Category: Uncategorized

  • Kompensasi Kenaikan BBM

    Kompensasi Kenaikan BBM
    Razali Ritonga, DIREKTUR STATISTIK KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN BPS RI
    Sumber : REPUBLIKA, 28 Februari 2012
    Pemerintah tampaknya segera menaikkan harga BBM untuk mengurangi tekanan terhadap APBN. Diketahui, dengan meningkatnya harga minyak di pasaran global, subsidi BBM juga akan meningkat. Meski demikian, Presiden SBY berjanji akan memberi bantuan langsung sementara kepada masyarakat yang terkena dampak kenaikan BBM, terutama masyarakat miskin. Kebijakan ini merupakan perulangan dari kebijakan yang pernah dilakukan pada 2005 dan 2008.
    Namun, kenaikan harga BBM pada 2005 ternyata meningkatkan angka kemiskinan dari 15,97 persen menjadi 17,75 persen (BPS, 2007). Sebaliknya, angka kemiskinan justru menurun dari 15,42 persen pada 2008 menjadi 14,15 persen pada 2009 (BPS, 2009) pascakenaikan harga BBM pada 2008.
    SLT versus BLT
    Pemberian kompensasi atas kenaikan harga BBM memang perlu diberikan kepada masyarakat terutama kepada masyarakat miskin. Sebab, kenaikan harga BBM akan menurunkan daya beli masyarakat sehingga berpotensi meningkatkan penduduk miskin, baik dari sisi jumlah maupun dari sisi keparahan kemiskinan.
    Kenaikan angka kemiskinan pada 2005, antara lain, disebabkan dua hal.
    Pertama, pemerintah hanya memberikan kompensasi cukup singkat, yakni selama tiga bulan berupa santunan langsung tunai (SLT) yang besarnya per bulan sebanyak Rp 100 ribu. Padahal, kenaikan harga BBM terjadi dua kali, yaitu 1 Maret 2005 dan 1 Oktober 2005. Kedua, pendistribusian SLT dinilai belum sepenuhnya sesuai dengan sasaran karena tidak seluruhnya bantuan diterima penduduk miskin yang membutuhkan.
    Sedangkan, kompensasi kenaikan harga BBM pada 2008 dinilai lebih baik dibandingkan kompensasi kenaikan harga BBM pada 2005. Pertama, pemerintah memberikan bantuan yang sama besarnya Rp 100 ribu berupa bantuan langsung tunai (BLT), tapi dilakukan selama setahun. Bahkan, pemerintah sempat menurunkan harga BBM dari Rp 6.000 menjadi Rp 4.500 pada 2009. Kedua, sistem pendistribusi dilakukan dengan lebih baik, yakni dengan menerbitkan kartu BLT melalui Departemen Keuangan.
    Pemerataan Pendapatan
    Pengalihan subsidi BBM menjadi bantuan kepada masyarakat, terutama masyarakat miskin diharapkan dapat menjadi instrumen pemerataan pendapatan. Secara faktual, angka rasio gini sebagai salah satu ukuran kesenjangan pendapatan menunjukkan keadaan yang belum membaik meski angkanya cenderung menurun. Pada 2005, angka rasio gini tercatat sebesar 0,34, kemudian meningkat menjadi sebesar 0,38 pada 2008. Setelah itu, angkanya menurun menjadi 0,33 pada 2010 (BPS, 2011). Ini berarti kesenjangan pendapatan pada 2010 sama dengan pada 2005.
    Meningkatnya harga BBM akan menyebabkan dampak yang berbeda antarkelompok masyarakat sehingga berpotensi meningkatkan kesenjangan pendapatan. Pada kelompok penduduk hampir miskin (near poor), kenaikan harga BBM akan berpotensi menggiring mereka ke jurang kemiskinan. Penduduk hampir miskin umumnya berada sedikit di atas garis kemiskinan sehingga dengan penurunan daya beli akan memindahkan mereka ke bawah garis kemiskinan.
    Penurunan daya beli dapat terjadi, baik langsung maupun tak langsung. Secara langsung berkaitan dengan penduduk yang menggunakan BBM untuk melakukan aktivitasnya, seperti nelayan, petani, dan transportasi umum yang menggunakan mesin. Sementara, secara tak langsung, kenaikan harga BBM akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa.
    Dari dua fenomena itu, penduduk yang terkena dampak langsung akan merasakan akibat yang lebih parah dari pada penduduk terkena dampak tak langsung. Sebab, penduduk terkena dampak langsung selain pendapatannya menjadi lebih kecil, pengeluarannya akan semakin membesar untuk mengonsumsi barang yang sama.
    Sementara itu, untuk kelompok miskin dan miskin kronis, dampak kenaikan harga BBM akan semakin memperparah kemiskinan. Keterlambatan dalam pemulihan akibat dampak itu akan menggiring mereka dalam kemiskinan kronis yang permanen dan kian sulit dientaskan. Maka, untuk memperkecil risiko peningkatan kemiskinan, pemerintah perlu mempelajari secara saksama dampak kenaikan harga BBM terhadap masing-masing kelompok masyarakat.
    Kelompok miskin dan miskin kronis umumnya bisa diturunkan melalui pemberian bantuan. Sebab, kecil kemungkinannya untuk diberdayakan khususnya penduduk miskin kronis. Semakin besar bantuan yang diberikan, semakin besar kemungkinannya untuk keluar dari kemiskinan.
    Untuk mengatasi penduduk hampir miskin menjadi jatuh miskin, pemerintah perlu mempertahankan aktivitas mereka agar tetap berjalan normal. Di sejumlah negara, subsidi tetap diberikan kepada mereka yang menjalankan usaha yang menggunakan BBM. Di Malaysia, misalnya, subsidi BBM diberikan kepada nelayan dan transportasi umum. Sementara, di Bangladesh dan Kazhakstan, subsidi BBM diberikan kepada petani (World Bank, 2009).
  • Rekrutmen Pejabat

    Rekrutmen Pejabat
    Moh Ilham A Hamudy, Peneliti BPP Kementerian Dalam Negeri
    Sumber : REPUBLIKA, 28 Februari 2012
    Salah satu surat kabar nasional mewartakan mengutip pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD–birokrasi yang ada sampai saat ini adalah birokrasi lama yang karakternya tidak berubah. Hambatan administrasi terjadi justru di birokrasi, terutama di level pejabat eselon. Menurut Mahfud, pada umumnya, urusan macet ada pada pejabat-pejabat birokrasi level eselon II sehingga ada yang menyebut pemerintahan kita adalah pemerintahan eselon II. Pada level ini, urusan baru bisa berjalan kalau didorong dengan uang atau diintervensi dari atas.
    Mengapa demikian? Banyak faktor yang menyebabkan. Salah satu akar persoalannya adalah rekrutmen pejabat eselon di birokrasi yang tidak pernah beres. Sudah menjadi rahasia umum bahwa rekrutmen pejabat bukan lagi didasarkan pada keahlian dan kompetensi yang dimiliki oleh individu.
    Padahal, menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah (PP) No 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Jabatan Struktural, persyaratan untuk dapat diangkat dalam jabatan eselon adalah (a) berstatus PNS, (b) serendah-rendahnya menduduki pangkat 1 (satu) tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan, (c) memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan, (d) semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir, (e) memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan, dan (f) sehat jasmani dan rohani.
    Meski begitu, untuk mendapatkan pejabat yang profesional dan amanah, syarat itu saja tidak cukup. Mesti ada akuntabilitas dan transparansi dalam rekrutmen dan promosi jabatan. Dalam etika pemerintahan, publik harus tahu siapa yang mengurus pemerintahan.
    Transaksi Jabatan
    Jika transparansi dan akuntabilitas ditegakkan, pengangkatan pejabat akan diterima semua pihak. Sehingga, pe merintahan akan dikelola secara amanah oleh orang yang berkompeten, memiliki integritas, dan komitmen memper juangkan kepentingan publik. Tetapi, selama ini yang terjadi sebaliknya. Alihalih publik tahu, calon pejabat yang bersangkutan pun tidak tahu dirinya akan dipromosikan atau dimutasi ke posisi apa dan ditempatkan di mana.
     
    Semuanya serba tertutup. Jabatan seakan hanya menjadi rahasia atasan dan Tuhan saja.
    Si calon pejabat biasanya baru bisa tahu ia akan ditempatkan pada posisi apa dan di mana jika ia mendapatkan jabatan itu dengan membayar upeti.
     
    Cara ini biasanya dilakukan oleh PNS yang merasa kariernya mentok atau menjelang pensiun. Mereka minta dinaikkan jabatan, dimutasi ke tempat yang `basah’, ataupun ingin diperpanjang masa pensiun dan jabatannya. Khusus yang disebut terakhir ini, peraturan perundangan memang membuka celah bagi mereka yang ingin kolusi dan transaksi jabatan.
    PP No 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS jelas mengakomodasi praktik kotor itu. Pasal 4 ayat 1 berisikan, batas usia pensiun PNS dapat diperpanjang bagi PNS yang memangku jabatan tertentu. Sementara, ayat 2 berisikan, perpanjangan batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sampai dengan …. Kata `dapat’ dan `sampai dengan’ ini adalah senjata sakti bagi pemegang kekuasaan dan yang membutuhkan jabatan itu untuk bertransaksi guna memperpanjang masa jabatan dan atau pensiun. Jual beli jabatan pun terjadi. Kalau ingin diperpanjang setahun, harganya sekian, dua tahun sekian rupiah.
    Alhasil, korupsi yang dilakukan para birokrat sampai hari ini tidak pernah surut, malah makin menggila. Data Indonesia Coruption Watch menyebutkan, sepanjang 2011 lalu jumlah PNS yang menjadi tersangka kasus korupsi mencapai 230 orang, berbeda dengan tahun sebelumnya yang hanya 86 tersangka. Para pejabat yang mendapatkan jabatannya secara curang itu melakukan transaksi koruptif dengan menjual kebijakan negara atau menggerogoti anggaran institusinya demi kepentingan pribadi.
    Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan ketika meraih jabatan yang di sandang saat ini. Padahal, menurut Max Weber, salah satu ciri birokrasi yang ideal adalah setiap pejabat sama sekali tidak diperbolehkan untuk melaksanakan tugas yang terkait dengan jabatannya dan sumber daya instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
    Lelang Terbuka
    Kendati reformasi birokrasi (RB) sudah digulirkan, praktik kotor seperti itu masih saja terjadi. RB yang terjadi saat ini hanya bagus di atas kertas dan sekadar mengedepankan remunerasi. Tengok saja RB yang telah dan sedang berlangsung di kementerian, apakah sudah menerapkan akuntabilitas dan transparansi dalam promosi jabatan? Sangat diragukan (kecuali Kementerian PAN-RB dan Kementerian Keuangan yang mulai mereformasi diri)!
    Faktanya, belum ada kemauan dan komitmen kuat dari seluruh pimpinan di jajaran birokrasi untuk melakukan RB. Padahal, RB harus berada di bawah kepemimpinan yang jujur, tegas, dan visioner. Dalam hal ini, menteri, sekjen, kepala daerah, dan sekda harus mampu memimpin tanpa kenal lelah, menghilangkan benturan kepentingan, dan mengajak birokrat fokus pada tupoksi, terbuka, jujur, dan adil.
    Untuk mendapatkan pejabat eselon yang qualified, meminimalisasi praktik jual beli jabatan, pendekatan yang mesti diambil adalah pengembangan potensi human capital, bukan sekadar pendekatan administrasi kepegawaian.
    Rekrutmen dan promosi jabatan dilaksanakan berdasarkan hasil penilaian kompetensi, integritas, dan moralitas oleh Tim Penilai Kinerja Pegawai tanpa membedakan gender, suku, agama, ras, dan golongan.
    Khusus untuk pejabat eselon I dan II, sudah saatnya pengangkatannya dilakukan secara lelang terbuka. Dengan sistem itu, calon pejabat eselon I dan II yang ada di seluruh Tanah Air, tidak hanya di pusat tetapi juga daerah, berkesempatan untuk berkompetisi mengisi jabatan dimaksud. Lebih dari itu, jabatan-jabatan penting itu dapat diisi oleh orang yang benar-benar kompeten dan mempunyai visi ke depan untuk mempercepat pelaksanaan RB. 
  • Lestarikan Pungli!

    Lestarikan Pungli!
    Denny Indrayana, WAKIL MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
    GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UGM
    Sumber : SINDO, 28 Februari 2012
    Pungli. Dua kata, pungutan liar, yang telah menjadi satu,telah membatu, sehingga tidak mudah diurai.Tak ringan dipecahkan. Saking membatunya, saya pikir seharusnya pungli kita lestarikan saja.
    Namun, tunggu dulu. Jangan salah paham. Bukan dilestarikan dalam arti dibiarkan terus terjadi. Tetapi dilestarikan dalam arti dijadikan sejarah masa lalu. Memberantas pungli tentu saja tidak mudah. Namun, ketidakmudahan itu harus dilihat sebagai tantangan, bukan persoalan. Tantangan wajib diubah menjadi peluang.

    Semua orang pasti tahu memberantas pungli tidaklah mudah, tetapi bukan berarti kita lalu berhenti dan tidak melakukan apa-apa. Maka itu,salah satu ikhtiar yang terus kami lakukan adalah menjadikan Kemenkumham sebagai wilayah bebas pungli. Kami sadar betul,ikhtiar itu mudah dideklarasikan,namun sulit direalisasikan.

    Tetapi, tidak ada jalan lain. Kemenkumham memang harus bebas pungli. Seluruh sistem pelayanan di Kemenkumham tidak boleh menjadi ladang subur perpunglian. Maka itu,sistem yang antipungli harus segera diterapkan. Itu maknanya, sistem pelayanan yang berbasis interaksi antarmanusia akan dikurangi secara signifikan karena interaksi itulah yang menjadi pintu masuk pungli.

    Sistem pelayanan berbasis teknologi, akan menjadi solusi. Peralihan dari manusia ke teknologi ini tentu saja harus dilakukan dengan baik. Apalagi,pungli pada praktiknya melibatkan berbagai level petugas. Pungli tidak jarang adalah street level corruption. Korupsi karena kebutuhan (corruption by need),bukan korupsi karena keserakahan (corruption by greed).

    Untuk level korupsi kecilkecilan demikian, meski tetap tidak dapat ditoleransi, pendekatannya tidak semata pemidanaan dan pemenjaraan, tetapi penciptaan sistem yang membuat setiap orang tidak dapat, dan akhirnya sadar, tidak mau melakukan pungli. Berbeda dengan korupsi karena keserakahan, yang tetap harus dipenjarakan dan dijerakan. Termasuk dengan mengetatkan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat.

    Tidak sulit mengidentifikasi bahwa pelaku terdepan pungli adalah pegawai rendahan. Merekalah para pion pelaku di lapangan. Dalam beberapa hari terakhir, saya berkomunikasi dengan para calo di kementerian yang mengaku sebagai pensiunan Kemenkumham atau pegawai strata bawah.Kebutuhan ekonomi menjadi alasannya.

    Kepada mereka tentu saja,tongkat penjeraan tidak serta-merta kami ayunkan.Cukup dengan teguran keras, mereka jera, berhenti menjadi calo pungli.Tentu dengan pembenahan sistem. Dalam beberapa kesempatan, saya mendapatkan laporan langsung dari korban pungli. Saya kemudian turun ke lapangan, menghubungi para calo,berlagak sebagai konsumen yang membutuhkan bantuan pelayanan.

    Setelah bertemu dan mengetahui bahwa yang meminta pertolongan adalah Wakil Menteri, beberapa tentu saja kaget. “Eh, Pak Wamen,” katanya. Dengan warna muka berubah sewarna pelangi.Saya hanya tersenyum kecut dengan hati sedikit menciut karena beberapa langsung dengan fasih menceritakan kebutuhan anaknya untuk sekolah,istri yang sedang sakit, serta kebutuhan ekonomi yang menghimpit.

    Satu cerita justru sangat ironis. Adalah istri saya sendiri yang menelepon dan ditawari “percepatan” pengurusan akta yayasan dengan uang pelicin.Ketika sang calo kemudian saya identifikasi, kepadanya kami mencoba menggali informasi terkait modus dan siapa saja yang terlibat.Data dan fakta itu lebih kami gunakan untuk membenahi sistem.Agar lebih kedap, lebih kebal dari praktik pungli.

    Bukan berarti, pegawai yang terlibat tidak kami tindak. Dia pasti harus memperbaiki kapasitas kerjanya dan integritas moralnya.Pada kesempatan penyimpangan berikutnya,maaf, tidak akan ada ampunan lagi. Tentu saja tidak semua laporan pungli mengandung kebenarannya. Ada saja beberapa yang fitnah.

    Mengaku mempunyai informasi petugas XYZ menerima pungli, tetapi sebenarnya upaya menjatuhkan.Tidak jarang petugas XYZ itu justru petugas yang bersih, sehingga mendapatkan fitnah. Maka itu, informasi saja tidaklah cukup, verifikasi harus dilakukan. Hanya dengan informasi akurat, tindakan tegas dapat dilakukan,utamanya kepada jajaran pimpinan.

    Kenapa pimpinan yang harus diberi sanksi tegas,tidak hanya disiplin administratif, tetapi juga hingga level pidana? Karena pungli tetaplah berwarna korupsi. Pelaku utamanya tetaplah pimpinan.Petugas lapangan hanyalah pion.Yang meski tidak bisa ditoleransi tetap bukan dalang kejahatan. Penghukuman harus dilakukan dengan “tajam ke atas dan tumpul ke bawah”.

    Bukan yang seringkali terjadi saat ini,penghukuman tajam kepada para pencuri sejenis sandal dan tumpul kepada para koruptor perampok uang rakyat. Sekali lagi, pungli tidak bisa ditoleransi. Pungli tetaplah korupsi. Dalam skala kecil sekalipun. Maka itu, pungli harus dilestarikan dalam sejarah. Keep on fighting for the better Indonesia.

  • DW dan Seribu Triliun Pajak

    DW dan Seribu Triliun Pajak
    Mohammad Afifuddin, MAHASISWA PASCASARJANA SOSIOLOGI FISIPOL
    UNIVERSITAS GADJAH MADA
    Sumber : JAWA POS, 28 Februari 2012
    TAHUN ini pemerintah mencanangkan target penerimaan sektor perpajakan dalam APBN mencapai Rp 1.032 triliun. Estimasi itu meningkat Rp 153,9 triliun dibanding APBNP 2011 yang ”hanya” Rp 878,71 triliun. Jika melihat postur APBN 2012 sebesar Rp 1.435,4 triliun, target penerimaan pajak kali ini setara 78,7 persen dari total belanja negara tahun ini. Melihat penerimaan negara bukan pajak tahun ini diperkirakan hanya Rp 124 trilun, realisasi penerimaan sektor pajak menjadi ”harga mati” agar 240 juta kepala yang mendiami negeri ini bisa ”terus berdiri”.

    Tentu, yang dibuat kerja ekstrakeras untuk mengejar capaian tersebut adalah Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Salah satu upaya yang dilakukan Dirjen Pajak adalah mengusulkan skema pajak untuk usaha beromzet Rp 300 juta sampai Rp 4,8 miliar per tahun sebesar 2 persen dari omzet. Perinciannya, 1 persen untuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan 1 persen untuk pajak penghasilan (PPh). Usaha beromzet kurang dari Rp 300 juta per tahun akan dikenai PPh 0,5 persen dari omzet.

    Upaya Ditjen Pajak itu sebenarnya bertujuan baik, yaitu memaksimalkan penerimaan pajak dengan mengoptimalkan potensi pembayar pajak yang selama ini belum banyak tersentuh. Hal itu sesuai dengan perhitungan dalam Sensus Pajak Nasional (SPN) 2011. SPN 2011 menyasar 1,5 juta wajib pajak dengan tujuan mengejar target kenaikan penerimaan pajak menjadi 79 persen dari total pendapatan negara tahun 2012. Dengan SPN tersebut, pemerintah berharap tingkat kepatuhan wajib pajak naik dari 62,5 persen pada 2011 menjadi 65 persen pada 2012.

    Namun, meski bermaksud baik, niat mulia semacam itu tidak selalu mulus dari berbagai halangan. Secara sosiologis, salah satu rintangan tersebut adalah resistansi yang kuat dari para wajib pajak. Manifestasinya di beberapa tempat adalah bersemainya gerakan pembangkangan sipil.

    Gara-gara Dhana

    Sudah menjadi kecenderungan alamiah, siapa saja agak enggan mengeluarkan uang untuk suatu hal yang nilai manfaatnya tidak langsung bisa dirasakan, termasuk pembayar pajak. Apalagi, data statistik menunjukkan perincian APBN 2012 yang ternyata masih mengutamakan pembayaran utang, subsidi, belanja rutin, dan transfer ke daerah yang habis untuk belanja pegawai. Yang benar-benar untuk rakyat dan mendorong pertumbuhan ekonomi hanya 10 persen. Itu pun jika belum ”disunat” para oknum serta mafia anggaran di berbagai instansi.

    Hal tersebut diperkuat fakta empiris bahwa ”perampokan pajak” tidak hanya dilakukan Gayus Tambunan. Sebab, akhirnya terbukti muncul nama Dhana Widyatmika (DW) dan istrinya sebagai pemegang ”tongkat estafet” dari Gayus. Tentu, fenomena tersebut memunculkan skeptisisme: jangan-jangan ini hanyalah fenomena gunung es.

    Kekesalan rakyat (wajib pajak) kian bertambah mengingat selama ini pembayar pajak tidak menerima pelayanan yang semestinya dari PNS atau aparatur negara lainnya terkait dengan pelayanan serta fasilitas publik yang selayaknya menjadi hak pembayar pajak. Berdasar survei Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), misalnya, 58 persen responden menganggap pengelolaan dana pajak untuk kepentingan rakyat masih buruk. Sementara itu, 58,4 persen responden menilai citra institusi dan pegawai Direktorat Jenderal Pajak masih buruk.

    Setidaknya, survei itu membuktikan bahwa sepak terjang Gayus Tambunan masih menjadi ingatan kolektif masyarakat: bahwa aksi mafia perpajakan telah berlangsung masif dan terstruktur. Terpaan berbagai isu dan skandal politik nasional tidak serta-merta menghapus memori rakyat atas rekam jejak seorang pegawai golongan III-A di lingkungan Ditjen Pajak yang berhasil mencaplok puluhan miliar uang hasil pajak tersebut. Jangan-jangan, pajak hanya memperkaya Gayus-Gayus (atau DW-DW) lain yang masih bercokol di Ditjen Pajak.

    Pembangkangan Sipil

    Dari khazanah sejarah, Henry David Thoreau menolak membayar pajak sebagai simbol penolakan terhadap ketidakadilan oleh pemerintah Amerika Serikat terhadap Meksiko pada 1840-an. Sejak itu pula gagasan pembangkangan sipil (civil disobedience) mulai dikenal. Meski gerakan Thoreau tidak membuahkan hasil signifikan, keberaniannya menjadi inspirasi dan berkembang luas karena dijadikan simbol perlawanan terhadap praktik perbudakan serta pelanggaran hak masyarakat Indian. Baru setengah abad kemudian gagasan Thoerau diradikalkan dan terdesiminasi ke level gerakan masyarakat sipil internasional melalui karya penulis legendaris Rusia Leo Toslstoy dan aksi militan Mahatma Gandhi.

    Perlawanan untuk membayar pajak dapat dilihat dari perspektif pembangkangan sipil ketika rakyat tidak setuju terhadap sistem hukum maupun kebijakan yang diterapkan negara. Sebab, dalam era demokrasi deliberatif saat ini, memang memungkinkan rakyat melakukan tekanan melalui pembangkangan sipil. Misalnya, rakyat merasa enggan jika Ditjen Pajak terus mengintensifkan pemasukan dari sektor pajak untuk memaksimalkan penerimaan APBN. Namun, di sisi lain, reformasi birokrasi di Ditjen Pajak hanya lips service dan pembenahan fasilitas publik tidak maksimal terpenuhi.

    Bertolak dari deskripsi kegelisahan masyarakat itu, tepatlah jika John Rawls menyatakan bahwa pembangkangan sipil justru berfungsi sebagai kewajiban natural untuk menegakkan keadilan (Bedau, 1996). Sebab, hal itu dimaknai sebagai alat kontrol rakyat terhadap penguasa yang abai terhadap rakyat dan membiarkan oknum-oknum bawahannya mengorupsi uang pajak rakyat. ●

  • Dimana Partai-Partai?

    Dimana Partai-Partai?
    M. Alfan Afian, DOSEN PASCASARJANA ILMU POLITIK UNIVERSITAS NASIONAL
    Sumber : KOMPAS, 28 Februari 2012
    The morality of a [political] party must grow out of the conscience and the participation of the voters.  (Eleanor Roosevelt)
    Beberapa hasil lembaga survei belakangan ini menunjukkan kecenderungan anjloknya popularitas hampir semua partai politik kita. Kondisi semacam ini mengonfirmasi bahwa fluktuasi reaksi antipartai di titik terendah.
    Masyarakat jenuh dengan partai-partai yang kurang aktual keberadaannya. Mereka hadir dengan pamrih, bukan sebenar-benar ”dewa penolong” bagi kompleksitas masalah sehari-hari.
    Sesungguhnya partai-partai sekarang punya kesempatan luas untuk mengakar ke bawah karena tidak berlakunya lagi praktik ”massa mengambang” (the floating mass). Namun, kelihatannya partai-partai masih belum beranjak dari posisinya sebagai ”benda mati”, berupa kibaran bendera dan simbol-simbol, bukan gerakan sosial yang peduli dan konkret.
    Masyarakat tak butuh bendera dan simbol, tetapi peran nyata dalam mengatasi permasalahan mendesak, kalau bukan mendasar. Ketika media massa menyorot jembatan ”Indiana Jones” di suatu daerah terbelakang, di mana partai-partai? Ketika pembangunan tidak beranjak maju, di mana partai-partai?
    Partai-partai kita masih sebatas mementingkan ”politik panggung” dan enggan mengembangkan diri sebagai sebuah ”gerakan sosial”. Paradigma yang dipraktikkan masih terlalu kuno dalam perkembangan demokrasi kita, yakni paradigma memoles wajah dengan bedak dan gincu pencitraan untuk menuai dukungan suara secara instan. 
    Mereka hanya perlu ”pinjam tangga” legitimasi rakyat untuk sekadar naik ke kekuasaan.
    Ketika kiprah nyatanya dibutuhkan, mereka justru tak kunjung hadir. Dan, ketika hendak pemilu, mereka ramai-ramai hadir justru tidak memberikan pendidikan politik, tetapi langsung ke praktik-praktik pragmatisme- transaksional. Masyarakat sendiri sering tak tahan diperlakukan seperti itu dan jadi masokis: semakin ”disakiti”, semakin ”merasa nyaman”. Maka, hancurlah kultur ”demokrasi kita”.
    Politisi  yang Otentik
    Inilah yang membuat partai-partai kita berwajah menyebalkan. Tidak satu partai pun yang sungguh-sungguh memberdayakan, kecuali sebatas jargon. Partai memang bukan perusahaan, melainkan instrumen politik yang mampu mendorong perubahan sosial. 
    Dengan catatan, apabila kepemimpinan partai mampu mengarahkan ke sana.
    Artinya, kepemimpinan yang visioner dan sungguh-sungguh dalam membangun kelembagaan partai. Bukan partai yang pendek jangkauan visinya, hanya semata untuk mementingkan peluang- peluang politik oligarkis. Partai yang baik bukan sekadar mesin pendulang suara. Ia semestinya punya kader-kader bermutu yang benar-benar dididik untuk menjadi politisi yang otentik.
    Partai atau politisi yang otentik tidak ahistoris dengan permasalahan-permasalahan rakyat. Partai yang benar-benar membangun kader dan menuai simpati rakyat dibesarkan oleh rakyat. Kalau partai dipercaya dan jadi tumpuan harapan rakyat, para politisinya tidak akan sibuk dengan upaya-upaya pragmatis ”menyedekahi” konstituen, tetapi sebaliknya akan didukung beramai-ramai ongkos politiknya. Jadi, bagi partai-partai tidak saja diperlukan kelembagaan yang kuat, tetapi juga kemampuan untuk melakukan revolusi perilaku politik.
    Memulihkan Kepercayaan
    Jelas yang dibutuhkan partai-partai kita saat ini adalah pemulihan kepercayaan. Integritas partai penting, selain kompetensi kader-kadernya yang berkiprah di segenap lembaga politik. Semestinya partai-partai itu ada di tengah-tengah masyarakat dan menjadi bagian dari solusi, bukan justru memicu masalah.
    Pola patronase dan politik uang yang mempersubur praktik pragmatisme-transaksional memang sudah seperti benang kusut. Akan tetapi, tanpa upaya sungguh-sungguh dari berbagai pihak, benang itu semakin kusut. Upaya perbaikan harus datang dari segala arah. Semua memang butuh proses, tetapi tetap harus ada yang berani memulai.
    Partai-partai harus mengada, bukan sebatas poster-poster dan simbol-simbol, melainkan ada kader yang jelas memperjuangkan sesuatu yang nyata. Akar-akar partai harus tertanam kuat, justru karena kemanfaatannya yang signifikan dalam pergerakan sosial. Namun, bukan berarti hendak menyaingi ormas atau lembaga swadaya masyarakat, melainkan komplementer, bahkan juga substitusi.
    Partai-partai memang tak selalu merupakan ”pahlawan” dalam segala urusan, tetapi setidaknya hadir dengan kultur egaliternya, menyapa dan menjadi bagian dari masyarakat dalam menghadapi kompleksitas hidup. Kalau tidak, adanya partai-partai itu sama dengan tidak adanya. ●
  • Darurat Premanisme

    Darurat Premanisme
    Kiki Syahnakri, KETUA DEWAN PENGKAJIAN PERSATUAN PURNAWIRAWAN ANGKATAN DARAT
    Sumber : KOMPAS, 28 Februari 2012
    Jumat, 24 Februari 2012, harian ini menurunkan berita utama di halaman depan dengan judul: ”Tak Ada Tempat bagi Premanisme”. Berita tersebut mewartakan kembali aksi premanisme di Rumah Duka RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, rumah sakit milik TNI Angkatan Darat, Kamis (23/2) dini hari. Tercatat, dua orang tewas akibat serangan brutal oleh sekitar 50 preman bersenjatakan parang tersebut.
    Aksi kriminalis ini mengangkat lagi memori kita tentang berbagai aksi premanisme yang mengakibatkan korban jiwa, termasuk tewasnya Irzen Octa (Sekjen Partai Pemersatu Bangsa) setelah dianiaya para debt collector suruhan sebuah bank swasta berkelas internasional. Kali ini aksi preman malah merangsek hingga ke kompleks milik militer. Meski bukan di markas prajurit, kompleks RSPAD termasuk properti dan simbol eksistensi TNI AD.
    Sudah Amat Akut
    Judul berita Kompas di atas, ”Tak Ada Tempat bagi Premanisme”, lebih merupakan harapan ketimbang kenyataan. Secara riil-faktual, fenomena premanisme malah telah merambah ke mana-mana. Ia hadir dalam berbagai ranah publik dan termanifestasi secara halus ataupun kasar, bahkan brutal.
    Sebenarnya premanisme bisa terjadi di mana-mana, termasuk di negara makmur sekalipun. Keberadaannya di Indonesia sudah muncul sejak lama. Bahkan, mungkin sejak era kerajaan-kerajaan di Nusantara pun premanisme sudah hidup.
    Namun, berita aksi anarkistis, bahkan brutal, oleh para preman di Indonesia beberapa tahun belakangan ini sungguh menyesakkan dada sekaligus memuakkan. Aksi penyerangan dan pembunuhan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, menunjukkan bahwa mereka sudah tidak lagi menghargai dan segan terhadap simbol TNI. Benar bahwa rumah duka tersebut dikelola oleh pihak swasta dan menjadi ruang publik. Namun, kenyataannya bangunan tersebut terletak di tengah-tengah kesatrian AD sehingga aksi itu sangat menyinggung perasaan anggota TNI, termasuk para purnawirawan.
    Virus premanisme di negara ini sudah berkembang ke berbagai lapisan masyarakat: dari bawah sampai kalangan elite. Wajahnya pun beraneka ragam dan umumnya terorganisasi dengan baik; dari organisasi yang terang-terangan sebagai preman, berkedok sebagai organisasi masyarakat, sebagai debt collector di beberapa bank, bahkan terdapat pula organisasi dengan label agama.
    Anarkisme dan brutalitasnya sudah cenderung membudaya. Korban nyawa, luka-luka, dan harta benda yang ditimbulkan sudah amat besar. Lebih dari itu, dampak sosial yang diakibatkan, seperti rasa ketakutan masyarakat serta ketidakpercayaan terhadap aparat keamanan dan aparat hukum, pun sudah amat meluas.
    Dengan demikian, kondisi premanisme di Indonesia dapat dikatakan sudah amat akut atau berada pada stadium tinggi. Itu sebabnya penulis menyebut situasi keamanan terkait fenomena ini sebagai ”darurat premanisme”.
    Hukum Tidak Berjalan
    Keadaan di atas tidak hanya diakibatkan oleh tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, tetapi yang lebih mendasar adalah lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Merebaknya mafia hukum, mafia peradilan, perdagangan hukum, dan semacamnya sudah menjadi rahasia umum.
    Hukum tidak lagi mengayomi masyarakat. Para pencari keadilan umumnya akan gagal atau tidak akan mendapatkannya ketika dia melapor kepada aparat penegak hukum.
    Bahkan, tersebar luas keluhan bahwa apabila mereka melapor kepada penegak hukum, masalah yang dihadapi tidak akan selesai, sebaliknya malah akan kehilangan sejumlah uang. Ada humor sinikal tentang hal ini: ”melaporkan kemalingan ayam malah kehilangan kambing”.
    Oleh karena itu, pantas kalau pada akhirnya mereka memilih jalan pintas: meminta bantuan pada kelompok preman. Beberapa pengguna jasa preman pernah mengemukakan bahwa memang mereka harus mengeluarkan dana besar, tetapi pada umumnya masalah akan terselesaikan ketimbang menggunakan jalur hukum formal.
    Tanggung Jawab Pemerintah
    Keadaan ini tak boleh dibiarkan karena akan menghancurkan rasa aman dan keadilan rakyat secara total. Pemerintah harus segera mengambil langkah serius dan konkret, mengingat masalah ini merupakan tanggung jawabnya. Kondisi semacam ini tidak bisa lagi direspons hanya dengan retorika dalam rapat kabinet atau berbicara elok di depan media. Harus dikeluarkan instruksi yang jelas-tegas, dikuti dengan kontrol yang ketat dan disertai sanksi keras bagi aparat bawahan yang tidak mampu menyelesaikan masalah.
    Tindakan tegas dalam bidang hukum dan keamanan tidak hanya melahirkan dan meningkatkan rasa aman masyarakat, tetapi juga niscaya berimbas pada aspek-aspek kehidupan bangsa lain. Tingkat keamanan yang tinggi akan menjamin stabilitas di bidang politik dan ekonomi, termasuk investasi yang berdampak pada perbaikan mutu hidup rakyat.
    Selain itu, kini saatnya menerapkan budaya malu di kalangan aparat. Para pejabat yang gagal atau tidak mampu melaksanakan tugas seyogianya dengan sukarela dan penuh kesadaran segera mengundurkan diri dari jabatannya, tanpa harus diturunkan atasan atau didesak masyarakat untuk turun. Budaya ini masih teramat langka di kalangan pejabat negeri ini, bahkan terlihat tendensi untuk makin kuat mempertahankan posisi meski sudah terbukti atau terindikasi kuat melakukan tindak pidana korupsi, misalnya.
    Dalam pigura inilah perlu ada keteladanan atau kepeloporan dari para pejabat tinggi negara, kalau perlu dari pejabat tertinggi di negeri ini. Rakyat memang sudah ”mati rasa” terhadap janji, mereka rindu bukti. ●
  • Tersandera dan Mendera

    Tersandera dan Mendera
    Eko Wijayanto, DOSEN FILSAFAT FIB-UI DAN KOORDINATOR PROGRAM STUDI LACAN (PSL-UI)
    Sumber : KOMPAS, 28 Februari 2012
    Dengan gaya dan pembawaan yang santai, tenang, dan santun, Angelina Sondakh duduk di kursi saksi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (15 Februari 2012). Anggota DPR yang juga Wakil Sekjen Partai Demokrat (nonaktif) itu jadi saksi bagi bekas rekan separtainya, Muhammad Nazaruddin, terdakwa kasus dugaan suap wisma atlet SEA Games 2011.
    Kesaksian Angelina ini termasuk hal yang ditunggu-tunggu. Angelina alias Angie, yang pernah duduk sebagai anggota Badan Anggaran DPR itu, diharapkan dapat mengungkapkan aliran dana wisma atlet ke DPR. Namun, apa yang disampaikan Angie di persidangan itu tak lebih dari sederet bantahan.
    Kata ”tidak pernah”, ”tidak ada”, ”tidak tahu”, atau ”tidak kenal” kerap meluncur dari mantan Puteri Indonesia ini. Apakah itu sebuah jiwa yang lembut: sebagai bentuk tersensitif dari subyek?
    Jiwa yang lembut (beautiful soul) memanipulasi dirinya ke sebuah ketidakaktifannya. Dalam fakta, hal tersebut tidak hanya sebuah penyangkalan. Berbanding terbalik dengan makna tersurat dari proposisi beautiful soul itu sendiri, yang mungkin kita pahami sebagai jiwa yang cantik, indah, baik, ataupun memikat. Pemanipulasian makna inilah yang perlu diwaspadai guna menghindari kesesatan makna dalam struktur yang menipu tersebut.
    Kenikmatan Narsistik
    Untuk lebih jelasnya, kita bisa memberikan contoh seperti ini: ”pada saat seorang ibu menjadi tulang punggung keluarga, semua anggota keluarganya mengeksploitasi kebaikannya”. Ia melakukan segala pekerjaan atas tanggung jawabnya meskipun ia mengaku merasa tidak adil dan menderita cukup dalam atas ke-”diam”-annya yang selama ini ia lakukan. Hal ini berlaku karena ia mengimajinasikan identitasnya yang diberikan secara konsistensi atas pengorbanannya. Akan tetapi, dalam hal pengorbanan dirinya tidak ada yang tertinggal. Dalam pemaknaannya kita bisa melihat bahwa ia secara total dirugikan oleh keadaannya.
    Hal tersebut merupakan contoh kasus yang sempurna dari komunikasi Lacanian. Makna dari seorang ibu yang menggugat keadaannya, meskipun keadaannya yang begitu sulit, terakhiri dengan pernyataan bahwa semua pengorbanannya yang telah diberikannya adalah bentuk dari sesuatu yang ia berikan untuk memberikan makna bagi kehidupannya atas identitasnya. Jadi, dalam hal ini, makna sebenarnya adalah pesan yang ia sampaikan.
    Kata makna yang tersirat yang diberikannya dari sikap diam dan jawaban tidak itu adalah: ”ia siap untuk berkorban, mengorbankan semuanya, dan semuanya adalah pengorbanan itu sendiri”. Sebuah kasus yang menyedihkan bahwa ia mengorbankan pengorbanannya sendiri untuk menentukan persetujuannya atas apa yang terjadi pada dirinya, yang menjadikannya seperti budak dan mengeksploitasinya sebagai korban.
    Kesalahannya adalah tidak semudah menyebutkan bahwa ”ketidakaktifannya” dalam mengabaikan eksploitasi diam-diam yang dilakukan oleh anggota keluarganya, tetapi pada kepasrahannya dalam memperpanjang dan membiarkan hal ini terjadi. Dan hal itu terjadi dalam simbolik sosial, dalam hubungan keluarga yang di dalamnya ia memiliki peranan. Di sini kita bisa juga memaknai dari kejelasan antara ”konstitusi” dan identitas yang ”terkonstitusikan” antara ideal ego dan ego ideal.
    Dalam tingkatan ego ideal yang dibayangkan, beautiful soul melihat peranannya sebagai seseorang yang rapuh, korban pasif. Ia mengidentikkan dirinya dengan perannya; dalam hal ini menjadi seperti peranan yang harus ia lakukan. Ia menunjukkan bahwa peran yang diberikan kepadanya adalah kenikmatan narsistik yang bisa dibanggakan.
    Namun, dalam hal sebenarnya, ia masuk ke dalam struktur formal dari intersubyektivitas yang membolehkan asumsinya terhadap peranannya itu. Dengan kata lain, strukturisasi dalam ruang intersubyek (hubungan keluarga) adalah simbol identitasnya, poin dari yang ia temui sebagai dirinya, sehingga ia muncul sebagai peran yang ia harapkan dan dibayangkan sendiri.
    Peran Seorang Ibu
    Jiwa yang lembut memiliki struktur dalam realitasnya yang kita asumsikan sebagai korban pasif, yang dibutakan dengan isi yang menggiurkan, semacam beauty of the role of ”suffering victim”.
    Dalam hal ini ia memperlihatkan bahwa ia terbuai dengan bentuk formal yang dibuat oleh masyarakat tentang peran seorang ibu sebagai penanggung jawab, tetapi tidak memperhatikan kualitas isi yang akan ia dapatkan tanpa pernah terpikirkan konsekuensinya.
    Pada akhirnya, dalam bahasa yang biasa kita ucapkan sehari-hari, subyek yang ’’diam” (bungkam), ia hanya mengasumsikan kewajibannya sebagai keadaan yang sudah diberikan kepadanya sehingga ia tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Namun, ia setuju atas hal itu dan menerimanya sebagai ”hasil kerjanya” yang dilihat sebagai tindakan formal yang benar.
    Ditipu Diri Sendiri
    Benar bahwa sebuah pengakuan akan membuka mata kita atas apa yang terjadi pada kita dalam kehidupan sehari-hari. Membuka apa yang tersembunyi dari sesuatu yang tidak terlihat secara awam, yang hanya bisa dirasakan dengan perasaan yang kuat untuk bisa menentukan hal tersebut, adalah sesuatu yang asli atau hanya kepura-puraan yang tidak kita sadari.
    Hal ini sangat penting untuk kita. Contohnya, dalam membedakan status bentuk dan isi yang ada dalam pada setiap peran manusia, kita mungkin merasa secara formal memiliki bentuk peranan yang baik meskipun pada dasarnya kita—tanpa disadari—terjebak dalam peranan yang merugikan kita. Kita bisa saja menikmati setiap hal positif yang kita rasakan meskipun di balik itu tersirat sebuah tindakan yang bisa ”membunuh” kita secara pelan-pelan. Mengapa? Karena, diamnya kita yang tidak menyadari apa yang sedang terjadi pada diri kita.
    Bisa jadi kita benar-benar tertipu dengan kejadian-kejadian yang menerpa kita. Ketika sebuah tanggung jawab moral kita yang kita lakukan—berdasarkan kepedulian, welas asih, ketulusan, dan murni untuk bisa memberi—secara diam-diam kita bisa dimanfaatkan dengan cara yang tidak elegan di dunia nyata ini. ●
  • Menempuh Jalan Tuhan

    Menempuh Jalan Tuhan
    Saiful Amin Sholihin Al-Ishaqi, PENGASUH GD MAMBAUL HIKMAH,
    KOTA MOJOKERTO, JAWA TIMUR
    Sumber : KOMPAS, 28 Februari 2012
    Islam, sebagaimana agama lain, merupakan agama dakwah; agama yang mengajak ke jalan Allah SWT, jalan Tuhan.
    Namun, dakwah Islam harus dilakukan dengan bijak, penuh hikmah, dengan pelajaran (al-mau’idlah) dan contoh (al-uswah) baik. Seruan berdakwah itu tak harus dilakukan setiap orang. Cukup sebagian orang saja.
    Ajakan menuju jalan Allah merupakan nilai sangat luhur. Suatu ajakan untuk beribadah kepada Allah serta menginternalisasi dan mengaktualisasi nilai-nilai Ilahiah. Setelah shalat, manusia diharap bisa ikhlas, sabar, serta berbuat baik kepada manusia dan makhluk lain, tanpa membedakan identitas.
    ”Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Dan, bantahlah mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih tahu tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih tahu tentang orang-orang yang mendapat petunjuk” (Surat An-Nahl, 16: 125).
    Bagi anak-anak di pesantren, ayat ini terkategori muta’addi; kata kerja (fi’il) yang membutuhkan obyek (maf’ul). Namun, dalam ayat itu tak disebutkan siapa yang harus diajak ke jalan Allah. Sebagian ulama ahli tafsir menambahkan ”manusia” sebagai obyek dalam Surat 16: 125 tadi. Seruan ini untuk Nabi Muhammad SAW, tetapi berlaku bagi para pengikut Nabi.
    Begitu pula obyek ayat tersebut. Meski tak disebutkan, ditafsirkan secara umum, yaitu manusia. Lalu, manusia seperti apa yang diajak menuju jalan Allah? Tentu saja manusia yang belum mengenal atau belum menempuh jalan Allah. Bukan manusia yang sudah mengenal, apalagi yang sudah menempuh jalan Allah.
    Dengan demikian, ada pertanyaan: apakah ceramah agama yang digelar di forum-forum formal terkategori dakwah dalam Surat 16: 125 tadi atau bukan? Sebab, yang hadir dalam forum itu sudah mengenal jalan Allah. Bahkan, ada yang sudah menempuh jalan Allah. Jika demikian, kenapa harus diajak menempuh jalan Allah lagi?
    Dalam hal ini, penulis berpendapat, pengajian-pengajian di masjid, langgar, pengajian akbar, apalagi di TV, bukan termasuk dakwah dalam kategori Surat 16: 125 itu. Pengajian itu terkategori pembelajaran ilmu keagamaan (al-ta’lim), bukan dakwah (al-da’wah). Dalam Islam, pembelajaran ilmu agama berkedudukan tinggi dan sangat mulia.
    Ironisnya, banyak penceramah tidak proporsional: semestinya memberi pelajaran dan pengetahuan agama, tetapi materi ceramah malah materi dakwah. Mengajak orang miskin bersabar, tetapi si penceramah kaya raya. Mengajak sederhana, tetapi ia hidup mewah. Ironis lagi, bukan ilmu agama atau dakwah yang disampaikan, tetapi lelucon berbungkus agama.
    Efektivitas penyisipan lelucon bisa diperdebatkan. Ada yang setuju, ada yang menolak. Penulis termasuk yang setuju sebagai metode pembelajaran dan ceramah. Namun, lebih banyak lelucon juga naif. Sebab, pendengar lebih teringat lelucon, bukan inti ilmu agama dari si penceramah.
    Fanatisme Buta
    Ada pula ceramah yang tidak disisipi lelucon, tetapi dipenuhi provokasi berbalut dalil agama sehingga para pendengar membenci kelompok lain. Hasilnya bukan pencerahan keagamaan, melainkan sikap fanatisme buta suatu kelompok terhadap kelompok lain. Selalu merasa benar dengan menyalahkan kelompok lain. Padahal, menjadi benar tak harus menyalahkan yang lain.
    Dakwah juga bisa berbentuk nonceramah, yaitu dengan tindakan. Organisasi keagamaan semisal NU, Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad juga memiliki agenda dakwah Islam. Mendirikan lembaga perekonomian, pendidikan, rumah sakit, mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi melawan koruptor, menolak terorisme, termasuk bagian dari dakwah Islam. Saat ini, hal-hal itu semestinya menjadi prioritas dakwah.
    Ajakan ke jalan Allah juga harus dengan cara bijak, penuh hikmah, serta dengan pelajaran dan contoh yang baik. Tak seharusnya mengajak orang menuju jalan Allah, tetapi yang dilakukan cara-cara tidak benar. Semisal menyerang, mengusir, melukai, dan bahkan membunuh mereka yang hendak diajak ke jalan Allah.
    Dalam konteks ini, para pegiat ormas yang terkadang kerap memakai cara kekerasan harus mereformulasi pola dakwah. Sebab, dakwah dengan model seperti itu terbukti ditolak masyarakat. Tak hanya masyarakat non-Muslim, umat Islam juga menolak. Semisal yang terjadi di Jombang dan Kediri, Jawa Timur, serta Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
    Dari perspektif ini pula tuntutan pembubaran FPI harus dilihat. Bagi penulis, tuntutan pembubaran FPI dan ormas sejenis sebangun dengan yang dilakukan FPI dan ormas sejenis tadi. Jika tetap memilih cara-cara anarkistis, semakin kuat pula penolakan itu. Jika santun, menghargai keragaman Indonesia, tentu akan disambut masyarakat. Alhasil, akhiri kekerasan di Indonesia. ●
  • Salah Elus Jago, Seret RI Tanpa Kehormatan

    Salah Elus Jago, Seret RI Tanpa Kehormatan
    Sukardi Rinakit, PENELITI SENIOR SOEGENG SARJADI SYNDICATE
    Sumber : KOMPAS, 28 Februari 2012
    Anda mungkin akan terenyak, kecewa, marah, atau malah tersenyum. Terserah saja. Ini hipotesis saya, ”Apabila politik bergerak linier seperti sekarang, siapa pun yang di-endors oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dialah pemenang Pemilu 2014. Figur itulah yang berjodoh dengan wahyu kepresidenan.”
    tulah jawaban penulis ketika ditanya oleh istri tentang siapa yang akan memenangi pilpres nanti. Tahun 2003, ia juga mengajukan pertanyaan sama. Ketika itu, Partai Demokrat belum berdiri dan saya memberikan jawaban bahwa apabila ada partai yang mengusung SBY, dia akan terpilih jadi presiden. Demikian juga tahun 2009, ketika Sultan Hamengku Buwono X akhirnya memutuskan untuk tidak maju menjadi capres karena beliau menjunjung tinggi darma satria untuk tidak terlibat money politics, SBY pasti terpilih kembali.
    Akan tetapi, saya mematuhi dengan hormat pesan almarhum Nurcholish Madjid agar saya sementara waktu menjadi ”pemompa ban kempis” (mendukung yang lemah) agar konsolidasi demokrasi bergerak cepat. Juga karena alasan ideologis sebagai seorang marhaenis, yang dalam dua pemilu lalu mendukung PDI-P dengan Megawati Soekarnoputri sebagai capres. 
    Padahal, secara prediktif, sudah bisa diraba siapa pemenangnya. Selanjutnya, sebagai warga negara, saya mencoba konsisten untuk bersikap kritis terhadap pemerintah dengan harapan bisa ikut memperkuat bekerjanya mekanisme checks and balances dalam praktik bernegara.
    Tiga Pergeseran
    Hipotesis tentang peran SBY sebagai endorser didasari logika sederhana. Meski popularitas SBY cenderung menurun, seperti ditunjukkan oleh beberapa hasil survei, tetap saja popularitasnya berada pada 40-50 persen. Menurut hasil survei terakhir yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia, popularitas tertinggi tokoh-tokoh lain ditempati Megawati Soekarnoputri (15,2 persen), Prabowo Subianto (10,6 persen), Jusuf Kalla (7 persen), dan Aburizal Bakrie (5,6 persen).
    Maknanya, terlepas dari kondisi Partai Demokrat yang porak poranda, secara politik sumber daya politik SBY masih sangat kuat. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir ada gejala, dia sekali-kali berani keluar dari kerangkeng rasa amannya, seperti dalam kasus upah minimum dan demonstrasi buruh di Bekasi dan Tangerang, kritik terhadap masyarakat internasional pengembargo produk sawit Indonesia, serta sinyalnya untuk meminta maaf kepada korban pelanggaran hak asasi manusia.
    Mencermati munculnya nama-nama yang berpeluang menjadi capres dan kaitannya dengan posisi sentral mereka di partai politik, tidak tertutup kemungkinan nama-nama yang beredar sekarang nanti akan mengerucut pada tiga figur, yaitu Megawati, Prabowo, dan Aburizal Bakrie. Merekalah yang sekarang ini ”mempunyai” partai. Sejauh ini belum ada figur yang mencuat dari Partai Demokrat. Bisa jadi, Djoko Suyanto yang diam-diam mereka gadang-gadang. Entah kepada siapa SBY akan memberikan dukungan, sejarah yang akan mencatat.
    Untuk calon wakil presiden, banyak stok tokoh tersedia di atas meja. Dari ranah kabinet, misalnya, ada Hatta Rajasa dan Dahlan Iskan. Dari provinsi ada Rustriningsih (Wakil Gubernur Jawa Tengah), Alex Noerdin (Gubernur Sumatera Selatan), dan Soekarwo (Gubernur Jawa Timur). Dari penegak hukum ada Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi) dan dari partai ada Puan Maharani (PDI-P).
    Meski pemilu masih jauh, sebagai warga bangsa kita diperkenankan untuk mulai mengelus-elus jago masing-masing. Dalam konteks ini, selain gerak-gerik (polah sak jangkah) dan omongan (gunem sak klimah) dari para tokoh tersebut, hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah pemahaman mengenai realitas politik kekinian.
    Dinamika politik Indonesia saat ini ditandai oleh tiga pergeseran. Pertama, terjadi kehancuran ideologi dan digantikan oleh kapital. Dalam setiap kontestasi politik dari pemilihan ketua partai sampai pilpres, kapital menjadi bahasa utama. Setiap kepala ada harganya. Ini telah membunuh perjuangan ideologi dan cita-cita berbangsa dan bernegara yang dipanggul dengan setia oleh para bapak bangsa. Dalam batas-batas tertentu, Indonesia kini menjadi paria.
    Pergeseran kedua terletak pada melemahnya kewibawaan partai politik yang digantikan oleh popularitas kandidat. Kepercayaan masyarakat kepada partai politik secara umum merosot tajam, partai menjadi tidak berharga karena perilaku pimpinan partai yang tidak santun, ingkar janji politik, dan terbelit korupsi akut. Singkatnya, seorang kandidat yang populer telah menggantikan fungsi dan daya hidup partai.
    Pergeseran terakhir, propaganda yang menjadi alat komunikasi politik partai ketika berhadapan dengan massa rakyat telah dibunuh oleh marketing politics, bahkan lebih rendah lagi, sekadar selling politics. Iklan untuk membangun citra, yang sebenarnya tak lebih dari sekadar bedak dan gincu, telah memusnahkan kesaktian para propagandis yang sangat ideologis.
    Becermin dari tiga pergeseran tersebut, tampaknya Indonesia masa depan tidak sekadar membutuhkan tokoh yang bisa menjamin terpenuhinya sandang, pangan, dan papan, tetapi juga tegaknya ideologi serta cita-cita berbangsa dan bernegara. Kesalahan mengelus jago akan menyeret Indonesia menjadi negara miskin dan tanpa kehormatan.
    Anda mau? Saya tidak. ●
  • Korporasi dan Korupsi

    Korporasi dan Korupsi
    Romli Atmasasmita, GURU BESAR EMERITUS UNIVERSITAS PADJADJARAN,
    ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASIONAL DEMOKRAT (NASDEM)
    Sumber : SINDO, 28 Februari 2012
    Korporasi pada abad ke-21 telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional di seluruh dunia. Jika dirunut sejarah korporasi di Indonesia, harus diakui bahwa sejak pemerintah kolonial Belanda, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sesungguhnya adalah sekumpulan badan usaha Belanda yang melakukan perluasan perdagangan ke Nusantara dan beberapa daerah jajahan lainnya.

    Korporasi dalam abad globalisasi saat ini dilandaskan pada aliran liberalisme yang meyakini bahwa korporasi harus diberikan ruang gerak berbisnis tanpa hambatan. Harapannya adalah dunia usaha yang baik tanpa KKN (korupsi,kolusi,dan nepotisme) akan berdampak pada peningkatan devisa negaradanpadagilirannya akanmemberikan kesejahteraan bagi rakyat di negerinya.

    Pernyataan ini seakan tampak sempurna, tetapi dalam kenyataan berbeda jauh sekali karena selain terdapat korporasi yang sungguh-sungguh melaksanakan prinsip good corporate governance(GCG), terdapat juga korporasi yang berselimut legitimitas, tetapi beraktivitas kejahatan.Korporasi semacam ini dikenal dengan berbagai istilah,corporate crime atau business crime, dan berasal dari korporasi yang didirikan oleh organisasi kejahatan (mafia).

    Kondisi ini terutama terjadi di AS sejak 1950-an sampai saat ini, juga di Jepang dengan Yakuza dan di beberapa negara lain termasuk Indonesia. Kehidupan dan perkembangan korporasi di Indonesia kini didasarkan pada Undang- Undang (UU) RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sejak pendiriannya sampai pada perubahan anggaran dasar. Undang-undang 2007 telah mengatur tentang berbagai syarat pendirian bagi suatu perseroan terbatas antara lain nama dan tempat kedudukan perseroan,maksud dan tujuan,serta jumlah modal yang disetor.

    Selain itu juga dalam akta pendirian tercantum sekurang-kurangnya nama dan alamat lengkap pendiri perorangan, direksi dan komisaris, kewarganegaraannya, juga nama pemegang saham perseroan tersebut. Semua data korporasi berbadan hukum tercatat pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM.Korporasi dalam Undang-Undang Antikorupsi Tahun 1999/2001 dan UU Antipencucian Uang Tahun 2010 adalah yang berbentuk badan hukum (perseroan terbatas) dan bukan berbadan hukum seperti organisasi masyarakat dan partai politik.

    Keterlibatan Korporasi

    Dalam praktik pemberantasan korupsi sejak 1960-an sampai saat ini 99% perkara korupsi selalu melibatkan korporasi di dalamnya baik sebagai pelaku maupun korporasi dijadikan kendaraan untuk melakukan korporasi atau menikmati keuntungan dari kejahatan. Fakta ini mencerminkan bahwa proses pendirian korporasi dan perubahan anggaran dasar memerlukan kajian ulang sehingga dapat dicegah korporasi bertentangan dengan maksud dan tujuan pendiriannya.

    Korporasi dalam sistem hukum pidana telah diakui sebagai subjek hukum pidana yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana dan dijatuhi hukuman termasuk ormas dan partai politik yang terlibat dalam korupsi. Pertanggungjawaban pidana tersebut dibebankan pada direksi, dewan komisaris,dan pemegang saham sebagai peserta RUPS (rapat umum pemegang saham) atau kepada personel pengendali di dalam suatu korporasi.

    Personel pengendali ini diartikan dalam UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.

    Merujuk pada UU RI Nomor 8 Tahun 2010 di atas,penyidikan dan pembuktian harta kekayaan yang diduga berasal dari korupsi termasuk antara lain tugas dan wewenang KPK sehingga dapat menyentuh personel pengendali korporasi, tidak hanya direksi atau anggota dewan komisaris atau pemegang saham korporasi.

    Pertanggungjawaban pidana organ korporasi harus juga mempertimbangkan secara hati-hati ketentuan mengenai tanggung jawab perdata yang telah diatur dalam UU RI Nomor 40 Tahun 2007 agar tidak terkesan perkara perdata yang dikorupsikan.Pemiskinan koruptor termasuk korporasinya dapat lebih efektif jika UU Pencucian Uang digunakan secara optimal karena sasaran utama adalah aliran dana hasil korupsi baik kepada direksi, anggota dewan komisaris, dan personel pengendali.

    Pemiskinan koruptor dan korporasi dapat diwujudkan jika tuntutan penuntut umum memasukkan ketentuan Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU RI Nomor 20 Tahun 2001.Aturan itu secara khusus mengatur masalah pidana penutupan seluruh atau sebagian perusahaan dan pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana (perorangan atau korporasi).

    Dalam rangka penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Pasal 12 UU KPK bahkan memberikan kewenangan untuk memerintahkan pemblokiran, meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka perorangan dan korpo-rasinya. KPK juga bias menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan,lisensi,serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi.

    Langkah pemiskinan tersebut tidak akan terwujud jika KPK sejak penyelidikan dan penyidikan tidak melakukan langkah hukum di atas dan penuntut umum tidak memasukkan tuntutan pidana tambahan di atas ke dalam tuntutannya.