Category: Uncategorized

  • Wanita Cantik, Cerdas, Kebohongan & Akibatnya

    Wanita Cantik, Cerdas,
    Kebohongan & Akibatnya
    Chappy Hakim, CHAIRMAN CSE AVIATION
    SUMBER : SINDO, 3 MARET 2012
    Cerita-cerita tentang wanita cantik selalu saja mengisi sejarah dalam kehidupan umat manusia. Salah satu yang terkenal nyaris sepanjang zaman adalah Cleopatra sang ratu dari Alexandra, kelahiran puluhan tahun sebelum Masehi.

    Seorang wanita cantik yang cerdas dan tak jarang disebut pula sebagai seorang yang keras hati. Setiap zaman selalu saja menyimpan banyak cerita mengenai kiprah wanita cantik di tengah-tengah kehidupan masyarakat lingkungannya.Wanita cantik memang tidak pernah berhenti menjadi perhatian dari siapa saja yang tidak memiliki cukup kekuatan dalam menghadapi godaan.

    Si cantik pun seolah tahu dan paham benar bahwa dirinya menjadi pusat perhatian orang banyak. Hal inilah yang kerap dapat menjadi batu sandungan para wanita-wanita cantik dalam menjalani karier di perjalanan panjang kehidupannya. Alkisah, pada 1990-an ada seorang wanita cantik kelahiran St Louis, Missouri USA, 23 Desember pada 1970 bernama Kelly Flinn.

    Dia adalah gadis primadona Angkatan Udara Amerika, lulusan USAFA, United States Air Force Academy pada 1993. Letnan Satu Penerbang Kelly Flinn lulus dan menjadi sangat menarik perhatian banyak kalangan karena kemudian berhasil menjadi pilot wanita pertama yang menerbangkan pesawat pembom raksasa B-52.

    Menarik perhatian bukan saja karena kecantikannya,melainkan juga karena profesinya yang bahkan di negeri semodern Amerika pun tetap menarik perhatian khalayak ramai. Wanita cantik, pilot pembom B-52, telah menjadi kebanggaan warga St Louis Missouri—yang bahkan banyak disebut sebagai the up-coming rising star of the Air Force— ternyata tidak begitu bagus nasibnya.

    Pada 1997 dia diberhentikan dari Angkatan Udara dengan tiga alasan utama yaitu false statement, adultery, dan disobeying order. Letnan Flinn ternyata terlibat affair dengan pria yang istrinya seorang bintara di salah satu Pangkalan Angkatan Udara Amerika Serikat. Pada saat dia dipanggil menghadap atasan langsungnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya itu, dia bersumpah bahwa hubungannya dengan sang pria tidak sampai kepada hubungan seks.

    Sang atasan tidak menghiraukan pengakuan Flinn, namun memerintahkan untuk segera memutuskan hubungan dengan tidak menemui lagi sang pria kekasihnya. Beberapa saat kemudian Flinn ketahuan tidak mematuhi perintah sang atasan, dia tetap bertemu sang kekasih. Tidak ada kompromi,berakhirlah karier sang primadona segera setelah itu.

    Tidak aneh, karena posisi Flinn, the rising star,sang wanita cantik pilot B- 52 pertama Amerika, banyak para politikus membelanya dan bahkan menggelar “senate hearing” sejenis rapat dengar pendapat (RDP) dengan mengundang Kasau Amerika saat itu,Jenderal Ronald Fogleman.

    Di depan Kongres Amerika Serikat, yang mati-matian membela Kelly Flinn, dan setelah perdebatan begitu panjang khas anggota Parlemen di mana pun berada—yang terkadang berpikir jauh dari logika—sang Kasau menutup diskusi berkepanjangan itu hanya dengan satu kalimat: “Letnan Kelly Flinn tidak dapat meneruskan kariernya di Angkatan Udara dengan satu alasan saja yang tidak mungkin bisa ditoleransi bagi anggota Angkatan Udara Amerika yaitu dia telah berbohong kepada atasan langsungnya!”

    Letnan Flinn telah mengabaikan “Uniform Code of Justice” dari Angkatan Udara. RDP kemudian ditutup dengan masih banyak suara ketidakpuasan dari para politikus yang tetap membela secara membabi buta nasib Flinn untuk dapat tetap tinggal di Angkatan Udara. Pentagon, tidak lama kemudian mengesahkan keputusan yang telah diambil Angkatan Udara Amerika terhadap Letnan Kelly Flinn.

    Wanita cantik itu harus membayar mahal jenjang kariernya yang gemilang hanya karena dia berbohong! Pelajaran yang sebenarnya tidak harus terjadi bila saja sang wanita cantik cukup cerdas untuk dapat menahan diri. Penyesalan memang tidak ada artinya, tapi paling tidak dari pengalaman orang akan memperoleh atau memetik pelajaran darinya.

    Seperti yang pernah dikatakan seorang bintang reality show Amerika Serikat, Nicole Polizzi: “I don’t have regrets, there are only lessons.You learn from them,and you become a better person!” Itulah sekelumit kisah tentang wanita cantik yang berbohong dan harus menanggung akibat cukup fatal dari kebohongannya sendiri.

    Kebohongan yang kemudian ternyata mengakhiri kariernya sebagai pilot pembom B-52 wanita pertama Amerika Serikat. Dalam bukunya yangditulissetelahdia keluar dari Angkatan Udara tercantum salah satu pernyataan Kelly Flinn yang sangat mengundang simpati: “I fell in love with the wrong man.”

    Bukunya yang berjudul Proud to Be diiklankan dengan kata-kata yang tidak kalah menarik. Disebutkan bahwa Kelly Flinn an extraordinary young woman, an extraordinary controversy. This is Kelly Flinn’s story–the one she couldn’t tell when she was in uniform. Kepribadian seseorang, lebih-lebih kepribadian seorang wanita cantik, ternyata memang tidak dapat diukur hanya dari penampilan fisik belaka.

  • Efektifkan Penjara Koruptor

    Efektifkan Penjara Koruptor
    Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR INDONESIA CORRUPTION WATCH (ICW)
    SUMBER : SINDO, 3 MARET 2012
    Setelah lama tak mendapat sinyal hijau dari DPR, keinginan KPK untuk memiliki rutan sendiri terjawab sudah. Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin telah memberikan persetujuan atas permintaan KPK untuk memiliki rumah tahanan di Kantor KPK.Kehadiran rutan KPK merupakan tindak lanjut atas nota kesepahaman yang ditandatangani Menkum HAM dan Ketua KPK.

    SK persetujuan pembangunan rutan cabang KPK ini bernomor M.HH-01.OT.01.01,tanggal 11 Januari 2012. Dengan memiliki penjara sendiri,KPK tidak akan bergantung pada lembaga penegak hukum lain seperti kepolisian untuk menempatkan tahanan KPK selama menjalani proses hukum.

    Dengan rutan khusus milik KPK, agenda penegakan hukum kasus korupsi diharapkan tidak akan menghadapi banyak hambatan dan rintangan. Pertanyaannya, apakah dengan rutan yang dikelola KPK sendiri agenda penindakan kasus korupsi akan lebih efektif? Atau dengan bahasa lain, mungkinkah muncul efek jera apabila KPK sudah bisa menahan para tersangka korupsi di rutannya sendiri?

    Meredam Efek Negatif

    Barangkali dengan rutan yang dikelola dan dikendalikan langsung oleh KPK beberapa hal yang tidak diinginkan dapat dihindari. Salah satunya menghilangkan peluang bagi tersangka korupsi untuk menghirup udara bebas selama masa penahanan di mana hal itu sudah beberapa kali terjadi dalam kasus tersangka korupsi yang ditahan di rutan milik Polri.

    Kontrol atas keluar-masuk para tersangka korupsi yang kasusnya ditangani KPK akan lebih maksimal. KPK juga dapat mengeliminasi kesempatan tersangka untuk berhubungan dengan pihak lain melalui alat komunikasi canggih seperti ponsel dan sejenisnya selama proses hukum sebagaimana kerap dilakukan ketika mereka dititipkan di tahanan milik Polri.

    Kemungkinan praktik suap-menyuap antara petugas penjara dan tersangka atau pihak lain yang berkepentingan juga dapat dihindari jika KPK mengelola sendiri rumah tahanan tersebut. Salah satu hal yang terpenting, KPK dapat mengendalikan situasi apabila pada beberapa kasus korupsi yang melibatkan kekuatan ekonomi politik besar terjadi ancaman pembunuhan terhadap tersangka yang juga merupakan saksi kunci.

    Rosalina Manulang, terpidana kasus Wisma Atlet, adalah contoh paling anyar pihak terkait kasus korupsi yang menerima ancaman pembunuhan.Sangat mungkin dalam kasus korupsi lain juga ada tersangka atau saksi kunci yang diteror, namun tidak diketahui oleh publik.

    Lemahnya Politik Penegakan Hukum

    Sebagaimana kita ketahui, tujuan dari penegakan hukum atas kasus korupsi adalah timbulnya efek jera.Efek jera diperlukan untuk menekan angka korupsi pada level yang minimum. Efek jera penting untuk mengontrol kejahatan korupsi supaya tidak berkembang menjadi tindak pidana yang bersifat sistemik. Penegakan hukum tanpa efek jera akan menciptakan situasi yang kondusif bagi pelakunya untuk terus korupsi.

    Demikian pula, ongkos atau biaya untuk memberantas korupsi akan menjadi lebih mahal daripada hasil yang dicapai. Salah satu faktor yang dapat membuat orang berpikir dua kali untuk melakukan korupsi adalah ketika penegakan hukum dibuat tegas dan keras. Masalahnya, integritas penegak hukumlah yang justru membuat efek jera dalam penegakan hukum kasus korupsi menjadi lemah.

    Keterlibatan aparat penegak hukum dalam berbagai praktik korupsi menjadikan fungsi penindakan menjadi tidak berjalan. Karena korupnya penegak hukum, berbagai kasus korupsi yang ditangani mereka bahkan sering berujung SP3, dipetieskan, atau bahkan berakhir ‘damai’. Kehadiran KPK selama ini diharapkan dapat menjadi pemicu perbaikan pada integritas penegak hukum secara umum sehingga proses hukum akan berjalan lebih efektif.

    Tetapi, penegakan hukum KPK harus diakui belum maksimal. Terutama jika dilihat dari ratarata tingkat tuntutan yang diajukan jaksa KPK terhadap para terdakwa korupsi. Berkaca pada beberapa tuntutan kasus korupsi terakhir, tingkat tuntutan kasus korupsi jaksa KPK bahkan kian menurun.

    Karena itu, tidak heran jika rata-rata putusan Pengadilan Tipikor atas kasus korupsi yang diajukan KPK hanya berkisar 4,4 tahun vonis penjara pada 2009 dan 2010. Membandingkan kasus kriminal (street crimes) lain seperti pencurian sandal jepit, pencurian buah cokelat, dan berbagai kejahatan jalanan yang dipicu oleh kemiskinan dan kelaparan, tuntutan dan vonis kasus korupsi terasa menyakitkan.

    Dalam kasus Aal misalnya, ia dituntut oleh JPU lima tahun penjara gara-gara hanya mencuri sandal jepit milik seorang anggota Polri. Meskipun hakim pada akhirnya memutuskan untuk mengembalikan Aal yang masih anak-anak ke orang tuanya, cara pandang jaksa dalam melihat kejahatan atau tindak pidana terasa sangat tidak adil.

    Karena dalam kasus pidana lain seperti kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi,JPU hanya memberikan tuntutan yang ringan.Misalnya terdakwa Amrun Daulay, anggota DPR dari Demokrat yang terlibat kasus korupsi saat dirinya menjabat sebagai Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial Depsos, yang hanya dituntut dua tahun enam bulan oleh jaksa KPK.

    Pendek kata, kehadiran rutan milik KPK tidak akan banyak membawa angin segar bagi timbulnya efek jera kepada pelaku korupsi sepanjang KPK tidak melakukan perbaikan atas semua tuntutan terhadap terdakwa korupsi.Memaksimalkan tuntutan kepada terdakwa korupsi sebagaimana UU Tipikor telah atur bukanlah hal yang dilarang atau tabu.

    Sebaliknya, itu sangat diharapkan untuk meningkatkan efek jera bagi para pelakunya. Jika Kementerian Hukum dan HAM harus berhadapan dengan ancaman interpelasi dari DPR gara-gara mencabut pemberian remisi bagi koruptor,

    KPK seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengunci semua peluang bagi pelaku korupsi untuk menikmati hasil kejahatannya dan memastikan mereka mendekam lebih lama di penjara.  

  • Moratorium Terkait Pendaftaran Haji

    Moratorium Terkait Pendaftaran Haji
    A Kusnadi, PEMERHATI MASALAH SOSIAL DAN AGAMA,
    ALUMNUS PROGRAM PASCASARJANA UNDIP
    SUMBER : SUARA MERDEKA, 3 MARET 2012
    “Pengelolaan BPIH, terutama terkait biaya pendaftaran awal Rp 25 juta/ calhaj belum dilakukan dengan akuntabilitas tinggi dan transparan”
    KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan kepada Kementerian Agama (Kemenag) untuk melakukan moratorium (penundaan atau penghentian sementara) pendaftaran haji. Menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, lankah itu untuk menata ulang manajemen haji serta menghindarkan terjadinya penyelewengan dan korupsi (SM, 22/02/12). Nahdlatul Ulama (NU) mendukung usulan itu, sebagaimana pernyataan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj yang mendasarkan bila ada indikasi korupsi, dengan alasan untuk menyelamatkan uang umat (SM, 28/ 02/12).
    Moratorium pendaftaran haji sebagaimana diusulkan KPK ini cukup menarik mengingat pada satu sisi jumlah pendaftar haji tiap tahun makin meningkat, sementara pada sisi lain dana pendaftaran haji makin bertumpuk di Kemenag. Menurut catatan Menag Suryadharma Ali, sampai tahun ini jumlah daftar tunggu (waiting list) haji mencapai 1,6 juta orang (metroTV, 22/02/12). Akibatnya waktu tunggu calon haji untuk berangkah ke Tanah Suci makin tahun makin panjang dan lama. Ada yang 5, 7, bahkan sampai 10 tahun.
    Selama ini, manajemen haji, terutama menyangkut pengelolaan keuangan, tidak ada transparansi dan akuntabilitas.  Akibatnya publik bertanya-tanya, sejauh mana ketertiban dan akuntabilitas keuangan itu yang dilakukan pejabat Kemenag.
    Wakil Sekretaris Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Jateng KH Prickle Doerry RM menyatakan, dalam waktu 10 tahun jumlah dana yang dihimpun Kemenag melalui pendaftaran awal haji yang tiap orang pada musim pemberangkatan haji tahun ini dikenai sekitar Rp 25 juta diperkirakan mencapai Rp 55 triliun (SM, 16/01/12). Dana yang terparkir di Kemenag itu yang jumlahnya sangat besar tentu saja butuh pengelolaan yang tertib, profesional, dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika tidak, hal itu bisa menimbulkan kerawanan, kebocoran, atau korupsi.
    Lampu Kuning
    Mencermati usulan KPK, sebenarnya ada beberapa pesan penting bagi Kemenag, setidaknya menjadi semacam lampu kuning bagi kementerian itu dalam mengelola biaya perjalanan ibadah haji (BPIH). Hal ini bisa dicermati dari beberapa hal.
    Pertama; pengelolaan BPIH, terutama terkait biaya pendaftaran awal Rp 25 juta/ calhaj belum dilakukan dengan akuntabilitas tinggi dan transparan. Selama ini, masyarakat, terutama calhaj, tidak banyak tahu bagaimana pengelolaan dana itu yang nilainya sampai triliunan rupiah. Begitu pula menyangkut bunga dan penggunaan bunga tersebut untuk kepentingan apa.
    Kedua; tidak banyak calhaj yang menanyakan pengelolaan uang yang disetorkan itu, mereka hanya ikhlas menunggu waktu pemberangkatannya. Kemenag sebenarnya wajib memberikan penjelasan atau laporan mengenai pengelolaan dana tersebut. Ketiga; dana setoran awal calhaj harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat sehingga pejabat Kemenag tidak boleh mencederai amanat yang dibebankan itu.
    Terkait usulan KPK, harus ada tindak lanjut dari pemerintah, terutama Kemenag. Kemenag harus berterima kasih kepada KPK karena berarti ada niat baik dari lembaga antikorupsi itu agar Kemenag lebih berhati-hati dan transparan mengelola dana itu. Bagi Kemenag , moratorium itu bisa dimanfaatkan untuk membenahi manajemen internal, termasuk untuk mengetahui kelemahan selama ini, dan hal-hal lain yang menjadi sorotan publik.
    Dengan adanya moratorium itu, calhaj yang sudah menyetor uang bisa lebih mantap lagi dalam niat mereka untuk berhaji, terlebih bila mereka tahu bahwa dana yang sudah disetorkan itu benar-benar dikelola secara profesional dan bisa dipertanggungjawabkan. Bagi KPK, tentu tidak boleh berhenti sampai pada usulan itu, namun perlu langkah lanjut misalnya membuka dialog dengan Kemenag, melakukan penyelidikan dan upaya konkret lainnya. Semua itu demi menyelamatkan dana umat dan kenyamanan calhaj dalam menunaikan ibadahnya.  
  • Minimalkan Dampak Kenaikan BBM

    Minimalkan Dampak Kenaikan BBM
    (Wawancara)
    Pri Agung Rakhmanto, DIREKTUR EKSEKUTIF REFORMINER INSTITUTE
    Sumber : SUARA KARYA, 3 Maret 2012
    Kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang menjadi pilihan bagi pemerintah saat ini lebih rasional dibandingkan rencana sebelumnya yang ingin membatasi penggunaan BBM bagi masyarakat. Namun, kebijakan tersebut memiliki dampak signifikan.
    Sisi positifnya, pemerintah bisa melakukan penghematan subsidi BBM hingga puluhan triliun setiap tahunnya. Sementara dampak negatifnya, jelas dapat menekan tingkat daya beli masyarakat. Untuk itulah, rencana pemerintah memberikan kompensasi sebagai jaminan perlindungan sosial abagi masyarakat kurang mampu harus direalisasikan secara tepat untuk meminimalisasi dampak negatif akibat kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut.
    Untuk menyoroti lebih jauh kebijakan energi dan upaya mengurangi dampaknya bagi masyarakat, berikut petikan wawancara dengan pengamat energi yang juga Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmantodengan wartawan Harian Umum Suara Karya Abdul Choir di Jakarta, baru-baru ini.
    Bagaimana langkah efektif untuk mengurangi dampak kenaikan harga BBM bersubsidi ini? Apa bentuk kompensasi bagi masyarakat?
    Kebijakan kenaikan harga ini cukup rasional dan efektif untuk mengatasi permasalahan jangka pendek, tetapi tidak untuk jangka panjang karena kebijakan ini bersifat ad hoc. Buktinya, setiap kali terjadi lonjakan harga minyak mentah dunia, APBN akan terus tertekan oleh penambahan defisit karena membengkaknya subsidi BBM dan subsidi energi lainnya (LPG dan listrik).
    Pilihan untuk menaikkan harga BBM telah diambil pemerintah. Pendapat pro dan kontra pasti akan tetap muncul. Tetapi, pemerintah perlu memfokuskan diri pada dua hal. Yaitu, meminimalkan dan mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Selanjutnya fokus mewujudkan secara nyata manfaat yang diperoleh dari kenaikan harga BBM kepada rakyat.
    Pemerintah harus fokus meminimalkan dampak dengan memberikan kompensasi yang pas, berupa bantuan langsung tunai (BLT) atau bisa dengan instrumen lain yang lebih bagus. Sebagaimana harapan publik, dibutuhkan program perbaikan transportasi umum yang lebih nyaman bagi masyarakat dan pembangunan infrastruktur untuk menekan ekonomi biaya tinggi. Tapi, untuk memberikan bantuan dalam bentuk pangan, saya tidak yakin pemerintah siap, seperti pemberian kupon sembako.
    Selain itu, dampak psikologis sangat besar. Karena itu, pemerintah juga harus mengimbangi dampak psikologis masyarakat. Dengan kenaikan harga BBM, maka pemerintah melalui Kementerian Perhubungan harus bisa memberikan batas maksimal kenaikan tarif angkutan umum. Atau, Kementerian Perdagangan harus bisa memberikan batas atas kenaikan harga bahan pangan pokok seperti beras dan lainnya.
    Sebab, kenaikan harga BBM pastinya menjadi beban psikologis bagi masyarakat sehingga pemerintah harus menyikapinya dengan memberikan keringanan terhadap dampak psikologis yang ada. Sebab, kalau tidak, maka dampak psikologis yang dirasakan masyarakat akan semakin bertambah. Persoalan besar dari kebijakan menaikkan harga BBM ini berdampak pada daya beli masyarakat.
    Sejauh mana dampak positif kenaikan harga BBM ini?
    Dari sisi pengelolaan energi, kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi akan memperkecil disparitas harga BBM subsidi dengan nonsubsidi. Ini akan mengurangi penyalahgunaan. Sejalan dengan kebijakan energi nasional, perlu mendorong penggunaan energi alternatif.
    Sedangkan dari sisi anggaran negara, penghematan alokasi anggaran dari kenaikan harga premium dan solar Rp 1.000 per liter menghemat Rp 38,3 triliun. Jika harga BBM naik Rp 1.500 bisa menghemat subsidi BBM sekitar Rp 57 triliun.
    Selama ini lonjakan harga minyak mentah terus menekan APBN oleh penambahan defisit karena membengkaknya subsidi energi. Karena itu, opsi kedua yang mematok besaran subsidi lebih solutif untuk jangka panjang karena bisa meredam gejolak harga minyak terhadap APBN. Pilihan untuk mematok besaran subsidi BBM ini sudah saya sampaikan sejak 2010 lalu.
    Berdasar kajian yang dilakukan, pada tingkat harga minyak 80 dolar AS sekitar Rp 720.000 (1 dolar AS = Rp 9.000) per barel hingga 120 dolar AS per barel, harga berlaku premium akan bergerak di kisaran Rp 4.500-6.520 per liter dan solar Rp 4.500- 6.525 per liter.
    Jika kenaikan harga BBM dan TDL secara bersamaan, berapa besaran tambahan inflasi?
    Kenaikan harga BBM bersubsidi dan TDL secara bersamaan, maka akan ada tambahan inflasi sebesar 1,5-2 persen. Kalau dilakukan dua-duanya, target inflasi pemerintah tidak tercapai. Tapi, sangat bijaksana jika tidak dilakukan bersamaan, atau tidak dalam satu tahun yang sama karena akan sangat memberatkan masyarakat.
    Seharusnya diprioritaskan kenaikan BBM dan selanjutnya baru TDL. Tetapi, untuk kenaikan TDL ini sebaiknya dilakukan jika biaya pokok produksi (BPP) listrik sudah dilakukan optimal. Jadi, bebannya tidak diberikan ke masyarakat. Saat ini, subsidi tenaga listrik relatif tepat sasaran, karena sesuai dengan kelompok/golongan pengguna. Kenaikan TDL, juga lebih untuk kepentingan APBN. Jika TDL dinaikan 10 persen untuk semua golongan, ada tambahan penerimaan yang diterima PLN sebesar Rp 11,4 triliun dan mencapai Rp 17,1 triliun jika dinaikan 15 persen.
    Dalam pengelolaan energi, apa kendala terbesar pengembangan energi alternatif selama ini?
    Selama ini pengembangan energi alternatif memang masih terkendala. Sebab, selama harga BBM subsidi masih dipertahankan pada tingkat seperti sekarang ini, selama itu pula energi alternatif akan sulit berkembang dengan signifikan.
    Kalau harga BBM yang terus-menerus disubsidi dan dipertahankan pada tingkat rendah akan mendorong konsumsi BBM yang berlebihan dan tidak terkendali. Itu berarti akan semakin memperparah ketergantungan kita terhadap minyak yang ketersediaannya semakin terbatas. Cadangan terbukti minyak kita hanya tinggal sekitar 3,7 miliar barel. 
    Dengan tingkat produksi yang ada, cadangan terbukti itu akan habis dalam waktu hingga 12 tahun ke depan.
    Jadi, penyesuaian harga BBM merupakan salah satu instrumen penting untuk memperkuat ketahanan energi nasional kita. Selan jutnya, program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) yang selama ini berjalan sangat lambat harus dipastikan bisa berjalan lebih baik. Dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, perkembangan konversi energi ini masih tertinggal. Ke depan, pemerintah harus punya platform yang jelas dan konsisten terhadap program konversi energi yang perlu dukungan dari seluruh jajaran instansi pemerintahan dan stakeholder yang ada.
  • Kekerasan dalam Bernegara dan Keterpurukan Rasionalitas

    Kekerasan dalam Bernegara
    dan Keterpurukan Rasionalitas
    Thomas Koten, DIREKTUR SOCIAL DEVELOPMENT CENTER
    Sumber : SINAR HARAPAN, 2 Maret 2012
    Sebuah persoalan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia hingga saat ini adalah masih terus terjadinya kekerasan publik yang dilakukan kelompok-kelompok warga bangsa, terutama kelompok-kelompok ormas dan preman.
    Kekerasan-kekerasan itu terjadi dalam aneka macam bentuk dan cara, serta beraneka ragam latar belakang, seperti berlatar belakang agama, politik seperti dalam pilkada, penguasaan lahan pertanian, perkebunan, dan perebutan lahan parkir.
    Namun yang paling memprihatinkan kalau kekerasan itu dilakukan oleh negara atau aparat negara. Hal itu sudah terjadi pada kasus PT Freeport, Mesuji, dan Sape. Ironisnya, kekerasan oleh negara ini umumnya disebabkan keberpihakan politik ekonomi negara atau pemerintah terhadap para pemilik modal yang berhadapan dengan rakyat pemilik tanah ulayat.
    Dari semua itu, apa pun latar belakang konflik dan siapa pun yang melakukan kekerasan, selalu ditautkan dengan tugas dan tanggung jawab negara di dalam tata kelolanya.
    Maka, esai ini pun difokuskan pada persoalan justifikasi moral negara dalam memberikan perlindungan terhadap warga negara sebagai ekspresi kontrak sosial bernegara. Dalam hal, negara memiliki moralitas, yaitu sebentuk perilaku keberpihakan negara yang benar-benar jujur kepada masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab moralnya.
    Keterpurukan Rasionalitas Bernegara 
    Terutama dalam hal kekerasan oleh negara, misalnya pengagungan investasi oleh pemerintah dan/atau persekongkolan antara para pemilik modal, sesungguhnya telah melahirkan sikap sewenang-wenang para pemilik modal terhadap rakyat sebagai pemilik lahan atau tanah; dan membiarkan semua kekuatan modal yang sering memainkan apa saja, termasuk membeli berbagai perizinan dan membeli aparat negara.
    Hal ini akan semakin “mematikan” rakyat pemilik tanah atas nama liberalisasi, demokrasi dan keterbukaan. 
    Ironisnya, hegemoni atas tanah rakyat yang berujung pada jatuhnya korban nyawa rakyat tersebut dilakukan di negeri yang memiliki undang-undang yang memberi perlindungan bagi segenap rakyatnya dan menjunjung tinggi asas kekeluargaan.
    Atau, UUD’45 melukiskan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.” Amerika yang merupakan negara penganjur liberalisme saja tidak sampai melindas rakyatnya sendiri, padahal negeri itu tidak memiliki undang-undang seperti kita.
    Dengan demikian, apa pun alasannya, kekuatan modal tidak dapat dibiarkan melindas dan membunuh rakyat negeri ini serta mematikan usaha milik mereka. Itu merupakan suatu perilaku yang bertentangan dengan UUD’45 yang kita miliki. 
    Undang-undang kita disusun dalam usaha bersama yang sangat berbeda dengan politik ekonomi dewasa kini yang sangat liberal. Saat ini semakin meningkat intensitasnya di mana swasta dan modal semakin berperan di semua sektor, dan malangnya disertai menggusur apa yang sudah dapat dilakukan rakyat.
    Situasinya dapat digambarkan seperti zaman kolonial di mana sektor bisnis besar VOC menggusur usaha rakyat disertai kekerasan yang diperkuat kekuatan senjata.
    Lebih dari itu, kekerasan negara dan kekerasan oleh kelompok-kelompok warga seperti ormas FPI di ranah publik ini, merupakan contoh telanjang gagalnya negara menjalankan fungsinya melindungi warganya, seperti yang diamanatkan UUD45, terutama dalam kaitannya dengan tanggung jawab moral negara. Itu juga merupakan pengabaian terhadap kontrak sosial bernegara.
    Dalam teori kontrak sosial (social contract) Thomas Hobbes (1651), John Lock (1689) atau juga Jean Jaeques Rousseau, yang kemudian dipadukan dalam UUD45, dikatakan, tujuan didirikan negara adalah untuk melindungi warga negara dari segala bentuk kekerasan, to protect its people from violence and other kinds of harm.
    Perilaku negara yang merepresi rakyat, sebagaimana juga perilaku kekerasan oleh ormas tertentu terhadap warga, tidak lebih merupakan indikasi ketidakberdayaan negara dalam menghadapi kekuatan rakyat dan kelompok warga tertentu.
    Orang yang tidak berdaya menghadapi suatu kekuatan biasanya telah hilang rasio dan yang dikedepankannya adalah emosi dan kekuatan fisik, tanpa peduli lagi dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dalam negara. 
    Mereka yang kehilangan akal untuk “memainkan” perangkat hukum secara intelligent untuk mencapai tujuannya, akan cenderung jatuh dalam sikap anarkistis. Di situlah kekuatan otot mengalahkan kekuatan otak. Rasionalitas dikangkangi alias terjadi keterpurukan rasionalitas karena kehausan akan kekuasaan, dominasi, dan hegemoni.
    Oleh karena itu, instrumen kekerasan menjadi simbol ketidakmampuan memenangkan kepentingan melalui cara-cara yang elegan, bersahabat dan beradab di bawah kendali akal sehat.
    Dengan menghalalkan kekerasan, negara atau ormas lupa bahwa kekuasaan dalam arti apa pun hanya mampu ditegakkan dan sekaligus langgeng, apabila mendapat legitimasi dari rakyat dan publik. 
    Kedudukan seorang penguasa akan hancur ketika berselingkuh dengan para kapitalis-pemilik modal lalu melindas rakyatnya dengan aneka bentuk kekerasan. Hegemoni para kapitalis pun bisa hancur dan mengalami guncangan hebat, jika tidak dilakukan secara profesional dus terus membodohi dan menggusur rakyat dari lahan miliknya.
    Artinya, kekuasaan dalam arti dan dimensi apa pun yang dibangun dengan cara-cara kekerasan, dominasi dan perselingkuhan serta koruptif akan selalu bersifat self defeating. Negara yang dipraktikkan dengan cara-cara kekerasan cepat atau lambat mengundang kebencian, dan tragisnya jika kebencian itu muncul dari warga negaranya sendiri. 
    Para kapitalis kotor dan penguasa yang congkak atau ormas yang sombong, yang mencoba membangun hegemoni malalui kekerasan, lupa bahwa instrumen kekerasan akan menggiring mereka pada suatu takhta kebesaran semu, karena tinggal menunggu waktu datangnya kegagalan, keterpurukan, ditinggalkan dan dilenyapkan.
    Bahan Renungan
    Perlu dicatat bahwa kekerasan-kekerasan di atas, terutama kekerasan berdarah yang menyelimuti kasus Freeport, Mesuji dan Sape, di mana rakyat melawan pemilik modal sekaligus berhadapan dengan aparat negara bersenjata, merupakan ekspresi telanjang keputusasaan rakyat terhadap negara atau pemerintah, terutama institusi penegak hukum.
    Akibatnya, untuk mengekspresikan serta membela kepentingan dan hak-haknya, rakyat melakukan perlawanan terhadap semua kekuatan yang melindasnya, termasuk negara dalam wajah parlemen jalanan. Bahaya jika parlemen jalanan itu terus membuncah, yang lama-kelamaan menjadi tidak terkendali, sehingga berujung kehancuran bagi semua.
    Penguasa dan negara bermoral serta beretika tentu tidak akan mematikan rasionalitas dan mengedepankan emosi dengan mempertontonkan kekuatannya di depan rakyat serta menyelesaikan persoalan warga negara dengan cara-cara represif.
    Negara dan para pemimpinnya yang bernurani sejati, rasional dan bermoral tidak akan memberi kesan melindungi ormas yang senantiasa bertindak anarkistis terhadap warga negara lainnya. Negara yang demikian selalu bersikap adil dengan mengedepankan hukum dalam menyelesaikan persoalan negara atau warganya. ●
  • Pengurangan Subsidi BBM dan Amandemen UUD 1945

    Pengurangan Subsidi BBM
    dan Amandemen UUD 1945
    Djasarmen Purba, ANGGOTA KOMITE II DEWAN PERWAKILAN DAERAH
    Sumber : SINAR HARAPAN, 2 Maret 2012
    Pada acara Saresehan Anak Negeri bertajuk “Runtuhnya Kedaulatan Energi” yang ditayangkan stasiun televisi MetroTV,9 Februari lalu, mayoritas peserta yang terdiri dari seratus tokoh nasional sepakat bahwa kebijakan penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) menunjukkan sebagai sebuah bangsa, Indonesia tidak lagi berdaulat.
    Langkah yang ditempuh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Perpres No 15 Tahun 2012 yang akan menaikkan BBM, termasuk mengurangi secara bertahap subsidinya, tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang ekonomi semata, namun juga dari aspek politik.
    Skenario penghapusan subsidi BBM dimulai sejak Presiden Soeharto menandatangai Letter of Intent (LoI) dengan Dana Moneter International, kemudian berlanjut dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
    UU Migas merupakan titik dimulainya program liberalisasi sektor migas, yang mendorong dimungkinkannya swasta asing menguasai industri migas dalam negeri dari hulu hingga hilir.
    Di hulu, 84 persen cadangan migas dalam negeri dikuasai korporasi asing, dengan perincian Chevron 44 persen, Total E&P 10 persen, Conoco Phillips8 persen, Medco Energy 6 persen, China National Offshore Oil Corporation5 persen, China National Petroleum Corporations 2 persen, dan British Petroleum, Vico Indonesia, juga Kodeco Energy masing-masing 1 persen, sisanya sekitar 16 persen dikuasai Pertamina.
    Sementara itu, di hilir, sejak disahkanya UU Migas, seperti jamur di musim penghujan, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik swasta asing seperti Total, Shell, dan Petronas berdiri di berbagai kota besar Indonesia.
    Dari sini tampak UU Migas telah menempatkan sektor migas hanya sebagai komoditas komersial, bukan komoditas strategis, yang harus dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
    Ketika Migas menjadi komoditas komersial, pemerintah terkesan lepas tangan karena harga BBM dalam negeri ditentukan harga keekonomiannya, yang sama artinya ditentukan mekanisme pasar.
    Tanpa Kendali
    Membiarkan harga BBM ditentukan mekanisme pasar membuat perekonomian berjalan tanpa kendali (restraint). Perekonomian semacam ini bahkan tidak kehendaki Adam Smith—pelopor ekonomi klasik—yang menjadi panutan para pengambil kebijakan di Indonesia.
    Dalam satu tulisannya Adam Smith berkata, “seseorang dapat dipercaya untuk meraih kepentingan pribadinya (self interest) tanpa merugikan masyarakat bukan hanya karena batasan-batasan hukum, tetapi juga karena adanya pengendalian diri (self restraint) yang berasal dari moral, agama, kebiasaan, dan pendidikan.”
    Adam Smith tetap mendukung perlunya intervensi negara, dan tidak membiarkan perekonomian diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar (invisible hand) yang akan membuat keseimbangan baru (equilibrium). Begitu juga cita-cita para founding fathers ketika merumuskan konstitusi dasar republik ini 66 tahun silam.
    Para peserta sarasehan—yang mungkin dulu ada di antaranya terlibat dalam perumusan UU Migas—kemudian berkesimpulan kebijakan pengurangan subsidi yang didorong UU 22/2001 bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 33 Ayat 2 yang berbunyi: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
    Sudah “Disesuaikan”
    Namun, mereka agaknya sedikit lupa bahwa Pasal 33 UUD 1945 telah mengalami perubahan (amendemen), termasuk dihapuskan bagian penjelas pada pasal tersebut.
    Pengertian kata “dikuasai negara” dengan sederhana ditafsirkan Mahkamah Konstitusi bahwa rakyat secara kolektif memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    Artinya, pemerintah hanya sebagai kuasa pertambangan dan regulator sehingga tidak diperbolehkan melakukan usaha investasi hulu dan hilir. Dengan demikian, Pasal UU Migas sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
    Namun, jika kita merujuk pada dokumen Panitia Keuangan dan Perekonomian, sebuah panitia bentukan BPUPKI yang diketuai Mohammad Hatta, dirumuskan bahwa kata “dikuasai” adalah pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat; semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya, semakin besar mestinya penyertaan pemerintah; tanah air haruslah di bawah kekuasaan negara; dan perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagai usaha negara.
    Jelas bahwa yang dimaksud oleh para founding father dalam pasal ini, sektor pertambangan dan perusahaan tambang yang besar harus dikuasai, dikelola, dan dijalankan badan usaha milik negara (BUMN). Namun, tafsir seperti ini tidak berlaku lagi sejak Pasal 33 diamendemen pada 2002.
    Bila peserta sarasehan ingin mengembalikan kedaulatan negara, dan cabang-cabang produksi penting bagi negara digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang perlu dilakukan adalah mendorong amendemen kelima UUD 1945 yang bersifat menyeluruh, termasuk mengembalikan pasal 33 dengan segala penjelasannya.
    Dewan perwakilan Daerah (DPD) telah menginisiasi amendemen UUD 1945, kini bersediakah para tokoh nasional lainnya bergandengan tangan mewujudkan perubahan itu? ●
  • Urgensi Moratorium Haji

    Urgensi Moratorium Haji
    Masduri, PENELITI DI PUSAT KAJIAN FILSAFAT DAN KEISLAMAN
    FAKULTAS USHULUDDIN IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
    Sumber : REPUBLIKA, 2 Maret 2012
    Di tengah membeludaknya calon pendaftar jamaah haji, menjadi wajar bila ada yang mengusulkan agar Kemenag melakukan moratorium pendaftaran jamaah haji. Sebab, dari tahun ke tahun jumlah kuota jamaah haji Indonesia relatif sama, sementara pendaftar jamaah haji terus meningkat drastis. Dengan demikian, dikhawatirkan uang setoran jamaah haji akan disalahgunakan oleh oknum Kemenag.
    Bayangkan dana Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) sekarang semuanya sekitar Rp 38 triliun, bunganya Rp 1,7 triliun. Kemungkinan penyalahgunaan dana BPIH dan bunganya sangat besar sekali. Namun, jika hanya karena alasan tersebut rasanya tidak tepat bila dilakukan moratorium haji.
    Seperti diungkapkan Meteri Agama Suryadharma Ali, jika alasannya cuma karena takut ada pengorupsian dana haji, KPK bisa melakukan pendampingan agar pengelolaan dana BPIH benarbenar bersih. Menag sepertinya tidak berani melakukan moratorium haji karena bila hal itu dilakukan, berarti pemerintah menghalangi umat Islam Indonesia untuk berniat ibadah haji. Sedangkan ibadah haji merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu.
    Alasan Menag tersebut ditanggapi Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas dengan dua opsi. Pertama, Kemenag tetap membuka pendaftaran calon jamaah haji, tapi mereka untuk sementara tidak usah dipungut biaya. Kedua, boleh membuka pendaftaran calon jamaah haji dengan setoran awal asalkan manajerial pengelolaannya diperbaiki. Sebab, sudah menjadi informasi yang sering kita dengar bahwa manajerial pengelolaan dana BPIH di Kemenag sangat amburadul. Salah satu bukti konkret yang bisa kita lihat adalah hasil penelitian KPK beberapa bulan lalu terhadap 22 instansi pemerintahan di pusat yang menempatkan Kemenag sebagai instansi terkorup.
    Ihwal Finansial
    Wajar bila KPK sangat prihatin sekali terhadap nasib calon jamaah haji. Sehingga senantiasa meminta Kemenag agar melakukan moratorium pendaftaran jamaah haji. Pengelolaan dana BPIH yang tidak transparan memungkinkan uang tersebut disalahgunakan. Rakyat yang awam dunia perbankan hanya manut dengan keputusan Kemenag. Meski demikian, mereka tidak mendapat perincian bunga dan penggunaan dana haji.
    Mestinya jika Kemenag mau transparan dengan dana BPIH, setiap individu jamaah haji harus diberikan transparansi penggunaan dana BPIH. Agar tidak ada kecurigaan busuk terhadap Kemenag, serta masyarakat semakin tenang dan mantap melakukan ibadah haji.
    Karena itu, pemberlakuan moratorium pendaftaran jamaah haji penting dilakukan sebab beberapa hal. Pertama, moratorium itu lebih baik daripada antrean, uang pendaftaran yang disetorkan calon pendaftar jamaah haji akan terus bertambah bunganya, sedangkan calon jamaah haji tidak mengetahui perincian bunganya, apalagi tidak mendapatkan secara langsung hasil bunga dana BPIH. Meski menurut Menag bunga tersebut digunakan untuk peningkatan pelayanan calon jamaah haji, alasan tersebut dibantah Busyro Muqoddas, karena bunga tersebut lebih banyak digunakan untuk biaya operasional yang sebenarnya sudah ditanggung dari APBN.
    Kedua, bila moratorium haji diberlakukan, dana yang akan digunakan untuk biaya haji bisa dipergunakan oleh pemiliknya (calon jamaah haji) untuk berbisnis sehingga uang tersebut bisa berkembang biak, atau dipinjamkan kepada yang membutuhkan.
    Ketiga, tidak sedikit masyarakat yang memaksakan diri melaksanakan ibadah haji meski sebenarnya tidak memiliki kemampuan biaya. Mereka kadang berutang. Sedangkan ibadah haji hanya diperuntukkan bagi umat Islam yang mampu.
    Mereka yang tidak memiliki kemampuan tidak diwajibkan. Maka dari itu, moratorium haji bisa menjadi jalan terbaik bagi mereka yang memiliki keinginan besar melaksanakan haji, namun biayanya belum cukup agar bekerja lebih keras lagi mengumpulkan biaya agar bisa mendaftar ibadah haji.
    Keempat, moratorium bukan berarti menghalangi umat Islam Indonesia yang berniat melakukan ibadah haji. Opsi pertama Busyro Muqoddas menurut saya bisa menjadi alternatif baik untuk hal ini. Mereka tetap diperbolehkan mendaftar haji, hanya mereka tidak perlu dipungut biaya agar tidak terjadi penggelembungan dana BPIH. Sementara itu, transparansinya tidak dijelaksan secara perinci kepada jamaah haji. Lagi-lagi, hal itu rentan uangnya dikorupsi. Belum lagi karena antrean yang panjang bisa-bisa pendaftar jamaah haji meninggal duluan sebelum melaksanakan ibadah haji.
    Selain pemberlakuan moratorium haji, Kemenag harus membuat aturan agar umat Islam hanya boleh berhaji sekali. Mereka yang sudah pernah berhaji tidak diperbolehkan berhaji lagi. Bila mereka diperbolehkan, maka akan menambah panjang antrean calon jamaah haji. Akibatnya, mereka yang berhaji dua kali menghalangi calon lainnya yang belum berhaji. Bukankah ibadah haji hanya cukup sekali dalam hidup.
  • Menuju Pusat Halal

    Menuju Pusat Halal
    Ledia Hanifa Amaliah, ANGGOTA PANJA RUU JAMINAN PRODUK HALAL FRAKSI PKS DPR RI
    Sumber : REPUBLIKA, 2 Maret 2012
    Dalam pertemuan tahunan Dewan Pangan Halal Dunia (World Halal Food Council/ WHFC) yang diselenggarakan Januari lalu, 24 pimpinan lembaga sertifikasi halal internasional dari 14 negara yang mengikuti pertemuan tersebut menyatakan mendukung Indonesia untuk menjadi pusat halal dunia. Sebelum itu, pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, juga menyampaikan harapan agar Indonesia bisa menjadi pusat halal dunia.
    Keinginan Indonesia untuk menjadi pusat halal dunia sesungguhnya cukup beralasan karena beberapa hal. Pertama, Indonesia boleh dikatakan merupakan negara pionir dalam upaya mengembangkan sistem sertifikasi halal, yaitu sejak tahun 1989 seiring dengan pendirian Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Selain itu, penduduk Muslimnya yang mencapai jumlah sekitar 200 juta jiwa dan telah menobatkan Indonesia menjadi negara dengan penduduk Muslim terbesar sedunia, juga menjadi faktor penunjang yang kuat.
    Namun, impian untuk menjadi pusat halal dunia nyatanya tak hanya dimiliki Indonesia. Malaysia dan Brunei Darussalam juga berkeinginan serupa. Bahkan, negara Thailand yang notabene mayoritas penduduknya nonMuslim pun punya impian untuk menjadi pusat halal dunia. Karena itu, mampukah Indonesia mewujudkan mimpi menjadi pusat halal dunia ini?
    Persoalan Sistem
    Agaknya langkah awal yang kita perlu lakukan adalah melakukan introspeksi diri untuk melihat apakah Indonesia telah siap untuk menjadi pusat halal dunia? Kalau belum, mana titik lemah yang harus segera diperbaiki?
    Perlu diingat, walau Indonesia termasuk negara awal yang telah memberlakukan penerapan sertifikasi halal, sistem sertifikasi yang diberlakukan saat ini nyatanya masih memiliki beberapa kelemahan. Misalnya saja, soal sistem sertifikasi yang bersifat parsial sehingga memunculkan ketidakjelasan hubungan antara LPPOM MUI yang berada di tataran pusat dan LPPOM yang berada di level provinsi.
    Hal ini sempat mencuatkan persoalan, antara lain: pertama, standar proses pengeluaran sertifikat halal yang dipakai oleh LPPOM MUI belum tentu sama dengan yang dikeluarkan LPPOM provinsi. Kedua, hasil pemeriksaan LPPOM provinsi ternyata juga belum tentu diakui LPPOM MUI.
    Di samping itu, ada juga persoalan kewenangan yang juga menjadi salah satu titik lemah proses sertifikasi halal di Indonesia selama ini. Yaitu dengan tidak adanya pemisahan wewenang antara pihak yang membuat standar halal, pihak yang melakukan pemeriksaan halal, dan pihak yang melakukan pengawasan penerapan sertifikasi.
    Saat ini semua tahapan berada di tangan LPPOM MUI. Tentu ini bukan sistem yang baik. Berdasarkan sistem manajemen yang baik, pihak yang membuat aturan, regulasi, atau standar haruslah berbeda dengan pihak pelaksana. Demikian juga, pihak pelaksana mesti dipisahkan dari pihak yang melakukan pengawasan.
    Peran Negara
    Di Indonesia, urusan sertifikasi produk halal masih cenderung dipandang sebagai persoalan umat Islam dan untuk kepentingan umat Islam semata.
    Sertifikasi halal apalagi penataan sistem jaminan produk halal belum dilihat sebagai peluang besar yang bisa memberi nilai lebih bagi dunia industri, serta peluang untuk memberi peningkatan nilai perekonomian bangsa.
    Mari kita buat perbandingan dari beberapa negara tetangga. Pemerintah Malaysia, untuk mengembangkan industri produk halal mereka, telah membuat kebijakan memfasilitasi pembentukan Halal Development Corporation (HDC) yang berkerja sama dengan Department of Islamic Development Malaysia (JAKIM) di seluruh wilayah Federal Malaysia.
    Begitu pula, Pemerintah Thailand yang mayoritas penduduknya adalah non-Muslim, telah memberi perhatian dalam pengembangan industri halal, di mana lembaga The Central Islamic Committee of Thailand (CICOT) bekerja sama dengan Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri Thailand dan berhasil menjadikan Thailand sebagai pusat kuliner dan produk halal di ASEAN. Thailand bahkan juga unggul dalam pengembangan keilmuan serta pengujian industri halal dengan konsep HalQ.
    Karena itu, untuk menjadi pusat halal dunia, pemerintah harus terlibat dalam persoalan membangun sistem jaminan produk halal. Salah satu langkah awalnya adalah dengan melakukan penentuan standar halal.
    Saat ini praktik penentuan standar proses sertifikasi halal masih ditentukan oleh LPPOM MUI. Maka ke depannya, pemerintah harus secara aktif menentukan standar proses sertifikasi halal produk di Indonesia, sedangkan MUI berperan sebagai lembaga yang mengeluarkan fatwa halalnya. Ini juga untuk memenuhi syarat bahwa pihak penentu standar halal dan pemberi fatwa halal dilakukan secara berbeda.
    Keterlibatan lain yang juga harus dilakukan pemerintah adalah menyangkut Mutual Recognition Arrangement (MRA)dalam hal produk halal.
    MRA Halal ini maksudnya adalah suatu kesepakatan pengakuan oleh dua pihak atau lebih untuk secara bersama-sama mengakui atau menerima sebagian atau seluruh aspek yang dilakukan oleh negara lain tentang standar dan sistem halal dengan negara lain.
    Kabar baiknya, pemerintah telah melakukan kerja sama multilateral dalam wilayah ASEAN yang diwujudkan melalui forum komunikasi untuk mengembangkan agroindustri halal yang berkelanjutan. Wujud kerja sama tiga negara ini dinamakan Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMTGT). Tentu akan lebih baik bila pemerintah bisa melangkah lebih luas dengan melakukan MRA Halal juga.
    Last but not least, di samping itu, semua peran negara yang tidak kalah pentingnya tentulah membuat regulasi sistem jaminan produk halal. Pada 13 Desember 2011 lalu, Rapat Paripurna DPR telah menyetujui Draf RUU Jaminan Produk Halal (JPH) menjadi RUU inisiatif DPR. Ini tentu merupakan langkah maju setelah pada periode yang lalu RUU ini kandas. ●
  • Tesis Islam Lunak Lebih Laku

    Tesis Islam Lunak Lebih Laku
    Novriantoni Kahar, PENGAMAT SOSIAL-KEAGAMAAN, 
    DOSEN UNIVERSITAS PARAMADINA
    Sumber : KORAN TEMPO, 2 Maret 2012
    Bagi generasi tua yang sudah melihat dinamika Islam sejak era Orde Baru, mungkin tak sulit membuktikan bahwa Islam Indonesia dalam satu dekade terakhir sudah jauh berubah. Tidak perlu menggunakan mikroskop, perubahan itu secara kasatmata dapat dilihat dengan mudah. Secara umum, umat Islam Indonesia kini tampak lebih religius. 
    Pengajian-pengajian keagamaan tampak semarak di mana-mana. Program-program keagamaan di televisi ataupun radio seperti bukan lagi pelengkap-penderita, melainkan telah mampu menarik iklan miliaran rupiah. Produk-produk keagamaan, seperti buku agama, pakaian, obat-obatan, bahkan jasa perbankan, laris juga di pasar. Pendek kata, Islam tampak makin merasuki dan membentuk kehidupan sehari-hari orang Indonesia.
    Namun perkembangan itu juga disertai beberapa kegalauan dan kekhawatiran. Terutama soal gelombang pasang konservatisme dan ekstremismenya. Dalam satu dekade terakhir, beberapa ketegangan dan bahkan konflik bernuansa agama juga menjadi pemandangan Indonesia. Kebebasan sipil pelan-pelan makin dibatasi lewat berbagai cara. Preman, yang di masa Orba bertindak dengan motif sekuler belaka, kini lihai menggunakan motif agama. Syiar-syiar kebencian dan mobilisasi massa untuk pengganyangan atas nama agama ramai juga. Jangan pula lupa, terorisme pun ikut menarik minat anak-anak bangsa. Perda bernuansa agama, alamak…, dia pun tak ingin ketinggalan kereta.
    Akibatnya, potret Islam Indonesia yang tersenyum (smiling Islam) kini pun tampak berubah dan berulah. Ini memicu antropolog Amerika, Robert Hefner, untuk menulis soal uncivil Islam, “Islam yang tidak berkebudayaan”, setelah sebelumnya melukiskan indahnya civil Islam. Impian Sukarno tentang “ketuhanan yang berkebudayaan” pelan-pelan menjadi “ketuhanan yang bermusuhan dengan kebudayaan”. Kekhususan Islam Indonesia, yang konon mengalami pribumisasi dengan kultur lokal, kini semakin ke Timur Tengah. Di dalam negeri, aparatur negara, seperti Menteri Agama, tampak tak mempunyai visi tentang toleransi beragama. Di luar negeri, Islam Indonesia mengisi bab studi terorisme dan keamanan negara. Semakin kentara aspek lahiriah Islam, seperti makin dangkal pula aspek batinnya.
    Kabar Baik dari Fealy
    Kesan di atas dapat dimaklumi mengingat sedikitnya studi yang menyeluruh dan mendalam tentang potret Islam Indonesia dari berbagai aspeknya. Namun kini, suatu upaya untuk memotret Islam Indonesia secara utuh mulai dirintis beberapa sarjana. Di antaranya lewat buku yang disunting Greg Fealy dan Sally White, Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (2008). Dalam peluncuran edisi Indonesia buku itu, di Freedom Institute, Kamis (16 Februari) lalu, Fealy Indonesianis asal Australia itu membawa kabar baik. Menurut dia, sekalipun banyak ekspresi Islam yang garang dan galak-galak, Islam yang lebih lunak tetaplah yang paling laku di Indonesia. “Soft Islam sales,” katanya.
    Tesis Fealy itu didasarkan pada studi beberapa sarjana yang menyumbang dalam buku yang disuntingnya itu. Di dalamnya, beragam eksepsi Islam Indonesia, mulai upaya untuk menunjukkan kesalehan personal sampai ekspresi sosial, politik, dan hukum agama, dievaluasi menyeluruh. Tidak ketinggalan pula soal perkembangan ekonomi Islam, layanan jasa keuangan mikro-Islam, dan upaya komodifikasi Islam secara luas. Intinya, Fealy dan kawan-kawan ingin menunjukkan bahwa Islam Indonesia, sekalipun mengalami fase-fase ketegangan, kekerasan, konflik, dan terorisme, tak bisa direduksi hanya sekadar itu saja.
    Ada bentuk-bentuk ekspresi keislaman yang lebih lunak–seperti dakwah-tainment, ziarah kubur, sufisme perkotaan, semarak wacana gender, maraknya pencarian fatwa syekh Google–yang jauh lebih laku di pasar Islam Indonesia. Dalam proses memperdagangkan dan memasarkan berbagai bentuk ekspresi Islam di atas, kaidah yang berlaku tetaplah hukum pasar pada galibnya. Para agen-agen agama mau tak mau harus melunakkan dan memoles produk yang mereka tawarkan agar memikat di hati konsumen. Saking sengitnya persaingan pemasaran di sektor ini, aspek kemasan tampak menjadi sangat penting, bahkan lebih penting dari isinya. Karena itu, tidak mengherankan jika para dai televisi berorasi seperti penjual obat jalanan, tiada lebih. Bahkan sebagian, ya, mirip pelawak dengan nilai tambah kutipan ayat, hadis, atau hikmah-hikmah kehidupan.
    Dalam pandangan yang kritis, gejala ini menyerupai proses banalisasi dan pendangkalan agama. Namun, dalam kompetisi ini, yang berkuasa sesungguhnya bukanlah agen-agen agama itu, melainkan jemaah dan pemirsa mereka. Dan jika berpegang pada tesis Fealy, kita terpaksa mafhum belaka. Fenomena komodifikasi agama umumnya, Islam khususnya, tak hanya berhasil menjadikan religiositas sebagai bagian dari budaya popular, tapi juga ikut menyukseskan upaya pelunakan agama. Konversi seorang ustad–umpamanya dari aktivis Islam keras menjadi selebritas yang aduhai lunak–dalam konteks ini harus disyukuri, tinimbang hijrahnya seorang selebritas ke ranah sokongan premanisme berjubah agama.
    Arus Balik
    Selain “tesis Islam lunak itu lebih laku”, kabar baik potret Islam Indonesia lainnya yang digambarkan Fealy dan kawan-kawan adalah wujudnya semacam “proses normalisasi” kehidupan beragama yang juga terjadi dalam masyarakat Indonesia. Ini tampak jelas di dalam studi Robin Bush tentang perkembangan perda-perda bernuansa agama yang sempat naik pamor dan menjamur dalam sepuluh tahun terakhir. Kabar baiknya, fenomena ini kini mungkin telah mencapai puncaknya, karena dalam lima tahun terakhir sudah tak ada lagi inovasi dan produksi baru yang disebut perda syariah itu.
    Studi Bush dalam hal ini menunjukkan bahwa, di banyak tempat, terbitnya perda-perda keagamaan lebih didorong kepentingan politik, upaya menutupi korupsi, dan performa pemerintahan yang buruk. Kini, masyarakat yang mungkin sudah melewati masa pubertas beragamanya mulai tercerahkan. Mereka sadar, jauh lebih sulit bagi pemerintah daerah untuk mengeluarkan perda larangan keluar malam tanpa mahram bagi perempuan, ketimbang mencarikan solusi sosial-ekonomi bagi munculnya pelacuran. Demikianlah tesis Fealy dan kawan-kawan.
    Meski demikian, validitas tesis ini mungkin masih harus diverifikasi dengan tiga hal ini. Pertama, efektifnya proses deradikalisasi para jihadis Indonesia. Kedua, semakin berkurangnya syiar kebencian dan mobilisasi massa yang memicu ketegangan antar dan intra-agama. Ketiga, semakin sempitnya ruang ekspresi dan ekspansi industri kekerasan yang digerakkan premanisme berbensin agama.
    Jika ketiga hal di atas tunai dalam waktu dekat ini, kita baru dapat mengatakan bahwa Fealy telah kafah dan sempurna dengan tesisnya. Selagi itu masih jauh, “tesis Islam lunak” sepertinya baru mewakili dua pertiga, atau malah setengah saja, dari potret Islam Indonesia. ●
  • Integrasi Kebijakan Pendidikan

    Integrasi Kebijakan Pendidikan
    Darmaningtyas, PENULIS BUKU MANIPULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 2 Maret 2012
    Rembuk Nasional, yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (26-28 Februari 2012), membahas sejumlah isu dan melahirkan beberapa rekomendasi. 
    Setidaknya ada delapan isu besar yang dibahas, antara lain Pengembangan PAUD dan Pendidikan Non-Formal; Peningkatan Layanan Pendidikan Dasar Bermutu; Percepatan Pelaksanaan Pendidikan Menengah Universal; Sistem Pengelolaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan; Integrasi Pendidikan Menengah dan Tinggi; Desentralisasi Pendidikan Tinggi dan Penguatan RSBI; Optimalisasi Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa; serta Integrasi Kebudayaan dalam Pendidikan. Berikut ini adalah kutipan hasil Rembuk Nasional dan catatan dari penulis atas beberapa isu penting.
    Pertama, masalah pendidikan anak usia dini (PAUD) ini merupakan isu baru yang muncul sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena masuk dalam Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Pendidikan Nasional 2005-2014. Pemerintah mendorong berkembangnya PAUD dengan cara memberikan insentif untuk pendirian sejumlah PAUD di seluruh wilayah Indonesia. Lembaga PAUD pun menjamur di mana-mana karena menawarkan dua hal: kesempatan berusaha (bagi penyelenggaranya) dan kesempatan kerja (bagi gurunya).
    Tanpa regulasi yang jelas dalam penyelenggaraan PAUD, akan timbul masalah baru di masa depan ketika semua PAUD meminta disubsidi oleh pemerintah dan semua gurunya meminta diangkat menjadi guru pegawai negeri. Karena itulah, sebelum persoalan meluas dan rumit, ada baiknya pemerintah segera membuat aturan yang jelas tentang mekanisme penyelenggaraan PAUD, serta menjelaskan peran pemerintah sejauh mana.
    Kedua, masalah peningkatan pendidikan dasar bermutu. Pendidikan dasar sekarang terdiri atas SD-SMP. Secara kuantitatif, untuk tingkat SD tidak ada masalah, mayoritas daerah memiliki angka partisipasi pendidikan dasar yang telah mencapai 100 persen, hanya daerah-daerah terisolasi saja yang tingkat partisipasi SD-nya masih di bawah 100 persen. Di tingkat SD, persoalan yang menonjol adalah banyaknya gedung SD yang roboh, serta kualitas pendidikan yang tidak merata. Mutu SD di perkotaan di Jawa selalu lebih baik dibandingkan dengan mutu SD di pelosok daerah, karena SD-SD di Jawa kelebihan guru, sedangkan SD-SD di luar Jawa kekurangan guru.
    Tapi, pada tingkat SMP, masih ada masalah kuantitas. Banyak daerah pedesaan yang belum mampu mencapai angka partisipasi sampai 80 persen. Bukan semata-mata karena ketiadaan sekolah di daerah tersebut, tapi karena sekolah sulit dijangkau lantaran infrastruktur transportasinya buruk. Dalam konteks tersebut, pendirian sekolah satu atap (SD-SMP jadi satu) menjadi relevan. Rembuk Nasional juga merekomendasikan perlunya komitmen antarpemangku kepentingan untuk memenuhi standar layanan pendidikan yang bermutu, serta menjamin tersedianya tempat melanjutkan sekolah, antara lain dengan membangun SD-SMP satu atap, SMP tipe kecil, SMP terbuka, dan Paket B.
    Pada isu ini juga menarik ketika Rembuk Nasional memberi perhatian khusus terhadap pendidikan di tanah Papua. Program pembangunan Papua dan Papua Barat diharapkan berpihak kepada pendidikan. Bahkan diharapkan ada peraturan khusus dari pemerintah yang mampu mendorong percepatan pembangunan pendidikan di Papua dengan otonomi khusus dan Papua Barat.
    Ketiga, pada tingkat sekolah menengah dirasa penting melakukan percepatan pelaksanaan pendidikan menengah universal. Berbeda dengan pendidikan dasar wajib, dalam hal pendidikan menengah universal ini peran pemerintah adalah sebagai fasilitator karena dalam pendidikan menengah universal tersebut pembiayaan ditanggung bersama oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Hal itu berbeda dengan pendidikan dasar yang sifatnya wajib, harus dibiayai oleh negara.
    Keempat, terkait dengan sistem pengelolaan guru dan tenaga kependidikan, perlu ada kuota nasional yang sesuai dengan kohortkebutuhan provinsi/kabupaten/kota untuk mendukung pendidikan universal 12 tahun; pemenuhan guru melalui kewenangan (horizontal) atau alih kewenangan antarjenjang sekolah (vertikal). Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan guru kejuruan dapat dilakukan kerja sama dengan politeknik, institut teknologi, PTK, universitas, sekolah tinggi, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK Kejuruan), dan lain sebagainya. Sedangkan dalam upaya meningkatkan kualitas guru diperlukan peningkatan kualitas pelaksanaan uji kompetensi, sertifikasi, penilaian kinerja, pelaksanaan pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi guru (CPD), pemberdayaan kelompok kerja guru (KKG), serta musyawarah guru mata pelajaran (MGMP).
    Kelima, isu integrasi pendidikan menengah dan tinggi dirasakan penting, terutama untuk mengoptimalkan fungsi ujian nasional (UN). Dirasakan penting, koordinasi intensif antara perguruan tinggi negeri dan penyelenggara UN serta menjadikan UN sebagai ukuran kemampuan untuk kuliah di perguruan tinggi. Ini adalah salah satu langkah yang terus diperjuangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh untuk mengoptimalkan peran UN dan sekaligus mengurangi tingkat resistansi terhadap UN. Dengan dijadikannya UN sebagai kriteria kemampuan lulusan sekolah menengah yang masuk ke PTN, secara otomatis tingkat resistansi masyarakat terhadap UN dapat dikurangi. Yang terpenting adalah bagaimana menjamin kredibilitas UN itu sendiri, sehingga penyelenggara PTN pun menerima penuh.
    Keenam, desentralisasi pendidikan tinggi dan penguatan RSBI. Keduanya merupakan isu yang menarik. Desentralisasi pendidikan tinggi itu terkait dengan adanya pembahasan RUU PT (Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi), yang mendorong PT(N) menjadi otonom untuk mencapai kualitas pendidikan yang baik. Sedangkan penguatan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) lantaran posisi RSBI saat ini terus digugat oleh masyarakat, termasuk sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Upaya penguatan RSBI itu dalam hal pembiayaan dengan tetap melaksanakan Pasal 143 PP No. 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, yaitu memberi kebebasan kepada RSBI untuk memungut biaya dari murid. Hanya, yang ironis dari program penguatan RSBI ini adalah di satu sisi didorong berorientasi internasional, tapi di sisi lain kurikulumnya menerapkan KTSP yang sifatnya lokal sekolah.
    Ketujuh, isu yang menarik adalah optimalisasi pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa Indonesia. Isu ini dilatarbelakangi oleh kegemaran bangsa ini, termasuk sekolah-sekolah, memakai bahasa bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari dalam kehidupan, sehingga melupakan keberadaan bahasa Indonesia. Para peserta Rembuk Nasional sepakat perlu adanya sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia yang saat ini rendah. Dirasa perlu adanya regulasi untuk mengindonesiakan bahasa asing.
    Kedelapan, persoalan lain yang dapat disebut sebagai perkembangan baru adalah masalah integrasi kebudayaan dalam pendidikan. Isu ini praktis hilang selama lebih dari satu dekade dan baru muncul setelah kebudayaan dikembalikan lagi ke dalam pendidikan sejak Oktober 2011. Ini jelas langkah positif karena pendiri pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara, selalu mengingatkan bahwa pendidikan itu merupakan proses kebudayaan. 
    Karena itu, pendidikan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan. Logis bila Rembuk Nasional merekomendasikan perlunya nilai-nilai budaya diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran untuk membentuk generasi muda yang lebih kokoh. Tidak ada cara untuk membentuk karakter bangsa itu selain melalui kebudayaannya. Di sinilah pentingnya integrasi kebijakan pendidikan dengan kebudayaan mutlak diperlukan. ●