Category: Uncategorized

  • Indonesia Rumah Kita

    Indonesia Rumah Kita
    Muhammad Elvandi LC, WNI DI SAINT-ETIENNE, PRANCIS
    Sumber : REPUBLIKA, 24 Februari 2012
    Sesak dada saat mendengar umat Islam di Indonesia tergopoh-gopoh membuka medan-medan perang ideologi dan pemikiran. Sekitar 31 ribu orang menggalang dukungan lewat facebook, “Bubarkan FPI”, hingga gerakan media menjadi        gerakan turun ke jalan, yang kian memanas setelah penolakan FPI di Kalimantan Tengah. Dari sana, bergejolaklah FPI dan kadernya, dan para pendukungnya, ditambah dukungan mereka yang menolak liberalisme dengan slogan “Indonesia Tanpa Jaringan Islam Liberal”.
    Insiden di Kalimantan Tengah pada akhirnya ditarik menjadi persoalan umat. Ia menjadi momentum untuk me mulai kembali skenario-skenario lama agar umat Islam terbesar di dunia ini selalu berbantah-bantahan dan bertikai.
    Mengapa? Terlalu banyak yang mampu dilakukan Muslim Indonesia jika ia berjalan mulus dalam demokrasinya. Karena di dalam sistem ini, Muslim Indonesia mampu berpikir dan berbicara bebas. Mampu berdialog dan menabung solusi kebangsaan dari rekening setiap pemikiran entitas Muslim. Dalam tabungan itu, ide-ide terbaik umat disaring untuk kemudian digunakan demi tegaknya bangunan Indonesia. Jika bangunan itu tegak, banyak peran yang bisa di pikul Muslim Indonesia, bukan hanya di Asia Tenggara, melainkan menjadi model dunia untuk negara demokratis yang berpenduduk Muslim.
    Tapi, siapa yang merancang skenario ini? Sepotong kisah dalam sejarah Islam mungkin bisa membantu. Umat Islam tetap kokoh dalam persatuannya sepeninggal Rasulullah dan pasca-Perang Riddah (melawan para peng khianat), hingga tahun-tahun terakhir pemerintahan Usman bin Affan. Muncullah seorang tokoh publik bernama Abdullah bin Saba keturunan Yahudi-Persia. Ia membangun basis massa yang merongrong pemerintahan sekaligus pembunuhan atas diri Usman.
    Para pembunuh itu terdiri atas suku yang berbeda-beda dan umat Islam mengenal mereka. Namun, butuh waktu panjang untuk mengejar para pembunuh itu. Pascatragedi tersebut, meletuslah demonstrasi di mana-mana. Negara dalam kondisi krisis dan kepemimpinan Ali bin Abu Thalib pun belum stabil.
    Dari sini, pilihan umat Islam ada dua. Menyelesaikan krisis dan stabilitas dalam negeri, baru mengejar dan menga dili pada pembunuh; atau mengadili terlebih dahulu dibandingkan menyelesaikan krisis. Risiko pilihan pertama, mengecewakan para loyalis Usman untuk menyelamatkan negara dari krisis. Sedangkan risiko kedua, runtuhnya negara demi simpati para loyalis Usman.
    Kedua pendapat itu adalah hasil ijtihad manusia-manusia terbaik zaman itu. Ali dan mayoritas ulama saat itu memilih yang pertama, sedangkan Aisyah dan para pembesar sahabat, seperti Zubair, Thalhah, dan Muawiyah memilih yang kedua. Mereka semua berijtihad dengan niat suci, bukan mengejar kursi. Kelompok Aisyah mengambil langkah sendiri. Ia membangun pasukan untuk mengadili para pembunuh. Tapi, langkah inisiatif ini membuat krisis bertambah. Karena keluarga para pembunuh melindungi mereka dan pengejaran pasukan Aisyah terhadap pembunuh itu tidak sistematis, sehingga jatuhan korban.
    Untuk menyelesaikan masalah, Ali membawa tentara untuk menghentikan Aisyah dari aksinya agar korban sipil yang bukan menjadi target tidak bertambah. Ali mengajak Aisyah berdiskusi untuk mencari jalan tengah. Ia mengutus Qa’qa bin Amr at-Tamimi. Di pihak lain, Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Solusi yang ditawarkan Qa’qa hanya satu kata: at-Taskin (penghentian), hingga kondisi negara stabil. Tawaran ini diterima kelompok Aisyah. Dan malam itu, tidurlah kedua kelompok di tenda masing-masing dengan sangat tenang. Namun, siapa yang tidak tenang? Tentu, para perusuh dan pembunuh. Karena saat negara stabil, hukuman siap menanti mereka. Pihak Ali dan Aisyah akan ber satu dan bersamasama meringkusnya.
    Apa yang mereka butuhkan? Hanya langkah yang sederhana. Membakar pemusuhan di kedua kelompok. Dibuatlah teamworkyang solid sekaligus menyebarkan fitnah sehingga akhirnya timbul pertikaian dalam Perang Jamal antara kelompok Ali melawan Aisyah.
    Insiden penolakan FPI di Kalimantan Tengah sama sekali bukan esensi persoalan yang besar. Ia lazim terjadi dan merupakan tantangan dakwah biasa bagi organisasi Islam manapun. Tapi, membuat persoalan ini menjadi besar, mencipta blok-blok baru, menjadi ladang adu kekuatan dan suara, dan menjadi medan tarung dukungan dan massa, ini yang membahayakan.
    Pihak-pihak yang tidak ingin melihat Indonesia bangkit menuju kursi peradabannya sebagai negara demokratis berpenduduk Muslim terbesar tidak akan membiarkan umat Islam rukun, apa lagi ber satu. Siapa pihak yang paling diuntungkan jika umat Islam di Indonesia terpecah, hingga menyeret disintegrasi bangsa? Kurang lebih merekalah yang memperbesar persoalan lokal menjadi perdebatan dan keributan nasional.
    Umat Islam di Indonesia yang tetap ingin melihat negerinya tegak harus mampu melihat persoalan dengan komprehensif dan tidak terbawa arus perseteruan buatan. Sikap yang sangat di butuhkan di depan situasi ini adalah at-taskin (penghentian). Menghentikan saling memaki dan membuat permasa lahan menjadi besar.
    Indonesia adalah rumah untuk semua, baik FPI, JIL, juga entitas Muslim lainnya, seperti Muhammadiyah, NU, ataupun Persis. Ini tidak berarti menyeragamkan semua organisasi Islam karena harus ada evaluasi bagi setiap organisasi Islam di Indonesia agar dakwahnya produktif untuk umat, saling menghargai, dan bukan saling menghakimi di media.
  • Harapan Baru untuk Reformasi Birokrasi

    Harapan Baru untuk Reformasi Birokrasi
    Penny K. Lukito, PEGAWAI, BEKERJA DI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN/BAPPENAS
    Sumber : KORAN TEMPO, 24 Februari 2012
    Memasuki tahun 2012 ini, di tengah berbagai sorotan yang ditujukan kepada pemerintah terkait dengan kelambanan sistem birokrasi kita, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menggulirkan rencana Program Percepatan Reformasi Birokrasi. Tentunya hal ini memberikan kembali harapan agar ada langkah cepat untuk terjadinya reformasi birokrasi yang belakangan ini banyak dipermasalahkan oleh banyak pihak.
    Tidak Kurang dari Presiden
    Presiden SBY sendiri, dalam suatu rapat kerja pemerintah, mengatakan bahwa ada tiga faktor utama yang menghambat laju perekonomian Indonesia. Pertama, masalah birokrasi yang dianggap menjadi penghalang. Kedua, infrastruktur backlog. Dan ketiga, korupsi. “Kita tidak hanya butuh berkomitmen, tapi juga mengubah segalanya secara fundamental,” kata Presiden ihwal berbagai permasalahan birokrasi, baik yang terjadi di pusat maupun daerah.
    Permintaan Presiden SBY beberapa waktu lalu agar setiap kementerian dan lembaga (KL) melaporkan kinerjanya kepada publik, disertai adanya sistem pelaporan cepat agar anggota kabinet lebih responsif terhadap masalah yang berkembang dalam masyarakat, kiranya merupakan hal yang sangat penting yang menunjukkan niat baik dan keseriusan pemerintah dikaitkan dengan akuntabilitas politisnya untuk melaporkan kinerja kepada rakyat.
    Selain itu, pernyataan Wakil Presiden Boediono, bahwa pemerintahan adalah untuk mereka yang ingin berkontribusi dan bukan untuk mereka yang ingin kaya, dapat diartikan bahwa birokrasi memang bagi mereka yang ingin berkarya untuk kepentingan yang bernilai lebih dari sekadar perbaikan gaji (remunerasi) semata. Birokrasi sebaiknya dibangun agar pegawai negeri sipil dapat berkinerja tinggi untuk bisa memberikan insentif kebanggaan dan kepuasan diri lebih dari sekadar materi belaka, tetapi lebih dari itu, yakni untuk menjadi bagian dari kerja mulia membangun bangsa ini.
    Kepemimpinan Kinerja
    Meski demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa atribut dari birokrasi yang sering dimaknai dengan karakteristik feodalisme, ketertutupan, dan jauh dari sifat egalitarian mengungkapkan persoalan birokrasi yang cenderung menjadi penghambat untuk suatu kinerja yang optimum. Sesungguhnya, pentingnya keterbukaan di dalam birokrasi ini dikaitkan dengan realitas bahwa keputusan publik yang terbaik hanya dapat muncul dari dialog yang terbuka, jujur, dan untuk tujuan kepentingan yang lebih luas. Mungkin ini masih dianggap utopia di dalam birokrasi kita, tetapi hal tersebut dapat menjadi realitas bila dilakukan melalui pendekatan reformasi birokrasi yang lebih mengacu pada kinerja, dengan kemauan dan kepemimpinan yang kuat untuk melaksanakannya.
    Reformasi birokrasi tanpa membangun kepemimpinan kuat yang berorientasi pada perubahan dan kinerja merupakan kesia-siaan. Bahkan, apabila dikatakan bahwa kepemimpinan adalah kombinasi dari kemampuan strategis dan integritas, dan sekiranya pun kita harus memilih salah satunya, pilihlah yang mempunyai karakter berintegritas yang kuat. Sebab, dengan basis integritas, kepemimpinan strategis kemudian dapat dibangun melalui penempaan dari penyelesaian satu tugas ke tugas selanjutnya melalui jalur pembinaan karier dan kepemimpinan. Terkait dengan hal ini, rekrutmen, promosi, dan mutasi kepemimpinan yang transparan perlu didukung dengan pembinaan karier dan kepemimpinan yang kontinu serta terjamin kepastian pelaksanaannya di birokrasi.
    Melihat begitu besar dan banyaknya tantangan dalam pembangunan bangsa dewasa ini, kepemimpinan untuk membangun budaya organisasi birokrasi yang berorientasi kinerja dibutuhkan pada seluruh jenjang birokrasi. Sebab, dalam suatu organisasi, penciptaan etika dan budaya kerja bukan hanya tugas manajemen puncak semata, tapi juga tugas setiap pemimpin di level pelaksanaan. Pemimpin di jenjang level mana pun di birokrasi tentunya diharapkan mampu dengan tepat mengenali masalah, menetapkan agenda dan arah, serta mempunyai keberanian untuk segera melangkah dan kalau perlu mengambil risiko dalam implementasinya. Lebih tidak kalah penting adalah kapasitas untuk memantau dan mengevaluasi hasil dari langkah yang diambil tersebut untuk menjadi input perbaikan bagi agenda dan arah yang kurang tepat atau tidak memberikan hasil yang optimum dalam pelaksanaannya.
    Karakteristik dari sektor publik memang terkadang sumir menempatkan pertanggungjawaban terhadap hasil dari produk dan pelayanan publik yang tidak jelas ada di pundak siapa. Kondisi ini bahkan dapat membuat strategi kepemimpinan yang dikenalkan oleh John Maxwell, “get things done through others” (merampungkan pekerjaan melalui orang lain), pun disalahartikan oleh mereka yang pada dasarnya memang tidak mau bertanggung jawab tetapi hanya ingin menikmati kursi jabatan, bahkan kalau bisa melemparkan tanggung jawab kepada pihak lain. Untuk itu, memang menjadi semakin penting adanya transparansi dan akuntabilitas pelaksana kepemerintahan kepada publik, baik akuntabilitas individu maupun hasil pembangunan secara kolektif. Di mana akuntabilitas mengandung makna keharusan untuk menjelaskan dan menjawab segala hal menyangkut langkah dari seluruh keputusan dan proses yang dilakukan, serta pertanggungjawaban terhadap hasil atau kinerjanya. Sangatlah penting untuk disadari bahwa pada dasarnya akuntabilitas birokrasi adalah kepada masyarakat, dengan indikator pada kualitas produk dan pelayanan publik (output) yang lebih baik dan yang seharusnya mampu memberikan hasil manfaat (outcomes) yang dapat dirasakan sebagai perubahan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat secara umum.
    Bagi pemerintah sendiri, tuntutan (demand) terhadap pelaporan kinerja kepada publik ini akan menjadi pendorong bagi peningkatan kapasitas kinerja pemerintah yang semakin membaik. Dengan demikian, juga dituntut kualitas data/informasi kinerja yang tepat dan baik yang betul-betul menggambarkan kondisi yang sesuai. Sesuatu yang tidak pernah diukur dan dilaporkan dapat dianggap menjadi tidak penting untuk diselesaikan. Pelaksanaan anggaran publik harus dimonitor dengan indikator kinerja yang baik, dievaluasi, dan dilaporkan kepada publik dalam suatu sistem proses umpan balik. Apa yang sudah dilakukan oleh UKP4 dalam pemantauan target-target kinerja prioritas pembangunan sudah baik, namun perlu dikembangkan tidak hanya untuk kepentingan menilai kinerja pimpinan suatu kementerian atau lembaga saja, tetapi juga kembali menjadi input perbaikan bagi proses perencanaan dan penganggaran program-program pembangunan yang lebih efisien dan efektif.
    Pidato dari James Madison (Presiden AS ke-4) yang terpatri di ruang James Madison Memorial, Library of Congress, di Washington, DC, yang berarti sebagaimana berikut, “esensi dari pemerintahan adalah kekuasaan, dan kekuasaan yang ada dalam genggaman manusia umumnya akan berpotensi untuk disalahgunakan”, mengingatkan pentingnya pengawasan terhadap kinerja pemerintahan. Untuk itulah perlunya pengawasan, hukum, dan peraturan sepenuhnya ditegakkan dengan kepastian yang tinggi. Karena itu, reformasi birokrasi harus dapat mengubah birokrasi kita menjadi mampu menumbuhkan kepemimpinan yang diliputi budaya berorientasi kinerja dan keterbukaan. Dengan demikian, penyelewengan kekuasaan dan kelambanan dalam birokrasi tidak lagi menjadi atribut negatif yang direkatkan pada pemerintahan, sehingga tidak lagi menjadi faktor penghambat bangsa ini untuk bangkit dan maju. ●
  • Pekerjaan Rumah OJK

    Pekerjaan Rumah OJK
    Didik J. Rachbini, GURU BESAR DAN EKONOM SENIOR INDEF
    Sumber : REPUBLIKA, 24 Februari 2012
    Sektor keuangan Indonesia telah memasuki babak baru setelah disahkan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (UU-OJK). Tujuan OJK didirikan adalah untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Wewenangnya luas, antara lain, pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan penca dangan bank. Dengan sistem yang baru, diharapkan perbankan lebih efisien, biaya modal dan suku bunga rendah, serta perbankan bebas kartel.
    Ekonomi Indonesia tumbuh cukup memadai sekitar 6,5 persen, tetapi masih banyak penyakit ekonomi yang menjangkiti ekonomi nasional. Ekonomi Indonesia berkembang karena momentum dan faktor eksternal yang mendukung nya. Tetapi, ada banyak masalah yang menghambat, antara lain, sektor keuang an yang masih kalah efisien dibanding kan dengan efisiensi perbankan di negara-negara sekitarnya.
    Banyak kritik bahwa perbankan Indonesia tidak efisien. Kadin juga menggugat dunia perbankan untuk menurun kan tingkat suku bunganya agar lebih mendorong dunia usaha. Tingkat suku bunga yang tinggi pada saat ini sudah dianggap membebani dunia usaha dan menggerus daya saing dunia usaha   Indonesia. Perbankan nasional dianggap tidak efisien karena daya saing Indonesia tidak setara dengan perbankan di negara-negara ASEAN lainnya yang sudah menurunkan suku bunganya, baik suku bunga deposito maupun kredit.
    Tidak hanya ketua umum Kadin, tetapi Gubernur Bank Indonesia (BI), juga mengeluhkan perbankan nasional, yang tidak serta-merta menurunkan suku bunga kredit ketika BI secara bertahap menurunkan BI ratenya. Level BI Rate beberapa bulan terakhir ini berada pada kisaran enam-tujuh persen, tetapi tingkat suku bunga kredit di pasar mencapai 14-15 persen.
    Bahkan, usaha menengah masih membayar dengan suku bunga lama hampir 20 persen. Untuk keperluan mo dal dalam usaha konsultansi ekonomi, kredit yang harus dibayar mencapai dua kali lipat dari pinjamannya hanya dalam empat-lima tahun. Perbankan sekarang sangat menikmati suku bunga tinggi dari kegiatan perkreditannya.
    Dari perbedaan dengan BI rate mau pun suku bunga deposito, suku bunga kredit yang terbentuk sangat tinggi dan membebani dunia usaha. Karena itu, tidak aneh jika ketua umum Kadin menggugat dunia perbankan, yang memainkan dan mempertaruhkan nasib dunia usaha dengan suku bunga yang tinggi. Walau dana masuk melimpah, tingkat suku bunga di Indonesia tetap tinggi. Dalam hukum ekonomi yang sederhana, ketika pasokan melimpah maka harga cenderung turun.
    Lalu, apa penyebab tingginya tingkat suku bunga di Indonesiai? Mengapa suku bunga kredit tidak pernah turun secara proporsional? Bagaimana perilaku pasar keuangan di subsektor perbankan?
    Sudah jamak kalau Kadin mengkritik bahwa tingkat suku bunga kita tergolong yang paling tinggi di dunia. Rata-rata suku bunga dasar kredit (nominal) mencapai 11,9 persen. Di pasar kre dit tingkat suku bunga yang terbentuk lebih tinggi lagi, yakni sekitar 1415 persen. Ini setara dengan negara terbelakang, seperti Laos dengan tingkat suku bunga sekitar 12-13 persen.
    Kadin menilai, keadaan ini tidak kon dusif bagi dunia usaha dan meminta dunia perbankan agar tingkat suku bunga turun setara dengan negara-negara sekitarnya. Intinya, dengan dana yang melimpah se mestinya tingkat suku bunga di pasar kredit turun sehingga BI harus lebih agresif lagi merancang kebijakan yang memungkinkan harga modal usaha menjadi lebih layak. Tidak seperti sekarang, dunia usaha menanggung beban bunga yang tinggi.
    Negara-negara tetangga sudah ber hasil mengefisienkan tingkat suku bu nga nya jauh di bawah Indonesia. Tingkat suku bunga dasar kredit di Malaysia hanya 6,6 persen, Singapura sekitar 4,3 persen, dan Thailand 3,3 persen.
    Ketika pasokan dana besar, suku bu nga tidak turun secara signifikan.            Dibandingkan dengan suku bunga di ne gara sekitarnya, tingkat suku bunga di Indonesia masih sangat tinggi. Ber dasarkan gejala-gejala ini maka dipas tikan ada akar masalah yang menyebabkan suku bunga tetap tinggi.
    Tampaknya struktur pasar keuangan di Indonesia bersifat oligopolistis. Pada pasar keuangan khusus deposito, pemilik dana besar yang bisa memengaruhi suku bunga hanya di tangan segelintir pelaku, yakni BUMN besar, pemerintah terutama Kementrian Keuangan, dan orang kaya di Indonesia. Dengan struktur oligopili ini ada juga indikasi perilaku monopolistis di mana pemilik dana tersebut meminta tingkat suku bunga khusus atau “special rate” sehingga mendong krat tingkat suku bunga deposito.
    Pasar yang oligopolistis ini bersaing tentunya dengan SBI atau BI Rate, yang ju ga terdongkrak lebih tinggi. Karena itu, juga tidak aneh jika SBI dan BI ra te kita jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Sibor dan Libor karena faktor struktur pasar dan perilaku monopoli tersebut. Bahkan, jauh lebih tinggi lagi dibandingkan dengan US prime rates, sekitar tiga persen dan Japan Prime Ra tes sekitar satu persen.
    Jadi, masalah suku bunga juga berakar pada struktur pasar yang oligopo listis dan perilaku monopolistis, terutama pemilik dana besar BUMN dan pemerintah sendiri. Pemilik dana besar di BUMN dan pemerintah meminta bunga yang tinggi pada perbankan sehingga suku bunga deposito terdongkrak tinggi.
    Pantas suku bunga Indonesia tergolong paling tinggi di dunia karena ada indikasi kartel di dalam pasar keuangan ini, yang tidak lepas kemungkinan kolusi. Dana besar di BUMN sudah menjadi rahasia umum sebagai barang dagangan antara bank dan pemilik dana. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi OJK yang baru, yang bila diperlukan bisa bekerja sama dengan KPPU.  
  • Tugas Ketua MA Baru

    Tugas Ketua MA Baru
    Oce Madril, DOSEN FAKULTAS HUKUM UGM;
    PENELITI DI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI FAKULTAS HUKUM UGM
    Sumber : KORAN TEMPO, 24 Februari 2012
    Sungguh menarik setiap kali mencermati laporan yang disajikan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK). Dari ribuan lebih laporan hasil analisis (LHA)-PPATK, sangat sedikit yang ditindaklanjuti dan diperkarakan aparat penegak hukum (Polri, Kejaksaan, maupun KPK).
    Tak aneh kalau akhirnya PPATK sering “bernyanyi” di luaran. Temuan terakhir menyatakan transaksi keuangan mencurigakan marak terjadi di Kemenkeu (Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai) dan pemerintahan daerah (pemda).
    Temuan tersebut merupakan hasil analisis PPATK terhadap 630 kasus transaksi mencurigakan yang melibatkan PNS mulai 2003 hingga 2011, tercatat melibatkan PNS pusat maupun daerah. Nilai transaksi mencurigakan mulai dari Rp 1-5 miliar lebih.
    Biasanya dilakukan dengan cara menggeser uang dalam pos Dana Alokasi Khusus dan 
    Umum, dari rekening dinas ke rekening pribadi, kemudian yang bersangkutan mendapatkan bunganya.
    Inilah “nyanyian” pejabat PPATK terbaru, menyusul nyanyian-nyanyian lainnya. Ini memperlihatkan kegundahan dari lembaga sekelas PPATK. Maklum, PPATK memang tanpa taring dan gigi untuk menangkap dan mengadili para koruptor.
    PPATK hanya sekadar lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Lembaga ini hanya menghasilkan LHA, yang perlu ditindaklanjuti aparat penegak hukum.
    Kendati demikian, LHA sebenarnya bisa dijadikan pintu masuk bagi para aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dan memproses secara hukum para koruptor dan pencuci uang.
    Justru  laporan yang berjumlah ribuan ini, apabila ditelusuri, mungkin memerlukan personel aparat penegak hukum yang sangat besar. Mungkin, pihak aparat hukumnya justru yang tidak siap dengan banyaknya kasus korupsi yang akan ditangani. Kamar penjara mungkin tidak akan cukup untuk menampung para koruptor yang tertangkap di Indonesia.
    Rekening Koruptor
    Menurut UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang sudah direvisi dengan UU No 25 Tahun 2003, khususnya Pasal 13, para Pengelola Jasa Keuangan (PJK) wajib menyampaikan kepada PPATK untuk dua hal.
    Pertama, laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM), dan kedua, transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai (baik setor maupun tarik tunai) (LTKT) dalam jumlah kumulatif Rp 500 juta atau lebih, atau mata uang asing yang nilainya setara, baik yang dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari (dari satu rekening yang sama).
    Hal yang pertama sangat sering dijumpai, yakni transaksi tak wajar (unusual transactions), di mana transaksi yang dilakukan keluar dari profil nasabah yang bersangkutan.
    Mengapa dikatakan transaksi tak wajar sering terjadi di bank, karena hampir semua pelaku kejahatan keuangan (termasuk koruptor) bisa dipastikan memiliki rekening di bank/PJK lainnya. Di sini pihak PJK sebenarnya sudah memiliki profil dari nasabah, termasuk profil sang koruptor.
    Pada saat awal berhubungan dengan pihak PJK, nasabah biasanya diwajibkan mengisi formulir know your customer (KYC) yang berfungsi mengetahui profil dan karakteristik transaksi dari nasabah yang bersangkutan. Di sinilah titik awal para pengelola PJK mengenal nasabahnya, termasuk profil dan kekuatan keuangannya.
    Logikanya, para PJK semestinya juga bisa mengendus dan mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan si pelaku tindak kejahatan keuangan tersebut.
    Misalnya, seorang pegawai negeri golongan III-D dengan kisaran penghasilan di bawah Rp 50 juta per tahun kok tiba-tiba melakukan transaksi keuangan di atas profil yang tersedia, maka sistem komputer secara otomatis akan mengeluarkan laporan keuangan mencurigakan pada akhir harinya. 
    Oleh PJK, transaksi ini akan dilaporkan ke pihak PPATK setiap akhir bulan. Di sinilah pentingnya laporan PPATK, yang akan menganalisis LTKM dari para PJK.
    Apabila LTKM pada satu orang ini dilakukan di banyak PJK dengan identitas yang sama, pihak PPATK biasanya akan memberikan rekomendasi bahwa transaksi keuangan dari seseorang tersebut berindikasi menyimpang dan perlu ditelusuri lebih lanjut.
    Apabila semua PJK, seperti halnya bank, asuransi, pedagang valas, pemain pasar modal, manajer investasi, multifinance, kospin, leasing, diler mobil, pengembang (developer), agen properti, sudah memberikan LTKM  ke pihak PPATK, bisa dipastikan ruang gerak para koruptor dan pencuci uang akan semakin terbatas.
    Sayangnya, belum begitu banyak para koruptor yang terjerat hukum, akibat pelaporan langsung dari para PJK, yang kemudian dianalisis PPATK. Padahal, LHA-PPATK ini bisa dijadikan entry point  bagi para aparat penegak hukum untuk segera bergerak dan “mengobok-obok” para koruptor.
    Nyanyian merdu rekening gendut PNS muda semestinya menjadi momentum bagi aparat penegak hukum untuk memprosesnya lebih lanjut. Persoalannya, juga belum banyak PJK yang mau memberikan secara rutin LTKM ke PPATK. Banyak alasan yang mendasarinya sehingga mereka belum tertib menyampaikan LTKM.
    Namun, di atas semua itu, tindak lanjut dari LHA-PPATK sebenarnya sangat ditunggu masyarakat banyak. Aneka kepentingan (politik-ekonomis) semestinya disingkirkan dan kepentingan publiklah yang diutamakan. Para aparat penegak hukum tidak perlu takut karena tekanan dari berbagai pihak.
    Tekanan yang bergitu besar dari masyarakat sebenarnya yang harus diutamakan, yakni memberdayakan LHA-PPATK semaksimal mungkin. Ini karena di sanalah muara dari berbagai transaksi ilegal dari para koruptor. Masyarakat menunggu kiprah lebih lanjut dari para aparat penegak hukum. ●
  • Memberdayakan LHA-PPATK

    Memberdayakan LHA-PPATK
    Susidarto, PENGAMAT MASALAH KORUPSI
    Sumber : SINAR HARAPAN, 24 Februari 2012
    Sungguh menarik setiap kali mencermati laporan yang disajikan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK). Dari ribuan lebih laporan hasil analisis (LHA)-PPATK, sangat sedikit yang ditindaklanjuti dan diperkarakan aparat penegak hukum (Polri, Kejaksaan, maupun KPK).
    Tak aneh kalau akhirnya PPATK sering “bernyanyi” di luaran. Temuan terakhir menyatakan transaksi keuangan mencurigakan marak terjadi di Kemenkeu (Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai) dan pemerintahan daerah (pemda).
    Temuan tersebut merupakan hasil analisis PPATK terhadap 630 kasus transaksi mencurigakan yang melibatkan PNS mulai 2003 hingga 2011, tercatat melibatkan PNS pusat maupun daerah. Nilai transaksi mencurigakan mulai dari Rp 1-5 miliar lebih.
    Biasanya dilakukan dengan cara menggeser uang dalam pos Dana Alokasi Khusus dan Umum, dari rekening dinas ke rekening pribadi, kemudian yang bersangkutan mendapatkan bunganya.
    Inilah “nyanyian” pejabat PPATK terbaru, menyusul nyanyian-nyanyian lainnya. Ini memperlihatkan kegundahan dari lembaga sekelas PPATK. Maklum, PPATK memang tanpa taring dan gigi untuk menangkap dan mengadili para koruptor.
    PPATK hanya sekadar lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Lembaga ini hanya menghasilkan LHA, yang perlu ditindaklanjuti aparat penegak hukum.
    Kendati demikian, LHA sebenarnya bisa dijadikan pintu masuk bagi para aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dan memproses secara hukum para koruptor dan pencuci uang.
    Justru  laporan yang berjumlah ribuan ini, apabila ditelusuri, mungkin memerlukan personel aparat penegak hukum yang sangat besar. Mungkin, pihak aparat hukumnya justru yang tidak siap dengan banyaknya kasus korupsi yang akan ditangani. Kamar penjara mungkin tidak akan cukup untuk menampung para koruptor yang tertangkap di Indonesia.
    Rekening Koruptor
    Menurut UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang sudah direvisi dengan UU No 25 Tahun 2003, khususnya Pasal 13, para Pengelola Jasa Keuangan (PJK) wajib menyampaikan kepada PPATK untuk dua hal.
    Pertama, laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM), dan kedua, transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai (baik setor maupun tarik tunai) (LTKT) dalam jumlah kumulatif Rp 500 juta atau lebih, atau mata uang asing yang nilainya setara, baik yang dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari (dari satu rekening yang sama).
    Hal yang pertama sangat sering dijumpai, yakni transaksi tak wajar (unusual transactions), di mana transaksi yang dilakukan keluar dari profil nasabah yang bersangkutan.
    Mengapa dikatakan transaksi tak wajar sering terjadi di bank, karena hampir semua pelaku kejahatan keuangan (termasuk koruptor) bisa dipastikan memiliki rekening di bank/PJK lainnya. Di sini pihak PJK sebenarnya sudah memiliki profil dari nasabah, termasuk profil sang koruptor.
    Pada saat awal berhubungan dengan pihak PJK, nasabah biasanya diwajibkan mengisi formulir know your customer (KYC) yang berfungsi mengetahui profil dan karakteristik transaksi dari nasabah yang bersangkutan. Di sinilah titik awal para pengelola PJK mengenal nasabahnya, termasuk profil dan kekuatan keuangannya.
    Logikanya, para PJK semestinya juga bisa mengendus dan mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan si pelaku tindak kejahatan keuangan tersebut.
    Misalnya, seorang pegawai negeri golongan III-D dengan kisaran penghasilan di bawah Rp 50 juta per tahun kok tiba-tiba melakukan transaksi keuangan di atas profil yang tersedia, maka sistem komputer secara otomatis akan mengeluarkan laporan keuangan mencurigakan pada akhir harinya. 
    Oleh PJK, transaksi ini akan dilaporkan ke pihak PPATK setiap akhir bulan. Di sinilah pentingnya laporan PPATK, yang akan menganalisis LTKM dari para PJK.
    Apabila LTKM pada satu orang ini dilakukan di banyak PJK dengan identitas yang sama, pihak PPATK biasanya akan memberikan rekomendasi bahwa transaksi keuangan dari seseorang tersebut berindikasi menyimpang dan perlu ditelusuri lebih lanjut.
    Apabila semua PJK, seperti halnya bank, asuransi, pedagang valas, pemain pasar modal, manajer investasi, multifinance, kospin, leasing, diler mobil, pengembang (developer), agen properti, sudah memberikan LTKM  ke pihak PPATK, bisa dipastikan ruang gerak para koruptor dan pencuci uang akan semakin terbatas.
    Sayangnya, belum begitu banyak para koruptor yang terjerat hukum, akibat pelaporan langsung dari para PJK, yang kemudian dianalisis PPATK. Padahal, LHA-PPATK ini bisa dijadikan entry point  bagi para aparat penegak hukum untuk segera bergerak dan “mengobok-obok” para koruptor.
    Nyanyian merdu rekening gendut PNS muda semestinya menjadi momentum bagi aparat penegak hukum untuk memprosesnya lebih lanjut. Persoalannya, juga belum banyak PJK yang mau memberikan secara rutin LTKM ke PPATK. Banyak alasan yang mendasarinya sehingga mereka belum tertib menyampaikan LTKM.
    Namun, di atas semua itu, tindak lanjut dari LHA-PPATK sebenarnya sangat ditunggu masyarakat banyak. Aneka kepentingan (politik-ekonomis) semestinya disingkirkan dan kepentingan publiklah yang diutamakan. Para aparat penegak hukum tidak perlu takut karena tekanan dari berbagai pihak.
    Tekanan yang bergitu besar dari masyarakat sebenarnya yang harus diutamakan, yakni memberdayakan LHA-PPATK semaksimal mungkin. Ini karena di sanalah muara dari berbagai transaksi ilegal dari para koruptor. Masyarakat menunggu kiprah lebih lanjut dari para aparat penegak hukum. ●
  • Bohong adalah Laknat

    Bohong adalah Laknat
    Sindhunata, WARTAWAN; PEMIMPIN REDAKSI MAJALAH BASIS, YOGYAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 24 Februari 2012
    Bohong! Kata inilah yang sekarang sedang naik daun. Memang, rakyat sedang muak dengan ”drama kebohongan”, di mana aktor dan aktrisnya adalah politikus-politikus yang nuraninya sudah bebal terhadap kebenaran.
    Lah, wong rakyat kecil dan anak-anak saja tergila-gila ingin memiliki Blackberry (BB), bagaimana mungkin orang percaya bahwa seorang pesohor dan legislator sekelas Angelina Sondakh mengaku tak memiliki Blackberry sebelum akhir 2010?
    Bagaimana kita tidak gemas ketika dalam sidang perkara korupsi wisma atlet dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin, Rabu (15/2), Angelina Sondakh sebagai saksi dengan enteng terus menyangkal semua fakta yang menunjukkan keterlibatannya.
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki bukti rekaman pembicaraan Angelina dengan Mindo Rosalina melalui BBM (perpesanan dengan BB). Ketika bukti itu disinggung, Angelina kembali menyangkal, mengaku tak mengenali pembicaraan tersebut. Saking jengkelnya, pengacara Nazaruddin, Hotman Paris Hutapea, mencemooh, ”Apa hantu yang mengirim BBM ini?”
    Angelina juga mengaku tak paham kode-kode permintaan uang kepada Mindo seperti ”apel malang”, ”apel washington”, dan ”semangka”. Padahal, menurut Mindo, kode-kode itu jelas-jelas digunakan dalam percakapan mereka.
    Seperti Angelina, Mahyudin, politikus Partai Demokrat dan Ketua Komisi X DPR, juga menyangkal keterlibatannya. Terhadap pertanyaan majelis hakim, jaksa, dan pengacara, Mahyudin—yang juga Guru Besar Universitas Sriwijaya itu—menjawab, ”Tidak tahu, lupa, atau tidak ingat.”
    Alasan lupa adalah ia pernah terserang stroke. Dalam pertemuan dengan Andi Mallarangeng, Nazaruddin, dan Angelina Sondakh, yang ia ingat adalah makanan udang. ”Katanya stroke, tetapi malah ingat udang.” ”Masa orang yang lupa dipercaya jadi pemimpin komisi DPR.” Lagi-lagi, begitu cemooh Hotman Paris Hutapea.
    Kita tentu masih harus menunggu hasil sidang lanjutan perkara Nazaruddin. Semua orang tahu, perkara ini sarat muatan politik. Tak heran jika mereka yang berkepentingan mengatur mekanisme begitu rupa agar skandal politik yang lebih besar tidak terbongkar. Rakyat yang paling sederhana pun tahu, perkilahan Angelina Sondakh dan kelupaan Mahyudin adalah bagian dari mekanisme kebohongan itu.
    Kanker Ganas
    Di mana-mana politik memang tak bisa terpisahkan dari kebohongan. Kebenaran sulit menjadi kriteria politik karena politik memang tidak berkenaan dengan kebenaran, tetapi dengan naluri mempertahankan dan memperbesar kekuasaan. Itulah yang dibahas filsuf politik Hannah Arendt dalam bukunya Wahrheit und Lüge in der Politik—Kebenaran dan Kebohongan dalam Politik (1971).
    Menurut Arendt, politik bergerak sedemikian rupa sehingga mendepak kebenaran. Politik menjadi sekadar upaya mempertahankan kekuasaan malah cenderung jadi permainan. Hakikatnya adalah ”Who get What, When, How”.
    Machiavelli lebih realistis lagi. Menurut dia, seorang penguasa boleh mengingkari janjinya apabila janji itu ternyata merugikannya dan apabila tiada lagi alasan untuk tetap berpegang teguh pada janjinya. Jika semua manusia adalah baik, usul itu keliru. Namun, berhubung manusia tidak baik dan tidak bisa memegang kata-katanya sendiri, penguasa juga tidak perlu berpegang pada kata-kata yang dijanjikan. Juga apabila belum ada alasan yang benar secara hukum, penguasa bisa saja menutupi ingkar janjinya dengan kebohongan.
    Kita boleh tidak setuju dengan pendapat Machiavelli itu. Namun, jika kita terima sebagai sinisme terhadap kekuasaan, pendapat itu akan membuat kita realistis terhadap fakta bahwa kekuasaan tak lepas dari kebohongan. Kata Machiavelli, kekuasaan terkait dengan kodrat manusia yang suka bohong.
    Memang, bohong, kebohongan, dan pembohongan telah menjadi bagian dari hidup manusia. Tak ada larangan yang begitu sering dilanggar seperti larangan jangan berbohong. Di dunia ini ada manusia yang tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berselingkuh, tetapi tak pernah ada manusia yang tak berdusta atau berbohong. Maka, kata novelis dan esais Jean Paul, bohong adalah kanker ganas di bibir hati terdalam manusia. Kata penyair Heinrich Heine, kebohongan bahkan bisa menyelip ke dalam ciuman dan kepura-puraan, membuat kepura-puraan dan penipuan menjadi nikmat dan manis.
    Oli Kebohongan
    Kebohongan bisa menyelip ke mana-mana, apalagi ke dalam politik. Itulah yang sesungguhnya kita alami sekarang ini. Politik kita memang sedang bermantelkan kebohongan. Meminjam kata-kata sutradara teater dan esais di Paris dan Berlin, Benjamin Korn, politik kita bagaikan mesin yang olinya adalah kebohongan. Dalam politik macam ini, para politikus tidak lagi berpikir tentang rakyat, tetapi hanya bagaimana meningkatkan kerakusan dan berahi kekuasaan. Caranya dengan mempraktikkan kebohongan.
    Kalaupun relasi politik kelihatan lancar, itu bukan karena para politikus menepati norma dan etika kebenaran, melainkan karena hubungan itu dilumasi terus dengan oli kebohongan. Sekali pelumasan kebohongan berhenti, mesin politik akan macet. Jika macet, mesin politik hanya merugikan. Maklum, politik kita berjalan tidak semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi juga memanfaatkan kekuasaan untuk mengumbar nafsu ketamakan akan harta dan uang.
    Maka, roda gila kebohongan bergerak semakin cepat, sampai kita tidak kuasa lagi mengeremnya. Kita diseret untuk hidup dalam sistem kebohongan. Kita pun tertipu dan terjerat total oleh kebohongan itu sampai kita seakan tak dapat lagi keluar. Kita jengkel, tetapi tak tahu mana jalan keluar. Lama-lama kita juga terninabobokkan oleh kebohongan itu. Itulah mungkin maksud Henrich Heine ketika ia bilang, ”Penipuan itu manis, tetapi ketertipuan lebih manis lagi rasanya.”
    Itukah yang terjadi ketika kita menyaksikan sidang yang menghadirkan saksi Angelina Sondakh? Kita jengkel mendengar kilahnya, tetapi seperti masokis yang suka disakiti, kita menikmatinya juga. Rasanya seperti ketika kita jengkel dan muak dengan segala superfisialitas kontes putri ayu Indonesia, tetapi toh kita menikmati peragaan kecantikan dan kemolekannya.
    Ibu Segala Dosa
    Kebohongan memang sulit diberantas. Filsuf Imannuel Kant mengibaratkan kebohongan bagaikan kayu bengkok, tidak mungkin ditukangi untuk diluruskan.
    Kalau demikian, mestikah kita membiarkan saja kebohongan? Sama sekali tidak. Sebab, kata Kant, pembohong dan kebohongannya telah melukai, menistakan, dan meniadakan martabat manusia. Lebih lanjut, ujar Kant, juga jika terjadi dengan maksud baik, kebohongan akan mengakibatkan ketidakpercayaan dalam masyarakat. Dengan jatuhnya ketidakpercayaan, roboh pula sendi-sendi hukum. Kemanusiaan akan menderita karenanya. Bohong itu merugikan, tidak hanya karena merugikan orang lain, tetapi juga karena ia mengeringkan sumber-sumber hukum.
    Tak usah kita berguru kepada pemikir Barat untuk mengutuk kebohongan. Guru bangsa kita, Prof Dr Hamka, sudah mengulas habis kebohongan dalam bukunya, Bohong di Dunia (cetakan III, 1971). Hamka mengulas apa itu kebohongan; bagaimana sikap agama-agama Nasrani, Yahudi, dan Islam terhadap kebohongan; bohong dalam ilmu jiwa; dan pendapat para filsuf, Aristoteles, Rosseau, dan Stanley Hall, tentang kebohongan.
    Dalam pengantar buku tersebut—ditulis di Bukittinggi tahun 1949—Hamka mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, ”Dusta adalah ibu daripada segala dosa.” Hamka prihatin, betapa pada waktu itu kebohongan sudah bersimaharajalela dan betapa karena kebohongan, bangsa ini tetap melarat dan tidak bisa maju.
    Menurut Hamka, pada fitrahnya, manusia sesungguhnya adalah benar dan jujur. Suara hati yang asli adalah jujur dan tidak mau berbohong. Keadaan lain yang datang tiba-tiba memaksa manusia menempuh jalan bohong. Lalu, diberikannya gambaran tentang kebenaran. Gambaran Hamka tentang pentingnya kebenaran dan seruannya untuk melawan kebohongan ini harus tetap berkumandang:
    ”Cobalah menoleh ke mana saja pun tuan mau, tuan akan melihat bahwasanya kebenaranlah yang jadi sendi segala macam bidang kehidupan. Saudagar yang pembohong hanya berlaba sebentar, ekonom yang sejati harus bergantung pada kejujuran, amanat, keteguhan janji, dan keberesan buku perniagaan yang dijalankan dengan segala macam kicuh tidak memberikan ketenteraman bagi jiwa dan tidak kemakmuran. Saudagar penipu hanya berlaba amat sedikit dan rugi lebih banyak karena dia memandang keuntungan yang sekejap bukan laba yang berlama. Tukang yang pemungkir janji dan tidak meladeni kehendak langganan lekas ditinggalkan orang. Majikan yang pembohong diboikot anak semangnya. Guru yang pembohong ditinggalkan muridnya.”
    Dan, betapa kata-kata Hamka tentang kebohongan dalam dunia hukum ini seperti memantulkan kembali karut-marut hukum kita dewasa ini: ”Hakim yang pembohong mengacaukan jalan perkara dan menghilangkan rasa keamanan rakyat. Si tertuduh yang berdusta mempersulit jalan perkara. Kesaksian dusta pun lebih mengacaukan lagi: keadilan tersembunyi, orang yang benar teraniaya, dan orang yang bersalah terlepas dari hukuman. Bangsa yang pembohong membawa merosot seluruh kebangsaannya dan kemuliaan negaranya.”
    Hamka mengatakan bahwa bohong itu dinamai juga khianat. Dan, untuk itu ia mengutip sabda Nabi Muhammad SAW: ”Amatlah besarnya khianatmu jika engkau cakapkan kepada saudaramu suatu perkara, yang dia menyangka perkataanmu benar. Padahal, engkau sendiri merasa bahwa engkau berdusta.”
    Sekali lagi, betapa relevannya kata-kata ini bagi dunia persidangan korupsi kita akhir-akhir ini: khianat adalah laknat.
    Jembatan Kejujuran
    Bohong adalah kanker di hati manusia. Dan, bohong itu bermuara di bibirnya. Karena itu, kebijakan Jawa mengajar: Ajining dhiri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana (harga diri manusia ada dalam bibirnya, nilai raga ada dalam busananya). Orang boleh berdandan secantik Putri Indonesia, tetapi apabila ia tidak bisa menjaga bibirnya—artinya suka berbohong—ia tidak berharga sama sekali. Keelokan hanya pada busana dan raganya dan keelokan macam ini hanyalah luaran belaka sejauh tidak dibarengi keelokan bibirnya: bukan karena olesan lipstik mahal, melainkan karena menjadi muara kejujuran hatinya.
    Memang kita harus hati-hati dengan bibir kita. Dalam Serat Kancil, pujangga Raden Panji Natarata menulis tentang uwot (jembatan) siratalmustakim. Dalam khazanah Jawa, jembatan itu juga disebut uwot ogal-agil. Jembatan itu selalu goyang karena lebarnya hanya sehelai rambut dibelah seribu. Siapa gagal melewati jembatan, ia akan tercemplung ke dalam neraka jahanam. Dalam pengadilan di hari akhir, setiap orang harus melewatinya. Mana mungkin? Mungkin saja jika berhati tulus dan jujur.
    Menurut Raden Panji Natarata, ujian lewat jembatan itu tidak harus datang pada akhir zaman. Katanya, uwot siratalmustakim aneng tutukmu samana kang sanyata (jembatan siratalmustakim itu nyata-nyata ada di bibirmu sekarang). Dengan kata lain, siapa bicara benar, sekarang juga ia lulus. Sebaliknya, siapa bicara bohong, berarti ia gagal meniti jembatan penguji kebaikan dan kejahatan manusia itu. Tidak usah menunggu pengadilan terakhir, sekarang juga ia terpelanting ke dalam neraka kenistaan.
    Sekarang bangsa ini sedang meniti uwot siratalmustakim. Jika para pemimpin bangsa yang menuntun kita tak lagi berhati jujur dan mulutnya terus membualkan kata-kata dusta, mereka tidak hanya menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kenistaan, tetapi juga mencemplungkan kita ke dalam kenistaan. Harga diri bangsa akan terhina dan kita hidup dalam neraka saling ketidakpercayaan.
    Dengan hati berdebar-debar kita mengikuti jalannya sidang. Inilah saat kritis, di mana kita dijemput untuk meniti uwot siratalmustakim. Semoga para politikus, jaksa, hakim, pengacara, dan pemuka bangsa yang terlibat sudi anyirnakake ati goroh minangka laku tapane, menyingkirkan hati yang bohong sebagai tindak asketisnya. ●
  • Jeritan Pendidikan Nasional

    Jeritan Pendidikan Nasional
    Puti Guntur Soekarno, ANGGOTA KOMISI X DPR
    Sumber : KOMPAS, 24 Februari 2012
    Miris menyaksikan anak-anak SD Sang Hiang, Lebak, Banten, untuk bisa bersekolah. Mereka harus meniti jembatan rusak di atas arus deras Sungai Ciberang, pergi-pulang.
    Kantor berita Reuters dan media Daily Mail mengibaratkan perjuangan anak-anak bangsa Indonesia itu bak Indiana Jones dalam film Indiana Jones and the Temple of Doom.
    Apa sebenarnya yang terjadi pada sektor pendidikan nasional kita saat ini hingga setelah 66 tahun merdeka belum juga mampu memenuhi kebutuhan pendidikan rakyatnya? Tak ada jalan lain, bangsa ini harus segera menata ulang sistem pendidikan nasionalnya untuk menuntaskan persoalan ini.
    Potensi dan Ironi
    Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia yang tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan jumlah penduduk 242 juta jiwa, tahun ini, potensi SDM Indonesia sangatlah luar biasa, terutama jika terkelola dengan baik. Ironisnya, justru hari ini peringkat kualitas pembangunan manusia Indonesia masih rendah dibandingkan dengan banyak negara lain.
    Berdasarkan Laporan Pembangunan Manusia 2011 dari Program Pembangunan PBB (UNDP), indeks pembangunan manusia Indonesia adalah 0,617. Indonesia berada pada peringkat ke-124 dari 187 negara. Peringkatnya turun dibandingkan dengan tahun 2004, peringkat ke-111 dari 172 negara.
    Angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi pun jika dikombinasikan masih setara 65 persen. Salah satu cara yang bisa ditempuh pemerintah adalah lebih jujur melaporkan capaian pembangunan di sektor pendidikan dengan menyelesaikan Data Pokok Kependidikan (Dapodik) secara nasional, di mana sejak tahun 2004 hingga saat ini belum rampung.
    Kita sadar bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang penuh dengan kesabaran dan tidak banyak menuntut. Namun, hendaklah dengan kondisi yang demikian tidak menjadikan para pemimpinnya adem-ayem. Para pemimpin bertanggung jawab lebih untuk bekerja membangkitkan gairah rakyat menjadi satu bangsa yang maju. Pemimpinlah yang harus menggembleng jiwanya untuk membangkitkan semangat rakyat yang redup oleh impitan kesusahan hidup.
    Di antara banyaknya persoalan bangsa, tentu tidak semua dapat diselesaikan dalam sekejap mata. Namun, jika pemimpin bersikap tegas dalam menentukan skala prioritas pembangunan atau ambeg paramaarta, rakyat pun akan tenteram.
    Pendidikan Prioritas
    Pendidikan layak menjadi skala prioritas pembangunan di Indonesia. Saat ini, dari sisi anggaran, pemerintah masih belum mengutamakan anggaran pendidikan jika dibandingkan dengan negara lain. Anggaran 20 persen dari APBN yang ada masih dibagi untuk gaji guru, dosen, dan 18 kementerian/lembaga yang menjalankan fungsi pendidikan.
    Mari kita tengok negara lain dalam perkara alokasi anggaran pendidikan ini. Amerika Serikat 68 persen, Belanda 30 persen, Israel 37 persen, Thailand 36 persen, dan tetangga terdekat kita, Malaysia, 26 persen. Bahkan, gaji doktor di Malaysia mencapai Rp 25 juta per bulan dan profesor mencapai Rp 50 juta per bulan, dengan biaya penelitian yang terjamin pula. Tidaklah mengherankan jika di sana kemajuan dunia pendidikan menyumbang pengetahuan dan teknologi yang berarti dalam pembangunan bangsa.
    Membangun Bangsa
    Misi pendidikan nasional Indonesia adalah untuk membangun bangsa: membangun watak dan jati diri kebangsaan Indonesia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pendidikan menjadi prioritas agar masyarakat juga mendapatkan kecerdasan dan ikut mengenyam kesejahteraan secara adil sebagai buah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
    Butuh kerja sama seluruh bangsa Indonesia, baik untuk mengawasi maupun untuk mendorong upaya memprioritaskan pendidikan sebagai investasi negara yang lebih langgeng. Tentu bukan tanpa maksud dan tujuan apabila para pendiri negara menghendaki bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cerdas. Sebab, kecerdasanlah yang menjadi bekal bangsa Indonesia untuk membangun negara.
    Para cendekiawan terpelajar dan pendiri bangsa telah jelas mengamanatkan dalam Pasal 31 dan Pasal 32 UUD 1945 (sebelum amandemen) bahwa pemerintah menyelenggarakan dan mengusahakan satu sistem pengajaran nasional dan memajukan kebudayaan nasional. Dengan diusahakannya satu sistem pendidikan nasional yang menyeluruh, adil, sesuai amanat konstitusi, diharapkan ”jeritan” pendidikan nasional dapat segera diakhiri.
    Sistem pendidikan nasional yang ada saat ini pun perlu segera direvisi. Selain untuk menjawab persoalan pendidikan nasional kita yang masih berjalan timpang, juga guna menjadikan pendidikan sebagai upaya riil pembangunan bangsa dan kebangsaan Indonesia sesuai tujuan dan cita-cita negara ini didirikan. ●
  • Uji Kompetensi Guru

    Uji Kompetensi Guru
    Mohammad Abduhzen, DIREKTUR EKSEKUTIF INSTITUTE FOR EDUCATION REFORM UNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 24 Februari 2012
    Meskipun ditolak sebagian besar guru, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetap akan menyelenggarakan uji kompetensi awal sebagai persyaratan bagi guru agar dapat mengikuti proses sertifikasi.
    Sekitar 300.000 guru di seluruh Tanah Air, Sabtu 25 Februari 2012 ini, akan diuji kompetensi untuk memenuhi 250.000 kuota sertifikasi tahun 2012. Sebelumnya, 1.102.021 guru telah disertifikasi melalui penilaian portofolio tanpa ujian kompetensi, dan sebagian besar telah menerima tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.
    Istilah uji kompetensi (apalagi menggunakan ”awal”) tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD). Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 yang mendasari penyelenggaraan sertifikasi portofolio, uji kompetensi memang disebutkan sebagai cara memperoleh sertifikat pendidik bagi guru dalam jabatan (Pasal 12 Ayat 1). Akan tetapi, maksud uji kompetensi dalam PP ini tidak lebih dari penilaian portofolio (Pasal 12 Ayat 3). Di sinilah titik awal kekeliruan dan kekisruhan sertifikasi guru.
    Sertifikasi pendidik merupakan upaya serius dengan fungsi utama memperbaiki kinerja guru. Guru yang berkualitas diharapkan akan menjadi agen perubahan dalam peningkatan mutu dan pembaruan pendidikan nasional (UUGD Pasal 4). Oleh sebab itu, setiap langkah sertifikasi senantiasa dikaitkan dengan kualifikasi, kompetensi, dan pendidikan profesi. Institusi yang dapat menyelenggarakan sertifikasi pun hanya perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan: terakreditasi; dan ditetapkan oleh pemerintah.
    Dengan demikian, proses sertifikasi yang sesuai dengan perundang-undangan dan spirit profesionalisme, baik bagi calon guru maupun bagi guru dalam jabatan, adalah jalur pendidikan dan atau latihan.
    PP No 74/2008, khususnya Pasal 4 Ayat (1) sudah tepat ketika menetapkan bahwa sertifikat pendidik bagi guru diperoleh hanya melalui program pendidikan profesi. Sayangnya, karena sikap pragmatis pemerintah dan para guru (yang sering berdemonstrasi) ketika itu, ketentuan tersebut direduksi menjadi sekadar uji kompetensi dengan penilaian portofolio seperti tercantum dalam Pasal 12 Ayat (1) dan (3) di atas.
    Sertifikasi portofolio
    Sertifikasi portofolio yang berlangsung sejak 2007 tersebut hanya menilai berkas-berkas dokumen yang dianggap mendeskripsikan kompetensi guru. Kebijakan ini oleh berbagai kalangan dianggap keliru dan tidak berdampak positif terhadap peningkatan kinerja dan kompetensi guru. Fakta empiris, berupa temuan dari tim monitoring dan evaluasi independen dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang sertifikasi portofolio selama hampir lima tahun, mendukung anggapan tentang kekeliruan tersebut.
    Sertifikasi portofolio telah menyimpangkan tujuan utama dari perbaikan mutu menjadi peningkatan kesejahteraan. Kesejahteraan guru memang penting, tetapi mengasumsikan bahwa dengan peningkatan mutu akan terjadi peningkatan kesejahteraan menurut logika kausalitas sangat lemah. Pada sisi lain, kegiatan ini dan implikasinya berupa tunjangan profesi telah menghabiskan biaya triliunan rupiah (tahun 2011 saja sekitar Rp 15 triliun).
    Kenyataan ini kemudian mendorong Mendikbud membuat kebijakan baru untuk peningkatan kompetensi dan profesionalisme dalam proses sertifikasi guru. Kebijakan itu berupa penggantian prosedur sertifikasi portofolio dengan pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) yang didahului oleh seleksi melalui uji kompetensi awal. Jadi, uji kompetensi awal pada hakikatnya adalah koreksi atas kekeliruan sertifikasi model portofolio.
    Iktikad baik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembalikan sertifikasi kepada filosofi perbaikan mutu seperti tuntutan undang-undang patut dihargai. Namun, sebagai sesuatu yang menyangkut hajat orang banyak, kebijakan tersebut sepatutnya disertai oleh rasionalitas, legalitas, dan akseptabilitas yang baik pula.
    Penyelenggaraan uji kompetensi awal yang dikaitkan dengan seleksi sertifikasi bukanlah ide yang baik karena keterkaitannya dengan peningkatan mutu kurang begitu jelas. Jika kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya pemetaan kompetensi dan mutu guru—sebagaimana sering dikemukakan oleh Mendikbud dan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kemdikbud—selain diskriminatif dan kontraproduktif, juga secara metodologis tidaklah tepat.
    Sekarang ada sekitar 2,4 juta guru yang telah lama menanti untuk disertifikasi hingga akhir 2015. Mereka merasakan kecemasan dan ketidakadilan dengan diwajibkan mengikuti uji kompetensi awal dan PLPG. Sementara lebih dari 1 juta teman mereka telah disertifikasi dan menikmati tunjangan profesi tanpa direpotkan oleh ujian dan pelatihan (kecuali yang tidak lulus portofolio). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebaiknya belajar dari berbagai kasus pada ujian nasional (UN). Kebijakan yang dipaksakan pada situasi yang tidak siap hanya akan menghasilkan formalitas yang berdampak buruk.
    Butuh strategi baru
    Pemetaan kompetensi dan mutu guru memang sangat penting. Peta tersebut seharusnya sudah dimiliki oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebelum gebyar kebijakan profesionalisme ini dilakukan.
    Selain itu, upaya pemetaan mutu selayaknya merepresentasikan kondisi riil kualitas guru pada suatu masa secara menyeluruh. Metode uji kompetensi awal tidak memadai untuk pemetaan serupa itu. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya memilih cara lain yang secara metodologis lebih bisa dipertanggungjawabkan dan hasilnya lebih berdaya guna, tidak sekadar persyaratan dan dikaitkan dengan keikutsertaan pada PLPG.
    Kebijakan sertifikasi guru selama ini telah telanjur berjalan dengan paradigma kesejahteraan, dan para guru pun terjebak dalam euforia tunjangan profesi. Kita tak lagi dapat mengharapkan peningkatan mutu guru dan perbaikan kualitas pendidikan nasional melalui upaya sertifikasi yang ada. Upaya apa pun untuk memperbaikinya akan selalu menimbulkan resistansi kecuali kebijakan yang mempermudah proses tersebut.
    Maka, sikap bijak dari pemerintah, meskipun pahit, adalah menuntaskan sertifikasi segera tanpa uji kompetensi awal. Sementara untuk meningkatkan mutu dibutuhkan strategi baru dalam platform reformasi yang utuh dan menyeluruh. ●
  • Menegur Sinetron Kita

    Menegur Sinetron Kita
    Iva Wulandari, ANALIS PUSAKA (PUSAT KAJIAN DAN ADVOKASI) PENDIDIKAN, JOGJAKARTA DAN PEGIAT PENDIDIKAN KARAKTER
    Sumber : JAWA POS, 24 Februari 2012
    DUNIApenyiaran Indonesia terus berapor merah. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerima ribuan pengaduan tayangan televisi selama periode Januari hingga September 2011. Anggota KPI Muhammad Riyanto memerinci, total pengaduan masyarakat mengenai isi siaran 2.540 kasus, perizinan 112 kasus, dan kelembagaan 22 kasus.

    Seperti dilansir dari www.kpi.go.id, program televisi yang paling banyak mendapat pengaduan masyarakat dan telah ditegur KPI adalah sinetron P y D, sebanyak 156 laporan. Riyanto mengungkapkan bahwa masyarakat melaporkan sinetron ini karena menampilkan kekerasan fisik dan tidak mendidik.

    Ezki Suyanto, wakil ketua KPI Pusat menambahkan, RCTI paling banyak mendapat protes terkait dengan hal tersebut. Stasiun televisi itu memang paling banyak menayangkan program sinetron. Sedangkan TV lain adalah Trans TV300 aduan, SCTV (279), Trans 7 (233), Anteve (225), Indosiar(205), MNC TV (181), Global TV (125), TV One (98), Metro Tv (97), TVRI (14), dan O Channel (10).

    Seperti diketahui, ada beberapa kategori tayangan berbasis umur di dunia sensor dan pertelevisian di Indonesia. A (anak), R (remaja), D (dewasa), dan BO (bimbingan orang tua). Kita patut mempertanyakan akurasi lembaga sensor dan penyiaran dalam mengategorikan tayangan. Hampir seluruh sinetron yang tayang saat ini dikategorikan tayangan R/BO. Ini berarti tayangan tersebut dikhususkan bagi penonton kategori remaja dan label BO (bimbingan orang tua).

    Ambil saja contoh sinetron Anugerah yang menjadi salah satu program top rating di RCTI. Sinetron ini dikategorikan tayangan berlabel R-BO. Sementara, cerita Anugerah didominasi konflik orang dewasa, konflik rumah tangga, dan perebutan anak. Karakter Nugi (Anugerah) dan Adek yang dimainkan anak-anak prasekolah pun menihilkan sinetron ini layak ditonton anak. Meskipun ada karakter anak-anak di sana, dialog yang disajikan membuat karakter anak ini dipaksakan berpikir dan berdialog secara dewasa. Muatan pendidikan bagi remaja nyaris tidak ada. Pengategorian sinetron ini sebagai R/BO tentu sangat tidak pas. Hal ini sangat berimbas terhadap psikologi penikmat sasarannya, remaja dengan bimbingan orang tua.

    Kita juga perlu menyorot karakter yang dibangun dalam cerita-cerita sinetron di Indonesia. Sebagai orang awam, kita tentu dapat mengategorisasikan pemain, protagonis, antagonis, dan netral. Si jahat, si baik, dan si netral. Sangat menarik mengkaji soal ini. Manusia merupakan makhluk yang dinamis. Seseorang yang mempunyai sisi baik, tidak selamanya baik. Begitu pula sebaliknya.

    Pada kebanyakan sinetron di Indonesia, perkembangan/perubahan karakter mungkin terjadi dari karakter si jahat yang berubah menjadi baik. Jarang sekali ditemukan karakter utama yang notabene baik, diceritakan bak berkarakter malaikat, dimunculkan dengan sisi-sisi manusiawi yang kadangkala memiliki sisi buruk.

    Character development dalam suatu sinetron yang menjadi salah satu bentuk komunikasi kontemporer menjadi poin penting dalam sebuah cerita. Sinetron Indonesia sangat miskin dengan ini. Karakter yang nyaris tidak berubah sepanjang cerita tidak akan banyak memberikan pelajaran hidup bagi penontonnya. Hal ini sangat bertentangan dengan peran sinetron sebagai cermin/potret diri manusia yang dinamis, realitas sosial masyarakat, dan peradaban manusia yang dinamis pula. Tontonan berkembang menjadi “kemustahilan” dan utopia bagi kehidupan nyata sang penonton.

    Semakin memprihatinkan, jam tayang sinetron-sinetron tersebut, yakni pukul 18.00-21.00, membuat tayangan ini mudah diakses anak-anak. Komisioner KPI Pusat Azimah Subagijo, saat berdiskusi di Semarang (22/11/2011) menyatakan, televisi menjadi tontonan yang menyita waktu belajar anak-anak. Sebanyak 1,4 juta anak menonton televisi pada pukul 18.00-21.00 WIB yang merupakan waktu belajar anak sekolah. Ironisnya, program yang banyak ditonton anak adalah sinetron dengan rata-rata 50 menit/hari. Jumlah ini lebih banyak daripada tayangan anak yang hanya ditonton 20 menit/hari.

    Sarah Gamble dalam The Routledge Companion to Feminism and Postfeminismmenyebut budaya mediasi kontemporer tidak lebih dari sekadar daur ulang konstan atas citra-citra yang semula diangkat media. Sinetron, sebagai bagian dari produk budaya populer, seperti dikatakan Gamble, akan mendominasi pengertian penontonnya tentang realitas dan cara penonton mendefinisikan diri mereka sendiri dan dunia sekitar. Sangat memiriskan bila tindak kriminalitas seperti pemerkosaan, pembunuhan, dan “tren” hamil di luar nikah menjadi hal yang berkembang dari tidak biasa dan amoral, menjadi hal yang biasa dan lumrah bagi masyarakat.

    Dalam hal ini sinetron mengambil peran penting membentuk konstruk realitas masyarakat. Mencelakakan dan membunuh orang menjadi konflik dominan, terkesan mudah dan biasa untuk dilakukan. Kasus penusukan siswa SD, AMN, 13, kepada temannya yang ditanggapi pelaku dengan tanpa bersalah dan menyatakan lebih baik dia yang membunuh daripada dia yang terbunuh. Bahasanya sinetron banget. Anak mempunyai kecenderungan besar untuk meniru perilaku sosial di sekitarnya, termasuk dari tontonannya.

    Sementara tidak semua orang tua benar-benar mendampingi anak-anak mereka. Orang tua cenderung larut dalam tayangan sinetron dan membiarkan anak-anaknya turut larut ke dalam cerita dan menyerap apa yang dilihatnya tanpa filter dari orang tua. Padahal, anak-anak membutuhkan arahan orang tua soal kekerasan.

    Jelas sudah, sinetron Indonesia harus bersih-bersih dan berbenah. Sinetron mestinya bisa membangun karakter bangsa, tak sekadar mesin pencetak keuntungan, tapi menghancurkan moralitas. Sementara, KPI teruslah menindak stasiun televisi yang nakal. Jagalah frekuensi milik publik dari pencemaran budaya. 

  • Mendidik Melalui Berita Kecelakaan

    Mendidik Melalui Berita Kecelakaan
    Husnun N Djuraid, JURNALIS MALANG POST, PENGAJAR JURUSAN KOMUNIKASI FISIP UNIVERSITAS BRAWIJAYA
    Sumber : JAWA POS, 24 Februari 2012
    SURVEISerikat Penerbit Surat Kabar (SPS) 2010 menempatkan berita bencana alam dan kecelakaan lalu lintas sebagai berita yang paling favorit pembaca. Meskipun frekuensi pemuatannya tidak terlalu banyak, berita bencana alam dan kecelakaan itu mengalahkan berita politik dan korupsi yang lebih sering diberitakan. Bisa jadi, berita yang terlalu sering dimuat justru membuat pembaca bosan dan muak, apalagi berita-berita politik dan korupsi.

    Tragedi jalan di jalan raya selalu menimbulkan penderitaan bagi para korbannya dan eksploitasi emosi pembacanya. Cerita-cerita kemanusiaan di balik kecelakaan yang tragis sangat menarik minat pembaca. Berita bencana alam dan kecelakaan menunjukkan tren meningkat dalam beberapa waktu terakhir ini. Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan umum bus terjadi secara beruntun di beberapa daerah dengan korban banyak.

    Kebanyakan kecelakaan itu terjadi karena human error, kesalahan awak angkutan. Sebuah fakta menunjukkan, sebelum mengalami kecelakaan, sopir bus bergurau dengan kernetnya. Ulah sopir dan kernet membuat para penumpang gusar. Mereka pun memperingatkan sopir, tetapi peringatan itu diabaikan. Mereka terus saja bergurau sampai akhirnya terjadi kecelakaan yang mengerikan yang turut mengorbankan si pemberi peringatan tadi.

    Berita-berita tentang kecelakaan, baik straight news maupun behind the news, selalu menarik minta pembaca. Di balik peristiwa itu ada unsur human interest yang mampu mengaduk-aduk emosi pembaca. Tragedi kecelakaan melahirkan banyak penderitaan manusia. Penderitaan si korban langsung yang tewas atau luka, derita janda yang ditinggalkan, dan “lahirnya” anak yatim baru. Korban cacat juga bisa kehilangan pekerjaan. Atau juga dari sisi pihak yang “salah” digambarkan betapa ugal-ugalan, tidak peduli, mengantuk, narkoba, atau miras mengakibatkan pikiran pengemudi oleng dan mencelakakan orang baik-baik. Ini semua bisa memberikan pelajaran (edukasi) agar orang lain berpikir panjang sebelum ngawur di jalanan.

    Sebuah berita ditampilkan memang bukan semata-mata pertimbangan ekonomis meskipun kecenderungan itu semakin kuat. Tetapi, bisa jadi, ada pertimbangan jurnalisme yang lebih luhur. Mengutip Kovach dan Rosentiel, awak pers -mulai dari redaksi hinga dewan direksi- harus punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan mendorong yang lain melakukan hal yang serupa.

    Agar tidak keluar rel idealisme, pertimbangan-pertimbangan etis kerap digunakan dalam pemuatan berita kecelakaan. Terutama dalam penampilan foto korban kecelakaan. Berita kecelakaan juga punya misi untuk mengedukasi pembaca agar mereka menaati aturan lalu lintas.

    Dampak kecelakaan yang sangat mengerikan berupa kerugian materi dan nyawa bisa menjadi shock therapy, bahwa kecerobohan, ugal-ugalan, dan tidak taat aturan sangat mencelakakan. Pesan ini efektif disampaikan ketika masyarakat menaruh perhatian pada berita kecelakaan sejalan dengan peningkatan jumlah kecelakaan.

    Meski ingin membawa pesan yang tajam kepada khalayak media, sebagian besar koran mempunyai kebijakan tidak memuat foto korban kecelakaan. Baik yang luka-luka maupun meninggal dunia berdarah-darah. Tetapi, beberapa koran spesialis kriminal kadang menampilkannya agak menonjol.

    Bagaimanapun menampilkannya, misi menyiarkan berita itu harus dilandasi sikap jujur dan profesional dengan pertimbangan bahwa sebuah berita dibuat untuk kepentingan publik. Tidak layak mengejar sensasi dengan mengabaikan etika.

    Stasiun TV NBC pernah membuat sebuah berita rekayasa untuk menggambarkan bagaimana truk tangki bahan bakar buatan General Motor mudah terbakar. Untuk mendapatkan gambar yang dramatis -seolah-olah kamerawan berada di TKP pada saat truk meledak- dibuatlah tabrakan akal-akalan. Lengkap dengan ledakan dan kobaran api. Kasus rekayasa berita ini terbongkar dan berbuntut pada pengunduran diri kepala divisi berita dan mengakibatkan reputasi stasiun TV itu jatuh.

    Rekayasa dan kecurangan untuk jangka pendek bisa saja menjadi sesuatu yang menggiurkan, tetapi dalam jangka panjang bisa menghancurkan kepercayaan. Misal, emosi pembaca akan teraduk-aduk saat melihat gambar seorang korban banjir berjalan dalam genangan setinggi lehernya sambil mengangkut barang-barangnya di atas kepala. Pembaca tidak tahu bahwa sebenarnya banjir hanya sebatas pusar. Fotografer minta dia jongkok agar bisa mendapatkan gambar dramatis seolah-olah banjirnya sudah hampir menenggelamkannya. Apabila rekayasa ini ketahuan, tentu publik akan “menghukum” media itu dengan cara tidak membeli atau memberi stigma pembohong.

    Pers punya misi untuk mengedukasi masyarakat agar berperan dalam menekan jumlah kecelakaan lalu lintas yang menunjukkan tren meningkat. Sama dengan “pendidik” yang lain, kejujuran menjadi hal yang sangat penting kalau ingin pendidikannya bisa berhasil dengan baik.