Category: Uncategorized

  • Agama di Ruang Publik

    Agama di Ruang Publik
    Komaruddin Hidayat, REKTOR UIN SYARIF HIDAYATULLAH
    SUMBER : SINDO, 16 Maret 2012
    Banyak ilmuwan sosial Barat tertarik meneliti hubungan agama dan negara di Asia Tenggara.Topik agama di ruang publik tidak habis-habisnya dikaji mengingat modernisasi dan demokrasi model Barat tidak sertamerta cocok ketika diterapkan di benua Timur.

    Asia Tenggara adalah masyarakat yang memiliki tradisi dan semangat agama kental sehingga meletakkan agama ke dalam wilayah pribadi seperti di Barat pasti sulit diterapkan. Hubungan mayoritas-minoritas pemeluk agama di Filipina, Thailand, dan Indonesia selalu menimbulkan ketegangan politik dan isu pelanggaran hak asasi manusia. Persoalan di atas mengemuka dalam konferensi internasional Religion in Public Spaces in Contemporary South East Asia dalam rangka memperingati 35 tahun persahabatan Pemerintah Kanada dan organisasi ASEAN, yang diselenggarakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Hotel Sahid, 13–14 Maret 2012.

    Filipina mayoritas penduduknya beragama Katolik, lalu Thailand mayoritas beragama Buddha, sementara Indonesia mayoritas Islam. Masing-masing memiliki problem hubungan mayoritasminoritas sehingga peran agama dalam wilayah publik selalu melahirkan perdebatan dan konflik antarpemeluk agama yang berbeda. Masyarakat Barat yang Nasrani memiliki tradisi agama dan sejarah yang sangat berbeda dengan dunia Islam.Merasa capai berkonflik antara tokoh gereja di satu pihak dan ilmuwan serta pejuang kebebasan di pihak lain yang berlangsung di Eropa pada abad pertengahan, Benua Amerika menawarkan kehidupan baru bagi pendukung paham liberalisme.

    Di benua baru inilah paham liberalisme yang sangat menjunjung tinggi hak-hak individu diimplementasikan di bawah konstitusi negara sekuler dan sistem demokrasi. Di Amerika Serikat (AS) agama dan negara dipisah. Orang hendak beragama atau tidak beragama itu sepenuhnya urusan pribadi. Jika terjadi konflik antarwarga atau antarkomunitas, penyelesaiannya melalui meja pengadilan negara, bukan melalui tokoh dan lembaga agama.

    Pengalaman di Barat, lembaga ilmu pengetahuan, industri, dan negara memiliki kepercayaan diri yang tinggi di hadapan tokoh dan lembaga agama dalam mengatur dan memajukan masyarakatnya. Agama sebatas berperan memberi layanan spiritual bagi warga negara yang berminat,tetapi semua itu merupakan hak dan pilihan pribadi. Secara teologis sikap ini memperoleh pembenaran dari Bibel yang membuat pemisahan tegas antara agama dan politik, urusan agama serahkan kepada pendeta, urusan politik serahkan kepada raja.

    Doktrin, teori, dan pengalaman AS ini jelas sulit diterapkan di dunia Islam karena umat Islam memiliki ajaran, tradisi, dan pengalaman kolektif yang berbeda. Nabi Muhammad yang dijadikan model kepemimpinan agama, politik, dan sosial oleh umat Islam ketika wafat justru mewariskan kekuasaan politik yang dibangun di atas fondasi ajaran agama. Warisan tradisi ini dijaga dan bahkan dikembangkan lagi oleh khalifah berikutnya yang pada urutannya melahirkan peradaban agung yang diakui dunia.

    Jadi, terdapat ingatan kolektif umat Islam yang sangat kuat bahwa agama dan negara itu tidak terpisahkan dan hubungan sinergis antara keduanya pernah melahirkan peradaban besar. Kenyataan ini jelas berbeda dari sejarah kristiani dan perkembangan modernisasi di Barat. Namun sekarang muncul persoalan baru yang mesti dipikirkan dan dipecahkan bersama, bagaimana me-mosisikan agama ketika muncul negara modern berdasarkan paham nasionalisme seperti halnya Indonesia?

    Dalam konteks ini sungguh jenius ijtihad politik para pendiri bangsa yang menjembatani keduanya melalui ideologi Pancasila.Secara formal Indonesia adalah negara sekuler, dalam pengertian bukan negara teokrasi, tetapi negara memberikan proteksi dan fasilitas bagi perkembangan agama yang ada. Nilai-nilai dan norma agama boleh memasuki ruang publik, tetapi mesti melalui proses legalisasi terbuka sehingga menjadi bagian dari hukum positif. Maka muncullah produk undang-undang yang diinspirasi oleh nilai agama yang kemudian mengikat bagi warga negara.

    Terdapat ruang akomodatif bagi agama untuk memperkaya hukum nasional dan etika publik sepanjang semua kelompok agama bersikap toleran, saling menghargai tradisi agama lain. Hanya saja yang tak kalah pentingnya adalah ketegasan pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada warganya, apa pun agamanya, sehingga etika, spirit, dan norma komunal tidak menggeser dan mengalahkan hukum positif yang telah disepakati.

    Tanpa ketegasan pemerintah menegakkan hukum secara adil, keragaman komunitas di Indonesia akan hilang keindahannya, lalu berubah menjadi sumber konflik dan mengancam ketenteraman dan keutuhan berbangsa serta bernegara.

  • Pejabat Korup dan Budaya Malu

    Pejabat Korup dan Budaya Malu
    Laode Ida, WAKIL KETUA DPD
    SUMBER : SINDO, 16 Maret 2012
    Negara ini, agaknya, sudah dikuasai oleh para elite politisi dan pejabat yang tak punya rasa malu lagi. Tidak malu berbohong,tak malu bermewah-mewah dengan harta haram hasil korupsi.

    Tak malu kalau nama para politisi dan pejabat negara sudah disebutsebut sebagai terlibat korupsi, tetapi tetap ngotot berada pada jabatannya alias tak mau mundur. Bangsa dengan kekuasaan yang menolak semua bentuk kritik dan desakan untuk perbaikan. Maka kelompok masyarakat maupun individu pun frustrasi dengan berbagai cara ekspresinya, termasuk seperti yang dilakukan Dedy Sugarda dengan membacok jaksa terdakwa kasus suap didalam ruang PengadilanTipikor Bandung. Mereka, para pejabat itu, tetap bergeming dengan sikap yang ditunjukkan oleh Presiden Jerman Christian Wulff belum lama ini.

    Dia sekonyong-konyong mundur dari jabatannya sebagai kepala negara besar di Eropa itu hanya karena dia dicurigai menerima fasilitas voucher liburan gratis dari seorang pengusaha pada saat menjabat sebagai Perdana Menteri di negara bagian Lower Saxony tahun 2008 lalu.Memang Wulff sebenarnya sudah berupaya menyangkalnya,namun publik sudah telanjur ”terprovokasi” oleh pemberitaan media, sehingga kepercayaan masyarakat luas menurun drastis. Peristiwa mundur dari jabatan seperti itu sudah kerap terjadi di beberapa negara maju, sudah menjadi bagian dari ”budaya malu”.

    Catat saja, misalnya, Perdana Menteri Rumania Emil Boc pada awal Februari 2002 ini mengundurkan diri akibat ketakmampuannya mengatasi ketegangan sosial politik yang terus berlangsung hingga saat ini. Perdana Menteri Yunani juga demikian, November 2011 dia mundur lantaran merasa tak mampu mengatasi krisis utang di negaranya. Begitu juga dengan Perdana Menteri Jepang, pada Juni 2010 lalu dia mundur karena merasa tak mampu memenuhi janji politiknya. Budaya malu di negara-negara maju itu tampaknya juga sudah mulai muncul di negara yang akhir-akhir ini berkembang sangat pesat, yakni Brasil.

    Dalam satu tahun terakhir ada tujuh anggota kabinet di Negeri Samba itu yang mengundurkan diri akibat tuduhan penyalahgunaan jabatan,yakni Menteri Pariwisata, Menteri Transportasi, Menteri Pertanian,Menteri Tenaga Kerja, Menteri Olah RagadanMenteriUrusanPerkotaan. Menteri Olah Raga Brasil Orlando Silva (dari Partai Komunis Brasil) akhir Oktober 2011, misalnya, mengundurkan diri lantaran dituduh korupsi anggaran persiapan piala dunia sepak bola 2014.Menteri Urusan Perkotaan Mario Ne-gromonte padaawalFebruari2012mundur lantaran diisukan terkait ‘korupsi politik’ (political corruption), yakni memberikan proyek transportasi di Kota Cuiaba kepada perusahaan yang mendanai partainya (Partai Progresif).

    Etika Publik

    Sikap para pemimpin negara dan atau pejabat publik di atas terasakan sungguh berbeda dengan apa kita alami di Indonesia.Mereka tampaknya sangat menjunjung nilai-nilai etika dan kepercayaan publik, sehingga kalau menganggap diri sudah dipermalukan atau cenderung tidak lagi dipercaya publik,maka merasa lebih baik melepas jabatan.Tidak perlu terlebih dulu menunggu proses dan keputusan hukum—baru kemudian terpaksa atau dipaksa mundur.

    Sebaliknya,di Indonesia ini sebagian politisi dan pejabat publik kita sepertinya sudah kehilangan rasa malu.Soalnya, walaupun sudah terindikasi kuat korupsi atau menjadi pelaku mafia anggaran, sudah diketahui dan dicemooh oleh masyarakat luas sehingga sungguh-sungguh terhinakan, mereka tampak tidak peduli. Alasannya sangat sederhana, “hukum kita menganut praduga tak bersalah, sehingga mereka tidak perlu mengundurkan diri sebelum ada putusan hukum yang bersifat tetap.

    ” Sementara kita semua tahu bahwa proses hukum tidak berjalan cepat, sangat lambat, terlebih yang jadi target adalah para pejabat.Apalagi demikian banyaknya kasus korupsi yang harus ditangani oleh pihak penegak hukum (KPK,kejaksaan dan kepolisian),maka pastilah sejumlah politisi dan pejabat yang dituduh atau terindikasi korupsi akan berada dalam daftar antrean (waiting list). Sehingga tak mengherankan kalau di antara beberapa oknum pejabat korup nanti sudah berakhir masa jabatannya baru ditetapkan sebagai tersangka, divonis, kemudian mendekam di hotel prodeo.

    Parahnya lagi, Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY) tetap saja membiarkan aparat atau sebagian pembantunya yang terindikasi korup atau tidak bisa menjadikan lingkungan kementerian mereka bebas dari korupsi itu tetap bertahan pada jabatannya, kendati sebenarnya memiliki kewenangan mutlak untuk segera menggesernya.Semakin ironis lagi ketika sejumlah kader Partai Demokrat (PD), selain Nazaruddin dan Angelina Sondakh,sudah juga terindikasi korupsi dan melakukan praktik permafiaan,ternyata tak mampu dihentikan atau disingkirkan dari arena pengambilan kebijakan di negeri ini.

    Demikian juga dengan kader- kader parpol selain dari PD yang namanya sudah diketahui publik sebagai bagian dari pelaku kejahatan kerah putih (white collar crime).Mereka tetap saja bebas melenggang dan kemungkinan terus melakukan aksinya. Lagi-lagi dengan berlindung di bawah sistem hukum yang sebenarnya juga para penegak hukumnya berjaringan, saling pengertian, dan bahkan pada tingkat tertentu dikendalikan oleh kekuasaan yang notabene di bawah cengkeraman para pejabat parpol. Sehingga tak boleh ada yang marah kalau sebagian pihak menganggap bahwanegarainisudahberadadi bawah kendali konspiratif para pejabat korup dan mafia, serta sudah kehilangan rasa malu.

    Pembiaran politisi dan pejabat korup tetap pada posisi dan leluasa bergerak di tengah kesadaran masyarakat di era keterbukaan informasi ini sebenarnya sangat berimplikasi negatif terhadap moralitas dan pengelolaan negara ini. Pertama, instabilitas sosial politik akan terus terjadi akibat akan selalu berhadapannya kepentingan antara pejabat atau politisi yang korup dan kekuatan rakyat yang bergerak melakukan advokasi ke arah pemerintahan yang baik dan bersih.

    Kedua, pejabat atau politisi bersangkutan niscaya tidak konsentrasi dalam menjalankantugasnya, akanlebihbanyak disibukkan oleh urusan pribadinya. Padahal,mereka dibiayai oleh uang rakyat untuk selama menjabat “harus mengabdi pada rakyat sebagai tuannya”. Ketiga, akan meningkatkan sikap dan budaya permisif terhadap koruptor dan praktik mafia.

    Bahkan bukan mustahil kalau suatu saat para penjahat itu menjadi tokoh penting dan dibela dengan derajat fanatisme yang tinggi,karena mampu menyuplai kebutuhan pragmatismaterial bagi mereka yang kecipratan. Padahal, konon, bangsa ini terkenal masyarakatnya moralis berdasarkan nilainilai budaya dan agama.

  • Korupsi dan Pencucian Uang

    Korupsi dan Pencucian Uang
    Yenti Garnasih, DOSEN UNIVERSITAS TRISAKTI, JAKARTA;
    PAKAR HUKUM PIDANA PENCUCIAN UANG
    SUMBER : SINDO, 16 Maret 2012
    Berita tentang korupsi terkait pajak dan pencucian uang kembali merebak. Padahal perkara Gayus yang menghebohkan belum benar-benar reda.
    Dalam sebulan terakhir muncul dua oknum Direktorat Jenderal Pajak dari Golongan III, Dhana Widyatmika (DW) dan Ajib Hamdani (AH), yang ditengarai terlibat kejahatan pajak dan pencucian uang. Pemicu pengungkapannya adalah uang di rekening mereka yang jumlahnya luar biasa besar,dan ternyata ada temuan baru lagi ratusan pegawai pajak yang juga ditengarai memiliki rekening gendut. Pertanyaannya, mengapa begitu banyak temuan rekening gendut petugas pajak, dan mengapa muncul lagi dugaan korupsi dan pencucian uang yang dilakukan oleh para petugas pajak tersebut?

    Hal itu membuktikan bahwa penanganan kasus Gayus bahkan Bahasyim tidak membuat jera para petugas lain di Direktorat Jenderal Pajak. Selain itu ada kemungkinan pengawasan internal dan reformasi birokrasi serta program remunerasi juga kurang berpengaruh pada orang-orang tertentu yang memang berpotensi untuk melakukan korupsi. Dalam kasus korupsi pajak polanya mirip dengan Gayus, yaitu mendapatkan uang dengan cara korupsi, kemudian disembunyikan atau diinvestasikan atau dibelanjakan dan disetorkan—perbuatan terakhir inilah yang memperlihatkan pola pencucian uangnya.

    Korupsi dan Pencucian Uang

    Untuk kasus DW,kejaksaan sementara menyangkakan perbuatan DW dengan Pasal 2, 3, 5,dan 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) serta Pasal 3 dan 4 Undang- Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Seharusnya kejaksaan segera mengembangkan temuannya sehingga didapatkan pelaku lain. Belajar dari kasus Gayus, tampaknya pengembangan itu yang tidak dilakukan,sehingga terkesan korupsi dan pencucian uang hanya melibatkan Gayus seorang dan ini sangat janggal.

    Demikian juga dengan DW, AH, dan mungkin yang lain, harus didalami keterlibatan orang lain di direktorat itu. Mustahil dia bekerja sendiri karena sudah sekian lama baru terungkap. Selain itu yang penting adalah keterlibatan wajib pajak, karena sangkaan menerima suap dan gratifikasi berarti tidak mungkin peristiwa itu berlangsung hanya dengan sepihak. Ada hal yang menarik dalam kasus ini yang justru terungkap karena laporan dari masyarakat dan kemudian kejaksaan meminta data rekening DW pada PPATK yang kemudian didapatkan beberapa transaksi yang kemudian didalami.

    Pada umumnya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh petugas pajak adalah perbuatan memperkaya diri dengan modus penggelapan pajak atau menawarkan jasa pada wajib pajak untuk meringankan pajak yang harus dibayarkan, penyuapan, gratifikasi, bahkan pemerasan. Kemudian, hasil korupsi tersebut ada yang disimpan di rekening maupun dalam safety deposit box, atau untuk membeli berbagai barang. Ada juga yang diinvestasikan. Perbuatan terhadap hasil kejahatan itulah yang disebut sebagai praktik pencucian uang.

    Tindak pidana itu secara umum didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dalam upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan. Bentuknya bermacam- macam,misalnya mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, dan lain-lain dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan hasil kejahatan tersebut.

    Selain itu, siapa saja yang menerima hasil kejahatan tersebut, seperti memberikan rekeningnya untuk menampung hasil kejahatan atau menerima hibah atau menerima untuk melakukan kegiatan usaha dan lain-lain, maka orang ini dikategorikan sebagai pelaku pencucian uang pasif. Perbuatan mencuci inilah yang harus didalami oleh kejaksaan ke mana hasil kejahatan tersebut mengalir dan siapa saja yang menerima hasil kejahatan, selain juga siapa saja yang terlibat korupsi pajaknya yang sangat mustahil dilakukan sendiri.

    Pencucian Uang dalam Korupsi

    Sesuatu yang penting dipahami adalah bahwa bila terjadi korupsi hampir pasti juga dilakukan pencucian uang, yaitu ketika koruptor tersebut menyembunyikan atau menikmati hasil korupsinya. Maka seharusnya setiap menangani korupsi jangan hanya dijerat tindak pidana korupsi, tapi juga dengan antipencucian uang. Karena pada kenyataannya hasil korupsi tersebut pasti telah dialirkan atau digunakan, yang menunjukkan bahwa mereka juga melakukan pencucian uang.

    Dengan ditelusuri ke mana uang hasil korupsinya dicuci, maka kita berharap penegak hukum bisa merampas hasil korupsi tersebut dan mengembalikan ke negara. Hal yang juga penting adalah siapa pun yang menguasai hasil korupsi tadi dipidana karena terlibat pencucian uang. Belakangan banyak pejabat dan aparat yang terlibat korupsi dan hasil korupsi sudah mengalir ke mana-mana, sayangnya hanya sedikit yang dijerat dengan pasal-pasal antipencucian uang, sehingga hasil kejahatan tidak kembali dan orang yang terlibat tidak tersentuh hukum.

    Dengan menerapkan antipencucian uang pada pelaku korupsi (termasuk korupsi pajak), maka upaya perampasan hasil korupsi lebih optimal sekaligus bisa memenjarakan siapa pun yang menikmati hasil jarahan uang rakyat tersebut, selain memenjarakan koruptornya. Hal yang lebih penting lagi, dengan diterapkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dapat dilakukan pembuktian terbalik, yaitu koruptor yang menyangkal hartanya berasal dari korupsi, atau orang lain yang menerima hasil korupsi, akan diperintahkan oleh hakim untuk membuktikan asal-usul hartanya tersebut.

    Kalau dia tidak bisa membuktikan harta tersebut bersumber dari kegiatan yang sah, maka harus disita untuk negara dan pelakunya dipidana. Untuk itu seharusnya tidak ada lagi alasan penegak hukum tidak menerapkan UU Tindak PidananPencucianUangdalam perkara korupsi, bila mau menuntaskan perkara dengan menjangkau siapa pun yang terlibat termasuk yang menerima aliran dana hasil korupsi.

  • Gonjang-Ganjing KPK

    Gonjang-Ganjing KPK
    Herie Purwanto, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEKALONGAN (UNIKAL), TAHUN 2010 MENGIKUTI PELATIHAN PENYIDIKAN OLEH KPK DI PUSAT RESERSE MEGAMENDUNG MABES POLRI
    SUMBER : SUARA MERDEKA, 16 Maret 2012
    BERITA utama harian ini berjudul ’’KPK Bergolak’’ dengan subjudul warna merah ’’Dianggap Arogan, Abraham Diprotes Penyidik’’ (SM, 14/03/12) membuat saya tercenung beberapa saat. Markas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergolak. Sejumlah penyidik memprotes Ketua KPK yang dianggapnya arogan dan kerap memaksakan proses penyidikan.

    Sebelumnya, diberitakan Januari lalu terjadi aksi gebrak meja saat para pimpinan KPK yang bersifat kolektif kolegial akan mengambil keputusan peningkatan status tersangka Angelina Sondakh. Berikutnya pengembalian Direktur Penyidikan Brigjen Pol Yurod Saleh, dan pengembalian beberapa penyidik KPK baik yang dari Polri maupun kejaksaan. Semua ini terjadi dalam kurun tiga bulan kepemimpinan Abraham Samad.

    Seandainya benar dugaan Abraham bersikap arogan dalam konteks membenahi organisasi mungkin bisa ditoleransi karena tiap orang punya ciri dan karakter dalam memimpin. Jelas era kepemimpinan Taufiqurrohman berbeda dari Antasari Azhar ataupun Busyro Muqqodas. Namun bila arogansi  itu sudah masuk teritorial penyidikan sungguh memprihatinkan.

    Mengapa? Proses penyidikan oleh penyidik berada dalam ranah zero tolerance intervention, artinya ranah penyidikan merupakan kewenangan mutlak penyidik. Termasuk dalam pemahaman ini adalah dari segala bentuk intervensi, baik pihak lain maupun atasan penyidik itu. Bagi seorang penyidik, apa yang jadi materi penyidikan yang tertuang dalam BAP akan dipertanggungjawabkan hingga berkas itu diterima dan dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umum.

    Jadi ketika proses penyidikan menemui kendala atau terjadi rekayasa materi perkara, penyidik itulah yang akan bertanggungjawab sebagai pihak yang telah melakukan proses verbal. Saat di persidangan, misalnya bila ada keterangan dalam BAP yang direkayasa, hakim bisa meminta pertanggungjawaban penyidik dalam kapasitas sebagai saksi verbalis, untuk dikonfrontasi dengan pihak pemberi keterangan, bukan terhadap atasan penyidik itu.

    Beda Pendapat

    Sangat fatal akibatnya seandainya benar selama tiga bulan menjabat Abraham telah sewenang-wenang menangani proses penyidikan hingga menyebabkan sedikitnya 70 penyidik KPK datang ke ruangannya untuk memprotes. Bisa jadi, ini kasus pertama di dunia para penyidik memprotes atasan. Logika apa yang bisa dipakai meyakinkan publik bahwa benar tidak ada gonjang-ganjing di KPK bila faktanya seperti ini?

    Bila memang ada beda pendapat terkait materi pembuktian atau peningkatan penyelidikan ke penyidikan terhadap suatu perkara, ataupun peningkatan status saksi menjadi tersangka, media yang dipakai adalah gelar perkara.

    Penyidik yang profesional tentunya akan mempertahankan keyakinannya atas hasil penyidikannya, bukan karena ada intervensi, termasuk atasan penyidik itu sekali pun.

    Apakah mungkin Abraham dalam kurun tiga bulan kepemimpinannya telah melakukan terobosan yang dirasa over progresif bagi pembenahan kinerja KPK? Bisa jadi jawabnya ya, hal ini mendasarkan pada visi misinya saat uji kelayakan di depan Komisi III DPR ataupun sesaat setelah dilantik jadi ketua yang menyatakan akan pulang kampung bila dalam waktu setahun tidak bisa berbuat banyak.

    Apa pun yang terjadi, KPK harus tetap kompak dan ada sinergi unsur pimpinan, pegawai, dan penyidik. Bila dibiarkan berlarut-larut dan muncul disharmoni visi dan misi KPK, bangsa kita yang merugi dan sebaliknya koruptor bertepuk tangan.

    Selama ini sudah terbukti penyidik KPK yang sebagian besar berasal dari Polri dan kejaksaan telah memberikan konstribusi bagi pemberantasan korupsi sehingga keberadaannya tidak serta merta dipandang sebelah mata ketika ada gesekan atau beda pendapat. Tidak mudah membentuk soliditas dan profesionalisme penyidik, butuh waktu dan selektivitas.●

  • Menyirami Bibit Kebajikan

    Menyirami Bibit Kebajikan
    Gede Prama, PENULIS BUKU SIMFONI DALAM DIRI: MENGOLAH KEMARAHAN MENJADI KETEDUHAN ; FASILITATOR MEDITASI DI BALI UTARA
    SUMBER : KORAN TEMPO, 15 Maret 2012
    Setelah dihukum beratnya koruptor oleh pengadilan plus disitanya semua harta pribadi menjadi kekayaan negara, banyak yang menyebut hal ini sebagai cahaya optimisme dalam pemberantasan korupsi. Membuat jera koruptor tentu baik, membimbing orang jahat agar baik tentu tidak keliru. Tapi sejarah panjang lembaga pemasyarakatan (LP), lengkap dengan hukumannya yang kejam, sudah dicatat sejarah tidak berkontribusi signifikan dalam menurunkan angka kejahatan. Masyarakat Barat berada jauh di depan dalam hal ini. Hukumnya rapi, aparatnya relatif lebih bersih. Tapi belum pernah terdengar angka kejahatan menurun signifikan. Akibatnya, muncul pertanyaan: tepatkah pendekatan menghukum dalam mengurangi kejahatan?
    Sejarah pengetahuan menyimpan banyak pendekatan, sebagian bahkan saling bertentangan. Ia serupa dengan buku suci. Semua buku suci menyimpan kontradiksi. Di satu bagian, buku suci memerintahkan: “cepat minum gula, nanti mati”. Di bagian lain, buku suci yang sama berpesan: “jangan minum gula, nanti mati”. Yang mengerti kesehatan tahu, perintah pertama berlaku untuk mereka yang kadar gula dalam darahnya masih jauh dari cukup. Perintah kedua untuk manusia sebaliknya. Tugas berikutnya sederhana, apakah kita hidup dalam putaran waktu yang “kebanyakan gula”, atau sebaliknya “kekurangan gula”? Dari sini dipetakan, apakah penjahat sebaiknya dihukum sekeras-kerasnya, atau dididik agar menyirami bibit kebajikan dalam diri?
    Saluran televisi National Geographicpada 6 Maret 2012 secara indah menyiarkan temuan tentang warrior gene. Persisnya, semacam gen dalam diri manusia yang membuat seseorang demikian berenerginya, sehingga rawan bergabung dengan kelompok geng, bergerombol melakukan kekerasan. Hasilnya mengejutkan, mereka dengan gen jenis ini, bila diperlakukan dengan kekerasan, akan semakin keras. Kesimpulan ini akan semakin jujur terlihat bila kita bertanya ulang, seberapa persen mantan penghuni LP yang bisa dibikin baik setelah mendekam di sana bertahun-tahun? Seberapa banyak yang balik lagi? Membaca pemberitaan media, sebagian penghuni LP tidak hanya melanjutkan kejahatannya di sana, tapi juga malah bikin ricuh di LP. Bila demikian keadaannya, melakukan kekerasan terhadap manusia yang punya gen keras serupa dengan menyiramkan bensin ke api yang sedang terbakar. Jika terus dilakukan, bukan tidak mungkin kita semua akan terbakar!
    Ini membawa konsekuensi luas tidak saja dalam mengelola LP, tapi juga bagaimana sebaiknya memperlakukan putra-putri kita di rumah yang bermasalah, bagaimana sekolah sebaiknya “mengorangkan” anak-anak nakal, bagaimana organisasi menyentuh hati pekerja yang suka melawan. Belajar dari sejarah panjang di mana hukuman lebih dekat dengan menyiramkan bensin pada api, mungkin bijaksana merenungkan menyirami bibit kebajikan dalam diri manusia bermasalah.
    Perhatikan nama-nama manusia di semua agama. Tidak ada nama dengan konotasi buruk, seperti Injak, Pukul, Bunuh. Di samping itu, semua bayi dibuat oleh sepasang suami-istri yang berpelukan penuh kasih sayang, bukan pukul-pukulan. Semua ibu yang sedang hamil berbicara baik dengan anaknya dalam kandungan. Digabung menjadi satu, semua manusia memiliki bibit kebajikan dalam diri. Cuma, serupa dengan bibit pohon, bila tidak disirami, suatu waktu akan mati. Untuk itulah, sangat penting menemukan sebanyak mungkin cara untuk menyirami bibit kebajikan dalam diri. Merenung di atas sejarah panjang kesembuhan kejiwaan, umumnya manusia di zaman ini hanya mau yang positif, menendang yang negatif. Padahal bagian diri yang ditendang hanya hilang sebentar, dan nanti muncul lagi. Dalam bahasa Freud, masuk ke alam bawah sadar. Dalam terminologi Jung, ia akan menjadi bayangan yang mengikuti. Bila saatnya tiba, yang ditendang tadi akan muncul lagi sebagai gangguan.
    Itu sebabnya, Carl Jung–setelah diperkaya filosofi Timur–kemudian belajar tidak serakah dengan hal positif, tidak marah dengan yang negatif. Jung menyebut terapi sebagai the work of reconciliation of opposites. Memadukan dualitas kemudian mengalami kesembuhan. Sebuah pendekatan yang mirip meditasi. Urutan langkahnya sederhana: acceptance, understanding, loving kindness, compassion. Menerima kekurangan sebaik kita menerima kelebihan, itu langkah pertama. Meminjam penemuan seorang guru meditasi: accepting without blaming is the true turning point of healing. Menerima tanpa menyalahkan adalah titik balik kesembuhan. Krusial dalam hal ini, bagaimana sebaiknya menerima manusia bermasalah sekaligus mengajak mereka menerima kekurangan hidupnya. Cahaya penerimaan lebih mudah dihidupkan bila dibangun di atas pengertian bahwa kejahatan tidak berdiri sendiri. Ada jejaring rumit berupa peradaban yang semakin gelap, keteladanan buruk elite, ketidakdewasaan orang tua, guru bermasalah, pemberitaan yang berisi terlalu banyak keburukan, lembaga agama yang mengalami krisis karisma.
    Begitu sampai di tahap ini, kemudian kemarahan terhadap manusia bermasalah digantikan kerinduan untuk berbagi cinta kasih. Terutama karena manusia yang tadinya kita benci ternyata hanya korban, bukan aktor dari kerumitan kehidupan. Memarahi korban tidak hanya tak menyembuhkan, tapi juga memperumit jejaring masalah yang sudah rumit. Korban-korban ini sesungguhnya tidak membutuhkan kemarahan kita, mereka lebih membutuhkan kasih sayang (compassion). Makanya, kepada setiap murid meditasi selalu diberikan obat “sayangi, sayangi, sayangi”. Cara ini tidak hanya menyembuhkan orang lain, tapi juga menyembuhkan diri ini.
    Dari sini bukan berarti kita harus membongkar jeruji besi LP, membebaskan anak-anak mengunjungi situs pornografi, membiarkan koruptor melanjutkan kejahatannya. Sebaliknya, kita harus merenungkan dalam-dalam bahwa manusia jahat tidak berdiri sendiri. Kemudian mengajak mereka menoleh ke dalam, ke bibit kebajikan yang tersedia di dalam, menyiraminya dengan penerimaan, pengertian, cinta, dan kasih sayang, adalah pekerjaan rumah kita bersama. ●
  • Berharap pada Revisi UU Penyiaran

    Berharap pada Revisi UU Penyiaran
    Teguh S. Usis, PENGELOLA SAKTI TV NETWORK, SURABAYA
    SUMBER : KORAN TEMPO, 15 Maret 2012
    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah berusia sepuluh tahun. Secara aturan, sebenarnya undang-undang tersebut sudah cukup bagus untuk mengatur ranah penyiaran di Tanah Air. Namun pelaksanaannya di lapangan tidaklah semudah yang dibayangkan.
    Salah satu aturan dalam Undang-Undang Penyiaran yang hingga saat ini belum bisa terwujud adalah siaran sistem berjaringan. Siaran berjaringan ini secara filosofis dimaksudkan untuk menghidupkan televisi-televisi lokal yang pertumbuhannya menjamur setelah diberlakukannya UU Penyiaran dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 76 Tahun 2003 tentang Rencana Induk Kanalisasi Televisi. Dengan siaran berjaringan, diharapkan televisi-televisi nasional yang berkedudukan di Jakarta menjalin kemitraan dengan televisi lokal, baik dari sisi pendanaan maupun dari sisi program tayangan.
    Dengan siaran berjaringan, prinsip pembatasan wilayah siaran menjadi sebuah keniscayaan. Artinya, televisi yang berkedudukan di Jakarta tak bisa menyiarkan program tayangannya keluar dari wilayah Jakarta. Ini sesuai dengan semangat Pasal 20 UU Penyiaran, yang secara tegas menyebutkan bahwa satu saluran siaran hanya dapat bersiaran pada satu wilayah siaran. Karena itu, dalam UU Penyiaran Nomor 32/2002 tidak dikenal istilah televisi nasional.
    Jika televisi di Jakarta ingin siarannya sampai di Papua, umpamanya, televisi di Jakarta tersebut harus bermitra dengan televisi lokal yang ada di Papua. Televisi di Jakarta tidak diperkenankan menyiarkan secara relay siarannya dari Jakarta, untuk menembus khalayak pemirsa di Papua. Namun, sampai saat ini, siaran berjaringan masih sebatas harapan kosong. Padahal, dalam UU Penyiaran Nomor 32/2002, selain pasal 20 tersebut, setidaknya masih ada dua pasal lain–pasal 6 dan pasal 31–yang mensyaratkan siaran berjaringan. Kendala paling mencolok adalah keengganan televisi di Jakart menjalin kemitraan dengan televisi lokal.
    Sejatinya, dapat dipahami ihwal keengganan televisi di Jakarta mewujudkan siaran berjaringan. Sebelum UU Penyiaran diberlakukan, televisi-televisi di Jakarta sudah lebih dulu memancarkan siarannya menjangkau hampir seluruh pelosok Tanah Air. Investasi untuk membangun stasiun relay tidaklah kecil. Untuk membeli perangkat transmisi dengan kekuatan lima kilowatt saja, misalnya, butuh dana tak kurang dari Rp 3 miliar. Belum lagi dana yang harus disediakan untuk mendirikan menara pemancar, membeli tanah untuk lokasi pemancar, dan mendirikan bangunan di lokasi pemancar.
    Maka, tak mengherankan jika amanat UU Penyiaran untuk melaksanakan siaran berjaringan ini tak pernah berjalan mulus. Awalnya, siaran berjaringan ini harus terlaksana selambat-lambatnya pada akhir 2007. Namun keluarlah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32 Tahun 2007, yang menunda siaran berjaringan sampai akhir 2009.
    Pada Oktober 2009, keluarlah Peraturan Menkominfo Nomor 43/2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Sistem Stasiun Jaringan. Pasal 15 Peraturan Menkominfo ini dengan tegas menyebutkan, apabila lembaga penyiaran swasta tidak melaksanakan penyiaran melalui sistem stasiun jaringan, izin penyelenggaraan penyiaran akan ditinjau kembali.
    Lantas, berlakukah kini siaran berjaringan? Eit…, tunggu dulu. Kondisi dunia penyiaran di Indonesia saat ini belum berubah. Siaran berjaringan masih sebatas wacana. Yang terus terjadi adalah semakin tak berdayanya televisi lokal menghadapi persaingan dengan televisi nasional. Nyaris semua kue iklan kini hanya diperebutkan sepuluh stasiun televisi nasional di Jakarta. Televisi lokal? Jika masih bisa kebagian remah-remah kue iklan nasional saja sudah bagus. Akibatnya, tak jarang televisi lokal hanya mampu menjual iklan seharga Rp 50 ribu untuk spot iklan berdurasi 30 detik. Bandingkan dengan harga spot iklan tayangan prime time televisi nasional, yang harganya bisa mencapai Rp 30 juta untuk durasi 30 detik.
    Padahal, jika televisi nasional bermitra menayangkan sebuah program dengan televisi lokal, tentunya televisi lokal akan kecipratan juga gurihnya kue iklan nasional. Ilustrasinya begini. Sebuah program–katakanlah program A–diproduksi oleh televisi nasional. Agar program A bisa dinikmati warga di Padang, misalnya, televisi nasional harus bekerja sama dengan sebuah televisi lokal di Padang. Melalui pemancar yang dimiliki televisi lokal di Padang-lah program A dapat ditayangkan. Otomatis televisi lokal di Padang yang menayangkan program A ini mendapat bagian dari iklan yang dipasang oleh pemasang iklan di program A.
    Harapan Baru
    Maka, ketika kini tersiar kabar Undang-Undang Penyiaran akan direvisi, sebuah harapan patut dipunyai para pengelola televisi lokal. Harapan itu adalah menegaskan secara detail konsep siaran berjaringan. Misalnya, dalam UU Penyiaran yang baru, disebutkan secara tegas bahwa televisi nasional harus bermitra dengan televisi lokal, untuk menyiarkan program tayangannya. Jika tidak, pemerintah akan memberikan sanksi kepada televisi nasional.
    Sayangnya, dari bocoran draf revisi UU Penyiaran yang dikeluarkan pemerintah pada 2011, aturan tentang siaran berjaringan ini belum disebutkan secara detail. Tercatat hanya dua pasal yang mengatur siaran berjaringan, yakni pasal 6 dan pasal 21. Padahal draf revisi UU Penyiaran memuat 103 pasal, hampir dua kali lipat dari 68 pasal yang ada pada UU Penyiaran Nomor 32/2002.
    Memang, revisi UU Penyiaran masih belum final. Komisi II DPR sudah membentuk panitia kerja untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak. Tak ada salahnya para pengelola televisi lokal terus mencermati diskusi revisi UU Penyiaran, sembari mengawal agar UU Penyiaran yang baru nantinya mempunyai keberpihakan kepada televisi lokal.
    Mencoba Mandiri
    Kendati begitu, tentu tak bisa sepenuhnya pengelola televisi lokal menggantungkan sepenuhnya harapan kepada revisi UU Penyiaran. Sudah amat jelas bahwa akan begitu banyak pihak yang mencoba memasukkan kepentingan mereka dalam UU Penyiaran yang baru. Artinya, pengelola televisi lokal harus pula bersiap diri untuk kecewa jika pada akhirnya kepentingan mereka tidak terakomodasi dalam UU Penyiaran yang baru.
    Jika itu yang terjadi, lantas apakah televisi lokal harus kembali deja vu dan mengalami mati suri seperti kondisi saat ini? Jawaban paling ideal adalah “tidak!”. Jika tak bisa berjaringan dengan televisi nasional yang ada di Jakarta, toh tak ada salahnya pengelola televisi lokal mulai menggagas siaran berjaringan di antara sesama televisi lokal. Untuk itu, Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) bisa berperan lebih banyak untuk mewujudkan gagasan siaran berjaringan.
    Selain itu, pengelola televisi lokal juga perlu melihat peluang bisnis lain untuk menghidupi televisinya. Jika bergantung pada pemasukan iklan berupa television commercial (TVC) semata, dapat dipastikan televisi lokal tidak akan mampu menghidupi dirinya. Lebih dari 80 persen perputaran kue iklan saat ini masih beredar di Jakarta. Artinya, lebih dari 100 stasiun televisi lokal akan bertarung melawan 10 stasiun televisi nasional di Jakarta dalam memperebutkan kue iklan berupa TVC. Pertarungan ini ibarat David versus Goliath. Amat tak seimbang, plus akan menghabiskan energi yang besar.
    Ketimbang televisi lokal harus bersaing melawan televisi nasional, tak ada salahnya televisi lokal bersiasat dalam mencari pemasukan. Yang paling gampang adalah menjalin kerja sama dengan pemerintahan lokal setempat. Sosialisasi program pemerintahan daerah tentu membutuhkan media. Peluang inilah yang bisa digarap oleh televisi lokal, tanpa harus mengurangi sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintahan daerah.
    Masih cukup banyak cara lain yang bisa dilakukan televisi lokal agar bisa hidup. Tinggal sekarang bagaimana manajemen televisi lokal menyusun secara matang konsep bisnis televisi yang akan dijalankan. Tentunya pula sembari menunggu revisi UU Penyiaran memiliki keberpihakan kepada televisi lokal. ●
  • Koruptor dan Keadilan Hukum

    Koruptor dan Keadilan Hukum
    Nur Kholis Anwar, DIREKTUR CENTER FOR STUDY OF ISLAMIC AND POLITIC (CSIP)
    UIN SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA
    SUMBER : SINAR HARAPAN, 15 Maret 2012
    Tekad bulat bangsa Indonesia untuk perang melawan korupsi kini tersandera oleh palu hakim.
    Dengan terpaksa bangsa Indonesia harus menerima keputusan pahit Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah mengabulkan gugatan tujuh terpidana korupsi atas Surat Keputusan (SK) Menhukham soal penghentian sementara (moratorium) pemberian remisi alias potongan masa pemidanaan dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi.
    Hakim PTUN memutuskan bahwa SK Menhukham itu sudah tidak berlaku sehingga koruptor tetap berhak mendapatkan remisi.
    Sebagai konsekuensinya, tujuh terpidana korupsi tersebut, yaitu Ahmad Hafiz Zawawi, Bobby SH, Suhardiman, dan Hengky Baramuli (ketiganya terpidana kasus cek perjalanan), Hesti Andi tyahyanto serta Agus Widjayanto Legowo (keduanya terpidana kasus korupsi PLTU Sampit), dan Mulyono Subroto dan Ibrahim (terpidana kasus pengadaan alat puskesmas keliling di Natuna, Kepri), harus dibebaskan. PTUN mengantongi dua alasan atas SK yang diajukan oleh Menhukham tersebut.
    Pertama, menurut Majelis, SK Menhukham No M.MH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 November 2011 itu tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Alasanya, SK tersebut ditetapkan berdasarkan PP No 32 Tahun 1999 yang sudah tidak berlaku.
    Kedua, SK tersebut bertentangan dengan asas-asas hukum pemerintahan karena tidak dilakukan berdasarkan prosedur serta ketentuan yang berlaku di bidang pemasyarakatan (Jawa Pos, 8/3).
    Pembebasan bersyarat atas tujuh terpidana kasus korupsi tersebut menjadi catatan penting ikwal berjalannya hukum di Indonesia. Penerapan hukum selalu berhadapan dengan dua kendala utama, yaitu kekuasaan dan keadilan.
    Baik tekanan kekuasaan maupun desakan keadilan dapat mengancam tercapainya kepastian hukum. Kedua hal itu terlihat jelas atas putusan PTUN yang membebaskan tujuh terpidana korupsi tersebut. Tampak ada proses ketimpangan hukum yang berimbas pada tarik ulur atas proses hukum tersebut.
    Jika hal ini terus dibiarkan, hukum di Indonesia kelihatan seperti macan ompong. Kasus ketimpangan hukum seperti ini bukan kali pertamanya terjadi di Indonesia, namun sudah berlangsung sejak Orde Baru.
    Terlebih jika proses hukum tersebut ditunggangi kekuasaan, hukum bisa saja berbalik arah. Ini karena kekuasaan sangat mudah untuk menggulingkan hukum dan sebaliknya, hukum tidak bisa berkutik ketika berhadapan dengan kekuasaan.
    Dalam kebudayaan nondemokrasi, hukum diketahui kedudukannya, tetapi tidak diakui kedaulatannya: hukum tidak mengendalikan kekuasaan, tetapi kekuasanlah yang mengendalikan hukum dan menjadikannya sarana untuk mengesahkan tindak tanduk politiknya.
    Para ahli hukum menyebut rule by law untuk membedakannya dari rule of low di mana kedaulatan hukum dijalankan. Indonesia yang berada dalam kebudayaan demokrasi seharusnya hukumlah yang mengendalikan kekuasaan, bukan sebaliknya.
    Akan tetapi fakta di lapangan justru malah sebaliknya. Inilah yang kemudian memosisikan hukum tidak lebih sebagai kepanjangan tangan untuk melanggengkan kekuasaan.
    Keadilan Hukum
    Sering kali yang tampak dalam pelaksanaan hukum di Indonesia adalah munculnya ketidakadilan hukum. Hukum memihak kepada mereka yang bermodal besar, sedangkan pada rakyat kecil hukum selalu bersifat “angkuh”.
    Bagi masyarakat secara umum yang awam terhadap hukum, putusan PTNU tersebut tidaklah mencerminkan nilai keadilan hukum sama sekali. Rakyat menginginkan agar koruptor mendapatkan hukuman yang berat, bukan mendapatkan remisi maupun pembebasan bersyarat.
    Ignas Kleden (2004) mempertanyakan tentang keadilan hukum yang bersifat substansial dan keadilan hukum yang bersifat prosedural. Menurutnya, keadilan tidak hanya dapat dicapai manakala kita menempuh beberapa prosedur baku yang menjamin bahwa wacana hukum yang dibangun tersebut adalah valid.
    Jhon Rowls dalam A Theory Of Justisemenunjukkan bahwa keadilan mempunyai suatu yang substansial yang diproporsikan dalam teori dan praktiknya. Kita tidak bisa menerima keadilan sebagai hasil wacana semata yang pada akhirnya akan membawa kita pada apa yang kita alami saat ini, yaitu keadilan disamakan dengan kepastian hukum belaka.
    Sementara kepastian hukum disamakan dengan kesesuaian tingkah laku dengan pasal-pasal undang-undang. Legalisme seperti ini juga amat berbahaya karena keadilan menjadi suatu yang semata-mata formal, bentuk yang kehilangan isinya.
    Keadilan substansial dalam jebakan esensialisme filosofis berhadapan dengan keadilan prosedural yang menyiapkan legalisme kuat tetapi membawa kita pada suatu kekosongan keadilan.
    Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan fair trial rupa-rupanya harus dipahami sebagai institusi publik untuk memberikan substansi pada keadilan yang kita cita-citakan. Sementara itu, kepastian hukum yang diperjuangkan oleh para ahli hukum adalah usaha untuk menghindari keadaan ketika keadilan ditentukan semata-mata oleh institusi publik.
    Hukum semcam inilah yang menurut Satjipto Rahardjo tidak lebih sebagai hukum formal-positivistik yang saklek dan faktual. Sumber-sumber hukum dari aliran formal-ositivistik ini adalah kekuasaan atau negara.
    Hukum bukan semata-mata hanya “rule and logic”, akan tetapi “structure and behavior”. Dalam artian, hukum tidak bisa hanya dipahami secara sempit, dalam perspektif aturan-aturan dan logika, akan tetapi melibatkan stuktur sosial dan prilaku.
    Hukuman bagi koruptor tidak bisa disamakan dengan hukuman bagi pencuri ayam ataupun pencuri kambing. Sebagaimana harapan rakyat, hukuman koruptor harus lebih berat dan bahkan ada yang mengusulkan agar dihukum mati. Hal tersebut adalah sebagai upaya untuk menegakkan keadilan hukum sebagaimana tingkat kesalahannya.
    Remisi ataupun pembebasan bersyarat bagi koruptor sebenarnya bukanlah langkah tepat untuk menegakkan hukum bagi koruptor. Sebaliknya, justru dengan adanya remisi dan pembebasan bersyarat tersebut, koruptor bisa bernapas panjang. Tidak menutup kemungkinan akan tumbuh koruptor-koruptor baru yang lebih massif di Indonesia. ●
  • BBM dan Kebijakan Paradoks

    BBM dan Kebijakan Paradoks
    Fathorrahman Hasbul, PENELITI PADA MEDIA LITERACY CIRCLE (MLC)
    PRODI ILMU KOMUNIKASI UIN YOGYAKARTA
    SUMBER : REPUBLIKA, 15 Maret 2012
    Masyarakat Indonesia kini dirudung mendung. Keresahan, gelisah, bahkan frustasi menjadi gambarannyata yang tampak dalam wajah-wajah mereka. Setelah publik jenuh dengan aksi “gila“ para pejabat kita yang selalu berbohong, korupsi, dan sejenisnya, kini mereka `dicekik’ oleh rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan harga BBM merupakan ancaman nyata bagi kehidupan mereka. Setidaknya kenaikan harga BBM tersebut akan berimplikasi pada naiknya kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Hajat hidup akan mengalami fluktuasi. Bagi masyarakat kelas bawah, mereka harus siap menanggung penderitaan panjang yang lebih kompleks.
    Isu kenaikan BBM merupakan isu paling strategis kedua setelah isu Nazaruddin. Sebagai kasus tingkat tinggi, jelas pembentukan opini publik akan tinggi pula. Opini publik kini telah digiring pada satu persepsi yang buruk terhadap pemerintah. Bisa jadi, tingkat opini tersebut pada titik tertentu akan berujung pada hasrat klaim kegagalan bahkan pelengseran pemerintahan yang dinilai tidak akomodatif.
    Entah frame apa yang berada dalam imaji para elite kita. Meskipun kenaikan BBM bukanlah sesuatu yang baru, isu tersebut cukup memberikan keresahan berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat. Pada tahap ini, penting untuk mengkaji persoalan tersebut secara lebih spesifik. Pada pemerintahan SBY jilid 1, kenaikan BBM didukung dengan prestasi pemerintah yang luar biasa. Reformasi birokrasi sedikit terwujud, konflik berujung pada rekonsiliasi. Namun kini, kenaikan BBM ternyata berbanding lurus dengan krisis multidimensi di pelbagai sektor.
    Yang tampak kemudian, pemerintah seakan-akan fakum dan terpaku dengan gelombang harga minyak mentah di pasar internasional yang menembus level 105 dolar AS per barel. Dalam perspektif Makmur Keliat (2012), alasan pemerintah memiliki implikasi jangka pendek. Pertama, ia lebih dimaksudkan untuk mengamankan realisasi APBN 2012, khususnya besaran alokasi anggaran untuk subsidi energi yang jumlahnya diperkirakan Rp 123,59 triliun.
    Kedua, bukan yang pertama kali harga pasar internasional yang biasnya dipandang sebagai harga paling efisien telah mengakibatkan tekanan bagi perubahan terhadap penetapan harga BBM di pasar domistik. Sehingga, cukup jelas bahwa kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM tidak pernah dimaksudkan untuk mengubah secara subtansial gambaran struktural perekonomian nasional, tetapi lebih menekankan pada upaya mengamankan APBN.
    Kebijakan Paradoks
    Dalam kajian komunikologi, kebijakan (policy) merupakan sentrum komunikasi. Komunikasi dengan tingkat kualitas tinggi. Namun, dalam pola tersebut, sebagai bagian unsur komunikasi, misinterpretation, misunderstanding, dan sejenisnya merupakan realitas yang lumrah adanya. Kebijakan bisa efektif, diterima, atau sebaliknya tergantung dari sejauh mana alasan dan pemahaman komunikator (baca: pemerintah) tentang suatu hal dan bagaimana seorang komunikator mampu menyampaikan itu semua secara tepat.
    Pada tahap ini, ada determinasi kebijakan yang cenderung pincang. Banarkah alasan kenaikan BBM tepat dinegasikan dengan harga minyak dunia atau serapan aspirasi dari masyarakat Indonesia? Tanggung jawab pemerintah adalah mendorong kesejahteraan, mengurangi angka kemiskinan, dan pengangguran. Jika problem ini dibiarkan bertubitubi, secara langsung maupun tidak, negara telah melakukan hegemoni atas negaranya sendiri. Pemerintah tidak bisa menjadi aparatus paling depan dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat.
    Menurut hemat penulis, titik pusat dari kebijakan tersebut bertumpu pada kepentingan sepihak. Dalam teknik kebijakan, tindakan pemerintah bisa dianalisis dengan teori glittering generality. Teori ini menegaskan tentang penggunaan gagasan yang baik dan dipakai untuk membuat sesuatu dapat diterima dan menyetujui sesuatu itu tanpa memeriksa bukti-bukti. Lagi-lagi pemerintah selalu terkesan tergesa-gesa.
    Pemerintah mencoba mendorong alasan kenaikan minyak berdasarkan kebutuhan, tetapi justru kuat adanya indikasi bahwa pemerintah bertekad mengamankan APBN dan mengabaikan aspirasi rakyat. Pemerintah tidak pernah mencoba mengakomodasi kepentingan mereka secara utuh. Memang ada alasan lain yang sengaja dimainkan oleh pemerintah di tengah-tengah kenaikan harga BBM seperti bantuan langsung sementara (BLSM). Tetapi, lagi-lagi bantuan tersebut akan mendorong terus laju korupsi di tingkat pusat hingga daerah. Bahkan, diskriminasi pengalokasian dan tidak tepat sasaran juga menjadi ancaman yang berbahaya.
    Pandangan semacam ini mencoba menegaskan bahwa pemerintah telah melakukan keputusan dan kebijkan yang kurang tepat. Di tengah ancaman krisis multidimensi yang berkepanjangan, masih saja pemerintah melakukan keputusankeputusan yang tidak pro terhadap rakyat. Anehnya, meskipun mendapatkan kritik tajam dari pelbagi pihak, keputusan tersebut tetap dilakukan.
    Kebijakan paradoks (policy) juga tampak dari sulitnya pemerintah mempertimbangkan kemungkinan alternatif yang lebih memeliki posisi tawar. Dalam teori card stackingsebagaimana perspektif McLuhan (1956), setiap kebijakan meliputi pemanfaatan fakta bahkan juga kebohong, yang dikemas dengan pernyataan logis atau tidak logis untuk memberikan kasus terbaik atau terburuk pada sebuah gagasan, program, atau kepentingan.
    Secara sederhana, teori ini memilih argumen atau bukti yang mendukung sebuah posisi dan mengabaikan hal lain yang tidak mendukung posisi tersebut.
    Kebijakan pemerintah selama ini menegaskan satu segmentasi yang absolut.
    Kebijakan itu lahir tanpa penyerapan aspirasi dan pencarian solusi alternatif sehingga yang tampak kemudian bukan lagi sikap kebangsaan, tetapi nepotisme. Sehingga, kenaikan BBM merupakan pengingkaran besar-besaran terhidap cita-cita keadilan dan kesejahteraan bangsa yang menjadi cita-cita bersama. ●
  • UU dan Pengemplang Pajak

    UU dan Pengemplang Pajak
    Sjahrial Ong, KETUA ASOSIASI PERUSAHAAN PENGELOLA ALAT BERAT/
    ALAT KONSTRUKSI INDONESIA (APPAKSI)
    SUMBER : REPUBLIKA, 15 Maret 2012
    Para pengusaha hakikatnya tidak keberatan membayar pajak sebagai upaya besar dalam pembangunan nasional. Sepanjang yang dikenakan bukan pajak ganda atau tidak jelas, yang justru bisa berdampak pada kerugian secara nasional pula.
    Sejak diundangkannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada 15 September 2009, sejumlah pemerintah daerah (pemda) kemudian menyusun peraturan daerah (perda) sebagai landasan hukum untuk menarik pajak kendaraan bermotor (PKB) terhadap alat-alat berat (A2B) dan alat-alat konstruksi (A2K). Pengenaan pajak yang terkesan sebagai imbas dari masih adanya euforia otonomi daerah dalam satu dekade belakangan ini.
    Tak salah memang karena perda yang disusun oleh pemerintah daerah benar adanya mengacu pada Pasal 1 Ayat (13) UU Nomor 28 Tahun 2009 yang menjelaskan tentang beragam jenis kendaraan dan fungsinya. Namun, sorotannya ada pada UU yang menaungi perda. Sekadar perbandingan, di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, dan Australia, tidak mengenakan PKB (road tax) bagi A2B. Logikanya, A2B di dalam proyek tidak memakai jalan umum (off road). Ada juga sejumlah negara yang menerapkan log book and registration plat terhadap off road equipment, semacam surat tanda nomor kendaraan (STNK) di negara kita.
    Berdasarkan pemanfaatannya, ada A2B yang dikategorikan beroperasi dan memakai jalan umum, semisal sebagian truk besar (kategori lima). Untuk kategori ini, wajib memakai STNK dan dikenakan PKB. Namun, tidak semua truk besar beroperasi di jalan umum.
    Pakar konstruksi memiliki semacam kesepakatan yang berlaku di dunia internasional. Secara umum, A2B dibagi atas beberapa kategori sesuai dengan sektor pemakaiannya. Antara lain, A2B sebagai mining equipment, forestry equipment, constructions equipment, dan lain-lain.
    Lalu, klasifikasi berdasarkan sifat pemakaiannya, A2B terkelompokkan menjadi dua. Pertama, on road equipment (A2B yang dipakai di jalan umum), seperti truck, wheel excavator, dan backhoe loader. Kedua, off road equipment (A2B yang tidak dipakai di jalan umum), seperti buldozer, excavator, crane, genset, dan lain sebagainya.
    Bicara sejarah kehadiran alat berat di Indonesia, sejak awal pembangunan infrastruktur di era Orde Baru (pertengahan 1970-an), pemerintah mengimpor hampir semua A2B dalam bentuk completely built up(CBU) di bawah pengawasan dan naungan Kementerian Perindustrian. Lahirlah perusahaan-perusahaan nasional sebagai dealer ataupun agen penjualan untuk menjaga ketertiban, khususnya menghindari persaingan tidak sehat atas purnajual (after sales service).
    Kementerian Perindustrian lantas mengeluarkan peraturan berupa kewajiban produsen untuk menunjuk agen tunggalnya yang bertanggung jawab penuh atas penjualan dan pelayanan purnajual merk-merk yang diageni di Indonesia. Izin agen tunggal diberikan untuk masa lima tahun dan tidak boleh secara sepihak memutuskan hubungan kerja sama atau menunjuk agen tunggal baru, tanpa penyelesaian yang adil.
    Kementerian Perindustrian juga membuat kriteria alat-alat berat, yaitu alat yang dapat bergerak dan digerakkan sendiri oleh motor penggerak dengan kekuatan minimal satu tenaga kuda (1HP). Pada saat itu, alat pertanian kecil, seperti hand tractor, karena memiliki mesin 1HP , juga termasuk dalam kriteria pengawasan Kementerian Perindustrian. Hingga saat ini, belum ada instansi dan asosiasi selain Kementerian Perindustrian, yang membuat kriteria baru.
    Terlepas dari kontroversi hand tractor, secara umum saat itu, A2B sebagai alat produksi (mesin) yang dipakai dalam proyek, tidak dikenakan PKB. Hanya A2B yang memakai jalan umum, seperti truk, wajib memakai STNK dan dikenakan PKB-nya. Lantas bagaimana dengan A2B di dalam dunia konstruksi?
    Sekalipun memakai mesin penggerak (engine), A2B sebagai alat konstruksi tidak dapat dikategorikan kendaraan bermotor.
    Perlu tinjauan lebih mendalam dalam menerapkan aturan pajak, yang alihalih malah bisa membuka peluang bagi praktik tidak etis. Muncul pengemplang pajak, misalnya, hanya karena mungkin ada saja oknum pengusaha yang enggan membayar pajak sebagai dampak ketidaksepahaman tentang alat berat. Yang pasti, mengenakan PKB terhadap seluruh A2B berpotensi menimbulkan biaya tambahan bagi pengusaha yang pada akhirnya menjadi high cost economysehingga menghambat investasi pembangunan ekonomi.
    Bagi pengusaha besar atau multinasional, ada pilihan untuk tidak mengambil sebuah proyek di daerah yang telah menurunkan UU Nomor 28 Tahun 2009 ke dalam perda-perda. Toh, bagi mereka masih banyak lahan kerja di tempat lain. Tapi, bagi pengusaha kecil, ketiadaan proyek adalah hal mustahil bagi kelangsungan usaha mereka. Saat itulah celah-celah melanggar hukum mulai terkuak.
    Pemerintah pusat dan daerah harusnya memikirkan apa yang menjadi dampak jangka panjang atas pengenaan pajak terhadap alat berat. Bukan sekadar tergoda terhadap peluang jangka pendek meningkatkan pemasukan kas daerah dari pengenaan pajak. Bukan pula semata melihat A2B dan A2K seperti ayam yang dapat diperas setiap hari agar telurnya keluar terus-menerus. UU Nomor 28 Tahun 2009 pantas ditinjau ulang dengan lebih memikirkan aspek dasar hukum, ekonomi, dan nilai-nilai kemajuan pembangunan nasional jangka panjang. ●
  • Mazhab Ekonomi Widjojo Nitisastro

    Mazhab Ekonomi Widjojo Nitisastro
    Augustinus Simanjuntak, DOSEN PROGRAM MANAJEMEN BISNIS
    FE UNIVERSITAS KRISTEN PETRA SURABAYA
    SUMBER : JAWA POS, 14 Maret 2012
    Salah seorang begawan ekonomi kita yang juga arsitek ekonomi Orde Baru, Widjojo Nitisatro, telah tutup usia (9/3). Guru Besar Fakultas Ekonomi UI itu meninggal pada usia 84 tahun. Banyak pemikiran ekonomi yang dicetuskan jebolan University of California at Berkeley Amerika Serikat (AS) tersebut. Pascapulang dari AS (1961) Widjojo memulai karirnya sebagai pengajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) sebelum dipercaya sebagai ketua tim penasehat ekonomi Presiden Soeharto.
    Pada 1971-1973, Widjojo pernah menjabat menteri negara perencanaan  pembangunan nasional, dan sejak 1973 sampai 1983 menjabat menteri ekonomi dan industri (ekuin) merangkap ketua Bappenas. Apa buah pemikiran yang penting dari Widjojo?  Yang jelas, pada 1966, Widjojo Nitisastro (waktu itu menjabat dekan FE Ekonomi UI) memelopori tekad untuk melaksanakan UUD 1945, terutama pasal 23 (tertib anggaran), pasal 27 (hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak), pasal 33 (ekonomi kekeluargaan), dan pasal 34 (hak-hak fakir miskin dan anak-anak terlantar).
    Jadi, landasan Ketetapan MPRS No. 23 Tahun 1966 tentang Pembaruan Kebijaksanaaan Landasan Ekonomi dan Keuangan bisa dikatakan merupakan produk pemikiran Widjojo dan kawan-kawannya di UI.  Misalnya, menurut pasal 4 TAP MPR tersebut, landasan ideal sistem ekonomi Indonesia yang senantiasa harus tercermin dalam setiap kebijakan ekonomi ialah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
    Lalu, pasal 5 menyatakan hakikat landasan ideal itu adalah pembinaan sistem ekonomi terpimpin berdasar pancasila yang menjamin demokrasi ekonomi demi terciptanya masyarakat yang adil dan makmur yang diridai Tuhan.  Karena itu, menurut Widjojo, demokrasi ekonomi memiliki cirri-ciri positif, yaitu : pertama, disusun sebagai usaha pertama atas asas kekeluargaan sehingga tidak mengenal struktur pertentangan kelas.  Kedua, sumber-sumber kekayaan negara dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan lembaga perwakilan rakyat dan diawasi lembaga perwakilan rakyat pula.
    Ketiga, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak dikuasai oleh negara. Keempat, warga negara diberi kebebasan dalam memilih pekerjaan dan diberi hak akan pekerjaan serta penghidupan yang layak. Kelima, hak milik perorangan diakui dan dimanfaatkan guna kesejahteraan masyarakat, namun tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk mengeksploitasi sesama manusia.
    Keenam, potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara dpat diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.  Ketujuh, fakir miskin dan anak-anak terlantar berhak memperoleh jaminan sosial.  Selain itu, pemikiran Widjojo dalam TAP MPRS No. 23/1966 menegaskan: dalam demokrasi ekonomi tidak ada tempat bagi cirri-ciri negatif, yaitu : sistem free fight liberalism  yang menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain dan yang dalam sejarahnya telah menimbulkan kelemahan struktural dalam posisi Indonesia di ekonomi dunia.
    Widjojo juga dengan tegas menolak sistem estatisme. Artinya, negara beserta aparatur ekonomi tidak boleh mendominasi penuh, mendesak, dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sector negara. Dia juga menolak monopoli kegiatan ekonomi yang merugikan masyarakat. SIstem itulah yang disebut system ekonomi jalan tengah (mix economy). Dan, berdasar pasal 33 ayat (1) UUD 1945, ekonomi kita dibangun berdasar asas kekeluargaan atau ekonomi kolektivisme (Bung Hatta, 1946).
    Widjojo pun sepakat kita bukan penganut ekonomi individualis ala ekonomi liberal, dan bukan pula ekonomi totaliter ala sosialis. Karena itu, Widjojo mendukung penuh eksistensi ekonomi UUD 1945. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, misalnya, mengatur supaya cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Secara a contrario, faktor produksi yang tidak cukup vital bagi publik boleh dikelola swasta dan diserahkan ke mekanisme pasar. 
    Sayang, ide Widjojo itu ternyata tidak dijalankan oleh Orde Baru secara murni dan konsekuen.  Kegiatan ekonomi justru banyak yang salah arah dan diwarnai berbagai penyimpangan, terutama korupsi, monopoli, dan konglomerasi. Sejak Orde Baru, Indonesia justru mulai bergantung pada investasi asing dan utang luar negeri. Lihat saja, hingga akhir 1998, utang luar negeri (pemerintah dan swasta) mencapai USD 160 milar atau 60 persen dari produk domestic kita (World Development Report, 2000).   
    Puncak kegagalam Orde Baru ialah saat terjadinya krisis moneter 1997 yang memaksa pemerintah menggelontor dana BLBI ratusan triliun rupiah ke bank-bank bermasalah tanpa jaminan pengembalian yang jelas. Bahkan, dana BLBI diduga banyak yang diselewengkan oknum elite politik yang bersekongkol dengan bankir nakal lewat mark up, manipulasi, dan kolusi (Baswir, 2004). Lalu, bagaimana implementasi ide Widjojo di era SBY-Boediono?  ●