Category: Uncategorized
-
Sihir-sihir Koruptor
Sihir-sihir KoruptorYasraf Amir Piliang, DOSEN PADA PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNANINSTITUT TEKNOLOGI BANDUNGSUMBER : KOMPAS, 15 Maret 2012Tak satu pun di antara kita hari ini yang terbebas dari ”sindrom koruptor”! Para koruptor menguras energi, menguasai persepsi, dan menyihir kesadaran kita.Kita menulis di media, berdialog di televisi, bergunjing di warung, berkomentar di Facebook, membuat olok-olok di kartun atau kaus, semua tentang koruptor. Korupsi dan koruptor seperti ”sihir” yang menebar pesona dan fetisisme.”Sihir koruptor” bukan tentang koruptor sebagai individu, melainkan totalitas tanda dan gejala simbolis tentang mereka yang ”menyihir” kita di negeri korup ini. Para koruptor menjadi ”kekuatan simbol” dan ”penanda utama” dari ”pabrik makna” media karena nilai tontonan yang tinggi. Koruptor menjadi ”bintang” dan ”selebritas” dalam wacana kejahatan. Ia memiliki signifikasi ganda: penanda ”kejahatan” sekaligus penanda ”lembaga” mereka (partai, departemen) yang ”kontroversial”.Tersangka koruptor, seperti Gayus atau Dhana, menjadi kekuatan ”sihir” karena mereka ”anak zaman” generasi korup, demi glamor gaya hidup. Dalam pengaruh ”sihir koruptor”, ”virus korupsi” menular, menyebar, berkembang biak, dan beranak pinak lintas generasi. Gayus sudah menjadi ”aliran”, bahkan ”trendsetter”. Ia mampu menciptakan ”tren” sehingga muncul ”Gayus jilid II”, mungkin juga ”Gayus jilid III”. Gayus tak lagi individu. Ia adalah simbol Zeitgeist.Penanda BesarTelah berjuta ucapan, tulisan, dan tayangan mengisahkan koruptor. Dalam kisah itu, tersangka korupsi, seperti Gayus atau Nazaruddin, menjadi penanda utama, acuan, model, dan paradigma dalam wacana korupsi. Ia menjadi ukuran, barometer, atau parameter dalam menilai tindak korupsi. Gayus atau Nazaruddin adalah ”Penanda Besar” (Master Signifier), yaitu ”otoritas atau sumber makna tertinggi” pada tataran simbolis (Zizek, Violence, 2003). Dengan demikian, wacana korupsi Dhana Widyatmika—tersangka lain kasus penggelapan pajak—disebut ”Gayus jilid II”. Inilah ”sihir koruptor”.”Sihir koruptor” memproduksi ”wacana” (discourse), yaitu ucapan, tulisan, rekaman, diskusi, perdebatan, talk show, dan tontonan tentang mereka. Koruptor jadi ”wacana akademis”: analisis, kritik, dan sintesis; ”wacana politik”: cacian, sumpah serapah, cercaan, makian; ”wacana estetis”: olok-olok, kelucuan, parodi. Bentuk wajah, gesture, gaya pakaian, gaya rambut, aksesori, dan bahasa tubuh figur seperti Gayus kini jadi domain publik, menjadi trendsetter tentang ”citra koruptor”.”Sihir koruptor” membangun pula ”narasi”, yaitu kisah tentang diri, kasus, nasib para koruptor yang kita nantikan dari pagi, siang, hingga malam hari. Kita menjadi ”penikmat” kisah koruptor. Narasi tentang koruptor seakan-akan tak habis-habisnya dikisahkan dan kita setia menantinya. Selalu lahir ”tokoh-tokoh” baru: Gayus, Dhana, Nazaruddin, Malinda, Nunun, dan seterusnya. Karena itu, narasi koruptor adalah ”Narasi Besar” (Grand Narrative) karena ia ”Penanda Besar” kejahatan.”Sihir koruptor” adalah himpunan ”kekuatan simbol” (symbolic power), yaitu kekuatan ”memanipulasi” realitas melalui representasi media, yang membuat orang percaya, mengakui, dan menerimanya sebagai ”kebenaran”. Koruptor memiliki ”nilai tukar” (currency) dalam sistem pertukaran simbol yang dikejar-kejar media dan ditunggu-tunggu publik (Bourdieu, Language and Symbolic Power, 1991). Figur seperti Gayus menjadi simbol ”rekening gendut”, ”penggelapan pajak”, dan ”pegawai negeri korup”.”Sihir koruptor” juga melibatkan ”kecerdasan semiotik” (semiotic intelligence), yaitu kecerdasan memanipulasi dan mengonstruksi citra dan makna untuk mendistorsi informasi dan realitas. Sebagai kekuatan ”sihir”, kekuatan semiotik macam ini juga diperlihatkan oleh para simulacreur korupsi: Nazaruddin, Malinda, Nunun, Angelina, mungkin juga Anas. Kecerdasan semiotik menjadi senjata ampuh para koruptor untuk ”menyihir” dan ”memanipulasi” kesadaran kita.Beberapa koruptor memiliki ”karisma” layaknya Soekarno, Nasser, atau Khomeini yang dapat ”menyihir” kesadaran publik meskipun dengan cara berbeda. Karisma dapat dikonversikan menjadi ”kekuatan” yang dapat membuat orang tunduk pada kemauannya. Karisma figur seperti Gayus tidak terletak pada kekuatan retorika, aura wajah, atau daya mistis, tetapi pada kekuatan ”tanda”, kekuatan memanipulasi tanda untuk memerdaya pikiran dan kesadaran publik—the semiotic power.Sihir SimulasiTelah berjuta cerita dikisahkan tentang kecerdasan para koruptor yang lihai membuat kamuflase untuk mereduksi fakta, mendistorsi informasi, dan memalsukan realitas: berpura-pura sakit; berobat ke luar negeri; berkilah tak pernah menerima uang; seakan-akan lupa; seakan-akan tak mengenal suara; memakai rambut palsu, paspor palsu; mengaku tak punya Blackberry. Beginilah cara koruptor ”menyihir” kesadaran kita—the precision of simulacra.Para koruptor memiliki ”kecerdasan jahat” (evil intelligence), yaitu kecerdasan merangkai tanda, mengukir citra, membuat alibi, menciptakan kamuflase, merekayasa simulasi, sebagai cara menyihir publik dan mengubur kejahatan. Mereka hendak mengaburkan batas-batas kebaikan/kejahatan, moral/amoral, keadilan/ketakadilan. Mereka pandai menciptakan ”hiper-realitas kejahatan”, yaitu citra kejahatan yang ”melampaui” realitas kejahatan sesungguhnya (Baudrillard, The Intelligence of Evil, 2005).Akan tetapi, kini rahasia ”kecerdasan jahat” para koruptor mulai terbuka. Kejahatan mereka mulai terbaca, kesaktian mereka mulai pudar, sihir-sihir mereka mulai sirna. Tersangka seperti Gayus tengah diadili dan mungkin akan dihukum berat, bahkan ”dimiskinkan”. Gayus boleh dipenjara atau disengsarakan, tetapi ”sihir simbolis” yang dibawanya akan tetap hidup karena ia adalah ”Penanda Besar”. Gayus adalah simbol ”rekening gendut” sekaligus simbol ”orang pajak” yang sudah terpatri di kesadaran publik.Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) ingin membuat ”penjarakan” dengan Gayus melalui strategi pencitraan berbasis ”oposisi biner” (binary opposition). Di satu sisi, Gayus dicitrakan sebagai orang pajak ”menyimpang”, ”oknum”, ”ekses”; di sisi lain, Ditjen Pajak dicitrakan sebagai lembaga ”bersih”, ”jujur”, ”transparan”, dan ”tepercaya”. Maka, lembaga ini sangat percaya diri menggunakan slogan ”Apa Kata Dunia?” untuk mengingatkan para penunggak pajak.Ini strategi pencitraan kontraproduktif karena citra ”Ditjen Pajak” sudah sangat identik dengan citra ”Gayus”: ”Gayus adalah Ditjen Pajak”. Disimpulkan, Ditjen Pajak adalah sarang para ”koruptor pajak”. Konotasi publik ini tak bisa disangkal. Karena itu, slogan ”Apa Kata Dunia” di mata publik sudah menjadi penanda hampa yang menjadi sasaran olok-olok: ”Hari Gini Gak Bayar Pajak, Apa Kata Gayus?”Ditjen Pajak—dan lembaga-lembaga lain—dihadapkan pada tugas berat ”pencitraan tandingan” untuk menghapus ”citra Gayus” atau citra ”rekening gendut” yang melekat pada lembaga itu. Meskipun tugas memerangi korupsi bukan sekadar persoalan citra, pencitraan tandingan itu kini jadi keniscayaan. Sebab, yang dihadapi tak lagi Gayus sebagai individu, tetapi sebagai kekuatan ”sihir”. Lembaga perpajakan menjadi bagian ”sindrom korupsi pajak” yang mengancam citra dan eksistensinya di masa depan. ● -
Sengkarut Pengetatan Remisi
Sengkarut Pengetatan RemisiDonal Fariz, PENELITI HUKUM INDONESIA CORRUPTION WATCHDIVISI HUKUM DAN MONITORING PERADILANSUMBER : KOMPAS, 15 Maret 2012Koalisi tujuh terpidana korupsi memenangi gugatan pencabutan Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat yang dikeluarkan Menteri Hukum dan HAM. Patah arangkah pemerintah untuk merealisasikan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat pasca-putusan ini?Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan terpidana korupsi yang gagal menghirup udara bebas pasca-adanya kebijakan pengetatan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham). Ihwal permasalahan ini bermula dari tujuh terpidana yang pada 30 Oktober 2011 telah mengantongi Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat, tetapi kemudian Menkumham mencabutnya.Pencabutan didasari motivasi untuk memperketat pemberian sarana yang meringankan bagi perampok uang rakyat, sebut saja remisi dan termasuk di dalam nya pembebasan bersyarat. Hengky Baramuli cs yang merasa dirugikan atas putusan ini mengajukan gugatan dengan menunjuk salah satu tersangka kasus Sisminbakum, Yusril Ihza Mahenda, sebagai kuasa hukumnya.Setidaknya ada empat hal yang dipermasalahkan, yaitu pelanggaran prosedur, kewenangan, asas legalitas dan retroaktif, hingga asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam SK tersebut.Alhasil, majelis hakim akhirnya mengabulkan seluruh gugatan para penggugat, 6 Maret, sekaligus memerintahkan Menkumham mencabut obyek sengketa. Putusan ini tentu tamparan bagi pemerintah. Meski sebagian publik paham dari segi gagasan pemerintah sudah benar, cara melaksanakannya dinilai ”terpeleset”.Bukan HalanganPertanyaan besar bagi publik, apakah putusan PTUN ini berarti jalan buntu bagi upaya pengetatan remisi? Jawabannya tentu tidak. Ada dua alasan untuk menjelaskan ini. Pertama, obyek gugatan merupakan penetapan tertulis pejabat tata usaha negara (beschikking) yang bersifat final, individual, dan konkret yang menimbulkan akibat hukum bagi penggugat, yakni ketujuh terpidana kasus korupsi. Konsekuensi yuridisnya, yang akan menikmati putusan ini hanya mereka bertujuh dan tak berimplikasi ke narapidana korupsi lain.Kedua, majelis hakim mengesampingkan alat bukti surat ataupun ahli yang diajukan para pihak yang menyangkut penilaian mengenai keabsahan kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. Hal ini bisa dilihat di halaman 102-103. Alasan putusan ini, kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bukan kompetensi absolut PTUN untuk menilainya. Ini bermakna, putusan PTUN itu tak menganulir kebijakan pemerintah untuk merealisasikan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat.Di balik itu semua, kekalahan pemerintah dalam sengketa di PTUN yang lalu bisa dimaknai sebagai uji konsistensi untuk merealisasikan pengetatan. Sebab, dipastikan gelombang hadangan dari kelompok-kelompok yang tidak menyetujui pencabutan fasilitas kemewahan bagi koruptor akan silih berganti muncul.Salah satu hadangan terbesar dipastikan akan muncul dari Senayan. Upaya interpelasi pro-koruptor yang sedang digulirkan jelas akan jadi cobaan berat. Sebab, pemerintah akan berhadapan dengan semangat menyala-nyala para politisi yang sedang memperjuangkan nasib rekannya yang tengah dibui.Tugas PresidenIhwal pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat tidak hanya menjadi perhatian publik dalam negeri.Dalam konteks internasional, Assessment United Kingdom dan Uzbekistan yang melakukan tinjauan terhadap penerapan Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) di Indonesia memberikan catatan khusus atas pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. Langkah itu dinilai menunjukkan ketidakkonsistenan negara dalam memberikan hukuman (penalti) atas kejahatan korupsi yang dilakukan oleh warga negaranya.Suara dunia internasional tersebut sudah seharusnya menjadi catatan khusus bagi Presiden Yudhoyono. Apalagi presiden tentu paham, praktik obral remisi yang dilakukan pada masa lalu menjadi salah satu variabel penyebab stagnannya pemberantasan korupsi.Bisa dibayangkan problematika penegakan hukum di level hulu yang penuh masalah, seperti praktik mafia hukum dan peradilan, suap di peradilan, serta maraknya vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi. Kalaupun sisanya dijatuhi hukuman, angkanya sangat kompromis, hanya beberapa tahun.Jika remisi dan pembebasan bersyarat masih dilestarikan, semakin sempurnalah kemacetan pemberantasan korupsi mulai dari hulu sampai hilir.Persoalan ini tentu bukan tanpa solusi. Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan revisi terhadap regulasi yang ada saat ini, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Hal tersebut tidak membutuhkan energi besar karena seluruh kewenangan berada di tangan Presiden. Lawan Presiden hanya satu, yakni sikap bimbang yang acapkali muncul saat kebijakan dihadang oleh lawan politik.Revisi PP tersebut harus sesegera mungkin direalisasikan agar pembatasan tersebut memiliki payung hukum yang kuat sehingga tidak akan mudah dipatahkan oleh kelompok tertentu. Payung hukum tersebut tentunya juga akan menjadi alat kontrol pemerintah agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam melaksanakan fungsinya.Di tengah koyaknya kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi era Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden masih memiliki secercah harapan untuk menjahit luka masyarakat. Luka yang timbul karena terlalu sering dibuai janji tanpa realisasi.Pengetatan ini bukan soal pencitraan belaka, melainkan harus ditempatkan sebagai bagian utuh untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi. Presiden jangan sembunyi, tetapi harus tampil memainkan perannya untuk mengatasi sengkarut pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat di negeri ini. ● -
Pendidikan Cepat Saji
Pendidikan Cepat SajiUdiansyah, ANGGOTA DEWAN RISET NASIONALSUMBER : KOMPAS, 15 Maret 2012Inilah gejala ”penyakit ijazah” yang akan mewabah di Indonesia jika tidak diantisipasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Seorang profesor di satu perguruan tinggi negeri (PTN) dipecat mengajar dan membimbing oleh ketua program studi. Alasannya karena proses belajar- mengajar dan cara penilaian sang profesor dianggap bermasalah.Pemecatan didasarkan adanya surat kaleng mahasiswa yang tak dapat dibuktikan kebenarannya. Dalam surat itu tak disebutkan nama dan nomor induk mahasiswa. Hanya diterangkan bahwa sang profesor pelit memberi nilai, petunjuk tugas tak jelas, tugas terlalu banyak, dan kesempatan ujian perbaikan tidak ada.Ketua program studi dan rektor PTN tersebut langsung setuju dengan isi surat tanpa adanya usaha klarifikasi kepada sang profesor sebelum memecatnya.Fenomena di atas merupakan fakta teori yang dikemukakan Rendall Collin (1979) tentang masyarakat kredensial (credentials). Masyarakat kredensial ini menganggap ijazah salah satu hal yang sangat penting dalam usaha untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, baik dalam pemerintahan maupun swasta.Tuntutan masyarakat kredensial ini disambut hangat oleh lembaga pendidikan yang berisi sumber daya masyarakat dari golongan yang sama. Pada kondisi seperti inilah hukum ekonomi pasar yang berbicara.Meningkatnya permintaan gelar oleh masyarakat kredensial berdampak makin menjamurnya lembaga pendidikan untuk menawarkan gelar-gelar tersebut. Pada awalnya tuntutan masyarakat kredensial tak ada masalah karena proses pendidikan masih terjaga. Para pengelola dan dosen masih punya idealisme. Namun, seiring meningkatnya ”inflasi” kredensial, segelintir lembaga pendidikan menerapkan kebijakan yang mengarah ke kapitalis, pragmatis, dan tak rasional lagi.Penyakit IjazahInflasi kredensial yang tinggi menggeser tujuan dan motif pendidikan. Jika semula pendidikan adalah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan mendapat gelar akademik yang lebih tinggi guna membuat sesuatu perubahan, sekarang bergeser hanya untuk mendapatkan ijazah dan gelar akademik. Ronald Dore menyebutnya dengan istilah penyakit ijazah (the diploma disease).Penyakit ijazah ini dipicu pula oleh lembaga pendidikan yang menyediakan menu cepat saji. Menu ini diimplementasikan dengan melakukan restrukturisasi visi dan misi dalam lembaga pendidikan. Seyogianya, fungsi lembaga pendidikan itu untuk memupuk untuk berkembangnya peradaban dan pembangunan karakter. Namun, kini fungsi itu telah menyimpang dan cenderung mengarah untuk mencari keuntungan finansial. Kualitas pendidikan dan tata nilai serta penelitian dan publikasi ilmiah dikorbankan.Proses belajar-mengajar lebih cenderung seperti kursus atau pelatihan. Argumentasi mereka: jam tatap muka sama saja, tidak ada yang kurang. Bahkan, ada yang ijazahnya sudah diterbitkan walaupun skripsi, tesis, atau disertasi ”sang alumnus” belum juga rampung.Aturan main yang telah ditetapkan, yaitu selesai tepat waktu dan nilai tinggi, harus diikuti oleh dosen pengajar dan/atau pembimbing. Apabila ada dosen dan/atau pembimbing skripsi, tesis, dan/atau disertasi tidak dapat menyesuaikan diri dengan aturan main tersebut, dosen tersebut harus dipecat. Mereka yang dipecat tidak dapat berbuat apa-apa karena memang tak ada pelanggaran aturan dalam hal ini, kecuali pelanggaran tata nilai.Agar dampak menu cepat saji di lembaga pendidikan dapat diminimalisasi, Dewan Kehormatan Dosen (DKD) perlu dibentuk. Jika ada dosen yang menyimpang atau dosen dipecat sesuka hati oleh penguasa lembaga pendidikan, DKD inilah yang memutuskan apakah sang dosen bersalah dan layak dipecat mengajar dan membimbing. Keberadaan DKD juga dapat melindungi martabat dosen yang masih punya idealisme, terutama untuk mengembalikan tujuan pendidikan ke arah yang benar. ● -
Indonesia dan Peran Australia
Indonesia dan Peran AustraliaPLE Priatna, DIREKTUR INFORMASI DAN MEDIA KEMENTERIAN LUAR NEGERI RISUMBER : KOMPAS, 15 Maret 2012Kunjungan Menlu RI Marty Natalegawa ke Australia merupakan momentum penting meningkatkan hubungan bilateral kedua negara sekaligus perkenalan dengan Menlu Australia yang baru: Robert John ”Bob” Carr. Marty dijadwalkan memenuhi undangan berceramah di Center for Democratic Institutions, Australian National University, Canberra, 14 Maret 2012.Hubungan Indonesia-Australia di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menlu Marty Natalegawa serta Perdana Menteri Julia Gillard dan Menlu Kevin Rudd tampak menunjukkan kematangan. Sekalipun hubungan kedua negara cukup kuat, acap kali kebijakan Australia mengagetkan.Laju perdagangan Australia- Indonesia 2010-2011 mencapai 13,8 miliar dollar AS, kata Kevin Rudd di Jakarta, Februari lalu. Namun, kemajuan itu dibayangi benturan. Ross Taylor, pakar Indonesia, mendesak agar Menlu baru Australia memulihkan perhatian ke Indonesia akibat luka kebijakan Australia terdahulu. Iritasi yang dibuat Australia terjadi saat Australia melakukan larangan ekspor sapi ke Indonesia meski Senator Chris Back mengindikasi adanya rekayasa Lyn White dari Animals-Australia dalam kasus penyiksaan sapi di rumah potong hewan di Mabar, Sumatera.Kemudian travel warning yang terus dikeluarkan Kemlu Australia, perluasan skema pekerja musiman Pasifik memasukkan Timor Leste tetapi mengeluarkan Indonesia, serta satu lagi kasus penahan anak Indonesia di bawah umur di penjara Australia.Masih ada satu lagi menyangkut produk hortikultura. Indonesia menghadapi hambatan memasuki pasar Australia. Buah-buahan, seperti salak, mangga, dan manggis, yang sudah dipesan importir Australia ternyata ditolak karena dianggap tidak memenuhi syarat-syarat regulasi sanitari dan fitosanitari. Padahal, tarif impor untuk buah-buahan tropis yang diterapkan Australia sudah mencapai nol persen.Begitu juga pada 2010 terdapat 13 kasus penghentian sementara di Australia terhadap produk makanan Indonesia. Selain kasus ekspor buah-buahan, Indonesia dibayangi persoalan penghentian sementara yang diterapkan pada produk-produk makanan, seperti kecap manis, makanan ringan dari singkong, dan sejenis kerang.Di sisi lain Indonesia mengulur-ulur penerapan pembatasan pelabuhan selama tiga bulan hingga 19 Juni 2012 agar mitra dagang kita (Australia) leluasa menyiapkan pergudangan dan sarana transportasinya.Di tengah ekspresi kebijakan yang mengejutkan ini, kalangan media Australia menyebut bahwa Bob Carr adalah tokoh sentral yang mengenal Indonesia. Namun, optimisme itu seakan-akan diragukan. Surat kabar Bisnis online pada 3 Maret lalu menyebut Bob Carr sebagai Menlu Australia yang mendua kepada Indonesia. Tak kurang dari Prof Damien Kingsbury (Universitas Deakin) baru-baru ini mengulang kembali harapannya agar Australia memahami Indonesia lebih mendalam meningkatkan hubungan.Peran Bob CarrSecara geografis tak ada pilihan bahwa Australia harus bertetangga baik dengan Indonesia. Hubungan Australia-RI saat ini dan ke depan tak hanya cukup berlangsung normal atau biasa-biasa saja, tetapi perlu istime- wa dan erat. Australia tidak cukup hanya menyebut Indonesia sebagai screen door ala Don Watson. Indonesia harus ditempatkan sebagai mitra yang melengkapi dengan kerja sama yang saling menguntungkan. Pandangan Prof Damien Kingsbury seperti itu seharusnya bisa didengar Menlu Bob Carr.Tak bisa lagi Pemerintah Australia melihat Indonesia sebagai elemen ancaman yang memberi dampak negatif. Pandangan usang yang melihat Indonesia secara negatif dan bukan potensi besar bagi kemajuan Australia harus segera ditinggalkan. Travel warning bukan lagi sarana yang tepat melihat Indonesia. Sementara itu, fakta lain jelas mengungkap bahwa masyarakat Australia tetap berduyun-duyun berlibur di Bali dan masyarakat Indonesia melanjutkan pendidikan ke kota-kota besar di Australia.Pemerintah Australia di bawah Bob Carr harus berani melalukan terobosan politik: berada di baris depan, mampu meyakinkan publik Australia bahwa hanya melalui kerja sama secara egaliter, setara, dan saling menguntungkan, Australia mendapat tempat di Indonesia.Ketakmampuan pemerintah Australia mengelola suara minoritas vokal yang bermusuhan dengan Indonesia akan menjadi pendulum jarak hubungan dengan Indonesia. Suara minoritas yang bermusuhan serta tidak mewakili suara mayoritas rakyat Australia tidak boleh menjadi bagian dari kepentingan nasional Australia.Kepentingan kelompok konstituen pendukung PM Julia Gillard atau Menlu Bob Carr tidak sepatutnya menjadi elemen kekuatan opini untuk menempatkan Canberra takut berhubungan baik dengan Jakarta. Internasionalisasi masalah domestik dan domestifikasi isu hubungan Australia-RI seyogianya tak menjadi parameter pasang-surut hubungan Australia-RI. ● -
Selamat Jalan Ekonom Pembangunan
Selamat Jalan Ekonom PembangunanFirmanzah, DEKAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA (FEUI)SUMBER : SINDO, 15 Maret 2012Jumat, 9 Maret 2010, merupakan hari berduka bagi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI). Pada tanggal tersebut,11 tahun yang lalu (9 Maret 2001) FEUI kehilangan begawan ekonomi Prof Soemitro Djojohadikoesomo di usia 84 tahun.Pada tanggal yang sama FEUI berduka atas berpulangnya salah satu putra terbaik FEUI yaitu Prof Widjojo Nitisastro di usia 85 tahun. Suasana berkabung masih dirasakan tidak hanya di Kampus FEUI,tetapi juga para teman, kerabat, kolega, rekan kerja,dan masyarakat. Prof Widjojo Nitisastro merupakan guru,pembimbing,pemimpin, dan panutan tidak hanya di kalangan ekonom FEUI, tetapi juga bagi sarjana ekonomi dan birokrat di Indonesia. Kekuatan pemikiran, daya analisis, ketelitian, kerendahan hati, kepemimpinan, dan ketenangan dirinya merupakan percikanpercikan sikap sebagai seorang cendekia.Semasa hidup Prof Widjojo Nitisastro selalu mengajarkan bahwa menjadi seorang intelektual tidak cukup hanya sampai menulis. Dibutuhkan komitmen, keteguhan hati, sikap, integritas, dan keberpihakan untuk selalu mencari solusi atas persoalan ekonomi. Pengalaman in-vivopenulis kepada ekonom pembangunan ini begitu singkat, namun penuh kesan. Rentang zaman dan pengalaman membuat setiap perjumpaan dengan Prof Widjojo Nitisastro selalu penuh dengan kesan mendalam. Tidak hanya beliau sebagai ekonom besar, tetapi terlebih dari itu beliau juga sebagai bapak dan guru bagi FEUI.
Pertemuan Mengesankan
Open House Idul Fitri, 19 September 2009, di kediaman Prof Widjojo Nitisastro merupakan momen yang tidak terlupakan bagi saya. Kala itu, sebagai dekan baru FEUI,saya diundang ke rumah beliau untuk silaturahmi. Perjumpaan dengan ekonom yang sangat berpengaruh secara intelektual dan peletak kebijakan dasar perencanaan pembangunan membuat perasaan bercampur aduk. Di satu sisi harus tetap bersikap layaknya seorang dekan FEUI, tetapi di sisi lain rasa kagum dan hormat yang begitu dalam tidak dapat menutupi rasa gugup berjumpa pertama kali dengan beliau.
Masuk di rumah Prof Widjojo Nitisastro dan disapa langsung oleh beliau yang pada waktu itu duduk di kursi roda memberikan rasa nyaman yang luar biasa. Sapaan beliau,‘Selamat dating, Pak Dekan…’ meruntuhkan rasa grogi dan gugup yang mendera selama perjalanan menuju rumah beliau.Sosok intelektual dan ekonom dengan kerendahan hati, keramahan, dan kehangatan memberikan kesan kuatnya rasa humanis Prof Widjojo Nitisastro. Pertemuan berikutnya terjadi ketika saya bersama pimpinan Lembaga Demografi (LD-FEUI) berkunjung ke rumah beliau untuk bersilaturahmi. Prof Widjojo Nitisastro merupakan pendiri LDFEUI pada 1964.
Pendirian lembaga ini tidak terlepas dari pemikiran beliau bahwa ekonomi dan demografi tak terpisahkan. Diskusi berlangsung dengan penuh kekeluargaan dan mengejutkan bagi kita adalah daya ingat Prof Widjojo Nitisastro akan peristiwa dan kejadian begitu detil dan tidak terkesan menggurui. Saya teringat pesan Prof Subroto yang menganalogikan Prof Widjojo Nitisastro seperti begawan Abiyasa yang selalu tenang dan tempat mendapatkan nasihat.
Pengaruh Intelektual dan Kelembagaan
Prof Widjojo Nitisastro adalah pendidik yang selalu mendasari analisis berdasar data empiris. Pada 1955 beliau diangkat sebagai direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEUI yang pada saat itu menggantikan Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo. Pada 1964-1968 beliau menjadi dekan FEUI dan memberikan fondasi kehidupan akademis kampus di tengah ketidakstabilan kondisi politik,ekonomi, dan keamanan nasional.
Ruang kerja intelektual dan kaum cendekia tidak dibatasi pada perpustakaan dan laboratorium.Komitmen Prof Widjojo Nitisastro untuk terlibat aktif membantu pemerintah menunjukkan tugas kaum intelektual dan cendekia tidak pada ruang hampa.Implementasi ilmu untuk membuat kondisi bangsa menjadi lebih baik merupakan panggilan pengabdian intelektual yang dibalut dengan integritas keilmuan. Pengaruh akademik Prof Widjojo Nitisastro yang melihat stabilitas sebagai primecausa bagi pembangunan ekonomi terasa sampai sekarang.
Pada akhir Orde Lama perekonomian Indonesia berhadapan dengan persoalan besar yaitu inflasi dan instabilitas. Dua hal ini menjadi perhatian utama Prof Widjojo Nitisastro untuk merumuskan rencana pembangunan selama beliau menjabat sebagai ketua Bappenas yang dijabat pada 1967–1983. Menjinakkan inflasi dan arah pembangunan jangka panjang berbasis pertanian dan industrialisasi bertahap menjadi dasar penyusunan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Struktur demografi dan laju pertumbuhan populasi mendapatkan perhatian khusus bagi Prof Widjojo Nitisastro sebab mayoritas persoalan ekonomi merupakan turunan dari hal ini. Pendekatan multidisiplin dan multisektoral untuk menganalisis dan merumuskan kebijakan ekonomi sangat mewarnai perjalanan sebagai intelektual dan birokrat. Pemikiran Prof Widjojo Nitisastro berada dalam ketegangan menolak ‘free fight liberalism’ dan ‘etatisme’. Perimbangan peran pemerintah dan swasta dalam pembangunan ekonomi merupakan dasar perencanaan pembangunan.
Posisi pandangan yang mengambil jalantengah di antara dua kutub mainstream ideologi dianggap paling sesuai dengan kondisi negara berkembang. Landasan pemikiran Prof Widjojo Nitisastro menegaskan bahwa pemerintah perlu mengambil langkah aktif dan proaktif dalam merumuskan langkah-langkah untuk meningkatkan ekspor, pengendalian jumlah penduduk, inflasi, penciptaan stabilitas, produksi pangan dan pertanian, dan perang melawan korupsi. Tujuan dan arah pembangunan ekonomi nasional adalah mengangkat harkat dan martabat rakyat kecil.
Semasa hidup Prof Widjojo Nitisastro selalu menunjukkan bahwa ide dan gagasan perlu disertai dengan kerja keras untuk mewujudkannya. Berpikir, menulis, dan memutuskan merupakan lingkaran yang bertaut satu dengan yang lain. Seperti manusia biasa,tiada gading yang tak retak.Pelajaran baik pada masa lalu menjadi sumber penyusunan kebijakan ekonomi Indonesia masa depan. Sementara kekurangan pada masa lalu menjadi pembelajaran bagi generasi sekarang dan akan datang untuk memperbaikinya. Selamat jalan Prof Widjojo Nitisastro.
Terima kasih telah menunjukkan nilai hidup sebagai seorang intelektual yang selalu konsisten. Semangat untuk tidak lelah mengabdi dan mencintai Indonesia akan selalu menginspirasi generasi sekarang dan selanjutnya. Selamat jalan ekonom pembangunan.
● -
Apa yang Tidak Bisa dengan Pembuktian Terbalik?
Apa yang Tidak Bisadengan Pembuktian Terbalik?Romli Atmasasmita, GURU BESAR EMERITUS; ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASDEMSUMBER : SINDO, 15 Maret 2012Pertanyaan di atas provokatif tentu bagi pihakpihak yang paham hukum karena praktik pemberantasan korupsi dengan pembuktian terbalik melalui UU RI Nomor 8 Tahun 2010 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sejak pembentukan PPATK terbukti mandul.Keberadaan dua undangundang strategis (UU RI Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 dan UU RI Nomor 8 Tahun 2010) bukan sekadar pencitraan, melainkan juga sungguh-sungguh telah diperhitungkan bahwa korupsi intinya perampokan harta kekayaan negara dan hanya dapat dibongkar tuntas melalui UU Pencucian Uang dengan memberlakukan ketentuan pembuktian terbalik. Mengapa? Karena UU Pencucian Uang dapat menelusuri aliran dana hasil korupsi dilanjutkan dengan pemblokiran dan pembekuan aset tersebut sampai kepada terdakwa harus membuktikan sendiri asal-asal harta kekayaan yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi.Rangkaian proses hukum melalui UU Pencucian Uang bukan persoalan mudah dan sangat menghabiskan waktu lama. Agar tujuan ketentuan pembuktian terbalik tuntas diterapkan, perlu diketahui benar dengan bukti yang sah bahwa harta kekayaan terdakwa benar berasal dari korupsi atau sebagian juga berasal dari penghasilannya yang sah. Tenggat waktu yang cukup dan teknik penyelidikan dan penyidikan yang bersifat “hightech” hanya dapat memberikan hasil optimal dan kebenaran materil mengenai asal-usul harta kekayaan yang diduga berasal dari korupsi.
Proses itu tidak asal tebak atau asumsi dan dugaan saja ada keterkaitan dengan korupsi seperti yang sering dilontarkan aparat penegak hukum atau orang awam. Contohnya pada kasus Dhana,pegawai pajak.Sampai saat ini Kejaksaan Agung masih belum dapat memastikan asalusul hartanya sebanyak Rp60 miliar yang menurut dugaan berasal dari penyimpangan UU Perpajakan. Dalam kasus Dhana, Kejaksaan Agung merupakan tumpuan harapan masyarakat luas yang dapat menuntaskannya secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Kehati-hatian
Setiap Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK yang kini telah disebarluaskan kepada anggota DPR RI dan termasuk transaksi keuangan mencurigakan (TKM) dan berindikasi pidana wajib ditindaklanjuti baik oleh kepolisian, kejaksaan, maupun KPK jika diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Sebelum sampai pada penerapan ketentuan pembuktian terbalik aparatur penegak hukum harus ekstrahati-hati melaksanakan tugas dan wewenang sesuai undang-undang, menelusuri asal usul harta kekayaan setiap orang atau korporasi yang diduga berasal dari kejahatan (korupsi). Jika tidak, akan berujung skandal dan bebasnya terdakwa beserta harta kekayaannya, terlepas dari jangkauan hukum.
Seyogianya PPATK tidak selalu didorong, apalagi ditekan untuk segera melaporkan hasil analisisnya kepada DPR atau lembaga penegak hukum sebelum hasil analisis diuji dan direviu berkali-kali termasuk dengan bantuan para ahli forensik keuangan,ahli hukum pidana,dan ahli keuangan atau ahli hukum perbankan. Hal penting kedua,yang juga diatur dalam UU Pencucian Uang adalah kerahasiaan informasi dan identitas pelapor transaksi keuangan mencurigakan dari lembaga penyedia jasa keuangan bank dan nonbank.
Kunci keberhasilan pemberantasan korupsi dan kejahatan lain melalui pembuktian terbalik sangat bergantung pada integritas dan kredibilitas pegawai PPATK dan penegak hukum dalam merahasiakan informasi tersebut. Tanpa kedua unsur tersebut (integritas dan kredibilitas), dapat dipastikan keberadaan UU Pencucian Uang dan UU Antikorupsi menjadi kontra produktif bagi iklim perbankan dan keuangan terutama di dalam negeri.
Kita bisa mencontoh ketatnya penegak hukum dan lembaga keuangan Singapura dalam informasi keuangan nasabah, sekalipun ada kecurigaan transaksi keuangan dalam perbankannya dari financial intelligence unit (FIU) di semua negara. Pembuktian pencucian uang melalui pembuktian terbalik di beberapa negara maju masih “diharamkan” dengan berbagai pertimbangan antara lain merupakan bentuk pelanggaran hak asasi seseorang. Secara teoritik penolakan pembuktian terbalik telah dapat diatasi dengan teori “balanced probability principle” (teori pembuktian keseimbangan kemungkinan).
Konsep ini menempatkan harta kekayaan seseorang dalam posisi terbawah pada lini hak asasi manusia yaitu berlaku asas praduga bersalah (presumption of guilt). Sedangkan kesalahan seseorang menguasai harta kekayaan tersebut ditempatkan dalam posisi teratas pada lini hak asasi manusia dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Teori ini menegaskan bahwa, sekecil apa pun nilai harta kekayaan seseorang hanya orang yang bersangkutan yang mengetahui asal-usulnya bukan negara (penuntut umum).
Secara hukum, ketentuan pembuktian terbalik telah diatur dalam UU RI Nomor 31 Tahun 1999 dan UU RI Nomor 8 Tahun 2010.Sayangnya, keberhasilan kedua UU tersebut di atas masih jauh di bawah ratarata negara maju dan khususnya Hong Kong dan China. Bagi Indonesia yang tertinggal hanyalah komitmen politik pemerintah dan DPR RI serta integritas dan kapabilitas aparatur penegak hukum untuk menuntaskan kasus korupsi melalui pembuktian terbalik dalam UU Pencucian Uang.
● -
Ekspor Gampang-gampangan
Ekspor Gampang-gampanganRhenald Kasali, KETUA PROGRAM MM UISUMBER : SINDO, 15 Maret 2012Pekan lalu saya diminta sahabat-sahabat saya dari Kementerian Perdagangan untuk berbicara tentang national branding(yang sudah saya uraikan minggu lalu).Saya sebut mereka sahabat-sahabat karena suatu ketika saya pun pernah bersama- sama dengan mereka dan sebagian besar masih saya kenali. Bedanya, sekarang mayoritas sudah aktif berbahasa Inggris. Mungkin ini karena arahan Menteri Gita Wirjawan yang sadar pentingnya bahasa dalam diplomasi pasar global. Dulu sewaktu saya memasuki Kantor Departemen Perdagangan, para pejabat dan menteri tengah sibuk ganti logo. Hasilnya logo berbentuk payung yang ada warna hijau dan birunya.Sekarang, tak lama setelah menterinya berganti, logo baru yang lebih sederhana sudah tersemat di dada para pejabatnya,payungnya sudah hilang.Cukup warna dasar biru dengan tulisan “Kementerian” (bukan lagi “Departemen”) Perdagangan. Saya berharap tiga tahun lagi, yang diganti menteri baru bukan logonya, tetapi paradigmanya, yaitu cara berpikirnya. Bukankah perubahan belum pernah terjadi sebelum manusia berhasil mengubah cara berpikirnya? Maksud saya, cara berpikir para follower, para aparatur negara, pejabat, dan birokrat yang seharihari mengurusi perizinan dan masyarakat. Sebab, reformasi birokrasi itu sebenarnya adalah peningkatan pelayanan.
Itu pun kalau menterinya sudah benar-benar memiliki cara pandang baru yang lebih match, lebih pas dengan tuntutan zaman, supaya kompetitif di pasar global dan domestik. Pasalnya, kalau melihat data statistik, ekspor Indonesia memang naik terus. Januari 2012 ini saja, ekspor Indonesia mencapai USD15,49 miliar, naik 6% dibandingkan Januari tahun lalu.
Dari jumlah itu, ekspor migas semakin hari semakin kecil, yaitu tinggal USD2,97 miliar atau 18,05% dari total ekspor kita.Padahal, di era kejayaan migas Indonesia, dulu kita pernah menuai 60–70% pendapatan ekspor dari migas. Bagi para penggagas diversifikasi ekspor yang dipikirkan 25 tahun lalu, jelas ini suatu kemajuan.Lantas bagaimana legacy perubahan menteri-menteri sekarang untuk Indonesia 25 tahun ke depan?
Ekspor atau Marketing
Kata “ekspor”memang masih lazim dipakai oleh banyak negara.Namun dalam literatur pemasaran internasional, kata ini sudah jarang disebut. Maklum, ekspor berkonotasi bisnis “gampang-gampangan”,cuma “membuang” kelebihan kapasitas produksi yang tak terserap di pasar domestik ke luar negeri. Cara “gampang-gampangan” ini pun tidak mudah untuk diubah. Ekportir bisa marah besar dibilang bisnisnya “gampang- gampangan”. Tapi begitulah Change! Manusia lebih sulit membuang kebiasaan dan paradigma lama daripada mengadopsi sesuatu yang baru.
Mereka bisa mengadopsi bisnis batu bara atau kelapa sawit, tetapi membuang memori “ekspor” atau cara-cara dagang ekspor, susahnya setengah mati. Di pabrik jamu saja ada puluhan produk minuman kesehatan baru dibuat, tetapi jamu beri-beri tetap diproduksi kendati orang yang terkena penyakit beri-beri sudah hampir tidak ada. Mengapa cara “ekspor” disebut cara “gampang-gampangan” dan sulit dibuang? Jawabannya adalah karena itulah cara termudah.
Barang yang diekspor sama dengan yang dibuat di dalam negeri. Kalaupun disesuaikan, ya hanya sedikit sekali yang harus diutak-atik.Kemasannya juga sama. Nama mereknya juga sama. Atau kemasannya dikupas sama sekali, menjadi unbranded. Tinggal terserah yang membeli di luar negeri mau dibungkus lagi dengan merek buatan mereka (repacking) atau dijual dalam bentuk komoditas polos(unbranded). Karena itu pulalah distribusinya pun sederhana saja. Tanyakanlah secara random kepada para pemilik produk atau komoditas Indonesia. Ambil saja 100 responden secara acak (gunakan tabel nomor random).Anda pasti akan mendapatkan jawabannya.
Mereka pasif menunggu orang datang ke sini, memesan barang- barang mereka untuk diperdagangkan keluar negeri. Jadi kalau Anda melihat barang-barang asal Indonesia di luar negeri, sesungguhnya itu bukan sesuatu yang dipasarkan dengan prinsip-prinsip bisnis internasional yang modern. Barang-barang itu dibawa para pedagang yang melihat adanya permintaan, misalnya permintaan dari para TKI yang jumlahnya cukup besar di Arab Saudi, Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan Malaysia atau dari para mahasiswa asal Indonesia di Australia, Amerika Serikat, dan Eropa Barat. Itu untuk barang-barang konsumsi.
Sebut saja jamu, permen, kacang, kecap, sambal, terasi, daun salam, dan ikan asin. Lalu bagaimana dengan komoditas yang dipungut dari alam seperti kopi, kakao, minyak sawit, nikel, biji besi, dan batu bara? Caranya ternyata sama saja, diekspor dari tempat asalnya.Sedikit sekali eksportir komoditas jenis ini yang mau bersungguh-sungguh mencengkeramkan kakinya di pasar global. Kantor dagangnya ya di sini saja. Petugasnya menunggu pembeli datang.Pasif. Apa akibatnya? Indonesia menjadi ramai oleh para pembeli yang berdatangan ke sini.
Bisnis penerbangan dan hotel di pusat-pusat komoditas ramai didatangi pembeli-pembeli komoditas dari China, India,Korea Selatan, Jepang, dan orang-orang Barat. Tapi akibatnya mereka ingin berhubungan langsung dengan petani dan pemilik lahan. Semula pembeli, berikutnya jadi pesaing. Mereka memainkan harga kopi, kakao, nikel, ikan, dan seterusnya. Paradigma ini jelas harus segera diperbaharui. Kalau ingin menjadi global player yang disegani,Indonesia harus benar-benar mempersiapkan pelaku-pelaku usahanya menjadi world class company.
Ini berarti Indonesia perlu mengubah cara berpikirnya, yaitu cara-cara global player. Bahkan birokratnya pun harus kelas dunia, baik pengetahuan, sistem, governance maupun pelayanannya. Jadi menurut hemat saya, kata ekspor pun harus diganti menjadi global marketing. Harus ada niat sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mencetak global brand Indonesia seperti upaya Malaysia mencetak merek sepatu Vinci dan tas kulit Bonia sebagai regional player yang disegani. Bahkan sekarang Malaysia sedang giat mempromosikan snack cokelat merek Barley di pasar global, termasuk di sini. Padahal kakaonya diambil dari Sulawesi.
Global marketing antara lain ditandai dengan dibentuknya kantor-kantor perwakilan dagang perusahaan di luar negeri, bahkan membangun atau mengakuisisi pabrik lain di luar negeri seperti yang dilakukan Indofood di beberapa negara (Afrika, Timur Tengah, dan beberapa negara Asia).Dengan kantor-kantor dagang itu, dilakukan upaya pengendusan pasar dan membuka jalur-jalur distribusi baru sekaligus.
Tidak terlalu sulit, tetapi tentu ada risikonya bila tidak dimonitor dari kantor pusat. Jadi apa yang mau dicapai dari ekspor cara gampang-gampangan ini? Tanpa global player, perwakilan dagang Pemerintah Indonesia di luar negeri bakal pontang-panting menerima keluhan pembeli yang kata birokrat permintaannya bagus, tapi bagi eksportir jumlahnya tidak menarik.
● -
TV Swasta Bersaing, Pemirsa Diuntungkan
TV Swasta Bersaing, Pemirsa DiuntungkanEduard Depari, PENGAMAT MEDIA MASSASUMBER : SINDO, 15 Maret 2012Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah lembaga penyiaran swasta (LPS) terbanyak di dunia. Saat ini beroperasi 10 televisi (TV) swasta di luar lembaga penyiaran publik TVRI.Kehadiran sedemikian banyak TV swasta di negara ini, karena sejarah kelahirannya dan pemberian izin operasional oleh pemerintah, sama sekali tidak mempertimbangkan daya dukung ekonomi masyarakat. Berbeda halnya dengan keberadaan TV swasta dinegara-negara industri maju, pembatasan jumlah stasiun TV swasta didasarkan pada niat untuk melindungi eksistensi bisnis pertelevisian melalui kelayakan ekonomi (economic feasibility) yang menunjang. Televisi swasta hidup dari perolehan iklan yang dijaring melalui perjualan air time yang diisi oleh tayangan yang menarik, variatif, dan kompetitif.Semakin besar jumlah pemirsa yang dibuktikan melalui angka-angka peringkat (rating) sebuah program TV, semakin besar potensi keuntungan yang akan diraih stasiun TV bersangkutan. Itulah sebabnya, sering dikatakan bahwa komoditas yang diperdagangkan TV melalui tayangannya adalah pemirsa TV sendiri. Dalam bahasa media disebut sebagai commodified audience. Persoalannya adalah tidak semua TV swasta yang eksis saat ini mampu memperoleh bagian kue iklan yang memungkinkan mereka memperoleh keuntungan layaknya sebagai bisnis.
Bahkan memaksa mereka untuk bertahan dengan menanggung kerugian. Untuk menyiasati kelangsungan hidupnya, beberapa di antara mereka memilih untuk bekerja sama dengan TV swasta yang mapan, entah melalui akuisisi saham, bermitra secara bisnis, melakukan konsolidasi, atau bentuk kerja sama lain. Uniknya, sekalipun struktur kepemilikan TV swasta berubah, yang permanen adalah pengelola bisnis medium penyiaran ini tetap menyajikan tayangan yang beragam.
Oleh sebab itu,terlepas dari kepemilikannya, pemirsa TV di Indonesia dimanja oleh kehadiran sedemikian banyak jenis tayangan yang disajikan oleh stasiun TV swasta yang berbeda. Sebagai ilustrasi, pemirsa TV negara ini dapat menyaksikan tayangan sepak bola Liga Inggris, La Liga Spanyol, Liga Italia, bahkan tayangan langsung kejuaraan tinju kelas welter atau kelas berat langsung dari rumah masing-masing secara pro-bono. Di negara di mana tiap kegiatan olahraga tersebut berlangsung, mereka harus menyaksikan lewat TV berlangganan atau pay per view.
Secara politis, tayangan TV swasta yang murah meriah ini memungkinkan masyarakat ekonomi lemah menikmati hiburan sebagai katarsis terhadap kekecewaan atau ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Secara sosiologis, program televisi mampu berperan sebagai katup penyelamat sosial (social safety valve). Keunikan lain yang patut dicatat dari kehadiran stasiun TV swasta di Indonesia adalah keberadaan dua stasiun TV yang memfokuskan perhatian pada program public affairs.
Pemilahan program dengan mengutamakan tayangan pemberitaan mulai dari siaran berita, dialog TV, investigative reporting dan sejenisnya sebenarnya menempatkan stasiun- stasiun TV tersebut dalam kategori narrow-casting dan bukan broadcasting.Namun keduanya memperoleh penerimaan sosial yang memadai. Bahkan kehadiran informasi yang menjadi andalan kedua TV swasta tersebut mampu mengurangi kesenjangan informasi antara yang mampu mengakses berita media cetak dengan mereka yang hanya mampu mengakses informasi TV. Dari sisi demokrasi, terjadi proses pemerataan informasi melalui kemudahan mengakses berita televisi.
Tidak semua materi tayangan yang disajikan stasiun TV swasta dapat memuaskan publik. Apalagi, media apa pun memang tidak dalam posisi untuk menyenangkan setiap orang.Keberatan ataupun keluhan publik yang disampaikan secara terbuka biasanya menyangkut kualitas tayangan tertentu seperti menjual mimpi, berbau mistis, melecehkan logika, dan sebagainya. Selain itu,Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga secara proaktif memantau kinerja tayangan TV dan secara reaktif menerima keluhan masyarakat untuk diteruskan ke alamat stasiun TV bersangkutan.
Sejauh ini hubungan antara media televisi swasta dengan masyarakat pada umumnya berjalan cukup harmonis. Bagi masyarakat, yang penting adalah menikmati tayangan menghibur, bervariasi,dan memberi mereka banyak pilihan. “Kedaulatan” ada ditangan pemirsa karena mereka memiliki kendali melalui remote control. Kedaulatan tidak berada pada siapa pun pemilik dan pengelola bisnis TV swasta. Jika pemirsa menolak kehadiran sebuah tayangan, mereka dapat memilih tayangan lain dari stasiun TV swasta berbeda. Artinya semakin langka pemirsa sebuah tayangan,semakinrendah rating tayangan tersebut.
Disukai atau tidak, pengusaha bisnis TV akan menyingkirkan program tersebut dari layar TV bersangkutan. Oleh sebab itu,dari kacamata pemirsa, yang jauh lebih penting adalah the song, bukan the singer. Siapa pun pemiliknya, selama materi program dirasakan masyarakat memenuhi kebutuhan akan hiburan, tidak menjadi masalah. Selama LPS tidak dimanfaatkan untuk kepentingan yang bersifat primordialistis ataupun ideologis, tidak relevan mempermasalahkan siapa pemiliknya.
● -
Pemberhalaan Identitas dan Etika Kedaifan
Pemberhalaan Identitas dan Etika KedaifanAgnes Widanti, PENGURUS INTERFAITH COMMITTEE (IFC) KOTA SEMARANGSUMBER : SUARA MERDEKA, 15 Maret 2012“Identitas sebetulnya bukan jati diri melainkan pengakuan akan perbedaan dan sekaligus pengingkarannya“TULISAN Aloys Budi Purnomo Pr bertajuk ”Membumikan Indahnya Kebersamaan” (SM, 09/03/12) menarik untuk ditanggapi. Memang indah yang digambarkan Aloys dalam pertemuan para elite agama, pemerintahan, dan politik itu, yang penuh keakraban, keterbukaan, keterharuan, dan emosi-emosi yang lain. Ini situasi di aras atas. Penulis akan mencoba melihat dari kacamata aras bawah.Kita tahu rakyat tidak pernah dipersiapkan, baik secara teoritis maupun praktis. Mereka tidak percaya bahwa manusia dapat menunjukkan kecenderungan pada kejahatan, hasrat untuk kuasa, tidak menghormati hak-hak kaum lemah, atau rindu akan ketertundukan.Erich Fromm dalam Escape from Freedom mengatakan tentang aspek yang sangat penting bagi krisis kebudayaan dan sosial zaman ini, yaitu makna kebebasan bagi manusia modern. Dia juga menekankan bahwa manusia modern lebih mengejar kemashyuran, kekuasaan diri, dan memandang diri orang lain dan alam sebagai objek penguasaan teoritis dan praktis, dan dalam keindahannya sebagai objek dari kenikmatan.Pada saat penulis mengerjakan program Interfaith Committee (IFC) Kota Semarang bersama tokoh agama yang lain (Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan Katolik) beberapa tahun lalu di beberapa desa di Gunungpati dan Kalialang, memang sangat terasa imbas dari konflik antarumat beragama di Indonesia.Program itu selaras dengan konsep Magnis Suseno tentang kemanusiaan yang universal, yaitu tiap manusia mempunyai nilai sendiri yang sama dengan manusia lain sehingga nilai kemanusiaan yang universal lebih mengedepan. Pelaksanaan program sesuai dengan konsep adalah gotong royong pembuatan jalan desa untuk mempermudah akses keluar desa, perbaikan gedung SD yang rusak, MCK, dan pembuatan lapangan sepak bola.Program gotong royong ini tidak berupah, tetapi dihargai dengan beras yang dihitung per jam kerja. Ternyata yang mengikuti program 85% perempuan (ibu-ibu) dan 15% bapak/pemuda. Hanya dalam pertemuan evaluasi program mingguan bapak-bapak dan pemuda ikut hadir dan terlibat dalam dialog yang menyegarkan. Sayang program ini berlangsung hanya tiga tahun karena kemudian bantuan dari CRS dialihkan ke NTT yang lebih membutuhkan.Apa sebetulnya yang dibutuhkan masyarakat menghadapi perubahan dari masyarakat agamis menjadi sekuler pluralis? Seperti terjadi di Eropa akhir abad ke-20, agama-agama belum merespons dan masih mempergunakan pandangan lama yang membedakan antara manusia dalam kelompok sendiri dan manusia dalam kelompok lain. Tokoh-tokoh agama juga masih berkutat pada dirinya sendiri, umat tidak dipersiapkan untuk memfungsikan teori dan praktik di masyarakat.Kita hidup dalam NKRI dengan satu sistem hukum sama, yaitu menjamin kesamaan, adil, dan merata. Dengan pandangan baru (nilai kemanusiaan yang universal), maka perbedaan agama-agama tidak akan menimbulkan konflik karena tidak ada perbedaan antara manusia dalam kelompok sendiri dan manusia dalam kelompok lain.Cita-cita manusia universal diperjuangkan oleh ideologi-ideologi keselamatan sekularis besar seperti liberalisme, sosialisme, dan komunisme. Baru dalam abad ini agama-agama mulai membuka diri. Gereja Katolik misalnya baru menerima dengan tegas cita-cita demokrasi, hak asasi manusia, toleransi religius, kebebasan beragama dan berpikir dalam Konsili Vatikan II 1962 °V 1965 (Magnis-Suseno http://www.tokohindonesia.com 23/07/008).Peta KemajemukanIndonesia adalah negara majemuk baik di bidang agama, suku, ras, maupun budaya. Mayoritas penduduk beragama Islam (88,22%), tetapi ada daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Kristen-Katolik, misalnya NTT (89,7%), Bali dengan mayoritas agama Hindu (87,4%), dan beberapa daerah lain seperti Sulawesi Utara, Papua, Maluku, Kalimantan Barat jumlah orang Kristen juga banyak. Kehidupan antarumat beragama sering menimbulkan konflik di daerah-daerah yang mayoritas penduduk Kristen ataupun Islam. Isu agama yang dipolitisasi ini berdampak pada munculnya sikap-sikap primordial. Hanya dengan kedewasaan umat dalam menghayati agama, primordialisme yang berdampak negatif akan melemah.Seperti kata Gus Dur bahwa agama Islam bukan agama politik semata-mata. Porsi politik dalam ajaran Islam itu sangat kecil, yang terkait langsung kepentingan orang banyak. Kalau hal ini tidak disadari, politik akan menjadi panglima bagi gerakan Islam dan terkait dengan institusi yang bernama kekuasaan. Dengan kata lain Islam mementingkan masyarakat adil dan makmur, sejahtera. Islam menjadi sarana kemasyarakatan yang lebih mementingkan fungsi pertolongan pada kaun miskin dan menderita, penegakan HAM, keadilan, dan perdamaian dunia menjadi opsi yang fundamental dari agama Islam (Islamku, Islam Anda , dan Islam Kita).Searah dengan pendapat Gus Dur adalah pendapat Magnis Suseno, dengan konsep tentang manusia universal. Dia mengajukan pendapat Jurgen Habermas yang mengatakan bahwa cita-cita kemanusiaan universal secara potensial telah termuat dalam agama-agama besar. Agama-agama yang membuka wawasan martabat manusia sebagai manusia, dan bukan hanya sebagai warga suku, kelompok, atau kelas sosial tertentu. Agama-agama bicara tentang manusia sebagai manusia kalau mereka bicara tentang Yang Illahi.Cita-cita Jawa tentang manunggaling kawula Gusti (Persatuan hamba-Tuhan, manusia menyatu dengan Tuhan) tidak mengenal batas ras, kasta, atau kelamin. Kesadaran akan kekhasan manusia, kesamaan, keluhuran, dan keterbatasan sebagai ciptaan mendapat penajaman lagi dalam agama-agama Wahyu, agama Israel, agama Kristen dan agama Islam karena agama wahyu dengan tajam memahami transendental Allah.Tanggung JawabSituasi di Indonesia yang selalu ditandai konflik-konflik antaragama menjadi tanggung jawab agama-agama menghadapi tantangan historis agama-agama. Dikatakan historis karena pertentangan yang mengakibatkan konflik antaragama disebabkan agama-agama masih menggunakan paradigma lama, yaitu perbedaan antara kelompokku dan kelompok yang lain. Karena itu sangat sulit untuk menerima ”yang lain”. Tidak ada lagi pembedaan hakiki antara kelompokku dan kelompok lain yang melahirkan diskriminasi, tidak menghormati demokrasi, HAM, dan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar. Agama harus menjadi pendukung utama etika kemanusiaan universal. Sekuler hanya dalam arti fungsional, dalam masyarakat, untuk melakukan pelbagai kegiatan keanggotaan dalam suatu agama atau aliran tidak relevan.Peran agama dalam dunia global modern akan ditentukan dari sikap yang diambil agama-agama dalam situasi historis ini, apakah akan tetap tertutup untuk yang lain atau terbuka dan mendukung etika kemanusiaan universal. Kalau bersikap tertutup, kalau terjadi reprimordialisasi agama-agama dapat menjadi ancaman bagi kesatuan dan persatuan.Kalau bersikap terbuka, berarti agama-agama memperjuangkan masyarakat manusiawi sesuai dengan kehendak Sang Pencipta dalam hubungan antarmanusia. Dalam nada yang sama Goenawan Mohamad mengatakan mengajukan konsep ”pemberhalaan identitas dan etika kedaifan”. Indonesia sedang mengalami konflik antarkelompok sosial yang mengemuka dalam ikatan agama, suku atau daerah. Semua ini terjadi karena ada pemberhalaan identitas.Pemberhalaan identitas bisa berujung pada konlik berkepanjangan, kalau begitu identitas sebetulnya bukan jati diri melainkan pengakuan akan perbedaan dan sekaligus pengingkarannya. Untuk bisa bergaul dengan orang lain dengan identitas lain diperlukan etika kedaifan. Etika yang mengakui betapa kita adalah diri yang lemah, diri yang tidak pernah mampu merumuskan keberadaan orang lain. ● -
Ironi di Negara Hukum
Ironi di Negara HukumIhsan M. Rusli, FUNGSIONARIS PUSAT PARTAI GOLKARSUMBER : SUARA KARYA, 15 Maret 2012Indonesia adalah negara hukum. Setiap warga negara tanpa kecuali berkedudukan sama di depan hukum (the equality before the law). Hukum harus dijunjung tinggi oleh siapa pun, baik itu rakyat kecil maupun penguasa. Begitulah idealnya sebuah ‘negara hukum’.Tetapi, sesuatu yang ideal belumlah menjadi bermanfaat kalau tidak diimplementasikan pada tataran konkret. Kalau semua orang sama hak dan kedudukannya di depan hukum maka untuk siapa saja hukum itu harus tajam dan adil?Tajam dalam pengertian tidak pandang ampun untuk pelanggaran sekecil apa pun bagi siapa saja. Sedangkan adil adalah menempatkan sesuatu pada proporsinya sesuai dengan aturan hukum itu sendiri.Makanya, dalam praktik hukum terutama dalam memutuskan suatu perkara, keadilan tidak hanya ditakar kepada hukum formal yang sarat dengan ketentuan teoritis, tapi yang lebih penting adalah keadilan substantif di mana mereka yang berurusan dengan hukum benar-benar merasakan adanya keadilan.Keadilan substantif adalah keadilan yang berlandaskan kepada hati nurani, kepada qalbu terdalam setiap insan, suara yang berkembang di tengah masyarakat banyak. Di sinilah dituntut adanya kepekaan nurani dan empati yang kuat terhadap setiap kasus hukum yang ditangani.Kita kembali kepada rumusan ideal tentang hukum, karena pada dasarnya adanya peraturan dan kitab hukum tidak terlepas dari keinginan agar semua orang mendapatkan perlakuan hukum yang ideal. Tapi, adakah peraturan manusia yang bisa mengatur sesama manusia dengan ideal?Sejatinya setiap hamba hukum adalah orang beriman yang mempunyai kepercayaan kepada Tuhan sebagai Sang Maha Pengatur. Dalam dimensi ini maka apa pun tindakan hukum yang diambilnya tidak terlepas dari dimensi transendental dan harus dipertanggungjawabkan juga kepada Tuhan.Sehingga, tidak akan mungkin terjadi kecerobohan dan kedunguan dalam memutuskan suatu perkara hukum seperti banyak yang kita saksikan di negeri tercinta ini. Hilangnya dimensi transendental dalam aktivitas manusia akan membuat manusia mudah melakukan penyimpangan dan pengkhianatan.Ketika das sollen dan das sein tidak berjalan beriringan atau malah ironisnya bertolak belakang maka akan timbulkekacauan. Negeri ini sangat rajin memproduksi berbagai peraturan dan rancangan tapi nihil dalam implementasi. Hukum berjalan tidak seindah peraturan yang ideal itu, carut-marut hukum memperlihatkan secara telanjang bagaimana orang-orang yang mengerti hukum mengencingi hukum itu sendiri.Penegak hukum dengan jabatan mereka yang amat mulia dan terhormat, menjual hukum dengan harga murah. Polisi, jaksa, dan hakim berlomba-lomba menjual hukum demi kepentingan sesaat. Jadilah hukum sebagai barang jualan, di mana yang mempunyai uang akan mendapatkan perlakuan istimewa.Ironisnya, setiap penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan dibukakan oleh Tuhan, kesalahan itu selalu dikatakan sebagai kesalahan oknum. Padahal, rakyat negeri ini tahu betapa amat bobroknya sistem yang ada di negeri ini. Ini adalah kesalahan sistemik yang bermula dari hulu sampai ke hilir.Siapa pun yang masuk ke pusaran sistem itu, sebersih apa pun dia akan menjadi kotor karena sistem yang kotor itu. Putra terbaik bangsa yang masuk ke jajaran aparat hukum sulit nantinya akan keluar menjadi orang yang bersih, karena sistem mengharuskan dia untuk menyimpang, kalau dia jujur maka akan mengalami frustrasi akut.Sistem korup akan melindungi mereka yang korup. Di tengah sistem yang busuk dan penuh penyimpangan, ada saja yang ingin mencari selamat, sibuk mencari muka dengan bahasa berputar-putar tanpa substansi.Inilah ironi di sebuah negeri, di mana sebagian besar rakyatnya mengaku beriman, percaya kepada hari akhir dan takdir Tuhan, tapi dengan jumawa selalu melakukan penyimpangan dan menginjak-injak firman Tuhan.Sumpah atas nama Tuhan dilakukan setiap jabatan akan diemban, tapi selesai sumpah maka selesai pula pertanggungjawaban kepada Tuhan, lalu mulailah hari-hari diisi dengan penyimpangan.Demikian parahnya materialisme dan hedonisme menjajah manusia di negeri ini sehingga uang lebih dipuja dibandingkan Tuhan. Hukum hanya milik mereka yang punya uang, tak peduli dari mana dan punya siapa uang itu. Uang menjadi titik final penentu keadilan. Bagi mereka yang punya uang, hukum bisa dibeli dengan harga berapa pun yang diminta.Banyak kasus memperlihatkan kepada kita betapa aparat hukum tidak punya marwah ketika berhadapan dengan uang. Mereka menyebutnya oknum, tapi ini adalah penyakit kolektif yang menimpa seantero negeri. Keadilan akhirnya berubah menjadi transaksional, tumpul kepada mereka yang punya uang, tidak peduli halal atau haram dan sebaliknya begitu tajam kepada yang papa dan dhuafa. Ini jugalah yang menjadi penyebab utama mengapa korupsi begitu sulit diberantas di negeri ini.Banyak orang skeptis melihat begitu menumpuknya persoalan yang mendera aparat hukum. Reformasi birokrasi secara total termasuk di dalamnya aparat hukum memang harus jadi pilihan, disertai dengan perubahan sistem birokrasi secara menyeluruh.Perubahan tambal sulam tidak akan menyelesaikan masalah, tapi malah semakin memperluas masalah, karena dari hulunya sudah kotor. Garbage in, garbage out, sampah yang masuk maka sampah juga yang keluar. Sumber rekrutmen yang dipenuhi suap dan KKN telah menjadi rahasia umum di setiap birokrasi termasuk aparat penegak hukum. Bagaimana mungkin kita berharap tegaknya kejujuran dan akuntabilitas dari mereka yang masuk dengan cara menyogok macam itu? Quo vadis? ●