Category: Uncategorized

  • Angie dan Anas Dihukum Pers?

    Angie dan Anas Dihukum Pers?
    S Sinansari Ecip, PERNAH MEMIMPIN KPIP
    Sumber : KOMPAS, 2 Maret 2012
    Beberapa minggu Angelina Sondakh (Angie) dan Anas Urbaningrum bulan-bulanan pers, terutama oleh siaran televisi. Ada yang bertepuk tangan, ada pula yang mengelus dada.
    Bertepuk karena keinginannya diwakili pers: Angie dan Anas ditelanjangi. Mengelus dada karena mereka cemas sembari bertanya, demikiankah pemberitaan pers? Bukankah ini pengadilan oleh pers?
    Angie dan Anas memang sasaran empuk untuk berita berkelanjutan. Keduanya berkedudukan tinggi di partainya dan di- kenal luas. Angie belum ditahan, Anas belum dimintai keterangan. Itu saja pers sudah menganggapnya layak berita. Belum lagi kasus-kasus yang ada di dalam media berkaitan dengan mereka memang sedang panas.
    Partainya pemenang pemilu dan pendirinya jadi presiden. Sebagian partai tentu ingin menang pada Pemilu 2014. Perlu persiapan. Pemanasan penting.
    Secara teori, dalam jurnalisme ada yang disebut pengadilan oleh pers atau pengadilan oleh media. Pengadilan oleh pers, kata Wikipedia pada 22/2/2012 pukul 15.35 WIB, digambarkan sebagai the impact of TV coverage on a person’s reputation by creating a widespread perception of guilt or innocence before, after, verdict in a court of law.
    Umum dan Khusus
    Pernyataan tentang komunikasi tercantum jelas dalam Pasal 28 UUD 1945 mengenai kebebasan menyatakan pendapat dan berkomunikasi. Khusus tentang kegiatan jurnalisme ditambahkan dalam Pasal 28F. Kehadiran komunikasi dan jurnalisme dilindungi secara sah dan kuat.
    Kegiatan jurnalisme dirinci ke dalam UU No 40/1999 tentang Pers dan UU No 32/2002 tentang Penyiaran. UU Pers antara lain melahirkan Kode Etik Jurnalistik dan UU Penyiaran melahirkan Pedoman Perilaku Penyiaran serta Standar Program Siaran. Kedua aturan yang belakangan disebut bersanksi moral. Ada yang bersanksi pidana menyangkut isi media massa.
    Keabsahan pernyataan pendapat dan kehadiran tatanan jurnalisme berikut kode etiknya adalah aturan bersifat umum, universal. Keberadaannya secara internasional: aturan itu diakui dan dilaksanakan. Namun, tatanan universal itu di dalam praktik dapat dikalahkan tatanan yang lingkup berlakunya lebih sempit. Itulah tatanan internal yang disebut politik pemberitaan.
    Politik pemberitaan adalah jabaran visi dan misi perusahaan pers atau media di bidang penampilan informasi yang harus dijalankan jajaran redaksi. Setiap lembaga pers punya politik pemberitaan yang berbeda dengan pers atau media yang lain.
    Apakah pers punya kepentingan? Dari sudut teori, pers sebaiknya tak berkepentingan alias pemihakan. Dari sudut praktik, kenyataan pemihakan pers banyak ditemukan. Secara praktik dapat dikatakan bahwa pers memang sering punya kepentingan. Setiap orang punya kepentingan, apalagi lembaga pers. Namun, pers umum yang baik harus mendekati titik ”tak punya kepentingan”. Penempatan kemasan informasi saja sudah menunjukkan adanya pemihakan, belum lagi muatan di dalam isinya. Media partai (bukan pers umum) tentu saja sah berpihak.
    Gambaran tentang aturan yang berlaku umum dan berlaku khusus tadi boleh dianggap sebagai modifikasi atas gambar bagaimana ideologi memengaruhi media (Mediating the Message oleh PJ Shoemaker dan SD Reese). Secara model hierarkis, lingkup paling kecil disebut level individual, diteruskan ke level yang lebih besar berupa level rutinitas media, level organisasi, level ekstramedia, dan level ideologi.
    TV Kita
    Hampir semua stasiun TV punya tayangan informasi yang dikemas secara jurnalistis. Dengan hadirnya Metro TV dan TVOne, stasiun TV lain tertinggal jauh dalam sajian jurnalismenya: kecepatan ataupun volumenya. Kedua stasiun TV itu berspesialisasi sebagai TV berita. Namun, tampilan umumnya dan secara formal keduanya bukanlah media partai yang sah berpihak.
    Para host dan hostess TV itu tampil menarik meski sebagian kurang menguasai persoalan. Namun, pilihan informasinya cukup memenuhi keingintahuan khalayak. Sudut pandangnya menukik. Ada kepentingan? Tentu: agak tersamar, bagian dari permainan awal pemilu nanti.
    Dalam buka-bukaan informasi, tayangan Indonesia Lawyers Club lebih telanjang. Meski pemandunya berusaha tampil berimbang, kesan agak memihak masih tampak. Proses peradilan dan materinya sering dibuka dengan menghadirkan beberapa narasumber. Memunculkan orang-orang Demokrat bermasalah dianggap menarik perhatian. Akhir-akhir ini yang dimunculkan ialah Angie dan Anas.
    Buka-bukaan tayangan Sarasehan Anak Bangsa, meski baru lahir, mengesankan. Beberapa informasinya mengejutkan karena sebelumnya penyebarannya masih terbatas. Karena pembicaranya sangat banyak dalam waktu terbatas, terkesan tayangan ini kurang fokus. Sayang, simpulannya kurang berani dan tak ada tindak lanjut dari aparat dan masyarakat.
    Kocak tajam mengiris ditunjukkan Sentilan Sentilun. Slamet Rahardjo tenang dan arif mewakili kehadiran seorang priyayi. Tamunya acap membawa informasi dan pendapat yang baru dan nyelekit. Jongosnya, Butet Kartaredjasa, kocak sinis.
    Ketiga contoh itu umumnya menyasar kepada kekuasaan. Kekuasaan jangan dipakai secara berlebihan untuk kepentingannya sendiri, tetapi untuk menyejahterakan masyarakat.
    Dalam berbagai bincang-bincang TV, Angie dan Anas jadi obyek berita ataupun sindiran. Pesan tersembunyinya lebih kurang seperti kedua orang ini nanti harus dinyatakan bersalah. Proses peradilan kurang ditonjolkan, mungkin karena hakim kurang arif dan kurang menggali, jaksa dan pembela kurang tangkas dan cerdik. Yang terjadi: Angie dan Anas seperti telah dihukum oleh pers. Bolehkah?
    Tentu saja penghukuman oleh pers tak boleh, apalagi peradilan sedang berproses. Apakah membuka bagian persidangan pengadilan bisa bertujuan memengaruhi proses pengadilan yang sedang berlangsung? Memengaruhi peradilan tidaklah boleh. Karena itu, ada praduga tak bersalah yang harus kita taati bersama bahwa seseorang tak boleh dianggap bersalah manakala belum diputuskan oleh pengadilan.
    Menghadapi berbagai serangan, Partai Demokrat mengadukan Metro TV dan TVOne kepada Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPIP) pada 23 Februari lalu. Demokrat merasa disudutkan berita kedua stasiun TV itu. Lebih dari itu, kedua stasiun TV diadukan telah melakukan pembingkaian (istilah lain untuk karya jurnalismenya yang tak berimbang atau berkepentingan).
    Seyogianya KPIP bekerja sama dengan Dewan Pers menyikapinya. Dalam Pasal 42 UU No 32/2002 tentang Penyiaran tercantum, ”Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
    Ditinjau dari kepemilikannya, Metro TV selama ini dikenal sebagai milik Surya Paloh, pendiri Partai Nasdem. Aburizal Bakrie memiliki TVOne sekaligus bos Partai Golkar. Dikhawatirkan, kedua kelompok media itu akan menjadi corong partainya. ●
  • Hakim dan Kacamata Kuda

    Hakim dan Kacamata Kuda
    Sudjito, GURU BESAR DAN KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UGM
    Sumber : KOMPAS, 2 Maret 2012
    Diwartakan dalam sejumlah media edisi Kamis, 2 Februari 2012, bahwa Harifin Andi Tumpa sebelum pensiun sebagai ketua Mahkamah Agung membuat pernyataan bahwa seorang hakim harus melihat suatu peristiwa dari nilai-nilai yang harus ditegakkan.
    Jadi, ”Hakim itu bukan hanya melihat dengan kacamata kuda atas suatu peristiwa hukum. Kritik dari masyarakat sangat penting untuk membuka mata para hakim,” katanya. 
    Pernyataan itu disampaikan terkait dengan putusan kasasi perkara Rasminah yang dihukum 130 hari karena bersalah mencuri bumbu dapur dan barang milik majikannya.
    Awam bertanya-tanya. Sindiran macam apa yang dimaksud dengan ”kacamata kuda” itu? Kalangan pengkaji hukum mudah mencernanya. Itu tak lain hukum formal yang tekstual tertulis di dalam perundang-undangan.
    Dengan kata lain, hakim berkacamata kuda adalah hakim yang senantiasa tekstual dalam memutus perkara. Bak teknisi komputer, hakim tipe ini sekadar pencet tombol untuk mencocokkan antara perkara dan program yang ada di dalamnya sehingga keluarlah hasilnya berupa vonis. Mudah dan sederhana.
    Mereka tak lagi berpikir bahwa tersangka yang dihadapi adalah manusia yang punya jiwa, perasaan, dan hidupnya kontekstual dengan berbagai keadaan yang mengimpitnya. Tersangka tak beda dengan barang yang boleh dan bisa diolah sesuai dengan program komputer. Manusiawikah hakim ini? Masyarakat berhak menilainya.
    Terlepas dari benar tidaknya bahwa pada umumnya hakim di negeri ini berkacamata kuda, dapat dipastikan bahwa ada motivasi tertentu di balik munculnya sebuah vonis. Motivasi itu bermacam-macam.
    Pertama, ada yang memutus perkara atas dasar pertimbangan untung rugi yang dihitung secara material. Inilah tipe hakim ”pedagang”. Hakim tipe ini secara terselubung sering terlibat suap-menyuap. Cepat kaya, tetapi kalau malang, cepat pula masuk hotel prodeo. Pada gilirannya, hanya tersangka yang kaya yang bisa menang. The have always come out the head, but the poor must pay more, kata Marc Galanter.
    Kedua, memutus perkara karena takut sehingga tak mandiri. Ada desakan dan campur tangan kekuasaan politik serta kekhawatiran bahwa kariernya dikebiri. Vonis berkiblat demi keamanan serta kenyamanan diri sendiri dan keluarga tanpa peduli apa pun nasib tersangka. Inilah tipe hakim ”budak” majikan.
    Ketiga, hakim memutus perkara atas dasar pertimbangan sosial kemasyarakatan. Suara dan kritik serta budaya hukum yang dihadapi tersangka menjadi unsur penting untuk diperhitungkan. Inilah tipe hakim sosiologis kultural.
    Populer dan Disegani
    Bisanya hakim tipe ini populer dan disegani masyarakat meski sering harus menanggung risiko dibenci sesama teman sejawat. Hakim nirkarier di Mahkamah Agung umumnya peka terhadap suara hati masyarakat itu. Hakim Artidjio Alkostar, yang di dalam perkara Rasminah berbeda pendapat dengan anggota majelis hakim lain, boleh jadi termasuk ke dalam tipe ini.
    Keempat, hakim memutus didorong kekuatan spiritual dari dalam kalbu sehingga hati nurani memegang peran. Vonis tak lain merupakan pengejawantahan isi hati nurani. Tak ada bohong, dusta, dan kezaliman tebersit di dalamnya. Pasal-pasal dari perundang-undangan hanyalah alat pelengkap dan bukan penentu kadar berat ringannya vonis. Sikap, perilaku, dan vonis hakim diabdikan kepada Sang Pencipta. Dia tipe hakim spiritual-religius.
    Tak jarang mereka bersemadi atau menegakkan shalat tahajud sebelum memutus perkara. Bisikan rabbaniah menjadi faktor penting untuk diperhatikan dan mewarnai vonisnya. Bagi hakim tipe ini, irah-irah vonis yang berbunyi ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mendapatkan makna yang sebenarnya dan bukan sekadar slogan kosong.
    Kacamata kuda memang pantas dan indah untuk kuda. Kuda itu binatang. Alangkah naif jika sindiran itu ternyata mengena pada hakim-hakim di negeri ini.
    Hakim adalah jabatan terhormat yang diberikan kepada manusia yang memiliki kualifikasi tertentu. Jangan sampai amanah ini dipelesetkan sehingga martabat hakim jatuh: tak ubahnya seekor kuda. ●
  • Tindak Lanjuti Laporan PPATK

    Tindak Lanjuti Laporan PPATK
    Riduan Syahrani, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT DAN SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM SULTAN ADAM, BANJARMASIN
    Sumber : KOMPAS, 2 Maret 2012
    Dalam sebuah berita disebutkan bahwa Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan transaksi pegawai pajak, yang baru-baru ini diduga cuci uang di bisnis mobil, Dhana Widyatmika, mencurigakan dan tersebar di 21 bank. Kita jadi ingat refleksi akhir 2011 harian ini menyangkut analisis PPATK kepada penyidik.
    Dalam refleksi itu diungkapkan 294 terlapor dicurigai melakukan pencucian uang. Sebanyak 174 di antaranya terindikasi korupsi. Berdasarkan pekerjaannya, 148 orang berstatus pegawai negeri sipil, ya, seperti Dhana Widyatmika. Terlapor yang menjabat bupati, wali kota, dan gubernur 18 orang; polisi dan tentara 29 orang; serta anggota badan legislatif 20 orang (Kompas, 24/12/2011).
    Namun, menurut refleksi itu, PPATK tak pernah mendapat laporan mengenai tindak lanjut atau penyidikan terhadap hasil analisis pidana pencucian uang yang disampaikannya kepada penyidik Kepolisian, Kejaksaan, KPK, dan Direktorat Jenderal Pajak sebagai aparat penegak hukum yang berkompeten.
    Padahal, ketika PPATK menyampaikan hal yang sama beberapa bulan lalu, Kementerian Dalam Negeri berjanji akan menelusuri rekening tak wajar milik kepala daerah dan pejabat lain. KPK juga berjanji akan menindaklanjuti laporan transaksi keuangan mencurigakan itu. Namun, janji itu rupanya hanya reaksi spontan, bukan untuk dilaksanakan.
    Sangat Praktis
    Mengapa laporan PPATK tidak ditindaklajuti sama sekali oleh institusi penegak hukum yang berwenang tadi? Padahal, pembuktiannya dapat dikatakan sangat praktis karena hasil pemeriksaan PPATK atas transaksi keuangan mencurigakan sudah dapat dijadikan bukti permulaan untuk mengajukannya ke pengadilan.
    Untuk pemeriksaan di depan sidang pengadilan atas tindak pidana pencucian uang, tindak pidana asalnya tidak wajib dibuktikan karena UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menganut ”sistem pembuktian terbalik”. Terdakwalah yang wajib membuktikan harta kekayaannya, bukan merupakan hasil tindak pidana dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup (Pasal 77 dan 78).
    Sistem pembuktian terbalik dapat dipandang sebagai pranata hukum progresif untuk memulihkan keuangan negara yang dijarah para koruptor, juga pelaku tindak pidana lain, dengan merampas, kemudian dimasukkan ke kas negara semua atau sebagian uang dalam rekening tak wajar.
    Sekarang tinggal kesungguhan dari aparat penegak hukum memberantas tindak pidana pencucian uang sebagai lanjutan dari korupsi dan tindak pidana lain yang kemudian ditransaksikan.
    Tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan keuangan negara, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jadi, tindak pidana ini sangat berbahaya. Pantas ancaman hukumannya sangat berat, maksimum 20 tahun penjara dan sejumlah uang denda.
    Karena itu, begitu ada laporan PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan yang terindikasi pidana, aparat penegak hukum yang kompeten mesti segera menindaklanjuti dengan melakukan penyidikan. Itulah bagian dari tugas dan kewajiban aparat penegak hukum. Namun, kenyataannya, laporan PPATK itu diabaikan sampai kini sehingga menimbulkan banyak dampak negatif, antara lain terungkapnya ”Gayus baru” seperti Dhana yang diduga itu.
    Sikap aparat penegak hukum yang tidak menindaklanjuti laporan PPATK sesungguhnya merupakan pelanggaran hukum. Ini jelas sangat memalukan dan mencoreng citra aparat penegak hukum sendiri. Aparat penegak hukum terkesan impotensi, tidak punya nyali. Mengapa ini bisa terjadi? Karena keanehan ini, tidak heran jika timbul prasangka bahwa jangan-jangan aparat penegak hukum sudah mendapat bagian juga.
    Menimbulkan Kesangsian
    Karena laporan PPATK sebagian besar terkait korupsi, sikap aparat penegak hukum yang pasif itu menimbulkan kesangsian akan keseriusan pemerintah memberantas korupsi. Apakah genderang perang terhadap korupsi yang sudah ditabuh dan pedang yang sudah dihunus melawan korupsi hanya jargon politik pencitraan untuk mendapatkan pujian dari masyarakat?
    Jika para pelaku tindak pidana pencucian uang yang dilaporkan PPATK itu tidak terusik sama sekali oleh tindakan aparat penegak hukum, ke depan mereka pasti akan mengulang perbuatan yang sama, bahkan dengan skala lebih besar. Hal yang sama akan ditiru pula oleh orang-orang lain sehingga tidak mustahil tindak pidana korupsi semakin marak.
    Tentu hal buruk itu tidak boleh terjadi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah mengatakan akan memimpin langsung pemberantasan korupsi di Tanah Air—dengan mengiklankan ”katakan ’tidak’ pada korupsi”—harus turun tangan dan secepatnya bertindak menginstruksikan semua aparat penegak hukum yang terkait menindaklanjuti laporan PPATK. Siapa pun terlapornya! ●
  • Cegah-Tangkal Defisit Migas

    Cegah-Tangkal Defisit Migas
    Eddy Purwanto, MANTAN DEPUTI BP MIGAS
    Sumber : KOMPAS, 2 Maret 2012
    Akhirnya datang juga! Indonesia tak sanggup membendung datangnya era defisit neraca perdagangan minyak dan gas bumi yang diperkirakan tiba mulai tahun 2012.
    Siaran pers Bank Indonesia menyebutkan, surplus neraca perdagangan energi sudah sangat tipis. Pada 2011, neraca perdagangan migas hanya surplus 7 juta dollar AS, merosot jauh dibandingkan 2010 yang 3 miliar dollar AS. Mulai 2012, neraca perdagangan migas diperkirakan memasuki era defisit.
    Pada 2004, Indonesia jadi negara importir neto minyak. Namun, jika digabung gas, neraca perdagangan masih surplus. Tahun ini, Indonesia dikhawatirkan sudah importir neto untuk minyak ataupun gas. Ini sinyal buruk bagi ketahanan migas Indonesia, baik dari sisi hulu (ditandai produksi yang cenderung menurun) maupun hilir (ditandai impor yang semakin membengkak). Tak ada pilihan lain, pemerintah harus melakukan percepatan program-program sektor hulu dan hilir migas.
    Sudah banyak program yang digagas para pemangku kebijakan, tetapi cenderung kurang terpadu, sehingga pelaksanaannya tersendat oleh berbagai hambatan lintas sektoral, teknis dan nonteknis, baik di pusat maupun daerah. Program migas perlu ditangani secara lintas sektor, tak cukup oleh satu atau dua instansi, tetapi harus mengajak seluruh pemangku kebijakan terkait dengan menanggalkan ego sektor.
    Belum lama ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menerbitkan Inpres No 2 Tahun 2012 yang menginstruksikan agar seluruh pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan, baik di pusat maupun daerah, melakukan koordinasi untuk meningkatkan produksi minyak minimal 1,01 juta barrel per hari pada 2014.
    Untuk mengejar target 1,01 juta barrel per hari pada 2014 dan membalikkan neraca defisit menjadi surplus, perlu strategi dan kerja keras.
    Sektor Hulu
    Strategi pertama, merevisi UU Migas No 22/2001. Sudah banyak kajian akademis dan pembahasan terkait hal ini, baik di ranah legislatif maupun eksekutif. Sebaiknya DPR tak menunda lagi, segera tuntaskan sehingga ada kepastian bagi pemangku kebijakan dan calon investor. UU migas yang baru diharapkan menghilangkan tumpang-tindih kewenangan antarinstansi terkait serta memacu program eksplorasi dan eksploitasi di seluruh Indonesia, terutama Indonesia timur dan wilayah perbatasan.
    Strategi kedua, menyempurnakan kontrak kerja sama bagi hasil (PSC), terutama kontrak baru, disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi Indonesia yang lebih aktual, termasuk lajunya pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk, jumlah kendaraan dan lainnya yang bermuara pada membengkaknya volume impor minyak dan BBM.
    Penyempurnaan kontrak diarahkan pada peningkatan penguasaan volume di dalam negeri oleh negara tanpa merugikan investor, termasuk tata cara pengembalian biaya operasi (cost recovery) tak lagi dibayar oleh volume migas (natura), tetapi dibayar dengan uang tunai. Investor dijamin tetap mendapatkan hak ”bagi hasil” dalam bentuk volume migas (natura).
    Melalui strategi ini volume minyak dalam negeri akan bertambah sekitar sepertiga volume lifting sebagai tambahan bahan baku kilang domestik sehingga kebutuhan impor berkurang sekitar 300.000 barrel per hari. Pemerintah dapat menawarkan insentif ke investor sebagai bentuk kompensasi sehingga tak mengurangi keuntungan dan hak investor.
    Strategi ketiga, segera bentuk dan kembangkan lembaga Dana Abadi Migas (Petroleum Fund) yang salah satu tujuannya adalah menyiapkan sumber dana abadi untuk menggali selengkap mungkin informasi dan data kebumian. Dengan lengkapnya data bawah tanah, diharapkan setiap penawaran lahan eksplorasi akan menarik minat perusahaan kelas dunia sehingga segera meningkatkan angka cadangan minyak Indonesia, dari cadangan terbukti 3,7 miliar barrel menjadi sedikitnya 10 miliar barrel dalam waktu lima tahun kedepan.
    Strategi keempat, membesarkan kemampuan dan kapasitas perusahaan minyak nasional (national oil company/NOC). Saat negara mengalami krisis ekonomi, terbukti NOC sering jadi penyelamat. NOC harus diberi peran lebih strategis tanpa mengabaikan peran investor dalam dan luar negeri. Melalui UU seyogianya negara memfasilitasi kerja sama saling menguntungkan antara NOC dan investor sehingga kedaulatan energi nasional lebih terjamin.
    Strategi kelima, mempercepat perkembangan energi alternatif, baru, dan terbarukan yang selama tiga dasawarsa belum memberikan kontribusi menggembirakan bahkan cenderung jalan di tempat. Penggunaan energi di Indonesia masih tergantung energi fosil (minyak, gas bumi, dan batubara), yaitu 95,21 persen. Penggunaan energi terbarukan hanya 4,79 persen. Pemerintah harus lebih realistis menargetkan perkembangan energi nonfosil agar tak terjebak dalam krisis energi karena terlena oleh program yang kurang membumi.
    Sektor Hilir
    Strategi pertama di ranah hilir adalah penghematan energi, terutama di sektor industri sebagai penyerap energi terbesar, yaitu 51,86 persen dari total penggunaan energi nasional. Pengguna terbesar berikutnya sektor transportasi 30,77 persen, diikuti rumah tangga 13,08 persen. Penghematan energi di sektor industri dan transportasi sangat mendesak untuk menghemat cadangan energi fosil, terutama minyak yang kian terbatas. Pemerintah harus membangun program penghematan di seluruh tingkatan pengguna yang lebih terukur.
    Strategi kedua, segera tambah kilang domestik. Wacana sudah dimulai 1998, tetapi hingga kini belum ada realisasi. Apabila Indonesia tak sanggup menambah kapasitas kilang, impor BBM 2030 minimal akan mencapai 72 persen dari total kebutuhan atau sekitar 2,5 kali lipat produksi BBM nasional. Guna meraih margin dari investasi satu kilang baru sekitar 9 miliar dollar AS, investor perlu insentif, baik fiskal maupun nonfiskal, sepanjang insentif yang diminta wajar.
    Strategi ketiga, konversi BBM ke gas secara bertahap. Perlu strategi yang lebih terstruktur dan terukur, terutama kelengkapan infrastruktur dan alokasi gas bumi yang konsisten. Strategi ini harus dibarengi keberanian memangkas subsidi BBM secara bertahap dan berkeadilan.
    Terakhir, sektor migas Indonesia masih membutuhkan masuknya modal asing sehingga seluruh strategi—baik hulu maupun hilir—perlu dukungan perbaikan iklim investasi—baik di pusat maupun daerah—terutama terkait masalah tata ruang, perizinan, otonomi daerah, perpajakan, birokrasi, sentimen anti-asing, dan lainnya. ●
  • Konflik dan Keadilan Sosial

    Konflik dan Keadilan Sosial
    Iwan Gardono Sujatmiko, SOSIOLOG FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK, UNIVERSITAS INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 2 Maret 2012
    Berbagai konflik dengan kekerasan terjadi di sejumlah daerah Indonesia, seperti yang baru saja terjadi di Bima. Realitas sosial seperti ini dapat dianalisis dengan berbagai teori konflik. Intinya adalah menjelaskan bahwa masyarakat bersaing dan berkonflik demi sumber daya ataupun identitas.
    Salah satunya adalah dengan pendekatan Realisme Kritis (Danermark dkk, 2002, Roy Bhaskar, 1978), di mana realitas sosial dibagi dalam tiga lapis. Pada lapis teratas terdapat peristiwa yang terlihat seperti konflik, sementara ”akar-akar” konflik terjadi pada lapis kedua berupa pembuatan kebijakan (perda, UU, UUD) dan lapis ketiga berupa penafsiran ideologi (Pancasila).
    Konflik terjadi karena dipicu mekanisme kekuasaan dan kebijakan yang kurang prorakyat dan penyimpangan penafsiran ideologi. Maka, untuk mengatasi kondisi ini diperlukan mekanisme tandingan yang korektif berupa pemikiran dan aksi kolektif untuk merumuskan kembali kebijakan (perda, UU, UUD) ataupun dalam menafsirkan ideologi Pancasila.
    Konflik Kebijakan
    Menurut berbagai berita dari media massa, konflik kekerasan yang terjadi di Bima disebabkan ancaman pencemaran lingkungan, polisi yang bertindak berlebihan, adanya mobilisasi massa, dan sakralnya tanah di daerah tambang.
    Keadaan serupa terjadi di sejumlah daerah, sementara aparat keamanan terpaksa menjaga kestabilan yang tidak adil. Konflik pada lapisan teratas ini sebenarnya merupakan konflik transformatif, di mana masyarakat menolak reproduksi ketidakadilan dan berupaya mengubah struktur agar mereka memperoleh akses ke sumber daya alam. Mereka berkonflik untuk memperoleh keadilan dari bawah karena tiadanya keadilan dari atas Namun, berbagai penjelasan dan solusi pada lapisan belum menyentuh mekanisme di bawahnya, yakni pembuatan kebijakan.
    Di lapisan kedua atau kebijakan, banyak perda yang tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi, seperti UU bahkan UUD, dan kurang inklusif bagi komunitas. Khusus untuk mineral dan batubara, saat ini menurut Menko Perekonomian, ada 6.000 (75 persen) dari 8.000 perda izin tambang yang bermasalah atau tumpang tindih. ”Bom waktu” ini telah meledak di sejumlah tempat. Selain itu, terdapat pula Undang-Undang Tambang Nomor 4 Tahun 2009 yang kurang inklusif, di mana komunitas sekitar tambang tidak disertakan dalam kepemilikan.
    Dalam UU Tambang warga diberi kesempatan untuk memperoleh izin tambang rakyat dalam skala kecil (individu 1 hektar, kelompok 5 hektar, dan koperasi 10 hektar selama lima tahun). Namun, jika ada perusahaan negara dan swasta dalam negeri dan asing yang besar, mereka tidak diberi saham. Jika pola kepemilikan tambang (hutan dan migas) adalah inklusif, komunitas sekitar akan merasa menjadi pemilik serta bersedia menjaga dan mengembangkan tambang dengan pemilik lainnya, baik negara maupun swasta.
    Pada lapisan tengah telah terjadi koreksi untuk mengatasi perda bermasalah dengan didirikannya 29 Pusat Pelayanan Hukum dan HAM di bawah Kemenkumham untuk mengevaluasi perda. Upaya lain dilakukan oleh Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu yang meminta uji materi UU No 33/2004 tentang porsi dana bagi hasil migas yang dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945.
    Di UUD, khususnya Pasal 33, masih tercantum kata ”kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat” yang masih terlalu abstrak. Rakyat yang mana? Rakyat di sekitar tambang pastilah bingung mengapa mereka lebih merasa kekayaan alam mereka dicuri dan dijarah. Seharusnya rakyat yang paling dekat dengan sumber daya alam merupakan prioritas dan pola yang penting adalah memberi mereka saham, misalnya 20 persen dalam koperasi komunitas atau badan usaha milik desa (BUMD).
    Jadi, komunitas tidak hanya menerima bantuan dari negara seperti dalam UU Minerba No 33/2004, di mana royalti diberikan kepada pusat (20 persen), provinsi (16 persen), kabupaten/kota penghasil (32 persen), dan kabupaten/kota lainnya dalam provinsi itu (32 persen). Namun, desa ataupun kecamatan penghasil tidak secara tegas dicantumkan dalam UU sehingga terlupakan. Selain itu, kepemilikan oleh BUMD tidaklah berdampak signifikan pada komunitas sekitar tambang, bahkan membuka peluang sebagai mesin politik uang bagi pilkada dan pemilu.
    Demikian pula bantuan oleh perusahaan dalam bentuk program pengembangan komunitas, nilainya lebih sedikit dibandingkan dengan jika mereka memiliki saham tambang tersebut. Saat ini, tanah rakyat telah di ”HGU (hak guna usaha)”-kan kepada perusahaan dalam negeri dan asing (Mochtar Naim, ”Nasib Tanah Adat”, Kompas, 23/2/2012). Di sini hukum jadi pedang pemegang kekuasaan politik dan ekonomi, bukan sebagai ”alat timbang” keadilan.
    Untuk mengatasi hal ini, UU Minerba perlu direvisi dan pada amandemen kelima UUD 1945 untuk Pasal 33, perlu dicantumkan saham bagi koperasi komunitas-BUMD di sekitar tambang. Jelaslah negara perlu melakukan renegosiasi dengan perusahaan tambang sekaligus dengan komunitas sekitar tambang. Inklusi komunitas akan menghasilkan keadilan dan pembangunan (social transformation through equity). Sebaliknya, eksklusi menghasilkan ketidakadilan dan konflik.
    Pemurnian Ideologi
    Dalam realitas sosial terbawah, terdapat ideologi yang berisi cita-cita dan cara mencapainya. Dalam hal ini, Pancasila perlu diperjelas dan dicantumkan dalam UUD 1945 sehingga dapat ”mengunci” perundang-undangan yang lebih rendah. Sebenarnya Pancasila yang digagas oleh Soekarno dan didukung oleh para pendiri republik dimaksudkan memberdayakan rakyat dalam mengisi kemerdekaan (”Pancasila yang Transformatif”, Kompas, 8/6/2011).
    Penerjemahan Pancasila dalam berbagai kebijakan masih kurang populis dan kurang memihak rakyat bawah. Demikian pula dalam 11 butir nilai Pedoman Penghayatan Pancasila tentang Keadilan Sosial yang dibahas adalah sikap dan perilaku warga dalam bermasyarakat. Seharusnya salah satu penafsiran sila kelima adalah ”Keadilan sumber daya alam bagi komunitas sekitarnya”.
    Kondisi diperparah dengan kebijakan yang mendukung ”persaingan bebas sekali” atau ”Darwinisme Sosial” (swastanisasi, deregulasi) yang mengabaikan rakyat. Untuk mengatasinya, perlu gugatan, revisi kebijakan, dan pemurnian Pancasila di ranah publik, baik di pusat maupun daerah. Pemurnian penafsiran ini akan membuat Pancasila menjadi ideologi yang lebih ”hidup” dan ”transformatif”, bukan hanya simbol dan retorika. ●
  • Pelari Cepat Melawan Kapitalisme Pasar

    Pelari Cepat Melawan Kapitalisme Pasar
    Rene L Pattiradjawane, WARTAWAN KOMPAS
    Sumber : KOMPAS, 2 Maret 2012
    Krisis zona euro dipicu krisis keuangan sejak kebangkrutan Lehman Brothers tahun 2008 di AS. Krisis itu menghadirkan kenyataan baru yang merisaukan banyak pihak dan mengancam eksistensi kesejahteraan, tentang kekayaan dan kemiskinan. 
    Kegagalan kapitalisme pasar dan globalisasi menjadi perbincangan yang mengarah pada ancaman yang membahayakan model demokrasi yang dianut dunia (Barat).
    Selama ini, ekonomi pasar dianggap sebagai mekanisme paling berhasil untuk menciptakan kesejahteraan sepanjang masa. Ilmu pengetahuan modern pun tidak sanggup menyaingi kecepatan ekonomi pasar dalam berbagai bentuknya yang mentransformasi perekonomian dunia.
    Ketika krisis keuangan dan moneter melanda Amerika Serikat (AS) dan zona euro, semua terperangah dan mencoba cari jawaban. Perdebatan berkembang tentang kapitalisme yang selama ini menjadi dasar pembenaran kemajuan ekonomi dan perdagangan bebas. Secara bersamaan, krisis yang bertubi-tubi dan menyengsarakan masyarakat negara kaya menyebabkan kebuntuan ketika kepemimpinan negara maju di pemerintahan dan swasta tidak mampu menghadapi krisis yang menyebabkan resesi.
    Francis Fukuyama, pengarang buku The End of History and the Last Man (1992), dalam wawancara dengan majalah Der Spiegel, Jerman, meyakinkan bahwa krisis yang sekarang terjadi merupakan proses dari salah satu bagian globalisasi.
    ”Kita mengasumsikan perlunya dunia bergerak cepat ke era pasca-industrialisasi dan pasca-manufakturisasi. Namun, dengan melakukan ini kita melupakan alasan sebenarnya di balik sosialisme yang tak pernah tinggal landas di AS, menghadirkan kenyataan baru ekonomi modern yang menghasilkan masyarakat kelas menengah di mana sebagian besar populasi menikmati status kelas menengah itu. Mereka bekerja di industri yang ditinggalkan di negara kita yang berpindah ke negara seperti China,” kata Fukuyama.
    Perusahaan negara
    Ekonom Peru ternama, Hernando de Soto, dalam tulisannya di Financial Times (29/1), menyebutkan alasan terjadinya kontraksi modal dan kredit di AS dan Eropa selama lima tahun terakhir adalah karena pengetahuan mengikuti perkembangan kapitalisme pasar selama lebih dari 200 tahun. ”Perlu mengidentifikasi persoalan untuk bisa menghubungkan dan menggabungkan bagian-bagian profitabilitas masing-masing yang tanpa disadari telah dihancurkan,” katanya tentang resesi Eropa kini.
    Majalah The Economist (21/1) melihat dalam konteks lebih luas. Resesi global yang merongrong kapitalisme liberal memunculkan potensi alternatif baru, kapitalisme negara dengan menggabungkan kekuatan negara dan kekuatan kapitalisme. Elemen-elemen itu sebenarnya sudah tampak pada masa lalu, seperti kebangkitan Jepang pada tahun 1950-an ataupun di Jerman pada era 1870-an.
    Persoalannya, kapitalisme negara abad ke-21 beroperasi dalam skala masif menggunakan peralatan yang semakin canggih yang dihadirkan pasar uang, bursa perdagangan, serta iklim globalisasi yang menghilangkan dimensi ruang dan waktu. China menjadi pelopor utama kapitalisme negara dengan cadangan devisa 3,2 triliun dollar AS.
    Dalam kurun waktu 25 tahun, China melesat bak pelari sprinter mengalahkan berbagai kemajuan ekonomi pasar di belahan dunia mana pun dan berada di urutan kedua kekuatan ekonomi global di belakang AS.
    China memiliki pertumbuhan impresif dengan laju rata-rata 9,5 persen setiap tahun dan volume perdagangan global meningkat sampai 18 persen. Selama 10 tahun terakhir, PDB China mencapai lebih dari 11 triliun dollar AS, menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia mengalahkan Jepang dan menjadi pasar konsumen terbesar dunia mengalahkan AS.
    China menganut asas kapitalisme negara. Dari tiga perusahaan negara, yaitu Sinopec Group, China National Petroleum Corporation, dan State Grid, semuanya tercatat sebagai perusahaan publik dengan penghasilan terbesar di dunia di belakang Walmart, Shell, Exxon, dan BP.
    Di bursa saham domestik, perusahaan negara tersebut secara nilai mencapai 80 persen di China, 62 persen di Rusia, dan 38 persen di Brasil. China pun berada pada posisi lender of the last resort dan secara bersamaan membelanjakan devisanya membeli perusahaan-perusahaan strategis di Eropa, mengejar kandungan teknologi untuk mentransformasi ekonominya menuju ke ekonomi teknologi tinggi.
    Kapitalisme Cangkokan
    Krisis kapitalisme pasar sebenarnya mengacu pada persoalan informasi asimetris di tengah kemajuan teknologi komunikasi informasi yang tak hanya melibatkan pemain utama, tetapi juga orang kebanyakan yang secara mudah dan cepat menyebarluaskan informasi (terutama ekonomi dan perdagangan) melalui medium seperti Facebookdan Twitter.
    Dalam bahasa Jürgen Habermas (82), filsuf Jerman, dalam diskusi di Goethe Institutdi Paris, Perancis, krisis zona euro terjadi karena kapitalisme cangkokan di mana ekonomi pasar dikuasai politik. Ketika politik bergerak ke arah xenophobia— seperti tercantum dalam buku Deutschland Schafft Sich Ab (Jerman Menghapuskan Diri) yang ditulis Thilo Sarrazin, mantan anggota dewan eksekutif bank sentral Deutsche Bundesbank, atau seperti diungkapkan Geert Wilders, politisi sayap kanan Belanda yang juga pemimpin Partij voor de Vrijheid— muncul kontradiksi yang menyebabkan sistem demokrasi dan politik tidak berjalan efektif.
    Persoalan lain, konsumerisme dalam model kapitalisme pasar dibayang-bayangi kerancuan obyektivitas atas berbagai produk perdagangan. Konsumen negara kaya condong berbelanja berdasarkan ilusi subyektif merek, seperti Nike, ketimbang obyektif analisis para ahli tentang sepatu. Di tingkat perusahaan, pembelian produk keuangan dilakukan berdasarkan bersama siapa mereka bermain golf. Ini terjadi pada elite ataupun orang biasa, menyebabkan perdebatan multifaset antara benar dan salah. Dan, ini terjadi di mana-mana. ●
  • Berpulangnya Kiai Penjaga Belantara

    Berpulangnya Kiai Penjaga Belantara
    Sholahuddin, WARTAWAN JAWA POS
    Sumber : JAWA POS, 2 Maret 2012
    BULAN-bulan awal 2012 ini merupakan bulan duka bagi warga nahdliyin. Bahkan, bukan hanya duka bagi jamiyah NU, tetapi bulan duka umat Islam maupun bangsa Indonesia. Betapa tidak. Dalam rentang Januari-Februari, setidaknya tiga kiai besar wafat. Pada 15 Januari lalu, pimpinan Ponpes Lirboyo, Kediri, KH Imam Yahya Mahrus berpulang. Kemudian, pada 31 Januari, pengasuh Ponpes Al Falah, Ploso, Kediri, KH Munif Djazuli juga menyusul. Dan, pada 29 Februari, pengasuh Ponpes Langitan, Tuban, KH Abdullah Faqih pun pulang ke rahmatullah.

    Tiga nama kiai tersebut masuk di antara sedikit tokoh di negeri ini yang tidak diragukan kekiaiannya. Sepanjang hidupnya, mereka banyak mengabiskan waktu untuk mendidik dan mencerdaskan ribuan santri jamaah. Tidak mengherankan, ketika beliau pergi menghadap Sang Khalik, ribuan warga menyemut berebut mendoakan dan mengantarkan ke pesarean dengan air mata duka tumpah.

    Sepanjang bekerja di Jawa Pos mulai 1999, beberapa kali saya mengikuti beberapa kegiatan yang dihadiri para kiai karismatik tersebut, baik pada pentas keagamaan, politik, maupun sosial-kemasyarakatan. Peran dan kiprah mereka sungguh luar biasa. Bukan hanya utun dalam memberikan petuah-petuah seputar hubungan vertikal manusia dengan Sang Khalik (hablum minallah). Tetapi, mereka juga sangat gigih menerbar benih semangat hubungan horizontal (hablum minannas) seperti kebersamaan, toleransi, persatuan, dan kesatuan di antara sesama.

    Saya masih teringat ketika KH Mustofa Bisri (Gus Mus) saat memberikan taushiyahdi acara musyawarah nasional (munas) alim-ulama di Asrama Haji Surabaya pada 2005. Saat itu, Gus Mus menyampaikan bahwa besar-kecil atau luas-sempitnya pengaruh kiai bergantung kepada tingkat keilmuan, amaliah, dan kedekatannya kepada Tuhan dan masyarakatnya. Arief Budiman membuat kategorisai menarik tentang kiai. Bahwa kiai itu ada tiga. Yakni, kiai produk masyarakat; kiai produk pemerintah; dan kiai produk pers.

    Kiai produk masyarakat merupakan orang yang sangat dihormati masyarakat dan memanggilnya kiai. Kiai kategori itu tak hanya menyiarkan ilmu agama, tetapi juga mengamalkan. Dia menjadi panutan perilaku saleh. Dia baik dengan Sang Khalik dan baik dengan makhluk. Setiap jengkal langkahnya untuk masyarakat. Mengawani, mendidik, membimbing, membela, dan menolong masyarakat.

    Kata Gus Mus, kiai jenis itu ada meski sangat sedikit. Nah, merekalah sebenarnya yang patut disebut pewaris nabi (waratsatil anbiyaa). Karena itu, kiai produk masyarakat itu mempunyai pengaruh luar biasa di masyarakat. Tidak mengherankan, ketika mereka berpulang, ribuan jamaah menangisinya.

    Lalu, kiai produk pemerintah. Pemerintah selalu memerlukan dukungan untuk kebijakan-kebijakan yang diambil. Untuk itu, biasanya pemerintah berusaha memanfaatkan kiai yang memiliki pengaruh.

    Selanjutnya, kiai produk pers. Pers merupakan pembentuk opini paling ampuh. Lihat saja, di TV-TV sekarang . Banyak di antara mereka itu yang mungkin secara keilmuan keagamaan pas-pasan. Tetapi, berkat sentuhan pers, ketenaran mereka jauh melebihi kiai produk masyarakat.

    Kala itu, Gus Mus menyebut ada lagi kiai produk politisi dan kiai produk sendiri. Mula-mula, seperti halnya pemerintah, politisi atau pimpinan partai berusaha mendekati kiai melalui broker-broker yang bisa saja dari orang ndalem(anak, menantu, atau santri kiai), atau orang luar yang dekat dengan sang kiai. Lama-lama mereka berusaha dan ternyata mampu.

    Sementara kiai produk sendiri, kemungkinan yang termurah. Modalnya hanya kemampuan akting, menghafal beberapa ayat dan hadis, busana kelengkapan seperti serban, baju koko, atau lebih afdol lagi jubah.

    Kiai Yahya Imam Mahrus, Kiai Munif Djazuli, dan Kiai Faqih hampir pasti tidak ada yang menyangsikan bahwa mereka masuk kategori kiai produk masyarakat. Memang, mereka juga tidak steril dari politik. Sebagian di antara kita juga mengetahui, dalam beberapa kesempatan, mereka kadang-kadang menghadiri undangan atau didatangi tokoh parpol tertentu.

    Namun, keterlibatan mereka itu bukan dimaksudkan untuk kepentingan sesaat. Kalau boleh diibaratkan, mereka hanya ingin ikut andil dalam menyiapkan kendaraan-kendaraan alternatif untuk perjuangan umat atau jamaahnya. Mereka tidak ikut menumpang kendaraan itu, tetapi tetap setia mengabdi di pesantren sebagai habitatnya. Justru sering terjadi, para penumpang kendaraan yang sudah disiapkan para kiai itu lupa diri. Kalau kendaraan sudah jalan, kiai ditinggal, bahkan kadang-kadang dimusuhi.

    KH Makruf Islamudin, asal Klaten, Jawa Tengah, dalam sebuah ceramahnya pernah menyampaikan hal menarik. Kiai atau ulama itu seperti harimau penjaga rimba belantara. Jika rimba belantara itu masih ada harimaunya, penghuni rimba itu menjadi terlindungi. Hewan atau binatang lain tidak akan berani mendekat. Sebaliknya, kalau rimba itu tidak ada harimau penjaganya, peluang penghuninya rusak itu sangat besar.

    Karena itu, sebaiknya kiai-kiai memang terus berupaya untuk tetap berada di tengah-tengah masyarakat. Kalau kemudian harimau itu keluar rimba belantara dan masuk kebun binatang, jadinya harimau itu tidak angker atau tidak disegani lagi. Tetapi, harimau itu malah lucu yang menjadi bahan tertawaan dan tontotan pengunjung kebun binatang. Demikian juga halnya ketika kiai keluar dari habitatnya, mereka akan seperti harimau yang masuk kebun binatang itu.

    Kita meyakini, masih banyak kiai yang tetap istikamah memikirkan umat dan bangsa ini. Kita berharap, akan terus muncul kiai-kiai baru yang pernah nyantri kepada Kiai Yahya Imam Mahrus, Kiai Munif Djazuli, Kiai Faqih, ataupun kiai-kiai lain. Mereka yang mampu mengawani masyarakat dengan kearifan dan doa-doanya. Semoga. ●

  • Hamba Allah dari Jawa Timur

    Hamba Allah dari Jawa Timur
    A Mustofa Bisri, PEMIMPIN PONDOK PESANTREN RAUDLATUTH THALIBIN, REMBANG
    Sumber : JAWA POS, 2 Maret 2012
    PULUHANribu orang datang melayat ke Langitan, Widang, Babat. Entah berapa ribu lagi yang ingin datang tak kesampaian. Jalan raya pantura macet 5 km karena terhambat lautan manusia. Sehari sebelumnya, Rabu 29 Februari 2012, para pelayat mulai berdatangan.
    Sementara itu, di gedung PB NU dan beberapa tempat lain, orang-orang berzikir dan berdoa. Belum lagi mereka yang menyampaikan takziahnya melalui SMS, Facebook, serta Twitter. Pada Rabu itu sekitar pukul 18.30, tokoh spiritual karismatis NU, pengasuh Pesantren Langitan: KH Abdullah Faqih, dipanggil ke hadirat Ilahi. Innaa lillaahi wainnaa Ilaihi raaji’uun.

    Bila ciri utama waliyullah, kekasih Allah, itu adalah istikamah dan dicintai orang banyak, pastilah Kiai Abdullah Faqih -seperti keyakinan saya- termasuk waliyullah. Saya kebetulan mendapat anugerah kenal secara pribadi dan sering menjadi ”penderek” kegiatan yang melibatkan kiai tawaduk berwajah manis itu. Saya termasuk yang bersaksi mengenai keistikamahan beliau, baik istikamah secara bahasa (lughatan) maupun menurut istilah (isthilaahan).

    Semua orang tahu belaka keistikamahan beliau dalam menjunjung tinggi norma-norma dan ajaran Islam. Sebab, hal itu mewujud dalam sikap dan perilaku beliau sehari-hari. Beliau adalah jenis kiai yang sebenar-benar kiai. Kiai yang berusaha semaksimal serta seoptimal mungkin mengikuti dan meniru jejak pemimpin agungnya, Nabi Muhammad SAW. Beliau lembut, penyayang, rendah hati, ikhlas, dan suka menolong. Mereka yang pernah bergaul dengan Kiai Abdullah Faqih pasti bisa bercerita banyak tentang kelembutan sikap maupun tutur kata beliau.

    Kiai Abdullah Faqih istikamah mengayomi santri dan masyarakat. Bahkan mengayomi para kiai yang ”berijtihad” berjuang melalui politik praktis. Beliau mengayomi seraya mendidik. Beliau mengayomi dan mendidik -tidak hanya mengajar- para santrinya. Beliau mengayomi dan mendidik masyarakat dengan sikap -tidak hanya dengan tutur kata. Ketika para kiai pendukung Gus Dur merasa kecewa, Kiai Faqih mengayomi mereka dengan menyediakan perhatian serta pemikiran -tidak hanya waktu dan tempatnya.

    Saya menggunakan istilah mendidik karena Kiai Abdullah Faqih memang tidak sekadar memberikan nasihat dan bila ber-amar makruf nahi mungkar hampir tidak terasa ”amar” maupun ”nahi”-nya karena kelembutannya itu. Menasihati pun, beliau tidak terasa menasihati karena beliau menyampaikan dengan ikhlas dan tidak menggurui. Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana beliau ”menasihati” Gus Dur, Allahu yarhamuh, dan Gus Dur menerima dengan berterima kasih.

    Kiai Abdullah Faqih dari Jawa Timur adalah satu di antara tiga hamba Allah yang sempat disebut-sebut sebagai ”Penyangga Tanah Jawa”. Beliau menyusul dua hamba Allah yang lain yang lebih dulu dipanggil ke hadirat-Nya. Yaitu, dari Jawa Tengah: Kiai Abdullah Salam Kajen Pati, wafat 11 November 2001, dan dari Jawa Barat: Kiai Abdullah Abbas Buntet Cirebon, wafat 10 Agustus 2007. Rahimahumullah.

    Tiga abadilah, hamba-hamba Allah, itulah yang dulu memelopori untuk mendukung Gus Dur agar menjadi Kiai Bangsa saja, tidak menjadi – sekadar- presiden. Namun, ketika Gus Dur berijtihad menjadi presiden, mereka itu tidak menghalang-halangi.

    Tiga tokoh Abdullah dari Jawa itu memang mempunyai banyak kemiripan. Mereka adalah kiai pengasuh pesantren dengan ilmu keislaman yang cukup dan akhlak yang mulia. ”Mewakafkan” diri mereka untuk masyarakat dan tidak pernah mementingkan diri sendiri. Mencintai dan peduli terhadap Indonesia dan rakyat Indonesia. Ikhlas berjuang untuk itu secara lahir dan batin. Beramal dan berdoa. Semoga Allah menempatkan mereka di tempat yang indah di sisi-Nya.

    Dengan wafatnya Kiai Abdullah Faqih, rahimahumullah, habislah sudah tiga Abdullah, hamba Allah, yang disebut-sebut sebagai ”Penyangga Tanah Jawa” itu. Mereka diambil oleh Kekasih mereka beserta ilmu-ilmu dan akhlak mereka. Mudah-mudahan ini bukan pertanda Allah membiarkan negeri ini menjadi semakin terpuruk dengan banyaknya umara dan ulama suu’. Tapi, semoga Allah justru akan menolong negeri dan bangsa ini dengan memunculkan lagi hamba-hamba teladan seperti tiga kiai Abdullah itu seperti pepatah harapan: Gugur satu tumbuh seribu. Semoga. ●

  • Anggaran tanpa Daya Gedor

    Anggaran tanpa Daya Gedor
    Mohammad Eri Irawan, MAHASISWA PASCASARJANA UNAIR
    Sumber : JAWA POS, 2 Maret 2012
    PROBLEMmendasar berupa tata kelola yang buruk masih saja menjangkiti anggaran publik kita. Problem tersebut berimplikasi negatif terhadap lemahnya daya dorong instrumen fiskal untuk menggerakkan perekonomian.

    Salah satu yang menjadi sorotan saat ini adalah masih banyaknya daerah yang belum mempunyai anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) karena prosesnya molor. Berdasar data Kementerian Keuangan, hingga saat ini, 339 di antara 524 kabupaten/kota sudah mempunyai APBD, sedangkan 185 kabupaten/kota belum.

    Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 12 APBD belum disahkan; Sumatera Utara (21); Riau (9); Lampung (8); Jabar (15); Jateng (11); Jatim (8); NTT (12); Papua (23); dan Papua Barat (8).

    Ketika pengesahan APBD lambat, pencairan anggaran juga terhambat. Dampaknya, pembangunan tersendat. Secara umum, hal tersebut menunjukkan masih sangat rendahnya kadar tertib anggaran kita.

    Tata Kelola Buruk

    Selain lambatnya pengesahan APBD, tata kelola yang buruk ditunjukkan lewat penyerapan anggaran yang rendah, belanja sosial yang minim karena APBD tersedot untuk belanja pegawai, serta program pembangunan yang tak inovatif.

    Konsekuensi tata kelola yang buruk itu adalah pertumbuhan ekonomi di daerah tidak terdongkrak. Padahal, APBD sebagai instrumen fiskal punya peran penting dalam memacu pergerakan ekonomi masyarakat.

    Problem tata kelola yang buruk tersebut memang menyedihkan sekaligus menggelikan. Menyedihkan karena regulasi soal penyusunan APBD sebenarnya sudah sangat gamblang. Beleid sudah sangat jelas mengatur mekanisme pengesahan APBD, termasuk detail waktunya. APBD semestinya sudah harus disahkan melalui keputusan bersama antara eksekutif dan legislatif maksimal sebulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berjalan atau pada November.

    Menggelikan karena lambatnya pengesahan APBD sering tidak disebabkan adanya faktor substansial seperti pertarungan ide antara legislatif dan eksekutif dalam memperjuangkan program prorakyat. Yang ada justru APBD lambat disahkan karena hubungan eksekutif dan legislatif memburuk lantaran hal-hal tak penting. Misalnya, dikuranginya anggaran yang berhubungan dengan kepentingan para anggota DPRD.

    Hal itu patut disayangkan. Padahal, penyusunan anggaran mencerminkan mutu para penyusunnya. Menurut Samuelson (1996), anggaran adalah sistem yang digunakan pemerintah dan organisasi untuk mengidentifikasi rencana pendapatan untuk pengeluaran tahun tertentu. Anggaran merupakan artikulasi hasil perumusan strategi perencanaan strategis yang telah dibuat.

    Anggaran publik (APBN dan APBD) memundaki amanat untuk memengaruhi struktur perekonomian guna memastikan terselenggaranya kehidupan yang memakmurkan rakyat. Jika tata kelola anggaran sangat buruk, tentu daya gedor alias efektivitas anggaran ke kehidupan ekonomi rakyat akan semakin lemah.

    Dalam literatur ilmu anggaran, bisa dibilang peran instrumen anggaran di jagat ekonomi-politik negeri ini telah bergeser dari pengungkit (stimulator) fiskal menjadi sekadar instrumen untuk memelihara sustainabilitas fiskal (fiscal sustainability).

    Mengapa anggaran publik kita tak punya daya gedor? Sebab, pemerintah tak lagi punya diskresi dalam menggelontorkan banyak dana untuk proyek pembangunan yang bisa menciptakan multiplier effect. Misalnya, pembangunan infrastruktur, penguatan pertanian, atau peningkatan daya saing UMKM. Selain karena masih lambatnya pengesahan, APBD tersandera berbagai pos belanja yang tidak atau kurang berkorelasi terhadap upaya mendinamisasi perekonomian masyarakat luas.

    Pada 2010, misalnya, Kemenkeu mencatat, APBD banyak tersedot untuk belanja pegawai (belanja rutin). Alokasi belanja pegawai naik dari Rp 123 triliun (2009) menjadi Rp 198 triliun (2010). Belanja pegawai meningkat menjadi 45 persen dari sebelumnya 38 persen. Ada pun alokasi belanja modal hanya Rp 96 triliun, anjlok dari sebelumnya Rp 104 triliun. Porsi belanja modal dalam APBD turun dari 33 persen menjadi 22 persen. Terdapat 145 daerah yang memiliki alokasi belanja pegawai lebih dari 60 persen. Bahkan, ada yang mencapai 80 persen.

    Dana transfer ke daerah dari APBN yang superjumbo, melonjak sekitar 300 persen dalam tujuh tahun terakhir hingga 2012 mencapai Rp 437 triliun, terasa sia-sia jika kemudian dana itu tersita untuk pos-pos yang tak punya daya ungkit ekonomi.

    Karena itu, jelas sudah bahwa fungsi anggaran publik untuk mewarnai kehidupan masyarakat kian jauh panggang dari api. Itu belum termasuk duit negara yang lenyap dimakan calo anggaran. Belum juga memperhitungkan pelaksanaan proyek yang tak optimal karena mulai proses perencanaannya sudah dipenuhi bau anyir korupsi.

    Kondisi tersebut harus segera disikapi serius. Semua stakeholder seyogianya bergegas membalikkan arah kemudi anggaran menjadi lebih berpihak kepada rakyat. Sumber daya fiskal yang terbatas harus disikapi dengan politik anggaran yang menempatkan rakyat sebagai sumber sekaligus saluran energi dari setiap kebijakan penganggaran. Patut diingat, masih tingginya kemiskinan, salah satunya, disebabkan teramputasinya intervensi fiskal dalam program-program antikemiskinan. ●

  • Leadership dan Followership

    Leadership dan Followership
    Komaruddin Hidayat, REKTOR UIN SYARIF HIDAYATULLAH
    Sumber : SINDO, 2 Maret 2012
    Rakyat yang cerdas akan memilih pemimpin yang cerdas.Pemimpin yang cerdas akan membuat rakyatnya ikut cerdas. Jadi, terdapat hubungan kausalitas timbal-balik antara kualitas seorang pemimpin (leader)dan pengikutnya (follower).
    Jadi, kalau ada seorang pemimpin dinilai tidak bagus, itu menunjukkan kualitas rakyat yang memilihnya juga tidak bagus. Kalau ada seorang pemimpin memenangi pertarungan karena kekuatan uang, artinya rakyatnya juga bermental mata duitan. Ustaz di kampung saya sering membuat analog hubungan antara pemimpin dan pengikut dengan sembahyang berjamaah. Di situ ada pemimpin (imam) dan ada pengikut (makmum) yang berdiri di belakangnya.

    Menurut norma yang berlaku, siapa pun yang menjadi imam diutamakan yang paling baik akhlaknya, paling luas ilmunya, paling senior umurnya, paling baik bacaannya. Setelah imam terpilih,makmum harus taat mengikuti aturan yang berlaku agar prosesi salat jamaah berlangsung baik dan khusyuk. Tentu salat jamaah akan rusak suasananya kalau imamnya tidak benar bacaan dan jumlah rakaatnya atau makmumnya membuat kegaduhan.

    Kualitas salat berjamaah ditentukan oleh imamnya dan makmumnya. Ketika makmum mendapati imamnya salah,makmum yang terdekat wajib memperingatkan. Jika masih juga salah berulang kali, padahal telah diperingatkan, ada dua pilihan. Makmum memisahkan diri lalu membuat jamaah sendiri atau imamnya yang menyatakan mundur, lalu makmum yang terdekat menggantikannya maju ke depan tanpa membatalkan salat jamaahnya.

    Begitulah hubungan leadership dan followership dalam salat berjamaah, semuanya berlangsung damai tanpa keributan atau huru-hara. Tentu saja dalam panggung politik, variabelnya lebih banyak dan kompleks.Hubungan antara pemimpin dan pengikut terdekatnya saling memengaruhi. Bisa jadi ada seorang pemimpin yang kurang bagus, tetapi rakyatnya bagus sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung baik-baik saja.

    Atau sebaliknya, berkat pemimpinnya yang hebat dan bagus, rakyat yang semula brengsek tidak taat aturan berubah jadi bagus. Menurut cerita, Singapura berubah begitu tertib berkat kepemimpinan Lee Kuan Yew yang cerdas, berkarakter, dan tegas sehingga perilaku rakyatnya berubah drastis. Dengan pelaksanaan otonomi daerah, sesungguhnya kita memiliki peluang dan tantangan untuk membangun sinergi hubungan yang kreatif, konstruktif, dan produktif antara leadership dan followership untuk memajukan daerah.

    Yang repot adalah ketika ruang demokrasi dibuka,rakyat bebas memilih pemimpinnya, tetapi kualitas rakyatnya rendah sehingga pemimpin yang tampil juga kurang bermutu. Akibatnya implementasi dan hasil demokrasi bukannya mendongkrak kesejahteraan dan kemajuan daerah, tetapi malah ramai-ramai menurunkan indeks pembangunan daerah. Pemimpin dan rakyatnya samasama mata duitan, sementara kinerjanya di bawah standar.

    Bagaimana dengan kepemimpinan tingkat nasional? Hubungan leadership dan followership yang paling mudah diamati adalah pada lapisan terdekat presiden, yaitu jajaran menteri dan pembantupembantunya di lingkaran istana. Komunikasi seorang presiden dengan lingkaran terdekatnya tidak terbatas melalui bahasa verbal, tak kalah pentingnya adalah gestur.

    Bagaimana suasana batin dan emosi seorang presiden menjadi bacaan yang lebih penting ketimbang apa yang diucapkan. Lebih dari itu,pembicaraan di luar acara resmi juga menjadi referensi penting bagi orang-orang terdekatnya. Sebaliknya, kepribadian dan mentalitas para followerdi seputar presiden akan berpengaruh besar pada hasil kinerja sang leader.

    Sepandaipandai seorang presiden, jika jajaran terdekatnya tidak cepat, tangkas, terampil, dan berani menerjemahkan gagasannya dalam kebijakan dan tindakan, kepemimpinannya tidak akan banyak membawa perubahan dan perbaikan dalam kehidupan bernegara dan masyarakat. Jadi, hubungan leadership dan followership antara presiden dan rakyatnya sesungguhnya akan sangat ditentukan oleh kualitas hubungan pada lingkaran yang lebih kecil, yaitu leadership dan followershipantara presiden dan orang-orang terdekatnya di seputar istana dan dengan jajaran para menterinya.

    Meminjam ungkapan Pak Jusuf Kalla, memimpin Indonesia yang demikian besar penduduknya dan luas wilayahnya sesungguhnya tak lebih dari mengatur sekitar 500 orang saja. Pegang dan jalin komunikasi yang baik dengan tokoh-tokoh kunci di Republik ini, maka rakyat yang jumlahnya puluhan atau ratusan juta itu akan ikut di belakangnya.