Category: Uncategorized

  • Elpiji dan Kebijakan Dahlan Iskan

    Elpiji dan Kebijakan Dahlan Iskan
    Sofyano Zakaria, DIREKTUR PUSAT STUDI DAN KEBIJAKAN PUBLIK (PUSKEPI)
    Sumber : SUARA KARYA, 23 Februari 2012
    Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VII DPR RI dengan PT Pertamina (Persero), pertengahan Februari lalu, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan menyampaikan kerugian akibat penjualan elpiji nonsubsidi ukuran tabung 12 kilogram (kg) dan 50 kg sebesar Rp 3,8 triliun pada 2011.
    Kerugian ini terjadi karena elpiji nonsubsidi dijual Pertamina dengan harga di bawah harga keekonomian. Kerugian Pertamina tersebut bagi rakyat kecil terdengar sebagai ledakan hebat dari sebuah bom besar yang memekakkan gendang telinga mereka. Tetapi, tidak bagi para anggota DPR RI penghuni “Senayan” yang kebetulan gedungnya mungkin menggunakan peredam suara dan juga tidak pula bagi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atau mungkin juga tidak bagi Bapak Presiden SBY karena rumahnya jauh dari Senayan.
    Bagi para elite politik dan petinggi Republik dan juga Menteri ESDM yang berwenang, menyetujui atau tidak menyetujui kenaikan harga jual elpiji, BUMN di bidang energi, Pertamina yang terpaksa dan dipaksa rugi triliun rupiah. Tercatat pada 2010, Pertamina juga rugi Rp 3,1 triliun dalam menjual elpiji nonsubsidi. Hal ini bukanlah sesuatu yang meresahkan atau menyakitkan bagi mereka. Malah sepertinya dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja.
    Aneh memang, ketika BUMN Pertamina harus terus-menerus menjual rugi elpiji 12 kg dan tabung 50 kg, ternyata tidak menggelitik telinga para elite masyarakat dan elite politik, apalagi petinggi pemerintahan di negeri ini. Bahkan, beberapa menteri BUMN (yang pernah menjabat) yang justru memiliki kepentingan terhadap pendapatan dan peningkatan laba BUMN, hanya berhenti di tataran normatif.
    Ini berbeda dengan konsumsi elpiji tabung 3 kg yang memang sangat berarti bagi kalangan rumah tangga berpenghasilan rendah. Namun, hampir semua rumah tangga golongan mampu dapat dipastikan menggunakan elpiji tabung 12 kg atau mungkin tabung 50 kg.
    Fakta ini terbukti jika dilakukan survei dengan mendatangi rumah tangga petinggi negara sekalipun, mulai dari presiden, wakil presiden, menteri beserta jajaran eselon II, para kepala daerah provinsi, kabupaten/kota hingga anggota DPR. Tetapi, diyakini pemerintah atau kementerian teknis (ESDM) tidak mau menaikkan harga elpiji nonsubsidi ke harga keekonomian, karena khawatir mendapat kecaman masyarakat, khususnya kaum ibu.
    Nah, itu artinya jika pemerintah apalagi dengan tekanan DPR, menyesuaikan harga elpiji nonsubsidi ke harga keekonomian, maka mereka khawatir akan terjadi instabilitas politik. Pihak yang akan mengecam adalah kelompok elite yang punya akses ke media massa dan kekuatan uang serta lobi yang mampu menggerakkan massa.
    Ini berbeda ketika pemerintah menaikkan harga jual minyak tanah dari Rp 2.000 per liter menjadi Rp 2.500 per liter. Pemakai minyak tanah pasti orang miskin, orang yang tidak punya akses ke media sehingga suara mereka bisa diredam.
    Dalam konteks ini, Menteri BUMN Dahlan Iskan sangat memahami UU BUMN yang mengamanatkan setiap BUMN harus meraih keuntungan. Bahkan hampir setiap hari Senin di salah satu koran terbitan Jakarta, masyarakat membaca serial tulisan Dahlan Iskan dalam “Manufacturing Hope” yang mengupas kiat-kiat Dahlan Iskan untuk meningkatkan kinerja BUMN dari yang rugi agar tidak rugi, dari yang laba kecil jadi meningkat.
    Sebagai seorang pebisnis, pengusaha media dan pengelola tenaga listrik, bagaimana sikap Dahlan Iskan? Sebagai Menteri BUMN, kalau bisnisnya di sektor penjualan elpiji 12 kg dan 50 kg harus terus-menerus rugi puluhan triliun rupiah?
    Publik juga belum mengetahui apakah Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN akan berupaya menaikkan laba Pertamina dari penghapusan kerugian di sektor penjualan elpiji 12 kg dan 50 kg (juga BBM bersubsidi). Kita juga masih bertanya, apakah Dahlan Iskan akan getol meyakinkan sejawatnya Menteri ESDM, Menteri Keuangan serta Menko Perekonomian agar berkenan menyesuaikan harga jual elpiji nonsubsidi sehingga negara diuntungkan?
    Bagaimanapun publik menaruh harapan kepada Dahlan Iskan untuk tulus berani meyakinkan Presiden bahwa Pertamina tidak boleh rugi di sektor apa pun. Karena, hal ini akan berpengaruh terhadap pendapatan negara. Dahlan Iskan seharusnya mampu berbuat dan meyakinkan Presiden bahwa selama ia dipercaya sebagai Menteri BUMN akan menghapus rugi dari pembukuan setiap BUMN.
    Dahlan Iskan kita harapkan juga mampu berkomunikasi dengan Ibu Negara Ani Yudhoyono agar berkenan mengumpulkan semua istri menteri-menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II (sebagai Ketua Dharma Wanita di setiap kementerian) agar para ibu tulus dan ikhlas menerima perlunya penyesuaian harga elpiji 12 kg dan 50 kg. Karena, hal itu berarti mereka mendukung penghapusan kerugian Pertamina di sektor penjualan elpiji 12 kg dan 50 kg.
    Kita tidak berharap lagi petinggi di negeri ini selalu berkilah bahwa secara korporasi Pertamina tetap untung. Idealnya, mereka tidak menutupi kenyataan bahwa di sektor penjualan elpiji 12 kg dan 50 kg Pertamina terpaksa rugi. Silat lidah semacam itu seharusnya tidak lagi mereka lontarkan jika ada pihak yang mempertanyakan kenapa Pertamina dibiarkan rugi.
    Pertamina juga seharusnya rajin melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada semua pihak tentang hal tersebut. Pertamina bisa membuat terobosan dengan meminta pejabat-pejabat tinggi dan para anggota DPR, DPRD di negeri ini menggunakan elpiji harga keekonomian yang ada pada Pertamina. Jika saja Presiden dan para menteri maupun tokoh-tokoh masyarakat ditampilkan ke publik telah gunakan elpiji harga keekonomian, ini bisa jadi teladan bagi masyarakat golongan mampu di negeri ini. Salam Merah Putih!
  • Diskontinuitas Politik Hukum Pemilu

    Diskontinuitas Politik Hukum Pemilu
    Muh Aziz Hakim, MAGISTER ILMU HUKUM ALUMNUS UNIVERSITAS INDONESIA,
    PENGURUS PIMPINAN PUSAT GP ANSOR
    Sumber : SUARA KARYA, 23 Februari 2012
    “Pembahasan RUU Perubahan UU Pemilu memiliki risiko terjadinya diskontinuitas atau pembelokan arah pembangunan politik hukum pemilu”

    SAAT ini seluruh fraksi di DPR sedang berjibaku menyelesaikan RUU tentang Perubahan UU Pemilu. Beberapa pasal krusial terus menyita perdebatan, semisal ambang batas parlemen, besaran daerah pemilihan, sistem pemilihan, dan mekanisme penghitungan/penetapan kursi. Patut diduga, kalkulasi untung rugi terhadap nasib masa depan partai, bahkan elite partai, lebih dominan ketimbang upaya membangun sistem pemilu yang berbasis pada substansi demokrasi dan kepentingan masa depan bangsa. Jadi, layak mempertanyakan arah politik hukum pemilu.

    Setidaknya ada dua pandangan mengenai politik hukum. Pertama; mengartikan sebagai rechtspolitiek, yang oleh Bellefroid dikatakan menyelidiki perubahan-perubahan yang harus diadakan pada hukum agar memenuhi syarat-syarat baru dari kehidupan kemasyarakatan. Kedua; memaknai sebagai kebijakan (legal policy) secara nasional. Pandangan ini di Indonesia dipopulerkan Mahfud MD yang menyatakan mengapa politik mengintervensi hukum, bagaimana politik memengaruhi hukum, dan sistem politik yang bagaimana melahirkan hukum yang bagaimana.

    Dalam perpekstif penulis, politik hukum sebagai rechtspolitiek ada pada dataran normatif alias das sein. Adapun politik hukum bukan sebagai rechtspolitiek ada pada dataran realitas atau das sollen. Realitas intervensi politik itulah yang mewarnai politik hukum pemilu di Indonesia pada era reformasi.

    Sejatinya politik hukum pemilu pada era reformasi mengalami perkembangan signifikan. Terjadi metamorfosis pada unsur-unsur utama pemilu, minimal melihat dari kacamata penyelenggara, peserta, dan sistem pemilihan. Pemilu 1999 diselenggarakan KPU yang beranggotakan pengurus partai peserta pemilu dan pemerintah. Pemilu 2004 dan 2009 diselenggarakan KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri, beranggotakan unsur nonpartai politik.

    Dalam penyelenggaraannya ada dampak positif dan negatif. Kelemahan paling menonjol pada penyelenggaraan Pemilu 1999 adalah instabilitas KPU mengambil beberapa keputusan penting sehingga tak berhasil menyelesaikan tugas pentingnya berupa penetapan hasil. Kelemahan menonjol pada KPU Pemilu 2004 terletak pada keterlibatan anggota, sampai detail teknis, seperti pengadaan tinta yang berakibat jeratan hukum. Kelebihannya, KPU 2004 relatif berhasil menyelenggarakan pemilu.

    Diskontinuitas

    Ketentuan mengenai peserta pileg juga mengalami metamorfosis. Persyaratan yang dibebankan kepada calon peserta pemilu makin ketat. Pada Pemilu 1999, ketentuan mengenai pendirian partai dan persyaratan menjadi peserta pemilu sangat longgar. Pada Pemilu 2004 mulai diperketat, dan lebih ketat lagi pada Pemilu 2009.

    Sistem pileg pada pemilu era reformasi menggunakan sistem yang sama, yakni proporsional. Hanya ada perbedaan mendasar dalam praktiknya, sekaligus penentuan kursi anggota legislatif. Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional stelsel daftar. Pada Pemilu 1999 ini, daftar caleg diumumkan di tempat pengumuman, dan kartu suara hanya mencantumkan tanda gambar partai. Penentuan kursi ditentukan sesuai perolehan suara dan nomor urut calon dari partainya.

    Pileg 2004 menggunakan proporsional dengan daftar terbuka. Dalam praktiknya, daftar caleg  tercantum dalam kertas suara. Caleg yang memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP) nomor urut berapa pun, berhak duduk menjadi anggota legislatif. Jika tidak ada calon yang memenuhi BPP maka yang dipakai adalah kembali ke nomor urut.

    Pemilu 2009 menggunakan sistem proporsional daftar terbuka. Perbedaannya dengan Pemilu 2004 terletak pada penentuan kursi dengan menetapkan perolehan suara terbanyak. Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 adalah penentu berlakunya ketentuan suara terbanyak ini. Nomor urut calon dalam Pemilu 2009 menjadi tidak terlalu signifikan.

    Dalam penyelenggaraan pemilu era reformasi, terdapat perubahan mengenai ambang batas dan implikasinya. Pemilu 1999 dan 2004 memakai ambang batas elektoral dan partai yang tidak lolos hanya mendapat punishment tidak ikut pemilu berikutnya bila menggunakan nama partai sama, namun perolehan kursi di DPR, DPRD I dan II masih tetap.

    Pada Pemilu 2009 juga ada ketentuan mengenai ambang batas parlemen (parliamentary threshold/ PT). Mendasarkan pada Pasal 202 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008, partai yang tidak memenuhi ambang batas harus merelakan kursinya di DPR, meskipun eksistensi partai tetap diakui.

    Dalam perkembangannya, pembahasan RUU tentang Perubahan UU Pemilu memiliki risiko terjadinya diskontinuitas atau pembelokan arah terhadap pembangunan politik hukum pemilu. Hal itu itu terkait dengan penentuan sistem pemilihan dan patokan suara yang menentukan ambang batas. Pertama; sistem pemilihan, yang masih terjadi perdebatan alot tentang sistem proporsional daftar terbuka atau tertutup. Beberapa partai, seperti PKS dan PKB, mengusulkan sistem proporsional tertutup (Republika, 24/01/12). Jika memakai proporsional daftar tertutup maka terjadi kemunduran karena hanya menguntungkan elite partai. Pemilih pun seolah dipaksa kembali memilih kucing dalam karung.

    Kedua; patokan PT ’’hanya’’ suara sah nasional. Pasal 202 dalam RUU Perubahan UU Pemilu menyebutkan partai peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 2,5-5% dari suara sah nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, DPRD I, dan II.

    Konsekuensinya adalah meniadakan partai tertentu yang memperoleh suara signifikan pada suatu kabupaten/ kota atau provinsi. Dengan ketentuan itu, risiko tereduksinya aspirasi rakyat dalam menentukan wakil-wakil mereka di DPRD kabupaten/ kota dan DPRD provinsi sangat besar. Realitas ini membahayakan demokratisasi terutama di tingkat lokal. ●

  • Siapa Peduli Nasib Sopir Bis?

    Siapa Peduli Nasib Sopir Bis?
    J. Sumardianta, GURU, TINGGAL DI YOGYAKARTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 22 Februari 2012
    Akhir-akhir ini kecelakaan maut melibatkan bus antarkota antarprovinsi kembali merajalela. Bus Sumber Kencono (SK) terjun ke sungai sehabis bertabrakan dengan mobil sedan di Magetan. Bus Karunia Bakti mengalami kecelakaan karambol di Cisarua, Bogor. Bus Mira menerjang pohon mahoni menghindari tabrakan dengan truk gandeng di Ngawi. Belasan orang tewas mengenaskan dalam ketiga tabrakan bus itu.
    Awal 2012, bus Mira menabrak Isuzu Panther di Sragen dan menewaskan tujuh orang. Tahun 2012 merupakan tahun paling tragis Perusahaan Otobus (PO) Sumber Kencono. SK menabrak truk pengangkut buruh tebu di Saradan, Madiun, yang menewaskan 32 orang. SK juga bertabrakan dengan minibus biro travel di Mojokerto, yang menewaskan 21 orang, termasuk sopir bus dan minibus. Ironisnya, sopir minibus biro travel-nya mantan sopir SK.
    Perilaku PO SK di jalanan memang mengerikan. Jauh sebelum semua peristiwa maut itu terjadi, Pemerintah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur sudah merekomendasikan pencabutan izin trayek PO SK. Sampai hari ini, PO SK terus beroperasi. Penegak hukum terkesan tak berdaya menghadapi PO SK. Padahal, saking seringnya kecelakaan, masyarakat sampai memparodikan PO SK sebagai Sumber Bencono. Pada dekade 1980, boleh dibilang penegak hukum lebih tegas. PO Flores dicabut izin trayeknya karena diterjang kereta api di Purwosari, Solo.
    Secara umum kecelakaan bus antarkota disebabkan oleh faktor kelaikan kendaraan, human error, dan kondisi jalan. Spesifik untuk kasus SK, terjadi karena faktor kelalaian manusia. Pengemudi SK dikenal sebagai raja jalanan. SK dijuluki sebagai “kuburan berjalan” semata akibat perangai kru. Faktor kendaraan harus diabaikan. PO dengan 250 bus ini armadanya relatif muda. Usia mesin tidak ada yang di atas delapan tahun. Semua menggunakan seri mesin Hino AK, seri tangguh untuk kebut-kebutan dengan suhu mesin tinggi. Semua bodi bus non-AC menggunakan seri Protheus. Bus AC menggunakan Legacy. Semua produk terbaru Karoseri Laksana Semarang dengan interior dan eksterior unggul untuk memikat calon penumpang.
    PO SK melayani tiga trayek: Surabaya-Solo-Wonogiri, Surabaya-Solo-Yogyakarta, dan Surabaya-Solo-Semarang. Setiap hari, selama 24 jam, di ketiga jalur, setiap jam rata-rata melintas enam bus SK dari dan ke Surabaya. Trayek pertama diperuntukkan bagi para pengemudi baru. Trayek kedua bagi pengemudi berpengalaman. Trayek ketiga dipakai untuk mendisiplinkan para pengemudi trayek kedua yang tertangkap basah ugal-ugalan melalui peranti GPS yang terpasang di bus AC.
    Pada 2011, PO SK, dalam rangka memperbaiki citranya, mengeluarkan merek dagang baru, Sumber Selamat (SS). Sayangnya, imagologi SK telanjur babak-belur. Tidak mampu menjamin keselamatan, tapi malah merilis merek baru yang justru memberi kesan langgam tragis komedi serampangan. Saking buruknya citra, bus-bus PO SK sering menjadi sasaran pelemparan batu, bahkan saat melaju normal tanpa kecelakaan.
    Trayek Surabaya-Solo-Yogyakarta bercorak oligopoli dikuasai dua pemain: PO SK dan PO SS di satu pihak dengan PO Eka dan PO Mira di pihak lain. Keempat PO harus bersaing keras dengan pelbagai PO lain yang melayani trayek Trenggalek-Surabaya dan Ponorogo-Surabaya di sepanjang irisan jalur Surabaya-Kertosono serta Kertosono-Madiun. Oligopoli itulah penyebab mengapa kasus tabrakan bus antarkota di jalur tengah Pulau Jawa bagian timur selalu menimpa keempat PO itu.
    Mengingat jumlah armada PO SK paling besar, tak mengherankan bila mereka yang paling banyak tertimpa musibah. Kasus-kasus tabrakan PO SK kebanyakan menimpa bus trayek kedua. Sebagian besar terjadi pada malam atau dinihari. Penumpang jarak jauh membuat para pengemudi memacu bus sekencang-kencangnya. Pada malam hari, bus jarang menaik-turunkan penumpang jarak dekat di jalan. Pengemudi ingin lekas sampai di kota tujuan agar punya lebih banyak waktu beristirahat. Terlebih untuk bus dengan durasi waktu sampai di tujuan dan keberangkatan kembali ke kota asal sangat mepet.
    Waktu tempuh trayek Surabaya-Yogya pulang-pergi 17 jam. Rata-rata awak bus hanya beristirahat lima jam. Penghasilan awak bus sangat minim. Sopir mendapat 10 persen, kondektur, 7 persen, dan kernet 4 persen dari pendapatan bersih PP. Pada Senin sampai Jumat penumpang sepi. Penumpang ramai hanya Sabtu dan Minggu. Status awak bus bukan karyawan, melainkan mitra PO. Posisi kru lebih tepat disebut budak bila mengingat porsi pembagian pendapatan 79 persen untuk PO dan 21 persen untuk awak bus.
    Sebagai ilustrasi, pada hari sepi penumpang, pendapatan bersih PP setelah dipotong solar Rp 100 ribu. Jatah pengemudi Rp 100 ribu. Paling banter dalam sebulan pengemudi hanya kuat bekerja 18 hari. Bila terjadi kecelakaan ringan, kaca spion pecah atau bodi rusak, pengemudi kena klaim PO harus mengganti biaya perbaikan. PO mengutip klaim dari uang setoran.
    Tertekan, jenuh, letih, dan frustrasi. Itulah derita umum yang membuat pengemudi bus seakan berpacu menuju ajal. Pendapatan minim. Jam kerja panjang dan melelahkan. Risiko sangat tinggi. Tanpa jaminan kesehatan dan hari tua. Sekali terlibat kecelakaan maut menelan banyak nyawa, apabila pengemudi tidak ikut jadi korban tewas, pengemudi itu seumur hidup harus melunasi utang kepada PO.
    Seorang pengemudi bus PO Eka mengalami kecelakaan maut menabrak minibus, yang menewaskan belasan orang di Ngawi pada pertengahan 1990-an. Tak lama, selepas dari tahanan, pengemudi itu sudah bekerja menjalankan bus Patas pada PO yang sama. Sopir itu dikenal sangat santun. Pengemudi beradab saja bisa apes, apalagi yang berandalan. Bus mautnya, setelah diperbaiki, menjalani trayek serupa, dengan dikemudikan sopir yang lebih garang. Menekuni pekerjaan sebagai sopir bus itu sesungguhnya hanya menunda kekalahan. Setiap saat bencana mengintai. Para sopir bus hanya menunggu giliran sial.
    Para pengemudi bus sejujurnya menjadi korban penindasan sistematis pemilik PO. Fenomena mendasar inilah yang luput dari perhatian khalayak ramai. Saatnya tiba semua penindasan dan ketidakadilan berujung maut di jalan raya itu harus dihentikan. Sistem bagi hasil pendapatan PO dengan kru seharusnya 60 : 40. Semata buat meningkatkan kesejahteraan awak bus. Para awak bus akan bekerja dengan bahagia bila kesejahteraan terjamin. Jaminan kesejahteraan merupakan langkah awal guna menurunkan angka musibah kecelakaan.
    Para pemilik PO, supaya keamanan bus antarkota mencapai zero accident, seharusnya berubah pada saat perusahaan mereka tumbuh. Bukan kalang-kabut saat mereka terancam bangkrut karena gagal memberi jaminan keamanan. Paradigma reproduksi kapital dengan mengabaikan penumpang mesti diubah menjadi melayani dan menyelamatkan penumpang.
    PO maut sudah saatnya menghentikan perilaku buruknya menjadi lebih visioner. Mengejar keuntungan jangka pendek dengan menindas buruh dan mengabaikan keselamatan terbukti hanya mendekatkan hari kiamat. Lingkaran setan harus diubah menjadi lingkaran malaikat keselamatan. PO mesti memiliki nilai-nilai budaya perusahaan yang muaranya menghargai hidup dan menyantuni keselamatan. Nilai-nilai ini harus menjadi jiwa pemilik, manajer, staf administrasi, kru, mekanik, dan kontroler. Jika tidak, kasus-kasus tabrakan maut bus antarkota bakal selalu terulang. ●
  • Pers Mengancam DPR?

    Pers Mengancam DPR?
    I Dian Kurnia, MAHASISWA SEJARAH UIN SUNAN GUNUNG DJATI (SGD) BANDUNG
    Sumber : REPUBLIKA, 22 Februari 2012
    Rencana Badan Urusan Rumah Tangga (BURT)— salah satu alat kelengkapan DPR—membuat Tata Tertib (Tatib) Peliputan Jurnalis pada kegiatan DPR RI bagi wartawan media cetak dan elektronik adalah sebuah arogansi nyata dari badan publik terhadap awak media. Tatib ini akan menghambat corong demokrasi dan kebebasan pers serta mengaburkan transparansi kerja wakil rakyat di parlemen.
    Aturan tersebut memuat pasal “sakit” tentang fungsi kontrol pers. Seperti, mengharuskan setiap wartawan menye rahkan slip gaji penghasilan per bulan kepada Sekjen DPR. Hal yang tidak ma suk akal dalam konteks negara de mokratis. Beberapa kalangan berpenda pat bahwa rencana tersebut berkaitan erat dengan ketakutan oknum anggota dewan atas terekamnya perilaku “amoral” beberapa anggota dari mereka oleh wartawan. Seperti nonton video porno, adu jotos antarfraksi, tidur sewaktu rapat, dan lain-lain. Benarkah DPR merasa terancam dengan keberadaan pers sehingga langkah mereka dipersempit untuk memasuki gedung parlemen? Berdasarkan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan meyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
    Dalam menjalankan tugas jurnalistik, pers di lindungi oleh hukum negara,        masyarakat, dan perusahaan pers. War tawan di lindungi dari tindak kekerasan, peng ambilan, penyitaan, atau perampasan alat kerja, tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak mana pun.
    Piagam Palembang lahir atas kesepakatan delapan belas pemimpin redaksi (pemred) pers nasional yang disaksikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yu dhoyono. Di antara isinya adalah Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Wartawan, dan Standar Kompetensi Wartawan. Oleh karena itu, langkah “tak cerdas” DPR menyusun Tata Tertib Peliputan Jur nalis—yang sarat dengan restriksi atau pembatasan—hanya dapat memicu keretakan informasi arus kebijakan pemerintah terhadap rakyat. Sebagaimana hasil riset Amartya Kumar Sen dalam bukunya Development as Freedom (1999), bencana kelaparan lebih banyak ditentukan oleh sistem administrasi dan distribusi pangan ketimbang kelangkaan pangan atau gagal panen. Artinya, infor masi amat sentral dalam mendorong ge rak laju pembangunan.
    Pada zaman Hindia Belanda pernah diberlakukan 35 pasal yang bisa menggiring orang ke penjara karena berekspresi secara bebas, baik itu berupa tulisan maupun lisan. Dari ke-35 pasal itu, pelaku yang dianggap melakukan pelanggaran terancam hukuman maksimal tujuh tahun penjara. Zaman Orde Baru berkuasa lebih “sadis” lagi. Regu lasi tersebut dinaikkan menjadi 37 pasal de ngan ancaman hukuman seumur hidup. Pasca-Orde Baru, ancaman tertinggi dari pasal-pasal tersebut adalah hukuman maksimal 20 tahun penjara.
    Mengapa hal itu harus terjadi? Bu kan kah kebebasan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi diakui dalam konstitusi kita (Pasal 28F UUD 45 amendemen keempat) serta Pasal 19 Dek larasi Universal HAM? Era reformasi adalah era kebebasan pers. Era di mana publik beserta awak media—dengan tidak melupakan hu kum—menyuarakan pendapat di muka umum tanpa harus ada restriksi. Rencana BURT memberlakukan Tata Tertib Peliputan Jurnalis bagi wartawan di ge dung DPR RI hendaknya perlu dikaji ulang. Pers bukanlah ancaman bagi parlemen jika mereka berpikir. Pers menggandeng parlemen dalam menjalankan amanat konstitusi. Tentunya ber landaskan semangat perubahan. Jangan sampai publik, lewat awak media, mencemooh kinerja memble DPR untuk ke sekian kalinya. ●
  • Pertumbuhan Minus Kesejahteraan

    Pertumbuhan Minus Kesejahteraan
    Khudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA,
    ANGGOTA KELOMPOK KERJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014)
    Sumber : KORAN TEMPO, 22 Februari 2012
    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus menorehkan rekor-rekor baru di bidang perekonomian. Pekan pertama Februari, indeks harga saham gabungan kembali menembus 4.000. Pekan kedua Februari, suku bunga acuan (SBI) turun menjadi 5,75 persen, terendah sepanjang sejarah. Menurut Badan Pusat Statistik, pada 2011 ekonomi tumbuh 6,5 persen, inflasi bisa ditekan 3,64 persen, dan produk domestik bruto (PDB) mencapai Rp 7.427 triliun. Jika PDB itu dibagi jumlah penduduk, pendapatan per kapita penduduk Indonesia 2011 mencapai US$ 3.542. Pendapatan per kapita itu meningkat 17,7 persen dibanding pada 2010, atau naik 3,2 kali lipat dari 2004.
    Apa makna angka-angka itu? Benarkah capaian-capaian itu merupakan manifestasi “pertumbuhan inklusif yang berkeadilan” seperti sering disampaikan Presiden SBY? Benarkah hasil-hasil itu menunjukkan ekonomi berada di jalur yang benar, seperti empat strategi SBY: pro-growth, pro-poor, pro-job, dan pro-environment? Tentu capaian itu menggembirakan. Masalahnya, pendorong pertumbuhan ekonomi tak berubah: disokong sektor non-tradable (yang tidak bisa diperdagangkan), seperti sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran.
    Secara sektoral, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor pengangkutan dan komunikasi (10,7 persen), diikuti sektor perdagangan, hotel, dan restoran (9,2 persen), serta sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan (6,8 persen). Sebaliknya, sektor tradable(pertanian, pertambangan, dan manufaktur) kinerjanya rendah atau di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi. Industri pengolahan tumbuh 6,2 persen, pertanian (secara luas) tumbuh 3,0 persen, serta pertambangan dan penggalian 1,4 persen. Ciri semacam ini sudah berlangsung beberapa tahun.
    Ketimpangan pertumbuhan sektor tradablevs non-tradable ini memiliki implikasi serius karena terkait dengan pembagian kue dan surplus ekonomi. Sektor non-tradable bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan. Pelakunya segelintir. Sebaliknya, sektor tradablebersifat labour base. Karena karakteristiknya seperti itu, penyerapan tenaga kerja sektor non-tradable lebih kecil daripada sektor tradable.
    Ini berimplikasi pada dua hal. Pertama, meskipun ekonomi tumbuh tinggi, penyerapan total tenaga kerja tetap rendah. Pertambahan tenaga kerja hanya mengalir ke sektor tradable, terutama pertanian. Akibatnya, sektor ini kian gurem, dan alam rusak karena terjadi eksploitasi berlebihan.
    Kedua, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir pelaku ekonomi. Yang terjadi kemudian, paradoks demi paradoks. Salah satunya bisa dilihat dari disparitas antara pendapatan per kapita dan upah buruh. Jika dikonversikan ke rupiah, pendapatan per kapita pada 2011 sebesar US$ 3.542 atau setara dengan Rp 2,56 juta per bulan. Tapi, pada saat yang sama, buruh di Kabupaten Tangerang mesti turun ke jalan berkali-kali menuntut kenaikan upah minimum regional dari Rp 1.379.000 menjadi Rp 1.527.000 per bulan. Tingkat pertumbuhan yang diikuti rendahnya penyerapan tenaga kerja dan ketimpangan ekonomi merupakan era pertumbuhan minus kesejahteraan: pertumbuhan yang tidak berkualitas.
    Ujung dari pertumbuhan minus kesejahteraan adalah melebarnya ketimpangan. Hasilnya seperti syair lagu dangdut: “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Ini terlihat dari meningkatnya indeks rasio Gini (semakin tinggi indeks, ketimpangan makin tinggi): naik dari 0,32 (2004) menjadi 0,37 (2010). Sebelum krisis ekonomi 1998, indeks rasio Gini tidak pernah mencapai lebih dari 0,33. Kesenjangan akut juga tampak dari penguasaan kue ekonomi. Pada 2010, kekayaan 40 orang terkaya Rp 680 triliun (US$ 71,3 miliar), setara dengan 10,3 persen PDB Indonesia. Jumlah kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan sekitar 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin (Prakarsa, 2011).
    Bila dilihat lebih jauh, hanya 0,02 persen penduduk terkaya akumulasi kekayaannya setara dengan 25 persen PDB (Winters, 2011). Kekayaan yang dimiliki oleh 43 ribu orang terkaya itu setara dengan akumulasi kepemilikan 60 persen penduduk atau 140 juta orang. Menurut kalkulasi Perkumpulan Prakarsa (2011), situasi ini jauh lebih buruk dibanding kondisi menjelang kejatuhan Orde Baru (1997). Saat itu kekayaan 1 persen penduduk setara dengan kekayaan 28 persen penduduk. Kekayaan kian terkonsentrasi. Konsentrasi kekayaan Indonesia kini dibanding negara tetangga lain kian parah: tiga kali lebih tinggi daripada Thailand, empat kali ketimbang Malaysia, dan 25 kali dibanding Singapura (Winters, 2011).
    Kekayaan yang kian terkonsentrasi di secuil warga juga terjadi pada aset tanah. Sementara pada 1983 indeks Gini kepemilikan tanah 0,50, pada 2003 indeks Gini mencapai 0,72. Ketimpangan kepemilikan aset di negeri ini amat akut: 56 persen aset nasional hanya dikuasai 0,2 persen dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional hanya dikuasai 440 ribu orang. Nyaris tak berubah dalam 60 tahun terakhir (Mohammad Tauchid, 1952). Konsentrasi aset itu 62-87 persen berupa tanah (Winoto, 2008). Sebaliknya, 49,5 persen petani di Jawa dan 18,7 persen petani luar Jawa tuna-tanah (tak berlahan). Jadi ketimpangan ekonomi amat parah.
    Narasi ini berujung pada konklusi: empat strategi SBY hanya pro-growth, tapi tidak pro-environment, apalagi pro-poor dan pro-job. Tidak ada yang salah mengejar pertumbuhan tinggi. Namun pertumbuhan hanyalah alat, bukan tujuan pembangunan. Demikian pula pertumbuhan pendapatan nasional. Tujuan pembangunan bukan hanya soal uang. Apa gunanya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional tinggi jika lingkungan rusak, orang tidak sehat, dan hidup tak nyaman. Karena itu, sejumlah negara mengadopsi alat baru dalam mengukur kemajuan perekonomian. Beberapa di antaranya kemiskinan, pengangguran, kelestarian lingkungan, kesehatan, dan kepuasan hidup.
    Sungguh menyejukkan apabila Presiden SBY berani menginisiasi dan mengadopsi ukuran-ukuran baru keberhasilan pembangunan. Pada saat yang sama, langkah itu dibarengi dengan pelaksanaan reforma agraria untuk merombak struktur sosial-ekonomi yang timpang, seperti penulis paparkan di Koran Tempo, 8 Februari lalu. Kemudian, untuk menekan pertumbuhan dan kemiskinan, prioritas diberikan kepada sektor tradable, terutama pertanian, dengan membangun industri perdesaan, seperti disertasi Presiden SBY di Institut Pertanian Bogor: “Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal”. Jika itu dilakukan, secara gradual kita akan meninggalkan “pertumbuhan minus kesejahteraan”. 
  • Manajemen Perikanan Amburadul

    Manajemen Perikanan Amburadul
    Suhana, KEPALA RISET PUSAT KAJIAN PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERADABAN MARITIM
    Sumber : SINAR HARAPAN, 22 Februari 2012
    Kisruh impor ikan dalam dua tahun terakhir belum menemukan titik terang dalam penyelesaiannya. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen pengelolaan perikanan nasional semakin amburadul. Amburadulnya manajemen perikanan nasional terlihat dari tidak konsistennya arah kebijakan perikanan nasional.
    Arah kebijakan perikanan nasional dalam periode Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini terlihat tidak fokus. Pada periode Fadel Muhammad sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, arah kebijakan perikanan lebih menekankan pada peningkatan produksi ikan nasional sampai 353 persen, sehingga pada periode tersebut impor ikan secara tegas diminta untuk dihentikan.
    Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan gegap gempita meyakinkan publik bahwa kebutuhan ikan nasional dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri, jadi tidak perlu impor ikan.
    Dukungan publik terhadap kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tersebut sangat tinggi. Namun demikian, publik masih belum yakin 100 persen terhadap penghentian impor ikan tersebut karena di lapangan banyak ditemukan ikan-ikan impor yang sudah merembes ke pasar-pasar tradisional. 
    Memasuki periode Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, arah kebijakan kelautan dan perikanan berubah dari pendekatan produksi ikan menjadi industrialisasi perikanan berbasis unit pengolahan ikan (UPI). Namun demikian, perubahan kebijakan tersebut terlihat tidak didukung perencanaan yang matang.
    Hal ini terlihat dari industrialisasi perikanan yang dikembangkan ternyata berbasis di Pulau Jawa yang sudah tidak memiliki dukungan bahan baku ikan. Akibatnya, KKP kembali dengan gegap gempita menyakinkan publik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan pentingnya ikan impor untuk memasok kebutuhan bahan baku UPI nasional, dan akhirnya impor ikan kembali dilegalkan. 
    Namun demikian, publik—termasuk penulis—tidak yakin ikan yang diimpor tersebut hanya untuk kebutuhan bahan baku UPI nasional, namun banyak yang langsung masuk ke pasar-pasar tradisional. Ketidakyakinan penulis tersebut didasarkan pada hasil analisis terhadap dugaan maraknya impor ikan ilegal yang masuk ke Indonesia tahun 2010.
    Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa dugaan impor ikan ilegal Indonesia dari China pada 2010 mencapai 51,28 persen dari total nilai impor ikan Indonesia dari China. Namun demikian, walaupun impor ikan nasional meningkat, ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kapasitas terpakai pada industri pengolahan ikan nasional.
    Hasil survei Bank Indonesia menunjukkan bahwa pada periode 2010, kapasitas industri perikanan yang terpakai hanya mencapai di bawah 70 persen, tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Artinya, impor ikan tersebut tidak sepenuhnya diperuntukkan bagi pasokan kebutuhan bahan baku UPI, namun langsung dipasarkan ke pasar-pasar dalam negeri.
    Ekspor Ikan Ilegal
    Di tengah tingginya laju impor ikan nasional, penulis menemukan data yang menunjukkan aktivitas ekspor ikan ilegal dari Indonesia ke negara lain, khususnya Thailand, semakin tinggi. Data UN-Comtrade (2011) mengindikasikan semakin maraknya ekspor ikan tuna ilegal dari Indonesia ke Thailand.
    Pada 2000, tercatat dugaan ekspor ikan tuna albacore secara ilegal mencapai 52 persen dari total volume ekspor ikan tuna albacore Indonesia ke Thailand, yaitu 271.419 kg dengan nilai mencapai US$ 1.070.630.
    Sementara itu, pada 2010, dugaan ekspor ikan tuna albacore ilegal ke Thailand semakin meningkat sampai 69,20 persen dari total volume ekspor ikan tuna albacore Indonesia ke Thailand. Volume ekspor ikan tuna albacore ilegal dari Indonesia ke Thailand tahun 2010 diperkirakan mencapai 2.352.724 kg dengan nilai mencapai US$ 8.326.839.
    Pasokan bahan baku ilegal tersebut rupanya dimanfaatkan Thailand untuk memasok kebutuhan bahan baku industri pengolahan ikan yang ada di negara tersebut. Thailand selama ini terkenal di dunia sebagai pemasok utama produk ikan olahan, padahal sekitar 90 persen pasokan bahan bakunya berasal dari Indonesia dan Filipina.
    Hal ini terbukti pada tahun 2010 UN-Comtrade memosisikan Thailand sebagai negara kedua terbesar dunia sebagai pemasok produk ikan olahan setelah China, sementara Indonesia hanya puas di posisi 10 terbesar dunia.
    Total kontribusi Thailand terhadap total ekspor produk ikan olahan mencapai 20,2 persen, sementara Indonesia hanya berkontribusi 2,7 persen dari total ekspor produk ikan olahan dunia. 
    Tidak Dinikmati 
    Berdasarkan hal tersebut, sungguh ironis sumber daya ikan Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti tuna ternyata tidak dinikmati oleh para nelayan dan industri pengolahan ikan dalam negeri. Di sisi lain, Unit Pengolahan Ikan Nasional setiap tahunnya berlomba-lomba terus meningkatkan impor bahan baku ikan pindang dan ikan asin.
    Kebijakan pengembangan industri pengolahan ikan pindang dan asin secara besar-besaran oleh KKP menunjukkan bahwa secara sistematis masyarakat Indonesia akan disuguhi oleh konsumsi ikan pindang dan ikan asin, di mana nilai kandungan gizinya sangat rendah, bahkan cenderung tidak ada.
    Sementara itu, ikan segar yang memiliki kandungan gizi baik lebih banyak di ekspor, baik legal maupun ilegal ke pasar internasional. Dengan demikian, sangat wajar apabila kualitas sumber daya manusia Indonesia sulit berkembang dengan baik karena hanya disediakan konsumsi ikan pindang dan ikan asin. 
    Berdasarkan kondisi tersebut, KKP hendaknya segera mengevaluasi kembali kebijakan industrialisasi perikanan berbasis bahan baku impor. Industrialisasi perikanan yang dikembangkan harus berbasis bahan baku dalam negeri, sehingga pengembangan industri pengolahan ikan jangan dipusatkan di Pulau Jawa, tapi harus dikembangkan di pusat-pusat bahan baku seperti di kawasan Indonesia bagian timur.
    Oleh sebab itu, dukungan infrastruktur seperti listrik, bahan bakar minyak, air bersih, dan transportasi antarpulau di kawasan Indonesia bagian timur perlu segera dibenahi. 
    Sementara itu, untuk menjaga ketersediaan bahan baku sepanjang tahun, pemerintah perlu secepatnya membentuk Bulog Perikanan. Hal ini diperlukan mengingat produksi ikan para nelayan sangat tergantung kondisi cuaca, sehingga keberadaan Bulog Perikanan diperlukan guna mengatur manajemen ketersediaan bahan baku ikan untuk UPI dan kebutuhan konsumsi langsung masyarakat. 
    Selain itu, pengembangan industrialisasi perikanan hendaknya tidak hanya difokuskan untuk komoditas ikan, tetapi perlu dikembangkan untuk industri pengolahan rumput laut.
    Hal ini karena dalam 10 tahun terakhir produksi rumput laut terus menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan, bahkan saat ini kontribusinya sudah di atas 60 persen dari total produksi perikanan budi daya. 
    Sementara itu, demi mencegah semakin tingginya kasus ekspor ikan ilegal dari Indonesia ke negara lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu meningkatkan pengawasan di perairan Indonesia. Ini karena dugaan kuat ekspor ikan ilegal tersebut dilakukan di tengah laut oleh para oknum nelayan dan pengusaha perikanan nasional.
    Alhasil tanpa adanya perubahan perencanaan pembangunan perikanan yang baik, manajemen perikanan nasional akan semakin amburadul. Oleh sebab itu, KKP perlu segera mereformulasi kebijakan perikanan nasional. ●
  • Solusi Jurnal Online Kampus

    Solusi Jurnal Online Kampus
    Lukman Hakim, DOSEN DAN BERPENGALAMAN MENJADI EDITOR E-JOURNAL/REPOSITORY
    DI WEBSITE IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
    Sumber : JAWA POS, 22 Februari 2012
    REAKSI berbagai kampus atas surat edaran (SE) Dikti tentang kewajiban para calon sarjana memublikasikan karya ilmiahnya dalam jurnal ilmiah masih terus berlanjut. Akhir pekan lalu, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) yang beranggota 3.150 PTS memboikot dan menangguhkan penerapan SE Dikti Nomor 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012 (Jawa Pos, 17 dan 18 Februari 2012).

    Dalam kalkulasi rasional, SE Dikti tersebut memang sulit diterima. Alasan pertama, SDM dan sarana kampus belum siap karena waktu yang cukup singkat untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Kedua, kebijakan itu tiba-tiba dan cenderung emosional. Salah satunya, sikap reaktif dan cemburu atas pencapaian perguruan tinggi (PT) di Malaysia.

    PT Kita Ungguli Malaysia

    Betulkah akademisi dan PT di Malaysia lebih unggul dari kita dalam publikasi ilmiah? Beberapa pakar menyatakan begitu, termasuk Dikti.

    Tapi, hasil riset Webometrics (yang dirilis Januari 2012) menunjukkan data yang berbeda. Menurut lembaga internasional pemeringkat website kampus di dunia yang bermarkas di Spanyol itu, PT di Indonesia lebih unggul daripada Malaysia.

    Dalam kategori repository (gudang database yang berisi artikel populer, jurnal ilmiah, skripsi, tesis, dan disertasi), ada tiga PT kita yang masuk peringkat 50 besar kampus terbaik di dunia. Yakni, ITS Surabaya (peringkat ke-13), USU Medan (26), dan Undip Semarang (34). Sementara itu, tidak satu pun PT Malaysia masuk 50 besar.

    Selain itu, dalam kategori website kampus terbaik di dunia (Ranking Web of World Universities), PT Indonesia jauh mengungguli Malaysia. Bayangkan, 352 di antara 20.366 PT yang masuk peringkat world class university (WCU) versi Webometrics itu adalah PTN dan PTS Indonesia. UGM (249), ITB (277), dan UI (365) masuk top 400 world universities. Di Malaysia, hanya ada 75 universitas di WCU, tapi di bawah 400 besar.

    Dasar pemeringkatan Webometrics itu tidak hanya menilai jumlah tautan domain, namun juga didasarkan pada banyaknya file (rich file) dan jumlah artikel ilmiah -termasuk skripsi, tesis, disertasi, artikel jurnal, dan tulisan populer- di web kampus terkait yang terlacak melalui Google Scholar.

    Dari situ, setidaknya alasan bahwa kuantitas karya ilmiah akademisi Indonesia lebih minim daripada Malaysia tidak sepenuhnya benar. Karena itu, penerbitan SE Dikti pada 27 Januari 2012 tersebut dinilai ”emosional” dan kurang tepat.

    Siapkan Software Antiplagiat

    Terkait dengan prestasi di Webometrics itu, solusi paling rasional untuk menyikapi kebijakan SE Dikti tersebut adalah mengoptimalkan peran websitekampus, baik dalam bentuk e-journal, online journal, maupun repository. Model online akan menghemat kertas (paperless), juga akan mudah diakses semua orang di seluruh dunia.

    Lebih dari itu, hampir semua kampus saat ini sudah mewajibkan mahasiswanya untuk menyerahkan skripsi, tesis, serta disertasi dalam bentuk hard-copy dan soft-copy. Tidak sulit bagi pengelola website kampus untuk mengunggahnya dalam format online.

    IAIN Sunan Ampel, misalnya, lima tahun belakangan ini sudah mendigitalkan sekaligus meng-online-kan semua karya ilmiah dengan program GDL (digital library). Beberapa hasil penelitian dan artikel populer dosen diunggah di repository website dengan program e-print. Selain itu, didigitalkan pula puluhan jurnal cetak yang diterbitkan jurusan dalam format e-journal. Yakinlah, 352 PTN-PTS yang masuk peringkat WCU versi Webometrics juga sudah menerapkan dan menggunakan program yang sama.

    Namun, harus diakui, jangka waktu enam bulan untuk penerapan SE Dikti tersebut terlalu pendek. Tidak semua kampus mempunyai manajemen website yang bagus. Belum lagi problem kekhawatiran adanya plagiasi. Dengan sistem online, keaslian setiap karya ilmiah akan semakin mudah diakses dan dideteksi. Jika didapati semakin banyak karya akademisi Indonesia yang tidak orisinal atau plagiat, citra PT kita bisa terpuruk.

    Karena itu, Dikti harus legawa untuk menjadikan tahun 2012 ini sebagai masa sosialisasi dan persiapan, belum pelaksanaan. Setidaknya, ada dua hal yang perlu dilakukan dalam senjang waktu ini.

    Pertama, Dikti harus membuat standar referencing dan plagiasi yang baku yang lebih lanjut akan digunakan sebagai acuan untuk pembuatan alat (software) deteksi plagiat karya ilmiah. Sekarang kita tidak punya acuan seperti apa sebuah karya dianggap plagiat, baik dari sisi ide maupun teknik penulisan seperti referencing, quoting, dan paraphrasing.

    Pengalaman saya selama kuliah di University of New England (UNE), Australia, semua tugas, skripsi atau tesis, harus dimasukkan dalam software deteksi plagiat sebelum diserahkan. Jika terdeteksi ada plagiasi lebih dari 10 persen, tugas harus direvisi dan tidak boleh diunggah (upload). Softwareversi bahasa Indonesia itulah yang harus kita miliki di negeri kita untuk mengurangi risiko plagiasi. Tanpa perangkat itu, para editor online journal, e-journal, atau repository website kampus akan selalu waswas seperti yang saya alami selama menjadi editor website IAIN Sunan Ampel.

    Kedua, dalam kurun waktu persiapan ini, pihak kampus bisa memanfaatkan untuk menata manajemen pengelolaan jurnal online atau jurnal cetak serta menyosialisasikannya kepada para calon sarjana. Bagi perguruan tinggi yang merasa siap dengan jurnal online, silakan jalan. Begitu pula dengan kampus yang lebih siap dengan jurnal versi cetak.  

  • Likuiditas dan Paradoks Kemakmuran

    Likuiditas dan Paradoks Kemakmuran
    A Prasetyantoko, KETUA LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
    UNIKA ATMA JAYA, JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 22 Februari 2012
    Di tengah musim dingin yang ganas, negara-negara di kawasan Eropa masih saja bergulat dengan berlanjutnya krisis ekonomi yang tak kalah ganas. Bank Dunia memperkirakan pada 2012, kawasan ini akan mengalami pertumbuhan negatif sebesar 0,3 persen.
    Dana Moneter Internasional (IMF) melihat, implikasi berlarutnya krisis Eropa ini adalah menurunkan proyeksi pertumbuhan global dari 4 persen menjadi 3,3 persen. Sebaliknya, Indonesia justru sedang memasuki musim semi perekonomian yang menggairahkan.
    Pertama, predikat investment grade (layak investasi) dari Moody’s Investors Service dan Fitch Ratings yang diperoleh kembali setelah 14 tahun diyakini akan mendorong investasi, baik investasi portofolio di pasar uang maupun investasi langsung (foreign direct investment). Kedua, tingginya kinerja pertumbuhan di atas 6 persen telah membuat pendapatan per kapita penduduk Indonesia naik menjadi sekitar 3.500 dollar AS per tahun. Kian jelas, kita sudah masuk dalam jajaran kelompok negara berpenghasilan menengah (middle income countries).
    Meski demikian, gugatan terus muncul terkait dengan buruknya kinerja pemerintah. Benarkah predikat layak investasi membuktikan tidak terjadi fenomena otopilot? Atau ini justru membuktikan sebaliknya?
    Apakah kemakmuran yang masih akan berlanjut ke depan tidak mengandung paradoks? Banyak kekhawatiran adanya paradox of plenty ini. Jangan-jangan meski likuiditas membanjir dan kemakmuran meningkat, sejatinya ekonomi kita rapuh.
    Negara Otopilot?
    Istilah otopilot muncul beberapa kali dalam publikasi Bank Pembangunan Asia (2010) berjudul Asia 2050: Realizing the Asian Century. Laporan ini menunjukkan terjadinya perubahan lanskap pertumbuhan global di mana episentrum akan berpindah dari negara-negara maju ke kawasan Asia.
    Pusat-pusat keuangan akan bergesar ke Asia, ditandai dengan membanjirnya likuiditas ke kawasan tersebut. Dengan demikian, perekonomian Asia akan maju, bahkan tanpa perlu kerja keras pemerintah sekalipun.
    Argumen otopilot sebenarnya bersifat hipotetis. Secara alamiah, China dan India akan menjadi negara terbesar di dunia, sementara negara-negara lain, seperti Indonesia, akan masuk fase pertumbuhan tinggi.
    Meski demikian, jika pemerintah masing-masing negara tidak menyelesaikan persoalan sosial dan politik, mereka akan masuk dalam ”jebakan negara berpenghasilan menengah” (middle-income trap). Artinya, tidak akan terjadi transformasi menuju negara maju. Boleh dibilang, negara-negara ini gagal memanfaatkan momentum melakukan transisi. Indonesia, tentu saja, masuk dalam daftar negara berisiko tersebut.
    Indikasi mengarah pada negara otopilot cukup jelas. Pertama, meskipun likuiditas akan terus mengalir deras akibat predikat investment grade, kesulitan menjalankan usaha di Indonesia justru meningkat.
    Peringkat kemudahan berusaha di Indonesia 2012 versi International Finance Corporation (IFC)-Bank Dunia menunjukkan penurunan 3 peringkat menjadi 129 dari 183 negara. Bandingkan dengan Thailand (17), Malaysia (18), dan Vietnam (98). Demikian pula, peringkat daya saing 2011-2012 versi Forum Ekonomi Dunia juga melorot 2 tingkat menjadi 46 dari 142 negara. Sementara Thailand (39) dan Malaysia (21).
    Kedua, meskipun penghasilan pendapatan per kapita naik menjadi 3.542,9 dollar AS pada 2011, indeks pembangunan manusia (IPM) justru melorot dari 108 menjadi 124 dari 187 negara.
    Membaiknya pendapatan per kapita belum dinikmati oleh sebagian besar penduduk. Simulasinya sederhana. Jika mengikuti besaran pendapatan per kapita, rata-rata penduduk Indonesia menerima penghasilan sebesar Rp 2,56 juta per bulan. Siapakah mereka?
    Tentu saja bukan kelompok buruh mengingat rata-rata upah umum regional hanya sekitar Rp 1,4 juta. Bagaimana dengan kelas menengah? Bank Dunia mengelompokkan penduduk dengan penghasilan 2 dollar AS-20 dollar AS per hari sebagai kelas menengah. Dalam definisi itu, ada sekitar 134 juta jiwa. Namun, kelompok dengan penghasilan 10 dollar AS-20 dollar AS per hari atau sekurang-kurangnya 3.600 dollar AS per tahun hanya 1,3 persen dari total penduduk. Mereka adalah kelompok kelas menengah atas (upper middle class).
    Agak ironis, pendapatan per kapita ternyata mencerminkan pendapatan kelas menengah atas. Secara intuitif, segera bisa ditemukan adanya indikasi kesenjangan sosial yang serius. Inilah gejala yang oleh JM Keynes disebut sebagai counter-intuitive, tak sesuai akan sehat.
    Produk domestik bruto (PDB) memang tumbuh cukup pesat. Namun, secara sektoral terlihat adanya kesenjangan. Pada 2011, PDB tumbuh 6,5 persen atau secara nominal Rp 7.427,1 triliun. Inilah kinerja perekonomian terbaik sejak 15 tahun terakhir.
    Industri transportasi dan telekomunikasi tumbuh paling pesat, 10,69 persen, disusul industri perdagangan, hotel dan restoran 9,18 persen. Sebaliknya, sektor pertanian hanya tumbuh 2,98 persen. Sektor jasa melesat, sementara sektor pertanian dan manufaktur terganjal persoalan daya saing.
    Stabilitas makroekonomi telah membuat Indonesia masuk dalam daftar negara yang layak investasi. Likuiditas dan penanaman modal asing akan meningkat pesat di masa depan. Dampaknya adalah meningkatnya kemakmuran secara agregat.
    Risiko
    Meski demikian, jika semua ini tidak diiringi dengan peningkatan pasokan produksi domestik atau peningkatan produktivitas, akan ada risiko serius. Pertama, Indonesia benar-benar akan menjadi pasar dari modal asing yang masuk, baik lewat investasi portofolio maupun investasi asing langsung. Kedua, dalam jangka menengah, stabilitas makro akan tergerus.
    Neraca perdagangan akan defisit, cadangan devisa berkurang, sementara gejolak di sektor keuangan meningkat. Lembaga pemeringkat memang melihat proyeksi perekonomian dalam jangka panjang, tetapi bias dengan indikator stabilitas makro. Sementara indikator produktivitas dan daya saing bukanlah acuan pokok karena mereka lebih melayani kepentingan penanaman modal di sektor keuangan. Bukan sektor riil.
    Lihat saja, negara-negara maju yang sebenarnya sudah tidak memiliki daya saing di sektor riil masih dianggap sebagai pemegang peringkat utang paling aman. Negara maju membangun basis stabilitas dengan tingkat produktivitas yang rendah sehingga rentan krisis. Kita harus belajar dari kesalahan negara-negara maju dengan memanfaatkan masuknya likuiditas asing yang akan membanjir untuk membangun produktivitas domestik, diiringi dengan peningkatan daya saing.
    Pada 1990, Robert Lucas (penerima Nobel Ekonomi 1995), mengajukan pertanyaan: mengapa modal justru mengalir dari negara miskin ke negara maju? Karena di negara berkembang tidak tersedia pasokan infrastruktur yang memadai dan birokrasinya terlalu kaku. Jangan-jangan, Indonesia akan mengalami paradoks kapital tersebut lebih cepat dari dugaan kita.
    Pemerintah beradu cepat dengan lenturnya modal yang sekarang sedang menikmati masuk ke Indonesia. Tak banyak waktu tersisa. Pemilu 2014 sudah semakin dekat. ●
  • Menyambut OJK

    Menyambut OJK
    Anas Urbaningrum, KETUA UMUM DPP PARTAI DEMOKRAT  
    Sumber : SINDO, 22 Februari 2012
    Babak awal proses seleksi anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah resmi dimulai. Sebanyak 87 nama calon yang lolos seleksi awal sudah diumumkan.
    Nama-nama ini akan diseleksi lagi oleh panitia yang dipimpin langsung oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo untuk diserahkan 21 nama kepada Presiden. Dari Kantor Presiden akan dipilih 14 nama untuk kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat,yang akan memilih tujuh nama untuk diangkat dan ditetapkan sebagai anggota Dewan Komisioner. Proses seleksi ini merupakan satu milestones bagi lembaga independen OJK.

    Pembentukannya telah disahkan secara formal dengan Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011. Proses perencanaan dan pematangan kelembagaan ini telah berjalan cukup lama,dari saat krisis 1997/98 dan kemudian dimandatkan secara formal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, hingga akhirnya terbentuk dan ditetapkan secara resmi pada Oktober tahun lalu. OJK didesain sebagai sebuah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Ia juga memiliki kewenangan sangat luas yang meliputi pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan keseluruhan sektor keuangan dan perbankan.

    Dengan kata lain,OJK akan melingkupi sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Dus, OJK bertanggung jawab mengawasi pengelolaan keseluruhan asetaset di sektor keuangan di Indonesia. Landasan pemikiran utama dari pembentukan OJK adalah menciptakan pengawasan sektorkeuangan yang terintegrasi. Dewasa ini globalisasi sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait antarsubsektor.

    Pembentukkan OJK juga untuk menciptakan lembaga pengawas sektor keuangan yang independen dan kredibel dalam melaksanakan tugasnya. Independensi ini penting untuk mencegah benturan kepentingan antara berbagai aktor yang berinteraksi di pasar. Independensi kelembagaan OJK juga meminimalisasi potensi intervensi pihakpihak tertentu, termasuk pemerintah dalam pengawasan sektor keuangan. Satu hal lain yang menarik dari reformasi keuangan dan pembentukkan OJK adalah dimasukkannya pendidikan dan perlindungan konsumen sebagai nomenklatur pengawasan pada sektor finansial.

    Satu langkah positif yang patut diapresiasi mengingat masih sedikit terabaikannya aspek ini dalam supervisi lembaga keuangan. Fokus pengawasan yang ada selama ini cenderung terpusat pada aspek prudential dari lembaga keuangan yang ada. Sementara kepentingan konsumen sebagai bagian terpenting dari keberadaan sektor keuangan belum begitu diperhatikan.

    Langkah Awal

    Keberadaan OJK merupakan mata rantai dari proses reformasi sektor keuangan Indonesia secara menyeluruh. Dengan paripurnanya kelembagaan OJK, reformasi kelembagaan lain di sektor keuangan juga dipastikan menyusul.Keberadaan OJK meniscayakan penataan ulang fungsi dan wewenang lembaga-lembaga yang memiliki otoritas di sektor keuangan lainnya, melalui revisi berbagai peraturan dan perundang-undangan terkait. Salah satunya perubahan Undang-Undang tentang Perbankan dan Bank Indonesia.

    Satu penjabaran lebih lanjut soal pembagian kewenangan dan bentuk koordinasi antara OJKdan BI diperlukan.Setelah pembentukan lembaga ini, OJK bertanggung jawab terhadap pengawasan mikro (microprudential) perbankan. Sementara BI memiliki otoritas dalam mengatur dan mengawasi aspek makro (macroprudential) perbankan seperti penetapan BI Rate,FasBI, Giro Wajib Minimum, dan kebijakan moneter lainnya. Persoalannya, kebijakan moneter dan macroprudential perbankan yang dilakukan BI membutuhkan informasi akurat tentang kondisi aktual individu bank. Ini merupakan ranah dari pengawasan microprudential yang dimiliki OJK.

    Pada titik ini dibutuhkan formulasi secara detail bentuk koordinasi antara OJK dan BI melalui revisi Undang-Undang Perbankan untuk mencegah persoalan di kemudian hari. Begitu pula dengan beralihnya tanggung jawab pengawasan microprudential dari BI ke OJK,diperlukan satu redefinisi dari peran BI. Dalam hemat kami, dengan sumber daya yang dimiliki saat ini, peran dan misi BI perlu diperluas bukan hanya pada kewajiban mengawal tingkat inflasi nasional yang selama ini ditempuh melalui kebijakan inflation targeting framework (ITF).

    Namun, BI juga perlu diberikan peran dan tanggung jawab terhadap misi lain seperti penciptaan lapangan kerja nasional dan percepatan tingkat pertumbuhan ekonomi. Revisi Undang-Undang BI hanya salah satu aspek reformasi sistem keuangan yang terkait dengan OJK.Beberapa revisi kelembagaan atau formulasi peraturan lain yang terkait di bidang keuangan, seperti revisi Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), juga perlu dilakukan. Demikian pula detail pengaturan hubungan antarlembaga dalam payung Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan perlu dijabarkan lebih lanjut.

    Hal-hal mendasar terkait relasi kelembagaan ini memang sudah diatur dalam Undang- Undang OJK. Namun, detail aturan perlu ditetapkan lebih lanjut dengan mengantisipasi revisi terkait pada kelembagaan BI dan LPS. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan OJK merupakan awal dari penataan ulang sistem keuangan nasional yang lebih efisien, stabil dalam arti kebal terhadap guncangan, dan berkeadilan. Muara dari penataan ini adalah perbaikkan fungsi intermediasi dan peningkatan peran lembaga keuangan nasional pada pembangunan nasional.

    Dengan OJK sebagai awal penataan, berbagai lembaga jasa keuangan diharapkan memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam penyediaan dana untuk pembangunan ekonomi nasional. Pada akhirnya percepatan pertumbuhan ekonomi yang berujung pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat dapat tercapai secara lebih berkeadilan.

  • Memperjuangkan Masyarakat Inklusif

    Memperjuangkan Masyarakat Inklusif
    Novri Susan, SOSIOLOG UNIVERSITAS AIRLANGGA;
    PHD STUDENT OF GLOBAL STUDIES DOSHISHA UNIVERSITY, KYOTO, JEPANG
    Sumber : KOMPAS, 22 Februari 2012
    Violence is fomented by the imposition of singular and belligerent identities on gullible people. Amartya Sen, 2006
    Pasca-penolakan kehadiran FPI di Kalimantan Tengah, muncul gerakan ”Indonesia Tanpa FPI” dan ”Indonesia Tanpa Kekerasan” yang digagas oleh sebagian masyarakat sipil. Esensi gerakan ini adalah penolakan terhadap budaya kekerasan dalam sistem sosial Indonesia.
    Adegan penolakan kekerasan melalui kasus Front Pembela Islam (FPI) tersebut bisa menjadi energi transformatif bagi terbentuknya masyarakat inklusif Indonesia. Suatu masyarakat yang anti-kekerasan dan cinta keberagaman kebudayaan.
    Meski demikian, mewujudkan masyarakat inklusif masih menghadapi tantangan berat. Tantangan itu bersumber dari kekerasan yang telah menjadi identitas kelompok-kelompok sosial tertentu dan keroposnya kekuatan negara dalam melindungi keamanan warga.
    Identitas Kekerasan
    Potret buram di negeri Pancasila ini disebabkan, antara lain, oleh kekerasan yang sering dimobilisasi secara semena-mena oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Akibatnya, setiap konflik sosial muncul, kekerasan pun sering tak terhindarkan.
    Dinamika konflik sosial di Indonesia sangat rentan kekerasan. Sebutlah seperti konflik antara pendatang dan penduduk asli di Lampung Selatan pada akhir Januari lalu yang menyebabkan puluhan rumah penduduk rusak. Pada minggu kedua Februari (8/2), konflik antarkelompok sosial di wilayah Desa Pelauw dan Desa Romohoni, Maluku Tengah, menyala oleh bara kekerasan. Kekerasan tersebut menyebabkan lima orang meninggal dunia, belasan terluka, dan sekitar 300 rumah hangus terbakar.
    Tingginya frekuensi kekerasan dalam banyak konflik sosial di Indonesia menandakan sebagian masyarakat Indonesia telah mengonstruksi kekerasan sebagai identitas. Kekerasan tak lagi sekadar luapan emosional tanpa nalar pengetahuan di dalamnya.
    Sebaliknya, kekerasan mendapatkan justifikasi dalam bentuk sosialisasi intensif sebagai kebenaran yang boleh atau harus dipraktikkan demi tujuan-tujuan tertentu. Tujuan itu sering terkait erat dengan harga diri, kehormatan, dan keberlangsungan posisi sosial ekonomi kelompok.
    Kekerasan pun tidak lagi dipandang sebagai kesalahan atau keburukan, tetapi sebagai manifestasi loyalitas anggota terhadap tujuan-tujuan kelompok tersebut. Pada proses konstruksi ini, kekerasan merupakan identitas yang dianggap benar dan suci.
    Efek selanjutnya, kekerasan sering kali diberdayakan ketika muncul situasi yang dipersepsi merugikan tujuan-tujuan kelompok. Misalnya, menjamurnya klub-klub malam bisa dipersepsi sebagai situasi yang mengancam tujuan FPI membangun masyarakat ”antimaksiat”. Mobilisasi kekerasan terhadap klub-klub malam dijustifikasi sebagai bentuk kebenaran untuk menyelamatkan ”masyarakat luas”.
    Tentu saja kekerasan sebagai identitas tidak terbatas pada FPI, tetapi juga tumbuh kuat pada kelompok-kelompok sosial lain, baik etnis, keagamaan, maupun golongan. Realitas ini terlihat dari menjamurnya kekerasan dalam berbagai konflik sosial di Tanah Air.
    Merata dan meningkatnya frekuensi kekerasan, sebagai identitas, dalam banyak kasus konflik sosial akhir-akhir ini merupakan kondisi memprihatinkan. Amartya Sen (Identity and Violence: The Illusion of Destiny, 2006) mengingatkan, menguatnya identitas kekerasan akan menciptakan situasi keterjebakan masyarakat dalam logika brutal anarkisme. Masyarakat dengan berbagai kelompok sosial di dalamnya kehilangan kemampuan memahami bahwa kekerasan adalah simpul-simpul kehancuran sendiri.
    Sen, seperti dikutip pada pembukaan di atas, dengan gaya ironi menyebut identitas kekerasan hanya dilakukan oleh mereka, anggota masyarakat, yang mudah dibohongi oleh doktrin-doktrin sempit. Adalah suatu kebohongan bahwa kekerasan merupakan kehormatan atau harga diri.
    Penguatan Negara
    Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia tengah terjebak dalam konstruksi identitas kekerasan. Alhasil, mobilisasi kekerasan direproduksi ketika di antara kelompok sosial mengalami benturan tujuan di dalam sistem sosial.
    Konsekuensinya adalah kerugian besar dalam bentuk korban jiwa, hancurnya harta benda, merapuhnya produktivitas sosial ekonomi, bahkan suramnya masa depan generasi muda. Pada situasi ini, negara harus memiliki kekuatan yang besar untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari jebakan identitas kekerasan dan mewujudkan masyarakat inklusif.
    Penguatan negara tak berarti adanya peningkatan represi negara terhadap eksistensi kelompok-kelompok identitas. Namun, negara harus memperkuat fungsi-fungsi kelembagaannya berdasarkan mandat demokrasi. Termasuk dalam penggunaan cara kekerasan, harus dipastikan bahwa praktik itu menjadi otoritas penuh lembaga negara.
    Penggunaan kekerasan sebagai otoritas negara dalam demokrasi, seperti dielaborasi oleh John Keane (Violence and Democracy, 2004), harus berprinsip pada perlindungan keamanan warga. Perlindungan dari agresi asing ataupun ancaman dari kelompok-kelompok kekerasan, seperti kelompok teroris, etnis, sampai radikalis-fundamentalis. Artinya, negara diperkenankan memobilisasi kekerasan negara untuk mencegah dan menangani kekerasan yang dipraktikkan oleh kelompok-kelompok sosial.
    Sayangnya, selama ini negara terkesan tidak memiliki kekuatan untuk mencegah dan menangani praktik kekerasan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Bahkan sebaliknya, lembaga negara yang memiliki otoritas dalam penggunaan kekerasan, seperti militer, polisi, dan satpol PP, ikut menjadi ”liar” dalam penggunaan kekerasan dengan keluar dari prinsip demokrasi.
    Dalam banyak kasus, negara hanya menggunakan kekerasan untuk melindungi para pemodal besar, seperti pada kasus konflik agraria di Bima dan Mesuji beberapa waktu lalu. Oknum-oknum dalam lembaga kepolisian atau militer sibuk menjadi tukang pukul yang melindungi operasi bisnis tertentu. Alhasil, negara mengalami pengeroposan fungsi dalam memberi perlindungan keamanan warga dari mobilisasi kelompok-kelompok yang menjadikan kekerasan sebagai identitasnya.
    Melalui tulisan ini bisa direfleksikan bahwa perjuangan membangun masyarakat inklusif masih menghadapi tantangan berat. Pertama, dari realitas masih kuatnya identitas kekerasan dalam masyarakat. Kedua, keroposnya fungsi negara dalam menempatkan otoritas penggunaan kekerasan untuk perlindungan keamanan warga.
    Oleh karena itu, bangsa Indonesia yang sebenarnya mayoritas cinta damai harus gigih mewujudkan masyarakat inklusif yang anti-kekerasan dan hormat kepada keberagaman budaya. ●