikap diri, kemampuan manajerial, dan visi yang baik dalam pengelolaan daerah. Dengan modal jujur, sederhana, tegas, cerdas, visioner-transformatif, punya rekam jejak baik dan pro rakyat, Jokowi berpeluang besar menduduki kursi DKI-1.
    Dengan modal kepemimpinan itu, Jokowi harus mampu meyakinkan publik DKI Jakarta bahwa segala masalah berat (banjir, macet, transportasi, polusi, PKL, tata ruang, dll) bisa teratasi dan sanggup melakukan perubahan signifikan.
    Mengutip pendapat budayawan Arswendo Atmowiloto, permasalahan DKI Jakarta jelas, ahli-ahlinya lebih dari cukup, dana bukan masalah, tinggal bagaimana mengoordinasi, mempertanggungjawabkan secara transparan, dan memberi prioritas, serta yang penting menekuninya secara profesional.
    Untuk itu, Jokowi dengan segenap prestasi dan keberhasilan membangun Solo perlu disosialisasikan dan dikomunikasikan dengan segenap elemen publik DKI Jakarta, supaya tumbuh dukungan dan keyakinan bahwa Jokowi figur ideal cagub DKI.
    Sekarang bagaimana publik DKI Jakarta, lembaga survei, dan parpol berjuang mendukung Jokowi untuk DKI-1. Secara karier politik, jika sukses dengan jabatan Gubernur DKI, sangat berpeluang untuk menjadi RI-1 (presiden) sebagaimana dialami Wali Kota Teheran Mahmud Ah-madinejad, Wali Kota Taipei Chen Shui-bian, dan Wali Kota Istanbul Recep Tayyip Erdogan yang menjadi presiden. ●
  • Menebak Anas Urbaningrum

    Menebak Anas Urbaningrum
    Andriadi Achmad, MAHASISWA PASCASARJANA ILMU POLITIK FISIP UI
    Sumber : REPUBLIKA, 15Februari 2012
    Anas Urbaningrum sebagai ketua umum Partai Demokrat (PD) se dang dalam po sisi tidak aman. Kasus Wisma Atlet yang menimpa mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin pada akhirnya menyerempet nama Anas. Tak bisa terhindarkan posisi Anas Urbaningrum sedang dalam penantian terburuk.
    Kecemerlangan karier politik Anas Urbaningrum mengagumkan banyak kalangan. Dalam usia yang masih relatif muda, ia terpilih sebagai ketua umum partai terbesar dan pemenang pemilu tahun 2009. Dengan demikian, banyak isu berkembang dan prediksi Anas Urbaningrum pada Pemilihan Presiden 2014 akan digadang sebagai calon presiden atau wakil presiden dari Partai Demokrat.
    Melihat sosok dan pembawaannya yang baik saat berkomunikasi maupun dari sisi intelektualnya, Anas Urbaningrum tidak diragukan lagi. Sejak menduduki bangku kuliah, dari segi karier dia pernah menjadi ketua umum PB HMI, Tim Sembilan verifikasi parpol, anggota KPU, dan ketua umum PD pada usia relatif muda (40 tahun). Sedangkan dari sisi intelektual, Anas Urbaningrum tergolong intelektual profertik yang telah menghasilkan beberapa karya ilmiah, baik berupa buku maupun tulisan, di berbagai media massa nasional.
    Pada awalnya, Anas Urbaningrum diprediksi merupakan sosok pemimpin masa depan Indonesia pascareformasi sebagaimana kita tahu bahwa tokoh-tokoh nonmiliter mulai bermunculan dalam gelanggang politik Indonesia sebagai calon pemimpin bangsa ke depan. Tidak hanya itu, isu pe mimpin muda menggelinding secara perlahan dan memberikan isyarat secara tidak langsung bahwa sosok Anas Urbaningrum adalah salah satu tokoh muda bangsa Indonesia yang berpeluang menjadi pemimpin bangsa.
    Namun, bayangan tak seindah realitas di mana keterkejutan berbagai kalangan ketika Anas Urbaningrum disebut-sebut terlibat dalam berbagai proyek Wisma Atlet. Dengan demikian, beberapa waktu belakangan, terwarta dalam pelbagai headline media massa cetak maupun audiovisual perihal keterlibatan Anas dalam kasus korupsi Wisma Atlet. Dalam hal ini, Anas Urbaningrum masih terselamatkan sebab KPK belum menyatakan ia sebagai tersangka.
    Masa depan PD
    PD merupakan partai reformasi yang kemunculannya pada Pemilu 2004, dengan mengusung ikon Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mampu melesat ke posisi enam besar serta menghantarkan SBY menuju titik tertinggi pemerintahan pada 2004. Fenomena ini menjadikan posisi PD sebagai partai pemerintah yang selama ini hanya distempelkan pada Partai Golkar.
    Begitu juga pada Pemilu 2009, PD mampu merebut posisi pemenang pemilu dengan perolehan suara yang meroket tajam serta kembali mengangkat SBY sebagai presiden pada periode kedua.
    Kepercayaan diri dan kebesaran PD tidak begitu saja bisa terhindarkan dari konflik internal.
    Keretakan di tubuh PD mulai muncul yaitu sejak regenerasi ketua umum PD pada 2005. Kegagalan Ventje Rumekeng menjadi ketua umum PD dan terpilihnya Hadi Utomo (adik ipar SBY), ditunjukkan dengan pengunduran Ventje dari PD yang kemudian mendirikan Partai Barisan Nasional (Barnas). Begitu juga, saat pemilihan ketua umum PD pada 2010. Kekalahan Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie dalam pemilihan ketua umum, sebenar nya menjadi catatan tersendiri dan melahirkan perselisihan antarkubu di PD.
    Kemudian, beberapa waktu terakhir, PD diguncang gempa korupsi dengan tersangka mantan bendahara umum PD Muhammad Nazaruddin. Tak hanya itu, isu keterlibatan beberapa petinggi PD dan tim sukses SBY dalam Pilpres 2009 dilaporkan oleh LSM Bendera penerima aliran dana bailout Bank Century dengan kerugian negara sebesar Rp 6,7 triliun.
    Keterlibatan kader-kader PD dalam korupsi menimbulkan sebuah pertanyaan menarik bagaimana nasib PD ke depan? Hasil survei LSI terakhir menunjukkan PD terjungkal dari posisi 20 persen menjadi 14 persen. Apakah ini suatu sinyal dini bahwa pada Pemilu 2014 PD tidak lagi menjadi primadona? Adalah suatu keniscayaan kerja keras PD untuk mempertahankan posisi yang telah diraih sejak Pemilu 2004.
    Belum lagi pesona SBY pada 2014 tidak lagi merona sebab SBY tidak bisa dicalonkan kembali. Dengan demikian, PD harus memunculkan tokoh karismatik yang bisa diunggulkan untuk menarik massa pada Pemilu 2014. Sebenarnya, sosok Anas Urbaningrum bisa dijadikan tokoh untuk menggantikan SBY dilihat dari penampilan dan gaya bicaranya yang sangat menyerupai kepiawaian SBY.
    Isu Pencopotan
    Pertemuan anggota Dewan Pembina PD pada 23 Januari 2012 di kediaman SBY diisukan membahas perihal penggantian ketua umum PD. Beberapa nama menggelinding sebagai calon pengganti Anas Urbaningrum, yaitu Soekarwo, Andi Mallarangeng, Joko Suyanto, dan Marzuki Alie. Dilihat dari peluang yang bisa meredam keretakan internal PD, posisi Soekarwo dan Djoko Suyanto sebagai calon terkuat. Andi Mallarangeng dan 
    Marzuki Alie adalah rival Anas Urbaningrum saat perebutan ketua umum PD.
    Terlepas dari isu pencopotan, Anas Urbaningrum mengumpulkan anggota DPP PD untuk konsolidasi internal sehingga isu pencopotan dirinya sudah mulai hilang dari peredaran. Sebenarnya, bola panas yang dilontarkan Dewan Pembina perihal pencopotan Anas bisa saja menjadi redam jika SBY menghendakinya karena keputusan PD berada di tangan SBY.
    Ada dua alternatif besar pilihan SBY dalam memberikan keputusan mengenai posisi Anas Urbaningrum. Pertama, SBY menyelamatkan Anas. Posisi Anas Urbaningrum dalam kasus aliran dana Wisma Atlet bisa saja tidak terbukti jika SBY dan tim silumannya merekayasa bahwa Anas tidak terlibat dalam kasus tersebut. Tetapi, kelemahannya di sini, SBY semakin disudutkan dan dianggap presiden yang tidak memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi.
    Kedua, SBY merestui pencopotan Anas Urbaningrum dari ketua umum PD. Ketidakberpihakan SBY dan merestui pencopotan Anas Urbaningrum adalah langkah berani SBY untuk membersihkan dan mencitrakan dirinya tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi.
    Tetapi kelihatannya, SBY masih menunggu sikap KPK. Dengan demikian, dengan penetapan KPK tersebut, SBY seolah tidak terlihat berinisiatif mencopot Anas. Karena aturan partai mengharuskan pengurusnya mengundurkan diri jika terlibat kasus pidana.
    Jika Anas Urbaningrum dicopot dari ketua umum PD dan menjadi tersangka, besar kemungkinan dia akan membuka semua kedok di dalam tubuh PD. Hal itu bisa saja berbalik dan membahayakan posisi SBY. Dalam hal ini, SBY cenderung hati-hati dalam memutuskan untuk menyelamatkan atau merestui pencopotan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum PD.  
  • Feminisasi Korupsi

    Feminisasi Korupsi
    Muhammad Afifuddin, MAHASISWA PASCASARJANA SOSIOLOGI
    FISIPOL UNIVERSITAS GADJAH MADA
    Sumber : REPUBLIKA, 15Februari 2012
    Jika dicermati dengan teliti kasus demi kasus korupsi yang sedang diusut KPK belakangan ini, kita akan menemukan satu benang merah yang menghubungkannya, yakni keterlibatan perempuan sebagai aktor penting dalam jejaring mafia perampok uang rakyat. Dari yang telah ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa/tervonis, ada nama seperti Imas Diansari, hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial PN Bandung yang tertangkap basah menerima suap Rp 200 juta.
    Selain itu, dua anggota DPR Ni Luh Mariani Tirtasari dan Engelina Pattiasina yang tersangkut kasus cek pelawat, Nunun Nurbaetie dan Miranda S Goeltom (kasus suap pemilihan Deputi Gubernur BI), serta Wa Ode Nurhayati (mafia banggar DPR). Sosok lainnya adalah Mindo Rosalina Manulang, Neneng Sri Wahyuni, hingga yang terbaru Angelina Sondakh dalam kasus suap Wisma Atlet.
    Sedangkan dalam kasus suap Kemenakertrans, Dhanarwati malah sudah divonis dua tahun enam bulan. Bahkan, kalau mundur cukup jauh ke belakang, jangan kita lupakan `ratu sel mewah’ Artalyta Suryani (Ayin) yang juga resmi divonis sebagai koruptor. Sementara itu, perempuan yang sempat dikaitkan dengan berbagai skandal suap/mark up korupsi adalah Nining Indra Saleh (Setjen DPR), Athiyah Laila (istri Anas Urbaningrum dalam kasus suap Wisma Atlet), atau bahkan Sri Mulyani dalam kasus Century.
    Sedangkan, di luar komplotan mafia anggaran dan penyuap aparat negara tersebut, ada nama Malinda Dee yang sempat beken karena kiprahnya membobol uang nasabah Citibank. Masih ada beberapa nama lagi yang lain yang akan sangat memakan ruang jika harus dituliskan semuanya.
    Apakah ini kebetulan semata? Asumsinya, uang tidak punya jenis kelamin. Siapa pun mempunyai `bakat’ korupsi asalkan menemukan momentum (niat dan kesempatan) yang tepat. Bisa jadi fenomena ini 100 persen sebuah kebetulan yang cantik. Namun, melihat rentetan kejadian kasus per kasus di mana keterlibatan perempuan menjadi variabel vital dalam skenario perampokan anggaran rakyat tersebut, tampaknya asumsi kebetulan sulit untuk dinalar.
    Untuk perdebatan ini, penulis sepakat dengan tesis penulis buku Korupsi Kepresidenan (2005), George Junus Aditjondro. Dalam sebuah seminar di UGM awal tahun ini, Aditjondro mengutarakan, fenomena perempuan banyak tersangkut korupsi merupakan gejala yang relatif baru di Indonesia.
     
    Tekanannya bukan pada persoalan kebetulan atau by design, melainkan lebih pada bagaimana kita memaknai perubahan sosiologis dalam konteks gender dan feminisme yang bersangkut paut dengan skandal-skandal keuangan tersebut.
    Euforia Antidomestifikasi
    Keran kebebasan sosial-politik yang terbuka pascareformasi rupanya berdampak positif pada kian menguatnya akselerasi perempuan di sektor publik. Setelah sekian lama terdomestifikasi oleh wacana dan kebijakan yang bias gender, pelan tapi pasti perempuan di Indonesia mulai menemukan `jati diri’. Maraknya gerakan dari kaum feminis yang menuntut adanya kesamaan hak dan kesempatan (equality of opportunity) untuk mengakses sumber daya sosialekonomi-politik seperti halnya laki-laki, mulai banyak diafirmasi para pemangku jabatan dan pengambil keputusan di negeri ini.
    Data menunjukkan, meskipun model afirmative action yang mensyaratkan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam parlemen gagal diterapkan, tren jumlah politisi perempuan yang duduk di DPR selalu naik dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Dikutip dari situs resmi Centre of Electoral Reform (Cetro), jika hasil Pemilu 2004 jumlah perempuan yang duduk di parlemen 11,8 persen dari total anggota DPR, Pemilu 2009 menghasilkan jumlah anggota DPR perempuan sebesar 18 persen dari keseluruhan anggota dewan.
    Sementara untuk DPD, jumlah anggota perempuan naik dari 22,5 persen pada periode 2004-2009 menjadi 26,5 persen pada periode 2009-2014. Diperkirakan, tren kenaikan seperti ini bakal terus terjadi dalam pemilu mendatang.
    Untuk komposisi kepegawaian di berbagai instansi, jumlah perempuan juga mengalami lonjakan signifikan. Jika pada akhir 2005 persentase perempuan yang menjabat sebagai eselon I dan II hanya 13,3 persen dari total jumlah PNS di Indonesia, belakangan ini rasionya sudah meningkat menjadi 21,5 persen dari keseluruhan pegawai negeri (Latfiyah, 2011).
    Jika pada lembaga-lembaga `pelat merah’ kiprah perempuan kian menonjol, bagaimana dengan kehadiran perempuan pada instansi-instansi swasta? Meski tidak ada data yang bisa mencerminkannya secara tepat, penulis berasumsi trennya juga meningkat. Indikasinya bisa dilihat dari kian banyaknya perempuan yang menduduki jabatan strategis di berbagai perusahaan/lembaga swasta.
    Gambaran tersebut bermakna bahwa perempuan sudah bisa mengatasi problem pemenuhan kebutuhan berpendidikan seperti yang pernah diperjuangkan RA Kartini dulu. Meski belum tuntas dan merata persebaran akses pendidikan bagi kaum hawa, paling tidak sebagian besar perempuan sudah menikmati keleluasaan berpendidikan sehingga mereka bisa sejajar dengan laki-laki untuk berkiprah di sektor publik.
    Fenomena Terbalik
    Tren yang positif itu juga didukung justifikasi dari hasil riset Bank Dunia tahun 1999 perihal peran perempuan dalam korupsi. Melalui riset yang dilakukan Development Research Group/Poverty Reduction and Economic Management Network itu ditemukan kenyataan menurunnya tingkat korupsi bersamaan dengan kian meningkatnya jumlah perempuan di tingkat parlemen nasional. Riset tersebut menjadi dasar bagi Bank Dunia untuk merekomendasikan agar semua negara memberikan peluang yang lebih besar bagi perempuan menduduki jabatan di pemerintahan dan parlemen karena keberadaan mereka berpotensi untuk menurukan tingkat korupsi (Neta S Pane, 2011).
    Namun, apa yang terjadi di Indonesia seakan mematahkan hasil penelitian Bank Dunia tersebut. Peran perempuan yang menduduki sejumlah jabatan penting di negeri ini tumbang satu per satu karena terlibat korupsi. Data ICW menyebutkan, pada 2008 dari 22 koruptor yang ditangkap, dua di antaranya perempuan. Kemudian, pada 2011 jumlahnya meningkat lebih dari tiga kali lipat. Fakta ini sekaligus membantah pernyataan mantan komisioner KPK M Jasin bahwa perempuan selama ini lebih berperan sebagai pendorong korupsi yang dilakukan lakilaki.
    Artinya, ketika akses ruang publik yang selama ini didominasi kaum laki-laki dibuka juga untuk perempuan, mereka ternyata sama rentannya dengan laki-laki. Pertanyaannya, mengapa kerentanan itu terjadi? Karena para `perempuan korup’ itu sedang terjangkit sindrom yang oleh bapak Psikoanalisis Sigmund Freud disebut sebagai histeria (euforia).
    Efek fatal dari histeria itu adalah melemahnya fungsi superego sebagai pagar penjaga moralitas yang berkembang di kehidupan sosial seseorang oleh menguatnya ego secara berlebihan dan berciri destruktif. Manifestasi dari histeria ego adalah egoisme diri untuk kaya secara instan tanpa memedulikan nasib jutaan orang lainnya.
    Akhirnya, jika sejarah mencatat pelaku korupsi banyak didominasi kaum laki-laki karena luasnya akses mereka ke simpul-simpul kekuasaan ekonomi-politik, konklusi itu tampaknya tidak relevan lagi. Sebab, fenomena mutakhir justru menggambarkan menguatnya feminisasi korupsi. ●
  • Pembangunan Sebagai Kemerdekaan

    Pembangunan Sebagai Kemerdekaan
    Agus Pakpahan, INSTITUTIONAL ECONOMIST
    Sumber : KORAN TEMPO, 15Februari 2012
    Tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan: apa yang menjadi alasan fundamental yang telah menyebabkan transformasi ekonomi Indonesia tidak terwujud sesuai dengan teori ekonomi dan paradoksal dengan yang telah terjadi di negara-negara Asia Timur (lihat Pakpahan, Koran Tempo, 1 Februari 2012). Jawaban atas pertanyaan ini sangat penting untuk memberi inspirasi dalam mencari jalan keluar dalam mewujudkan cita-cita Negara Kesatuan RI dan mengatasi ketertinggalan dari negara-negara lain pada periode waktu yang akan datang.
    Kasus Asia Timur ini menarik untuk menjadi bahan pembelajaran kita. Apalagi dengan menyimak kasus Jepang yang ternyata pada awal 1900-an masih dicap sebagai bangsa pemalas oleh Barat (Chang, 2008). Namun, setelah Perang Dunia II, kehidupan di negara-negara kawasan Asia Timur, termasuk RRC, melesat seperti anak panah yang terlepas dari busurnya dan tak terkejar.
    Sen, dalam Second Asia and Pacific Lecture on “Building Asia’s Tomorrow: Promoting Sustainable Development and Human Security” (1999), menyampaikan paham atau pandangan tentang pembangunan cara Asia. Sen, sebagai pemenang Nobel dalam ilmu ekonomi (1998), pakar ekonomi yang lahir di dan sebagai keturunan India, yang kemudian menetap di Inggris, juga telah melahirkan konsep pembangunan yang berbeda dengan para pemikir ekonomi lainnya: development as freedom.
    Penulis ingin menggarisbawahi kata freedom, yang terartikulasi dan lahir dari seorang ekonom berlatar pendidikan Barat, yang sangat memahami kapitalisme dan pasar, ternyata melahirkan landasan freedomsebagai roh dan napas pembangunan. Mungkin hal itu lahir karena Sen memang dilahirkan di negara yang mengalami penjajahan dan melihat serta merasakan sendiri akibat sistem ekonomi yang lahir dari penjajahan, yang ternyata menyebabkan ketidakmerdekaan (unfreedom).
    Jauh sebelum Sen melahirkan teori pembangunan ekonominya, para pendiri NKRI ini sudah melahirkan paham yang kurang-lebih sama atau bahkan lebih mendasar lagi daripada yang diciptakan Sen. Menyadari ihwal sejarah bangsa-bangsa yang telah dijajah selama ratusan tahun, maka para pendiri Republik melahirkan NKRI ini dengan paham yang diajarkan oleh konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. 
    Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.” Keseluruhan isi UUD 1945 adalah demi menjaga dan menciptakan NKRI yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
    Yang menjadi pertanyaan menarik adalah mengapa paham pembangunan sebagai pemerdekaan tidak berlangsung di Indonesia. Pembahasan untuk menjawab pertanyaan ini tentu memerlukan kajian yang mendalam. Pada tulisan ini, penulis lebih bersifat menyampaikan hipotesis besar yang kiranya dapat diteliti lebih lanjut. Sudut pandang yang digunakan dalam menjawab pertanyaan tersebut adalah teori Agnotology, yaitu ilmu pengetahuan yang mendalami pertanyaan mengapa hadir budaya tidak peduli atau ignorance(Proctor dan Schiebinger, 2008).
    Sebagai ilustrasi, telah diuraikan penulis pada Koran Tempo, 1 Februari 2012, dan majalah Tempo 23-29, 2012 (edisi Inggris), hal yang terabaikan walaupun sudah menjadi pengetahuan yang sifatnya masif adalah guremisasi dan terkuncinya Indonesia pada struktur ekonomi kolonial yang berkelanjutan.
    Salah satu permasalahan besar yang penulis pandang sebagai penyebab terabaikannya kedua hal yang sifatnya fundamental tersebut adalah tidak hidup dan berkembangnya nasionalisme serta patriotisme korporasi. Petani dan rakyat kebanyakan sudah menjadi patriot, tapi perusahaan besar malah banyak yang menjadi sebaliknya. Petani padi, misalnya, sudah berhasil melipatgandakan produktivitas hasil padinya dari 2 ton per hektare pada 1960-an menjadi lebih dari 5 ton per hektare 30 tahun kemudian, tapi perusahaan besar tidak beranjak dari menghasilkan komoditas primer dan yang bersifat rent seeker.
    Missing hero“, kata Platt, adalah fenomena yang melanggengkan kondisi yang baik untuk individu tapi buruk untuk kondisi sosial, baik untuk hari ini tapi buruk untuk masa depan. Berkelanjutannya situasi tersebut akibat berkelanjutannya perangkap sosial (social trap). Apakah social trap itu tercipta dengan sendirinya atau dibuat pihak lain? 
    Pelajaran dari agnotology menunjukkan bahwa social trapitu lebih mungkin ada yang membuatnya demi pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan sepanjang sejarah. Trap tersebut bisa dibuat dalam berbagai bentuk, mulai adat kebiasaan, kata-kata yang diciptakan, peraturan perundangan yang bukan membangun tapi malah mengacaukan gerak sosial-budaya masyarakat, hingga berbagai wujud lainnya. Persoalan itu juga berakumulasi sepanjang sejarah kita.
    Penulis menyampaikan pendapat bahwa pembangunan ekonomi perlu dilandasi paham pemerdekaan. Paham ini juga yang telah melandasi tumbuh dan berkembangnya perusahaan-perusahaan besar yang sekarang menjadi tulang punggung ekonomi negara-negara maju. Bahkan berdirinya VOC itu sendiri merupakan instrumentasi institusi korporasi yang diproteksi dan dilengkapi kewenangan-kewenangan negara yang juga demi kemakmuran dan kemajuan negara induknya. Morse dan Shive (2003) dalam Patriotism in Your Portfoliomenyimpulkan bahwa lebih banyak negara yang patriotik dan lebih banyak wilayah yang patriotik di Amerika Serikat yang menempatkan ekuitas perusahaannya di luar negeri lebih kecil daripada yang diperolehnya. Tanpa hidup dan berkembangnya paham pemerdekaan yang melahirkan patriotisme ekonomi, tidak akan pernah lahir keunggulan kompetitif dari institusi korporasi kita.