Category: Uncategorized

  • Sekali Lagi, Perempuan dan Korupsi

    Sekali Lagi, Perempuan dan Korupsi
    Triyono Lukmantoro, DOSEN SOSIOLOGI KOMUNIKASI FISIP UNDIP SEMARANG
    Sumber : SINAR HARAPAN, 21 Februari 2012
    Sejumlah perempuan terlibat dalam beberapa kasus korupsi. Media massa pun memberitakan berbagai kejadian itu secara besar-besaran. Sebuah nama yang sempat menghiasi pemberitaan media adalah Artalyta Suryani, yang terlibat dalam kasus suap terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan.
    Artalyta juga semakin populer ketika sel penjara yang dihuninya dikabarkan disulap bagaikan kamar hotel berbintang lima. Karena Artalyta, yang berstatus sebagai pengusaha, dikenal amat dekat dengan aparat hukum dan birokrat negara, maka label negatif semacam “Tante Lobi” dan “Tante Suap” pun ditorehkan media kepadanya.
    Nama-nama perempuan lain yang sekarang menghiasi ruang dan waktu media karena tersangkut aneka skandal korupsi adalah Wa Ode Nurhayati, Nunun Nurbaeti, Miranda Swaray Goeltom, Mindo Rosalina Manulang, dan figur yang paling menjadi pusat perhatian adalah Angelina Sondakh. 
    Sosok terakhir ini makin populer karena telah ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games.
    Tidak hanya itu, Angie—sapaan Angelina—juga dianggap memberi keterangan palsu ketika bersaksi untuk terdakwa Muhammad Nazaruddin. Media pun menyajikan pemberitaan evaluatif dengan mendeskripsikan Angie berhidung panjang layaknya tokoh Pinokio yang senang berbohong. 
    Tudingan negatif secara berhamburan pun kemudian diarahkan kepada kaum perempuan. Ungkapan seperti “feminisasi korupsi” atau “fenomena bad women” sulit dielakkan bergulir. Perempuan ternyata mampu juga berbuat korup. Perempuan bisa saja menjadi sosok penjahat yang tidak kalah bejatnya dengan kaum pria dalam aksi-aksi menggangsir uang negara.
    Perempuan yang selama ini diidentikkan dengan figur yang penuh kelembutan dan pasti tidak senang bertindak korup pada kenyataannya doyan juga mengambil harta yang bukan menjadi haknya.
    Gaya hidup beberapa nama perempuan yang terlibat dalam sejumlah tindakan korupsi pun diekspos secara kolosal. Mereka digambarkan suka mengoleksi tas berharga miliaran rupiah, berdandan menor dan glamor, menyimpan benda-benda bercita rasa artistik, dan seterusnya.
    Pada intinya adalah media terperangkap dalam histeria penilaian bahwa kaum perempuan sungguh-sungguh berbahaya ketika mendapatkan kekuasaan. Pada situasi ini Megawati Soekarnoputri, seorang politikus perempuan yang menjabat Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), berupaya menampik sudut pandang yang memojokkan perempuan itu.
    Mega menegaskan bahwa perilaku korup lebih cenderung dijalankan pria daripada perempuan. Dengan nada bercanda, Mega menyatakan supaya kader-kader PDIP yang berjenis kelamin lelaki ingat anak-istri. Secara naluriah, ujar Mega, kaum lelaki mencari nafkah, sedangkan kaum perempuan yang menyimpannya (Tempo.co edisi Jumat, 10 Februari 2012, 12.33 WIB). 
    Pemikiran Esensialistik
    Aneka pemberitaan yang ditampilkan media, berbagai ulasan yang dihadirkan dalam ruang publik, dan pandangan Megawati tentang relasi perempuan dan korupsi sangat menunjukkan pemikiran esensialistik. Artinya adalah perempuan dianggap sebagai sosok yang serbamonolitik dan tidak pernah berubah.
    Stereotip yang mapan dalam wilayah pemikiran ini adalah perempuan diidentikkan dengan kasih sayang, kelembutan, penuh perhatian, tidak mungkin terlibat dalam kejahatan, sangat mustahil tega mencuri uang rakyat, dan pastilah berbuat antikorupsi.
    Terdapat sisi positif pada pemikiran esensialistik ini, yakni hal yang penuh kebaikan pasti melekat pada kaum perempuan. Namun, sisi negatifnya tetap saja muncul, yakni ketika esensialisme itu telanjur menancap dalam kesadaran sosial, maka kekecewaan terhadap perempuan pun berubah menjadi sejenis kepanikan moral yang berkepanjangan.
    Sisi ketidaklaziman bahwa perempuan ternyata begitu tega bertindak koruptif diungkapkan secara luar biasa. “Wilayah gelap” perempuan yang suka beraksi curang disajikan secara berlebihan. Tapi, esensialisme perempuan yang serbaberbaik hati dan menghindarkan diri dari bertingkah bejat ternyata telah berakhir.
    Sebenarnya, pemikiran esensialistik yang menganggap sikap dan perilaku perempuan memang begitu peduli pada pihak lain dan tidak sudi berkompromi dengan korupsi semacam itu bahkan bisa ditelusuri dari pemikiran kaum feminis sendiri. Para pemikir feminis gender memiliki pandangan bahwa lelaki dan perempuan berbicara dalam bahasa moral yang berlainan.
    Mereka juga meyakini bahwa perempuan lebih memegang prinsip etika kepedulian daripada etika keadilan. Kejahatan hanya dapat dikurangi jika kita menerima dan melawan kecintaan kita sendiri terhadap kejahatan (Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: A Comprehensive Introduction, 1989).
    Pandangan esensialistik itu seakan-akan tidak terbantahkan. Hanya saja ada ketersesatan yang harus mendapatkan pembongkaran. Perempuan bukanlah figur yang bersifat tunggal. Ada berbagai macam perempuan yang memiliki latar belakang ras, agama, etnisitas, kelas sosial, dan kekuasaan yang berbeda-beda.
    Perempuan yang berada dalam domain mayoritas, seperti etnisitas, agama, kelas sosial, dan kekuasaan yang menentukan tentu saja berlainan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak apabila dibandingkan dengan perempuan yang berada dalam kedudukan minoritas. Struktur sosial yang melingkupi pasti memberi peluang yang berlainan bagi setiap perempuan. 
    Persoalan Kekuasaan
    Fenomena sejumlah perempuan yang terlibat dalam berbagai skandal korupsi tidak tepat lagi jika dibahas dengan menggunakan sudut pandang relasi gender. Lebih mengena jika persoalan ini diuraikan dengan mengerahkan perspektif sosiologis yang membahas tentang kekuasaan dan perilaku menyimpang. 
    Korupsi, sebagai perilaku menyimpang, jelas sekali bertautan dengan persoalan kekuasaan. Perempuan yang menduduki kekuasaan, baik secara politis maupun bisnis, memiliki kesempatan yang lebih banyak berbuat korup dibandingkan lelaki atau perempuan yang tidak berposisi sebagai penentu dalam wilayah otoritas politik dan finansial yang dimilikinya.
    Penjelasan yang sangat baik tentang hubungan perilaku menyimpang dengan kekuasaan dikemukakan Alex Thio (Sociology: A Brief Introduction, 2005). Tindakan menyimpang, misalnya tipe kejahatan tertentu (korupsi), sangat ditentukan kekuasaan.
    Bahkan, kekuasaan menjadi sebab penting bagi tindakan menyimpang. Terdapat tiga alasan yang mampu menjelaskannya. Pertama, pihak yang lebih berkuasa mempunyai motivasi untuk bertindak menyimpang lebih kuat.
    Kedua, pihak yang lebih berkuasa bisa menikmati peluang-peluang yang lebih besar untuk menjalankan penyimpangan. Ketiga, pihak yang lebih berkuasa ditundukkan oleh kontrol sosial yang lebih rendah.
    Korupsi sangat jelas lebih berkaitan dengan persoalan kekuasaan daripada soal esensialistik keperempuanan. Siapa pun yang lebih berkuasa pasti terdorong untuk melakukan aksi-aksi korupsi.
    Ini karena dalam kekuasaan tersebut terbuka kesempatan atau peluang untuk melancarkan keinginan biadab. Terlebih lagi ketika kontrol sosial terhadap pemangku kekuasaan itu demikian rendah maka aksi-aksi merampok uang rakyat itu gampang direalisasikan.
    Dapat disimpulkan bahwa pertautan korupsi dan kekuasaan muncul dari motivasi tinggi dan peluang besar yang dimiliki si pelaku dan rendahnya kontrol sosial. Ketika kaum perempuan terbenam dalam situasi ini niscaya mereka akan mempraktikkan korupsi, demikian pula halnya dengan kaum lelaki. ●
  • Perlawanan Antikekerasan

    Perlawanan Antikekerasan
    Trisno Yulianto, ANALIS PEACEBUILDING DI BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MAGETAN
    Sumber : SINAR HARAPAN, 21 Februari 2012
    Penolakan berdirinya Organisasi Front Pembela Islam (FPI) oleh Dewan Adat Dayak di Palangkaraya (Kalimantan Tengah) beberapa waktu lalu menggelindingkan bola salju kesadaran antikekerasan di berbagai tempat oleh berbagai kelompok masyarakat sipil (civil society). 
    Di Jakarta muncul komunitas antikekerasan berbasis lintas agama dan etnik “Indonesia Damai Tanpa FPI”. Ulama Tarekat di Jawa Barat juga menolak eksistensi FPI yang diasumsikan tidak mencerminkan wajah Islam yang rahmatin nil alamin dan humanis.
    Penolakan terhadap FPI sesungguhnya bukan sebagai bentuk sentimentasi subjektif terhadap organisasi yang sering menimbulkan “heboh” di tengah masyarakat karena aksi-aksi massa yang dilakukannya, namun sebagai bagian tumbuhnya kesadaran antikekerasan di tengah masyarakat.
    Masyarakat yang sudah lama “terusik” kesadaran harmoninya oleh perilaku ormas yang dipimpin Habib Rizieq merasa sudah saatnya menunjukkan ekspresi penolakan terhadap FPI. Penolakan terhadap FPI bukan dilandasi sentimen agama, namun oleh perilaku kolektif anggota FPI yang sering menggunakan cara-cara kekerasan untuk menunjukkan eksistensi dan aspirasinya.
    Di tengah arus deras penolakan terhadap eksistensi FPI (baca: kultur kekerasan FPI), muncul pembelaan dari internal FPI. Bagi FPI penolakan kehadiran organisasi FPI di Kalimantan Tengah diprovokatori Jaringan Mafia pertambangan yang menggusur eksistensi sebuah Komunitas Dayak yang konon akan diadvokasi oleh FPI. Penolakan FPI bagi FPI berlatar belakang kepentingan ekonomis.
    Pernyataan bijak, namun bersayap disampaikan mantan Ketua Umum PB NU, Hasyim Muzadi, menanggapi aksi penolakan terhadap FPI. Menurut Hasyim Muzadi, tuntutan pembubaran terhadap FPI akan sia-sia karena diiklim demokrasi yang liberal, dengan mudahnya FPI akan mengganti nama organisasi mereka. 
    Hal yang lebih penting adalah masyarakat dan pemerintah berada dalam komitmen  sama menolak segala praktik kekerasan dan semua faktor penyebab yang mendorong hadirnya kekerasan atas nama agama dan sentimen primordial. Penyebab kekerasan dan sentimen primordial di antaranya adalah kemiskinan, diabaikannya prinsip hidup berpancasila dan dominasi sistem kapitalisme.
    Catatan kritis atas pernyataan Hasyim Muzadi adalah bahwa FPI dianggap sebagai bagian pendukung NKRI dan Pancasila. Sebuah pandangan yang fatal dan keliru, karena ormas semacam FPI sesungguhnya memiliki cita-cita terbentuknya negara teokratis di masa depan.
    FPI tidak tinggal diam merespons derasnya penolakan dan tuntutan pembubaran FPI. Demonstrasi mendukung FPI dilakukan di berbagai tempat secara beruntun, sebagai unjuk kekuatan dalam meneguhkan eksistensi mereka.
    Barisan ormas-ormas yang berhaluan seideologi dengan FPI pun menyatakan mendukung eksistensi FPI sebagai ormas yang konon diasumsikan membela kepentingan umat.
    Kesadaran Konstitusional
    Penolakan terhadap FPI menurut hemat penulis dilandasi oleh bangunan kesadaran antikekerasan dan kesadaran konstitusional. Argumentasinya adalah sebagai berikut:
    Pertama, elemen masyarakat yang kini berani menolak praktik kekerasan yang lazim dilakukan FPI sudah berada dalam batas kesabaran kolektif. Masyarakat selama ini membiarkan praktik-praktik “anarkistis” dan kekerasan FPI dalam berbagai kasus karena tidak menginginkan terjadinya benturan atau konflik berlatar belakang sentimen SARA.
    Namun, kesabaran tersebut menuju titik toleransi, ketika negara (pemerintah) seolah melakukan pembiaran.
    Bahkan, menurut Budiman Sudjatmiko dalam sebuah wawancara media elektronik, beberapa waktu lalu, ormas-ormas yang kerap terjebak dalam praktik “premanisme agama” sengaja dipelihara oleh blok kepentingan kekuasaan, untuk menyuburkan potensi konflik horizontal; sehingga mengalihkan kesadaran sejati masyarakat akan kesadaran kritis-fungsional terhadap praktik ketidakadilan dan korupsi kekuasaan.
    Kedua, penolakan terhadap eksistensi FPI bersifat substansial, karena masyarakat bukan menolak FPI-nya, namun menolak praktik kekerasan yang lazim dilakukan FPI dalam berbagai kasus aksi massanya. Masyarakat perlu menuntut kepada negara (pemerintah) lebih tegas terhadap praktik kekerasan dan anarkisme yang dibalut isu agama.
    Masyarakat merasa ada diskriminasi perlakuan negara. Negara melalui aparatus keamanan begitu tega melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat, dalam kasus konflik agraria, namun tidak tegas terhadap ormas berbasis agama yang sering mengintimidasi kelompok minoritas.
    Ketiga, penolakan dan tuntutan pembubaran terhadap FPI memiliki logika konstititusional, yakni meneguhkan sikap kebangsaan yang dilandasi oleh semangat kebinekaan, keberagaman, kemanusiaan dan toleransi multikultural.
    Sebagian elemen masyarakat yang menolak FPI menganggap eksistensi konstitusi saat ini terancam oleh menguatnya kekuatan ideologi transnasional yang ingin membentuk negara teokratis dan mengganti dasar negara Pancasila.
    Mereka menolak FPI berarti menolak sikap dan politik antikonstitusi yang sering ditunjukkan ormas berhaluan ideologi transnasional.
    Ormas berideologi transnasional yang tumbuh subur ketika rezim otoritarian Orba tumbang oleh gerakan mahasiswa dan rakyat, bisa dipahami jika saat ini resistensi antikekerasan menjadi mainstream pemikiran dan kesadaran hampir semua komponen masyarakat, terutama komponen yang memiliki kesadaran konstitusional.
    Di tengah penolakan masyarakat, seharusnya FPI sebagai ormas yang hadir di republik ini melakukan introspeksi dan refleksi diri. Di dalam iklim demokrasi liberal, semua warga negara berhak mendirikan organisasi dan berhak menunjukkan ekspresi politiknya. 
    Namun, ekspresi politik seharusnya mematuhi koridor hukum dan konstitusi. 
    Praktik kekerasan dalam kasus unjuk rasa FPI seperti perusakan tempat hiburan, penyegelan tempat ibadah agama lain, intimidasi terhadap aliran keagamaan, sampai penyerangan terhadap aksi massa kelompok lain jelas perbuatan antikonstitusi dan antihukum.
    Namun, selama ini perbuatan tersebut seperti dibiarkan oleh negara. Hanya oknum-oknum pelaku yang dijerat sanksi hukum, itu pun dalam vonis ringan.
    Resistensi antikekerasan terhadap perilaku ormas berbasis agama sesungguhnya tidak akan terjadi apabila negara (pemerintah) tegas dalam menegakkan prinsip konstitusi dan aturan hukum yang berlaku.
    Di dalam negara hukum yang berkonstitusi Pancasila, tidak diperkenankan ada praktik penghakiman politik—apalagi dengan kekerasan—–terhadap kelompok minoritas oleh kekuatan pro violence yang mengatasnamakan legitimasi mayoritas.
    Resistensi antikekerasan memiliki muara tujuan untuk menegakkan prinsip hidup bernegara yang damai, rukun dan adil dalam perbedaan. Mereka menolak FPI bukan antiagama atau ideologinya FPI, namun memiliki semangat menegakkan amanat perdamaian dan kerukunan sosial. 
    Sudah saatnya negara (pemerintah) merespons dengan langkah imperatif yang tegas dan adil. Negara tidak boleh takut dan tersandera oleh kepentingan kelompok yang sesungguhnya pemikiran dan sikapnya antikonstitusi.
    Jangan sampai masyarakat teradikalisasi untuk menolak kehadiran ormas yang gemar melakukan kekerasan dengan caranya sendiri. Hal itu berarti mendorong terciptanya neraka konflik sosial yang berkepanjangan. ●
  • Pembajakan Negara dan Pengujian Yudisial

    Pembajakan Negara dan Pengujian Yudisial
    Roby Arya Brata, ANALIS ANTIKORUPSI, HUKUM, DAN KEBIJAKAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 21 Februari 2012
    Negara kita sekarang ini sesungguhnya sedang dibajak oleh kekuatan korup, korporasi hitam, para birokrat kriminal, dan preman politik. Hampir semua institusi politik, pemerintahan, dan penegak hukum sudah berada dalam cengkeraman serta kendali mereka.
    Proses demokrasi, pemerintahan, dan penegakan hukum dibajak dan dikendalikan untuk melindungi kepentingan korup mereka. Kasus-kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Bank Century, cek pelawat, penghilangan ayat tembakau, dan Wisma Atlet adalah contoh nyata pembajakan negara (state capture) oleh kekuatan korup.
    Akibatnya, amanat reformasi untuk memberantas korupsi, menegakkan kedaulatan hukum, mewujudkan keadilan di segala bidang, dan menyejahterakan rakyat dibajak dan disubordinasikan untuk melindungi kepentingan para “pembajak” negara itu. Bila pembajakan negara ini terus dibiarkan, negara akan dipimpin dan dikendalikan oleh para mafia (organized criminals) dan perlahan-lahan menuju ke jurang kebangkrutan serta kehancurannya.
    State Capture
    Dari berbagai bentuk korupsi, state capture atau yang saya terjemahkan “pembajakan (penyanderaan) negara” adalah bentuk grand corruption yang paling merusak serta menghancurkan (most destructive and intractable) tata kelola pemerintahan dan perikehidupan berbangsa dan bernegara. Pembajakan negara adalah fenomena korup ketika aktor-aktor kepentingan di luar pemerintahan (outside interests), seperti korporasi dan jaringan mafia, mempengaruhi arah serta substansi pembentukan hukum, kebijakan dan regulasi, demi keuntungan korup mereka melalui transaksi korup dengan pejabat publik dan politikus.
    Pembajakan negara, menurut Joel Hellman dan Daniel Kaufmann (2001), merupakan upaya oligarki untuk memanipulasi formulasi kebijakan, bahkan mempengaruhi aturan main (the rules of the game). Tindakan yang merugikan masyarakat luas itu dilakukan untuk mencari keuntungan substansial dan melindungi kepentingan oligarki.
    Jadi, berbeda dengan korupsi konvensional korupsi, pembajakan negara dilakukan pada saat perumusan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, atau sebelum kebijakan publik diimplementasikan. Korupsi konvensional atau administrative corruption dilakukan setelah kebijakan dan hukum diimplementasikan, yaitu untuk mendistorsi proses implementasi serta penegakan hukumnya. Karena itu, pembajakan negara saya sebut ex-ante policymaking corruption, sedangkan korupsi administratif disebut ex-post policymaking corruption.
    Di sinilah dampak bahaya dan sangat menghancurkan dari korupsi pembajakan negara. Dibanding korupsi administratif yang dampaknya terbatas, pembajakan negara yang menghasilkan kebijakan, peraturan perundang-undangan, dan keputusan pemerintah yang korup serta tidak adil dapat berdampak merugikan masyarakat luas.
    Skandal BLBI, misalnya. Pakar perbankan menyebut skandal ini sebagai kasus megakorupsi yang tergolong kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena sangat merusak sendi-sendi perekonomian negara. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan per 31 Juli 2000, kerugian negara ditaksir mencapai Rp 138,44 triliun atau 95,78 persen dari total dana BLBI Rp 144,54 triliun yang digelontorkan ke 48 bank swasta pada saat krisis ekonomi 1997 (Djoni Edward, 2010). Akibatnya, rakyat terpaksa menanggung beban kerugian 20-30 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk pos pembayaran utang berupa obligasi rekapitulasi ataupun bunga obligasi BLBI.
    Skandal kontemporer yang diduga kuat sebagai megakorupsi pembajakan negara adalah kasus Bank Century. Hasil audit BPK atas PT Bank Century mengindikasikan Bank Indonesia diduga merekayasa peraturan yang dibuat sendiri agar Century bisa mendapat fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP). Pada saat mengajukan permohonan FPJP, posisi rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) Bank Century, menurut analisis BI, adalah 2,35 persen (Vivanews, 22 September 2011). Padahal persyaratan minimal CAR untuk memperoleh FPJP berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI 2008 tentang FPJP adalah 8 persen. Dengan demikian, Bank Century tidak memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP.
    Namun Bank Indonesia mengubah peraturan tersebut, dari semula CAR 8 persen menjadi positif. Akibat perubahan peraturan itu, Bank Indonesia akhirnya menyetujui pemberian FPJP kepada Bank Century total Rp 689 miliar. Hasil audit forensik BPK terakhir mengindikasikan dugaan kuat kerugian negara yang besar, sekitar Rp 6,7 triliun, yang pada akhirnya akan ditanggung rakyat.
    Dugaan megakorupsi pembajakan negara juga terjadi pada masa Orde Baru. Pembuatan Keputusan Presiden tentang Mobil Nasional Nomor 42/1996 yang mengizinkan PT Timor Putra Nasional mengimpor mobil utuh dari Korea Selatan tanpa bea masuk yang berpotensi merugikan negara adalah contohnya. Selain itu, kebijakan tata niaga cengkeh yang menciptakan monopsoni dan merugikan petani, juga dihambatnya pembuatan undang-undang antimonopoli, merupakan contoh pembajakan negara lainnya.
    Lalu faktor-faktor apakah yang menyebabkan pembajakan negara itu? Ada beberapa faktor. Pertama, sistem politik, birokrasi, dan ekonomi korup yang memungkinkan agen-agen korporasi hitam, para birokrat kriminal, dan preman politik menduduki jabatan publik serta melakukan transaksi korup dalam pembuatan kebijakan. Kedua, tidak ada atau lemahnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembuatan kebijakan. Ketiga, terlalu luas dan tidak terkontrolnya diskresi pembuat kebijakan. Keempat, tidak adanya sistem integritas dalam rekrutmen dan promosi jabatan publik. Kelima, sistem kepartaian dan pemilihan umum yang mahal dan korup. Dan keenam, penegakan hukum yang lemah.
    Pertanyaannya kemudian, apakah adil bila warga negara wajib melaksanakan kewajiban dan menanggung beban kerugian dari kebijakan, peraturan perundang-undangan, dan keputusan yang korup? Suatu ketidakadilan bila masyarakat harus melaksanakan kewajiban dan perintah dari kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang sebenarnya menzalimi dirinya. Karena itu, pengujian yudisial harus dimungkinkan untuk membatalkan pemberlakuan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang korup.
    Pengujian Yudisial
    Untuk mengatasi penyebab dan dampak pembajakan negara, selain menghapuskan atau mengurangi faktor-faktor penyebab, pengujian yudisial (judicial review) harus dimungkinkan bagi warga negara atau masyarakat luas (class action) yang hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh pemberlakuan kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang korup.
    Untuk itu, norma-norma antikorupsi harus menjadi substansi Undang-Undang Dasar 1945. Hak warga negara untuk dilindungi hidup dan perikehidupannya dari kebijakan, peraturan perundang-undangan, dan keputusan administrasi negara yang korup harus dikategorikan sebagai hak asasi manusia dalam UUD 1945. Karena itu, pemberlakuan (ketentuan) kebijakan, peraturan perundang-undangan, dan keputusan administrasi negara yang korup dapat dibatalkan karena inkonstitusional.
    Masalahnya, kita tidak dapat berharap banyak pada badan peradilan kita untuk melakukan judicial review, karena mereka sendiri secara sistemik sudah lumpuh oleh korupsi. Karena korupsi, peran sebagai pembuat norma (positive legislator) juga tidak akan optimal dilakukan oleh eksekutif dan legislatif. Mereka tidak berdaya melakukan executivedan legislative review untuk mencabut atau mengubah kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang korup.
    Harapan kita satu-satunya untuk melakukan peran negative legislator (pembatal norma) adalah Mahkamah Konstitusi yang relatif masih memiliki integritas. Untuk itu, semua kewenangan pengujian yudisial untuk menguji semua jenis dan tingkatan peraturan perundang-undangan yang korup dari peraturan daerah sampai undang-undang diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi juga diberi kewenangan menguji constitutional complaint, constitutional question, dan ultra-petita (tidak diminta). Karena itu, hakim Mahkamah Konstitusi haruslah seorang negarawan yang memiliki integritas kuat, tidak haus jabatan dan kekuasaan, serta ahli dalam ilmu pencegahan dan pemberantasan korupsi. ●
  • Kontroversi Bahasa Cia-cia Indonesia

    Kontroversi Bahasa Cia-cia Indonesia
    Maryanto, PEMERHATI POLITIK BAHASA
    Sumber : KORAN TEMPO, 21 Februari 2012
    Bahasa ibu–yang momentum historisnya berawal dari bahasa Bengali di Bangladesh (dulu Pakistan Timur) pada 21 Februari 1952–mudah menyulut kontroversi atas trikotomi bahasa: Indonesia, daerah, dan asing. Kontroversi bahasa ini tidak main-main ketika bahasa (daerah) Cia-cia–yang diakui sebagai sebuah bahasa ibu di Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara–tidak diindonesiakan. Malah bahasa daerah ini diasingkan dengan bahasa Korea.
    Dalam bahasa Cia-cia sekarang sudah berlaku sistem bahasa Korea. Ortografi Hangeul Korea dipilih dengan dalih menyelamatkan bahasa ibu suku Cia-cia yang dianggap terancam punah karena keberadaan bahasa Indonesia. Bukan hanya oleh warga suku minoritas seperti Cia-cia, tapi juga warga suku mayoritas di Indonesia (suku Jawa dan Sunda), bahasa Indonesia sering dipandang sebagai musuh bahasa daerah kesukuan dan dilihat pula sebagai pemusnah bahasa ibu. Sebaliknya, khusus oleh suku Cia-cia, bahasa asing (Korea) dianggap sebagai penyelamat bahasa ibu.
    Jika penyelamatan bahasa ibu ala perencanaan bahasa daerah ini berhasil di Sulawesi Tenggara, anak-anak suku Cia-cia akan bangga menyebut dirinya penutur bahasa Cia-cia Korea, bukan bahasa Cia-cia Indonesia atau bahasa Indonesia Cia-cia. Sangat kontroversial kebijakan bahasa daerah yang ditempuh tak searah dengan semangat bahasa persatuan Indonesia ini. Perdebatan bahasa Cia-cia perlu dihadirkan pada saat Indonesia ikut merayakan Hari Bahasa Ibu, pada 21 Februari 2012.
    Kecolongan
    Dalam berbagai perbincangan bahasa ibu, bahasa Indonesia sudah kehilangan momentum terbentuknya bahasa persatuan. Perkembangan wacana bahasa ibu–baik di kalangan masyarakat pengguna maupun peneliti bahasa–terus menyuburkan sentimen kedaerahan yang paralel dengan kendurnya ikatan kebangsaan Indonesia. Menguatnya sentimen kedaerahan ini sudah melemahkan posisi bahasa Indonesia. Sekarang nyaris hilang gagasan bahasa persatuan untuk mewadahi keanekaragaman linguistik bangsa Indonesia.
    Cerita pun berlanjut. Kabar bahasa Indonesia ditolak masuk dalam perbincangan bahasa ibu tidak hanya datang dari Kongres Bahasa Jawa (baca Koran Tempo, 7 Januari 2012). Pada Kongres Bahasa Sunda–termasuk yang tahun lalu berlangsung untuk yang kesembilan–bahasa Indonesia juga tidak punya suara. Seorang kawan–peneliti bahasa Indonesia–mengaku sangat kecewa ketika tidak boleh berpendapat dengan berbahasa Indonesia dalam sebuah diskusi bahasa (daerah) Sunda.
    Cerita hilangnya ideologi bahasa persatuan berlangsung ketika wacana bahasa ibu sebesar daerah Jawa dan Sunda itu tidak pernah memakai konteks bahasa Indonesia sebagai wadah berafiliasi. Wadah bahasa persatuan Indonesia juga tersingkir dari wacana bahasa ibu daerah lain ketika penutur bahasa Cia-cia memilih berafiliasi dengan bahasa Korea. Kabar kontroversi bahasa Cia-cia ini mencuat pada 2009, setelah Wali Kota Baubau menyambut positif rayuan pemerintah Korea.
    Chun Thai Yun, seorang guru besar berkebangsaan Korea, adalah orang yang berinisiatif menggabungkan bahasa Cia-cia dengan bahasa Korea. Dengan penggabungan bahasa ini, investor dan turis Korea dijanjikan akan berdatangan ke daerah Baubau. Pemerintah Baubau pun tergiur mendapatkan keuntungan ekonomi. Pihak yang mendukung afiliasi bahasa ini berpegang teguh pada alasan bahwa masyarakat penutur bahasa Cia-cia memerlukan perbaikan kehidupan ekonomi.
    Afiliasi bahasa Cia-cia dengan bahasa Korea ditolak oleh pihak yang beralasan bahwa pembentukan bahasa Cia-cia Korea merupakan kegiatan penjajahan model baru. Alasan ini bisa dirujukkan pada teori geolinguistik Mackey (1973), yang menyebutkan bahwa iming-iming keuntungan ekonomi biasa digunakan untuk menanamkan kekuasaan bahasa tertentu agar tersebar ke luar wilayah induk penutur aslinya. Cara lain penyebaran bahasa penjajahan bisa ditempuh melalui kekuatan perang (militer), yang pada saat sekarang ini (belum tentu pada era generasi mendatang) tidak mungkin dilakukan di daerah Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tenggara.
    Kontroversi bahasa Cia-cia tentu merupakan pelajaran sangat berharga bagi bahasa persatuan Indonesia. Perlu terus diselisik sebab dan musabab mengapa bahasa Indonesia tidak dipilih sebagai wadah afiliasi bahasa daerah ini. Fakta tergabungnya bahasa Cia-cia dengan bahasa Korea membuktikan agen pelembagaan bahasa Indonesia belum optimal difungsikan di daerah Sulawesi Tenggara. Fakta lain menunjukkan setiap pemerintah daerah sudah bisa melepas tanggung jawab mengurus bahasa Indonesia, karena urusan bahasa persatuan ini hanya tanggungan pemerintah pusat.
    Pemilihan bahasa Korea demi penyelamatan bahasa ibu daerah Cia-cia merupakan bukti penegasan sikap masyarakat Indonesia sendiri yang sekarang bertabiat lebih menghargai bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Di luar daerah penuturan bahasa Cia-cia pun, penghargaan terhadap bahasa Indonesia cenderung merosot. Jika kecenderungan ini terus berlanjut dari generasi ke generasi, bangsa Indonesia bakal mengalami kecolongan terbesar.
    Pendidikan
    Dukungan atas afiliasi bahasa Cia-cia dan Korea meluas tidak hanya terbatas untuk perbaikan kehidupan ekonomi, tapi juga untuk peningkatan mutu pendidikan. Pihak yang menolak bahasa Cia-cia Korea beralasan bahwa tidak benar mutu pendidikan masyarakat penutur Cia-cia akan meningkat. Afiliasi bahasa ini justru akan membuat pendidikan rakyat Cia-cia terpuruk dan tertinggal. Dengan afiliasi bahasa ini, ketika masuk sekolah, anak daerah suku Cia-cia akan terisolasi dari anak daerah lain.
    Pendidikan anak sekolah yang sekarang dirancang berbasis karakter Hangeul Korea hanya akan menyulitkan anak daerah suku Cia-cia. Bisa dibayangkan betapa sulit bagi anak kalau apa yang secara nasional disebut “sekolah” itu dipaksa tertulis |||. Sementara itu, anak Cia-cia terbiasa menuturkan sigola. Mereka juga akan merasa asing dan terpaksa membaca tulisan || untuk bentuk kata boku di daerah Cia-cia atau kata buku yang sudah berlaku antardaerah di Indonesia.
    Afiliasi bahasa Cia-cia dengan bahasa Korea tidak akan membentuk ikatan bahasa Cia-cia dengan bahasa Indonesia. Padahal sudah terbuka ruang budaya masyarakat untuk mewujudkan bahasa (persatuan) Cia-cia Indonesia. Masukkan saja, sekadar contoh, bentuk tuturan sigoladan boku, ke dalam satu ruang budaya berbahasa Indonesia. Ketika bentuk bahasa Cia-cia itu bersatu dengan bentuk kata sekolah dan buku, perbedaan (bunyi segmental atau suprasegmental) tuturan seperti itu perlu dihargai sebagai khazanah keanekaragaman linguistik pada bahasa Indonesia (lokal) Cia-cia. Keanekaragaman itu jalan terbaik untuk transisi kebahasaan menuju pencapaian tujuan pendidikan nasional.
    Pendidikan Indonesia yang dikelola oleh pemerintah daerah Baubau sekarang sudah membuka ruang budaya baru untuk membentuk bahasa Cia-cia Korea. Patut disayangkan–di tengah maraknya program pembudayaan karakter bangsa Indonesia, tentunya termasuk karakter berbahasa Indonesia–pengelolaan pendidikan itu kontraproduktif. Pendidikan yang berbasis bahasa ibu itu akan tetap kontroversial. Mengapa bahasa Cia-cia Korea? Mengapa bukan bahasa Cia-cia Indonesia?
    Anak-anak suku Cia-cia sekarang memang tidak berkarakter atau bertabiat seperti penutur bahasa Bengali, yang pernah berjuang menuntut kemerdekaan bahasa ibu dari Pakistan. Pakistan juga bukan Indonesia. Namun, jika pemerintah Indonesia gagal mengelola kontroversi bahasa Cia-cia, tidak mustahil tuntutan berbahasa ibu ala Cia-cia Korea itu makin liar. Penutur bahasa itu pun bisa jadi nakal dan bengal! ●
  • Hakikat Seberkas Makalah Ilmiah

    Hakikat Seberkas Makalah Ilmiah
    Terry Mart, PENGAJAR FISIKA FMIPA UI
    Sumber : KOMPAS, 21 Februari 2012
    Tajuk rencana Kompas, 8 Februari lalu, jernih dan obyektif membeberkan masalah sebenarnya di balik ”Polemik Sekitar Jurnal Ilmiah”.
    Kita tentu berharap langkah berani Dirjen Dikti dapat memperbaiki kesalahan masyarakat ilmu kita yang sangat mungkin telah menjadi penyebab ketertinggalan prestasi kita dibandingkan dengan negara tetangga. Namun, tulisan Franz Magnis-Suseno yang berdampingan dengan tajuk rencana tersebut dengan kesimpulan yang sangat berseberangan menggelitik hati saya untuk mempertanyakan hakikat seberkas makalah ilmiah yang jadi pokok soal. Saya khawatir hakikat ini telah dilupakan.
    Hakikat Makalah Ilmiah
    Pada hakikatnya, seberkas makalah ilmiah tak lebih dari sebuah laporan hasil salah satu kegiatan tridarma perguruan tinggi: penelitian dalam bentuk ringkas, tetapi padat dan mengikuti kaidah yang telah disepakati komunitas penelitian itu. Tentu jika ada pelaporan harus ada penerima dan pemeriksa laporan. Siapa lagi yang kompeten memeriksa laporan itu jika bukan kolega sejawat dan sebidang yang sangat paham makna hasil penelitian itu.
    Karena laporan itu bersifat ilmiah, kebenaran di dalamnya harus dapat disanggah secara universal, menembus kungkungan negara, bahasa, bahkan budaya. Itulah tujuan publikasi makalah, terutama publikasi internasional. Hasil penelitian yang dilaporkan pada akhirnya harus diakui semua anggota komunitas global sebagai temuan si pelapor jika tak ada lagi, atau paling sedikit minim, gugatan.
    Makalah ilmiah sebagai laporan hasil penelitian kepada komunitas ilmiah sudah menjadi prosedur baku sejak lebih dari 100 tahun lalu. Boleh dibilang, proses ini telah menjadi bagian integral dari kegiatan ilmiah, bahkan sudah menghasilkan produk sampingan berupa faktor dampak, indeks-h, indeks-g, dan sebagainya yang bertujuan mengukur seberapa penting laporan ilmiah tadi.
    Lazimnya para penyandang dana penelitian tak begitu paham detail hasil penelitian yang mereka danai. Mereka harus berkonsultasi dengan kolega sejawat peneliti. Cara paling praktis tentu saja melihat apakah hasil pene- litian itu dapat ”menembus” pemeriksaan ketat kolega itu: berhasil diterbitkan di jurnal standar komunitasnya. Karena kebenarannya universal, komunitasnya harus global.
    Jika penelitian didanai masya- rakat, masyarakat yang relatif awam terhadap penelitian itu juga berhak bertanya apakah dana yang mereka bayar melalui pajak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Jika produk penelitian adalah barang jadi yang dapat langsung dilempar ke industri atau paten, pertanyaan tentang manfaat segera terjawab.
    Namun, bagaimana halnya dengan produk berupa simulasi, metode, teori, pandangan filsafat, atau ideologi baru yang boleh jadi di negara ini hanya segelintir orang yang mengerti makna pentingnya? Jika hasil penelitian sudah dimuat di jurnal internasional, para juri jurnal itulah yang mengambil alih tugas menjawab pertanyaan ini.
    Di dekat kota Osaka, Jepang, tersua fasilitas sinkrotron bernama SPRING8 yang dibangun dengan dana sekitar Rp 12 triliun dengan biaya operasional per tahun sekitar Rp 1 triliun. Siapa yang menanggung biaya ini kalau bukan Pemerintah Jepang dan pengguna fasilitas.
    Namun, ada kebijakan unik di sana. Jika hasil penelitian pema- kai fasilitas dipublikasikan, pemakai tak dikenai biaya. Jika hasil penelitian dirahasiakan, pemakai dikenai biaya yang dihitung per jam! Unik, tetapi pesannya jelas. Jika dipublikasikan, hasil penelitian menjadi public goods, sudah dipertanggungjawabkan kepada khalayak. Sementara itu, hasil penelitian yang dirahasiakan akan selamanya menjadi milik si peneliti. Masuk akal jika ia harus membayar untuk itu.
    Sekarang pertanyaan kita: apa sebenarnya tujuan penelitian di perguruan tinggi? Karena kegiat- an di perguruan tinggi adalah proses transfer dan pengembangan ilmu, sejatinya mayoritas penelitian perguruan tinggi bersifat pengembangan ilmu yang cakupannya sangat spesifik, hanya diketahui segelintir manusia di negara ini. Maka, agar kebenaran hasilnya dapat diperiksa, ia harus dipublikasikan (secara internasional).
    Ironisnya, mayoritas masyarakat perguruan tinggi kita sudah lama dan terbiasa meninggalkan budaya ilmiah ini. Contoh paling jelas, meski akhir-akhir ini sudah mulai dikurangi, produk sebuah penelitian cukup berupa laporan tebal plus laporan keuangan. Kalaupun ada review hasil penelitian, sudah lazim pula jika pelakunya tak sebidang dan tak tahu persis apakah hasil penelitian yang dilaporkan bermakna saking spesifiknya penelitian itu. Itulah pola yang sudah berlangsung lama dan telah membuat kita terjebak dalam ketertinggalan ilmu yang sangat parah.
    Tak perlu digugat lagi betapa banyak manfaat publikasi ilmiah, terutama publikasi internasional: klaim hak cipta, mempercepat pengembangan ilmu, mencegah plagiarisme, membangun komunikasi dan kerja sama ilmiah, menjaga mutu penelitian dan lulusan perguruan tinggi, serta menjaga eksistensi peneliti Indonesia di komunitasnya.
    Yang terakhir ini juga penting sebab saya sering menghadapi sapaan basa-basi saat berkenalan dengan kolega dari negara maju: ”Oh, you are from Indonesia! Nice to meet you, I’ve never seen an Indonesian scientist is working in this field before.
    Publikasi Mahasiswa?
    Menulis makalah di sebuah jurnal ilmiah merupakan bagian integral dari proses pengembangan ilmu. Jadi, harus juga dikenalkan kepada mahasiswa. Mereka yang pernah mengenyam pendidikan S-3 di negara maju tahu persis bahwa hampir semua tesis di sana dipublikasikan di jurnal internasional. Hal ini sudah berlaku di negara tetangga.
    Untuk program S-2, kondisinya berbeda. Di Inggris, S-2 dapat ditempuh tanpa tesis. Di Jerman, isi sebuah Diplomarbeit umumnya dapat dipublikasikan di jurnal internasional karena dikerjakan secara serius selama satu tahun.
    Bagaimana dengan S-1? S-1 unik karena ia bukan tingkat bachelor ataupun master. Karena S-1 merupakan bagian formal dari institusi ilmiah, budaya ilmiah pun sepatutnya diterapkan meski tingkat penerapannya berbeda dengan S-2 dan S-3. Jika tidak, kita harus berhenti menganggap seorang sarjana berbeda dengan lulusan sekolah vokasi.
    Sebagai kesimpulan, usul Franz Magnis-Suseno agar Dikti membuka perwakilan di Timor Leste untuk memfasilitasi pembuatan jurnal internasional ala Indonesia jelas salah besar. Justru kewajiban kita membuat publikasi mahasiswa S-3 memenuhi kualitas standar jurnal internasional yang sudah mapan sehingga mutu lulusan S-3 kita tak perlu dipertanyakan.
    Selama ini kita dan generasi pendahulu kita sudah membuat kesalahan besar dalam pengembangan budaya ilmiah di perguruan tinggi yang, jika tak segera dibenahi, akan meruntuhkan bangunan peradaban bangsa ini. Pembenahan harus multilevel, bahkan mungkin dari tingkat pendidikan anak usia dini sekalipun. Namun, jelas pembenahan harus mulai dari detik ini. Jangan menunggu lagi. ●
  • Pesona Korupsi

    Pesona Korupsi
    Tb Ronny Rachman Nitibaskara, KETUA PUSAT PENGKAJIAN KETAHANAN NASIONAL UNIVERSITAS INDONESIA; REKTOR UNIVERSITAS BUDI LUHUR
    Sumber : KOMPAS, 21 Februari 2012
    Belakangan, semakin banyak pelaku korupsi yang dibawa ke meja hijau. Meski demikian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, berat dan butuh waktu lama untuk memberantas korupsi ini.
    Presiden juga menyatakan, selama tujuh tahun terakhir, pemberantasan korupsi berjalan agresif. Semua dapat berjalan atas kerja sama dan dukungan semua pihak, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, segenap jajaran penegak hukum, pers, dan organisasi antikorupsi.
    Masih banyak kasus korupsi yang belum terselesaikan karena menangani kasus korupsi memang tak semudah membalik telapak tangan. Pelaksanaan pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen total semua pihak untuk menegakkan hukum secara konsekuen dan konsisten.
    Paradoks Korupsi
    Setiap korupsi, di birokrasi mana pun, sifatnya sama, yakni pemanfaatan jabatan oleh oknum pejabat untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya. Perbuatan tersebut jelas menyimpang dari sumpah jabatan ataupun hukum yang berlaku.
    Dalam pandangan syariat, korupsi merupakan pengkhianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dapat dikategorikan sebagai pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb). Menurut pandangan ini, hukuman yang layak untuk koruptor adalah potong tangan sampai dengan hukuman mati.
    Korupsi telah didefinisikan dalam 13 pasal UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, ada 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
    Dengan demikian, ada beberapa unsur penting untuk menentukan suatu perbuatan, termasuk tindak pidana korupsi. Mereka memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau kelompok dengan cara menyalahgunakan wewenang, memanfaatkan kesempatan, sarana, dan fasilitas. Ujungnya adalah kerugian keuangan negara.
    Tindak pidana korupsi adalah perbuatan mencuri dengan cara yang berbeda dari kejahatan jalanan (blue collar crime) yang terang-terangan mencuri. Tindak pidana korupsi adalah kejahatan kerah putih (white collar crime) dengan motif dan modus yang lebih canggih.
    Sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam peraturan dan undang-undang sebenarnya cukup untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Namun, masih ada saja pihak yang melakukan sehingga menimbulkan pertanyaan, apa yang menggoda dari korupsi sehingga orang melampaui batas takutnya terhadap ancaman sanksi pidana?
    Realitas Sosial
    Tatkala ancaman pidana tidak lagi menakutkan, kita tidak hanya mesti meninjau ulang kebijakan peradilan pidana tentang korupsi, melainkan juga meneropong realitas sosial masyarakat Indonesia. Kejahatan tampaknya dianggap sebagai solusi untuk menghilangkan kecemasan dalam menghadapi masa depan.
    Sebagian besar pelaku tindak pidana korupsi memiliki latar pendidikan tinggi. Kebetulan, dalam kekuasaan terdapat sudut yang menggoda (power seduction), yakni kekuasaan diskresi (discretionary power), suatu jenis kekuasaan untuk menggunakan kewenangan. Dalam konstelasi itulah koruptor menyelewengkan jabatan. Bersamaan dengan pelaksanaan kebijakan untuk kepentingan publik, dengan mudah diselipkan pula niatan untuk menarik keuntungan pribadi atau kelompok. Agar terhindar dari jeratan hukum, teknik pencurian dipercanggih.
    Di sini juga terjadi transformasi modus operandi korupsi, termasuk menebar jaringan pertanggungjawaban (distribution of responsibility) sehingga tersusun semacam kleptokrasi, yakni birokrasi yang korup.
    Dalam kekuasaan menjalankan jabatan memang terdapat paradoks. Pada satu sisi kekuasaan dibatasi oleh hukum, pada sisi lain sengaja dilepas dan diserahkan pada otoritas individu pejabat. Apabila kekuasaan diskresi dipersempit atau diperketat, pejabat sulit mengambil keputusan karena sempitnya pilihan bertindak, menghadapi keadaan yang senantiasa mengalami perubahan. Sebaliknya, apabila diskresi longgar, ada potensi terjadi tindakan yang melampaui batas wewenang (excess du pouvoir) yang berujung korupsi.
    Batasan diskresi dan diskriminasi tipis. Jika pejabat amanah, ia tak akan tergoda oleh kekuasaan diskresi sebesar apa pun, bahkan juga oleh ketidakpastian kondisi ekonomi ke depan.
    Jabatan juga meningkatkan kebutuhan yang semula tak ada, termasuk untuk menopang atribut kekuasaan dan biaya pengganti dukungan untuk mempertahankan kekuasaan. Seperti dikatakan Durkheim (1965), seiring dengan meningkatnya kesejahteraan, meningkat pula keinginan. Semakin banyak yang terpenuhi, semakin terasa kurang dan kian takut kehilangan. Dengan kata lain, nafsu (serakah) juga menjadi pendorong ketakutan pada ancaman ekonomi.
    Tindak pidana korupsi tidak dapat dipandang sebelah mata. Kecemasan akan hilangnya kenikmatan lebih menjadi momok daripada sanksi pidana. Karena masalah bersumber pada materi, pendekatan materialis pragmatis menjadi pilihan utama.
    Pertimbangan rasional tersebut menjadi indikator bahwa pelaku korupsi sama persepsinya dengan pelaku kejahatan properti dari golongan tak mampu, yakni menjadikan kejahatan yang dilakukan bersifat fungsional: sebagai solusi persoalan.
    Dengan demikian, karena ditempatkan sebagai jalan keluar, korupsi senantiasa diusahakan, dicari, dan dibudidayakan dalam sistem yang memungkinkan kejahatan dilaksanakan.
    Dalam situasi kompetisi dan akselerasi seperti sekarang, tak sedikit pikiran orang yang menyerupai teori Charles Darwin, yaitu menganggap bahwa yang kuat akan bertahan. Sayangnya, lagi-lagi kuat itu diidentikkan dengan kaya karena kekayaan merupakan wujud paling nyata untuk memberikan rasa aman pada masa depan.
    Dengan demikian, dalam kaitan menjadikan korupsi sebagai solusi, inkonsistensi penyelenggaraan fungsi lembaga negara beserta aparat di dalamnya dapat membahayakan seluruh elemen dan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Maka, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas dan menyeluruh. ●
  • Rasionalitas Korupsi

    Rasionalitas Korupsi
    Arif Susanto, DOSEN FISIPOL UNIVERSITAS GADJAH MADA;
    DIREKTUR EKSEKUTIF LEMBAGA SURVEI INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 21 Februari 2012
    Di tengah maraknya korupsi, kita kembali diingatkan kalimat ”Kekuasaan cenderung disalahgunakan”. Pernyataan anggota Parlemen Inggris, Lord Acton (1834-1902), itu memang berlaku abadi. Tindakan korupsi hanya mungkin dilakukan mereka yang punya kekuasaan.
    Namun, kita masih perlu penjelasan tentang motif dasar yang menggerakkan orang untuk korupsi. Jika problem di atas diajukan kepada Thomas Hobbes (1588-1679), jawabannya: karena manusia cenderung pada pemenuhan hasrat secara berkelanjutan. Apa jadinya jika kekuasaan negara dikelola dengan hasrat yang potensial merusak?
    Hasrat Manusia
    Hobbes adalah pelopor pemikiran modern tentang kepentingan diri. Ia tak memandang negatif rasa cinta diri manusia, tetapi justru memanfaatkannya untuk mewujudkan suatu tertib sosial.
    Hobbes percaya manusia memberikan prioritas pada upaya perlindungan diri. Demi menghasilkan suatu tatanan politik, ia menganjurkan pertukaran kepatuhan pada kekuasaan negara dengan rasa aman.
    Menurut Hobbes, manusia punya kebebasan bertindak dan emosi adalah yang menggerakkan tindakan. Dalam tindakan dan emosi terdapat rasa cinta dan benci. ”Sesuatu yang dikehendaki orang adalah apa yang mereka cintai dan sesuatu yang dibenci adalah apa yang tidak mereka sukai” (Leviathan, Bab VI, halaman 32).
    Atas dasar itulah orang kemudian membuat penilaian: segala yang memenuhi hasrat kesenangan dipandang baik dan segala yang tidak dikehendaki dianggap buruk. Kita dapat mengambil contoh: terpandang itu baik, terhina itu buruk; kenikmatan itu baik, penderitaan itu buruk.
    Dengan segala hasrat untuk memenuhi kepentingan dirinya, manusia sulit untuk tenang dalam kepuasan. Obyek hasrat seseorang bukanlah semata untuk menikmati sesuatu sekali dan sekejap, melainkan untuk keberlanjutan pemenuhan hasrat. ”Kecenderungan umum manusia adalah hasrat abadi dari penguasaan yang satu menuju penguasaan yang lain. Hanya berhenti saat dia meninggal” (Leviathan, Bab IX, halaman 61).
    Menimbang bahwa perhatian pada kesejahteraan berkelanjutan merupakan kepentingan sekaligus landasan bagi tindakan manusia, David Gauthier (1969:7) berkesimpulan, ”Manusia itu mementingkan diri sendiri”.
    Jika demikian, apa konsekuensinya? Karena kepentingan diri terbentuk melalui hasrat emosional—yang adalah penggerak tindakan—rasionalitas itu terikat pada kepentingan diri. Artinya, kepentingan diri jadi pertimbangan pokok perspektif personal seseorang.
    Jika cara bernalar semacam itu kita bawa ke ruang kekuasaan, koruptor akan berpikir demikian: ”jika korupsi itu menguntungkan, bukankah itu suatu tindakan yang rasional?”
    Kalau rasional dipahami sebagai segala yang memberikan kenikmatan bagi seseorang, dalam perspektif yang sempit niscaya simpulan tersebut diterima oleh manusia-manusia Hobbesian.
    Apakah artinya Hobbes memberikan justifikasi terhadap korupsi? Jelas tidak. Ia sekadar menggambarkan, tindakan manusia sesungguhnya dilandasi kepentingan dirinya. Maksimisasi hasrat malah melahirkan perselisihan.
    Ia mengidentifikasi tiga prinsip yang menyebabkan perselisihan: persaingan demi mendapatkan keuntungan, ketidakpercayaan yang memunculkan kebutuhan rasa aman, dan kejayaan yang diperjuangkan demi nama besar. Persoalannya, perselisihan tersebut dapat menghasilkan kehancuran—perang setiap orang melawan setiap orang—manakala negara tidak hadir dengan segenap kedaulatannya.
    Negara Ahistoris
    Kita telah paham manusia Hobbesian adalah manusia yang mengedepankan pemenuhan hasrat secara berkelanjutan. Dalam kasus korupsi, tindakan memperkaya diri atau orang lain melalui penyalahgunaan kekuasaan merupakan bagian dari pemenuhan hasrat, dan itu rasional.
    Namun, kita mesti cermat membedakan antara rasional dan beralasan (reasonable) untuk paham bahwa korupsi itu meski rasional tetap tidak dibenarkan.
    John Rawls (2008:54) menjelaskan rasional biasa dipahami sebagai logis atau bertindak demi kebaikan atau kepentingan seseorang, sementara reasonable lebih dimengerti sebagai berpikiran terbuka, bijak, dan mampu mempertimbangkan pandangan yang berlainan.
    Dalam perkara ini, rasional menyangkut pemajuan kebaikan atau kemanfaatan bagi seseorang atau tiap-tiap orang yang bekerja sama, sementara reasonable lebih berkenaan dengan tindakan bersama.
    Dengan sudut pandang tersebut, sebagai tindakan memperkaya diri, korupsi itu masuk akal; sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi itu tidak ada pembenarannya.
    Meski jelas tidak dapat dibenarkan, korupsi merupakan salah satu persoalan besar yang tidak mampu dituntaskan seluruh rezim pasca-Soeharto.
    Ketika sebagian pihak membanggakan stabilitas demokrasi Indonesia kontemporer, ironis bahwa stabilitas terbangun terutama oleh pertukaran kepentingan (yang antara lain membiakkan korupsi) di kalangan elite. Pada beberapa masa terakhir, korupsi semakin dalam memasuki ruang kekuasaan dan menggerogoti integritasnya.
    Secara formal, negara tetap ada dan beroperasi. Namun, kekuasaan negara tak banyak memproduksi kebijakan dan keputusan yang bersumber dari—sekaligus diorientasikan pada—kepentingan bersama rakyat.
    Tindakan negara lebih kerap menunjukkan perilaku strategis yang dijalankan menggunakan rasionalitas kekuasaan; sesuatu dipandang baik sejauh memberikan kontribusi bagi penguatan kekuasaan. Negara menjadi ahistoris karena pengelolaan kekuasaan cenderung menjauh dari pertimbangan yang reasonable.
    Mentalitas manusia Hobbesian—yang mengedepankan kepentingan diri—dikembangkan dalam menjalankan negara sehingga negara semakin terasing dari masalah publik.
    Kalau gejala ini terus menguat, negara tak akan mampu menegaskan otoritasnya untuk memperoleh kepatuhan warga. Ini merupakan suatu pintu masuk bagi negara gagal; suatu kebangkrutan bagi penyelenggaraan kekuasaan.
    Demi menghindari itu terjadi, elite sepatutnya memulihkan akuntabilitas dan integritas sebagai bagian lekat dari kekuasaan.
    Akuntabilitas dan integritas tidak ditentukan oleh besarnya dukungan dalam pemilu atau dalam survei opini. Keduanya lebih ditentukan tingkat pertanggungjawaban kekuasaan terhadap publik dan terpenuhinya standar moralitas.
    Kalau Presiden mengeluhkan tidak berjalannya sejumlah instruksi, patut dipahami bahwa tentang kekuasaan, tak ada yang lebih efektif dibandingkan penyelenggaraan negara secara akuntabel dan berintegritas.
    Jadi, untuk menyelesaikan perkara ini, yang pertama kali perlu diperiksa adalah akuntabilitas dan integritas kekuasaan itu sendiri. ●
  • Partai, Patronase, Politik Uang

    Partai, Patronase, Politik Uang
    Dodi Ambardi, DOSEN FISIPOL UNIVERSITAS GADJAH MADA;
    DIREKTUR EKSEKUTIF LEMBAGA SURVEI INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 21 Februari 2012
    Kasus Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, hampir setahun menjadi tajuk media. Mudah ditebak, kasus suap wisma atlet ini melibatkan partai pemenang Pemilu 2009, petinggi partai, dan sejumlah nama tenar. Tentu saja, korupsi politik ini menjadi sorotan publik karena menyangkut penyalahgunaan uang negara.
    Umumnya, cacat moral politisi dengan mudah kita pilih sebagai penyebab untuk menjelaskan terjadinya korupsi politik. Meskipun masuk akal, penjelasan ini cenderung mengentengkan sebab-sebab lain dan menggampangkan persoalan politik keuangan partai dan politisi partai.
    Lemahnya tradisi hukum di Republik ini bisa menjelaskan menjangkitnya gejala korupsi politik. Sistem pemilihan umum semiterbuka juga mendesak politisi untuk bertarung dengan mengandalkan uang.
    Namun, faktor dan karakter pengorganisasian parpol terlewatkan, padahal faktor ini tak kalah penting untuk menjelaskan logika politik keuangan para politisi partai.
    Organisasi partai
    Formalnya, Undang-Undang tentang Partai Politik tahun 2008 mengamanatkan partai peserta pemilihan umum harus memiliki jumlah cabang minimal 2/3 di tingkat provinsi dan 2/3 kabupaten/kota di tiap provinsi tersebut. Tujuan pasal ini cukup mulia, yakni untuk mengurangi kemungkinan munculnya partai abal-abal.
    Selain itu, tujuan lain yang hendak diraih dari persyaratan itu adalah memungkinkan teraihnya fungsi representatif parpol.
    Dengan ratusan cabang di daerah, parpol diharapkan bisa menjaring aspirasi pemilih dengan mendayagunakan sumber daya keorganisasian partai di tingkat pinggiran sampai ke tingkat pusat.
    Organisasi partai yang bertakik-takik itu, secara teoretis, bisa mewadahi proses penjaringan itu sehingga fungsi penyaluran kepentingan konstituen bisa terjamin. Namun, itu rumusan benar di atas kertas, yang bisa terjadi bisa juga tidak. Efek sampingnya pun bisa tak terduga.
    UU Partai Politik telah menyeragamkan struktur organisasi partai di Indonesia dan menghasilkan postur organisasi partai yang tambun dan masif serta hierarkis. Alih-alih menjaring aspirasi pemilih, bentuk keorganisasian semacam itu sesungguhnya juga bisa bertransformasi menjadi jaringan patronase bertingkat dari pusat hingga daerah.
    Patronase, secara sederhana, adalah hubungan mutualisme antara patron dan anak buah melalui mekanisme pertukaran politik. Bentuk pertukaran ini bersifat khusus, di mana anak buah memberikan dukungan politik atas imbalan jabatan atau materi.
    Pada tingkat elite partai, yakni kepengurusan dari pusat sampai daerah, patronase menjadi sendi kompetisi dan mobilisasi dukungan politik di dalam partai. Faksionalisme yang muncul dalam partai tak lain adalah persaingan antarpatron.
    Untuk membangun dukungan politik di dalam organisasi, setiap patron mengembangkan tautan patronase ke bawah dan ke daerah-daerah. Pemetaan perimbangan kekuatan di lingkungan partai ditandai dengan kategori ”orang siapa”.
    Faksionalisme di dalam partai tidaklah bersumber dari perbedaan penafsiran tentang visi partai, tetapi berdasar atas tautan kesetiaan perorangan terhadap seorang patron. Orang daerah umumnya memiliki patron di kepengurusan pusat.
    Kandidasi di dalam partai untuk jabatan organisasi juga mengikuti logika ini. Cacah suara dukungan dibangun dan dipelihara berdasar prinsip pertukaran.
    Setiap kandidat tidaklah membangun legitimasi dan dukungan yang berbasis visi, ide, atau argumen, tetapi seberapa besar imbalan yang bisa mereka sebarkan kepada pemilik suara di kongres partai.
    Karena itu, inti organisasi partai sesungguhnya adalah sekumpulan patron yang saling bersaing memperluas jaringan patronase ke bawah. Kampanye yang visioner selalu bersifat sekunder.
    Di tingkat daerah pun, model dan tautan ini berkembang pesat. Hierarki komando bisa berjalan maksimal hanya dengan membangkitkan, memperluas, dan memelihara jaringan patronase. Pendeknya, politik internal partai adalah politik perseorangan.
    Bagaimana membiayai jaringan itu? Di titik inilah uang menjadi penting. Secara eufemistis, pembiayaan jaringan itu muncul dalam berbagai istilah: bantuan transportasi, biaya penginapan, uang makan, sangu pulang ke daerah, atau semuanya bisa diringkas dalam ungkapan biaya akomodasi dan logistik.
    Tidak mengherankan kemudian jika kandidat yang memiliki kantong tebal juga berarti memiliki kans lebih tinggi untuk memenangi persaingan di dalam partai.
    Ini bukanlah satu-satunya penentu kemenangan, tetapi ini adalah soal penghitungan kans kemenangan. Dalam konteks ini pula istilah bandar dan cukong kerap muncul dalam persaingan politik dalam partai karena fungsi strategi mereka untuk membiayai pemenangan.
    Dalam konteks ini pula, kasus Nazaruddin bisa dijelaskan. Namun, seberapa luas mode mobilisasi keuangan semacam itu—yakni penyalahgunaan uang negara— merambah kehidupan partai politik?
    Jangkauan
    Kalau model organisasi partai di Indonesia pada dasarnya seragam, dan setiap partai dan politisi mengembangkan jaringan patronase di tingkat kepengurusan dan di tingkat konstituen, maka sesungguhnya logika politik keuangan di setiap partai akan sama juga.
    Karena itu, kita bisa menduga bahwa kasus Nazaruddin tentulah bukan sebuah kasus unik yang tak ada kembarannya. Mode mobilisasi uang negara untuk pembiayaan politik pasti terjadi juga di partai-partai lain.
    Kasus-kasus lama dan mutakhir tentang cara mobilisasi keuangan yang dilakukan oleh para politisi memberikan banyak ilustrasi.
    Media massa mengungkapkan kecurigaan patgulipat dalam proyek e-KTP di DKI Jakarta yang melibatkan beberapa petinggi Golkar, kasus cek pelawat yang melibatkan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), berbagai kasus anggaran yang melibatkan hampir semua politisi partai di Badan Anggaran DPR, dan tentu, kasus Nazaruddin yang melibatkan politisi Partai Demokrat dan kemudian menyeret politisi PDI-P.
    Pendeknya, mobilisasi dana politisi dan dana partai dengan memanfaatkan dana negara tampaknya adalah cara yang lazim, yang diterima di kalangan elite.
    Karena itu, kategori yang berguna bagi kita untuk memahami politik keuangan partai atau politisi di Indonesia bukan kategori siapa dan partai mana yang memanfaatkan uang negara. Yang lebih cocok, mungkin, adalah kategori (a) tertangkap, (b) terdeteksi, dan (c) tersimpan rapi.
    Jika format masif organisasi dan jaringan patronase yang menjadi sendi partai ternyata adalah biang keladi korupsi politik, maka di dua titik inilah perombakan harus dilakukan. Celakanya, format masif organisasi itu bersumber dari perundang-undangan yang memiliki tujuan mulia tetapi membawa ekses negatif.
    Pengenduran syarat atas jumlah cabang minimal yang harus dimiliki oleh partai politik untuk meredakan desakan pada politisi untuk membiayai jaringan patronase yang harus dikompensasikan dengan munculnya kemungkinan pendirian partai secara asal-asalan.
    Implikasi praktisnya, kemudahan pendirian partai kelak akan menyulitkan administrasi pemilihan umum, karena ratusan partai baru akan dengan mudah ikut pemilu.
    Selain itu, jangkauan partai ke daerah akan menipis drastis karena tak punya tangan organisasi di tingkat bawah, dan itu justru akan semakin menjauhkan mereka dari publik.
    Tampaknya, yang lebih cocok dilakukan adalah memerangi politik berbasis patronase yang selama ini tertanam dalam tubuh partai-partai di Indonesia.
    Standar etika politik dalam kompetisi internal partai yang bisa mencegah praktik patronase perlu didesakkan dalam kehidupan internal partai.
    Mungkin, dalam derajat tertentu, aturan hukum bisa dirumuskan agar praktik patronase itu berkurang. ●
  • Partai Politik dan Kedustaan

    Partai Politik dan Kedustaan
    Yudi Latif, PEMIKIR KEBANGSAAN DAN KENEGARAAN
    Sumber : KOMPAS, 21 Februari 2012
    “Jika syarat masuk surga itu harus masuk partai politik, saya lebih memilih tak mau menjadi anggota partai politik.” Pernyataan Thomas Jefferson itu mendekati sinisme yang berkembang di Indonesia saat ini, yang memandang partai politik dalam konotasi peyoratif.
    Sinisme itu meluas seiring dengan tendensi keserbahadiran partai merecoki segala bidang kehidupan dengan menampakkan diri dalam wajah ”kebebalan keburukan” (banality of evil). Politik sebagai arena pertukaran gagasan bijak, perjuangan aspirasi rakyat, akuntabilitas dan pertanggungjawaban publik diselewengkan oleh parpol menjadi arena penampakan kedangkalan berpikir, transaksi kepentingan pragmatis, korupsi, pengingkaran, dan pembohongan publik.
    Elite partai yang mestinya menjadi garda res publika (urusan publik) justru menjadi simpul terlemah dari kehidupan negeri. Meminjam ungkapan Sayidina Ali, ”Sesungguhnya golongan elite ini adalah yang paling memberatkan wali negeri dalam masa kemakmuran, paling kecil memberikan bantuan saat terjadi musibah, paling tidak menyukai keadilan, paling banyak permintaannya secara terus-menerus, tetapi paling sedikit rasa terima kasihnya jika diberi, paling tidak siap menerima alasan jika ditolak, dan paling lemah kesabarannya jika berhadapan dengan berbagai bencana.”
    Sebagai sumber pemasok kepemimpinan negara, perilaku politisi bahkan belum memiliki prasyarat mendasar untuk bisa mewakili masyarakat manusia. Menurut Aristoteles, yang membedakan manusia dengan binatang adalah kemampuan membedakan yang baik dan buruk, adil dan zalim, yang memperoleh puncak ekspresinya pada negara yang dapat membedakan kebaikan dengan keburukan.
    Pangkalnya Adalah Dusta
    Pangkal dari semua keburukan itu adalah dusta. Sedemikian rupa sehingga, menurut resep pertobatan Nabi Muhammad, hal-hal negatif lain masih bisa dimaafkan sejauh tidak melakukan ”dusta”. Celakanya, pada titik inilah jantung krisis kenegaraan kita bermula.
    Dusta mendarahi republik ini dari hulu sampai hilir. Kesibukan para calon pemimpin politik bukanlah menawarkan isi, melainkan kemasan; bukanlah mendalami basis moral dan visi republik, melainkan sekadar memperhatikan hasil rekayasa survei. Partai tidak didirikan sebagai perwujudan dari aspirasi dan perjuangan kolektif, melainkan sebagai alat mobilisasi dukungan elite politik.
    Pemilu tidak menjadi sarana rakyat untuk menghukum para politisi khianat lewat jaminan penghitungan suara yang fair, melainkan jadi alat pengukuhan kembali para politisi pendulang ulang. Para kepala daerah lebih disibukkan untuk membayar utang-utang politik ketimbang memperhatikan pelayanan publik.
    Dalam masalah dusta politik itu, saat ini Partai Demokrat yang paling sering dituduh karena perilaku sejumlah kadernya. Sebagai pemenang pemilu legislatif dan presiden, Partai Demokrat paling bertanggung jawab menentukan hitam-putihnya Republik saat ini. Tanggung jawab itu setidaknya menyangkut pemenuhan janji kampanyenya.
    Partai inilah yang dalam janjinya paling lantang mengatakan ”tidak” pada korupsi. Nyatanya, orang lingkaran inti partai ini satu per satu terbongkar menjadi bagian dari sindikat korupsi. Tidak hanya berhenti pada korupsi, orang-orang ini juga secara dingin memperlihatkan ketegaannya untuk berdusta, membohongi nalar publik.
    Kian hari kian terungkap, barangsiapa menciptakan drama pantas mendapatkan karma. Bahwa, sesuatu kekuasaan yang dimulai dengan dusta bisa melahirkan efek peniruan di tingkat bawah, sehingga beranak pinak menjadi keluarga besar ”partai dusta”. Spiral dusta ini pada akhirnya akan berbalik arah merongrong wibawa kekuasaan, yang diindikasikan oleh merosotnya kepercayaan publik kepada Presiden.
    Negara ini tak bisa dipimpin dusta. Sekali kita menggunakan kebohongan sebagai cara meraih dan mempertahankan kekuasaan, manipulasi dan destruksi menjadi tak terelakkan sebagai praktik memimpin. Hasil akhir tindak kebohongan ini adalah pengabaian rakyat dan ketidakpercayaan secara berkelanjutan.
    Kepercayaan publik itu merupakan pertaruhan Republik. Presiden Jerman Christian Wulff baru saja mundur dari jabatannya hanya karena menerima fasilitas saat meminjam dana dari bank untuk mencicil rumah sebelum menjadi presiden. Pengunduran diri itu ia pilih demi mempertahankan kepercayaan publik pada politik, khususnya kepada Kanselir Angela Merkel yang tengah bergelut agar Jerman bisa keluar dari krisis utang di zona euro.
    Di dalam politik, tidak ada yang lebih penting daripada keselamatan republik. Karena itu, setiap pemimpin politik harus berjiwa besar, siap mengorbankan apa pun demi kebaikan bangsa dan negara. Politisi kerdil, yang hanya memperjuangkan kepentingan diri dan kelompoknya, dan untuk itu tega berkhianat dan membohongi publik, tak pantas berambisi memimpin republik ini.
    Rantai terlemah dari demokrasi Indonesia saat ini adalah mediokritas dan dekadensi golongan politik: miskin gagasan, miskin etika, miskin pelayanan. Situasi inilah yang melahirkan apatisme dan sinisme publik pada politik.
    Situasi demikian amat merisaukan. Seperti diingatkan Robert Maynard Hutchins, ”Kematian demokrasi bukanlah karena pembunuhan oleh penyergapan secara tiba-tiba, tetapi merupakan kepunahan secara perlahan yang disebabkan oleh apatis, ketakhirauan, dan kemelaratan.” ●
  • Polemik Seputar Peraturan Dikti tentang Wajib Publikasi Ilmiah

    Polemik Seputar Peraturan Dikti
    tentang Wajib Publikasi Ilmiah
    Djoko Santoso, PENGAJAR FK UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA;
    STAF RSUD DR SOETOMO
    Sumber : JAWA POS, 21 Februari 2012
     
    Dancing in all its forms cannot be excluded from the curriculum of all noble education; dancing with the feet, with ideas, with words, and, need I add that one must also be able to dance with the pen? Friedrich Nietzsche (1844-1900)

    DUNIApendidikan tinggi sedang dihebohkan oleh surat edaran Dirjen Dikti yang isinya pada intinya mengharuskan karya akhir mahasiswa S1, S2, dan S3 dipublikasikan dalam jurnal ilmiah sesuai dengan tingkatannya. Termasuk untuk tingkat S3 harus di jurnal internasional. Keharusan publikasi itu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas karya ilmiah dan mengejar ketertinggalan dengan negara-negara lain.

    Kegundahan dan kebingungan boleh jadi memang menghinggapi banyak kalangan di dunia kampus. Syarat memang sangat berat dilaksanakan. Tokoh-tokoh pendidikan pun menyebut itu dengan “tergesa-gesa” dan tidak mungkin terlaksana dengan baik. Salah satu tokoh yang paling lantang menyorot kebijakan itu adalah Franz Magnis Suseso, pensiunan guru besar filsafat yang ternama.

    Penulis memandang, Dirjen Dikti jelas memiliki niat yang luhur, sementara para pengkritik juga tidak berniat buruk. Tetapi, alangkah membanggakannya kalau SE Dirjen Dikti itu dapat mendorong karya akademik lebih berkualitas hingga menembus level lebih tinggi. Di sisi lain, apa yang diharapkan Franz Magnis Suseno agar para akademisi/mahasiswa dapat memperoleh ketenangan untuk berkarya, tanpa beban, sehingga lebih produktif  dan memperoleh gelar.

    Tetapi, marilah kita bicara mengapa warga kampus menulis dan menerbitkan karyanya. Antara lain, terkait penghargaan dan akuntabilitas karena ini merupakan aktivitas yang berharga. Henson (1999) atau Thyer (1994) menunjukkan, menulis adalah sebuah jalan berinteraksi untuk mendapatkan kredibilitas, untuk memperoleh legitimasi profesi, memperkuat posisi/jabatan, untuk meningkatkan cara pandang, serta untuk mempromosikan profil diri.

    Intinya, dengan menulis dan meneliti, seseorang dapat mengubah semuanya. Menulis yang merupakan proses untuk menyusun ide dapat membuat Anda berpikir dan berpikir, mendorong untuk selalu membaca dan membaca lebih kritis. Antara membaca dan menulis itu saling mendorong dan mengatur satu sama lain. Menulis adalah bagian dari pekerjaan, mendiskusikan ide-ide, dan dapat mengolahragakan pikiran hingga berpikir selalu hati-hati dan teliti.

    Suatu universitas, katakanlah, menargetkan minimal tiga publikasi tiap tahun untuk memacu dosen agar menulis karena hal ini merupakan pekerjaan akademik universitas. Kalau hal ini dihayati, menulis bukan merupakan sesuatu yang rumit. Apalagi didorong rasa tanggung jawab dan sadar kebutuhan profesinya.

    Muncul pertanyaan, bagimana kalau karya ilmiah tidak diterbitkan? Alasannya banyak. Ada kemungkinan penulisnya kurang percaya diri, malu, takut akan ditolak, takut untuk dinilai, kurangnya kesempatan untuk diterbitkan karena ketatnya berkompetisi. Mungkin pula seseorang bingung bagaimana merespons kritik yang muncul. Belum lagi harus menunggu beberapa bulan untuk jawabannya ditolak atau diterima, takut akan kelemahan.

    Sindroma Impostor

    Brookfield (1995:229) menyebutkan bahwa seorang penulis tidak menerbitkan karyanya bisa karena “sindroma impostor”, suatu perasaan bimbang apakah benar-benar dia tahu apa yang sedang dianalisis? Sindroma ini lahir dari: kurangnya kepercayaan diri, ketakutan akan menjadi tidak sekompeten penulis yang lain, perasaan ketidakmampuan, rasa tidak berharga, takut ditemukan sebagai plagiat. Sindroma tersebut dapat menghambat dan menciptakan perasaan rasa rendah diri hingga dapat menghentikan niat seseorang untuk menulis. Namun, jika hal tersebut bisa dibuka, hal ini bisa berdampak positif. Dorongan dan bantuan kolega akan sangat membantu mereka yang menghadapi kekurangpercayaan diri tersebut.

    Dalam kaitan ini, perlu pula diingat bahwa jurnal ilmiah sendiri bukanlah kumpulan karya tanpa cacat.  Penelitian Tooley dan Darby (1998), misalnya, menunjukkan, banyak hasil riset dalam pendidikan tidak relevan dengan para praktisi dan para pembuat kebijakan, tidak dibangun di atas literatur atau pengetahuan yang telah ada. Artikel-artikel itu juga sukar diakses dan eksklusif; sukar dibaca dan penulisannya buruk sekali, atau sukar dipahami; bias dan sepihak saja (lihat Wellington, 2000).

    Kritik mereka adalah bahwa penulis-penulis dalam jurnal pendidikan memiliki sebuah kecenderungan untuk memasukkan nama-nama orang besar tidak untuk alasan apa pun, namun hanya untuk membesarkan karya tulis mereka atau memberikan kesan bahwa karya mereka itu intelek.

    Mengapa Dirjen Dikti meminta karya ilmiah harus diterbitkan? Ada ilustrasi yang menarik tentang tukang kayu yang akan dipecat saat membangun sebuah bangunan. Dia berkata, “Saya seorang tukang kayu. Jadi, saya tidak memasang pintu.” Demikian juga sama dengan dosen-dosen yang berkata, “Baik, saya suka menerbitkan karya ilmiah, namun saya tidak memiliki waktu karena saya harus mengajar dan mengatur tata kelola universitas.” Jawaban ini adalah sebanding dengan tukang kayu yang mengatakan bahwa dia tidak memasang pintu.

    Memublikasikan karya tulis bagaimana pun beratnya akan menguntungkan. Aktivitas ini memang bisa menghabiskan biaya, energi, dan waktu di saat suatu tulisan menjalani proses reviewyang mungkin amat panjang, menyakitkan. Asal prosesnya fair, hasilnya membanggakan.

    Walhasil, SK Dirjen Dikti tentang keharusan publikasi karya ilmiah warga kampus tidaklah perlu ditanggapi secara berlebihan. Memang, pemegang kebijakan perlu lebih mempertimbangkan seberapa besar peluang suatu kebijakan bisa dilaksanakan dengan baik. Sebaliknya, para sivitas akademika tentu tidak ingin sekadar menggelinding, asal hidup, asal eksis. Bagaimana pun, dapat menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk menghasilkan karya-karya terbaik adalah anugerah yang luar biasa. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia. ●