Category: Uncategorized

  • Korupsi Birokrasi, Lagi?

    Korupsi Birokrasi, Lagi?
    Dewi Aryani, Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan;
    Kandidat Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia;
    DUTA Reformasi Birokrasi UI         
        
    SUMBER : SINDO, 6 Maret 2012
    Kasus Gayus belum berakhir di peradilan, sekarang muncul lagi kasus Dhana.Gayus dan Dhana adalah dua anak muda berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di Direktorat Jenderal Pajak yang mendadak terkenal bukan karena prestasinya, melainkan karena indikasi korupsi sistemik di tempat kerjanya.
    Sejatinya tidak semua birokrat seperti Gayus, tetapi fenomena ini seakan memperkuat persepsi bahwa Gayus tidaklah sendirian. Mungkin akan muncul Gayus dan Dhana lainnya.Kedua orang ini mencerminkan buruknya birokrasi di Indonesia. Ini bukan penyakit individu, melainkan penyakit sistemik dalam birokrasi di Indonesia.

    Gayus dan Penyakit Korupsi

    Kasus korupsi yang dilakukan Gayus dan Dhana bukanlah hal yang baru terjadi juga bukan hal yang baru dalam sejarah birokrasi di Indonesia. Jumlahnya pun mungkin relatif kecil jika dibandingkan dengan kasus-kasus serupa yang saat ini belum atau tidak terungkap. Kasus Gayus dan Dhana menjadi penting karena akhirnya kita menyadari bahwa korupsi telah menjadi penyakit sistemik dalam birokrasi di Indonesia.

    Gejala ini dapat disebut sebagai sindrom Gayusisme atau Dhanaisme yang mewakili jenis penyakit birokrasi. Penyakit ini sebenarnya bukanlah bersifat individual, melainkan timbul karena kelemahan sistematik dari organisasi birokrasi. Jika kasuskasus semacam ini tidak diselesaikan dengan utuh dan menyeluruh, bukan tidak mungkin akan terungkap Gayus dan Dhana yang baru pada masa yang akan datang.

    Mengutip pendapat pakar Ilmu Administrasi dari Amerika Serikat,Gerald Caiden, sebenarnya gejala ini dapat disebut sebagai maladministrasi yaitu “administrative action (or inaction) based on or influenced by improper consideration or conduct”. Caiden menyatakan bahwa ada kurang lebih 175 penyakit birokrasi (common bureaupathologies).

    Sayangnya, hampir semua penyakit tersebut ada dan paling tidak berpotensi ada di Indonesia. Kasus Gayus dan Dhana merupakan kegagalan pemerintah untuk membentuk sistem yang dapat mencegah terjadi penyakit-penyakit birokrasi sehingga setiap pelanggaran oleh individu dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan dapat diterima secara kolektif sebagai budaya.

    Biasanya individu- individu yang idealis tidak dapat diterima oleh sistem dan dianggap sebagai lawan dari mainstreamyang ada.Individu tersebut akan menjadi pesakitan dan tidak akan menduduki jabatan-jabatan penting dalam birokrasi karena dianggap akan mengancam posisi kelompok status quo.

    Gejala yang terjadi pada Gayus dan Dhana tidaklah mudah untuk diatasi karena penyakit ini bersifat menahun, menurun, sehingga dibutuhkan perubahan sistem yang radikal dan penyelesaian masalah yang serius. Penyakit ini menggerogoti sel-sel birokrasi yang produktif dan akan merusak mentalitas pegawai dan pejabat di semua lapisan. Pegawai yang baru saja masuk dalam sistem bahkan akan segera tertular dan terusak selnya oleh penyakit sistemik ini.

    Sangat mungkin Gayus dan Dhana adalah pegawai yang dikorbankan untuk melindungi pejabat yang lebih tinggi. Kasus ini tidak hanya terjadi di Direktorat Jenderal Perpajakan, tetapi juga di beberapa kementerian dan lembaga pemerintahan daerah. Di daerah kondisi semakin besar berpeluang terjadi terutama sejak pemilihan langsung kepaladaerah, yangmenyebabkan semakin tumbuhnya penyakit birokrasidaerah,semakinparah dan sulit disembuhkan.

    Reformasi Birokrasi Komprehensif

    Berbagai reformasi yang telah dilakukan tampaknya belum mampu mengubah budaya birokrasi di Indonesia. Harus diakui bahwa pemberian tunjangan kinerja dalam rangka reformasi birokrasi ternyata belum dapat mengubah perilaku korup para pejabat birokrasi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang menjadi mesin reformasi tampaknya harus bekerja lebih keras lagi untuk melakukan reformasi yang fundamental untuk dapat mengubah kebiasaan buruk pejabat birokrasi kita.

    Masyarakat sudah mulai kehilangan kepercayaan apakah reformasi birokrasi dapat menghilangkan perilaku korup birokrasi. Dibutuhkan komitmen politik yang besar dari Presiden dan seluruh menteri untuk melakukan perubahan fundamental. Di samping itu,karena penyakit birokrasi ini sudah sangat parah, harus dicari agenda reformasi yang bisa langsung menembak sasaran penyakitnya.

    Misalnya dengan pengawasan terhadap kekayaan dan harta pegawai negeri sipil, penerapan sistem pembuktian terbalik, promosi jabatan yang dilakukan secara terbuka, serta pengukuran kinerja birokrasi yang lebih baik. Kasus Dhana ini harus benar- benar dipergunakan sebagai momen untuk menuntaskan penyakit dalam birokrasi.

    Megawati Soekarnoputri bahkan menegaskan berkalikali dalam setiap pidatonya bahwa kader partai politik harus menjadi mesin penggerak pemberantasan korupsi sehingga partai politik dapat mencetak kader berpotensi dan sekaligus memahami makna good governance sebagai dasar menjalankan pemerintahan yang baik dan menjaga amanah rakyat,mengedepankan pelaksanaan pembuatan kebijakan yang berbasis kepada konstitusi.

    Jika pemerintah telah menjadikan reformasi birokrasi sebagai prioritas nasional pembangunan, hal ini harus tercermin juga dalam dukungan pendanaan untuk melakukan reformasi birokrasi tersebut. Jangan sampai reformasi birokrasi kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Para menteri juga harus sepenuhnya menyadari pentingnya birokrasi sebagai ujung tombak dalam pemerintahan dan pelayanan publik.

    Reformasi birokrasi tidak boleh sekadar wacana atau tunjangan kinerja dan menjadi komitmen sebagian kecil orang di kementerian dan lembaga. Hanya dengan komitmen tinggi dari seluruh menteri, kasus seperti Gayus dan Dhana ini dapat dihilangkan.

  • Presiden SBY dan Sorotan Media

    Presiden SBY dan Sorotan Media
    Meistra Budiasa, ALUMNUS MAHASISWA KAJIAN BUDAYA DAN
    MEDIA, UNIVERSITAS GADJAH MADA, YOGYAKARTA
    SUMBER : SUARA KARYA, 6 Maret 2012
    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belakangan ini seperti terjebak oleh slogan dan jargon kampanye politiknya mengenai pemberantasan korupsi. Partai yang didirikannya menghadapi badai dugaan korupsi yang dashyat sehingga menjadi polemik dalam perpolitikan internal maupun eksternal, kadernya seperti Nazaruddin, Angelina Sondakh telah dijadikan tersangka dalam kasus korupsi Wisma Atlet. Sedangkan beberapa nama lainnya seperti Ketua Umum Anas Ubaningrum diduga tersangkut pula dalam kasus ini.
    Kasus korupsi tersebut menjadi semakin seksi dibicarakan oleh media karena partai ini dalam salah satu iklan kampanye politiknya menggunakan jargon anti korupsi dengan menampilkan sosok petinggi partai tersebut. Permasalahan ini kemudian menjadi sangat ramai dibicarakan dalam media massa, bukan hanya karena Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu melainkan juga sosok SBY yang menjadi ikon berdirinya partai tersebut.
    Sejak Pemilu 2004, pemberitaan mengenai sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mewarnai beragam media di Indonesia. Koran, radio, dan televisi tidak berhenti memuji dirinya yang terlihat memiliki kecakapan dalam memimpin, apalagi beliau berasal dari kalangan militer. Media kemudian merepresentasikan SBY melalui beragam foto ataupun kegiatan yang melegitimasi bahwa beliau sudah pantas memimpin Indonesia yang kala itu masih mengalami kebimbangan dalam kehidupan transisi demokrasi.
    Momentun pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali diadakan sejak reformasi tahun 2004 membuat sosok SBY semakin populis dan berhasil memimpin negeri ini bersama wakilnya saat itu, Jusuf Kalla. Kebijakan pemerintah kemudian menjadi sorotan media, secara berkesinambungan media mencitrakan bahwa Presiden SBY telah berhasil membawa Indonesia menuju perubahan.
    Kritikan media kemudian mulai berkembang ketika Istana mewajibkan para jurnalis yang ingin meliput kegiatan kepresidenan harus mengenakan pakaian jas dan blazer. Namun, yang tidak kalah menariknya yaitu ketika tindakan Jusuf Kalla dalam beberapa kebijakan dan kesempatan lebih cepat dari dirinya, media pun saat itu mulai membahas karater presiden yang lambat laun terlihat seperti bergerak lamban.
    Di saat itulah media mulai membandingkan SBY dengan wakilnya yang bergerak lebih cepat apalagi saat itu banyak bencana alam yang terjadi seperti tsunami Aceh, gempa Jogja dan Padang.
    Sorotan media yang begitu aktif memberitakan pemerintahan SBY membuat segala tindakannya mendapat perhatian dari berbagai kalangan, bukan hanya sebagai sosok seorang presiden, melainkan juga karena sejak awal media telah mencitrakan dirinya sebagai sosok pemimpin yang hangat dan menjadi harapan masyarakat.
    Tetapi, satu per satu permasalahan di sekitar dirinya mulai menjadi komoditas media mulai dari kasus korupsi yang menimpa besannya, Aulia Pohan, kasus Antasari Azhar, Bank Century dan yang paling terbaru adalah skandal korupsi di tubuh partainya. Selama 8 tahun pemerintahan SBY berjalan baik bersama Jusuf Kalla ataupun Boediono, media sangat detail dan begitu mendalam memberitakan jalannya roda pemerintahan.
    Ada yang mendukung serta tidak sedikit yang mengkritisi secara terbuka dalam beragam ruang media. Sosok SBY pun seperti menjadi tontonan dalam media karena setiap tindakannya selalu menarik untuk menjadi bahan berita. Meski ini mungkin adalah kerja dari para konsultan media di sekitarnya, tetapi yang jelas beliau telah menjadi konsumsi media dalam ranah politik.
    Televisi, radio, film, serta produk budaya media lainnya merupakan sarana bagi seseorang merepresentasikan identitas, kedirian, gagasaan atau bahkan kelas, ras, kebangsaan dan etnisitasnya. Media kemudian membantu untuk membentuk pandangan kita terhadap sesuatu hal yang baik atau buruk, positif atau negatif serta bermoral dan tidak bermoral.
    Dengan media pula, kita dipertontonkan hal-hal di atas sehingga persepsi terhadap sosok seseorang tergantung dari bagaimana media itu merepresentasikannya. Para jurnalis mungkin hanya menyajikan sebuah fakta yang ada atau mungkin para konsultan komunikasi mempunyai akses yang luas kepada media sehingga wartawan disuguhkan sebuah konsumsi informasi yang telah dikonstruksi sebelumnya.
    Budaya media menurut Douglas Kellner (1996), menunjuk pada suatu keadaan di mana tampilan audio dan visual atau tontonan-tontonan telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi hiburan, membentuk opini politik, dan perilaku sosial, hingga memberi suplai materi untuk membentuk identitas seseorang. Kellner juga menyatakan bahwa budaya media merupakan area konstestasi di mana kelompok-kelompok sosial yang kuat dan ideologi politik saling bersaing berjuang untuk menjadi yang dominan, sedangkan masyarakat bisa ikut merasakan perjuangan identitas ini melalui imaji-imaji, wacana, mitologi, dan tontonan yang diketengahkan oleh media. Kemudian, lewat narasi, adegan, dan gambar yang ditampilkan, sosok seseorang akan terlihat akan lebih dekat dengan masyarakat atau bahkan menjadi sensasi tersendiri bagi audiens yang menontonnya.
    Pernyataan di atas sepertinya terjadi pada diri SBY, di mana melalui media beliau mencoba mencitrakan dirinya sebagai sosok yang layak memimpin negeri ini. Namun, di sisi lain, media dengan segala kepentingan ekonomi politiknya juga menyerang gaya kepemimpinannya.
    Sedangkan audiens hanya menjadi penonton yang menikmati sensasi-sensasi narasi yang ditampilkan dalam media khususnya televisi. Sementara banyak pekerjaan rumah dalam negeri ini yang masih belum terselesaikan hingga membuat permasalahan semakin menumpuk dan masyarakat juga semakin berteriak karena kebutuhan hidupnya yang makin mahal.
  • Mafia Perburuk Citra DPR

    Mafia Perburuk Citra DPR
    Marwan Mas, DOSEN ILMU HUKUM DAN DIREKTUR
    PUSAT STUDI KONSTITUSI UNIVERSITAS 45, MAKASSAR
    SUMBER : SUARA KARYA, 6 Maret 2012
    Kehadiran mafia (mafioso) yang selalu menarik perhatian publik, laksana ada dan tiada, meskipun begitu nyata. Begitu sulit membongkar jaringan mafia itu lantaran para pelakonnya bermain di “ruang gelap,” bahkan mereka merupakan bagian dari pihak yang seharusnya menjaga amanah rakyat. Mereka bersekongkol bergerak di bawah tanah, sehingga aparat penegak hukum selalu tertinggal selangkah dari gerakan mereka.
    Dalam skala yang lebih luas, mafia menggerogoti citra penyelenggara negara, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mafia peradilan, mafia korupsi, mafia pajak, mafia tanah, mafia anggaran DPR, dan berbagai bentuk lainnya seolah mendapat toleransi sehingga begitu bebas bergerak. Akibatnya, uang rakyat begitu gampang dibobol dan aparat hukum dibuat tidak berkutik, dan tidak berani berhadapan dengan mafia yang terstruktur. Ironisnya, mereka dilindungi oleh kekuatan politik dan kekuasaan.
    Kuatnya cengkraman mafia di negeri ini, membuat perkara korupsi yang diperiksa dan diadili di pengadilan hanya sekadar mengejar kepastian dan mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Orang tidak lagi mencari keadilan, tetapi kemenangan dengan segala macam cara dan difasilitasi oleh aparat penegak hukum. Kebenaran dan keadilan hanya ada dalam buku (law in books), tidak dalam realitas. Faktor ekonomi dan tekanan politik, menjadi kekuatan sangat mempengaruhi aparat penegak hukum.
    Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dijadikan sasaran empuk dikorup melibatkan oknum anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR. Ini, yang membuat citra DPR semakin terpuruk di mata publik, seperti hasil Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dipublikasikan (2/10/2011). LSI menyimpulkan (Republika, 2/10/2011) sekitar 51,3 persen dari 1.200 responden menilai citra politik di negeri ini terpuruk akibat korupsi dana APBN.
    Politik hanya alat untuk korupsi berjamaah, untuk kepentingan individu atau membiayai partainya. Survei ini juga menunjukkan, Banggar DPR memegang posisi sentral dalam dugaan penyelewengan anggaran negara lintas sektor, bahkan sasaran para mafia anggaran untuk menyelewengkan anggaran lintas partai politik.
    Dalam acara Jakarta Lawyer Club (JLC) beberapa waktu lalu, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebutkan, dana APBN yang paling banyak dikorup adalah anggaran untuk belanja barang (BB) dan belanja modal (BM). Padahal, anggaran di sektor itu sangat minim dibandingkan dengan belanja pegawai dan pembayar utang negara. Korupsi anggaran BB dan BM tentu saja akan menyengsarakan rakyat lantaran roda pembangunan di semua sektor terhambat, terutama pada pendanaan hajat hidup orang banyak.
    Dugaan adanya mafia anggaran yang ditandai permainan fee proyek dan diduga melibatkan oknum anggota DPR, broker atau calo baik eksekutif, dan pengusaha harus dibongkar sampai ke akar-akarnya. Jika tidak, uang rakyat dalam APBN dan APBD akan semakin terancam keselamatannya dari tangan-tangan jahil ini. Realita memprihatinkan ini semakin menguatkan pandangan bahwa para mafioso begitu kuat jaringannya, sehingga tidak bisa ditangani secara biasa. Harus ada tindakan keras, baik penyidikan, penuntutan, maupun pada penjatuhan pidana yang dapat menimbulkan efek jera.
    Sudah waktunya rakyat melakukan “aksi nyata” melawan para mafioso dan koruptor. Salah satu yang perlu dibangkitkan, adalah mengembalikan konstruksi hukum pada posisi idealnya, yaitu bukan sekadar mengagungkan keadilan prosedural, sebab yang juga penting adalah pemenuhan keadilan substansial. Kebenaran dan keadilan harus selalu dijadikan basis dalam memerangi para pencoleng uang rakyat. Jika setiap perkara korupsi dimainkan laksana “mesin industri” yang bernuansa ekonomi, jangan bermimpi negeri ini akan bebas dari cengkraman para mafioso.
    Agar supaya para mafioso dan koruptor merasa jera dan tidak ditiru oleh calon koruptor, penerapan pembuktian terbalik dan pemiskinan merupakan sesuatu yang niscaya. Bahkan hakim bisa melakukan langkah progresif dengan menjatuhkan “putusan pengasingan” seperti yang pernah dipraktikkan di Amerika Serikat (AS). Hakim James Allendoerfer di negara bagian Alaska pada tahun 1994 (The Asian Wallstreet Journal, 8/9/1994) menjatuhkan pidana kepada dua orang pemuda secara “ekstra-sistem” dengan menyerahkannya kepada suku Indian Thlawaa Tingit di Alaska, untuk ditangani sesuai dengan cara-cara suku itu menghukum pelaku kejahatan.
    Dua pemuda yang terbukti merampok penjual pizza dan memukulinya dengan alat pemukul base-ball sampai tuli, oleh Suku Indian “diungsikan” di sebuah pulau yang tidak berpenghuni. Mereka ditinggalkan di pulau itu dengan diberi alat-alat untuk mempertahankan hidup. Pilihan hakim Allendoerfer lantaran tidak percaya lagi pada sistem pemidanaan yang selama ini diterapkan karena tidak menimbulkan penjeraan.
    Memang putusan itu menuai protes, tetapi maksud hakim Allendoerfer menyerahkannya kepada suku Indian agar dihukum sesuai cara suku itu, justru membawa hasil positif. Pengasingan yang dijalani mampu menyadarkannya bahwa hidup harus dengan usaha dan perjuangan, bukan merampok dan semacamnya yang merugikan atau menyengsarakan orang lain.
    Putusan pengasingan ini layak diterapkan kepada koruptor kelas kakap dan mafioso yang dilakukan oleh elit politik dan kekuasaan. Ini salah satu cara memungsikan pengadilan secara progresif ketimbang hanya menerapkan bunyi UU. Meskipun tidak diatur dalam UU, tetapi konfigurasi putusan pengasingan akan mengangkat harkat pengadilan melalui hasil karya sang hakim secara maksimal (full-blown adjudication).
    Akan lebih baik lagi kalau dalam revisi UU Korupsi diatur soal putusan pengasingan dan memaksimalkan hukuman pemiskinan.
  • Bank Dunia untuk Dunia Baru

    Bank Dunia untuk Dunia Baru
    Jeffrey D. Sachs, GURU BESAR EKONOMI DAN DIREKTUR EARTH INSTITUTE PADA COLUMBIA UNIVERSITY, PENASIHAT KHUSUS SEKRETARIS JENDERAL PBB MENGENAI MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS
    SUMBER : KORAN TEMPO, 5 Maret 2012
    Dunia sekarang berada di persimpangan jalan. Pilihannya adalah bersama-sama melawan kemiskinan, menipisnya sumber daya, dan perubahan iklim, atau menghadapi perang demi perang untuk memperebutkan sumber daya, ketidakstabilan politik, dan kerusakan lingkungan.
    Bank Dunia, jika dipimpin dengan baik, bisa memainkan peran utama menghindari ancaman-ancaman ini dan risiko yang dibawakannya. Taruhannya musim panas ini sangat menentukan, ketika 187 negara anggota Bank Dunia memilih presiden yang baru, menggantikan Robert Zoellick yang masa jabatannya berakhir Juli ini.
    Bank Dunia didirikan pada 1944 untuk memajukan pembangunan ekonomi, dan sekarang boleh dikatakan hampir semua negara menjadi anggota badan dunia ini. Misi sentral Bank Dunia adalah mengentaskan masyarakat miskin global dan menjamin pembangunan global yang sehat dari sisi lingkungan dan inklusif dari sisi sosial. Tercapainya tujuan ini tidak hanya bakal meningkatkan kehidupan miliaran manusia, tapi juga mencegah konflik kekerasan yang dipicu oleh kemiskinan, kelaparan, dan persaingan merebut sumber-sumber daya yang langka.
    Pejabat-pejabat Amerika, menurut kebiasaannya, memandang Bank Dunia sebagai perpanjangan kebijakan luar negeri dan kepentingan komersial Amerika Serikat. Dengan letak Bank Dunia yang hanya dua blok dari Gedung Putih di Pennsylvania Avenue, mudah bagi Amerika Serikat untuk mendominasi lembaga ini. Sekarang banyak anggota, termasuk Brasil, Cina, India, dan beberapa negara Afrika, telah menyuarakan dukungan bagi kepemimpinan yang lebih kolegial dan peningkatan strategi yang membawa manfaat bagi semua.
    Sejak didirikannya Bank Dunia sampai hari ini, aturan yang tidak tertulis yang berlaku adalah bahwa pemerintah Amerikalah yang menunjuk setiap Presiden Bank Dunia yang baru: selama ini 11 Presiden Bank Dunia adalah orang Amerika, dan tidak satu pun di antara mereka pakar di bidang pembangunan ekonomi yang menjadi tanggung jawab inti Bank Dunia, atau menapak karier dalam memerangi kemiskinan atau memajukan kebersinambungan lingkungan. Sebaliknya, Amerika Serikat menyeleksi calon-calon Presiden Bank Dunia ini dari antara bankir-bankir Wall Street dan politikus-politikus untuk menjamin kebijakan Bank Dunia selaras dengan kepentingan komersial dan politik AS.
    Tapi kebijakan ini telah membawa akibat yang tidak diduga oleh AS dan sangat merugikan dunia. Karena tidak adanya kepakaran strategis pada puncak pimpinan, Bank Dunia tidak memiliki arah yang jelas. Banyak proyek telah diarahkan kepada kepentingan korporat AS, bukan kepada pembangunan berkesinambungan. Bank Dunia telah menyelesaikan banyak proyek pembangunan, tapi tidak banyak menyelesaikan masalah-masalah global.
    Terlalu lama sudah kepemimpinan Bank Dunia memaksakan konsep-konsep Amerika yang sering sangat tidak sesuai bagi negara-negara miskin dan rakyatnya yang miskin. Misalnya, Bank Dunia telah gagal sama sekali menangani ledakan pandemi AIDS, TBC, dan malaria sekitar 1990-an, gagal menyampaikan bantuan di tempat ia paling diperlukan untuk mengekang ledakan penyakit-penyakit ini dan menyelamatkan jutaan nyawa manusia.
    Bahkan, lebih buruk lagi, Bank Dunia menganjurkan dikenakannya fee dan “pengembalian biaya” untuk layanan kesehatan yang diberikan, sehingga menempatkan layanan kesehatan untuk menyelamatkan nyawa manusia itu di luar jangkauan rakyat miskin di negara-negara miskin–mereka yang paling membutuhkan bantuan itu. Pada 2000, dalam KTT AIDS di Durban, saya merekomendasikan dibentuknya ”Dana Global” untuk melawan penyakit-penyakit ini, justru dengan alasan karena Bank Dunia tidak melakukan tugas yang semestinya dilakukannya. Dana Global melawan AIDS, TBC, dan malaria ini berhasil dibentuk, dan sejak itu telah menyelamatkan jutaan nyawa manusia, di mana di Afrika saja malaria sudah turun setidak-tidaknya 30 persen.
    Bank Dunia juga hilang kesempatan yang krusial untuk menolong petani-petani kecil dan memajukan pembangunan pedesaan terpadu secara lebih merata di kalangan masyarakat pedesaan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Selama sekitar 20 tahun, dari 1985 sampai 2005, Bank Dunia menentang digunakannya bantuan dengan target yang sudah terbukti berhasil kepada para petani kecil agar mereka mampu meningkatkan produktivitas dan keluar dari lembah kemiskinan. Akhir-akhir ini, Bank Dunia telah meningkatkan bantuan bagi petani-petani kecil, namun masih lebih banyak lagi yang dapat dan harus dilakukannya.
    Tenaga-tenaga staf yang mengelola Bank Dunia adalah orang-orang yang sangat profesional, dan akan berbuat lebih banyak jika dibebaskan dari dominasi kepemimpinan serta pandangan sempit AS. Bank Dunia memiliki potensi sebagai katalisator kemajuan di bidang-bidang utama yang bakal memberi bentuk masa depan dunia. Prioritasnya harus mencakup produktivitas pertanian, mobilisasi teknologi informasi untuk pembangunan berkesinambungan, penerapan sistem energi rendah karbon, dan pendidikan berkualitas untuk semua dengan lebih banyak mengandalkan bentuk-bentuk baru komunikasi bagi ratusan juta siswa yang tidak terlayani.
    Kegiatan Bank Dunia sekarang menyentuh semua bidang ini, tapi ia justru gagal memimpin dengan efektif di bidang-bidang itu. Kendati kemampuan staf Bank Dunia tinggi, ia tidak berada pada posisi yang strategis atau cukup cergas untuk menjadi agen perubahan yang efektif. Membuat Bank Dunia agar memainkan perannya dengan baik memerlukan kerja keras, yang membutuhkan kepakaran di puncak pimpinan.
    Yang paling penting, Presiden Bank Dunia yang baru harus memiliki pengalaman profesional tangan pertama mengenai berbagai tantangan pembangunan yang mendesak. Dunia jangan menerima status quoyang ada sekarang ini. Seorang pemimpin Bank Dunia yang sekali lagi datang dari Wall Street atau dari kalangan politik AS bakal memberi pukulan berat bagi dunia yang membutuhkan solusi yang kreatif untuk menghadapi tantangan pembangunan yang kompleks saat ini. Bank Dunia membutuhkan seorang profesional yang teruji, yang siap menangani tantangan besar pembangunan berkesinambungan mulai dari hari pertama. ●
  • Perbaikan-perbaikan Ujian Nasional

    Perbaikan-perbaikan Ujian Nasional
    Suyanto, GURU BESAR UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA, PELAKSANA TUGAS DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN DASAR KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
    SUMBER : KORAN TEMPO, 5 Maret 2012
    Ujian nasional (UN) sudah semakin dekat. Betapa tidak, agenda penilaian pendidikan secara nasional yang cukup mendapat perhatian masyarakat itu akan diselenggarakan serentak pada 16 April 2012 untuk sekolah menengah atas, sekolah menengah atas luar biasa, sekolah menengah kejuruan, serta madrasah aliyah, dan seminggu kemudian, 23 April 2012, untuk sekolah menengah pertama serta madrasah tsanawiyah. Ibaratnya, UN sudah di ambang pintu. Karena itu, semua pihak mulai saat ini sudah harus mempersiapkan diri dengan baik, terutama siswa dan orang tua. Bagi siswa, persiapan yang paling urgen, ya, belajar itu sendiri. Belajar secara teratur merupakan kunci sukses dalam proses pendidikan di jenjang dan jenis mana pun.
    Apa makna teratur? Teratur artinya memiliki kesinambungan secara ajek. Tidak disarankan, dan amat sangat buruk, jika para siswa belajar pada hari-hari terakhir secara kumulatif tanpa distribusi waktu, dengan frekuensi yang lebih sering. Belajar dalam waktu sepuluh jam jauh lebih baik jika dilakukan dalam frekuensi lima kali dengan durasi masing-masing dua jam daripada hanya dilakukan dua kali dengan durasi masing-masing lima jam.
    Harus kita ingat, dalam proses belajar juga dikenal adanya faktor fatigue (kelelahan), baik secara fisik, kognitif, maupun psikologis. Kalau salah satu atau bahkan semua faktor kelelahan muncul, dapat dipastikan daya serap kegiatan belajar akan menurun, dan bahkan bisa mencapai nihil karena kegiatan itu telah sampai pada titik kejenuhan.
    Dengan demikian, tidak bijak kalau ada orang tua dan guru memberi tekanan yang berlebihan kepada siswa untuk belajar habis-habisan semalam suntuk pada saat UN berlangsung. Pada saat UN berlangsung, siswa seharusnya tidak terlibat lagi belajar mati-matian. Sebaliknya, para siswa harus rileks, santai, hanya cukup melakukan reviewmata pelajaran yang akan diujikan keesokan harinya dengan cara skimmingdi buku-buku yang telah mereka pelajari selama ini.
    Hal ini perlu dilakukan agar siswa tidak mengalami stres sehingga mengacaukan struktur kognitif yang mengakibatkan sulitnya melakukan rekonstruksi kembali berbagai informasi yang ada dalam pikiran mereka, ketika para siswa peserta UN harus melakukan retrievaluntuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam UN. Santai dan rileks pada hari-hari UN hanya dapat dilakukan jika para siswa memang belajar secara teratur sejak jauh-jauh hari sebelum penyelenggaraan UN. Bagi yang belajarnya tidak teratur, tidak terdistribusi dengan baik sepanjang tahun, memang begitulah risiko dan ongkosnya, harus cemas, belajar semalam suntuk, dan mengalami stres berlebihan ketika menghadapi UN.
    Jika siswa masuk dalam kelompok ini, mereka sangat rentan secara psikologis sehingga rusaklah self concept yang ada pada dirinya. Akibatnya, mereka tidak percaya diri, yang ujung-ujungnya kelompok siswa seperti ini sangat mudah terkecoh oleh ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang dengan sengaja menyebarkan rumor atau isu dan kabar burung tentang kunci jawaban UN yang bisa dimiliki melalui layanan SMS dengan tarif yang berjenjang, sesuai dengan derajat kebenaran kunci jawaban (palsu) itu.
    Perbaikan Sistem
    Ujian nasional tahun ini sudah mengalami perbaikan yang sangat signifikan. Perbaikan ini dilakukan karena pemerintah mendengar masukan dari masyarakat, dan juga karena kebutuhan sistem secara internal agar UN bisa berjalan dengan baik, sehingga bisa menilai dan mengukur apa yang seharusnya dinilai dan/atau diukur. Dengan menggunakan terminologi ilmiah, perbaikan itu dilakukan agar UN memiliki reliabilitas yang tinggi, serta memiliki validitas internal dan eksternal yang baik.
    Perbaikan itu meliputi antara lain (1) jumlah mata pelajaran yang diujikan, dari hanya tiga mata pelajaran: bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika, menjadi lebih dari tiga, bahkan lima dan/atau enam, mata pelajaran yang ada dalam kurikulum sekolah; (2) penentuan kelulusan yang hanya menggunakan nilai tunggal UN akhirnya menggabungkan nilai UN (60 persen) dan nilai ujian sekolah (40 persen) sebagai syarat kelulusan; (3) penggandaan soal, yang semula diadakan di daerah, kini dipusatkan agar keamanan soal bisa dikendalikan.
    Hanya percetakan yang memiliki prosedur dan sistem security printing yang bisa ikut dalam penggandaan soal UN tahun ini. Hal ini dilakukan, karena sumber utama kebocoran soal terletak pada percetakan yang tidak memiliki prosedur dan sistem security printing. Semua perbaikan itu dilakukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan UN. Jika kita menggunakan bahasa kebijakan, perbaikan itu dilakukan agar UN dapat dilaksanakan secara baik, adil, dan benar. Hal ini perlu ditegakkan karena UN menyangkut nasib jutaan siswa dan ribuan sekolah di seluruh Tanah Air.
    Pelaksanaan UN sungguh masif, dan dengan demikian merupakan pekerjaan raksasa. Betapa tidak, data yang ada di Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan per 26 Februari 2012 menunjukkan sebanyak 18.042 SMA/MA, dengan jumlah siswa 1.538.539 orang dari jurusan Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa, dan Agama, akan mengikuti UN tahun ini. Tidak hanya itu, untuk SMK sudah terdata 9.098 sekolah dengan jumlah siswa 1.052.973 anak. Belum lagi yang ada di jenjang SMP/MTs, sebanyak 49.418 sekolah, yang mencakup 3.732.649 siswa. Jika sekolah dan siswa kita jumlahkan tanpa memperhatikan jenjang dan jenis pendidikan, UN tahun ini akan diikuti oleh 76.558 sekolah, dengan jumlah siswa 6.324.611 anak. Sungguh merupakan kegiatan raksasa, jumlahnya mirip kegiatan pemilihan kepala daerah sebuah kabupaten/kota. Karena itu, semua kepala dinas pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus memiliki persiapan yang baik dan matang dengan berkoordinasi secara efisien serta efektif dengan institusi terkait, seperti kepolisian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perguruan tinggi, serta sekolah-sekolah di daerah masing-masing.
    Jujur dan (Ber)prestasi
    Semua stakeholder pendidikan harus memahami bahwa UN tahun ini akan dilaksanakan dengan prinsip kejujuran yang tinggi. Itulah sebabnya, tagline dan semangat melaksanakan UN tahun ini adalah jujur dan prestasi. Kejujuran merupakan nilai universal yang patut dan harus dimiliki semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan UN, antara lain siswa, guru, pengawas, orang tua, penyelenggara, dan pemerintah daerah sekalipun.
    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki data yang sangat menarik mengenai indeks kejujuran tiap sekolah, yang kalau diagregatkan mencerminkan jujur-tidaknya suatu pemerintah daerah dalam melaksanakan UN. Sangat masuk akal dan merupakan kategori imperatif jika kejujuran menjadi pilar penting dalam penyelenggaraan UN. Karena mulai tahun ini ada perbaikan signifikan dalam penyelenggaraan UN terkait dengan integrasi pendidikan menengah dengan pendidikan tinggi, nilai UN akan dan bisa digunakan sebagai tiket untuk memasuki perguruan tinggi. Jumlah mahasiswa yang direkrut di perguruan tinggi negeri tahun ini, paling tidak 60 persen dari mahasiswa baru itu, harus didasarkan pada nilai UN para siswa. Karena itu, UN tahun ini harus jujur agar dalam jangka panjang tidak merusak kualitas perguruan tinggi kita.
    Karena harus menjunjung tinggi kejujuran, pemerintah daerah juga harus ikut bertanggung jawab dan mengkampanyekan pentingnya kejujuran dalam pelaksanaan UN di daerahnya masing-masing. Sudah bukan zamannya lagi jika seorang kepala daerah memberikan instruksi dan tekanan kepada dinas pendidikan agar berbuat apa saja demi tingkat kelulusan 100 persen, yang berakibat pada ketidakjujuran penyelenggaraan di tingkat sekolah dengan menempuh berbagai cara, seperti menyediakan joki, mengubah lembar jawaban, dan membocorkan kunci jawaban.
    Begitu juga di tingkat ujian sekolah, harus menjamin nilai kejujuran. Jangan melakukan markup nilai ujian sekolah, dengan motif negatif, agar jika digabungkan bersama nilai UN memiliki tingkat kelulusan yang tinggi. Kalau hal ini terjadi, kejujuran kurang bisa ditegakkan di sekolah itu sendiri. Data di tingkat nasional memiliki kecenderungan sekolah memberi nilai terlalu longgar terhadap ujian sekolah. Buktinya, selalu ada perbedaan nilai secara signifikan antara ujian sekolah dan UN. Terlebih sekolah yang kurang bermutu selalu suka “mentraktir” nilai lebih banyak dibanding sekolah yang bermutu. Praktek seperti ini harus segera ditinggalkan mulai tahun ini. Sekolah yang baik ialah sekolah yang berani tidak meluluskan siswanya yang memang tidak lulus. Inilah makna kejujuran dalam praksis pendidikan di tingkat sekolah. Tahun ini sekolah dengan kepemimpinan kepala sekolahnya masing-masing harus melaksanakan UN dengan semangat: jujur dan berprestasi. Semoga semua sekolah bisa begitu. ●
  • Islam “Moderat”

    Islam “Moderat”
    Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    SUMBER : JIL, 5 Maret 2012
    Istilah “Islam moderat” akhir-akhir ini kerap kita jumpai dalam banyak tulisan, baik dari kalangan Muslim sendiri atau yang lain. Apa yang dimaksud dengan “Islam moderat”? 
    Esei pendek ini akan mencoba menjawabnya. Dalam bahasa Arab modern, padanan untuk kata moderat atau moderasi adalah wasat atau wasatiyya. Istilah “mutawassit” kadang-kadang juga dipakai. Islam moderat, dalam bahasa Arab modern, disebut sebagai al-Islam al-wasat. Moderasi Islam diungkapkan dengan frasa wasatiyyat al-Islam.
    Dalam penggunaan yang umum saat ini, istilah “Islam moderat” diperlawankan dengan istilah lain, yaitu Islam radikal. Islam moderat, dalam pengertian yang lazim kita kenal sekarang, adalah corak pemahaman Islam yang menolak cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh kalangan lain yang menganut model Islam radikal. Tawfik Hamid, seorang mantan anggota kelompok Islam radikal dari Mesir, al-Jamaah al-Islamiyyah, mendefinisikan Islam moderat sebagai, “a form of Islam that rejects… violent and discriminatory edicts” – Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi. (Baca artikelnya yang berjudul “Don’t Gloss Over The Violent Texts” di Wall Street Journal, 1/9/2010).Hakim menyebut secara spesifik hukum dalam agama (shariah) yang ia anggap sebagai pembenar tindakan kekerasan, seperti hukuman mati untuk orang yang murtad, misalnya.
    Definisi Hakim tentang Islam moderat ini, bagi sebagian kalangan Islam, mungkin dianggap terlalu “liberal”, sebab menganjurkan oto-kritik terhadap hukum-hukum dalam Islam yang ia anggap sudah tak lagi relevan saat ini. Sebagai mantan anggota Jamaah Islamiyyah, Mesir, yang sudah “bertobat”, Tawfik Hamid paham benar bahwa dalam Islam memang ada beberapa hukum yang bisa “disalah-gunakan” untuk membenarkan tindakan terorisme atau kekerasan secara umum. Contoh yang mudah adalah hukum tentang jihad dengan segala pernik-perniknya. Bagi Hakim, Islam moderat sebagai antitesis Islam radikal adalah model Islam yang menolak kekerasan semacam itu.
    Definisi lain diajukan oleh Dr. Moqtedar Khan yang mengelola blog Ijtihad (www.ijtihad.org). Seperti Hakim, Dr. Khan memperlawankan istilah Islam moderat terhadap Islam radikal. Perbedaan antara keduanya, menurut dia, adalah bahwa yang pertama lebih menekankan pentingnya prinsip ijtihad dalam pengertian yang lebih luas, yaitu kebebasan berpendapat (dengan tetap bersandar pada sumber utama dalam Islam, yaitu Quran dan Sunnah), sementara yang kedua lebih menekankan konsep jihad (perang suci).
    Yang menarik adalah usaha banyak kalangan Islam modern untuk mengaitkan konsep “Islam moderat” ini dengan konsep “wasat” yang ada dalam Quran. Dalam Quran, terdapat sebuah ayat yang banyak dikutip oleh intelektual Muslim modern untuk menunjukkan watak dasar Islam sebagai agama yang “tengah-tengah” atau moderat, yaitu al-Baqarah:143. Saya akan terjemahkan secara lengkap ayat itu sebagai berikut:
    Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadi saksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (syahid) juga atas kalian.”
    Kata “wasat” dalam ayat di atas, jika merujuk kepada tafsir klasik seperti al-Tabari atau al-Razi, mempunyai tiga kemungkinan pengertian, yakni: umat yang adil, tengah-tengah, atau terbaik. Ketiga pengertian itu, pada dasarnya, saling berkaitan. Yang menarik, konsep wasat dalam ayat itu dikaitkan dengan konsep lain, yaitu “syahadah”, atau konsep kesaksian. Jika kita ikuti makna harafiah ayat itu, pengertian yang kita peroleh dari sana adalah bahwa umat Islam dijadikan oleh Tuhan sebagai umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik), karena mereka mendapatkan tugas “sejarah” yang penting, yaitu menjadi saksi (syuhada’) bagi umat-umat yang lain.
    Apa yang dimaksud dengan tugas “kesaksian” dalam ayat itu? Saksi atas apakah? Tak ada keterangan yang detil mengenai hal ini dalam ayat tersebut. Tetapi, jika kita rujuk beberapa tafsir klasik, apa yang dimaksud dengan kesaksian di sini adalah tugas yang dipikul umat Islam untuk meluruskan sikap-sikap ekstrem yang ada pada dua kelompok agama pada zaman ketika Quran diturunkan kepada Nabi, yaitu golongan Yahudi dan Nasrani.
    Tafsir al-Tabari, misalnya, menyebut bahwa umat Islam dipuji oleh Tuhan sebagai umat yang tengah-tengah karena mereka tidak terjerembab dalam dua titik ekstrim. Yang pertama adalah ekstrimitas umat Kristen yang mengenal tradisi “rahbaniyyah” atau kehidupan kependetaan yang menolak secara ekstrim dimensi jasad dalam kehidupan manusia (seperti dalam praktek selibat). Yang kedua adalah ekstrimitas umat Yahudi yang, dalam keyakinan umat Islam, melakukan distorsi atas Kitab Suci mereka serta melakukan pembunuhan atas sejumlah nabi.
    Muhammad Abduh, melalui muridnya Rashid Rida, mengemukakan pendapat yang sedikit berbeda. Dalam tafsirnya yang masyhur al-Manar, Abduh mengemukakan bahwa apa yang dimaksud dengan wasat ialah sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrim. Yang pertama, materialisme yang ekstrim yang dianut oleh kalangan “al-jusmaniyyun”, yakni mereka yang hanya memperhatikan aspek wadag atau badan saja, mengabaikan dimensi rohaniah dan spiritual dalam kehidupan manusia. Yang kedua, spiritualisme yang ekstrim yang hanya memperhatikan dimensi rohaniah belaka, tanpa memberikan perlakuan yang adil terhadap dimensi jasmaniah. Kelompok yang menganut pandangan ini, oleh Abduh, disebut sebagai “al-ruhaniyyun”.
    Umat Islam, dalam tafsiran Abduh, adalah umat yang “wasat”, moderat, karena mengambil sikap tengah antara materialisme dan spiritualisme. Dengan kata lain, istilah “wasat” dalam ayat di atas, baik dalam pemahaman penafsir klasik seperti al-Tabari (w. 923) dan al-Razi (w. 1209), atau penafsir modern seperti Muhammad Abduh (w. 1905), dipahami dalam kerangka konsep keunggulan umat Islam atas umat-umat yang lain, terutama Yahudi dan Kristen. Rahasia keunggulan itu terdapat dalam sikap umat Islam yang mengambil jalan tengah antara dua titik ekstrem yang mencirikan baik kalangan Kristen atau Yahudi. Istilah “wasat”, dengan demikian, berkaitan dengan konsep superioritas Islam atas agama-agama lain.
    Sebagaimana kita lihat, pengertian kata “wasat” mempunyai pergeseran jauh saat ini. Sekarang, istilah itu bukan lagi dimaknai dalam kerangka superioritas Islam atas agama-agama lain, tetapi justru dipahami sebagai kritik internal dalam diri umat Islam sendiri. Istilah itu, sekarang, diperlawankan terhadap corak Islam lain yang ekstrem dan radikal, yakni corak keagamaan yang membenarkan penggunaan kekerasan dalam dakwah.
    Perkembangan ini menarik kita cermati karena ciri ekstrimitas yang semula melekat pada golongan lain di luar Islam seperti dimengerti dalam tafsiran klasik di atas, ternyata bisa dijumpai dalam kalangan Islam sendiri. Hal ini juga memperlihatkan bahwa sebuah konsep dalam Quran, seperti kata “wasat” itu, dipahami secara dinamis dari waktu ke waktu. Perubahan konteks sejarah dan tantangan dalam tubuh umat Islam sendiri membuat pemahaman penafsir Quran tentang sejumlah konsep dalam kitab suci itu berubah secara lentur. ●
  • Strategi Pembatasan BBM Bersubsidi

    Strategi Pembatasan BBM Bersubsidi
    Satrio Wahono, PENGAMAT MANAJEMEN DAN PENULIS BUKU
    SUMBER : SINAR HARAPAN, 5 Maret 2012
    Isu bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi selalu sensitif di Indonesia. Itu wajar, sebab menaikkan harga BBM bersubsidi memang acap berperan menaikkan tensi ekonomi dan politik. Alhasil, pemerintah tampak maju mundur merealisasikan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi. Ini terlepas dari fakta bahwa harga minyak global terkini sudah mencapai US$ 102 per barel dan kemungkinan akan terus naik.
    Memang, BBM bersubsidi merupakan beban berat bagi Indonesia, mengingat negara ini bukan lagi net exporter minyak sejak 2008 sehingga negeri ini keluar dari organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) pada tahun yang sama.
    Tak hanya itu, stok BBM dalam negeri kian menipis, terbukti dari lifting (produksi minyak) yang hanya mencapai 913.000 barel per hari. Artinya, ketidakpastian kebijakan soal pembatasan BBM bersubsidi bakal merembet pada ketidakmenentuan situasi ketahanan politik, ekonomi, dan energi dalam negeri.
    Belum lagi soal subsidi yang salah sasaran. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2002, hanya 18 persen subsidi BBM yang dinikmati kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin, dan menjadikan 82 persen subsidi BBM terindikasi salah sasaran.
    Lebih mutakhir lagi, penelitian BPH Migas (2010) menunjukkan, rakyat miskin hanya menikmati subsidi bensin Rp 11.000 per bulan, sementara kalangan mampu justru menikmati subsidi lebih dari 10 kali lipatnya, Rp 120.000 per bulan. Dengan kata lain, selama ini BBM bersubsidi memang lebih banyak dinikmati oleh kalangan masyarakat mampu.
    Empat Langkah
    Oleh karena itu, pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tak perlu lagi ditunda-tunda. Namun, sekadar melarang kendaraan pribadi membeli bahan bakar premium terlalu simplistis.
    Diperlukan strategi lebih detail untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi. Nah, setidaknya ada empat langkah strategis yang akan mampu membatasi BBM bersubsidi secara tepat sasaran, mudah dilaksanakan, dan dengan biaya gejolak sosial minimal.
    Pertama, memilah terlebih dulu kendaraan apa yang masih diperbolehkan mengonsumsi BBM bersubsidi (premium dan solar) dengan harga saat ini (Rp 4.500). Dalam hal ini, rasanya tidak ada perdebatan lagi bahwa angkutan umum masih berhak mendapatkan subsidi supaya tidak terjadi kenaikan tarif transportasi yang akan membekaskan pengaruh besar bagi masyarakat luas.
    Ini karena ongkos transportasi di daerah perkotaan mencapai 25 persen dari total pengeluaran per bulan, jauh lebih tinggi dibandingkan 10 persen ongkos transportasi perkotaan di negara-negara maju.
    Larangan transportasi umum mengonsumsi BBM bersubsidi atau menaikkan harga BBM yang sama untuk transportasi umum hanya akan menambah beban berat rakyat dan bisa menimbulkan ongkos sosial serta politik yang mahal.
    Demi kemudahan implementasi, pemberian BBM subsidi untuk angkutan umum dapat dilaksanakan dengan sistem voucherberdasarkan pemakaian per hari, yang datanya bisa diperoleh lewat koordinasi dengan Dinas Perhubungan (Dishub) setempat.
    Sebagai contoh, data dari Dishub DKI (2010) menemukan bahwa konsumsi BBM untuk bus besar setiap harinya adalah sekitar 80–100 liter per hari per bus.
    Oleh karena itu, voucher yang diberikan kepada setiap bus per harinya adalah 8–10 voucher, jika satu voucher disamakan dengan 10 liter. Kemudian, voucher ini hanya dapat digunakan di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) rujukan yang ada di jalur yang dilewati trayek angkutan umum tersebut.
    Di sisi lain, pemerintah sudah ada di jalur yang benar dengan melarang mobil berpelat merah alias mobil instansi pemerintah mengonsumsi BBM bersubsidi.
    Karena pemerintah adalah pembuat kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, logis jika mobil pemerintah juga yang memelopori penggunaan BBM nonsubsidi. Lagipula, lebih mudah bagi penjaga pom bensin untuk memeriksa warna pelat kendaraan.
    Kedua, menaikkan harga atau mencabut subsidi bertahap bagi sepeda motor dan mobil pribadi. Sepeda motor patut dikenakan pencabutan subsidi secara bertahap karena jumlahnya yang kian menggila melampaui pertumbuhan mobil. Salah satu metode bagi langkah kedua ini adalah subsidi progresif.
    Maksudnya, kendaraan pribadi tetap mendapatkan subsidi namun besarannya lebih kecil. Jadi, jika angkutan umum mendapatkan BBM subsidi serharga Rp 4.500 per liter, harga BBM subsidi untuk kendaraan pribadi nantinya adalah Rp 5.000 per liter atau Rp 6.000 per liter. Dengan perbedaan harga ini, pemerintah tentu bisa menghemat dana subsidi puluhan triliun rupiah.
    Ketiga, sembari jalan, pemerintah harus mulai menggalakkan program yang mendorong orang beralih dari penggunaan bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG).
    Ini karena selain BBG itu sejatinya lebih murah daripada harga BBM bersubsidi, efeknya bagi lingkungan dan ketahanan energi kita pun lebih positif ketimbang BBM yang tinggi karbon dan kian menyusut stoknya.
    Keempat, seturut dengan langkah kedua, pemerintah harus merumuskan program konkret untuk mengalokasikan penghematan subsidi kepada program-program yang dampaknya langsung dapat dirasakan masyarakat luas, seperti perbaikan transportasi umum, realisasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
    Misalnya, pemerintah dapat menggunakan dana penghematan subsidi tersebut untuk menyelenggarakan SJSN kesehatan gratis untuk semua masyarakat tanpa pandang bulu.
    Artinya, jika subsidi yang dihemat mampu mencapai puluhan triliun rupiah, berapa banyak masalah transportasi dan masalah sosial riil kemasyarakatan lain yang bisa dipecahkan? Caveat (catatan) untuk langkah ini adalah komitmen pemerintah untuk meminimalkan kebocoran dan memenuhi janji-janji tersebut dalam tenggat waktu yang sudah dipastikan (fixed) supaya tidak terjadi gejolak dan keresahan dalam masyarakat.
    Berbekal keempat langkah di atas, semoga program pembatasan BBM bersubsidi di tahun 2012 bisa terwujud tanpa menimbulkan banyak gejolak dan hiruk pikuk di negeri ini. ●
  • Revisi UU Penyiaran, ke Mana Arahnya?

    Revisi UU Penyiaran, ke Mana Arahnya?
    Bambang Sadono, MANTAN PENGUSUL DAN PANSUS UU 32/2002, KINI DOSEN DI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG DAN PASCASARJANA KOMUNIKASI, FISIP UNDIP
    SUMBER : SINAR HARAPAN, 5 Maret 2012
    Melalui Komisi I, yang antara lain membidangi media massa, DPR telah menyatakan berniat untuk merevisi UU Penyiaran, UU 32/2002. Untuk itu berbagai lembaga, organisasi profesi, dan sebagainya pada 1 dan 8 Maret 2012 diundang untuk memberikan sumbangan pemikiran.
    Revisi undang-undang adalah soal biasa, sampai ditemukan formula yang sesuai atau paling mendekati dengan politik hukum yang dikehendaki oleh suatu bangsa.
    Hal yang agak ganjil dalam proses revisi UU Penyiaran karena DPR tidak sekaligus menyampaikan konsep atau rancangan revisi dari UU tersebut sehingga publik lebih mudah meresponsnya. Untuk membuat atau merevisi UU, orang harus tahu ke mana tujuannya.
    Tolok ukurnya adalah politik hukum, yakni gagasan dasar dan tujuan pengaturan yang ingin diterjemahkan dalam UU bersangkutan. Konsep tersebut sekaligus untuk mengukur kesenjangan antara das sollen (nilai-nilai yang ingin dicapai) seperti yang diidealkan dalam politik hukum, dengan das sein (norma yang diwujudkan) dalam UU Penyiaran saat ini, yakni UU 32/2002.
    Politik hukum biasanya diturunkan dari konstitusi. Karena itu, ketika UUD 1945 diamendemen, sebagai akibatnya banyak dilahirkan undang-undang baru atau revisi undang-undang yang sudah ada untuk menerjemahkannya.
    Pasal 28 C UUD 1945 misalnya, menyatakan warga negara berhak mengembangkan kualitas dirinya melalui ilmu, teknologi, kesenian, dan budayanya. Ini dirumuskan sebagai politik hukum, bahwa UU Penyiaran harus mengatur perlindungan pada lokalitas dan heterogenitas masyarakat seluruh Indonesia sehingga perlu diatur wilayah jangkauan siaran.
    Pasal 28 F UUD 1945 menegaskan bahwa semua orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi, maupun lingkungan sosialnya. Politik hukum ini yang diterjemahkan dalam UU Penyiaran dalam pasal-pasal yang menjamin keterbukaan akses bagi semua warga negara untuk bisa menggunakan sarana penyiaran yang tersedia.
    Karena itu, dibuka penggunaan frekuensi baik untuk kepentingan publik, sarana bisnis, maupun frekuensi untuk komunitas terbatas. Selain itu, sarana penyiaran harus digunakan untuk pengembangan orang per orang maupun masyarakat secara bersama-sama.
    Pasal 28 I Ayat 5 mengatur bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia, dalam prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaannya diatur dalam peraturan perundangan. Politik hukum inilah yang mendasari lahirnya institusi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPI daerah, yang merupakan institusi baru dalam tradisi penyiaran di Indonesia.
    Ada Apa dengan UU 32/2002?
    Kalau UU 32/2002 akan direvisi, di mana kesalahannya dan apa yang akan disempurnakan? Kemungkinan pada saat merumuskan politik hukum ke dalam pasal undang-undang ada yang tidak maksimal atau bahkan ada yang dengan sengaja disimpangkan, dipelintir, atau diselewengkan; dengan kata lain dipolitisasi.
    Karena Komisi I DPR tidak membuka secara transparan rancangan yang sudah disiapkan, maka sebagai orang yang pernah terlibat dalam pembahasan dan penyusunan UU 32/2002, saya mencatat beberapa hal yang mungkin ada gunanya dipertimbangkan demi penyempurnaan undang-undang ini.
    Pertama, UU 32/2002 ingin mengoreksi UU Penyiaran sebelumnya, yakni UU 24/1997 yang otoriter karena antara lain pada Pasal 7 mengatur bahwa “Penyiaran dikuasai oleh negara, yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah”.
    Maka desain UU 32/2002 tidak meletakkan lagi pada dominasi pemerintah dalam pengelolaan penyiaran, tetapi dengan membentuk lembaga baru yang disebut KPI.
    Namun dalam negosiasi pembahasan RUU akhirnya disepakati pengaturan dan pengelolaan penyiaran dilakukan bersama antara KPI dengan pemerintah. Frekuensi diadministrasikan pemerintah, namun pemanfaatannya dilaksanakan oleh KPI, dan diputuskan bersama.
    Peraturan pelaksana dibuat bersama-sama. Namun setelah judicial review, Mahkamah Konstitusi mengebiri peran KPI dalam pembuatan aturan pelaksana. Akan sangat ideal kalau DPR mengembalikan lagi gagasan awal untuk memberi kewenangan KPI dalam membuat aturan pelaksana undang-undang, seperti yang terjadi pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lembaga sejenis yang lain.
    Kedua, institusi penyiaran publik dan komunitas yang merupakan lembaga baru harus terus diperkuat eksistensinya. Lembaga penyiaran publik seperti RRI dan TVRI yang sampai saat ini hanya mengandalkan anggaran APBN, harus difasilitasi agar bisa menghimpun dana masyarakat dan suatu saat lepas dari ketergantungan pada pemerintah.
    Pada akhirnya, penyiaran publik harus mandiri dalam melayani masyarakat, tanpa intervensi terselubung maupun terang-terangan dari pemerintah melalui instrumen anggaran. Sementara penyiaran komunitas harus dijamin penyediaan frekuensi yang memadai dengan prosedur aplikasi yang lebih sederhana.
    Ketiga, pengaturan wilayah jangkauan siaran harus lebih dipertegas agar masyarakat di masing-masing wilayah mempunyai keleluasaan untuk mengelola penyiaran sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya, terutama dikaitkan dengan pembangunan karakter dan jati diri masing-masing lingkungan wilayah.
    Jangan sampai komunitas masyarakat di suatu wilayah kesulitan mendapatkan alokasi frekuensi karena telah dikuasai pemodal lintas wilayah yang lebih besar kemampuannya. Pemerintah terkesan berkompromi dengan para pengusaha penyiaran nasional untuk menunda-nunda pelaksanaan pengaturan wilayah jangkauan siaran ini.
    Keempat, masalah kepemilikan yang sangat peka agar lebih didetailkan batas-batasnya. Praktik yang terjadi penyiaran bisnis, khususnya televisi hanya didominasi oleh kelompok yang sangat terbatas dan eksklusif.
    Bahkan ketika mereka gagal memenuhi amanah publik untuk mengelola frekuensi yang sangat terbatas itu, tidak pernah ada proses yang transparan untuk menyerahkan pada pihak lain yang lebih kapabel.
    Hal yang terjadi adalah jual-beli dan patgulipat yang lain, serta frekuensi dialihkan di bawah tangan. Pemerintah tidak pernah menunjukkan sikap yang memihak publik, tetapi lebih mengamini kehendak para pengusaha dan penguasa penyiaran tersebut.
    Peluang Sejarah DPR
    Peluang sejarah saat ini ada di DPR. Apa yang gagal diperjuangkan Tim Inisiatif dan Pansus Penyiaran tahun 2000-2002 harus diperbaiki sekarang, jangan sampai justru surut ke belakang. Para pejuang hak-hak masyarakat, khususnya di bidang media, saatnya untuk bangun kembali.
    Posisi KPI harus diperkuat dan dikembalikan sebagai institusi yang mewakili masyarakat dalam mengatur dan mengawal dunia penyiaran. Sekarang yang terjadi, KPI diisi orang-orang yang mungkin menguasai soal penyiaran, tetapi tidak jelas komitmennya dalam mewakili kepentingan publik.
    KPI misalnya tidak jelas posisinya, ketika lembaga penyiaran dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis atau politik para pengelolanya, tanpa mengindahkan kepentingan dan perasaan publik.
    Kasus pertengkaran bisnis dan hukum yang melibatkan lembaga penyiaran tertentu dengan mudah memanfaatkan lembaga penyiaran bersangkutan untuk terlibat dalam kebijakan siarannya.
    Tak ketinggalan iklan-iklan penyembuhan tradisional dan supranatural yang jelas-jelas tidak mencerdaskan masyarakat, terutama di penyiaran lokal, seolah tidak pernah tersentuh.
    Memang bisa saja KPI beralasan kewenangannya sudah sangat dibatasi, baik oleh undang-undang atau berbagai peraturan yang dibuat pemerintah. Wibawa KPI sudah jauh merosot, para pelaku bisnis penyiaran lebih suka berlindung pada pemerintah.
    Ini karena dalam praktik, pemerintahlah yang memegang nyawa (baca: frekuensi) lembaga penyiaran. Ini artinya reformasi penyiaran yang pernah digagas pada awal pembentukan UU 32/2002 telah gagal.
    Selamat bekerja DPR, sejarah penyiaran yang demokratis, produktif, dan memihak pada kepentingan publik sedang menunggu. ●

  • Kenaikan Harga BBM

    Kenaikan Harga BBM
    Umar Juoro, EKONOM
    SUMBER : REPUBLIKA, 5 Maret 2012
    Pemerintah tampaknya sudah berketetapan untuk menaikkan harga BBM sebesar Rp 1.500 per liter setelah rencana pembatasan dan konversi BBM dengan gas tidak siap dilaksanakan. Kenaikan harga BBM ini akan menghemat subsidi sekitar Rp 32 triliun, tetapi akan meningkatkan inflasi yang kemungkinan mencapai sekitar tujuh persen. Tentu saja, inflasi ini akan memberatkan kehidupan masyarakat.
    Dibandingkan negara tetangga, harga BBM di Indonesia adalah paling rendah. Besarnya subsidi BBM ini menunjukkan tidak efisiennya pemanfaatan anggaran yang semestinya dapat dialokasikan untuk kegiatan produktif dan mengatasi kemiskinan.
    Dari pandangan penentu kebijakan, menaikkan harga BBM adalah yang termudah dan efektif dalam menurunkan subsidi yang membengkak mencapai sekitar Rp 160 triliun. Apalagi, dengan kecenderungan harga minyak dunia yang tinggi dan permintaan yang terus mening kat karena semakin besarnya jumlah kendaraan bermotor. Upaya mengatasi besarnya subsidi dengan cara lain,      seperti pembatasan dan konversi ke gas, tidaklah efektif karena sulit dalam pelaksa naannya.
    Menaikkan harga BBM pada saat inflasi rendah, sekarang ini sekitar 3,6 persen, adalah lebih baik dibandingkan ketika inflasi tinggi. Dengan demikian, jika akibat inflasinya dapat dikendalikan dengan baik, pengaruhnya juga dapat dikendalikan.
    Kenaikan harga BBM tentu memberatkan bagi masyarakat berpendapatan rendah, terutama karena harga barang dan jasa yang lebih tinggi. Pengaruh kenaikan harga secara tidak langsung biasanya lebih besar daripada pengaruh langsung. Inflasi tinggi ini dapat berlangsung paling lama satu tahun atau paling cepat selama tiga bulan.
    Pengalaman pada 2005 menunjukkan bahwa penga ruh inflasi tinggi berlangsung selama satu tahun. Setelah itu, inflasi kembali pada ting katan sebelum kenaikan BBM. Pada waktu itu, pemerintah juga memberikan bantuan langsung tunai (BLT) ke pada masya rakat miskin yang sa ngat membantu mereka.
    Jika inflasi dapat diken dali kan sehingga pengaruhnya tidak menyebar, dalam waktu tiga bulan setelah kenaikan harga BBM inflasi dapat kembali pada tingkat an yang tidak jauh berbeda dari sebelum kenaikan harga BBM. Jika kenaikan harga BBM dilakukan April, pada saat ini inflasi masih rendah. Inflasi tinggi biasanya pada bulan Juli ketika pembayaran uang sekolah. Dengan Ramadhan pada bulan Juli, kemungkinan inflasi tinggi akan terus terjadi sampai Agustus. Baru pada Oktober diharapkan inflasi menurun kembali.
    Pemerintah juga berencana untuk memberikan BLT setelah kenaikan harga BBM nanti. Tentu saja, pemberian BLT sifatnya adalah sementara dan tidak membuat penerimanya melakukan kegiatan produktif dan umumnya bersifat konsumtif. Jika program membantu golongan miskin ini lebih diarahkan pada kegiatan produktif, hasilnya akan bersifat jangka panjang.
    Bagi dunia usaha, kenaikan harga BBM ini semestinya tidak langsung berpengaruh pada kegiatan usahanya. Namun, kenaikan biaya transportasi dan menurunnya daya beli masyarakat, khususnya golongan bawah, akan           berpengaruh besar terhadap kegiatan usaha yang bergantung pada transportasi dan konsumen masyarkat bawah.
    Dunia usaha kemungkinan dapat mengatasi akibat kenaikan harga BBM ini dan peluang bagi dunia usaha untuk berkembang masih terbuka. Dunia usaha justru ke su litan jika tidak ada kepas tian dari pemerintah berkait an dengan harga BBM ini.
    Secara politis, kenaikan harga BBM juga masih dapat dikendalikan karena pemilu masih lebih dari dua tahun lagi. Kemungkinan terjadi demonstrasi menentang kenaikan harga BBM hampir dapat dipastikan. Para pengendara sepeda motor, yang banyak dari mereka adalah pekerja dan mahasiswa, kemungkinan akan protes. Tentu saja, demonstrasi ini jangan sampai menjadi anarkistis.
    Kenaikan harga BBM tidak dapat dihindari karena bebannya pada anggaran terlalu besar. Hanya, bagaimana inflasi yang ditimbulkan dan protes terhadap kebijakan ini dapat dikendalikan. Upaya untuk memberikan kompensasi kepada golongan miskin juga harus dilakukan.
  • Menata Perlindungan PRT

    Menata Perlindungan PRT
    Okky Asokawati, ANGGOTA KOMISI IX DPR
    SUMBER : REPUBLIKA, 5 Maret 2012
    Tak bisa dimungkiri, saat ini tidak ada payung hu kum berupa undang-undang yang melindungi pembantu rumah tangga (PRT). Hal ini menempatkan PRT di Indonesia berisiko mengalami eksploitasi ekonomi, diskriminasi berbasis gender, serta kekerasan fisik, psikologis, dan seksual.
    Data dari Jala PRT mencatat, lebih dari 400 kasus kekerasan dialami PRT pada 2011. Padahal, Indonesia sudah mengakui beberapa instrumen internasional terkait perlindungan PRT, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1993, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW tahun 1979), dan Konvensi ILO 1989 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga yang telah diadopsi Indonesia pada Konferensi Perburuhan Internasional tanggal 16 Juni 2011.
    Desakan dari berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri, termasuk Lembaga Amnesty Internasional, sebagaimana yang tertuang dalam Amnesty International Public Statement tanggal 25 November 2011, mendorong Pemerintah Indonesia untuk segera memberlakukan undang-undang khusus yang mengatur hak-hak tenaga kerja bagi PRT di Indonesia. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebenarnya telah masuk ke dalam agenda legislatif nasional (Prolegnas) pada 2010 dan 2011. Dan, saat ini RUU Perlindungan PRT masuk ke dalam Prolegnas tahun 2012.
    Perlindungan PRT
    Konsep perlindungan PRT pada dasarnya berasaskan pada kepastian hukum, pengayoman, kemanusiaan, kekeluargaan, keadilan, dan kesejahteraan. Dalam RUU Perlindungan PRT disebutkan, perlindungan PRT didefinisikan sebagai segala upaya untuk melindungi kepentingan calon PRT/PRT dalam menjamin terpenuhinya hak PRT.
    Oleh karena itu, RUU Perlindungan PRT sebaiknya hanya memuat hal-hal prinsip terkait aspek perlindungan PRT, dengan penguatan kepada penghormatan HAM; persamaan dan nondiskriminasi; serta keadilan dan kese taraan gender, sesuai dengan asas-asas dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Jangan pula dilupakan bahwa upaya untuk memberikan perlindungan kepada PRT tentunya harus dibarengi dengan harapan untuk melindungi para pemberi kerja.
    Sementara itu, pengaturan hal-hal yang bersifat teknis, seperti besar upah, hari libur, dan lain-lain, dapat diturunkan kepada peraturan perundangundangan di bawahnya, seperti peraturan daerah, dengan mengadopsi kearifan lokal, serta diberlakukannya kontrak kerja antara pemberi kerja dan PRT.
    Perlindungan PRT hendaknya tidak hanya berbicara hal-hal yang bersifat terukur, kuantitatif, dan serbamaterialistik. Karena sudah terbukti di beberapa negara ketika semua hendak dibuat terukur, kuantitas, dan serbamaterialistik, kehancuran akan mengikutinya cepat atau lambat. Konsep perlindungan PRT hendaknya memuat prinsipprinsip kearifan lokal, kegotong-royongan, musyawarah mufakat, akuntabilitas, dan berkeadilan, yang sesuai dengan dasar negara kita, yaitu Pancasila.
    Mengubah PRT dari sekadar membantu (supporting) menjadi pekerja inti, artinya harus menerima konsekuensi-konsekuensi bahwa PRT adalah pekerja formal. Sementara, selama ini kita ketahui bahwa yang disebut dengan pekerja formal adalah mereka yang bekerja di ruang publik, sedangkan PRT bekerja di ruang privat.
    Jangan sampai timbul kerancuan, di mana PRT ditarik ke sektor publik atau PRT as a formal worker, tetapi di level regulasi tidak digunakan pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku di sektor publik tersebut. Hal ini bisa menjadi conflicting values. Oleh karena itu, kita harus cermat menempatkan posisi PRT yang biasanya berada di ruang privat (rumah tangga) ke ruang publik.
    Salah satu langkah arif agar tidak terjadi conflicting values tadi adalah dengan mengadopsi kearifan lokal (local wisdom) ke dalam konsep perlindungan PRT. Karena secara filosofis, PRT yang mulanya berangkat dari konsep `membantu’, di Indonesia didasarkan pada local wisdom. Pemberi kerja atau majikan merasa punya tanggung jawab sosial atas masyarakat yang kurang beruntung dengan memberikan pekerjaan ala kadarnya. Hal ini tidak didasari niat mengeksploitasi, tapi prinsip tolong-menolong.
    Care Economy
    Ada yang menarik terkait perlindungan PRT, salah satunya anggapan bahwa apresiasi terhadap pekerjaan rumah tangga ini merupakan apresiasi terhadap perempuan. Mengapa demikian pekerjaan rumah tangga yang kini banyak dikerjakan oleh PRT sebenarnya menggantikan salah satu peran perempuan yang multiburden bahkan triple-burden. Pada awalnya, PRT lebih dikenal sebagai singkatan dari pembantu rumah tangga, yang merupakan pekerja yang men-support atau yang membantu.
    Kita berutang budi pada PRT yang sejatinya telah menjadi pemain di belakang layar bagi keberhasilan para majikannya. PRT turut membuat semakin banyak perempuan dapat berkiprah di ranah publik, dengan menggantikan peran perempuan dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
    Pekerjaan yang tadinya merupakan pekerjaan perempuan seperti pekerjaan rumah tangga, biasanya selalu masuk pada sektor informal dan tidak dibayar. Karena pekerjaan perempuan termasuk ke dalam care economy, pekerjaan kasih sayang. Pekerjaan kasih sayang ini adalah budaya dan dibangun dengan hubungan kekeluargaan saja.
    Lalu, sekarang ada upaya untuk `memigrasikan’ pendekatan ini ke hubungan yang lebih melembaga, yang lebih formal, dan memberikan apresiasi pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan perempuan tadi kepada apresiasi yang sifatnya ekonomis. Apresiasi terhadap pekerjaan perempuan yang dilakukan PRT sebenarnya merupakan apresiasi terhadap perempuan dan apresiasi terhadap pekerjaan ibu rumah tangga, yang selama ini dilihat hanya sebagai care economy.
    Selayaknyalah kita juga memberi apresiasi terhadap pekerjaan perempuan dengan memberikan jaminan hukum kerja layak bagi PRT. Ada landasan standar dan prinsip perlindungan dan pemenuhan hak-hak PRT, serta menguntungkan majikan. ●