Category: Uncategorized

  • Saatnya Berguru ke Malaysia?

    Saatnya Berguru ke Malaysia?
    Djwantoro Hardjito, DOSEN TEKNIK SIPIL UK PETRA, SURABAYA;
    PERNAH MENGAJAR DI MALAYSIA
    Sumber : KOMPAS, 29 Februari 2012
    Hari-hari belakangan ini kalangan kampus memiliki topik diskusi hangat: kewajiban publikasi karya ilmiah agar dapat lulus program S-1, S-2, ataupun S-3. Alasan utama di balik keputusan itu adalah minimnya jumlah publikasi dari Indonesia jika dibandingkan dengan negara jiran, Malaysia.
    Berdasarkan data Scopus (www.sciencedirect.com) per 9 Februari 2012, tercatat National University of Singapore sebagai universitas dengan jumlah publikasi tertinggi di Singapura (64.991 publikasi), sekaligus ”juara”-nya ASEAN. Mahidol University sebagai yang tertinggi di Thailand (17.414), sementara University of Malaya (16.027) mencatat jumlah publikasi tertinggi di Malaysia. Indonesia? ”Juara”-nya ITB yang mencatatkan angka 2.029 publikasi. Memang lebih tinggi daripada prestasi universitas ”juara” dari Vietnam, Brunei, Laos, ataupun Myanmar, tetapi kalah jauh dibanding ”juara”-nya Malaysia.
    Scopus adalah basis data yang mendata karya-karya ilmiah di seluruh dunia yang bereputasi tinggi. Data publikasi dan jumlah sitasi yang dicatat Scopus banyak dipakai sebagai salah satu alat ukur kinerja universitas secara internasional.
    Perbandingan publikasi empat negara ASEAN (Singapura, Malaysia, Thailand, dan Indonesia) yang diindeks Scopus (1996-2010) memperlihatkan betapa jauh beda publikasi Indonesia dibandingkan dengan tiga negara ASEAN lain. Sejak 2007, lonjakan publikasi dari Malaysia tercatat begitu besar. Mereka tidak hanya semakin jauh meninggalkan Indonesia dan mengalahkan Thailand, tetapi juga secara total publikasi mengungguli Singapura. Indonesia tetap konstan di posisi keempat. Kalau yang diperbandingkan adalah jumlah publikasi per kapita, gambarannya akan lebih dramatis lagi.
    Fenomena Malaysia
    Itu rupanya yang membuat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi ”kebakaran jenggot”, lalu mengeluarkan instruksi yang ”membakar” banyak kalangan kampus di Indonesia. Keprihatinan Dirjen Dikti ini patut jadi keprihatinan bersama. Lalu, apa rahasia di balik lonjakan ”prestasi” Malaysia yang amat mengagumkan itu?
    Lonjakan besar yang terjadi, terutama sejak 2007, diawali kebijakan Pemerintah Malaysia mendorong universitas-universitasnya jadi universitas riset. Kebijakan ini dibarengi penggelontoran dana dan fasilitas riset besar-besaran, selain memadainya gaji para dosen. Universitas yang berhasil dapat predikat ”universitas riset” berhak atas banyak fasilitas menggiurkan, yang mendorong universitas-universitas lain untuk menggapai predikat ini.
    Perolehan dana riset dari MOSTI (Kementerian Riset dan Teknologi-nya Malaysia) dilakukan melalui jalur kompetisi nasional. Prosesnya sederhana dan cepat. Dapat dikatakan tidak ada dosen level senior lecturer ke atas yang tak punya dana riset memadai. Untuk mendapat dana riset 200.000-an ringgit (Rp 500 juta-Rp 600 juta) per topik riset tidaklah sulit.
    Di Malaysia juga dimungkinkan jalur S-2 dan S-3 ”by research”. Dapat dikatakan semua universitas menerima mahasiswa S-2 dan S-3 walau baru berdiri. Dengan sistem ini, dimungkinkan penerimaan mahasiswa S-2 dan S-3 kendati jumlah mahasiswanya hanya 1-2 orang. Asal ada pembimbing berkualifikasi memadai dapat dimulai studi S-2 dan S-3. Dengan sistem ini, dapat dikatakan semua dosen bergelar doktor bisa punya mahasiswa S-2 dan S-3 untuk dibimbing, elemen amat penting dalam pelaksanaan riset.
    Untuk menunjang kelangsungan riset, bilamana sumber daya dosen lokal yang ada belum memadai, terbuka luas kesempatan mengundang dosen asing bergelar doktor untuk mengajar sekaligus jadi peneliti. Setiap universitas punya otoritas untuk menetapkan jabatan akademik, tak harus mengurus ke ”Dikti”-nya mereka secara sentral seperti di Indonesia.
    Proses penetapannya juga amat cepat, utamanya melihat kinerja riset. Universitas juga punya otoritas menetapkan standar gaji dan fasilitas. Tidak heran jika banyak dosen bergelar doktor dari Indonesia jadi ”TKI” di sana. Kehadiran dosen asing yang mumpuni ini jadi faktor penting pendongkrak kinerja riset Malaysia.
    Situasi Kita
    Gambaran di atas berbicara tentang persentase artikel yang ditulis oleh penulis dari sejumlah negara. Angka yang dicatat dari publikasi Indonesia sangat tinggi, 70-80 persen, jauh lebih tinggi dibanding tiga negara lain (30-50 persen). Artinya, 70-80 persen publikasi ilmiah dari Indonesia hasil kolaborasi dengan penulis dari negara lain. Hal ini bisa jadi suatu indikator yang baik karena penulis-penulis Indonesia menjalin kerja sama erat dengan peneliti dari sejumlah negara.
    Namun, hal ini juga bisa berarti lain. Mengingat angka publikasi yang relatif rendah, bisa jadi publikasi ilmiah Indonesia dihasilkan terutama oleh peneliti Indonesia yang studi S-2 dan S-3 di luar negeri, kemudian menuliskan karya ilmiahnya bersama dosen pembimbingnya. Dan, sangat mungkin setelah pulang ke Indonesia produktivitas mereka langsung anjlok dan tak melakukan publikasi lagi.
    Hal ini mestinya perlu ditelusuri penyebabnya. Boleh jadi ini penyebab utama rendahnya publikasi Indonesia. Patut diduga, iklim riset yang kurang kondusif menyebabkan peneliti Indonesia jadi ”mandul” sepulang ke Indonesia.
    Bukan rahasia lagi, banyak peneliti hebat kita yang baru pulang studi lanjut di luar negeri kembali ke kampus tak punya meja, apalagi fasilitas dan dana riset. Belum lagi beberapa kebijakan Dikti yang bertentangan dengan semangat menaikkan jumlah publikasi Indonesia. Di antaranya apa yang dinamakan ”batas kepatutan” dalam melaksanakan penelitian yang dinyatakan dalam Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Fungsional Dosen, dikeluarkan Dirjen Dikti, Oktober 2009.
    Hal lain, karya ilmiah yang terbit dalam rentang antara penyerahan berkas penilaian angka kredit dan tanggal SK jabatan akademik tak dapat digunakan untuk kenaikan jabatan berikutnya. Rentang waktu ini bisa lebih dari satu tahun. Tak sulit menemui dosen yang enggan menerbitkan karyanya dalam rentang waktu ini karena nantinya akan dinyatakan ”hangus”. Jelas kebijakan ini tak senapas dengan instruksi Dirjen Dikti terbaru. Belum lagi, berapa banyak dosen bergelar doktor yang tak punya anak bimbing S-2 dan S-3? Berapa banyak pula ketua jurusan, dekan, dan pejabat akademik lain penentu kebijakan di universitas kita yang tidak punya rekam jejak riset dan publikasi bermutu?
    Harus diakui fondasi bangunan riset kita masih rapuh, berakibat pada rendahnya publikasi kita. Jalan pintas instruksi Dirjen Dikti perlu dibarengi dengan upaya serius pembangunan fondasi riset yang lebih kokoh agar keberhasilannya lebih berkelanjutan. Mungkinkah saatnya kita berguru kepada Malaysia? ●
  • Kenaikan BBM Bersyarat

    Kenaikan BBM Bersyarat
    Ahmad Erani Yustika, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
    UNIVERSITAS BRAWIJAYA, DIREKTUR EKSEKUTIF INDEF
    Sumber : SINDO, 29 Februari 2012
    Setelah terkatung-katung beberapa lama, pemerintah tampaknya benarbenar akan menaikkan harga bahan bakar minyak/BBM (premium) pada April 2012 nanti.
    Tahun lalu pemerintah sebetulnya sudah membentuk tim kajian dari tiga perguruan tinggi yang diketuai Anggito Abimanyu, yang salah satu hasil kajiannya berisi rekomendasi kenaikan harga premium dan sebaiknya dilakukan pada April 2011. Entah dengan pertimbangan apa, hasil kajian itu tidak dipakai sampai hari ini. Setelah itu, pemerintah pada akhir 2011 dan awal 2012 malah mengeluarkan wacana yang kurang masuk akal,yakni membatasi konsumsi BBM dan melakukan konversi ke pemakaian gas.

    Kebijakan ini dianggap kurang masuk akal karena membutuhkan pengawasan yang sangat ketat (untuk kebijakan penghematan) dan persiapan yang panjang/ matang (untuk konversi gas). Setelah kritik bertubi-tubi diteriakkan berbagai pihak, akhirnya pemerintah mengeliminasi dua wacana tersebut.

    APBN dan Biaya Birokrasi

    Diskursus kenaikan harga BBM ini sebetulnya sudah dimaklumi oleh sebagian besar masyarakat. Mereka mafhum atas dua situasi yang dialami Indonesia: cadangan minyak yang menipis (sehingga kita telah lama menjadi importir) dan harga minyak internasional yang merosot. Mayoritas rakyat juga paham bahwa subsidi minyak sebagian besar secara langsung dinikmati oleh golongan berpendapatan menengah- atas.

    Bahkan, jika dibandingkan dengan masa lalu, sekarang terdapat fenomena yang jarang ditemui: parlemen/DPR mendorong agar pemerintah menaikkan harga BBM. Ini jelas hal yang menarik, sebab sejak dulu parlemen paling kritis terhadap rencana kenaikan harga BBM.

    Memang sampai kini masih ada beberapa anggota parlemen/partai politik yang menolak rencana tersebut, tapi jumlahnya tidak signifikan sehingga hampir pasti kebijakan kenaikan BBM disetujui parlemen. Hal ini tentu merupakan kemewahan situasi yang dimiliki pemerintah saat ini. Sungguhpun begitu, terdapat dua kenyataan yang perlu dipertimbangkan pemerintah secara masak.

    Pertama, pemakluman rakyat terhadap rencana kenaikan BBM berdiri di atas realitas pemerintah yang gagal memberikan hak hidup layak bagi warganya. Contoh yang paling kasatmata adalah buruknya infrastruktur dan sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan. Di luar Jawa gampang ditemui sarana jalan dalam kondisi rusak berat sehingga mengganggu pergerakan kegiatan ekonomi, termasuk distribusi komoditas pangan.

    Bahkan tidak perlu jauh-jauh, di Provinsi Banten anak SD harus menyeberangi sungai, melewati hutan, dan melintasi kubang bekas air hujan untuk bisa menjangkau sekolah akibat tidak ada jembatan dan jalan.Tiap tahun diberitakan pengangguran terbuka turun,tapi sebagian besar tenaga kerja bekerja di sektor informal (sekitar 65%). Mereka dibiarkan mencari penghidupan sendiri akibat ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja formal yang laik.

    Kedua, salah satu alasan pemerintah menaikkan harga BBM adalah demi menyelamatkan fiskal. Argumennya, tidak mungkin APBN diminta menomboki subsidi minyak sampai Rp200 triliun, padahal itu hanya dinikmati golongan masyarakat kaya. Sampai titik ini, alasan itu bisa dicerna dan diterima dengan baik. Masalahnya, jika dibaca keseluruhan anggaran fiskal pemerintah, terdapat dua fakta mencemaskan berikut ini.

    Pertama, sekitar 40% belanja APBN habis untuk belanja pegawai dan barang.Pertumbuhan untuk kedua pos pengeluaran itu rata-rata sangat fantastis, menembus 22,5% setiap tahunnya (padahal pertumbuhan total belanja negara hanya di kisaran 14%). Intinya, sebagian besar anggaran habis untuk biaya birokrasi, bukan pembangunan/ pelayanan masyarakat.

    Kedua, kebocoran APBN tidak mengalami perbaikan sampai kini. Kasus-kasus korupsi yang terungkap secara menunjukkan betapa APBN menjadi instrumen pemupuk kekayaan penyelenggara negara.

    Menolak Cek Kosong

    Di luar hal di atas, pemerintah mesti berjibaku merumuskan kebijakan kompensasi yang lebih kredibel dibandingkan dengan dana kompensasi seperti yang diterapkan selama ini.Pemerintah punya pengalaman kenaikan harga minyak pada 2005 lalu di mana dana kompensasi yang diberikan (melalui skema Bantuan Langsung Tunai/BLT) ternyata tidak mampu menurunkan jumlah penduduk miskin seperti yang dianalisis lembaga kajian ekonomi terkemuka di Indonesia.

    Alih-alih menurunkan jumlah orang miskin,kenaikan harga minyak pada 2005 lalu justru meningkatkan jumlah orang miskin sekitar 3,5 juta jiwa.Hal itu terjadi karena pemerintah terlalu percaya dengan statistik bahwa kenaikan harga minyak sekian ribu rupiah hanya akan meningkatkan inflasi sekian persen. Faktanya, inflasi yang terjadi bisa 2–3 kali lipat dari yang dikalkulasi.

    Pola ini hampir pasti akan terjadi sekarang, sebab pergerakan ekonomi secara keseluruhan masih sama. Fakta lain yang tidak bisa disembunyikan adalah ketidakadilan pengelolaan sumber daya alam/SDA, termasuk minyak. Rakyat tidak bodoh untuk mengerti bahwa SDA itu dikuras dan dirampok oleh segelintir pelaku ekonomi, baik asing maupun domestik, dengan sistem bagi hasil yang sangat tidak adil.

    Khusus minyak dan gas,sekitar 70% eksplorasi ladang minyak dan gas dilakukan oleh korporasi asing dalam bingkai praktik kontrak yang tidak adil.Pola yang sama terjadi pada SDA lainnya seperti batu bara, emas, perak, tembaga. Kenyataan ini tentu mengusik rasa keadilan yang terpatri di dada rakyat.Tidak mungkin mereka diminta maklum dengan kenaikan harga minyak, sementara mereka tahu dengan pasti adanya praktik pengisapan SDA yang sedemikian masif oleh pelaku asing dan para kompradornya.

    Jadi,tulisan ini secara pragmatis memberi pemakluman terhadap pemerintah untuk menaikkan harga minyak, tapi tentu tidak dengan cek kosong. Paling penting, pemerintah mesti menyiapkan skema kompensasi yang lebih matang sehingga bisa menyelamatkan kehidupan kaum miskin. Selanjutnya,infrastruktur dan lapangan kerja harus didesain secara layak sehingga rakyat dapat menjalani hidup secara bermartabat.

    Berikutnya, APBN tidak boleh dibiarkan dipakai untuk mengongkosi birokrasi dan sumber korupsi. Anggaran negara harus difungsikan sebagai instrumen pembangunan dan pelayanan publik yang bersih dari praktik koruptif.Terakhir, praktik perampokan SDA harus dihentikan dan digunakan sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat.

    Jika ini semua dilakukan, rakyat dengan besar hati akan dapat menerima kenyataan bahwa harga minyak harus naik karena situasi yang pelik seperti sekarang.

  • Diplomasi Sawit


    Dinna Wisnu, DIREKTUR PASCASARJANA BIDANG DIPLOMASI, UNIVERSITAS PARAMADINA
    Sumber : SINDO, 29 Februari 2012
    Kekuatan diplomasi yang belum dimanfaatkan secara optimal oleh Indonesia adalah kelapa sawit. Saat ini Indonesia penyumbang nomor 1 pasokan sawit dunia. Negara lain membutuhkan suplai minyak sawit karena selain harganya lebih terjangkau, pasokannya pun bisa lebih cepat ditingkatkan dengan luas lahan lebih kecil.

    Karena itu,diplomasi Indonesia perlu dikembangkan agarnegara lain menerima produk minyak sawit Indonesia,punya kemudahan akses untuk membeli minyak sawit Indonesia, dan punya jaminan kerja sama yang menguntungkan dalam perkebunan- perkebunan sawit asing yang beroperasi di Indonesia. Penerimaan terhadap sawit Indonesia sangat terkait dengan standar ramah lingkungan.

    Meski sejumlah negara besar seperti China dan India lebih peduli kuantitas pasokan minyak sawit, kita tidak dapat mengabaikan kebijakan lingkungan terhadap pasar CPO ke Eropa dan Amerika. Pengurangan sekecil apa pun akan memengaruhi harga CPO di pasar dunia dan merugikan kita. Selain itu, industri hilir yang menyerap CPO masih didominasi Eropa dan Amerika, misalnya Unilever, McDonald, Nestle,dan Burger King.

    Karena perusahaan-perusahaan tersebut mengikuti kebijakan di kantor pusatnya, tidak mustahil bisa terjadi tuntutan terhadap misalnya McDonald di Indonesia bila ditemukan pelanggaran aturan hukum di sana. Bayangkan berapa ribu restoran siap saji yang sebetulnya tergantung dari kebijakan diplomasi kelapa sawit kita.

    Selain itu, sawit punya masa depan cerah sebagai pemasok kebutuhan energi terbarukan: biodiesel. Uni Eropa telah mewajibkan penggunaan 20% biofueldi seluruh Eropa pada tahun 2020.Di atas kertas,sebetulnya minyak nabati Indonesia dapat masuk ke dalam pasar biofuel tersebut, tetapi Eropa tentu memperhatikan kepentingan produksi minyak nabati dalam negeri sendiri. Untuk melindungi kepentingan tersebut, sejumlah kriteria ditetapkan.

    Eropa menetapkan, mereka hanya mau membeli minyak sawit yang tesertifikasi ramah lingkungan, yakni sesuai standar RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). AS mengumumkan penolakannya atas minyak sawit yang tidak ramah lingkungan untuk biodiesel. Bagi kita, kriteria itu perlu dipandang sebagai tantangan dan bukan sekadar kebijakan proteksi yang menghambat.

    Untuk itu, para diplomat Indonesia perlu lebih mengenal pergulatan para produsen sawit dan aktivis lingkungan hidup di Tanah Air.Komunikasi yang lancar dengan para praktisi sawit merupakan suatu keharusan. Pada saat ini Kementerian Luar Negeri (Kemlu) justru belum masuk dalam lingkar komunikasi dengan produsen sawit. Diplomat juga perlu membina saling pengertian dengan aktivis lingkungan ketimbang menjauhi mereka.

    Diplomasi tidak hanya mengandalkan keterampilan negosiasi, tetapi juga pemahaman persoalan secara teliti. Dalam kelapa sawit,beberapa soal yang sering diungkapkan baik oleh perkebunan maupun aktivis lingkungan hidup, antara lain, pertama, pengaturan izin dan lokasi penggunaan lahan untuk sawit. Di mata dunia, rapor Indonesia dalam bidang ini masih merah. Kedua, dalam konteks pasar Eropa dan Amerika,pengelolaan sawit di Indonesia dinilai belum sesuai dengan standar ramah lingkungan.Padahal pada saat yang sama, pasokan sawit perlu diserap oleh pasar.

    Jika Eropa dan Amerika menolak pasokan dari Indonesia, perlu dipikirkan pasar lain sambil perkebunan memperbaiki standar pengelolaannya. Para produsen sawit di Indonesia juga mengemukakan, mereka kalah dibandingkan Malaysia, misalnya, dalam hal dukungan pemerintah atas produksi, pemasaran, dan dukungan harga. Ironisnya,Malaysia relatif tergantung pada Indonesia juga karena mereka punya lahan yang cukup besar di Indonesia.

    Maka ketika minyak sawit ditekan oleh negaranegara Barat, mereka pun berharap dapat memadu kekuatan untuk menggugat dan menyanggah tudingan tersebut. Di sinilah kepiawaian diplomat Indonesia dibutuhkan.Kelapa sawit adalah tanaman keras yang berusia puluhan tahun. Sawit baru bisa berproduksi setelah ditanam 3–4 tahun.

    Artinya, sambil para pengusaha sawit dan kementerian lain berbenah diri,para diplomat perlu punya langkah strategis untuk memajukan kepercayaan dunia atas minyak sawit Indonesia. Keramahan terhadap lingkungan, selain diperjuangkan melalui keikutsertaan dalam sertifikasi RSPO, kini juga sedang dikembangkan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil),yakni sertifikasi wajib dari Pemerintah Indonesia bagi semua perkebunan sawit yang beroperasi di Indonesia.

    Selain membuktikan secara ilmiah, diplomat Indonesia perlu mempersiapkan strategi untuk meyakinkan Eropa dan Amerika agar mengakui ISPO. Selain itu, perlu dipikirkan mekanisme swap aga rnegara- negara lain tidak ragu membeli minyak sawit Indonesia. Selain itu, diplomat Indonesia tak bisa lagi menutup mata akan pentingnya menegosiasikan kondisi tenaga kerja dalam perusahaan-perusahaan asing, apalagi yang beroperasi di Tanah Air seperti di kebun sawit.

    Saat ini sejumlah perusahaan asing masih selalu berpatokan pada upah minimum belaka. Di sini pemerintah perlu tanggap agar tenaga kerja Indonesia pun bisa menikmati manisnya sawit.

  • Prapanca dan Visi Publikasi

    Prapanca dan Visi Publikasi
    Supriadi Rustad, GURU BESAR UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG,
    DIREKTUR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN (DIKTENDIK) DIRJEN DIKTI KEMDIKBUD
    Sumber : SUARA MERDEKA, 29 Februari 2012
    DAMPAK publikasi karya tulis terhadap kemajuan suatu bangsa sungguh tak terbayangkan. Apa jadinya seandainya petugas humas keraton bernama Prapanca jika dulu tidak memublikasikan Nagarakrtagama? Niscaya seluruh anak bangsa (mungkin juga warga dunia) tidak akan pernah mengenal Kerajaan Majapahit, negara berkarakter agama,  induk bangsa Indonesia yang penuh dengan kisah heroik dan membanggakan itu.

    Di ranah politik, kita sering disuguhi kisah penuh konflik nilai macam Arok yang membunuh guru Gandring, justru ketika sang guru selesai  menempa keris untuknya. Atau kisah Maharaja Mataram yang membunuh Mangir Wanabaya justru pada saat menantunya itu menyerah sungkem setelah sebelumnya dikondisikan tak bersenjata. Di ranah akademik, kita lebih bersyukur karena memiliki figur seperti Sedah, Panuluh, Prapanca, dan pujangga lainnya yang menampilkan sosok ilmuwan yang dedikasi  dan visi publikasinya patut diteladani.

    Kerap kali dikisahkan, begitu fajar menyingsing Sedah dan kemenakannya Panuluh, pergi ke hutan untuk mendapatkan daun (ron) tal. Ron tal yang selanjutnya mengalami metatesis menjadi lontar itu kemudian diolah menjadi kertas dengan dipotong menjadi lembaran yang siap ditulisi. 

    Sarjana Sujana

    Penuh dedikasi terhadap bidang kebisaan yang digeluti adalah ciri utama seorang sarjana kang sujaneng budi, orang pintar lagi mengerti.  Pada malam hari, sambil berkidung, Mbah Sedah dengan gigih menyiapkan tulisan-tulisan dengan mengguratkan tatah (semacam ujung lidi  tajam) ke permukaan lontar yang sudah disiapkan Panuluh. Sedah pun membimbing muridnya itu tentang cara mendapatkan jejak huruf dari getah lontar yang kemudian dibekukan dan ’’diwarna’’ dengan kemiri bakar. Sesekali mereka terpaksa membuang beberapa daun lontar itu ketika terjadi salah tulis atau cetakan kurang memuaskan. Budaya baca dan tulis di Nusantara ini telah ada hampir satu milenium silam.

    Sedah dan Panuluh adalah contoh sastrawan atau sarjana pelopor yang hidup di zaman kejayaan Kediri pada abad ke-12 di bawah rezim Jayabaya yang terkenal dengan ramalannya itu. Kompetensi membaca dan menulisnya menghasilkan gubahan Bharatayuda yang di antaranya dijadikan referensi oleh Sunan Kalijaga dalam mengembangkan media dakwah ajaran Islam melalui wayang purwa. Berangkat dari babon yang terus-menerus mengalami penyalinan, berabad-abad kemudian Yasadipura pada era awal Surakarta melakukan transformasi secara kreatif hingga tergubah Serat Baratayuda.

    Tidak seperti Sedah dan Panuluh yang memang sastrawan sejati, Prapanca “hanyalah” juru warta (semacam humas) Keraton Majapahit. Sebagaimana dicatat Zoetmulder dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, syairnya tidaklah lebih estetis dibandingkan dengan syair sejenis pada zamannya ataupun zaman sebelumnya. Namun semenjak Brandes (1902) menerbitkan Nagarakrtagama dalam sebuah edisi sementara, sejak itulah teks ini menjadi kakawin yang paling banyak dipelajari. Adapun Prapanca, pengarangnya, menjadi kawi yang paling dikenal.

    Visi publikasi Prapanca memang sungguh menakjubkan. Dengan tekun ia mendokumentasikan keadaan fisik dan sosial Majapahit dalam sebuah kitab yang diberinya judul Desawarnana, yang kelak dikenal sebagai Nagarakrtagama itu. Tidak begitu jelas apakah karya ini merupakan hasil penelitian dalam terminologi saat ini, tapi yang pasti publikasinya menjadi pengetahuan yang amat penting bagi pembangunan bangsa ini. 

    Masalah Publikasi

    Dari Nagarakrtagama, kita telah mendapatkan gambaran yang begitu detail atas setiap titik dan sudut kompleks istana Wilwatikta. Gambaran itulah yang kemudian bisa menjadi dasar utama ketika hendak dilakukan rekonstruksi di situs pusat pemerintahan Nusantara II itu. Tanpa teks tersebut, bayangan dan rujukan untuk melakukan pembangunan kembali situs Majapahit masih akan berselimut kabut hitam.

    Lewat manggala ataupun kolofon yang menyertai hampir setiap publikasi teks kuno semacam Nagarakrtagama dan Bharatayuda, kita tidak hanya mendapatkan pelajaran tentang kesadaran ruang dan waktu penggubahnya tetapi juga kejujuran pemosisian diri dalam sejarah panjang teks. Ada pengakuan atas capaian para pendahulu, ada pula harapan untuk generasi mendatang. Sebuah pelajaran etika akademik yang luar biasa elok.

    Dari kedua contoh kakawin tersebut kita juga belajar bagaimana mengimplementasikan ajaran mikul dhuwur. Sekalipun disertai rumor tentang tindak asusila Sedah, di bait sambungan Panuluh dengan arif menyatakan  bahwa Sedah tidak tega ketika baitnya mulai menceritakan suasana haru Prabu Salya berangkat ke medan laga. Karya Prapanca yang sering dikritik sebagai pujasastra, ternyata ditulis di masa pensiun, suatu masa di mana seseorang akan lebih bebas mengkritik penguasa.

    Kini setelah berabad-abad lewat, tentu kita tak pernah berharap lahirnya generasi yang hanya pintar bicara tetapi gagap ketika harus mencurahkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya dalam bentuk tulisan. Bukankah terlalu sayang jika rekaman atas setiap capaian kecendikiaan anak bangsa ini tersembunyi sepi di rak pribadi lantaran tak pernah terpublikasi? Lalu apa yang akan kita wariskan kepada generasi mendatang? Bukankah, lebih-lebih bagi para akademisi, berlaku pula adagium “mempublikasi atau binasa?”

  • Kemiskinan Indonesia Menurun?

    Kemiskinan Indonesia Menurun?
    Mulyono D Prawiro, DOSEN PASCASARJANA DAN ANGGOTA SENAT
    UNIVERSITAS SATYAGAMA, JAKARTA
    Sumber : SUARA KARYA, 29 Februari 2012
    Bila diperhatikan data kemiskinan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun secara persentase mengalami penurunan. Sehingga, terlihat pemerintah yang berkuasa saat ini telah bekerja keras dan telah melakukan program pengentasan kemiskinan sesuai yang diharapkan. Dukungan dari berbagai pihak termasuk kemitraan yang dilakukan oleh pemerintah, utamanya upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan cukup berhasil. Sehingga dimata rakyat, pemerintah mulai menunjukkan keberhasilan dalam pengentasan kemiskinan.
    Tetapi, data BPS yang notabene adalah lembaga resmi pemerintah seringkali dianggap tidak independen. Sebagian pihak bahkan meragukan keakuratan data dimaksud dan menyatakan bahwa angka kemiskinan turun itu hanya di atas kertas, sedangkan rakyat yang miskin jumlahnya terus bertambah. Rakyat yang menderita dan hidup serba kekurangan bahkan meningkat, sehingga ada yang menganggap data itu berbeda dengan kenyataan di lapangan.
    Seperti halnya pada 2004 lalu, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mencatat, angka kemiskinan Indonesia 16,7 persen. Satu tahun berikutnya, kemiskinan turun menjadi 16,0 persen. Karena, gejolak ekonomi dan politik serta stabilitas dalam negeri terganggu, pada 2006 angka kemiskinan naik itu lagi menjadi 17,8 persen. Namun, kenaikkan angka kemiskinan ini membuat geram pemerintah karena perlu bekerja lebih keras lagi dalam penanggulangan kemiskinan. Pemerintah dengan berbagai kesempatan terus mengajak seluruh komponen bangsa untuk bergotong-royong mengentaskan kemiskinan.
    Salah satu upaya untuk menurunkan angka kemiskinan di Indonesia, pemerintah pada waktu itu membuat terobosan dengan berbagai program pengentasan kemiskinan dan program-program pro-rakyat lainnya, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk rakyat miskin. Memang terlihat hasilnya, angka kemiskinan sedikit turun, namun program BLT sendiri tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari masyarakat terutama dari kelompok yang pro pemberdayaan dan tidak ingin melihat bangsa ini sebagai bangsa peminta-minta.
    BLT tidak sepenuhnya berjalan lancar, karena program ini kadang-kadang timbul dan tenggelam. Bagaikan ombak yang tertiup angin, ada dan tiada, sehingga program ini banyak yang menentang, dianggap melanggar hak-hak azasi manusia, karena rakyat seperti dibuat miskin dan tidak berbuat apa-apa hanya sebagai peminta-minta serta menadahkan tangannya saja. Upaya ini dianggap mematikan kreativitas rakyat. Bahkan dinilai, upaya yang dilakukan pemerintah melalui BLT secara perlahan-lahan merupakan proses pembodohkan kepada rakyat, karena rakyat hanya diberi (charity) bukan didorong bagaimana melakukan kegiatan usaha agar mampu diberdayakan (empowerment) dan bisa mandiri. Pemerintah sendiri sibuk bekerja keras dan rakyat hanya sebagai penonton pembangunan. Rakyat tidak diberi peran apalagi kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Anggapan itu mungkin ada benarnya. 
    Rakyat yang termasuk kategori miskin mendapat bantuan BLT, mereka diberi ikan dan tinggal makan, besoknya mereka miskin lagi dan terus mengharapkan ada bantuan dari pemerintah untuk yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Dengan demikian rakyat miskin ini akan terus malas karena merasa dirinya diperhatikan oleh pemerintah sehingga tidak berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan dan berusaha untuk mandiri.
    Dari sudut pandang rakyat miskin, mungkin saja pemerintah dianggap dewa penyelamat yang dapat membantu mereka, dikala mereka sedang membutuhkan dan sedang dalam keadaan sulit walaupun sifatnya hanya untuk sementara. Dilain pihak, kita sebagai bangsa merasa malu dan harga diri terasa diinjak-injak, karena dianggap sebagai bangsa yang besar dan terhormat ini, rakyatnya hanya menunggu belas kasihan dan uluran tangan pemerintah yang berkuasa. Rakyat tidak lagi bisa saling bantu-membantu sesama anak bangsa, karena upaya gotong-royong dari rakyat sendiri mulai memudar dan bahkan ada yang tidak berkembang dan ada yang hilang.
    Sampai 2011 lalu, angka kemiskinan dinyatakan terus mengalami penurunan, dan menurut Susenas, angka kemiskinan di Indonesia tercatat hanya 12,5 persen. Akhir tahun ini diprediksi kemiskinan akan mengalami penurunan lagi menjadi 11,5 persen. 
    Dalam waktu singkat ini, pemerintah akan memberikan semacam BLT lagi kepada rakyat miskin dan jumlahnya tidak tanggung-tanggung sehingga hampir pasti, angka kemiskinan menurun drastis apabila saat bersamaan BPS melakukan survei. Karena, rakyat miskin saat di data mereka memiliki dana yg cukup dan dianggap tidak miskin lagi.
    Pertanyaannya adalah, apakah melalui program membagi-bagikan uang seperti ini pengentasan kemiskinan dilakukan? Bila dicermati lagi, perkembangan ekonomi Indonesia secara makro mengalami kenaikan yang cukup baik, seperti yang selalu diutarakan Presiden SBY, pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan dan pada 2012 ini telah mencapai 6,5 persen. Namun, disisi lain dan masih kurang mendapat perhatian, tingkat kesenjangan makin besar dan melebar. Angka kesenjangan ini jarang dikemukakan di depan publik, sehingga publik hanya mendapatkan informasi, dan terkesan dengan upaya pemerintah itu.
    Kalau angka kemiskinan turun dan kesenjangan semakin melebar, berarti orang miskin bertambah miskin dan orang kaya semakin kaya. Artinya, keadilan belum merata. Di sisi lain kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa akhir-akhir ini sudah mulai bermunculan adanya pimpinan daerah, termasuk perguruan tinggi yang sangat concern dengan upaya mengurangi kesenjangan tersebut, antara lain dengan membentuk dan pengembangkan pos-pos pemberdayaan keluarga (posdaya) di setiap desa dan di kampung-kampung. Akhirnya, semoga kita menjadi bangsa yang beradab dan terhormat.
  • Memberdayakan Penduduk Lansia

    Memberdayakan Penduduk Lansia
    Supardiyanto, DOSEN AKRB YOGYAKARTA, KETUA UMUM PPWI DIY
    Sumber : SUARA KARYA, 29 Februari 2012
    Kini, penduduk lanjut usia (lansia) berpotensi bisa menjadi masalah serius di tengah masyarakat. Soalnya, jumlah penduduk lansia di Indonesia dari masa ke masa terus bertambah besar. Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2011, jumlah penduduk lansia mencapai sekitar 24 juta jiwa. Padahal, tahun 1970 silam, jumlah penduduk lansia di Indonesia baru mencapai 2 juta jiwa.
    Menilik data Badan Urusan Kependudukan PBB (Oktober 2011), jumlah penduduk lansia di dunia sudah mencapai 1 miliar orang. Indonesia merupakan negara terbesar keempat dengan jumlah penduduk lansia tertinggi setelah China, India dan Amerika Serikat (AS). Negara-negara lain yang memiliki populasi penduduk lansia dalam jumlah besar adalah Monaco, Jepang, Jerman, Italia dan Yunani. Kemudian, menyusul negara-negara lainnya, seperti Bulgaria, Austria, Swedia, Slovenia dan Latvia. (Seputar Indonesia edisi 29 Januari 2012)
    Isu Serius
    Dengan demikian, penduduk lansia sudah menjadi isu serius dunia, termasuk di Indonesia. Tanpa ada upaya memberdayakan penduduk lansia, akan terjadi permasalahan sosial terkait masa depan dunia. Untuk itu, dibutuhkan strategi nasional untuk memberdayakan penduduk lansia agar tidak menjadi beban bagi keluarga, masyarakat dan pemerintah.
    Menurut BKKBN, penduduk lansia adalah mereka yang telah berumur lebih dari 60 tahun. Pertambahan jumlah penduduk lansia di Indonesia disebabkan karena keberhasilan program keluarga berencana dan turunnya angka kematian bayi. Di samping itu, pemicunya tak terlepas dari meningkatnya usia harapan hidup di Indonesia yang semakin tinggi.
    Pada tahun 1980-an, usia harapan hidup rata-rata penduduk Indonesia adalah 52,2 tahun. Tahun 1990, meningkat menjadi 59,8 tahun dan pada tahun 2000 juga meningkat kembali menjadi 64,5 tahun. Sementara pada tahun 2010, usia harapan hidup penduduk Indonesia menjadi 67,4 tahun.
    Adapun faktor internal yang menyebabkan peningkatan usia harapan hidup penduduk Indonesia adalah tercapainya kesejahteraan serta pelayanan kesehatan yang kian memadai. Namun yang memprihatinkan, lonjakan jumlah penduduk lansia di Tanah Air belum diikuti peningkatan pemberdayaan di kalangan manula (manusia lanjut usia). Yang banyak ditemukan adalah kasus terkait nasib sebagian penduduk lansia yang memprihatinkan. Oleh sebab itu, agar terhindar dari bencana buruk tersebut, pemerintah harus serius memperhatikan kesejahteraan, kesehatan dan kelayakan hidup mereka.
    Berbagai upaya untuk menjaga eksistensi penduduk lansia agar tetap memiliki nilai positif dalam kontribusinya membangun bangsa, perlu didorong bersama. Di tilik dari segi usia, penduduk lansia bukan usia produktif lagi. Program pemberdayaan penduduk lansia harus diarahkan untuk menjaga eksistensi mereka dalam pergaulan sosial. Karena, banyak dijumpai kasus penduduk lansia meninggal dunia karena tak mendapatkan perhatian keluarga. Kemudian, ditemukan pula kasus lansia bunuh diri karena stres dan merasa terkucilkan.
    Memberdayakan penduduk lansia bertujuan agar mereka tetap percaya diri dan produktif dalam menghasilkan karya yang berguna bagi kehidupan. Dan, inilah sebenarnya impian hidup bagi terciptanya penduduk lansia yang ideal. Usia tua merupakan proses alamiah yang tidak bisa ditolak, karena memang sudah menjadi hukum alam. Tetapi, bukan lantas menjadi alasan pembenar bagi setiap pihak untuk memvonis bahwa penduduk lansia sebaiknya berhenti total dari aktivitas produktif.
    Pemerintah Indonesia seharusnya berguru pada Negara Jepang, yang telah lama menerapkan program pemberdayaan penduduk lansia secara terpadu. Kabar terbaru, Kementerian Kesehatan Jepang malah telah memberlakukan program khusus dengan memberikan kartu ucapan musiman kepada setiap penduduk lansia Jepang.
    Dampaknya luar biasa, angka kematian penduduk lansia akibat dipicu rasa kesepian, dapat ditekan secara drastis. Sesungguhnya membentuk perkumpulan penduduk lansia skala lokal maupun nasional, dapat memotivasi setiap lansia dalam melakukan komunikasi antar-lansia. Hal ini sekaligus akan dapat memompa semangat mereka untuk saling menghasilkan karya apa pun yang berguna bagi masyarakat.
    Idealnya, pemerintah pusat dan daerah harus semakin mengutamakan masalah pelayanan kesejahteraan bagi penduduk lansia. Misalnya, dengan memberikan dana sosial kepada setiap penduduk lansia yang besarnya bervariasi. Ini mengingat penduduk lansia sebagian besar adalah para janda dan duda yang hidup sendiri. Sementara anak-anaknya telah hidup berkeluarga dan terpisah dari orangtua mereka.
    Mayoritas penduduk lansia hidup sendiri dan tidak mempunyai penghasilan tetap. Apalagi, sebagian besar di antara mereka tergolong penduduk miskin. Bagaimana mereka bisa mencukupi kebutuhan keseharian agar bisa survive secara layak tentu merupakan masalah tersendiri.
    Yang perlu diingat, negara bertanggung jawab besar terhadap nasib kesejahteraan dan kenyamanan hidup penduduk lansia yang kini jumlahnya terus meningkat tajam. Dhus, masalah lansia ini perlu mendapatkan perhatian serius berbagai pihak.
  • Impor Meracuni Swa Sembada Garam

    Impor Meracuni Swa Sembada Garam
    Rokhmin Dahuri, GURU BESAR FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN IPB;
    KETUA UMUM MASYARAKAT AKUAKULTUR INDONESIA;
    PENASIHAT AHLI MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN RI
    Sumber : SINAR HARAPAN, 28 Februari 2012
    Di era dunia yang semakin padat, persaingan antarbangsa yang kian tajam, dan bumi yang terus memanas (global warming), hanya bangsa yang mampu mengembangkan daya sainglah yang bisa maju, sejahtera, dan berdaulat.
    Dengan daya saing yang tinggi, sebuah bangsa dapat memproduksi barang dan jasa yang kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor. Tujuannya agar bangsa tersebut mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas untuk memberikan lapangan kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan.
    Sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia yang 3/4 wilayahnya berupa laut dengan lebih dari 13.400 pulau yang dirangkai garis pantai sepanjang 95.200 km (terpanjang kedua setelah Kanada), Indonesia sejatinya memiliki potensi produksi sumber daya alam pesisir dan lautan yang sangat besar dan beragam, termasuk garam.
    Ironisnya, sejak sepuluh tahun terakhir Indonesia justru menjadi pengimpor garam terbesar di dunia. Selain menghamburkan devisa, kebijakan itu juga akan menghancurkan usaha dan industri garam nasional dengan segala dampaknya.
    Padahal, garam merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok dan bahan baku berbagai macam industri. Sepatutnya, sejak sekarang kita mengelola usaha produksi garam nasional secara cerdas dan serius, demi memenuhi keperluan konsumsi maupun industri.
    Strategi untuk mewujudkan Indonesia berswasembada dan sekaligus sebagai eksportir garam dapat ditempuh melalui tujuh kebijakan dan program aksi sebagai berikut: (1) menghentikan impor garam secara bertahap, (2) meningkatkan produksi garam nasional, (3) penguatan dan pengembangan supply and value chain system secara terpadu, (4) pengembangan program penelitian (research and development), (5) peningkatan kapasitas sumber daya manusia, (6) penciptaan iklim investasi yang kondusif, dan (7) kebijakan politik ekonomi yang mendukung kinerja usaha garam nasional.
    Status Produksi
    Untuk menyusun dan mengimplementasikan ketujuh kebijakan serta program aksinya, haruslah didasarkan pada data yang sahih tentang: (1) potensi produksi dan produksi garam saat ini (existing production) secara nasional maupun per daerah (kabupaten dan provinsi); (2) kebutuhan nasional untuk garam konsumsi, industri, dan keperluan lainnya; (3) stok dan sistem logistik garam nasional, dan (4) faktor-faktor yang menyebabkan Indonesia mengimpor garam.
    Dari 40 kabupaten/kota produsen garam nasional yang tersebar di 10 provinsi (Jabar, Jateng, Jatim, Bali, NTB, NTT, Sulteng, Sulsel, Sulut, dan Gorontalo) dengan luas total lahan 21.876,05 hektare (ha) pada 2011, dapat diproduksi 1,4 juta ton garam.
    Sementara itu, , total produksi garam nasional pada 2008, 2009, dan 2010 berturut-turut sebesar 1,2 juta ton, 1,37 juta ton, dan 0,031 juta ton. Sampai sekarang Indonesia mengimpor garam industri dari berbagai negara, khususnya Australia dan India.
    Perlu dicatat, total produksi garam konsumsi sebesar 1,4 juta ton pada 2011 (Tabel 1) itu adalah perkiraan KKP pada 2011. Namun, berdasarkan perhitungan terakhir, ternyata total produksi garam konsumsi nasional pada 2011 hanya mencapai 1,1 juta ton (Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Kemendag dalam Republika, 20 Februari 2012, halaman 13). Oleh karena itu, sangat beralasan bila Indonesia masih mengimpor garam.
    Akan tetapi, banyak produsen (petani) garam berkeyakinan, terjadi manipulasi data produksi dan kebutuhan garam nasional, terutama garam konsumsi oleh pihak (kelompok) importir garam.
    Para pengimpor garam ini diduga melaporkan kebutuhan garam nasional yang lebih besar daripada kebutuhan sebenarnya. Sebaliknya, mereka melaporkan data produksi garam konsumsi nasional lebih kecil ketimbang produksi riil.
    Tujuannya jelas, yakni ada argumen untuk mendapatkan izin impor garam dari Kementerian Perdagangan. Untuk alasan impor, para importir juga kerap menimbun garam dari produksi nasional agar peredarannya terbatas dan harga naik.
    Produktivitas Rendah
    Rendahnya produksi garam nasional disebabkan produktivitas yang sangat rendah, yakni sekitar 60 ton per ha per tahun. Sementara itu, produktivitas usaha garam di Australia dan India kini rata-rata mencapai 200 ton per ha per tahun. Kita pun belum mengusahakan seluruh lahan pesisir yang potensial atau cocok untuk tambak garam, yang diperkirakan mencapai 100.000 ha.
    Apabila pada 2012 ini kita mampu mengembangkan usaha tambak garam seluas 40.000 ha (40 persen dari total luas potensial) dengan produktivitas rata-rata 100 ton per ha per tahun (setengah dari Australia dan India), kita akan dapat menghasilkan garam nasional sebesar 4 juta ton.
    Jika diasumsikan total kebutuhan garam nasional untuk konsumsi dan industri pada tahun ini meningkat 15 persen dari 2011, total kebutuhan garam nasional pada 2012 ini sekitar 3,91 juta ton. Artinya, kita tidak perlu impor.
    Sayang, rapat koordinasi di Kemenko Perekonomian pada 19 Februari 2012 telah memutuskan pemerintah akan mengimpor garam sedikitnya 500.000 ton pada 2012. Sebagai catatan, pada 2011 Kemendag mengizinkan impor garam konsumsi sebesar 1,04 juta ton, dan yang terealisasi baru 923.756 ton atau 88,82 persen pada awal Agustus tahun lalu.
    Peningkatan Produksi
    Berdasarkan data pada Tabel 1 dan uraian di atas, jelas sebenarnya kita bisa memproduksi garam bukan hanya untuk kebutuhan nasional, namun juga ekspor dalam rangka mendapatkan tambahan devisa, nilai tambah, penciptaan lapangan kerja baru, dan membangkitkan sejumlah efek berantai.
    Akan tetapi, upaya peningkatan produksi garam nasional juga harus dipastikan mampu meningkatkan kesejahteraan para petambak garam rakyat. Untuk itu, kita perlu melaksanakan sejumlah kebijakan dan program berikut:
    Pertama, pada subsistem produksi, kita mesti meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha garam dengan menerapkan teknologi produksi garam dan sesuai daya dukung wilayah. Dengan begitu, kita dapat meningkatkan produktivitas garam nasional sejajar dengan Australia dan India, yakni 200 ton per ha per tahun.
    Para petambak garam di Kecamatan Ambulu, Kabupaten Cirebon berhasil meningkatkan prduktivitas tambak garamnya dari 60 ton per ha per tahun menjadi 120 ton per ha per tahun. Selain itu, kita pun memperluas usaha produksi garam di lahan pesisir baru dengan teknologi baru selain penguapan, seperti teknologi perebusan yang diterapkan di Sulawesi Utara.
    Kedua, sejak sekarang kita harus mulai memproduksi garam industri di Tanah Air dengan menerapkan teknologi mutakhir.
    Ketiga, setiap unit usaha produksi garam perlu diupayakan agar memenuhi skala ekonomi, sehingga menguntungkan pelaku usahanya.
    Keempat, pemerintah bekerja sama dengan sektor swasta dan BUMN harus menjamin pasar bagi produk garam dari petambak (produsen) garam di seluruh wilayah NKRI dengan harga yang menguntungkan petambak garam.
    Kelima, infrastruktur dan sarana untuk produksi garam mesti dirawat dan diperbaiki, serta dibangun yang baru di setiap kabupaten/kota sesuai kebutuhan wilayah di seluruh Indonesia. Ini perlu agar swasembada garam yang telah dicanangkan pemerintah dapat diraih dan bukan sekadar wacana.
    Keenam, pemerintah harus memberikan dukungan permodalan dari lembaga perbankan kepada pengusaha garam, termasuk para petambak garam, dengan suku bunga yang relatif rendah (sama dengan di Malaysia, India, Australia, Thailand, dan China) dan persyaratan lunak.
    Ketujuh,pendampingan teknologi produksi dan manajemen usaha. Swasembada garam nasional, bahkan Indonesia sebagai pengekspor garam, akan berhasil bila petambak garam diberikan pendampingan teknologi dan manajemen tentang cara mengelola produksi garam sesuai standar.
    Ini dilakukan agar petambak menghasilkan garam bermutu tinggi dan mampu bersaing dengan garam dari negara lain. Peran penyuluh atau pendampingan di lapangan sangat penting untuk membina para petambak garam.
    Kedelapan, penguatan dan pengembangan aktivitas riset dan pengembangan agar Indonesia mampu menguasai dan menerapkan teknologi mutakhir di bidang produksi garam.
    Akhirnya, kedelapan, jurus di atas akan membuahkan hasil gemilang bila didukung iklim investasi yang atraktif dan kondusif serta kebijkan politik-ekonomi yang kondusif bagi tumbuh kembangnya usaha produksi garam nasional. ●
  • Involusi Partai Bunglon

    Involusi Partai Bunglon
    Wahyu Prasetyawan, PENGAJAR EKONOMI-POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA; LULUSAN PROGRAM DOKTOR BIDANG EKONOMI-POLITIK UNIVERSITAS KYOTO, JEPANG
    Sumber : KORAN TEMPO, 28 Februari 2012
    Menurut undang-undang yang berlaku, partai politik dirumuskan sebagai organisasi sekumpulan orang yang secara sukarela bergabung untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Apakah binatang seperti yang dirumuskan oleh undang-undang tersebut ada di bumi tercinta? Jawabannya sudah hampir pasti: tidak ada. Selama lebih dari sepuluh tahun lalu, ketika parpol ramai-ramai didirikan para politikus, yang ada hanyalah sekumpulan orang yang mengorganisasikan diri untuk meraih kepentingan mereka sendiri.
    Jika diselidiki lebih teliti, hampir sebagian parpol lebih digunakan oleh para pendirinya atau penggagasnya untuk memperjuangkan cita-cita mereka sendiri. Kepentingan tersebut sebagian besar, atau bahkan seluruhnya, adalah memperebutkan jabatan politis yang hanya didapatkan melalui kompetisi politik yang disebut sebagai pemilu, baik legislatif maupun eksekutif. Harus diakui, sebetulnya ada juga parpol yang didirikan karena gagasan banyak orang. Namun, dalam perjalanannya, parpol ini juga dibajak oleh para elitenya, sehingga hubungan dengan pendukungnya semakin lemah. Justru parpol yang disebutkan terakhir itu lebih parah karena mentah-mentah menipu kader-kader di tingkat akar rumput yang rajin berhubungan dengan pemilih dan juga pendukungnya.
    Itulah parpol bunglon. Bunglon adalah sejenis binatang yang mampu mengubah warna kulit tubuhnya sesuai dengan lingkungan untuk melindungi diri. Namun, yang terkait dengan tulisan ini, bunglon sejatinya tidak memiliki jati diri kuat. Parpol di sini, dilihat dari penampilan luarnya, memang mirip sekali bunglon karena tidak memiliki jati diri yang kuat. Parpol bunglon memiliki lima karakter yang saling terkait: 1) tidak memiliki ideologi yang jelas; 2) amat sangat pragmatis karena pandai beradaptasi dengan lingkungan; 3) plinplan dan tidak memiliki komitmen kepada pemilihnya karena hanya mementingkan para elitenya; 4) tidak terinstitusionalisasi dengan baik, ini seperti bunglon yang kehadirannya tidak dapat dirasakan; dan 5) mengandalkan kamuflase, di depan publik mengatakan antipolitik uang, sedangkan di dalam ruang-ruang gelap melakukan politik uang.
    Tulisan ini hanya akan mendiskusikan dua karakter, nomor 4 dan 5. Dimulai dari nomor 5: hampir sebagian besar parpol melakukan kamuflase atas politik transaksional atau politik uang yang dilakukannya. Bentuk politik uang yang kerap dilakukan adalah menerima dukungan keuangan dari pengusaha yang memberikan donasi legal atau tidak legal dalam suatu pemilihan ataupun melakukan korupsi karena jabatan politik yang dimilikinya. Buktinya cukup banyak. Bayangkan saja, terdapat sekitar 138 kepala daerah (wali kota/bupati) dan 17 gubernur yang tersangkut rasuah. Jumlah ini cukup fantastis: untuk gubernur, itu artinya sekitar 50 persen lebih, dan untuk bupati/wali kota, itu artinya sepertiga dari jumlah keseluruhan. Para tersangka yang terhormat tersebut hampir dapat dipastikan merupakan anggota parpol. Ini merupakan indikator yang amat kuat jika parpol hanya digunakan sebagai alat mencari uang untuk keperluan macam-macam, baik terkait maupun tidak dengan kegiatan parpolnya. Dan dari sisi jumlah, itu masih perlu ditambah dengan anggota DPR/DPRD yang terkait dengan rasuah. Walaupun pada sebagian besar parpol ada anggota yang terlibat rasuah, yang saat ini menjadi sorotan publik adalah Partai Demokrat melalui kasus mantan bendaharanya, Nazaruddin, dan Angelina Sondakh. Apakah pemilih masih dapat mempercayai slogan kampanye parpol itu yang “mengatakan tidak pada korupsi”?
    Untuk karakter nomor 4: parpol tidak terinstitusionalisasi dengan baik, sehingga kehadirannya tidak dirasakan oleh pemilihnya. Sesungguhnya ini terkait dengan karakter nomor 3. Sebagian besar parpol didirikan untuk memuluskan jalan para elitenya guna meraih kekuasaan. Alasan paling utama parpol didirikan sama sekali bukan untuk menyampaikan aspirasi anggotanya, sehingga tidak terlalu mengherankan jika parpol tidak memiliki basis pendukung yang kuat. Kalaupun ada, jumlahnya kecil. Indikasinya dapat dilihat dari besarnya pemilih yang berpindah (swing voter) dalam setiap pemilu sejak 1999. Setidaknya parpol di Indonesia belum mampu mengorganisasikan kepentingan para pendukungnya dengan cara yang sistematis dan baik. Ini merupakan titik terlemah dari hampir semua parpol di sini. Kenyataannya memang hanya ada amat sedikit masyarakat yang mengakui memiliki afiliasi dengan parpol. Pada titik ini, amat sah untuk bertanya: apakah parpol masih dibutuhkan oleh masyarakat? Toh, kenyataannya parpol belum mampu menampung aspirasi masyarakat, karena partai asyik dengan dirinya sendiri. Lebih parah lagi, parpol masih tegak berdiri hanya untuk melayani pengurus atau elite-elitenya.
    Selain masyarakat sudah mulai muak terhadap perangai parpol yang sibuk melayani kepentingan elitenya, masalah serius yang dihadapi masyarakat, parpol tidak memiliki hubungan kuat dengan pemilihnya. Implikasinya dapat dilihat, secara umum, dari kebijakan pembangunan ekonomi. Selama ini parpol atau anggota masyarakat hanya menyalahkan ketidakmampuan pemerintah yang menyangkut kegagalan mengurangi jumlah kemiskinan, mengurangi pengangguran, atau masuknya produk pertanian impor yang melumpuhkan petani-petani Indonesia. Tudingan itu tidak terlalu salah, tapi kurang patut jika menyalahkan pemerintah saja. Bukankah yang namanya pemerintah juga didukung oleh elite-elite parpol yang kini menjadi menteri atau jabatan-jabatan publik lainnya? Jadi sesungguhnya keadaan yang buruk tersebut juga disebabkan oleh mandulnya parpol dalam menyampaikan aspirasi politik/ekonomi pendukungnya di tingkat bawah.
    Sejatinya tugas parpol adalah mengagregasikan kepentingan pemilihnya, dan ketika berkuasa menjadikannya kebijakan politik untuk memenuhi aspirasi pemilihnya. Dan itulah hubungan yang paling hakiki antara parpol dan pemilihnya. Hingga saat ini, tingkat keyakinan para pemilih bahwa parpol bisa menjalankan tugas tersebut amat rendah. Hubungan yang terjadi antara pemilih dan parpol bersifat semu, dan mungkin hanya terjadi sekali dalam lima tahun ketika ada pemilu. Parpol kurang menjalankan fungsinya di antara jeda pemilu. Berapa banyak anggota parpol yang menyambangi pemilihnya dari rumah ke rumah atau berapa banyak politikus yang berdiri di pinggir jalan menyampaikan salam kepada pendukungnya? Yang terjadi adalah politikus yang terpilih menjadi anggota parlemen berubah menjadi Tuan Besar yang harus dihormati, disanjung, dan didekati karena memiliki kekuasaan yang bersumber dari pemilihnya.
    Nah, dalam konteks parpol tidak mampu menjalankan fungsi utamanya sebagai penampung aspirasi pemilihnya dan kelakuan buruk yang mendewakan politik uang itulah kualifikasi menjadi penting bagi parpol yang mengalami involusi. Kenapa? Sebab, parpol mengecilkan dirinya sendiri dengan melayani kepentingan para elitenya saja, dan bukannya para pemilih yang menjadi alasan utama berdirinya sebuah parpol. Involusi semakin nyata karena parpol betul-betul digunakan sebagai wahana untuk “bagi-bagi” kekuasaan dan kesejahteraan untuk elitenya saja. Terus terang saja, jika kondisinya masih seperti sekarang, pembangunan ekonomi di masa mendatang tidak akan pernah memberi perhatian yang serius kepada pemilih. Jika parpol masih mengalami involusi, ia hanya menjadi pelayan bagi pemiliknya. Maka, sebagai akibatnya, pembangunan ekonomi hanya akan melayani kekuatan-kekuatan, baik kapital maupun politik, yang kelasnya jauh lebih kuat daripada parpol. ●
  • Mental Buruh Kaum Intelektual

    Mental Buruh Kaum Intelektual
    Musyafak, ANGGOTA STAF BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN AGAMA SEMARANG
    Sumber : KORAN TEMPO, 28 Februari 2012
    Watak kaum intelektual di Indonesia terolah dalam semangat buruh. Itulah buntut dari strategi pendidikan kolonial yang dirancang sebagai sistem perburuhan. Kerja sekolah mencetak kalangan berakal pikir, tapi dibebat mental kebergantungan: “kebaikan” penguasa mengangkatnya sebagai abdi.
    Wacana itu terbetik pada 1942. Dalam Rapat Umum Partai Nasional Indonesia di Bandung dan Jakarta, ketika itu, pidato Bung Karno bertajuk “Kewadjiban Kaoem Intellectueel” seolah merupakan timah panas yang ditembakkan ke tubuh kaum intelektual pribumi. Pidato itu disarikan dalam buku Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok suntingan A. Zainoel Ihsan dan Pitoet Soeharto (1981). Bahwasanya banyak intelektual pribumi yang bermental buruh: mereka yang menggantungkan diri atas pekerjaan yang diberikan oleh pemerintah kolonial, menikmati jeratan kekuasaan, dan enggan berpaling pada barisan pergerakan rakyat yang menghasrati kemerdekaan republik. Semestinya kaum intelektual tak mangkir dari panggilan perjuangan yang diagendakan rakyat bersama para intelektual pejuang.
    Taktik Imperial
    Saat itu, imperialisme-kapitalisme bercorak industrial yang ditanam Belanda masih mekar di Indonesia, meski dominasi politik kolonial berangsur-angsur melemah. Kerja mengeruk rempah-rempah, juga perusahaan-perusahaan yang dibangun kolonial, terus berjalan menggemukkan timbunan “untung-jarahan”.
    Sebagaimana tinjauan Bung Karno, yang merujuk pada gagasan Spreker, imperialisme-kapitalisme bercorak industrial menandaskan kuasa politik pengetahuan yang mempengaruhi genealogi kaum intelektual Indonesia. Imperialisme industrial memerlukan banyak pekerja. Riwayat bangsa Indonesia terlarat sebagai buruh kasar dalam kerja paksa atau buruh industri yang berupah murah. Kaum intelektual–yang oleh Bung Karno dimaknakan sebagai kalangan yang akal pikirannya mendapat didikan–menjadi sasaran untuk diperburuhkan sebagai “buruh lemas” (buruh halus). Mental “daulat tuanku” membuat orang-orang pengenyam sekolahan itu justru menikmati pendisiplinan tubuh dan pikiran. Sikap itu terlalu mahal untuk menebus masa depan sebagai buruh halus di lembaga-lembaga atau perusahaan kolonial.
    Wicara kritik Bung Karno tentang kewajiban kaum intelektual untuk memihaki gerakan perubahan bangsa itu sudah tujuh dekade dilalui waktu. Sejauh itu, watak buruh di tubuh kaum intelektual sudahkah meluruh?
    Nada pertanyaan tersebut bisa menjadi polifonik: kecemasan, kegemasan, kengenasan, penyangsian, juga penyangkalan. Kaum intelektual Indonesia hari ini masih diacungi tanda tanya terkait dengan posisi dan perannya dalam proses transformasi kehidupan bermasyarakat-berbangsa.
    Kampus menjadi titik bidik segala gugat dan kritik. Sebab, lembaga pendidikan tinggi itulah yang paling nyaring mendaku diri sebagai rahim sekaligus rumah kaum intelektual. Guru besar, dosen, sarjana, juga calon sarjana hidup berkerumun di lingkungan ilmiah yang diorganisasikan dengan tata birokrasi, di mana obsesi profesionalitas, di sisi lain, menyusupkan agenda pendisiplinan pikiran. Tak jarang kampus menjadi ruang yang kontraproduktif bagi perkembangan pemikiran dan gagasan-gagasan yang bisa ditransformasikan ke dalam praktek-praktek kehidupan masyarakat. Pengulangan gagasan dengan teknik pengutipan atau kompilasi gagasan orang lain tumbuh lebih subur.
    Ironi Profesionalitas
    Ironi kaum intelektual terbentang. Dosen sekadar sibuk di ruang kelas, atau akademisi dibebani amanat birokrasi sehingga duduk “terpuruk” di meja kerja. Profesionalisme memfungsikan dosen dan akademisi sekadar alat mencapai target dari program-program yang direncanakan oleh perguruan. Di bawah kaki profesionalisme, kaum intelektual melakukan kerja-kerja sesuai dengan target dan imbalan. Laku intelektualitas berjalan di atas perhitungan produksi dan penghasilan. Banyak rencana keilmuan atau penelitian yang pada akhirnya terpeleset menjadi obyek proyek yang berefek uang.
    Jauh-jauh hari Edward W. Said menyerukan kegentingan intelektual dalam bukunya, Representations of the Intellectual(1994). Bahaya jika kaum intelektual sekadar menjadi kalangan profesional, bahkan cuma menjadi tokoh dalam tren sosial. Prototipe intelektual yang diwacanakan Said merujuk pada gagasan Antonio Gramsci, yang membedakan intelektual tradisional dengan intelektual organik. Intelektual tradisional–misal dosen, guru, atau pendeta–tetap di tempat, melakukan pekerjaan yang sama dari waktu ke waktu, dan pro-kemapanan. Intelektual organik secara aktif terlibat dalam masyarakat, bergerak, dan bekerja dalam arus kemenjadian: aksi terus-menerus mengubah pikiran serta memperluas jangkauan demi mengabarkan kebenaran dan mengubah suatu “dunia yang semestinya ada”.
    Said lebih menumpukan harapan pada intelektual amatir ketimbang intelektual profesional. Intelektual profesional seolah pekerja harian yang mengejar sokongan penghidupan dan kemapanan sosial. Adapun intelektual amatir bergerak karena rasa, cinta, dan obsesi atas pengetahuan yang lebih besar yang mampu memuaskan dirinya. Intelektual amatir melintasi batas-batas pengkhususan ranah pemikiran dengan menjalin hubungan lintas batas dalam pengembangan ide-ide dan gagasannya.
    Pemburuhan Hari Ini
    Diskursus Said menghadiahi generasi hari ini satu cermin untuk mengacai wajah intelektual kampus terbaru. Dalil profesionalisme, tanpa disadari, pun menanam semangat pemburuhan. Memang, sebagian kecil intelektual kampus kini, selain punya rasa cinta pengetahuan yang besar, terlibat dalam proses transformasi sosial, serta menjawab dan mengatasi perkara-perkara bangsa yang tak makin berkurang. Namun lebih banyak yang sibuk dalam akrobat-akrobat birokratis-profesional yang nyaman: mereka yang masih saja merasa dunia ini baik-baik saja; mereka yang sibuk mengurusi pamrih keuntungan dari posisi dan gelarnya sebagai intelektual.
    Mafhumlah kita, semangat pemburuhan itu telah menjelmakan jamak dosen di kampus yang berevolusi sebagai “juragan kecil”. Berkacak pinggang di pelbagai kesempatan seraya mendistribusikan perintah dan instruksi. Dosen berhak menukar ketidakhadirannya dengan penugasan. Alih-alih sadar kehilangan banyak waktu untuk mengerjakan tugas, mahasiswa justru senang tak bertatap muka dengan dosen. Model ujian take home menjadi tren. Waktu yang semestinya didayagunakan faedahnya untuk menjadikan mahasiswa lebih berswasembada dengan mengerjakan lain hal di ranah intra/ekstrakurikuler terenggut oleh kewajiban tugas. Kita pun menjadi bebal untuk sekadar heran terhadap mahasiswa-mahasiswa hari ini yang lebih banyak mengerjakan tugas-tugas kuliah, dan memar menatap buku-buku diktat. ●

  • Ekonomi-Politik Kenaikan Harga BBM

    Ekonomi-Politik Kenaikan Harga BBM
    Anggito Abimanyu, DOSEN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UGM, YOGYAKARTA
    Sumber : REPUBLIKA, 27 Februari 2012
    Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bukan merupakan tujuan dari kebijakan energi. Kalau boleh memilih, meskipun kebijakan di tangan mereka, baik birokrat maupun politikus, akan menolak kenaikan harga BBM.
    Studi UGM, UI, dan ITB (2011) membuktikan bahwa pilihan kenaikan harga BBM adalah pilihan terakhir bagi para pengambil kebijakan. Di samping berdampak pada sosial-ekonomi, secara politis menaikkan harga BBM adalah tindakan yang hanya akan menurunkan popularitas.
    Masalah BBM tidak dipisahkan dari persoalan politik dan hal tersebut sulit untuk dipisahkan. Apalagi, menjelang momentum pesta demokrasi di mana ada kelompok tertentu yang memanfaatkan hal itu. Secara global pun harga minyak mentah sangat dipengaruhi oleh politik, seperti sering terjadi antara kepentingan politik negara penghasil minyak, khususnya di Timur Tengah, dan kepentingan negara adikuasa, khususnya Amerika Serikat.
    Negara net importir seperti Indonesia sering tidak berdaya akan kenaikan harga minyak dunia yang bersifat artifisial. Untuk menghilangkan politisasi harga BBM, harga BBM harus disesuaikan secara perlahanlahan dan jika sudah mencapai harga keekonomian lalu dilepaskan mengikuti perkembangannya. Dengan demikian, harga BBM tidak lagi ditentukan dengan keputusan politik di DPR.
    BBM hanya akan menjadi urusan DPR jika menggunakan dana subsidi APBN dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Harga produk BBM nonsubsidi, seperti Pertamax, aftur, pelumas, ataupun BBM untuk industri tidak diatur lewat keputusan DPR. Karena itu, jika sudah ada bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi tanpa subsidi, sudah lepas dari pembahasan rutin di DPR.
    Meskipun masuk di dalam pembahasan DPR, banyak pihak yang menginginkan tidak ada politisasi dalam penetapan kebijakan BBM. Guru Besar Universitas Indonesia Emil Salim meminta politikus bersikap kooperatif dan tidak memperkeruh suasana dengan membuat isu BBM kian memanas.
    “Lihat secara jernih, rasionalnya harga minyak dunia naik, subsidi akan membengkak, dan kenaikan harga BBM tidak akan meningkatkan jumlah masyarakat miskin,“ kata Emil Salim, Jumat (24/2). Menurut dia, imbas kenaikan BBM tidak akan berakibat pada penambahan masyarakat miskin karena distribusi bebannya cenderung lebih banyak pada kelas menengah ke atas.
    Emil mengimbau masyarakat untuk tidak terjebak kepentingan politis yang menggunakan isu itu untuk kepentingan politik. Yang jelas, menurut pendapatnya, dampak yang akan diterima oleh masyarakat miskin kecil dan bisa ter-cover oleh program peningkatan masyarakat.
    Sama halnya yang diungkapkan oleh Ketua Laboratorium Penelitian Pengabdian pada Masyarakat dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) Universitas Padjadjaran, Bandung, Arief Anshory Yusuf, yang mengatakan, kenaikan harga BBM tidak seharusnya digembar-gemborkan ke arah kemiskinan. Yang jelas isu kenaikan BBM subsidi tidak sesensitif dulu saat masih ada minyak tanah yang dikonsumsi oleh sebagai besar masyarakat menengah ke bawah.
    Melindungi Golongan Lemah
    Guru Besar Ekonomi Lingkungan dari Gothenborg University, Swedia, Prof Thomas Sterner, menyebutkan, kebijakan terkait BBM memang selalu menjadi persoalan di setiap negara, termasuk di negara maju sekalipun.
    “Pemberian subsidi adalah hal wajar di semua negara. Kalau memang akan memberi subsidi untuk transportasi publik, bisa dilakukan dengan cara lain, seperti subsidi terhadap kredit kendaraan umum atau insentif tambahan bagi gaji sopir,“ kata Sterner menyampaikan masukan alternatifnya.
    Alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM adalah supaya biaya subsidi bisa diberikan tepat sasaran, yakni kepada mereka yang miskin. Alasan yang dikemukakan itu memang begitu rasional dan logis. Logika yang dipakai pemerintah selama ini bahwa yang menikmati harga BBM tersubsidi adalah hanya orang kaya.
    Dari waktu ke waktu, memang kebijakan penaikan harga BBM (dalam berbagai bentuknya) sering tidak diimbangi kemudahan bagi orang miskin dan perbaikan fasilitas umum. Ada kecenderungan bahwa dana kompensasi yang ada kurang tepat sasaran karena disalahgunakan untuk kepentingan di luar hal ini.
    Itulah yang membuat publik selalu ragu akan penaikan harga BBM bisa mengurangi kaum miskin. Dua hal yang menurut publik, dalam kenyataannya, selalu bertolak belakang dan tak ada buktinya di lapangan secara konkret. Penaikan harga BBM sering tidak diimbangi dengan penghapusan praktik pungli yang melekat dalam diri birokrasi dan pelayanan publik.
    Ketidakmampuan pemerintah menghapuskan biaya tinggi (hight cost) itulah yang membuat kebijakan penaikan harga BBM tidak mengubah nasib kaum miskin. Kaum miskin hidupnya semakin tersisih dalam daya tawarnya terhadap kekuatan global yang sekarang ini telah merasuki kekuatan politik dan pasar.
    Kenaikan Harga BBM Sebagai Solusi?
    Pada 2012 ini pemerintah kembali dihadapkan pada ke naikan harga minyak dunia. Meskipun kenaikan tersebut dipicu karena ketegangan politik sesaat di Timur Tengah, tidak ada seorang pun yang berani memprediksikan berapa lama hal itu akan berlangsung.
    Banyak yang menyarankan, seharusnya pada 2011 pemerintah sudah menaikkan harga BBM, khususnya Premium, secara bertahap dan tidak memberatkan. Dengan kenaikan bertahap tersebut, dampaknya tidak terasa. “Hanya dengan cara menaikkan harga BBM, kita bisa memperbaiki perekonomian bangsa dan mengurangi beban pemerintah. Naiknya Rp 2.000 oke, masih dapat dijangkau,“ kata mantan wapres Jusuf Kalla.
    Kalla menambahkan, meskipun kebijakan kenaikan harga BBM dianggap tidak populis, pemerintah harus segera mengambil langkah itu untuk mengalihkan anggaran subsidi pada pembangunan infrastruktur nasional. “Bukan soal diterima atau tidak oleh publik, mau baik infrastruktur atau tidak. Kalau subsidi BBM tinggi, tidak mungkin kita bisa perbaiki jalan, pilihannya di situ,“ kata JK.
    Kepastian pemerintah untuk menaikkan harga BBM itu disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat sidang kabinet, Rabu (22/2). “Harga BBM mau tidak mau mesti disesuaikan dengan kenaikan yang tepat, kenaikannya dalam nilai tertentu,“ kata Presiden SBY tanpa menjelaskan lebih rinci pelaksanaan kenaikan harga BBM subsidi ini.
    Dalam jangka pendek, daya beli masyarakat sudah pasti akan terpukul walau tak terlalu lama. Sebab, pemerintah sudah memberikan kompensasi berupa kenaikan gaji PNS, kenaikan upah tenaga kerja, dan ada bantuan tunai langsung. Butuh waktu sekitar dua-tiga bulan untuk menyesuaikan dengan kenaikan harga BBM. Setelah itu, akan kembali normal.
    Pada 2005 dan 2008 kenaikan harga BBM tinggi dilakukan karena melonjaknya harga dunia juga karena keterlambatan pengambilan keputusan yang menimbulkan ketidakpastian dan spekulasi di pasar uang dan harga-harga komoditas primer. Pelajaran yang berharga dari pengalaman tersebut adalah keputusan kenaikan harga BBM tidak boleh terlambat diambil dan diputuskan.
    Faktor pertama tidak dapat dihindari karena faktor eksternal. Namun, faktor kedua adalah faktor internal ekonomipolitik yang dapat dikendalikan.
    Jadi, urusan jadi tidaknya kenaikan harga BBM bukan hanya persetujuan DPR, melainkan di internal ekonomi-politik pemerintahan sendiri.