Category: Uncategorized

  • Menolak Pesawat Cina

    Menolak Pesawat Cina
    Marwan Batubara, PENDIRI INDONESIAN RESOURCES STUDIES, IRESS
    SUMBER : REPUBLIKA, 5 Maret 2012
    Pada 14 Februari 2012, Merpati Nusantara Air laine (MNA), AVIC International Holding Corpo ration (AIHC), Commer cial Aircraft Corporation of China (COMAC), dan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) menandatangani memorandum of understanding (MoU) rencana pembelian 40 pesawat Comac ARJ21-700 di Singapore Airshow
    Penandatanganan MoU disaksikan dan direstui oleh Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan. Total rencana pembelian adalah 1,2 miliar dolar AS (sekitar Rp 10 triliun).
    Pesawat ARJ21-700 berkapasitas 100 penumpang yang rencananya akan digunakan melayani penerbangan domestik dengan jarak maksimum 3.700 km. Pesawat akan diterima bertahap dalam waktu empat tahun, 10 unit per tahun sejak 2014 hingga 2017. PTDI terlibat dalam MoU karena akan berperan menyiapkan sekitar 40 persen komponen lokal. Rencana ini patut dipertanyakan karena Indonesia kembali membeli pesawat dari Cina setelah membeli 15 MA-60 Desember 2010.
    Kasus MA-60
    Masyarakat harus mencermati rencana proyek ARJ21-700 ini dan belajar dari kasus pesawat MA-60. Sebelumnya, MNA memperoleh 15 pesawat MA60 seharga 232 juta dolar AS dari Kemkeu RI. Padahal, pesawat MA-60 belum memperoleh sertifikat FAA, belum mempunyai rekam jejak yang teruji, dan saat pengajuan pembelian ditolak oleh Jusuf Kalla yang saat itu sebagai wapres. MA-60 dibeli terkait imbal beli proyek listrik 10 ribu megawatt (mw) tahap I.
    Pesawat MA-60 dibeli dengan harga 11,2 juta dolar AS per unit sehingga harga 15 pesawat seharusnya 161 juta dolar AS. Namun, negara justru mengeluarkan anggaran 232 juta dolar AS. Perbedaan sekitar 72 juta dolar AS diakui sebagai biaya pengadaan simulator, alat pendukung operasional, dan pelatihan. Pengakuan pemerintah ini seharusnya diselidiki lebih lanjut karena tidak lazim dan jumlahnya pun sangat besar.
    Berdasarkan statistik sejak tahun 2000, pesawat MA-60 telah mengalami lima kali kecelakaan. Pada 7 Mei 2011, pesawat MA-60 dengan nomor penerbangan MZ-8968 milik MNA jatuh di Teluk Kaimana, Papua Barat. Sebanyak 21 penumpang dan enam orang awak pesawat tewas. Padahal, pesawat baru dioperasikan selama sebulan.
    Kasus pembelian MA-60 bukan saja telah merugikan negara, melainkan juga telah memakan korban jiwa. Pola SLA dalam pembelian MA-60 dan keterkaitan dengan proyek listrik 10 ribu mw tampaknya telah memperdayai dan merugikan Indonesia. Dengan demikian, pemerintah seharusnya melakukan langkah korektif, bukan malah membuat kontrak baru tanpa mempertimbangkan harga diri.
    Di samping faktor ekonomi, pembelian pesawat baru mestinya mempertimbangkan faktor keamanan secara optimal. Hal ini diukur, antara lain, dengan sertifikat laik terbang dan daftar negara pembeli. Hingga Agustus 2011, tak satu pun sertifikat kelayakan dan keamanan terbang yang diraih oleh ARJ21-700.
    Pemesan ARJ21-700 ini menunjukkan Indonesia kembali akan menjadi objek percobaan, setelah mendukung program percobaan pesawat MA60 yang telah memakan korban. Untuk itu, pemerintah telah mengusung berbagai alasan ekonomi, namun melupakan faktor keamanan, harga diri, dan kepentingan strategis bangsa. Dikhawatirkan, Menteri BUMN terpaksa mendukung pembelian ini karena rencananya telah dimulai sebelum yang bersangkutan menjabat.
    Produk Nasional
    Di tengah antusiasme masyarakat menyambut dan mendukung Mobil Esemka menjadi mobil nasional, mestinya pemerintah melakukan hal yang sama untuk industri pesawat. Kita sudah memproduksi ratusan CN-235 dan telah mengembangkan N-250 yang gagal dituntaskan akibat krisis 1998.
    Menurut Habibie, hanya dibutuhkan 500 juta dolar AS untuk menyelesaikan pengembangan N-250. Tidak diperoleh informasi yang akurat apakah Presiden SBY mendukung niat baik Prof Habibie tersebut. Namun, fakta yang ada adalah Lion memesan 20 ATR Prancis tahun 2009, Merpati memesan MA-60 Cina tahun 2010, Lion memesan 200 Boeing tahun 2011, dan Merpati kembali akan membeli 40 pesawat Cina, ARJ21-700, pada 2012.
    Dengan perhitungan kelayakan bisnis yang akurat dan transparan, serta didukung oleh jaminan dan komitmen pemerintah, proyek N-250 dengan berbagai tipe pengembangannya akan mampu memenuhi sebagian kebutuhan pesawat di Indonesia ke depan. Apalagi, Indonesia telah memperoleh predikat invesment grade.
    Oleh sebab itu, pembelian ARJ21700 harus dibatalkan, untuk diganti dengan CN-235 dan N-250. Pemerintah harus mengembangkan produk bangsa sendiri dibandingkan menjadi objek percobaan dan pasar negara asing. ●
  • Dream Team di Suatu Pagi di Hari Minggu

    Dream Team di Suatu Pagi di Hari Minggu
    Dahlan Iskan, MENTERI BUMN
    SUMBER : JAWA POS, 5 Maret 2012
    Minggu pagi di Kementerian BUMN. Beberapa rapat diadakan di sepanjang hari pada 26 Februari 2012 itu. Salah satu agendanya, membicarakan dibentuknya dream teamdi seluruh perusahaan perkebunan milik negara. Di hari Minggu seperti itu, di saat tidak ada tamu dan banyak telepon, pembicaraan bisa lebih terfokus.

    Seluruh calon direktur utama di 15 perusahaan perkebunan (PTPN I hingga XIV plus PT RNI) dihadirkan. Sesuai dengan komitmen pembentukan sebuah dream team (ada yang menginginkan istilah ini menjadi winning team), setiap calon direktur utama diminta mengajukan usul. Khususnya siapa saja yang mereka pilih untuk menjadi direktur mendampingi dirinya. Menteri BUMN tidak lagi menunjuk begitu saja siapa menjadi direktur apa di perusahaan mana.

    Kini menteri BUMN lebih banyak mendengarkan usul dari sang calon Dirut. Proses itu sudah dimulai oleh menteri BUMN sebelum saya, Bapak Mustofa Abubakar.

    Sewaktu saya ditunjuk menjadi direktur utama PLN dua tahun lalu, saya diberi hak untuk memilih siapa saja yang akan menjadi direktur PLN untuk mendampingi saya.

    Dengan cara seperti itu, tim direksi BUMN bisa lebih solid. Ketidakcocokan antardireksi tidak terjadi. Konflik bisa dihindari. Pertengkaran bisa dicegah. Backing-backing-an, sponsor-sponsoran, dan jegal-jegalan bisa terhindarkan. Dari sini bisa diharapkan untuk ke depan tidak akan banyak intervensi yang harus dilayani. Karena itu, energi direksi yang dulu banyak terbuang untuk bertengkar bisa difokuskan untuk meningkatkan kinerja perusahaan.

    Sambil melihat nama-nama yang diusulkan untuk menjadi direksi itu sebenarnya saya sekalian ingin melihat kemampuan para calon Dirut itu dalam menyusun tim. Saya juga ingin melihat kemampuan mereka dalam memilih orang. Adakah unsur senang atau tidak senang. Adakah unsur pertemanan. Adakah unsur objektivitas.

    Kemampuan memilih orang adalah salah satu kunci sukses tidaknya seorang pemimpin. Seorang pemimpin puncak, selain harus memenuhi syarat kapabilitas manajemen, harus dilihat kemampuannya dalam memilih orang. Sering kali terbukti bahwa tugas utama seorang pemimpin hanyalah bagaimana memilih orang yang tepat. Begitu berhasil memilih orang yang tepat sering kali tugas seorang pemimpin sudah selesai. Setidaknya sudah 80 persen selesai. Tapi, begitu seorang pemimpin salah memilih orang, sang pemimpin tidak terbantu sama sekali, bahkan justru terbebani.

    Saya ingin rapat Minggu pagi itu sekalian untuk membiasakan memilih orang secara terbuka. Meski masih terbuka-terbatas. Minimal diketahui bukan hanya oleh saya, tapi juga oleh sesama calon direktur utama. Saya juga ingin seminimal mungkin bertanya. Bahkan, saya tidak mengajukan nama calon sama sekali.

    Nama-nama calon itu sudah ada di sebuah ”gudang” calon direksi BUMN. Mereka adalah orang-orang yang selama ini sudah melewati proses seleksi calon direktur BUMN. Proses itu agak panjang. Mulai rekam jejak selama menjabat di BUMN, kesehatan, asesmen oleh lembaga asesmen independen, hingga ke fit and proper test. Nama-nama itulah yang diajukan kepada para calon direktur utama untuk dipilih dan ”diperebutkan”.

    Ke depan, bisa saja setiap minggu ada fit and proper test atau asesmen yang dilakukan lembaga independen. Tapi, sifatnya tidak lagi seperti dulu. Tidak akan ada lagi fit and proper test untuk jabatan direktur di PT X atau PT Y. Yang ada adalah fit and proper test untuk jabatan direktur. Bisa direktur apa saja dan di mana saja. Mereka yang sudah lulus fit and proper test itulah yang namanya dimasukkan ke sebuah ”gudang calon direktur”. Isinya bisa puluhan atau ratusan. Dari berbagai sumber dan berbagai kompetensi. Kelak, para calon direktur utamalah yang akan memilih mereka. Seseorang yang sudah lulus fit and proper test bisa saja hanya sebentar berada di ”gudang” itu. Bisa juga sangat lama. Bergantung apakah mereka cepat ”laku” atau tidak.

    Dengan cara itu, tidak ada lagi keguncangan yang hebat di sebuah perusahaan BUMN. Selama ini, kalau di sebuah BUMN sudah ada beberapa manajer atas yang dipanggil untuk mengikuti fit and proper test, mulailah BUMN tersebut guncang. Sang manajer sudah merasa akan menjadi direktur. Berarti akan ada direktur lama yang akan digusur. Mulailah terjadi perang urat saraf. Bahkan mulai menyusun barisan. Pengaruh-memengaruhi. Bawahan menjadi terpolarisasi: mempertahankan direktur yang lama atau mendukung calon direktur yang baru. Proses itu kadang memakan waktu hingga satu tahun. Selama itu pula BUMN tersebut berada dalam suasana intern perang dingin.

    Lebih dari itu. Ada pula fit and proper test palsu! Awal-awal saya menjadi menteri, ada beberapa orang dipanggil ke kementerian untuk menjalani fit and proper test. Saat itu mereka diberi tahu fit and proper testtersebut untuk mengisi jabatan direksi di PT Bukit Asam. Mereka percaya karena fit and proper test tersebut dilakukan di sebuah ruang di Kementerian BUMN. Padahal, pada hari pelaksanaan fit and proper test itu, saya sudah menandatangani SK pengangkatan direksi Bukit Asam yang definitif.

    Ke depan tidak ada lagi fit and proper test untuk mengisi jabatan direksi di sebuah perusahaan tertentu. Yang ada adalah fit and proper testuntuk mengisi ”gudang” calon direksi BUMN.

    Bisa dibayangkan betapa serunya rapat Minggu pagi itu. Jabatan direksi dibuka begitu saja untuk diperdebatkan. Nama-nama yang muncul dibahas mengenai tepat atau tidaknya. Integritasnya, antusiasmenya, kapabilitasnya. Ada nama yang dimunculkan, kemudian ditarik kembali oleh yang mengusulkan. Ini terjadi karena dia tidak mau dinilai sebagai orang yang salah pilih.

    Tentu, belum tentu cara tersebut paling ideal. Salah pilih bisa saja masih terjadi. Setidaknya tidak ada lagi salah pilih yang disengaja.

    Kamis lalu hasil pembicaraan pada Minggu pagi tersebut diumumkan. SK sudah ditandatangani. Serah terima sudah dilakukan. Hanya tidak akan ada pelantikan. Pelantikan direksi baru kini ditiadakan. Tujuannya, BUMN lebih berasa korporasi. Direksi baru harus segera bekerja, bekerja, bekerja. Kadang menunggu waktu kosong untuk melakukan pelantikan membuang hari kerja beberapa minggu.

    Dalam proses pembentukan dream team seperti itu, ada juga kelemahannya. Kadang seseorang yang secara individu sebenarnya hebat tidak berhasil masuk ke tim. Seseorang yang sulit bekerja dalam sebuah tim, seseorang yang individualistisnya tinggi, dan seseorang yang memiliki potensi konflik biasanya tersisih dari organisasi yang mengutamakan kerja tim.

    Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering melihat seseorang yang integritasnya luar biasa baik, kejujurannya luar biasa hebat, dan disiplinnya sangat tinggi tersisih dari sebuah tim. Kesan yang muncul lantas sangat negatif: tersisih karena jujur. Atau, orang-orang yang jujur sengaja disisihkan. Orang-orang yang pintar sengaja tidak dipakai.

    Karena itu, untuk kebaikan semua pihak, saya berharap agar orang-orang yang jujur dan berintegritas tinggi bisa melengkapi dirinya dengan leadership. Agar semua orang jujur bisa masuk tim dan semua orang yang berintegritas tinggi bisa tampil memimpin. Sayang sekali kalau ada orang yang bersih tapi terlalu menyombongkan diri dengan kebersihannya. Akhirnya tercipta suasana seolah-olah hanya dia yang bersih. Apalagi kalau dia justru selalu menuduh orang-orang di sekitarnya tidak ada yang bersih.

    Orang yang kaku biasanya sulit diterima dalam sebuah tim. Termasuk orang bersih sekalipun. Karena itu, kita sangat memerlukan orang-orang yang bersih dalam jumlah yang banyak, tapi juga bukan orang-orang yang kaku, yang sepertinya ingin masuk surga sendirian.

    Memang, kaku atau fleksibel itu sangat nisbi. Simaklah SMS yang beredar luas ini:

    Jika seorang bos tetap pada pendiriannya disebut konsisten.

    Jika anak buah tetap pada pendiriannya disebut kaku.

    Jika bos sering berubah pendapat disebut fleksibel.

    Jika anak buah sering berubah pendapat disebut plinplan.

    Jika bos bekerja lambat disebut teliti.

    Jika anak buah bekerja lambat disebut malas.

    Jika bos cepat mengambil keputusan disebut berani.

    Jika anak buah cepat mengambil keputusan disebut grusa-grusu.

    Jika bos melanggar prosedur dianggap penuh inisiatif.

    Jika anak buah melanggar prosedur dianggap tidak tahu aturan.

    Jika bos mengatakan sesuatu itu mudah dianggap optimistis.

    Jika anak buah mengatakan sesuatu itu mudah dianggap sok tahu.

    Jika bos sering meng-entertain orang itu disebut lobby.

    Jika anak buah melakukannya disebut pemborosan.

    Walhasil, santai sajalah! ●

  • Belajar dari Kasus Logo ITS

    Belajar dari Kasus Logo ITS
    Nugraha Pratama Adhi, KONSULTAN HKI,
    LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UK PETRA SURABAYA
    SUMBER : JAWA POS, 5 Maret 2012
    BERITAJawa Pos 3 Maret 2012 tentang Perusahaan Rusia Tiru Logo ITS, menurut saya, tidak terlalu mengejutkan. Dalam dunia globalisasi dengan era digital, sungguh sangat mudah untuk mendapatkan suatu logo dan memakainya. ITS sendiri alpa dengan tidak mendaftarkan logo (dibaca merek) yang dimilikinya. Padahal, logo tersebut digunakan sejak 1995. Kasus itu merupakan cerminan masyarakat Indonesia yang masih kurang peduli terhadap kekayaan intelektual yang dimiliki.

    Mari kita belajar sedikit tentang HKI (hak kekayaan intelektual). HKI didefinisikan sebagai hasil dari karya dan karsa manusia yang mempunyai nilai ekonomi. HKI dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah hak cipta dan hak terkait, yang kedua adalah hak kekayaan industri. Hak kekayaan industri terbagi atas merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu (DTLST), rahasia dagang, perlindungan varietas tanaman, dan paten.

    Yang dibahas lebih dalam di sini adalah hak merek yang nanti secara tidak langsung juga terkait dengan hak cipta. Merek didefinisikan sebagai suatu tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (pasal 1 UU No 15/2001 tentang Merek).

    Sedangkan hak cipta didefinisikan sebagai hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 UU No 19/ 2002 tentang Hak Cipta).

    Sedangkan ciptaan didefinisikan sebagai hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra (pasal 1 UU No 19/2002 tentang Hak Cipta). Selanjutnya, pasal 12 UU Hak Cipta menyebutkan ciptaan yang dilindungi dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, termasuk di dalamnya seni rupa berbentuk gambar.

    Merek ataupun hak cipta mempunyai masa perlindungan. Masa perlindungan untuk merek adalah sepuluh tahun, setelah itu dapat diperpanjang (pasal 28 UU Merek). Sedangkan hak cipta memiliki masa perlindungan seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun (pasal 29 UU Hak Cipta) apabila dimiliki perorangan. Tetapi, bila dimiliki suatu lembaga, masa perlindungannya 50 tahun (pasal 30 ayat 3 UU Hak Cipta).

    Apa kaitan antara merek dan hak cipta? Dalam definisi yang disebutkan itu, merek adalah suatu gambar, tulisan, atau kombinasi dari itu; sedangkan gambar termasuk ciptaan yang dilindungi dalam hak cipta. Dengan demikian, tampak jelas bah­wa apabila memiliki unsur gambar, termasuk logo ITS, suatu merek dilindungi hak cipta.

    Agar lebih aman, diperlukan pendaftaran untuk merek sekaligus hak cipta. Hak cipta khusus gambar saja, tidak perlu tulisan. Sedangkan untuk merek, diperlukan gambar dan tulisannya. Alasan kedua yang penting, undang-undang suatu negara hanya berlaku bagi negara itu sendiri, tetapi tidak demikian dengan hak cipta. Hak cipta bersifat universal. Artinya, apabila suatu ciptaan telah didaftarkan di suatu negara, perlindungannya berlaku di seluruh dunia.

    Bagaimana merek? Merek pun berlaku universal, tetapi dengan syarat bahwa merek tersebut harus didaftarkan di negara tujuan. Contohnya logo ITS yang ditiru di Rusia. Katakan ITS telah mendaftarkan merek di Ditjen HKI, tetapi tidak mendaftarkannya di Rusia. Dengan begitu, ITS tidak bisa mengajukan aduan tentang peniruan merek, yang bisa adalah aduan tentang peniruan gambar.

    Sebenarnya, banyak kasus seperti itu di dalam negeri. Hal tersebut terjadi karena banyak masyarakat kita yang belum mengerti pentingnya HKI. Semoga dengan kejadian itu, kita sadar tentang betapa pentingnya menghargai dan melindungi setiap hasil karya dan karsa kita, baik itu berupa karya cipta ataupun merek.

    Seperti kata pepatah “mencegah adalah lebih baik”, sebenarnya mendaftarkan setiap karya intelektual manusia adalah lebih baik daripada tersandung kasus HKI. ●

  • Pemda dan Kenaikan BBM

    Pemda dan Kenaikan BBM
    Candra Fajri Ananda, GURU BESAR DAN KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA
    SUMBER : JAWA POS, 5 Maret 2012
    PEMERINTAH akhirnya harus angkat tangan dan meminta maaf untuk membuat kebijakan yang tidak populer dengan menaikkan harga BBM. Situasi memang berat, apalagi pada saat partai pemerintah menghadapi guncangan.

    APBN 2012 mengasumsikan bahwa harga minyak mentah dunia USD 90 US per barel dan ternyata saat ini harga minyak mentah dunia hingga USD 121 per barel yang berarti sudah di atas 10 persen dari asumsi APBN. Inilah batas harga pada undang-undang untuk mengubah asumsi.

    Diperkirakan dengan adanya krisis Iran dan cuaca musim dingin yang lebih panjang di Eropa Timur dan Barat, harga minyak mentah dunia akan terus melambung dan tentu itu menjadi tantangan yang berat bagi APBN dan perekonomian nasional kita.

    Kabar yang hangat dibicarakan saat ini, kenaikan harga BBM diperkirakan mencapai Rp 2.000 per liter. Harga ini diperkirakan cukup ideal guna mengurangi beban subsidi APBN yang semakin berat. Apalagi sektor perdagangan dan industri yang selama ini menopang perekonomian Indonesia perlu mendapatkan daya dukung infrastruktur untuk menghadapi persaingan di Asia yang semakin ketat. Kita tidak bisa lagi berpangku tangan untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur dari negara-negara tetangga.

    Adanya kenaikan harga tersebut juga berarti pemerintah harus merevisi asumsi makro pada APBN. Misalnya, tingkat inflasi yang sebelumnya diperkirakan 5,3 persen bisa menjadi 7-7,5 persen meski bisa diredam. Pertumbuhan ekonomi yang semula ditargetkan 6,7 persen diturunkan ke 6,5 persen. Perlambatan ekonomi ini dipengaruhi menurunnya daya beli karena inflasi yang menanjak. Selain itu, biaya pada sektor produksi meningkat.

    Penyusunan APBNP memang mulai dilakukan. Fokuskan terutama pada kelompok masyarakat yang paling rentan dan berdaya tahan rendah, seperti nelayan, petani penggarap, serta pedagang kecil (UMKM). Pada masyarakat miskin, kebutuhan bahan makanan bisa mencapai 90 persen di antara total pengeluarannya. Kompensasi memang harus diberikan kepada mereka.

    Nama & Alamat si Miskin

    Kebijakan kompensasi untuk masyarakat harus dirancang dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, ada dua kebijakan yang sangat reliable untuk diterapkan pemerintah. Pertama, penguatan sektor produksi guna menopang pelemahan daya beli masyarakat. Kedua, seperti sudah disiapkan pemerintah, delapan bulan akan memberikan semacam BLT, yang berarti kebijakan BBM akan dimulai 1 April 2012.

    Penguatan sektor produksi dapat dilakukan pemerintah dengan membuat kebijakan yang dapat menurunkan biaya-biaya di sektor produksi. Perbaikan infrastruktur, misalnya, akan mendongkrak sektor produksi lebih efisien dalam menghasilkan produk/output. Selain itu, penyediaan dana murah di perbankan akan lebih memudahkan sektor produksi, terutama usaha kecil menengah (UKM) untuk lebih bergairah dalam menjalankan bisnis.

    Kemudian, dalam pembagian BLT, pemerintah sebaiknya belajar dari kesalahan pembagian BLT sebelumnya. Saat ini, kendala yang paling umum dihadapi pemerintah dalam menetapkan sasaran BLT adalah ketidakakuratan data atas siapa si miskin (beda dengan data PNS yang sangat akurat).

    Jatim sudah berpengalaman saat krisis 2008 melalui program yang dikenal dengan PAM DKB (Program Aksi Menanggulangi Dampak Kenaikan BBM). Paket program ini berorientasi kepada perlindungan (proteksi) keluarga miskin, termasuk di dalamnya hampir miskin (near poor). Beberapa paket program tersebut, misalnya, bantuan keuangan langsung, mendorong penciptaan lapangan kerja (program padat karya), menggairahkan pasar tradisional (moving market), serta mengembangkan infrastruktur pedesaan.

    Salah satu syarat sukses program ini adalah kejelasan dan keakuratan data. Maka, Pemprov Jatim saat itu menerbitkan data kemiskinan berdasar nama dan alamat yang jelas (by name and by adress). Melalui data yang akurat, pemerintah mampu menghasilkan program yang tepat untuk keluarga miskin yang mau dibantu.

    Pengalaman itu menyiratkan betapa pentingnya data pada program kompensasi tersebut serta memperkuat pendapat bahwa program kemiskinan itu tidak bisa digeneralisasi. Selalu ada kekhasan pada setiap daerah yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun program.

    Di daerah, inflasi sebenarnya dapat dikendalikan dengan lebih mengefektifkan lembaga seperti TPID (tim pengendali inflasi daerah) yang dikomandani Bank Indonesia bekerja sama dengan pemerintah daerah.

    Ternyata, langkah ini mampu meredam inflasi dan mendorong terciptanya lapangan kerja. Terbukti, pada 2009, pertumbuhan ekonomi kita positif dan termasuk negara yang mampu mengatasi krisis. Jawa Timur tumbuh 4,8 persen dengan inflasi 3,11 persen. Nasional tumbuh 4,3 persen dan inflasi pada kisaran 3 persen. Inflasi ini termasuk yang terendah sepanjang sejarah Indonesia.

    Dalam jangka panjang, dengan data-data yang lebih akurat, pemerintah lebih mudah untuk membuat kebijakan yang lebih reliable. Melalui data yang akurat, kebijakan publik bukan lagi area tarik-menarik politik saja, tetapi akan lebih akuntabel dan transparan. Apabila hal ini dapat dicapai, kebijakan BBM itu akan lebih efektif. Ide tersebut bisa jadi sudah sering diomongkan dan realisasinya sulit. Tetapi, siapa bilang mengatur negara ini mudah?  

  • Narasi Politik BBM

    Narasi Politik BBM
    Makmur Keliat, PENGAJAR FISIP UNIVERSITAS INDONESIA
    SUMBER : KOMPAS, 5 Maret 2012
    Walau besarannya belum pasti, pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan harga BBM setelah harga minyak mentah di pasar internasional menembus level 105 dollar AS per barrel. Haruskah menaikkan harga BBM itu? Narasi politik apakah yang disampaikan oleh keputusan untuk menaikkan harga BBM itu?
    Tulisan ini berangkat dari dua asumsi berikut. Pertama, kisaran angka yang dipaparkan pemerintah (versi Kementerian ESDM) tentang jumlah produksi minyak (325.000 barrel per hari) dan konsumsi minyak (390.000 barrel per hari) Indonesia harus diberi tanda kutip, yaitu ”memang benar adanya”.
    Kedua, tanggapan kebijakan yang diambil pemerintah terhadap kenaikan harga BBM di pasar internasional dikonstruksikan sebagai ”keniscayaan jangka pendek”. Disebut ”keniscayaan jangka pendek” karena dua alasan berikut.
    Alasan pertama, ia lebih dimaksudkan untuk mengamankan realisasi APBN 2012, khususnya besaran alokasi anggaran untuk subsidi energi yang jumlahnya diperkirakan Rp 123,59 triliun.
    Alasan kedua, bukan pertama kali harga pasar internasional yang biasanya dipandang sebagai harga paling ”efisien” telah mengakibatkan tekanan bagi perubahan terhadap penetapan harga BBM di pasar domestik. Pada 2005, misalnya, pemerintah menaikkan harga BBM sebanyak dua kali dengan rata-rata kenaikan sebesar 29 persen pada Maret dan 114 persen pada Oktober.
    Pesan yang kita tangkap, kebijakan perubahan harga BBM tidak pernah dimaksudkan untuk mengubah secara substansial gambaran struktural perekonomian nasional, tetapi terutama lebih bertujuan untuk mengamankan APBN.
    Mobilisasi Dana
    Atas dasar dua asumsi di atas, sebenarnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono saat ini memiliki dua pilihan kebijakan untuk menanggapi kenaikan harga BBM di pasar internasional. Pilihan pertama tidak menaikkan dan pilihan lain menaikkan harga BBM. Keputusan tidak menaikkan secara politik sebenarnya paling aman dan nyaman bagi pemerintahan koalisi SBY. Tidak akan ada risiko gejolak politik, baik di tingkat elite maupun massa.
    Argumennya, keputusan tidak menaikkan harga BBM sesuai dengan asas hukum Pasal 7 UU APBN 2012 yang tidak memberikan opsi untuk menaikkan harga. Ini berarti tidak akan ada ”biaya politik” yang perlu dikeluarkan untuk ”mengebiri” pasal tersebut karena tidak ada kebutuhan untuk mengadakan pertemuan dengan berbagai kekuatan politik yang ada di parlemen untuk mengubahnya.
    Alasan lain, kelompok yang meminta kenaikan harga, khususnya para akademisi yang berasal dari lingkaran disiplin ilmu ekonomi dan teknokratis, secara kuantitatif bukan merupakan kekuatan politik besar dalam alam demokrasi saat ini. Terlebih lagi mereka bukanlah kelompok ”penderita utama” dari tingkat harga BBM yang berlaku saat ini.
    Karena itu, hampir bisa dipastikan, tidak menaikkan harga BBM tidak akan menuai protes ”parlemen jalanan”. Terlebih lagi bukankah tidak pernah ada dalam sejarah republik ini, protes jalanan karena harga BBM tak dinaikkan betapapun kritisnya para pengamat ekonomi mengecam besaran subsidi yang ada.
    Walau paling nyaman dan aman secara politik, pilihan kebijakan untuk tidak menaikkan harga BBM mensyaratkan satu hal. Persyaratan itu adalah adanya kapasitas yang efektif untuk memobilisasi sumber pendanaan baru guna menutup disparitas harga yang semakin membesar antara harga BBM di tingkat internasional dan harga BBM di tingkat domestik itu.
    APBN 2012 dibuat dengan hitungan harga BBM sekitar 90 dollar AS per barrel. Besaran subsidi yang dicanangkan untuk subsidi BBM dalam APBN tentu saja tidak lagi memadai untuk mengatasi gap itu, belum lagi memperhitungkan subsidi energi listrik yang juga sebagian besar mesinnya menyandarkan diri pada BBM. Persoalannya kemudian adalah bagaimana memobilisasi sumber pendanaan untuk menutup besaran subsidi BBM yang semakin membesar itu.
    Dalam kaitan ini ada beberapa instrumen kebijakan yang mungkin dapat dilakukan. Instrumen pertama, mengubah secara mendasar kesepakatan hukum seluruh pengelolaan minyak yang telah dilakukan dan dilaksanakan dengan pihak asing. Pilihan ini, misalnya, telah ditempuh Hugo Chavez di Venezuela dengan membuat Undang-Undang Hidrokarbon baru pada 2001. Sebagai akibat dari UU baru ini, penerimaan royalti negara dari sektor energi di Venezuela meningkat dari 1 persen menjadi 30 persen. Namun, pilihan ini hampir pasti tidak mungkin dilakukan di Indonesia, mengingat karakter koalisi pemerintahan SBY dan bahkan semua kekuatan politik yang ada tidak pernah mengusulkan langkah radikal ini dalam plakat partai.
    Instrumen kedua, memperbesar utang. Instrumen ini dapat digunakan dengan cara menerbitkan surat berharga atau obligasi dan menjualnya, baik kepada BUMN maupun pihak lain. Bagi beberapa kalangan, instrumen ini dijustifikasi atas dasar argumen rasio utang Indonesia terhadap PDB yang relatif kecil (25,4 persen) dan lebih baik dibandingkan dengan negara lain, seperti Argentina (40,7 persen), Brasil (65,7 persen), India (68,2 persen), Jepang (229,1 persen), dan AS (99,5 persen).
    Namun, pilihan ini tidak mudah dilakukan. Penyebabnya, penggunaan instrumen ini kemungkinan akan berdampak terhadap pelanggaran ketentuan hukum tentang besaran defisit anggaran dalam APBN. Seperti diketahui, UU Nomor 17 Tahun 2003 telah memaksa pemerintah melakukan ”disiplin fiskal” karena adanya ketentuan bahwa rasio defisit anggaran terhadap PDB tidak boleh melebihi angka pagu 3 persen.
    Walau tidak sepenuhnya sama, ketentuan hukum ini sebenarnya ada kemiripan dengan Konsensus Washington yang dibuat Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1989 sebagai rekomendasi kebijakan ekonomi makro terhadap negara berkembang untuk mematuhi defisit anggaran tidak melebihi 2 persen dari PDB.
    Instrumen ketiga, mobilisasi dana dengan cara memperbesar pajak. Walau rasio pajak Indonesia terhadap PDB masih termasuk terendah di antara negara berkembang (sekitar 11,5 persen), hampir mustahil peningkatan rasio dapat dilakukan dengan cepat dalam jangka pendek. Wajib pajak individual yang terdaftar diperkirakan hanya 5 juta orang dan korporasi yang terdaftar hanya sekitar 500.000.
    Karena itu, mobilisasi pendanaan melalui ekstensifikasi pajak hampir mustahil dilakukan dalam waktu cepat. Kalaupun dilaksanakan, fokusnya adalah pada pajak ekspor, seperti yang pernah dilakukan pada masa-masa awal setelah kejatuhan Soeharto, yakni ketika pada 1990 pajak ekspor minyak kelapa sawit (CPO) ditingkatkan menjadi 60 persen. Namun, pilihan ini akan berhadapan dengan kepentingan korporasi besar yang bergerak di industri pengolahan kelapa sawit.
    Instrumen keempat, meminta bantuan pinjaman dari Bank Indonesia. Pilihan instrumen ini dimungkinkan karena cadangan devisa Indonesia terus mengalami peningkatan. Angka terakhir yang dikeluarkan Bank Indonesia menunjukkan bahwa cadangan devisa Indonesia mencapai angka 112 miliar dollar AS.
    Walau besaran angka cadangan devisa ini disebutkan dapat mendanai kebutuhan impor Indonesia selama 6,4 bulan ke depan plus pembayaran utang luar negeri pemerintah, lagi-lagi pilihan untuk menggunakan instrumen ini telah ”dikunci” melalui ketentuan hukum.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang dibuat melalui letter of intent antara Indonesia dan IMF, telah meniadakan diskresi eksekutif yang sebelumnya dinikmati rezim Orde Baru untuk mengambil dana dari Bank Indonesia. Pasal 56 UU Nomor 23 itu secara jelas menyatakan bahwa Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada pemerintah.
    Narasi Propasar
    Narasi politik apa yang tengah disampaikan oleh tertutupnya semua instrumen mobilisasi dana untuk mengatasi peningkatan harga BBM di pasar internasional itu sehingga pilihan tidak menaikkan harga BBM tidak dapat dibuat? Narasinya sangat jelas. Negara sangat lemah menghadapi gejolak pasar global. APBN telah luntur watak namanya sebagai anggaran yang menghubungkan negara dengan warganya.
    APBN sebagai refleksi angka kuantitatif untuk menghubungkan cita-cita politik dari kekuatan politik domestik dengan konstituensinya juga telah berkurang maknanya. Dengan mengalihkan beban kenaikan harga BBM kepada masyarakat, wewenang penganggaran (budgeting) DPR yang diagungkan oleh semua kekuatan politik di institusi legislatif juga tidak lagi bekerja sebagai variabel politik yang independen dan otonom. Ia telah berubah menjadi variabel dependen dan ”sekutu” dari pasar global.
    Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM hanyalah sepotong cerita kecil dari narasi politik besar negara yang lemah dan propasar itu. Dalam narasi politik besar ini pula, kata subsidi telah menjadi tersudut menjadi kata ”kotor” yang harus dijauhi.
    Begitu takutnya penguasa dengan kata subsidi itu pula sehingga ia dimunculkan secara malu-malu dengan kalimat ”bantuan langsung tunai”. Pertanyaan mengusik batinnya adalah masih dapatkah suatu pemerintah disebut dengan pro-poor (berpihak kepada kelompok masyarakat miskin) ketika kata-kata subsidi harus dijauhi, disembunyikan, dan kalau bisa dihilangkan dari leksikon politik pembuatan APBN? ●
  • BBM, Neraca Pembayaran, dan Kebijakan Moneter

    BBM, Neraca Pembayaran, dan
    Kebijakan Moneter
    Muhammad Chatib Basri, PENDIRI CRECO RESEARCH INSTITUTE,
    DOSEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA
    SUMBER : KOMPAS, 5 Maret 2012
    Mungkin benar bahwa ekonomi adalah ilmu yang murung (a dismal science). Peraih Nobel Ekonomi, George Stigler, pernah menulis dalam Memoirs of an Unregulated Economist, ”Yang paling menjengkelkan dari ekonom adalah kecenderungannya untuk menjaga jarak dengan ide yang populis.” Saya tak ingin murung, tetapi saya ingin mengingatkan bahwa di tengah optimisme pada ekonomi kita, pemerintah dan Bank Indonesia harus tetap hati-hati dalam koordinasi makroekonomi.
    Saya mulai dari pertanyaan: mengapa arus modal mengalir masuk, tetapi rupiah cenderung melemah? Untuk menjawab ini, lihat kondisi neraca pembayaran Indonesia. Dalam triwulan keempat tahun 2011, neraca transaksi berjalan (ekspor minus impor barang dan jasa) kita sudah mengalami defisit (911 juta dollar AS). Indonesia memang selalu menjadi korban dari suksesnya sendiri. Setiap ekonomi tumbuh tinggi, neraca transaksi berjalan menjadi defisit.
    Yang mengkhawatirkan dari defisit dalam transaksi berjalan kita, selain didorong jasa-jasa, juga diakibatkan impor minyak. Tengok saja, pada 2009, defisit neraca perdagangan (ekspor minus impor) minyak adalah 4 miliar dollar AS, meningkat menjadi 8,6 miliar dollar AS (2010) dan 16,3 miliar dollar AS (2011). Padahal, kita tahu, pertumbuhan mobil dan motor—yang mengonsumsi bahan bakar minyak (BBM)—jauh di bawah 100 persen, kenaikan harga minyak dunia juga tak setinggi itu. Kok, defisitnya begitu tinggi? Jawabannya: karena produksi yang kurang dan konsumsi yang berlebih. Siapa yang mengonsumsi BBM bersubsidi? Disparitas harga BBM—akibat subsidi—mendorong penyelundupan. Akibatnya, impor terus naik, defisit transaksi berjalan meningkat, dan rupiah cenderung melemah.
    Pada saat bersamaan, ekspansi moneter Bank Indonesia (BI) juga mendorong defisit transaksi berjalan. Tentu ekspansi kredit baik untuk mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, investasi yang naik akan mendorong impor barang modal dan bahan baku. Tengok saja: 92 persen dari impor kita adalah barang modal dan bahan baku. Benar bahwa ekspansi kredit di sisi lain akan melemahkan rupiah, yang pada gilirannya akan menurunkan impor. Namun, dalam jangka pendek, impor akan tetap meningkat (dikenal dengan istilah fenomena kurva-J). Di sisi lain, perlambatan ekonomi global menurunkan ekspor kita. Akibatnya, defisit transaksi berjalan meningkat. Salahkah defisit dalam transaksi berjalan? Jawabnya tidak apabila bisa dikompensasi oleh arus masuk modal asing langsung atau penanaman modal asing (PMA).
    Di sini soalnya: PMA baru mulai tumbuh di Indonesia. Saat ini neraca modal kita masih didominasi oleh modal portofolio—yang setiap waktu bisa pergi—terutama dalam kondisi ekonomi global yang tak pasti. Selain itu, ekspansi moneter juga akan membuat tingkat bunga menjadi lebih rendah, yang pada gilirannya akan mendorong arus modal keluar. Akibatnya, sektor riil tak berjalan dan kita tak pernah mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Kenaikan peringkat yang kita banggakan menjadi tak berarti.
    Kita tahu: lapangan kerja harus diciptakan dan kemiskinan harus diturunkan. Oleh karena itu, kita butuh pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sayangnya, untuk tujuan itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita tersandera oleh subsidi BBM. Benar bahwa defisit APBN yang meningkat juga akan menekan neraca transaksi berjalan. Namun, tak apa-apa asalkan itu digunakan untuk infrastruktur yang dalam jangka menengah akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas ekonomi kita. Akan tetapi, apabila itu digunakan untuk subsidi BBM, pertumbuhan ekonomi dan program penanggulangan kemiskinan dikorbankan. Karena itu, kebijakan menurunkan subsidi BBM dan mengalokasikan dananya untuk infrastruktur dan program penanggulangan kemiskinan adalah langkah yang tepat. Yang lebih penting lagi, kebijakan ini membuat struktur subsidi menjadi lebih adil. Subsidilah mereka yang berhak, bukan kelas menengah atas atau penyelundup. 
    Besaran kenaikan tentu harus memperhitungkan dampak inflasi. Yang juga penting, jangan ditunda terlalu lama. Semakin lama ditunda, semakin tinggi ekspektasi inflasi dan penimbunan. Di sini kerja sama pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) amat penting. Sudah saatnya DPR menunjukkan bahwa mereka juga peduli pada ekonomi negeri ini.
    Dalam pembahasan di DPR, pemerintah muncul dengan dua opsi, yaitu menaikkan harga BBM Rp 1.500 per liter atau menetapkan subsidi sebesar Rp 2.000 per liter untuk premium. Saya melihat, opsi kedua lebih baik dibandingkan dengan opsi pertama. Dengan opsi ini, harga BBM tak perlu dinaikkan lagi. Selain itu, jika harga minyak internasional turun, harga BBM domestik juga bisa turun. Keuntungan lain: defisit APBN juga bisa dikendalikan.
    Dari sisi moneter, BI terpaksa menyesuaikan kebijakan moneter. Ekspansi kredit jelas perlu, tetapi kecepatannya harus disesuaikan dengan struktur dan produktivitas industri kita. Apabila kredit terlalu cepat, defisit transaksi berjalan meningkat. Oleh karena itu, produktivitas industri harus dinaikkan. Kalau tidak, BI terpaksa melambatkan ekspansi kredit. Di sini koordinasi dari APBN, neraca moneter, dan neraca pembayaran menjadi penting apabila kita tak mau stabilitas makro terganggu. Ingat situasi ekonomi bisa berubah dengan cepat. Di tengah optimisme saat ini, peringatan ini mungkin menjengkelkan dan membuat kita murung. Persis seperti ilmu ekonomi. ●
  • Pembusukan Reformasi

    Pembusukan Reformasi
    Danang Probotanoyo, AKTIVIS ’98,
    PEMERHATI SOSIAL DI PUSAT STUDI REFORMASI INDONESIA, ALUMNUS UGM
    SUMBER : KOMPAS, 5 Maret 2012
    Paradoks adalah kata yang pas setakat ini menggambarkan keadaan Indonesia terkait label ”Reformasi”. Kasus-kasus Century, Gayus, wisma atlet, ruang Badan Anggaran DPR, dan konflik horizontal merupakan potret karut-marut negeri ini dan yang paling penting, tak sesuai dengan label ”Reformasi”. Cita-cita reformasi 14 tahun silam secara garis besar ialah terwujudnya bangsa dan negara demokratis, yang dengan itu rakyat adil sejahtera. Tentu saja ini antitesis dari demokrasi palsu Orde Baru yang kuyup KKN: korupsi, kolusi, dan nepotisme.
    Reformasi saat ini berusia 14 tahun. Baru sedikit perbaikan. Manifestasi demokrasi, seperti pemilihan langsung presiden, anggota badan legislatif, dan kepala daerah serta pers bebas dan kebebasan berbicara, telah menemukan aktualisasinya. Namun, kualitas berpolitik sekarang di negeri ini patut dipertanyakan.
    Cita-cita mendasar reformasi mewujudkan masyarakat madani yang sejahtera, adil, dan steril dari dosa asal Orde Baru, yakni KKN itu, mulai terpinggirkan oleh hiruk-pikuk euforia politik. Politik uang, suap-menyuap, korupsi, makelar kasus, mafia hukum, dan mafia anggaran masih merajai denyut nadi organ-organ demokrasi, birokrasi, bahkan keseharian masyarakat sendiri.
    Pemotongan Generasi
    Ini terjadi karena perubahan rezim dari Orde Baru ke Reformasi pada hakikatnya ganti label belaka. Orang-orang lama dari pusat lingkaran kekuasaan Orde Baru—setidaknya menjadi bagian instrumen sosial-politik rezim otoriter Soeharto—masih eksis dan solid. Malah, cenderung mendominasi partai politik, lembaga negara, dan jajaran birokrasi. Hanya sebagian kecil dari orang lama itu yang mampu menunjukkan perubahan sikap mental dan adaptif dengan tuntutan reformasi. Secara umum, orang lama masih mengemban kultur Orde Baru yang sarat KKN.
    Ini saatnya mengisi wacana ”pemotongan generasi” yang dulu diembuskan kala melahirkan Reformasi. Pemotongan generasi di sini berarti semua orang penting rezim represif Orde Baru di semua lembaga negara dan jajaran birokrasi yang nyata-nyata mengidap KKN harus diamputasi dan dibuang ke dalam keranjang sampah sejarah.
    Sebaliknya, yang terbukti masih cukup kadar integritasnya dan bisa diharap bersama mengeliminasi stigma buruk Orde Baru itu dipersilakan duduk manis dalam gerbong Reformasi.
    Kesalahan kedua dan cukup serius dari bangsa ini adalah sifat kepelupaan dan ketiadaan kemampuan mengidentifikasi soal. Jelasnya, sebagian orang yang tak mampu mencari sebab kekisruhan sosial-politik saat ini justru terbius romantika ”indahnya” kehidupan sosial-politik dan ekonomi semasa Orde Baru. Padahal, sejarah membuktikan bahwa ”segala keindahan” semasa Orde Baru artifisial belaka.
    Anasir rezim Orde Baru yang beralih rupa menjadi reformis dadakan dan musiman malah banyak dijadikan pemandu di berbagai infrastruktur politik negeri ini, termasuk di dalam partai politik! Banyak orang kurang paham bahwa karut-marut yang kita hadapi sekarang disebabkan oleh masih terpeliharanya orang-orang bermental Orde Baru dan memimpin bangsa ini pula di berbagai level.
    Kesalahan ketiga patut dialamatkan kepada para pengusung gerakan reformasi itu sendiri. Sebagian aktivis penggerak Reformasi 1998 hanya berpuas diri dalam keberhasilannya menumbangkan individu Soeharto.
    Alih-alih mengawal perjalanan Reformasi agar tetap pada jalur yang betul, sebagian dari mereka malah meleburkan diri bersama anasir lama demi tujuan pragmatis jangka pendek: kursi kekuasaan. Mereka inilah tipe aktor gerakan sosial yang disebut materialis oportunis. Perjuangannya diwarnai motif mencapai materi tertentu, prestise sosial, dan kuasa politik (Wahyudi, 2005).
    Akibat tiga kesalahan fatal di atas, tampak bahwa kehidupan sosial masyarakat tak berubah signifikan. Hanya kaum elite pada lingkup kekuasaan dan birokrasi yang menikmati berkah Reformasi.
    Kita sekarang tertatih-tatih menumpas penyakit kronis KKN. Pemain lama KKN adalah penganut pencapaian ”biologi molekuler” fanatik: kloning diri secara masif di hampir semua infrastruktur politik. Generasi koruptor baru muncul saban hari!
    Bahan Jualan
    Cita-cita reformasi mewujudkan kehidupan rakyat yang lebih sejahtera dan berkeadilan tampak kian menjauh. Kehidupan buruh, pekerja migran, petani, nelayan, dan pekerja informal yang menduduki piramida struktur sosial paling bawah (jumlah mayoritas), misalnya, tak membaik pada era Reformasi. Justru keterbatasan daya hidup mereka dijadikan bahan jualan untuk menopang legitimasi aktor politik saat pemilu di tingkat pusat ataupun daerah.
    Wajah birokrasi yang sudah dipermak habis-habisan—khususnya menyangkut kesejahteraan mereka—sejak era Abdurrahman Wahid hingga SBY jilid 2 belum mampu mengubah tabiat dan kinerjanya secara signifikan. Gaji mereka sudah dinaikkan, pegawai pajak masih korupsi miliaran rupiah! Ini yang sudah terbukti.
    Pada masa Reformasi birokrat lebih berkarakter feodalistik dibandingkan dengan era sebelumnya. Ini tecermin dari perilaku birokrat menghamburkan uang rakyat demi meningkatkan standar hidup mereka dan memompa prestise aparatur negara: mobil dinas mewah, tunjangan fantastis, dan kunjungan dinas yang tak jelas keperluannya.
    Di Kabupaten Mojokerto pada tahun ini pemda setempat tak menganggarkan beras bagi orang miskin. Mereka memilih belanja mobil dinas hingga Rp 5,6 miliar (Kompas.com, 28/12/2011). Foya-foya duit rakyat ini bisa kian menjadi-jadi manakala SBY seba- gai presiden memberi contoh tak pantas dengan membeli pesawat kepresidenan seharga Rp 912 miliar. Mereka tak peduli terhadap kemiskinan yang diidap lebih dari 35 juta penduduk negeri ini.
    Cita-cita reformasi mewujudkan masyarakat demokratis yang sejahtera dan berkeadilan telah dibelokkan para birokrat yang menenung diri mereka menjadi warga negara elite berkultur feodalistik. Semoga ini tak membuat rakyat kian frustrasi dan mencari alternatif lain di luar reformasi: revolusi yang bisa destruktif. ●
  • Sekali Berarti, Setelah Itu Mati!

    Sekali Berarti, Setelah Itu Mati!
    Gunawan Raharja, BURUH FILM
    SUMBER : KOMPAS, 5 Maret 2012
    Tiba-tiba saja semua aspek di negara ini jadi tidak beraturan. Seperti ada keseragaman dan keserentakan dalam ruang dan waktu, semua dimensi kehidupan berantakan: dari urusan sepak bola sampai masalah hukum dan korupsi.
    Banyak media massa jadi rebutan untuk beropini. Jika saat Orde Baru media massa jadi corong penguasa, kini corong pemilik modal yang sekaligus calon pemilik kekuasaan. Informasi pun jadi perlu dipilah: dari mana, oleh siapa, dan ditujukan buat siapa. Informasi bisa dipelintir sedemikian rupa untuk kepentingan sesaat. Obyektivitas informasi nomor ke sekian. Kepentingan partai atau pemodal jadi panglima.
    Meskipun banyak yang berupaya membungkus, buat rakyat deretan kasus itu sudah transparan dan telanjang. Masyarakat menyikapi simpang siur itu dengan satu kesimpulan: ada banyak hal yang tidak selesai dan amburadul dalam tata kelola republik, masyarakat miskin jadi korban, dan ketidakpedulian mereka yang di pusat kekuasaan.
    Kekuasaan juga kian memihak. Politisi dan penegak hukum menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi dan kekuasaan serta menginjak harkat dan martabat kemanusiaan. Tak ada lagi hukum kepantasan serta kesetaraan yang menghargai hak dan martabat. Adab dan etika adalah bahasan kata-kata saja. Menjadi sebuah pertanyaan yang susah dicari jawabnya jika di sebuah keluarga yang salah satu anggota keluarga jadi buron, ternyata buron itu justru dilindungi kepala keluarga dan anggota keluarga lain. Atau bagaimana menjelaskan kepada masyarakat luas jika seorang bekas pejabat publik yang jelas-jelas korupsi mendapat sanksi hukum kurang dari pencuri sandal jepit.
    Ini masa saat ketidakberaturan jadi tren. Segala sesuatu bisa digerakkan dan diubah oleh kekuasaan dan uang, yang sekaligus juga jadi alat dan tujuan. Keduanya menyebabkan pranata hukum, sosial, dan politik layaknya mainan yang bisa dijungkirbalikkan oleh pemiliknya. Seperti film yang sudah ditulis skenarionya, kebobrokan jadi pemenang, sementara kebaikan dikalahkan. Sutradara pun sudah tak mampu mengubah adegan di dalamnya karena semua detail sudah dituliskan di skenario.
    Keinginan untuk Benar
    Saat ini kebenaran sudah tak lagi berwarna hitam dan putih. Kebenaran bisa dimaknai berbeda oleh banyak pihak. Pernyataan pejabat publik atau politisi di media membuat sebuah ungkapan kebenaran jadi multitafsir. Masalah yang dianggap salah oleh salah satu pihak dapat jadi subyek kebenaran dari pihak lain. Berbagai tragedi besar di republik ini membuktikan penegakan kebenaran laiknya menegakkan benang basah. Sulit dan hampir mustahil. Semua yang tampak di depan mata publik dan punya nilai ”benar” ternyata bisa diputarbalikkan jadi ketidakbenaran. Inilah kesia-siaan seperti digambarkan Albert Camus dalam mitos Sisifus tentang pencarian makna yang sia-sia oleh manusia dalam mencari kejelasan menghadapi dunia yang tak dipahami, tak punya Tuhan, dan kekekalan. Ia memberi jalan dari kebuntuan itu dengan satu kata: pemberontakan.
    Semua bertolak dari keinginan melakukan kebenaran. Apakah itu polisi, politisi, ataupun birokrat. Mereka yang duduk di pusaran kekuasaan harus mengedepankan nurani sebagai tujuan utama dan menyatakan: kebenaran adalah hakikat menuju pengukuhan nilai-nilai kemanusiaan. Semua ketidakberesan ini berakar pada dilangkahinya nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
    Tak semua pengungkapan kebenaran mendapatkan hasil seperti diharapkan. Misalnya, Agus Condro sebagai pengungkap aib kasus cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI 2004 divonis satu tahun tiga bulan. Hal sama mungkin akan menimpa siapa pun yang berusaha mengedepankan rasa keadilan dan kebenaran sebagai ujung tombak perbaikan moral.
    Namun, semangat menyatakan sesuatu yang benar adalah perjuangan yang harus selalu ada karena kebenaran itu sendiri jawaban dari setiap nurani. Setiap sosok manusia pasti akan meyakini bahwa menyatakan kejujuran adalah bagian dari hakikat kemanusiaan itu sendiri. Manusia tak akan menjelma jadi individu tragik, istilah Lucien Goldman, seorang penganut neomarxis. Individu tragik adalah mereka yang sadar diri, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Tak mampu membuat keadaan lebih baik.
    Melakukan tindakan benar adalah ”ketidakpatutan” pada zaman yang serba salah ini. Berkata benar, dianggap tak umum. Sama halnya ketika kita kukuh tak mau memberi uang sogokan saat salah melanggar lalu lintas. Kita tetap tegas minta diproses di pengadilan yang sah karena kita salah. Atau pemain bola yang handsball di kotak penaltinya sendiri, lalu sportif mengangkat tangan dan menyatakan kepada wasit bahwa bola terkena tangannya.
    Nilai yang Dikenang
    Ada nilai yang hilang pada era yang semuanya berakar pada kekuasaan dan materi saat ini. Bahwa menyatakan kebenaran dengan segala risiko yang akan ditanggungnya adalah sebuah tindakan yang tak hanya akan dikenang, tetapi juga membawa sebuah pencerahan baru. Tindakan yang membawa pembaruan dan perubahan. Tumbangnya rezim Soeharto tak terlepas dari sebuah keberanian untuk menyatakan kebenaran baru, terlepas dari adanya intrik dari pihak lain.
    Ini seperti ”keras kepala”-nya bekas Kapolri (almarhum) Hoegeng Imam Santoso dengan segala cara berusaha membersihkan institusi polisi dari sarang pungli dan kolusi. Ia sesaat berhasil membersihkan institusi yang sangat dibanggakannya itu meski akhirnya kalah. Namun, tersingkirnya seorang Hoegeng adalah kesatria yang kalah perang secara jantan. Terpentalnya seorang Hoegeng adalah jawaban bahwa memang tak mudah melawan tindakan yang bertentangan dengan hati nurani. Sepahit apa pun, Hoegeng tidak akan pernah menyesali tindakannya.
    Sudah tak ada lagi semangat mengorbankan diri untuk sesuatu yang lebih besar, yaitu berpulangnya jati diri manusia untuk selalu mengedepankan kebenaran dan keadilan di atas segala-galanya. Di saat inilah kita diuji apakah kita akan selalu menjadikan kebenaran dan keadilan sebagai penghormatan atas kemanusiaan kita ataukah kebenaran sendiri hanya menjadi catatan tanpa harus dimaknai. Harus ada keberanian mengatakan tatkala napas masih dikandung badan, hidup haruslah berarti. Walaupun setelah itu mati, kata penyair Chairil Anwar. ●
  • Televisi Juga untuk Minoritas

    Televisi Juga untuk Minoritas
    Rahayu, DOSEN ILMU KOMUNIKASI UGM,
    PENELITI DI PUSAT KAJIAN MEDIA DAN BUDAYA POPULER
    SUMBER : KOMPAS, 5 Maret 2012
    Saat ini di Mahkamah Konstitusi sedang berlangsung sidang uji materi UU Penyiaran terhadap UUD 1945. Intinya mempersoalkan adanya multitafsir Pasal 18 Ayat (1) dan Pasal 34 Ayat (4) yang mengakibatkan adanya pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran swasta oleh satu badan hukum dan pemindahtanganan izin penyelenggaraan penyiaran yang tidak sepatutnya terjadi. Pada saat yang sama, di DPR juga dibahas UU Penyiaran baru.
    Membaca risalah sidang perkara yang digelar pada 15 Februari 2012 itu saya terkejut dengan pernyataan Maruarar Siahaan (saksi ahli pemerintah) yang mengungkapkan bahwa berbicara soal televisi swasta adalah berbicara soal pasar (market). Dalam garis besar pandangannya, televisi dianggap sewajarnya menyusun konten yang dicari oleh pasar karena pasarlah yang memberi kehidupan bagi televisi.
    Pandangan tersebut tak benar dan cenderung menyesatkan. Sebab, terlalu bias terhadap kepentingan pihak televisi swasta (Jakarta) serta tidak menghargai keberadaan dan kepentingan kelompok minoritas.
    Bukan Soal Pasar Semata
    Seharusnya berbicara soal penyiaran bukan hanya soal pasar, melainkan juga hak kelompok minoritas mengekspresikan pendapat dan identitasnya melalui frekuensi yang juga adalah miliknya. Perlindungan dan penghargaan terhadap minoritas merupakan syarat mutlak bagi sebuah negara demokrasi. Di Indonesia, jaminan terhadap minoritas diatur dan dijamin oleh UUD 1945
    Dalam pandangan saya, pertama, kepentingan pasar tak sepantasnya jadi dasar pembelaan untuk mengatur persoalan konsentrasi kepemilikan lembaga penyiaran. Sebab, kepentingan pasar tidak merepresentasikan kepentingan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
    Selama ini yang diperhitungkan sebagai pasar adalah mereka yang tinggal diperkotaan, punya selera sama atas program dan isi siaran, serta dianggap berdaya beli atau bernilai ekonomi untuk ”dijual” kepada pengiklan. Masyarakat pinggiran dan kelompok minoritas di luar karakteristik tersebut tidak diperhitungkan sebagai pasar dan sebagai konsekuensinya mereka cenderung diabaikan. Keberpihakan yang berlebihan terhadap pasar hanya akan mengancam keberagaman masyarakat Indonesia.
    Kedua, kelompok minoritas merupakan kekayaan bagi sebuah negara demokrasi. Karena itu, mereka perlu dilindungi dan dihargai eksistensinya.
    Di dunia penyiaran, bukan hanya lembaga penyiaran publik atau komunitas yang wajib memberikan kesempatan bagi kelompok minoritas untuk berekspresi, lembaga penyiaran swasta pun seharusnya memikirkan secara serius konten siaran yang relevan bagi mereka serta memberikan peluang bagi kelompok tersebut untuk menampilkan kreasi dan identitasnya. Ini adalah kewajiban sosial bagi televisi swasta yang mempergunakan frekuensi penyiaran dalam menjalankan usahanya mengingat frekuensi tersebut adalah milik publik yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
    Ketiga, kelompok minoritas tidak hanya berhak diberi ruang berekspresi oleh lembaga-lembaga penyiaran tersebut, tetapi juga punya hak mendapatkan jatah alokasi frekuensi dan memanfaatkannya secara independen. Jatah alokasi ini sangatlah penting untuk menghindari intervensi, penguasaan, dan penyalahgunaan terhadap kelompok minoritas sebagai akibat dari standardisasi yang diterapkan oleh suatu lembaga penyiaran tertentu. Hal ini merupakan salah satu cara untuk menjamin kebebasan berekspresi dan mengembangkan keberagaman materi siaran.
    Di negara Demokrasi
    Di sejumlah negara demokrasi, perhatian dan penghargaan terhadap pluralisme dan keberagaman merupakan prioritas dalam mengembangkan sistem media, termasuk penyiaran. Di sejumlah negara di Eropa Barat, seperti Inggris, Denmark, Skotlandia, Swedia, dan juga Irlandia, negara memberikan hak dan jaminan kepada kelompok minoritas untuk mendirikan medianya sendiri secara otonom. Bahkan, kelompok ini diberikan perlindungan untuk menggunakan bahasa ibu ke dalam siarannya (lihat dalam Cox, 2010; Hourigan, 2001; Cormax, 1998).
    Pemberian hak dan jaminan itu tidak hanya diorientasikan untuk memberi ruang bagi mereka untuk mengekspresikan identitasnya dan meningkatkan partisipasi politik, tetapi juga untuk menjaga dan melestarikan indigenous languageagar tak punah.
    Di Los Angeles, seperti KSCI (channel 18), KWHY (channel 22), KMEX (channel 34), dan KBSC (channel 52); juga di Toronto, seperti TV-Ontario (channel 19), CBLFT (channel 25), CFMT (channel 47), dan CITY (channel 79), menyiarkan program untuk kelompok etnik minoritas. Di Kanada, bahkan Canadian Association of Broadcasters secara tegas menyerukan agar industri penyiaran merepresentasikan keberagaman budaya Kanada dalam siarannya (Public Notice CRTC, 2001).
    Di Amerika, para jurnalis dan profesional media lainnya mendapatkan pelatihan secara intensif untuk meningkatkan kepekaan terhadap persoalan keberagaman materi siaran. Sebagai contoh, mereka dilatih bagaimana mempersiapkan sebuah keragaman cerita.
    The Associated Press Stylebook and Libel Manual bahkan mengeluarkan daftar kata yang harus dihindari/dirujuk untuk menyebut sekelompok etnik demi menghargai keberadaan minoritas, seperti black yang tidak sepatutnya digunakan untuk menyebut African American(lihat dalam Goldstein, 1998). Sejumlah perusahaan media di Amerika Serikat pun menaruh perhatian serius terhadap keanekaragaman staf, terutama di ruang redaksi, untuk mendapatkan pengayaan perspektif menyangkut kelompok minoritas.
    Bagaimana Indonesia? Dalam sejarah penyiaran, negara belum pernah menaruh perhatian serius terhadap hak minoritas untuk memiliki akses terhadap frekuensi secara otonom. Pada pemerintahan Orde Lama, tampilan kelompok minoritas di layar kaca adalah ornamen semata karena didominasi oleh kepentingan penguasa sehingga tidak benar-benar mengekspresikan dirinya (lihat dalam Kitley, 2000).
    Pada pemerintahan Orde Baru sama saja. Pemerintah dan pengusaha televisi swasta kurang menghargai kelompok minoritas. Kehadirannya di layar kaca hanya menjadi komoditas, sebagian besar ditampilkan sebagai pelengkap, bahan olok-olokan, dan diberitakan saat menjadi korban. Terdapat bias dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas di televisi Indonesia (Nilan, 2000; Hobart, 2000).
    Saat ini, di era reformasi, akankah perhatian terhadap pasar akan kembali mengabaikan hak kelompok minoritas untuk mendapatkan akses terhadap televisi? Indonesia telah memilih demokrasi untuk mengatur kehidupan bernegara. Namun, jangan pernah berbicara soal demokrasi jika tidak ada penghargaan terhadap minoritas. ●
  • Skenario Kenaikan BBM

    Skenario Kenaikan BBM
    A Prasetyantoko, KETUA LPPM, UNIKA ATMA JAYA, JAKARTA
    SUMBER : SINDO, 5 Maret 2012
    Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tampaknya sudah tidak bisa dielakkan lagi.Asumsi harga minyak acuan Indonesia (ICP) APBN 2012 sebesar USD90 per barel tidak lagi relevan. Karena, harga minyak mentah di pasar dunia per Februari sudah berada pada kisaran USD122. Dalam APBN Perubahan yang diajukan pemerintah akhir Februari lalu, asumsinya diubah menjadi USD105 per barel. Terkait dengan fluktuasi harga minyak di pasar dunia ini, paling tidak ada dua hal yang perlu dicermati.Pertama, sejauh mana gejolak ekonomi dan politik global akan mendorong kenaikan harga minyak di pasar dunia.

    Kedua, di pasar domestik sejauh mana pemerintah mampu menanggung beban subsidi yang sudah pasti kian membengkak. Pemerintah memang sudah menyusun skenario kenaikan harga BBM sebesar antara Rp1.000–1.500 sehingga harga BBM di pasaran akan naik menjadi Rp6.000–6.500. Jika opsi tersebut disetujui DPR, pertanyaannya, bagaimana dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan apa yang seharusnya dilakukan pemerintah guna mengurangi beban kenaikan tersebut?

    Skenario Global

    Biasanya, ketika proyeksi pertumbuhan global menurun, harga minyak di pasar global juga merosot.Namun,itu cerita lama ketika minyak hanya sebagai sumber daya energi. Kini, minyak sudah menjadi komoditas politik serta investasi sehingga fluktuasi harga menjadi sulit diprediksi dan faktor-faktor yang memengaruhinya juga semakin kompleks. Rasanya, tak ada satu metode kuantitatif dan ekonometri sehebat apa pun yang mampu memprediksi harga minyak dengan jitu. Pergerakannya begitu liar.

    Jika menilik dari proyeksi pertumbuhan global, sangat terasa bahwa kecenderungannya begitu negatif. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru saja mengeluarkan sebuah proyeksi mengenai prospek dan situasi perekonomian dunia pada 2012. Judul laporannya, World Economic Situation and Prospect 2012. Dalam laporan tersebut disebutkan, berlarut-larutnya kondisi ekonomi kawasan Uni-Eropa telah menyeret proyeksi pertumbuhan ekonomi global menuju ke arah resesi.

    Ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi pada prospek pertumbuhan global.Pertama, skenario optimistis, pertumbuhan global 2012 akan mencapai 3,9% serta mengalami peningkatan pada 2013 menjadi 4%. Kedua, baseline scenario, dianggap paling mungkin terjadi. Dalam skenario ini, pertumbuhan global 2012 hanya mencapai 2,6% dan 2013 sebesar 3,2%.Ketiga,skenario pesimistis.

    Pertumbuhan global 2012 sangat kecil,yaitu sebesar 0,5%, serta akan mengalami peningkatan pada 2013 menjadi 2,2%. Skenario optimistis mulai ditinggalkan. Sementara yang paling mungkin terjadi adalah baseline scenario atau malah skenario pesimistis. Mestinya, jika pertumbuhan global menurun, harga minyak seharusnya juga turun.Namun faktanya tidak.Persoalan politik di kawasan Timur Tengah membuat harga minyak terus akan turun.

    Lalu apa yang seharusnya dilakukan pemerintah? Membiarkan harga minyak berfluktuasi seturut harga di pasar dunia jelas sebuah kebijakan salah kaprah dan tidak bertanggung jawab. Subsidi BBM merupakan “tanggung jawab” pemerintah. Itulah bentuk intervensi yang paling konservatif, yaitu memberi banyak subsidi.Namun jelas tidak bisa dipertanggungjawabkan jika nilai subsidi BBM membengkakbegituberatmembebani masyarakat.

    Dengan demikian, pemerintah memang seharusnya mencabut sebagian subsidi BBM, tetapi dengan catatan memberikannya dalam skema yang lain dalam masyarakat. Ibaratnya, mencabut subsidi dari minyak, lalu harus mengalihkannya dalam bentuk “subsidi” di bagian lain. Apa bentuk yang paling cocok?

    Stimulus APBN

    Pada dasarnya, APBN adalah sebuah alat stimulus perekonomian. Jika perekonomian global lesu sehingga proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia juga harus direvisi pada kisaran 6,3–6,5%, pengeluaran pemerintah melalui APBN ini harus bersifat antikrisis (counter cycle).Pada APBN 2012, besarnya subsidi BBM sebesar 8,7% dari total anggaran sebesar Rp1.418,498 triliun atau setara dengan Rp123 triliun.

    Secara sederhana, struktur APBN yang seperti ini tidak produktif. Pemerintah harus berani memangkas subsidi agar anggaran bisa lebih produktif. Cara paling baik untuk meningkatkan produktivitas anggaran adalah menyalurkan penghematan subsidi BBM untuk melakukan ekspansi pembangunan infrastruktur.

    Ada beberapa alasan pokok. Pertama, proyek infrastruktur umumnya bersifat padat karya atau melibatkan banyak tenaga kerja. Secara teoretis, banyaknya pengangguran baru yang tercipta dari kenaikan harga BBM bisa tertampung dalam berbagai proyek infrastruktur. Kedua, dengan banyaknya tenaga kerja yang terlibat dalam berbagai proyek infrastruktur, pada dasarnya daya beli masyarakat di pasar domestik bisa dijaga.

    Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang sebesar 65% ditopang oleh pengeluaran rumah tangga domestik akan terjaga sehingga momentum pertumbuhan ekonomi bisa dipertahankan. Ketiga, pembangunan infrastruktur secara masif akan meningkatkan kondisi logistik kita sehingga daya saing perekonomian domestik bisa ditingkatkan. Dengan begitu, masuknya modal asing, baik secara langsung (FDI) maupun di pasar keuangan, akan bisa ditampung untuk menggerakkan perekonomian domestik.

    Stabilitas makro juga akan relatif terjaga. Menurut data Kementrian Keuangan dan BPS, terlihat bahwa peningkatan anggaran belanja infrastruktur berbanding terbalik dengan pengangguran. Artinya, semakin banyak anggaran infrastruktur, semakin kecil pengangguran. Pada 2010, belanja infrastruktur sebesar Rp 93,4 triliun, angka pengangguran sebesar 7,1%. Sementara pada 2011, belanja infrastruktur meningkat menjadi Rp123 triliun, angka pengangguran turun menjadi 6,8%.

    Memang hubungan keduanya bersifat kompleks. Tentu ada faktor-faktor lain yang juga berpengaruh. Namun, tidak bisa dimungkiri, peningkatan program infrastruktur tentu berkorelasi positif dengan penyerapan tenaga kerja sehingga angka pengangguran cenderung turun. Dengan demikian, pemerintah tak perlu ragu memotong subsidi BBM sehingga harga BBM akan naik dan inflasi terdorong ke atas.

    Namun, syaratnya pemerintah juga harus konsisten men-jalankan program intervensi, baik berupa pemberian bantuan langsung tunai maupun memperbesar belanja infrastruktur. Bantuan tunai dibutuhkan sebagai respons darurat untuk membantu kelompok masyarakat yang terpelanting ke bawah garis kemiskinan akibat kebijakan pengurangan subsidi BBM tersebut. Namun, pembangunan infrastruktur perlu dipercepat agar secara sistematis, perekonomian bisa terselamatkan dari siklus turun yang juga dipengaruhi dinamika perekonomian global.