Category: Uncategorized

  • Bubarkan Petral?

    Bubarkan Petral?
    Rhenald Kasali, GURU BESAR MANAJEMEN UI
    Sumber : KOMPAS, 1 Maret 2012
    Persoalan transformasi sebenarnya bukanlah mengadopsi hal-hal baru, melainkan membuang persepsi lama yang sudah tidak cocok. Demikianlah kehebohan yang dihadapi para agen perubahan. Tak hanya sistem dan metode, pikiran pun harus diperbarui.
    Sampai 1990-an, misalnya, dagang minyak masih merupakan ”hadiah” penguasa kepada para kroni. Produksi minyak nasional per hari masih 1,6 juta barrel. Sebanyak 800.000 barrel diekspor dan 100.000-200.000 barrel jatah makelar dengan bonus sebesar 1 dollar AS per barrel.
    Saat itu, Petral dan Permindo sebagai anak perusahaan Pertamina tak ubahnya hanya broker. Sebetulnya, kalau masih berlaku, makelar minyak adalah bisnis yang menggiurkan buat oknum politisi. Bagaimana sekarang?
    Perdagangan Minyak
    Perdagangan minyak pada abad ke-21 adalah bisnis serba cepat. Pilihannya ada di pusat-pusat jejaring perdagangan dunia: London, Dubai, Hongkong, dan Singapura.
    Jakarta bisa menjadi pilihan kalau mampu menjadi jalur pusat keuangan (financial hub) dengan suku bunga di bawah 6 persen dan pusat perdagangan (trading hub, dengan pelabuhan yang ramai, disinggahi tanker minyak ukuran sangat besar (very-large crude carriers/VLCC) generasi kelima, dan instrumen perdagangan lengkap). Kualitas tata kelolanya pun harus tinggi.
    Ilmu dagang minyak berubah, dari broker ke perdagangan (trading) yang lebih permanen, lebih tak kasatmata (intangibles), seperti reputasi, informasi, dan jaringan keuangan. Celakanya, Indonesia bukan lagi eksportir. Untuk impor 500.000 barrel sehari saja, perusahaan dagang minyak Indonesia butuh modal kerja 60 juta dollar AS.
    Bagaimana dengan broker? Ini adalah bisnis eman-eman, tidak permanen, tergantung siapa yang berkuasa, dan diawasi oleh badan-badan internasional karena berhubungan dengan korupsi dan pencucian uang. Modalnya cukup bisik-bisik sambil injak kaki. Maka, bagi saya aneh kalau oknum politisi dibiarkan mengatur perdagangan minyak. Berbahaya dan tidak bisa diterima.
    Di Singapura, saya pernah melakukan riset tentang perusahaan dagang (trading company), termasuk Petral. Setelah melalui proses transformasi, sejak 1999 Petral sudah jadi milik Pertamina dan berevolusi dari broker menjadi anak perusahaan yang fokus pada perdagangan (trading arms), seperti Total Trading atau Petronas Trading. Memang cara dagangnya belum canggih, tapi diawasi ketat oleh Singapura.
    Perdagangan minyak (oil trading) di Singapura berlomba memengaruhi harga yang tendernya diselenggarakan oleh Platts (Mid Oil of Platts) yang menjadi acuan harga regional. Untuk ikut tender, bisnisnya harus transparan. Setahu saya, sejak 2002 Petral sudah mendapatkan sertifikat Approved Oil Trading Firm yang berhak mendapatkan 5 persen diskon pajak.
    Di sinilah masalahnya. Tata kelola yang baik (good governance) adalah musibah bagi broker. Politisi masih berpikir cara lama bahwa dagang minyak bisa dilakukan tabrak lari. Padahal, menjadi negara maju butuh cara berpikir baru. Generasi C (connected, curious, dan cracker generation) sudah lahir dengan kewirausahaan cara baru, tetapi politiknya masih barbar dan bergaya makelar. Tidak dituruti disandera, dituruti mati semua.
    Jadi, dagang minyak butuh persatuan, bukan saling menerkam. Tengok saja bagaimana serigala menerkam order minyak Indonesia. Saat kilang Cilacap turun mesin (artinya Indonesia harus impor dalam jumlah besar), dan saat Petral belum tahu, pedagang minyak sudah tahu lebih dulu. Mereka juga bisa menciptakan antrean di pom-pom bensin yang membuat gubernur panik, tetapi di Singapura order harga spot sudah ditunggu.
    Jadi, Petral harus diisi orang-orang cerdas berintegritas. Kalau tidak, dipaksa membeli dari pasar spot dengan harga lebih mahal dari kontrak jangka panjang. Minyak spot juga butuh kapal spot yang mahal.
    Apa ingin punya eksekutif dagang yang hanya jago membuat justifikasi (bahwa minyak harus dibeli di pasar spot), padahal kepanjangan tangan serigala? Serigala, makelar, dan koruptor adalah sahabat orang-orang yang integritasnya lemah.
    Jauhkan Politisi
    Bagi perusahaan kelas dunia, oil trading company adalah trading arms yang tidak dapat dihindari. Maka, kalau Indonesia ingin ketahanan energinya bagus, perencanaan yang kuat dan tata kelola yang baik adalah kata kuncinya. Saya kira gagasan membubarkan Petral yang diajukan Menteri BUMN Dahlan Iskan adalah sebuah gagasan tulus agar Pertamina bersih dari urusan politik dan Petral jauh dari praktik korupsi. Tetapi, ini harus dijawab dengan argumentasi apakah benar ia lebih layak dibubarkan?
    Apa benar kalau ditaruh di Jakarta dan ditangani oleh perusahaan lain jadi lebih baik? Ini adalah sebuah tantangan yang tulus. Kalau ini mau dicapai, Indonesia harus bisa keluar dari perangkap ”pasar spot” dengan isu ”keamanan nasional”. Jelas perencanaan energi nasional harus lebih diperhatikan.
    Kedua, daripada dibubarkan yang berarti nilai intangibles-nya bisa hilang, sebaiknya saham Pertamina dan Petral dicatatkan di bursa agar semakin transparan.
    Ketiga, ketahanan energi tidak hanya butuh jaminan pasokan dan infrastruktur yang baik. Juga mendesak adalah penanganan terhadap kekacauan politik yang sengaja diciptakan koruptor dan oknum politisi yang menggunakan entitas bisnis sebagai sumber dana pesta demokrasi 2014. Jadi, para politisi hendaknya menjauh dari bisnis minyak. Broker adalah cara-cara pembiayaan kekuasaan masa lalu yang sudah tidak relevan. Saya tak membayangkan kalau Petral dipindahkan ke Jakarta yang belum sanggup menjadi financial hub. Duh Gusti! ●
  • Negeri Preman

    Negeri Preman
    Tamrin Amal Tomagola, SOSIOLOG
    Sumber : KOMPAS, 1 Maret 2012
    Dalam dua tahun terakhir ini, pesawat Negara Kesatuan Republik Indonesia terus terbang dalam keadaan darurat karena terus diterpa gelombang badai secara bertubi-tubi.
    Setelah ditinggal pilot utamanya yang memilih menerbangkan pesawat kepentingan asing (Sri Palupi, Kompas, 2/2/2012), pesawat NKRI sekarang langsung diambil alih, dibajak, oleh sebuah satuan lengkap pasukan preman dari berbagai profesi yang terlatih dengan jam terbang yang cukup mengesankan.
    Anatomi Preman
    Pasukan inti preman pembajak NKRI terdiri atas tiga lapisan. Lapisan pertama adalah tempat berhimpun para preman politik, hukum, dan keamanan. Para perwira preman yang beroperasi di kapling politik, hukum, dan keamanan adalah kelompok yang secara makrostruktural paling membahayakan keselamatan penumpang pesawat NKRI.
    Mereka berkiprah secara legal dalam berbagai lembaga kenegaraan, baik berseragam maupun tidak. Ada yang bertoga-hukum sebagai jaksa, hakim, dan pengacara, serta berseragam coklat dengan rekening gendut. Preman politik biasanya berdasi dan berarloji mewah dan berkantor di kubah Garuda yang terjerembab serta berbasis di kantor-kantor pimpinan pusat parpol.
    Di lapisan kedua berkumpul para preman sosial, baik yang berjubah maupun yang berseragam hitam jawara. Mereka tersatukan dalam berbagai ormas, yang kelahirannya dibidani oleh oleh para pentolan preman politik dan keamanan.
    Hingga lima tahun lalu, mereka itu ada yang masih menjalin hubungan baik dengan para ”papi” bidan. Namun, belakangan ini para preman berbasis ormas kian berulah layaknya ”anak macan” yang lepas berkeliaran, petantang-petenteng kian keblinger.
    Mereka semakin mandiri, baik dalam sumber keuangan maupun dalam program kegiatan serta program perekrutan ”pasukan cadangan”. Ketimbang beroperasi di Ibu Kota, kini mereka lebih cenderung merajalela di daerah-daerah sebagai mobilisator suara jelang pilkada. Mereka juga mulai memalak para pebisnis perkebunan dan pertambangan serta perikanan. Ini kapling lahan teranyar yang sangat menjanjikan secara ekonomi dan politik.
    Akhirnya, di lapisan ketiga, bergerombol para preman ekonomi. Kelompok ini terdiri atas sejumlah pemuda-pemudi putus sekolah dan penganggur dari wilayah kumuh-miskin di perkotaan dan pedesaan, dari hampir seluruh pelosok Indonesia yang tidak kebagian kue pembangunan dalam lima dekade terakhir sejak era Orde Baru.
    Mereka mengandalkan nyali yang bermukim dalam tubuh perkasa kawula muda yang sama sekali tidak dipedulikan, baik oleh lembaga-lembaga pelayanan kesejahteraan negara maupun oleh berbagai ormas agama. Para pengelola lembaga negara sibuk menggendutkan rekening mereka, sedangkan para pemimpin ormas agama sibuk ber-”handai-handai” dengan para penguasa hukum, politik, dan keamanan negeri serta sibuk mengurus paspor perjalanan ke mancanegara.
    Terus menderita hingga nyaris kehilangan napas dan harapan, para kawula muda berpaling ke para ideolog agama kelas menengah dan para pemberani dari daerah asal mereka. Kedua pihak yang disebut belakangan ini mau berbaur, mendengarkan keluhan hidup, dan mencarikan pemecahan memperoleh mata pencaharian walau sering berlawanan dengan hukum, bahkan jelas-jelas berada di wilayah hitam bawah tanah.
    Tidak hanya itu. Para ideolog agama kelas menengah dan tokoh pemuda bernyali ini juga mampu mencarikan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi seluruh anak-anak anggota keluarga preman ekonomi kelas teri dan kelas sedang ini.
    Keanggotaan dalam kelompok preman ini bersifat total (total institution) dan sepanjang hayat. Sekali masuk, tidak pernah bisa keluar lagi. Pengkhianatan adalah tabu besar. Kesetiaan-mati adalah etika paling fundamental dalam kelompok preman ekonomi.
    Sebagai imbalannya, pemuda putus sekolah dan penganggur ini memberikan loyalitas tunggal dan mutlak kepada para pengayom dan pemimpin mereka, apalagi jika dijanjikan surga karena berjihad di jalan Allah.
    Para pemuda preman ekonomi ini tak pernah mempersoalkan keabsahan dan rasionalitas dari perintah-perintah operasional pemalakan yang dikomandokan para pemimpin mereka. Kekerasan fisik yang dilakukan kelompok ini berhulu dan berawal dari kekerasan struktural yang dilakukan oleh para preman politik, hukum, dan keamanan.
    Solusi
    Adalah jelas—bagi setiap warga negara di NKRI yang peduli dan bertanggung jawab—bahwa pembajakan pesawat NKRI harus segera diakhiri secara cermat, komprehensif, dan beradab dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Pada prinsipnya, harus ada dua gerakan pembersihan yang bergerak simultan, baik di tataran preman politik, hukum dan keamanan, maupun di tataran lapangan terhadap kelompok preman sosial berbasis ormas yang mengusung isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) serta preman ekonomi kelas teri.
    Paling kurang ada lima langkah simultan yang perlu dimulai. Pertama, pemberantasan korupsi—biang semua kejahatan—harus makin gencar, fokus dan efektif dengan memiskinkan koruptor semiskin-miskinnya.
    Kedua, ketiga perangkat lembaga penegak hukum (Polri, kejaksaan, kehakiman) serta mafia pengacara hitam harus dibersihkan. Hentikan semua sewa-menyewa aparat militer dan Polri sebagai centeng-centeng memalukan di sejumlah perusahaan, khususnya di perkebunan dan pertambangan. Pilot utama pesawat NKRI harus segera turun dari pesawat kepentingan asing dan pindah ke pesawat NKRI serta mulai sungguh-sungguh duduk dan bertindak presidensial di kursi kemudi. Tinjau ulang semua kontrak kerja dengan perusahaan-perusahaan asing, khususnya Freeport.
    Ketiga, pembersihan parpol dari genggaman pengurus korup- tor dimulai dan diberi contoh oleh Partai Demokrat untuk diikuti oleh keempat parpol koalisi lainnya.
    Keempat, jangkaulah kawula muda kelas bawah dengan menyediakan fasilitas pendidikan, olahraga, kesehatan, dan lapangan pekerjaan padat karya yang bermartabat. Rangkullah mereka dan jangan sekali-kali berkhotbah sok suci persoalan moral mereka. Berbicaralah dengan mereka dan jangan gunakan pendekatan kekerasan keamanan, seperti sweeping pemuda penganggur yang sedang dijalankan. Menangani kekerasan dengan kekerasan hanya akan membuat kekerasan kian dahsyat.
    Kelima, kriminalkan para penghasut bermodal ayat-ayat suci yang menebarkan kebencian atas dasar SARA tanpa ampun. Sebuah rancangan undang-undang tentang kejahatan kebencian (hate crime) dan hasutan kebencian atas dasar SARA (hate speech) sudah sangat mendesak untuk dirumuskan dan diberlakukan.
    Hanya dengan begitu, kita bisa berhasil membebaskan Garuda dari cengkeraman berbagai kelompok preman di semua jenjang dan lapisan masyarakat. ●
  • Keroposnya Pilar Demokrasi Kita

    Keroposnya Pilar Demokrasi Kita
    Ikrar Nusa Bhakti, PROFESOR RISET BIDANG INTERMESTIC AFFAIRS DI LIPI
    Sumber : KOMPAS, 1 Maret 2012
    Negeri ini memang penuh anomali politik. Ketika sebuah partai politik mengalami musibah, partai lain seakan bergembira karena hal itu berarti akan mengurangi persaingan politik di antara mereka.
    Contohnya, ketika Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan Presiden Soekarno pada awal 1960-an karena sebagian tokohnya terlibat atau mendukung pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, partai-partai lain, khususnya Partai Komunis Indonesia (PKI), merasa lega. PKI berharap itulah saatnya partai ini dapat semakin berkiprah dalam politik Indonesia, suatu kesempatan yang tidak pernah mereka dapatkan pada era Demokrasi Konstitusional atau Demokrasi Parlementer 1950-1957.
    Ketika PKI dibubarkan dan dilarang melakukan aktivitas politik oleh pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966, Mayor Jenderal Soeharto pascaperistiwa dini hari 1 Oktober 1965, partai-partai politik lawannya juga bersorak gembira. Padahal, secara tak sadar, mereka menyoraki nasib mereka sendiri yang tak lagi dapat berkiprah secara bebas sebagai sokoguru demokrasi. Politik ”deparpolisasi” dan ”depolitisasi” melalui propaganda politik militer bahwa parpol itu buruk dan golongan fungsional (baca Golongan Karya/Golkar) itu baik, menjadikan rakyat kurang suka dengan partai politik.
    ”Politik massa mengambang” (floating mass) yang melarang parpol memiliki cabang dan ranting organisasi di pedesaan dengan dalih mencegah konflik di kalangan bawah dan fusi politik yang dipaksakan terhadap sembilan parpol pada awal era Orde Baru menjadi dua parpol—yakni PPP dan PDI—semakin mengerdilkan peran dan fungsi parpol karena parpol lebih sibuk mengurusi perpecahan internalnya.
    Efek Bola Salju
    Kini, sejarah berulang kembali. Pada saat Partai Demokrat centang-perenang dan tercabik-cabik akibat krisis internal yang dialaminya, partai lain seakan bergembira. Partai-partai politik dan mereka yang melek politik seakan lupa, buruknya citra Demokrat, bagaikan efek bola salju, juga kian memperburuk citra parpol di mata masyarakat.
    Krisis kepemimpinan di Partai Demokrat tidak hanya membebani Demokrat dan pemerintah, seperti kata Adnan Buyung Nasution (Kompas, 7/2/2012), dan tidak hanya mengancam sistem demokrasi melalui partai politik seperti kata Yudi Latif (Kompas, 23/2/2012), tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan pada negara karena parpol yang jadi basis utama pemerintahan presidensial ini hanya dipercaya 3,3 persen responden (Kompas, 6/2/2012).
    Pertanyaannya, sadarkah para tokoh dan aktivis partai tentang kian tak populernya partai-partai politik sebagai pilar utama demokrasi di mata masyarakat? Ternyata tidak! Masyarakat punya alam pikiran sendiri dan tokoh-tokoh serta para aktivis politik punya alam pikiran mereka, seakan tidak tersambung alam pikirannya dengan masyarakat.
    Jika Anda tak percaya, mari kita tengok anomali pernyataan tokoh-tokoh parpol. Alih-alih membenahi partainya, mereka malah lebih peduli pada Pemilu Presiden 2014. Pada Hari Pers Nasional, 6 Februari 2012, Presiden Yudhoyono, yang sekaligus Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan, dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, bukannya sibuk membenahi partainya yang morat-marit, malah meminta pers memperhatikan perhelatan besar Pemilu 2014 dan memberi ruang bagi calon pemimpin nasional yang selama ini belum terlalu muncul di pemberitaan. Ucapan itu dikonotasikan sebagai upaya agar pers ikut mendongkrak popularitas istrinya, Kristiani Yudhoyono, dan/atau adik iparnya, Pramono Edhi Wibowo, sebagai salah satu capres 2014 (Kompas, 9/2/2012).
    Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie seakan menyalahkan pers dengan mengatakan citra politik di Indonesia saat ini kian buruk akibat gaduhnya pemberitaan tentang perilaku buruk para politisi. Akibatnya, perdebatan konseptual tentang cita-cita luhur kebangsaan dan tabiat politik yang etis dan santun justru menjadi tenggelam (Kompas, 13/2/2012). Walau harus diakui Golkar dan Aburizal melakukan kerja keras politik untuk mengangkat derajat pengusaha kecil dan menengah dari Sabang sampai Merauke, adalah kenyataan Golkar lebih kerja keras untuk mendongkrak elektabilitas Aburizal sebagai capres yang masih jeblok di tanah Jawa (Kompas, 25/2/2012).
    Pada ulang tahun ke-39 PDI Perjuangan di Bangka, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri lagi-lagi menyentil kaum muda agar mawas diri apakah sudah layak jadi capres pada 2014 dan mempersiapkan diri jadi pemimpin bangsa masa depan (Kompas, 13/2/2012). Mungkin karena pengalaman anjloknya suara PDI-P pada pemilu legislatif 2004 dan 2009 dibanding 1999, PDI-P berupaya mengumpulkan orang-orang baik yang punya kesamaan ideologi guna bekerja bersama untuk rakyat. Namun, seperti partai lain, rekrutmen politik dan kaderisasi di PDI-P juga masih amburadul, tak heran masih ada tokoh PDI-P kena kasus korupsi.
    Manajemen parpol
    Jika kita baca kembali karya agung almarhum Herb Feith mengenai merosotnya demokrasi konstitusional/demokrasi parlementer pada era 1950-an, kelompok idealis memandang, kegagalan demokrasi parlementer sebagai akibat dari kurangnya dukungan institusional untuk demokrasi: ”lack of education, lack of democratic culture, and the insufficient economic base for democracy”. Fenomena itu masih nyata di Indonesia. Rendahnya pendidikan rakyat, rendahnya budaya demokratis di kalangan politisi, dan kurangnya basis ekonomi rakyat atau di partai menyebabkan politik uang masih merajalela di negeri ini.
    Bagaimana pula kita bisa bicara mengenai cita-cita luhur kebangsaan, tabiat politik yang etis dan santun, atau bicara mengenai amanat penderitaan rakyat (ampera) apabila komunikasi politik antarpolitisi atau antara politisi dan konstituennya lebih bertumpu pada soal proyek ketimbang cita-cita luhur itu. Bagaimana kita dapat membangun kader yang mumpuni kalau rekrutmen politik di partai-partai politik lebih ditonjolkan oleh kapasitas keuangan para calon anggota dewan di pusat dan daerah ketimbang kadar intelektual dan rekam jejak aktivitas politik kader. Tak heran jika korporatisasi jadi bagian yang inheren dalam pengelolaan partai-partai politik.
    Bagaimana pula kita dapat bicara mengenai kemandirian keuangan partai jika sumber-sumber pendanaan partai masih lebih berasal dari sumbangan para calon anggota legislatif, para pengusaha, atau menggerogoti keuangan negara melalui korupsi di kementerian-kementerian dan juga proyek-proyek pemerintah.
    Pilar-pilar penopang tegaknya parpol yang mandiri memang sangatlah rapuh. Dari pilar yang amat rapuh itu sulit bagi kita untuk membuat bangunan partai-partai politik dan sistem kepartaian yang baik di negeri ini. Pada gilirannya, ini sulit bagi kita untuk mengandalkan parpol sebagai sokoguru yang dapat diandalkan dalam membangun demokrasi kita. Tanpa adanya kesadaran para tokoh dan kader, partai-partai itu akan kian keropos. Hasil jajak pendapat Kompas (Kompas, 6/2/2012), Lembaga Survei Indonesia (Kompas, 20/2/2014), dan CSIS (Kompas, 14/2/2012) bukan hanya ”lampu kuning” bagi masa depan parpol di Indonesia, melainkan juga sebagai pemecut bagi parpol untuk berbenah diri. Tanpa itu, jangan salahkan siapa-siapa jika proses deparpolisasi terus berjalan! ●
  • Kenaikan Harga BBM

    Kenaikan Harga BBM
    Anggito Abimanyu, DOSEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA
    Sumber : KOMPAS, 1 Maret 2012
    Kenaikan harga bahan bakar minyak tampaknya sudah pasti akan diajukan pemerintah ke DPR melalui perubahan APBN 2012. Besaran kenaikan, jenis BBM, dan waktu belum disampaikan. Indikasi adanya skema kompensasi menunjukkan bahwa pemerintah akan menaikkan harga secara signifikan.
    Kenaikan harga dunia menjadi alasan utama keputusan pemerintah itu. Tanpa kenaikan harga, defisit APBN akan bertambah besar, demikian pula dengan defisit neraca perdagangan karena Indonesia telah menjadi importir neto minyak.
    Berbeda dengan tahun 2005 dan 2008, kenaikan subsidi saat ini tidak hanya disebabkan oleh kenaikan harga dunia, tetapi juga melonjaknya konsumsi BBM bersubsidi. Namun, di sisi lain, jika kenaikan harga minyak dunia tahun 2005 dan 2008 diikuti dengan gejolak perekonomian—yakni depresiasi rupiah, kenaikan suku bunga dan inflasi—pada 2012 hal tersebut tidak terjadi.
    Mengurangi volume konsumsi BBM tanpa kenaikan harga harus dilakukan dengan menyediakan alternatif yang lebih murah dan aman. Langkah ini tidak mudah dan tidak cepat dilakukan. Sebaliknya, sudah banyak studi yang membuktikan bahwa kenaikan harga BBM akan diikuti dengan penurunan konsumsi BBM.
    Pengalaman 2005 dan 2008
    Pada 2005, harga minyak dunia meroket dari 25 dollar AS per barrel menjadi sekitar 60 dollar AS per barrel dan beban subsidi BBM melonjak dari Rp 21 triliun menjadi Rp 120 triliun apabila harga BBM tidak dinaikkan. Pada tahun itu, pemerintah telah dua kali menaikkan harga BBM, yakni Maret dan Oktober.
    Bulan Maret, harga BBM dinaikkan 32 persen untuk premium (dari Rp 1.810 menjadi Rp 2.400 per liter) dan solar dari Rp 1.650 menjadi Rp 2.100 per liter atau 27 persen. Pada 1 Oktober 2005, pemerintah kembali menaikkan harga BBM secara signifikan. Harga premium naik dari Rp 2.400 menjadi Rp 45.000 per liter (87 persen) dan harga solar naik dari Rp 2.100 menjadi Rp 4.300 per liter (105 persen).
    Meskipun memberatkan, kenaikan harga BBM tersebut telah menolong perekonomian dari dua masalah makroekonomi. Pertama, pemborosan anggaran dan kedua, gejolak rupiah. Dengan kenaikan harga BBM juga terjadi penghematan konsumsi BBM.
    Tahun 2008, harga BBM kembali dinaikkan dengan alasan lebih kurang sama, yakni kenaikan harga minyak mentah dunia. Namun, kerumitan terjadi karena ada gejolak di pasar keuangan. April 2008, harga saham jatuh cukup tajam, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah juga melonjak.
    Angka inflasi 0,95 persen pada April 2008 dianggap cukup tinggi karena biasanya pada bulan tersebut rendah, bahkan deflasi. Waktu itu terjadi ekspektasi inflasi dari ketidakpastian kondisi fiskal atau defisit APBN karena pemerintah tak kunjung menaikkan harga BBM.
    Alternatif melakukan pembiayaan defisit dari obligasi sulit dilakukan karena kita tahu dalam situasi gejolak pasar, mencari pembiayaan dari pasar tidak mudah dan biayanya mahal. Ekspektasi inflasi yang meningkat akan menimbulkan ekspektasi depresiasi rupiah dan kenaikan suku bunga. Dalam ilmu ekonomi, hal tersebut kita kenal dengan sebutan fisher effect, di mana kenaikan ekspektasi inflasi di suatu negara akan sama dengan kenaikan suku bunga mata uang negara itu.
    Pada 1 Oktober, harga premium naik menjadi Rp 6.000 per liter (naik dari Rp 4.500) dan minyak solar Rp 5.500 per liter dari Rp 4.300 per liter. Ketentuan ini diambil berdasarkan pertimbangan pemerintah yang harus memberikan subsidi BBM dalam APBN Perubahan tahun 2008 sebesar Rp 135 triliun.
    Dengan kenaikan harga BBM tersebut, rupiah kembali menguat dan setelah dua bulan inflasi mulai dapat dikendalikan. Indonesia telah keluar dari ”krisis mini”. Laju pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan dalam dua semester karena kenaikan harga BBM yang sangat tinggi. Namun, yang paling penting adalah angka kemiskinan tetap dapat diturunkan karena ada program kompensasi melalui bantuan langsung tunai (BLT).
    Pelajaran berharga dari tahun 2005 dan 2008 adalah kenaikan harga BBM tinggi karena dua hal: kenaikan harga minyak dunia dan keterlambatan pengambilan keputusan. Faktor pertama tidak dapat dihindari, tetapi faktor kedua adalah faktor internal yang dapat dikendalikan.
    Kenaikan 2012: Rp 1.000
    Tahun 2012 ini pemerintah kembali dihadapkan pada kenaikan harga minyak dunia. Meskipun kenaikan tersebut dipicu oleh ketegangan politik sesaat di Timur Tengah, tidak ada seorang pun yang berani memprediksi sampai kapan berlangsung.
    Banyak yang menyarankan bahwa tahun 2011 pemerintah seharusnya sudah menaikkan harga BBM, khususnya premium secara bertahap agar dampaknya tidak memberatkan. Namun, pemerintah tidak mendengarkan aspirasi tersebut.
    Sekarang pemerintah mencoba membatasi BBM mulai April 2012 dan menutup kenaikan harga BBM. Upaya sudah dilakukan, tetapi belum siap dan bahkan keteteran persiapannya, baik dari sisi infrastruktur maupun sosial-ekonomi. Dengan tekanan harga minyak dunia, kini pemerintah mulai berpikir realistis untuk menaikkan harga BBM. 
    Sayang, pemerintah tidak bisa bertindak cepat karena tidak memiliki landasan hukum akibat lalai dalam UU APBN 2012 Pasal 7 Ayat 4 dan Ayat 6.
    Kejadian 2005 dan 2008 terulang kembali, kenaikan harga BBM tidak bisa ditawar lagi. Dengan subsidi akan mencapai Rp 200 triliun jika harga BBM tidak dinaikkan, pemerintah bermaksud menurunkan harga pada tingkat yang wajar. Caranya seperti yang diwacanakan di media. Pertama, melalui penetapan subsidi per liter sepanjang tahun atau kedua, penetapan (kenaikan) harga per liter satu kali dengan besaran tertentu.
    Alternatif pertama berarti harga premium akan berubah sesuai dengan harga keekonomiannya (atau harga pasar). Kebijakan ini sangat membantu APBN memberikan kepastian anggaran subsidi dan akan diadministrasikan oleh Pertamina, seperti Pertamax. Bedanya untuk Premium masih akan diberlakukan sistem subsidi harga. Kebijakan ini ada kemungkinan bertentangan dengan UU Migas karena Mahkamah Konstitusi telah menghapus pasal yang menyebutkan pola penetapan harga BBM berdasarkan harga pasar. Alternatif ini jika lolos dari sisi hukum akan memberikan kepastian dari sisi APBN. Risikonya adalah apabila harga minyak dunia turun, pendapatan minyak turun, sementara subsidi BBM tetap alhasil APBN bisa tekor.
    Alternatif kedua adalah kenaikan harga BBM. Sangat sederhana dan mudah, tetapi besarannya sulit ditentukan karena ketidakpastian harga minyak dunia. Belum lagi apabila dilakukan secara agresif, dampak sosial-ekonominya akan terasa berat.
    Opsi mana yang akan dipilih?
    Apabila opsi besaran subsidi per liter terganjal UU Migas dan keraguan mengenai proyeksi harga minyak dunia, yang paling aman adalah opsi kedua, yakni menaikkan harga BBM. Besaran yang masuk akal adalah naik Rp 1.000 untuk premium dan solar. Kenaikan harga premium hingga Rp 1.500 per liter untuk premium masih mungkin apabila disertai dengan kompensasi yang tepat.
    Sedapat mungkin perubahan APBN dilakukan secara terbatas (atau APBN Perubahan mini) sehingga dapat diselesaikan sebelum 1 April 2012. Kenaikan harga BBM hingga Rp 1.000 rupiah sudah memadai untuk menghemat APBN Rp 25 triliun dengan dampak inflasi yang wajar.
    Tahun 2012—dengan kemampuan Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan mengelola kondisi makro—gejolak pasar keuangan dapat dikendalikan. Bahkan, kondisi makro kita lagi bagus-bagusnya karena tidak terpengaruh gejolak harga minyak dunia. Selain itu, ekspektasi inflasi masih wajar, kondisi fiskal sehat, pasar modal dan obligasi meningkat, cadangan devisa mencukupi, serta rupiah stabil. Kemiskinan cenderung turun, pendapatan per kapita meningkat, konversi minyak tanah ke elpiji sudah tuntas.
    Terhadap penghematan tersebut, melalui APBN Perubahan diinvestasikan untuk pembenahan sektor migas, optimalisasi produksi migas, mempercepat pembangunan infrastruktur bahan bakar gas, dan memberikan insentif pembuatan stasiun pengisian bahan bakar gas dan converter kit. Prioritas kedua adalah melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah, termasuk nelayan dan transportasi umum.
    Kuncinya adalah kecepatan dan ketepatan dalam bertindak agar tidak terjadi ketidakpastian, khususnya menghadapi ulah para pedagang ataupun spekulan di pasar uang dan modal. Para menteri dan pejabat pemerintah juga tidak boleh memberikan keterangan yang belum pasti hingga disampaikannya dokumen APBN Perubahan ke DPR.
    Terakhir, untuk kenaikan harga Rp 1.000 hingga Rp 1.500 untuk Premium belum diperlukan BLT. Tahun 2008 BLT diberikan karena masih banyak konsumen minyak tanah pada masyarakat kelas bawah yang terkena dampak. Namun, jika pemerintah tetap dengan keputusan kenaikan harga lebih dari Rp 1.500 per liter untuk semua jenis BBM, perlu persiapan kompensasi yang menyeluruh. Meskipun kita sudah punya pengalaman, program BLT sungguh merupakan kebijakan yang tidak mudah dilaksanakan, menyita banyak waktu, perhatian, dan melelahkan.
    Kondisi ekonomi 2012 lebih baik daripada tahun 2005 dan 2008, kenaikan BBM secara berlebihan akan menghambat momentum ekspansi pembangunan. Ini yang perlu dipertimbangkan kembali. ●
  • JAT dan Organisasi Teroris

    JAT dan Organisasi Teroris
    A Safril Mubah, PENELITI TERORISME PADA CAKRA STUDI GLOBAL STRATEGIS (CSGS),
    DOSEN HI FISIP UNAIR
    Sumber : JAWA POS, 1 Maret 2012
    MELALUIExecutive Order 13324, Pemerintah Amerika Serikat menetapkan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) sebagai organisasi teroris Kamis lalu (23/2). Dalam pernyataan kebijakan itu, JAT dituduh “… has conducted multiple attacks targeting civilians and Indonesian officials, resulting in the deaths of several Indonesian police … has robbed banks and carried out other illicit activities to fund the purchase of assault weapons, pistols, and bomb-making materials.

    Pengeboman bunuh diri Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, 25 September tahun lalu dianggap AS sebagai bukti aksi terorisme organisasi yang didirikan Abu Bakar Ba’asyir ini. Karena itulah, AS memerintahkan pembekuan semua aset JAT dan melarang warganya berhubungan dengan JAT.

    Tak pelak, kebijakan AS itu memicu perdebatan tentang apakah JAT layak disebut organisasi teroris. Beragam reaksi bermunculan di Indonesia menanggapi kebijakan itu. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, penetapan JAT sebagai organisasi teroris hanya berlaku di AS, tidak berlaku secara global. Menurut Marty, penetapan teroris secara global hanya dapat dilakukan melalui resolusi PBB (Antara, 25/2).

    Sementara itu, Kapolri Jenderal Timur Pradopo menyatakan akan mengonfirmasi penetapan JAT sebagai teroris ke AS dan mengoordinasikan langkah lanjutan dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Di sisi lain, pimpinan JAT Abdul Rachim Ba’asyir menolak tegas label tersebut dan menganggap AS sebagai teroris yang sesungguhnya (Jawa Pos, 25/2).

    Pernyataan putra Ba’asyir itu menyiratkan adanya perbedaan pandangan tentang individu atau kelompok yang disebut teroris. Hal itu disebabkan tak pernah ada kesepakatan tentang definisi terorisme.

    Sejauh ini tidak ada definisi pasti tentang terorisme. Para pengambil kebijakan dan pakar yang mengkaji terorisme masih berbeda pendapat soal siapakah yang layak disebut teroris. Sebab, kadangkala teroris bagi satu pihak ternyata dianggap pahlawan bagi pihak lain. Bagi AS, semua pihak yang melawan Paman Sam, seperti Al Qaedah, Jamaah Islamiyah, Hizbullah, dan Hamas adalah organisasi teroris. Sebaliknya, kalangan yang merasakan adanya ketidakadilan global yang diciptakan AS menganggap organisasi-organisasi itu sebagai pahlawan karena berani menentang negara superpower. Bagi para penentang AS, negeri adidaya inilah teroris yang sesungguhnya.

    Meski demikian, dilihat dari aksi dan dampak yang ditimbulkan, hampir semua sependapat bahwa terorisme pasti dilancarkan dengan jalan kekerasan bermotif politik untuk menyebar efek ketakutan secara meluas. Namun, menurut Noam Chomsky (2001), label terorisme pada masa kini dibatasi hanya untuk pengacau-pengacau yang mengusik pihak yang kuat. Karena istilahnya berbelok pada upaya perlawanan “orang lemah” terhadap ‘”orang kuat” yang menguasai kekuasaan, sering aksi terorisme memiliki tujuan politik.

    Itulah sebabnya, Gus Martin (2006) mendefinisikan terorisme sebagai “… politically motivated violence … usually directed against soft targets (i.e. civilian and administrative government targets), and … with an intention to affect (terrorize) a target audience.” Pendapat senada disampaikan Paul Johnson (2008) yang menyebut terorisme sebagai “… the deliberate, systematic murder, maiming, and menacing of the innocent to inspire fear in order to gain political ends… terrorism is politically evil, necessarily evil and wholly evil…

    Berdasar aneka pandangan itu dapat dirumuskan empat indikator terorisme. Pertama, dilakukan dengan jalan kekerasan. Kedua, dilakukan untuk menciptakan ketakutan. Ketiga, ditujukan kepada target yang meluas. Keempat, dilakukan untuk mencapai tujuan politik. Artinya, semua aksi kekerasan yang bertujuan politik, tidak peduli dilakukan individu, kelompok, maupun negara, dapat dikategorikan terorisme.

    Mengacu pada empat indikator tersebut, penetapan JAT sebagai organisasi teroris sesungguhnya tidak memiliki dasar kuat. JAT memang memiliki tujuan politik untuk menegakkan khilafah Islam di Indonesia. Tetapi, harus dipahami bahwa secara organisatoris, JAT tidak pernah memerintahkan aksi kekerasan. Sejauh ini tidak ditemukan bukti ada keputusan JAT yang melegalkan aksi teror. Dalam pedoman organisasinya, juga tidak ada instruksi meledakkan bom bunuh diri.

    Bahwa ada mantan anggota JAT yang melakukan pengeboman bunuh diri, seperti Muhammad Syarif (pelaku bom Mapolres Cirebon, 15/4/2011) dan Achmad Yosefa Hayat (pelaku bom GBIS Solo, 25/9/2011), hal itu merupakan inisiatif individual yang bersangkutan. Mereka bisa disebut anggota jamaah yang tidak taat asas terhadap keputusan organisasi karena merasa pimpinan JAT hanya pandai beretorika tanpa melakukan aksi nyata. Kekecewaan atas sikap JAT yang dianggap tidak melakukan jihad yang sesungguhnya dilampiaskan dengan membentuk jaringan baru yang siap beraksi kapan pun dan di mana pun. Sel-sel kecil tersebut bergerak sendiri tanpa kontrol JAT. Karena itu, JAT tidak pernah mengakui aksi bom bunuh diri yang mereka lakukan.

    Dengan demikian, harus dibedakan antara JAT sebagai suatu organisasi dengan kelompok sempalannya. Sebagai suatu organisasi, JAT tidak pernah melancarkan aksi terorisme. Namun, harus diakui, sejumlah mantan anggota JAT terlibat aksi terorisme ketika mereka tidak lagi membawa bendera jamaah ini. Karena itu, label teroris lebih tepat disematkan kapada kelompok sempalan tersebut daripada JAT.

    Sebagai negara berdaulat, Indonesia tidak boleh terpengaruh kebijakan AS. Pemerintah harus semaksimal mungkin menghindarkan intervensi AS karena memang ada dugaan kebijakan tersebut dikeluarkan untuk memengaruhi keputusan Mahkamah Agung atas kasasi vonis 15 tahun penjara yang diajukan Ba’asyir. Kepada AS, pemerintah bisa mengatakan, “It’s your business, not my business.” ●

  • Membangsa Indonesia

    Membangsa Indonesia
    Mudji Sutrisno SJ, BUDAYAWAN
    Sumber : SINDO, 1 Maret 2012
    Pengertian bangsa sebagai “nation” adalah dengan kesamaan teritori tanah air, dengan kesatuan rasa dan hasrat tampil merdeka dalam identitas kemajemukan suku, agama, tetapi ika menyatu untuk secara politis menjadi sebuah negara berdaulat.
    Kebersatuan itu disertai dengan kepastian hukum dan demokrasi sebagaimana diproklamasikan 17 Agustus 1945 yang merupakan proklamasi politis dalam permakluman kemerdekaannya dari penjajahan.

    Wujudnya adalah sebuah negara berdaulat Republik Indonesia yang secara politis internasional diakui merdeka dan berdaulat, tetapi secara kultural masih berproses karena loncatan politis tidak serta-merta bersamaan dengan proses budaya. Pengertian “bangsa” dan pergulatannya sesungguhnya merupakan pengertian budaya atau kultural.

    Artinya,Indonesia yang multietnik, multiagama, multikearifan dan kejeniusan lokalmerupakanproseskebudayaan yang terus-menerus berkembang. Energi dan daya-daya kreatif religiositas,estetika,dan kebijaksanaan hidup setempat memberi sumbangan terbaiknya pada keindonesiaan. Inilah proses sejarah kebudayaan mengindonesia sejak kemauan untuk pencerahan dan menempuh jalan peradaban modern dimulai dengan berorganisasi secara rasional, mendidik diri dalam cerdas budi,dan bersama-sama secara organisatoris pada 1908.

    Kemudian sejarah mencatat perjuangan bahasa sebagai komunikasi ekspresi diri sebagai bangsa. Bahasa merupakan perajut rasa menyatu dan saling peduli meski beda suku,beda bahasa etnik,tetapi sedia menegaskan bahasa Indonesia di atas bahasa-bahasa subkultur. Lalu “pada saat momentum yang tak mungkin berbalik kembali” dengan kesadaran diberkati oleh berkah Allah yang Maha Kuasa, tampillah religiositas keindonesiaan itu dalam proklamasi merdeka 17 Agustus 1945.

    Distrust

    Maka, ketika dekade ini— terutama setelah mengalami hasil positif reformasi pasca-1998—terjadi krisis distrust dalam wujud tanda petik besar demokrasi politik, hal tersebut mengundang refleksi mendalam kita mengenai mengapanya. Pertama, dalam sejarah membangsa bangsa lain dalam perbandingan untuk becermin, proses demokrasi politis harus jatuh bersamaan dengan demokrasi ekonomi.

    Mengapa? Orang tidak bisa demo dan teriak mengungkapkan hak-haknya manakala persoalan pokok mengenai kebutuhan perut kesejahteraan tidak ada. Apalagi orang tak bisa teriak dalam kondisi perut lapar atau menganggur tanpa pekerjaan. Kita mengalami jatuh dari ekstrem rezim sebelumnya yang mengusahakan pemenuhan kebutuhan pokok hidup, tetapi membungkam kemerdekaan berekspresi.

    Demokrasi politis tak ada, tetapi demokrasi ekonomis diusahakan saat rezim yang lalu. Distrust terjadi karena ketidakadilan menganga dan terjadi jurang antara mereka yang miskin dan yang kaya.Ada gambar karikatur yang menampilkan amat apik mengenai anekdot bila dari tahap-tahap naik jenjang, selalu orang berjuang dari wakil rektor menjadi rektor, dari wakil presiden ingin menjadi presiden, dari wakil direktur mau menjadi direktur, mengapa dari “wakil rakyat” hampir semua mengingkari untuk menjadi “rakyat”?

    Para ahli kerakyatan menganalisis dan menyimpulkan perihal tidak dijalankannya sekaligus demokrasi politis dan demokrasi ekonomis karena sistem ekonominya tidak memihak rakyat sesuai dengan Pasal 33 konstitusi 1945. Lihatlah buktinya dalam pengelolaan yang paling menjadi tulang punggung ekonomi rakyat di persawahan, pertanian, dan di kelautan.

    Mata kita langsung melihat jernih mengapa bangsa yang kaya garam, ikan laut, dan minyak bumi harus dan dibuat takluk oleh sistem ekonomi serbaimpornya. Kedua, distrust terjadi lantaran dalam konflik antara pemodal, masyarakat (rakyat), dan negara (pemerintah) mengenai yang menyangkut hajat hidup orang banyak,pemihakan kepada rakyat dikalahkan oleh kekuatan besar global modal yang bersekutu dengan pemodal dan negara.

    Lalu yang dikorbankan adalah rakyat dengan kalahnya mereka di tanah-tanah ulayat,di hutan-hutan yang sudah diambil alih oleh pemodal-pemodal untuk perkebunan ekspor tanpa keterbukaan legal dan tanpa rundingan dengan para pemiliknya. Lihatlah semua kekerasan yang muncul akibat konflik tanah, di mana aparatur berpihak? Di mana negara berdiri?

    Krisis

    Krisis terjadi lantaran sistem politik ekonomi atau ekonomi politik tidak memberikan keadilan. Lalu apa sebenarnya persoalan akarnya sehingga tiap kali mengelola hidup membangsa dan bernegara hukum dan demokratis “memberi indikasi tidak berhasil atau gagal” dalam memberikan kesejahteraan dan keadilan untuk masyarakat?

    Pertama, karena ekonomisasi kapitalistis dan bukan populis seperti cita-cita Bung Hatta yang de facto dijalankan dalam pembangunan. Juga karena kemandirian dalam berekonomi, berkedaulatan dalam politik serta berkepribadian dalam kebudayaan sebagaimana telah diperas dan diperjuangkan dengan keringat, pikiran, dan pidato oleh Bung Karno dalam Trisakti tidak dijalankan.

    Daya-daya kreatif religiositas dan moralitas kemajemukan bangsa yang kaya akan life wisdom dalam pepatah, peribahasa, serta kisah-kisah seni dan local wisdom yang menyumbang untuk membangsa Indonesia yang bhinneka dan ika telah direduksi oleh “politik uang dan kekuasaan serta kelola kapitalisasi material yang menguras habis daripada untuk menafkahi penghuni-penghuninya.

    Kedua, moralitas mengagungkan dan memuliakan kehidupan antarsesama dengan alam dan dengan Yang Ilahi telah dikhianati oleh penghayatan keserakahan dan kesewenangan mumpung berkuasa. Penguasa harus membayar rente, maka mengambil sebanyak-banyaknya untuk ego sendiri atau kelompok.

    Ketiga, ketidakamanahan. Ketika Anda memegang sebuah wewenang yang memuat sebuah tanggung jawab sosial, akan Anda perlakukan sebagai apakah wewenang tersebut? Anda perlakukan sebagai tugas pelayanan untuk penyejahteraan membangsa Indonesia atau seperti yang meruyak dan merajalela kini dan memperlakukannya sebagai kuasa untuk kepentingan memperkaya diri sendiri?

    Keteladanan

    Akhirnya, yang paling menjadi jalan keluar jangka pendek dan panjang adalah keteladanan. Sebab satu tindak keteladanan itu berharga lebih dari seribuan kata khotbah dan orasi. Dalam pepatah kuno kebijaksanaan hidup dipesankan, “contoh itu menghidupi laku ke depan buat anak cucu, sementara kata-kata tanpa tindakan adalah tong kosong berbunyi nyaring yang habis ditelan angin”.

    Proses membangsa Indonesia adalah proses kultural, mulai dari pembatinan dan penanaman mengenai “apa yang baik” (etos hidup etika), “apa yang benar” (kejujuran nurani dan budi),dan “apayangindah”(memuliakan keindahan hidup dan estetika nyanyi, tari,dan kidung berkidung). Kesemuanya merupakan jalan bertahap, tapak demi tapak penuh keringat dan perjuangan berdarah-darah.

    Perjuangan itu seperti merajut kain songket dari ragam warna yang diuntai dengan rajin, dengan hati sama seperti meditasi membatik tulis dengan prosesnya yang butuh ketekunan dan bukan batik cap sekilat sesegera instantly yang meski mungkin laku jual, tapi kehilangan nilai perjuangannya.

  • Sebuah Pilihan dalam Lini Perubahan

    Sebuah Pilihan dalam Lini Perubahan
    Jeffrie Geovanie, ANGGOTA PARTAI NASDEM
    Sumber : SINDO, 1 Maret 2012
    Hari baru telah datang/ Bunga-bunga masa depan Telah datang perubahan/ Bintang-bintang anak zaman (Iwan Fals & Kantata Takwa)
    Every day is a new day, kata Ernest Hemmingway dalam novelnya, The Old Man and the Sea. Dalam rantai pergantian hari ini, kita memiliki dua opsi. Pertama, menunggu datangnya hari baik yang akan membawa peruntungan. Kedua,mempersiapkan diri sebaik mungkin sehingga tetap berkarya saat hari-hari buruk dan ketika hari baik tiba kita telah siap dengan perencanaan karya besar yang matang. Sebenarnya, bukan hanya hari yang selalu berganti. Setiap jam, menit, bahkan setiap detik selalu menyimpan benih perubahan menuju suatu hal baru.

    Hemingway maupun Iwan Fals sama-sama ingin menyatakan bahwa tak ada yang abadi di dunia ini selain perubahan. Mereka yang tak siap dengan perubahan ibarat orang yang tidur dan tak mau bangun dari mimpinya. Suatu sikap yang sangat naif. Dalam kronik perjalanan bangsa kita, ruas-ruas perubahan terlihat jelas dalam setiap orde yang kita lalui.Pada masa revolusi fisik, para pejuang bangsa mempersiapkan tatanan negara yang berdaulat.

    Naskah-naskah sidang BPUPKI menjadi dasar-dasar konseptual dan pertimbangan pokok dalam membentuk Indonesia merdeka. Kita mengenal ruas sejarah ini sebagai masa Orde Lama. Sampai titik jenuhnya, Orde Lama harus menepi oleh ruapan massa seiring resesi yang tragis. Ruas berikutnya segera menyambut. Naskahnaskah seminar Angkatan Darat menjadi rujukan fase republik pasca-Orde Lama itu. Kita mengenal fase ini sebagai Orde Baru. Setelah 33 tahun pemerintahan, Orde Baru pun harus kembali menepi.

    Teriakan reformasi menghentak rezim developmentalis ini ke tepi kekuasaan. Ruas sejarah baru kembali menyambut, kita mengenalnya sebagai era Reformasi. Pada ruas inilah kita sekarang berada. Sayangnya,tak seperti ordeorde sebelumnya,era Reformasi berjalan tergopoh-gopoh.Tak ada konsep dan naskah yang tegas tentang arah dan konsep kedaulatan ke depan.

    Tiap lekuk gelombang reformasi membawa percikan ide sendiri. Arus reformasi berjalan ke segala arah, saling tarik, dan kadang saling kelelahan sendiri. Meski begitu,reformasi bukan tanpa konsesi.Demokrasi adalah konsesi baru sekaligus antitesis Orde Baru yang dianggap totaliter. Robert A Dahl menyebutkan enam prinsip demokrasi mencakup: mekanisme kontrol kebijakan, pemilu jurdil,hak memilih dan dipilih, kebebasan berpendapat, kebebasan informasi, dan kebebasan berserikat.

    Keenam prinsip demokrasi itu telah diterapkan dalam skema reformasi. Penerapan yang cukup penting adalah pembenahan sistem pemilu dan kepartaian. Tak mengherankan, salah satu agenda awal reformasi adalah penyelenggaraan pemilu. Pemilu era Reformasi sangat berbeda dengan era Orde Baru. Keterbukaan, hak memilih dan dipilih, serta kebebasan berserikat dijawab dengan sistem multipartai. Sistem ini segera diikuti dengan luapan partai politik baru yang sangat ekstrem.

    Secara kuantitas banyak sudah partai yang menyatakan diri sebagai wadah aspirasi kemajuan bangsa.Namun,secara kualitas, semua itu tak lebih dari praktik transaksional semata.Arena politik menjadi layaknya pasar malam. Saat ini, memang wacana penyederhanaan partai politik mulai berayun. Banyak yang berpendapat bahwa partai di Indonesia ke depan akan mengerucut pada sembilan partai yang duduk di kursi DPR saat ini.

    Banyak juga yang memprediksi bahwa jumlah itu akan menyusut lagi hingga mencapai bentuk multipartai sederhana. Tentu perkembangan wacana itu cukup menggembirakan bagi kita yang menganggap bahwa demokrasi bukan satu-satunya syarat kemajuan. Demokrasi tetap membutuhkan kepatuhan kolektif yang bersandar pada orientasi kemajuan dan kejayaan bangsa. Penyederhanaan partai politik diharapkan mampu membangun pemerintahan yang lebih efektif.

    Perubahan

    Sayangnya, semangat penyederhanaan partai politik itu kurang didukung performa partai politik itu sendiri. Berbagai jajak pendapat tentang kepercayaan publik selalu menempatkan partai politik pada posisi kepercayaan terendah. Kita memang memerlukan perubahan dalam kehidupan berpartai. Perubahan itu harus bersandar pada proses maupun tujuan partai politik itu sendiri.

    Proses berpartai haruslah dilakukan sesuai dengan landasan hukum dan konstitusi yang telah menjadi konsesi bersama. Di saat yang sama, tujuan dari partai politik itu harus berorientasi pada kemakmuran, kemajuan, dan kejayaan bangsa. Di sini kita perlu kekuatan besar dan komitmen kuat yang mampu menjaga konsistensi antara proses dan tujuan berpartai.

    Saya percaya, partai-partai politik yang ada sekarang ini telah berusaha menjalankan itu.Tak terkecuali Partai Golkar yang telah saya selami selama empat tahun.Tapi, saya juga tetap berpijak pada pilihan sikap saya terhadap perubahan, seperti yang saya sampaikan di awal artikel ini. Menunggu hari baik atau mempersiapkan diri menuju hari baik itu.Dan saya memilih opsi yang kedua.

    Saya bisa bertahan di Partai Golkar hingga publik menaruh kepercayaan kepada partai politik, lebih dari institusiinstitusi lainnya. Atau, saya bisa bergabung dengan partai lain yang bisa mempercepat kepercayaan publik terhadap partai sekaligus mematangkan fungsi politik kepartaian. Tentu saja, pilihan kedua akan saya ambil dengan syarat ada partai yang bisa menjalankan tujuan itu.

    Dan setelah melalui pertimbangkan mendalam, saya melihat bahwa saat ini ada partai politik yang sesuai dengan tujuan itu.Partai itu bernama Partai Nasional Demokrat (NasDem).Dalam hemat saya, Partai NasDem memiliki potensi sangat besar untuk mempercepat pembenahan politik negeri ini sekaligus mempercepat roda perubahan pasca reformasi.

    Memang, Partai NasDem merupakan partai baru. Tapi proses kelahiran Partai Nas- Dem sangat berbeda dengan gelombang partai baru pascareformasi. Partai NasDem bukan terlahir dari euforia demokrasi, tapi lahir dari refleksi atas kondisi politik kontemporer. Partai NasDem juga memiliki proses dan orientasi politik yang tegas.

    Setidaknya, ada tujuh potensi besar yang terlihat dalam proses politik Partai NasDem: (1) tata kelola keuangan partai yang terhitung profesional; (2) komitmen kuat untuk membangun pola hubungan dengan konstituen; (3) proses rekrutmen anggota yang masif dan berkualitas; (4) adanya komitmen tentang seleksi kandidat eksekutif maupun legislatif yang tertata; (5) ada keseriusan dalam mengembangkan internal partai politik dan strategi pemenangan pemilu; (6) pengelolaan konflik internal yang rapi; dan (7) adanya komitmen peningkatan fungsi dan peranan parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.

    Dari sisi tujuan,Partai NasDem juga memiliki kelebihan dan potensi luar biasa.Naskah Restorasi Indonesia yang dimiliki Partai NasDem adalah arahan tegas tentang gerak perubahan yang akan dituju. Dan tak kalah penting dari Partai NasDem, di sana berkumpul anak-anak zaman, tenaga-tenaga penggerak perubahan yang masih segar.

    Di Partai NasDem saya mendapat aura perubahan yang kental, yang sesuai dengan semangat saya dalam berpolitik. Akhirnya, saya mengutip Aristotles: “Kesempurnaan sangat terkait dengan pilihan, yang secara umum ditentukan oleh pertimbangan dan cara seseorang menentukannya.”

    Dalam hal ini,saya pertegas bahwa saya memilih Partai NasDem untuk menyempurnakan keterlibatan saya dalam dunia politik. Dan lebih jauh lagi,saya berharap hal ini akan menyempurnakan proses dan tujuan politik kebangsaan kita dalam arus besar perubahan yang sedang dan terus berjalan.

  • Masihkah Kartu Minyak Iran Bertuah?

    Masihkah Kartu Minyak Iran Bertuah?
    Agus Trihartono, MAHASISWA S-3 GSIR UNIVERSITAS RITSUMEIKAN, KYOTO;
    DOSEN HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIP UNIVERSITAS JEMBER (UNEJ)
    Sumber : SINDO, 1 Maret 2012
    Energi mengubah peta geopolitik dunia (Tanaka,2012) Sebagai perlawanan balik terhadap sanksi ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) atas tuduhan pengembangan uranium untuk senjata nuklir,Iran telah menghentikan ekspor minyaknya ke Inggris dan Prancis serta mengancam embargo ke seluruh Eropa.
    Akibatnya harga minyak mentah dunia melambung ke level tertinggi dalam sembilan bulan terakhir (SINDO,23/2). Penghentian ekspor minyak Iran telah mengingatkan kita pada utilisasi diplomasi minyak sebagai salah satu instrumen penekan efektif dalam politik internasional.

    Politik dunia mencatat embargo minyak 1973 merupakan contoh penting bagaimana penghentian ekspor minyak merupakan mimpi buruk bagi energy security dan dinamika ekonomi negaranegara maju.Karenanya,pasca embargo 1973, negara-negara penghasil minyak memiliki instrumen dan posisi tawar baru merespons anarkisme hubungan internasional.

    Namun,apakah langkah Iran kontemporer akan mengulang cerita sukses diplomasi minyak yang pernah ada? Menurut hemat penulis,meski embargo minyak Iran ke Eropa dalam jangka pendek memiliki daya tekan dan dampak terhadap kontraksi ekonomi dunia yang dapat menjauhkan pemulihan krisis ekonomi Eropa, dalam jangka panjang cerita sukses kartu minyak agaknya tidak akan sekemilau di masa lampau.

    Penting tapi Tidak Genting

    Badan Energi Dunia (IEA) menyebut Iran sebagai pemain penting dalam menjaga pasokan energi dunia.Iran adalah pemasok sekitar 5% minyak mentah dunia, pemilik cadangan minyak keempat terbesar setelah Venezuela,Arab Saudi, dan Kanada, serta ahli waris cadangan gas terbesar kedua dunia setelah Rusia.

    Posisi strategis Iran terlalu penting untuk diabaikan. Iran bisa menjadi kartu liar power games regional maupun internasional. Namun, perkembangan kontemporer mereduksi beberapa keunggulan Iran sebagai pemain penting energi dunia.

    Pertama, Iran bukan pemain tunggal dalam minyak. Meski Teheran esensial, semakin ekstensifnya produksi minyak dunia di luar Iran menjadikan negeri ini, bahkan subregion Teluk Persia, bukan lagi faktor satu-satunya penyokong energy security negara-negara besar.

    Ketergantungan Eropa,AS, dan negara-negara Asia Timur dalam jangka panjang terhadap Iran dan Teluk Persia akan semakin turun. Bahkan, China yang proyeksi net oil import-nya (sampai 2035) akan menjadi paling tinggi di dunia telah memutuskan mengurangi pasokan minyak dari Iran serta mulai menengok Rusia dan negara-negara di Asia Tengah.

    Jepang, importir minyak Iran terbesar kedua di dunia,meski sedang menghadapi masalah energi serius pasca-Fukushima memilih meninggalkan Iran sebagai pemasoknya dan fokus pada pembangunan interkoneksi pipa gas dengan Rusia dan pasokan Asia Tenggara. Teheran mulai ditinggalkan.

    Kedua, sumber energi yang semakin mengalami diversifikasi akan memotong ketergantungan kepada minyak.Dalam World Energy Outlook (2011), sangat jelas digambarkan era gas telah datang dan akan memasuki masa keemasan baru. Meski cadangan gas Iran besar, produksi gas Iran baru menyumbang 2,9% dari total produksi dunia.

    Kecuali Jepang, Korea Selatan,dan Taiwan,negara pemakai gas utama dunia seperti AS,EU, India, dan China justru memproyeksikan pemenuhan kebutuhan gasnya pada produksi domestik daripada impor. Lebih dari itu,negara-negara importir minyak telah belajar banyak dari embargo 1973 tentang pentingnya ekstensifikasi sumber energi.

    Tak pelak,investasi negara-negara importir minyak pada sektor energi lain seperti batu bara, hidro, angin, surya (solar PV), geotermal, bahkan nuklir terus meningkat.  Mengenai nuklir, kasus Fukushima meski mendorong sebagian negara menghentikan operasionalisasi PLTN-nya seperti Jerman, bagi sebagian pemain nuklir lain tidak menyurutkan investasi pembangunan PLTN di dunia.

    Justru belajar dari Fukushima, para pemain energi nuklir dunia semakin berupaya untuk menciptakan PLTN dengan tingkat safety yang lebih tinggi (Tanaka,2012).Masifnya investasi pada energi tersebut serta pada energi terbarukan akan memotong ketergantungan yang besar pada minyak.

    Ketiga, dalam merespons sanksi ekonomi terhadap Iran, kebijakan Teheran mengembargo Eropa tidak mendapat dukungan dari sesama produsen minyak lain.Teheran bermain sendirian.Tiadanya dukungan kolektif negara-negara produsen lain melemahkan daya magis diplomasi minyak Iran.

    Berbeda dengan efektivitas Embargo 1973, alih-alih menakutkan lawan, minyak bisa menjadi kartu mati yang dapat membakar diri sendiri. Lebih dari itu,ketergantungan terhadap pasokan energi Iran juga kurang berarti karena produsen minyak utama lain di Timur Tengah (Arab Saudi,Kuwait, UEA) adalah sekutu setia AS.

    Bahkan, salah satu oponen anti-Barat di kawasan, Libya, agaknya menjadi satelit baru AS setelah gelombang Arab Spring yang didukung AS-UE melanda negara itu.Lemahnya solidaritas negara-negara intrakawasan terhadap Iran salah, satunya karena rivalitas intraregional, dipandang telah menurunkan daya gempur kartu minyak Iran dalam konflik Iran dengan AS-UE.

    Ke depan sebagai instrumen diplomasi, minyak agaknya akan semakin tergeser signifikansinya. Karenanya,Teheran perlu merumuskan strategi lain dalam hubungannya dengan AS-UE.

  • Matinya Kewirausahaan Masyarakat

    Matinya Kewirausahaan Masyarakat
    Fadel Muhammad, MANTAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
    Sumber : SUARA KARYA, 1 Maret 2012
    Kabar bahwa pemerintah akan mengimpor 500 ribu ton garam (sebenarnya 2,1 juta ton, yang terdiri dari garam konsumsi sebanyak 500 ribu ton dan garam industri 1,6 juta ton) sungguh mengagetkan. Ini langkah yang susah dipahami dengan akal sehat di tengah upaya serius Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengembangkan program Pugar (Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat).
    Berdasarkan data terakhir, Indonesia memiliki 57.418 ha lahan garam potensial, sedangkan lahan garam yang ikut dalam program Pugar 22.597,40 ha. Sementara lahan garam yang dimiliki oleh PT Garam seluas 7.289 ha.
    Hasil riset termutakhir oleh seorang praktisi garam rakyat asal Indramayu, Sdr Ahmad Hasan sukses menemukan zat aditif dan koagul-an yang dapat mempercepat proses kristalisasi garam dan meningkatkan produktivitas serta kualitas garam. Produk garam ini telah berhasil diuji-cobakan dan diaplikasikan pada sentra-sentra garam seluruh Indonesia. Hasilnya, sungguh spektakuler, produktivitas lahan per hektar per musim panen bisa mencapai 120 ton, bahkan berpotensi hingga 200 ton per hektar. Hasil paling jeblok 80 ton.
    Jika pemerintah serius merevitalisasi garam nasional dan berhasil meningkatkan produktivitasnya menjadi 100 ton per hektar maka dari lahan garam yang berada dalam program Pugar akan dihasilkan 2.259.740 ton. Ini belum termasuk lahan PT Garam seluas 7.289 ha yang kualitas lahannya jauh lebih baik dan mendapat dukungan modal yang memadai. Sejalan dengan program industrialisasi perikanan yang dicanangkan KKP maka sebenarnya secara riil bisa dihasilkan garam sebanyak 2.988.640 ton bisa menutupi kebutuhan garam nasional.
    Impor garam adalah salah satu fenomena gunung es dari ekonomi rente yang tumbuh subur di negeri ini. Oknum pejabat pemerintah kita sudah teracuni oleh penyakit mental yang serba menggampangkan. Almarhum Profesor Kuntjaraningrat pada tahun 1974 telah mengingatkan dua kelemahan mentalitas masyarakat Indonesia, yaitu mentalitas meremehkan mutu dan mentalitas menerabas. Mentalitas ini rupanya telah berakar kuat, tidak hanya di masyarakat tetapi di kalangan birokrasi pemerintahan.
    Petani kita telah ditumpulkan kearifan lokalnya melalui Undang-undang Benih, sejumlah penangkar dan pembudidaya benih telah masuk penjara karena melakukan inovasi dan terobosan sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Namun, pada satu sisi, impor pangan dari tahun ke tahun jumlahnya semakin besar. Termasuk pangan yang dapat kita buat sendiri.
    Menjelang pembukaan keran impor garam dampaknya sudah mulai dirasakan oleh petambak garam Madura. Harga garam di tingkat petambak merosot hingga 17 persen. Impor garam ini juga akan memberi imbas pada harga ketika panen raya. Mestinya pemerintah memperhatikan aspirasi para petambak garam dan melakukan triangulasi data garam nasional karena sampai sekarang belum ada angka yang disepakati dan dijadikan pegangan berapa jumlah produksi garam nasional. Angka dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Kelautan saling berbeda. Kesimpangsiuran angka ini memberi ruang kepada pemburu rente dengan mengimpor garam.
    Padahal, kita sebenarnya mampu untuk berswasembada garam jika ada kemauan. Yang kita butuhkan adalah komitmen nasional. Kita memiliki lahan potensial sebesar 57.418 Ha dan lahan PT. Garam seluas 7.289 Ha. Jika direvitalisasi dan disertai kebijakan yang mendukung pengembangan produktivitas maka swasembada adalah sebuah keniscayaan. Perlu saya sampaikan bahwa petani Madura sekarang telah berhasil memproduksi garam industri dengan kadar NaCl tertinggi di dunia, yaitu 99,56 persen dan telah mulai mengekspor ke Jepang.
    Pengalaman saya di dunia bisnis dan pemerintahan sampai pada kesimpulan bahwa perkembangan kewirausahaan masyarakat sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Ketika pemerintah memperhatikan produksi masyarakat dengan memberikan dukungan kebijakan dan sarana produksi maka kegairahan masyarakat untuk berekonomi meningkat. Ini tampak pada beberapa pemerintah daerah yang berhasil memacu perkembangan ekonomi daerah yang berbasis ekonomi kerakyatan.
    Jika pemerintah sudah mengidap mentalitas menerabas atau mencari jalan paling gampang maka tidak lagi menghiraukan prestasi dan harga diri. Yang penting, tujuan diri sendiri atau kelompok tercapai maka ini akan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Rakyat menjadi kehilangan harapan dan kepercayaan. Rakyat menjadi putus asa tidak tahu lagi kepada siapa mereka mengadukan nasibnya. Ini mungkin yang menjadikan masyarakat frustrasi karena ruang untuk mengembangkan kewirusahaannya tidak ada lagi.
    Akhirnya lita harus sadar dan mau mengobati penyakit sosial yang melemahkan bangsa yang sekarang banyak diidap oleh pejabat pemerintahan dan pejabat negara yaitu sifat tidak percaya kepada diri sendiri. Sifat tidak berdisiplin murni, mereka baru disiplin dan bekerja dengan benar jika diawasi langsung oleh atasan. Tetapi, jika atasan lengah atau atasan tidak punya karakter maka perilaku maunya enak sendiri akan merajalela. Dan, yang terakhir sifat tak bertanggung jawab. Belakangan ini sangat nyata kita saksikan di layar televisi dan di media massa.
    Rendahnya empati dan kepedulian terhadap kehidupan rakyat kecil, terutama dalam berekonomi telah menjadikan kewirausahaan masyarakat pelan-pelan mati dan akhirnya kita menuju menjadi bangsa kuli dan kuli di antara semua bangsa.
    Saya mengajak kepada semua pihak untuk mengingat kembali ajaran Bung Karno, “Berdikari, berdiri di atas kaki sendiri”. Pernyataan tersebut kini masih terasa relevan. Kewirausahaan masyarakat adalah sebagai wahana untuk mengembangkan semangat berdikari. India dengan Swadeshi berhasil mandiri. Kita mempunyai segalanya, maka mewujudkan kemandirian nasional di bidang ekonomi adalah sebuah keniscayaan.
  • Mengoptimalkan Pendidikan Kewirausahaan

    Mengoptimalkan Pendidikan Kewirausahaan
    Herman, MAHASISWA FAI-UMJ, AKTIF DI BASIC SYARIAH ECONOMIC CAMPUS (BASECAMP)
    Sumber : SUARA KARYA, 1 Maret 2012
    Membaca tulisan Aunur Rofiq yang berjudul, Wirausaha Entaskan Kemiskinan (Koran Jakarta, 12/1/2012) sangat menarik untuk dibahas. Dalam tulisannya Aunur Rofiq mengatakan bahwa kewirausahaan yang di dalamnya menuntut kreativitas dan inovasi, menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, penciptaan lapangan kerja, dan mengentaskan kemiskinan. Apabila kegiatan kewirausahaan yang dirangsang melalui program-program tersebut berjalan efektif dan konsisten, maka akan memperluas kesempatan kerja di sektor formal maupun informal.
    Berdasarkan pemaparan di atas, pendidikan kewirausahaan (entrepreneurship) memiliki peranan yang sangat penting. Kewirausahaan memiliki peranan untuk menambah daya tampung tenaga kerja. Jiwa kewirausahaan akan mendorong seseorang memanfaatkan peluang yang ada menjadi sesuatu yang menguntungkan. Apalagi, jumlah pengangguran dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun 2011 saja, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,12 juta orang. Hal ini disebabkan sedikitnya lapangan pekerjaan, sedangkan jumlah lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi terus bertambah. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara lapangan pekerjaan dan orang yang akan bekerja.
    Sedangkan proporsi wirausaha Indonesia diperkirakan baru sekitar 0,24 persen dari populasi, padahal untuk membangun ekonomi bangsa yang maju, menurut sosiolog David Mc Cleiland, dibutuhkan minimal dua persen atau 4,8 juta wirausaha dari populasi penduduk Indonesia. Sebagai perbandingan, Singapura memiliki wirausaha 7,2 persen, Malaysia 2,1 persen, Thailand 4,1 persen, Korea Selatan 4,0 persen, dan Amerika Serikat (AS) 11,5 persen dari total penduduknya.
    Menurut data Direktorat Jendral Pemuda dan Pendidikan Luar Sekolah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dari 75.3 juta pemuda Indonesia, 6,6 persen lulus sarjana. Dari jumlah tersebut, 82 persen di antaranya bekerja pada instansi pemerintah maupun swasta, sementara hanya 18 persen yang berusaha sendiri atau menjadi wirausahawan. Padahal, semakin banyak lulusan perguruan tinggi yang menjadi wirausahawan akan dapat mempercepat pemulihan ekonomi.
    Sangat Mendesak
    Purdi E Chandra (2004) dalam bukunya, Menjadi Entrepreneur Sukses, mengatakan bahwa di era otonomi daerah saat ini, pendidikan kewirausahaan sangat dibutuhkan. Karena, dengan pendidikan tersebut sebenarnya akan banyak menciptakan pengusaha-pengusaha baru. Tak hanya penting, tetapi sangat mendesak. Maka sebaiknya, iklim untuk menekuni dunia usaha harus diciptakan.
    Melihat peningkatan tenaga kerja yang tidak diiringi dengan peningkatan lapangan kerja membuat pemerintah berusaha mengatasinya dengan membuat berbagai program yang berhubungan dengan peningkatan kewirausahaan. Melalui program peningkatan kewirausahaan, pemerintah berharap kesadaran mahasiswa mengenai kewirausahaan akan muncul sehingga mahasiswa memiliki motivasi untuk membuka usaha sendiri sehingga dapat mengurangi angka pengangguran.
    Pendidikan kewirausahaan yang didapatkan mahasiswa di bangku kuliah berperan penting sebagai bekal pengetahuan yang dibutuhkan dalam mengelola usaha terutama ketika menghadapi suatu permasalahan. Perguruan tinggi sebagai wadah berlangsungnya pendidikan formal akan mendorong individu menjadi seorang wirausahawan.
    Mengingat jumlah pengangguran yang masih tinggi, perguruan tinggi harus mampu berperan aktif guna menyiapkan sumber daya manusia terdidik yang mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan baik lokal, regional maupun internasional. Untuk mewujudkan itu semua maka diperlukan pendidikan berbasis kewirausahaan, yaitu pendidikan yang menerapkan prinsip-prinsip dan metodologi ke arah pembentukan kecakapan hidup (life skill) melalui kurikulum yang terintegrasi.
    Pendidikan yang demikian mempunyai orientasi pada pembentukan jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) peserta didik. Yaitu, jiwa keberanian dan kemauan menghadapi permasalahan hidup dan kehidupan secara wajar, berjiwa mandiri, tangguh dan berdaya saing, berjiwa kreatif serta inovatif untuk mencari solusi dalam mengatasi berbagai permasaahan yang dihadapinya.
    Jiwa wirausaha yang diperoleh mahasiswa diharapkan lebih berhasil karena pendidikan dan teknik manajemen modern yang mereka pelajari, sehingga individu lebih sadar akan realitas dunia usaha. Perpaduan antara pengetahuan dan teknologi nantinya akan meningkatkan terciptanya pengusaha-pengusaha muda yang juga mampu menciptakan lapangan kerja.
    Pengembangan budaya kewirausahaan di perguruan tinggi dilaksanakan untuk menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan para mahasiswa. Pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi akan memberikan nilai tambah (added value) bagi kemandirian perekonomian daerah maupun nasional. Demikian pula para lulusan perguruan tinggi tidak hanya berorientasi dan mampu menjadi pekerja saja, tetapi juga berorientasi dan mampu bekerja mandiri, menciptakan usaha baru dan industri sendiri.
    Jadi, pendidikan kewirausahaan harus dimiliki oleh mahasiswa karena mahasiswa sebagai pemimpin masa depan diharapkan mampu menjadi tulang punggung bangsa. Sehingga, dengan penguasaan ilmu dan teknologi yang dimilikinya mampu menciptakan lapangan kerja, bukan malah menambah jumlah pengangguran. Karenanya, sebagai generasi penerus bangsa, mahasiswa dituntut untuk berpikir secara kreatif dan inovatif, khususnya dalam melihat peluang usaha yang ada di masyarakat. Mahasiswa berjiwa wirausaha berani mencoba untuk memulai usaha.