Tentunya, diharapkan mahasiswa strata satu diajar oleh dosen dengan jenjang pendidikan strata dua dan strata tiga, serta mahasiswa strata dua diajar dosen dengan jenjang pendidikan strata tiga atau guru besar.
Film buatan Prancis-Amerika itu menarik untuk dibahas dari aspek marketingterkait dengan pergeseran mutakhir disiplin ilmu komunikasi. Ada yang bilang, kunci kemenangan The Artist di berbagai ajang bergengsi penghargaan film itu adalah penyajian secara unik, berbeda dengan lainnya: Kisah di film tersebut sama sekali tak menyertakan sepotong pun dialog. Padahal, film produksi mutakhir justru sibuk dengan hiruk pikuk. Tak sekadar ingin memanjakan mata, tapi juga mengeksploitasi tata suara dan bunyi-bunyian yang disokong teknologi akustik serbaluar biasa.
Kemenangan film The Artist itu lain daripada yang lain. Itulah film bisu pertama yang berhasil memenangi Oscar sejak Perang Dunia I, di ajang yang justru perbandingan film-film “bersuara”. Kisahnya campuran unsur komedi yang diwarnai romansa dan diselingi melodrama. Dengan setting Hollywood tahun 1927, film tersebut menceritakan kehidupan seorang aktor era film bisu yang sedang galau. Sebab, di tengah puncak ketenarannya, dunia perfilman Hollywood saat itu justru sedang bersiap-siap mengadopsi teknologi yang mengawali zaman baru, yakni era “film bersuara”.
The Artist seakan mencubit kuat urat kesadaran para praktisi komunikasi dan media tentang kekuatan fenomena paradoks di tengah tata nilai yang dianggap lazim: Ketika yang berbunyi kian bikin gaduh, ternyata yang senyap justru layak disimak. Bahwa yang bisu alias tak bersuara terbukti bisa lebih bermakna di tengah yang serbabising. Ironisnya, salah satu nomine yang dikalahkan film The Artist, kebetulan, berjudul Extremely Loud alias Sangat Bising.
Ini catatan paradoks lain dari The Artist. Biaya produksinya terbilang murah di tengah kelaziman film Hollywood yang jor-joran menghabiskan biaya produksi mahal. Dikemasnya pun layaknya film klasik hitam putih, justru ketika berbagai film mutakhir menampilkan teknologi pencahayaan dan tata warna canggih. Belum lagi setting kisahnya yang era tempo doeloe, tahun 1927-1929. Padahal, tema-tema film kontemporer seakan bergegas berebut ingin menghadirkan kecanggihan teknologi dan serbamasa depan saat ini juga.
Kerasnya sikap George Valentin sang tokoh utama yang diperankan aktor Jean Dujardin, yang antipati terhadap penerapan teknologi baru dari film bersuara, juga sejalan dengan maraknya fenomena gerakan De-Tech di beberapa negara sejak 2011. Yakni, kesadaran masyarakat untuk mulai membatasi ketergantungan kehidupan mereka kepada teknologi dan menggantikannya dengan pola kehidupan bernuansa kembali ke alam. Fenomena itu menjadi diametral karena umat di seluruh penjuru dunia justru sedang dilanda euforia serba connected. Sampai-sampai yang tak connected dianggap jadul dan teralienasi dari kehidupan sosial.
Yang menarik, kemenangan The Artist itu sudah diramal salah satu agency periklanan terbesar sejagat, JWT Internasional. Dalam presentasinya yang berjudul Things to Watch in 2012, prakiraan intelijen pemasaran JWT mencatat bahwa fenomena silence adalah satu di antara seratus pertanda fenomenal yang diramal bakal terjadi. Dan ternyata terbukti. Di tengah suasana chaoticgara-gara kegaduhan dan kian bisingnya kehidupan serba connected yang dibanjiri komunikasi data dan suara di mana saja.
Dalam tinjauan perkembangan ilmu komunikasi pemasaran, fenomena chaotic karenabanjir data, suara, dan informasi tersebut sebenarnya adalah implikasi. Terjadi ketika jagat pemasaran berubah kian memipih (horizontal). Banyak sumber informasi yang secara serentak menyuplai banyak informasi kepada banyak tujuan. Bahkan, pesan tak lagi butuh diantarkan dengan kata-kata untuk bisa dikomunikasikan. Sebab, seperti kata Marshall McLuhan, media kini telah menjelma menjadi pesan itu sendiri. Karena itu, laiknya film bisu, film The Artist pun semata mengandalkan kekuatan gambar bergerak, kualitas akting dan ekspresi pemeran, serta komposisi musik pengiring seluruh adegan sebagai sarana penyampai pesan.
Ada yang mengistilahkan, ini adalah zaman attention economy. Inilah era ketika konsumen harus dibujuk, bahkan dibayar dulu, agar sejenak mau memperhatikan sesuatu. Tapi, kehidupan yang serba connected secara digital mengakibatkan opsi pilihan pun tersedia tanpa batas. Padahal, makin tersedia multiopsi, perhatian konsumen justru gampang terdistraksi, teralihkan ke opsi lain.
Tapi, The Artist menyadarkan kita bahwa di tengah zaman yang serba tergesa, ditingkah suara berisik, hiruk pikuk, serta suasana yang kian gaduh dan bising sehingga kata-kata seakan semakin kehilangan makna, ternyata pesan yang sunyi justru bisa lebih berarti. Pelajaran penting bagi para praktisi komunikasi dan media tentang bagaimana bersiasat membantu konsumen media agar kian terberdayakan: mampu membedakan, memilah dan memilih mana pesan penting dari yang genting. Bisa membedakan mana pesan yang bermakna dari yang ornamental belaka. ●
Ironisnya, penggunaan bunga tersebut tidak transparan. Menurut penuturan Sekjen Kemenag Bahrul Hayat, memang ada sejumlah pos biaya haji seperti paspor, keperluan para jamaah untuk pemerinah Arab Saudi, biaya asrama, dan sebagainya, yang dibiayai dari bunga tersebut. Namun, perincian besarannya juga tidak ada jelas.
Kalau memang benar pos-pos pengeluaran tersebut diambilkan dari bunga setoran para CJH, ini tidak adil bagi para CJH. Artinya, semakin lama CJH masuk daftar tunggu, logikanya makin banyak bunga yang masuk Kemenag.
Kita tahu bahwa di setiap daerah lama menunggu untuk berangkat haji juga bervariasi. Belum lagi jika ada CJH “siluman”. Yakni, baru mendaftar, tetapi langsung berangkat, padahal tidak termasuk ONH plus. Ini berarti akumulasi bunga yang diberikan tentu lebih sedikit.
Sebenarnya masalah bunga bank sudah lama menjadi ganjalan pikiran banyak CJH. Hanya, para CJH umumnya diam, khawatir dianggap suka ribut. Sebab, dapat membayar setoran awal saja sudah senang.
Selain itu, untuk urusan ibadah, umumnya CJH penuh kepasrahan dan benar-benar mengesampingkan hal-hal yang menyangkut perhitungan bunga. Tidak ayal ketika KPK menyoroti transparansi pengelolaan bunga setoran awal, tentu mereka merasa “terwakili”. KPK beranggapan masalah bunga setoran awal CJH sangat rawan korupsi. Sampai-sampai diusulkan perlunya moratorium pendaftaran calon jamaah haji untuk beberapa waktu yang ditolak Menag.
Tidak salah jika Sekjen Kemenag Bahrul Hayat mengatakan, “Kami bukan bank, kami ini kementerian.” Dengan demikian, mereka tidak mengurusi atau mengalkulasi jumlah bunga setoran awal para CJH. Namun, harus terus terang dikatakan bahwa Kemenag menyimpan uang setoran itu tidak “di bawah kasur”. Siapa pun pasti tahu bahwa uang setoran itu disimpan di bank dan tentu ada bunganya.
Aturan akuntansi, bunga bank juga termasuk pendapatan, yang mestinya dilaporkan secara transparan. Kalau memang dikelola Kemenag, Kemenag harus bertanggung jawab atas pengelolaannya. Tidak bisa seenaknya menggunakan bunga tersebut tanpa memberikan pertanggungjawaban secara transparan.
Dalam menyikapi adanya bunga setoran awal bagi CJH, kebanyakan tidak mempersoalkan jika tidak menjadi hak mereka. Tapi, keikhlasan mereka jangan disalahgunakan. Tetap butuh pengelolaan yang transparan dan akuntabel.
Sampai sekarang penggunaan bunga setoran awal haji tersebut masih simpang siur. Ada yang mengatakan bahwa bunga tersebut masuk dana abadi umat. Ironisnya, dana itu tidak terdengar penggunaannya. Misalnya, menyantuni anak yatim, membantu pendidikan keagamaan, membangun tempat ibadah, atau lainnya.
Tiadanya pelaporan secara transparan akan rawan korupsi. Apalagi, ada temuan yang menyebutkan bahwa Kemenag merupakan salah satu departemen yang tingkat korupsinya cukup tinggi. Seakan ini menjadi konfirmasi tentang kecurigaan adanya penyimpangan penggunaan bunga tersebut.
Menyikapi kemungkinan kebocoran atau penyimpangan penggunaan bunga setoran awal bagi CJH, perlu dicarikan solusi. Yakni, mengubah mekanime pendaftaran CJH. Saat ini untuk mendaftar ibadah haji, seseorang harus memberikan setoran awal ke Kemenag. Uang pun ditampung Kemenag. Prosedur ini perlu diubah. Persyaratan finansial hanya berupa bukti setoran rekening khusus milik CJH di bank. Besarnya sesuai ketentuan Kemenag, misalnya sekarang Rp 25 juta.
Salinan bukti pembayaran atau buku tabungan di bank itu diserahkan kepada Kemenag. Selanjutnya, Kemenag mengajukan kepada bank untuk melakukan semacam pemblokiran rekening atas nama CJH yang bersangkutan. Dengan demikian, rekening ONH tersebut hanya dapat ditambah, tetapi tidak bisa diambil.
Keuntungan yang didapat dari mekanisme ini, rekening atas nama CJH bertambah dengan bunganya. Dengan demikian, menjelang berangkat haji, masing-masing tinggal menambah sisa setoran pelunasannya. Sebaliknya, karena tidak mendapatkan bunga dari setoran para JCH, Kemenag bisa membebankan pembiayaan haji kepada CJH. Angkanya sesuai dengan besaran biaya yang ditetapkan pemerintah bersama DPR.
Cara ini tentu lebih memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, terutama CJH. Kemenag pun semakin kredibel karena tak dicurigai menimbun uang CJH tanpa pertanggungjawaban yang memadai. ●