Category: Uncategorized

  • Ketika Wanita Memimpin

    Ketika Wanita Memimpin
    Joseph S. Nye, MANTAN ASISTEN MENTERI LUAR NEGERI AS;
    GURU BESAR PADA HARVARD UNIVERSITY, PENGARANG BUKU THE FUTURE OF POWER
    Sumber : KORAN TEMPO, 20Februari 2012
    Akankah dunia lebih damai jika wanita yang memimpin? Sebuah buku yang baru saja diterbitkan karya psikolog Harvard University, Steven Pinker, mengatakan jawabannya adalah “ya”.
    Dalam bukunya yang berjudul The Better Angels of Our Nature, Pinker menyajikan data yang menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan manusia, walaupun masih mengancam kita saat ini, sudah berangsur-angsur menurun. Lagi pula, demikian katanya, ”dalam bentang sejarah yang panjang ini”, wanita selalu dan tetap akan merupakan kekuatan pendamai. Perang tradisional antar-suku merupakan kerjaan laki-laki. Wanita-wanita di antara mereka tidak pernah bergabung bersama dan beramai-beramai menyerang desa-desa tetangga. Sebagai ibu, wanita memiliki insentif evolusi untuk memelihara perdamaian guna mengasuh anak-anak mereka dan memastikan mereka bisa bertahan sampai generasi berikutnya.
    Mereka yang skeptis langsung menjawab bahwa wanita tidak pernah melancarkan perang karena mereka tidak memegang tampuk kekuasaan. Jika diberdayakan sebagai pemimpin, maka keadaan dunia yang anarkistis itu bakal memaksa mereka mengambil keputusan berperang, sama seperti yang dilakukan laki-laki. Margaret Thatcher, Golda Meir, dan Indira Gandhi adalah wanita-wanita yang berkuasa; semuanya telah membawa negeri mereka ke dalam kancah perang.
    Tapi juga benar bahwa wanita-wanita ini naik ke puncak kekuasaan mengikuti irama aturan politik dari “suatu dunia laki-laki”. Keberhasilan mereka dalam mengkonfrontasikan nilai-nilai yang dibawakan laki-laki itulah yang sebenarnya memungkinkan mereka naik ke jenjang kepemimpinan. Dalam suatu dunia di mana wanita diberi kekuasaan yang sebanding (separuh) dari yang dipegang laki-laki, maka mereka mungkin bakal menunjukkan perilaku yang berbeda setelah ikut memegang kekuasaan.
    Karena itu, kita dihadapkan pada pertanyaan yang lebih mendasar: apakah gender itu memang penting dalam kepemimpinan? Menurut stereotipe, berbagai studi psikologi menunjukkan bahwa laki-laki cenderung menggunakan apa yang dinamakan hard power of command (kekuatan keras komando), sementara wanita secara naluriah lebih cenderung pada penggunaan soft power of persuasion (kekuatan lunak persuasi). Rakyat Amerika cenderung mengaitkan kepemimpinan dengan stereotipe laki-laki yang keras, namun studi yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan semakin berhasilnya apa yang dahulu dianggap sebagai kepemimpinan “gaya feminin”.
    Dalam masyarakat berbasis-informasi, jejaring sudah menggantikan hierarki. Dalam banyak organisasi, manajemen mulai beralih ke arah “kepemimpinan yang dibagi bersama” dan “kepemimpinan yang tersebar” di mana pemimpin berada di tengah-tengah suatu lingkaran, bukan di puncak suatu piramida. Mantan Direktur Utama Google, Eric Schmidt, mengatakan bahwa ia harus memperlakukan karyawannya “dengan hati-hati dan lemah lembut”.
    Bahkan militer pun menghadapi perubahan serupa. Di Amerika Serikat, Pentagon mengatakan para instruktur angkatan bersenjata sekarang “kurang melakukan bentakan- bentakan”, karena generasi sekarang ini merespons dengan lebih baik instruktur yang memainkan “peran yang sifatnya lebih menasihati”. Keberhasilan militer melawan teroris dan kelompok-kelompok perlawanan memerlukan prajurit-prajurit yang mampu memenangkan hati dan pikiran, bukan cuma yang mampu meruntuhkan bangunan atau meremuk-redamkan seseorang.
    Mantan Presiden AS George W. Bush melukiskan, peran yang dimainkannya adalah sebagai ”pengambil keputusan”, tapi untuk kepemimpinan saat ini diperlukan lebih dari sekadar itu. Para pemimpin saat ini harus mampu memanfaatkan jejaring, berkolaborasi, dan mendorong keikutsertaan. Gaya non-hierarkis dan keterampilan relasional yang dimiliki wanita cocok dengan kepemimpinan dalam dunia baru organisasi dan kelompok berbasis informasi saat ini yang, rata-rata, kurang siap dihadapi laki-laki.
    Pada masa lalu, ketika wanita berjuang dengan susah payah untuk mencapai puncak suatu organisasi, mereka sering harus mengadopsi “gaya maskulin” yang melanggar norma sosial ”kelembutan” wanita. Tapi sekarang, dengan ledakan revolusi informasi dan demokratisasi yang menuntut kepemimpinan yang lebih partisipatif, “gaya feminin” merupakan jalan menuju kepemimpinan yang efektif. Untuk menjadi pemimpin yang berhasil, laki-laki tidak hanya harus menghargai gaya yang ada pada kolega-kolega wanitanya, tapi juga harus menguasai keterampilan yang sama.
    Ini adalah kecenderungan, (belum) merupakan kenyataan. Wanita masih tertinggal dalam merebut posisi kepemimpinan. Mereka memegang hanya 5 persen posisi puncak dalam dunia usaha dan minoritas dalam posisi di dewan-dewan legislatif pilihan rakyat (cuma 16 persen di AS, misalnya, dibandingkan dengan 45 persen di Swedia). Satu studi mengenai 1.941 orang penguasa di negara-negara merdeka selama abad ke-20 menemukan hanya 27 wanita, sekitar separuh di antara mereka naik ke puncak kekuasaan sebagai anak dari seorang penguasa laki-laki. Kurang dari 1 persen penguasa di abad ke-20 adalah wanita yang memperoleh kedudukan itu atas usaha mereka sendiri.
    Karena itu, dengan kearifan konvensional baru dalam studi mengenai kepemimpinan yang mengatakan bahwa memasuki abad informasi berarti memasuki dunia wanita, mengapa wanita tidak juga mencapai kemajuan yang lebih berarti?
    Kurangnya pengalaman, tanggung jawab utama sebagai pengasuh, gaya tawar-menawar, dan diskriminasi yang sudah berlangsung lama, semuanya membantu menjelaskan kesenjangan gender ini. Jalur karier yang tradisional dan norma-norma budaya yang membentuk dan memperkokohnya jelas memungkinkan wanita memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk duduk di posisi puncak kepemimpinan dalam banyak konteks organisatoris.
    Penelitian menunjukkan bahwa, bahkan dalam masyarakat yang demokratis, wanita menghadapi risiko sosial yang lebih besar daripada laki-laki ketika bernegosiasi untuk mendapatkan sumber daya berkaitan dengan karier, seperti dalam hal pengupahan. Wanita umumnya tidak terintegrasi dengan baik ke dalam jejaring laki-laki yang mendominasi organisasi, dan stereotipe gender masih menghambat upaya mengatasi rintangan-rintangan itu.
    Bias ini mulai runtuh dalam masyarakat berbasis informasi, tapi mereka keliru mengidentifikasi jenis baru kepemimpinan yang kita butuhkan dalam abad informasi ini semata-mata sebagai “suatu dunia wanita”. Bahkan stereotipe yang positif pun tidak baik untuk wanita, laki-laki, dan kepemimpinan yang efektif.
    Pemimpin harus dipandang tidak dalam arti komando yang heroik, melainkan sebagai pendorong partisipasi dalam suatu organisasi, kelompok, negara, atau jejaring. Persoalan mengenai gaya yang pantas–kapan mesti menggunakan keterampilan keras dan kapan keterampilan lunak–sama relevannya bagi laki-laki maupun wanita, dan tidak boleh dikaburkan oleh stereotipe gender tradisional. Dalam beberapa hal, laki-laki perlu bertindak lebih “seperti wanita”. Dan dalam hal-hal lainnya, wanita perlu bertindak lebih “seperti laki-laki”.
    Pilihan-pilihan utama yang harus dijatuhkan mengenai perang dan perdamaian di masa depan bakal bergantung bukan pada gender, melainkan pada bagaimana seorang pemimpin menggabungkan keterampilan kekuatan keras dan kekuatan lunak yang menghasilkan smart strategies(strategi-strategi yang cerdas). Baik laki-laki maupun wanita akan memutuskan semua itu. Tapi Pinker mungkin benar ketika ia mengatakan bahwa bagian-bagian dunia yang lamban mengurangi kekerasan adalah juga bagian-bagian dunia yang lamban memberdayakan wanita. ●
  • Pekerjaan Rumah Ketua Baru MA

    Pekerjaan Rumah Ketua Baru MA
    Hifdzil Alim, PENELITI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI
    FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA
    Sumber : KORAN TEMPO, 20Februari 2012
    Mahkamah Agung punya ketua baru. Mantan Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung Hatta Ali terpilih sebagai ketua baru lembaga yang menjadi puncak lembaga peradilan itu. Hatta Ali terpilih menjadi ketua setelah mengantongi 28 suara dari 54 suara Hakim Agung yang diperebutkan. Dia mengalahkan kandidat Ketua MA lainnya, seperti Ahmad Kamil yang memperoleh 15 suara, Abdul Kadir Mappong (4 suara), Mohammad Saleh (3 suara), dan Paulus Effendi Lotulung (1 suara). Ada tiga suara yang dinyatakan tidak sah (Tempo.co, 8 Februari 2012).
    Banyak kalangan berharap terpilihnya Hatta Ali sebagai Ketua MA mampu membawa lembaga hukum tersebut menjadi muara yang menampung proses peradilan bersih dan berwibawa. Hanya, sepertinya tak mudah bagi ketua baru MA asal Sulawesi Selatan itu mewujudkan MA sesuai dengan harapan banyak kalangan. Pasalnya, ada banyak “pekerjaan rumah” di MA yang belum kelar hingga sekarang.
    Pekerjaan Rumah
    Sebelum proses pilah-pilih ketua baru, MA bukanlah lembaga peradilan yang dianggap bersih 100 persen. Banyak dugaan masalah menerpa. Misalnya, soal tumpukan perkara hingga syak wasangka terjeratnya MA oleh kelompok mafia hukum. Bahkan, sesaat sebelum perhelatan pemilihan nakhoda baru, MA dihujani isu tak sedap. Kelompok mafia masuk dalam serangkaian kegiatan pemilihan. Selentingan adanya prasangka jual-beli suara untuk kursi Ketua MA dilontarkan oleh salah satu perkumpulan advokat. Duit sebesar Rp 1-5 miliar untuk satu suara yang diperuntukkan bagi hakim agung yang mau memilih kandidat tertentu disediakan oleh kelompok pemodal pendukung salah satu calon.
    Meski kebenaran sangkaan dari perkumpulan advokat tersebut harus dibuktikan terlebih dulu, paling tidak sangkaan itu menjadi catatan bahwa ada masalah serius yang sedang melanda MA. Kelompok mafia hukum dan pemodal sedang mengepung MA. Selanjutnya, catatan buruk MA dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi terekam di benak publik. Sebab, MA sudah berani membebaskan terdakwa korupsi dalam 40 perkara korupsi (www.mahkamahagung.go.id). Dari sudut pandang sebagian besar masyarakat, membebaskan terdakwa korupsi adalah dosa besar yang sulit diampuni.
    Tak hanya di internal MA, sebagai muara dari lembaga peradilan yang berwenang mengoreksi lembaga peradilan di bawahnya, keberadaan beberapa jenjang lembaga peradilan di bawah koordinasi MA juga belum beres. Sebut saja Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pada 2011, reputasi Pengadilan Tipikor di beberapa daerah anjlok gara-gara menerbitkan putusan bebas bagi terdakwa korupsi.
    Berdasarkan catatan, Pengadilan Tipikor Surabaya membebaskan 21 terdakwa korupsi. Kemudian Pengadilan Tipikor Samarinda menjatuhkan vonis bebas bagi 14 terdakwa korupsi. Dua kepala daerah dan satu wakil kepala daerah diberi angin kebebasan oleh Pengadilan Tipikor Samarinda. Adapun Pengadilan Tipikor Semarang sudah membebaskan dua terdakwa korupsi.
    Aksi beberapa Pengadilan Tipikor yang membebaskan para terdakwa korupsi tersebut diakui atau tidak telah mengancam runtuhnya miniatur keberhasilan penegakan hukum antikorupsi yang sebelumnya didirikan oleh Pengadilan Tipikor sendiri (Koran Tempo, 12 November 2011). Sebenarnya, akibat yang lebih parah dari kerapnya Pengadilan Tipikor membebaskan terdakwa korupsi adalah potensi lahirnya ketidakpercayaan publik terhadap Pengadilan Tipikor.
    Ketidakpercayaan publik akan memberi masalah turunan berupa tindakan masyarakat yang akan main hakim sendiri. Berat rasanya membayangkan tindakan main hakim sendiri dari masyarakat akan menimbulkan keadaan yang chaos di mana-mana. Hukum negara tak lagi diakui. Rakyat memilih jalan sendiri dalam menciptakan rasa keadilan. Jika sudah begini, lalu apa artinya MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya? Beberapa hal buruk di atas menjadi pekerjaan rumah bagi ketua baru MA. Hatta Ali perlu merumuskan strategi yang jitu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah MA.
    Turun Tangan
    Ketua baru MA harus turun tangan menyelesaikan pekerjaan rumah MA. Setidaknya ada empat langkah yang mesti diambil. Pertama, membersihkan hakim nakal, baik hakim di lembaga peradilan di bawah MA–termasuk hakim Tipikor di semua jenjang peradilan–maupun di lingkungan hakim agung sendiri.
    Program pembersihan hakim nakal tak boleh hanya dijadikan pencitraan semata. Lagi pula, Hatta Ali, melalui pidato yang dia sampaikan setelah terpilih, menjanjikan adanya hakim yang bersih di semua lembaga peradilan. “Tak ingin lagi ada hakim yang melakukan penyimpangan,” begitu ujarnya (Tempo.co, 8 Februari 2012).
    Kedua, setelah menyapu bersih hakim agung di MA dan hakim di lembaga peradilan di bawahnya, harus dibentuk sebuah sistem integritas yang kuat bagi semua hakim dan diterapkan di semua jenjang lembaga peradilan. Contohnya, apabila ada oknum hakim yang diduga saja menerima bingkisan dari pihak beperkara ataupun penasihat hukumnya, atau dari pihak lainnya, si oknum hakim tersebut harus dinonaktifkan sementara. Setelah pemeriksaan dilakukan dan terbukti ada tindak pidana korupsi dari perilaku oknum hakim itu, langkah memberhentikan permanen tak usah ragu diambil.
    Pada konteks tersebut, membangun hubungan kelembagaan dengan Komisi Yudisial dan penegak hukum lainnya dalam melakukan pengawasan terhadap hakim mau tak mau harus diperkuat. Jangan lagi ada sentimen kelembagaan. Bukankah pengawasan akan lebih mudah dilaksanakan apabila ada banyak mata yang dilibatkan?
    Ketiga, khusus bagi hakim Tipikor, perlu diadakan rekrutmen hakim Tipikor dengan transparan dan akuntabel. Capaian yang ingin diraih adalah mendapatkan kualitas hakim Tipikor, bukan kuantitas. Simetris dengan langkah ini, pilihan moratorium pembentukan Pengadilan Tipikor di 458 kabupaten/kota menjadi pilihan yang rasional.
    Untuk sementara, kinerja Pengadilan Tipikor yang sudah dibentuk di 33 ibu kota provinsi hendaknya digenjot dengan serius. Jika sudah tampak keberhasilannya, tak ada salahnya mempercepat pembentukan Pengadilan Tipikor di semua daerah. Strategi ini akan membawa dua dampak secara bersamaan: menghemat anggaran dan menemukan hakim Tipikor yang berkualitas.
    Keempat, last but not least, membuat amar putusan yang adil dan menjunjung tinggi nurani masyarakat adalah langkah yang dapat mendekatkan MA ke publik. Sekaligus langkah ini akan menjadi bukti bahwa MA memang sudah mulai berhasil menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Semoga. ●
  • Pemimpin Miskin Solusi

    Pemimpin Miskin Solusi
    Victor Silaen, DOSEN FISIP, UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
    Sumber : SINAR HARAPAN, 20 Februari 2012
    Saya tak habis pikir ketika membaca berita di berbagai media nasional,               7 Februari lalu, tentang pernyataan Jubir Presiden Julian Aldrin Pasha bahwa Presiden SBY tidak bisa mengintervensi Wali Kota Bogor untuk menyelesaikan kasus GKI Yasmin. Alasannya, Presiden terhalang UU Pemerintahan Daerah.
    Terkait itu Julian juga mengatakan, sebenarnya Presiden SBY sudah mengimbau Wali Kota Bogor untuk menjalankan putusan MA yang berkekuatan hukum tetap. Hal itu terlihat dari instruksi kepada Menko Polhukam dan Mendagri sejak Desember 2011 untuk lebih intensif menangani kasus GKI Yasmin.
    Menanggapi pernyataan Julian, saya ingin memberi beberapa catatan. Pertama, faktanya hingga kini Wali Kota Bogor tetap membangkang terhadap putusan MA, juga terhadap rekomendasi Ombudsman.
    Artinya, sampai sekarang Wali Kota Bogor tetap tidak mengindahkan hak asasi jemaat GKI Yasmin untuk beribadah di lahan dan gedung gereja mereka yang sah. Pertanyaannya, siapa yang harus menegur Wali Kota Bogor? Logikanya tentu Gubernur Jawa Barat.
    Tapi, kalau Gubernur Jawa Barat juga tak mampu “menertibkan” Wali Kota Bogor, lalu pihak mana lagi yang harus bertindak? Dalam konteks ini setidaknya ada dua pihak: Mendagri dan Menko Polhukam. Nah, kalau Wali Kota tetap tak mau taat hukum, lalu pihak mana yang harus bertindak? Jawabannya jelas: Presiden.
    Berdasarkan itu, lalu mengapa SBY membuat alasan yang “mengada-ada” bahwa ia terhalang UU Pemerintahan Daerah? Bukankah itu secara tak langsung menunjukkan sikapnya yang ingin “lepas tangan”? Kalau begitu, lalu pihak mana lagi yang dapat diharapkan untuk mengatasi masalah ini?
    Tidakkah presiden adalah juga kepala negara, dan karena itu SBY seharusnya bertanggung jawab jika ada daerah di dalam negara ini yang menyimpang secara hukum? Kalau dibiarkan saja, kemudian kelak ada lagi daerah-daerah lain yang berani melawan putusan MA, tidakkah negara ini berjalan menuju kehancuran?
    Hal yang patut dipertanyakan, mengapa untuk masalah sepenting ini SBY tak pernah sekali pun berbicara langsung dengan cara, misalnya, menggelar konferensi pers? Mengapa harus Jubir Presiden yang menyampaikannya? Ataukah sebenarnya SBY menganggap masalah ini sepele? Bandingkan, misalnya, dengan kesediaan SBY berkali-kali menggelar konferensi pers untuk bicara soal Partai Demokrat.
    Bandingkan juga dengan ketegasannya tampil di depan pers untuk menyampaikan pesan-pesan penting terkait tewasnya seorang praja IPDN, Cliff Muntu (2007), dan diculiknya bocah, Raisya (2007).
    Pertanyaan lain, lantas apa artinya janji SBY kepada pemimpin PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) yang diucapkannya di rumahnya sendiri, di Cikeas, dalam sebuah pertemuan khusus pada 16 Desember 2011?
    Saat itu, menurut Sekretaris Umum PGI Pendeta Gomar Gultom, SBY berjanji akan “turun tangan langsung untuk menyelesaikan masalah GKI Yasmin”. Sudah lebih sebulan berlalu, mana buktinya? Dapatkah, atas dasar itu, kita katakan SBY ingkar janji?
    Sekarang saya ingin mengaitkan soal “ketidakbisaan SBY mengintervensi Wali Kota Bogor” dengan keterangan pers yang pernah disampaikan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, Daniel Sparringa, terkait reshuffle kabinet awal Oktober 2011.
    Gaya kepemimpinan Presiden SBY, menurut Sparringa, akan diubah. Dengan gaya kepemimpinan baru nanti, Presiden akan tidak segan-segan mengintervensi para pejabat di bawah menteri. Selain itu, Presiden juga akan meminta hal sama dilakukan seluruh pejabat pemerintah pusat dan daerah, yang pada intinya akan berjuang untuk rakyat.
    “Presiden sendiri mengatakan, gaya memimpinnya juga akan berubah, gaya memimpin menteri juga berubah, gaya birokrat di tingkat Dirjen juga berubah, dan seterusnya hingga gubernur, bupati, juga wali kota. Jadi, pesan Presiden sebenarnya sangat nasional, kita harus berubah,” ujar Sparringa.
    Sekarang, cobalah evaluasi: bukankah ada kontradiksi antara niat (dulu) dan kenyataan (sekarang)? Dulu SBY berjanji tak akan segan-segan melakukan intevensi, tetapi mengapa sekarang begitu mudah mengatakan tak bisa mengintervensi?
    Kalaulah SBY, seperti diterangkan Aldrin Pasha, sudah menginstruksikan kepada Mendagri dan Menko Polhukam sejak Desember 2011 untuk lebih intensif menyelesaikan masalah ini, apakah SBY juga menindaklanjutinya secara serius dengan meminta laporan sesering mungkin terhadap kedua menteri tersebut?
    Yang memprihatinkan adalah fakta berikut ini. Sejak Desember 2011 sampai 15 Januari 2012, jemaat GKI Yasmin masih dapat beribadah di rumah anggota jemaat (berpindah-pindah, dari satu rumah ke rumah yang lain), karena ibadah yang mereka gelar sebelumnya di trotoar dekat gereja selalu diintimidasi pihak-pihak lain.
    Namun, sejak 29 Januari lalu, mereka terpaksa beribadah di depan Istana Merdeka, Jakarta, karena ibadah di dalam rumah anggota jemaat pun (22 Januari) tak luput dari gangguan pihak-pihak lain itu.
    Pertanyaannya, bagaimana SBY menyikapi kenyataan yang memprihatinkan ini? Ataukah masalah ini dipahaminya secara sempit sebagai masalah gereja saja, sehingga begitu mudahnya dibiarkan? Tidak, ini jelas bukan masalah gereja an sich. Pertama, ini masalah kebenaran dan kepastian hukum yang dipermainkan seorang kepala daerah.
    Kalau MA sebagai lembaga pengadilan tertinggi sudah memutuskan, bukankah itu harus dipandang sebagai kebenaran hukum yang mesti diterima semua pihak tanpa kecuali? Karena Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukankah demi terwujudnya kepastian hukum, putusan MA tersebut harus dilaksanakan?
    Kedua, ini juga masalah hak asasi warga negara Indonesia untuk bebas beribadah dan menggunakan rumah ibadahnya yang sudah berizin resmi. Bukankah pihak GKI Yasmin sudah pernah mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) itu pada 2006?
    Tetapi ternyata Wali Kota Diani Budiarto kemudian membatalkannya dengan alasan sepihak dan “mengada-ada”: mulanya keberatan dari warga sekitar, lalu karena GKI Yasmin berdiri di Jalan Abdullah bin Nuh yang “bernuansa” Islam (sehingga tak etis gereja berada di sana), akhirnya kembali lagi ke alasan keberatan warga sekitar.
    Pertanyaannya, bukankah dengan alasan apa pun, IMB yang sudah dikeluarkan tak dapat dibatalkan? Sesuai Perber Dua Menteri Nomor 8 dan 9, bukankah kewenangan membatalkan itu tidak diatur untuk kepala daerah?
    Akhirnya, saya ingin mengingatkan bahwa pemimpin yang baik seharusnya tak miskin solusi. Jadi, alih-alih lepas tangan dengan dalih terhalang sebuah peraturan, SBY mestinya terus-menerus mengintervensi Mendagri dan Menko Polhukam demi tegaknya wibawa hukum di negara hukum ini.
    SBY juga dapat menggelar konferensi pers khusus untuk menyampaikan sebuah pesan penting: bahwa ia selaku kepala negara tak ingin Kota Bogor menjadi negara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena pemimpinnya berani membangkang MA dan tak menghormati Ombudsman. ●
  • Kamar Gelap Korupsi

    Kamar Gelap Korupsi
    I Hery Firmansyah, DOSEN PIDANA FH UGM
    Sumber : REPUBLIKA, 20Februari 2012
    Badai kencang yang tengah menimpa partai penguasa sepertinya belum hendak surut. Misteri ketua besar dan sejumlah kata dengan penuh kode rahasia, seperti apel washington dan lain-lain, masih akan terus menjadi trending topic setidaknya untuk beberapa bulan ke depan. Walau merebaknya ketegangan hubungan antarpimpinan KPK sempat diendus media, tidak menjadikan langkah KPK surut. Suntikan motivasi untuk membuktikan bahwa para pimpinan KPK tetap solid harus dibuktikan dengan tindakan.
    Aktor baru dalam kasus Wisma Atlet SEA Games, Angelina Sondakh, semakin membuat dramatis kedudukan Demokrat sebagai sebuah mesin partai politik sang incumbent. Partai mencoba meyakinkan diri bahwa kader partai tetap berpegang satu komando kepada sang ketua umum. Namun, hal yang tidak disadari oleh mereka semua, apakah yang telah mereka lakukan merupakan keinginan rakyat banyak? Bukankah ketika menjadi wakil rakyat harusnya lebih peka terhadap jeritan suara rakyat? Pintar merasakan apa yang sedang dirasakan rakyat menjadi jauh lebih penting dan bernilai ketika menjalankan setiap amanah.
    Sudah menjadi rahasia umum dan dapat dengan mudah ditebak jika masing-masing pihak yang terseret kasus skandal korupsi ini menyatakan bahwa mereka berada di pihak yang benar. Sehingga, sulit bagi hakim yang menangani perkara ini untuk kemudian dapat benar-benar memberikan keputusan siapa yang bertanggung jawab dalam kasus yang telah merampok uang rakyat itu. Mengakui kebenaran merupakan suatu hal yang sudah langka jika tidak ingin dikatakan telah punah.
    Konfusius dalam ajarannya menya ta kan bahwa semua orang dapat menga ta kan kebenaran, namun apakah se be nar nya kebenaran itu? Menurutnya, ke benaran yang hakiki adalah ke benaran itu sendiri sehingga perlu me lihat kasus korupsi yang terjadi di negara ini de ngan mata hati masing-masing pihak (polisi, jaksa, peng acara, dan hakim) agar usaha pencarian terhadap kebenaran materiil benar-benar terwujud.
    Sistem peradilan pidana atau yang biasa disebut sebagai criminal justice system dapat diibaratkan sebuah mata rantai yang saling mengkait, baik dari proses penanganan perkara pertama kali oleh pihak kepolisian maupun sam pai kepada putusan hakim. Proses ini harus terus dikawal. Karena, kepu tus an berkualitas yang dapat meme nuhi rasa keadilan masyarakat tidak mungkin dapat terwujud. Jika, dari hulu penanganan perkara sudah terjadi hal yang didesain oleh mereka yang memiliki kepentingan pribadi dalam kasus tersebut. Sehingga, moralitas aparatur penegak hukum menjadi spot light yang penting untuk dijaga.
    Prof Taverne pernah mengatakan, “Berikan aku sepuluh jaksa dan hakim yang baik maka dengan peraturan yang buruk sekalipun akan kuciptakan ke adilan.” Pesan ini menekankan akan pentingnya tingkah laku serta sikap para penegak hukum dibandingkan de ngan kerisauan akan pembuatan atur an, apalagi jika hanya fokus pada ba nyaknya (kuantitas) aturan yang di buat.
    Kasus hukum di negeri ini, terutama korupsi, selalu saja dikaitkan dengan politik. Padahal, penanganan hukum tidak boleh sedikit pun satu ranjang dengan politik karena hal ini akan menjadikan para koruptor tidak akan pernah merasa benar-benar bersalah di mata hukum. Mereka dapat membela diri dengan mengatakan, kasus yang melibatkan mereka tidak lebih dari skenario politik yang diarahkan untuk menjatuhkan mereka dari posisi politis mereka. Bahkan, dengan santainya me ngatakan, ini adalah konsekuensi dari pekerjaan mereka dalam menjalankan amanah. Dan, dapat ditebak, mereka ber ubah menjadi sosok yang seakan terzalimi. Hal ini terus menerus dilakukan.
    Mengutip dari tulisan Prof Jimly Asshiddiqie yang setidaknya dapat memberikan suatu pemahaman dan garis pemetaan yang jelas antara urusan hukum yang kemudian dipolitisasikan (politikus hukum). Dan, melihat dari kacamata urusan politik yang terbingkai dalam ranah hukum. Maka, tampilannya haruslah menjadi seorang ilmuwan hukum. Tergelincirnya dua paham tadi dapat kita lihat dari konteks sudut pandang politikus hukum dan ilmuwan hukum itu sendiri.
    Norma hukum, bagi jurist dan ilmuwan hukum, adalah apa adanya (das sein) sedangkan bagi para politikus hukum, norma hukum adalah norma yang seharusnya (das sollen). Para jurist lebih mengutamakan norma hukum yang mengikat (ius constitutum) se dang kan para politikus hukum lebih me nekankan (ius constituendum) atau hukum yang dicita-citakan. Hal ini pa da akhirnya akan menimbulkan gangguan terhadap tertib hukum nasional kita.
    Sejatinya kecintaan terhadap tanah air serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan merupakan hal yang tidak dapat ditawar. Hal ini sering disuarakan oleh mereka para pemimpin bangsa ini, teriakan lantang penuh semangat selalu dihadirkan demi menciptakan pencitraan akan nasionalisme mereka. Namun, sangat disayangkan, banyak dari mereka yang jatuh terjerembab ke dalam fanatisme sempit ber le bihan kepada bendera kepartaian mereka, mereka tidak lagi loyal terhadap konstituen, namun lebih men de ngar kan amant partai walau kadang ber ten tangan dengan hati nurani mereka.
    Entah masih berapa lama lagi kita semua akan keluar dari kamar gelap yang menyimpan rapi sejumlah kasus korupsi. Korupsi dapat terjadi bukan hanya oleh syahwat ekonomi yang dikedepankan, namun juga oleh syahwat politik demi menikmati potonganpotongan kue kekuasaan. Korupsi da pat semakin berkembang biak de ngan baik dalam kondisi kehidupan berbangsa di mana khususnya kaum muda dengan seiring perjalanan waktu dan tuntutan hidup, menjadikan kemudian pemuda yang memiliki sikap pragmatis dan apolitis.
    Sikap pragmatis sebagian pemuda yang nantinya lebih mengedepankan kepentingan pribadi, yakni seperti ke inginan untuk kaya, terkenal, dan sukses dalam karier, hanya akan semakin menutup rapat-rapat pintu yang dapat membuka tabir kasus korupsi di negeri ini. ●
  • Upaya Dongkrak Budaya Ilmiah

    Upaya Dongkrak Budaya Ilmiah
    I Sukron Ma’mun, DOSEN SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
    Sumber : REPUBLIKA, 20Februari 2012
    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) mengeluarkan kebijakan yang cukup mengejutkan bagi dunia akademik perguruan tinggi, yaitu adanya Surat Edaran Nomor 152/E/T/2012 tentang Syarat Kelulusan Menulis Karya Ilmiah pada Jurnal Bagi Program Sarjana, Magister, dan Doktoral. Surat edaran tersebut menyatakan kewajiban memublikasi karya pada jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan sarjana, jurnal nasional terakreditasi bagi mahasiswa program magister, dan jurnal internasional bagi program doktoral.
    Kemendikbud memastikan bahwa surat edaran tersebut akan berlaku mulai Agustus tahun ini. Sontak beragam tanggapan mencuat sebagai protes atas kebijakan tersebut. Berbagai kalangan menilai, kebijakan tersebut terlalu dipaksakan dan perlu ditinjau ulang. Kebijakan ini juga dinilai akan menimbulkan problem, terutama terkait dengan semakin lambatnya mahasiswa menyelesaikan studi sebagai akibat sulitnya memublikasikan karyanya.
    Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTSI) yang juga rektor UII Yogyakarta Prof Edy Suandi Hamid menyatakan keberatan atas kebijakan tersebut. Meskipun kebijakan tersebut memiliki tujuan yang baik untuk peningkatan mutu indeks akademik di Indonesia, tapi perlu pengaturan yang tepat untuk mewujudkannya (Republika, 14/2). Senada dengan itu, beberapa akademisi juga menyatakan kekurangsepahamannya dengan Kemendikbud.
    Terlecut Indeks Publikasi
    Keluarnya kebijakan tersebut disinyalir merupakan keprihatinan Kemendikbud atas prestasi ilmiah dunia akademik perguruan tinggi di Indonesia. Ribuan perguruan tinggi dari universitas, institut, sekolah tinggi, dan akademi yang ada sejauh ini tidak mampu memberikan kontribusi yang memadai dalam publikasi karya ilmiah atau riset. Kenyataannya, ratusan ribu lulusan perguruan tinggi tersebut sa ngat minim mendapatkan publikasi ilmiah.
    Menurut data yang dilansir oleh Pusat Dokumentasi Ilmiah IndonesiaLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI) hingga Mei 2011, tidak kurang 7000 jurnal ilmiah terdaftar, tapi hanya 4.000 yang aktif terbit. Dari sekian ribu jurnal, hanya 406 jurnal ilmiah yang terakreditasi dan 250 jurnal PT yang terakreditasi. Sementara, yang terakreditasi oleh Ditjen Pendidikan Tinggi hanya berjumlah 121 buah jurnal.
    Jumlah tersebut bagi Kemendikbud tentu sangat memprihatinkan, mengingat negara-negara lain memiliki jumlah yang lebih tinggi. Data yang dirilis oleh Scomagojr, Journal, and Country Rank pada 2011 menunjukkan fakta dalam hal ini. Indonesia menempati posisi ke-64 dari 236 negara yang di-rang king. Sepanjang 1996-2010, Indo nesia memiliki 13.037 buah jurnal ilmiah, jauh tertinggal dari Malaysia yang me miliki 55.211 jurnal dan Thailand sebanyak 58.931 jurnal.
    Kewajiban menulis karya pada jurnal ilmiah tentu akan memberatkan bagi mahasiswa, terutama yang ada di perguruan tinggi (PT) “pinggiran”. Bahkan, tidak dapat dimungkiri bahwa perguruan tinggi ternama sekalipun sejauh ini belum memiliki budaya aka demik yang memadai, terutama dalam penerbitan karya ilmiah mahasiswa, khususnya S1. Jika ada, jumlahnya sangat sedikit.
    PT kecil dan juga PT yang ada di beberapa pelosok daerah sejauh ini paling sedikit memiliki budaya ilmiah yang mapan. Kendala teknis dan juga minimnya sumber daya manusia menjadi kendala terbesar. Perpustakaan dengan minimnya koleksi referensi, jarangnya diskusi yang didatangi oleh pakar atau ahli, dan berbagai persoalan yang lain menghadang.
    Hanya internet sebagai sumber yang paling bisa diandalkan untuk menunjang informasi dan menggali pengetahuan. Dengan demikian, dari mana akan muncul tulisan atau hasil riset yang bisa diandalkan?
    Kemungkinan, cara yang akan di tempuh oleh civitas academica hampir di seluruh Indonesia adalah cara instan. Dengan cara menulis karya yang “asal-asalan”, comot kanan-kiri, copy-paste, plagiat, atau bahkan memunculkan “mafia penulis”. Hal ini sangat memungkinkan karena mustahil membentuk budaya tulis di kalangan mahasiswa da lam jangka waktu yang sangat sing kat, terlebih dengan berbagai macam keterbatasan tersebut.
    Tentu masih segar dalam ingatan kita, kasus plagiatisme yang menimpa dunia akademik perguruan tinggi beberapa saat lalu. Demikian halnya de ngan kasus mafia karya ilmiah di se jumlah daerah, terkait dengan sertifikasi guru. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Karena, tuntutan adminsitratif dan tidak mungkinnya dilakukan oleh yang bersangkutan.
    Kewajiban menulis karya pada jurnal ilmiah yang segera diberlakukan jangan-jangan juga akan mendorong hal yang sama. Sudah menjadi rahasia umum berapa banyak mafia-mafia penulisan skripsi dan bahkan tesis yang ada di kota-kota besar. Inilah budaya instan akademik yang paling menakut kan karena telah mematikan kejujuran akademik dan proses pembelajaran itu sendiri.  

  • Demokrasi dan Pembangunan

    Demokrasi dan Pembangunan
    Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITE PLURIDISCIPLINAIRES PANTHEON-SORBONNE
    Sumber : KOMPAS, 20Februari 2012
    Penyembuhan demokrasi tak langsung dari neurosis yang dideritanya jelas memerlukan pendidikan formal.
    Sebab, penyakit ini kian parah, ditandai dengan semakin banyak jumlah orang yang tidak terdidik di kalangan penduduk dari negara-bangsa yang menerapkannya sebagai sistem politik dan ketatanegaraan. Pendidikan formal ini sendiri harus yang mencerahkan, di mana penggunaan nalar (akal, reason) dibiasakan di kalangan anak-anak didik sedini mungkin.
    Nalar dan Konsensus
    Pendidikan seperti itu diniscayakan karena, pertama, guna menyadarkan rakyat bahwa yang mereka delegasikan kepada para wakilnya adalah ”kewenangan”, bukan ”tanggung jawab”. Mereka tetap bertanggung jawab untuk mengawasi semua kekeliruan yang secara efektif diselubungi oleh built-in mechanism institusional dan motivasional yang dimiliki oleh demokrasi tidak langsung.
    Selain ini, ketika parpol menyodorkan kepada mereka calon-calon wakil untuk dipilih, nalar pasti mereka perlukan untuk menilai calon-calon itu. Bukan berdasar opini yang dipidatokan oleh para calon, tetapi berdasar apa yang telah dibuat oleh opini tersebut pada diri calon-calon itu sendiri. Opini yang serba muluk itu bisa saja rekayasa speech writer, bukan keyakinan hidup sebenarnya dari sang calon.
    Penggunaan nalar diperlukan pula, kedua, untuk mengoreksi pola pikir masyarakat karena cara berpikir individu terpengaruh oleh pola pikir tersebut. Di mana pun, pola pikir masyarakat dibentuk oleh empat unsur: (i) fakta empiris, (ii) pengertian mitologis dan religius, (iii) ide politik dan etik, dan (iv) generalisasi penalaran ilmiah.
    Tiga dari unsur-unsur ini (i-iii) berpembawaan divergen. Demokrasi per se bahkan tambah memperkuat daya divergensi unsur (ii) dan (iii). Unsur yang punya efek konvergen hanya satu: unsur ke-(iv).
    Sejarah keintelektualan setiap kelompok human merupakan cerita konflik dari aspek-aspek yang konvergen dan divergen tadi. Berarti, tak ada satu pun masyarakat yang mau berdemokrasi mampu survive kecuali apabila pola pikirnya mengandung banyak unsur ilmiah, yang memungkinkan semua pikiran individual warganya cenderung konvergen. Dan hal ini terjadi secara reasonable, bukan karena paksaan dari luar diri, walaupun dalam berdiskusi tentang mitos, agama dan ide politik. Namun yang dimaksud dengan ”unsur ilmiah” itu bukanlah ilmu pengetahuan per se, melainkan kebiasaan bernalar seperti yang lazim berlaku di komunitas ilmiah.
    Rasionalisasi ketiga dari signifikansi kebiasaan bernalar adalah demi efektivitas Pancasila, terutama sila keempat. ”Musyawarah” tidak identik dengan ”negosiasi”, bahkan bukan proses take and give ke arah kompromi. Dalam kompromi, yang esensial justru disisihkan karena perbedaan prinsipiil justru ada di situ.
    Musyawarah, sejatinya, dialog interaktif: saling menginformasikan apa yang dipikir dan dirasakan tentang hal-hal yang esensial. Konsensus yang jadi tujuannya adalah ekspresi dari suatu keinginan bersetuju secara bebas, suatu kemauan bebas untuk mengatasi semua perbedaan, yang lahir dari ”kehendak hidup bersama” dalam komunitas. Dengan begitu. konsensus dapat dikatakan sebagaimana Descartes mengatakan tentang common sense, bahwa ”it is the best shared thing in the world”.
    Nalar dan Kecerdasan
    Kalau konsensus merupakan perkara common sense, ia adalah—karenanya— urusan nalar dan kecerdasan. Kecerdasan ada karena hati turut bernalar hingga gairah ditransformasikan menjadi rasa yang nalariah. Inilah yang kiranya disebut ”emotional intelligence”.
    Berkat perpaduan nalar dan kecerdasan, berupa kearifan, konsensus bisa diperoleh bila saja common sense bahkan tidak siap mengatur perilaku individual atau kolektif semata-mata berdasar nalar. Filosof-matematikawan Pascal di abad XVII telah berujar, ”Le coeur a ses raisons que la raison ne peut pas expliquer” – the heart has its reason when rasion cannot explain (hati punya penalarannya sendiri jika nalar tidak bisa menjelaskan).
    Berarti konsensus dapat dilihat sebagai dialog di suatu persimpangan jalan, antara nalar dan hati, bersendikan konsesi timbal balik, respek dan kasih, kebebasan, kemauan dan identitas diri sendiri dan orang lain, yang berbeda dengan diri sendiri.
    Penglihatan ini berlaku pula apabila kita membicarakan pembangunan nasional, yang merupakan konsekuensi logis dari revolusi nasional kita. Sama dengan revolusi, pembangunan pada asasnya suatu konsensus karena berurusan terutama dengan manusia; semua rakyat Indonesia, mengakui ciri-ciri khas historis, kultural dan spiritual bawaan suku/daerah masing-masing di satu pihak, dan solidaritas human serta kebangsaan di lain pihak.
    Pembangunan manusia, sebagai ide dasar pembangunan nasional, berarti memajukan kekayaan hidup human ketimbang kekayaan ekonomi di mana manusia hidup. Kekayaan ini hanya sebagian dari kekayaan hidup human karena ia meliputi nilai-nilai yang tidak berbentuk.
    Nalar dan Keluhuran
    Sewaktu revolusi dahulu, Bung Hatta selalu mengatakan bahwa kita ingin membangun suatu dunia di mana setiap orang seharusnya bahagia. Menurut hemat saya, ”kebahagiaan” ini identik dengan ”kekayaan human” tersebut, yang ukurannya adalah ”memiliki lebih banyak” dan sekaligus ”menjadi lebih luhur”.
    Konsensus mengenai pembangunan, lebih-lebih kalau urusan utamanya manusia, tentu saja bisa bersosok beda menurut waktu dan tempat. Menurut waktu, dalam makna historis dan filosofis dari istilah ”waktu”, menurut tempat, dalam makna teritorial dan kultural dari istilah ”tempat”. Maka kita jangan sekali-kali melibatkan teknologi melulu dalam pembangunan, tetapi juga filosofi. Bukankah Pancasila kita akui sebagai filosofi dasar kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Lagi pula, di setiap sila dari Pancasila tersirat keberadaan manusia.
    Berfilosofi secara esensial, menurut Derrida, adalah mencari suatu kriteriologi baru untuk membedakan antara memahami dan menjustifikasi. Berarti, pembangunan—terutama di tahap perencanaannya—tidak bisa lagi dipercayakan kepada teknokrat saja, tetapi kepada teknosof, teknokrat yang berfilosofi. Pembangunan nasional berurusan bukan dengan benda dan hewan, tetapi dengan manusia, yaitu makhluk yang punya nalar dan hati, berpikiran dan berperasaan. Akuilah, hal yang esensial ini yang selama ini justru kita abaikan dalam pembangunan nasional, baik dalam teori maupun praksisnya. ●
  • Demokrasi dan Kepentingan Rakyat

    Demokrasi dan Kepentingan Rakyat
    Paulinus Yan Olla, ROHANIWAN, LULUSAN UNIVERSITAS PONTIFICIO ISTITUTO
    DI SPIRITUALITÀ TERESIANUM, ROMA
    Sumber : KOMPAS, 20Februari 2012
    Wacana publik di negeri ini telah agak lama disandera oleh kepentingan para elite politik.
    Pemimpin tertinggi negeri ini dan partai berkuasa sibuk membersihkan diri dari tuduhan kebobrokan korupsi dan salah urus negara. Kepentingan rakyat yang sesungguhnya terabaikan dalam wacana. Demokrasi yang dijalankan di negeri ini mungkin saja sungguh telah mengidap neurosis politis seperti disinyalir Daoed Joesoef. Ada kegagalan institusional, motivasional, dan mekanistis yang menghalangi terwujudnya kesejahteraan rakyat, padahal rakyat secara teoretis jadi pemilik negara berdemokrasi.
    Anomali
    Gagalnya parpol menyuarakan kepentingan rakyat bukan hanya di Indonesia. Italia setelah Perang Dunia II sekurang-kurangnya dua kali mengalami anomali dalam penerapan demokrasinya. Anomali pertama terkait sistem pemerintahan yang korup. Hal itu dihadapi dengan gebrakan penyelidikan ”tangan bersih”. Inti gebrakan itu adalah tekad politik membersihkan tangan mereka yang terlibat dalam politik dari praktik korupsi, pemerasan atau penyelewengan uang rakyat untuk parpol. Penyelidikan yang dimulai 1991 dan berlangsung dua tahun itu membidik banyak menteri, anggota parlemen, pengusaha, dan mantan PM Italia. Mereka yang terlibat penyelewengan uang rakyat dihukum.
    Anomali kedua dalam demokrasi Italia ditandai kejatuhan Berlusconi, 2011 lalu, digantikan sebuah pemerintahan teknis di bawah pemerintahan Mario Monti. Berlusconi dan koalisi partainya gagal menggerakkan pemerintahan menghadapi krisis utang dan krisis finansial yang membelit Italia. Pemerintahan yang gagal digantikan sebuah pemerintahan teknis yang dibentuk tidak melalui pemilu sebagai saluran demokrasi yang normal.
    Demokrasi Indonesia tampak belum membuahkan kesejahteraan rakyat. Seperti dilaporkan harian ini, SBY sendiri mengakui penurunan dukungan terhadap pemerintah dan partainya. Hasil survei memperlihatkan, Januari 2011 Partai Demokrat masih dapat dukungan 20,5 persen responden, di akhir Januari dan awal Februari 2012 tinggal 13 persen (Kompas, 6/2).
    Jauhnya jarak antara klaim keberhasilan pembangunan ekonomi makro oleh pemerintah dan tetap minimnya kesejahteraan masyarakat pada umumnya telah memicu ketidakpuasan publik. Begitu pula jatuhnya kredibilitas wakil-wakil rakyat di mata publik telah lama diketahui. Rakyat kebanyakan merasa tidak diwakili. Keputusan legislatif tak memihak rakyat dan penerapan hukum telah lama mengabaikan rasa keadilan rakyat. Terjadi anomali dalam demokrasi karena rakyat tidak berkuasa dan kepentingannya diabaikan.
    Dalam dua kali anomali demokrasinya, Italia menjawabnya secara berbeda. Dalam kasus pertama, setelah operasi ”tangan bersih”, rakyat akhirnya merebut kembali kedaulatan yang dibajak partai-partai politik. Rakyat di negeri itu menunjukkan kegeramannya dengan menjatuhkan partai-partai besar yang selama beberapa dekade jadi mayoritas tetapi korup. Partai Demokrasi Kristiani (La Democrazia Cristiana) dan Partai Sosialis Italia (Il Partito Socialista Italiano) ditinggalkan. Berlusconi tampil berkuasa tahun 1994 dengan partai baru (Forza Italia) karena rakyat bosan melihat praktik korupsi partai-partai berkuasa saat itu.
    Dalam kasus kedua, rasionalitas dan tanggung jawab kenegarawanan politisi kembali menyelamatkan Italia dari kejatuhan. Pemerintahan teknis Mario Monti lahir dari rasa tanggung jawab etis Berlusconi dan partai berkuasa maupun oposisi untuk menempatkan kepentingan umum di atas kekuasaan jangka pendek partai. Pertikaian para politisi di semua kubu dihentikan dan perpecahan bangsa dihindari demi kepentingan bangsa dan kesejahteraan rakyat.
    Rakyat Diabadikan
    Indonesia kini ditantang mencari jalan keluar dari sakit demokratis yang dialaminya. Sayangnya, pilihan-pilihan dalam khazanah sejarah demokrasinya sangat terbatas dan tak inspiratif. Presiden Soekarno digantikan Soeharto melalui ”kudeta merangkak”. Soeharto pun digusur melalui kegeraman massa, dan Gus Dur dilengser parlemen di tengah jalan pemerintahannya.
    Kini kekhawatiran adanya Sidang Istimewa MPR jadi wacana yang membayangi. Dapatkah bangsa ini belajar jadi lebih cerdas berdemokrasi tanpa kegeraman dan kebencian? Dapatkah daulat rakyat dibela dengan rasionalitas dan sikap kenegarawanan elite politik untuk menempatkan kepentingan politik di atas partai dan kekuasaan? Demokrasi mengandaikan kecerdasan dan tanggung jawab. Ketika peralihan kekuasaan terjadi hanya melalui bahasa kekerasan dan nafsu berkuasa, bangsa itu makin jauh dari kecerdasan dan demokrasi.
    Dalam situasi seperti itu, tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat terabaikan. Daulat rakyat berubah jadi amuk massa. Pilihan ke mana arah demokrasi Indonesia berjalan akhirnya diserahkan pada kecerdasan bangsa ini memilih jalan bijak, mengembalikan kedaulatan rakyat dan mengabdi kesejahteraannya. ●
  • Mentalitas Dendam pada Kemiskinan

    Mentalitas Dendam pada Kemiskinan
    Kurnia JR, SASTRAWAN
    Sumber : KOMPAS, 20Februari 2012
    Pasca-1998 lumrah beredar ”kisah sukses” orang-orang yang mendadak jadi politikus dan masuk komunitas elite Senayan, lalu kaya dalam semalam.
    Segelintir anggota partai yang menang pemilihan umum juga menikmati keberuntungan mengisi pos-pos dalam struktur pemerintahan. Beberapa di antaranya mengalami kemujuran finansial yang serupa dengan rekan-rekan mereka di parlemen.
    Tak begitu lama setelah deru dan debu gerakan reformasi mahasiswa lindap, media massa menerbitkan kisah orang-orang yang sebelumnya hidup pas-pasan—bahkan tak memiliki alamat tetap, tanpa akses ke pusaran kekuasaan—tiba-tiba harus belajar etiket berbusana formal: jas plus dasi. Juga mulai kenal perangkat komunikasi canggih yang menyuguhkan kenyamanan, sekaligus membuka pintu ke dunia hedonistis.
    Kegiatan sidang parlemen dan keharusan tampil formal di muka umum membuat mereka selalu necis. Fasilitas dan berbagai tunjangan jabatan menciptakan kondisi serba ada bagi mereka. Kehadiran staf, asisten, sekretaris, ajudan—apa pun istilahnya—melengkapkan rasa dilayani dalam segala hal. Daftar relasi bertambah dengan nama-nama pebisnis besar yang acap kali murah hati menawarkan aneka kesenangan pribadi. Imbalannya hanya suara dalam pembahasan RUU atau tender proyek negara.
    Kini mata pena mereka sangat sakti. Tanda tangan maupun perkongsian gelap yang lazim dibentuk di hotel-hotel mendatangkan keuntungan yang lebih besar lagi. Makin komplet kenikmatan yang bisa direguk, terbuka jalan tol untuk melupakan kemelaratan pada masa lalu.
    Kewajiban menyerahkan laporan harta kekayaan kepada pejabat publik dan wakil rakyat tak efektif untuk menginspirasikan kejujuran. Rakyat pun lantas menyaksikan perilaku norak kelas sosial baru yang gemar pamer mobil dan retorika sembari korupsi gila-gilaan.
    Padahal, angin segar sempat kita rasakan setelah 21 Mei 1998. Satu-dua tahun pertama, para pegawai di berbagai instansi pemerintah tampak sungkan menarik pungutan liar di loket-loket pelayanan publik. Heroisme mahasiswa selama 1997–1998 membuat banyak PNS tiarap. Ada kecenderungan jajaran bawah birokrasi siap berubah jadi efisien dan bersih.
    Kala itu, yang ditunggu hanyalah kehadiran pemimpin yang teguh menunaikan amanat reformasi dan membawa bahtera negara ke kondisi yang lebih baik. Untuk tahap pertama, pada dasarnya, rakyat tak menuntut banyak kecuali terselenggaranya pelayanan administratif yang bersih dari pungli agar biaya hidup dan usaha tak jadi mahal.
    Api Reformasi Meredup
    Tak dinyana, kobaran api reformasi meredup, bahkan arang kayunya mendingin dengan lekas. Para tokoh gerakan reformasi yang sukses menyokong mahasiswa menumbangkan Soeharto tak mampu melawan pembusukan di lembaga legislatif. Juga di eksekutif dan yudikatif.
    Tak lama kemudian, halaman muka surat kabar dipenuhi wajah para pejabat dan wakil rakyat yang tertangkap basah menyelewengkan amanat. Ada yang menerima uang suap, ada pula yang jadi aktor video porno dalam format telepon seluler. Berita tentang ijazah dan gelar palsu menambah fakta memalukan.
    Sejak dibentuk, Komisi Pemberantasan Korupsi menggelandang banyak petinggi negeri dan selebritas politik sebagai koruptor. Hampir 14 tahun berlalu sejak robohnya Orde Baru, KPK justru bertambah sibuk.
    Tempaan hidup prihatin tak membuat para pejabat negara dan politikus tangguh melawan godaan saat kunci kas negara tergenggam di tangan. Kolega mereka yang lebih dulu kaya berkat jabatan publik maupun politis sebelumnya justru makin giat memperbesar kapital. Akibatnya, kesiapan PNS level menengah ke bawah untuk bekerja jujur serta menjunjung hukum dan etika ditelantarkan. Maka, lewatlah momentum emas bagi pemerintahan yang bersih.
    Sekarang kita memikul akibat dari pemberangusan budaya yang dilakukan secara sistematis oleh rezim Orde Baru. Budaya malu tak menghiasi jati diri kita. Budaya kerja tak disertai watak jujur dan penghargaan pada proses. Hipokrisi dan aji mumpung mewarnai segala urusan. Premanisme dalam bisnis dan politik jadi borok yang justru dinikmati para penyandangnya. Borok itu menginfeksi budaya luhur yang seharusnya kita usung.
    Mereka yang mestinya memperbaiki sistem malah ditelan pusaran. Tiada inspirasi yang terbetik dari pengorbanan para martir dalam gerakan mahasiswa 1998. Kian hari kian mencolok pemanjaan diri yang mengarah ke hedonisme amoral. Mereka tahu pahitnya kemiskinan, tetapi tiada kemauan untuk menyejahterakan rakyat jelata selagi otoritas ada di tangan.
    Ubi societas, ibi justicia. Di mana ada masyarakat, di sana ada hukum. Sewajarnya, para penyelenggara negara mewaspadai ungkapan ini, tetapi mereka terlalu sibuk memuaskan dendam pribadi terhadap kondisi marjinal yang pernah mereka alami secara membabi buta. ●
  • APEC 2013: Menuju Komunitas Ekonomi Asia Pasifik

    APEC 2013:
    Menuju Komunitas Ekonomi Asia Pasifik
    Anindya Novyan Bakrie, ANGGOTA DARI APEC BUSINESS ADVISORY COUNCIL (ABAC)
    Sumber : KOMPAS, 20Februari 2012
    Di tengah ketidakpastian ekonomi global, Presiden Rusia Dmitry Medvedev memberikan secercah harapan. Ia akan mendorong lebih jauh proses integrasi ekonomi antar anggota forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik, APEC.
    Dalam tulisannya, ”Integrasi untuk Tumbuh, Inovasi untuk Makmur” (Kompas, 5/2), ia menjelaskan sejumlah agenda Rusia sebagai Ketua APEC 2012.
    Bergabungnya Rusia dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sejak Desember lalu membuat pejabat Moskwa berpartisipasi penuh dalam pembahasan liberalisasi perdagangan dan investasi. Presiden Medvedev menawarkan sejumlah inisiatif baru, termasuk rencana pembangunan koridor transportasi untuk rute perdagangan baru Asia ke Eropa melalui Rusia.
    Walau Moskwa terletak di Eropa, secara geografis dua pertiga dataran Rusia berada di Asia. Maka, Rusia juga berhak mengklaim sebagai bagian dari kekuatan Asia. Pilihan Vladivostok, kota besar di timur jauh Rusia, sebagai tempat KTT APEC, September mendatang, memperkuat komitmen Moskwa untuk berperan dalam kebangkitan Asia.
    Sementara ekonomi Eropa mengalami ketidakpastian dan pertumbuhan di Amerika Serikat bergerak lebih lamban dari harapan, Asia menjadi harapan untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi global.
    Pasar Andalan
    China, India, dan Indonesia membuktikan bahwa jumlah penduduk yang besar justru merupakan pasar andalan saat tujuan ekspor tradisional ke Eropa dan Amerika sedang lesu. Ketiga negara Asia ini mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi karena ditopang oleh konsumsi domestik. Pada gilirannya, pertumbuhan mereka menggerakkan roda ekonomi negara Asia Pasifik lain.
    Dukungan penuh Indonesia terhadap Rusia di Asia sangat penting, mengingat Indonesia akan mengambil alih tongkat kepemimpinan APEC tahun 2013. Indonesia harus memikirkan dan mempersiapkan sejumlah agenda untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi pasca-Rusia.
    Dengan semakin terintegrasinya perekonomian anggota APEC, langkah selanjutnya adalah membangun sebuah komunitas ekonomi agar kerja sama ekonomi di kawasan ini naik ke level berikutnya. Indonesia dapat menggunakan kepemimpinannya di APEC tahun 2013 untuk mencanangkan gagasan Komunitas Ekonomi Asia Pasifik dan membuat sejarah di APEC.
    Satu hal yang membedakan APEC dari organisasi antarpemerintah lain, termasuk WTO, adalah tidak ada ikatan pada anggotanya untuk melaksanakan sejumlah kesepakatan. Semua keputusan diambil lewat konsensus dengan semangat ”regionalisme terbuka” sehingga anggota terhindar dari pemaksaan agenda kekuatan eksternal.
    Semangat inilah yang dikenal sebagai ”The ASEAN Way”: inklusif dan berdasarkan konsensus, sebuah proses yang tidak asing lagi bagi Indonesia.
    Perlu Inisiatif
    Dibutuhkan upaya terobosan dari waktu ke waktu untuk membuat APEC tidak hanya ada, tetapi juga bermanfaat. Sejarah membuktikan, Indonesia beberapa kali mengambil inisiatif penting untuk membuat terobosan.
    Pada 1993, di tengah keraguan negara ASEAN lain, Presiden Soeharto memutuskan untuk menerima undangan Presiden Bill Clinton ke Seattle dan meningkatkan forum APEC dari pertemuan level menteri ke level pemimpin negara.
    Tahun berikutnya, sebagai tuan rumah KTT ke-2 APEC di Bogor, Pak Harto menyetujui ditetapkannya 2010 sebagai tenggang waktu liberalisasi perdagangan anggota APEC yang sudah maju dan 2020 untuk anggota APEC negara berkembang. Deklarasi Bogor ini membawa perubahan dramatis yang positif pada ekonomi kawasan.
    Didirikan tahun 1989, lembaga ini berhasil menurunkan tarif dan berbagai rintangan yang menghambat arus perdagangan dan investasi. Dampaknya adalah perekonomian anggota lebih efisien dan perdagangan antarmereka tumbuh lebih pesat.
    Ke-21 anggota APEC mewakili 40 persen penduduk dunia, hampir 55 persen produk domestik bruto (PDB) dan 44 persen dari perdagangan dunia. Jika gagasan menjadikan APEC sebagai sebuah komunitas datang dari negara berkembang seperti Indonesia dan didukung kekuatan global berpengaruh seperti Rusia, cita-cita abad ke-21 jadi milik Asia Pasifik bisa menjadi kenyataan.
    Bangun Komunitas
    Gagasan membangun komunitas di Asia Timur atau Asia Pasifik di antaranya muncul dari Kevin Rudd ketika ia menjadi Perdana Menteri Australia dan (mantan) Perdana Menteri Jepang Yukio Hatayama. Gagasan ini sudah dibahas di forum formal, seperti ASEAN+3, East Asian Summit (18 negara), dan APEC (21 negara), ataupun pertemuan-pertemuan informal.
    Pembentukan Uni Eropa—terlepas dari masalahnya saat ini— juga diawali dengan kerja sama ekonomi yang kemudian ditingkatkan menjadi komunitas ekonomi Eropa. Melihat ekonomi di Asia Pasifik yang sudah terintegrasi, APEC hanya tinggal satu langkah lagi untuk menjadi komunitas ekonomi.
    Namun, jalan menuju komunitas ekonomi Asia Pasifik membutuhkan komitmen anggota APEC untuk meliberalisasi perdagangan dan investasi. Suatu hal yang berat di tengah krisis ekonomi saat ini sehingga banyak negara tergoda untuk memberlakukan proteksi.
    Pemerintah juga harus memastikan agar integrasi ekonomi bermanfaat bagi bangsa kita. Perdagangan bebas yang kita inginkan adalah suatu sistem yang adil bagi semua anggota ekonomi APEC, bukan sekadar menguntungkan perusahaan besar. Usaha mikro, kecil, dan menengah merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia dan mereka sepatutnya mendapatkan kesempatan untuk berkompetisi.
    Indonesia harus memanfaatkan kepemimpinannya di APEC tahun 2013 untuk mengajukan sejumlah agenda penopang kebijakan ekonomi nasional, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga interkonektivitas antara pusat kegiatan ekonomi dan pengembangan industri manufaktur untuk mengolah sendiri hasil bumi di Indonesia agar ekspor kita bernilai tambah. ●
  • Digitalisasi Televisi

    Digitalisasi Televisi
    Amir Effendi Siregar, Pengamat Penyiaran dan Dosen Komunikasi Universitas Islam Indonesia
    Sumber : KOMPAS, 20Februari 2012
    Tiga hal terkait penyiaran sedang terjadi saat ini. DPR membahas Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang baru, Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran mengajukan uji materi tentang pemusatan kepemilikan ke Mahkamah Konstitusi, dan pemerintah mengeluarkan PP No 22/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar.
    Di banyak negara, pengaturan penyiaran berdasarkan prinsip diversity of ownership dan diversity of content untuk kesejahteraan rakyat.
    Pengaturan berlangsung ketat karena pertama, lembaga penyiaran mempergunakan frekuensi yang menjadi milik publik.
    Kedua, frekuensi itu terbatas (limited resources). Dengan teknologi digital, jumlah lembaga penyiaran bisa lebih banyak, tetapi tetap terbatas. Sebagai contoh, sebuah kanal frekuensi yang dalam teknologi analog hanya memuat satu program siaran televisi, dengan teknologi digital dapat menampung 12 program siaran televisi sekaligus (multipleksing dengan teknologi terbaru DVB-T2). Kanal frekuensinya adalah band IV dan V UHF, yaitu kanal 28 sampai 45.
    Ketiga, siaran televisi dapat memasuki dan menembus rumah kita secara serentak dan meluas tanpa kita undang (pervasive presence theory). Itu sebabnya mengapa industri penyiaran harus diatur ketat.
    Amerika Serikat
    Di Amerika Serikat, pengaturan kepemilikan dan penguasaan stasiun televisi diatur ketat berdasarkan luas jangkauan stasiun televisi yang berbadan hukum. Kepemilikan dapat banyak
    selama total jangkauan tidak melebihi 39 persen dari nation’s tv homes atau rumah tangga yang memiliki pesawat televisi (Federal Communications Commission/FCC, 2011).
    FCC menghitung jangkauan TV dengan UHF separuh dari perhitungan VHF. Maka, sebenarnya daya jangkau televisi berjaringan di Amerika 5-63 persen (TVNewsCheck April 7, 2010). Di Amerika, 99 persen rumah tangga memiliki televisi.
    FCC melarang merger antarstasiun jaringan televisi nasional pada peringkat pertama hingga ke-4 secara komersial, seperti ABC, CBS, FOX, dan NBC. Namun, FCC memperkenankan sebuah badan hukum memiliki dua stasiun televisi lokal di satu wilayah siaran/pasar dengan mengikuti syarat: (1) pelayanan setiap stasiun televisi tak berimpit (contour overlap); (2) salah satu stasiun televisi tak berada dalam peringkat pertama hingga ke-4 (market share) dalam satu wilayah dan paling sedikit masih terdapat 8 stasiun independen di situ (FCC, 2011).
    Di Amerika Serikat, setiap empat tahun ada penilaian kembali terhadap kebijakan kepemilikan televisi. Pada 22 Desember 2011, FCC mengeluarkan Notice of Proposed Rulemaking. Secara khusus untuk televisi, FCC mengusulkan untuk mempertahankan aturan kepemilikan televisi saat ini dengan beberapa modifikasi, yaitu menghapus ketetapan contour overlap karena tidak relevan dalam televisi digital sejak 12 Juni 2009.
    Di AS, dengan penduduk 300 juta jiwa, sistem stasiun jaringan berjumlah 30-an dan ribuan stasiun lokal. Terdapat 1.750 stasiun televisi lokal, 380 di antaranya nonkomersial. Ada yang milik jaringan atau kelompok, termasuk berafiliasi pada kelompok independen (Dominick, 2012).
    Australia
    Di Australia, berdasarkan Gardiner-Garden (2006), seseorang atau suatu badan hukum tak boleh menguasai—melalui kombinasi—izin televisi yang menjangkau lebih dari 75 persen penduduk. Juga tidak boleh lebih dari satu izin di satu daerah.
    Di Australia, dengan penduduk 22 juta jiwa, terdapat 56 izin televisi komersial dengan 6 kelompok perusahaan sebagai berikut: (1) The Seven Network (Seven Network Ltd) memiliki 6 izin dan menjangkau 73 persen penduduk; (2) The Nine Network (PBL) memiliki 4 izin dan menjangkau 52 persen: (3) Network Ten (Ten Network Holdings Pty Ltd) memiliki 5 izin dan menjangkau 66 persen; (4) Southern Cross Broadcasting (Australia) Ltd memiliki 15 izin dan menjangkau 42 persen; (5) WIN Television (WIN Corp P/L) memiliki 14 izin dan menjangkau 26 persen; dan (6) Prime Television Ltd memiliki 9 izin dan menjangkau 25 persen.
    Program beberapa stasiun jaringan utama juga disiarkan oleh stasiun independen sehingga pengaruhnya bisa lebih luas. Stasiun televisi nasional (lembaga penyiaran publik) Australian Broadcasting Corporation juga memiliki jaringan dan ditonton secara meluas di Australia dengan 13 juta orang setiap minggu.
    Saat ini, berdasarkan Australian Communication and Media Authority (2012), terdapat 69 izin televisi komersial. Ini berarti regulasi berdasarkan daya jangkau—seperti juga di AS—mampu mengakomodasikan perkembangan teknologi digital.
    UUD 1945 dan Penyiaran
    Bagaimana dengan Indonesia? Dengan upaya pengembangan desentralisasi melalui otonomi daerah dan jaminan terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat, Republik Indonesia seharusnya bergerak dari sistem otoriter yang sentralistis ke demokratis yang desentralistis. Maka, untuk Indonesia, sistem yang tepat adalah sistem penyiaran dengan stasiun televisi berjaringan dan stasiun lokal.
    Untuk menghindari konsentrasi dan pemusatan kepemilikan berlebihan seperti sekarang, Amerika Serikat dan Australia adalah contoh yang baik. Pembatasan dilakukan berdasarkan daya jangkau dari stasiun televisi yang dimiliki.
    Lantas, bagaimana dengan Permen Nomor 22 Tahun 2011? Permen ini mengkhawatirkan karena memunculkan model baru lembaga penyiaran yang tak terdapat dalam Undang-Undang Penyiaran, yaitu Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS) dan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM).
    Apalagi yang bisa mendirikan LPPM adalah lembaga yang sudah mempunyai izin penggunaan spektrum frekuensi radio dan izin penyelenggaraan penyiaran. Itu adalah lembaga penyiaran yang kini eksis! Kemudian LPPM dapat melayani lebih dari 1 zona, padahal terdapat 15 zona di seluruh Indonesia. Setiap zona melayani beberapa wilayah, seluruh Indonesia ada 216 wilayah.
    Kita juga harus mempersoalkan mengapa Lembaga Penyiaran Publik TVRI hanya diperkenankan jadi LPPM pada 1 dari 6 kanal yang ada, sementara 5 kanal lain diberikan kepada pihak swasta. Bukankah ini liberalisasi berlebihan?
    Semua memperlihatkan, permen berpeluang melanggengkan pemusatan kepemilikan yang berlebihan dan oligarki yang terjadi pada industri penyiaran saat ini. Juga menyulitkan munculnya pemain alternatif atau pemain baru yang bukan kelompoknya.   
    Kita memang memasuki era digitalisasi, tetapi harus dengan peraturan yang menguntungkan semua pihak, menguntungkan seluruh masyarakat Indonesia, agar demokratisasi penyiaran berjalan secara sehat. ●