Category: Uncategorized

  • Visi Agama tentang Buruh

    Visi Agama tentang Buruh
    Abu Rokhmad, DOSEN PASCASARJANA IAIN WALISONGO 
    Sumber : SINDO, 18Februari 2012
    Setiap awal tahun, buruh selalu berjuang menaikkan upah minimum yang akan diterima. Demonstrasi dalam rangka menuntut kenaikan upah menjadi kegiatan rutin mereka. Yang memprihatinkan, perjuangan mereka kadang malah mengganggu kepentingan orang banyak.
    Menyalurkan aspirasi adalah hak asasi setiap orang, tapi perlu dijaga jangan sampai mengganggu hak asasi orang lain. Nasib buruh memang memprihatinkan. Buruh tidak hanya pekerja pabrik. Semua orang yang bekerja di bawah perintah sejatinya adalah buru. Kehidupan sosial dan ekonomi buruh diliputi suasana ketidakadilan dan ketertindasan. Kelas buruh dianggap kasta paling rendah. Mereka tak memiliki status dan bargaining sosial dan bahkan lebih sering dicap sebagai biang keruwetan, karena demonstrasi untuk menuntut hak-haknya dipenuhi dengan menutup jalan.

    Relasi Buruh-Majikan

    Industri kapitalis membagi pemilik modal (pengusaha) dan pekerja (buruh) menjadi dua kelompok yang saling bertolak belakang.Keduanya memiliki kepentingan yang tidak bisa disatukan.Pengusaha berhajat memperoleh profit yang sebesar-besarnya dengan cara menekan biaya produksi, termasuk memberi upah yang kecil pada buruh. Sebaliknya buruh selalu menuntut upah yang tinggi untuk mengimbangi kerja kerasnya dan kebutuhan hidupnya yang semakin meningkat.

    Itulah pola relasi buruh-majikan dalam ekonomi kapitalis yang didominasi konflik antar keduanya. Dalam Islam, relasi buruhmajikan diliputi jalinan persahabatan dan persaudaraan. Keduanya saling membutuhkan dan membantu. Pemodal tidak mungkin meningkatkan untungnya tanpa bantuan buruh. Sebaliknya,buruh tak bisa bekerja tanpa investasi dari para pengusaha. Sebab harus diakui, pengusahalah yang punya modal untuk membuka lapangan kerja bagi para pekerja.

    Dalam konteks demikian, relasi buruh-majikan dipayungi suasana saling menghormati, saling percaya dan saling membutuhkan. Para pengusaha tidak diperkenankan menginvestasikan uangnya semata-mata untuk meraih margin saja. Pemodal perlu mendedikasikan usahanya untuk pengabdian kepada masyarakat demi mencapai rida Tuhan.

    Corporate social responsibility (CSR) diejawantahkan secara lebih substansial, yakni senantiasa mengutamakan kebaikan masyarakat sekitar termasuk orangorang yang bekerja di dalamnya. Pekerja diberi upah dan fasilitas yang memadai sesuai kemampuan perusahaan, dan perusahaan tidak menyembunyikan neraca keuntungan yang diperoleh.

    Jika perusahaan mau bertindak demikian, buruh diharapkan bekerja lebih produktif, jujur, dan punya rasa memiliki (sense of belonging). Pada akhirnya, perusahaan merupakan milik bersama antara majikan dan buruh. Sahamnya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Saham pengusaha adalah modalnya dan buruh dengan tenaga dan pikirannya.

    Upah Buruh

    Salah satu sumber konflik tak berujung antara pengusaha dan buruh adalah masalah upah atau kesejahteraan buruh. Upah minimum regional yang diatur dalam undang-undang dianggap masih tetap menguntungkan pengusaha dan merugikanburuh. Buruh selalu menuntut upah sesuai standar kehidupan yang layak sementara perusahaan mengaku tidak mampu dan akan gulung tikar bila dipaksa untuk memenuhi seluruh hak-hak pekerja.

    Ketentuan normatif Islam menyatakan bahwa upah buruh harus diberikan sebelum keringatnya kering (HR Ibn Majah). Rasulullah melarang mempekerjakan buruh tanpa menetapkan upahnya terlebih dahulu (HR Baihaqi). Bahkan, Rasulullah akan memusuhi tiga golongan manusia di hari pembalasan, yang salah satunya adalah pengusaha yang mempekerjakan seseorang secara penuh tapi tidak membayar upahnya.

    Termasuk dalam kategori Sabda Nabi di atas adalah pekerja yang diberi upah di bawah standar minimum hidup layak. Pada prinsipnya, doktrin Islam selalu menyandingkan dua kepentingan agar seimbang. Islam memang konsen agar pekerja menerima upah dan berbagai fasilitas (kesehatan, perumahan dan jaminan hari tua) yang memungkinkan baginya menikmati kehidupan yang wajar.

    Di sisi lain, Islam juga melindungi kepentingan pengusaha agar usahanya tetap profitable dan lancar hingga dapat terus berproduksi dan mempekerjakan banyak pekerja. Untuk itulah ruang dialog bipartit (pengusaha-buruh) atau tripartit (pengusaha-buruh-pemerintah) perlu dibuka lebar untuk menjembatani keinginan masing-masing pihak.Buruh dan majikan hendaknya tidak saling mematikan dengan cara melindungi kepentingan masing- masing dan enggan untuk berbagi.

    Pekerja tidak dilarang untuk menyuarakan tuntutan kenaikan upah. Jika fakta bahwa buruh hanya digaji ala kadarnya atas cucuran keringat yang keluar, sementara keuntungan perusahaan dan pengusaha cukup besar, maka jerit perbaikan kesejahteraan buruh wajib didukung. Sebaliknya, buruh hendaknya tidak semena- mena meminta naik gaji bila keuangan perusahaan tidak cukup untuk memenuhi semua tuntutan. Dengan kata lain, buruh-pengusaha perlu bertindak proporsional dalam menyikapi upah dan kesejahteraan masing-masing pihak.

    Islam dan Buruh

    Jujur harus dikatakan bahwa mayoritas buruh adalah pemeluk Islam. Dari merekalah, industri bergerak dan ekonomi berkembang. Menghadapi realitas buruh yang terzalimi itu,agamawan seolah tak tersentuh nuraninya untuk mendorong dan mewacanakan bagaimana suara agama tentang kaum buruh. Lebih ironis lagi, agama malah disalahgunakan sebagai opium untuk meninabobokan buruh agar nrimo ing pandum, pasrah atas kebaikan pengusaha yang telah mempekerjakan mereka.

    Moda interpretasi agama yang demikian itu masih jamak terjadi. Padahal agama mengkritik keras segala bentuk penindasan kelompok kaya terhadap kelompok miskin. Islam memandang bahwa buruh (pekerja) adalah sosok yang mulia. Mereka yang bekerja dengan pikiran dan tenaganya untuk mendapat imbalan yang pantas,posisinya jauh lebih mulia dari pada pemalas dan peminta-minta (HR. Bukhari).

    Nabi tidak suka melihat seseorang yang berdiam diri, tidak memedulikan kehidupan dunia dan akhiratnya. Alquran sangat mengagungkan dan menjunjung kedudukan buruh dalam masyarakat. Rasulullah sungguhsungguh memuliakan buruh dan memberi tahu para sahabat bahwa setiap Rasul termasuk dirinya pernah kerja kasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

    Status seseorang di mata Tuhan tidak ditentukan oleh jenis pekerjaan yang dilakoni, tapi semata-mata karena keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhannya. Kehormatan buruh di mata Tuhan dan manusia diperoleh melalui kejujuran dan kesungguhan mereka dalam bekerja.

  • Becik Ketitik Ala Ketara

    Becik Ketitik Ala Ketara
    Abdul Mu’ti, SEKRETARIS PP MUHAMMADIYAH, DOSEN IAIN WALISONGO, SEMARANG
    Sumber : SINDO, 18Februari 2012
    Dalam teologi Islam terdapat banyak aliran. Salah satunya adalah Murjiah. Aliran Teologi ini didirikan oleh al-Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah pada 695 M.Kelahiran Murjiah merupakan respons dari pertikaian politik umat Islam pasca peristiwa arbitrase (tahkim).

    Untuk mengakhiri pertikaian politik antara Ali ibn Abi Thalib dengan Muawiyah ibn Abi Sofyan diadakanlah arbitrase agar terjalin ukhuwah dan persatuan Islam. Karena kecurangan Amr ibn Ash sebagai juru runding pihak Muawiyah, proses arbitrase justru menjadi babak baru pertikaian politik yang penuh pertumpahan darah. Ali Ibn Abi Thalib dibunuh oleh Ibn Muljam, pengikutnya yang membelot (Khawarij).

    Kaum muslim terbelah dan saling mengafirkan antara satu dengan lainnya. Dalam situasi demikian,aliran Murjiah muncul sebagai solusi moderat beberapa kelompok yang bertikai. Pertama, mengeliminasi ekstremisme Khawarij dan Syiah, pendukung setia Ali ibn Abi Thalib. Kedua, menjalin persatuan dan kesatuan umat Islam di tengah konflik politik dan untuk menghindari sektarianisme.

    Dalam kerangka itu, Murjiah menyarankan agar kaum muslim tidak menghakimi kelompok lain sebagai pelaku dosa besar dan kafir. Khusus tahkim, hendaknya diserahkan kebenarannya kepada Tuhan dan ditunda (arja’a, postpone) keputusan akhirnya di hari kiamat. Secara teologis, Murjiah berpendapat bahwa kaum beriman yang melakukan dosa besar berkesempatan bertaubat kepada Tuhan.

    Mereka yang berbuat baik akan masuk surga, yang berbuat jahat masuk neraka.Pendapat Murjiah yang moderat ini sama dengan teologi Ahlus Sunnah (Harun Nasution,1978). Sesuai dengan keyakinan tersebut, Murjiah menjadi kelompok diam (the quietist) yang tidak terlibat dalam hiruk-pikuk pertikaian politik (Montgomery Watt, 1987). Sikap diam tersebut bukanlah suatu bentuk fatalisme, tetapi optimisme.

    Bahwa kebenaran mutlak hanya ada di tangan Tuhan. Akan ada pengadilan dan keadilan Tuhan sebagai hakim yang Mahaadil. Di dalam masyarakat Jawa terdapat kata mutiara: becik ketitik ala ketara. Pengertiannya, yang benar akan tampak benar dan salah akan terbukti salah. Kata mutiara yang sekaligus merupakan falsafah dan kearifan Jawa ini mengandung dua pengertian.

    Pertama, manusia dengan segala kemampuannya akan berusaha menutupi kesalahan dan kejahatan yang telah diperbuatnya. Dengan segala daya,manusia berusaha menghilangkan bukti-bukti kejahatannya, bahkan jika diperlukan mengenyahkan para saksi. Kedua, setiap kejahatan pasti akan terungkap, cepat atau lambat. Jika tidak terungkap semasa hidup,kejahatan akan terungkap setelah wafat.Tanpa melalui proses investigasi, kejahatan akan terkuak dengan sendirinya. Optimisme Jawa ini mengajarkan agar manusia senantiasa berbuat baik dan berlaku bijak. Selama hayat di kandung badan, manusia hendaknya berjalan di atas kebenaran.

    Kebenaran

    Dalam kehidupan politik, kebenaran sering kali ditentukan oleh kekuasaan. Mereka yang berkuasa bisa merekayasa kebenaran. Kekuasaan memungkinkan seseorang menutup rapat kesalahan dan kejahatannya. Seorang penguasa dengan mudah menekan hakim dan jaksa untuk tidak menjalankan hukum sebagaimana mestinya. Dengan menerbitkan buku putih, seseorang bisa mencuci sejarah hitam kehidupannya.

    Mereka mampu membuat sejarah dengan fakta-fakta palsu. Namun, hukum sejarah menunjukkan bahwa kebenaran tidak dapat ditindas. Banyak pemimpin yang meringkuk di penjara ketika tidak lagi berkuasa. Tidak sedikit para tiran yang menjadi pesakitan ketika tubuhnya mulai sakit-sakitan. Ketika seseorang tidak lagi punya takhta,tidak ada seorang pun yang bersedia menulis biografi yang penuh puja-puji.

    Semua pergi dan sejarah berjalan dengan hukumnya sendiri. Dalam Alquran dijelaskan bahwa kebenaran pasti datang mengalahkan kebatilan. “Dan katakanlah, kebenaran telah datang dan yang batil pasti lenyap. Sungguh yang batil itu pasti lenyap.” (QS. 17:81). Kebatilan itu bisa dilenyapkan oleh manusia yang memiliki komitmen terhadap kebenaran dan keadilan.Dalam sejarah kerasulan, kebatilan dilenyapkan oleh para rasul pembawa risalah kebenaran.

    Dalam kehidupan modern, kebatilan bisa dikalahkan oleh para hakim yang adil, para saksi yang jujur dan pemimpin yang tegas. Bahkan, kebatilan bisa dikalahkan oleh rakyat jelata yang konsisten dan bersatu padu membela kebenaran. Dalam Alquran dijelaskan perihal pengadilan ukhrawi,setelah manusia mati.Pengadilan tanpa pengacara dan pembela hukum.

    “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. 36: 65). Di pengadilan dunia, lidah manusia bisa bersilat lincah, menari-nari penuh kebohongan. Seorang pembohong tulen akan mampu membohongi lie-detector.Pakar hukum bisa menyiasati hukum.

    Di dalam negeri,berjuta pasang mata menyaksikan proses pengadilan yang sangat menyita perhatian. Negeri ini sedang berpacu memberantas korupsi dan tindak kriminalitas. Sebagian—utamanya kasus kecil—sudah diputus tuntas. Banyak yang bergabung dalam ikatan alumni “pesantren- prodeo”. Sebagian lainnya— khususnya kasus kelas hiu—masih terus tayang di media massa.

    Skandal Century yang sudah bertahun-tahun belum menunjukkan titik terang. Kasus Wisma Atlet masih jauh dari harapan. Beberapa memang telah divonis bersalah. Namun,dalang dan aktor utamanya belum––bahkan tidak akan pernah––terjamah. Sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia tidak boleh pesimistis, apalagi fatalistis. Diam bukan berarti tidak bersikap.

    Kita percayakan kepada aparat penegak hukum untuk bekerja sebagaimana janjinya. Biar lambat asal selamat. Jangan berprasangka buruk kepada pemerintah, apalagi kepada presiden.Kita yakin presiden berkata jujur dan tidak sedang bersandiwara. Sekarang atau nanti,kebenaran akan terbukti. Becik ketitik ala ketara.

  • Kecelakaan di Jalan Raya: Jangan Saling Menyalahkan, Cari Solusi

    Kecelakaan di Jalan Raya:
    Jangan Saling Menyalahkan, Cari Solusi
    (Wawancara)
    Suroso Alimoeso, DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT KEMENTERIAN PERHUBUNGAN
    Sumber : SUARA KARYA, 18Februari 2012
    Berdasarkan data Kepolisian, angka kecelakaan di jalan raya cenderung tinggi. Jika pada 2008 tercatat jumlah kecelakaan di jalan raya mencapai 59.164 kasus dengan korban meninggal dunia mencapai 20.188 orang, pada 2009 terdapat 62.960 kasus kecelakaan dengan korban meninggal dunia 19.979 orang. Pada 2011 memang terjadi penurunan jumlah kecelakaan, namun angka kematian akibat kecelakaan tetap tinggi.
    Mengawali 2012 ini, kecelakaan beruntun terus terjadi, terutama pada angkutan umum bus dan kendaraan pribadi. Jumlah korbannya pun cukup banyak, terutama yang meninggal dunia. Di antaranya kecelakaan yang dialami bus di Cisarua-Bogor dan Sumedang (Jawa Barat) serta di sejumlah daerah di Jawa Timur. Untuk mengurai kasus kecelakaan angkutan umum di jalan raya yang seakan tidak ada habisnya, berikut petikan wawancara wartawan Harian Umum Suara Karya Syamsuri Sdengan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Suroyo Alimoeso di Jakarta, kemarin.
    Musibah kecelakaan angkutan umum di jalan raya terus saja terjadi. Tanggapan Bapak?
    Kita tentu prihatin. Bagaimanapun mereka yang jadi korban musibah kecelakaan lalu lintas juga saudara kita dan saya merasakan duka itu. Kendati demikian, saya juga mengapresiasi semua pihak yang secara langsung dan tidak langsung turut memberikan perhatian terhadap masalah keselamatan transportasi, khususnya di jalan raya. Semua pihak terkait bergerak dengan tanggung jawab dan fungsi masing-masing.
    Sesuai UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, setidaknya ada lima kementerian ikut terkait di dalamnya. Misalnya, terkait infrastruktur dan prasarana merupakan wewenang Kemen PU. Sedangkan menyangkut sarana dan fasilitas angkutan berada di Kemenhub. Juga ada Kemenperin terkait produksi sarana transportasi serta Kemendagri dan Polri. Semuanya saling terkait dan mendukung sektor transportasi. Polri, misalnya, berperan langsung soal administrasi kendaraan dan penerbitan SIM. Artinya, dalam setiap kasus kecelakaan transportasi, khususnya di jalan raya, kita tidak perlu melihat siapa yang salah dan yang benar. Saya sendiri paling tidak suka menyudutkan dan menyalahkan, karena yang diperlukan bagaimana mencari solusi terbaik agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.
    Apa saja yang sudah dan akan dilakukan pemerintah untuk meminimalisasi kasus kecelakaan jalan raya?
    Banyak ! Misalnya, melakukan pembinaan kepada pengusaha angkutan terkait keselamatan. Kita selalu mengingatkan mereka untuk terlebih dahulu memeriksa kendaraannya (bus/angkutan) dan memastikan kendaraan itu laik operasi sebelum keluar dari pool. Kelaikan kendaraan itu sendiri kan ada standarnya dan para pengusaha angkutan sudah tahu soal itu. Apalagi, sosialisasi dan pertemuan terkait pembinaan memang rutin dilakukan. Kami juga tidak pernah bosan meminta para pengusaha untuk memperhatikan awak atau krunya. Sopir yang membawa bus itu, harus benar-benar ahli. Kalau ada kelengkapan bus yang kurang baik atau rusak terkait keselaamatan, harus segera diganti dan diperbaiki.
    Tapi, kasus kecelakaan yang menelan korban jiwa tetap terjadi. Apakah ini artinya memang banyak penyimpangan atau masih banyak yang perlu dibenahi?
    Upaya perbaikan untuk menghindari kecelakaan terus dilakukan. Saya yakin, tidak ada satu pun yang mau mengalami kecelakaan, termasuk para pengusaha dan sang sopir. Karena itu, pembinaan terus dilakukan, bukan saja kepada pengusaha angkutan umum dan sopir. Juga, terkait koordinasi dengan pemerintah daerah tentang pelaksanaan regulasi dan pengawasan. Saya tidak mau masyarakat selalu menjadi korban. Perlu ada kesadaran dari semua pihak, khususnya perusahaan otobus terkait pentingnya keselamatan transportasi.
    Sebenarnya kita terus memberikan dukungan kepada angkutan umum dan memberikan apresiasi kepada pengusaha angkutan. Tapi, mereka harus terus mengikuti prosedur yang ada, keselamatan dan kenyamanan penumpang harus dikedepankan. Transportasi jalan raya seharusnya dilihat secara menyeluruh. Jika dilihat angkutan umum di kota, seperti halnya metromini, sebenarnya sudah tidak layak lagi dan harus diganti atau setidaknya diremajakan.
    Jika pembenahan terus dilakukan pemerintah, apakah ada jaminan kasus kecelakaan bisa ditekan?
    Bukan soal jaminan, yang terpenting adalah kesadaran semua pihak. Saya hanya mau menegaskan, keselamatan angkutan jalan raya merupakan tanggung jawab kita bersama. Tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah. Faktor terjadinya kecelakaan itu cukup banyak dan tidak ada yang berdiri sendiri. Makanya, kalau masih ada yang kurang, ayo kita benahi sama-sama.
    Ada tudingan, pungli ikut andil terjadinya kecelakaan. Konon, peredaran uang pungli yang dikutip oknum aparat di jalan nilainya setahun bisa mencapai triliunan rupiah. Bagaimana Anda menyikapi ini?
    Saya juga prihatin terhadap masalah ini. Apalagi, sampai menyebut angka dan jumlah cukup besar. Saya minta orang yang melemparkan rumor itu untuk menunjukan, terjadinya di mana saja, supaya bisa diselidiki siapa saja pelakunya. Laporkan saja, jika memang ada, ke aparat penegak hukum. Kita sama-sama mencari solusi terkait pungli. 
    Demikian pula kalau ada pungli di lokasi pengujian kendaraan bnermotor, yang telah banyak diberitakan. Kita semua harusnya sadar, pungli itu terjadi bila ada peluang. Artinya, si penerima dan pemberi juga bersalah. Jika ada pungli, berarti ada pelanggaran.
    Ke depan ini, masyarakat mungkin bertanya-tanya dan khawatir, apakah angkutan umum khususnya bus masih menjadi sarana transportasi yang aman?
    Kemenhub akan melakukan pembenahan secara menyeluruh sebagai upaya untuk mewujudkan transportasi yang aman dan nyaman. Seluruh pemangku kepentingan perlu menyesuaikan fungsi dan wewenang masing-masing dalam rangka mencari solusi untuk perbaikan.
    Ke depan akan diupayakan adanya pemeriksaan kelaikan semua armada atau bus. Bukan hanya saat dilakukan uji KIR, melainkan setiap kali berangkat dari terminal. Diharapkan juga adanya kesadaran pengusaha angkutan untuk lebih memperhatikan armada atau setidaknya memeriksa standar kelaikan operasional sebelum bus keluar dari garasi.
    Konkretnya seperti apa?
    Secara bertahap, di setiap terminal keberangkatan akan ditempatkan petugas yang memiliki kompetensi untuk melakukan pemeriksaan kelaikan kendaraan. Evaluasi terhadap angkutan umum untuk meningkatkan pelayanan dan mengetahui kelaikan kendaraan akan dilakukan setiap hari. Namun, ini juga menjadi tanggung jawab instansi terkait termasuk dinas perhubungan di daerah.
  • Memulihkan Citra MA

    Memulihkan Citra MA
    Marwan Mas, GURU BESAR ILMU HUKUM UNIVERSITAS 45, MAKASSAR
    Sumber : SUARA KARYA, 17Februari 2012
    Ketua Mahkamah Agung (MA) yang baru, Hatta Ali sudah ditunggu tugas berat, terutama untuk membangun kembali citra MA yang belakangan ini terus disorot. Salah satu tugas klasik yang turut memengaruhi citra MA adalah menyelesaikan tunggakan perkara yang setiap tahun menggunung.
    Mengatasinya, bisa saja Ketua MA menggenjot kerja para hakim agung. Tetapi, cara ini bisa menimbulkan masalah baru, kualitas putusan dan pemenuhan keadilan bagi masyarakat bisa terabaikan. MA harus memiliki putusan yang bukan sekadar berkualitas (benar dan adil), tetapi juga bisa diterima oleh semua pihak. Putusan tidak boleh hanya memenuhi dalil-dalil yuridis, sebab yang juga penting, menyelesaikan konflik sesuai kebutuhan masyarakat.
    Selama ini, hukum lebih sering dijadikan komoditas layaknya sebuah barang yang bernilai ekonomis. Tidak sedikit kasus menimpa hakim dalam menangani suatu perkara, lantaran tergoda oleh rayuan keuntungan dengan membisniskan hukum. Bermunculan-lah “hakim-hakim nakal” dan “mafia peradilan”, tetapi dalam realitas kurang mendapat perhatian serius oleh pimpinan MA. Begitu banyak hakim lebih mendahulukan keadilan prosedural ketimbang kebenaran dan keadilan substansial yang mengakar dalam masyarakat. Membiarkan hakim nakal dan mafia peradilan menguasai lembaga peradilan, sudah pasti akan semakin memperburuk citra MA.
    Untuk memulihkan citra MA memang bukan pekerjaan mudah, tetapi bukan berarti mustahil. Ketua MA bisa mendisain dan mengefektifkan pelaksanaan cetak biru peradilan Indonesia 2010-2035. Terutama, merestorasi persoalan teknis dan manajemen perkara, melakukan pengawasan bersinambung, mengorganisir peradilan, dan menerapkan keterbukaan informasi terhadap putusan yang dihasilkan. Setidaknya ada tiga proritas jangka pendek pelaksanaan cetak biru peradilan.
    Pertama, efektivitas administrasi peradilan, dimulai dari pendaftaran perkara sampai pada penjatuhan putusan dan penyampaian putusan kepada para pihak. Para pencari keadilan sering mengeluhkan terlalu birokratis saat mendaftarkan perkara, termasuk perkara yang diajukan penuntut umum. Kepaniteraan pengadilan identik dengan keterlambatan, terutama pada pemenuhan administrasi upaya hukum ke tingkat peradilan yang lebih tinggi. Lambatnya menyampaikan petikan putusan (extract vonis) kepada para pihak, bisa melanggar hak-hak terpidana yang mestinya sudah bisa menghirup udara bebas, tetapi tetap mendekam dalam tahanan.
    Kedua, sistem informasi peradilan, terutama pada putusan yang baru dijatuhkan. Ketua MA bisa mencontoh Mahkamah Konstitusi (MK), begitu putusan dijatuhkan, publik bisa langsung mengaksesnya. Malah keesokan harinya, putusan itu dimuat di lembaran koran tertentu yang bekerja sama dengan MK. Bukan hanya itu, MK juga memberikan pelayanan cepat bagi warga masyarakat yang datang ke Gedung MK untuk memperoleh putusan hakim. Malah MK melakukan kerja sama (membiayai) dengan fakultas-fakultas hukum berbagai universitas untuk melaksanakan lomba peradilan semu (moot court competition), sebagai salah satu upaya sosialisasi dan mendekatkan pengadilan terhadap calon-calon pelaksana peradilan.
    Ketiga, kerja sama pengawasan peradilan dengan Komisi Yudisial (KY), terutama dalam menangani hakim-hakim nakal yang melanggar perilaku hakim. Adanya resistansi pimpinan MA dan hakim agung terhadap pengawasan KY, harus segera diakhiri karena akan merugikan MA dari aspek pemulihan kepercayaan publik. Pengawasan internal harus bersinergi dengan pengawasan eksternal dari KY, sehingga pemeriksaan terhadap hakim nakal dan rekomendasi KY, mestinya diapresiasi Ketua MA sebagai upaya perbaikan citra. Keengganan sebagian hakim agung untuk diawasi KY merupakan pengabaian konstitusi, sebab tugas dan wewenang KY diatur dalam UUD 1945. Jubah independensi hakim yang sering dijadikan tameng dari pemeriksaan KY atas suatu putusan yang di dalamnya tersirat pelanggaran perilaku hakim, sesuatu yang tidak berdasar.
    Untuk menilai seorang hakim berprestasi, bisa dinilai dari putusannya. Paling tidak, ada dua aspek yang bisa diapresiasi dalam menilai prestasi hakim melalui putusannya.
    Pertama, kualifikasi putusan dalam arti luas, yaitu semua produk putusan institusional pengadilan seperti: putusan sela, akhir, deklaratur, atau penetapan hakim. Selain itu, hakim juga harus dikontrol dan dievaluasi, agar tidak terjadi distorsi dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan yang harus didasarkan pada hati nurani dan kemerdekaan yang bermakna.
    Sayang, hati nurani dan kemerdekaan sebagian besar hakim belum banyak berbicara. Masih banyak hakim menggunakan “kemerdekaan” dalam menjatuhkan putusan didasarkan atas “kepentingan politik atau kepentingan pribadi sang hakim”, misalnya, dengan menguntungkan salah satu pihak tanpa dasar hukum, kemudian menantang dengan perkataan, “Silahkan banding atau kasasi jika tidak puas dengan putusan saya”. Sikap hakim seperti itu merupakan sikap hakim kolonial yang tidak memahami esensi seorang hakim sebagai pengadil yang mestinya bijaksana, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran.
    Kedua, pada aspek perilaku hakim yang juga menentukan bagaimana citra bisa dibangun. Perilaku dimaksud adalah perilaku dalam kedinasan dan nonkedinasan, sikap terhadap atasan, bawahan, rekan sejawat, termasuk sikap dan perilaku dalam kehidupan sosial masyarakat dan dalam keluarga. Kendati hal ini sudah diatur dalam Kode Etik Profesi Hakim, tetapi perlu dijadikan ukuran dan penilaian dalam menentukan apakah citra hakim sudah terbangun.
    Inilah tugas berat Ketua MA baru, bagaimana membangun citra yang baik di era keterbukaan. Setiap hakim harus mampu mengaktualisasi kaidah-kaidah hukum secara ideal ke dalam pergumulan nyata masyarakat yang terus berkembang. Jangan sampai sorotan publik bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas terus dipraktikkan hakim.
  • Mengembalikan Martabat Hakim

    Mengembalikan Martabat Hakim
    Abdul Kadir, HAKIM PENGADILAN AGAMA KOTABARU KALSEL,
    ALUMNI IAIN ANTASARI BANJARMASIN
    Sumber : SUARA KARYA, 17Februari 2012
    Hakim adalah jabatan yang sudah ada sejak lama, sejak adanya peradapan itu sendiri. Dalam UU No 28 Tahun 1999, dalam pasal 2 ayat 5 disebutkan bahwa hakim juga bagian dari penyelenggara negara. Jabatan hakim merupakan bagian dari kekuasaan dalam masyarakat.
    Tentunya agar hakim dihormati dan ditaati keputusannya, maka perlu juga ada norma-norma yang harus ditaati oleh hakim itu sendiri. Apalagi, sekarang ini jabatan hakim hanya dipandang sebelah mata. Ini tak terlepas akibat ulah sebagian (oknum) hakim yang tidak menunjukkan perilaku sebagai seorang hakim. Bagaimanapun sosok seorang hakim harus berlaku adil dan bijaksana hingga memuaskan kedua belah pihak yang berperkara, tanpa membeda-bedakan para pihak berperkara. Ini sejalan dengan muatan UU No 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No 4 Tahun 2004 dalam pasal 5, ayat 1, “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”
    Memang sulit, memuaskan semua pihak, karena salah satunya pasti ada yang merasa dirugikan. Namun, dengan sikap bijak dan adil, tanpa membeda-bedakan pihak-pihak yang berperkara, paling tidak, akan dapat meminimalisasikan gesekan antara para pihak.
    Sebenarnya kalau kita memahami secara seksama, jabatan hakim merupakan wakil Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Memang, yang berhak mengadili itu hanyalah Allah, namun kewenangan tersebut didelegasikan kepada seorang hakim. Maka, seorang hakim sebagai pengemban misi Tuhan, semestinya dalam menjalankan kewajibannya, harus berlaku adil dan bijaksana, dan menyadari bahwa ia adalah penegak kebenaran. Dalam istilah lain, hakim adalah wakil Tuhan di dunia. Dan, semua perbuatannya selalu diawasi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
    Ada buku panduan sebagai pegangan bagi para hakim agar berwibawa dan dihormati, yaitu: ‘Pedoman Perilaku Hakim’. Butir-butir perilaku hakim ini pada pokoknya memuat hal-hal sebagai berikut: 1) berperilaku adil, 2) jujur, 3) arif dan bijaksana, 4) bersikap mandiri, 5) berinteritas tinggi, 6) bertangung jawab, 7) menjujung tinggi harga diri, 8) berdisiplin tinggi, 9) berperilaku rendah hati, dan 10) bersikap profesional.
    Kalau para hakim bersikap dan berbuat sesuai dengan ’10 Pedoman Perilaku Hakim’, maka niscaya kemuliaan sebagai seorang hakim akan benar-benar terwujud.
    Sebelum reformasi bergulir, hukum bagaikan pisau bermata dua, ke atas tumpul ke bawah tajam. Dalam istilah lain sering kita dengar ‘tudingan’ sementara orang bahwa hukum hanya untuk rakyat kecil. Sedangkan orang yang terhormat (orang yang berduit) atau pejabat tidak tersentuh hukum (kebal hukum).
    Sebenarnya, semua warga negara tidak ada yang kebal hukum. Di mata hukum, semua warga berkedudukan sama. Hal ini tertuang dalam UUD 1945 dan perubahannya pada pasal 1 ayat (3). Namun, kenyataannya, hal itu hanya sebatas slogan. Kemudian, ketika memasuki era reformasi tahun 1998, rakyat pun berharap agar sistem penegakan hukum Indonesia diperbaiki.
    Tuntutan dan harapan masyarakat ini tidaklah berlebihan. Karena, rakyat tampaknya sudah jenuh dengan jalannya penegakan hukum selama ini, yang cenderung menimbulkan ketidak-percayaan kepada penegak hukum, khususnya hakim. Yang perlu diingat, penegak hukum bukan hanya hakim, namun ada juga polisi, jaksa, dan pengacara. Tapi, mengapa hanya hakim yang sangat disoroti? Apalagi, setelah keluarnya UU No 48 Tahun 2009, yang paling disoroti adalah pasal 48 ayat 1.
    Di lain pihak, masyarakat hanya melihat fasilitas yang dijanjikan oleh UU. Masyarakat tidak melihat beban dan tanggung jawab para hakim dan problema hidup mereka.
    Mengapa hal itu bisa terjadi? Bisa dipahami, kunci terakhir harapan para pencari keadilan terletak di tangan hakim. Karena, hakimlah yang akan menentukan hasil dari proses perjalanan suatu perkara. Hakimlah yang akan menentukan nasib para pencari keadilan. Hakim yang akan memutuskan. Jadi, wajarlah masyarakat lebih menyorot para hakim untuk berlaku adil dan bijaksana.
    Tujuan diterbitkannya UU tersebut, untuk mengembalikan kemulian hakim, sebagai pejabat negara dan wakil Tuhan. Tuntutan agar hakim berlaku profesional, adil dan bijaksana dalam melaksanakan tugasnya terbentur oleh tuntutan hidup. Hakim juga perlu memenuhi kebutuhan keseharian keluarganya dengan tempat tinggal yang layak. Kenyataannya, kehidupan para hakim tidaklah semulia namanya. Masih banyak hakim hidup pas-pasan.
    Tak heran, ada sebagian (oknum) hakim yang melakukan penyimpangan, yang pada gilirannya justru menjatuhkan martabat hakim secara keseluruhan. Ironisnya, masyarakat cenderung melihatnya bukan sebagai oknum, tetapi korps hakimnya. Padahal, tentu tidak semua hakim seperti itu, masih banyak hakim yang jujur dan masih memiliki idealisme tinggi.
    Di samping para hakim perlu membenahi dirinya dengan berpegang teguh kepada “10 Pedoman Perilaku Hakim”, mestinya ada timbal baliknya. Yaitu, terealisasinya janji UU, agar para hakim fokus ke pekerjaan saja, tidak lagi berpikir untuk mencari tambahan penghasilan. Dengan demikian diharapkan tidak ada lagi, atau paling tidak mengurangi, perilaku hakim yang menyimpang.
    Pada dasarnya, gaji dan fasilitas itu perlu, tapi itu tidak mutlak. Karena, berapa pun gaji dan sebaik apa pun fasilitas yang tersedia, kalau iman dan moralnya sudah tidak baik tetap saja hakim tersebut akan menyimpang. Jadi, kunci utamanya adalah membangun fondasi yang kuat dengan iman dan moral yang baik.
  • Sarjana Kuadran Pertama

    Sarjana Kuadran Pertama
    Agus M. Irkham, KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGURUS PUSAT FORUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT; INSTRUKTUR LITERASI FORUM INDONESIA MEMBACA
    Sumber : KORAN TEMPO, 17Februari 2012
    Beragam reaksi mengemuka menanggapi kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Dirjen Pendidikan Tinggi, ihwal syarat kelulusan bagi mahasiswa. Mahasiswa, baik strata satu, dua, maupun tiga, diwajibkan membuat tulisan ilmiah dan menerbitkannya dalam jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Ketentuan yang tertuang dalam surat edaran bernomor 152/E/T/2012 itu mulai berlaku bagi mahasiswa yang akan lulus setelah Agustus 2012.
    Reaksi penolakan salah satunya datang dari Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi). Aptisi menilai Surat Edaran Dirjen Dikti tersebut tergesa-gesa. Dalam pandangan Aptisi, jumlah jurnal terutama di Indonesia terbatas, sementara jumlah mahasiswa seluruh Indonesia sangat banyak. Jumlah di antara keduanya tidak berimbang. Atas dasar hitung-hitungan tersebut, dapat dipastikan jurnal yang ada tidak akan mampu menampung tulisan ilmiah semua mahasiswa.
    Tulisan ini tidak akan memperpanjang alasan keberatan, kritik, dan penolakan terhadap kebijakan Dikti itu. Sebab, respons yang muncul dari banyak perguruan tinggi, entah bersifat reaktif, bertahan sambil menyerang, ataupun reflektif, justru dapat dinilai oleh publik sebagai cermin kualitas perguruan tinggi tersebut.
    Berbicara tentang perguruan tinggi dalam konteks publikasi karya ilmiah, menurut saya, kuncinya ada di strata satu (S-1). Para calon sarjana S-1 ini harus difasilitasi, didorong, dan diberi teladan terutama oleh para dosennya agar saat menjadi sarjana tidak hanya memperoleh indeks prestasi kumulatif yang memukau, tapi juga “Indeks Peradaban Kumulatif” yang menggetarkan.
    IPK (huruf besar) mencerminkan kecerdasan emosional/sosial, optimalisasi otak kanan, besaran bersifat kualitatif, berpusat pada ego semesta, bersifat jangka panjang, dan berorientasi pada proses. Sebaliknya, ipk (huruf kecil) mencerminkan kecerdasan intelektual/akademik, optimalisasi otak kiri, besaran bersifat kuantitatif, bersifat jangka pendek, berpusat pada ego diri, dan berorientasi pada hasil.
    Termasuk dalam wujud luaran seorang sarjana yang memiliki IPK tinggi adalah kemampuan untuk memandang, melihat, mendengar, dan menghayati kehidupan semesta untuk kemudian ia formulasikan menjadi sebuah kajian/penelitian. Tidak hanya berhenti di situ, hasil penelitian itu ia komunikasikan kepada masyarakat melalui produk pengetahuan bernama jurnal ilmiah. Dengan begitu, karya tulis yang ia hasilkan tidak hanya aktual, tapi juga kontekstual.
    Perolehan ipk dan IPK yang tinggi ini akan membantu seorang sarjana saat menempuh pembelajaran di program pascasarjana (S2) dan doktoral (S3) publikasi karya ilmiah di jurnal internasional, terlebih nasional–bukan lagi menjadi sesuatu yang di atas langit sana. Apa pasal perolehan ipk dan IPK di strata satu punya korelasi yang signifikan untuk proses pendidikan selanjutnya? Karena berimpitnya ipk dengan IPK akan memampukan seorang sarjana menjadi intelektual organik. Yakni intelektual yang tidak hanya mau dan mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan bidang keilmuannya, tapi juga terlebih kepada kehidupan dan lingkungannya awal ia bermula.
    Jika antara ipk dan IPK ini kita buat menjadi garis yang saling memotong, garis horizontal menunjukkan capaian ipk, sedangkan garis vertikal menunjukkan IPK, maka akan terdapat empat kuadran sarjana. Dalam bingkai cara berpikir di atas, ikhtiar menjadikan para mahasiswa mampu menulis karya ilmiah dan mempublikasikannya berada dalam gerbong yang sama dengan tujuan “mencetak” sarjana berindeks prestasi dan peradaban kumulatif tinggi: sarjana kuadran pertama.
    Nah, pertanyaan kuncinya adalah apa saja yang harus dilakukan perguruan tinggi agar para mahasiswanya saat lulus menjadi sarjana kuadran pertama, terutama dalam konteks kebijakan Dikti berarti mahasiswa yang mampu menulis dan menerbitkan tulisan ilmiah di jurnal nasional dan internasional. Salah satunya adalah dengan “memaksa” para mahasiswa agar mau membaca buku.
    Mengapa membaca penting? “Membaca ibarat tenaga dalam buat penulis,” tulis Prof Ismail Marahaimin dalam bukunya, Menulis Secara Populer (1996). “Sebuah tulisan memerlukan gizi, agar ia sehat dan tumbuh. Apalagi tulisan ilmiah,” kata Yasraf Amir Piliang (2011). “Tanpa gizi” Yasraf melanjutkan, “tulisan akan kering, dangkal, bersifat permukaan, dan penuh pengulangan (tautology).” Gizi bagi seorang penulis adalah pengetahuan, teori, atau konsep-konsep baru, yang bisa diperoleh dengan membaca buku. Lebih lanjut, Yasraf mengikhtisarkan bahwa pengetahuan, teori, atau konsep-konsep baru tersebut dapat menjadi inspirasi bagi penulisan, yang dengan kekayaannya dapat meningkatkan produktivitas ide, gagasan, atau tema-tema tulisan.
    Sudah menjadi pengetahuan jamak bahwa minat baca mahasiswa kita masih tergolong rendah, baik membaca buku-buku yang masih ada hubungannya dengan mata kuliah (literasi fungsional) maupun terlebih buku-buku umum yang bersifat pengayaan (literasi budaya). Dengan demikian, kemampuan literasi mereka masih sebatas literasi teknis, dan sedikit fungsional. Sedangkan literasi budayanya masih rendah.
    Maka, sudah seharusnya para dosen sering menugasi mereka secara individual, bukan kelompok menulis esai dan makalah minimal menggunakan referensi 10 buku berbahasa Indonesia, dan 5 buku berbahasa Inggris, misalnya. Selain itu, secara teratur dan terukur, para mahasiswa harus dites terus-menerus jangkauan kemajuan bacaannya. Dimulai dari bacaan wajib (required reading), bacaan yang dianjurkan (recommended reading), dan bacaan menyangkut pengetahuan umum (general knowledge). Sebagaimana layaknya yang telah berlangsung lama di perguruan-perguruan tinggi di luar negeri.
    Idealnya memang “pemaksaan” untuk membaca itu juga terhubung dengan sistem pendidikan di tingkat dasar dan menengah. Sebab, membaca, berpikir kritis, dan menulis itu sepatutnya dimulai sejak siswa duduk di sekolah dasar. Bukan potong kompas, langsung di universitas. ●
  • Saatnya Dipikirkan Undang-Undang Ormas Keagamaan

    Saatnya Dipikirkan
    Undang-Undang Ormas Keagamaan
    Putu Setia, WARTAWAN DAN PENDETA HINDU, TINGGAL DI BALI
    Sumber : KORAN TEMPO, 17Februari 2012
    Mungkinkah majelis-majelis agama bisa meredam aksi kekerasan yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan? Mungkinkah majelis agama yang dimiliki oleh hampir semua agama yang ada di Indonesia bisa mengayomi dan membina ormas keagamaan itu? Mengayomi di sini dalam maksud memberi bimbingan, tuntunan, dan juga perlindungan, karena organisasi kemasyarakatan itu jelas-jelas mencantumkan identitas agamanya. Membina tentu dalam arti yang luas. Mereka bisa menegur ormas keagamaan yang aksinya merugikan pemeluk agama lain, karena ini juga berarti menodai agamanya sendiri. Dalam keadaan terpaksa karena tak “mampu dibina”, majelis agama ini memberikan rekomendasi kepada pemerintah supaya ormas itu dibubarkan–jika sudah sangat meresahkan.
    Mungkinkah hal itu? Pertanyaan ini sering mengganggu tidur saya, meskipun jawabannya sudah saya tahu: tak mungkin. Ini karena majelis agama bukanlah berada dalam satu struktur dengan ormas keagamaan. Ormas keagamaan tidak menjadi “bawahan” majelis agama. Ormas keagamaan bahkan sebutan yang salah kaprah, karena sejatinya dia itu hanyalah organisasi kemasyarakatan biasa yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298). Hanya karena labelnya mencantumkan nama agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan lainnya), mereka lantas disebut ormas keagamaan. Jadi, Front Pembela Islam (FPI) sama kedudukannya dengan Forum Betawi Rempug dan berbagai ormas lainnya–dengan catatan, kalau ormas itu terdaftar di Kementerian Dalam Negeri, sebab ada ribuan ormas yang tak terdaftar.
    FPI sering melakukan aksi-aksi yang meresahkan masyarakat. Bagaimana mungkin Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan melakukan “pembinaan”, apalagi sampai merekomendasikan, supaya FPI dibekukan? Bukankah tak ada hubungan organisatoris? Kalau MUI saja tak bisa berbuat apa-apa, apalagi ormas Islam yang lainnya, bahkan juga pemuka-pemuka Islam yang gerah dengan ulah FPI itu. Artinya, meski sama-sama memakai label satu agama, tak ada saling mengingatkan, karena semuanya otonom dan semuanya berpegang pada konstitusi bahwa hal berserikat itu dijamin undang-undang.
    Di luar Islam, hal itu juga terjadi. Tapi, karena jumlah umatnya tak sebesar Islam, gesekan itu tak sampai muncul di permukaan. Di Hindu, misalnya. Majelis agamanya bernama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Organisasi massa yang menghimpun anggotanya dengan kesamaan agama Hindu, tak ada urusan dengan PHDI. Mereka bergerak dan membiayai dirinya sendiri. Cuma, dalam satu dasawarsa terakhir ini, PHDI mulai mendekati ormas-ormas ini, ibarat seorang bapak yang menasihati anaknya, diterima syukur, ditolak apa boleh buat. Nasihatnya: jika tetap menggunakan nama Hindu, tolong ajaran agama Hindu menjadi roh dari pergerakan itu, Hindu yang toleran dan Hindu yang damai. Tampaknya mereka bisa menerima, namun dalam hal tertentu, terutama berkaitan dengan bhisama (fatwa) yang dikeluarkan PHDI–dalam Hindu hanya pendeta PHDI yang bisa mengeluarkan fatwa–mereka sering mengabaikan.
    Dan kami di PHDI–saya salah satu dari 33 pendeta yang kini duduk di PHDI–sangat menyadari bahwa adalah hak setiap orang untuk menafsirkan ajaran agama, dan PHDI tak mau memonopoli tafsir Weda sebagai satu-satunya tafsir yang harus diikuti. Karena itu, beberapa fatwa tak mulus di masyarakat Hindu, misalnya bhisama soal sabung ayam (yang bertentangan dengan Hindu karena ada judinya), bhisama soal Catur Warna (yang meluruskan soal kasta), bhisama dana punia (yang mewajibkan umat membayar sekian persen dari penghasilan bersih untuk agama). Sabung ayam tetap marak, pendeta Hindu (terutama di Bali) seperti masih tersekat oleh kelompok-kelompok. Tentu saja puluhan bhisama lain dilaksanakan dengan baik, karena bagaimanapun kami dianggap orang yang punya “pengetahuan lebih” dalam menelaah kitab suci.
    Saya kira di Islam juga demikian, tak semua fatwa MUI diikuti oleh umatnya. Kalau begitu halnya, lalu apa sesungguhnya peran, tugas, dan kewajiban majelis-majelis agama dalam “menenteramkan” umatnya, belum lagi kita bicara “mensejahterakan” umatnya. Semuanya seperti mengambang, majelis agama seperti ada di menara gading. Kadang dianggap panutan, kadang berwibawa, tapi tak jarang juga dicuekin. Menegur saja tak berani, apalagi menjadi “polisi agama” untuk hal tertentu.
    Dalam kasus FPI, orang melihat aksi mereka sudah tak bisa ditenggang, sehingga ormas ini perlu dibubarkan. Bagaimana mungkin pemerintah berani–dan bisa–karena hal itu bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985. Dalam undang-undang ini disebutkan, ormas bisa dibekukan setelah tiga kali mendapat teguran tertulis berdasarkan wilayah: kabupaten/kota, provinsi, nasional. Contohnya, FPI bisa dibekukan di Cianjur jika sudah tiga kali melakukan aksi anarkistis di sana. Kalau sekali di Cianjur, sekali di Bogor, sekali di Pandeglang, itu tak bisa digabung.
    Bahwa FPI sering melakukan aksi anarkistis, mungkin benar. Tetapi hal itu berada di wilayah yang berbeda-beda. Menteri Dalam Negeri menyebutkan, di tingkat nasional FPI baru dua kali mendapat teguran. Pertama, waktu menyerang aksi Kelompok Kebangsaan di Monas. Kedua, ketika merusak kantor Kementerian Dalam Negeri, bulan lalu. Perlu satu teguran tertulis lagi. Tetapi, kalau aksinya dilakukan di wilayah provinsi atau wilayah kabupaten/kota, tak bisa diakumulasi. Yang lebih njelimet lagi, setelah tiga teguran tertulis dilakukan, pembekuan atau pembubarannya menunggu fatwa Mahkamah Agung. Betapa panjangnya jalan “menuju Indonesia tanpa FPI” itu.
    Tentu kita berharap, semoga FPI melakukan introspeksi terhadap ulahnya selama ini, setelah kasus di Palangkaraya itu. Namun, yang lebih penting, jika aksi dan penolakan terhadap FPI dijadikan pembuka wacana, perlu dipikirkan adanya undang-undang tersendiri yang mengatur ormas keagamaan dan sekaligus di sana diatur pula apa itu majelis agama dan apa itu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Seperti diketahui, FKUB ini lahir dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri pada 2006 dalam kaitan dengan pembangunan tempat ibadah. Kenyataannya, banyak FKUB yang tak berfungsi, sehingga berbagai kasus pun bermunculan, seperti kasus Gereja Yasmin itu. ●
  • Teori Konservasi dan Fenomena Cuaca Ekstrem

    Teori Konservasi dan Fenomena Cuaca Ekstrem
    Gentio Harsono, PENELITI BIDANG PENERAPAN LINGKUNGAN LAUT
    DINAS HIDRO-OSEANOGRAFI; KANDIDAT DOKTOR PADA SEKOLAH PASCASARJANA IPB
    Sumber : SINAR HARAPAN, 17Februari 2012
    Meningkatnya frekuensi dan intensitas puting beliung yang disertai hujan akhir-akhir ini telah banyak membawa korban baik jiwa maupun materi.
    Di Jakarta, pohon besar dan rindang bukan lagi tempat yang nyaman untuk berteduh dan memperoleh udara segar, namun pohon telah menjelma sebagai salah satu faktor pencabut nyawa yang paling ditakuti warga ketika angin kencang berputar ini terjadi.
    Data terakhir, bencana puting beliung di Jawa dan Bali saja tercatat 14 jiwa tewas, 60 orang luka dengan kerugian materi sebanyak 2.364 rumah rusak.
    Gejala cuaca akhir-akhir ini menjadi makin ekstrem, tidak menentu dan sukar untuk diprediksi (baca: tidak linear).
    Gejala-gejala alam ekstrem ikutannya dalam skala yang lebih luas pun muncul seperti musim kemarau lebih panjang dan musim penghujan yang pendek, namun intensitas hujannya justru meningkat drastis. Atau justru sebaliknya musim hujan panjang dan musim kemarau yang pendek dengan peningkatan suhu atmosfer bumi di atas normal.
    Meningkatnya kekuatan badai tropis dan efek yang ditimbulkannya telah membuat sejarah baru, sekarang bukan saja implikasi pada lalu lintas pelayaran dan penerbangan terganggu akibat meningkatnya kecepatan angin dan tinggi gelombang laut, namun juga efek dari meningkatnya intensitas hujan di atas normal.
    Beberapa daerah kepulauan Indonesia mengalami kekurangan bahan pokok dan energi akibat terputusnya jalur suplai bahan pangan yang umumnya melalui laut, petani yang gagal panen karena tanamannya terendam banjir, kerusakan infrastruktur sosial seperti jalan dan jembatan yang memutuskan jalur distribusi dan perhubungan simpul-simpul kegiatan ekonomi mengakibatkan tingginya harga bahan pangan dan kebutuhan pokok masyarakat lainnya.
    Dalam konteks kajian meteorologi-oseanografi gejala alam yang demikian ini tidak lepas kaitannya dari apa yang disebut sebagai interaksi lautan-atmosfer (air-sea interaction), di mana proses yang berperan dominan dalam menentukan cuaca dan iklim adalah aliran massa air yang terjadi dalam siklus air (siklus evaporasi-kondensasi-presipitasi) dan proses perpindahan energi dalam bentuk bahang (heat) antara atmosfer dan lautan melalui media angin dan arus laut yang disebut dengan ocean-atmosphere coupling.
    Teori Konservasi Energi
    Hukum fisika ini menyatakan bahwa jumlah total energi dalam suatu sistem terisolasi (baca: bumi dan atmosfer di atasnya) adalah kekal sepanjang masa.
    Dalam suatu sistem terisolasi, energi dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dan dapat berubah bentuk dari sifat satu ke sifat lainnya, namun energi tidak dapat diciptakan dan juga dimusnahkan, karenanya dikatakan jumlah energi akan tetap (konservasi).
    Jika dikaitkan fenomena yang terjadi di atmosfer, terjadi berbagai perubahan bentuk energi seperti energi laten yang terbentuk akibat perubahan fase air menjadi uap atau es, energi kinetik seperti angin, siklon, pergerakan awan dan uap air, sedangkan energi potensial seperti air yang jatuh sebagai hujan dan lain sebagainya.
    Seperti telah dijelaskan sebelumnya, proses interaksi lautan-atmosfer akhir-akhir ini menjadi terganggu akibat meningkatnya suplai bahang di atmosfer dari sisa energi hasil pembakaran fosil (baca: minyak dan batu bara) yang dibuang ke atmosfer. Meningkatnya suplai bahang ini memberikan surplus energi pada atmosfer.
    Jika semula sumber energi utama atmosfer adalah radiasi matahari, sekarang ada peranan baru yang kekuatannya semakin besar, yaitu energi dari sisa pembakaran fosil. Proses ini diyakini sebagai triggerterhadap ketidakstabilan pola temporal iklim dan cuaca.
    Sisa energi dari hasil pembakaran fosil yang terbuang ke atmosfer juga akan membentuk gas-gas rumah kaca, menyerap energi matahari dan menyimpannya di atmosfer. Energi panas yang tersimpan pada gas-gas di atmosfer ini akan menambah panasnya atmosfer bumi.
    Meskipun laut mempunyai kemampuan dalam menyerap energi melalui proses fotosintesis pada tumbuhan pada lapisan atasnya, namun laut juga mempunyai kemampuan yang terbatas bila energi berlebih ini terus meningkat.
    Proses ini diperparah dengan ketidakmampuan buffer dalam menyerap surplus energi ini seperti berkurangnya luasan vegetasi akibat alih fungsi hutan dan ekspansi budi daya manusia.
    Sesuai dengan teori konservasi, energi yang berlebih di atmosfer tersebut akan berubah bentuk menjadi energi lainnya. Salah satu bentuk energi yang mungkin terjadi adalah perubahan menjadi energi kinetik berupa angin kencang seperti halnya meningkatnya intensitas dan frekuensi puting beliung.
    Meningkatnya energi yang beredar di atmosfer, memungkinkan terjadinya siklon tropis dengan energi yang lebih besar dari kondisi normalnya baik intensitas maupun frekuensinya. Hal ini merupakan konsekuensi logis agar jumlah total energi di atmosfer adalah tetap (konservasi). Panjang ekornya pun menjadi lebih besar.
    Meskipun jejak siklon tropis tidak mampu mencapai pada lintang 10° LU/LS (sebagian besar wilayah Indonesia), limpasan dari kekuatan energi ekornya sangat dirasakan di wilayah Indonesia dalam bentuk angin kencang dan gelombang laut yang besar.
    Kuatnya penyerapan uap air dan awan pada lokasi sekitar siklon mengakibatkan pengurangan secara drastis jumlah awan dan uap air pada daerah yang jauh dari lokasi siklon yang berakibat pada berkurangnya hari hujan di daerah tropis.
    Di daerah tropis hari hujan menjadi sedikit, namun intensitas hujan menjadi lebih besar atau dengan kata lain jumlah hari hujan turun, tetapi frekuensi hujan maksimum harian meningkat. ●
  • Mati Rasa!

    Mati Rasa!
    Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA;
    DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI (PUSAKO) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS
    Sumber : KOMPAS, 17Februari 2012
    Partai Demokrat tengah mengalami mati rasa. Kesan demikian sulit dimentahkan, terutama setelah Fraksi Partai Demokrat menempatkan Angelina Sondakh alias Angie menjadi anggota Komisi III DPR. Dalam posisi sebagai alat kelengkapan DPR yang bermitra dengan lembaga penegak hukum, termasuk KPK, rotasi Angie ke Komisi III jelas memicu banyak pertanyaan dan kecurigaan.
    Pertanyaan besar yang sulit dicegah: mengapa seorang anggota partai dengan status tersangka justru dirotasi ke Komisi III? Bukankah pilihan demikian berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antara Komisi III dan lembaga penegak hukum, termasuk dengan KPK? Kedua pertanyaan tersebut memunculkan pertanyaan lain yang jauh lebih menohok: adakah kebijakan memindahkan Angie merupakan pembenaran empiris bahwa sesungguhnya partai politik pemenang Pemilu 2009 itu tidak memiliki komitmen dalam memberantas korupsi?
    Dengan rangkaian pertanyaan tersebut, publik memiliki keabsahan yang kuat untuk curiga ihwal penempatan Angie di Komisi III. Jangan-jangan pemindahan ini menjadi strategi untuk menyelamatkan Angie dari kelanjutan proses hukum. Tidak hanya itu, sangat mungkin peristiwa ini mencerminkan sikap Partai Demokrat untuk mencegah proses hukum agar tidak bekerja lebih jauh dalam menuntaskan skandal suap wisma atlet.
    Rangkaian pertanyaan dan kecurigaan itu menjadi sesuatu yang sangat masuk akal karena sejak skandal pembangunan infrastruktur penyelenggaraan SEA Games XXVI/2011 terkuak ke publik, Partai Demokrat menjadi kelompok politik yang paling kerepotan. Selain itu, sejak KPK menangkap Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, 21 April 2011, penegakan hukum seperti terjebak dalam jalur lambat.
    Karena itu, tidak berlebihan apabila Wakil Ketua Komisi III Nasir Djamil bersuara lantang atas sikap Fraksi Partai Demokrat. Menurut Nasir Djamil, rotasi itu menimbulkan persepsi negatif, publik bisa menilai penempatan Angie dimaksudkan untuk memengaruhi kasus yang tengah berlangsung di KPK (Kompas.com, 15/1). Sikap kritis Nasir Djamil dilatarbelakangi penilaian yang muncul dalam beberapa waktu terakhir: Komisi III menjadi tempat berlindung sejumlah politisi dan anggota DPR yang terkait masalah hukum.
    Mati Rasa
    Sejak KPK menetapkan Angie sebagai tersangka, Partai Demokrat menghadapi pergolakan hebat. Bahkan, kondisi yang terjadi saat ini jauh lebih bergelombang dibandingkan dengan ketika menghadapi skandal Bank Century. Sebagaimana diketahui, dalam skandal talangan Bank Century, kalangan internal Partai Demokrat sangat solid berada dalam satu barisan dan satu komando. Begitu Angie dijadikan tersangka, pembelahan internal Partai Demokrat menjadi sangat terbuka.
    Banyak pihak berharap kegaduhan internal Partai Demokrat akan berujung pada sebuah langkah luar biasa. Salah satu di antara langkah itu, Partai Demokrat berani menonaktifkan Angie sebagai anggota DPR. Sekiranya berani memilih langkah demikian, partai peraih kursi mayoritas di DPR ini sedang memberikan pesan kuat: anggota legislatif yang berstatus tersangka tidak seharusnya merepresentasikan rakyat. Karena langkah itu tidak terjadi, upaya Partai Demokrat memberhentikan Angie dari pengurus partai menjadi kehilangan makna.
    Tidak hanya soal penonaktifan Angie, langkah luar biasa yang juga dinantikan publik adalah sikap Dewan Pembina untuk menonaktifkan semua pengurus partai yang terkait dengan skandal wisma atlet. Sebagai partai politik yang menggunakan pesona antikorupsi pada masa kampanye, semangat antikorupsi itu seharusnya dibumikan jika ada di antara pengurus partai yang tersangkut kasus korupsi. Dalam skandal wisma atlet, menonaktifkan dari kepengurusan partai sekaligus untuk membuktikan bahwa pohon janji antikorupsi selama masa kampanye bukan hanya pepesan kosong belaka.
    Di tengah harapan untuk adanya langkah luar biasa tersebut, respons Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat terhadap penetapan Angie sebagai tersangka terasa hambar. Dalam hal ini, Susilo Bambang Yudhoyono seperti kehilangan gairah membumikan kalimat sakti ”akan memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi”.
    Tidak hanya soal gairah, Yudhoyono juga seperti tidak bernyali mengambil langkah luar biasa di internal Partai Demokrat. Karena itu, wajar banyak pihak menduga bahwa skandal wisma atlet mempunyai ”daya ledak” jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan yang terkuak ke publik selama ini.
    Merujuk situasi itu, berharap adanya langkah luar biasa Partai Demokrat ibarat menunggu hadirnya gagak berwarna putih. Karena itu, sebelum Ketua Dewan Pembina berpidato, sebagian publik telah menduga arah dan isi pidato Yudhoyono. Namun, yang paling sulit dipahami, Partai Demokrat justru melakukan ”langkah luar biasa” yang merusak logika publik, yaitu menempatkan tersangka skandal korupsi wisma atlet di salah satu jantung DPR. Sikap itu tidak hanya menggambarkan tergerusnya makna hakiki agenda memberantas korupsi, tetapi juga membuktikan Partai Demokrat sedang mengalami mati rasa.
    Jauh lebih parah lagi, dalam selang waktu yang hampir bersamaan, langkah luar biasa (dalam tanda petik) Partai Demokrat yang diikuti pernyataan Yudhoyono bahwa tidak mudah melakukan pemberantasan korupsi. Pernyataan itu sekaligus menjadi bukti empiris berikutnya betapa sulit menemukan pemimpin yang mampu berada paling depan dalam mengayun pedang untuk melawan korupsi.
    Kebablasan
    Kerisauan banyak pihak atas penempatan Angie di Komisi III bukan tanpa dasar pijakan sama sekali. Selama ini, banyak fakta membuktikan, penegakan hukum yang berpotensi merugikan anggota dan partai politik, Komisi III sering kali ”menggunakan” rapat dengar pendapat untuk mempersoalkan langkah lembaga penegak hukum. Belum begitu berjarak dari memori publik ketika KPK ”menyentuh” sejumlah anggota Badan Anggaran DPR, Komisi III menggelar rapat darurat dengan penegak hukum, termasuk dengan KPK.
    Berkaca dari ”gangguan” terhadap institusi penegak hukum, memindahkan kader yang berstatus tersangka ke Komisi Hukum DPR adalah kebablasan dan tidak dapat dibenarkan sama sekali. Apabila diletakkan dalam kepentingan penegakan hukum, sadar atau tidak, Partai Demokrat sedang memberikan fasilitas bagi Angie untuk menggunakan otoritas DPR dalam kelanjutan status tersangka yang dihadapi.
    Bukan hanya fasilitas, kebijakan Partai Demokrat berpotensi memberikan tekanan bagi KPK. Ujung-ujungnya, penyelesaian skandal korupsi wisma atlet benar-benar akan terjebak di jalur lambat.
    Melihat penegakan hukum pemberantasan korupsi selama ini, korupsi menjadi sulit diberantas karena banyaknya kemewahan yang dinikmati oleh mereka yang tersangkut kasus korupsi. Sebagaimana dikemukakan dalam ”Pangkas Kemewahan Koruptor” (Kompas, 6/11/2011), kemewahan yang dinikmati mereka yang tersangkut kasus korupsi terjadi mulai dari hulu sampai hilir. Dalam pengertian itu, sulit untuk membantah bahwa penempatan Angie di Komisi III bukan merupakan bentuk kemewahan lain yang diberikan kepada mereka yang tersangkut kasus korupsi.
    Untuk menghadapi situasi yang sama sekali tidak menguntungkan dalam penegakan hukum ini, Komisi III seharusnya mendukung pendapat Nasir Djamil. Sebelum kehadiran Angie benar-benar menghancurkan wajah Komisi III, penolakan harus dilakukan. Dalam pengertian itu, tanpa tekanan jangan pernah berharap Partai Demokrat akan memiliki kesadaran menarik kembali atau memindahkan Angie ke komisi lain. Bagaimanapun, dengan menempatkan Angie di Komisi III sama saja dengan membiarkan Komisi Hukum DPR babak belur karena Partai Demokrat sudah kebablasan.
    Kalaupun pada akhirnya Partai Demokrat menarik dan memindahkan Angie ke komisi lain, langkah tersebut masih jauh dari cukup untuk menutup kebalasan yang telah dilakukan. Barangkali, kebablasan itu hanya bisa diimbangi sekiranya Partai Demokrat mau dan mampu melakukan langkah luar biasa bagi semua kader yang tersangkut skandal suap wisma atlet. ●
  • Sesulit Apa Mematikan Korupsi

    Sesulit Apa Mematikan Korupsi
    Donny Gahral Adian, DOSEN FILSAFAT POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 17Februari 2012
    Korupsi ibarat rumput kering pada musim kemarau. Sedikit saja lengah, sebatang korek mampu menghanguskan hutan beserta isinya. Api merambat, membiak, dan menyeret dengan cepat dan beringas. Untuk itu, dalam upaya mematikan api korupsi, diperlukan keberanian ekstra untuk menembus hutan yang terbakar. Di sini, ucapan Tuan Presiden tentang sulitnya memberantas korupsi memperoleh makna. Panglima tertinggi yang bersumpah untuk memimpin pemberantasan korupsi akhirnya menimang dengan bimbang pedangnya sendiri.
    Namun, mari tak berburuk sangka dan mencoba menyelami kegalauan di lubuk hati Tuan Presiden.
    Korupsi Terorganisasi
    Kita pasti bertanya, mengapa setelah sekian lama, Tuan Presiden akhirnya mengeluhkan sulitnya mematikan korupsi. Apakah fakta lapangan memang menunjukkan demikian? Atau, itu lebih merupakan proyeksi kesulitan internal partai Tuan Presiden sendiri?
    Kita tahu betapa keluh kesah Tuan Presiden disampaikan setelah api korupsi merambati rumah politiknya sendiri. Tidak tanggung-tanggung. Korupsi tidak hanya menyeret pengurus rumah, tetapi juga sang kepala rumah.
    Namun, saya tidak ingin memojokkan rumah politik Tuan Presiden semata. Terlepas dari rekam jejak ketidaktegasan Tuan Presiden, saya ingin mencari tahu apa sesungguhnya kesulitan itu. Mari kita mulai dengan mencoba memahami tiwikrama yang tengah dialami korupsi di Republik ini.
    Kita biasa mendengar kata ”korupsi politik”. Konsep itu merujuk pada tindakan koruptif yang dilakukan demi tujuan-tujuan politik.
    Kepala daerah yang mengorup Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk biaya kampanye pemilihan kepala daerah berikut tergolong pelaku korupsi politik.
    Biaya politik yang sangat tinggi memantik perilaku korupsi politik. Bayangkan, seorang bupati bakal calon gubernur sudah sesumbar akan menggelontorkan seratus miliar apabila direkomendasi partainya. Duit dari mana? Gaji pokok bupati lebih kecil daripada gaji saya di universitas.
    Sayangnya, ”korupsi politik” tidak sesederhana yang dibayangkan orang. ”Korupsi politik” bukan lagi upaya menjadikan korupsi sebagai alat tukar politik. Itu sudah berubah menjadi korupsi yang terorganisasi secara politik. Dengan kata lain, korupsi bukan inisiatif orang per orang, melainkan sistem yang bersarang pada organisasi politik, apa pun benderanya.
    Politik sudah kadung dimaknai sebagai biaya. Akibatnya, pasang surut partai sebagai organisasi politik tergantung pada saldo kas-nya. Untuk itu, sejumlah fungsionaris partai ditempatkan di jabatan yang kuyup rupiah. Sebagian lagi ditugaskan di posisi-posisi penentu anggaran di parlemen.
    Lalu, ke mana sisanya? Sisanya ditempatkan di berbagai posisi yang dapat memberi proteksi politik apabila diperlukan. Semua diatur dengan rapi dan rahasia. Korupsi pun menjadi sewajar menarik uang di ATM. Tidak ada yang salah. Sebab, kekuatan-kekuatan pelindung, mulai dari hukum, ekonomi, sampai politik, bekerja secara paripurna.
    Gonjang-ganjing di partai Tuan Presiden, menurut hemat saya, adalah akibat kesalahan manusia (human error) yang membuat pengorganisasian korupsi berantakan sampai akhirnya terdeteksi.
    Hukum dan Infeksi Politik
    Orang pasti mengeluhkan pesimisme akut yang saya idap ini. Artinya, ucapan Tuan Presiden menjadi masuk akal dan hati sekaligus. Kita akhirnya berempati terhadap kesulitan Presiden memberantas korupsi.
    Namun, banyak yang belum tahu bahwa empati adalah satir dalam bentuk lain. Tulisan ini adalah satir terhadap ketumpulan politik di hadapan korupsi. Politik tumpul karena alih-alih menjadi pedang yang memenggal koruptor, dia justru menjadi baju besi bagi mereka.
    Ketika kita berharap pada politik untuk mematikan korupsi, kita tengah menyodorkan cek kosong. Ini ibarat meminta seorang ibu menyudahi nyawa anak kandungnya sendiri.
    Ketika politik tumpul memenggal korupsi, lalu Tuan Presiden pun menyerahkan kepada dewi keadilan. Saat politik disesaki ketidakpastian dan kontestasi kepentingan, hukum akan melantangkan kepastian.
    Hukum ibarat mesias yang akan membawa kita keluar dari padang gurun korupsi. Itu sebabnya, semua politisi kita (termasuk Tuan Presiden) akan berkata ”serahkan pada hukum” ketika ditanya mengenai penyelesaian masalah korupsi.
    Hukum akan menunjukkan siapa yang benar dan siapa yang salah secara adil dan pasti. Setelah itu, pedang politik akan sangat enteng diayunkan. Sebab, titah dewi keadilan adalah harga mati bagi siapa pun juga di republik ini. Tak terkecuali pimpinan partai dan Tuan Presiden sendiri.
    Namun, apakah benar hukum dapat menjadi mesias yang akan menyelamatkan republik ini dari korupsi? Mereka yang membedakan antara politik yang tak pasti dan hukum yang pasti menderita kenaifan tersendiri.
    Pertama, muasal hukum adalah politik. Hukum tidak dibuat di ruang kosong, tetapi laboratorium politik yang sarat kepentingan. Hukum tidak dibuat oleh orang-orang suci, tetapi lembaga politik.
    Dengan demikian, hukum tidak se-mesianistik yang dibayangkan orang. Hukum dibuat bukan untuk hukum itu sendiri, melainkan demi suatu tujuan di luar hukum. Nah, tujuan itu kemudian digenapi oleh para politisi pembuat hukum yang notabene adalah protektor bagi kesehatan keuangan partainya.
    Kedua, hukum bukan sekadar dokumen, melainkan juga orang dan organisasi. Ketika berbicara soal orang dan organisasi, kita tak dapat melepaskan diri dari politik. Orang bersaing dan organisasi butuh pelumas. Dokumen hanya benda mati yang hidup ketika orang memutuskan dan organisasi mendukung.
    Kasus Bank Century, misalnya. Ketika undang-undang memberi kewenangan ekstra bagi Komisi Pemberantasan Korupsi, semua tidak berarti banyak. Pengusutan kasus Bank Century hanya berhasil apabila pimpinan memutuskan dan organisasi mendukung penuh tanpa ”masuk angin”.
    Jika tidak, sampai kiamat pun ”perbuatan melawan hukum” tidak akan ditemukan dalam kasus dana talangan Bank Century.
    Sekali lagi, hukum tidak kalah ganjilnya dengan politik. Kalimat sakti ”kita serahkan pada hukum” sama artinya dengan menyerahkan ketidakpastian lama ke ketidakpastian baru.
    Hukum adalah nama lain bagi medan kontestasi politik dan ekonomi. Mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik dapat bernapas lega ketika Tuan Presiden sudah berkata ”kita serahkan pada hukum”. Sinis?
    Waktu akan menjawabnya. Namun, saya kok yakin Gusti Allah ora sare. ●