Category: Uncategorized

  • Surat untuk Presiden

    Surat untuk Presiden
    Acep Iwan Saidi, KETUA FORUM STUDI KEBUDAYAAN FSRD ITB
    Sumber : KOMPAS, 23 Februari 2012
    Selamat malam, Pak Presiden! Dari Daniel Sparringa, salah seorang staf Anda, yang berbicara pada acara Soegeng Sarjadi Syndicate di TVRI—maaf lupa tanggal tayangnya—saya mendapat informasi bahwa Anda sering bangun malam. Katanya lagi, Anda membaca dan merenung, memikirkan berbagai permasalahan bangsa yang kian hari kian jelimet, kian ruwet.
    Oleh karena itu, saya alamatkan surat ini kepada Anda yang begitu ”mengakrabi malam”. Saya pun menulisnya dalam larut, sehari setelah menyaksikan kesaksian Angelina Sondakh untuk kasus yang kita semua sudah tahu belaka itu.
    Angie yang cantik, kita juga tahu, adalah salah satu pejabat tinggi di partai yang Bapak bina. Artinya, langsung atau tidak, Angie adalah binaan Anda.
    Pak Presiden, sebelumnya perlu Anda ketahui bahwa pada pemilihan presiden tahun 2004, saya adalah salah seorang yang memilih Anda.
    Tentu saja, sebagai orang yang merasa diri intelektual, saya tidak sembarang memilih. Sebelum menentukan pilihan, saya merasa wajib untuk melakukan ”riset kecil-kecilan”, mulai dari menelusuri kehidupan masa kecil hingga perilaku paling mutakhir para calon presiden saat itu.
    Pilihan saya jatuh kepada Anda karena pada waktu itu Anda mengingatkan saya pada sosok Arok dalam roman Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.
    Tentang Arok
    Dengarlah apa yang dicatat Pram tentang Arok melalui mulut tokoh Dang Hyang Lohgawe berikut ini. ”Dengan api Hyang Bathara Guru dalam dadamu, dengan ketajaman parasyu Hyang Ganesya, dengan keperkasaan Hyang Durga Mahisa suramardini, kaulah Arok, kaulah pembangun ajaran, pembangun negeri sekaligus. Dengarkan kalian semua, sejak detik ini, dalam kesaksian Hyang Bathara Guru yang berpadu dalam Brahma, Syiwa, dan Wisynu dengan semua syaktinya, aku turunkan pada anak ini nama yang akan membawanya pada kenyataan sebagai bagian dari cakrawati. Kenyataan itu kini masih membara dalam dirimu. Arok namamu” (1999: 53).
    Demikianlah, Pak Presiden, imajinasi saya tentang Anda kala itu. Namun, dalam perjalanannya, perlahan-lahan imajinasi tersebut pupus. Entah karena apa, dalam mata batin saya, gambaran tritunggal (Brahma, Syiwa, dan Wisynu) sirna dari diri Anda. Saya tidak lagi merasakan sorot mata Sudra, sikap Satria, dan esensi Brahmana.
    Hingga hari ini, Anda memang sangat santun, tetapi kesantunan itu terasa tak memiliki aura. Memandang Anda—artinya mencoba mengerti dan menerima kepemimpinan Anda—saya seperti menatap sebuah potret dalam bingkai. Sebuah potret, tentu bukanlah realitas sebenarnya. Ia adalah realitas citra.
    Barangkali tidak ada yang salah dengan Anda, Pak Presiden. Kekuasaan, dalam sejarah bangsa mana pun, memang memiliki karakter pengisap. Barangsiapa tidak mampu menaklukkannya, ia akan tersedot hingga ke rangka. Sirnanya tritunggal yang saya imajinasikan terdapat pada sosok Anda kiranya juga karena isapan gravitasi kuasa tersebut.
    Matinya tritunggal sedemikian meniscayakan hidupnya kelemahan tak terelakkan pada diri Anda. Lihatlah, sayap Anda patah. Anda tidak mampu menjadi ”Garuda Yang Terbang Sendiri”—meminjam judul drama Sanoesi Pane. Ada semacam kekhawatiran pada diri Anda jika terbang sedemikian, yakni kecemasan untuk tidak bisa kembali hinggap pada takhta yang notabene mengisap Anda secara terus-menerus itu. Anda lebih suka diisap daripada menyedot habis daya kuasa. Anda dikuasai, bukan menguasai.
    Itulah kiranya, disadari atau tidak, yang membuat Anda selalu terjaga saat larut seperti dikisahkan Sparringa. Tanpa keluh kesah kepada Sparringa, saya pikir tubuh Anda sendiri telah berbicara. Di balik baju kebesaran presiden, Anda tidak bisa mengelak kalau sorot mata Anda makin sayu, satu-dua keriput bertambah di wajah Anda. Jika saja Anda bukan presiden, barangkali sepanjang hari Anda akan tampak lusuh, layaknya seorang bapak yang capek memikirkan ulah anak-anaknya yang kelewat nakal. Wajah Anda tak lagi bersinar seperti sebelum jadi penguasa.
    Gara-gara Korupsi
    Pemberantasan korupsi yang menjadi jargon partai binaan Anda, Pak Presiden, itulah yang saya pikir menambah satu-dua kerutan di wajah Anda tahun-tahun terakhir ini. Saya yakin Anda dan keluarga tidak melakukan tindakan kriminal tersebut, tetapi Anda terjebak dalam kepungan para bandit.
    Kiranya Anda juga sang pemilik gagasan besar jargon pemberantasan korupsi tadi sehingga dengan sangat yakin Anda memasang badan di barisan paling depan pendekar pembunuh koruptor. Sayang, nyatanya Anda dikhianati. Anda jadi sandera di dalam jargon yang Anda gagas. Akibatnya, Anda menjadi sangat lemah. Anda tahu kepada siapa Anda mesti marah, tetapi Anda juga tahu hal itu tidak mungkin dilakukan. Ah, betapa menyakitkan hidup seperti itu.
    Pak Presiden yang terhormat,
    Malam semakin larut, tetapi kian gelap dan sunyi di luar, kian benderang hati kita di dalam. Drama Nazar dan Angie pastilah akan semakin jelas jika ditatap dalam suasana seperti ini.
    Ketahuilah, penyelesaian kasus pelik yang menimpa mereka, juga banyak kasus lain, hanya bertumpu kepada Anda. Sekuat apa pun KPK, saya tidak yakin lembaga ini bisa menyelesaikannya. Anda mungkin tidak mengintervensi KPK dan penegak hukum dalam arti negatif, tetapi ketahuilah, tangan Anda bisa memanjang tanpa Anda ketahui, kekuasaan Anda bisa membengkak tanpa Anda sadari.
    Ingatlah selalu bahwa Anda sedang terus-menerus dikhianati. Jadi, mohon keluarlah. Anda sudah mampu menguasai malam. Itu artinya Anda bisa menyongsong fajar saat semua makhluk sedang lelap. Ini kali saatnya Anda meradang, dan menerjang—meminjam sajak Chairil Anwar. Jadilah garuda agar kami menjadikan Anda lambang yang selamanya terpatri di dada.
    Saya seorang dosen, Pak Presiden. Nyaris setiap hari saya membicarakan hal-hal ideal dengan mahasiswa. Kepada para mahasiswa saya selalu mengajarkan mimpi tentang Indonesia yang lebih baik di masa depan. Jadi, tolong saya, Pak Presiden, tolong bantu saya untuk menjadikan ajaran itu bukan ilusi, apalagi dusta.
    Maka, jawablah permohonan ini dengan sebuah tindakan: bahwa besok pagi, saat fajar tuntas memintal malam, Anda akan menjadi presiden yang revolusioner. Atas apa pun yang bernama kuasa, jadikanlah diri Anda Arok, sang pembangun itu! ●
  • Industri Tanpa Akar Budaya

    Industri Tanpa Akar Budaya
    Roos Diatmoko, ANGGOTA DRN KOMTEK TRANSPORTASI 2005-2011
    Sumber : KOMPAS, 23 Februari 2012
    Budaya kerap terkait dengan mitos dan adat masyarakat. Budaya menjadi identitas dan artefak manusia. Budaya industri terbentuk dari budaya nasional dan organisasi yang berperan dalam industrialisasi.
    Dalam era globalisasi, tidak hanya alih teknologi dan modal, budaya yang masuk pun bisa memengaruhi kebijakan industri.
    Prof Mudrajad Kuncoro dalam tulisannya tentang kebangkitan mobil nasional (Kompas, 6/2) mengingatkan empat syarat agar mobnas tidak sekadar impian. Pesannya, jangan sampai Kiat Esemka gagal seperti Timor.
    Daftar syarat akan bertambah karena Kiat berawal dari bengkel mobil yang bermitra SMK. Dalam konteks budaya, kendala akan muncul dalam hal tata nilai dan tujuan industri.
    Transformasi Budaya
    Perubahan dari ekonomi yang berbasis pertanian dan sumber daya alam menuju ekonomi berbasis industri manufaktur butuh transformasi budaya. Lambannya adaptasi perubahan menyebabkan sektor jasa jadi lebih dominan dibandingkan budaya industri. Hasilnya, pertumbuhan pendapatan yang tidak bisa diperdagangkan (non-tradeable) lebih tinggi dibandingkan pendapatan yang bisa diperdagangkan (tradeable) dari manufaktur.
    Dalam laporan The Global Innovation 1000 oleh Booz & Company Inc (2011), inovasi tidak cukup didorong dengan besarnya biaya penelitian dan pengembangan. Kemajuan inovasi bisa ditingkatkan melalui sinergi strategi dan budaya.
    Hofstede (1991) menyimpulkan adanya budaya terkait perilaku tenaga kerja. Di AS, misalnya, yang menonjol kepentingan individu, sedangkan Jepang mengutamakan kerja kelompok.
    Polemik mobnas dan mobil Indonesia mungkin berawal dari persepsi dan kepentingan bisnis berbeda. Dalam diskusi, Ketua Asosiasi Industri Automotif Nusantara menyampaikan perlunya budaya industri melalui program mobnas terkait kemandirian industri otomotif. Selama ini, industri otomotif nasional masih dalam fase lisensi dan agen tunggal pemegang merek fokus pada kemampuan manufaktur. Padahal, pengusaha nasional seharusnya mampu menjadi prinsipal di negeri sendiri dengan merek nasional. Syaratnya, mampu mendesain integrasi teknologi.
    Di pihak lain, peningkatan daya saing industri otomotif dibutuhkan. Industri otomotif nasional tumbuh hingga 14,54 persen pada 2011. Otomotif berada di depan industri manufaktur yang tumbuh 6,86 persen. Menjelang tembusnya angka penjualan 1 juta mobil, telah digagas program mobil murah dan ramah lingkungan (low cost and green car/LCGC).
    Mobil LCGC ditujukan untuk menyaingi Thailand sehingga pemerintah menyiapkan insentif fiskal mobil LCGC. Investasi mobil LCGC yang akan diluncurkan Oktober 2012 bergantung pada strategi bisnis prinsipal Jepang.
    Mobil LCGC direncanakan berjenis MPV, bermesin 1.000-1.200 cc, dengan konsumsi BBM 20-22 km per liter. Mobil LCGC dianggap mobil Indonesia dengan kandungan lokal minimal 80 persen. Muncul pola pikir bahwa program mobil Indonesia lebih membumi dibandingkan mimpi mobnas yang daya saingnya belum jelas. Ada mitos, mobnas sulit tumbuh di negara mana pun tanpa dukungan industri otomotif Jepang dan AS!
    Artinya, mobnas sukses kalau mendapat restu prinsipal otomotif Jepang. Contohnya: mobil Proton dan Hyundai berawal dari dukungan Mitsubishi. Luar biasa apabila mitos tadi dijadikan nilai dan keyakinan.
    Ubah Pola Pikir
    Dalam buku Mind Set, John Naisbitt (2006) membuka rahasia masa depan melalui pola pikir. Naisbitt menyatakan era kini mirip kebun buah. Jika para pemecah masalah masih berpikir soal buah masak yang jatuh dari pohon, para pencari peluang mencari buah ranum untuk dipetik. Jika tidak pernah mencoba, tidak akan ada hasil dan peluang baru.
    Ada pepatah China: bukan kaki yang menggerakkan kita, melainkan pikiran kita. Perlu peran pemimpin proaktif yang bisa mengurai polemik mobnas. Sebagai pendiri Astra, dulu William Soeryadjaya mampu meyakinkan Toyota membangun mobil MPV Kijang dengan karakter Indonesia.
    Tahun 1977, pangsa pasar didominasi kendaraan niaga minibus versi Jepang. Desain Kijang kotak dengan mesin depan dianggap tidak umum. Mobil keluarga dengan DNA Indonesia sukses dan lahir lebih awal dari Renault Espace, mobil MPV pertama di dunia tahun 1984.
    Dalam The Honda Way, Masaaki Sato (2006) menuturkan cara Honda memulai mobnas tanpa dukungan industri AS. Tahun 1965, industri otomotif Jepang maju pesat dengan mobil pribadi. Penjualan sedan naik 5,8 kali dalam lima tahun dan mencapai 3,18 juta unit tahun 1970.
    Kembangkan Inovasi
    Honda nekat merintis mobil mini ”kei-car” dengan mesin 354 cc berpendingan udara. Terjadilah skandal cacat mutu mobil tipe N360 tersebut. Tanpa patah semangat, Honda meluncurkan Civic hasil kombinasi inovasi bodi dua kotak (hatchback) dan mesin kompak ramah lingkungan CVCC berpendingin air, dan sukses. Honda bahkan memberikan lisensi desain mesin CVCC ini ke GM dan Toyota!
    Kisah inovasi Kijang dan Civic bukan sekadar sejarah masa lalu. Dalam buku Nanovation(Freiberg, 2011) dikisahkan Ratan Tata sebagai pemimpin bisnis yang mampu mewujudkan Tata Nano, mobil termurah di dunia seharga 1 lakh (100.000 rupee atau sekitar 2.500 dollar AS).
    Visi Ratan Tata berawal dari kepeduliannya atas statistik jumlah sepeda motor dan angka kecelakaan. Nanovation bukan mimpi inovasi mobil murah, melainkan tentang budaya industri peduli rakyat!
    Kisah mobil Esemka juga mendasarkan kepedulian tentang tenaga kerja yang akan mencapai 132 juta jiwa pada 2020. Selain pendidikan tenaga terampil, perlu pengembangan industri nasional. Di lain pihak, mobil Tawon dan GEA diposisikan sebagai kendaraan angkutan umum rakyat. Mobil GEA (Gulirkan Energi Alternatif) menggunakan alternatif solusi bahan bakar gas jenis LPG. Berbekal mesin mini seperti Honda, riset bisa bergulir untuk mesin hibrida setara 1.000 cc. Budaya industri pun jadi prinsipal mandiri untuk rakyat. ●
  • Ideal yang Tidak Realistis

    Ideal yang Tidak Realistis
    L. WIlardjo, FISIKAWAN
    Sumber : KOMPAS, 23 Februari 2012
    Isi tulisan Terry Mart, ”Hakikat Seberkas Makalah Ilmiah”, dua hari lalu, di rubrik ini benar dan baik. Kita mendukung upaya untuk merealisasikannya. Namun, untuk Indonesia sekarang ini, yang didambakan oleh Terry Mart dan dituntut oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu tidak realistis.
    Kalau ringkasan disertasi yang berhasil dipertahankan di Universitas Indonesia—tempat Prof Terry Mart, dr rer nat menjadi guru besar—pasti terpublikasikan di jurnal internasional yang sudah mapan, itu sungguh luar biasa.
    Universitas Indonesia pantas menyebut dirinya sebagai sebuah universitas penelitian yang pamornya secemerlang Caltec, MIT, atau Stanford. Namun, benarkah begitu?
    Di S-3 Fasilkom UI, salah satu syarat untuk lulus dan menjadi doktor memang publikasi internasional, tetapi tidak harus di jurnal ilmiah internasional yang sudah mapan, seperti Physical Review, Journal of Molecular Spectroscopy, Annalen der Physik, dan Nature .
    Asalkan ringkasan disertasi itu sudah dipresentasikan di sebuah konferensi, lalu masuk ke dalam proceedings konferensi tersebut, itu sudah cukup. Standar semacam itu pun tidak dapat dicapai oleh banyak program S-3 di Indonesia.
    Bahwa di Jerman sebuah Diplomarbeit dapat dipublikasikan di jurnal internasional, barangkali benar. Jerman memang negara maju yang hebat.
    Namun, di sana tidak ada syarat publikasi di jurnal ilmiah internasional yang sudah mapan bagi mahasiswa yang akan mendapatkan gelar doktor. Begitulah kata teman saya yang seorang dr rer theol (doktor di bidang Theologia) dari Ludwig Maximilian Universitaet di Muenchen. Di Amerika juga tak ada syarat semacam itu!
    Yang ada ialah syarat mampu memahami tulisan ilmiah di bidangnya dalam tiga bahasa asing yang dipakai dalam jurnal-jurnal ilmiah internasional. Kemampuan itu dibuktikan dalam ujian individual.
    Di program S-3, beberapa perguruan tinggi negeri Indonesia, dalam ujian tertulis buku terbuka pun, masih ada mahasiswa yang curang: bekerja sama dengan teman atau mencontek.
    Banyak yang menjawab soal atau pertanyaan dengan hanya menyalin pernyataan yang ada di dalam buku.
    Pernyataan itu memang benar, tetapi tidak ada kena-mengenanya sama sekali dengan persoalan yang diberikan. Jadi, jawaban mereka asbun, asal bunyi.
    Skor TOEFL 510 sebagai salah satu syarat lulus di program doktor suatu perguruan tinggi swasta di Indonesia juga tidak tercapai oleh semua mahasiswa.
    Apalagi kalau skor TOEFL harus tak kurang dari 600, seperti ditetapkan Menteri Perdagangan bagi para pegawai di kementerian itu. Tuntutan Gita Wirjawan ini, seperti juga tuntutan Dirjen Dikti Djoko Santoso, bagus, tetapi tak jelas juntrungannya.
    Jitu
    Usul Romo Franz Magnis-Suseno agar Dikti membuka perwakilan di Timor Leste untuk memfasilitasi pembuatan jurnal internasional ala Indonesia, menurut Terry Mart, ”jelas salah besar ”. Pada hemat saya, yang salah besar bukan Romo Franz, tetapi Terry Mart. Terry menerima kalimat Romo Franz itu secara harfiah- denotatif, padahal kata-kata itu dimaksudkan sebagai sinisme. Dan, sebagai sinisme, yang ”di – anjurkan” Romo Franz itu justru pas atau jitu.
    Bagaimana kita bisa menuntut semua mahasiswa S-3 menerbitkan makalah mereka di jurnal ilmiah internasional, yang tentu harus ditulis dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, atau bahasa ”internasional” lain yang dipakai di PBB dan di jurnal-jurnal itu?
    Syarat publikasi di jurnal ilmiah internasional itu untuk program S-3 di Indonesia sekarang ini ideal, artinya setali tiga uang dengan tidak realistis. ●
  • Siswa Miskin di Sekolah Kaya

    Siswa Miskin di Sekolah Kaya
    Sidharta Susila, PENDIDIK DI YAYASAN PANGUDI LUHUR DI MUNTILAN, MAGELANG
    Sumber : KOMPAS, 23 Februari 2012
    Sudah jatuh, tertimpa tangga. Begitukah nasib siswa miskin di negeri ini?
    Inilah ironinya. Kue pendidikan siswa miskin demikian kecil dibandingkan kue pendidikan siswa kaya di rintisan sekolah bertaraf internasional/sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI). Sepotong kecil itulah yang masih harus diperebutkan sehingga siswa miskin harus berusaha ekstra untuk memperjuangkan nasib mereka.
    Realitas ini terasa dalam porsi pendanaan RSBI/SBI oleh negara. Pada tahun 2011, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 289 miliar untuk RSBI/SBI. Sedangkan untuk sekolah standar nasional atau umum yang jumlahnya lebih banyak hanya Rp 250 miliar (Kompas, 17/2). Pemerintah tetap mengalokasikan dana atau subsidi bagi RSBI/SBI meski sekolah itu sudah bagus, bergedung mewah, dan sarananya lengkap pula.
    Kuota Saja Tak Cukup
    Seperti ditegaskan Mendiknas Mohammad Nuh, kesan eksklusif bahwa RSBI hanya untuk orang-orang kaya memang harus dihapus. RSBI harus menyediakan kuota 20 persen untuk siswa miskin berprestasi karena eksklusivitas RSBI hanya secara akademis, bukan secara sosial.
    Sepertinya negara telah memperjuangkan keadilan kesempatan belajar bagi siswa miskin. Namun, realitasnya tidaklah demikian. Praktiknya, sejak tahap seleksi, pihak RSBI/SBI sudah menimbang kemampuan finansial orangtua siswa. Mereka masih memungut biaya tambahan, seperti uang pangkal, gedung, dan bulanan. Bahkan, untuk mengikuti ujian bertaraf internasional (standar Cambridge), siswa harus membayar sekitar Rp 1 juta per mata pelajaran.
    Maka, meski berkemampuan intelektual tinggi, siswa miskin akan kesulitan untuk bisa belajar di RSBI/SBI. Target minimal 20 persen pun sulit dipenuhi. Tentu sekarang ini ada anak miskin di RSBI/SBI, tetapi fakta dinamika pendanaan RSBI/SBI menyiratkan bahwa proses pembelajaran mereka didominasi siswa mampu/kaya.
    Dominasi akan menentukan pola relasi sosial. Siswa kaya memiliki pola komunikasi dan berpengetahuan. Ekspresi gaya hidup, cara berbahasa, berpikir, berbicara, atau bertindak mereka akan mewarnai habitus belajar. Siswa miskin sebagai yang minoritas, yang terdominasi, tunduk pada habitus siswa kaya. Dominasi habitus pembelajaran siswa kaya terekspresikan dalam dinamika pembelajaran di kelas, pendanaan, hingga pilihan studi lapangan, juga pernik-pernik aktivitas siswa, seperti seragam atau kegiatan keakraban.
    Siswa miskin bakal terengah-engah mengikuti habitus siswa kaya. Niat baik negara memberikan ruang belajar berkualitas di RSBI/SBI bagi siswa miskin menjadi kemustahilan. Sama mustahilnya dengan memenuhi aturan kuota 20 persen itu bagi siswa miskin.
    Komitmen Tegas
    Jujur saja, mengurus siswa kaya jauh lebih menyenangkan ketimbang siswa miskin. Apalagi jika bisa memuaskan keinginan dan harapan orangtua siswa. Gizi dan tradisi studi yang baik serta didukung finansial orangtua siswa yang melimpah memungkinkan proses pembelajaran yang progresif.
    Lain halnya jika mengurusi siswa miskin. Penulis pernah bekerja di sekolah yang mayoritas siswanya dari keluarga menengah dan kaya. Di sekolah semacam itu, komitmen guru/sekolah untuk memperjuangkan nasib siswa miskin diuji. Sering kali siswa miskin terbenam dalam ragam inferioritas. Akibatnya, prestasinya tidak optimal. Beberapa malah dikenal sebagai siswa bandel. Godaan untuk mengabaikan siswa miskin (lagi bandel) pun besar.
    Syukurlah, yayasan berkomitmen memperhatikan siswa miskin. Sejumlah guru menunjukkan dedikasinya dengan tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap siswa. Sekolah pun memikirkan dengan serius dinamika belajar dan nasib siswa-siswa miskin itu. Bentuknya dalam bimbingan konseling, kunjungan rumah, dan mencarikan bantuan dana untuk mereka.
    Rasanya sikap demikian juga dilakukan banyak yayasan dan sekolah swasta lain yang sejak awal berkomitmen memperhatikan yang miskin. Komitmen awal ini merupakan penoreh nurani. Guru dan pengelola sekolah memiliki ruang, kepekaan, dan spontanitas untuk memperjuangkan siswa miskin, di sekolah kaya sekalipun. Di sekolah semacam ini, siswa miskin menemukan ruang ekspresi meski ada di antara siswa kaya.
    Apakah sekolah-sekolah RSBI/SBI (yang kaya itu) sejak awal juga berkomitmen dan diabdikan bagi siswa miskin? Apakah guru dan pengelola sekolah itu juga disiapkan untuk berkomitmen memperhatikan siswa miskin di antara siswa kaya? Tersediakah sarana dan cara memperjuangkan siswa miskin bagi para guru dan pengelola sekolah itu? Atau waktunya habis untuk mempertahankan pamor dan kasta sekolah? ●
  • Nasib Tanah Adat

    Nasib Tanah Adat
    Mochtar Naim, SOSIOLOG
    Sumber : KOMPAS, 23 Februari 2012
    Hari-hari ini, gejolak di mana-mana mulai melebar, yang ujung-ujungnya dapat saja berupa sebuah revolusi sosial yang datang dari rakyat sendiri. Dampaknya tentu sukar diduga, tetapi yang pasti akibatnya pasti sangat mengerikan.
    Pokok pangkalnya, antara lain, tanah ulayat adat dan tanah-tanah rakyat yang belum tergarap diambil alih pemerintah menjadi tanah negara. Tanah-tanah rakyat yang tadinya dimaksudkan sebagai tanah cadangan guna mengantisipasi perkembangan penduduk di masa depan itu, atas nama pembangunan diambil alih, lalu hak guna usaha (HGU)-nya diberikan kepada para pengusaha kapitalis.
    UUD Dijadikan Dalih
    Semua dilakukan atas nama pembangunan, dengan berdalih pada Pasal 33 Ayat (3) dan (4) UUD 1945. Ayat (3) menyatakan, ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ’dikuasai’ oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
    Sementara Ayat (4) malah menambahkan lagi, ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
    Namun, dari praktik yang tersua, yang terjadi justru sebaliknya. UUD 1945, Pasal 33, ternyata telah menjadi gincu pemanis bagi pembangunan. Sebab, isinya tidak lain dari kembalinya penjajahan ekonomi oleh tangan-tangan para kapitalis dalam dan luar negeri seperti di masa kolonial dahulu. Ironisnya, semua itu difasilitasi dan dibukakan jalannya oleh para penguasa negara dengan mengambil manfaat dari aktivitas itu untuk kepentingan kelompok dan pribadi-pribadi dari yang berkuasa.
    Kerja sama ”triumvirat”—konglomerat, kapitalis multinasional, dan penguasa negara—inilah yang telah menggelindingkan ekonomi Indonesia sejak Orde Baru ke masa reformasi sekarang. Semua itu adalah untuk ”kebuntungan”, bukan ”keberuntungan” rakyat yang tadinya memiliki tanah ulayat yang jutaan hektar luasnya di sejumlah pulau di seluruh Indonesia.
    Rakyat yang tadinya punya tanah cadangan berupa hutan ulayat, tanah desa, kampung, dan nagari, yang luasnya sampai ratusan hektar, sekarang tandas sudah. Adapun yang tersisa, yang langsung bisa diolah dan ditanami di lahan pertanian, tinggal setengah atau seperempat hektar per keluarga. Bahkan, tak sedikit yang tak punya lahan tanah sama sekali. Kebanyakan di antara mereka lalu pergi ke kota dengan ”menjual” tenaga kasarnya. Sementara yang masih punya tanah, tak jarang masih digerogoti oleh pengusaha ”absenti-siluman” dari kota, manakala lokasinya cukup strategis untuk usaha-usaha di luar bidang pertanian.
    Akibatnya, pemiskinan, bagaimanapun, mau tak mau dengan sendirinya terjadi. Rakyat Indonesia sekarang telah menjadi rakyat termiskin di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur, yang berarti mereka juga tergolong kelompok termiskin di dunia.
    Kembalikan ke Tampuknya
    Kalau Pasal 33 UUD 1945 tidak akan menjadi sekadar gincu di bibir, tetapi benar-benar dipraktikkan, dan itu dipraktikkan untuk tujuan ”sebesar-besar kemakmuran rakyat”, sebagaimana bunyi Pasal 33 UUD 1945, pertama-tama yang harus dilakukan adalah kembalikan tanah ulayat rakyat itu kepada rakyat. Baik kepemilikan maupun penguasaannya.
    ”Penguasaan” tanah oleh negara tidaklah identik dengan ”pemilikan”. Pemilikan tanah rakyat yang di HGU-kan oleh pemerintah kepada para pengusaha tidak boleh diartikan sebagai tidak lagi bisa dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik yang sah dari semula tanah-tanah tersebut.
    Pemerintah selama ini telah melakukan keteledoran, bahkan kesalahan besar dan fatal, dengan tidak dikembalikannya kepemilikan tanah ulayat adat ataupun tanah-tanah rakyat itu kepada pemiliknya semula, kendati waktu pakai HGU-nya sudah habis. Lebih celaka lagi, HGU ini bisa diperpanjang sampai sekian kali sehingga tanah rakyat itu pun sudah seperti layaknya milik pengusaha yang memegang HGU tanah tersebut.
    Rakyat yang sesungguhnya pemilik tanah itu dalam praktiknya kebanyakan telah menjadi kuli/buruh/pekerja di atas tanah mereka sendiri. Mereka dibayar kalau bekerja dan tidak dibayar kalau tidak bekerja. Pemiskinan pun kian berlipat terjadi dengan praktik penguasaan tanah rakyat oleh negara yang sengaja di-HGU-kan kepada para pengusaha kapitalis, yang semua itu katanya demi menggenjot perekonomian negara.
    Padahal, melalui arahan dan bimbingan dari negara dan pemerintah, dengan rakyat tetap sebagai pemilik dan penguasa tanah mereka sendiri, rakyat dapat bekerja sama dengan siapa pun dalam mengolah dan mengelolakan lahan dimaksud. Misalnya dengan prinsip kerja sama dan bagi hasil yang saling menguntungkan, seperti yang tecermin pada Pasal 33 Ayat (3) dan (4) UUD 1945 itu.
    Melalui model pengelolaan semacam itu, ada target-target yang akan dan harus dicapai. Misalnya, dalam jangka waktu 25 tahun pertama, 25 persen penguasaan ekonomi berada di tangan rakyat. Dalam jangka waktu 50 tahun alias setengah abad, rakyat Indonesia telah menjadi ”tuan” di negeri sendiri, seperti halnya dengan rakyat dari negara-negara maju atau sejumlah negara tetangga kita.
    Sebutlah seperti Jepang, Korea, China, serta tak kurangnya Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Di negara-negara tersebut, rakyat pribumi ada di mana-mana—di sektor pertanian, peternakan, perikanan, industri, kerajinan, jasa—dan dalam semua ukuran.
    Kewajiban Luhur Pemerintah
    Seyogianya kalau tanah ulayat adat itu tidak diperjualbelikan, tetapi diwariskan secara turun-temurun, sekurang-kurangnya keberadaannya bermanfaat untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan kaum perempuan dan anak-anak. Hal ini sudah dibuktikan keampuhannya dari tradisi pusaka tinggi, berupa tanah kaum dan suku, dalam masyarakat Minangkabau pada masa lalu.
    Tidak soal apakah budaya yang dianut adalah matrilineal, patrilineal, ataupun parental. Pemilikan dan penguasaan terhadap tanah oleh rakyat telah menjadi penyangga bagi pemiskinan berkelanjutan. Kalau tidak, inilah yang terjadi: pemiskinan akan berjalan cepat sekali, massal, serta bersifat masif.
    Pemilihan ke depan, karena itu, berjipang dua: To be or not to be dari nasib rakyat yang 230-an juta ini. Negara dan bangsa ini, karena itu, punya kewajiban luhur untuk menyelamatkan rakyatnya sendiri dari kehancuran. ●
  • Misteri Rekaman CCTV

    Misteri Rekaman CCTV
    Reza Indragiri Amriel, DOSEN PSIKOLOGI FORENSIK, UNIVERSITAS BINA NUSANTARA
    Sumber : JAWA POS, 23 Februari 2012
    SEORANGgembong preman diciduk polisi dengan sebuah luka tembak di kaki. Peristiwa itu mengejutkan sekaligus mengagumkan. Mengejutkan, mengingat sudah relatif lama masyarakat tidak menyaksikan operasi polisional yang dahsyat sejak penangkapan tersangka-tersangka pelaku teror beberapa waktu silam. Juga mengagumkan, karena polisi tentu tahu konsekuensi yang mereka hadapi akibat kemungkinan aksi balasan dari anggota kelompok tersebut.

    Rekaman CCTV, seperti yang ditayangkan berbagai media visual elektronik, menyajikan cuplikan-cuplikan mendebarkan -bahkan, hingga beberapa segi, menciutkan nyali-menjelang dan setelah pembunuhan di kamar hotel itu berlangsung. Dari rekaman CCTV hotel itu pula dapat diangkat sejumlah pertanyaan tentang kemungkinan kepribadian dan rasionalitas si bos preman. Juga dinamika psikologis yang berlangsung antara dia (dan para anak buahnya) dengan korban di dalam kamar. Begitu pula spekulasi tentang ada tidaknya pihak-pihak tertentu di atas dia.

    Pertama, bagaimana kendali emosi si gembong? Di salah satu media nasional dia mengaku gemar berkelahi. Karena perilaku buruknya itu, dia dikeluarkan dari sekolah. Dari situ tergambar faktor predisposisi dia, yakni bisa bertemperamen buruk yang mewujud ke dalam pembawaan mudah marah dan biasa langsung mengekspresikan secara terbuka amarahnya.

    Dengan kepribadian sedemikian rupa, publik dapat menilai bahwa pembunuhan terhadap pengusaha di kamar hotel itu, baik dengan tangan dia ataupun lewat tangan anak buahnya, merupakan buah watak si gembong yang sangat eksplosif. Sampai di sini kejadian keji itu menjadi masuk akal.

    Kedua, bagaimana rasionalitasnya? Lazimnya, ada asumsi bahwa pelaku kejahatan adalah individu berakal sehat dengan tingkat kecerdasan yang memadai. Seorang (calon) pelaku akan mengalkulasi terlebih dahulu unsur target, insentif, sumber daya, dan risiko terkait dengan misi kejahatan yang akan dijalankannya.

    Khusus mengenai risiko, si (calon) pelaku harus dapat meyakinkan dirinya bahwa risiko memang ada dan dapat dikendalikannya. Semakin kuat perhitungan bahwa risiko dapat diatasi, semakin tinggi pula kemungkinan dia merealisasikan rencananya. Risiko dimaksud tidak sebatas kemungkinan buruk yang bisa dia hadapi saat aksi tengah berlangsung, melainkan juga risiko setelah aksi dilakukan. Yakni, risiko yang dapat menggagalkannya melarikan diri.

    Menonton ulang rekaman CCTV hotel, ihwal rasionalitas si preman justru membangkitkan syak wasangka!

    Dia, hampir bisa dipastikan, tahu persis kaliber hotel yang dikunjunginya. Di hotel sekelas itu sistem pengamanan tentu jauh lebih canggih daripada hotel kelas melati. Kamera pengintai dipasang di titik-titik strategis, yang memungkinkan siapa pun terpantau gerak-geriknya. Hal itu seperti tampak di rekaman CCTV hotel tersebut.

    Atas dasar itu, sulit diterima nalar bahwa dia memilih melakukan aksi berdarah pada malam jahanam itu di hotel tersebut. Terlebih peristiwa maut itu terjadi di dalam kamar hotel. Selain itu, media mewartakan bahwa kamar dipesan atas nama dia sendiri. Dengan demikian, peluang terungkapnya diri pelaku menjadi sangat dan semakin besar.

    Mungkinkah perhitungan dia hanya sampai pada mencabut nyawa korban? Tidakkah dia berpikir lebih jauh bahwa dia, sebagaimana pelaku kriminalitas umumnya, masih harus melarikan diri dan menghilangkan bukti agar dapat lolos dari kejaran penegak hukum? Saya bisa saja keliru, tapi saya cenderung menjawab “tidak mungkin” untuk pertanyaan pertama, dan “ya, seharusnya demikian” untuk pertanyaan kedua.

    Berangkat dari uraian di atas, dengan mengombinasikan aspek kepribadian dan rasionalitas, beberapa spekulasi dapat dibangun.

    Spekulasi pertama, si bos preman pada awalnya tidak bermaksud menghabisi si korban, baik dengan tangannya sendiri maupun tangan orang lain. Itu karena dia tahu persis bahwa hotel sekaliber yang dia kunjungi tersebut memiliki sekian banyak instrumen pengintai yang merekam keberadaan dirinya.

    Namun, di kamar hotel, dalam interaksi antara dia dan korbannya, terjadi perubahan situasi secara drastis yang mengakibatkan rasionalitas tersingkir dan digantikan penguasaan kepribadiannya yang sepertinya sangat temperamental itu. Perilakunya, dengan kata lain, mendadak sontak menjadi sangat irasional.

    Dengan spekulasi sedemikian rupa, tindak-tanduk korban di kamar hotel menjadi relevan untuk diketahui. Tidak tertutup kemungkinan, reaksinya yang berubah tajam dalam waktu singkat disebabkan oleh perasaan marah, tersinggung, dan sejenisnya yang dipicu korban.

    Ini laksana collateral damage. Dari yang semula pertemuan dimaksudkan tanpa kekerasan, atau pertemuan yang menurut rencana dibumbui kekerasan yang tak mematikan, berubah sekejap mata menjadi tragedi. Tragedi yang awalnya tidak diduga oleh siapa pun, betapapun ada pihak yang membawa senjata di situ.

    Dalam ilustrasi sedemikian rupa, terlihat bahwa faktor predisposisi (kepribadian) dia memang berinteraksi dengan faktor situasi. Kendati tidak ada keterlibatan niat yang nyata dari dia untuk mematikan seseorang.

    Spekulasi kedua, rasionalitas berfungsi paralel dengan kepribadiannya. Kalkulasi akal sehatnya selaras dengan kepribadian. Dia telah berencana bahwa dia memang akan menampilkan perilaku brutal di hotel tersebut. Meskipun dia tahu pasti sistem pengamanan hotel sangat mungkin merekam sepak terjangnya, mulai masuk hingga ke luar hotel.

    Si pelaku, dan anak buahnya, juga tidak terlihat mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar bukti-bukti hilang, sehingga dia menjadi tak terlacak oleh aparat hukum dengan begitu mudahnya. Tubuh korban, misalnya, ditinggal begitu saja di dalam kamar.

    Nah, mengapa dia bertingkah laku sedemikian rupa? Spekulasinya adalah karena si pelaku, hingga malam itu, masih tidak merasa perlu menghindari kejaran hukum. Apabila ini yang ada dalam benak si pelaku, terbenarkan sudah kasak-kusuk mulai kedai kopi hingga ruang kantor di gedung tinggi: hukum telah dikangkangi. Allahu a’lam. ●

  • Ketidakpastian Ekonomi

    Ketidakpastian Ekonomi
    Sri Adiningsih, EKONOM SENIOR UNIVERSITAS GADJAH MADA (UGM)
    Sumber : SINDO, 23 Februari 2012
    Ekonomi dunia yang penuh ketidakpastian, terutama karena penyelesaian krisis ekonomi Eropa yang berlarut-larut, telah mendorong pemburukan ekonomi dunia sehingga IMF dalam laporannya tentang proyeksi ekonomi dunia yang pada September 2011 lalu diperkirakan akan tumbuh 4%, pada Januari 2012 merevisi proyeksinya, turun 0,7%, sehingga ekonomi dunia diperkirakan hanya akan tumbuh 3,3% pada 2012.

    Bahkan ekonomi Eropa diperkirakan akan mengalami kontraksi 0,5% pada 2012. Demikian juga pertumbuhan ekonomi negara sedang berkembang Asia diperkirakan akan menurun 0,7% menjadi 7,3% dengan laju pertumbuhan ekonomi ASEAN-5 diperkirakan turun 0,4% (termasuk Indonesia).Tampaknya krisis ekonomi Eropa yang semakin buruk dan ketidakpastian solusinya telah menyandera ekonomi dunia ke dalam ketidakpastian dan memberikan dampak negatif pada perekonomian dunia.

    Memburuknya ekonomi dunia juga sudah berimbas ke negara-negara Asia yang selama ini tangguh. Bahkan pertumbuhan ekonomi China pada kuartal 4 tahun 2011 turun menjadi 8,9%, padahal pada saat krisis ekonomi AS ekonominya masih tumbuh di atas 9% dan ekonomi India juga tumbuh 6,9% pada kuartal 3 tahun 2011 (biasanya di atas 7%). Data-data tersebut menunjukkan bahwa ketidakpastian ekonomi global yang disebabkan ketidakpastian solusi krisis ekonomi Eropa, rendahnya pertumbuhan ekonomi AS, serta mulai kontraksinya ekonomi Jepang telah membuat ekonomi China dan India yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi Asia juga merosot.

    Bagaimana dengan Indonesia?

    Dampak krisis ekonomi global mulai terasa di Indonesia mulai akhir tahun 2011 di mana nilai ekspor mulai turun. Data dari BPS menunjukkan nilai ekspor Desember 2011 hanya mencapai USD17,20 miliar, bandingkan dengan nilai ekspor yang sebesar USD18,3 miliar pada bulan Juni 2011.

    Demikian juga nilai ekspor nonmigas turun menjadi USD13,60 miliar pada Desember 2011 dari USD14,82 miliar pada bulan Juni 2011. Pengusaha mulai merasakan berkurangnya ekspor sehingga mulai mengurangi karyawan ataupun jam kerja karyawan. Padahal dilihat dari ekspor tahunan selama periode 2011 masih tumbuh 29,05%.

    Bahkan data dari BI menunjukkan neraca berjalan juga semakin tipis surplusnya, tinggal USD199 juta pada kuartal 3 tahun 2011 (padahal kuartal 1 2011 surplus lebih dari USD2 miliar). Bahkan neraca pembayaran mulai defisit USD3,8 miliar, padahal kuartal 2 tahun 2011 masih surplus USD11,8 miliar. Hal ini terjadi karena surplus perdagangan barang dan jasa semakin tipis dan transaksi modal dan finansial yang mulai defisit pada kuartal 3 tahun 2011.

    Perkembangan Negatif

    Indonesia harus mulai mewaspadai dampak krisis ekonomi Eropa yang membawa pengaruh besar pada perekonomian global pada saat ini.Apalagi perkembangan internasional yang negatif tersebut sayangnya dibarengi dengan situasi domestik yang menimbulkan banyak ketidakpastian serta menghangatnya suasana sosial dan politik. Banyaknya berita negatif yang kita temui setiap hari serta banyaknya ketidakpastian mengenai berbagai kebijakan ekonomi domestik telah membuat suasana “tidak nyaman” bagi iklim bisnis dan investasi di Indonesia.

    Bahkan Presiden sampai merasa perlu untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat internasional di Jakarta sehingga pada 15 Februari lalu Presiden berusaha meyakinkan perwakilan asing, perwakilan tetap ASEAN, dan organisasi internasional di Jakarta bahwa kondisi Indonesia tidak seburuk yang diberitakan media masa. Namun beberapa hari kemudian berita negatif tentang Indonesia muncul. Indonesia di-black list lagi, menjadi surga bagi money laundering.

    The Financial Action Task Force memasukkan Indonesia sebagai negara yang dianggap tidak dapat memberantas money laundering.Tentu saja masuknya Indonesia dalam black list tersebut tidak menguntungkan. Persepsi internasional terhadap Indonesia jatuh meskipun Indonesia sudah masuk investment grade pada Desember 2011 oleh Fitch.

    Ketidakpastian Pemerintah

    Berbagai perkembangan negatif akhir-akhir ini mengemuka ditambah dengan ketidakpastian kebijakan pemerintah, seperti kebijakan tentang bahan bakar minyak (BBM), yang menyangkut subsidi hingga Rp123 triliun untuk tahun 2012, yang bisa membengkak karena harga minyak di pasar internasional yang terus meningkat. Memang Presiden telah mengeluarkan Perpres No 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran Konsumen Pengguna Jenis BBM Tertentu pada Februari 2012 yang memberikan payung hukum bagi pembatasan ataupun kenaikan harga BBM.

    Namun tetap saja sampai sekarang belum ada kepastian kebijakan apa yang akan diambil pemerintah pada 1 April 2012 nanti terkait dengan pembatasan subsidi BBM. Demikian juga kebijakan kenaikan harga listrik sampai sekarang juga belum jelas di mana subsidi yang dianggarkan Rp44 triliun. Padahal listrik dan BBM besar pengaruhnya pada perekonomian. Belum lagi ingar-bingar masalah korupsi dan menghangatnya suhu sosial politik akhir-akhir ini menimbulkan banyak ketidakpastian. Berbagai ketidakpastian domestik tersebut tentu saja memperburuk iklim investasi dan bisnis di Indonesia.

    Apalagi ditambah dengan kondisi global yang juga penuh ketidakpastian. Semuanya jika dibiarkan berlarut-larut akan membuat memburuknya ekonomi Indonesia. Oleh karena itu semua otoritas, khususnya otoritas ekonomi Indonesia, diharapkan bisa mengurangi ketidakpastian yang ada agar ekonomi Indonesia masih bisa bertahan dengan baik di tengah memburuknya ekonomi global akhir-akhir ini.

  • Si Miskin dan si Kaya di Mata Hukum

    Si Miskin dan si Kaya di Mata Hukum
    Bryan Bernadi, SENIOR ASSOCIATE DI KANTOR HUKUM ANDI F SIMANGUNSONG PARTNERSHIP
    Sumber : SINDO, 23 Februari 2012
    Berawal dari kasus-kasus yang mengusik rasa keadilan, sorotan berbagai media pun mengarah pada penegakan hukum yang dinilai pro terhadap si kaya dan menindas kaum miskin.
    Bahkan, sampai muncul ungkapan bahwa penegakan hukum di negeri ini tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sebut saja beberapa kasus yang pernah kita dengar misalnya Nenek Rasminah yang mencuri enam buah piring dihukum 130 hari,Kakek Rawi yang mencuri 500 gram merica terancam lima tahun penjara, serta Nenek Minah divonis 1,5 bulan kurungan karena terbukti bersalah mencuri tiga buah kakao. Dukungan, simpati, serta empati masyarakat mengalir deras dalam berbagai bentuk untuk kasus-kasus tersebut.

    Dari kasus-kasus semacam ini, biasanya berbagai media baik elektronik dan cetak memberitakan secara gencar karena dinilai memiliki nilai pemberitaan yang tinggi. Namun yang disayangkan adalah, bahwa ketika pengambil keputusan atau pengadilan telah menjatuhkan putusan, opini dan pemberitaan yang berkembang di masyarakat kerap menunjukkan kekecewaan. Seolah-olah sudah terpasang “kuda-kuda” bahwa mereka harusnya dinyatakan tidak bersalah atau tidak dihukum, karena mereka hanyalah segelintir korban rakyat kecil yang terzalimi oleh sistem penegakan hukum di negeri ini.

    Sebaliknya, dalam kasuskasus yang melibatkan orangorang besar, entah dari kalanganpengusaha, birokrat,politikus, artis,ataupun berbagai elemen masyarakat lainnya yang dinilai memiliki pengaruh di Republik ini, proses penegakan hukumnya kerap dipandang sebelah mata dan tidak dipercaya. Belum-belum berjalan, pandangan masyarakat sudah antipati bahwa yang bersangkutan akan mendapatkan perlakuan istimewa mulai proses penyidikan hingga putusan nanti.

    Pada akhirnya,bilamana seseorang yang didakwa sebagai koruptor kemudian diputus bebas maka dengan mudahnya terbentuk opini bahwa pasti ada main mata dalam pengambilan putusan tersebut. Atau juga misalnya ketika seorang yang secara status ekonominya lebih kuat berhadapan dengan rakyat kecil yang kedudukan sosial-ekonominya lebih lemah,maka opini media dan masyarakat kerap membela rakyat kecil tersebut yang mereka anggap pasti terzalimi tanpa melibat lebih dulu secara saksama hal-hal yang menjadi pokok permasalahannya.

    Kesamaan Kedudukan

    Sesungguhnya, hukum telah mengatur bahwa kedudukan setiap warga negara adalah sama di hadapan hukum. Penegakan hukum dilakukan tanpa melihat apakah yang bersangkutan kaya atau miskin, kuat atau lemah.Hal inilah yang disebut sebagai kesamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law). Jadi,dalam penegakan hukum yang seharusnya dititikberatkan adalah mengenai perbuatannya. Jika salah atau melanggar, hendaklah dinyatakan salah dan jika benar hendaklah dinyatakan tidak bersalah.

    Pandangan dan opini masyarakat terhadap suatu kasus tertentu memang diperlukan seiring dengan proses pembelajaran demokrasi di negeri ini.Namun demikian, hendaknya pandangan tersebut tidaklah bersifat skeptis dan antipati terhadap golongan tertentu. Sebaliknya, pandangan tersebut hendaknya diberikan dari sisi objektif akan perbuatan yang dilakukan.Ketika pengadil telah mengetuk palu dan menjatuhkan putusan, di sinilah diperlukan kedewasaan kita untuk menghormati putusan yang telah melalui proses pemeriksaan tersebut.

    Menurut Prof Soerjono Soekanto, penegakan hukum itu sendiri memiliki berbagai faktor seperti faktor hukumnya itu sendiri (peraturan), faktor sarana atau fasilitas penegakan hukum,faktor masyarakat,kebudayaan, serta faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Faktor-faktor ini saling bersinergi dan melengkapi satu dan yang lain sehingga menghasilkan suatu produk penegakan hukum. Sebagai salah satu faktor penegakan hukum,dalam menjatuhkan putusan, hakim juga tidak dapat hanya sebagai corong undang-undang.

    Hakim wajib menggali,mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalammasyarakatsebagaimana disyaratkan dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Salah satu contoh putusan yang dapat kita perhatikan antara lain kasus pencurian sandal jepit yang menimpa AAL.Kasus ini membuat geger salah satunya adalah karena ternyata sandal barang bukti sandal yang dicuri berbeda dengan sandal yang dilaporkan hilang oleh sang anggota kepolisian.

    Atas hal ini pun, masyarakat kemudian bereaksi melakukan gerakan mengumpulkan seribu sandal jepit sebagai bentuk dukungan terhadap sang anak. Seandainya secara hukum sang anak terbukti bersalah melakukan pencurian, di sini hakim berperan menerapkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam kasus ini, hakim tingkat pertama tidak menjatuhkan hukuman pidana kepada sang anak, tetapi mengembalikan kepada orang tuanya untuk diberikan pembinaan.

    Putusan semacam inilah yang menurut hemat penulis telah menempatkan hukum di dalam koridornya sehingga tidak hanya dijadikan alat untuk kepentingan tertentu. Bagaimanapun,seandainya perbuatan yang terbukti salah secara hukum haruslah dinyatakan sebagai perbuatan yang salah.Namun dengan mempertimbangkan berbagai nilainilai yang hidup dalam masyarakat, putusan atau hukuman yang dijatuhkan harus juga menunjukkan suatu kearifan yang berkeadilan dengan mempertimbangkan berbagai faktor penegakan hukum sebagaimana disebutkan di atas.

    Menghukum pelaku dengan sanksi pidana bukanlah merupakan tujuan utama dari hukum pidana.Hukum pidana hendaknya dilihat sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir dalam rangka penegakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Mudahmudahan dengan terpilihnya Ketua Mahkamah Agung yang baru penegakan hukum di Indonesia dapat lebih berkeadilan, sehingga masyarakat pun dapat lebih percaya akan proses serta produk penegakan hukum di negeri ini.

  • Menakar Investor Bank Mutiara

    Menakar Investor Bank Mutiara
    Paul Sutaryono, PENGAMAT PERBANKAN
    Sumber : SINDO, 23 Februari 2012
    Kembali Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) membuka penawaran saham Bank Mutiara (dulu Bank Century) dengan harga sama Rp6,7 triliun mulai Februari 2012.
    Dikabarkan terdapat lima investor yang telah melirik Bank Mutiara.Faktor apa saja yang layak dipertimbangkan dalam menilai investor? Bank Mutiara diselamatkan pemerintah melalui LPS pada November 2008 karena menghadapi risiko likuiditas. Menurut Pasal 42 Undang- Undang (UU) Nomor 24/2004 tentang LPS, seluruh saham bank dalam penanganan wajib dijual LPS paling lama tiga tahun sejak penanganan mulai. Jangka waktu penjualan dapat diperpanjang sebanyak-banyaknya dua kali dengan masing- masing perpanjangan selama satu tahun.

    Kali ini merupakan penawaran kedua menyusul penawaran pertama pada November 2011.Saat itu terdapat sembilan investor yang mengajukan namun tidak ada yang memenuhi kualifikasi. Pemerintah pun telah mendorong bank pelat merah untuk memeluk erat Bank Mutiara. Tetapi, tidak berbuah. Mengapa Bank Mutiara tidak laku pada penawaran pertama? Konon karena harga yang ditawarkan itu dianggap terlalu mahal.

    Sesuai dengan UU LPS tersebut, tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh LPS.Apakah LPS dapat menawarkan harga yang lebih rendah pada penawaran kedua ini? Tidak. LPS baru boleh menawarkan dengan harga kurang daripada harga tersebut setelah tahun kelima.

    Kriteria Calon Investor

    Apa kriteria calon investor? LPS telah menetapkan lima kriteria calon investor. Pertama, memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Bank Indonesia. Kedua,bukan merupakan pemegang saham lama dan bukan pihak terafiliasi atau memiliki hubungan keluarga dengan pemegang saham lama. Ketiga, mempunyai komitmen dan kemampuan keuangan yang kuat untuk memenuhi seluruh kewajiban pembayaran atas pembelian saham secara tepat waktu.

    Keempat,mempunyai pengalaman dalam industri perbankan dan/atau mampu menunjukkan kemampuan untuk memberikan kontribusi bagi kemajuan industri perbankan di Indonesia.Kelima,tidak termasuk dalam daftar negatif atau daftar orang tercela di industri perbankan di Indonesia. Sejatinya, masih terdapat aneka faktor lain yang patut untuk dipertimbangkan lebih jauh. Pertama, tidak menjual kembali ke pemegang saham lama. Selain itu, calon investor tidak boleh menjual kembali saham Bank Mutiara kepada pemegang saham lama dan bukan pihak terafiliasi atau memiliki hubungan keluarga dengan pemegang saham lama.

    Hal ini sangat penting mengingat bisa saja calon investor memiliki ”pesan sponsor” yang tidak tersurat dan tersirat dalam penyerahan penawaran awal. Kedua, menjadi badan hukum minimal pada kurun waktu tertentu.Salah satu calon investor yakni Yawadwipa, private equity fund,yang baru berdiri pada Januari 2012 siap membeli di harga Rp6,7 triliun alias sesuai dengan dana talangan pemerintah. Tanpa melihat profil perusahaan tersebut lebih dalam lagi, gampang diduga bahwa calon investor itu tidak mempunyai pengalaman dalam industri perbankan.

    Kalau demikian, mana mungkin calon investor mampu memberikan kontribusi tinggi dalam mengembangkan industri perbankan nasional? Oleh karena itu,calon investor sudah seharusnya telah berbadan hukum minimal selama 10 tahun. Masa satu dasawarsa merupakan waktu yang cukup untuk membuktikan bahwa calon investor telah mempunyai pengalaman dalam industri perbankan. Ketiga,memiliki kinerja keuangan prima.Mau tak mau calon investor harus memiliki kinerja keuangan yang prima minimal pada tiga tahun terakhir.

    Dengan bahasa lebih lugas, sekalipun calon investor itu mempunyai modal raksasa tetapi kalau kinerja keuangan mereka biasa saja atau malah cenderung menurun,lebih baik langsung putus. Keempat, menjamin tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK). Kriteria ini penting untuk mendukung program pemerintah dalam menekan tingkat pengangguran yang kini mencapai 7,14% per Agustus 2010 menipis menjadi 6,80% per Februari 2011.Tanpa kriteria tersebut, calon investor dapat melakukan tindakan sewenang- wenang untuk melakukan PHK. Kelima, menciptakan sinergi.

    Meskipun hal ini bukan proses merger namun sepatutnya tetap mempertimbangkan terciptanya sinergi antara Bank Mutiara dan calon investor. Keenam,kepemilikan mayoritas saham oleh asing. Ini memang pengalaman pertama bagi LPS dalam menjual bank sehat setelah dirawat cukup lama. Kalau terjual kepada pihak asing, maka calon investor itu akan menguasai mayoritas saham Bank Mutiara.

    Sungguh, hal ini bakal berseberangan dengan spirit untuk merevisi rasio kepemilikan mayoritas saham oleh asing dari maksimal 99% menjadi 40% misalnya. Berbekal aneka kriteria tersebut, harapan agar Bank Mutiara mampu memberikan kontribusi tinggi pada kemajuan perbankan nasional akan terwujud.

  • Upah Minimum Guru Honorer

    Upah Minimum Guru Honorer
    Yohanes Eko, GURU MAPEL IPA TERPADU SMP NEGERI 2 UNGARAN KABUPATEN SEMARANG
    Sumber : SUARA MERDEKA, 23 Februari 2012
    “Jika program sekolah padat kegiatan pengembangan diri siswa, secara matematis gaji guru honorer harus dipangkas lagi”
    PEMANDANGAN kontras terlihat di ruang guru, saat guru bersertifikat sibuk mengurus berkas pencairan tunjangan profesi, beberapa guru honorer memperhatikan koleganya itu dengan sorot mata nelangsa. Padahal guru honorer itu sudah bertahun-tahun bersinergi dengan guru bersertifikat tersebut dalam rangka mencerdaskan anak bangsa. Meskipun sekarang sekolah tidak diperbolehkan mengangkat guru honorer, pengabdian mereka tidak dapat dimungkiri.

    Setelah bertahun-tahun mengabdi, apakah mereka harus diberhentikan dengan dalih tidak ada dana, atau tetap diperkerjakan dengan gaji tidak manusiawi? Gaji guru honorer tidak jauh dari pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie bahwa hingga saat ini banyak guru honorer bergaji Rp 200 ribu-Rp 300 ribu/ bulan (SM, 07/02/12).

    Kondisi itu secara psikologis memengaruhi kinerja guru honorer dan secara alami membentuk strata dalam sistem stakeholder sekolah. Di sisi lain, banyak siswa berangkat sekolah diantar orang tua naik mobil. Siswa itu yang notabene anak orang kaya pun menikmati program sekolah gratis. Fasilitas sekolah gratis untuk siswa kaya, apakah tidak seperti ibarat menggarami lautan?

    Selama ini, besarnya dana BOS dihitung berdasarkan jumlah siswa di satu sekolah, tidak pandang bulu, baik siswa kaya maupun miskin. Dana itu dialokasikan antara lain untuk pembelian/ penggandaan buku teks pelajaran, kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, pembelajaran dan ekstrakurikuler, ulangan dan ujian, perawatan sekolah, dan pembayaran honor bulanan guru honorer.

    Honor guru honorer dibatasi tidak boleh melebihi 20% dari dana BOS. Kebijakan itu disamaratakan, padahal jumlah guru honorer di satu sekolah tidak sama dengan sekolah lain. Terlebih jika program sekolah padat dengan kegiatan pengembangan diri siswa, secara matematis gaji guru honorer harus dipangkas lagi, yang penting tidak lebih dari 20%.

    Menentukan Batas

    Gaji guru honorer akan dihitung dari 1% hingga 20% dari BOS, dan hal ini sekolah tidak menyalahi aturan. Tidak mengherankan, jika akhirnya standar gaji guru honorer suatu sekolah berbeda dari sekolah lain. Singkatnya, guru honorer tetap berada dalam posisi lemah dengan aturan penggajian yang kurang tegas.

    Belum lagi aturan yang menuntut guru bersertifikat mengajar minimal 24 jam per minggu, otomatis guru honorer seperti diusir secara halus. Dampak kekurangan jam mengajar ini dipicu oleh perubahan struktur kurikulum. Mapel IPA SMP, sebelumnya 6 jam pelajaran per minggu terbagi 3 jam fisika dan 3 jam biologi. Sejak diberlakukan KBK 2004, IPA Terpadu berubah 5 jam pelajaran/ minggu, dan terbaru dengan penerapan KTSP menjadi 4 jam/ per minggu.  

    Guru honorer adalah bagian dari sistem pendidikan yang tak dapat diabaikan nasibnya, sudah saatnya keberadaan mereka dipayungi peraturan pemerintah (PP), terutama menyangkut standar upah minimum.

    Jika pemerintah merasa berat terkait kemampuan keuangan negara, kuncinya adalah merevisi mekanisme penyaluran dana BOS.

    Bukankah lebih realistis jika sekolah tetap menarik sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) yang besarannya diatur peraturan menteri agar sekolah tak menentukan seenaknya sendiri? Adapun kucuran dana BOS mendasarkan pada proposal rencana anggaran operasional tahunan yang diajukan sekolah.

    Proposal itu mencakup seluruh biaya operasional sekolah setahun, perolehan dana melalui SPP, jumlah siswa yang harus bebas SPP,  dan gaji guru honorer. Namun, gaji honorer tidak 100% ditanggung pemerintah, misalnya dengan penerapan sistem fifty-fifty, 50% dari SPP dan 50% dari BOS. Untuk itu, pemerintah lebih dahulu perlu menentapkan upah minimum bagi guru honorer. ●