Category: Uncategorized

  • Bukan Sekadar Menumpas Premanisme

    Bukan Sekadar Menumpas Premanisme
    Laode Ida, SOSIOLOG, WAKIL KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) RI
    Sumber : SINDO, 28 Februari 2012
    Belum juga dijalankan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar jajaran Polri menumpas premanisme terorganisasi di Indonesia (Selasa, 22/2),pertempuran antarpreman dengan korban jiwa kembali terjadi (23/2/2012).

    Lokasi peristiwa kekerasannya justru di RS Angkatan Darat Gatot Subroto Jakarta, sekaligus mengisyaratkan ketidakseganan mereka terhadap aparat keamanan.Pernyataan SBY sebenarnya terkait kasus terbunuhnya, Tan Harry Tantono, pemilik pabrik besi Power Steel, oleh kelompok preman yang diduga berada dalam koordinasi John Kei.

    Presiden SBY dan atau aparat penegak hukum (kepolisian) tak cukup dengan memberikan ancaman, apalagi kalau serta-merta “menghabisi”para preman dengan cara-cara kekerasan sebagai wujud operasional aparat keamanan atas perintahnya untuk ‘menumpas premanisme’. Sebaliknya, sang Presiden juga harus melakukan koreksi secara mendasar mengapa (kelompok) preman hadir dan eksis di negeri ini (baik di kota-kota besar maupun di daerah-daerah)?

    Dan,secara lebih khusus lagi, mengapa John Kei dan kelompoknya membangun kekuatan dan atau bertahan di Jakarta? Keberadaan preman,mulai dari orang per orang sampai pada kelompok yang terorganisasi sebenarnya bagian dari kebutuhan banyak pihak di negeri ini,utamanya di era reformasi. Politisi (mulai dari tingkat nasional hingga di daerahdaerah) membutuhkan dan selalu memanfaatkan para preman untuk merebut dan mempertahankan jabatan-jabatan politik.

    Para pebisnis juga umumnya memiliki kelompok-kelompok pemuda yang pasang badan baik terhadap diri dan keluarga pebisnis maupun dalam rangka melindungi aktivitas bisnis mereka setiap hari. Tepatnya, para preman (baik secara berkelompok maupun pribadi-pribadi) menjadi bagian dari “pasukan” para pebisnis baik organik dalam struktur perusahaan maupun saat-saat dibutuhkan saja.

    Back Up

    Tidak bisa dipungkiri, kelompok- kelompok preman terorganisasi sebenarnya memiliki back up informal dari kalangan pejabat penegak hukum (utamanya dari kalangan Polri dan tentara) di negeri ini. Tidak heran jika mereka bisa bergerak secara leluasa dalam menjalankan misinya atau menggarap peluang- peluang yang bisa jadi sumber pendapatan bagi kelompok dan tentu saja para anggotanya.

    Pada tingkat tertentu, para oknum aparat pem-back up-lah yang menjadi bagian dari penyalur untuk pemanfaatan jasa preman kepada pihak-pihak yang membutuhkan, utamanya kepada para pebisnis dan pejabat politik. Posisi hubungan informal dengan oknum (pejabat) penegak hukum seperti itulah yang menjadikan kekuatan personal mereka semakin bertambah. Ada rasa nyaman di dalamnya, kecuali menjadi lapangan kerja utama untuk menghidupi diri dan keluarga.

    Semakin besar jumlah keanggotaan suatu kelompok preman, seperti yang dikomandoi oleh John Kei, sudah pasti berkorelasi positif pula dengan tingkat pengaruhnya di masyarakat, kelompok preman lain, dan aparat keamanan––dengan kesan “menyeramkan”. Namun, lantaran faktor itu jugalah, dalam menangani suatu permasalahan di mana preman dimintai jasanya untuk terlibat kerap bersikap brutal yang berdampak buruk pada orang lain,termasuk pada dirinya.

     Mereka beranggapan bahwa sanksi hukum bukan saja bisa diatur, melainkan juga bisa dicegah berkat peran “sang bos” yang berada dalam lembaga penegak hukum. Dengan kata lain, kelak kalau tindakan brutal dan atau kekerasan mereka diproses secara hukum oleh aparat keamanan, toh yang akan menangani adalah teman-teman atau boleh jadi anak buah oknum pelindung informalnya itu.

    Apa yang mau dikatakan di sini, sebelum menumpas kelompok- kelompok preman seharusnya Presiden SBY terlebih dahulu menemukan para oknum pejabat penegak hukum yang menjadi back up informalnya (langsung atau tidak langsung),yang mungkin saja di antaranya sejumlah perwira polisi dan militer yang pernah dikabarkan memiliki rekening gendut.

    Setidaknya mereka memiliki data lengkap tentang kelompok-kelompok preman yang eksis di kota-kota besar di Indonesia. Harapannya, tentu saja,bukan langsung menghabisi mereka, melainkan mencarikan jalan keluar agar tidak terus bergerak di sektor jasa informal yang meresahkan masyarakat.

    Pembenahan

    Lebih dari itu,mustahil untuk menghilangkan atau meniadakan keberadaan dan peranan preman jika tidak melakukan pembenahan dalam penegakan hukum di negeri ini. Kehadiran preman memiliki sisi positif bagi rakyat yang tidak berdaya dalam menghadapi permainan sebagian oknum pejabat, pebisnis, dan penegak hukum sendiri di mana satu sama lain saling berkolaborasi konspiratif.

    Di sini kelompok preman merupakan kekuatan penekan dan sekaligus pemaksa secara fisik agar keadilan dan hukum ditegakkan oleh pihak yang berwajib. Dalam kasus John Kei, di mana kita tahu berasal dan sekaligus mengoordinasikan umumnya para pemuda dari kawasan timur Indonesia sebagai anggota gengnya, sebenarnya harus menjadi bagian dari koreksi mendasar atas kebijakan pembangunan di negeri ini yang mengabaikan dimensi pemerataan, dan atau terus membiarkan kesenjangan antardaerah.

    Saudarasaudara kita itu pastilah ingin juga hidup tenang dan bersenang- senang dengan pekerjaan yang aman dan nyaman. Mereka juga bukanlah manusia serigala yang haus untuk memangsa atau membunuh sesama manusia. Sebaliknya, para pemuda itu datang di Jakarta ini pada dasarnya hanya mengadu nasib dengan berbagai impian yang indah-indah.

    Mereka adalah “semut” dan di Jakarta ini adalah tumpukan gula. Seandainya tumpukan gula itu juga ada di kampung halaman atau daerah, mereka niscaya tak akan datang dan berkumpul di kota besar ini sebagai preman.

    Intinya, Presiden SBY seharusnya menjadikan kasuskasus preman di Jakarta, yang kerap membawa korban jiwa manusia itu, untuk mewujudkan agenda pembangunan daerah sehingga mereka bisa pulang kampung. Setidaknya akan mengurangi arus para pengadu nasib lain ke kotakota besar.

  • Meluruhkan Stigma Negatif Rokok

    Meluruhkan Stigma Negatif Rokok
    FS Swantoro, ANGGOTA TIM PENULIS BUKU DIVINE KRETEK: ROKOK SEHAT
    Sumber : SUARA MERDEKA, 28 Februari 2012
    “Sesungguhnya senyawa dalam asap rokok tidak semata-mata senyawa radikal
    bebas tapi banyak polimer berbentuk kumpulan butiran partikel”
    DALAM satu tarikan napas, cobalah Anda membuat daftar unggulan kekayaan warisan budaya bangsa, yang mencerminkan jiwa asli bangsa Indonesia. Dapat dipastikan muncul antara lain Pancasila, batik, keris, gamelan, nasi tumpeng, angklung, wayang kulit, dan rokok keretek. Mungkin Anda bertanya dalam hati kenapa rokok keretek muncul dalam daftar imaginasi kultural itu?
    Jawaban paling sederhana dapat dilihat dalam karya Mark Hanuzs (2000), Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes. Buku itu mengulas rokok keretek yang disebutnya aroma jiwa bangsa Indonesia. Selain itu, menjadi napas hidup bagi banyak orang. Ada petani tembakau, petani cengkih, pemasok pupuk, pabrik rokok, buruh linting, tenaga pengangkut, pedagang rokok, pabrik lem, pabrik kertas, iklan media, dan sebagainya. Selain itu, menambah pundi-pundi keuangan negara.
    Aktivis kesehatan yang antirokok, menistakan dengan stigma negatif sebagai sumber berbagai penyakit, sama seperti narkoba. Padahal di balik itu, tanpa kita sadari, sedang terjadi ’’perang nikotin’’ yang nilainya miliaran dolar Amerika? Tapi sekarang, dengan temuan divine keretek, perokok tak usah khawatir karena dijamin sehat.  
    Artinya, kini perokok tidak perlu lagi takut stigma negatif yang menyudutkan rokok sebagai penyebab berbagai penyakit. Kini, banyak ilmuwan mampu menjinakkan bahaya merokok bagi kesehatan. Pada dasarnya, pemanfaatan bahan alam sangat bergantung pada pengetahuan atas bahan alam itu sendiri.
    Salah satu ilmuwan anak bangsa yang memberi sumbangan berharga perihal temuan divine keretek, rokok sehat, dan peluruh radikal bebas adalah Dr Gretha Zahar, dibantu Prof Sutiman Bambang Sumitro dari Unibraw Malang. Inti temuannya adalah asap rokok tidak lagi berbahaya bagi kesehatan manusia, lewat kajian ilmiah yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Asap rokok dianalisis dengan instrumen gas chromatography.
    Wujud Penghargaan
    Sesungguhnya senyawa dalam asap rokok, tidak semata-mata senyawa radikal bebas tapi banyak polimer berbentuk kumpulan butiran partikel. Nikotin merupakan salah satu bagian kecil dari butiran partikel dari asap rokok. Jadi, ketika asap rokok masuk dalam tubuh, nikotin tidak dapat berbicara sendiri. Padahal komponen paling berbahaya dari asap rokok justru radikal bebasnya.  
    Tetapi lewat set peluruh radikal bebas (scavenger), temuan Dr Gretha dan Prof Sutiman, dihasilkan divine keretek, yang asapnya dijamin tidak berbahaya karena tidak lagi mengandung radikal bebas. Radikal bebas antara lain partikel logam mercury (Hg), yang mengendap dalam tubuh dapat ditangkap, dijinakkan, dan diluruhkan. Itu temuan dari anak bangsa yang luar biasa, berdasarkan kearifan lokal.
    Dari semua itu, asap rokok tidak perlu direduksi dengan stigma negatif bagi kesehatan tapi perlu dibahas dengan mempertimbangkan keberadaan bahan polimer kompleks sesuai realitasnya. Kini sudah dibuktikan, peluruhan komponen radikal bebas pada asap rokok lewat serangkaian set peluruh radikal bebas (scavenger), yang dilapiskan pada filter atau dicampurkan dalam cengkih, punya efek positif terhadap sistem kesehatan 
    biologis.
    Temuan ini menerapkan nanosains dan nanobiologi sehingga siapa pun dapat merokok dengan divine keretek dan dijamin tidak membayakan kesehatan. Bahkan Prof Dr Sarjadi SpPA, guru besar Fakultas Kedokteran Undip, menilai divine keretek dan scavenger, merupakan temuan luar biasa. Boleh dibilang, salah satu mahakarya ilmu pengetahuan dan tonggak peningkatan kesehatan manusia berdasarkan kearifan lokal.
    Sudah dibuktikan divine keretek dapat menyembuhkan penyakit kanker, kardiovaskuler, autis, stroke, paru-paru, dan menjaga kesehatan tubuh. Oleh ilmuwan Prancis, temuan Dr Gretha sedang dipromosikan untuk Hadial Nobel. Kalau kita tidak menghargai karya anak bangsa sendiri, lantas apa kata dunia? ●
  • Harga BBM dan Keadilan

    Harga BBM dan Keadilan
    Bambang Soesatyo, ANGGOTA KOMISI III DPR FRAKSI PARTAI GOLKAR
    Sumber : SINDO, 28 Februari 2012
    Pemerintah harus memaksimalkan dulu pemanfaatan anggaran sebelum menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi. Karena efektivitas pemanfaatan anggaran masih sangat rendah,rakyat akan merasa dizalimi jika pemerintah begitu saja menaikkan harga BBM bersubsidi.
    Dengan alasan situasi perekonomian global yang terus diselimuti ketidakpastian,menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi kebijakan yang sulit dihindari pemerintah sebab harga minyak mentah di pasar internasional meningkat tajam. Konsekuensinya,beban subsidi BBM dalam APBN tahun berjalan dipastikan membengkak. Tahun lalu subsidi BBM membengkak dari pagu Rp129,7 triliun menjadi Rp165,2 triliun.

    Mudah dipahami kalau rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi didorong oleh kenaikan harga minyak mentah dunia yang dipicu oleh ketegangan Iran versus Amerika Serikat,sejumlah negara di Eropa, serta Israel. Harga minyak naik sangat tajam menyusul keputusan Iran menghentikan ekspor minyak ke sejumlah negara di Eropa Barat. Harga minyak mentah dunia bergerak naik memasuki kisaran USD120 per barel, sementara Indonesia Crude Price (ICP) hanya diasumsikan USD90 per barel.

    Sudah bertahun-tahun pemerintah menunjukkan iktikad menaikkan harga BBM bersubsidi. Alasannya pun selalu sama, yakni terjadi pembengkakan subsidi BBM akibat dua faktor. Fluktuasi harga minyak dunia dan penambahan kuota BBM bersubsidi. Sudah disiapkan sejumlah opsi dan skenario pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, tetapi iktikad mengurangi subsidi BBM selalu dibatalkan.

    tahun ini pemerintah akhirnya benar-benar ‘berani’ menaikkan harga BBM bersubsidi, pastilah karena pemerintah merasa alasannya sudah sangat lengkap.Pemerintah memanfaatkan momentum ketegangan Iran versus Barat untuk merealisasikan kenaikan harga BBM bersubsidi. Pemerintah berasumsi bahwa rakyat bisa memahami kebijakan ini karena banyak negara pun tahun ini harus mengubah kebijakan energinya masingmasing.

    Namun, alasan ketegangan internasional itu saja belum cukup. Situasi global masih diselimuti ketidakpastian sehingga niat merealisasikan kenaikan harga BBM bersubsidi itu terlalu terburu-buru.Kalau Iran dan AS-Eropa dalam jangka dekat bisa mencari jalan tengah sehingga mendorong penurunan harga minyak mentah dunia, rakyat tetap dirugikan karena pemerintah belum tentu bersedia menurunkan lagi harga BBM bersubsidi yang sudah dinaikkan dengan alasan lonjakan harga minyak mentah dunia.

    Karena itu, demi keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, harga BBM bersubsidi harus tetap dipertahankan pada posisinya yang sekarang, sambil terus mengamati fluktuasi harga minyak mentah dunia. Pengalaman membuktikan bahwa pembengkakan subsidi BBM tidak membuat perekonomian Indonesia bangkrut. Melalui mekanisme subsidi BBM itu, rakyat kalangan bawah di Indonesia bahkan bisa menikmati sedikit tingginya pertumbuhan ekonomi yang tahun lalu mencapai 6,5% itu.

    Desember tahun lalu pemerintah mengajukan usul penambahan kuota BBM bersubsidi 1,5 juta kilo liter. Dengan tambahan itu, kuota BBM bersubsidi tahun 2011 menjadi 41,9 juta kilo liter dari sebelumnya 40,4 juta kilo liter.Biaya untuk tambahan kuota itu diperkirakan Rp4,5 triliun. Sudah terbukti bahwa keuangan negara tidak mengalami gangguan serius.

    Tidak Adil

    Kalau mengacu pada keluhan pemerintah,pembengkakan subsidi BBM mestinya tidak patut dijadikan isu.Pun jangan dikambinghitamkan sebagai faktor perusak keseimbangan APBN. Pembengkakan ini terjadi karena subsidi salah sasaran. Pemerintah justru harus memperbaiki kesalahannya. Kuota subsidi BBM tidak perlu ditambah jika pemerintah mampu mendistribusikan BBM bersubsidi dengan tepat.

    Karena itu, jangan melemparkan kesalahan itu kepada kalangan konsumen BBM bersubsidi. Kalau pemerintah bisa meningkatkan efektivitas pemanfaatan anggaran, mestinya tidak ada persoalan serius yang berkait dengan anggaran untuk subsidi BBM. Karena pemanfaatan anggaran masih jauh dari efektif, subsidi BBM dijadikan kambing hitam.

    Ketika memberi pengarahan pada sidang kabinet di Kantor Presiden pertengahan Desember 2011, Presiden mempersoalkan minimnya anggaran belanja infrastruktur di APBN karena sebagian besar anggaran habis untuk biaya rutin seperti gaji pegawai dan belanja modal kementerian/ lembaga.Rabu (22/2) pekan lalu Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan penggunaan anggaran pemerintah seharusnya untuk hal yang menyentuh masyarakat luas.

    “Hampir seluruh instansi penyerapannya ekstrem di akhir-akhir tahun. Di awal tahun lebih didominasi gaji dan operasional saja, dan yang menyentuh masyarakat luas kurang sekali, ”kata Menkeu. Kalau seperti itu kenyataannya, mengapa pemerintah tidak mengoreksi dulu kebijakan tentang alokasi dan pemanfaatan anggaran sebelum mempersoalkan anggaran subsidi BBM?

    Apa yang dikemukakan Presiden dan Menkeu itu jelas otokritik atau ajakan introspeksi mengenai perlunya meningkatkan efektivitas pemanfaatan anggaran. Subsidi BBM dan pembangunan infrastruktur merupakan kepentingan rakyat. Menjadi tidak adil kalau subsidi BBM harus dikurangi sementara pemerintah dalam praktik pengelolaan dan pemanfaatan anggaran lebih memprioritaskan gaji dan belanja rutin K/L.

    BBM bersubsidi itu bermakna sangat strategis sehingga jangan asal bicara untuk masalah yang satu ini. Boleh jadi, setelah menyimak sejumlah pernyataan para petinggi di Jakarta,para spekulan saat ini sedang berulah menggoreng harga BBM bersubsidi di pelosok-pelosok daerah.

    Artinya, jangan pernah lagi mewacanakan kenaikan harga BBM bersubsidi di ruang publik. Kalau masih dalam tahap rencana, biarkan menjadi masalah dalam birokrasi pemerintah. Setelah final, barulah kebijakan itu disosialisasikan.

  • Menggugah Kepedulian Presiden

    Menggugah Kepedulian Presiden
    Bambang Soesatyo, ANGGOTA KOMISI III DPR FRAKSI PARTAI GOLKAR
    Sumber : SUARA MERDEKA, 28 Februari 2012
    JAKARTA ’’bising’’ karena keanehan penanganan beberapa kasus korupsi, sementara bentrok antarwarga, sebagaimana juga kekerasan di RSPAD Gatot Soebroto, atau kasus warga versus penegak hukum hampir menjadi peristiwa rutin. Pimpinan nasional harus peduli karena situasi sudah demikian karut-marut. Stabilitas mengalami ujian berat. Di beberapa daerah, aspek keamanan dan ketertiban umum tercabik-cabik karena berbagai alasan. Beberapa waktu lalu,  sejumlah warga Mamasa di Sulawesi Barat bentrok
    Semua peristiwa konflik dan bentrok berdarah itu masih diatasi dengan pendekatan hukum dan kasuistis. Walaupun akar masalahnya sudah dipahami, yaitu belum ada upaya sistematis mereduksi persoalan. Baik pemimpin di pusat maupun di daerah lebih disibukkan oleh urusan lain. Misalnya, ketika akhir-akhir ini beberapa daerah dilanda konflik, para elite di Jakarta lebih fokus pada penanganan sejumlah kasus korupsi.
    Kelompok elite yang terpojok terus melawan supaya lolos dari jerat hukum, sementara kelompok elite lainnya terus menekan agar lawan politik mereka segera jadi tersangka. Asyik dan sibuk dengan pertarungan di antara mereka sendiri, konflik sosial di daerah tidak mendapatkan perhatian serius. Karena pemimpin di Jakarta sibuk dengan urusannya sendiri, daerah pun harus mengatasi persoalan dengan caranya sendiri, termasuk ketika harus memilih opsi kekerasan atau anarki.
    Siapa pun tidak ingin memilih opsi kekerasan untuk menyelesaikan persoalan. Tetapi ketika komunitas warga merasa bahwa upaya legal sudah menemui jalan buntu, perlawanan terhadap aparat sulit dihindari. Siapa pun dalam komunitas warga menjadi mudah diprovokasi. Mereka yang sebelumnya awam dengan aksi kekerasan bisa menjadi sangat anarkis hanya untuk melampiaskan kekecewaan.
    Langkah Pasti
    Alasan-alasan seperti itulah memicu konflik horizontal, komunal, ataupun konfllik vertikal di sejumlah daerah. Situasi nasional begitu karut-marut manakala konflik sosial di beberapa daerah itu dipadankan dengan situasi di Jakarta. Beberapa waktu belakangan ini, para elite di Jakarta lebih disibukkan oleh tarik ulur penanganan sejumlah kasus korupsi, terutama kasus yang diduga melibatkan oknum di pusat kekuasaan.
    Pemerintahan Presiden SBY-Wapres Boediono hendaknya menyadari  bahwa kegelisahan sosial sedang menyelimuti rakyat. Kegelisahan sosial itu bermuara pada akumulasi persoalan ekonomi, rasa keadilan, dan pertanyaan seputar peran negara dalam melindungi warga negaranya. Kualitas pertumbuhan ekonomi yang buruk, gagal meringankan beban hidup warga kebanyakan. Wacana pemerintah menaikan harga BBM malah menimbulkan persoalan baru.
    Banyak kalangan mempertanyakan kepedulian SBY terhadap situasi itu. Idealnya, Presiden  tidak minimalis menyikapi konflik sosial di sejumlah daerah. Apalagi semata-mata karena alasan otonomi daerah. Presiden justru harus proaktif berkomunikasi dengan kepala daerah yang wilayahnya rawan konflik. Harus ada upaya dan inisiatif Presiden untuk meminimalisasi konflik.
    Masyarakat mencatat bahwa Presiden sangat responsif menyikapi masalah yang menyelimuti Partai Demokrat (PD). Ada pertemuan membahas ekses kasus suap wisma atlet SEA Games terhadap Demokrat, pernyataan pers dan respons SBY atas rotasi seorang kader partainya yang sedang bermasalah dengan hukum.
    Rangkaian peristiwa memunculkan dugaan bahwa konsentrasi SBY lebih terfokus pada persoalan yang mendera partainya ketimbang persoalan rakyat yang mestinya ditangani.
    Persoalan penting lain yang harus ditegaskan adalah dampak dari kenaikan harga BBM. Kini kenaikan harga BBM bersubsidi itu yang disebutkan per April 2012 (SM, 25/02/12) memunculkan spekulasi yang membuat resah. Mestinya Presiden harus cepat membuat kepastian atas semua isu dan persoalan itu. ●
  • Haji dan Moratorium

    Haji dan Moratorium
    Aidi Johansyah, Kasi Bimbingan Jamaah dan Petugas Bidang HAZAWA Kanwil Kementerian Agama Provinsi DIY
    Sumber : REPUBLIKA, 27 Februari 2012
    Akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mendorong moratorium pendaftaran haji. Hal ini dis ampaikan oleh Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, ketika dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR terkait rencana perubahan UU Nomor 13 Tahun 2008, Selasa, 21/2, lalu (republika.co.id, 22/2).
    Menurut Busyro, dengan dibukanya pendaftaran haji sepanjang tahun secara terus-menerus maka jumlah dana setoran awal akan terus bertambah.
    Padahal, kuota relatif tetap. Hal ini dinilai tidak sejalan dengan Pasal 22 ayat 2 UU Nomor 13 Tahun 2008 yang menghendaki setoran awal Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) dihentikan setelah kuota tahun berjalan dipenuhi.
    Kuota haji Indonesia didasarkan dengan rumus 1/1.000 penduduk Muslim atau sekitar 211 ribu pada 2011. Sampai hari ini, jelasnya, setoran haji sudah mencapai Rp 38 triliun. Dana tersebut ditempatkan pada sukuk Rp 23 triliun, di deposito Rp 12 triliun dan giro Rp 3 triliun. Bunganya sudah mencapai Rp 1,7 triliun sehingga diperlukan pengaturan dana yang ketat. Dan, tanpa adanya moratorium maka dikhawatirkan nanti berpotensi korupsi.
    Mengatur Rekening
    Moratorium pendaftaran haji adalah salah satu opsi yang berkembang akhir-akhir ini. Hal ini dimaksudkan untuk menghentikan banyaknya daftar tunggu yang sampai hari ini (misalnya saja) di DIY mencapai 32.793 orang atau sekitar 1,4 juta orang secara nasional. Dengan banyaknya daftar tunggu tersebut maka jamaah haji yang mendaftar sekarang baru dapat berangkat pada 2023 atau selang 11 tahun dari sekarang.
    Pertanyaannya, sampai kapankah pendaftaran haji tersebut akan dihentikan? Jika moratorium pendaftaran haji harus dilaksanakan, mungkin pemerintah akan memberangkatkan dulu semua jamaah yang masuk daftar tunggu. Dengan jumlah daftar tunggu sebanyak 1,4 juta orang kemudian dibagi jumlah kuota haji Indonesia sebanyak 211 ribu orang, berarti penghentian ini –jika disamaratakan seluruh provinsi yang ada di Indone sia–lamanya sekitar 6,6 tahun.
     
    Apalagi, jika jamaah yang sudah pernah haji tidak boleh berangkat, kecuali petugas, maka dimungkinkan dapat dipersingkat sekitar 6,5 tahun.
    Tingginya minat untuk haji membuat menjalankan sistem pendaftaran haji sepanjang tahun. Sistem ini menggunakan prinsip first come first served bagi jamaah haji reguler dan haji khusus. Artinya, calon jamaah haji yang mendaftar lebih dulu juga harus berangkat lebih dulu.
    Ada banyak manfaat dari sistem ini. Pertama, jamaah haji bisa mendaftar setiap saat sesuai dengan keinginan dan waktu yang dia miliki. Kedua, ada rasa keadilan karena yang mendaftar lebih dulu, dia yang harus berangkat dulu.
     
    Ketiga, ada dana setoran awal yang bisa dikembangkan oleh pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya.
    Sebagaimana diketahui bahwa setiap calon jamaah yang daftar haji harus membayar setoran awal sebanyak Rp 25 juta dan sampai sekarang sudah terkumpul sekitar Rp 38 triliun. Dari dana setoran awal inilah yang dikembangkan oleh pemerintah sebagaimana diterangkan oleh KPK di atas yang jasanya sekitar 1,7 triliun.
    Pengembangan dana setoran awal ini disebut dengan dana optimalisasi BPIH, yang penggunaannya dikembalikan lagi kepada jamaah, baik secara langsung maupun tidak. Tentu saja, penggunaannya melalui pembahasan yang ketat dengan DPR RI.
    Adapun penggunaan dana tersebut yang secara langsung dirasakan oleh jamaah haji adalah paket buku manasik, blanko-blanko, gelang identitas, dan sebagainya. Sedangkan, secara tidak langsung di antaranya adalah untuk biaya online Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) dan pembangunan atau pemeliharaan asrama haji seluruh Indonesia.
    Kasus Malaysia
    Banyak orang yang membandingkan antara realitas penyelenggaraan haji Indonesia dan Malaysia, termasuk wakil ketua KPK, Busyro Muqoddas. Ia mengatakan, Indonesia perlu belajar ke Malaysia yang memasukkan dana haji ke rekening atas nama yang bersangkutan sehingga transparan. Pertanyaan nya, apakah sistem seperti ini bisa menjamin tidak adanya korupsi?
    Harian Utusan Malaysia Online, Senin (6/2) lalu, di halaman muka memberitakan hasil pemeriksaan Suruhan Jaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM)–kalau di Indonesia adalah KPK–menduga sebab banyaknya orang Malaysia mengikuti Haji Ekspres /Haji Plus adalah karena lemah dalam sistem pendataan. Ada yang memanfaatkannya untuk kepentingan pihak lain (yang mungkin karena tidak sabar) menunggu lama untuk berangkat haji sehingga kuat dugaan telah terjadi perbuatan korupsi.
    Perlu diketahui bahwa masa tunggu haji Malaysia sekarang adalah 26 tahun, sedangkan Indonesia rata-rata enam tahun. Biaya total jamaah haji Indonesia (BPIH) sebesar Rp 32 juta, sedangkan Malaysia Rp 49 juta. Biaya yang dibayar langsung oleh jamaah haji Indonesia sekitar Rp 27 juta, sedangkan Malaysia Rp 29.940.000. Biaya yang disubsidi dari dana optimalisasi BPIH sekitar Rp 6 juta per jamaah, sedangkan Malaysia diambilkan dari tabung haji sebanyak Rp 19 juta.
    Sewa pondokan jamaah haji Indonesia di Makkah 3.400 riyal, sedangkan Malaysia 6.000 riyal. Prinsip pengelolaan keuangan haji di Indonesia adalah nirlaba, sedangkan Malaysia komersial. Maka jangan heran, kebun kelapa sawit yang ada di Pekanbaru adalah milik Tabung Haji Malaysia.
    Mengapa kita harus belajar ke Malaysia? Padahal, sudah ada 10 negara lain yang minta untuk diajarkan manajemen haji dari Indonesia, yaitu Rusia, Iran, Nigeria, Turki, Aljazair, Suriah, Yordania, Tunisia, dan Etiopia. Mengapa kita harus terpesona kepada Tabung Haji Malaysia yang memiliki gedung bertingkat 39? Padahal, kita sudah mempunyai 14 asrama haji embarkasi dan 15 asrama haji transit dengan gedung bertingkat-tingkat.
    Itu semua bisa dilakukan oleh pemerintah, salah satu sebabnya adalah karena adanya dana optimalisasi BPIH. Dengan dana ini pemerintah berharap agar BPIH di masa yang akan datang bisa lebih murah. Dan bahkan, mungkin jamaah haji hanya membayar biaya penerbangan. Ini semua bisa dilakukan dengan adanya sistem pendaftaran first come first served.  
  • Isu Iran dan Harga BBM

    Isu Iran dan Harga BBM
    Fahmi AP Pane, TENAGA AHLI FRAKSI PPP DPR RI
    Sumber : REPUBLIKA, 27 Februari 2012
    Perang psikologi dan diplomasi kapal perang (gun boat diplomacy) antara Iran dan sekutunya menghadapi Israel dan seku tunya meningkat. Harga minyak mentahpun meningkat ke posisi tertinggi selama delapan bulan terakhir. Secara bersamaan, menguat pula desakan mengubah UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Konsekuensinya boleh jadi adalah peningkatan besar subsidi BBM, pembatasan jumlah konsumsi BBM, kenaikan harga, penambahan utang baru, dan sebagainya.
    Goyangnya APBN karena konflik Iran dan Israel adalah ironis karena sejak 2007 Indonesia tidak lagi mengimpor minyak mentah dari Iran. Masalahnya, ketergantungan negeri ini terhadap impor minyak mentah dan BBM masih terlalu besar. Akibatnya, penerimaan negara dari produksi dan ekspor minyak mentah dan BBM tereduksi.
    Peluang Perang
    Dua jenis BBM yang paling banyak disorot dalam isu pembatasan konsumsi dan atau kenaikan harga, yakni Premium (RON 88) dan solar (ADO) setiap harinya diimpor masing-masing sebanyak 37.600 kiloliter dan 23.800 kiloliter. Pertanyaannya, benarkah retorika kebencian yang terjadi di antara Iran dengan AS, Inggris, Israel, dan sekutunya akan berujung perang sungguhan sehingga APBN 2012 harus diubah atau bahkan dinyatakan darurat?
    Untuk menjawabnya, penulis akan memaparkan berbagai manuver militer dan pernyataan politik dari kedua kubu. Peluang perang terbuka karena Iran pernah mengancam akan memblokade Selat Hormuz. Namun, sebenarnya itu reaksi spontan Iran terhadap manuver AS yang melobi Uni Eropa untuk mengembargo minyak Iran. Strategi kunci Iran terkuak. Repotnya, Rusia dan Cina tidak setuju penutupan selat dan mendesak Iran berunding lagi.
    Peluang perang juga dimunculkan Israel. Dalam banyak kesempatan, PM Benjamin Netanyahu mendesak AS dan Eropa untuk menyerang Iran karena telah mempersiapkan senjata nuklir.
     
    Namun Presiden Obama menyatakan, menyerang Iran berisiko. Ia mengutamakan opsi pendekatan diplomatik (Reuters, 5 Februari).
    Adapun Rusia dan Cina sebagai sekutu tradisional Iran dan rezim Assad (Suriah) konsisten menolak opsi militer terhadap Iran, termasuk melalui payung PBB. Sementara, Iran terlihat mulai menjauhi opsi militer dengan menawarkan perundingan kembali dan kesediaan diinspeksi IAEA (Badan PBB untuk Energi Atom).
    Soal embargo minyak juga terlihat setengah hati. Uni Eropa memutuskan mengembargo minyak Iran mulai 1 Juli dengan alasan Yunani dan Italia dilanda krisis ekonomi. Iran membalasnya dengan mengancam menyetop pengiriman minyak ke Inggris dan Prancis. Tapi, sejak enam bulan terakhir Inggris tidak mengimpor minyak dari Iran.
    Adapun India dan Korea sebagai importir utama minyak Iran menolak mengikuti keputusan Uni Eropa. Bahkan, belakangan Jepang menyatakan belum memutuskan memotong impor minyak dari Iran. Yang paling mungkin adalah serangan udara Israel ke fasilitas nuklir Iran.
    Peluang ini membesar jika komunitas Yahudi internasional tidak menginginkan Presiden Obama terpilih kembali. Indikasinya ialah survei Pew yang menemukan 62 persen kaum Republiken berpendapat pemerintahnya harus mendukung serangan Israel. Dan, hanya sepertiga kaum Demokrat berpendapat demikian. Kalau ini terjadi, maka ini seperti kekalahan Presiden Jimmy Carter (Demokrat) yang populer karena perundingan Camp David pada 1978, namun gagal menangani penyanderaan warga AS di Kedubes Teheran sejak 4 November 1979. Uniknya, semua sandera dibebaskan beberapa saat sebelum Presiden Ronald Reagan (Republik) dilantik pada 20 Januari 1981.
    Walaupun demikian, kita perlu mencermati apa yang luput diperhatikan saat Wapres Cina Xi Jinping mengunjungi AS. Selain bertemu Obama, dia bersua dengan tokoh-tokoh Yahudi, seperti Henry Kissinger, Madeleine Albright, Zbigniew Brezinski, Sandy Berger, dan lain-lain. Dilaporkan situs Pemerintah Cina (china.org.cn, 14 Februari), Xi disambut hangat oleh para tokoh Grup Bilderberg, Council on Foreign Relations, dan Trilateral Commission, organisasi rahasia yang disebut-sebut `menyutradarai’ politik dunia. Sepanjang Cina tidak menyetujui penyerangan Iran dan para tokoh Yahudi Bilderberg merasa nyaman dengan Cina, maka pernyataan Netanyahu hanya menambah daftar perang kata-kata antara Amerika-Israel dan Iran sejak lebih dari 30 tahun lalu.
    Karena itu, Indonesia lebih baik fokus pada solusi lebih mendasar ketimbang hanya membicarakan kenaikan harga BBM atau pembatasan volume konsumsi. Misal, perubahan UU Migas, pengutamaan produksi minyak untuk kilang domestik, konversi sebagian BBM kepada gas, pengembangan transportasi publik, dan sebagainya.  
  • Siapa Presiden Bank Dunia Mendatang?

    Siapa Presiden Bank Dunia Mendatang?
    Arvin Subramanian & Devesh Kapur, DEVESH KAPUR ADALAH PENGARANG-BERSAMA BUKU RESMI SEJARAH BANK DUNIA; ARVIND SUBRAMANIAN ADALAH SENIOR FELLOW PADA PETERSON INSTITUTE FOR INTERNATIONAL ECONOMICS DAN CENTER FOR GLOBAL DEVELOPMENT
    Sumber : KORAN TEMPO, 27 Februari 2012
    Juni ini Robert Zoellick akan habis masa tugasnya sebagai Presiden Bank Dunia. Sekali lagi muncul persoalan siapa yang akan memimpin dua saudara kembar Breton Woods (Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional) ini. Saat kelahiran mereka, kita terkenang akan peringatan John Maynard Keynes bahwa, jika lembaga-lembaga ini tidak memiliki pemimpin yang baik, mereka akan “jatuh tertidur selamanya dan tidak lagi akan bangun atau didengarkan suaranya di balai-balai sidang dan pasar umat manusia”.
    Untuk mendapatkan pemimpin yang baik sudah tentu memerlukan proses seleksi yang cermat. Sekarang ini dunia justru terbelenggu oleh suatu proses yang sudah kuno di mana Amerika Serikat dan Eropa, walaupun ekonomi mereka sedang mengalami kesulitan, tetap memegang monopoli kepemimpinan Bank Dunia dan IMF.
    Ada kesepakatan yang enggan diberikan bahwa sistem ini harus diubah. Tapi kekuatan-kekuatan yang melanggengkan status quo–resistansi Eropa dan Amerika terhadap perubahan dan pasifnya negara-negara ekonomi baru–masih kuat, seperti digambarkan dalam pilihan yang dijatuhkan pada Christine Lagarde untuk memimpin IMF. Suhu politik menjelang pemilihan presiden di AS tahun ini akan semakin memperkokoh kekuatan-kekuatan tersebut, di mana pemerintah Presiden Barack Obama tidak mungkin melepaskan suatu simbol global power yang bisa digunakan pesaing-pesaingnya sebagai senjata untuk menghantamnya sebagai pemimpin yang lemah.
    Tapi, dalam beberapa hal, tidak sulit mengemukakan apa yang sudah jelas: Bank Dunia memerlukan proses seleksi yang baru yang bakal memungkinkan terpilihnya orang yang paling memenuhi syarat tanpa memandang kewarganegaraannya. Yang sulit adalah bagaimana mengidentifikasi kualifikasi yang dibutuhkan untuk memimpin Bank Dunia di saat ketika perannya mesti disesuaikan dengan perubahan global yang terjadi saat ini.
    Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, sejumlah negara miskin sudah berhasil mengejar negara-negara maju, sementara daftar keberhasilan pembangunan ini semakin panjang. Itu berarti semakin banyak negara yang dulunya miskin sekarang tidak lagi membutuhkan pinjaman lunak dari Bank Dunia.
    International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), sebagai badan Bank Dunia yang menyediakan bantuan yang normal, bisa bertahan terutama karena tiga perempat rakyat miskin di dunia sekarang tinggal di negara-negara dengan pendapatan menengah. Tapi akses yang mudah untuk memperoleh pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan swasta bakal memaksakan dilakukannya re-evaluasi cara yang dilakukan IBRD serta besarnya pinjaman yang diberikannya. Misalnya, beberapa negara mungkin menginginkan Bank Dunia terus memberikan advis yang netral dan menetapkan standar pengadaan serta mutu, tapi tanpa biaya transaksi yang tinggi yang sudah menjadi ciri Bank Dunia.
    Pada saat yang sama, banyak di antara tantangan pembangunan di masa depan ini–perubahan iklim, menurunnya produktivitas pertanian, meningkatnya kelangkaan air–semakin mengglobal. Di masa mendatang, Bank Dunia harus bergeser dari pinjaman kepada pemerintah ke pembiayaan pengadaan global public goods.
    Semakin berhasilnya negara-negara berkembang mencapai kemajuan juga merupakan tantangan intelektual terhadap Bank Dunia sebagai bayangkara penelitian dan pemikiran kebijakan di bidang ekonomi pembangunan. Bank Dunia, yang banyak bergantung pada pusat-pusat pendidikan di AS, tidak lagi bisa menjajakan model yang tunggal atau menciptakan suatu pola yang universal. Memang Bank Dunia sudah merangkul dan membawakan pesan dari berbagai sumber, tapi seorang pemimpin yang baru harus melangkah lebih maju, memberikan perhatian lebih besar kepada konteks yang khusus dan tuntutan masing-masing negara peminjam, serta belajar lebih banyak dari pengalaman pembangunan yang berhasil.
    Negara-negara utama pemegang saham Bank Dunia juga dihadapkan pada pilihan yang sulit. Jika mereka yakin bahwa Bank Dunia punya masa depan yang layak didukung, itu adalah negara-negara yang sekarang sedang mengalami pertumbuhan yang cepat, bukan Barat yang terlilit utang, yang bisa memberikan sumber daya yang dibutuhkan itu (ini sudah tentu berarti Cina, tapi bahkan Brasil dan India pun sudah melancarkan program bantuan yang semakin meningkat). Sebagai imbalan, mereka berhak menuntut diberikannya suara yang lebih besar dalam mengelola Bank Dunia, terutama jika fokus Bank Dunia bergeser ke arah penyediaan global public goods.
    Tapi, jika negara-negara status quoitu tidak bersedia menyerahkan kendali Bank Dunia, sistem resmi pembiayaan internasional yang dibentuk Bretton Woods bakal semakin terfragmentasi. Negara-negara seperti Cina bakal semakin kuat keyakinannya bahwa, dalam hal ini, berjalan sendiri adalah opsi paling baik, dengan akibat buruk bagi multilateralisme.
    Pergeseran yang dramatis serta tantangan-tantangan berat ini berarti Presiden Bank Dunia berikutnya harus seseorang yang tugas utamanya adalah memprakarsai dan melanjutkan perubahan, sembari mendapatkan dukungan dan legitimasi dari keseluruhan anggota. Ia juga membutuhkan kapasitas kepemimpinan politik yang sudah terbukti serta keyakinan inti bahwa Bank Dunia memerlukan visi dan jalan baru ke depan.
    Proses seleksi mutlak perlu diubah untuk memperluas pencarian calon-calon yang peka terhadap realitas yang sudah berubah dan yang memiliki kualifikasi utama. Ini bukan berarti menyingkirkan calon dari Amerika yang pantas terpilih, seperti Hillary Clinton. Tapi juga berarti dengan teliti mencari calon-calon lainnya, seperti mantan presiden Luiz Inacio Lula da Silva dari Brasil dan mantan presiden Ernesto Zedillo dari Meksiko; Gnosis Okonjo-Iweala, ekonom kenamaan dari Nigeria; Mo Ibrahim, contoh keberhasilan dunia usaha dari Afrika; Nandan Nilekani, raja perangkat lunak dari India yang sekarang menjadi pejabat pembangunan; dan Andrew Sheng, seorang regulator keuangan yang terkemuka dari Malaysia.
    Prosedur seleksi sekarang ini sudah kehilangan legitimasinya dalam suatu dunia yang sudah berubah dan membawa risiko buruk terpilihnya calon yang tidak tepat. Konsekuensi mempertahankan prosedur yang ada sekarang mungkin tidak sedramatis seperti yang diperingatkan Keynes, tapi ada kemungkinan yang riil bahwa Bank Dunia bakal membatu dan menjadi suatu lembaga di mana negara-negara donor dari kelompok G-7 yang ekonominya semakin terpuruk itu bakal menyediakan bantuan yang semakin kecil jumlahnya, sama dengan semakin kecilnya jumlah negara yang memohon bantuan. ●
  • BBM dan Ketahanan Energi

    BBM dan Ketahanan Energi
    Pri Agung Rakhmanto, DOSEN FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI
    UNIVERSITAS TRISAKTI; PENDIRI REFORMINER INSTITUTE
    Sumber : KOMPAS, 27 Februari 2012
    Menggunakan momentum naiknya harga minyak mentah dunia akibat tindakan Iran yang menghentikan ekspor minyak mereka ke sebagian negara di Eropa, Presiden SBY menyampaikan kepada publik bahwa harga BBM mau tak mau harus naik.
    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menyampaikan bahwa masyarakat miskin yang terkena dampaknya mesti mendapatkan bantuan langsung sementara (Kompas, 23/2/2012).
    Dalam konteks polemik terkait opsi kebijakan bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini berkembang—pembatasan atau kenaikan harga—pernyataan Presiden secara langsung tersebut merupakan sinyal yang sangat terang benderang bahwa pilihan kebijakan yang akan dilaksanakan adalah kenaikan harga BBM, bukan pembatasan BBM seperti selama ini lebih kencang digaungkan oleh beberapa pejabat pemerintah.
    Ini sejalan dengan sinyalemen sebelumnya ketika Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran BBM. Di dalamnya disebutkan, harga BBM dapat mengalami penyesuaian, naik atau turun. Hal ini sekaligus mempertegas pernyataan Menteri ESDM sebelumnya soal perlunya menekan subsidi BBM.
    Tidak Populis
    Bagi pemerintah, kenaikan harga BBM sangat tak populis dan dapat memunculkan kesan pemerintah menambah beban hidup rakyat karena menurunkan daya beli. Dari perspektif ekonomi, itu direpresentasikan melalui dampak kenaikan inflasi yang ditimbulkan. Dari kajian ReforMiner Institute (2012), kenaikan harga premium dan solar Rp 1.000 dan Rp 1.500 per liter akan menyebabkan tambahan inflasi 1,07 persen dan 1,58 persen.
    Dari perspektif politik, kenaikan harga BBM adalah amunisi ampuh bagi lawan politik pemerintah untuk menurunkan citra pemerintah di mata rakyat. Kenaikan harga BBM juga sering dikaitkan dengan masalah ketidakadilan karena opsi kenaikan harga BBM justru dipilih di saat praktik korupsi dan inefisiensi di birokrasi sendiri masih merajalela.
    Lebih Produktif
    Sikap pemerintah yang ragu-ragu dalam mengambil keputusan menaikkan harga BBM selama ini bisa dipahami dalam konteks politik yang lebih mengedepankan pencitraan. Dan menjadi sangat bisa dimengerti ketika dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, langkah kenaikan harga BBM dibungkus dengan istilah ”menurunkan subsidi BBM”.
    Setidaknya ada dua argumen yang mendasari mendesaknya harga BBM dinaikkan. Pertama, kenaikan harga BBM adalah salah satu instrumen efektif untuk mengalokasikan anggaran untuk hal-hal yang (jauh) lebih produktif. Kajian ReforMiner Institute (2012) menunjukkan, pada harga minyak di kisaran 105 dollar AS per barrel, kenaikan harga premium dan solar sebesar Rp 1.000 dan Rp 1.500 per liter dapat menghemat subsidi BBM hingga Rp 38,3 triliun dan Rp 57 triliun per tahun.
    Anggaran sebesar itu akan jauh lebih produktif dan bermanfaat jika dialokasikan untuk menunjang pembangunan infrastruktur, baik infrastruktur energi maupun non-energi; penyediaan sarana transportasi publik; atau subsidi pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu. Artinya, kenaikan harga BBM tidak semata diperlukan untuk mengurangi beban APBN, tetapi juga membuat APBN bisa lebih berfungsi sebagai stimulus perekonomian nasional dan instrumen penyejahteraan.
    Kedua, sepanjang harga BBM belum mencapai harga keekonomiannya, kenaikan harga BBM sejatinya memang diperlukan. Subsidi yang tepat adalah subsidi langsung kepada masyarakat yang berhak, bukan subsidi terhadap harga komoditas. Kenaikan harga BBM (subsidi) tidak hanya akan memperkecil disparitas harga dengan BBM nonsubsidi—sehingga penyalahgunaan dan pasar gelap BBM berkurang—tetapi juga bisa mendorong berkembangnya energi alternatif non-BBM, seperti bahan bakar gas (BBG) dan bahan bakar nabati (BBN).
    Selama harga BBM subsidi masih dipertahankan pada tingkat seperti sekarang ini, selama itu pula energi alternatif akan sulit berkembang secara progresif. Harga BBM yang terus-menerus disubsidi dan dipertahankan pada tingkat rendah akan mendorong konsumsi BBM yang berlebihan dan tidak terkendali. Dan itu berarti akan semakin memperparah ketergantungan kita terhadap minyak yang ketersediaannya semakin terbatas.
    Status terkini, cadangan terbukti minyak kita hanya tinggal sekitar 3,7 miliar barrel. Dengan tingkat produksi yang ada, cadangan terbukti itu akan habis dalam waktu 11-12 tahun ke depan. Jadi, penyesuaian harga BBM adalah salah satu instrumen penting untuk memperkuat ketahanan energi nasional kita.
    Pilihan untuk menaikkan harga BBM secara de facto telah diambil pemerintah. Pro dan kontra pasti akan tetap muncul. Pemerintah perlu memfokuskan diri pada dua hal. Pertama, meminimalkan dan mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Kedua, mewujudkan secara nyata manfaat yang diperoleh dari kenaikan harga BBM dan ”mengembalikannya” kepada rakyat. ●
  • Soal BBM: Tiada Jalan Lain

    Soal BBM: Tiada Jalan Lain
    A. Tony Prasetiantono, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK (PSEKP) UGM, YOGYAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 27 Februari 2012
    Akhirnya ”perjuangan” Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menahan harga bahan bakar minyak bersubsidi telah usai. Setelah sekian lama dikritik para pengamat dan disarankan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi demi kesehatan dan keberlanjutan fiskal, akhirnya Presiden pun memutuskan untuk menaikkan harga BBM (Kompas, 22/1/12). Kini, sedang dicarikan saat yang tepat untuk melakukannya.
    Di samping itu, masih diperlukan persetujuan DPR dan mengubah Undang-Undang (UU) APBN yang telanjur diputuskan untuk tidak menaikkan harga BBM tahun ini.
    Sayang sekali, pemerintah dan DPR telanjur membuat UU seperti itu, padahal mereka tahu kondisi perekonomian global tidak menentu. Jadi, mana mungkin berani memutuskan harga BBM tidak dinaikkan, padahal kita tidak tahu apa yang bakal terjadi di zona euro, Amerika Serikat, ataupun Iran. Bagaimana prospek ekonomi global? Semuanya serba abu-abu.
    Sebagai contoh, sampai hari ini kita senantiasa diliputi tanda tanya, bagaimana solusi krisis zona euro?
    Kegagalan Euro
    Ekonom AS rata-rata skeptis terhadap mata uang tunggal euro. Martin Feldstein (Harvard) dengan tegas menyindir bahwa euro merupakan ”eksperimen yang gagal”. Kegagalan itu dinilainya bukan kebetulan. Artinya, sebenarnya sudah bisa diantisipasi sebelumnya (”The Failure of the Euro”, Foreign Affairs, Januari-Februari 2012).
    Sementara Paul Krugman (Princeton) menyarankan agar Yunani keluar dari zona euro dan membikin mata uang sendiri, yang selanjutnya bisa terdepresiasi, lalu pelan-pelan perekonomiannya pulih.
    Namun, ekonom lain banyak yang tak sependapat. Mantan Gubernur Bank Sentral Argentina (Mario Blejer) dan Meksiko (Guillermo Ortiz) menulis kolom di The Economist (18-24 Februari 2012) bahwa Yunani sebaiknya tidak keluar dari zona euro. Menerbitkan mata uang baru yang kemudian terdevaluasi bukan perkara gampang.
    Berdasarkan pengalaman negara-negara Amerika Latin, khususnya Argentina pada 2002, langkah tersebut akan menyebabkan bank run. Masyarakat akan panik dan menimbulkan pelarian dana besar-besaran. Di Argentina bahkan timbul kerusuhan. Padahal, devaluasi mata uang dimaksudkan untuk mendorong daya saing. Namun, jalan menuju sana sangat tidak linier.
    Kedua ekonom tersebut menyarankan agar Yunani tetap menggunakan mata uang euro sambil terus menjalankan kebijakan disiplin fiskal yang ketat (austerity). Itu memang bakal menyakitkan dan menjadi perjalanan panjang, tetapi masih lebih dapat dikelola dengan baik dibandingkan dengan keluar dari zona euro.
    Lonjakan Harga Minyak
    Belum lagi krisis zona euro tertangani dengan baik—meski sudah ditolong dengan dana talangan 130 miliar euro yang bisa mengamankan utang jatuh tempo Yunani pada 20 Maret 2012—harga minyak dunia kembali naik dan mencapai puncak 106 dollar AS per barrel karena konflik Iran-AS.
    Ini meningkatkan kompleksitas krisis ekonomi global yang sama sekali di luar jangkauan kita untuk mengelak. Juga tidak ada jaminan, kapan konflik ini bakal berakhir sehingga kian sulit meramalkan kapan harga minyak turun.
    Paling-paling ekonom hanya bisa berspekulasi bahwa ”harga minyak bakal turun jika permintaan turun”. Itu sama saja berharap agar krisis ekonomi global kian memburuk. Jadi, mau tidak mau, menaikkan harga BBM memang telah menemukan urgensinya. Presiden Yudhoyono sudah tidak memiliki tabungan argumentasi untuk menundanya lagi. Sudah tidak ada jalan lain.
    Keputusan ini dapat mengakhiri spekulasi yang berkembang terhadap rencana pemerintah untuk membatasi konsumsi BBM dan melakukan konversi energi ke bahan bakar gas (BBG) pada 1 April 2012. Rencana ini tidak realistis karena pembatasan BBM bersubsidi rawan kericuhan, sedangkan penggunaan BBG memerlukan masa transisi panjang, setidaknya tiga tahun.
    Upaya untuk tidak menaikkan harga BBM bersubsidi sepertinya sekadar mengulur-ulur waktu yang hanya populer secara politis, tetapi sama sekali tidak produktif secara ekonomis. Jika pemerintah tidak melakukan tindakan apa pun, subsidi BBM akan mencapai Rp 150 triliun, ditambah Rp 90 triliun untuk subsidi listrik.
    Angka subsidi Rp 210 triliun jelas sangat tidak masuk akal dibandingkan dengan volume APBN 2012 sebesar Rp 1.418 triliun. Angka tersebut bahkan jauh lebih besar dibandingkan dengan dana pemerintah yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur setahun. Tentu ini hal yang ironis dan tidak boleh dibiarkan berlanjut.
    Momentum Kenaikan
    Sekarang masalahnya adalah kapan dan berapakah harga BBM dinaikkan? Sebenarnya saat ini merupakan momentum yang tepat ketika inflasi year on year hanya 3,65 persen.
    Sayangnya, masih ada proses konstitusi yang harus dilalui sehingga paling cepat 2-3 pekan lagi dieksekusi. Pada saat itu, saya perkirakan inflasi juga masih cukup landai, antara 3,5 dan 4 persen. Ini masih cukup kondusif.
    Lalu, berapa besaran kenaikannya? Saya duga angkanya Rp 1.000 per liter karena pada angka ini kontribusi terhadap tambahan inflasi masih sekitar 1 persen. Jadi, sesudah kenaikan harga BBM, inflasi akan sekitar 5 persen. Secara ekonomi masih terjangkau (affordable), sedangkan secara politis belum memicu gejolak kerusuhan.
    Pemerintah juga akan memberikan kompensasi kepada masyarakat yang paling terkena dampak kenaikan harga ini melalui skema subsidi langsung. Saya usulkan agar skemanya sejauh mungkin menghindari bentuk uang tunai karena berisiko kericuhan—sebagaimana pengalaman masa lalu.
    Sistem kupon makanan seperti di Amerika Serikat rasanya bisa diadopsi. Di sana, setiap Jumat sore hingga malam masyarakat antre di kasir supermarket dengan membawa kupon yang bisa dibelikan bahan pokok. Ini bisa meminimalkan risiko kesalahan alokasi, misalnya dana bantuan langsung tunai (BLT) malah digunakan untuk membeli telepon seluler.
    Namun, bagi daerah-daerah terpencil yang infrastrukturnya buruk, skema ini barangkali sulit diterapkan. Karena itu, skema uang tunai masih relevan. Namun, di daerah yang padat penduduknya—biasanya infrastruktur perdagangan bahan pokok cukup baik—skema ini bisa diterapkan.
    Ke depannya, pemerintah perlu memikirkan skema lain yang memenuhi asas keadilan. Meski sudah ada skema kompensasi (misalnya BLT), tetap saja kenaikan harga BBM bersubsidi secara ”pukul rata” akan menimbulkan masalah ketidakadilan.
    Orang berkendaraan mobil yang sekali mengisi tangkinya 40 liter mendapatkan jatah subsidi 10 kali lipat pengendara sepeda motor yang mengisi tangkinya 4 liter. Karena itu, subsidi bagi pemilik mobil dan sepeda motor mestinya berbeda.
    Karena itu, saya usul agar pemerintah mulai mempersiapkan skema yang ”lebih maju” yang menyerap aspirasi keadilan. Harga BBM bersubsidi bagi sepeda motor seharusnya berbeda dengan mobil. Sama-sama bersubsidi, pemilik sepeda motor mestinya diberi ”proteksi” yang lebih besar.
    Memang tidak akan ada skema yang bebas komplikasi ketika diimplementasikan. Yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan risiko dampak kerusakan. Kenaikan harga minyak dunia, sebagaimana krisis ekonomi di zona euro, merupakan sebuah keniscayaan, di mana kita tidak bisa melarikan diri.
    Kenaikan harga BBM bersubsidi pasti menyakitkan. Namun, bukan hanya kita yang menderita karena ini praktis sudah menjadi ”musuh bersama” di seluruh dunia—kecuali negara eksportir minyak. Pemahaman ini harus terus dikampanyekan pemerintah agar dapat mengurangi beban psikologis masyarakat. ●
  • Ekonomi Otopilot

    Ekonomi Otopilot
    Mukhaer Pakkanna, PENELITI CENTER FOR INFORMATION AND DEVELOPMENT STUDIES (CIDES); REKTOR STIE AHMAD DAHLAN, JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 27 Februari 2012
    Di beberapa lokasi strategis di DKI Jakarta dan kota-kota lain di Tanah Air, beberapa bulan terakhir terpampang spanduk: ”Negeri Auto Pilot”. Makna tersirat spanduk itu mengarah pada negeri kita yang berjalan sendiri dan arahnya tidak jelas.
    Negeri otopilot juga bisa dianalogikan sebagai negeri tanpa kepemimpinan yang jelas. Memang demikianlah faktanya. Bangsa Indonesia berjalan sendiri tanpa orientasi. Quo vadis?
    Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Chappy Hakim mengurai otopilot sebagai salah satu peralatan di pesawat terbang yang dapat membantu pilot menerbangkan pesawat.
    Otopilot lazimnya bekerja dengan tenaga mekanik atau elektrik atau hidrolik atau kombinasi dari ketiganya yang dapat menerbangkan pesawat tanpa dikemudikan sang pilot. Artinya, otopilot diasumsikan sebagai pilot yang menerbangkan pesawat secara otomatis. Pilot menjadi lebih relaks dan dapat mengerjakan tugas-tugasnya dengan lebih baik karena tinggal mengawasi dan mengecek silang pada instrumen kokpit.
    Minus Ideologi
    Dengan asumsi itu, dua hal menarik ditelaah jika dikaitkan dengan gerak ekonomi nasional. Pertama, ekonomi otopilot berarti gerak ekonomi yang berjalan secara business as usual. Ekonomi yang tanpa sentuhan pemerintah pun bergerak secara otomatis.
    Kedua, ekonomi otopilot berarti gerak ekonomi yang tidak mementingkan makna ideologi. Yang penting, bagaimana ekonomi bergerak dan masyarakat bisa selamat. Bapak Pembangunan Ekonomi China, Deng Xiaoping, berujar, ”Tidak penting apakah kucing berwarna hitam atau abu-abu, yang penting dapat menangkap tikus.”
    Abainya ekonomi nasional pada makna ideologi meniscayakan hilangnya arah ekonomi Indonesia. Dengan ekonomi otopilot, kita tidak perlu lagi membangun arah ekonomi yang menjamin kemakmuran bersama. Kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan orang-seorang.
    Tidak perlu lagi berorientasi menjamin hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan bersama. Maka, ideologi ekonomi konstitusi pun masuk kubur.
    Tidak mengherankan, persoalan perburuhan dilepas sesuai mekanisme pasar. Penentuan upah minimum regional (UMR) hanya bersifat politis dan formalistis. Politis, karena hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan politik. Formalistis, hanya karena untuk meredam gejolak buruh.
    Demikian juga pada soal sengketa tanah, pemerintah tidak pernah menuntaskan secara permanen, hanya eklektik. Pemerintah melakukan pembiaran untuk memperhadapkan antara pemodal kakap dan rakyat. Bahkan, dalam kondisi yang tidak simetris (asymmetric) meminjam uraian Joseph Stiglitz (2001), pemodal kerap diberi privilese oleh negara untuk melindas rakyat pemilik hak ulayat tanah.
    Dasar perekonomian nasional yang disusun berdasarkan usaha bersama (mutualism) dan kekeluargaan (brotherhood) menjadi dilupakan. Negara mengalami deteriorasi dan mandul inisiatif dalam membangun kebersamaan dan kerja sama antarpelaku ekonomi. Pemodal kakap semakin hidup eksklusif dan autis, sementara mayoritas rakyat menjerit karena kehilangan akses sumber daya ekonomi.
    Ekonomi Timpang
    Merujuk data Lembaga Penjaminan Simpanan (2011), yang dihimpun Perkumpulan Prakarsa, jumlah dana pihak ketiga di perbankan mencapai Rp 2.400 triliun pada 100 juta rekening nasabah pemodal kakap. Namun, 40 persen dari jumlah itu atau Rp 1.000 triliun dikuasai oleh 0,04 persen nasabah kakap atau 40.000 rekening. Hanya 1,3 persen rekening menguasai 75 persen dana pihak ketiga atau Rp 2.000 triliun.
    Sementara itu, pada paruh 2011, kekayaan 40 orang terkaya sebesar Rp 680 triliun atau setara dengan 10,3 persen PDB Indonesia. Jumlah kekayaan 40 orang itu ekuivalen dengan kekayaan sekitar 60 juta jiwa paling miskin. Mengapa demikian?
    Hal itu terjadi karena kebijakan ekonomi tidak lagi ”disusun” sesuai makna konstitusi ekonomi nasional, tetapi dibiarkan ”tersusun” sendiri oleh mekanisme pasar. Secara imperatif negara menyusun, negara mendesain sistem kelembagaan.
    Kata Swasono (2010), wujud ”ketersusunan” merupakan usaha bersama berdasar mutualisme (kepentingan bersama). Di situlah sesungguhnya letak arah dan orientasi demokrasi ekonomi yang terkubur di negeri ekonomi otopilot.
    Negara Terlibat
    Kerakusan ekonomi yang memangsa jiwa masyarakat miskin kian bergulir karena negara (pilot) abai. Gerak ekonomi yang rakus itu karena pilot bertindak business as usual. Tidak ada terobosan signifikan dan permanen untuk membangun serta membangkitkan spirit kebersamaan ekonomi. Nyaris semua kebijakan ekonomi hanya pemanis politik belaka.
    Di sisi lain, desakan ekonomi eksternal di mana Indonesia diposisikan dalam radar investasi portofolio global meniscayakan kekuatan pemodal global akan merasuk ke Indonesia. Lembaga Fitch Rating dan Moody’s Corporation telah menjustifikasi hal itu. Inilah sinyal bahwa Indonesia akan kebanjiran investasi. Hanya sayang, pergerakan investasi itu masih dipicu kekuatan korporasi berskala global.
    Demikian juga penguatan pasar domestik, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk besar dan pasar domestik potensial telah mampu menggerakkan kehidupan ekonomi. Bahkan, konsumsi domestik Indonesia lebih kokoh karena rasionya terhadap PDB mencapai 64 persen.
    Semua ini menandakan, ekonomi Indonesia bergerak karena dorongan kekuatan ekonomi eksternal dan konsumsi domestik. Lagi-lagi, ekonomi otopilot tampak cuek bergerak. Nyaris gerak ekonomi, semuanya diserahkan pada kekuatan pasar.
    Dalam kaitan itu, diperlukan re-ideologisasi ekonomi Pancasila di kalangan para pilot ekonomi (pusat dan daerah) sehingga mereka kembali ”siuman” atas kesalahan fatal kebijakan kerakusan ekonomi saat ini. Negara harus terlibat dalam membangkitkan prakarsa ekonomi dalam ruang kesederajatan dan keadilan antarpelaku ekonomi. ●