Category: Uncategorized

  • Krisis Iran dan Kebijakan Migas

    Krisis Iran dan Kebijakan Migas
    Eddy Purwanto, MANTAN DEPUTI BP MIGAS 
    SUMBER : SINDO, 5 Maret 2012
    Baru-baru ini pemerintah menyatakan tidak khawatir menghadapi dampak embargo minyak Iran ke Inggris dan Prancis, sebab impor Indonesia lebih banyak dari Timur Tengah seperti Arab Saudi serta dari Singapura dan Brunei Darussalam.
    Untuk sementara, pemerintah tidak perlu khawatir,namun jangan terlena karena situasi krisis di Iran tanpa diduga bisa bersifat eskalatif yang jangkauan dampaknya akan meluas hingga ke Indonesia. Fluktuasi harga minyak juga akan merepotkan Indonesia yang ketergantungan terhadap impor semakin akut.

    Volume impor Indonesia sudah menyamai angka lifting minyak nasional, yaitu sekitar 900.000 barel per hari, terdiri dari minyak mentah 400.000 barel per hari ditambah produk BBM 500.000 barel per hari. Bila krisis mendekati puncak, sulit menebak pergerakan harga minyak dunia karena di lapangan bisa melibatkan banyak pemain tergantung dalamnya krisis, tidak hanya Amerika Serikat dan Uni Eropa di satu sisi, di sisi lain ada China dan Rusia,dan jangan lupa ada “wild card” Israel yang sudah gatal ingin menyerang Iran.

    Bila Israel benar-benar nekat menyerang Iran yang menurut rumor akan dilaksanakan bulan September mendatang, dikhawatirkan krisis akan meluas dan berkepanjangan karena cenderung menarik pemain lain dari kedua belah pihak ke dalam kancah perang terbuka, termasuk tetangga di seberang tembok Israel seperti Suriah dan lainnya.

    Pada puncak krisis pasokan minyak dunia akan tersendat sehingga harga minyak bisa melonjak hingga USD200 per barel. Untuk meredam fluktuasi harga minyak dunia, memang ada Arab Saudi, Kuwait, UEA dan lainnya yang lebih “US friendly” serta bisa menjadi penyangga pasokan minyak untuk sementara,

    namun apabila akses jalur pasokan tertutup sulit bagi negara penyangga untuk mensubstitusi seluruh pembeli karena selain ancaman Iran kepada negara-negara penyangga untuk tidak membantu mengucurkan pasokan minyak, juga adanya keraguan dunia terhadap kemampuan Saudi Arabia, terutama setelah adanya bocoran dari Wikileaks perihal kabel rahasia dari Kedutaan Amerika di Dahran yang melaporkan terjadinya “overstated” atau kekeliruan perhitungan cadangan minyak Arab Saudi sekitar 40 persen sehingga menghadapi masa krisis kemampuan Arab Saudi untuk memasok minyak dalam jangka panjang mulai diragukan.

    Walaupun gas terus berkembang menjadi primadona energi dunia, termasuk di AS dengan penemuan shale-gas yang luar biasa, setidaknya untuk dua dasawarsa ke depan minyak masih akan mendominasi kartu diplomasi yang ampuh. Dampak krisis Iran yang tingkatnya baru “pemanasan” telah membuat gerah Indonesia karena harga minyak (ICP) melonjak melewati toleransi APBN sebesar 10 persen.

    Di sisi lain pemerintah direpotkan oleh meningkatnya konsumsi energi nasional sehingga melambungkan defisit anggaran khususnya untuk belanja impor minyak dan BBM. Melonjaknya konsumsi BBM menjadi beban berat karena belum diiringi oleh peningkatan produksi dan cadangan minyak nasional serta belum terwujudnya rencana penambahan kilang domestik yang sangat dibutuhkan.

    Indonesia tidak punya pilihan lain, guna menye-lamatkan perekonomian dan APBN wajar bila pemerintah segera berunding dengan DPR untuk mempercepat pembahasan APBN Perubahan dan sebaiknya segera memutuskan kebijakan atau opsi apa pun yang akan diambil dalam pemangkasan subsidi BBM, karena situasinya cenderung eskalatif baik di luar negeri maupun di dalam negeri.

    Menghadapi potensi krisis, program penghematan energi secara nasional semakin dibutuhkan mengingat Indonesia terbilang negara terboros di Asia dalam urusan energi, utamanya di sektor industri yang menyedot 51,86% dari total penggunaan energi nasional, disusul sektor transportasi sebanyak 30,77%, diikuti rumah tangga 13,08%.

    Bagi pemerintah yang paling mendesak adalah penghematan di sektor industri dan transportasi karena kedua sektor ini cenderung menyedot energi fosil, utamanya minyak yang cadangannya semakin tipis (cadangan terbukti tinggal 3,7 miliar barel). Indonesia membutuhkan program penghematan yang lebih terstruktur dan terukur dengan melibatkan partisipasi seluruh tingkat pengguna,bukan hanya retorika.

    Kita lihat contoh sederhana, di Korea Selatan, lampulampu billboard atau papan reklame dimatikan mulai jam 12.00 malam. Program penghematan lain yang strategis adalah konversi BBM oleh gas yang tidak boleh ditunda-tunda lagi, pemerintah segera menyusun program yang terstruktur dan terukur terutama di dalam penyiapan infrastruktur dan jaminan pasokan gas bumi jangka panjang.

    Ditopang stabilnya pertumbuhan ekonomi, jumlah kendaraan akan bertambah secara eskalatif, secara bertahap perlu pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). Di Jakarta saja butuh minimal 60 hingga 100 unit SPBG dengan pasokan gas bumi antara 30 hingga 50 juta kaki kubik yang harus dialokasikan khusus bagi SPBG.

    Namun, strategi ini akan berhasil bila dibarengi dengan keberanian pemerintah dan legislatif memangkas subsidi BBM secara bertahap, karena dengan naiknya harga bensin premium bersubsidi diharapkan akan menarik minat masyarakat untuk beralih ke gas (BBG) yang lebih murah dan bersih. Dari sisi pasokan dalam negeri,meningkatkan produksi dan cadangan adalah keharusan melalui kampanye eksplorasi dan eksploitasi, sayangnya kegiatan ini masih memerlukan masuknya modal asing sehingga membutuhkan dukungan perbaikan iklim investasi baik di pusat maupun di daerah.

    Sudah sangat banyak program yang digagas para pemangku kebijakan namun cenderung jalan di tempat karena pelaksanaannya tersendat oleh berbagai hambatan lintas sektoral. Program migas harus ditangani secara lintas sektor,tidak cukup hanya oleh satu atau dua instansi, tetapi harus mengajak seluruh pemangku kepentingan yang terkait sambil menanggalkan ego-sektor baik di pusat maupun di daerah.

    Semua ada hikmahnya, dampak krisis Iran hanyalah pemicu, ancaman yang sebenarnya terhadap ketahanan energi nasional berada di dalam negeri yaitu melonjaknya konsumsi energi yang menyebabkan semakin tingginya ketergantungan terhadap impor minyak dan BBM karena belum diimbangi oleh peningkatan cadangan dan produksi migas serta belum terealisasinya pembangunan kilang-kilang BBM yang baru.

    Pemerintah memerlukan percepatan program baik di sektor hulu maupun hilir dan berani menawarkan insentif baik fiskal maupun non-fiskal yang memadai, disertai upaya perbaikan iklim investasi baik di Pusat maupun Daerah utamanya yang terkait dengan perizinan, tata ruang, birokrasi, dampak otonomi daerah, xenophobia, dan lainnya.

  • Mempercepat Pembangunan Infrastruktur

    Mempercepat Pembangunan Infrastruktur
    Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo, PENGAMAT EKONOMI
    SUMBER : SINDO, 5 Maret 2012
    Dalam beberapa waktu terakhir, kita mulai bisa menyaksikan pembangunan jalan tol W2 yang menghubungkan Kebon Jeruk dengan Ulujami. Bahkan kalau melihat kecepatannya, saya sungguh berbesar hati menyaksikan pembangunan calon jembatan layang di atas Jalan Meruya, Kebon Jeruk, dan persiapan konstruksi di dekat pertigaan Mercu Buana. Dari jalan tol W1,kita juga bisa menyaksikan pembangunan segmen Kebon Jeruk Meruya serta pembangunan pilar-pilar di Junction Kebon Jeruk.Pembangunan tersebut kebetulan sekali bersamaan dengan pembangunan akses W1 ke Pantai Indah Kapuk,yaitu di Junction Penjaringan.

    Meski tidak menyaksikan sendiri, saya mendengar pembangunan yang juga sudah berlangsung di ujung lain dari JORR tersebut, yaitu pada segmen yang menghubungkan JORR dengan Tanjung Priok. Selesainya pembangunan jalan tol JORR itu pada waktunya nanti tentu akan membawa perubahan sangat besar pada berbagai ruas jalan tol.

    Sangat diharapkan kendaraan yang selama ini menggunakan jalan tol dalam kota dari arah Cikampek menuju arah Merak dan Sumatera serta sebaliknya akan bisa menggunakan jalan tol JORR yang selesai dibangun. Dengan demikian, selesainya W2 akan mengurangi beban jalan tol dalam kota.

    Beban ini akan semakin tersebar jika tol JORR 2 mulai dibangun, yang menghubungkan Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng dengan Kunciran, Cinere, Jagorawi, terus menuju Cibitung dan seterusnya. Rasanya pembangunan JORR 2 mulai menunjukkan perkembangan positif. Pembangunan jalan tol di sekitar Jakarta tersebut bersamaan dengan persiapan pengembangan transportasi massal di sekitar Jabotabek.

    Pembangunan rel ganda dari Serpong ke Rangkasbitung dikabarkan juga sudah dilakukan. Demikian pula dengan pembangunan jalan kereta api akses bandara (melalui Tangerang) serta pembangunan rel ganda di ruas tersebut merupakan harapan bagi warga Jabotabek. Dengan melihat perkembangan tersebut, yang dilakukan bersamaan dengan pengaturan kembali jalur kereta komuter Jabotabek dengan loopline-nya, kita melihat prospek dari fasilitas yang sudah berkembang di banyak kota besar.

    Pembangunan MRT yang semakin jauh dengan target penyelesaian tahun 2016 pada akhirnya akan menambah pilihan bagi penggunaan sarana transportasi tersebut. Mungkin untuk menambah sense of urgency,pada akhirnya kita sungguh mengharapkan MRT timur–barat pun bisa dipercepat pembangunannya sehingga pada akhirnya kebutuhan masyarakat terhadap sarana transportasi yang andal bisa terpenuhi.

    Apakah terbayang pada diri kita, pembangunan MRT utara-selatan, yang menghubungkan Lebak Bulus dan Jakarta Kota, ternyata “hanya” memerlukan biaya kurang dari sisi anggaran APBN kita dalam setahun ? Pembangunan infrastruktur di Jabodetabek juga akan berbarengan dengan pembangunan pelabuhan Kalibaru yang diharapkan tidak kalah fasilitasnya dengan pelabuhan di Singapura maupun juga perluasan Bandara Soekarno- Hatta.

    Berbagai pembangunan tersebut sungguh dilakukan karena terjadinya percepatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama 10 tahun terakhir sehingga lalu lintas angkutan barang dan angkutan manusia bisa terkejar pertumbuhannya dengan berbagai pembangunan prasarana tersebut. Saya bahkan menduga,pembangunan Bandara Soekarno-Hatta harus tetap mendasarkan diri pada gambar besar tentang pertumbuhan lalu lintas udara karena dari sisi ekonomi, jumlah penumpang pesawat udara rasanya akan meningkat dua kali lipat dalam 5 tahun saja.

    Ini berarti, perluasan bandara yang dapat menampung 60 juta penumpang rasanya hanya akan menjadi sasaran antara untuk menuju jumlah yang lebih tinggi lagi. Dalam perkembangan saat ini, kita perlu bersyukur, pembangunan banyak pembangkit tenaga listrik ternyata dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan.

    Jika crash program I dengan daya 10.000 megawatt memang dilakukan secara crash program sehingga kualitas pembangkit sepertinya diabaikan, pemerintah sungguh diharapkan untuk memperhatikan aspek tersebut dalam pemilihan mesinmesin pembangkit di masa mendatang. Dalam hal ini kita bersyukur, pembangunan pembangkit dengan pola PPP seperti di Tanjung Jati yang dilakukan konsorsium perusahaan Jepang dapat selesai, bahkan lebih cepat dari waktu yang direncanakan.

    Pembangkit tersebut tentunya membawa serta kualitas mesin pembangkitan yang tinggi sehingga tingkat “reliabilitas” pembangkitannya pun tentunya tidak perlu dipertanyakan lagi. Dalam crash program II,kita melihat bauran energi yang sangat baik. Pembangkit panas bumi mulai akan banyak digerakkan.

    Demikian juga pembangkit listrik tenaga air. Untuk tenaga air ini bahkan dalam rencana crash program III hal tersebut merupakan mayoritas. Jika Indonesia dikatakan memiliki potensi pengembangan pembangkit panas bumi sampai dengan 27.000 megawatt, kurang lebih setara dengan jumlah produksi listrik kita saat ini, ternyata potensi pembangkit listrik tenaga air di Indonesia 3 kali lipat lebih besar.

    Hal ini terutama terjadi karena topografi negara kita yang bergunung-gunung memungkinkan dilakukannya pembangunan pembangkit listrik tenaga air dalam jumlah besar. Dewasa ini kita menyaksikan pembangunan PLTA yang besar di Jatigede (Sungai Cimanuk) di Jatibarang Semarang, Sungai Cisokan di Jawa Barat, dan sebuah PLTA lagi di Banten. Pada saat yang sama kita banyak mendengar perihal pembangunan maupun penyelesaian pembangkit listrik mini maupun microhydro di mana-mana.

    Dengan latar belakang tersebut, kita bisa menyimpulkan, pemerintah bukan hanya serius dalam membangun infrastruktur, tetapi bahkan semakin percaya diri kita mampu melakukannya. Itulah sebabnya kita bisa mengikuti dengan saksama pembangunan jalur ganda kereta api lintas utara (Jakarta–Surabaya) yang direncanakan akan selesai pada akhir 2013.

    Kita juga mengikuti perkembangan pembangunan jalur ganda lintas selatan seperti Cirebon–Bumiayu dan Purwokerto–Kroya yang nantinya akan tersambung dengan jalur ganda yang sudah ada antara Kutoarjo– Yogyakarta.Kita juga semakin banyak mendengar rencana pembangunan jalan raya (high grade highway) antara Bandar Lampung sampai dengan Aceh.

    Pembangunan jembatan Selat Sunda, pembangunan bandara di berbagai kota maupun pembangunan Pelabuhan Cilamaya di Cikampek. Semuanya itu tidak lagi hanya wacana, tetapi sungguh-sungguh direncanakan dengan baik karena pemerintah sendiri sudah memiliki sumber pembiayaan yang memadai. Rasanya kita sungguh patut berharap perekonomian Indonesia akan semakin cepat berkembang dengan dukungan infrastruktur yang semakin andal.

  • Menjadi Orang Indonesia

    Menjadi Orang Indonesia
    M. Sobary, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
    SUMBER : SINDO, 5 Maret 2012
    Tanah air, tanah tumpah darah kita kenang karena selalu hidup di dalam jiwa kita, dengan getaran dan derap yang hanya bisa dibandingkan dengan getaran cinta.Jangan lupa,di sana lahir pula makna “cinta” tanah air.
    Dan “cinta” seperti itu tak ternilai harganya––jika “cinta” boleh dan dianggap layak dimaterialisasi dan diberi harga. Maka, tanah air, tempat tumpah darah kita merupakan ikatan primordial yang paling kuat di antara banyak unsur primordial yang dianggap kuat. Kampung halaman, teman-teman, sungai, sawah, gunung, telaga, dan di sisi lain ada ingatan akan pantai, jala, ikan, pohon-pohon nyiur melambai, ombak, gelombang pasang, perahu kandas, dan pasir.

    Atau bau amis air laut bercampur bau ikan dan embusan angin kencang yang menjadi sahabat perahu layar. Dan jika kenangan macam itu dirumuskan dalam sebuah puisi, tanah air yang begitu konkret itu akan tampil dalam ungkapan alegoris, seolah kita sedang mengenang sebuah dongeng: sesuatu yang jauh tapi dekat, yang imajiner tapi sekaligus sangat nyata.Kenangan menghidupkan kerinduan, yang sering berat ditahan.

    Kita punya acara pulang basamo pada hari-hari menjelang Lebaran karena kampuang nan jauh di mato bagaikan memanggil-manggil. Tapi tanah tumpah darah itu juga tampil dalam wujud atau kenangan akan negara kita. Dalam lagu Imagine, lagu “terbaik” The Beatles, digambarkan negara yang membuat kita rela berkorban jiwa untuknya, dikenangnya dari sisi imajiner, andaikata—atau sebaiknya— negara tak ada supaya kita tak bicara mengenai kerelaan mati demi negara.

    Tapi tentara memandang perkara ini dengan sikap patriotik, mati demi negara, berkorban jiwa, sebuah kemuliaan.Apalagi mati di medan laga melawan kaum imperialis dan kolonialis yang menegasikan hak-hak setiap bangsa, tiap manusia, yang lahir “suci”,bebas,merdeka. Agama mengajarkan mati membela tanah air setingkat dengan mati membela agama.

    Kematian macam itu disebut “sahid” dan fikih, hukum agama, membebaskan kewajiban untuk memandikannya. Mati sahid itu mati dalam kesucian. Kitab suci pun menyebutkan: “Adakah kau mengira mereka itu mati?” Dan tentara, prajurit, yang prawireng yudha,gagah berani, disebut dies only ones, sedangkan yang pengecut—mungkin berperang tapi tidak ikhlas, tidak rela berkorban tapi mati juga—disebut dies many times.

    Mati nyalinya, mati keberaniannya, mati semangatnya, mati kerelaannya, mati tidak ikhlas tapi tetap mati. Saya kira ini kutukan Tanah Air terhadap mereka yang enggan membelanya. Bumi, bagi mereka yang paham akan bahasa spiritual, merupakan makhluk hidup. Dan bumi dengan begitu juga mengenal “kecewa” atau “marah”.

    Kita minum air yang memancar dari dalamnya, kita makan buah yang tumbuh di atasnya, kita memakan sayur dan nasi, semua berasal dari tetumbuhan yang diakomodasi dengan baik oleh kesabaran bumi, Ibu Pertiwi.Maka,ada saatnya Ibu Pertiwi mengharap bukti cinta kita padanya.Ibu meminta kita berbakti. Kita pun berdendang dengan derap cinta orang dewasa: “Padamu negeri kami berjanji. Padamu negeri kami berbakti. Padamu negeri kami mengabdi.” Dan ujungnya sebuah sumpah: ”Bagimu negeri, jiwa raga kami.”

    Agresor Asing

    Bumi,Ibu Pertiwi,Tanah Air meminta bakti kita. Maka, pengakuan kita bahwa kita bangsa Indonesia,kita menjadi orang Indonesia,memiliki konsekuensi. Pengakuan membawa tanggung jawab. Dengan dada membusung dan sikap tegas: aku orang Indonesia, siap mengabdi kepentingan Indonesia, dan membela keluhuran Indonesia,jangan hendaknya ada bangsa asing mengganggu kita.

    Dan banyak negara asing, kaum agresor—istilah Bung Karno—di tahun 1960-an yang melakukan “serangan” terhadap negara kita bukan dengan mengerahkan barisan prajurit, melainkan dengan menggerekkan sejumlah kecil kaum lobbyists yang gesit melobi ke berbagai pejabat tinggi, menyodorkan uang, dan meminta prioritas ini dan itu melalui aturan perundang-undangan. DPR,DPRD, menteri, gubernur, bupati, masing-masing dengan staf mereka, dibujuk dan diberi duit.

    Juga para aktivis, sejumlah kaum profesional,dan sebagian kaum ilmuwan. Dalam perang dagang yang dahsyat, para pelobi, dibantu dan dikontrol sebuah lembaga besar bernama Bloomberg Initiative, bekerja keras “menjarah” tembakau dan keretek kita. Lembaga besar itu beroperasi di tingkat internasional dan telah mengumumkan siapa dan lembagalembaga apa di seluruh dunia yang telah menerima uang dari mereka.

    Kita menjadi tahu,ada tokoh, ada lembaga, ada pejabat, yang kelihatannya begitu hebat berjuang demi kesehatan masyarakat, berkat pengaruh uang tadi. Sebagian, mungkin, ada yang murni memikirkan kesehatan kita. Tapi petanya mungkin begini: ada orang yang tidak tahu apa-apa,bahwa di balik program kesehatan itu ada uang dan kepentingan asing. Ada yang pura-pura tidak tahu.

    Dan ada yang memang tahu dan tetap gigih meneriakkan apa yang pada dasarnya mengandung kebohongan itu,seolah teriakannya merupakan kemurnian perjuangan di bidang kesehatan. Di sini perlu ditegaskan kembali: di balik ungkapan “kesehatan masyarakat” itu kekuatan asing bekerja keras, mendanai kegiatan tingkat dunia, merancang, memonitor pelaksanaan, dan membaca hasil-hasilnya.

    Hal ini bukan lagi rahasia. Di tingkat dunia, operasi “menjarah”tembakau dan keretek kita itu persis berada di balik tembok perang bisnis. Perusahaan farmasi dunia mau merampas tata niaga tembakau dan keretek kita untuk dicaplok bagi kepentingannya sendiri. Pejabat kita dibeli dan dengan harga murah. Begitu juga kaum profesional di bidang kesehatan dan sejumlah kaum ilmuwan dan aktivis.

    Semua berteriak demi kesehatan masyarakat. Ada yang, sekali lagi, sadar dan tahu persis bahwa di belakangnya ada kaum kolonialis dan imperialis, yang menjajah kita dengan cara canggih. Ada yang pura-pura tidak tahu dan tetap berpura-pura dalam segenap gerak-geriknya. Ini jelas kemunafikan dalam mengkhianati negerinya.Ada yang sungguh tidak tahu dan bekerja dengan tekun. Ini jenis kenaifan yang sempurna.

    Tanah air, tanah tumpah darah kita, yang dikhianati itu tahu siapa yang berkhianat. Dan tanah air,Ibu Pertiwi,akan bertindak.Berapa pun banyaknya uang yang mereka terima dari kaum kolonialis dan imperialis itu, semua tak berarti. Duit itu tidak berkah. Dan dalam bahasa agama,kelak harta itu hanya akan menjadi bahan bakar api neraka yang siap melahapnya.

    Kita, orang Indonesia, tak boleh main-main. Loyalitas, biarpun kecil, harus diwujudkan. Perjuangan, biarpun tampak sepele, harus dilakukan. Untuk Tanah Air, kita menyediakan cinta. Dan cinta itu boleh membakar kita dan membuat kita terbakar dalam keindonesiaan yang utuh dan sejati karena kita sudah bulat menjadi orang Indonesia.

  • Sistem Pembayaran dan Internet Banking

    Sistem Pembayaran dan Internet Banking
    Achmad Deni Daruri, PRESIDENT DIRECTOR CENTER FOR BANKING CRISIS
    SUMBER : SINDO, 5 Maret 2012
    Investasi internet bankingdi perbankan Amerika Serikat (AS) telah membantu pulihnya perekonomian AS dari krisis tahun 2008 yang lalu. Sementara itu, tangguhnya perekonomian Indonesia dan India dalam menghadapi krisis ekonomi juga berkat peran internet banking yang memperkokoh pasar domestik.

    Teknologi internet telah membuka cakrawala bisnis yang sangat luas bagi masyarakat dunia. Peran teknologi dalam evolusi perbankan dan sistem pembayaran sangatlah besar. Sementara transaksi perdagangan mata uang dunia yang tumbuh secara eksponensial tidak dapat dilepaskan dari peran teknologi,termasuk internet, dalam sistem pembayaran dunia.

    Pergerakan modal antarnegara yang semakin meningkat juga tak lepas dari pengaruh teknologi dalam payment. Global imbalances yang oleh AS dianggap sebagai kambing hitam dari krisis perekonomian dunia juga tak dapat dilepaskan dari kemajuan teknologi perbankan dan sistem pembayaran.

    Sistem pembayaran dan internet banking ternyata semakin mempercepat terjadinya ketidakseimbangan global tersebut. Untuk itu perlu dilakukan assessment teknologi agar dampak negatif atau risiko bagi sistem pembayaran tetap dapat diukur dan dikendalikan secara cermat.

    Secara klasik Coates (1976) mengatakan: “A type of research that sistematically analysis the possible effects on society on the introduction, expansion or modification of any specific technology, and in which particular stress is given to study the unexpected, indirect and retarded consequences of such technology.

    Dengan demikian ketidakseimbangan global sebetulnya luput dari proses penilaian teknologi seperti yang dikatakan Coates tersebut. Teknologi internet telah menjadi platform bukan saja pada sistem pembayaran, tetapi juga sistem lain yang lebih luas seperti sistem produksi. Untuk itu sistem ini harus dilembagakan sehingga fungsi penilaian teknologi dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

    Lembaga pencipta pasar harus eksis agar sistem pembayaran dapat dijalankan secara nyata. Kelembagaan kedua yang harus eksis adalah lembaga regulasi pasar. Harus ada yang menjamin regulasi sistem pembayaran. Sistem ini tidak dapat dilepaskan kepada pasar.Terbukti self regulatory organization gagal dalam mengantisipasi krisis keuangan di Amerika Latin,Asia,AS, dan Uni Eropa.

    Selanjutnya kedua lembaga tersebut juga harus memiliki lembaga yang menjamin stabilitas pasar, misalnya bank sentral. Dalam kasus Uni Eropa bahkan diperlukan intervensi IMF dan penciptaan dana jaminan oleh negara-negara Uni Eropa. Dalam era globalisasi yang didukung teknologi, sistem pembayaran,dan internet banking, terbukti sangat diperlukan adanya lembaga penjamin stabilitas pasar ini.

    Dunia sebetulnya tengah kebingungan dalam memaparkan kedua lembaga terakhir ini. Bahkan Fukuyama yang selama ini getol mengatakan bahwa negara democratic liberal sebagai negara yang unggul mulai mengatakan bahwa ideologi Konghucu sebagai ideologi unggulan.Artinya,kelembagaan pasar dari sistem pembayaran harus belajar dari sistem perekonomian China.

    Kelembagaan terakhir yang harus ada dengan demikian adalah lembaga yang mampu menciptakan legitimasi. Artinya kebijakan moneter, fiskal, dan neraca pembayaran harus efektif dalam menciptakan pembangunan ekonomi yang netral dari krisis keuangan yang terjadi di negara lain. Di sinilah peran sistem pembayaran dan internet banking untuk merangsang permintaan domestik semakin diperlukan.

    Furst,Lang,dan Nolle (2000) mengidentifikasi perbedaan kunci antara internet bank dengan non-internet bank di AS, yaitu: ”Within size classifications, banks that offer Internet banking have higher concentrations in business and credit card loans, rely less on deposits relative to purchased funds, and have higher ratios of noninterest income to net operating revenue. Taken together, these characteristics indicate that internet banks are less reliant on traditional banking activities and take a more aggressive business posture relative to non-Internet banks of similar size.”

    Tren ini dapat terjadi di mana saja, termasuk Indonesia, di mana keuntungan perbankan di negara maju seperti AS juga meningkat dengan adanya internet banking. Untuk itu pemerintah dapat memperluas jangkauan internet dalam masyarakat sehingga agresivitas mereka seiring dengan keuntungan yang mereka peroleh.

    Kapasitas pengiriman data dalam internet harus diperbesar seperti yang dimiliki Korea Selatan. Dengan demikian investasi infrastruktur bukan lagi hanya berbicara dalam konteks pembangunan jalan,bandar udara, dan pelabuhan. Di negara berkembang seperti Pakistan, terbukti teknologi ini memberikan keuntungan bagi perbankan.

    Sumra dan Abbas (2011) mengatakan: “The results show that e-banking has increased the profitability of banks; it has enabled the banks to meet their costs and earn profits even in the short span of time.The illiteracy of customers is not regarded as a major impediment in provision of their products and services.” Harga saham adalah refleksi dari informasi di masa depan. Internet mempercepat terbentuknya informasi tersebut.

    Tidaklah mengherankan jika bank sentral AS mulai melakukan forecasting tingkat suku bunga untuk beberapa tahun ke depan. Bukan hanya semata-mata untuk tujuan transparansi, tetapi lebih dari itu untuk menjangkar ekspektasi publik itu sendiri. Sistem pembayaran melalui internet banking akan mampu memberikan likuiditas bagi perekonomian daerah.

    Transaksibisnisjugaakanmeningkat dengan sendirinya.Pergerakan modal menjadi lebih seimbang, dampak kesejahteraannya pun menjadi lebih merata.Selain itu informasiasi metric yangberupa adverse selection bias dan problem moral hazardjuga dapat diminimalisasi dengan teknologi komunikasi dan informasi.Intermediasi keuangan di Indonesia akan semakin efisien dan efektif.

  • Pembatasan Tipiring dan Revisi KUHP

    Pembatasan Tipiring dan Revisi KUHP
    Agus Riewanto, KANDIDAT DOKTOR ILMU HUKUM
    UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS) SURAKARTA
    SUMBER : SUARA MERDEKA, 5 Maret 2012
    DI tengah pesimisme akan keadilan dalam penegakan hukum, Mahkamah Agung (MA) berinisiatif menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pembatasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dalam kejahatan pidana yang dapat dijatuhi sanksi hukum (SM, 29/02/12).

    Perma itu dimaksudkan untuk menyesuaikan batas tipiring dan jumlah denda berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa kasus pencurian/ penipuan dengan nilai uang di bawah Rp 2,5 juta merupakan kejahatan tipiring. Pelakunya tidak boleh ditahan dan harus diadili dengan hukum acara pemeriksaan secara cepat.

    Sementara KUHP, terutama Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482 KUHP secara jelas menyebut  sebuah perkara bisa dikategorikan tipiring jika menyangkut nilai uang di bawah Rp 250. Dengan nilai sekecil itu sesungguhnya KUHP tak pernah membatasi kategori tindak pidana yang dapat diproses di pengadilan.

    Bahkan konsep dasarnya justru memandang semua kejahatan sama di depan hukum. Itulah yang menyebabkan mengapa proses pengadilan sangat panjang dan berlarut-larut, baik untuk kasus kecil maupun besar. Substansi  yang diinginkan oleh Perma yang baru itu sesungguhnya bentuk dari respons positif MA dalam melihat dinamika di masyarakat. Artinya, ada ratusan, bahkan ribuan kasus tipiring yang dipaksakan disidang kendati tidak sebanding material kerugian yang ditimbulkan ketimbang biaya, waktu, dan tenaga yang dihabiskan oleh para hakim untuk mengadili kasus-kasus ’’kecil’’ tersebut.

    Masih segar dalam ingatan ketika jagat hukum dihebohkan oleh pengadilan yang berlarut-larut kasus pencurian sandal jepit oleh bocah AAL, pencurian beberapa biji kakao oleh nenek Minah, dan pencurian 6 piring oleh Rusminah. Dalam kasus itu tampak jelas bahwa kerugian materi yang ditimbulkan sangat kecil dan dampak sosialnya pun tidak masif dan terstruktur bagi masyarakat luas. Namun pelakunya tetap dihukum kendati ringan.

    Merevisi KUHP

    Di sisi lain, publik melihat sejumlah kasus kejahatan yang masif, terstruktur, dan berdampak kerugian besar bagi masyarakat, seperti korupsi politik dan megakorupsi yang melibatkan elite kadang tidak diproses secara benar di pengadilan. Di sini tampak bahwa hukum hanya menjadi benteng bagi elite politik namun menghunus tajam pada kasus yang melibatkan rakyat kecil.
    Melihat fenomena itu, relevansi kehadiran Perma menjadi penting dalam rangka mewujudkan keadilan, sekaligus efektifitas birokrasi pengadilan, dan efisiensi proses hukum sebagaimana pandangan Robert Cooter, (1987) dalam Law and Economic.

    Kelemahan yang mendasar dari Perma Nomor 2 Tahun 2012 adalah regulasi itu hanya merupakan peraturan (regeling) yang mengikat untuk internal hakim-hakim di lingkungan MA, yakni di pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT). Konsekuensinya, ketua pengadilan dalam melihat kasus tindak pidana harus mampu melihat nilai objek sengketa ketika menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan, dan penadahan dari jaksa penuntut umum.
    Bila mendasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP), kasus pidana harus terlebih dahulu melalui dua pintu, yakni penyidikan di kepolisian dan penuntutan di kejaksaan. Persoalannya, dua institusi hukum ini tidak terikat oleh Perma tersebut. Lebih dari itu, dua institusi hukum itu juga belum merespon secara positif atas Perma, misalnya dengan menindaklanjuti di level bawah kepolisian dan kejaksaan dalam memproses kasus-kasus tipiring.

    Ke depan, supaya bisa fungsional menegakkan keadilan maka Perma perlu ditingkatkan menjadi selevel UU agar mengikat semua institusi hukum. Bahkan lebih baik lagi bila terbitnya Perma itu menginspirasi pemerintah dan DPR untuk segera merevisi KUHP dan KUHAP yang tak lagi mampu mengakomodasi keadilan substantif dengan aneka model dan modus kejahatan yang kian kompleks pada pengujung abad milenium. ●

  • Pedang Hukum Senyatanya

    Pedang Hukum Senyatanya
    Asmaji Muchtar, DOSEN PASCASARJANA UII YOGYAKARTA DAN UNSIQ WONOSOBO, PENGASUH PONPES AL-MATHAR KUDUS
    SUMBER : SUARA MERDEKA, 5 Maret 2012
    DEDDY Sugarda adalah sosok yang tidak dikenal sebelum ini. Tetapi Rabu (29/02) di Pengadilan Tipikor Bandung, ia membuat berita besar di hampir semua media. Ia membacok dengan pedang yang dibungkus koran terhadap jaksa Sistoyo, seusia persidangan jaksa itu atas tuduhan menerima suap Rp 100 juta terkait dengan perkara yang ditangani.
     
    Komentar atas pembacokan itu bermunculan dari masyarakat, utamanya kalangan bawah. ‘’Nah, ini baru pedang hukum sungguhan. Koruptor tidak mungkin diberantas dengan pedang hukum yang tumpul bila mengarah kepada mereka yang kuat dan kaya tapi tajam untuk masyarakat kecil,’’ demikian salah satu komentar itu.

    Apapun dalihnya, tindakan Deddy Sugarda salah secara hukum. Tetapi jika penegakan hukum yang diharapkan oleh rakyat sering dipermainkan oleh penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang tertentu yang memiliki kekuatan untuk mengatur hukum maka tindakan nekat Deddy menjadi catatan tersendiri. Bisa dikatakan, sikap itu merepresentasikan pendapat banyak orang.

    Hampir tiap hari kita disuguhi tontonan tindakan amoral (korupsi) sejumlah penyelenggara negara. Tiap bulan mereka memperoleh gaji dan remunerasi yang diambil dari uang rakyat, dan rakyat tidak protes sekali pun kinerja para abdi negara itu buruk. Bandingkan dengan pekerja pabrik atau kuli bangunan yang bekerja di bawah tekanan, cucuran keringat, dan tenaga ekstra tapi dengan gaji tidak memadai. Koruptor menggunakan adagium filosofi para penakluk sebagaimana dikatakan Bertrand Russel, untuk apa menaklukkan dunia jika tak dapat minum, membunuh, dan bercinta sebagai nafsu yang membuat mereka ekspansif?

    Tidak Terampuni

    Sejak kecil, ketika kita masih di bangku sekolah tingkat dasar (SD/ MI), guru sudah mengajarkan bahwa mencuri itu jahat. Ustad, kiai, pastur, biksu, dan rohaniwan juga mengajarkan hal yang sama, yakni mencuri adalah perbuatan jahat, dan tiap kejahatan harus diberantas. Kejahatan korupsi lebih dari sekadar mencuri, sebab objek yang menjadi sasaran bukan kekayaan milik personal melainkan  milik rakyat. Tak bisa dipilah-pilah, mana milik si A, B, dan seterusnya.

    Sedemikian susah memilah-pilah kekayaan itu maka ditilik dari sudut pandang agama Islam maka  korupsi adalah bentuk kejahatan yang tak bisa dimaafkan. Ajaran Islam menyebutkan bahwa Tuhan takkan mengampuni kesalahan (dosa) yang bersentuhan dengan hak Adami secara jama’i (kolektif). Hak Adami adalah hak tiap orang (person) yang bila dilanggar maka pelakunya berdosa. Untuk memperoleh kebebasan dari tanggung jawab itu, pelaku harus meminta maaf atau keikhlasannya.

    Koruptor tidak mungkin bisa meminta maaf  kepada semua rakyat Indonesia yang dirugikan secara person to person sebagaimana syarat memperoleh kebebasan dari hak Adami itu. Di sini muncul peluang yang memungkinkan orang berbuat anarkis terhadap pelaku korupsi, sebab hak-haknya merasa dirampas.

    Negara ini memang harus diselamatkan dari segala bentuk korupsi. Wacana menciptakan efek jera terhadap pelaku korupsi hingga kini belum beranjak menjadi realitas hukuman yang memberatkan mereka. Bandingkan dengan pencuri pisang, cokelat, sandal, kapuk, semangka dan masih banyak lagi yang berujung dengan pemenjaraan yang berat. Keadilan tidak berjalan.

    Jika semua elemen bangsa sepakat dengan pandangan ini maka korupsi harus dijadikan musuh bersama secara masif. Langkah yang ditempuh Deddy dengan pedangnya menjadi warning bagi para penegak hukum dalam menangani kasus-kasus korupsi. Pasalnya korupsi tidak mungkin diberantas dengan perang-perangan tetapi harus dengan perang senyatanya. 

  • HET dan Problem Per-pupuk-an

    HET dan Problem Per-pupuk-an
    Rahmat Pramulya, DOSEN DAN PENELITI DI UNIVERSITAS TEUKU UMAR,
    MEULABOH, ACEH BARAT
    SUMBER : SUARA KARYA, 5 Maret 2012
    Pemerintah bersikukuh untuk menaikkan harga pupuk urea mengingat rencana tersebut sudah dimasukkan dalam UU APBN 2012. Selain itu, diyakini bahwa langkah tersebut juga tidak akan membebani kalangan petani. Sementara kenaikan harga eceran tertinggi (HET) urea bersubsidi pada tahun ini sebesar Rp 200 per kilogram (kg) atau 12,5 persen dari harga sebelumnya.
    Pupuk, kalau bukan karena langka di pengecer, harganya pasti melonjak. Walaupun pemerintah sudah menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk pupuk, petani tetap mengeluh. Penyakit kronis pupuk seolah menjadi problem tahunan yang mesti dihadapi petani kita. Pemerintah terkesan seperti tidak mengambil pelajaran dari kasus tersebut yang hampir selalu berulang setiap musim.
    Produksi pupuk (urea) secara nasional mencapai 5,8 juta ton, sedangkan kebutuhan petani mencapai 5,7 juta ton. Ini berarti produksi pupuk dalam negeri mestinya mampu mencukupi kebutuhan petani. Kenapa sering terjadi kelangkaan pupuk, dan apa yang salah?
    Problem tata niaga kemudian banyak disebut-sebut sebagai biang keladi persoalan kelangkaan tersebut. Potret tata niaga pupuk di negeri ini memang terbilang buram. Jika kita coba telusuri, tata niaga pupuk telah dibongkar-pasang berkali-kali. Perkembangan terakhirnya, pada 1997 dibentuk perusahaan induk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pupuk dengan Pusri memonopoli distribusi dan pemasarannya. Akhir 1998, tata niaga dibubarkan. Semua subsidi dihapus kecuali untuk penyaluran ke daerah terpencil. Pada tahun 2000, produsen kembali mendapat potongan harga gas, bahan baku utama pupuk. Setahun kemudian, tata niaga pupuk untuk tanaman pangan dan perkebunan rakyat diberlakukan lagi dengan Pusri memonopoli distribusinya.
    Tahun 2003, sekali lagi tata niaga dirombak. Kali ini produsen tetap mendapat potongan harga gas, tapi monopoli Pusri dicabut. Gantinya diterapkan rayonisasi distribusi pupuk, satu atau beberapa provinsi untuk setiap produsen. Produsen wajib memasok pupuk ke distributor sampai ke tingkat kabupaten pada harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah. Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (SK-MPP) Nomor 356/2004 semakin memperkuat hal tersebut. Yang terbaru, menteri perdagangan telah mengeluarkan SK No 03/2006 yang mengatur sistem pengawasan distribusi terhadap pupuk bersubsidi tersebut.
    Sistem distribusi seharusnya dipisahkan dari sistem produksi. Selama ini sistem distribusi dilakukan oleh pabrik-pabrik pupuk, paling tidak sampai di lini III. Di situ ada konflik kepentingan dan tidak efisien. Pemerintah harus memikirkan masalah itu. Semestinya, biarlah pabrik pupuk bertugas memproduksi saja. Soal distribusi pupuk biar ditangani institusi lain.
    Terkait subsidi, ternyata petani tidak merasakan secara langsung program subsidi pupuk. Subsidi pupuk bagi petani tidak efektif, salah sasaran, bahkan memberatkan petani. Seharusnya subsidi pupuk dinikmati petani, kenyataannya justru dinikmati pihak tertentu seperti pedagang dan distributor.
    Harga pupuk di tingkat petani tidak berkaitan langsung dengan harga pokok pabrik pupuk domestik. Pada pasar terbuka seperti saat ini, harga pupuk di tingkat petani ditentukan oleh harga paritas impornya. Pengalaman selama lima tahun terakhir membuktikan hal tersebut.
    Jika harga pupuk di pasar internasional meningkat, maka untuk mengejar laba yang lebih tinggi, pabrik pupuk domestik cenderung mengekspor produknya. Akibatnya adalah pasokan pupuk di tingkat petani menjadi langka dan harganya pun meningkat sepadan dengan peningkatan harga pupuk internasional.
    Petani mengharapkan pemerintah memberikan subsidi secara langsung. Sama halnya dengan subsidi lewat pemberian bantuan tunai langsung. Dengan begitu, pemerintah membantu petani tidak setengah-setengah, petani benar-benar merasakan langsung manfaat subsidi itu.
    Oleh karena itu, format kebijakan subsidi gas bagi pabrik pupuk memang sudah saatnya diakhiri karena bisa menguntungkan pabrik pupuk dengan merugikan petani dan negara. Kebijakan ini tidak sesuai dengan misi awal pembangunan industri pupuk, yaitu untuk menunjang pembangunan pertanian nasional. Kebijakan pupuk nasional harus dirancang ulang sehingga lebih mendahulukan kepentingan petani dan upaya revitalisasi sektor pertanian. Opsi kebijakan yang lebih memihak petani dan pembangunan pertanian ialah memberikan subsidi pupuk langsung kepada petani seperti pada masa lalu.
    Mekanisme subsidi bagi petani lebih baik dilakukan dengan meningkatkan harga pembelian gabah yang lebih tinggi. Konsekuensinya pabrik pupuk akan membeli gas pada harga pasar dan pada saat yang sama harga pupuk di tingkat petani akan naik. Ada tiga keuntungan dengan mekanisme ini. Pertama, petani akan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk di tingkat petani jauh lebih tinggi dari rekomendasi teknis. Kedua, berbagai studi menunjukkan bahwa petani lebih responsif terhadap insentif kenaikan harga pembelian gabah dibandingkan dengan kenaikan harga pupuk. Ketiga, bagi pabrik pupuk, perubahan mekanisme subsidi ini akan mendorong efisiensi karena membeli harga gas sesuai dengan harga pasar.
  • Upaya Terpadu Pengentasan Kemiskinan

    Upaya Terpadu Pengentasan Kemiskinan
    Haryono Suyono, KETUA YAYASAN DAMANDIRI
    SUMBER : SUARA KARYA, 5 Maret 2012
    Beberapa tahun lalu, menjelang tanggal 11 Maret yang sangat terkenal itu, ada gerakan sungguh-sunguh untuk mensinergikan upaya pengentasan kemiskinan antara program pemerintah dan gerakan masyarakat di desa yang dianggap tidak tertinggal untuk penduduk di desa tertinggal. Desa-desa, kabupaten atau provinsi tertinggal, didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai prosentase penduduk miskin yang tinggi dan ditetapkan oleh pemerintah untuk segera ditangani dengan sungguh-sungguh secara terpadu. Upaya terpadu itu diwujudkan melalui instruksi yang ditetapkan untuk menangani desa tertinggal atau instruksi desa tertinggal (program IDT). Untuk mensinergikan upaya masyarakat di desa tidak tertinggal, kemudian dikeluarkan Instruksi 11 Maret yang melahirkan program Takesra dan Kukesra untuk keluarga di desa tidak tertinggal.
    Kedua upaya besar itu berjalan beriringan, sehingga keluarga di desa tertinggal dan di desa tidak tertinggal mendapat dukungan yang luar biasa dalam upaya pengentasan kemiskinan. Hasilnya sangat menggembirakan karena pada tahun 1997 pemerintah, melalui Presiden HM Soeharto, memperoleh penghargaan internasional PBB oleh UNDP karena berhasil mengurangi kemiskinan dari 70 persen di tahun 1970 menjadi sekitar 11 persen di tahun 1996.
    Upaya gerakan pengentasan kemiskinan seperti itu dewasa ini sungguh gegap gempita. Pemerintah dengan dana yang relatif melimpah, melakukan upaya melalui program PNPM Mandiri perkotaan dan pedesaan serta berbagai program lain dalam jaringan yang luas. 
    Program-program kredit usaha rakyat (KUR) atau lainnya juga didorong untuk merangsang tumbuhnya usaha ekonomi mikro, kecil dan menengah. Disamping itu lembaga dan organisasi masyarakat, biarpun dengan dana yang relatif terbatas, mendorong gerakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang berkeadilan dan pro rakyat melalui pembentukan pos pemberdayaan keluarga (posdaya). Perusahaan dan lembaga Keuangan melalui corparate social responsibility (CSR) menambah barisan yang membentuk dan mengisi posdaya atau upaya pengentasan kemiskinan melalui dukungan dana yang tidak kecil. Semuanya bekerja keras berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 yang dikeluarkan pada tanggal 21 April 2010.
    Keterpaduan pelaksanaan berbagai program berdasarkan Inpres tersebut yang intinya adalah pengembangan program pembangunan yang berkeadilan, pro rakyat dan diarahkan pada percepatan pencapaian sasaran millenium development goals (MDGs) itu pada akhir Maret lalu dipamerkan dalam acara, Gemari Show di TVRI nasional secara menakjubkan. Para anggota SIKIB (Solidaritas Isteri Kabinet Indonesia Bersatu), yang diwakili oleh Ibu Silvia Agung Laksono, selaku Ketua III, dan dua orang anggota lainnya, Ibu Ina Gufron Mukti dan Ibu Melly Budiman, ikut menghadiri acara yang menarik tersebut. Disampaikan bahwa SIKIB ikut mendukung upaya pengentasan kemiskinan melalui program Indonesia Sehat, Indonesia Pintar, Indonesia Kreatif, Indonesia Hijau dan Indonesia Peduli. Upaya ini ternyata mampu merangsang keluarga pedesaan mengembangkan gagasan yang mengangkat derajat dan kesejahteraan rakyat banyak.
    Program untuk daerah dengan tingkat kemiskinan sangat tinggi diwakili oleh program PNPM Mandiri Pedesaan dan Perkotaan yang ternyata mampu menolong daerah-daerah itu dengan pengembangan infrastruktur yang memungkinkan rakyat banyak bertambah kreatif dan mampu melaksanakan pembangunan ekonomi yang mendorong rakyat banyak mengentaskan dirinya dari lembah kemiskinan. Ada juga yang maju sekali dan mampu mengekspor hasil produksinya ke manca negara seraya mengangkat keluarga miskin menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera.
    Program yang dilaksanakan oleh masyarakat sendiri dikembangkan umumnya melalui pembentukan pos-pos pemberdayaan keluarga di kota dan desa. Di Jakarta dinamakan forum komunikasi pemberdayaan keluarga (Rukodaya). Di pedesaan dinamakan pos pemberdayaan keluarga (Posdaya). Hampir 90 perguruan tinggi negeri dan swasta dengan puluhan ribu mahasiswa semester 7 dan 8 ikut aktif menjadi penggerak pembentukan Posdaya dan Rukodaya di berbagai desa dan kelurahan. Para anggota IPeKB, yaitu Ikatan Penyuluh Keluarga Berencana di masa lalu, ikut aktif menjadi tuan rumah di pedesaan dalam proses pengembangan pos pemberdayaan keluarga di pedesaan. Para pimpinan masjid akhir-akhir ini juga ikut aktif menjadikan masjid sebagai basis pemberdayaan keluarga yang efektif. Dewasa ini diperkirakan sudah terbentuk sekitar 10 ribu – 15 ribu Posdaya dan Rukodaya di seluruh Indonesia.
    Sebagian dana awal pembentukan posdaya dibantu oleh Yayasan Damandiri, yang secara operasional dikembangkan oleh masyarakat secara mandiri. Perusahaan dan industri memberi bantuan melalui CSR atau kegiatan terpadu yang ada kaitannya dengan perusahaannya. Tidak kurang dari Rp 8 triliun – Rp 9 trilliun disediakan dan disalurkan oleh Bank BPD, Bukopin dan BPR melalui sinergi dengan Yayasan Damandiri dalam bentuk kredit pundi kepada sekitar 1 juta keluarga miskin atau keluarga pra sejahtera untuk usaha ekonomi mikro yang aksesnya kepada bank disederhanakan dalam program Financial Inclusion.
    Dalam acara televisi, Gerakan Masyarakat Mandiri (Gemari) terlontar kemungkinan berbagai upaya pengentasan kemiskinan yang tujuannya sejalan itu dapat makin dipadukan agar cakupan dan dampaknya bisa menjadi lebih sinergi. Upaya itu bisa mendongkrak lebih banyak jumlah keluarga miskin yang dapat dientaskan dan mencapai sasaran MDGs dengan mulus. Insya Allah bisa terlaksana dan memudahkan terwujudnya program yang makin tepat sasaran dan berhasil.
  • TV Digital: Anak Haram Undang-Undang Penyiaran

    TV Digital:
    Anak Haram Undang-Undang Penyiaran
    Veven Sp Wardhana, PENGHAYAT BUDAYA MASSA
    SUMBER : KORAN TEMPO, 3 MARET 2012
    Rencana siaran televisi digital, sangat boleh jadi, bakal memberikan kenyamanan bagi mata pemirsa, karena gambar di layar kaca jadi jauh lebih cemerlang, jernih, dan tajam. Selain itu, dengan teknologi digital, satu frekuensi, yang selama ini hanya bisa diisi oleh satu stasiun televisi sistem analog, kini bisa memuat belasan program dalam saat yang sama. Dengan demikian, anggapan monopoli frekuensi itu jadi sedikit bisa ditepis karena pemain (baru) lain bisa mendapat peluang untuk makin meramaikan langit Indonesia.
    Yang menjadi persoalan adalah acuan siaran televisi digital tersebut, yakni Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar, selain peraturan menteri yang sama Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Frekuensi Radio untuk Keperluan Televisi Siaran Digital. Dua peraturan menteri (permen) ini masing-masing ditandatangani pada 22 dan 23 November 2011.
    Rujukannya, sekali lagi: peraturan menteri! Paling-paling ditambah keputusan menteri (kepmen) yang sama, Nomor 95/KEP/M.KOMINFO/2/2012 tentang Peluang Usaha Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing pada Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tidak Berbayar. Hanya itu. Mungkin tak soal benar. 
    Persoalan hukumnya, suatu peraturan–dari permen, peraturan pemerintah, kepmen, peraturan daerah, hingga surat keputusan–merupakan turunan dari peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal peraturan menteri dan keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika ini, induknya seharusnya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (selanjutnya: UU Penyiaran). Dalam UU Penyiaran yang dimaklumatkan sejak 28 Desember 2002 itu sama sekali tidak atau belum termaktub perihal siaran televisi digital itu.
    Dalam UU Penyiaran, hanya terdapat satu kata “digital”, itu pun terkesan sambil lalu lantaran kemungkinan keberadaannya masih sangat jauh di depan. Sementara itu, ada 21 frasa “penyiaran swasta” dalam undang-undang yang sama, dan atas frasa terakhir inilah yang kemudian dilahirkan turunannya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 50/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Peraturan yang dimaklumatkan pada 16 November 2005 ini terhitung terperinci, terdiri atas 73 pasal dan 120 ayat.
    Bisa dikatakan, peraturan pemerintah ini mengatur perihal lembaga penyiaran swasta yang sesungguhnya sudah beroperasi. Toh, tetap dibutuhkan pengawalan untuk merumuskan pasal dan ayatnya agar tidak menyimpang dari undang-undang yang menjadi payung hukumnya. Sementara lembaga penyiaran digital yang difantasikan masih berada jauh nun di seberang itu, belakangan hal itu seperti mendadak dihadirkan di depan gerbang dan sama sekali tanpa pengawalan. Itu sebabnya, dalam peraturan dan keputusan menteri tadi ditubuhkan atau dibangun lembaga baru yang tak disebut-sebut dalam undang-undang.
    Lembaga baru yang memiliki peran penting itu setidaknya ada dua, yakni Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS) dan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Multipleksing (LPPPM), yakni lembaga-lembaga yang secara prinsip menjadi pengelola program siaran untuk dipancarluaskan ke khalayak–yang satu melalui slot kanal frekuensi radio, satunya melalui perangkat multipleks dan transmisi. Padahal, dalam UU Penyiaran, hanya dikenal terminologi lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, dan lembaga penyiaran berlangganan–serta beberapa varian di antaranya meliputi lembaga penyiaran lokal, penyiaran berjaringan, penyiaran melalui satelit, kabel, dan terestrial.
    Selain itu, dalam permen dan kepmen tak lagi didapatkan sebuah institusi yang menjadi amanat undang-undang, yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Melalui judicial review yang diajukan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Mahkamah Konstitusi, Maret 2008, memang telah mempreteli peran KPI sebagai regulator pemberi izin frekuensi bersama pemerintah, namun peran lain sebagai pengawas dan pemberi teguran atas isi tayangan tak ikut dicopot.
    Menjadi pertanyaan: apakah dalam sistem digital ini KPI tak difungsikan untuk televisi atau pemain baru? Atau seluruh stasiun penyiaran tak berbayar tak lagi perlu mempertimbangkan dan memperhitungkan keberadaan KPI? Saya rasa, pertanyaan penting ini menjadi bahan bahasan atas UU Penyiaran yang berlangsung pada hari-hari ini.
    Namun, ada kesan, peraturan dan keputusan tersebut main kejar-kejaran dengan pembahasan untuk penyempurnaan UU Penyiaran itu. Bahkan KPI mengaku tak diajak serta dalam proses perumusan pasal dan ayat dalam permen, kepmen, dan peraturan pemerintah perihal siaran televisi digital itu.
    Tak jelas benar apa yang dikejar, termasuk penetapan 6 April 2012 sebagai pembukaan tender bagi penyelenggaraan penyiaran televisi digital, dua bulan sejak ditandatanganinya Kepmen Kominfo Nomor 95/KEP/M.KOMINFO/2/2012. Tampaknya, terlampau simplistik jika dikalkulasi bahwa Menteri Kominfo berniat membangun monumen sebelum berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu II pada 2014. Namun, saya tak hendak pula menduga-duga agar anggaran untuk membeli sejenis antena televisi digital (disebut mux) itu–per buahnya seharga Rp 20 miliar–harus segera cair pada tahun ini. Pasalnya, keharusan total bersiaran dan berpenerimaan siaran televisi digital itu dirancangkan pada awal 2018, sebuah waktu yang terhitung jauh.
    Belajar dari pengalaman UU Penyiaran yang beberapa pasal pentingnya tak bisa terimplementasikan, padahal sudah diberi peluang waktu cukup panjang, awal April 2012–ditambah tak tergemakannya sosialisasi perihal televisi digital itu ke khalayak maupun ke lembaga penyiaran yang sudah bersiaran pun–jadi kian terasa ketergesa-gesaannya. Apalagi UU Penyiaran yang seharusnya menjadi payung hukum itu masih dalam proses pembahasan. Lain soal jika kepmen dan permen perihal penyiaran televisi digital itu hendak menakdirkan dirinya sendiri sebagai anak haram. ●
  • Serangan Umum 1 Maret 2012

    Serangan Umum 1 Maret 2012
    Endang Suryadinata, ALUMNUS ERASMUS UNIVERSITEIT, ROTTERDAM
    SUMBER : KORAN TEMPO, 3 MARET 2012
    Sejarah adalah hasil dari konstruksi atas fakta di masa lalu. Kesimpulan atau hasil konstruksi penulisan sejarah itu ibarat mengumpulkan berbagai hal yang terserak kemudian dikumpulkan. Seharusnya sejarah ditulis dengan metode ilmiah tertentu berupa heuristik (pengumpulan data) dan kritik atas data-interpretasi-historiografi. Tentu saja motif di balik penulisan itu amat menentukan, untuk apa sebenarnya sejarah itu ditulis.
    Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949, misalnya, juga pernah ditulis dengan maksud melebih-lebihkan peran Soeharto sehingga mengundang polemik, khususnya dari para pelaku atau saksi Serangan Umum lainnya. Polemik juga terjadi antara sejarawan dan peminatnya. Yang tak kalah seru tentunya polemik antara para pemuja dan penghujat Soeharto.
    Pertama-tama harus diungkapkan bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dilakukan TNI dan didukung rakyat sungguh terjadi. Dengan kata lain, ada faktanya. Jadi, Serangan Umum 1 Maret 1949 bukan hasil rekayasa. Dalam peristiwa itu, ada beberapa pelaku sejarah, antara lain Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pak Harto. Adapun kronologi Serangan Umum secara singkat bisa diungkapkan sebagai berikut.
    Serangan umum terhadap Kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada 1 Maret 1949, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, itu setelah terlebih dulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Serangan dilakukan pada kurang-lebih pukul 06.00.
    Pos komando ditempatkan di Desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan, serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini, Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor barat dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpin Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pemimpin. TNI berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula, pasukan TNI mengundurkan diri.
    Jadi, Serangan Umum 1 Maret memang punya makna besar bagi keberadaan Indonesia, negeri yang baru merdeka pada 17 Agustus 1945. Lewat Serangan Umum 1 Maret, eksistensi Indonesia bisa ditunjukkan kepada masyarakat internasional. Sebagai sebuah peristiwa sejarah, Serangan Umum merupakan sebuah titik balik pada masa Revolusi Fisik. Dan dalam hal ini, kita semua tak bisa mengelak untuk mengakui peran dan kontribusi Pak Harto. Sejarawan dan dokumen militer Belanda pun mengakui kehebatan strategi militer yang dipimpin Komandan Wehrkreise III Letkol Soeharto saat itu.
    Tapi yang jadi masalah dan kemudian mengundang kontroversi adalah bahwa Pak Harto, semasa menjadi Presiden RI, tergoda untuk melebih-lebihkan peran dirinya sembari mengurangi peran saksi sejarah yang lain dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Soeharto menganggap dirinya sebagai penggagas awal serangan umum itu. Lewat film Janur Kuning(1979), Soeharto mencoba memperlihatkan peran dirinya. Film itu punya pesan utama bahwa dia tokoh sentral sekaligus penggagas awal serangan terhadap Yogyakarta tersebut, yang waktu itu diduduki Belanda. Film ini menjadi tontonan wajib bagi pelajar dan kemudian rutin disiarkan oleh TVRI setiap 1 Maret pada 1980-1997.
    Padahal banyak sumber menyebut penggagas awal dan utama Serangan Umum 1 Maret adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soeharto justru mengurangi peran Sultan dan menyangkal fakta bahwa dia pernah bertemu dengan Sri Sultan pada 14 Februari 1949, saat Sultan membeberkan gagasan serangan umum kepada Soeharto. Padahal ada saksi mata yang melihat pertemuan Sultan dengan Pak Harto. Inilah yang jadi sumber kontroversi. Jadi, seandainya Pak Harto tidak mengklaim sebagai penggagas awal Serangan Umum, tidak pernah akan ada kontroversi atau polemik.
    Dengan demikian, Pak Harto telah memanipulasi sejarah yang seharusnya ditulis dengan obyektif, jujur, dan mengutamakan kebenaran. Dengan sengaja memanipulasi, Pak Harto dan sejarawan Istana yang mendukungnya sesungguhnya telah mengabaikan adanya kearifan sejarah (wisdom of history) untuk melihat suatu peristiwa sejarah secara proporsional. Mengapa Pak Harto harus melebih-lebihkan perannya dalam Serangan Umum 1 Maret?
    Para penguasa memang selalu berusaha menguasai tafsir sejarah. Sejarah selalu digunakan oleh para penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya. Bahkan, kalau perlu, ia melakukan manipulasi atau kebohongan. Sejarah dijadikan alat propaganda untuk melayani kekuasaan dan melupakan misi sucinya sebagai sebuah ilmu obyektif yang mengungkapkan sebuah kebenaran.
    Tidak mengherankan jika kemudian istilah sejarah dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan history (cerita-nya), bukan our story (cerita kita) atau their story (cerita mereka) dan bahkan her story (cerita-nya/perempuan).
    Yang sangat disayangkan, manipulasi sejarah tidak hanya dilakukan dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Hampir semua buku sejarah yang ditulis dalam era Pak Harto berkuasa (1965-1998) ditulis tidak dengan benar. Syukurlah, setelah lengsernya Pak Harto, upaya meluruskan sejarah, khususnya dari saksi sejarah, termasuk para korban HAM di era Pak Harto, cukup marak.
    Kemudian, yang memprihatinkan, dalam level pemerintahan, masih ada upaya untuk melestarikan kebohongan. Tidak mengikuti tren untuk meluruskan sejarah seperti dilakukan sebagian korban. Coba simak, meski sudah 13 tahun Reformasi, pemerintahan saat ini tampak tidak berdaya atas kasus Munir dan banyak kasus pelanggaran HAM di era Soeharto mulai 1965 hingga 1998. Banyak peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu dibiarkan dalam misteri. Banyak pertanyaan korban atau keluarganya hingga kini tidak terjawab tuntas.
    Coba tanyakan kepada Sipon, istri Wiji Thukul, atau orang tua Bimo Petrus Anugerah. Tanyakan kepada para orang tua yang anaknya hilang yang tergabung dalam IKOHI, yang belum lama ini berdemo di depan markas AD (30 Agustus). Tanyakan kepada para eksil yang kini merindukan negeri ini.
    Sayang, pertanyaan-pertanyaan mereka sering membentur dinding keangkuhan penguasa negeri ini. Presiden SBY dan pemerintah sekarang memang bukan dalang semua pelanggaran HAM di masa lalu. Tetapi sebenarnya pemerintahan SBY bisa membuat gebrakan baru dengan menyingkap siapa dalang sesungguhnya semua peristiwa itu.
    Sekaligus, dengan pengungkapan ini, pemerintah punya komitmen untuk meluruskan sejarah yang banyak dimanipulasi semasa Orba. Dengan demikian, kita akan bisa menghentikan semua kebohongan sejarah yang ditulis penguasa atau orang-orang kuat di masa lalu. ●