Category: Uncategorized
-
Jalan Panjang Ratifikasi
Jalan Panjang RatifikasiAnis Hidayah, DIREKTUR EKSEKUTIF MIGRANT CARESumber : KOMPAS, 17Februari 2012Setelah 13 tahun, akhirnya amanat presiden untuk ratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Seluruh Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya—dikenal sebagai Konvensi Buruh Migran—ditandatangani pada 7 Februari 2012.Pada 9 Februari, amanat presiden tersebut diserahkan kepada Ketua DPR. Dalam skema perlindungan buruh migran, ratifikasi terhadap konvensi tersebut merupakan instrumen paling mendasar bagi Pemerintah Indonesia sebagai negara pengirim. Oleh karena itu, hal ini harus jadi momentum bersama untuk menata kembali manajemen perlindungan buruh migran yang selama ini selalu menjadi korban pelanggaran HAM, terutama di sejumlah negara tujuan.Konvensi Buruh Migran yang disahkan Majelis Umum PBB pada 18 Februari 1990 melalui Resolusi No 45/158 merupakan instrumen internasional, berisikan prinsip-prinsip dan kerangka perlindungan global bagi buruh migran dan anggota keluarganya berdasarkan standar HAM. Konvensi berlaku efektif setelah 20 negara meratifikasinya.Sejak Timor Leste menjadi negara ke-20 yang meratifikasi konvensi tersebut pada Maret 2003, sejak 1 Juli 2003 konvensi tersebut menjadi perjanjian berkekuatan hukum mengikat. Hingga 12 Februari 2012, konvensi ini sudah diratifikasi oleh 45 negara. Sebanyak 33 negara di antaranya telah menandatanganinya.Tak BernalarDibandingkan Timor Leste yang notabene negara baru, Indonesia sesungguhnya jauh lebih berkepentingan untuk meratifikasi konvensi ini. Sebab, lebih dari 6 juta warga negara Indonesia bekerja di luar negeri dengan sistem perlindungan sangat minim. Anehnya, selama ini pemerintah tidak memiliki komitmen untuk menjadikan ratifikasi sebagai agenda prioritas.Kalkulasi untung-rugi yang sering mengabaikan kondisi obyektif buruh migran Indonesia dengan perlindungan yang ala kadarnya selalu jadi alasan untuk menghindari ratifikasi. Ketakutan pemerintah terhadap konsekuensi ratifikasi yang selalu dipandang akan membebani kerja birokrasi terbukti tak dapat dinalar. Ketidaknalaran itu juga tergambar jelas ketika Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memasang iklan resmi di satu harian nasional pada 24 Februari 2009. Isinya: ratifikasi Konvensi Buruh Migran belum mendesak bagi Pemerintah RI.Padahal, sejak Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) 1999-2003, pemerintah telah menetapkan ratifikasi sebagai salah satu agenda, kemudian diperbarui dalam RAN HAM 2004-2009 dan 2011-2014. Pada 22 September 2004, Pemerintah Indonesia menandatangani konvensi tersebut dengan janji segera meratifikasi. Selain itu, TAP MPR No V/2002 juga telah mengamanatkan Pemerintah RI agar meratifikasi Konvensi Buruh Migran. Tahun 2005-2009, DPR juga menetapkan ratifikasi sebagai agenda Program Legislasi Nasional.Ironisnya, dalam berbagai kesempatan di forum-forum regional dan internasional, Pemerintah Indonesia tampak sangat membangun pencitraan dengan janji segera melaksanakan ratifikasi. Misalnya, dalam High Level Dialogue on Migration and Development tahun 2006, dalam Pledge on UN HRC Candidacy (United Nation of Human Rights Council), dalam Universal Periodic Report, dalam Global Forum on Migration and Development sejak 2007, dalam Colombo Process (forum pertemuan tingkat menteri tenaga kerja di Asia) sejak 2003, dalam Abu Dhabi Dialogue (forum antara negara pengirim dan penerima di Asia), dan dalam forum ASEAN, janji ratifikasi selalu diobral.Desakan kepada Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi ini tidak hanya dilakukan kalangan masyarakat sipil di Indonesia, tetapi juga dari berbagai komunitas internasional. Di antaranya, pertama, rekomendasi umum Komite CEDAW No 26 on Women Migrant Workers poin 29 pada 2008, ”Negara pihak didorong untuk meratifikasi semua instrumen internasional yang relevan dengan perlindungan HAM perempuan pekerja migran, khususnya Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.”Kedua, rekomendasi pelapor khusus PBB bagi pekerja migran tahun 2006 (A/HRC/4/24/Add.3) poin 66: ”Pemerintah Indonesia harus meningkatkan usahanya untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.”Ketiga, concluding comment Komite CEDAW tahun 2007 (poin 44) mendesak Pemerintah Indonesia meratifikasi traktat yang belum diratifikasi Indonesia sebagai negara pihak, yaitu Konvensi mengenai Perlindungan Hak Semua Tenaga Kerja Migran dan Anggota Keluarganya.Sikap Pemerintah Indonesia yang selalu menunda agenda ratifikasi Konvensi Buruh Migran mengakibatkan lemahnya perlindungan buruh migran Indonesia selama ini. Banyak kebijakan diambil Pemerintah Indonesia, baik nasional maupun bilateral dengan negara tujuan yang tidak mencerminkan standar HAM.Di tingkat nasional, UU No 39/2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI (saat ini sedang dalam tahap revisi di legislatif) sama sekali tidak mengatur perlindungan buruh migran karena lebih mengatur bisnis penempatan. Sementara berbagai nota kesepahaman (MOU) dengan negara tujuan juga terbukti tidak efektif, seperti MOU dengan Malaysia—ditandatangani pada 13 Mei 2006—yang akhirnya harus direvisi setelah memakan waktu 2,5 tahun karena secara substantif tidak memenuhi standar HAM. Demikian pula dengan banyak MOU lain.Akibatnya, menurut catatan Migrant Care, setiap tahun selalu terjadi pelanggaran HAM serius, terutama terhadap pekerja rumah tangga (PRT) migran di luar negeri. Tahun 2011, 228.193 buruh migran Indonesia menghadapi berbagai permasalahan, seperti ancaman hukuman mati, kematian, pelecehan seksual, gaji tidak dibayar, kelebihan tinggal, deportasi, dan trafficking. Dengan demikian, tak keliru kiranya jika dikatakan bahwa menunda ratifikasi sama artinya membiarkan dengan sengaja buruh migran Indonesia dalam ancaman pelanggaran HAM.Langkah AwalKini, setelah amanat presiden ditandatangani dan diserahkan kepada Ketua DPR, kita semua berharap legislatif segera melakukan upaya proaktif untuk meratifikasi konvensi tersebut tanpa reservasi (pengecualian terhadap pasal tertentu). Dengan ratifikasi, pemerintah memiliki kewajiban untuk membentuk mekanisme perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya yang mengedepankan HAM.Meski demikian, ratifikasi Konvensi Buruh Migran ini sesungguhnya bukan akhir dari tanggung jawab negara. Justru ini merupakan langkah awal dan harus menjadi tonggak penanda perubahan yang lebih baik dalam perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya yang sudah sangat nyata telah memasok devisa bagi negara. ● -
Ambivalensi Sikap Penyelenggara Negara
Ambivalensi Sikap Penyelenggara NegaraRomli Atmasasmita, GURU BESAR EMERITUS UNIVERSITAS PADJADJARAN,
ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASDEMSumber : SINDO, 17Februari 2012Saat ini KPK masih belum optimal melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan UU KPK karena masalah internal dan eksternal. Masalah internal yaitu belum ada pemahaman yang sama antara pimpinan dan pegawai penyidik dan penuntut mengenai visi dan misi KPK.
Ketidaksepahaman itu terfokus pada pandangan KPK sebagai lembaga negara independen di samping kepolisian dan kejaksaan di satu sisi dan mengenai fungsi dan peranan KPK sebagai mitra kerja DPR RI di sisi lain. Sementara masalah eksternalnya, KPK telah menjadi pusat perhatian masyarakat luas dan bahkan menjadi ”kambing hitam” penyelenggara negara dalam menuntaskan pencegahan dan pemberantasan korupsi.Jargon ”masih menunggu penetapan tersangka dari KPK” atau ”penyelesaian diserahkan sepenuhnya pada KPK untuk memulai menindak anggota partai politik yang terlibat perkara korupsi” menempatkan KPK pada posisi disudutkan. Dengan demikian, beban psikologis pimpinan KPK sangat tinggi, seolah-olah ingin mengatakan bahwa nasib tersangka sepenuhnya di tangan KPK.
Pola pikir tersebut sangat keliru karena tidak berangkat dari perbedaan yang jelas dan tegas antara ranah hukum pidana dan hukum administrasi negara (penyelenggara negara) di satu sisi dan perbedaan antara ranah hukum dan ranah politik di sisi lain. Lebih jauh sikap ambigu di atas menunjukkan masih rendahnya integritas penyelenggara negara dalam mewujudkan komitmen pemberantasan korupsi.
Sekali lagi harus diingatkan kembali bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi tidak terletak pada pernyataan-pernyataan di muka publik, tapi hanya dapat diwujudkan dengan langkah nyata (action). Bentuknya bisa saja seperti pemberhentian sementara status hukum sebagai PNS/penyelenggara negara terhadap para pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK ataupun oleh kejaksaan. Indonesia memang serbaterbalik dalam masalah ini.
Jika kita contoh di negara maju,ketika seorang pejabat negara hanya diduga atau diisukan melakukan tindak pidana termasuk suap, dengan sendirinya yang bersangkutan menyatakan pengunduran dirinya di hadapan publik.Langkah itu untuk membuktikan komitmen dan langkah nyata dalam memelihara prinsip pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).
Tidak terdengar pernyataan bahwa harus dihargai asas praduga tak bersalah atau menunggu putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, sementara yang bersangkutan terus saja menduduki jabatan dan menjalankan tugasnya, seolaholah tidak terjadi masalah. Jika dibandingkan sikap penyelenggara negara di negara maju dalam kaitan ini,dapat dikatakan bahwa sikap penyelenggara negara di Indonesia sebatas omong kosong saja. Sikap itu telah melukai perasaan keadilan rakyat.
Sementara jika rakyat yang tidak mampu melakukan kejahatan,serta-merta langkah penangkapan dan penahanan berjalan tanpa hambatan apa pun. Persoalan serius ini bukan terletak pada bagaimana memerankan fungsi dan peranan hukum progresif yang hanya dibebankan pada aparatur penegak hukum.Hakikat dan tujuan hukum progresif itu seharusnya telah melekat pada hati nurani para penyelenggara negara.
Apakah tidak memalukan jika sikap penyelenggara negara selalu menggunakan jargon asas praduga tak bersalah dan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi rakyat miskin jargon yang sama tidak diberlakukan? Atas dasar pertimbangan ini, kepada KPK diberikan wewenang berdasarkan UU KPK untuk melakukan langkah-langkah hukum yang luar biasa.
Termasuk di antaranya langkah penyadapan dan pemeriksaan penyelenggara negara yang tidak dimiliki kepolisian dan kejaksaan. Putusan MK RI yang telah mempreteli status hukum tersangka pimpinan KPK tidak boleh diberhentikan sementara hanya atas alasan diskriminasi dan bertentangan dengan UUD telah menempatkan status hukum pimpinan KPK yang bersangkutan sama dengan PNS/ penyelenggara negara lain.
Mereka sangat rentan terhadap pelemahan sikap dan integritas pimpinan KPK di masa yang akan datang. Contoh terbaru adalah rotasi anggota DPR dari Partai Demokrat Angelina Sondakh ke Komisi III dalam posisi yang bersangkutan sebagai tersangka oleh KPK. Sementara jika di satu sisi terjadi banyak keanehan penggunaan asas praduga tak bersalah yang menguntungkan individu yang bermasalah dengan korupsi, di sisi lain ada langkah buruk lain dari pemerintah.
Langkah melakukan pengetatan remisi dan bebas bersyarat yang bersifat diskriminatif terhadap beberapa anggota parpol lain bertentangan dengan UUD dan UU Pemasyarakatan. Sangat mengejutkan sikap dan pernyataan wakil pemerintah, Kementrian Hukum dan HAM di sidang Pengadilan TUN Jakarta Timur yang menyatakan bahwa hak terpidana tidak sama dengan HAM.
Menjadi pertanyaan bagi saya, apakah mereka yang berada di dalam LP saat ini hanya hewanhewan yang dikerangkeng? Sedangkan di antara mereka terdapat mantan pejabat negara yang telah berjasa kepada negara ini. Tidak ada satu pun ketentuan dalam Konvensi HAM Internasional dan UUD 1945 yang menegaskan bahwa HAM tidak berlaku untuk terpidana alias warga binaan.
Baca dan teliti kalimat ”every persons…” atau ”setiap orang…” dalam kedua rujukan hukum di atas. Saat ini kita merindukan dan sangat mengharapkan pemimpin dan penyelenggara negara bukan hanya pintar, melainkan juga amanah, jujur, berintegritas, dan satunya kata dengan perbuatan.
● -
Politik dan Penjara
Politik dan PenjaraKomaruddin Hidayat, REKTOR UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAHSumber : SINDO, 17Februari 2012Hubungan antara politik dan penjara itu selalu berdekatan, bahkan berimpitan. Sejarah mencatat, banyak politikus yang pernah tinggal di penjara.Hanya saja, kualitas dan penyebabnya tidak selalu sama.
Dalam pengertiannya yang luas, politikus/politisi adalah mereka yang berjuang memperebutkan kekuasaan dalam struktur pemerintahan untuk mengatur dan menggerakkan mesin birokrasi negara demi memajukan dan menyejahterakan rakyat. Oleh karena itu pada dasarnya karier politik itu terhormat dan mulia. Jadi, kalau sekarang ini partai politik dan politisi jelek citranya di mata masyarakat, adadua kemungkinan.Pertama, masyarakat tidak tahu dan tidak menyadari bahwa politisi itu tengah berjuang membela rakyat sehingga sepantasnya rakyat menghargai dan menghormatinya. Kemungkinan kedua, telah terjadi degradasi, penyimpangan dan pembusukan dalam tubuh politik sehingga cita-cita mulia politik telah hilang, dirusak politisi.Ketika politisi tidak lagi secara transparan dan terbukti menyejahterakan rakyat, melainkan hanya sibuk menyejahterakan dirinya saja, maka logis bila rakyat tidak lagi respek.
Cita
–cita mulia politik dibajak oleh nafsu dan naluri primitif para aktornya. Dalam sejarah, banyak politikus yang kemudian tumbuh menjadi negarawan yang akrab dengan penjara karena dianggap mengancam posisi lawannya. Siapa yang tidak tahu Mahatma Gandhi,Nelson Mandela, Ayatullah Khomeini,Soekarno, Hatta,Hamka,Mochtar Lubis, dan masih banyak aktivis politik lain yang pernah tinggal di penjara, tetapi tetap dihormati dan dicintai rakyatnya?Bagi mereka penjara merupakan simbol keteguhan jiwa dalam membela prinsip kebenaran dan kemerdekaan sekalipun harus dibayar dengan mendekam di kamar tahanan yang sempit dan pengap. Penjara adalah risiko yang mesti dihadapi demi mempertahankan prinsip dan cita-cita luhur perjuangan. Bagi pejuang kemerdekaan seperti Gandhi atau Mandela, penjara justru menjadi penghubung dengan rakyatnya agar terus berjuang, tidak menyerah terhadap penguasa yang merampas martabat dan kedaulatan bangsanya.
Fisiknya bisa saja terkurung di ruang sempit,tetapi jiwa dan pikirannya menyatu dengan rakyat untuk bersama-sama membangun bangsa, melawan kebatilan, seperti halnya yang dilakukan Ayatullah Khomeini yang menggerakkan rakyatnya untuk melawan Shah Reza Pahlewi dari pengasingannya di Prancis.Tembok penjara dan pengasingan tidak mampu memisahkan ikatan batin antara pemimpin dan pendukungnya. Tapi akhir-akhir ini yang berkembang di Indonesia adalah politik, korupsi, dan penjara.
Dulu para politikus berkorban dan berjuang demi membela rakyat, sekarang sebagian aktivis politik sibuk bergerilya mencari celah korupsi mengkhianati amanat dan harapan rakyat. Ironis dan menyedihkan.Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menemukan indikasi korupsinya, mereka beramairamai membuat pernyataan bahwa semua itu fitnah belaka. Maka tampillah wajah-wajah pembela hukum yang berusaha meyakinkan publik bahwa kliennya bersih.
Tugas mulia politisi dan pembela hukum lalu tercoreng oleh mereka yang hanya menjadikan dua profesi tersebut kedok semata untuk mencari keuntungan materi. Tidak hanya tercoreng, tetapi malah tenggelam dan babak belur. Kepercayaan rakyat merosot drastis terhadap politisi dan profesi penegak hukum.
Sekian banyak bupati,wali kota, gubernur, menteri, anggota DPR terbukti terlibat korupsi dan terancam penjara.Rakyat bertanya-tanya, yang tidak atau belum terlibat korupsi itu apakah memang benar-benar bersih ataukah hanya tidak tertangkap saja? Akibat yang muncul,wibawa pemerintah dan politisi jatuh.
Sementara potensi konflik baik secara vertikal maupun horizontal kian merebak sehingga mulai terjadi social disobedience (pembangkangan sosial). Rakyat mudah marah,merusak dan main keroyok, bahkan merusak simbol-simbol negara seperti kantor polisi dan kantor bupati.Kaum buruh pun ramairamai menutup jalan raya agar tuntutannya didengar. Konflik sosial terjadi di mana-mana,politisi jadi bulanbulanan media massa akibat korupsi, sementara pemerintah tidak cukup berwibawa.
Alih-alih mengantarkan lahirnya sosok-sosok negarawan, partai politik dan panggung politik melahirkan banyak koruptor yang mestinya memang tinggal di penjara, bukannya kantor pemerintah yang terhormat. Sekarang semakin sulit menemukan ruang tahanan yang dihuni pejuang politik dan negarawan seperti masa lalu.
Yang ada adalah koruptor, pembunuh,pengedar narkoba, dan sopir mabuk yang jadi algojo di jalan raya. Dulu, banyak politikus sebelum hidup layak tinggal di penjara. Sekarang banyak politikus tinggal di kantor megah dengan fasilitas mewah, lalu ujungnya pindah ke penjara.
● -
Prahara “Revolusi Angkot”
Prahara “Revolusi Angkot”Hasibullah Satrawi, Alumni Al-Azhar, Kairo, Mesir,
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam pada Moderate Muslim Society (MMS) JakartaSumber : SINDO, 17Februari 2012Awalnya revolusi Mesir menjadi kebanggaan tersendiri. Setidaknya demikian klaim subjektif masyarakat Mesir atas keberhasilan gerakan revolusi 25 Januari yang melengserkan kekuasaan Hosni Mubarak pada 11 Februari 2011 lalu.Apalagi revolusi yang dimotori para pemuda itu tidak sampai menjadi perang terbuka, tidak memakan ribuan korban, dan tidak membutuhkan waktu perjuangan sedemikian panjang (seperti yang pernah terjadi di Libya dan sekarang terjadi di Syria). Sungguh ironis, kebanggaan di atas perlahan berubah menjadi ”penyesalan”.Setidaknya demikian analisis kolumnis terkemuka Mesir,
Abdul Mun’im Said, yang membagi pandangan masyarakat Mesir terkait prahara revolusi ke dalam tiga kelompok (Ash-Sharq Al-Awat, 1/2). Pertama, kelompok penyelamat (sikkatu as-salamah) yang diwakili militer Mesir sebagai lembaga negara satu-satunya yang mengambil alih tugas-tugas kenegaraan pascarevolusi (terlepas dari semua kekurangan yang ada).Kedua, kelompok yang menyesal (sikkatu an-nadamah) karena menganggap kehidupan pascarevolusi lebih buruk dibanding era sebelumnya.
Ketiga, kelompok tak berdaya karena semanis apa pun kehidupan di masa lalu tak akan bisa dikembalikan (allazi yazhab lam ya’ud). Kehidupan sosial politik Mesir pascarevolusi yang sarat dengan aksi kekerasan cukup menjadi alasan bagi pergeseran kebanggaan menjadi penyesalan sebagaimana di atas.Baik kekerasan yang bernuansa keagamaan, sosial-politik atau bahkan pertandingan sepak bola seperti yang terjadi di Port Said yang berubah menjadi ajang pembantaian tidak lama ini. Pelbagai macam aksi kekerasan yang terjadi di Mesir pascarevolusi ditengarai oleh banyak pihak sebagai konspirasi politik (tak terkecuali tragedi Port Said mutakhir yang menewaskan 74 orang).
Setidaknya ada tiga pihak yang selama ini kerap dituding sebagai dalang dari pelbagai macam konspirasi politik di Mesir mutakhir. Pertama, militer dan loyalis Hosni Mubarak. Dalam persoalan aksi kekerasan di Port Said, contohnya, hampir semua pihak di Mesir mengarahkan ”telunjuknya” kepada militer dan loyalis Hosni Mubarak sebagai pihak yang berada di balik aksi kekerasan tersebut.
Suporter kesebelasan Al- Ahly (biasa dikenal dengan nama Ultras) yang menjadi korban dalam tragedi itu berperan cukup besar dalam sejumlah aksi demonstrasi yang berhasil menggulingkan Hosni Mubarak. Asumsinya, para loyalis Mubarak tidak rela membiarkan Mesir pascarevolusi menjadi tenteram dan aman.Apalagi kekuatan revolusi mendongkel kekuasaan Mubarak dengan cara yang dianggap sangat menyakitkan.
Terlebih lagi kekuatan revolusi saat ini memaksa Mubarak menjadi pesakitan di ruang pengadilan bersama semua perangkat medis dan ranjang dorongnya. Persis seperti kata pepatah, sekali dayung dua dan tiga pulau terlampaui.Dengan melakukan pelbagai macam aksi kekerasan, para loyalis Mubarak hendak membalas sakit hati mereka atas semua penderitaan yang saat ini dialami Mubarak, sekaligus menciptakan ”ruang rindu terlarang” seperti yang disampaikan Abdul Mun’im Said.
Hingga masyarakat Mesir menyesal atas semua situasi yang terjadi mutakhir (walaupun mereka sadar tidak mungkin bisa kembali pada situasi yang sudah berlalu). Militer Mesir kerap dianggap sebagai bagian dari loyalis Mubarak yang paling terorganisasi. Tidak semata-mata karena mereka bekas anak buah Mubarak. Lebih dari itu semua, pelbagai macam kebijakan Dewan Agung Militer Mesir kerap tidak mendukung bagi segera terbentuknya pemerintahan sipil Mesir yang demokratis.
Alih-alih, dengan pelbagai dalih, militer Mesir justru dianggap terus mengulur waktu peralihan kekuasaan kepada pemerintahan sipil. Dalam konteks seperti ini, tragedi Port Said sangat memperlihatkan peran dan kepentingan militer Mesir.Aksi kekerasan itu bisa dijadikan dalih berikutnya oleh militer Mesir untuk memperpanjang masa kekuasaannya.
Apalagi proses demokrasi di Mesir telah berhasil membentuk komposisi parlemen melalui pemilu yang diakui paling bersih di dunia Arab dan akan segera ”dihantamkan” melalui pemilu presiden yang menurut rencana akan dilaksanakan pada pertengahan tahun ini. Semua ini berarti kekuasaan militer Mesir akan segera berakhir (bila tidak diperpanjang karena alasan tertentu). Kedua, kelompok islamis yang berhasil menguasai hampir sepertiga dari kursi parlemen Mesir.
Baik kelompok islamis yang tergabung dalam koalisi Ikhwanul Muslimin melalui Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizbul Hurriyah wal-‘Adalah) maupun yang tergabung dalam koalisi Partai Nur Salafi (Hizbu an-Nur as-Salafiy). Sebagai pemenang pemilu, kelompok islamis sangat berkepentingan untuk mengawal perjalanan revolusi hingga berakhir dengan penyerahan kekuasaan dari militer.
Merekalah yang akan menjalankan pemerintahan Mesir ke depan. Itu sebabnya, kelompok islamis kerap menahan diri dan tidak terlibat dalam sejumlah aksi demonstrasi belakangan yang dianggap hanya akan mengganggu proses penyerahan kekuasaan. Termasuk aksi demonstrasi yang meminta militer menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil secepat mungkin (lebih cepat dari batas waktu yang telah diberikan militer sebagaimana di atas).
Dalam konteks seperti ini, pelbagai macam aksi kekerasan di Mesir mutakhir bisa dibaca dari perspektif kepentingan kelompok islamis di atas. Asumsinya, pelbagai macam kekerasan yang terjadi akan semakin membuat dewan militer terpojok. Apalagi mereka masih kerap dianggap sebagai bagian dari loyalis Mubarak sebagaimana telah disebutkan. Karena itu, militer Mesir tidak seharusnya bermain-main, apalagi mempermainkan kelompok islamis sebagai pemenang pemilu.
Apa pun dalihnya. Pesan ini penting disampaikan oleh kelompok islamis kepada pihak militer. Mengingat yang terakhir disebutkan di atas tampak berupaya mencampuri kekuasaan pemerintah Mesir terpilih mendatang atas nama menjaga konstitusi atau melindungi Mesir agar tidak menjadi negara agama. Ketiga,kelompok nasionalisliberal. Dalam konteks revolusi Mesir, kelompok nasionalisliberal bisa disebut sebagai pihak kedua yang tak kalah sakit hati dari para loyalis Mubarak.
Dikatakan demikian karena merekalah yang sesungguhnya terlibat penuh dalam sejumlah aksi demonstrasi yang berhasil melengserkan Hosni Mubarak. Sedangkan kelompok islamis justru berada di baris belakang atau mungkin bahkan tidak keluar dari ”persembunyiannya”. Persis sebagaimana pernah dikatakan oleh salah satu tokoh gerakan salafi di Mesir, bila mereka keluar melakukan demonstrasi,bukan tidak mungkin pesawat tempur Mesir akan dikerahkan ke atas udara Alunalun Tahrir untuk menumpas para demonstran dengan dalih mengejar para teroris.
Kelompok islamis baru merangsek masuk ke barisan terdepan gerakan revolusi Mesir (termasuk Ikhwanul Muslimin) setelah Mubarak dinyatakan memundurkan diri dari kekuasaannya. Hingga akhirnya kelompok islamis tampil sebagai pemenang pemilu parlemen Mesir.Sedangkan kelompok nasionalis- liberal (termasuk para pemuda yang menjadi motor utama revolusi) justru mengalami kekalahan telak. Inilah yang sejak awal saya sebut sebagai ”revolusi angkot”.
Pada masa-masa awal mereka tampak kompak bersama-sama di dalam ”angkot revolusi” dan tidak mempersoalkan perbedaan ideologi yang ada. Namun, sesudah angkot sampai di tujuan, mereka justru saling serang untuk mendapatkan tujuan masing-masing. Itu sebabnya, bagi kelompok nasionalis-liberal, hasil pemilu Mesir mutakhir tak ubahnya buah simalakama.Hampir mustahil mereka menerima pemerintahan yang membawa agenda islamis.
Namun, tak mungkin juga mereka menolak hasil pemilu yang ada karena dilahirkan melalui proses yang demokratis. Di sini bisa dipahami bila pelbagai macam aksi demonstrasi mutakhir di Mesir tampak kehilangan orientasi.Baik dari segi sasaran maupun dari segi isu yang diperjuangkan.
Pada suatu kesempatan, kelompok demonstran berhadapan dengan kelompok militer.Namun,pada kesempatan yang berbeda mereka tidak jarang justru berhadapan dengan kelompok islamis yang dulu menjadi teman seperjuangan di dalam ”angkot revolusi”. Hingga akhirnya revolusi Mesir kerap
menimbulkan prahara dan korban jiwa sampai sekarang. ● -
Mencegah Pelapukan Ekonomi
Mencegah Pelapukan EkonomiAgus Suman, GURU BESAR ILMU EKONOMI UNIVERSITAS BRAWIJAYASumber : JAWA POS, 17Februari 2012AKHIRNYA, BPS memublikasikan kinerja perekonomian nasional 2011 pada 6 Februari lalu. Hasilnya, sebagaimana disebut banyak analis, pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5 persen. Pencapaian itu termasuk tertinggi dalam 15 tahun, sejak 1996. Nilai PDB 2011 mencapai Rp 7.427,1 triliun. Pendapatan per kapita juga meningkat 17,7 persen. Pada 2011, pendapatan per kapita mencapai Rp 30,8 juta (USD 3.542,9) dari Rp 27,1 juta (USD 3.010,1) pada 2010.Meski gembira, sesungguhnya ada gambaran kerapuhan struktur perekonomian nasional yang bisa melapukkan pembangunan ekonomi. Pertama, rendahnya pertumbuhan sektor riil (tradeable sector). Sektor riil hanya tumbuh 2,98 persen untuk pertanian dan 5,56 persen untuk industri pengolahan (di bawah pertumbuhan nasional). Kontras dengan pertumbuhan non-tradeable. Sektor pengangkutan dan komunikasi tumbuh 10,7 persen dan sektor keuangan, realestat, serta jasa perusahaan 6,8 persen.
Kontribusi pertanian dan industri pengolahan sebagai penyangga ekonomi menurun. Kontribusi sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan hanya berkontribusi 14,7 persen terhadap PDB, turun daripada tahun lalu sebesar 15,3 persen. Industri pengolahan turun dari 24,8 persen pada 2010 menjadi 24,3 persen pada 2011. Sektor riil terperangkap dalam ”kubangan” pertumbuhan rendah sehingga masalah kemiskinan dan pengangguran sulit diatasi. Hampir 80 persen angkatan kerja bermukim di sektor tradeable.
Kedua, dominannya Jawa dan Sumatera. Merujuk pada BPS, kontribusi Jawa dan Sumatera terhadap PDB mencapai 81,1 persen, sedangkan daerah-daerah lain hanya memperoleh sisanya. Itu menciptakan berbagai macam persoalan, mulai migrasi dari luar Jawa ke Jawa, menurunnya daya dukung pertanian di Jawa, krisis pangan, kerusuhan sosial, hingga ancaman disintegrasi bangsa.
Ketiga, semunya ukuran pendapatan per kapita. Meski naik ke Rp 30,8 juta, nilai pendapatan per kapita nasional itu kurang menggambarkan realita. Pengukuran kesejahteraan pendapatan per kapita mengabaikan distribusi pendapatan serta perubahan pola pendapatan dan pengeluaran. Buktinya, data rasio gini, untuk mengukur ketimpangan pendapatan penduduk, sepanjang 1996-2010 menunjukkan tren meningkat, baik tingkat nasional (nominal dan riil), perkotaan, maupun perdesaan. Pada 2010, rasio tersebut mencapai 0,37. Ketimpangan berpotensi menggiring meluasnya kemiskinan.
Muara Masalah
Lima tahun belakangan, ekonomi nasional tumbuh di atas 6 persen setiap tahun, kecuali 2009 karena imbas krisis global. Pada 2007 tumbuh 6,35; 2008 (6,02 persen); 2009 (4,63 persen); 2010 (6,19 persen); dan 2011 (6,5 persen). Nilai PDB meningkat setiap tahun. Pada 2007 sebesar Rp 3.950 triliun, 2008 (Rp 4.949 triliun), 2009 (Rp 5.606 triliun), 2010 (Rp 6.436 triliun), dan 2011 (Rp 7.427,1 triliun). Tapi, peningkatan itu hanya mengurangi sedikit pengangguran dan kemiskinan, bahkan menurut Bank Dunia malah bertambah.
Mengapa? Pertama, adanya Jawa dan Sumatera sentris. Sejak Orde Baru, investasi terpaku di sana. Mengacu realisasi investasi BKPM 2011, investasi di Jawa Sumatera mencapai 72,8 persen; Sulawesi 5,4 persen; serta Maluku dan Papua hanya 5,9 persen. Terjadilah disparitas pembangunan antar kawasan, khususnya KBI dan KTI. Kemiskinan dan pengangguran nasional masih berpusat di KTI yang mencapai 40 persen.
Kedua, sektor perbankan kurang menopang sektor riil, khususnya pertanian. Rasio kredit Indonesia terhadap PDB termasuk paling rendah di Asia, hanya berkisar 29,10 persen. Kalah jauh oleh Tiongkok (131,10 persen); Thailand (116,70 persen); Malaysia (114,90 persen); Singapura (102,10 persen); dan Korea sebesar 100,80 persen (Kontan, 19-25 Desember 2011).
Keberpihakan perbankan terhadap sektor pertanian sangat rendah. Laporan BI menunjukkan, dalam enam tahun terakhir (2005-2010), alokasi kredit sektor pertanian berkutat di 5 persen. Berbeda jauh dari sektor non-tradeable(jasa, komunikasi, pengangkutan, perdagangan, hotel, dan restoran) yang mencapai 15 persen.
Contohnya, Jabar dan Jatim sebagai lumbung padi nasional. Kredit perbankan di Jabar hanya Rp 3,4 triliun (2 persen dari total kredit). Di Jatim, menurut data kantor BI Surabaya, kredit hanya 2,6 persen pada 2011 atau Rp 4,58 triliun di antara total kredit Rp 190,5 triliun (Jawa Pos, 27/1/2012). Sulit memajukan sektor pertanian. Sebab, selain tingkat pendidikannya rendah, para petani sangat lemah dalam akses permodalan.
Ketiga, buruknya infrastruktur sektor riil (pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, dan perkebunan). Hampir 57 persen jaringan irigasi dan jembatan rusak berat serta lahan pertanian menyusut. Bahkan, audit Kementerian Pekerjaan Umum per Februari 2010 tentang lahan beririgasi menemukan fakta, 54 persen (1,23 juta hektare) lahan beririgasi dalam kewenangan pemerintah pusat rusak. Sisanya, di antara 763.800 hektare lahan beririgasi dalam kewenangan pemda, 425.300 ha rusak.
Jatim yang dikenal sebagai lumbung beras nasional juga mengalami penyusutan lahan pertanian. Dinas Pertanian Jatim memperkirakan, setiap tahun lahan pertanian berkurang 3.000 ha, sehingga yang tersisa hanya 1,9 juta ha.
Intervensi Perbankan
Langkah solusi harus bersumber dari tiga pijakan. Pertama, pemerintah melalui BI harus mengintervensi sektor perbankan agar menurunkan tingkat suku bunga, membatasi margin keuntungan perbankan berdasar kelompok bisnis, dan memudahkan akses permodalan bagi para petani. Yang terpenting, BI mengintervensi perbankan agar mau menaikkan rasio kreditnya yang tergolong paling rendah di dunia dan menambah alokasi kredit untuk sektor pertanian hingga 10-15 persen.
Kedua, perbaikan infrastruktur kelembagaan pertanian dan pangan. Peningkatan kualitas SDM petani, kemudahan dalam akses terhadap lembaga keuangan, perbaikan infrastruktur lahan pertanian, perwujudan ketahanan pangan, dan reformasi agraria tak bisa ditunda lagi.
Ketiga, mempercepat pembangunan KTI demi memperkuat integrasi bangsa. Pembangunan sarana-prasarana infrastruktur, peningkatan kualitas SDM, dan penciptaan suasana yang aman kondusif merupakan tiga pilar utama yang harus diwujudkan demi menarik investor untuk menanamkan modalnya di KTI. ●
-
Argumen SNM PTN Berbasis Akreditasi
Argumen SNM PTN Berbasis AkreditasiKi Supriyoko, GURU BESAR, DIREKTUR PASCASARJANA PENDIDIKANUNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA (UST) JOGJAKARTA, DAN ANGGOTA BAN-S/MSumber : JAWA POS, 17Februari 2012PEMBICARAAN tentang seleksi masuk ke perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah atau seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNM PTN) mulai menghangat Februari ini. Padahal, kelulusan SMA (dan MA) serta SMK masih akhir Mei 2012. Ujian nasional (unas) belum dilaksanakan.Pembicaraan tentang SNM PTN berkisar pada efektivitas model seleksi, keadilan bagi sekolah, keadilan bagi siswa, sampai dengan teknis pelaksanaannya. Seperti tahun lalu, SNM PTN 2012 dilaksanakan melalui dua jalur. Yakni, jalur undangan yang keputusannya didasarkan pada prestasi akademik siswa serta jalur ujian tertulis dan keterampilan yang keputusannya didasarkan pada hasil ujian itu sendiri. Di luar itu ada beberapa PTN yang menyelenggarakan jalur mandiri.
Pengertian prestasi akademik dalam SNM PTN jalur undangan adalah prestasi siswa selama menjalankan proses belajar mengajar di SMA atau SMK. Prestasi akademik ini sangat ditentukan oleh pendidik atau guru di sekolah masing-masing. Ini menandakan kepercayaan PTN kepada para pendidik SMA dan SMK, serta lembaganya. Kepercayaan ini harus dipegang teguh dan jangan sampai dikhianati. Misalnya, dengan memanipulasi nilai rapor, nilai ujian harian, nilai ujian semesteran, atau mendukung kecurangan dalam unas.
Kalau dilihat jumlahnya, siswa SMA dan SMK yang akan diterima melalui jalur undangan tidak sedikit, bahkan imbang dengan jalur ujian tertulis. Contohnya, Unair Surabaya, yang tahun lalu tidak mengikuti SNM PTN, sekarang ini mengalokasikan 40 persen mahasiswa barunya dijaring melalui SNM PTN jalur undangan. Sementara UGM pada 2012 ini menerima 8.179 mahasiswa baru. Dari jumlah ini, sebanyak 4.712 atau 58 persen mahasiswa baru diterima melalui jalur undangan. UGM pada tahun ini tidak akan menerima mahasiswa baru melalui jalur mandiri.
Penentuan kuota SNM PTN jalur undangan didasarkan pada akreditasi yang disandang SMA dan SMK, atau SNM PTN berbasis akreditasi. Konkretnya: sekolah yang terakreditasi A oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah dan Madrasah (BAN-S/M) boleh mengajukan 50 persen lulusannya, terakreditasi B mengajukan 30 persen, terakreditasi C 15 persen, dan selebihnya 5 persen untuk sekolah yang belum terakreditasi. Sebagai catatan, tahun lalu “jatah” untuk sekolah yang terakreditasi B hanya 25 persen dan terakreditasi C hanya 10 persen.
Penentuan kuota berbasis pada akreditasi yang disandang SMA dan SMK yang bersangkutan tersebut, meskipun bukan hal baru, ternyata masih mengundang polemik. Tetapi, kalau kita mengacu pada peraturan dan substansi akreditasi itu sendiri, kebijakan penentuan kuota berbasiskan akreditasi sangatlah argumentatif.
Pasal 60 ayat (1) UU Sisdiknas secara eksplisit menyatakan akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Sementara itu, pasal 86 ayat (3) PP No 19 Tahun 2005 secara jelas menyatakan akreditasi merupakan bentuk akuntabilitas publik dilakukan secara objektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Jelas sekali SMA dan SMK yang terakreditasi oleh BAN-S/M adalah sekolah yang satuan dan programnya dijamin layak secara hukum. Pada sisi lain status akreditasi A, B, atau C diperolehnya dengan cara objektif, adil, transparan, komprehensif menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu pada SNP. Sebagai catatan, akreditasi SMA melekat pada satuan pendidikan. Adapun akreditasi SMK melekat pada program kejuruan, program studi, program keahlian, atau apa pun namanya.
Dalam realitasnya selama ini pelaksanaan akreditasi oleh BAN-S/M menggunakan perangkat akreditasi yang telah dikukuhkan oleh Permendiknas. Perangkat ini terdiri atas empat bagian yang tidak terpisahkan, yaitu instrumen, petunjuk teknis, data pendukung, dan teknik penghitungan skor akreditasi.
Dengan logika status akreditasi A lebih tinggi daripada B, dan status B lebih tinggi daripada C, wajarlah kalau kuota SMA atau (program studi) SMK yang terakreditasi A lebih tinggi (50 persen) daripada B (30 persen), dan lebih tinggi daripada yang terakreditasi C (15 persen).
Penentuan kuota SNM PTN jalur undangan yang berbasis kepada akreditasi sekolah juga secara langsung dan tidak langsung mendorong pihak sekolah mencapai status akreditasi yang maksimal, status A. Strategi ini mendorong pihak sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolahnya berdasar SNP yang telah menjadi acuan resmi kualitas pendidikan di Indonesia sekarang ini. ●
-
Barter Kepentingan Angie
Barter Kepentingan AngieHifdzil Alim, PENELITI DARI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI FAKULTAS HUKUM UGMSumber : SUARA MERDEKA, 17Februari 2012ANGELINA Sondakh memberikan keterangan bohong dalam persidangan Nazaruddin. Tuduhan itu dilancarkan oleh kubu Nazar dan Mindo Rosalina Manullang. Kubu Nazar berencana melaporkan Angie dengan pasal memberikan keterangan palsu (SM, 16/02/12).Anggapan bahwa Angie bohong tampaknya tak bisa dielakkan. Di persidangan Nazar, dia berulang kali menyatakan, ‘’saya tidak tahu’’ terhadap pertanyaan hakim, jaksa, atau pengacara Nazar dan pengacara Mindo.
Dari persidangan terekam keterangan yang ditolaknya, misalnya seputar percakapannya dengan Mindo melalui Blackberry Messenger. Rekaman itu menyebutkan Angie minta ìapel malangî dan ìapel washingtonî kepada Mindo. Namun di persidangan Nazar (15/02), Angie membantahnya. Padahal, percakapan Angie dengan Mindo itu disadap oleh KPK. Bahkan, transkrip percakapannya dimasukkan oleh penyidik dalam berkas acara pemeriksaan Mindo.Kengototan Angie menolak bukti rekaman pembicaraannya dengan Mindo membuat logika kita membantah. Apa benar Angie tak pernah meminta apel malang atau apel washington? Kalau benar, berarti penyidik KPK keliru me-nyidik dan mengumpulkan barang bukti untuk menjerat tersangka korupsi? Seakan-akan kita, paling tidak penulis, dibuat ‘’gila’’ oleh kesaksian Angie di persidangan Nazar. Tampaknya ada sesuatu yang janggal yang dapat dirasakan, namun belum kelihatan di permukaan.
Barter Kepentingan
Dari persidangan Mindo dan Nazar, ada keterangan yang menjelaskan dugaan mengalirnya duit PT DGI ke pejabat Kemenpora dan sejumlah anggota DPR. Salah satu pejabat Kemenpora yang terbukti menerima duit adalah Wafid Muharam, Sekretaris Menpora Andi Alifian Mallarangeng.
Adapun dugaan aliran duit ke sejumlah anggota DPR belum terbukti hingga sekarang. Untuk membuktikannya, butuh seorang perantara, yang kini belum diketahui dan sedang disidik KPK. Tapi dari persidangan Mindo dan Nazar terungkap bahwa salah satu aktor perantara itu dimainkan oleh Angie.Jadi benarkah Angie berbohong di persidangan Nazar? Kalau berbohong, dasar apa yang kuat yang mendorongnya berbohong? Jangan-jangan wanita itu sedang barter kepentingan. Lalu apa yang hendak dibarterkan, dan dengan siapa? Setidaknya ada dua kepentingan yang mungkin hendak dipertukarkan oleh Angie. Pertama; keselamatan dirinya. Sebagaimana diketahui, kasus suap wisma atlet SEA Games XXVI di Palembang menjadi kejahatan korupsi yang terorganisasi dan sistemik. Aliran duit mengalir ke beberapa politikus, kelompok pemodal, dan partai tertentu.
Mindo, terpidana kasus suap wisma atlet, pernah menerima ancaman pembunuhan kala memberikan kesaksian di persidangan Nazar. Sampai-sampai KPK memindahkan Mindo ke tempat aman. Ancaman itu diduga berasal dari kelompok tertentu yang ketakutan aksinya terbongkar. Boleh jadi, peristiwa yang menimpa Mindo dijadikan pelajaran oleh Angie sehingga dia memilih tidak buka mulut atas segala yang dia ketahui.
Kedua; karier politiknya. Dengan menyanggah semua keterangan Mindo dan Nazar, Angie berharap posisinya di partai bisa aman. Bukanlah rahasia, persidangan Nazar mengarah ke beberapa nama penting petinggi Partai Demokrat. Sikap Angie tidak mengakui keterangan Mindo dan Nazar sepertinya jadi pilihan rasional secara politik untuk mengamankan posisinya di partai. Bayangkan, bila Angie buka mulut, bisa-bisa dia terdongkel dari kursi partai berarti karier politiknya habis. Tak ada partai lain yang mau menerima dirinya.
Seandainya Angie berbohong, penting untuk memperkarakannya secara hukum. Namun yang lebih penting adalah menyidik siapa atau kelompok mana yang melakukan pertukaran kepentingan dengan Angie. Dari sinilah semua kebu-sukan aktor pada kasus suap wisma atlet dapat terbongkar. ● -
Momentum Kebangkitan Sektor Riil
Momentum Kebangkitan Sektor RiilSusidarto, PRAKTISI PERBANKANSumber : SUARA MERDEKA, 17Februari 2012BANK Indonesia kembali menurunkan BI rate hingga ke level terendah sepanjang berlakunya tiga tahun silam, yakni pada titik 5,75%. Penurunan tingkat bunga ini sesuai ekspektasi pasar sehingga mendorong makin bergairahnya transaksi di pasar uang dan pasar modal. Penurunan ini setidaknya memberikan ruang pengharapan baru bagi pelaku dunia usaha (sektor riil) yang selama ini paceklik pembiayaan bank akibat masih tingginya suku bunga kredit. Kini, mereka boleh kembali bergairah menantikan seremonial penurunan bunga kredit dan ekspansi kredit bank-bank.Tidak ada yang berani memastikan bahwa penurunan suku bunga itu pararel dengan bangkitnya kegiatan sektor riil. Pasalnya, penurunan BI rate bukan kali pertama, dan selama tren suku bunga induk bank sentral turun, perbankan tidak serta merta mengucurkan kreditnya ke sektor riil. Mereka masih memilih membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang memiliki tingkat bunga kompetitif dan dijamin aman. Ketimbang suku bunga simpanan, bank memilih positive spread dengan menempatkan suku bunga di SBI.
Tidak ada yang salah dengan kebijakan bank menempatkan dana di bank sentral jika kepentingannya untuk menjaga tingkat nonperforming loans (NPL) atau kredit macet di level rendah. Namun, kebijakan menempatkan dana di BI bukan tanpa masalah karena hal itu berarti bank tidak menjalankan fungsi intermediasi. Ini bisa dilihat dari masih rendahnya tingkat loans to deposit ratio (LDR).
Terlalu berlebihan kalau menuduh perbankan pelit menurunkan suku bunga pinjamannya. Realitas di lapangan sesungguhnya menunjukkan bahwa suku bunga kredit sudah mulai Turun. Lihat saja suku bunga kredit consumer seperti KPR, sekarang di level single digit (di bawah 10%). Bahkan ada bank memasang bunga KPR 7,5%. Untuk kredit komersial (modal kerja dan investasi), beberapa bank mematok bunga 10-11%. Itu semua menunjukkan keseriusan perbankan menurunkan bunga kreditnya.
Memang, penurunan BI rate tidak akan serta merta menggairahkan sektor riil. Kebijakan itu harus diikuti keberanian perbankan ekspansi kredit ke sektor produktif bukan hanya konsumtif. Selain itu, sisi fiskal harus dibenahi, tidak hanya mengutak-atik sisi moneter (suku bunga ), tapi berkoordinasi dengan pemerintah sebagai upaya membangkitkan dunia usaha. Itu bisa dilakukan dengan memberikan berbagai insentif dan serangkaian regulasi yang kondusif untuk kebangkitan sektor riil.
Regulasi Kondusif
Selama ini banyak sektor riil belum bankable, dalam arti layak menerima kredit. Terlebih usaha baru, yang belum terbukti (proven) andal menangani pembiayaan bank. Tak aneh, bila masalahnya adalah rendahnya daya serap sektor riil terhadap kredit bank. Bank sebenarnya sudah gencar memasarkan kredit (modal kerja ataupun investasi), namun sisi sektor riil belumlah siap. Selain itu, masih tingginya un-use plafond atau undisbursed loan menjadikan kredit yang sudah dikucurkan menjadi mubazir.Memburuknya pasar ekspor ke Eropa dan AS akibat krisis ekonomi global, semestinya disiasati dengan membuka pasar di negara lain yang masih potensial. Kondisi sebaliknya, di Indonesia investasi langsung dari luar negeri (foreign direct investment/ FDI) masih sangat lemah. Investor asing masih senang hit and run dalam bentuk portfolio investment. Investor asing tahu bahwa kondisi makroekonomi Indonesia telah membaik sehingga menciptakan ruang yang cukup untuk berusaha. Namun, mereka tidak mantap untuk masuk karena masalah ketidakpastian hukum, minimnya insentif investasi, dan panjangnya prosedur perizinan.
Karena itu, pekerjaan rumah Indonesia masih cukup banyak. Selain sektor moneter (suku bunga), pemerintah perlu membenahi sisi fiskal, yakni sederetan regulasi yang kondusif bagi investasi asing. Posisi rating surat utang layak investasi (investment grade) yang diraih Indonesia, semestinya berkorelasi poisitif dengan banjirnya investasi asing dalam bentuk FDI, bukan sekadar portfolio investment di pasar modal/uang. ●
-
Budaya dan Penegakan Hukum Instan
Budaya dan Penegakan Hukum InstanAde Maman Suherman, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNSOEDSumber : REPUBLIKA, 17Februari 2012Kemerdekaan NKRI diraih melalui perjalanan panjang dan di tebus dengan tumpahan darah serta air mata, juga harta benda pusaka nusantara. Jenderal Soedirman menghibur dan menabahkan hati para tentara yang hijrah ke luar daerah garis van Mook, di Borobudur menegaskan, “kamu bukanlah tentara sewaan, tetapi prajurit yang berideologi yang sanggup berjuang dan menempuh maut untuk keluhuran Tanah Airmu. Percaya dan yakinlah, kemerdekaan suatu negara yang didirikan di atas timbunan reruntuhan ribuan jiwa, harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dihapuskan oleh manusia siapa pun juga.“Sesungguhnya tidak dalam hitungan hari, bulan, atau tahun, tetapi tiga setengah abad nusantara dijajah dan selama itu pula para pejuang berusaha meraih hak kodrati sebagai manusia. Dan, sebagai bangsa, yakni suatu kemerdekaan. Sungguh ironis dan menyedihkan, hampir semua elemen bangsa terkontaminasi budaya instan, baik di bidang politik, hukum, edukasi, olahraga, maupun aspek lainnya.Boleh jadi, manusia-manusia instan masih terbelenggu legenda masa lampau, yakni Loro Jonggrang. Dia hanya membutuhkan waktu satu malam untuk membuat 1.000 candi. Atau mereka terpengaruh kisah Sangkuriang cerita rakyat Sunda yang sangat melegenda dengan Gunung Tangkuban Perahunya, serta kisah jin Aladin dari dongeng negeri Timur Tengah.Saatnya berkontemplasi untuk penyadaran kolektif bahwa segala sesuatu memerlukan proses. Sehingga tercapai suatu kesempurnaan, keseimbangan, dan keaba dian. Pendekatan teologis menunjukkan Tuhan pun menciptakan alam semesta dalam suatu proses panjang.Sesungguhnya, Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintahNya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS 7:54).Edukasi InstanLebih memprihatinkan, di negeri ini, sektor pendidikan sebagai jantung character building bangsa telah melacurkan diri. Pada dunia kapitalis sekuler yang jauh dari keberpihakan dan menjunjung tinggi etika akademik.Disajikannya paket eksekutif untuk kalangan tertentu, servis plus dengan biaya pendidikan dua kali lipat dari program reguler dan program eksekutif. Pasti lebih cepat daripada program reguler dan sungguh tidak ada bedanya dengan pesan tiket kereta api, apakah mau kelas ekonomi, kelas bisnis, atau eksekutif.Secara kultural masyarakat kita termasuk `gila gelar, gelar gila’ yang diidentifikasi oleh almarhum Rektor IPB Andi Hakim Nasution. Dunia pendidikan tinggi hukum di Indonesia telah mengadopsi tren bisnis pendidikan hukum.Sejumlah perguruan tinggi negeri terkemuka telah menangkap peluang pasar. Di mana, ketika ada permintaan (demand) tinggi, harga akan tinggi dengan kelas eksekutifnya dilengkapi fasilitas serba mewah.Tidak mengherankan apabila output pendidikan semacam itu akhirnya menuntut fasilitas-fasilitas yang elite, lux. Walaupun mencederai rasa keadilan masyarakat, fenomena ini selayaknya mendapat perhatian yang mema dai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang saat ini menggaungkan pendidikan berkarakter. Namun, yang pasti bukan dengan pendekatan bisnis semata.Ingar-bingar dan kegaduhan politik di Indonesia serta diiringi kegenitan politikus debutan memperparah ketatanegaraan dan tata krama berbangsa. Megakorupsi Bank Century disusul dengan skandal Wisma Atlet sampai yang terkini sulapan ruangan Banggar DPR sebagai teather of dream yang antisadap.Di antara kasus tersebut, proyek wisma atlet menjadi primadona yang melibatkan sejumlah fungsionaris partai penguasa (ruling party). Megaproyek super instan yang bernama Wisma Atlet sungguh ironis. Di era modern dan profesional karena projek tersebut diselesaikan dengan filosofi dan etos kerja Roro Jonggrang ataupun Sangkuriang.Para pengelola negara yang sekaligus pengusaha dan penguasa khilaf dan alpa bahwa alkisah tersebut adalah legenda dari simbol pertalian asmara, yang tidak memerlukan transparansi dan akuntabilitas publik serta anggaran publik.Semestinya, kita meneladani sebuah mahakarya bernama Taj mahal. Musoleum Taj mahal yang dibangun selama 22 tahun oleh Shah Jehan sebagai musoleum untuk mengenang istri tercintanya, Mumtaz ul Zamani yang lebih dikenal sebagai Mumtaz Mahal. Sebuah arsitektur atas nama cinta yang menjadi satu bangunan terindah di dunia.Pengadilan InstanKetika sistem pendidikan telah terperangkap oleh budaya instan, konsekuensi lanjutan adalah semua aspek kehidupan akan menjadi suatu yang instan termasuk dunia peradilan.KPK jilid satu sampai tiga termasuk Pengadilan Tipikor yang notabene digadang-gadang mampu memberikan keadilan bagi ma syarakat. Untuk mengadili para koruptor, jadi contohnya. Kedua lembaga yang instan bahkan superinstan itu mengalami friksi dan dilanda minimnya kompetensi hakim tipikor di sejumlah daerah yang memutus bebas sebagian besar koruptor.UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor mengamatkan, pembentukan Pengadilan Tipikor di seluruh Indonesia dalam waktu dua tahun. Di mana akhir 2011 MA harus sudah membentuk 33 Pengadilan Tipikor.Apabila menyoalkan kinerja sungguh memprihatinkan. Putusan Pengadilan Tipikor di Bandung yang memutus bebas Wali Kota Bekasi nonaktif Mochtar Mohamad menjadi pukulan telak bagi KPK. Putusan tersebut dapat menunjukkan sumber daya manusia di KPK masih lemah dalam melakukan penyidikan terhadap suatu kasus atau perkara korupsi.Bagaimana kualitas penyidik dan hakim Tipikor di daerah. Jika penyidik sekaliber KPK tidak kapabel untuk membuktikan dakwaannya. Budaya instan tengah disuguhkan pada publik. Betapa nafsu dan gaya hedonis politisi instan yang juga dibangun dari partai dan sistem politik yang relatif instan ikut berkontribusi pada budaya korup. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem pendidikan tinggi hukum yang serbainstan, baik dari jenjang strata satu, magister, maupun doktor.Sejarah menunjukan produk instan tidak akan mampu memberikan pelayanan dan kinerja serta output yang optimal. Apalagi, memuaskan bahkan boleh jadi memuakkan. Sebagai ilustrasi apabila layaknya kita mengonsumsi mi instan, aromanya menggoda, siap saji, mudah dikonsumsi, tetapi sesungguhnya itu kepuasan sesaat. Dan, sesaat kemudian perut lapar kembali, perih, dan tidak bertenaga. Itulah, Republik Instanesia tidak bertenaga mengatasi masalah dan terus berkutat dengan masalah. ● -
Babak Baru Mesir-AS
Babak Baru Mesir-ASHery Sucipto, DIREKTUR PUSAT KAJIAN TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAMUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTASumber : REPUBLIKA, 17Februari 2012Setahun berlalu, Arab Spring (revolusi mu sim semi Arab) telah memunculkan peta baru dalam negeri Mesir, baik dalam hal kehidupan sosial-politik internal maupun dalam konteks hubungan negeri itu dengan Amerika Serikat (AS). Berhasil menumbangkan diktator Husni Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun, Mesir menatap masa depan demokrasi dengan sukses menggelar pemilu parlemen.Kelompok Islam yang selama ini dilarang, memenangi pemilu, yakni Ikhwanul Muslimin (IM) melalui sayap politik Partai Keadilan dan Kebebasan dengan 47 persen, disusul kubu Salafi dengan Partai Nour meraih 25 persen.
Sementara partai liberal dan pemerintah meraih suara di bawah lima persen. Kelompok Islam menguasai parlemen dan mengubah peta kehidupan politik negeri itu yang selama ini dikuasai partai pemerintah yang berhaluan nasionalis-sekuler dan militer.Di luar capaian itu, Mesir kini dihadapkan pada konflik baru dengan Pemerintah AS terkait diadilinya 19 warga negara AS yang diduga terlibat dalam kerusuhan beruntun di Mesir melalui aktivitas LSM dan dukungan bagi kelompok pengacau keamanan di negeri Lembah Nil tersebut. Meski ditentang keras AS, proses hukum terhadap 19 warga Paman Sam dan puluhan aktivis asing lainnya tetap berjalan.Saling MenguntungkanDalam sejarah Mesir modern (republik), hubungan Mesir-AS memang tak selamanya berjalan mulus. Meski lebih banyak harmonis dan didominasi saling ketergantungan, hubungan dua negara tersebut tak lepas dari kerikil sandungan.Di masa kepemimpinan Gamal Abdel Nasser –yang pernah mengobarkan perang Arab melawan Israel tahun 1967-hubungan Mesir-AS kerap bersitegang dan cenderung saling berhadapan. Maklum saja, Nasser yang berhaluan sosialis –termasuk bersama Indonesia di era Bung Karno-lebih banyak berkiblat kepada Uni Soviet yang komunis, dan tak lain kompetitor AS di era Perang Dingin. Mesir masuk dalam blok Soviet.Era Nasser berlalu, Anwar Saddat memegang kendali sebagai pemimpin baru Mesir. Di era Saddat inilah hubungan Mesir-AS mulai dibenahi. Perlahan namun pasti, hubungan kedua negara terus membaik. Saddat yang lebih moderat dan realistis dalam konteks kehidupan regional Timur Tengah dan Dunia Arab, dinilai AS dapat menjadi mitra strategis di kawasan Timur Tengah.Di masa Saddat pula diteken perjanjian damai Camp David tahun 1978, yang menandai hubungan damai Mesir-Israel. Selain mendapatkan kembali Gurun Sinai dari Israel (sebagai konsekuensi perjanjian tersebut), Mesir di bawah Saddat juga kian mendapat dukungan dan bantuan kuat dari AS.Hubungan kedua negara semakin erat di masa Mubarak, yang berkuasa awal 80-an hingga 2011 lalu. Di era Mubarak, Mesir menjadi `mercusuar’ politik di Timur Tengah, seperti Indonesia di era Pak Harto di kawasan Asia Tenggara. Di bawah Mubarak pula, Mesir menjadi sekutu terdekat AS setelah Israel. Meski memerintah dengan tangan besi dan tidak ditegakkannya hukum dan HAM di negeri itu, AS terus men-support Mesir agar tetap tegak di bawah kendali Mubarak dan menjadi pemimpin di kawasan Timur Tengah dan Dunia Arab.Bahkan, ketika rezim Mubarak dihantam badai revolusi rakyat Januari tahun lalu, AS masih bersikeras mempertahankan rezim represif ini dengan menggelontorkan ratusan juta dolar AS untuk menumpas aksi jalanan. Bagi AS, mempertahankan Mubarak jauh lebih baik dan lebih kecil risiko ataupun cost politiknya ketimbang mengganti atau menjatuhkan di rinya. Sayang, gerakan `polisi dunia’ itu pun gagal membungkam gerakan rakyat Mesir.KontraproduktifKini hubungan kedua negara diuji dengan munculnya masalah pengadilan warga AS yang diduga terlibat dalam kerusuhan dan kegiatan spionase di Mesir. Sejak meletus revolusi dan pascatumbangnya Mubarak, Mesir terus dililit kerusuhan massal, baik berbau SARA maupun politik. Beberapa kali serangan terhadap minoritas Kristen, juga serangan terhadap masjid. Terakhir kerusuhan di lapangan sepak bola di Port Said, yang menewaskan 74 orang dan ratusan lainnya terluka.Bagi Mesir, berkah revolusi di antaranya kebebasan dan penegakan hukum. Dalam konteks penegakan hukum, patut diapresiasi, secara cepat memproses pengadilan terhadap Mubarak dan kroninya. Meski Dewan Agung Militer, penguasa sementara di negeri itu kerap menuai kritik dan hujatan, fakta menunjukkan proses hukum berjalan dengan transparan dan cepat. Begitu pun dengan 19 warga AS yang segera dimejahijaukan. Proses hukum ini patut dihormati sebagai bentuk ketegasan Pemerintah Mesir terhadap Amerika, yang selama ini mendikte Mesir.Pada akhirnya, AS harus realistis berhitung karena dengan menentang proses hukum terhadap warganya, sesungguhnya hanya kerugian yang akan didapat dan kontraproduktif bagi hubungan kedua negara. AS harus sadar, Mesir sangatlah strategis.Pertama, dalam konteks politik global, Mesir selama ini menjadi pemain utama yang sangat berpengaruh di Timur Tengah dan dunia Arab. Lebih vital lagi dalam proses perdamaian Palestina-Israel. Mesir memegang kunci karena diterima baik oleh kedua negara berseteru tersebut.Kedua, dengan tampilnya pemain baru dalam pentas politik Mesir, yakni kubu Islamis, AS harus banyak belajar dan berhitung kembali terhadap konstelasi politik dalam negeri Mesir. AS berkepentingan untuk memastikan moderatisme politik Mesir dengan tampilnya kubu Islam.
Karena itu, salah besar jika AS yang selama ini memusuhi kelompok Islam Mesir, tetap menjaga jarak dengan mereka. Kubu Islam ini harus dirangkul.Ketiga, Amerika sangat berkepentingan terus memantau dan mengendalikan arah `parlemen jalanan’ yang terus berlangsung hingga hari ini. Bagi AS, jangan sampai aksi jalanan ini liar dan menjadi efek domino bagi negara lainnya. Aksi ini harus terpantau dan terkendali.Jika berkaca pada revolusi Islam Iran tahun 1979, AS tidak ingin kehilangan sekutu strategisnya untuk kedua kali, setelah rezim Shah Iran yang notabene sekutu AS, tumbang oleh revolusi rakyat. Pendek kata, jangan sampai Mesir menjadi Iran kedua.Dengan berbagai pertimbangan itulah, sangat logis bila Mesir selama ini mendapat kucuran bantuan terbesar kedua setelah Israel. Dari data yang ada, AS mengucurkan rata-rata 1,3-1,5 miliar dolar AS. Bahkan, untuk tahun anggaran 2012, Mesir mendapat bantuan 1,6 miliar dolar AS, yang sebagian besarnya untuk keperluan militer (1,3 miliar dolar AS), ekonomi 230 juta dolar AS, dan 60 juta dolar AS untuk perusahaan (Republika, 15/12).Yang paling baik dan saling menguntungkan bagi kedua negara adalah seharusnya hubungan dibangun atas dasar kepentingan bersama untuk kesejahteraan dan perdamaian. Sebagai kawasan penuh konflik, Timur Tengah membutuhkan lebih banyak lagi kontribusi bagi stabilitas keamanan. Apalagi, revolusi yang belum tuntas di Suriah, Yaman, dan beberapa percikan kecil lainnya.Dalam situasi seperti itu, baik AS maupun Mesir, sangat berkepentingan untuk turut mengawal dan memastikan proses revolusi agar berjalan di jalur yang benar. Keduanya harus menjadikan perkembangan itu menjadi pintu masuk bagi tegaknya demokrasi dan pemerintahan rakyat yang bersih serta akuntabel. ●