Category: Uncategorized

  • Karut Marut Sistem Transportasi

    Karut Marut Sistem Transportasi
    Wasisto Raharjo Jati, ANALIS KEBIJAKAN PUBLIK FISIPOL UGM
    Sumber : SINAR HARAPAN, 16Februari 2012
    Awal 2012 mencatat sejarah kelam sistem transportasi angkutan darat di negeri ini. Hal tersebut bisa dijelaskan melalui serangkaian peristiwa kecelakaan maut yang terjadi di jalan raya.
    Jika dirunut dari peristiwa pertama kecelakaan bus di tahun 2012 pada 1 Februari hingga terbaru, yakni kecelakaan yang dialami Bus Mira di Ngawi, Jawa Timur, pada 13 Februari lalu, setidaknya telah terjadi tujuh kasus kecelakaan transportasi angkatan darat yang telah memakan korban mencapai 33 jiwa.
    Tentunya hal ini sangat memprihatinkan bagi masyarakat Indonesia, di tengah semakin langkanya BBM terkait kebijakan pembatasan yang efektif dilakukan 1 April 2012. Sektor transportasi publik yang seharusnya menjadi acuan utama mobilitas masyarakat pada saat transisi peralihan moda transportasi privat ke publik terkait kebijakan pembatasan BBM justru mengalami permasalahan pelik.
    Adapun pembenahan manajemen penyelesaian kasus kecelakaan transportasi angkutan darat di negeri ini masih bersifat ego sektoral dan sporadis. Dikatakan demikian, karena acap kali yang dipersalahkan dan dikenakan unsur pidana sebagai sumber utama kecelakaan transportasi adalah human error.
    Tentunya hal tersebut amatlah disayangkan, apabila sopir senantiasa menjadi korban mikro dari sistem transportasi yang korup, karena hal itu sama sekali tidak menyentuh akar makro permasalahan sesungguhnya dalam manajemen transportasi angkutan darat.
    Akar permasalahan transportasi angkutan darat adalah kesatuan organik yang melibatkan pemerintahan, pengusaha transportasi, dan penumpang itu sendiri. Pertama, regulasi pemerintah yang diatur dalam UU 22/2009 tentang angkutan jalan raya dinilai membebani sopir selaku tenaga teknis operator transportasi angkutan darat.
    Sopir diwajibkan bekerja enam jam perjalanan dengan waktu istirahat hanya 30 menit. Sopir akan merasa jenuh dan mudah letih apabila dipaksa mengemudikan bus enam jam setiap harinya dan mudah kehilangan konsentrasi utamanya jika terjadi kemacetan panjang sehingga menguras emosi dan adrenalin si sopir.
    Di negara-negara Eropa saja, seorang sopir lintas daerah saja hanya dikenakan empat jam mengemudi dengan tenggat istirahat 1–2 jam, dan selalu disediakan sopir cadangan apabila sopir utama dirasa sudah kecapekan.
    Di Indonesia, regulasi pemerintah tidak mengatur perusahaan otobus menyediakan dua sopir dalam satu bus dalam satu trip perjalanan pulang-pergi. Belum lagi kendala yang dihadapi sopir adalah oknum petugas terminal yang meminta pungutan liar kepada sopir bus saat uji kir maupun uji emisi kendaraan bus.
    Bus yang seharusnya tidak lolos uji emisi maupun uji kir karena usia produktif bus sudah menua dan turun mesin kerap kali dipaksakan laik jalan dengan menyuap oknum untuk meloloskan bus untuk melaju, walaupun itu sebenarnya sangat membahayakan penumpang.
    Sebanyak 50 persen bus yang beroperasi di jalan raya pada umumnya berusia 15-20 tahun, telah melewati batas usia maksimum kendaraan, 7 tahun. Sementara 40 persen sisanya adalah bus yang berusia 5–10 tahun pemakaian. Selain itu tonase kendaraan bus juga kerap berlebihan.
    Idealnya, bus AKAP bertonase 75–100 kg, namun sering kali dalam operasionalisasinya mencapai 200 kg lebih, yang berpotensi membuat bus menjadi oleng dan hilang kendali. Sementara bus AKDP yang idealnya bertonase 50–75 kg dilebihkan menjadi 100 kg.
    Kedua, sistem setoran merupakan akar permasalahan kecelakaan transportasi bus. Adapun pengusaha sebuah perusahaan otobus maupun kendaraan sejenis membebankan setoran uang yang tinggi kepada sopirnya. Dalam sebuah kasus mikrolet di DKI Jakarta, penghasilan kotor sopir dibagi 70 persen pemilik kendaraan dan 30 persen menjadi milik sopir.
    Pemilik tidak menanggung uang bensin, uang makan, maupun onderdil mesin yang semuanya ditanggung sopir. Pemilik hanya tahu setorannya lancar setiap hari setiap kali satu tarikan kendaraan yang dilakukan sopirnya.
    Oleh karena itulah sering kali sopir bertindak ugal-ugalan demi kejar setoran dan sikut-sikutan dengan sopir lainnya tanpa mengindahkan keselamatan penumpangnya.
    Ketiga, penumpang angkutan transportasi Indonesia juga menjadi akar permasalahan kecelakaan transportasi angkutan darat. Penumpang sering kali tidak taat aturan untuk naik dan turun di halte, shelter, maupun terminal, karena sering minta dinaikkan dan diturunkan di tempat seenaknya yang mereka minta pada sopir.
    Hal tersebut bisa memicu kecelakaan karambol dengan kendaraan lainnya, karena bus maupun kendaraan sejenis kerap berhenti mendadak untuk naik/turun dan menghiraukan pengguna jalan lainnya.
    Karena itu pemerintah perlu membuat manajemen transportasi yang baik dengan menyinergiskan pendidikan berkendara maupun bertransportasi bagi sopir dan penumpang, terutama dengan menyiapkan segala infrastruktur pendukung untuk kelancaran transportasi.
    Selain itu, pemerintah juga perlu menindak tegas oknum korup dalam sistem transportasi dengan petugas yang kredibel, supaya kualitas moda transportasi juga terjaga dengan baik. ●
  • Menata Jurnal Kelulusan

    Menata Jurnal Kelulusan
    Irwandi Jaswir, PROFESOR BIDANG BIOTEKNOLOGI DAN DEPUTY DEAN,
    RESEARCH MANAGEMENT CENTRE, INTERNATIONAL ISLAMIC UNIVERSITY MALAYSIA
    Sumber : KORAN TEMPO, 16Februari 2012
    Ada yang sedikit terlihat lucu ketika membaca SK Dikti Surat Dirjen Dikti No 152/E/T/2012 tentang Kewajiban Publikasi dalam Jurnal Ilmiah untuk setiap lulusan perguruan tinggi di Tanah Air, mulai dari jenjang strata satu hingga strata tiga. Alasan yang dikemukakan Dikti untuk melaksanakan kebijakan tersebut dengan menyebut jumlah karya ilmiah perguruan tinggi Indonesia secara keseluruhan masih sepertujuh Malaysia, rasanya tidak patut disebut meskipun betul adanya.
    Alasan yang dikemukakan seharusnya cukup untuk memajukan produktivitas karya ilmiah Indonesia secara menyeluruh, tanpa mengacu pada sebuah negara. Menurut hemat penulis, keputusan Dikti untuk mewajibkan lulusan perguruan tinggi (PT) menghasilkan karya ilmiah berbentuk jurnal, wajib diberi apresiasi.
     
    Bukankah itu salah satu cara untuk menuju ke arah kemajuan?
    Sistim Terpadu
    Dikti mungkin memiliki pertimbangan khusus dengan mengambil Malaysia sebagai kayu pengukur dalam SK-nya. Selain sebagai negara terdekat, harus diakui, Malaysia memiliki sistem budaya penulisan yang lebih terstruktur dan sangat jelas.
    Data jurnal Nature beberapa waktu lalu menyebut, karya ilmiah saintis Indonesia dalam jurnal internasional adalah 0,88 artikel per satu juta penduduk sedangkan Malaysia sebanyak 20,78. Indonesia berada pada posisi 134 dunia sedang Malaysia pada posisi 67.
    Pengalaman lebih dari 15 tahun menjadi saintis di Malaysia cukup memberi pengajaran kalau kewajiban menulis karya ilmiah pada hakikatnya bukanlah barang baru di negara jiran tersebut. Seperti juga pada sektor-sektor lainnya, setiap aturan di Malaysia sangat jelas adanya dan berjalan dalam sebuah sistem terpadu.
    Di Malaysia, kewajiban menulis ilmiah baru diberlakukan untuk jenjang S2 ke atas. Jenjang S1 ti dak ada kewajiban menulis jurnal sama sekali, cukup buat mereka untuk menghasilkan skripsi dan mempertahankannya dalam sebuah ujian sidang.
    Untuk jenjang S2 dan S3, sya ratnya harus mempublikasikan karya tulis dalam jurnal internasional. Pada kebanyakan universitas, untuk S2 minimal satu publikasi dan S3 sebanyak dua publikasi. Bahkan, syarat tersebut pun kini semakin sulit dengan beberapa universitas turut mengaitkan kualitas jurnal internasional tempat publikasi karya me reka. Beberapa universitas bahkan mensyaratkan mahasiswanya mempublikasikan karya tulis mereka hanya dalam jurnal-jurnal yang memiliki impact factor tertentu dan atau terdaftar dalam pangkalan data Scopus.
    Hampir semua saintis di Malaysia sangat jarang mengirimkan karya ilmiahnya dalam 
    publikasi jurnal-jurnal lokal. Poin yang di be rikan buat mereka yang mempublikasi dalam jurnal lokal sa ngat kecil. Sehingga, cenderung memaksa saintis Malaysia ber kar ya di jurnal internasional.
    Bagi seorang saintis asing yang berkiprah di Malaysia pula, rata-rata mereka dibebani 
    tanggung jawab mempublikasikan tiga jurnal internasional per tahun sebelum kontraknya diperpanjang di Malaysia. Di beberapa universitas bahkan disyaratkan minimal kumulasi impact factor sampai lima jurnal per tahun.
    Seseorang yang ingin promosi ke jenjang profesor, mempublikasikan karya ilmiahnya 
    dalam jurnal internasional adalah sangat menentukan. Jumlahnya bisa jadi di atas 50 artikel. Beberapa dosen Indonesia bahkan ada yang mempublikasi karya ilmiahnya dalam jurnal internsional sampai 70 artikel, sebelum pede mengajukan diri promosi ke jenjang profesor.
    Seperti diketahui, sistem promosi kepangkatan staf perguruan tinggi di Malaysia sangat 
    ketat. Pada tahap akhir, daftar publikasi ilmiah mereka akan dikirim kepada lima orang profesor terkenal di bidang masing-masing di luar Malaysia sebagai external assessor (EA). Dan, para EA ini harus memberikan rekomendasi positif.
    Namun, seperti telah disebut kan di atas, sistem terpadu dan aturan yang jelas sangat 
    terasa di Malaysia. Sistem terpadu, da lam artian para saintis, juga diberi fasilitas yang lengkap untuk pe nelitian. Adalah sangat mustahil mengharapkan sebuah karya ilmiah dimuat di jurnal bergengsi internasional tanpa riset yang betul-betul unggul. Inilah yang harus diperhatikan pemerintah kita dalam mengimplementasi kewajiban karya ilmiah di jurnal ini.  Adakah semua perguruan tinggi sudah diberi fasilitas memadai untuk melakukan penelitian?
    Seperti dimaklumi, di Malaysia, dana penelitian tidaklah terlalu sulit didapat. Setiap dosen 
    dijamin mendapatkan dua proyek riset di kampus pada satu waktu. Belum lagi berbagai dana penelitian yang disediakan beberapa kementerian, seperti Kementerian Pengajian Tinggi (KPT) dan Kementrian Riset serta pihak swasta. Beberapa peneliti bahkan dengan mudah mendapatkan dana penelitian.
    Begitu proyek didapat, mahasiswa pascasarjana yang biasanya berasal dari 
    mancanegara juga sudah tersedia. Rata-rata, para mahasiswa ini memiliki kemampuan menulis dalam bahasa Inggris dengan baik.
    Mahasiswa-mahasiswa pascasarjana inilah yang selalu menjadi andalan untuk publikasi buat sang dosen. Situasinya bisa disebut win-win solusion. Sang mahasiswa mendapat uang saku dan uang ku liah dari penelitian yang dija lankan serta publikasi sebagai syarat lulus. Dan, sang dosen mendapat publikasi untuk kepangkat an dan syarat administrasi lainnya.
    Bayangkan, jika seorang dosen memiliki lima mahasiswa pascasarjana dan setiap tahun ma sing-masing dari mereka menulis satu paper ilmiah. Di luar itu, setiap publikasi dalam jurnal internasional juga mendapat insentif keuangan, sekitar Rp 5 juta per artikel.
    Sistem MyRA
    Dalam beberapa tahun terakhir, KPT, Kementrian yang menaungi perguruan tinggi di Malaysia, juga memiliki acuan apa yang disebut sebagai MyRA. MyRA merupakan sebuah pangkalan data yang digunakan KPT untuk mendokumentasikan semua aktivitas perguruan tinggi, termasuk dalam hal riset dan publikasi.
    Data MyRA yang selalu di-update juga digunakan untuk memberi peringkat sebuah 
    universitas sebelum diberikan status universitas riset (research university/RU). Tercatat saat ini, sudah ada lima universitas di Malaysia berstatus RU dengan salah satu di antaranya, Universiti Sains Malaysia yang menjadi pemuncak dan disebut juga Apex University.
    Perlu diketahui, pada awalnya, setiap universitas dengan status RU mendapat dana 
    penelitian tetap sebesar 120 juta ringgit (Rp 340 miliar) setahun. Kini, dana tersebut turun separuhnya, namun tetap terasa sangat besar untuk mendongkrak kegiatan riset dan publikasi di universitas. Dana tetap RU akan dikelola langsung oleh universitas, namun di luar itu, para saintis universitas-universitas tersebut masih berpeluang merebut berbagai dana penelitian dari kementerian.
    Untuk menjadi RU, syaratnya sangat tidak mudah. Misalnya, jumlah publikasi dalam jurnal internasional per tahun harus dua kali lipat jumlah dosennya, dengan total impact factor minimal 500 dan jumlah sitasi (citation) minimal 10 ribu. Jumlah dana penelitian untuk para saintis di bidang sains dan teknologi mesti 50 ribu ringgit per tahun per dosen.
    Setiap kampus di Malaysia berlomba-lomba untuk mendapatkan status RU karena adanya dukungan keuangan yang kukuh dari pemerintah. Bagi universitas berstatus RU, dana tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan produktivitas karya ilmiah yang secara tidak langsung akan mengangkat peringkat universitas tadi pada peringkat internasional. ●
  • Urgensi Perubahan UU Pokok-Pokok Agraria

    Urgensi Perubahan UU Pokok-Pokok Agraria
    Jawahir Thontowi, PROFESOR ILMU HUKUM DAN DIREKTUR PUSAT STUDI PENGEMBANGAN HUKUM LOKAL FAKULTAS HUKUM, UII
    Sumber : KORAN TEMPO, 16Februari 2012
    Usulan DPR untuk merevisi UU No 5 Tahun 1960 tentang Peratur an Dasar Pokok Pokok Agraria yang menimbulkan konflik sosial dan kekerasan ditampik Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA). Pasalnya, menurut KPA, konflik dan kekerasan terjadi bukan disebabkan UU PA. Tetapi, karena pemerintahan orde baru dan reformasi tidak menjalankan UU PA secara benar dan bahkan diselewengkan.
    Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa UU PA, setelah diberlakukan 52 tahun, dirasakan semakin kurang responsif. Konflik dan kerusuhan yang berakhir dengan kekerasan fisik juga salah satunya disebabkan karena masyarakat hukum adat (MHA) dan petani tidak terlindungi. Urgensi perubahan UU PA merupakan keniscayaan yang diharapkan menjawab persoalan konflik pertanahan.
    Mengapa perubahan UU PA harus dilakukan? Usulan perubahan ini mengingat Tap MPR IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria telah menjadi dasar hukumya. Maria Soemardjono menegaskan, gagasan perubahan UU PA, sebagai kebijakan politik nasional, tidak lepas dari pemikiran yang berkembang pada 1992.
    Proses marjinalisasi yang dirasakan masyarakat petani dan MHA tidak dapat dicegah. Sebagian aturan di dalamnya kurang cukup efektif. Ketidakmampuan menghadapi era globalisasi dan pelaksanaan otonomi daerah (Arie S Hutagalung 2005:17) serta perlunya paradigma desentralisasi, dekonsentrasi, dan medebewind dalam pengaturan agraria tidak dapat diabaikan (Nurhasan Ismail 2000: 33).
    Keberlangsungan UU PA yang telah menyuarakan visi-misi bangsa dan negara diupayakan untuk menciptakan warga negara yang makmur dan sejahtera. Undangundang ini hendak mewujudkan tujuannya melalui pendistribusian tanah.
    Bukan Peraturan Dasar
    Sejak era reformasi 1999, dualisme pemberlakuan hukum tanah terjadi. Dan, ini justru menimbulkan ketidakpastian hukum akibat kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang kurang sejalan. Pemberlakuan UU No 32 Tahun 2004, khususnya Pasal 11 yang mengamanatkan pendirian Dinas Pertanahan di tingkat pemerintah kabupaten/kota dan pemerintahan provinsi, menimbulkan ketidakpastian hukum. Otonomi daerah tampaknya telah menuntut pengurusan tanah menjadi kewenangan pemerintah daerah.
    Sementara itu, Badan Pertanahan Nasional Pemerintahan Pusat masih mengakui keberadaan Kantor Badan Pertanahan Nasional pada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota (BF Sihombing Hukum Tanah Indonesia, 2005: 126). Karena itu, jika Keputusan Presiden No 15 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan BPN (berdasarkan kepada Keputusan Presiden 95 Tahun 2000) belum dicabut, sesungguhnya dualisme pengaturan tanah masih berlangsung.
    Tergesernya status UU PA yang bukan lagi sebagai peraturan dasar juga berpengaruh positif terhadap melemahnya fungsi UU PA. Sebab, sejak kelahirannya, UU PA merupakan an umbrella act, bertugas mengoordinasikan UU sektoral lainnya. Tergusurnya MHA dan hak-hak ulayat petani yang semestinya memperoleh perlindungan, justru telah terabaikan.
    Melemahnya fungsi UU PA juga berkaitan dengan reformasi hukum di bidang legislasi. UU Nomor 12 Tahun 2011 (perubahan dari UU No 10 Tahun 2004) ten tang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak lagi mengakui status UU PA sebagai peraturan dasar. Semua peraturan perundang-undangan pada hakikatnya sama.
    Untuk mencegah timbulnya tumpang tindih pengaturan, dengan UU lainnya perlu dilakukan sinkronisasi. Namun, dalam praktiknya, ego sektoral lebih mengemuka sehingga kegunaan sinkronisasi pun tidak cukup membantu tumpang tindih tersebut.
    Petani Tanpa Tanah
    Adapun urgensi perubahan UU PA mengandung beberapa alasan. Pertama, posisi petani juga MHA tidak terlindungi sebagai akibat UU sektoral yang kontradiktif dengan UU PA. Delapan UU sektoral telah menggusur hakhak MHA dan petani yang tidak memiliki bukti formal. Misalnya, UU No 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, juga UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Kondisi serupa juga terlihat dalam UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
    Konsideran UU Sektoral yang hanya merujuk Pasal 33 (ayat 2 dan 3) dan tidak merujuk pasal 18B (ayat 2) sebagai salah satu penyebab utama kontradiksi tersebut. Karena itu, sekalipun UU sektoral mengatur tentang pengakuan dan penghormatan atas HMA dan hak-hak tradisionalnya, hal tersebut tidak bermakna apa pun.
    Proses pengakuan tersebut tidak pernah dapat direalisasikan mengingat mekanisme pengakuan dan penghormatan diberikan belum jelas dan diatur secara terperinci. Justru, ketika izin usaha pertambangan dikeluarkan di kabupaten, perlawanan masyarakat kepada daerah jauh lebih rentan sebagaimana konflik pertanahan dalam kasus di Mesuji Lampung dan Sape di Bima.
    Situasi masyarakat petani yang kebanyakan di desa-desa tidak bertanah, tidak lepas dari UU sektoral yang telah menggerus hak-hak ulayat tanah, hutan, dan juga petani. Di satu pihak, pengusaha memiliki dokumen resmi SIUP dari kepala daerah. Di pihak lain, MHA dan petani umumnya tidak memiliki bukti resmi untuk digunakan sebagai bukti penolakan. Bukti ketimpangan penguasaan tersebut telah dilaporkan Sekjen KPA berdasarkan Badan Statistik Nasional pada 2004.
    Meskipun baru-baru ini UU Pengadaan Tanah disahkan, tampaknya tidak menolong nasib petani-petani gurem. Banyak pandangan yang mengatakan, UU Pengadaan Tanah tidak pro dengan masyarakat hukum adat maupun petani. Justru, petanipetani berdasi atau swasta yang memiliki modal besar yang diutamakan.
    Peluang untuk perubahan juga didukung oleh faktor lahirnya beberapa konsep naskah akademik dan draf perubahan UU PA. Dukungan kepada DPR untuk melakukan perubahan UU PA, dapat menggunakan sumber kajian sebelumnya. Selain telah memiliki naskah akademik dan draf perubahannya, DPD RI (periode 2004 -2009) juga mendapat dukungan dari berbagai pihak, seperti Asosiasi Kepala Daerah se-Indonesia.
    Urgensi perubahan UU PA merupakan langkah strategis yang perlu direspons secara positif oleh DPR RI agar kecenderungan persekongkolan negara dengan pengusaha tidak menghapuskan hakhak ulayat MHA dan petani. Untuk itu, diperlukan kajian komprehensif dan sinkronisasi agar perubahan UU PA ke depan mampu merespons secara efektif kebutuhan global dan desentralisasi serta mencegah UU sektoral melumpuhkan fungsi UU PA. ●
  • Korban Kecelakaan Afriyani: Dibunuh atau Terbunuh?

    Korban Kecelakaan Afriyani:
    Dibunuh atau Terbunuh?
    Reza Indragiri Amriel, DOSEN PSIKOLOGI FORENSIK UNIVERSITAS BINA NUSANTARA
    Sumber : KORAN TEMPO, 16Februari 2012
    Polisi dikabarkan berkonsultasi dengan pihak-pihak kompeten guna menjerat Afriyani pengemudi maut di kawasan Gambir dengan pasal-pasal pembunuhan. Langkah PMJ tersebut tampaknya merupakan respons terhadap opini publik yang menginginkan adanya sanksi hukum lebih berat terhadap Afriyani.
    Terdapat beberapa pasal KUHP yang, menurut saya, dapat ditinjau dalam kasus Afriyani. Pertama, pasal 338: “Barangsiapa yang sengaja menghilangkan jiwa orang lain, karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.” Kedua, pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan jiwa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan yang direncanakan dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun.” Ketiga, pasal 359: “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.”
    Bisakah pasal-pasal tersebut dipakai untuk menyeret Afriyani ke hadapan hukum dengan status sebagai seperti kata orang pembunuh berdarah dingin?
    Kata kunci pasal 338 adalah “sengaja”. Guna mengetahui seberapa jauh unsur kesengajaan itu terpenuhi, perlu ditakar niat atau motif Afriyani. Ini bisa dipahami dengan mencari tahu, antara lain, hubungan antara Afriyani dan para pejalan kaki yang ditabraknya serta tujuan atau manfaat yang diincar oleh Afriyani dengan menabrak korban-korban tersebut.
    Dengan asumsi bahwa mereka tidak saling kenal serta tidak ada manfaat apa pun yang diperoleh Afriyani setelah menabrak para pejalan kaki tersebut, bisa saja niat atau motif tidak didukung dengan argumentasi yang memadai. Karena niat tampak nihil, unsur kesengajaan pada pasal 338 menjadi rapuh untuk ditegakkan guna memperkuat sangkaan bahwa Afriyani adalah pembunuh.
    Pasal 340, dengan kata kunci “terencana”, lebih sukar lagi untuk ditegakkan. Kata kunci tersebut ditelisik lewat modus atau cara yang digunakan Afriyani untuk menghabisi nyawa para korban. Lazimnya, pelaku kejahatan melakukan kalkulasi ekonomis terhadap cara yang akan diterapkannya. Dari sekian banyak cara yang tersedia, si pelaku akan memilih cara yang paling ekonomis dengan risiko yang paling bisa dia kendalikan guna meraih manfaat maksimal.
    Dalam kasus Afriyani, logika itu sulit ditemukan. Bahkan andaikan Afriyani memang berniat menghabisi para pejalan kaki di trotoar tersebut, cara yang ia pakai untuk melancarkan aksinya sungguh-sungguh berada di luar kalkulasi di atas. Menggunakan mobil, pada siang hari, di tempat terbuka, menurut saya, bukanlah modus yang baik. Jadi, unsur “terencana” pada pasal 340 justru sulit menemukan penguatnya.
    Ketika unsur-unsur penentu dalam pasal 338 dan 340, berdasarkan uraian di atas, tampak lemah, barangkali hanya pasal 359 yang dapat dimanfaatkan untuk memidanakan Afriyani. Ia salah karena mengkonsumsi narkotik, dia juga bersalah karena mengemudi kendaraan di atas ambang batas kecepatan yang diperbolehkan, namun dia bisa jadi tidak benar-benar memiliki niat untuk menghabisi orang lain. Hilangnya nyawa orang lain, dengan demikian, adalah sebatas imbas dari dua kesalahan Afriyani tersebut.
    Dengan nalar sedemikian rupa, tanpa mengurangi rasa simpati saya kepada para korban dan keluarga, sesuai dengan pasal 359, tragedi yang mereka alami dapat disetarakan dengan wrongful death. Para korban tewas karena mereka berada di tempat yang salah pada waktu yang salah, tanpa disertai adanya pelaku yang berniat mengincar apalagi menghabisi mereka.
    Yang sekarang mengundang pertanyaan adalah keterlibatan 14 psikiater untuk memeriksa kondisi psikologis Afriyani. Dari perbincangan dengan salah satu psikiater pemeriksa, saya memperoleh informasi bahwa kepada Afriyani diterapkan psikotes dengan menggunakan Multiphasic Minnesota Personality Inventory (MMPI).
    Apa gerangan yang menjadi tujuan penerapan MMPI? Untuk kepentingan klinis, yakni persiapan rehabilitasi Afriyani selaku pengguna narkotik? Mungkin saja. Namun mengapa sampai melibatkan sekian banyak psikiater dalam waktu berpekan-pekan? Ataukah untuk kepentingan hukum (forensik)?
    Saya berspekulasi, ada keinginan kuat untuk mencari “sesuatu” yang bisa dijadikan sebagai pendukung didakwakannya Pasal 338 atau 340 KUHP terhadap Afriyani. Temuan MMPI berupa adanya kecenderungan berperilaku kekerasan (violent behavior) pada diri Afriyani bisa saja nantinya diinterpretasikan sebagai bukti (yang dipaksakan) bahwa Afriyani pada dasarnya adalah manusia ber-”pembawaan” keji. “Pembawaan” itulah yang, saya khawatirkan, akan disamaratakan sebagai niat yang melandasi “kesengajaan” Afriyani untuk “membunuh”.
    Kelalaian Siapa?
    Terlepas dari pasal apa pun yang hendak diterapkan oleh polisi dan jaksa terhadap Afriyani, fakta menunjukkan bahwa para korban tidak tewas pada saat itu juga di lokasi kejadian kecelakaan maut. Ada korban yang baru dinyatakan meninggal dunia setelah tiba di rumah sakit. Kenyataan ini memberi sebuah gambaran situasi bahwa kelakuan Afriyani memang fatal, namun tidak sepenuhnya membuat (sebagian) orang lain meninggal. Pada beberapa korban yang tidak tewas pada saat itu juga di lokasi kejadian, terdapat kondisi lain yang barangkali menjadi penentu meninggalnya mereka.
    Kondisi lain tersebut, yang juga perlu dicermati, adalah prosedur penyelamatan para korban. Patut kiranya diinvestigasi bagaimana polisi bisa sampai datang ke tempat kecelakaan, berapa menit yang dibutuhkan polisi untuk tiba di lokasi, berapa orang polisi yang datang ke lokasi, siapa dan apa yang dilakukan polisi di lokasi (berfokus pada kendaraan dan pengemudinya atau memprioritaskan menolong korban), apakah polisi sudah dan kapan memanggil bala bantuan lain semacam tim medis, dengan apa para korban dibawa ke rumah sakit, siapa yang menggotong tubuh korban yang cedera parah namun masih hidup, berapa menit yang ditempuh untuk mencapai rumah sakit, dan pertanyaan-pertanyaan lain terkait langkah penyelamatan korban.
    Rangkaian jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi indikator kesiapan personel dan sistem bala bantuan yang ada dalam menangani situasi krisis. Semakin positif jawaban yang bisa diberikan, semakin profesional pula kinerja personel dan sistem pertolongan (rescue team, emergency handling system). Sebaliknya, jika sekali lagi jika terlalu banyak kebolongan dalam kerja aparat dan sistem pertolongan yang turun tangan sesaat setelah kecelakaan maut itu, maka, paling tidak, ini menjadi kondisi yang seharusnya dikelola lebih baik sesegera mungkin.
    Pesan Keras
    Indonesia sudah menjadi wilayah incaran sindikat narkotik internasional. Betapapun kampanye antinarkotik digencarkan, penyalahgunaan narkotik kian tinggi. “Berkat” kelakuan Afriyani, semakin tak terbantahkan kedahsyatan bahaya narkotik. Atas dasar itu, otoritas hukum nasional harus bekerja segigih mungkin agar dapat meyakinkan hakim untuk menjatuhkan hukuman seberat mungkin kepada para penyalah-guna narkotik. Apalagi kepada penyalah-guna narkotik yang mengemudi secara liar sampai mengakibatkan jatuhnya korban jiwa! ●
  • Kapitalisme Koroner dan Makanan Olahan

    Kapitalisme Koroner dan Makanan Olahan
    Kenneth Rogoff, GURU BESAR EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK PADA HARVARD UNIVERSITY, MANTAN EKONOM KEPALA PADA IMF
    Sumber : KORAN TEMPO, 16Februari 2012
    Kegagalan yang sistematis dan meluas di bidang regulasi merupakan suatu tantangan besar bila kita berbicara mengenai upaya mereformasi kapitalisme Barat saat ini. Ya, banyak hal telah dibahas mengenai tidak sehatnya dinamika politik-regulasi-finansial yang menyebabkan terjadinya serangan jantung ekonomi global pada 2008 (yang saya dan Carmen Reinhart namakan “The Second Great Contraction”). Tapi apakah masalah ini cuma terdapat dalam industri keuangan ataukah ia merupakan contoh dari suatu cacat kapitalisme Barat yang serius?
    Lihat saja industri pangan, terutama pengaruhnya terhadap nutrisi dan layanan kesehatan. Kegemukan atau obesitas terus meningkat di seluruh dunia. Walaupun, di antara negara-negara besar, masalah ini mungkin paling parah di Amerika Serikat. Menurut US Centers for Disease Control and Prevention, sekitar sepertiga dari jumlah orang dewasa di AS mengalami obesitas (diindikasikan oleh indeks massa tubuh seseorang di atas 30). Bahkan, yang lebih mengejutkan lagi, lebih dari satu di antara enam orang anak dan remaja menderita obesitas, suatu angka yang telah meningkat tiga kali lipat sejak 1980.
    Persoalan yang dihadapi industri pangan telah disoroti dengan tajam oleh para pakar nutrisi dan kesehatan, serta sudah pasti oleh banyak ekonom juga. Dan ada berbagai contoh lainnya, pada berbagai jenis barang dan jasa, di mana kita bisa menemukan persoalan yang serupa. Walaupun demikian, saya ingin berfokus pada kaitan industri pangan dengan masalah yang lebih luas menyangkut kapitalisme masa kini (yang telah memfasilitasi ledakan obesitas di seluruh dunia) dan pada pertanyaan mengapa sistem politik AS tidak menunjukkan perhatian pada persoalan ini (walaupun Ibu Negara Michelle Obama telah melakukan upaya yang penting untuk meningkatkan kesadaran akan persoalan ini).
    Obesitas dalam beberapa hal berdampak pada harapan hidup, mulai penyakit jantung sampai beberapa jenis kanker. Obesitas–pasti dalam wujudnya yang menandakan adanya penyakit–bisa berdampak pada mutu kehidupan seseorang. Ongkosnya ditanggung bukan hanya oleh individu bersangkutan, tapi juga oleh masyarakat–secara langsung melalui sistem layanan kesehatan, dan secara tidak langsung dengan menurunnya produktivitas, serta semakin tingginya ongkos transportasi (lebih banyak bahan bakar yang dihabiskan pesawat serta semakin besar ukuran kursi yang diperlukan untuk penumpang dalam pesawat, dan lain-lain.)
    Tapi epidemi obesitas ini hampir tidak kelihatan sebagai pembunuh pertumbuhan seseorang. Produk-produk pangan olahan berbasis jagung yang menggunakan banyak aditif kimia terkenal sebagai pendorong utama bertambahnya berat badan. Namun, dari perspektif pertumbuhan yang konvensional, ia merupakan makanan yang hebat. Industri pertanian yang besar dibayar untuk menanam jagung (sering dengan subsidi pemerintah), dan industri pengolahan pangan dibayar untuk menambah berton-ton bahan kimia pada pangan, menciptakan produk yang menimbulkan ketagihan dan dengan demikian susah ditolak. Sementara para ilmuwan dibayar untuk menemukan campuran garam, gula, dan kimia yang tepat untuk memaksimalkan ketagihan makanan instan yang paling baru, perusahan iklan dibayar untuk menjajakannya, dan akhirnya industri layanan kesehatan menangani penyakit yang pasti timbul akibat makanan olahan itu.
    Kapitalisme koroner itu fantastis bagi pasar saham, termasuk perusahaan-perusahaan di segala bidang industri bersangkutan. Makanan yang diolah ini juga baik untuk penciptaan lapangan kerja, termasuk lapangan kerja kelas atas di bidang penelitian, iklan, dan layanan kesehatan.
    Jadi, siapa yang mau mengeluh? Pasti bukan politikus, yang dipilih kembali dengan bertambahnya lapangan kerja dam naiknya harga saham–dan menerima sumbangan dari semua industri yang berperan dalam produksi makanan olahan ini. Sebenarnya, di AS, politikus yang berani bicara mengenai implikasi yang ditimbulkan makanan olahan terhadap kesehatan, lingkungan, atau kebersinambungan dalam banyak hal bakal kehilangan dukungan sumbangan untuk kampanye pemilihannya.
    Benar bahwa kekuatan pasar telah mendorong inovasi, yang pada gilirannya telah mendorong turunnya harga makanan olahan, sementara harga buah-buahan dan sayur-sayuran biasa terus meningkat. Memang adil tampaknya, tapi ia mengabaikan gagalnya pasar dalam hal ini.
    Konsumen tidak diberi banyak informasi melalui sekolah, perpustakaan, atau kampanye kesehatan. Sebaliknya, mereka dibanjiri disinformasi lewat iklan. Keadaan ini merisaukan, terutama untuk anak-anak. Dengan tidak adanya sumber daya yang tersedia untuk saluran televisi publik yang berkualitas di sebagian besar negara, anak-anak dikooptasi oleh saluran televisi yang hidup dari pemasang iklan, termasuk pemasang iklan industri pangan.
    Di luar disinformasi, produsen tidak punya insentif untuk menginternalkan ongkos yang harus dibayar atas kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Begitu juga, konsumen tidak punya insentif untuk menginternalkan ongkos yang harus dibayar untuk layanan kesehatan akibat makanan pilihan mereka.
    Jika satu-satunya masalah yang kita hadapi adalah industri pangan sebagai penyebab penyakit jantung dan industri keuangan sebagai penyebab penyakit ekonomi, hal ini sudah cukup merisaukan. Tapi dinamika patologis regulasi-politik-ekonomi yang merupakan ciri dari industri-industri ini jauh lebih luas. Kita perlu mengembangkan lembaga-lembaga yang baru dan yang lebih baik untuk melindungi kepentingan jangka panjang masyarakat.
    Sudah tentu, keseimbangan antara paternalisme dan kedaulatan konsumen sangat tipis sekali. Tapi kita pasti bisa mulai menciptakan keseimbangan yang lebih sehat daripada keseimbangan yang ada sekarang dengan memberikan kepada publik informasi yang jauh lebih baik di segala bidang, sehingga masyarakat bisa mulai melakukan pilihan konsumsi dan keputusan politik berdasarkan informasi yang benar. ●
  • Basic Instinct ala Angie

    Basic Instinct ala Angie
    Ismatillah A. Nu’ad, PENELITI PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN
    UNIVERSITAS PARAMADINA, JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 16Februari 2012
    COMMUNICATIVE act must always be attached to various relationships with the world. Kiranya, sitiran dari Jurgen Habermas itu cocok untuk menelaah kesaksian Angelina Sondakh di pengadilan tipikor kemarin (15/2) dalam kasus M. Nazaruddin. Angie -panggilan Angelina Sondakh- membantah habis-habisan perihal tuduhan percakapannya dengan Mindo Rosalina Manulang via BlackBerry Messenger (BBM).

    Tindakan komunikasi seharusnya paralel dengan fakta-fakta yang ada. Namun, Angie tak melakukan hal yang sama. Padahal, sebelumnya, Mindo Rosalina mengakui percakapannya via BBM dengan Angie dalam sidang kasus yang sama. Dari Rosa, terbongkar istilah-istilah seperti apel Washington dan apel Malang untuk ”bos besar” atau ”ketua besar”.

    Dalam teori kriminalitas, si pelaku memang tak akan mungkin mengutarakan kejujuran perihal tindakan kejahatan yang telah diperbuatnya. Dia akan berupaya menutupi setiap celah kejahatan yang pernah dilakukan supaya tidak bocor. Karena itu, untuk menekan supaya si pelaku mengakui hasil kejahatannya, biasanya dalam teori kepolisian atau intelijen, melakukan interogasi selayaknya dalam film Basic Instinct. Orang yang dicurigai sebagai pelaku akan dimasukkan dalam sebuah ruangan tertutup. Hanya ada para interogator dan calon tersangka untuk menekan supaya dia mengakui kejahatannya. Tentu, interogasi dilakukan berdasar bukti-bukti yang sudah ada.

    Sayangnya, kesaksian Angie dalam sidang tipikor memang tidak selayaknya diinterogasi di ruangan tertutup di kepolisian atau lembaga intelijen, yakni hanya ada para interogator di dalamnya. Karena itu, kesaksian semacam itu sangat rentan adanya kebohongan. Terlebih, dalam kasus Angie, pihak-pihak yang terkait adalah tokoh-tokoh sentral di pucuk pimpinan partai berkuasa, Partai Demokrat. Akan sangat sulit kasus semacam itu terbongkar secara telanjang dan kasatmata, terlebih ditayangkan secara langsung di layar televisi.

    Ketua KPK Abraham Samad ketika ditanya perihal bantahan Angie bahkan secara terang-terangan menyatakan, jika penjahat mengakui kebohongannya, niscaya penjara akan penuh. KPK mungkin sudah mengantisipasi akan adanya kebohongan dalam sidang Angie. Tak mungkin mereka melimpahkan berkas Angie ke pengadilan tipikor dan menegaskan keterlibatannya sehingga menjadi tersangka baru dalam kasus Nazaruddin tanpa bukti kuat.

    Selama ini, kasus Nazaruddin memang menarik perhatian publik sedemikian rupa. Sebab, kasus tersebut sebetulnya mempertaruhkan eksistensi partai berkuasa, apakah akan langgeng atau hancur dalam Pemilu 2014. Kesaksian Angie sebetulnya menjadi pintu masuk untuk membongkar kasus wisma atlet dan Hambalang yang di situ Nazaruddin menjadi pemicu utamanya. Kejujuran Angie memang masih ditunggu publik. Boleh saja dia berbohong, tohbukti akan lebih berbicara dalam kasus-kasus hukum.

    Semestinya, Angie membuka seluas-luasnya kasus Nazaruddin ke publik sehingga publik akan menaruh simpati kepada dia. Seharusnya ada korelasi yang sepadan karena Angie merupakan mantan Putri Indonesia -yang digambarkan sebagai sosok cantik, pintar, dan tentu seharusnya juga jujur. Kejujuran semestinya tak boleh dipisahkan dari sosoknya sebagai mantan Putri Indonesia. Harus berjalan seiring seirama.

    Sebab, publik boleh saja nanti melekatkan predikat kepada Angie sebagai ”Putri Kebohongan”, menyusul predikat yang sama telah diberikan kepada Andi Nurpati dalam kasus pemalsuan putusan KPU dalam kasus pilkada Sulawesi Selatan. Dari sesosok paras wajah yang cantik dan ”innocent”, sangat disayangkan jika Angie akhirnya tak membuka kasus Nazaruddin secara terang benderang.

    Memang, sangat sulit bagi si pelaku untuk menyatakan kejujuran, sehingga sering harus berbohong. ”Teologi kebohongan” dimaksudkan untuk menutupi fakta yang terjadi sembari berupaya memperkecil nestapa pada dirinya. Tapi, seperti peribahasa, sepandai-pandai bangkai ditutupi, toh akan tercium jua baunya. Sebab, kita percaya, kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam. Kebohongan sulit dipertahankan karena harus konsisten ”mengarang”.

    Untuk menepis bahwa kita bukan pembohong, jangan dibalas dengan kata-kata karena orang sudah tak percaya dengan omongan pembohong. Karena itu, tepislah dengan aksi nyata. Buktikan bahwa kita tak berbohong. Seperti teori komunikasi Jurgen Habermas (1954), ada paralelitas yang sesungguhnya harus dilakukan antara komunikasi yang ada dengan perbuatan dan aksi nyata. Ucapan komunikatif harus selalu melekat pada berbagai hubungan dengan dunia.

    Seseorang dikatakan telah berbohong karena tak ada paralelitas antara komunikasi yang ada dengan aksi nyata. Karena itu, mudah saja, supaya tak dikatakan sebagai pembohong, kita harus membuktikan secara nyata apa yang pernah kita ucapkan atau komunikasikan. Sebab, proses yang terjadi dalam ucapan komunikasi adalah juga konfirmasi (pembuktian). Pembuktian meliputi korelasi ucapan dengan dunia nyata secara objektif.

    Selama ini, bukti-bukti telah menyudutkan keterlibatan hubungan yang dekat dan akrab antara Angie dan Mindo Rosalina, entah melalui komunikasi BBM atau bukti lain. Melalui kesaksian Angie itu, jelas bahwa dia telah mendapat tekanan politik, sehingga terpaksa ”berbohong” atau tak mengakui kedekatannya dengan Rosa.

    Satu hal yang semestinya diperhatikan, jika memang Angie telah melakukan upaya ”pembohongan”, hukum pun tidak akan buta. Kelak jika dia benar-benar terjerat, hukumannya pun boleh jadi bisa bertambah berat karena telah menghalangi penegakan keadilan.

    Namun, kita masih tetap memiliki asa. Melihat paras cantik sang mantan Putri Indonesia, moralitas Angie pun dituntut untuk cantik. Layak kita mendambakan gelar mantan Putri Indonesia memiliki paralelitas positif yang berguna serta berharga bagi republik ini. Tidak sebaliknya, malah mengembangkan ”basic instinct yang patut diduga berbohong, sehingga keanggunan predikat Putri Indonesia hilang. ●

  • Sulit, Berat, Butuh Waktu…

    Sulit, Berat, Butuh Waktu…
    Teten Masduki, SEKRETARIS JENDERAL TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 16Februari 2012
    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan dengan para wartawan, Senin (13/2) malam, mengeluhkan pemberantasan korupsi sangat sulit, berat, butuh waktu, dan kerja sama semua pihak. Harus diakui, korupsi terus tumbuh cepat di tengah agenda pemberantasan korupsi yang terasa berjalan lamban.
    Tanpa mengabaikan kemajuan-kemajuan yang diraih sejak era reformasi, munculnya generasi baru koruptor yang sekarang diperlihatkan lewat perilaku kalangan politisi muda produk reformasi membuat kita merasa miris, apakah arah pemberantasan sudah benar untuk membawa Indonesia keluar dari cengkeraman kekuasaan koruptor.
    Lumpuhnya Pilar Demokrasi
    Memang, kesulitan yang dihadapi dalam memerangi korupsi secara kelembagaan bisa kita pahami karena dari empat pilar utama demokrasi, hanya sebagian yang telah hadir di sini secara meyakinkan, yaitu kebebasan pers atau kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Sementara itu, lembaga hukum, partai politik (parpol), DPR, dan birokrasi justru masuk dalam peringkat utama lembaga-lembaga paling kotor.
    Namun, dari situ kita bisa tahu sesungguhnya belum ada keberanian dan strategi yang efektif untuk membersihkan korupsi, mulai dari sektor hulu atau sering disebut babon korupsi, sebagaimana mestinya kalau mau berhasil. Kecuali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penegakan hukum hampir mati kutu menghadapi para bandit elite.
    Begitu juga reformasi birokrasi, hukum dan politik cuma berputar-putar di sekitar perbaikan sistem dan kompetensi kelembagaan dalam perspektif tata kelola yang baik (good governance), yang hal itu dengan mudah dapat dilumpuhkan oleh kekuatan korup yang tetap dibiarkan menguasai semua kelembagaan pemerintahan.
    Masyarakat sering menyaksikan birokrat dan aparat hukum kotor dan berkinerja buruk terus naik pangkat dan menduduki jabatan strategis di tengah program reformasi birokrasi dan hukum.
    Pemerintah tanpa rasa malu melantik kepala daerah di penjara, sesuatu yang sangat menyakitkan karena pemerintah tidak berani mengabaikan hal normatif untuk menegakkan keadilan.
    Padahal, justru kehadiran pemimpin adalah untuk melakukan terobosan-terobosan untuk melahirkan perbaikan. Barangkali ajaran filsafat moral Thomas Aquinas tentang epikeia harus berani diperluas tidak sekadar intervensi presiden dalam pemberian grasi.
    Presiden Soeharto sekalipun pada tahun 1985 pernah mengeluarkan instruksi yang cukup berani untuk memarkir ribuan pegawai bea cukai dan menyewa Suisse Generale Surveyor (SGS) dari Perancis ketika rangkaian upaya pembenahan tidak kunjung berhasil.
    Sekitar 2.000 auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebelumnya secara khusus dikerahkan untuk memeriksa kantor pajak dan bea cukai ketika kasus-kasus korupsi di kedua lembaga itu mulai mencuat.
    Namun, coba apa yang dilakukan pemerintah sekarang ketika kasus rekening gendut polisi dan pejabat daerah muncul? Dibiarkan begitu saja hingga menjadi pembicaraan umum di media berlarut-larut tanpa penyelesaian dari pemegang otoritas. Padahal, kasus itu bisa jadi hanya puncak dari gunung es, yang semestinya direspons secara cepat dan sistematis.
    Bukan hanya di pemerintahan, pemimpin-pemimpin partai politik pun tidak terlalu peduli partai politiknya sebagai pilar demokrasi penting diduduki politisi-politisi busuk. Sistem rekrutmen dan pendanaan politik memang menjadi kendala utama sehingga perilaku partai dibiarkan menyalahi prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
    Parpol jarang mempromosikan kadernya atau melamar orang baik dan berprestasi untuk menjadi pemimpin, tetapi lebih suka dilamar oleh mereka yang berduit dan urusan integritas tidak penting.
    Korupsi di Partai Demokrat
    Yang paling kontroversial adalah peristiwa-peristiwa dugaan korupsi yang melanda Partai Demokrat (PD) belakangan ini karena terjadi di tengah upaya Presiden SBY, sebagai pemimpin sesungguhnya PD, berusaha keras membangun kepercayaan publik bahwa pemerintahannya punya perhatian serius terhadap pemberantasan korupsi.
    Selama pasokan koruptor baru terus dibiarkan mengalir, semua program antikorupsi hanyalah omong kosong.
    Presiden SBY mulai dari 2004 hingga 2011 telah mengeluarkan tiga instruksi untuk percepatan pemberantasan korupsi dan yang terakhir telah menyelaraskan dengan kerangka kerja Konvensi Antikorupsi PBB (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC), yaitu meliputi strategi pencegahan, penegakan hukum, peraturan perundang-undangan, kerja sama internasional dan penyelamatan aset hasil korupsi, strategi pendidikan dan budaya antikorupsi, serta mekanisme pelaporan.
    Yang sering diragukan oleh masyarakat adalah pada tingkat implementasinya, yang cenderung hanya direspons oleh kementerian dan lembaga secara proforma. Pada forum dialog LSM antikorupsi dengan Presiden SBY akhir Januari lalu, kekhawatiran itu mengemuka dan muncul desakan agar Presiden lebih interventif dalam rencana aksi di setiap kementerian dan lembaga untuk memastikan semua program reformasi betul-betul bisa mengubah kultur birokrasi yang kotor.
    Kita dengar dari berbagai pihak dalam suasana informal acap Presiden mengeluhkan ketidakpuasannya atas kinerja penegakan hukum selama ini. Namun, Presiden lebih memilih membentuk Satgas Mafia Hukum ketimbang campur tangan langsung untuk membenahi kelembagaan Polri dan Kejaksaan, termasuk memastikan pada jabatan-jabatan strategis diisi oleh orang-orang yang baik.
    Dalam hal lain, mungkin pengangkatan wakil menteri dari kalangan ahli adalah untuk menghadirkan kabinet profesional karena kabinet koalisi politik kurang fungsional, tetapi ingin dipertahankannya.
    Pemberantasan korupsi memang membutuhkan waktu kendati alasan waktu acap dijadikan alasan terselubung untuk menoleransi perubahan yang tertunda. Dan, Indonesia bukan yang pertama dan satu-satunya negara yang tengah menjalankan program reformasi.
    Ada banyak negara yang telah berhasil keluar dari cengkeraman korupsi sehingga kalau para pemimpin bangsa ini tidak punya konflik kepentingan dengan sumber-sumber dana korupsi, barangkali bisa mengambil pengalaman dari negara-negara itu dan rentang waktu bisa diperpendek.
    Pemberantasan korupsi adalah proyek politik yang menantang siapa saja untuk menjadi pemimpin besar yang sesungguhnya. Sebab, korupsi terbukti merupakan penghambat utama pertumbuhan ekonomi, demokrasi, dan kesejahteraan umum.
    Dan, saat ini adalah waktu yang paling krusial untuk meletakan fondasi kebijakan antikorupsi nasional ketika harapan untuk menguatkan kelembagaan antikorupsi tengah menghadapi tantangan serius dari rezim korupsi yang tengah bergerak ke arah sebaliknya. ●
  • Selamatkan Integrasi Sosial Bangsa

    Selamatkan Integrasi Sosial Bangsa
    Fajar Riza Ul Haq, DIREKTUR EKSEKUTIF MAARIF INSTITUTE FOR CULTURE AND HUMANITY
    Sumber : KOMPAS, 16Februari 2012
    Pelantikan pengurus Front Pembela Islam Palangkaraya gagal dilaksanakan. Ratusan orang dari Dewan Adat Dayak dan Gerakan Pemuda Dayak Indonesia Kalimantan Tengah menolak kedatangan pengurus DPP FPI yang akan melantik, Minggu (11/2). Masyarakat sangat resah terhadap perilaku kekerasan organisasi pimpinan Rizieq itu.
    Aksi serupa dilakukan Angkatan Muda Nahdlatul Ulama Kudus saat membubarkan pengajian dan pelantikan pengurus Majelis Tafsir Al Quran di ”Kota Menara” tersebut, 28 Januari.
    Pada April tahun lalu, sejumlah ulama NU menyampaikan keberatan atas aktivitas dakwah organisasi asal Kota Solo itu di Purworejo karena menilai pendekatan dan muatan dakwahnya memprovokasi. Tercatat pula, sikap intoleransi masyarakat di Blora terhadap anggota MTA pada tahun 2003 telah memaksa mereka hidup bertahun-tahun di pengungsian di Solo.
    Situs VOA-Islam melaporkan, masyarakat Muslim di Ternate Utara mengusir warga Syiah Jerbes, 25 Januari. Langkah ini dilakukan sebagai respons terhadap aksi warga Sampang, Madura, yang menyerang permukiman Syiah pada akhir tahun lalu.
    Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat, warga Syiah lebih baik meninggalkan kampung halamannya sebelum menjadi sasaran kemarahan masyarakat Muslim. Perbedaan ajaran pemicu utama. Kasus-kasus ini merupakan fakta berserak dari potret kekerasan sektarian yang kian mengancam ruang publik kita.
    Konflik Sektarian
    Semakin meningkatnya intensitas konflik berlatar belakang agama, terlebih yang bersifat internal, di Tanah Air mengonfirmasi tesis Joseph Nye Jr. Menurut dia, salah satu tantangan terpenting di era multipolar kekuatan politik global adalah ”perang sipil di tubuh umat Islam” yang dipicu oleh fundamentalisme agama dan ekstremisme.
    Bukan benturan peradaban (2011:232). Perjumpaan kesenjangan sosial-ekonomi dengan perbedaan pandangan keagamaan sering kali menjadi kondisi mendasar yang rentan terhadap konflik sektarian. Memakai perspektif Ashutosh Varshney, aksi kekerasan yang berkecambah merupakan dampak kegagalan negara mengelola konflik sektarian dan komunal (2002: 172).
    Ia menemukan, pemerintah lokal dan polisi akan dapat bekerja efektif membina hubungan damai antarkelompok jika ditopang oleh peran masyarakat sipil yang kuat di ruang publik. Keterlibatan partisipatif kelompok-kelompok sipil dalam menciptakan norma budaya bersama sangat krusial.
    Mekanisme Pencegahan
    Pada persoalan ini, paling tidak ada dua komitmen yang harus dikerjakan guna meredam merebaknya aksi kekerasan sektarian-agama di ruang publik. Pertama, pemerintah daerah dan kepolisian harus merumuskan kebijakan yang berdaya pencegahan konflik, khususnya memutus mata rantai kesenjangan sosial-ekonomi dan ketidakadilan hukum. Setiap daerah hendaknya memetakan potensi konflik sektarian sehingga memiliki sistem peringatan dini.
    Kedua, kelompok-kelompok keagamaan harus terlibat dalam proses integrasi budaya bangsa. Mereka harus menjelmakan semangat kesalehannya ke dalam jasad keindonesiaan yang meyakini kebinekaan sebagai platform bersama.
    Proses ini akan mengantarkan semua kelompok keagamaan pada nilai-nilai bersama dalam bermasyarakat dan berbangsa.
    Rendahnya kadar integrasi nilai-nilai budaya ini membuat setiap kelompok keagamaan tidak mampu memediasi konflik perbedaan pandangan keagamaan di ruang publik berdasarkan nilai-nilai toleransi dan norma etika publik nirkekerasan. Jika kondisi semacam ini terus berlangsung, integrasi sosial kita dalam bahaya serius. ●
  • Konflik dan Semangat Korsa Kepolisian

    Konflik dan Semangat Korsa Kepolisian
    G Ambar Wulan, DOSEN KAJIAN ILMU KEPOLISIAN PASCASARJANA UI
    Sumber : KOMPAS, 16Februari 2012
    Polisi kembali mendapat sorotan tajam masyarakat terkait dengan serangkaian aksi kekerasan yang terus terjadi. Sepanjang 2011 tercatat ada 92 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di sejumlah wilayah Indonesia (Kompas, 30/12/2011).
    Selain itu, ada sejumlah kasus konflik lahan di mana aparat polisi terlibat melakukan kekerasan. Semua ini mencederai semangat pengabdian korps kepolisian yang menempatkan Tribrata sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas di lapangan. Polri pada hakikatnya bertugas mewujudkan masyarakat yang Tata-Tenteram-Karta-Raharja (Kunarto, 1997).
    Kepekaan terhadap lingkungan internal dan eksternal seharusnya menjadi kebutuhan urgen bagi polisi dalam melaksanakan tugas hingga tingkat wilayah yang terkecil. Tugas polisi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat sulit dicapai tanpa adanya kepekaan dalam melaksanakan intelijen, terutama di wilayah-wilayah yang berpotensi konflik sosial. Tanpa itu, polisi lebih banyak bertindak represif dibandingkan dengan preventif.
    Persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat tampaknya masih menjadi persoalan dalam mengembangkan kerukunan antaragama, suku, dan budaya.
    Di samping meningkatkan kerja sama dengan instansi-instansi terkait, baik di pusat maupun daerah, Polri dituntut melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional. Yang utama adalah bagaimana mengontrol penggunaan wewenang agar tidak lagi terjadi kekerasan oleh aparat polisi dalam menghadapi unjuk rasa, seperti kasus Mesuji (Lampung) dan Bima (NTB).
    Pengelolaan Organisasi
    Polri sebagai organisasi besar dan kompleks—dilihat dari tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab, serta luas wilayah dan jumlah penduduk—harus bisa menangani peningkatan kerawanan yang bermuatan politik, ekonomi, budaya, radikalisme agama, dan lain lain. Untuk itu, dibutuhkan penguatan terhadap kontrol yang terstruktur, peningkatan kualitas SDM melalui pengetatan rekrutmen, serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan guna menyiapkan tenaga yang dibutuhkan, terutama tenaga teknis profesional khas polisi.
    Selain itu, kepemimpinan di Polri perlu tegas, terutama dalam melepaskan anggota-anggotanya dari ikatan-ikatan yang bersifat politis dan ekonomis yang meminggirkan tugas pokoknya sebagai pelayan publik. Artinya, kepolisian tidak lagi dikaitkan dengan satu atau lain golongan dalam masyarakat, tetapi menjadi pelayan publik yang mengatasnamakan pada semua golongan.
    Pekerjaan Polri yang diperuntukkan bagi pelayanan publik menuntut komitmen dan integritas serta transparansi sebagai kapital untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Tanpa hal-hal tersebut polisi akan kehilangan empati dalam menjalankan pekerjaannya.
    Meskipun sejumlah keberhasilan telah dicapai Polri dalam mencegah terorisme dan memerangi narkoba, tindakan kekerasan aparat akan kembali menurunkan ketidakpercayaan masyarakat kepada polisi. Di sisi lain, pembiaran konflik-konflik sosial itu bisa memicu munculnya hal serupa di daerah lain.
    Pelanggaran disiplin atau kode etik kepolisian oleh aparat di wilayah konflik menunjukkan pentingnya semangat dan jiwa korsa polisi yang signifikan dalam menjalankan tugas dan fungsi pokok yang mengutamakan kepentingan masyarakat.
    Secara historis, jiwa korsa ini telah disadari oleh perancangnya, yakni RS Soekanto Tjokrodiatmodjo. Kepala Kepolisian RI pertama itu telah meletakkannya sebagai batu fundamen bagi bangunan kepolisian, yaitu wajib mengamankan, menertibkan, dan menegakkan hukum.
    Selain itu, kontrol sosial dari masyarakat dibutuhkan pula, terutama dalam menilai sejauh mana implementasi reformasi yang dicanangkan sejak 2005 telah dilaksanakan? Grand Strategy Polri (2005-2025) yang telah berlangsung separuh jalan dengan sasaran membangun kepercayaan dan kemitraan perlu evaluasi dan pembaruan dengan pertimbangan rasional. Keberhasilan organisasi seharusnya diukur dari kinerja dalam mencapai visi, misi, serta pelaksanaan tugas pokok secara efisien dan efektif.
    Pada akhirnya, penilaian masyarakat terhadap kinerja polisi apakah telah mencapai standar profesional atau belum, menandakan bahwa rakyat tetap peduli kepada polisi. Rakyat mendambakan Bhayangkara RI yang mengedepankan semangat dan jiwa korsa kepolisian dalam mengabdi pada kepentingan publik. Dengan demikian, kekerasan aparat yang memprihatinkan ini tidak terjadi lagi. ●
  • Obsesi Nilai Tambah

    Obsesi Nilai Tambah
    Haryo Aswicahyono, PENELITI EKONOMI
    CENTRE FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL STUDIES
    Sumber : KOMPAS, 16Februari 2012
    Akhir-akhir ini semakin gencar wacana tentang perlunya Indonesia menerapkan strategi mengejar nilai tambah.
    Sebetulnya ini bukan wacana baru, 20 tahun silam dalam dialog pembangunan di Cides, BJ Habibie sudah menyarankan agar Indonesia menerapkan strategi pembangunan berdasarkan nilai tambah dengan orientasi teknologi dan industri.¹
    Yang lebih mutakhir, Hatta Rajasa rajin menyerukan bahwa sekarang saatnya pelaku usaha Indonesia tidak lagi mengekspor bahan baku, tetapi menjadikan bahan baku itu sebagai barang industri yang bernilai tambah (Antaranews, 28 Januari 2012).
    Obsesi mengejar nilai tambah ini diwujudkan dalam berbagai kebijakan berbentuk insentif dan disinsentif yang pada dasarnya ”memaksa” pengusaha mempercepat proses mengejar nilai tambah. Tulisan ini sepakat dengan tujuan yang disampaikan Habibie dan Hatta. Sepakat Indonesia perlu mengatasi ketertinggalan dalam teknologi dan meningkatkan nilai tambah. Namun, tulisan ini bersikap kritis dan menyampaikan strategi alternatif untuk mencapai tujuan tersebut.
    Nilai tambah menurut definisi adalah selisih antara seluruh penerimaan perusahaan dikurangi pengeluaran untuk barang dan jasa antara dan bahan baku yang dibeli dari luar perusahaan tersebut. Biasanya nilai tambah ini dibagi menjadi dua komponen: upah yang diberikan kepada buruh dan keuntungan yang diberikan kepada (pemilik) modal.
    Semakin berketerampilan buruh yang mengolah bahan baku dan kian besar modal yang digunakan dalam proses produksi, kian besar nilai tambah yang dihasilkan perusahaan atau industri. Berdasarkan data tabel Input-Output 2005 BPS, misalnya, nilai tambah per pekerja di industri kimia 276 kali lipat di pertanian padi dan 10 kali lipat di industri tekstil, pakaian jadi dan penyamakan kulit.
    Dari sisi kebutuhan modal per pekerja, industri kimia 30 kali lebih padat modal dibandingkan sektor pertanian dan delapan kali lebih padat modal dibandingkan industri tekstil, pakaian jadi dan penyamakan kulit. Singkat kata, industri atau sektor yang bernilai tambah tinggi adalah sektor yang secara relatif padat modal fisikal dan/atau padat modal insani.
    Pilihan Strategi
    Tanpa investasi baru, meningkatkan nilai tambah suatu industri berarti merealokasikan sumber daya dari sektor bernilai tambah rendah ke sektor bernilai tambah tinggi. Merealokasikan sumber daya dari sektor padat tenaga kerja nirterampil ke sektor lebih padat modal dan/atau padat tenaga kerja terampil.
    Sebagai ilustrasi, kita lihat implikasi realokasi sumber daya dari perkebunan kelapa sawit ke industri pengolahan kelapa sawit. Menurut tabel Input-Output, industri pengolahan kelapa sawit 10 kali lebih padat modal dibandingkan perkebunan kelapa sawit. Jadi, setiap realokasi satu unit modal dari perkebunan kelapa sawit ke industri pengolahan kelapa sawit akan ”melepas” 10 buruh dari perkebunan kelapa sawit. Sementara hanya satu buruh yang diperlukan industri pengolahan kelapa sawit, sembilan lainnya akan menganggur.
    Ditambah lagi karena setelah realokasi ekonomi tidak lagi full employment, ada sumber daya yang menganggur, maka total nilai tambah yang dihasilkan akan lebih rendah dibandingkan jika tidak terjadi realokasi.
    Bagaimana jika peningkatan nilai tambah dilakukan melalui investasi baru bukan melalui realokasi sumber daya? Pertanyaannya akan tetap sama: mengapa investasi baru digelar di industri pengolahan kelapa sawit yang padat modal, bukan di perkebunan sawit yang penyerapan tenaga kerja 10 kali lipat lebih banyak?
    Jika kita terpaku hanya pada aspek penyerapan tenaga kerja, bukankah Indonesia akan terjebak dalam keterbelakangan dan terus-menerus hanya menghasilkan barang dengan nilai tambah rendah dan teknologi sederhana? Jawabannya tidak.
    Bayangkan jika Indonesia bisa terus-menerus meningkatkan investasinya secara cepat. Dalam waktu tak terlalu lama tenaga kerja akan terserap habis sehingga tenaga kerja jadi langka di pasar tenaga kerja. Di tengah kelangkaan tenaga kerja ini upah buruh akan terdorong naik. Memproduksi barang padat tenaga kerja tak lagi menguntungkan dan pada gilirannya pengusaha akan menyesuaikan diri dengan bergeser ke industri padat modal atau tenaga ahli.
    Dengan kata lain, jika investasi tumbuh pesat, secara natural, Indonesia akan bergeser ke industri bernilai tambah lebih tinggi. Bedanya dengan strategi yang diusulkan Habibie dan Hatta, strategi ini meningkatkan nilai tambah secara bertahap, tanpa picking winner, dan tetap menjaga ekonomi dalam kondisi full employment. Jangan lupa, Indonesia pernah sukses menerapkan strategi di atas. Pertumbuhan pesat sektor padat karya yang terjadi sejak 1986 sampai sebelum krisis 1998 telah menyerap jutaan tenaga kerja.
    Chris Manning dalam tulisannya ”Lessons from Labor Adjustment to the East Asian Crisis: The Case of South Korea, Thailand and Indonesia” menunjukkan, sebelum krisis 1998, Indonesia sudah memasuki era langka tenaga kerja. Seandainya tak terjadi krisis, peningkatan nilai tambah secara natural ini akan terjadi dengan sendirinya.
    Dengan terjadinya krisis, ekonomi kembali berkelimpahan tenaga kerja. Namun, bukan berarti kita lantas harus meninggalkan tugas penyerapan tenaga kerja dengan bergeser ke strategi penargetan industri pencipta nilai tambah. Sebaliknya, Indonesia harus bekerja dua kali lebih keras dalam usaha menciptakan lapangan kerja. Sayangnya, kebijakan tenaga kerja yang rigid dan upah minimum yang tinggi justru telah memenuhi saran kebijakan peningkatan nilai tambah di atas. Industri padat modal bernilai tambah tinggi yang berkembang setelah krisis, tetapi daya serap tenaga kerja rendah.
    Peran Pemerintah
    Lantas apa peran pemerintah? Pertama, mengingat kesuksesan strategi peningkatan nilai tambah tergantung seberapa cepat Indonesia bisa sampai pada era kelangkaan tenaga kerja, strategi yang tepat adalah mempercepat investasi yang mampu menyerap sebanyak-banyaknya tenaga kerja. Pemerintah menciptakan iklim investasi yang baik sehingga pengusaha akan berlomba investasi tanpa perlu diatur ke sektor mana harus berinvestasi.
    Kedua, percepatan pembangunan infrastruktur dapat mendorong percepatan penyerapan tenaga kerja mengingat infrastruktur pada umumnya sektor yang padat karya, dan pada saat yang sama menciptakan iklim investasi yang baik. Ketiga, nilai tambah tinggi juga terkait penyediaan sumber daya manusia yang mumpuni. Untuk itu, perlu kebijakan pendidikan dan kesehatan yang baik. Singkat kata, pemerintah perlu kembali fokus pada kompetensi inti menyediakan barang publik berkualitas, yaitu menciptakan iklim usaha dan investasi yang sehat, penyediaan infrastruktur yang berkualitas, dan pembangun sumber daya manusia melalui perbaikan kualitas pendidikan dan kesehatan. Kebijakan jenis ini yang akan mengantar jutaan wiraswasta untuk terus-menerus meningkatkan nilai tambah produksi. ●