Category: Uncategorized

  • Momentum Tingkatkan Budaya Riset Kampus

    Momentum Tingkatkan Budaya Riset Kampus
    M Azhar, LITBANG SINDO
    Sumber : SINDO, 21 Februari 2012
    IMBAUAN pemerintah agar mahasiswa menulis hasil penelitian di jurnal ilmiah tidak perlu diperdebatkan secara teknis. Yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan reputasi pendidikan tinggi Indonesia melalui riset dan budaya menulis ilmiah.

    Surat edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Djoko Santoso berbuah polemik. Belum satu bulan diteken, surat yang berisi mengenai ketentuan yang mewajibkan setiap mahasiswa sarjana untuk membuat karya ilmiah di dalam jurnal, langsung ditolak. Adalah Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia (Aptisi) yang secara mentah-mentah menolak usulan tersebut.

    Kelompok ini mengklaim sebanyak 3.150 perguruan tinggi swasta (PTS) dari Sabang sampai Merauke menolak melaksanakan surat edaran tersebut. Ketua Aptisi Edy Suandi Hamid mengatakan, kebijakan itu secara filosofi bertujuan baik namun tidak logis.Rektor Universitas Islam Negeri Indonesia ini menilai jumlah jurnal ilmiah yang dapat menampung karya ilmiah para sarjana tidak cukup.

    ”Kami tetap menuntut kebijakan ini dikaji ulang,” kata dia. Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Suyatno mengatakan, aturan mewajibkan menulis karya ilmiah di jurnal ilmiah sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana bisa berujung pada penyusunan jurnal asal-asalan. Dia juga mengeluhkan masih belum meratanya kualitas infrastruktur pendidikan antara daerah satu dan daerah lain. ”Bagi kampus swasta di Papua, komputer itu masih sangat terbatas,” kata dia.

    Apa pun itu, yang jelas Kemendikbud jalan terus dengan kebijakan ini. Dirjen Dikti Kemendikbud Djoko Santoso menegaskan bahwa pihaknya tidak akan membatalkan ketentuan tersebut. Mantan rektor ITB itu mengatakan, sejatinya ketentuan calon sarjana wajib menulis jurnal tidak perlu sampai diatur dalam sebuah surat edaran. ”Menulis karya ilmiah itu sudah kewajiban mahasiswa calon sarjana,” tegas dia.

    Terlepas dari polemik tersebut, kita tidak bisa menutup mata bahwa kondisi kultur riset yang berujung pada budaya menulis di jurnal ilmiah sangat kompleks. Persoalan itu meliputi rendahnya kuantitas, tingkat rujukan publikasi ilmiah (citation),hingga masalah kualitas dan tidak meratanya infrastruktur pendidikan di daerah. Yang paling utama ialah masalah publikasi ilmiah.

    Jika dibandingkan dengan universitas negara tetangga, jurnal dan publikasi ilmiah bereputasi internasional karya perguruan tinggi di Indonesia sangat tertinggal (lihat grafis). Total karya ilmiah dari gabungan empat perguruan tinggi negeri (PTN) top di Indonesia meliputi Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Pertanian Bogor tahun 2011 hanya sebanyak 4.784 judul.

    Total judul karya ilmiah yang dihasilkan para center of excellences ini masih kalah jauh dari judul karya ilmiah yang dihasilkan Universiti Sains Malaysia sebanyak 9.649 judul. Apalagi jika dibandingkan dengan National University of Singapore, yang mencapai 59.290 judul pada tahun yang sama.

    Padahal,publikasi ilmiah yang dapat dijadikan acuan komunitas akademik internasional merupakan satu indikator utama dalam perumusan ranking perguruan tinggi di dunia versi THES-QS World University maupun Webometric. Setali tiga uang, pertumbuhan jurnal ilmiah yang dihasilkan lembaga pendidikan tinggi dan institusi riset di Indonesia selama kurun 2009–2011 tak kalah mandeknya.

    Pertumbuhannya dari tahun ke tahun tidak sampai positif 10%, bahkan pertumbuhannya cenderung negatif. Belum sampai berbicara mutu, tren pertumbuhan jurnal dari tahun ke tahun ini sudah menunjukkan betapa lemahnya kultur riset di pendidikan tinggi.

    Puncak Gunung Es

    Rendahnya kuantitas karya ilmiah yang dihasilkan pendidikan tinggi, sejatinya merupakan puncak gunung es dari masih rendahnya kultur riset di pendidikan tinggi, bahkan di dunia pendidikan pada umumnya. Budaya menulis secara ilmiah seperti belum menyatu dengan sistem pendidikan kita.

    Kuantitas karya ilmiah tidak dapat dipisahkan dari budaya riset, suatu proses membuktikan suatu tesis dan antitesis untuk menemukan sintesis baru. Adapun untuk membuktikan suatu tesis tersebut tentu diperlukan daya nalar dan sikap kritis dari sivitas akademik. Banyak pengamat mengatakan bahwa budaya riset di Indonesia masih kurang dibandingkan dengan budaya riset di negara-negara lain.

    Hal ini disebabkan sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang lebih berorientasi pada kegiatan pengajaran ketimbang riset. Model tersebut secara langsung membentuk budaya akademik yang cenderung pasif dan satu arah. Jika budaya ini terus menggerus budaya riset dan penulisan ilmiah, dunia pendidikan tinggi lama-kelamaan akan kehilangan daya nalarnya.

    Karena itu, ketentuan yang dirumuskan Kemendikbud jangan dilihat sebagai upaya yang sifatnya membebani perguruan tinggi. Tidak hanya PTS, PTN pun akan kesulitan jika mewajibkan setiap mahasiswanya untuk menulis di jurnal ilmiah. Selain masalah dana, kualitas hasil tulisan juga diragukan apabila karya tersebut dibuat sebagai prasyarat kelulusan saja.

    Hal ini sebaiknya dijadikan momentum bersama untuk bangkit dan membangun reputasi pendidikan tinggi Indonesia di mata dunia. Memang, untuk mendorong budaya riset dan tulisan ilmiah tidak semudah membalikkan telapak tangan.Kultur akademik yang semakin terkikis harus digiatkan kembali secara perlahan mulai dari sekarang, mengingat Indonesia sudah jauh tertinggal.

    Perubahan status perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum milik negara (BHMN) sejak tahun 2003 sebenarnya membuka peluang bagi universitas-universitas untuk mendapatkan dana riset ilmiah.Perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN bisa mendapatkan dana melalui pembukaan unit-unit usaha ataupun kerja sama strategis dengan suatu badan usaha.

    Kemudian, perlu ada upaya pancingan (trigger) baik dari pemerintah ataupun kerja sama di antara perguruan tinggi agar budaya ilmiah tetap tumbuh dan berkembang. Hal ini bisa dilakukan misalnya melalui kegiatan- kegiatan seperti seminar, lomba penelitian,ataupun call for paper, dan hasilnya diterbitkan dalam bentuk jurnal.

    Pemerintah perlu memfasilitasi terbentuknya budaya riset tersebut dan tidak boleh menutup mata bahwa anggaran riset di dalam sektor pendidikan masih rendah. Selain itu, peran yang juga harus dijalankan pemerintah ialah memperluas akses terhadap sumber pengetahuan, misalnya memberikan akses gratis untuk koleksi jurnal online (e-jurnal) sebagai referensi, atau memberikan subsidi bagi jurnaljurnal ilmiah terakreditasi.

  • Karya Ilmiah Kunci Sukses Sarjana

    Karya Ilmiah Kunci Sukses Sarjana
    (Wawancara)
    Djoko Santoso, DIRJEN PENDIDIKAN TINGGI KEMENDIKBUD
    Sumber : SINDO, 21 Februari 2012
    Imbauan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tinggi (Kemendikbud) tentang keharusan mahasiswa sarjana dan pascasarjana menulis karya ilmiah di jurnal nasional atau internasional sebagai syarat kelulusan menimbulkan prokontra.

    Mayoritas kalangan perguruan tinggi keberatan syarat tersebut. Nah, sebenarnya apa yang diinginkan pemerintah terkait imbauan tersebut. Berikut wawancara SINDO dengan Dirjen Dikti Djoko Santoso.

    Apa latar belakangnya adanya surat edaran yang Anda buat?

    Budaya akademik di Indonesia itu harus diubah dari budaya tutur menjadi budaya menulis. Budaya tutur itu berdasarkan sejarah dimulai dari Socrates.Namun,dia tidak menulis karena yang menulis itu Plato dan Aristoteles.Tapi itu kan dulu, masa Indonesia sampai sekarang masih ingin mempertahankan budaya tutur.

    Maka kita harus mulai dengan budaya menulis yang ada standarnya secara baku tidak boleh dilanggar. Itu namanya menulis karya ilmiah. Jadi, karya ilmiah itu harus bisa dibuktikan sumbernya berdasarkan dalil-dalil ilmiah. Nanti kalau ada yang tidak tepat akan diketahui mana yang salah.

    Namun, sekarang menjadi polemik di kalangan kampus?

    Sekarang ini menjadi tanggung jawab kami untuk memberikan pemahaman yang baik tentang karya ilmiah itu apa dan membuatnya seperti apa. Untuk para akademisi, itu tidak sulit dan pasti bisa melakukannya. Sarjana ini sebetulnya adalah suatu proses pengalaman akademik pada jenjang pendidikan perguruan tinggi untuk bisa melakukan seperti itu. Kunci sukses sarjana, magister, dan doktor itu adalah di karya ilmiah.Tidak ada yang lain dan karya ilmiah itu bukti yang abadi.

    Tapi mengapa sarjana ikut diwajibkan?

    Untuk tingkat sarjana sebaiknya pernah menulis, satu saja juga sudah cukup. Yang ditulis itu yakni penelitian asli, meskipun levelnya masih sederhana, misalnya praktikum di laboratorium, kerja lapangan, mencari data sederhana, dan lainnya.

    Kalau yang magister dan doktor?

    Itu kan cukup jurnal nasional dan terakreditasi. Memang yang terakreditasi hingga saat ini baru ada 201. Tapi yang belum terakreditasi kan siapa saja bisa membuatnya di jurnal nasional, dan itu tidak sulit dibuat dan kriteria utama jurnal nasional itu reviewer- nya secara nasional.

    Banyak kampus swasta yang terkesan seram dengan kewajiban membuat karya ilmiah ini?

    Itu artinya saya harus mawas diri.Tanggung jawab yang harus saya kerjakan masih besar. Kalau kita mengacu pada pernyataan mendikbud di Lumajang, memang diketahui mereka belum paham.Menteri pun memerintahkan ke saya harus bisa membuat mereka paham karya ilmiah itu bukan dedemit. Arti lain ialah kita belum bisa memberikan pemahaman yang baik. Khususnya saya yang akan bertanggung jawab dalam hal ini.

    Bagaimana peringkat Indonesia dengan negara lain?

    Berdasarkan data Scimagojr, Journal and Country Rank 2011 Indonesia berada di rangking 65 dengan jumlah 12.871 publikasi.Posisi kita di bawah Kenya dengan 12.884 publikasi. Di peringkat pertama itu Amerika dengan 5.285.514,bahkan Singapura yang negerinya kecil saja ada di posisi 32 dengan 108.522 publikasi.

    Apa kendalanya sehingga kita kalah dengan mereka?

    Kita memang tidak terbiasa mengekspresikan inovasi, karya,dan budi daya kita di dalam bentuk tulisan ilmiah sehingga bisa diurut kebenarannya tadi. Buktinya sekarang kan saya keluarkan cuma edaran sepele, tapi kebanyakan banyak yang kontra. Padahal, menulis di kalangan akademik itu merupakan hal yang biasa.

    Untuk menerbitkannya,banyak pihak bilang tidak mudah?

    Mereka mungkin masih dalam era ’70-an kalau kita menulis perlu bergudang-gudang jurnal dan buku.Itu tidak perlu karena zaman sekarang itu kan era digital. Mengirim data bisa lewat online dan bisa juga ditautkan dengan portal Garuda yang ada di Kemendikbud.Kalau nanti ada perguruan tinggi punya server sendiri dapat dia simpan di situ,tapi bisa di link ke jurnal portal Garuda sehingga dapat diakses di mana-mana. Cara membuatnya sendiri sudah kami edarkan di website Dikti.

    Supaya tidak ada kebohongan dalam pembuatannya?

    Itu gampang saja. Nanti kan ada search engine. Ada software yang bisa memeriksa mana yang sama dengan karya lain, dan software itu akan bekerja mencari semua data yang ada di dalam web.

  • Anarkisme dan Liberalisme

    Anarkisme dan Liberalisme
    Bambang Setiaji, REKTOR UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
    Sumber : SINDO, 21 Februari 2012
    Apakah yang menghubungkan kemelut Front Pembela Islam (FPI), kekerasan di Freeport, Mesuji,dan Sape,money politic di Partai Demokrat—yang sebenarnya juga terjadi di setiap partai,serta korupsi yang tidak jera-jeranya?

    Lalu apakah benang merah antara kesemuanya itu dengan kepemimpinan transaksional yang tidak bertanggung jawab dan berorientasi pribadi, budaya hedonis yang ditampakkan generasi muda, dan kelompok yang berebut untuk menjadi keamanan swasta dan bisnis-bisnis sekitar ini? Yang menghubungkan daftar panjang tersebut adalah kehidupan liberal yang diperkenalkan sejak reformasi.

    Kebebasan kita melampaui guru-guru kita di Barat katakanlah Amerika sebagai guru liberalisme. Kegagalan para pengusung demokrasi sejak reformasi adalah membiarkan demokrasi tanpa batas dalam waktu yang lama—12 tahun—membuat rakyat tidak sabar. Demokrasi semacam ini tak ditemukan bahkan di negara asalnya. Lihatlah dalam bidang politik di mana ikatan koalisi diliputi saling tikam,oposisi yang tidak objektif, serta tidak terdapatnya kepemimpinan yang efektif.

    Tujuan politik luhur untuk menyejahterakan rakyat yang sebetulnya bisa melanggengkan kekuasaan dikalahkan oleh tujuan melestarikan kekuasaan belaka sebagaimana dapat dikaitkannya kasus Nazaruddin,Angie,dan kaitankaitannya. Pola atau fenomena ini sebenarnya tidak khusus, tapi merupakan pola umum.

    Kebebasan yang sangat hedonistis dalam bidang lifestyle yang umumnya terjadi di negara bebas meresahkan masyarakat yang ingin mempertahankan jati diri bangsa dan kelompok agama. Pengusung demokrasi tidak pernah menentang ini semua. Padahal masalah ini menakutkan mayoritas komunitas bangsa yang memandang anarkisme dan fundamentalis demokrasi sebagai dua ekstrem, pada satu titik anarkisme dan liberalisme tanpa batas adalah sama.

    Arah demokrasi seperti ini sudah benar-benar menyimpang dari impian para founding fathers sebagaimana dibayangkan bentuknya dalam UUD 1945 sebelum amendemen. Para penyeru untuk kembali ke UUD 45 bukan tidak beralasan, kebebasan kita belum pernah ditemukan dalam sejarah negara bebas sampaisampai tanpa arah.

    Para penyeru itu mungkin dapat dikaitkan dengan politisi PDIP dan sekelompok independen yang kini aktif di kampus-kampus. Menyebut salah satunya walaupun tidak saling berkaitan adalah Prof Sofyan Effendy,mantan rektor UGM, sebagai ilmuwan, Jenderal Saurip Kadi dari militer, sebarisan budayawan seperti Pong Harjatmo,sekelompok ekonom yang paling keras almarhum Mubyarto,serta murid pelanjutnya, Dr Revrisond Baswir.

    Para ekonom oposan diwakili oleh yang paling konsisten mantan menteri keuangan Dr Rizal Ramli dan Dr Hendri Saparini. Para ekonom yang tergabung dalam Ikatan Ahli Ekonomi Syariah, di UI Prof Mustofa Edwin,di BI Muliaman Hadad, di Universitas Trisakti almarhum Prof Sofyan Safri Hararap, di UIN Jakarta Dr Agustianto, di UGM Prof Bambang Sudibyo dan Dr Anggito Abimanyu.

    Kesemuanya secara pribadi dan intelektual mendukung ekonomi dan perbankan syariah. Hal tersebut merupakan titik-titik pencarian perbatasan dari negara superbebas khususnya yang terwujud dalam demokrasi politik dan ekonomi dewasa ini.

    Kebablasan

    Begitu banyak contoh bahwa liberalisme kita yang kebablasan. Dalam bidang keuangan negara misalnya, ciri dari penganut fundamentalisme pasar adalah terlihat dari pembagian kue APBN dengan diutamakannya sektor bisnis besar. Sektor yang terkait politisi dan sektor yang menguntungkan birokrasi itu sendiri serta tentu saja kebalikannya, diabaikannya kebutuhan rakyat.

    Pada saat anggaran negara menyentuh Rp1.300 triliun, anggaran langsung untuk rakyat belum dapat diandalkan. Di negara-negara yang mapan demokrasinya bahkan anggaran pensiun, kesehatan, sekolah, dan program sosial justru sudah terlalu besar sehingga membuat persoalan tersendiri yaitu membengkaknya utang. Namun, utang mereka sangat legitimate karena bertujuan untuk kebaikan kepada rakyat.

    UUD 1945 sebenarnya tidak didesain sebagai negara sangat bebas seperti ditemukan sekarang. Kebebasan ini juga disalahartikan oleh sekelompok orang, LSM yang mungkin dibantu asing.Karena demokrasi, kebebasan ekonomi, ratifikasi hukum perlindungan modal, dan hak cipta dari berbagai temuan negara maju disertai keterbukaan terhadap modal asing sangat menguntungkan pihak asing untuk menguasai bisnis-bisnis utama.

    Melalui kolaborasi bisnis,budaya hedonis, dan politik kebebasan arah Indonesia menjadi bumper yang sangat penting untuk kemakmuran negara inti. Kebebasan dan aparat yang lemah juga ditunggangi kelompok bisnis bawah tanah yang bergerak di bidang bisnis hiburan dan yang menyerempet bisnis bawah tanah.

    Sebabnya adalah negara menjadi terlalu bebas dan menjadi sangat dekat dengan anarkisme itu sendiri. Negara menjadi kehilangan legitimasi untuk menghalangi anarkisme yang lahir pada awal reformasi sebagai keseimbangan antarkelompok yaitu lahirnya berbagai laskar baik yang on ground maupun under ground.

    Bagaimanapun biaya reformasi ini bagaimanapun lebih murah dibanding misalnya kemelut di Timur Tengah. Kendati demikian, tidak berarti bahwa pembelokan kepada negara super bebas legitimate, seperti anarkisme juga tidak legitimate, karena mengganggu proses pembentukan masyarakat sipil. Juga perlu dicatat bahwa jati diri sangat penting dari sekadar kemajuan tanpa identitas.

    Anarkisme dalam arti luas adalah dilanggarnya konsensus. Untuk negara Indonesia konsensus pada awal kemerdekaan adalah dibentuknya negara bebas terbatas di mana Tuhan dan agama menjadi pengarah negara sebagaimana konsensus antara negara Islam dan negara nasional. Sementara itu terdapat konsensus ekonomi liberal dan program kesejahteraan, peran swasta dan negara, antara federalisme dan kekuasaan pusat, serta konsensuskonsensus lain.

    Upaya menunggangi kebebasan dan demokrasi keluar dari konsensus sungguh tidak menguntungkan misalnya munculnya wacana kembali kepada UUD 45 sebelum amendemen karena kesalahan pengusung demokratisasi yang salah arah.

  • PPP dan Masa Depan Politik Islam

    PPP dan Masa Depan Politik Islam
    Bahtiar Effendy, GURU BESAR ILMU POLITIK, DEKAN FISIP UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
    Sumber : SINDO, 21 Februari 2012
    Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyelenggarakan musyawarah kerja nasional pada 21– 23 Februari di Pesantren Lirboyo, Hidayatul Mubtadi’in, Kediri, Jawa Timur, pimpinan KH Idris Marzuki.

    Lazimnya kegiatan sebuah organisasi, pertemuan seperti ini sebenarnya merupakan hal yang biasa—kerja rutin tahunan. Karena itu, kegiatan seperti itu biasanya kurang menarik perhatian media massa atau pengamat.Apalagi, acara ini diselenggarakan di tengah bergolaknya berbagai persoalan yang bisa memengaruhi peta politik kekuasaan di Tanah Air seperti kasus Bank Century, masalah korupsi yang merepotkan Partai Demokrat, dan sebagainya.

    Meski demikian,acara yang digelar PPP kali ini bisa bersifat lebih dari sekadar peristiwa biasa. Banyak yang berharap musyawarah nasional kali ini menjadi sesuatu yang melampaui rutinitas agenda tahunan partai. Harapan itu didorong oleh realitas tantangan yang dihadapi PPP, yang memerlukan perhatian ekstraserius dan segera.

    Sekaranglah saatnya partai ini berbenah diri secara lebih bermakna, melakukan konsolidasi serius agar mampu menyongsong Pemilu 2014 dengan sedikit lebih percaya diri. Para pemimpin dan aktivis PPP hendaknya bisa lebih memahami dan bertanggung jawab atas jati diri dan identitas partai mereka beserta kenyataan sosial-politik yang melingkunginya.

    Pertemuan nasional PPP kali ini menjadi lebih urgen ketika partai-partai politik dihadapkan pada kenyataan bahwa kepercayaan publik terhadap mereka menurun, popularitas melorot, dan secara keseluruhan kondisi politik memburuk. Dalam konteks ini, tidak mudah langkah yang harus diambil PPP. Untuk dapat bertahan, memperkuat,dan memperluas basis dukungan, para pengurusnya memerlukan kerja keras yang sungguhsungguh.

    Dengan demikian, para pendukung dan masyarakat luas bakal (kembali) percaya bahwa memberikan dukungan kepada PPP merupakan langkah awal untuk mewujudkan agregasi dan artikulasi kepentingan sosial,ekonomi, dan politik mereka. Tantangan riil yang dihadapi PPP pada dasarnya bersifat klasik. Ini dalam artian bahwa tidak ada hal yang bisa dibilang baru yang menghalangi partai ini untuk memperoleh dukungan elektoral yang lebih luas.

    Sejak partai ini didirikan pada Januari 1973, tantangan yang dihadapinya berkisar pada tiga hal utama: Islam sebagai asas partai; penerjemahan Islam dalam agenda dan program partai; dan kepemimpinan yang bersedia dan mampu membawa partai ke arus utama atau tengah politik Indonesia. Tiga tantangan pokok ini sampai kini belum terselesaikan dengan baik. Dalam perjalanannya yang hampir empat puluh tahun itu, PPP masih berkutat untuk menuntaskannya.

    Representasi Islam

    Bagaimanapun harus diakui bahwa Islam merupakan faktor yang teramat penting bagi PPP. Tanpa Islam,PPP tidak bakal ada. Berbeda dengan PKS, misalnya, yang juga menjadikan Islam sebagai asas gerakannya,PPP mewarisi Islam sebagai asas politik bukan hanya dalam konteks politik, melainkan juga dalam konteks sejarah panjang yang menyertai—atau bahkan menyebabkan—kelahirannya.

    Secara historis, PPP merupakan representasi kekuatan politik Islam.Partai ini adalah gabungan dari kekuatankekuatan politik Islam Indonesia seperti Masyumi,NU, PSII, dan Perti. Inilah empat partai Islam yang di tahun-tahun pertama kemerdekaan Indonesia bersatu dalam Masyumi.

    Partai-partai inilah yang menorehkan garis dan warna politik Islam sampai mereka dibatasi geraknya oleh penguasa Orde Baru, dan dalam banyak hal menyisakan pengaruh dan inspirasi pada baik partai Islam (PKS, PBB, PBR) maupun partai berbasis massa Muslim (PKB, PAN) pascareformasi 1998.

    Dengan warisan kesejarahan yang panjang itu, PPP-lah yang senantiasa dipersepsikan sebagai partai Islam sehingga paling dituntut untuk menjelaskan arti penting Islam sebagai asas atau ideologi partai. Di tengah rasa waswas yang naik-turun pada sebagian komunitas politik Indonesia mengenai hubungan antara Islam dan politik, partai berlambang Kakbah inilah yang paling disorot untuk memberikan kepastian bahwa keislaman pemimpin dan anggotanya tidak bersifat diskordan terhadap mainstream politik Nusantara.

    Meskipun ada saja kekuatankekuatan yang ingin membawa politik Indonesia ke kanan atau ke kiri,garis utama politik kita berada di tengah. Hal ini pernah terwacanakan dengan amat baik dalam frase “Indonesia bukan negara agama, melainkan juga bukan negara sekuler.” Dalam perspektif seperti ini, secara ideologis asas Islam dalam politik yang dianut PPP semestinya diletakkan dalam konteks keterkaitan antara agama dan politik sebagaimana diutarakan di atas.

    Sudah sewajarnya jika asas Islam PPP diorientasikan dalam kerangka politik tengah yang menjadi arus utama dinamika politik Indonesia. Dengan kata lain, ideologi Islam PPP, menurut istilah Don Emmerson, “tidak diarahkan ke Mekkah.” Jika pandangan ideologis ini telah terselesaikan, tantangan kedua partai dengan sendirinya juga akan teratasi. Dengan pemahaman ideologis seperti itu, agenda keislaman partai pastinya tidak bersifat diskordan dan/atau partisan.

    Benar bahwa sebagai partai Islam,PPP mempunyai kewajiban untuk mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan pendukungnya yang semuanya beragama Islam.Akan tetapi, perwujudan dan artikulasi tersebut sudah semestinya bersifat inklusif.

    Kepemimpinan

    Tinggallah sekarang soal kepemimpinan.Dalam sejarah politik Indonesia,kepemimpinan (politik) Islam senantiasa beberapa langkah di belakang kepemimpinan non-Islam. Soekarno dan Hatta,dibanding Mohammad Natsir dan Wahid Hasyim, lebih berhasil memenangkan hati dan jiwa sebagian besar masyarakat Indonesia.

    Kenyataan inilah yang antara lain menjelaskan mengapa kekuatan politik Islam pada Pemilu 1955 hanya mampu memperoleh dukungan 43,5%. Selebihnya, suara diberikan kepada kekuatan politik non- Islam. Pada masa Orde Baru,dapat dikatakan, tidak ada lagi pemimpin politik Islam. PPP sebagai satu-satu wakil politik Islam senantiasa mengalami intervensi dari pemerintah ketika menentukan siapa pemimpin yang akan mereka pilih.

    Pasca 1998 kebebasan untuk menentukan pilihan tersedia. Akan tetapi, lagi-lagi, para pemimpin Islam tidak mampu berfungsi sebagai magnet kepemimpinan nasional. Ketika transisi demokrasi di Indonesia telah terkonsolidasikan, baik pada Pemilu Presiden 2004 maupun pada 2009,Susilo Bambang Yudhoyono-lah yang tampil sebagai magnet kepemimpinan nasional.

    Bagaikan de javu, sejarah politik kepemimpinan Indonesia berulang lagi! Dalam konteks seperti ini, PPP membutuhkan kepemimpinan, baik pada tingkat pusat maupun daerah, yang mampu berfungsi sebagai magnet.Kepemimpinan yang ada hendaknya ditransformasikan sebagai institusi untuk mengisi kebutuhan yang diperlukan. Persoalannya, hal seperti ini tidak bisa diwujudkan seketika.

    Berbeda dengan kekuatan politik lain yang tidak memiliki pengalaman ideologis dan politis sebanding, bagi PPP—atau PDI Perjuangan— outsourcing jelas bukan pilihan yang tepat untuk mewujudkan magnet kepemimpinan partai Islam. Jika soal magnet kepemimpinan politik Islam ini tidak bisa diwujudkan dalam waktu dekat, yang diperlukan adalah sebuah kepemimpinan yang bersifat tidak personal.

    Dalam hal ini PPP dituntut untuk mengekspresikan kepemimpinan yang bersedia membawa partai pada garis politik yang menjadi arus utama atau tengah masyarakat. Intinya adalah kepemimpinan yang meletakkan Islam dalam konteks kebutuhan masyarakat Indonesia. Apakah tiga preskripsi di atas cukup untuk menjadikan PPP sebagai tenda besar bagi masyarakat (politik) Indonesia? Jawabannya barangkali tidak!

    Akan tetapi, tiga hal di atas merupakan prasyarat yang diperlukan—meskipun tidak cukup. Faktor kecukupan hendaknya dicari dalam kerangka partai sebagai kekuatan politik. Dengan kata lain, ketiga persyaratan yang diperlukan di atas sewajarnya dilengkapi dengan langkah-langkah politik sesuai real politic yang dihadapi PPP.

    Seringkali dunia politik memiliki logika tersendiri— yang sampai tingkat tertentu berbeda dengan nilainilai keagamaan yang dipahami PPP sendiri. Karena itu, kepemimpinan yang terampil menjadi sangat diperlukan.Terampil di dalam mengelola situasi politik yang dihadapi, tanpa harus mengganggu jati diri dan identitas partai sebagai kekuatan politik Islam. Dalam konteks inilah sebenarnya masa depan politik Islam diperlukan.

    Mukernas kali ini tidak cukup hanya diselenggarakan dengan agenda yang biasa. Diberitakan, forum ini juga akan membicarakan soal yang berkaitan sirkulasi elite nasional 2014. Mukernas juga bakal menuntaskan masalah pembentukan kader partai yang jutaan jumlahnya. Saya tidak tahu apakah halhal di atas menjawab persoalan esensial yang dihadapi PPP— dan partai-partai lain.

    Satu hal yang jelas adalah bahwa peneguhan kembali akan jati diri dan watak partai mulai menguat. Demikian juga keinginan untuk menarik kembali pendukung dan simpatisan partai yang sejak 1998 bernaung di tenda (politik) yang lain. Dengan memilih pesantren sebagai tempat penyelenggaraan mukernas, PPP ingin membawa kembali pendukung lama dan utamanya.

    Ketua Umum PPP Suryadharma Ali sudah melakukan hal ini untuk beberapa lama. Kita tinggal menunggu apakah langkah-langkah ini dapat dipelihara dengan baik sehingga membuahkan dukungan yang nyata bagi PPP pada 2014.

  • Simpang Siur RUU Keamanan Nasional

    Simpang Siur RUU Keamanan Nasional
    Muhamad Haripin, PENELITI DI PUSAT PENELITIAN POLITIK –
    LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
    Sumber : SINDO, 21 Februari 2012
    Simpang siur RUU Keamanan Nasional bukan hanya berkutat pada aspek substantif, khususnya definisi, poin-poin bentuk ancaman tak bersenjata,dan mekanisme koordinasi antar aktor keamanan. 
    Perkembangan terbaru, seperti diberitakan oleh beberapa harian nasional (10/2), menunjukkan problem pada aspek perumusan kebijakan. Komisi I akan mengembalikan RUU Kamnas kepada pemerintah agar segera diperbaiki. Setelah berkonsultasi dengan 12 pihak,diantaranya organisasi nonpemerintah berbasis isu HAM,Komisi I mengamini kekhawatiran masyarakat sipil bahwa RUU Kamnas mengandung banyak persoalan.

    Perkembangan lain yang terjadi adalah perubahan mekanisme pembahasan RUU Kamnas di DPR. Selama ini RUU Kamnas dibahas di Komisi I yang membawahi bidang pertahanan, intelijen, luar negeri, dan komunikasi-informatika. Selanjutnya Badan Musyawarah DPR memutuskan bahwa RUU akan dibahas oleh panitia khusus (pansus) lintas fraksi dari tiga komisi yaitu Komisi I,II, serta III.

    Perubahan ini didasari oleh substansi Kamnas yang multisektoral, di dalamnya tidak hanya menyangkut sektor (pertahanan) keamanan nasional, tapi juga ruang lingkup pemerintahan dalam negeri (pusat dan daerah) serta penegakan hukum (kepolisian), yang notabene wilayah kerja Komisi II serta III.

    Konsekuensi

    Dua perkembangan tersebut memiliki dua konsekuensi.Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertahanan, mesti ‘menulis ulang’ RUU Kamnas.Penolakan dari parlemen dan organisasi nonpemerintah (ornop) merupakan sinyal kuat atas pertanyaan yang lebih mendasar tentang urgensi RUU Kamnas: apakah pemerintah dan aktor keamanan benar-benar membutuhkan keamanan nasional.

    Bagaimanapun pemerintah pada dasarnya tengah ditantang agar berpikir lebih terbuka. Dalam satu kesempatan lokakarya tentang Kamnas yang pernah diikuti penulis, seorang petinggi Kemhan yang menjadi narasumber menyatakan bahwa semangat RUU Kamnas adalah pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN).

    Padahal jika dicermati, pemerintah justru telah melalaikan amanat UU 3/2002 (Pertahanan Negara) mengenai pembentukan Dewan Pertahanan Nasional. Dari sisi komposisi personel dan tugas, kedua lembaga tersebut tidak jauh berbeda.Kalaupun wewenang DPN dirasa kurang,pemerintah bisa menambahkannya melalui keputusan presiden.

    Konsekuensi selanjutnya adalah parlemen mesti membahas RUU Kamnas sedari awal. Pertama, asumsinya, anggota pansus dari Komisi II serta III tidak terlalu mafhum. Kedua, sambil menunggu rancangan terbaru dari pemerintah, Komisi II dan III mengejar ketertinggalannya dari Komisi I dalam memahami isu penting yang dibahas RUU Kamnas.

    Jika yang terjadi adalah kondisi pertama, pihak yang akan lebih dominan adalah anggota pansus dari Komisi I. Pansus akan didominasi pendapat atau kritik yang lebih menyoroti aspek pertahanan. Alhasil, polemik ‘dikebirinya kewenangan Polri’ serta konsolidasi ‘aktor keamanan daerah’ tidak akan terlalu banyak disoroti.

    Namun jika anggota pansus dari Komnas II serta III bisa mengejar ketertinggalannya, situasi yang mungkin terjadi adalah pertarungan kepentingan di antara anggota pansus, yang berhubungan dengan ruang lingkup kerja mereka di level komisi.

    Pertarungan

    Bagaimanapun simpangsiur RUU Kamnas ini muncul karena ketidakmulusan proses perumusan kebijakan.Pada satu sisi hal tersebut merupakan konsekuensi demokratisasi yang sedang terjadi di Indonesia. Keamanan nasional tidak lagi menjadi urusan aktor keamanan negara per se, tapi masyarakat sipil pun menuntut kesempatan mengemukakan pandangan.

    Usaha itu telah tampak sejak reformasi sektor keamanan pertama kali dilakukan misalnya dalam keterlibatan kelompok kerja Propatria dalam pembahasan RUU Pertahanan Negara pada era Menteri Pertahanan Mahfud MD. Namun pada sisi lain,demokratisasi pun tidak dapat menafikan pertarungan kekuasaan antar elite politik.Terlebih, pengelolaan sektor keamanan nasional (tentara, polisi, intelijen, dan aktor terkait) merupakan permainan besar dengan banyak pertaruhan kepentingan.

    Problem yang dihadapi pemerintah adalah pencarian titik ekuilibrium yang menempatkan setiap aktor dalam posisi yang tepat serta proporsional. Dengan dilibatkannya Komisi II dan III,aktor yang terlibat bertambah dan semakin kompleks permainan yang akan berlangsung. Sebelum peluit pembahasan draf baru dimulai pun,gejala ketatnya persaingan telah terasa.

    Seperti diungkapkan Wakil Ketua DPR Pramono Anung, pelibatan Komisi II dan III merupakan buah dari aspirasi Kapolri. Polemik ‘pemeretelan wewenang Polri’ mencuat karena Dewan Keamanan Nasional dinilai akan mengambil alih wewenang Polri dalam menilai situasi strategik keamanan dalam negeri (strategic assessment).

    Menanggapi permintaan tersebut, anggota Komisi I menyarankan Kapolri untuk mengungkap kegelisahannya langsung kepada Presiden.Namun, dibanding menyarankan hal demikian, Komisi I semestinya mempertanyakan kenapa dalam forum di parlemen,Polri berani menyampaikan keinginan agar Komisi III terlibat dalam pembahasan RUU Kamnas.

    Bagaimana sebetulnya proses perumusan RUU Kamnas di tubuh Kemhan, apakah telah mengikutsertakan para pemangku kepentingan di sektor keamanan atau sekadar ajang ‘perebutan kembali kendali teritori serta operasi’ yang dahulu didominasi Angkatan Darat? Pembentukan pansus RUU Kamnas—jika nanti berhasil— merupakan preseden penting dalam pengelolaan sektor keamanan Indonesia.

    Publik, khususnya, dapat melihat konstelasi kepentingan yang eksis di sektor keamanan. Namun, hal yang patut digarisbawahi adalah publik membutuhkan diskusi keamanan nasional yang sehat.Dengan dikembalikannya RUU, pemerintah mesti berusaha lebih keras lagi menyaring berbagai aspirasi masyarakat.

    Selain itu, parlemen pun memiliki banyak pekerjaan rumah untuk mengikuti dinamika opini yang berkembang di tengah masyarakat. Bagaimanapun tersendat-sendatnya pembahasan RUU Kamnas tak terlepas dari peran parlemen itu sendiri (Komisi I) yang sejauh ini hanya berhasil sebagai ‘wadah penampungan aspirasi,’ namun masih sangat lemah dalam hal ‘motor terciptanya solusi.’

  • Citra Partai dan Kepentingan Pribadi

    Citra Partai dan Kepentingan Pribadi
    Karyudi Sutarjah P., TENAGA AHLI DPR
    Sumber : SUARA MERDEKA, 21 Februari 2012
    “Angie harus bertanggung jawab. Termasuk semua kader partai, mengingat kini dukungan untuk Demokrat anjlok ke angka 13,7% “

    SUDAH menjadi tersangka, dimusuhi kawan-kawan pula. Begitulah nasib Angelina Sondakh, tersangka korupsi proyek wisma atlet SEA Games 2011. Seperti halnya M Nazaruddin, sebelum KPK menetapkan Angie sebagai tersangka, banyak elite Partai Demokrat (PD) membelanya. Namun begitu KPK menetapkannya sebagai tersangka, elite partai balik badan, menyerang Putri Indonesia 2001 itu. Sebut saja Ruhut Sitompul dan Sutan Bhatoegana. Sebelum Nazar menjadi tersangka pun, Ruhut dan Sutan mati-matian membelanya.

    Nasib yang menimpa Angie dan Nazar merupakan pembenaran atas premis Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain, homo homini lupus. Juga membuktikan di dunia politik tak ada kawan atau lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan.

    Ruhut, Sutan, dan elite Demokrat lainnya barangkali berkepentingan menjaga citra partai yang diklaim sebagai partai bersih. Dengan menyerang Angie, seakan mereka menunaikan misi suci membela partai, karena Angie dianggap nila setitik yang merusakkan susu sebelanga. Maka, sebagaimana Nazar, wanita itu pun harus disingkirkan.

    Atau barangkali ada kawan Angie punya vested interest dan hidden agenda, dalam arti bila wanita itu tersingkir dari Badan Anggaran DPR, mereka bisa menggantikannya duduk di lahan basah?

    Angie pun seakan dipingpong. Semula anggota Komisi X DPR itu dipindahkan ke Komisi III. Namun dengan dalih Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono marah, menilai pemindahan itu tidak cerdas, dan banyak anggota komisi yang membidangi hukum itu resisten, termasuk Ketua KPK Abraham Samad, partai pun memindahkannya ke Komisi VIII.

    Belum juga masuk ke komisi itu, bahkan ada wacana dipindahkan lagi ke Komisi VI, ia sudah dikembalikan ke Komisi X. Seakan-akan merasa lebih suci, anggota Komisi III ramai-ramai menolak kehadiran Angie. Wakil Ketua Komisi III Nasir Djamil bahkan mengaku malu bila Angie duduk di komisinya. Lagi-lagi premis Hobbes dan adagium tak ada kawan atau lawan abadi di dunia politik menemukan kebenarannya.

    Kekayaan Melonjak

    Sikap resisten kawan Angie di DPR juga mengingatkan kita kisah pezina pada zaman Nabi Isa. Alkisah, warga yang marah mengadu kepada Isa dan memintanya merajamnya. Setelah pezina itu dipendam hingga sebatas leher, Isa yang lembut hati itu bertanya kepada warga yang hadir. Bagi yang merasa dosanya paling sedikit, dimintanya pertama melempar batu. Namun semua diam, tak seorang pun berani melempari wanita itu dengan batu yang disiapkan.

    Dalam hal Angie, seandainya anggota DPR itu dibekali batu, jangan-jangan tak ada seorang pun mau melemparinya karena merasa pernah korupsi, sekecil apa pun. Banyaknya anggota DPR yang melonjak kekayaannya membuktikan hal itu. Bahwa kemudian KPK belum mencokok mereka, itu hanya soal peruntungan atau masalah waktu saja.

    Bila riwayat Angie ini ditulis, bukan dimaksudkan pembelaan. Dia tak pantas dibela, dan siapa pun yang membelanya dianggap melawan arus, bahkan melawan akal sehat. Apalagi sejak menjadi anggota DPR tahun 2004, kini kekayaan Angie melonjak 1.000%. Ditambah berita ia bisa menghabiskan miliaran rupiah dalam sekejap belanja online. Tapi proporsionalitas harus ditegakkan. Sebagai manusia, martabatnya perlu dijaga.

    Dunia selalu berputar ibarat roda pedati, kadang kita di atas kadang di bawah. Kemarin Angie disanjung para sahabat sehingga membuatnya lupa daratan. Kini giliran terpuruk, satu per satu sahabat menjauhinya. Ingatlah kata Hobbes, dan ingatlah adagium tak ada kawan atau lawan abadi. Angie harus bertanggung jawab. Termasuk semua kader partai, mengingat kini dukungan untuk Demokrat anjlok ke angka 13,7%, paling rendah sejak Pemilu 2009 (SM, 20/02/12). Dukungan tertinggi diberikan kepada Partai Golkar dengan 15,5% suara, dan PDIP menempati urutan ke-3 dengan 13,6%.

  • Investment Grade bagi Si Miskin

    Investment Grade bagi Si Miskin
    Falik Rusdayanto, DIREKTUR THE GOLDEN INSTITUTE JAKARTA,
    ALUMNUS CHULALONGKORN UNIVERSITY THAILAND
    Sumber : SUARA KARYA, 21 Februari 2012
    Raihan Indonesia sebagai negara layak investasi (investment grade) oleh lembaga peringkat internasional Fitch Ratings membuat pemerintah yakin bahwa prospek ekonomi Indonesia akan cerah. Menko Perekonomian Hatta Rajasa pun menandaskan pentingnya mendorong perusahaan swasta maupun BUMN untuk segera menggelar penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO). Menurutnya, investment grade harus dianggap opportunity untuk menarik arus modal asing.
    Dengan raihan peringkat itu, diyakini ekonomi RI akan semakin “seksi” bagi para investor. Bahkan, proyeksi analis bahwa pada kuartal I dan II 2012 merupakan momen yang kurang cocok untuk go public mengingat krisis Eropa yang belum jelas pemulihannya, akan bisa dipecahkan.
    Di tengah euphoria perolehan investment grade, ada kelompok masyarakat miskin yang bisa jadi terbengong-bengong. Mereka tidak paham apa arti investment grade, apakah sebagai tawaran kesejahteraan buat si miskin?
    Bisa jadi betul bahwa investment grade memungkinkan membajirnya modal. Namun, belum tentu modal itu akan mengalir ke sektor riil yang menawarkan peningkatan kesejahteraan bagi si miskin. Modal yang masuk bisa jadi hanya berputar-putar lagi di investasi jangka pendek. Kalau ini yang terjadi, kenaikan peringkat itu tidak akan banyak manfaatnya bagi perekonomian Indonesia. Akhirnya euphoria investment grade hanya akan dinikmati segelintir para pemburu rente jangka pendek, dan tidak memberi apa pun buat si miskin.
    Penurunan penduduk miskin dari tahun ke tahun, tidak terlalu signifikan. Tahun 2004, jumlah penduduk miskin turun 16,7%, tahun 2005 (16,0%), tahun 2006 (17,8%), tahun 2007 (16,6%), tahun 2008 (15,4%), tahun 2009 (14,2%), tahun 2009 (14,2%), tahun 2010 (13,3%), tahun 2011 (12,5%).
    Angka ini hanya menghitung mereka yang masuk kategori miskin absolut diukur dari pendapatan, itu pun pada standar yang paling minim. Angka ini belum mengungkap wajah kemiskinan Indonesia yang sebenarnya, dari berbagai dimensi. Angka tersebut juga belum memasukkan mereka yang tergolong tidak miskin, tetapi sangat rentan terhadap kemiskinan, yang angkanya bahkan jauh lebih besar dari kemiskinan absolut.
    Sulitnya mengurangi angka kemiskinan, ketimpangan, dan ketertinggalan sangat terkait dengan politik anggaran yang tak memihak masyarakat miskin atau tidak kompatibel dengan tujuan kesejahteraan. Sebagian besar APBN terkuras untuk belanja rutin alias membiayai birokrasi yang ternyata tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga justru lebih banyak jadi penghambat pertumbuhan ekonomi dan penyejahteraan rakyat. Anggaran rutin menyedot 40% lebih APBN.
    Anggaran untuk belanja pegawai, tunjangan, fasilitas, dan biaya perjalanan serta membayar utang terus meningkat, sementara pada saat yang sama anggaran untuk subsidi dan belanja sosial justru turun. Untuk belanja pegawai dan membayar cicilan utang saja tidak kurang Rp 162,6 triliun dan Rp 153,6 triliun. Sementara, anggaran untuk pengurangan kemiskinan hanya Rp 80 triliun. Anggaran untuk belanja kesehatan hanya sekitar 2,2% dari total APBN dan kurang dari 1% dari PDB. Data Bappenas, dalam enam tahun terakhir pemerintahan SBY, belanja modal nyaris stagnan, bahkan tumbuh negatif.
    Artinya, untuk membangun atau menyejahterakan rakyat, kita harus puas hanya dengan remah-remah yang tersisa. Persoalannya tidak sekedar anggaran habis untuk belanja rutin alias membiayai birokrasi dan membayar utang, namun juga banyak yang dikorupsi atau bocor. Celakanya, bahkan remah-remah itu pun belum tentu seluruhnya menetes ke kelompok miskin yang dituju. Tidak sedikit dari dana tersebut justru tersedot untuk seminar, perjalanan dinas, dan lain-lain. Subsidi untuk rakyat miskin juga tidak sepenuhnya dinikmati orang miskin. Contohnya, subsidi BBM yang lebih banyak dinikmati orang kaya.
    Selama ini upaya penanggulangan kemiskinan semata dipahami sebagai program pemberantasan kemiskinan, bukan ‘strategi dan kebijakan’ penanggulangan kemiskinan. Akibatnya, upaya mengatasi kemiskinan cenderung dijawab hanya dengan ‘program untuk orang miskin’ yang dibiayai dengan APBN dan/atau dana-dana swasta. Demikian pula, kebijakan pro-poor budget juga secara sempit dimaknai sekadar sebagai budget for the poor. Akibat pemahaman yang kurang tepat ini, kinerja pemberantasan kemiskinan lebih banyak diukur dari besaran dana APBN yang dialokasikan untuk program penanggulangan kemiskinan. Tetapi, sudahkah dana tersebut dikelola secara efisien dan tidak dikorupsi? Dan, seberapa jauh upaya tersebut berhasil mengangkat orang miskin, tidak sekadar keluar dari kubangan kemiskinan, namun juga menciptakan kelas menengah baru dan tumbuhnya pengusaha-pengusaha baru dari kelompok miskin di berbagai sektor?
    Kita perlu belajar dari China yang berhasil mengurangi kemiskinan setelah menggunakan resep-resep yang logis, yaitu membangun pedesaan, tempat orang miskin terbanyak berada. China memerangi kemiskinan di basis kemiskinan. China, yang berada di level korupsi sama dengan Indonesia tahun 1995, mampu melakukan terobosan tersebut untuk mengurangi angka kemiskinan. Angka kemiskinan absolut 1 dolar AS per hari di China tahun 1990 lebih parah dari Indonesia, yakni 31,5% di China dan 26% di Indonesia. Sekarang, kemiskinan absolut kedua negara tidak lagi jauh berbeda, yakni di China kini 6,1% dan Indonesia (5,9%).
    China fokus membangun industri manufaktur yang sekitar 50%-nya didedikasikan untuk rakyat. Sementara di Indonesia, kondisinya terbalik. Kunci keberhasilan China adalah pembangunan yang dimulai dari desa dan pertanian. Sementara kita, lebih bias ke kota. Jadi, investment grade belum akan memberi kesejahteraan buat si miskin.
  • Ekonomi Rente dan Beban Anggaran

    Ekonomi Rente dan Beban Anggaran
    Makmun Syadullah, PENELITI UTAMA BADAN KEBIJAKAN FISKAL, KEMENKEU
    Sumber : SUARA KARYA, 21 Februari 2012
    Ekonomi rente adalah bentuk kerja sama saling menguntungkan antara oknum pengusaha yang menyediakan modal dengan oknum pejabat yang menyediakan fasilitas, insentif, dan proteksi. (Thamren Ananda 2010) Pengusaha memperoleh keuntungan kemudahan sumber daya murah, mudahnya akses atas informasi dan peluang yang diperoleh melalui kebijakan yang dikeluarkan. Sementara pejabat memperoleh keuntungan dalam imbalan suap dan peluang untuk melakukan kolusi dan korupsi.
    Perburuan ekonomi rente tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, bahkan di menjangkiti negara-negara maju. Sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Transparancy International tahun 2010 dan baru dirilis pada awal November 2011 menyebutkan bahwa perburuan ekonomi rente di Rusia dan China adalah yang terburuk. Perusahaan-perusahaan di kedua negara ini dipandang sebagai pelanggar terburuk dengan melakukan praktik suap dalam menjalankan bisnis di luar negeri. Sementara pengusaha-pengusaha Swiss dan Belanda menempati urusan teratas pengusaha yang dipandang jujur.
    Berdasarkan daftar Bribery Payers Index yang dibuat Transparancy International terhadap 28 negara, Indonesia menduduki peringkat ke-4 daftar pengusaha yang gemar memberi suap untuk memuluskan urusan bisnisnya. Survei ini tidak menjelaskan di negara mana saja pengusaha Indonesia ditengarai kerap memberi suap. Namun, setidaknya survei ini bisa menjelaskan kebiasaan membayar suap para pengusaha Indonesia. Kecenderungan membayar suap juga merupakan perpaduan antara kebiasaan yang dilakukan di Indonesia dan lemahnya hukum di negara tujuan berbisnis.
    Menurut Gordon Tullock dalam bukunya Theory of Economic Rent-seeking, perilaku ekonomi cenderung terjadi pada mereka yang memegang kendali struktur monopoli. Di sektor ekonomi, para pengusaha memonopoli sumber daya, distribusi dan pasar, sementara di sektor publik menjadi pengontrol kebijakan di pemerintahan maupun legislatif. Para pengusaha memperoleh keuntungan dengan cara bukan persaingan yang sehat pasar, namun dengan mengundang kekuasaan atau memengaruhi kekuasaan untuk mengambil dari suatu nilai yang tidak dikompensasi. Praktik ekonomi-rente juga diasosiasikan dengan usaha untuk mengatur regulasi ekonomi melalui lobi kepada pemerintah dan parlemen.
    Dalam praktiknya, bisnis ekonomi rente tidak saja dilakukan oleh oknum pengusaha dengan pejabat negara baik di pusat maupun daerah, namun jauh telah menyusup ke badan legislatif. Alih-alih menjalankan fungsinya mengawasi jalannya roda pemerintahan, mereka justru terus mengembangkan sayap kekuasaannya demi mengejar ekonomi rente. Sejumlah kasus belakangan ini seperti kasus korupsi Wisma Atlet, dan dugaan korupsi dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Transmigrasi (PPIDT) di kementerian tertentu merupakan bukti perburuan ekonomi rente oleh para politikus.
    Fenomena semakin suburnya perburuan rente di Indonesia seolah membuktikan sinyalemen Prof Yoshihara Kunio dalam bukunya The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia. Menurut Yoshihara, praktik kapitalisme semu di Asia Tenggara terutama Indonesia menimbulkan tumbuhnya pemburu rente di kalangan birokrat pemerintah, tentunya juga legislatif, sehingga pelaku usaha yang sesungguhnya tidak bisa berkembang. Munculnya kapitalis Asia Tenggara itu dikarenakan adanya orang-orang yang punya kedekatan dengan penguasa (personal contact) serta cenderung membangun industri berdasarkan kedekatan keluarga, ketimbang membangun industri berdasarkan pada profesionalisme industrialis.
    Perburuan ekonomi rente akan membebani anggaran negara, dengan kerugian dapat dilihat dari dua sisi.
    Pertama, penggunaan anggaran menjadi tidak optimal. Penyisihan APBN untuk investasi yang seharusnya berpotensi menjadi sumber penerimaan negara hilang begitu saja karena adanya perburuan rente. Siapa pun tahu siapa yang berburu rente dalam kasus kepemilikan saham pemerintah pada PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Sesuai keputusan Badan Arbitrase Internasional, 31 Maret 2009, pemerintah yang seharusnya mayoritas menjadi minoritas. Anehnya lagi, legislatif yang seharusnya mendukung kebijakan pemerintah, justru menghalang-halangi.
    Kedua, meningkatnya beban utang negara akibat tidak efisiennya penggunaan anggaran. Anggaran pendapatan negara setiap tahun mengalami peningkatan cukup signifikan, tapi anehnya peningkatan ini sepertinya tidak pernah cukup untuk membiayai pengeluaran. Tentunya ini tak dapat dipisahkan postur belanja pemerintah selalu dinilai masyarakat sarat dengan pemborosan akibat perburuan ekonomi rente.
    Menurut catatan KPK tahun 2008, kebocoran atas APBN mencapai 30-40% dengan persentase dari tahun ke tahun meningkat. Meski temuan KPK ini perlu pembuktian kebenarannya, setidaknya temuan KPK ini menunjukkan bahwa efektivitas dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara masih lemah. Tingginya kebocoran dan pemborosan APBN bukan saja berakibat tidak tercapainya efektivitas APBN, namun juga berakibat utang negara terus meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun pemerintah mampu mengendalikan ratio utang negara terhadap PDB, namun secara kuantitas utang negara dari tahun ke tahun meningkat.
    Sungguh, begitu dahsyatnya dampak perburuan ekonomi rente terhadap anggaran negara. Seolah tak satu pun para pemangku kekuasaan mempunyai perhatian terhadap negeri ini. Yang ada, mereka berlomba-lomba menjadi mafia ekonomi rente, hanya mementingkan diri sendiri guna mendapatkan keuntungan sesaat. Penegakaan hukum (law enforcement) yang selalu didengung-dengungkan seakan tak efektif dalam memberantas perburuan rente. Bahkan sebaliknya beberapa survey menunjukkan para penegak hukum sangat rentan dengan perburuan rente.
  • Mencari Komisioner OJK

    Mencari Komisioner OJK
    Sunarsip, EKONOM THE INDONESIA ECONOMIC INTELLIGENCE (IEI)
    Sumber : REPUBLIKA, 20 Februari 2012
    Minggu-minggu ini adalah waktu yang padat bagi Panitia Seleksi (Pansel) Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK). Betapa tidak, saat ini terdapat 290 orang calon DK OJK yang lolos persyaratan administrasi. Sebagai informasi, Pansel DK OJK memiliki tugas untuk menetapkan sebanyak 21 orang calon DK OJK kepada Presiden RI. Dari ke-21 orang tersebut, Presiden akan memilih 14 orang untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga nantinya akan terpilih tujuh orang untuk menjadi DK OJK.
    Seperti kita ketahui, sejak 22 November 2011, kita telah memi liki Undang-Undang (UU) No 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sesuai Pasal 5, OJK ini nantinya berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Terlihat bahwa OJK ini nantinya akan menjadi lembaga yang strategis dalam mewujudkan industri keuangan yang sehat, stabil, dan tumbuh berkelanjutan sehingga tidak mengherankan bila OJK disebut sebagai superregulatory body. Sebab, selain cakupan industri yang dikelola begitu besar, fungsi yang dijalankannya juga lengkap.
    Pemerintah dan DPR telah menetapkan model pengawasan sektor keuangan secara terintegrasi (integrated approach) sebagai pilihan. Dan tentunya, pilihan ini telah didasarkan atas berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan realitas ekonomi. Oleh karenanya, tidak pada tempatnya lagi kita mempersoalkan keberadaan OJK. Diskusi telah selesai dan tugas selanjutnya adalah bagaimana agar OJK ini bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Dan, salah satu kuncinya adalah memilih figur-figur yang tepat untuk memimpin OJK. Seperti apakah figur-figur yang dibutuhkan oleh OJK ini?
    Secara umum, berbagai persyaratan yang harus dipenuhi bagi calon DK OJK telah memadai. Namun, secara teknis, banyak hal yang harus menjadi pertimbangan dalam menetapkan DK OJK ini. Terutama sekali, bila kita melihat OJK adalah lembaga baru (sekalipun merupakan peleburan dari berbagai lembaga yang ada) sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian (uncertainty). Beberapa hal berikut saya kira penting untuk menjadi pertimbangan dalam penentuan anggota DK OJK.
    Pertama, perlu dipahami bahwa industri keuangan bukanlah industri yang berdiri sendiri. Keberadaan industri keuangan sangat dipengaruhi dan juga ikut memengaruhi stabilitas makro, fiskal, dan moneter. Karena itu, calon anggota DK OJK tidak hanya paham dan berpengalaman dalam industri keuangan di level mikro, tetapi semestinya juga memiliki pemahaman makro terhadap keberadaan industri keuangan dan relasi nya. Dengan demikian, perimbangan anggota DK OJK antara yang memiliki kapabilitas pada level mikro dan makro perlu diperhatikan. Mengapa perimbangan komposisi DK OJK ini penting?
    Di satu sisi, figur anggota DK OJK yang berasal dari industri memang sangat diperlukan. Sebab, hal itu akan sangat menunjang dalam melaksanakan perannya sebagai DK OJK. Namun, terlalu industry oriented juga memiliki kekurangan. Dikhawatirkan, mereka nantinya hanya menjadi “kepanjangan tangan“ dari industri terkait. Akibatnya, bisa berpotensi menimbulkan bias kebijakan dan berat sebelah pada kepentingan industri.
    UU No 21/2011 sejatinya telah cukup baik dalam mengunci agar potensi situasi negatif tersebut tidak terjadi. Misalnya, dengan ditetapkannya pejabat BI dan Kementerian Keuangan sebagai ex-officio anggota DK OJK. Melalui pejabat ex-officio ini, nantinya dapat menjadi penyeimbang dan dalam pengambilan kebijakan, tidak hanya melihat dari sisi industri secara mikro, tetapi juga telah mempertimbangkan aspek makronya.
    Namun, keberadaan pejabat ex-officio ini masih belum cukup karena jumlahnya ha nya dua orang. Karena itu, tetap dibutuhkan anggota DK OJK yang berasal dari kalangan independen yang memiliki pemahaman industri yang komprehensif sekaligus memiliki visi makro (fiskal dan moneter) yang kuat. Kita percaya, ketika seseorang telah diangkat sebagai anggota DK OJK, seharusnya akan menanggalkan seluruh kepentingan noninstitusi. Namun, realitas sering berkata lain sehingga potensi penyimpangan sekecil apa pun perlu diantisipasi.
    Kedua, kesuksesan OJK dalam mewujudkan industri keuangan yang dapat mendukung terwujudnya stabilitas keuangan, makro, fiskal, dan moneter, juga ditentukan pada sejauh mana kemampuannya dalam menjalin kerja sama dengan para stakeholder, baik pemerintah, BI, maupun DPR. OJK adalah pemegang kebijakan yang lebih bersifat micro prudential, tetapi juga tetap harus berwawasan macro prudential. Sementara itu, kebijakan macro prudential berada di BI dan pemerintah, sedangkan DPR selaku pemberi payung hukumnya.
    Para anggota DK OJK semestinya merupakan figur yang secara politik dan profesional diyakini akan mampu menjalin kerja sama yang baik dengan stakeholder.  Fakta menunjukkan, banyak sekali orang yang pada industri memiliki kemampuan profesional mumpuni, tetapi ketika menjadi pejabat publik akhirnya terlihat tak berdaya. Penyebabnya, yang bersangkutan tidak mendapat dukungan yang cukup, baik secara politik maupun profesional dari stakeholder.
    Ketiga, hendaknya yang akan menjadi anggota DK OJK adalah figur-figur yang langsung dapat memunculkan kepercayaan (trust) terhadap OJK. Sebab itu, penetapan anggota DK OJK hendaknya memperhatikan track record profesionalnya dalam industri. Namun, tidak hanya didasarkan atas track record pengalamannya dalam industri, anggota DK OJK juga harus bersih dari berbagai catatan negatif, baik di mata industri, hukum, maupun moralitas.
    Keempat, menjaga kepercayaan terhadap OJK adalah hal mutlak. Hal sekecil apa pun yang berpotensi memunculkan ketidakpercayaan harus dicegah. Salah satunya, anggota DK OJK haruslah bebas dari berbagai kepentingan politik. Karena itu, seyogianya orang partai politik tidak menjadi anggota DK OJK. UU No 21/2011 memang telah memberikan rambu-rambu bagi calon anggota DK OJK yang berasal dari partai politik. Di mana, sebelum menjadi anggota DK OJK, yang bersangkutan harus mengundurkan diri sebagai pengurus partai politik.
    Sebenarnya, ini merupakan ketentuan formal yang berlaku bagi pejabat lembaga negara. Sayangnya, dalam praktiknya, banyak pejabat publik yang berasal dari partai politik akhirnya sulit menghindarkan diri dari kepentingan politik partainya.
     
    Pertanyaannya, apakah kita masih dapat menjamin bahwa aturan bagi praktisi partai politik terkait dengan calon anggota DK OJK tersebut cukup efektif mencegah terulangnya praktik yang terjadi di lembaga negara lainnya?
    Penentuan anggota DK OJK saat ini penuh pertaruhan. Bila gagal menetapkan figur-figur yang tepat, kredibilitas OJK bisa jatuh. Dan bila telah jatuh, upaya membangunnya kembali akan sulit. Belajar dari kegagalan OJK di negara lain (termasuk Inggris, Financial Services Autority), sesungguhnya tidak semata disebabkan oleh ketidakmampuan secara profesional. Ketidakpercayaan juga menjadi penyebabnya. Karena itu, jangan bermain api dengan masalah trust ini dengan menempatkan orang-orang yang tidak tepat di OJK.
  • Islam dan Kapitalisme

    Islam dan Kapitalisme
    Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 20Februari 2012
    Cerita tentang Islam yang mempunyai banyak ekspresi bukanlah hal yang baru. Sejak dulu, agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia ini memiliki pelbagai ragam manifestasi pada banyak level. Pada level doktrin dan keyakinan (teologis), sejak dulu ada banyak sekte dalam Islam: Sunni, Syiah, Mu’tazilah, dsb. Pada mazhab hukum, ada banyak kelompok Islam: Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Pada level kecenderungan intelektual, ada banyak trend dalam Islam: ada Islam model kaum fuqaha, ada Islam model kaum sufi, ada Islam model kaum filsuf yang banyak memakai pendekatan rasional.
    Cerita tentang Islam yang mempunyai banyak ekspresi bukanlah hal yang baru. Sejak dulu, agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia ini memiliki pelbagai ragam manifestasi pada banyak level. Pada level doktrin dan keyakinan (teologis), sejak dulu ada banyak sekte dalam Islam: Sunni, Syiah, Mu’tazilah, dsb. Pada mazhab hukum, ada banyak kelompok Islam: Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Pada level kecenderungan intelektual, ada banyak trend dalam Islam: ada Islam model kaum fuqaha, ada Islam model kaum sufi, ada Islam model kaum filsuf yang banyak memakai pendekatan rasional.
    Pada level kehidupan sehari-hari, ada banyak ragam model Islam juga. Ada Islam “tekstual” sebagaimana digeluti oleh para sarjana yang biasa bekerja dengan teks, ada juga Islam “populer” yang kerap bercampur dengan tradisi-tradisi setempat yang begitu beragam. Bagi kalangan Islam yang biasa bergelut dengan teks-teks standar, Islam populer itu biasanya dianggap menyimpang, karena bercampur dengan tradisi pra-Islam. Jika kalangan Islam tekstual cenderung memurnikan Islam dari pengaruh budaya-budaya populer, Islam populer justru mengembangkan cora keberagamaan yang menyerap budaya-budaya itu – apa yang sering disebut seabagai “inkulturasi”.
    Perubahan watak ruang sosial juga punya pengaruh yang besar dalam pluralisasi atau proses pemeragaman Islam itu. Dalam ruang sosial yang otoriter di mana kebebasan dibatasi, sebagaimana kita lihat pada era Orde Baru dulu, corak keragaman Islam lebih “terkontrol”. Pada era itu, corak Islam yang “politis” selalu diawasi dan dibatasi geraknya, karena bisa mengganggu keamanan nasional. Dalam ruang demokratis yang terbuka seperti kita alami saat ini, corak Islam mengalami pluralisasi yang kian akut dan intensif.
    Buku yang disunting Greg Fealy dan Sally White, Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (2008), merekam dengan baik proses pluralisasi Islam pasca-reformasi itu. Baru-baru ini, buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Komunias Bambu dengan judul yang lumayan “seksi”, Ustadz Seleb, Bisnis Moral, dan Fatwa Online.
    Salah satu gejala menarik yang dipotret buku itu ialah komersialisasi agama. Istilah ini tak harus berkonotasi negatif. Gejala komersialisasi bukanlah khas Islam saja. Hampir dalam semua agama besar dunia, kita melihat gejala komersialisasi agama. Tetapi ada juga kalangan lain yang melihat gejala ini secara negatif, karena ia bisa menimbulkan pendangkalan agama.
    Apa yang disebut dengan komersialisasi, mengutip definisi Greg Fealy dalam buku itu, adalah usaha menjadikan ajaran agama atau simbol-simbolnya yang kasat mata sebagai komoditi yang bisa diperjual-belikan untuk meraih keuntungan (the turning of faith and its symbols into commodity capable of being bought and sold for profit). Gejala ini tentu saja bukan saja khas era saat ini. Sejak dulu, komersialisasi agama dalam pengertian mengkonsumsi simbol-simbol agama seperti pakaian dan asesori lain sudah ada. Tetapi ada yang khas pada gejala komersialiasi agama di zaman kapitalisme global sekarang ini.
    Salah satu yang khas pada komersialisasi saat ini adalah kemampuan simbol-simbol Islam untuk melakukan penetrasi terhadap ekonomi kapitalis dan menjadikan modus ekonomi tersebut sebagai wahana untuk memperjual-belikan simbol-simbol agama secara massif. Salah satu kasus yang menarik adalah jilbab. Semula, jilbab adalah simbol kesalehan agama. Tetapi saat ini, jilbab bukanlah sekedar simbol kesalehan, tetapi juga bagian dari “fashion” atau mode. Apakah salah menjadikan pakaian agama sebagai mode? Tentu saja tidak. Jika ada yang menjadikan batik sebagai mode, kenapa jilbab tak boleh menjadi mode?
    Sektor lain di mana Islam yang telah mengalami komoditisasi (komodifikasi?) itu melakukan penetrasi terhadap ekonomi kapitalis adalah perbankan. Saat ini, apa yang disebut sebagai bank Islam atau bank syariah bukan hal yang aneh lagi. Jasa pelayanan “Islamic finance” bukan saja disediakan oleh bank yang jelas-jelas menyebut dirinya sebagai bank syariah, tetapi juga oleh bank-bank konvensional. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter tertinggi di negeri kita juga sudah menyediakan payung hukum bagi praktek bank Islami ini.
    Tak ada perbedaan mendasar antara praktek bank biasa dan bank syariah kecuali dalam satu hal, yaitu soal bunga. Jika bank konvensional mengutip bunga, maka bank syariah menolak praktek bunga, meskipun ada sejumlah “kiat” yang dilakukan untuk meraih fee (=bunga?) dengan cara yang tak bertentangan dengan ajaran Islam.
    Praktek bank syariah ini dengan cukup baik memperlihatkan bahwa tak ada kontradiksi antara Islam dan kapitalisme. Praktek-praktek ekonomi dan bisnis kapitalistik bisa dimodifikasi begitu rupa oleh aktivis dan sarjana Muslim untuk menampung sejumlah ajaran Islam. Ini berkebalikan dengan praktek yang ada pada dekade 50an dan 60an di mana ada upaya dari banyak kalangan saat itu untuk memodifikasi Islam agar cocok dengan corak ekonomi sosialistis yang etatistik (=melibatkan peran yang besar dari negara).
    Bahkan model pemasaran khas yang disebut dengan MLM (multi-level marketing) juga diadopsi oleh para praktisi bisnis Muslim. Kita selama ini mengenal jaringan MLM raksasa seperti Amway atau CNI. Tetapi, kita juga menjumpai praktek MLM yang memakai merek Islam, seperti Ahad-Net (dengan tokoh utamanya Ateng Kusnadi) dan MQ-Net yang didirikan oleh da’i kondang Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym.
    Yang menarik, di samping praktek ekonomi kapitalistik yang memakai merek Islam ini, kita, pada saat yang sama, juga menjumpai sekelompok aktivis Islam yang mengutuk kapitalisme (juga demokrasi) sebagai praktek yang mereka anggap berlawanan secara kategoris dengan Islam, seperti kelompok Hizbut Tahrir, misalnya. Kritik pada kapitalisme tentu bukan dimonopoli kelompok ini. Kita kerap menjumpai retorika yang anti-kapitalisme dari sejumlah penulis, da’i, atau penceramah Muslim. Lepas dari kritik-kritik ini, mulai dari yang keras sampai yang moderat, fakta memperlihatkan bahwa praktek ekonomi kapitalisme banyak diadopsi secara nyaris “harafiah” oleh praktisi bisnis Muslim, tentu dengan melakukan modifikasi seperlunya, plus simbol atau merek Islam (biasanya memakai istilah Arab).
    Apakah pelajaran yang patut diambil dari fenomena komersialisasi atau komditisasi Islam ini? Ialah berikut ini: bahwa baik modus ekonomi kapitalisme maupun Islam memperlihatkan kelenturan tertentu untuk saling menampung. Hubungan antara keduanya tidak sekontradiktoris seperti yang dikesankan oleh banyak retorika anti-kapitalisme sebagian kalangan Muslim selama ini. ●