Category: Uncategorized

  • Ruang Gerak Itu Masih Ada

    Ruang Gerak Itu Masih Ada
    A Tony Prasetiantono, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK
    UGM, YOGYAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 20Februari 2012
    Pemerintah, melalui Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati, pekan lalu, mengakui bahwa target pertumbuhan ekonomi 2012 sebesar 6,7 persen tidak realistis. Pihaknya akan merevisi menjadi sekitar 6,5 persen. Langkah ini baik, tetapi amat terlambat. Sudah beberapa bulan ini praktis semua pengamat dan lembaga ekonomi internasional menurunkan target pertumbuhan ekonomi. Cuma pemerintah yang ngotot 6,7 persen, sementara Bank Indonesia lebih realistis dengan proyeksi 6,3 persen.
    Argumentasi pelambatan ekonomi sangat jelas: solusi krisis zona euro tetap meragukan, sementara harga minyak dunia tak kunjung turun sehingga mendorong inflasi. Praktis tidak ada negara yang kebal krisis. Yang ada hanyalah negara-negara berusaha meminimalkan kerusakan dampak krisis.
    Kesalahan proyeksi jangan dipandang sepele. Ramalan yang kacau bisa merusak kredibilitas. Lain kali masyarakat—terutama pelaku bisnis—tidak percaya lagi kepada angka-angka yang disajikan. Ini juga merefleksikan lambatnya respons pemerintah terhadap dinamika perekonomian global.
    Perekonomian saya perkirakan hanya akan tumbuh 6-6,3 persen. Soalnya, secara rata-rata, negara-negara berkembang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yang tajam, dari 6,5 persen pada triwulan I-2011 menjadi di bawah 3 persen pada triwulan IV-2011. Indonesia masih tumbuh 6,5 persen pada triwulan IV-2011, tetapi sulit membayangkan naik pada tahun 2012.
    Perekonomian China pun bahkan melambat menjadi 8,9 persen pada triwulan IV-2011. Hal serupa dialami India yang hanya 6,9 persen. Banyak lembaga ekonomi internasional yang memproyeksikan pelambatan tahun 2012 di China menjadi 8,8 persen (dari 9,2 persen tahun 2011) dan India menjadi 7,1 persen (dari 7,7 persen tahun 2011). Bayangkan, mesin-mesin pertumbuhan ekonomi dunia terkencang seperti China dan India saja melambat, bagaimana mungkin Indonesia malah berakselerasi? Sulit menemukan logikanya.
    Namun, ada kabar baik dari riset terbaru The Economist (3/2/2012). Majalah itu menempatkan Indonesia, China, dan Arab Saudi punya kemampuan menggunakan instrumen fiskal dan moneternya untuk mendorong ekonominya. Menyusul Cile, Peru, Rusia, Singapura, dan Korea Selatan.
    The Economist menghitung the wiggle-room index, indeks ruang gerak kebijakan fiskal dan moneter yang masih bisa dilakukan untuk menstimulus perekonomian di 27 negara emerging markets. Indikator yang dipantau adalah inflasi, suku bunga, penyaluran kredit, kurs mata uang, neraca transaksi berjalan, defisit anggaran pemerintah, dan utang pemerintah.
    Hasilnya, beberapa negara ada di ”lampu merah” alias kesulitan ruang gerak fiskal-moneter, yakni Mesir, India, Polandia, Brasil, Vietnam, Pakistan, Turki, Argentina, dan Hongaria. Adapun kategori ”lampu kuning” adalah Afrika Selatan, Taiwan, Venezuela, Ceko, Meksiko, Kolombia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Hongkong.
    Inflasi negara-negara emerging markets bervariasi 2 persen (Taiwan) hingga 20 persen (Argentina dan Venezuela), sedangkan Indonesia 3,79 persen. Bunga riil negatif terjadi pada separuh negara-negara yang diteliti, tetapi di China dan Brasil masih positif sekitar 2 persen. Di Indonesia, suku bunga riil masih terus dipertahankan positif meski bisa terus dipertipis.
    Dari sisi fiskal, perhatian terbesar pada rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), di mana Brasil, Hongaria, Mesir, India, Pakistan, dan Polandia mencapai 60 persen. Ini menyebabkan negara-negara itu tidak banyak memiliki ruang gerak untuk mendorong stimulus fiskal.
    Berdasarkan temuan The Economist itu, dari sisi moneter, Indonesia masih merupakan negara dengan suku bunga riil positif. Artinya, masih ada ruang gerak untuk menurunkan suku bunga lebih jauh. Namun, Bank Indonesia (BI) tentu harus ekstra waspada, jangan sampai kontraproduktif terhadap kurs rupiah. Pemantauan dan evaluasi harus dilakukan, bagaimana respons pasar terhadap penurunan BI Rate dari 6 persen ke 5,75 persen? Apakah berdampak terhadap dana pihak ketiga (DPK) di bank-bank? Apakah rupiah melemah? Apakah aliran modal masuk terganggu?
    Inflasi kita saat ini 3,65 persen, berjarak 2 persen dari BI Rate. Namun, masalahnya, ekspektasi inflasi kita sebenarnya minimal 5 persen karena sulit menahan kenaikan harga BBM bersubsidi dan tarif listrik. Karena itu, ruang gerak penurunan BI Rate menjadi lebih sempit. Terlebih lagi rupiah harus dijaga stabil pada Rp 9.000 per dollar AS dan berusaha menarik modal asing agar cadangan devisa naik dari posisi saat ini 111 miliar dollar AS. Sejauh ini belum ada tanda investor asing kembali menggairahkan bursa saham. Karena itu, penurunan BI Rate lebih lanjut belum menemukan alasan.
    Di sisi fiskal, utang pemerintah tahun ini naik menjadi Rp 1.937 triliun. Namun, secara relatif terhadap PDB hanya 26 persen. Angka ini tergolong rendah untuk ukuran emerging markets. China juga sekitar 27 persen. Namun, beberapa pihak berpendapat, angka ini belum memasukkan utang-utang pemerintah daerah, yang kalau dijumlah akan mencapai 60 persen.
    Indonesia sebenarnya mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan ”jendela fiskal” ini guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, ada dua kendala. Pertama, pemerintah di bawah tekanan para pengkritiknya agar tidak terlalu ekspansif menambah utang. Kedua, daya serap APBN lemah sehingga komitmen utang yang sudah ada tidak teralokasikan baik. Persoalan lain: belanja yang sudah tersalurkan pun ternyata sebagian marak dikorupsi.
    Jika zona euro kini menghadapi persoalan disiplin fiskal (austerity) dengan memotong anggaran, persoalan kita adalah menegakkan disiplin anggaran. Anggaran pemerintah harus dibelanjakan efektif dan koruptor APBN harus dihukum berat agar ada efek jera. Inilah kunci persoalan. Perlu eksekusi dari kepemimpinan kuat dan berani mengambil risiko. ●
  • Isteri Sah v Putusan MK soal Machica

    Isteri Sah v Putusan MK soal Machica
    Augustinus Simanjuntak, DOSEN PROGRAM MANAJEMEN BISNIS
    FE UNIVERSITAS KRISTEN PETRA, SURABAYA
    Sumber : JAWA POS, 20Februari 2012
    PUTUSANMahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-IX Tahun 2011 memberikan harapan baru bagi sebagian kaum perempuan. Menurut MK, anak yang lahir di luar kawin memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya dengan syarat sudah terbukti melalui kajian ilmu pengetahuan, teknologi, atau alat bukti yang diatur dalam perundang-undangan. Dengan begitu, perempuan yang merasa dirinya sebagai korban hubungan gelap bisa menuntut tanggung jawab perdata kepada lelaki yang memberinya anak di luar kawin.

    Putusan itu merupakan jawaban atas uji materi terhadap pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan artis dangdut Machica Mochtar. Pasal tersebut mengatur bahwa anak yang dilahirkan di luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Padahal, Machica yang menikah siri (di luar pengetahuan negara) dengan Moerdiono (menteri di era Orde Baru) pada 20 Desember 1993 telah mempunyai seorang anak bernama M. Iqbal Ramadhan, tapi tak diakui Moerdiono.

    Dengan demikian, selain hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya, anak yang lahir di luar kawin kini memiliki hubungan perdata dengan ayah biologis plus keluarga ayahnya itu. MK berpandangan bahwa secara alamiah perempuan tidak mungkin hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa melalui hubungan seksual (atau cara lain) yang menimbulkan pembuahan. Tidak adil jika hukum membebaskan tanggung jawab ayah biologis terhadap anak yang dihasilkannya.

    Sekilas putusan MK itu seolah menghargai hak asasi anak di luar kawin. Namun, sesuai dengan teori John Rawls, apakah putusan MK tersebut sudah membawa keadilan bagi semua pihak dalam setiap kasus hubungan gelap yang menghasilkan anak di luar kawin? Apakah MK sudah menimbang rasa keadilan bagi istri sah dan anak yang sah si suami serong itu? Itu menyangkut keadilan batin anggota keluarga yang sah. Lagi pula, pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan hanya mempertegas ketentuan BW (Burgerlijk Wetboek) atau Kitab UU Hukum Perdata yang mengatur anak di luar kawin.

    Menurut pasal 285 BW, seorang anak bisa berstatus anak di luar kawin jika ayahnya mengakuinya sebagai anak di luar kawin. Artinya, mendapatkan status anak di luar kawin ternyata tidak mudah karena terkait dengan perasaan serta hak-hak perdata dari istri maupun anak yang sah.

    Istri gelap merupakan istri yang tidak sah sehingga anaknya pun dianggap tidak memiliki ayah yang sah. Karena itu, BW dan UU Perkawinan mengatur bahwa anak yang diakui secara biologis hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Andai salah satu orang tua yang kawin secara sah mengakui keberadaan anak di luar kawin itu, pertalian kekeluargaannya pun hanya antara si anak tersebut dan orang yang mengakuinya, bukan dengan semua keluarga dari perkawinan yang sah (vide pasal 280 BW).

    Pengakuan itu juga tidak membuat si anak serta-merta berhak mendapatkan hak-hak perdata atau harta warisan dari perkawinan yang sah. BW dengan ketat melindungi istri dan anak yang sah. Sebab, secara moral, itulah tugas mulia dari negara. Negara tidak boleh merugikan keberadaan hubungan keluarga yang sah (perasaan dan hak-hak perdatanya) dan dilegitimasi negara “hanya” demi anak di luar kawin.

    Secara filosofis-etis, negara (termasuk MK) seharusnya mendukung perlindungan atas keluarga yang sah dengan menghukum setiap hubungan gelap secara perdata. Sebab, hubungan gelap itu telah merendahkan kesakralan dan kehormatan perkawinan. Hubungan gelap itu saja sudah melukai perasaan istri dan anak yang sah, apalagi harus dipaksa untuk mengakui anak di luar kawin sebagai bagian dari keluarganya. Itu tidak adil.

    Kecuali, lewat suatu proses waktu yang panjang, keluarga yang sah tersebut akhirnya (dengan kesadaran sendiri) mengakui anak di luar kawin itu sebagai bagian dari keluarganya dan disahkan negara. Tapi, menurut pasal 285 BW, pengakuan anak di luar kawin yang telah disahkan tidak boleh merugikan istri atau suami dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. BW tetap membatasi hak-hak perdata si anak di luar kawin. Misalnya, menurut pasal 863 BW, untuk anak di luar kawin yang mewaris dengan ahli waris golongan I (anak dan istri sah), bagiannya ialah sepertiga bagian anak yang sah.

    Apakah MK sudah menimbang sampai bagian itu? ●

  • Kalau Rapat, Tidak Perlu Lagi Makanan Kecil

    Kalau Rapat, Tidak Perlu Lagi Makanan Kecil
    Dahlan Iskan, MENTERI BUMN
    Sumber : JAWA POS, 20Februari 2012
    SUDAHKAHterbukti jumlah rapat-rapat di Kementerian BUMN turun 50 persen seperti yang saya inginkan? Angka pastinya masih dikumpulkan. Tapi, berdasar penjelasan para direktur utama BUMN, terasa sekali jumlah rapat itu menurun drastis. ”Rasanya turun 60 persen,” ujar Nur Pamudji, Dirut Perusahaan Listrik Negara. ”Selama tiga bulan ini saya baru rapat dua kali di kementerian. Kira-kira menurun 75 persen,” ujar Karen Agustiawan, Dirut Pertamina.

    Rapat memang harus dikurangi. Kerja yang harus ditambah. Kerja, kerja, dan kerja. Di birokrasi, kesibukan rapat itu memang luar biasa. Jadi salah anggapan masyarakat selama ini kalau birokrasi itu malas. Birokrasi itu rajinnya bukan main. Kalau sudah rapat, bisa panjang sekali. Bahkan, untuk satu topik saja bisa dilakukan berkali-kali.

    Tentu ada dampak negatifnya. Penghasilan sejumlah staf menurun. Dampak lainnya: banyak ruang rapat yang kosong. Saya suka turun-naik dari lantai ke lantai. Terasa benar penggunaan ruang yang mahal itu terlalu boros. Padahal, banyak ruang rapat yang berukuran besar. Maka beberapa staf di Kementerian BUMN mengusulkan agar segera dilakukan penataan ulang seluruh ruang kerja. Tentu saya menghargai usul seperti itu dan harus segera dilaksanakan. Pepatah hemat pangkal kaya, rupanya, sudah banyak dilupakan di zaman yang serba ada ini. Digantikan oleh adagium: boros itu meningkatkan pertumbuhan ekonomi! Kalau semua orang berhemat, siapa yang belanja? Bagaimana nasib pabrik-pabrik?

    Boros ruangan tentu memberikan contoh yang kurang baik. Secara kasar bisa dihitung paling sedikit akan ada dua lantai dari gedung 22 lantai di dekat Monas itu yang bisa dihemat. Beberapa BUMN yang selama ini masih sewa kantor (ada satu BUMN yang untuk salah satu bagiannya harus sewa kantor Rp 50 miliar selama lima tahun!) bisa berpindah ke gedung itu.

    Apakah menurunnya jumlah rapat di Kementerian BUMN itu sudah membuktikan otomatis BUMN-BUMN kini lebih banyak kerja, kerja, kerja? Tentu belum bisa dibuktikan seketika. Bukti yang terbaik adalah hasil tutup buku akhir tahun nanti. Benarkah kinerja BUMN meningkat? Ataukah berkurangnya panggilan rapat dari kementerian itu justru melonggarkan kontrol dan membuat BUMN kian malas?

    Berkurangnya jumlah rapat secara drastis di Kementerian BUMN itu sebenarnya bukan berarti menurunnya intensitas komunikasi. Sejumlah rapat itu kini sudah digantikan oleh terbentuknya grup BlackBerry Massanger.

    Misalnya, ada satu grup BBM yang semua anggotanya pejabat eselon I. Maka meski rapim Kementerian BUMN hanya dilakukan satu minggu satu kali (tiap Selasa jam 07.00), pada dasarnya rapat itu berlangsung bisa beberapa kali sehari. Hanya forumnya tidak di ruang rapat dengan sebuah meja rapat, tapi di forum BBM. Peserta bisa berada di mana saja dan sedang melakukan apa saja. Yang jelas tidak ada hidangan makanan kecil dalam rapat seperti itu.

    Ada juga grup BBM yang anggotanya menteri, wakil menteri, seorang deputi, dan semua direktur utama BUMN yang bergerak di bidang pangan. Maka masalah-masalah peningkatan produksi beras di BUMN dibicarakan di ”ruang rapat tanpa hidangan” itu. Demikian juga ada grup BBM bidang gula. Anggotanya menteri, wakil menteri, deputi bersangkutan, dan semua direktur utama yang membawahkan urusan gula. Ada grup BBM energi. Dan sebentar lagi, setelah holdingperkebunan terbentuk, akan diadakan grup BBM perkebunan.

    Intensitas rapat melalui grup BBM seperti itu bukan main. Juga hemat sekali waktu. Bahkan, ”rapat itu” berlangsung tidak mengenal hari dan jam. Bisa saja pada Minggu ada topik yang harus dibahas. Bahkan, ada yang sampai jam 23.00 masih mengajukan pendapat.

    Isi dan kualitas pembicaraan tidak kalah dengan rapat yang dilaksanakan di ruang rapat sungguhan. Meski menggunakan BBM, jangan khawatir dimanfaatkan untuk yang bukan-bukan. Tidak akan ada pembicaraan mengenai ”Apel Malang” atau ”Apel Washington” di situ. Sesekali ada yang memasukkan humor, tapi biasanya kalau lagi akhir pekan. Arifin Tasrif, Dirut Pusri Holding yang tergabung dalam grup BBM pangan, termasuk yang suka kirim humor. Hanya kadang saya sulit mengenali nama asli mereka karena banyak yang pakai nama maya. Arifin Tasrif, misalnya, di BBM menggunakan nama Kapal Selam. Rupanya dia sekalian jualan pempek Palembang.

    Tentu saya sangat menganjurkan agar semua BUMN membentuk grup-grup BBM seperti itu. Intensifnya luar biasa. Ini saya rasakan sewaktu masih di PLN. Waktu itu saya memiliki tujuh grup: grup khusus yang anggotanya semua direksi plus sekretaris perusahaan, grup saya dengan para general managerse-Jawa-Bali, grup saya dengan para general manager se-Indonesia Barat, grup saya dengan semua general manager se-Indonesia Timur, grup saya dengan para manajer perencanaan, grup saya dengan para manajer keuangan, grup saya dengan para manajer SDM, dan seterusnya. Keluhan masyarakat, info soal korupsi, pengaduan tender yang main-main, dan segala persoalan yang berkembang bisa langsung dikomunikasikan melalui grup BBM.

    Model komunikasi manajemen seperti itu sekaligus bisa menerabas batas-batas hierarki dan birokrasi. Juga bisa lebih terbuka. Kekurangan di satu tempat langsung diketahui oleh siapa pun di tempat lain. Kalau tidak terbiasa, memang seperti membuka aib dan kelemahan. Tapi, itulah cara yang efektif untuk melakukan perbaikan. Kalau niatnya sudah untuk melayani masyarakat, soal kelemahan yang dibuka di depan sesama manajer seperti itu tidak akan terasa sebagai aib lagi. Justru dengan cara itu tanggung jawab bisa muncul. Apalagi, bukan hanya soal kekurangan yang dibeber di grup BBM, tapi juga soal prestasi. Dulu sering saya memasukkan pujian dari pelanggan listrik yang dikirimkan via SMS ke handphone saya. SMS itu langsung saya masukkan ke grup BBM. Sebagai pendorong bahwa hasil kerja keras mereka diapresiasi oleh masyarakat luas. Salah satu contoh ketika Peter Gontha memuji PLN via SMS yang merasa kaget petugas PLN begitu cepat datang ke rumahnya yang listriknya sedang bermasalah dan petugas itu tidak mau diberi uang tip. SMS itu saya masukkan ke grup BBM dan dalam waktu singkat menyebar luas ke jajaran PLN.

    Sungguh sangat banyak rapat yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara yang tidak perlu harus membuang waktu sampai lima jam (satu jam perjalanan, tiga jam rapat, satu jam perjalanan kembali). Kecuali kalau rapatnya benar-benar harus dan bisa mengambil keputusan saat itu.

    Tentang rapat pimpinan Kementerian BUMN sendiri, kini tidak lagi dilakukan di Kantor Kementerian BUMN. Tiap Selasa lokasi rapat itu berpindah dari BUMN satu ke BUMN lainnya. Sekaligus agar seluruh pejabat eselon I Kementerian BUMN mengetahui dengan mata kepala sendiri markas BUMN yang selama ini sering mereka panggil. Sekalian untuk mengecek apakah di BUMN tersebut juga sudah dilakukan rapat pimpinan setiap Selasa jam 07.00. Rapat paling jauh dilakukan di BUMN Angkasa Pura II Selasa lalu. Sekalian untuk mengecek persiapan perbaikan Bandara Soekarno-Hatta.

    Perubahan memang sedang dilakukan. Ruang ATC/tower sudah lebih disiplin dan bersih. Tidak ada lagi yang merokok di ruang kontrol lalu lintas pesawat. Peningkatan kapasitas tower menjadi dua sisi juga sudah hampir selesai. Satu sodetan express taxy sudah selesai, tinggal membuat satu lagi. Bagian-bagian jalan yang sempit yang menjadi sumber kemacetan di sekitar bandara sudah dipagari seng, pertanda proyek pelebaran jalan sedang dilakukan.

    Yang tahun ini mulai dikerjakan adalah: pembuatan gedung parkir empat tingkat di tengah-tengah antara terminal satu dan dua. Di tengah-tengah itu tahun ini mulai dibangun juga stasiun kereta api. Gedung parkir dan stasiun itu harus selesai akhir tahun depan.

    Sementara menunggu gedung parkir, segera dilakukan pengaturan darurat: banyaknya mobil yang menginap di bandara akan disediakan lokasi khusus. Kendaraan karyawan bandara dan karyawan toko-toko di bandara akan dialihkan juga di lokasi lain. Itu dilakukan agar lokasi parkir bandara lebih diperuntukkan melayani penumpang.

    Terminal 3, yang sekarang ini hanya seperti huruf I, akan dikerjakan menjadi huruf U lebar. Berikut apronnya sekalian. Dari terminal tiga akan dihubungkan dengan kereta tanpa sopir menuju terminal 1 dan 2. Pembangunan terminal 3 ini juga harus sudah selesai akhir tahun depan. Kalau semua pekerjaaan itu selesai, daya tampung Bandara Soekarno-Hatta meningkat menjadi 60 juta penumpang. Sekarang ini sudah 50 juta penumpang per tahun yang memadati bandara yang mestinya hanya untuk 22 juta penumpang itu.

    Memang masih ada proyek besar lainnya: membangun landasan nomor 3 dan membangun terminal 4. Tapi, proyek itu memerlukan waktu lebih panjang. Masih harus membebaskan tanah 730 ha yang tentu tidak akan mudah.

    Dengan mengurangi kesibukan rutin berupa rapat-rapat yang kurang efektif, pemikiran memang bisa lebih dicurahkan untuk hal-hal yang mendasar.

    Rapat tentu saja penting. Tapi, kebanyakan rapat bisa membuat orang sinting! ●

  • Galau Presiden Jerman di Jakarta

    Galau Presiden Jerman di Jakarta
    Ardi Winangun, ASSOCIATE PENELITI DI LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERANGAN EKONOMI DAN SOSIAL (LP3ES)
    Sumber : JAWA POS, 20Februari 2012
    AWAL Desember 2011, Christian Wulff, presiden Republik Federal Jerman, mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Saat mengunjungi salah satu lembaga negara, MPR, banyak hal yang ditanyakan Wulff kepada Ketua MPR Taufik Kiemas dan Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y. Thohari. Misal, soal demokratisasi di Indonesia dan hubungan antara Islam dan demokrasi.

    Ada pertanyaan lain Wulff yang menarik, yakni apakah banyak politikus di Indonesia yang menggunakan Facebook dan Twitter. Hajriyanto menjawab bahwa pengguna Facebook, Twitter, dan jejaring sosial lain di Indonesia 60 juta, setara jumlah penduduk Jerman. Tentu saja dari sebanyak itu, ada juga para politikus yang memanfaatkan jejaring sosial. Kritik di jejaring sosial atas politik Indonesia sering sangat keras. “Meski demikian, kami belum merasa terganggu dengan adanya Facebook dan Twitter,” ujarnya.

    Wulff pun manggut-manggut. Pertanyaan Wulff itu bukan semata dalam konteks pertanyaan perbandingan gerakan demokratisasi di Mesir yang menggunakan Facebookdan Twitter untuk menggalang massa. Tetapi, bisa jadi bentuk kegelisahan akan nasibnya.

    Terbongkarnya skandal penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Wulff pada 2008, yaitu dirinya menerima bantuan kredit rumah dengan suku bunga rendah senilai EUR 500 ribu (Rp 5,9 miliar) dari istri pengusaha kaya, Ego Geerkens, membuat Wulff mengundurkan diri dari jabatan sebagai presiden Jerman pada Februari 2012. Pemberian diskon spesial kepada pejabat memang bisa masuk ranah korupsi. Kasus Wulff itu terjadi ketika dia menjabat sebagai perdana menteri Lower Saxony.

    Kasus itu terbongkar ketika harian Bild memberitahukan masalah tersebut pada 13 Desember 2011. Penyalahgunaan kekuasaan Wulff tidak saja muncul di Bild, tetapi juga banyak politikus serta anggota majelis tinggi dan majelis rendah (parlemen) Jerman yang sering menulis status di Facebook dan berkicau di Twitter, termasuk mengenai penyalahgunaan yang dilakukan Wulff. Status di Facebook dan kicauan di Twitter itulah yang membuat Wulff galau sehingga sampai “curhat” saat berkunjung di Indonesia.

    Penyalahgunaan kekuasaan di Jerman merupakan sebuah aib tak termaafkan sehingga hal demikian membuat Wulff mengundurkan diri. Sampai-sampai menjadi bahan lawakan komedian Jerman. Nama Wulff dipelesetkan menjadi wulffen yang artinya mengambil tanpa membayar.

    Namun, langkah undur diri Wulff bagi politikus di Indonesia bisa saja dianggap sebagai langkah yang “aneh”. Siapa tahu politikus Indonesia mengira Wulff belum “balik modal” untuk membiayai proses terpilihnya menjadi presiden Jerman? Politisi Indonesia, meski sudah terindikasi melakukan korupsi miliaran rupiah, masih saja tidak mengakui dan tidak mau mundur.

    Mereka tetap bertahan dengan alasan belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Tak peduli pelanggaran etikanya sudah terang-benderang. Mereka buying time atau mengulur-ulur waktu atau berkelit agar bisa selamat. Padahal, Wulff, sampai dirinya mundur, belum dijamah oleh hukum meski hanya dengan status saksi. Kesadaran etikanya terusik. Bangsa yang beradab memang tak hanya mengagungkan hukum, tetapi juga etika.

    Langkah Wulff itu menunjukkan lebih mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri. Bila Wulff mementingkan kepentingan diri dan partainya, mungkin dia akan bertahan. Dan, kalau dia bertahan, pasti lembaganya ikut “tersandera”. Pejabat kita yang terindikasi korupsi lebih suka “menyandera” institusinya demi pertahanan diri. Tak peduli suara-suara sengit di Facebook, Twitter, koran, televisi, atau media lain.

    Wikipedia menyebut, Jerman adalah anggota G-8, G-20, yang menduduki urutan keempat dalam produk domestik bruto dan urutan kelima dalam keseimbangan kemampuan berbelanja (2009), urutan kedua negara pengekspor, urutan kedua negara pengimpor barang (2009), serta menduduki urutan kedua di dunia dalam nilai bantuan pembangunan dalam anggaran tahunannya (2008).

    Jerman juga dikenal sebagai negara dengan sistem jaringan pengaman sosial yang baik dan memiliki standar hidup yang sangat tinggi. Jerman dikenal sebagai negara dengan penguasaan ilmu dan teknologi maju di berbagai bidang, baik ilmu alam maupun sosial dan kemanusiaan. Selain itu, negara yang banyak mencetak prestasi di bidang keolahragaan, seperti F1, sepak bola, dan lain-lain. Jerman dianggap sebagai negara yang sangat menghidupkan dunia, memengaruhi keadaan perekonomian dan bursa saham dunia.

    Meski banyak perbedaan antara Indonesia dan Jerman, dua negara itu sama-sama menjadi anggota G-20. Kita perlu belajar dari kehebatan Jerman. Memberantas korupsi dengan tegas dan bertanggung jawab justru akan mempercepat proses pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Tidak ada negara maju yang politisi korupnya aman dari jeratan hukum. Negara maju pasti memiliki etika yang kuat.

    Korea Selatan sebagai salah kekuatan ekonomi di Asia memiliki budaya antikorupsi yang tinggi. Terbongkarnya kasus korupsi membuat mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun malu dan memilih bunuh diri. Harta mantan Presiden Korea Selatan lainnya, Chun Doo Hwan, terkuras habis untuk mengembalikan hasil korupsi. Dia pun menyepi (madeg pandhita) di kuil. Demikian pula, anak mantan Presiden Kim Dae Jung harus ikut menanggung beban orang tuanya karena menikmati korupsi dengan masuk penjara.

    Tiongkok, untuk menjadi sebuah negara besar, juga dibangun atas dasar antikorupsi. Terbukti, ketika dilantik menjadi perdana menteri Tiongkok pada 1998, Zhu Rongji mengatakan, “Berikan kepada saya seratus peti mati, sembilan puluh sembilan untuk koruptor, satu untuk saya jika saya melakukan hal yang sama.”

    Di Indonesia, jangankan peti mati, hukuman yang “pantas” saja jarang menyentuh koruptor. ●

  • Perekonomian Branchless

    Perekonomian Branchless
    Achmad Deni Daruri, PRESIDENT DIRECTOR CENTER FOR BANKING CRISIS
    Sumber : SINDO, 20Februari 2012
    Globalisasi memunculkan teknologi branchlessyang dihasilkan oleh perusahaan yang menjalankan sistem tertutup.

    Globalisasi memperlihatkan bahwa sistem tertutup yang dijalankan Apple mampu menjadikan Apple sebagai perusahaan yang sukses di bidang komputerdan consumerelectronic. Dengan adanya iPhone, teknologi branchless banking yang paling efisien telah tercipta.Apalagisetelahtigabulanmeninggalnya Steve Jobs, Apple segera mengakuisisi perusahaan Israel yang memiliki teknologi flash memory yang tentunya akan semakin dapat diandalkan dalam menjalankan strategi branchless bankingdi masa depan.

    Dengan kapasitas teknologi mobile phone yang ada sekarang saja di beberapa negara Afrika, praktik branchless banking sudah berjalan dengan baik.Prodnan (2009) memberikan fakta: “In June 2009, the GSM Association (GSMA) claimed that almost 400 million people who currently do not have a bank account could benefit from mobile financial transactions as small as a few USD dozen cents.”Tidaklah mengherankan jika inflasi di banyak negara juga semakin turun sekalipun harga energi dan komoditas terus meningkat. Teknologi branchless telah menciptakan efisiensi yang sangat sistematis.

    Teknologi ini mengandalkan skala ekonomi pada tingkatan ritel dan protokol. Dengan demikian rakyat miskin yang semula tidak dapat memperoleh akses telepon dan perbankan kini secara mudah mampu memperolehnya. Yang menjadi persoalan adalah dimensi jaringan pembayaran yang sulit mendapatkan efek skala ekonomi karena terjadinya trade off dengan keunggulan kompetitif dari sebuah operator. Dalam konteks itu keunggulan kompetitif dari jaringan pembayaran tampaknya harus kalah dengan tantangan interoperatibilitas dari sistem tersebut.

    Dengan demikian struktur branchless banking akan menyerupai tabung jam pasir. Struktur seperti ini yang tampaknya paling efisien dan kompetitif. Untuk mencapai skala ekonomi dalam tingkat ritel dan protokol, pasar yang bersifat monopoli seharusnya diperbolehkan sepanjang pasar tersebut tercipta, bukan karena peraturan, tetapi karena efisiensi yang diciptakan pelaku pasar. Jangan seperti pasar telekomunikasi yang semakin rendah penciptaan nilai tambahnya akibat tidak adanya kekuatan monopoli yang muncul akibat keunggulan teknologi.

    Dalam konteks keterkaitan teknologi,yang ditakutkan dari masuknya industri telekomunikasi dalam pasar branchless merupakan akibat inefisiensi di dalam pasar mereka sendiri.Kalau kondisi ini tidak dapat dihindarkan, perekonomian branchless akan terancam. Perekonomian branchless dapat berlangsung sustainable jika struktur industrinya efisien. Penggunaan strategi ini dapat dianalogikan dengan peperangan gerilya dengan kekuatan ekonomi besar.

    Branchless banking merupakan strategi efektif dan efisien bagi perbankan Indonesia untuk menghadapi raksasa perbankan dunia yang kini tengah sibuk menghadapi krisis keuangan dunia. Sekarang merupakan saat yang paling tepat untuk memperkuat branchless banking di Indonesia. Jika strategi ini dapat diimplementasikan secara cepat, branchless economy juga akan tercipta. Perekonomian akan tumbuh dan berkembang dengan kekuatan branchless. Sektor keuangan akan mampu menciptakan efek multiplier perekonomian dengan biaya yang sangat murah. Dengan demikian ancaman krisis perbankan akibat inefisiensi perbankan juga semakin rendah.

    Cetak Biru

    Untuk itu Bank Indonesia harus membuat cetak biru branchless banking dan tidak sekadar membolehkan dan membuat aturan yang prudent dari aktivitas ini. Cetak biru dalam jaringan protocol platform dan jaringan pembayaran sangat penting direncanakan secara matang sehingga perdagangan bebas tidak membuat ability to pay dari masyarakat miskin di Indonesia menjadi makin kecil sehingga tidak menghantam jaringan pengecer dari industri ini. Untuk itu studi mengenai ability to pay dan willingness to pay sangat diperlukan.Berbagai pilot projectharus segera digalakkan.

    Yang juga harus diperhitungkan adalah efek kanibalisasi dari branchless banking dengan cabang bank yang sudah ada.Namun branchless banking hanya akan efektif untuk mengatasi transaksi keuangan dengan volume yang relatif kecil. Skup ekonomi akan sangat menentukan. Jika ritel mampu menciptakan skup ekonomi dan skala ekonomi, dengan demikian cabang bank akan tersingkir dengan sendirinya. Account platform juga akan sangat tergantung dari seberapa jauh skala ekonomi dan skup ekonomi terjadi.

    Untuk itu marketing research harus segera dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pemakaian account platform akan melakukan desain one size fits all atau sebaliknya melakukan spesialisasi sempurna.Bisa saja dalam perkembangan nantinya, semakin beragamnya aktivitas ekonomi daerah yang tertinggal akan bergerak dari one size fits all menjadi spesialisasi. Perubahan permintaan seperti itu akan menimbulkan perubahan orientasi dalam investasi infrastruktur. Ragam permintaan akan account platform akan berbeda antara fokus pembangunan pada sektor industri,pertanian, atau jasa.

    Perekonomian branchless akan sangat penting dalam meningkatkan daya saing perekonomian berbasis perekonomian rakyat di masa depan. Bukannya tidak mungkin jika nantinya akan muncul banyak usaha kecil dan menengah serta koperasi yang kemudian menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia di era perdagangan bebas!

  • Asap Tembakau juga “Ayat” Tuhan

    Asap Tembakau juga “Ayat” Tuhan
    M. Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
    Sumber : SINDO, 20Februari 2012
    Saya tiba di Desa Sukorejo, Weleri, Kendal, Jawa Tengah, siang hari. Saat masih ada di Kota Semarang tadi, udara terasa panas, tapi di Sukorejo sejuk dan malamnya dingin minta ampun.

    Desa itu terletak di lereng Gunung Perahu yang memproduksi tembakau dan sayur-sayuran,jagung dan buahbuah jambu, yang kelihatan agak istimewa. Ada juga kebun kakao di sana sini, di ladang-ladang yang udaranya dingin itu.Semuanya milik petani setempat. Kakao mereka rusak dimakan hama yang menggagalkan panenan yang didambakan petani. Kerusakan terjadi pada buah. Buah muda sakit dan busuk. Buah setengah tua sakit dan membusuk. Begitu buah yang sudah tua, yang merah warnanya.

    Ketika busuk, tampak warga agak gelap, lalu mengering, dan tak berguna buat apa pun. Ibu Gretha, dengan dua asistennya, membantu petani memerangi hama itu. Dua asisten menyiapkan tembakau untuk dibakar dengan cara khusus dan asapnya disemprotkan pada pohon-pohon kakao yang sakit tadi. Itulah pengobatan dengan menggunakan asap tembakau, yang dikerjakan dengan cekatan. Mas Sidiq dan Mas Aziz,dua asisten andalan Bu Gretha,”memetakan” lokasi untuk menentukan dari sudut mana permulaan pengasapan dimulai.

    Mereka berkonsultasi dengan Bu Gretha dari dulu tentang pengobatan tanaman itu. Beberapa petani setempat sibuk membantu menempatkan dan kemudian memindahmindah alat pembakaran tembakau dari satu tempat ke tempat lain di kebun tersebut. Petani, pemilik kebun itu, pernah menceritakan kerusakan tanaman kakaonya kepada Bu Gretha yang dengan ringan hati menolongnya. Pak Taufik, kepala desa,juga hadir di lokasi. Sebelumnya sudah dijelaskan kepada para petani bahwa asap tembakau mampu mengusir jenis-jenis tanaman yang merusak ladang mereka.

    Selebihnya, asap tembakau mempersubur tanah. Di Kalimantan Tengah Bu Gretha sudah melakukan suatu “uji coba”.Tanah gambut yang kering dan gersang— yang tak bisa diharap banyak— berkat sentuhan pengasapan tembakau, tanah berubah menjadi subur. Ada tanaman singkong, kacang tanah, tembakau, dan sayur-sayuran yang bagus sekali perkembangannya. Ibu Gretha mengatakan bahwa produksi pertanian bisa meningkat tiga kali lipat dari biasanya sesudah tanah diasapi dengan asap tembakau tadi. Malam sebelumnya petani setempat datang ke klinik Bu Gretha dan mereka berdialog tentang tanaman.

    Bagi orang yang kritis dan sangat sensitif, akan segera terasa bahwa mungkin Bu Gretha sedang mengiklankan produknya. Tapi bukan itu faktanya. Saya bisa memastikan—mungkin lebih bagus “menjamin”— demi kebenaran bahwa dia tidak sedang pasang iklan. Dia tak punya produk siap pakai yang tiap saat tersedia.Produknya tidak untuk dijual.Sampai saat ini apa yang dilakukannya ialah meyakinkan orang banyak, di sana-sini, dengan memberikan bukti nyata bahwa tanaman yang diasapi tembakau dan yang tidak sangat beda dilihat dari segi kesuburan dan kesehatan maupun produknya.

    Sesudah diasapi, tanaman menjadi jauh lebih subur, lebih sehat, dan produksinya lebih banyak.Pendek kata, tanaman yang diasapi itu lebih sehat karena asap tadi membunuh hama yang merusaknya. Selebihnya,sekali lagi,tanah menjadi lebih subur dan asap tembakau yang dibakar itu, di udara,tak meninggalkan setitik pun kotoran. Tak ada dan tak bakal ada polusi udara yang diakibatkan oleh pengasapan tembakau tadi. Tanaman sangat membutuhkan asap tersebut. Tanaman yang parah sekali sakitnya membutuhkan obat—pengasapan tadi—lebih banyak dibandingkan tanaman yang sakitnya relatif lebih ringan,lebih terbatas.

    Saya sangat awam di bidang pengobatan tanaman meskipun saya memiliki keterampilan alami bercocok tanam dan mengurus tanaman. Apa yang saya tanam selalu subur dan buahnya memuaskan. Tapi mengobati tanaman, boleh dibilang, saya orang “buta huruf”. Maka di tengah kesibukan petani, Bu Gretha, dan asisten-asistennya tadi, saya berusaha selalu dekat, mengamati secara cermat, dan bertanya. Bu Gretha menjelaskan perputaran asap dan mekanisme alami penyembuhan tanaman kakao yang sakit tadi.

    Asap itu memiliki partikel-partikel yang kecil dan karena kecilnya, dia bisa menembus suatu objek dengan cepat sekali.Partikel pada penyakit yang parah memiliki sifat “menerima” kedatangan asap tadi. Elektromagnetiknya besar.Tapi karena sakit,partikel itu terasa padat dan seolah menolak asap tadi. Maka, kata Bu Gretha, asap berembus dulu ke arah lain, ke bagian-bagian tanaman yang penyakitnya lebih sedikit. Proses penyembuhan bermula di situ.Tapi tak lama kemudian, asap pun beralih ke tempat di mana terdapat penyakit yang tanamannya lebih banyak.

    Pelan-pelan, partikel-partikel asap itu terserap oleh bagian yang partikelnya padat tadi dan asap pun kemudian berputar lagi ke tempat lain. Saat itu,tanaman yang sakitnya sedikit dan yang sakitnya banyak sudah hampir sama saja. Keduanya sudah mampu menyerap asap dengan baik dan pelan-pelan penyembuhan terjadi. Tanaman akan sembuh total dan buahnya akan sehat. Asap tembakau bukan hanya untuk menyehatkan tanaman.

    Penyembuhan tanaman ditempuh Bu Gretha baru beberapa saat akhir-akhir ini. Sebelumnya, berpuluh tahun lalu,dia sudahgigih menyembuhkan orangorang sakit kanker, yang tak mampu membayar biaya rumah sakit yang mahal, atau membantu para penderita kanker yang sudah sangat parah, yang para dokter tak mampu menanganinya. Di tangan Bu Gretha, pasien yang divonis dokter hanya akan mampu bertahan hidup selama enam bulan ternyata sembuh total dan segar bugar. Penyembuhan dengan asap tembakau ini membuat saya merasa perlu mencatat.

    Agaknya atau “mungkin”atau “rupanya”, bisa juga “ternyata”,ilmuilmu Allah dalam bidang kesehatan belum seluruhnya dilimpahkan kepada dunia kesehatan modern. Allah hanya membukakan sedikit rahasia ilmu-Nya kepada mereka. Selebihnya diberikan pada kemampuan “tradisional”, yang jauh lebih tua. Orang Indian di Amerika sejak berabad-abad lalu menggunakan tembakau sebagai obat. Kita, di kampung, menggunakan tembakau untuk berbagai jenis obat pula. Tembakau bukan racun terkutuk. Tuhan menciptakannya untuk sesuatu yang mulia bagi kemanusiaan.

    Maka ada baiknya para dokter bersikap rendah hati di hadapan Allah untuk memahami bahwa bukti empirik mengenai tembakau sebagai obat itu ternyata juga sebuah “ayat”yang layak dibaca dengan hati. Syukur dengan sedikit hati-hati.

  • Neraca Pembayaran 2011

    Neraca Pembayaran 2011
    Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo, PENGAMAT EKONOMI
    Sumber : SINDO, 20Februari 2012
    Beberapa waktu lalu Bank Indonesia melaporkan perkembangan neraca pembayaran Indonesia di kuartal keempat yang mengalami defisit.

    Defisit ini menutup perkembangan eksternal perekonomian Indonesia sepanjang 2011 yang secara keseluruhan masih mengalami surplus cukup besar yaitu USD11,9 miliar. Dengan perkembangan ini, sepanjang 2011 cadangan devisa Indonesia meningkat sehingga menjadi USD110,1 miliar dari USD96,2 miliar pada akhir 2010. Perkembangan di kuartal IV/2011 tersebut membuat berbagai pihak di pemerintahan dan sebagian pengamat merasa concernedsehingga menteri keuangan baru-baru ini menyatakan, pemerintah mewaspadai perkembangan neraca pembayaran.

    Agar tidak menimbulkan komentar yang bersifat ikut-ikutan yang pada umumnya menunjukkan kekhawatiran terhadap perkembangan eksternal itu, saya mencoba untuk melihat dari sisi lain. Pada 2011 sebetulnya ekspor Indonesia mengalami perkembangan yang sangat menggembirakan yaitu mencapai lebih dari USD203 miliar (data BPS tersebut sedikit berbeda dengan data Bank Indonesia yang mencatat ekspor 2011 sebesar USD201 miliar).Perkembangan semacam ini akhirnya menggambarkan suatu kinerja ekspor yang boleh dikatakan luar biasa, terutama karena terjadi di tengah perkembangan perekonomian global yang tidak kondusif.

    Kendati demikian, perkembangan semacam ini bisa saja menjadi tampak tidak berarti karena pemerintah kemudian melihat perkembangan faktor lainnya yaitu perkembangan impor yang juga sangat tinggi. Namun, dari sisi neraca perdagangan (yaitu ekspor dikurangi impor) sebetulnya terjadi perkembangan yang positif yaitu terjadi kenaikan surplus dari sekitar USD30,6 miliar pada 2010 menjadi USD35,3 miliar pada 2011. Perkembangan menjadi sedikit berbeda jika kita melihat perkembangan transaksi berjalan yaitu neraca perdagangan yang meliputi bukan hanya ekspor dan impor barang, melainkan juga jasa-jasa serta pendapatan lainnya (net factor income).

    Transaksi berjalan tersebut, yang pada 2010 mengalami surplus sebesar USD5,144 miliar, turun pada 2011 sehingga hanya menghasilkan surplus USD2,07 miliar. Jika ditambah dengan neraca modal (yaitu modal masuk dikurangi modal keluar), neraca pembayaran Indonesia secara keseluruhan bahkan mengalami penurunan surplus dari USD30, 285 miliar menjadi USD11,856 miliar. Khusus pada kuartal ketiga dan keempat pada 2011 telah terjadi defisit sebesar USD3,960 miliar dan USD3,726 miliar.

    Dengan melihat perkembangan itu, terdapat beberapa hal yang membuat kita masih patut berbesar hati. Perkembangan ekspor yang mengalami peningkatan demikian pesat akhirnya menggambarkan potensi perekonomian Indonesia dalam melakukan penetrasi secara global. Kita tentu sering berpikir, peningkatan ekspor tersebut terutama karena peningkatan harga-harga komoditas. Kendati demikian, jika kita menilik beberapa komoditas yang ada, kesimpulan yang bisa kita ambil, memang sungguh telah terjadi peningkatan volume ekspor.

    Minyak sawit dan batubara misalnya mengalami kenaikan volume yang cukup besar karena terjadi peningkatan produksi kedua komoditas tersebut. Perkembangan ini didukung oleh semakin meluasnya kebun sawit yang mengalami panen serta semakin besarnya kapasitas produksi batubara Indonesia. Dalam beberapa waktu terakhir kita juga mengamati peningkatan volume ekspor karet karena permintaan komoditas tersebut meningkat tajam seiring kenaikan penjualan mobil secara global. Yang juga membuat kita patut berbesar hati adalah semakin berkembangnya ekspor hasil industri Indonesia.

    Dahulu ekspor hasil industri kita terutama berpusat pada tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki.Banyak pihak mengatakan, industri tersebut merupakan foot loose industry yang mudah berpindah untuk mencari biaya produksi lebih rendah. Kendati demikian, dalam perkembangan terakhir ekspor TPT Indonesia justru mengalami kenaikan kembali dan bahkan sudah lebih dari USD13 miliar, telah jauh melampaui USD10 miliar yang sebelumnya menjadi rekor ekspor industri tersebut. Namun, sekarang ini kita juga melihat bangkitnya ekspor elektronika yang bahkan nilainya bersaing ketat dengan ekspor TPT.

    Yang lebih luar biasa lagi adalah peningkatan ekspor industri automotif Indonesia. Saya melihat mobil buatan Indonesia meluncur di Timur Tengah dan bahkan di kota kecil Italia dalam perjalanan saya ke sana. Ini berarti ekspor industri automotif kita sudah semakin mengglobal dewasa ini. Karena itu, peningkatan yang sangat tajam dari ekspor kita tidaklah hanya terkonsentrasi pada beberapa produk saja, tapi sudah sangat luas cakupannya, atau yang sering disebut sebagai broad based. Dengan melihat perkembangan ini, sangat mungkin ekspor Indonesia pada 2012 masih akan mengalami kenaikan meski tidak secepat tahun lalu.

    Dari sisi impor, kita melihat peningkatan yang sangat pesat dari impor barang-barang modal. Perkembangan ini menandakan terjadi peningkatan investasi, baik yang berasal dari investor dalam maupun luar negeri. Untuk investor dari luar negeri, perkembangan impor itu akan dikompensasi dengan aliran modal masuk dalam jumlah yang setara (atau bahkan mungkin lebih karena kebutuhan investasi untuk modal kerjanya). Karena pemerintah kita sangat getol mengundang masuknya investasi asing, sebetulnya sudah bisa dipastikan bahwa impor barang modal pasti akan mengalami kenaikan tajam. Namun, karena impor ini diimbangi oleh masuknya modal (dalam neraca modal), sebetulnya yang terjadi adalah aliran modal yang tidak menimbulkan utang atau yang disebut dengan non-debt creating flows.

    Kenaikan impor oleh faktor ini seharusnya membuat kita bergembira dan bukan bersedih atau bahkan khawatir. Jika kita melihat aliran modal langsung (PMA) sepanjang 2011 mencapai USD10,437 miliar, sebetulnya jika tidak ada PMA tersebut, neraca perdagangan kita akan mengalami surplus lebih besar yaitu sekitar USD46 miliar, lebih dari USD35 miliar yang terjadi saat ini. Dengan melihat perkembangan tersebut, defisit yang terjadi pada kuartal ketiga dan keempat pada 2011 lebih karena terjadi aliran balik dari investasi portofolio yang tertanam di Indonesia.

    Perkembangan tersebut pada hakikatnya tidak akan memengaruhi perkembangan sektor riil sehingga secara fundamental perekonomian kita bisa dikatakan masih sangat sehat. Dengan melihat perkembangan rating Indonesia yang mengalami peningkatan menjadi investment grade oleh lembaga pemeringkat Fitch and Moody’s, kita bisa berharap akan terjadi aliran modal balik kembali masuk ke Indonesia untuk masuk dalam aset-aset keuangan Indonesia. Itulah sebabnya dalam beberapa minggu terakhir kita mulai melihat kenaikan indeks harga saham gabungan (IHSG) meski perkembangannya mengalami pasang- surut yang cukup besar.

    Jika aliran dana masuk tersebut berlangsung sebagaimana terjadi pada semester pertama tahun lalu, bisa dipastikan neraca pembayaran Indonesia akan kembali mengalami surplus sehingga cadangan devisa kita akan mengalami kenaikan, sementara nilai rupiah juga akan cenderung menguat.

  • Amandemen UUD dan Kapitalisme

    Amandemen UUD dan Kapitalisme
    Imam Munadjat, KETUA HARIAN SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA CENTRE FOR ISLAMIC FINANCE STUDIES UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA) SEMARANG     
    Sumber : SUARA MERDEKA, 20Februari 2012
    “Amendemen UUD 1945 secara tersembunyi telah memasukkan benih sistem perekonomian kapitalistik “

    PADA 31 Januari 2012  harian ini memberitakan simpulan acara Pekan Konstitusi, ’’UUD 1945, Amendemen, dan Masa Depan Bangsa’’ di kantor International Conference of Islamic Scholars (ICIS) yang menyebutkan bahwa perubahan pasal-pasal UUD 1945 melalui amendemen 2002 menyebabkan bangsa kita kurang mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan, serta kurang memperoleh keadilan dan kemakmuran.

    Menurut Try Sutrisno, yang sangat terasa adalah dampak amendemen Pasal 33 UUD 1945 karena menyebabkan perekonomian nasional cenderung dikuasai pihak asing dan kehidupan rakyat makin tertekan. Keluhan masyarakat antara lain mereka merasa ada penjajahan baru melalui dominasi asing dalam bidang ekonomi. Din Syamsuddin mencontohkan dominasi asing yang menggusur petani, seperti impor beras, bawang, dan kentang pada musim panen sehingga petani merugi besar.

    Amendemen UUD pada 2002 adalah titik awal pergeseran keberpihakan sistem perekonomian nasional. Adalah Sri Sultan HB X yang mendasarkan pendapatnya itu pada kenyataan di lapangan bahwa perekonomian nasional berdasarkan UUD 1945 sebelum diamendemen jelas berpihak pada rakyat melalui sistem ekonomi kerakyatannya.

    Namun amendemen tersebut secara tersembunyi telah memasukkan benih sistem perekonomian kapitalistik yang berakibat tidak dapat dihindarinya dominasi kapitalisme pada penjabaran lebih lanjut UU atau peraturan lain, baik sebagai penjelasan maupun petunjuk pelaksanaannya di lapangan.

    Sesuai dengan filosofinya, sasaran akhir kapitalisme adalah akumulasi kapital atau modal. Karenanya sangat wajar bila dengan orientasi tersebut kekuatan modal kemudian menjadi ukuran dalam tiap gerak langkah anak bangsa ini. Termasuk ukuran menentukan kriteria kewenangan seseorang, yang dalam bahasa Megawati, bisa menjadi ukuran layak tidaknya seseorang mencalonkan diri sebagai pemimpin.

    Sistem ekonomi kapitalisme yang menyandarkan geraknya pada mekanisme pasar bebas berdampak pada lahirnya pemikiran pragmatis: bebas dalam kepemilikan, bebas dalam pemanfaatan, dan bebas dalam pengembangan kepemilikan. Semua berfokus pada akumulasi dan pengembangan modal. Keuntungan menjadi target, entah melalui sewa, upah, atau bunga.

    Bahkan untuk menuruti keserakahannya itu, menurut H Dwi Condro Triono PhD dalam ceramahnya di Semarang beberapa waktu lalu, kaum kapitalis melancarkan gerakannya melalui penguasaan bahan baku dengan proses konglomerasi dari hulu ke hilir: menjadi pengusaha untuk dapat menguasai negara.

    Sejak Awal

    Pertanyaannya, apakah karena amendemen itu atau karena kita tidak sejak awal menjabarkan operasional Pasal 33 UUD 1945 sehingga sistem ekonomi kapitalisme merambah negeri ini dalam berbagai sektor kehidupan?

    Sistem perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip efisien, mandiri, kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dengan prinsip itu, perekonomian nasional dibangun atas dasar nilai-nilai luhur bangsa dan moral yang bersumber dari agama, serta sejalan dengan prinsip demokrasi ekonomi nasional (Swasono, 2010; Rosidi, 2011).

    Dalam perjalanannya, bangsa ini belum mampu merumuskan nilai-nilai demokrasi ekonomi sebagaimana substansi Pasal 33 dalam operasional aplikatif untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan sebagai bangsa mandiri yang hidup dalam keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Salah satu penyebabnya karena kita lebih memercayakan konsep pembangunan ekonomi nasionalnya pada gagasan dan konsep bangsa lain, yang dari berbagai aspeknya punya latar belakang berbeda dari ciri, nilai, dan budaya kita.

    Akibatnya, sistem ekonomi yang diadopsi (bukan diadaptasikan) bertentangan dengan ideologi nasional karena yang diterapkan adalah sistem ekonomi berbasis kompetisi, bukan atas asas kekeluargaan dengan paham kebersamaan (baik brotherhood atau ukhuwah, maupun mutualisme atau berjamaah) serta ’’bebas dari nilai’’ agama dan moral.

    Pasar bebas yang dibingkai dalam wadah globalisasi zaman ini sebenarnya tidak berbeda dari kolonialisasi bangsa barat terhadap bangsa Asia-Afrika beberapa abad silam itu. Bedanya, dulu  penjajahan dilakukan dengan pendudukan dan penundukan nyata suatu negara oleh negara lain, sementara kini kolonialisasi modern tidak perlu pendudukan fisik tapi akibatnya bisa lebih parah, melalui aturan pemberlakuan pasar bebas.

    Efek ekonomi pasar bebas menciptakan sebuah bentuk kompetisi ekonomi yang menggiring munculnya economized yakni lahirnya dunia yang tidak ramah, tidak demokratis, dan tidak manusiawi demi memenuhi ambisi dan keuntungan yang lebih tinggi.

    Realitas ini akan terus berkembang. Kaum kapitalis akan terus menjajah, merealisasikan idealisme dan perjuangan ideologi itu demi terwujudnya satu dunia dengan sistem ekonomi yang mereka kembangkan. Mereka akan makin bersemangat ketika ternyata saya dan Anda, anak bangsa ini,  menerima ideologi mereka dan menerapkannya sebagai sistem ekonomi yang mengatur kehidupan bangsa. ●

  • Melogikakan ISI Menjadi ISBI

    Melogikakan ISI Menjadi ISBI
    Purnawan Andra, ALUMNUS JURUSAN TARI FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN ISI SURAKARTA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 20Februari 2012
    GAGASAN mengubah Institut Seni Indonesia (ISI) menjadi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) sebagaimana gagasan Mendikbud M Nuh adalah polemik yang tiba-tiba menggelinding tak keruan di antara karut-marut peristiwa sosial negara kita yang juga makin tak jelas juntrungnya. Gagasan itu seperti mendasarkan pada logika pertanyaan lelucon bagi anak kecil: dahulu mana antara telur dan ayam?

    Seni adalah bagian dari kebudayaan, berupa wujud cipta karya rasa manusia yang digunakan dalam masyarakatnya, dalam waktu cukup lama. Seni dan budaya bagai sisi mata uang, sama-sama membicarakan hasil rasa, cipta, dan karsa buah peradaban manusia. Budaya sebagai ilmu yang berdiri sendiri sesungguhnya telah terepresentasikan dalam berbagai jurusan humanologi, seperti seperti seni sastra, tari, musik, dan visual.

    Hal itu mengartikan institusi pendidikan seni tidak dapat lepaskan dari aspek atau unsur humanologi karena basis seni terletak pada kehidupan masyarakat. Artinya ketika kita membicarakan kebudayaan berarti membicarakan produk seni dan bukan seni. Begitu pun kemudian dikenal adanya produk benda (tangible) dan bukan benda (intangible). Dengannya, mempelajari seni budaya suatu bangsa berarti memahami nilai, perilaku, etika, dan mindset yang terwujud dalam ilmu-ilmu humaniora seperti antropologi, sosiologi, etnografi,  termasuk seni.

    Namun selama ini kebudayaan tereduksi maknanya, menyempit dan dipahami sebagai bentuk kesenian. Padahal, seturut Soediro Satoto (2003) seni merupakan lembaga sosial, dokumentasi sosial, cermin sosial, moral sosial, eksperimen sosial, sistem sosial, sistem semiotik, baik semiotik sosial maupun budaya yang amat kaya nuansa makna yang terkandung dalam tanda-tanda yang terbangun oleh seni pertunjukan. Artinya, dalam mempelajari seni, maka juga harus memahami wawasan kebudayaan. Keduanya saling terkait dan menyusun satu sama lain.

    Mendikbud, yang notabene mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya rupanya menganggap ilmu kebudayaan sama dengan entrepreneurship ataupun leadership. Ilmu-ilmu tersebut memerlukan bakat, dan bakat membutuhkan instrumen untuk mencetak budayawan melalui proses eksplorasi yang sistemik.

    Inti Permasalahan

    Dalam pemikirannya, ISBI diharapkan melakukan fungsi konservasi budaya, dari menggali sampai merawat produk budaya dan seni. ISBI diharapkan dapat mempromosikan dan membangun warisan budaya. Terlebih dalam era industri kreatif saat ini, seni budaya pada akhirnya diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan bangsa.

    Pada titik ini seni budaya difungsionalisasikan secara mekanistik. Dalam analisis Purwasito (2012) fungsi budaya kemudian dianggap sejajar dengan fungsi politik dan ekonomi. Seni berada dalam wilayah pendidikan vokasi, yang dimaknai hanya sebagai keterampilan, sebuah aktivitas kreasi dan eksperimentasi. Akibatnya imaji diukur sebagai sebuah keberhasilan usaha (jasa), bukan peningkatan representasi dan refleksi nilai kemanusiaan.

    Memahami kesenian tak sekadar mencicipi kuliner, atau mengabadikan alam dalam potret yang indah. Kesenian adalah bagian dari kebudayaan, berupa cita rasa, keanggunan memahami kehidupan, dan titik kulminasi antara manusia dan lingkungannya.

    Paradigma pendidikan seni budaya ISI yang terkait dengan visi misi dan substansi kurikulumnya yang lebih kompetitif dan aplikatif, kiranya menjadi inti permasalahan yang patut segera disikapi secara riil. Pasalnya, di satu sisi hal itu akan membuktikan pembelajaran pemahaman kita atas budaya intelektual (kesenian).

    Terlebih dalam konteks saat ini, seni menegaskan dirinya sebagai bagian ilmu pengetahuan yang inter dan multidisiplin sehingga nantinya mampu mengambil bagian dalam dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat.

    Jadi, kalau hanya mengubah nama ISI menjadi ISBI tapi tak mampu mengurusi seni budaya bangsa dengan baik, ngapain?

  • Kesehatan dan Produktivitas Bangsa

    Kesehatan dan Produktivitas Bangsa
    Siti Nurhayati, PEKERJA SENI,
    ALUMNUS PASCASARJANA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA IPB
    Sumber : SUARA KARYA, 20Februari 2012
    Kesehatan sangat erat kaitannya dengan produktivitas bangsa. Salah satu faktor penentu kesehatan adalah gizi. Dalam bukunya berjudul Fortifikasi: Program Gizi Masa Depan?, Prof Soekirman, Ketua Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI) menggarisbawahi pernyataan Bank Dunia (2006). Pada waktu para pakar ekonomi terkenal dunia yang sedang berkonferensi di Copenhagen tahun 2004 ditanya oleh peserta, dari dana 50 miliar dolar AS yang disediakan untuk investasi pembangunan negara-negara berkembang, prioritas alokasi sebaiknya diberikan pada program apa?
    Mereka menjawab, prioritas pertama pada program penanggulangan HIV/AIDS. Dan, yang kedua, pada program gizi untuk menanggulangi masalah kekurangan vitamin dan mineral atau kekurangan gizi mikro.
    Uniknya, tiga di antara para pakar ekonomi di atas adalah pemenang nobel. Masalahnya, selama ini kita jarang sekali mendengar pakar ekonomi berbicara tentang masalah gizi, apalagi menjadikan masalah gizi sebagai salah satu prioritas pembangunan. Bagi banyak orang, masalah gizi dianggap sebagai masalah kesehatan semata, dan bukan masalah ekonomi ataupun masalah pembangunan.
    Banyak perencana dan pengambil kebijakan pembangunan, kurang menghargai pentingnya investasi di bidang gizi untuk pembangunan, khususnya pembangunan sumberdaya manusia (SDM). Mereka baru ramai-ramai bicara soal gizi ketika sedang terjadi bencana kelaparan dan munculnya banyak balita yang gizi buruk akibat kurang energi (kalori) dan protein yang dikenal dengan Kurang Energi Protein (KEP). Sehingga menurut Prof Soekirman, perlu adanya transformasi “bahasa gizi” ke dalam “bahasa ekonomi”.
    Secara ekonomis, membiarkan anggota keluarga atau masyarakat mempunyai masalah gizi berarti membiarkan potensi keluarga, masyarakat atau bahkan bangsa hilang begitu saja. Potensi itu dapat berupa pendapatan keluarga yang tidak dapat diwujudkan oleh karena anggota keluarga yang produktivitasnya rendah akibat kekurangan gizi waktu balita. Bagi suatu negara, potensi yang hilang itu dapat berupa pendapatan nasional atau PDB (Pendapatan Domestik Bruto) atau PDB. Menurut penelitian, PDB yang hilang akibat kekurangan energi protein, kurang zat besi dan kurang yodium pada anak dan dewasa di Pakistan dan Bangladesh berkisar 2-5% dari PDB.
    Keluarga dan masyarakat yang menyandang masalah gizi, maka bangsa ini akan kehilangan potensi SDM yang berkualitas. Masalah yang akan dihadapi, antara lain banyak anak tidak maju dalam pendidikan di sekolah, karena kecerdasannya berkurang. Banyak anggota masyarakat dewasa yang produktivitasnya rendah, karena pendidikan dan kecerdasannya kurang atau kemampuan kerja fisiknya juga kurang, keluarga dan pemerintah mengeluarkan biaya kesehatan yang tinggi, karena banyak warganya yang mudah jatuh sakit karena kurang gizi; serta meningkatnya angka kematian pada usia produktif sehingga merupakan penggerogotan SDM.
    Hal ini harusnya menyadarkan kita bahwa membangun masyarakat tidak cukup dengan membangun jalan, jembatan, gedung, pabrik, perkebunan dan prasarana ekonomi lainnya. Investasi di bidang prasarana ekonomi tidak akan dinikmati rakyat banyak tanpa disertai investasi yang sepadan untuk pembangunan sosial terutama di bidang pangan, gizi, kesehatan dan pendidikan.
    Terlepas dari kontroversi angka kemiskinan yang hingga kini belum usai, yang jelas kemiskinan ini hanya bisa diatasi manakala setiap individu yang masuk dalam kategori produktif, mempunyai akses ke dunia kerja. Dengan kata lain, mampu bekerja. Terungkap bahwa struktur pendidikan angkatan kerja kita sangatlah rendah. Yakni, lebih dari 63,2% angkatan kerja kita berlatar belakang pendidikan dasar, bukan pendidikan tinggi. Yang justru tertampung di dunia kerja adalah mereka yang hanya berlatar belakang pendidikan hingga tamat SD, atau tidak sekolah sama sekali.
    Berbicara kaitan gizi dan ekonomi, peraih hadiah Nobel Ekonomi, Armatya Sen, mengatakan, terjadinya gizi buruk dan kelaparan bukan semata-mata terkait kurangnya bahan pangan di suatu negara, tapi juga akibat akses pangan yang rendah serta lemahnya daya beli masyarakat. Artinya, ketersediaan pangan secara nasional tidak cukup untuk menjamin kecukupan pangan di tingkat rumah tangga.
    Oleh karena itu, seperti temuan Sen, tidak ada jaminan bahwa masalah kurang pangan otomatis terhindari walau makanan berlimpah. Sebab, masalah kelaparan terkait dengan soal apakah harganya terjangkau atau barang terkait bisa diperoleh karena distribusinya yang baik. Sen, dalam bukunya Inequality Reexamined (1992) menandaskan tentang pentingnya akses dan aspek kebebasan. Sen memberi contoh, seorang yang berpuasa mungkin memiliki kemiripan dalam hal jumlah makanan dan gizi dibandingkan dengan mereka yang miskin dan terpaksa lapar. Namun, mereka yang berpuasa dan tidak miskin memiliki kapabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang miskin (yang pertama dapat memilih untuk makan enak, sedangkan yang kedua tidak).
    Itu sebabnya, kemiskinan harus dipandang dalam konsep ini. Orang miskin itu menjadi miskin karena ruang kapabilitas mereka kecil, bukan karena mereka tidak memiliki barang. Dengan kata lain, orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Implikasinya, kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, tetapi karena akses yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut.
    Bisa dibayangkan, jika untuk makan saja sulit, apalagi menyediakan kebutuhan kadar gizi yang baik bagi anak-anak? Persoalan keterbelakangan kualitas gizi menghantui banyak keluarga. Masyarakat miskin makin jauh dari kehidupan yang standar. Dengan demikian, akses kesehatan pun menjadi hal yang langka.