Category: Uncategorized

  • Hasrat

    Hasrat
    Mudji Sutrisno SJ, BUDAYAWAN
    Sumber : SINDO, 3 Desember 2011
    Sigmund Freud-lah yang berjasa menemukan bagian bawah sadar manusia sebagai penentu gerak hidupnya melalui “psikoanalisis”.

    Dia membalikkan pada zamannya apa yang dulu dipersepsikan sebagai penentu tindakan dan laku manusia yaitu “kesadaran”.Persepsi itu menjadi terbalik manakala dibaca bahwa “yang terpendam dalam bawah sadar manusia” itulah yang tanpa sadar menjadi motor gerak dan laku manusia. Di sana bersemayam secara menggelegak “hasrat” yang secara khusus dalam terminologi Freud ditunjuk sebagai “libido”. Karena itu pulalah Freud mampu menampilkan bagaimana orang-orang yang bawah sadarnya mengalami trauma, hasrat-hasrat yang direpresi melalui analisis psikologi “disehatkan” dengan metode asosiasi bebas.

    Pasien bebas mengeluarkan net-uneg dan pengalaman ketaksadarannya untuk diangkat ke kesadaran dan diakui adanya meski seluka sedalam apa pun. Intinya, kesadaran manusia dilatih menerimanya dan mengiyakannya untuk menyikapi dalam hidup nyata. Untuk Freud, susunan kepribadian orang memiliki trimatra yaitu “ego”, sebagai penentu dan pengontrol apakah “hasrat” dari ID (kawah libido dan hasrat naluri seksual manusia) akan dipenuhi atau tidak dengan prinsip realitas. Sedangkan introjeksi, pembatinan norma-norma atau apa yang dilarang dan yang diperbolehkan sebagai moral dihunjamkan ke anak sebelum akil balik terutama masa umur 1-5 tahun pertama tanpa bisa menolak.

    Ia mengintrojeksi semua larangan-larangan itu ke bawah sadarnya sampai dia nanti bisa mulai mengolahnya saat sudah berumur dewasa. Jadi tiga kata kunci dalam struktur pribadi manusia menurut Freud adalah ego; lalu super-ego,dan ID. Contoh paling menarik bagaimana hasrat ID muncul dalam keinginan untuk minum karena haus, ketika super-ego pendidikan sudah merasuk di kelas, meski ada minuman di meja guru, si anak tidak akan maju ke depan untuk mengambilnya, lalu serta merta meminumnya. Super-ego-lah yang melarangnya memenuhi hasrat minum itu.

    Dalam perkembangan psikoanalisis ini oleh muridmuridnya, CG Jung atau Erich Fromm, mencoba menerapkannya di ranah sosial politik semisal penamaan “trauma tiap bangsa dengan wajah kekerasannya karena dipendamnya hasrat” dalam istilah “shadow”. Di kita serupa dengan “amuk massal”yang sama sumber “shadow”-nya dengan “kekejaman Hitler dengan rezimnya” sampai tega membunuh sesamanya demi pemurnian ras.

    Kuasa

    Pengembangan psikoanalisis Freud menjadi bertambah menarik ketika hasrat diwajahkan tampilnya dalam hasrat untuk berkuasa atau untuk menguasai. Frederich Nietzsche-lah yang dengan dahsyat memaparnya dalam the Will to Power.Hasrat untuk terus berkuasa atau mau berkuasa itu dimiliki setiap orang, yang membedakannya adalah apakah ia punya kesempatan untuk menyatakan dan mewujudkannya serta timing.

    Di dekade kita,hasrat untuk berkuasa ini dipersepsikan bisa lebih cepat mewujud gelegaknya bila punya 3 M, yaitu money,media,dan mass. Karena itu, Niccolo Machiavelli dalam buku praksis kekuasaan berjudul Il Principe (The Prince) menyarankan begitu hasrat ada di tangan sang penguasa untuk menimbunnya dan mengawetkannya sang penguasa harus “kejam”,otoriter, berani menggunakan segala cara untuk mewujudkan tujuan.

    Cerminan buku Machiavelli ini adalah persaingan dan rebutan kuasa di Italia atau Eropa abad pertengahan. Namun, dengan buku itu serta nama besar Machiavelli, sampai hari ini ia menjadi cermin besar betapa di abad ini rebutan kekuasaan yang bersumber dari hasrat kekuasaan itu terus hidup, berebut, bersaing dengan sarana- sarana pengawetnya dan senjata pamungkasnya melalui media cetak, digital, maupun visual; lalu melalui uang serta massa rakyat yang tiap kali bisa kita lihat menjelang pemilu dalam upayaupaya mobilisasi dan politik jual beli suaranya.

    Kontrol

    Dari paparan di atas nyata bahwa hasrat itu irasional; ia sesaudara dengan nafsu(desire). Maka dari itu, hasrat kuasa hanya akan dikontrol oleh kesadaran ego di individu dengan kesadaran budi dan nuraninya. Maka dari itu pula, pertarungan hasrat berkuasa yang sudah membunuh sesama manusia dalam kekejaman perang dunia dua kali PD I dan PD II, akhirnya oleh bangsa-bangsa yang ego budi sehatnya dan nuraninya belajar dari sejarah kelam hancurnya kemanusiaan dirumuskanlah counter culture kesadarannya.

    Bentuknya dengan kesepakatan deklarasi bangsa-bangsa untuk melindungi yang paling berharga dari manusia yaitu “harkatnya” dengan Deklarasi HAM Universal pada 10 Desember 1948. Bayangkan baru setelah seribu sembilan ratus empat puluh delapan tahun orang sampai ke kesadaran matang untuk mengontrol hasrat berkuasa yang bisa saling membunuh sesama. Perkembangan berikutnya, kontrol terhadap hasrat kuasa ini harus dibuat sistem dengan membagi kuasa ini dalam tiga besar untuk bisa saling mengontrol agar tidak absolut,yaitu kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

    Inilah kemenangan peradaban, sebuah perjuangan membuat umat manusia beradab dengan mengontrol hasrat kuasanya agar tidak biadab dengan membaginya sebagai sistem. Lihatlah, makna sistem memang merupakan pengaturan rasional untuk hasrat-hasrat naluriah. Sistemadalah arationalordering of something. Ketika Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya oleh para pendiri bangsa ia dirancang dengan jelas dan jernih untuk mengatur gelegak hasrat kuasa ini dalam sebuah sistem bernegara hukum. Semua warga sama derajat dan harkat kedudukannya di depan hukum.

    Saat berkonflik hukumlah penyelesainya dan sistem demokrasi dengan tiga lembaga saling mengontrol praksis kekuasaan yaitu legislatif, yudikatif,dan eksekutif. Kini terhampar di depan mata telanjang kita dan terbentang di panggung negara Indonesia gaduh riuh politik persaingan hasrat-hasrat kuasa dan rebutan kuasa yang tega mengorbankan cita-cita bernegara yaitu sejahteranya rakyat banyak. Sebenarnya di renung nurani dan budi bangsa ini harus muncul gugatan “sudah hilangkah akal sehat atau rasionalitas bangsa ini?” Justru dalam suasana sukar saling mempercayai sesama warga, pertanyaan ini mesti muncul: sejak kapankah hilang trustdan kepedulian hati?

    Padahal di zaman perjuangan merdeka dalam kemiskinan total dan menyatunya kesukarelaan berkorban apa saja termasuk nyawa gelegak hasrat untuk merdeka dari penjajahan menjadi sumbu gerak perjuangan bahkan setelah terwujud disyukuri bahwa “kemerdekaan adalah berkat rahmat-Nya, rahmat Tuhan, dan adalah hak setiap bangsa”. Jadi, sudah semakin jelas inti soalnya,yaitu ketika kita meninggalkan jalan peradab-an dengan cara melampiaskan hasrat naluri kuasa kita yang tidak akan pernah terpuasi (lantaran itu adalah libido ID) dan tidak berani lagi untuk mengontrolnya dengan “kesadaran akal sehat dan nurani jernih” maka kita berada di lampu kuning jalan sejarah beradab kita.

    Sebab,visi“mencerdaskan kehidupan bangsa”rangkuman dahsyat cita-cita membangsa dan menegara RI para pendiri bangsa sejak awal memuat tugas pendidikan budi cerdas dan nurani jernihnya manusiamanusia Indonesia untuk jalan panjang menapaki kehidupan berbangsa. Dan hanya bila manusia Indonesia cerdas budinya dan jernih nuraninya, mereka akan mampu membuat sistem-sistem hidup bersama yang lebih beradab dan lebih sejahtera dalam bernegara.  

  • Gaya Hidup Konsumtif

    Gaya Hidup Konsumtif
    Benny Susetyo, PEMERHATI SOSIAL, SEKRETARIS EKSEKUTIF KOMISI HAK PGI
    Sumber : SINDO, 3 Desember 2011
    Puluhan orang terjepit dan pingsan akibat saling berdesakan saat antre mendapatkan BlackBerry murah di pusat perbelanjaan Pacific Place, Jakarta (25/11).

    Ribuan orang rela antre sejak malam hari. Orang rela mendapatkan barang mewah dengan harga murah. Mereka berebut memiliki BlackBerry, sebuah barang yang kini bukan saja merupakan alat memperlancar komunikasi, melainkan juga merupakan simbol kemewahan kelas.

    Masyarakat Konsumtif

    Fenomena ini merupakan gambaran gaya hidup masyarakat urban. “Saya membeli maka saya ada.” Status sosial seseorang ditandai dari kemampuannya memiliki produk- produk baru dan mewah. Seseorang akan merasa diri bukan bagian dari ‘modern’ bila melewatkan hiruk-pikuk kepemilikan teknologi modern sebab status sosial itulah yang penting dan harus dikejar. Eksistensi manusia diukur sejauh mana ia mampu membeli.

    Kehidupan dikendalikan oleh mereka yang mampu mendikte atas apa saja yang harus dibeli. Kapitalisme tidak akan berhenti mengajari mode.Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup dan produk-produk yang membuat kehidupan lebih instan, mudah, dan menyenangkan.Iklan produk-produk terbaru begitu piawai membujuk konsumen untuk menjadi bagian terpenting dalam kehidupan.Semua menawarkan janji surga kenikmatan yang tidak akan didapatkan tanpa memiliki apa yang mereka tawarkan.

    Inilah yang membuat orang akan melakukan cara apa saja tanpa memedulikan etika untuk memperoleh apa yang diinginkan.Semua dilakukan demi mewujudkan janji muluk kapitalisme dengan produkproduk yang mempermudah kehidupan. Masyarakat semakin dikendalikan oleh budaya konsumerisme. Tiada hari tanpa berbelanja dan membeli. Masyarakat pun semakin sulit membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Konsumerisme mengajarkan agar semua ‘keinginan’ dipandang sebagai ‘kebutuhan’ yang harus dipenuhi. Kenyataan hidup seharihari dipenuhi dengan iklan yang penuh bujuk rayu.

    Iklan datang bukan saja di ruang publik, melainkan juga masuk ke ruang-ruang privat individu. Tidak peduli siang dan malam. Berbagai barang baru siap ditawarkan dan didesakkan sedemikian rupa agar dimiliki dan dinikmati. Nilai-nilai yang ditawarkan kerapkali membuat pertahanan hidup kita tak berdaya akibat rayuan serta jebakan hedonisme. Materialisme membuat manusia terasing dari realitas. Tak jarang karena kesibukan mengejar materi belaka, kita kehilangan solidaritas dan memudarnya aspek kemanusiaan.

    Di tengah dunia yang sibuk dengan segala urusan komersialisme dan memberikan penekanan yang sangat berat pada materialisme, kita digugah agar menyadari bahwa manusia bukan semata-mata sebagai alat produksi. Manusia hidup bukan hanya untuk kepentingan materi,yang kerap menjadikan manusia bermusuhan satu sama lain.Manusia hidup juga tidak hanya untuk dirinya sendiri dan memupuk keserakahan individualnya.

    Budaya Instan

    Kompetisi ekonomi yang semakin sengit memacu orang untuk melakukan tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan. Meningkatnya kriminalitas merupakan pertanda dari semakin permisifnya perilaku yang membolehkan segala cara. Orang terpancing dan terjebak untuk melakukan tindakantindakan di luar batas kemanusiaan, demi mengejar pemenuhan ‘keinginan’ yang sudah menjadi ‘kebutuhan’.

    Dalam konteks globalisasi pilihan lebih banyak ditentukan oleh apa yang terlihat pancaindra. Pilihan ini bukan digerakkan daya nalar yang sehat, melainkan hanya sekadar pemenuhan akan kebutuhan penyenangan indrawi belaka. Media iklan yang begitu dahsyat kerapkali membuat mata kita tidak lagi awas. Ini menciptakan mentalitas konsumtif. Fenomena ini sekarang membudaya pada bangsa ini. Semua serbainstan. Budaya instan alias siap saji membuat manusia tidak lagi berpikir jangka panjang. Di tengah karut-marut persoalan sosial bangsa, kita justru tidak memperoleh teladan dari elite.

    Mereka yang ada di Senayan berlomba-lomba menjadi pemimpin sikap hidup individualis. Bukan teladan hidup sederhana, melainkan kemewahan. Begitu pula para pejabatnya. Seolah hilang keabsahan mereka sebagai elite bila tidak hidup dalam kemewahan. Hal ini menciptakan masyarakat tidak produktif karena gaya hidup menjadi bagian status sosial sehingga masyarakat berbudaya konsumtif. Gaya hidup seperti membuat biaya hidup menjadi tinggi karena masyarakat tidak tahu lagi mana yang penting dan urgen dalam hidup.

    Dibutuhkan sebuah kesadaran baru akan pentingnya pendidikan nilai-nilai mengedepankan solidaritas dan kesetiakawanan agar pola hidup konsumerisme tidak menjadi gaya hidup masyarakat.

  • Mengelola Kembali Pola Konsumsi

    Mengelola Kembali Pola Konsumsi
    Susidarto, PRAKTISI PERBANKAN DI YOGYAKARTA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 3 Desember 2011
    “Selama ini bank penerbit kartu kredit hanya mengincar calon nasabah yang sudah memiliki kartu sehingga memicu over finance”

    Kepemilikan kartu kredit bakal diatur kembali. Bank Indonesia (BI) sedang menyiapkan regulasi terkait dengan pembatasan kepemilikan dan utang kartu itu, termasuk penagihan oleh debt collector. Semua itu akan tertuang dalam revisi Peraturan BI (PBI) tentang Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK). Regulasi ini ditunggu banyak pihak karena ada beberapa hal penting yang perlu kembali diatur, terutama menyangkut perlindungan nasabah. Semua itu dalam rangka menyehatkan industri bank penerbit kartu kredit agar tumbuh lebih sehat lagi.

    Beberapa aturan baru itu antara lain penghasilan calon nasabah minimal Rp 3 juta/ bulan, dengan plafon maksimal tiga kali gaji. Nasabah yang memiliki penghasilan di bawah Rp 10 juta per bulan hanya boleh memiliki maksimal dua kartu kredit dari penerbit (issuer) berbeda. Bunga kartu kredit pun dibatasi maksimal 3% per bulan dan kartu tidak bisa digunakan sebagai landasan mengajukan kredit tanpa agunan seperti selama ini. Regulasi baru itu terkait erat dengan prinsip kehati-hatian yang berhubungan dengan penyaluran consumer loan.

    Rencana penerbitan regulasi ini setidaknya dipicu oleh kemerebakan kasus yang terkait dengan kartu kredit. Terlebih belakangan ini, bank-bank di Indonesia sangat gencar menawarkan jasa itu. Cukup hanya berbekal KTP dan slip gaji, seseorang bisa dengan cepat mengantongi kartu dari issuer (penerbit) kartu kredit. Dengan kemudahan itu tidak mengherankan ada pegawai biasa, dalam arti tidak kaya-kaya amat, bisa memiliki lebih dari satu kartu.

    Bagi karyawan dengan golongan ”biasa-biasa saja”, memiliki banyak kartu bisa mendatangkan masalah di kemudian hari. Kemudahan untuk menggesek tunai (populer dengan istilah gestun) dan menggunakan kartu, biasanya menyebabkan pemegangnya terjebak utang-piutang berbunga tinggi.

    Maklum, penerbit kartu biasanya mengenakan bunga cukup tinggi, rata-rata di atas 3% efektif per bulan, dan angka itu sangat mencekik leher. Bagi yang cerdas biasanya menutup pembayaran sesegera mungkin. Namun mereka yang hanya mampu membayar cicilan minimal bisa terjebak mekanisme pembayaran kredit berbunga tinggi.

    Analisis Mendalam

    Bagi bank penerbit kartu, bisnis ini sangat menjanjikan profit tinggi. Bisnis consumer loan dalam bentuk ini memiliki prospek cerah di tengah banyaknya penduduk Indonesia berperilaku konsumtif. Saat ini persentase kepemilikan kartu kredit di negara kita masih rendah, kurang dari 10% dari total jumlah penduduk. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang lebih 50% warga negaranya memiliki kartu tersebut. Di negara itu, tidak memiliki kartu kredit berarti tidak bisa lancar bertransaksi.

    Di Indonesia, pangsa pasar kartu kredit masih sangat luas. Sayangnya, selama ini penerbit hanya mengincar calon pemegang yang sudah memiliki kartu. Akibatnya terjadi over finance terhadap sesesorang, yang mengakibatkan kredit macet. Banyak di antara pemegang kartu yang sudah macet, namun karena memiliki lebih dari satu kartu, ia bisa mengakalinya dengan cara gali lubang tutup lubang.

    Terlebih belakangan ini mekanisme gestun bisa dilakukan dengan mudah dan murah. Hanya dengan biaya di muka 2-3%, pemegang kartu bisa mengambil uang tunai di gerai, dan nantinya masuk item pembelian barang. Akibatnya, mekanisme pengambilan tunai resmi dari kartu itu berupa cash advance dengan bunga rata-rata 5%, menjadi tidak laku sama sekali.

    Fenomena gestun ini menambah runyam kondisi keuangan si pemegang kartu. Lambat laun kredit macet itu akan meledak manakala pemegang kartu kewalahan mengatur cash flow-nya. Dalam konteks ini diperlukan kehati-hatian dari para issuer untuk kembali menyeleksi calon pemegang kartu, misalnya dengan menganalisis secara mendalam.

    Harus diakui, selama ini banyak nasabah memperlakukan kartu redit ibarat lampu aladin. Karena itu, upaya BI mengantisipasi ledakan kredit macet kartu kredit patut diapresiasi, dan memang perlu ketegasan menata ulang consumer loan dalam bentuk itu.

  • Inti Dialog Deradikalisme

    Inti Dialog Deradikalisme
    Ahmad Rofiq, SEKRETARIS UMUM MUI JAWA TENGAH, DOSEN IAIN WALISONGO SEMARANG
    Sumber : REPUBLIKA, 3 Desember 2011
    Masih ada silang pendapat mengenai substansi RUU tentang Intelijen Negara kendati DPR pada 11 Oktober 2011 sudah mengesahkannya menjadi UU. Esensi mengenai hal itu bisa didekati lewat dialog publik mengenai deradikalisme dan antiterorisme. Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa prihatin atas merebaknya radikalisme di negeri yang masyarakatnya dikenal agamais, santun, dan humanis, tetapi faktanya ada kejadian yang menyentak rasa kemanusiaan dan keberagamaan, di antaranya kasus bom di Bali dan  Jakarta, serta bom bunuh diri di masjid di kompleks Mapolres Cirebon (15/04/11), dan di gereja di Kepunton Solo (25/09/11).

    Radikalisme merupakan paham keagamaan hasil tafsir eksklusif sekelompok orang, yang menurut mereka benar tetapi tidak sejalan dengan hakikat agama Islam, atau agama lain,  yang bertujuan mewujudkan keselamatan, kebahagiaan, ketenteraman, dan kesentosaan. Radikalisme ini dengan mudah mengarah kepada terorisme, baik secara psikis dan terlebih lagi secara fisik. Lebih-lebih pelakunya mengaku muslim dan menebar teror dengan tameng berjuhad atas nama agama.

    Allah menurunkan Islam sebagai risalah (message) atau ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk mewujudkan kasih sayang bagi penghuni alam raya (rahmatan lil ‘alamin). Karena itu substansi ajarannya pun mengedepankan persamaan, persaudaraan, toleransi, keadilan, keseimbangan, moderasi , dan saling menghormati.

    Hanya pemeluk agama yang sangat tidak paham, sesat, dan salah besar, apabila dia melakukan tindakan teror, menakut-nakuti dan menyengsarakan orang lain yang tidak bersalah, apalagi dilakukan dengan cara bom bunuh diri, yang jelas mengorbankan dirinya sendiri, dan menewaskan orang lain, apapun agamanya.

    MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa NKRI adalah final, dan gerakan yang mengganggu atau mengancam keutuhannya adalah subversif (bughat), demikian juga gerakan yang ingin memisahkan diri (separatisme) yang hukumnya haram. Demikian juga tentang terorisme, MUI telah menegaskan bahwa gerakan teror pun haram hukumnya.

    Semua pihak perlu mendukung UU Intelijen Negara, yang segera ditandatangani Presiden, dan disosialisasikan kepada masyarakat. Negara telah membentuk Badan Intelijen Negara (BIN) perlu memiliki intrgritas dan komitmen tinggi untuk mengawal, menyosialisasikan, dan menjalankannya dengan pendekatan humanistik, dan tidak mengganggu penegakan HAM.

    Agama adalah panduan, nilai, norma, dan dasar berpijak manusia untuk menjadi dan menuju jati dirinya yang hakiki, mengabdi kepada Tuhan dan sesama. Negara berkewajiban menjamin warganya dapat terpenuhi HAM-nya, mendapatkan rasa aman, nyaman, sejahtera, dan hidup bahagia di negeri ini.

    Aspek Manfaat

    UU tentang Intelijen Negara hanyalah instrumen bagi negara, dan juga masyarakat supaya dapat hidup tenang, aman, nyaman, dan tidak merasa khawatir. Sebagai instrumen, dalam hukum Islam berlaku kaidah, yang artinya sesuatu yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu (yang lain) maka sesuatu itu wajib hukumnya.

    Jika UU Intelijen Negara merupakan dasar hukum dan instrumen untuk bertindak bagi negara, demi mewujudkan kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat maka keberadaan regulasi itu urgen. Hal itu sejalan dengan aksioma hukum Islam li al-wasail hukm al-maqashid. Dengan kata lain, jika ikhtiar itu untuk mewujudkan tujuan nasional maka keberadaan UU itu sebagai instrumen adalah wajib.

    Dialog mengenai deradikalisme dan antiterorisme diharapkan dapat difahami oleh penganut agama yang masih berobsesi dan menafsirkan ajaran agama secara eksklusif, cenderung radikal, dan mengedepankan tindakan teror.

    Muaranya adalah menyadarkan mereka kembali kepada pesan substantif Rasulullah SAW, bahwa kualitas keberagamaan seseorang bisa diukur ketika orang lain merasa nyaman baik oleh tutur kata, tulisan, pendapat, maupun dari tangan atau kekuasaannya.

    Merupakan penistaan dan penodaan agama tatkala seseorang mengaku beragama tetapi tindakannya menimbulkan kesengsaraan, ketakutan, dan ketidaknyamanan bagi orang lain. Dalam konteks ini, Rasulullah SAW mewanti-wanti lewat ayat yang artinya sebaik-baik manusia adalah (mereka) yang paling memberi manfaat bagi orang lain. ●

  • Ketika Guru Besar “Dilecehkan”

    Ketika Guru Besar “Dilecehkan”
    Tjipta Lesmana, GURU BESAR KOMUNIKASI POLITIK UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
    Sumber : SINAR HARAPAN, 2 Desember 2011
    Sejak pemerintah mengalokasikan 20 persen anggarannya untuk sektor pendidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melancarkan berbagai kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas akademik pendidikan tinggi.
    Salah satu di antaranya keharusan bagi setiap dosen untuk mengantongi sertifikat dari Dikti. Nantinya, hanya pengajar yang berstatus “serdos” (sertifikat dosen) boleh mengajar di perguruan tinggi/universitas. Untuk mendapatkannya, pengajar tentu harus memenuhi sejumlah persyaratan yang ditetapkan pemerintah.
    Sebagai imbalannya, tiap dosen yang sudah bersertifikat diberikan tunjangan oleh Dikti. Besarnya, tampaknya, disesuaikan dengan pangkat akademik yang disandangnya. Makin tinggi pangkat seorang dosen, makin besar tunjangannya.
    Untuk guru besar (profesor), kecuali tunjangan dosen, diberikan juga Tunjangan Kehormatan, karena mereka dianggap orang-orang “terhormat”. Bahkan kabarnya, ada juga tunjangan khusus. Sebelumnya, selama puluhan tahun tunjangan guru besar hanya diberikan kepada profesor dari perguruan tinggi negeri (PTN).
    Di atas kertas kebijakan itu bagus. Para dosen bertambah semangat untuk mengejar “cum” dan pangkat akademik supaya tunjangan dari pemerintah terus meningkat. Para profesor juga gembira seraya berterima kasih kepada pemerintah.
    Tunjangan kepada dosen diberikan setiap tahun, dibayar dua kali setahun, masing-masing untuk semester ganjil dan semester genap. Untuk itu, tiap semester dosen diwajibkan mengajukan laporan BKD (Beban Kerja Dosen) kepada Dikti melalui Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta) di daerahnya. Berapa persisnya tunjangan dosen, tidak ada yang tahu.
    Saya sebagai guru besar tidak mengetahui persis berapa besaran tunjangan guru besar yang diberikan pemerintah. Pihak Dikti tidak pernah mengumumkan. Mestinya, jumlah dan cara perhitungannya diumumkan secara terbuka, supaya jelas dan kita sama-sama mengeceknya. Maklum, di republik tercinta ini, pengeluaran apa saja cenderung disunat atau ditilep oknum-oknum pejabat kotor.
    Pada awalnya, tunjangan kepada dosen bersertifikat diberikan secara otomatis, setiap Mei dan Oktober/November. Namun, tunjangan untuk Mei tahun ini tiba-tiba dihentikan sementara tanpa ada pemberitahuan. Para pengajar bertanya-tanya. Semula, dikabarkan tunjangan itu macet, susah dicairkan di Kementerian Keuangan.
    Tapi, pada Agustus 2011 pihak Kopertis mengeluarkan pemberitahuan resmi bahwa tunjangan dosen “mulai sekarang” tidak diberikan otomatis, melainkan bergantung pada laporan BKD. Hanya dosen yang: (a) sudah memasukkan laporan BKD per semester, (b) isinya benar, dan (c) sudah diverifikasi Kopertis yang berhak menerima tunjangan.
    Benar dan Diverifikasi?
    Apa yang dimaksud “isian BKD benar dan sudah diverifikasi” Kopertis? Di sinilah permasalahan berawal! Ternyata, tidak mudah mengisi BKD yang benar, yang sesuai ketentuan yang dibuat pemerintah.
    Pertama, dosen yang melakukan aktivitas di luar (kampus) harus mendapat persetujuan dari pemimpinnya. Kalau Anda seorang dosen, misalnya diminta berceramah di Markas Besar Kepolisian RI, sebelumnya Anda harus mengantongi persetujuan tertulis dari pemimpin anda. Jika tidak ada izin, kegiatan itu tidak bisa dimasukkan dalam laporan BKD.
    Apakah para pejabat Kopertis dan Dikti tidak paham hukum? Ketentuan hukum tidak boleh berlaku surut! Ini prinsip hukum yang amat mendasar dan ditulis jelas di KUHAP.
    Lagi pula, kenapa harus ada persetujuan dari pemimpin in advanced? Bagaimana kalau undangan datang mendadak? Bagaimana kalau seorang profesor mendadak diundang untuk memberikan pendapat di layar televisi tentang masalah bangsa yang serius? Bagaimana kalau pemimpin kita sedang cuti?
    Kedua, beban kerja dosen, termasuk profesor, tidak boleh melebihi 16 SKS/semester. Jika di BKD beban tugas Anda melebihi 16 SKS, kesimpulannya otomatis diberikan predikat “T” alias tidak lolos, padahal kesimpulan laporan Anda harus “M“ (memenuhi syarat).
    Bagaimana jika seorang guru besar, de facto, pada semester berjalan melaksanakan ketiga Tri Dharma Perguruan Tinggi lebih dari 16 SKS? Bahkan 20 SKS lebih? Ada dua opsi yang harus dilakukan sesuai arahan orang Dikti. Pertama, SKS-SKS yang lebih diberikan kualifikasi “beban lebih”, sehingga tidak dihitung SKS-nya. Kedua, kegiatan-kegiatan Tri Dharma sebagian jangan dimasukkan alias dilempar ke tong sampah!
    Bukankah ini sama juga menyuruh profesor curang atau berbohong? Ya, kita disuruh berbohong, teriak beberapa teman saya serempak! Mestinya, profesor yang memang mempunyai kehebatan melakukan kegiatan lebih dari 20 SKS/semester diberikan ekstra penghargaan atau ekstra tunjangan, bukan sebaliknya, tidak bisa keluar tunjangannya dengan alasan laporan BKD-nya ditolak sistem.
    Jangan lupa, kemampuan intelektual seseorang berbeda. Ada akademikus yang mampu membaca cepat, menulis supercepat, menganalisis permasalahan cepat, dan setiap tahun sanggup menyempurnakan SAP-nya. Ada juga akademikus yang lelet,membaca teks bahasa Inggris pun tidak mampu, bahan kuliah diberikan bak tape recorder, dan tidak pernah direvisi selama 20 tahun!
    Mengapa dosen yang berkemampuan luar biasa disamakan penghargaannya dengan dosen yang pas-pasan kapasitas intelektualnya? Lebih tragis lagi, dosen yang berprestasi hebat itu disuruh berbohong, disuruh menyembunyikan kinerjanya untuk mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat.
    Menulis Buku
    Ketiga, dosen wajib setidak-tidaknya dalam kurun waktu tiga tahun menulis buku, melakukan penelitian, dan menyebarluaskan ilmunya kepada masyarakat. Ini bagus, tapi ketika dosen menunjukkan karya buku yang ditulisnya, dipermasalahkan hal-hal tetek-bengek dengan tuduhan tak memenuhi persyaratan ilmiah.
    Keempat, tunjangan dosen rupanya dibayarkan “per blok”. Jika di satu PTS terdapat 10 dosen bersertifikat, dan ada lima yang laporan BKD-nya dinilai belum memenuhi persyaratan, tunjangan ke-10 dosen itu macet, menunggu perbaikan laporan BKD lima dosen itu.
    Logikanya, dosen yang dinilai BKD-nya memenuhi syarat harus langsung dibayarkan tunjangannya. Dalam laporan BKD terakhir, saya sudah masukkan penulisan buku dan penelitian yang saya lakukan, serta begitu banyak kegiatan pengabdian kepada masyarakat dan penyebarluasan ilmu saya kepada masyarakat. Kenapa masih juga ditolak? No news!
    Kelima, satu PTS “dipegang” satu assessor. Assessor itu tentu juga sibuk dengan kegiatannya. Senin (28/11), pihak Kopertis III mengundang seluruh guru besar yang ada, sekitar 170 orang. Mereka diberi penjelasan tentang pengisian laporan BKD yang benar.
    Banyak di antara yang hadir kecewa, bertanya-tanya, kenapa kita dipersulit. Setelah itu secara umum, masing-masing PTS diminta berkonsultasi lebih dalam lagi dengan assessor yang sudah ditetapkan.
    Sebaiknya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang adalah profesor doktor dan mantan rektor, memperbaiki sistem pelaporan dosen bersertifikat. Buatlah sesederhana mungkin, tak perlu hitung-hitungan jelimet. Guru besar kok disuruh mengerjakan administrasi yang begitu jelimet.
    Tugas pokok guru besar di seluruh dunia sama, yakni meningkatkan kualitas akademik, menciptakan inovasi akademik, serta meningkatkan kepeduliannya kepada masyarakat melalui pengabdian ilmunya.
    Apakah tunjangan kepada dosen dan guru besar dari pemerintah sesungguhnya diberikan setengah hati? Atau semua ini memang bagian dari kesemrawutan birokrasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena penyaluran tunjangan untuk guru pun ternyata problematik? ●
  • Jangan Salah Pilih Ketua KPK

    Jangan Salah Pilih Ketua KPK
    Benny Susetyo, PENGAMAT MASALAH SOSIAL, AKTIF DI SETARA INSTITUte
    Sumber : SINAR HARAPAN, 2 Desember 2011
    Komisi III DPR hari-hari ini mengadakan uji kelayakan terhadap calon-calon pemimpin KPK. Semoga saja ketua dan anggota yang terpilih adalah tokoh yang terbaik, karena mereka termasuk orang yang akan menentukan masa depan bangsa ini.
    Bila Komisi III salah memilih orang maka publik akan makin pesimistis menghadapi masa depan, mengingat korupsi di bangsa kita sudah masuk tahap paling “sempurna”, yakni merasuki lembaga politik dan kekuasaan.
    Karena itu, dibutuhkan pemimpin KPK yang bukan hanya berani, cerdas, dan memiliki kejujuran dan moralitas, namun mampu menekan angka korupsi oleh para pejabat publik. 
    Pemberantasan korupsi harus memiliki efek terhadap kesejahteraan.
    Pemimpin baru harus memiliki visi yang jelas untuk memberantas korupsi di lingkup birokrasi pemerintah dan pusat-pusat kekuasaan yang terbukti cenderung korup. Sangat jelas bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan dukungan kekuasaan. Tanpanya, upaya itu akan berjalan di tempat.
     Tugas pemberantasan korupsi itu begitu berat, mengingat virus korupsi sudah mendarahdaging (internalized) di tubuh birokrasi. Perlu proses yang terencana dan sistematis untuk mengembalikan keadaban pemerintahan kita menuju tata kelola yang baik dan bersih.
    Harus diperhatikan secara saksama bahwa pemerintahan yang bersih bukan sekadar pencitraan. Kita belum sampai pada proses inti “pemerintahan yang bersih”, baru sekadar citra pemerintahan yang bersih. Di dalam kemolekan pemerintahan yang tercitrakan bersih itu, publik secara sadar masih melihat dengan jelas masih begitu banyak kasus korupsi yang dibiarkan begitu saja.
    Sebagai bangsa, sepatutnya kita malu, kok manusia Indonesia hampir setiap tahun bertengger di papan atas negara koruptor.
    Menurut mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Syafii Maarif, kita berada di tebing kehancuran, hanya selangkah lagi untuk masuk zaman kegelapan. Ketika hukum dan pemerintahan hanya sebatas citra dan goresan kata-kata, kepercayaan sudah hancur.
    Negara Hukum
    Selama ini, keadilan hukum ditegakkan karena hal tersebut menguntungkan kepentingan penguasa, dan akan diabaikan bila dianggap mengganggu kepentingan politik penguasa.
    Jadi, keadilan hukum itu sebenarnya untuk siapa? Sepatutnya para pelaku korupsi dihukum seberat-beratnya, agar menimbulkan efek jera itu. Susahnya, banyak oknum aparat penegak hukum juga pelaku korupsi.
    Karena itu, langkah politik pemimpin untuk berada di garda terdepan memimpin pemberantasan korupsi harus disertai dengan teladan agar rakyat mendukung. Untuk mewujudkan keadilan hukum, dibutuhkan iktikad politik yang kuat dari penguasa. Tanpanya, tak mungkin keadilan hukum terwujud.
    Selain itu, di negara demokrasi, semua entitas yang berproses di dalamnya tetap harus tunduk di bawah payung hukum. Karena itulah Indonesia memilih sebagai negara hukum (rechstaat) dan bukan negara berciri kekuasaan (machstaat). Kekuasaan, seberapa pun besar dan kuatnya, tetap harus tunduk di bawah norma hukum.
    Kekuasaan berperan besar melahirkan hukum yang peka terhadap perasaan publik, hukum yang dipercaya sebagai satu-satunya pijakan atas segala perselisihan yang muncul dalam proses berdemokrasi. Tentu berat dan begitu banyak konsekuensi yang harus ditanggung dari kenyataan ini.
    Meski sulit dilaksanakan, kekuasaan tetap harus tunduk dan berada dalam payung hukum. Hukum berkeadilan adalah hukum yang dipercayai dan ditaati. Hukum bisa dipercaya apabila diterapkan prinsip kesetaraan dalam hukum, serta ada ketaatan yang dilandasi komitmen kesederajatan.
    Pengawasan Masyarakat
    Beberapa kasus korupsi yang muncul dewasa ini sebagian besar terbuka karena kontrol publik yang semakin hari semakin ketat. Walau masih banyak jumlah kasus korupsi yang belum terkuak, lambat tapi pasti dengan kemauan politik yang kuat dan kontrol publik yang semakin disiplin, akan berhasil menguak satu per satu tindakan yang merampok uang negara ini.
    Momentum ini bisa mempertegas kembali bahwa korupsi merupakan penyakit kronis yang mengancam kita semua. Karena itu, pemberantasan korupsi akan minim hasilnya tanpa dukungan semua kalangan. Rakyat adalah pihak yang paling dirugikan dalam setiap tindak korupsi.
    Kekuasaan seharusnya memelopori pemberantasan korupsi, bukan malah menghambat seperti yang terjadi belakangan ini. Publik berharap Komisi III benar-benar memilih ketua KPK yang tepat. ●
  • Kata-kata pun Dikorupsi

    Kata-kata pun Dikorupsi
    Victor Sihite, WARTAWAN SENIOR
    Sumber : SINAR HARAPAN, 2 Desember 2011
    “Dari mana data jaksa penuntut umum ini sehingga berkesimpulan bahwa Dudhie Makmun Murod memberikan amplop berisi 39 TC kepada terdakwa I Panda Nababan, dengan nilai Rp 1,950 miliar?” tuturnya.
    Kalimat di atas adalah kutipan dari penjelasan terdakwa Panda Nababan pada sidang pengadilan kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom beberapa waktu lalu (Kompas, 16 Juni 2011).
    Menjadi pertanyaan, apa itu TC? Tuberkulosiskah, training center-kah, tok-cerkah, atau apa.Eh, ternyata travellers cheque alias cek perjalanan. Itu baru ketahuan setelah penulis terpaksa menelusuri kembali berita tersebut dari muka.Komentar: Perlu-perlunya menyingkat istilah.
    Hemat (baca: pelit) amat sih kita dalam berkata-kata, sampai-sampai kalimat kita bisa bermakna ganda. Yang jelas hemat berbahasa tidak hanya ditandai kepandaian menyingkat, melainkan kepandaian atau seni menyusun kalimat sesuai kaidah bahasa yang baik dan benar.
    Ataukah memang bahasa pun sudah dirasuki “budaya” korupsi yang telah merasuki seluruh sendi berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat? Sampai kata-kata pun dikorupsi?Korupsi bahasa tersebut juga sudah menulari cerdik pandai.
    Coba misalnya simak, ahli-ahli kesehatan sudah terbiasa berkata, “Kebiasaan BAB sembarangan itu tidak baik.” Kenapa tidak lugas saja menyebut ‘buang air besar’? Mereka merasa jijik barangkali sehingga perlu eufemisme alias berhalus-halus.
    Bagaimana kalau nanti anak-anak juga menyingkat buang air kecil dengan BAK? Lalu, makan enak jadi ME, bekerja keras jadi BK, bohong besar jadi BB, kurus-kering jadi KK, sakit keras jadi SK, dan sebagainya. Lucu, bukan?Bukan cuma lucu.
    Bahasa Indonesia yang berhasil mempersatukan bangsa Indonesia yang mendiami belasan ribu pulau besar dan kecil itu menjadi buruk, karut-marut.
    Akibatnya banyak orang merasa terusik membaca surat kabar karena penuh dengan tanda baca, penuh singkatan dan akronim, belum lagi istilah-istilah asing yang memerlukan energi ekstra dan waktu lebih untuk dapat memahaminya.
    Tampilan berita pun jadi buruk dari segi estetika dan berita itu menjadi kurang komunikatif. Ada semacam kesan di tengah masyarakat kita akhir-akhir ini, jika bertutur, baik lisan, apalagi tertulis tanpa menggunakan singkatan, seakan si penutur atau si penulis ketinggalan zaman, kuno atau udik.
    Seakan-akan modernisasi itu hanya berciri sekadar kepandaian seseorang menyertakan kata-kata asing atau singkatan-singkatan dalam bertutur lisan maupun tertulis. Guru bahasa kami dulu di Grup Sinar, Prof Dr Anton Moeliono berpesan, berbahasalah dengan sederhana, tetapi baik dan benar dalam arti menaati kaidah-kaidah.
    Kalimat jangan rancu sebagaimana banyak ditemui, baik lisan maupun tertulis  Prinsip itu sejalan dengan nasihat para guru jurnalis, yakni kalimat-kalimat seyogianya singkat, padat dan jernih. Jadi, dengan menggunakan kata-kata asing ataupun dengan singkatan-sing
    katan yang seenaknya saja, apalagi akronim yang sama sekali tidak berdasarkan suatu aturan main yang baku, pada hakikatnya bertentangan dengan prinsip yang diajarkan para guru tersebut.
    Para aktivis zaman ini hendaknya juga mempertimbangkan dampak kebiasaan menyingkat-nyingkat tersebut terhadap generasi muda, khususnya mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Tidakkah kita khawatir mereka akan pusing mendapati “hutan” singkatan di mana-mana?
    Bahasa menurut para budayawan menunjukkan identitas suatu bangsa. Kalau kita tidak meninggalkan kebiasaan buruk dalam berbahasa, jangan harap bangsa kita akan dihargai dalam pergaulan internasional. Bahkan, boleh jadi dunia internasional akan mencemooh kita sebagai bangsa yang tidak “PD”, eh, percaya diri, ha-ha-ha. ●
  • Pangkalan Militer Darwin dan Politik Hegemoni AS

    Pangkalan Militer Darwin dan Politik Hegemoni AS
    Tjipto Subadi, DOSEN FKIP DAN PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
    Sumber : REPUBLIKA, 2 Desember 2011
    Pernyataan Presiden AS Barack Obama di depan Parlemen Australia di Canberra, Kamis (17/11) lalu, yang akan menjadikan wilayah Asia Pasifik menjadi prioritas utama politik luar negeri dan pertahanan AS menjadi kekhawatiran tersendiri bagi wilayah damai tersebut. Apalagi, setelah Presiden Obama mengatakan militer AS akan menyebar di Asia, terutama Asia Tenggara, di mana AS akan membangun pangkalan militer di Darwin, Australia, yang disusul dengan mendatangkan pasukan marinir, kapal perang, dan pesawat tempur yang dimulai tahun depan. Meskipun, Obama berdalih pangkalan militer di Darwin dimaksudkan hanya untuk operasi bantuan kemanusiaan, bukan operasi militer.

    Tahun depan baru 250 marinir yang ditempatkan di Darwin, namun pada 2016 jumlah tersebut naik 10 kali lipat menjadi 2.500 marinir. Padahal, jarak Darwin dengan Nusa Tenggara Timur hanya 820 km, yang bisa dicapai oleh pesawat tempur kurang dari satu jam. Sedangkan, perusahaan tambang raksasa AS Freeport Mc Moran memiliki tambang emas terbesar di dunia, PT Freeport Indonesia, di Timika, Papua Barat, yang hanya “selemparan batu” dari Darwin.

    Tentu saja rencana AS untuk mendirikan pangkalan militer di Darwin mengkhawatirkan Cina, meski AS sudah mempunyai pangkalan militer di Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Thailand. Sementara itu, bekas pangkalan udara  Clark dan laut Teluk Subik di Filipina ternyata masih sering digunakannya untuk melakukan operasi antiteroris di Asia Tenggara.

    Cina khawatir sebab merasa negara kuning itu selama ini paling berkuasa di Laut Cina Selatan, tempat gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly yang kaya akan minyak bumi sedang diperebutkan Cina, Vietnam, Filipina, Brunei, Malaysia, dan Taiwan. Keenam negara itu mengklaim ratusan pulau kecil di gugusan Paracel dan Spratly adalah milik mereka. Sehingga, dapat menimbulkan konflik bersenjata. Kehadiran AS di kawasan itu tentu saja membuat Cina khawatir, sebab politik hegemoninya akan mendapat saingan berat dari politik hegemoni AS.  

    AS selalu berdalih bahwa negara adidaya itu termasuk negara Pasifik karena mempunyai wilayah di Hawaii dan Guam yang masuk kawasan Pasifik. Jadi, sah-sah saja jika AS memiliki perhatian geopolitik dan geostrategis terhadap wilayah Asia Pasifik, termasuk Australia dan Laut Cina Selatan. Apalagi, hampir 100.000 pasukan AS ditempatkan di Jepang, Korsel, Taiwan, Singapura, dan Thailand, bahkan masih tersisa di Filipina, yang kesemuanya berada di kawasan Asia.

    Asia Pasifik
    Sebagaimana dikatakan Presiden Obama, AS mulai berpaling ke Asia Pasifik seiring perang yang sudah berakhir. Jelas yang dimaksud Presiden Obama adalah berakhirnya perang di Irak dan rencana penarikan pasukan AS dan NATO secara menyeluruh dari Afghanistan pada 2014 nanti.

    Sebenarnya, AS telah gagal dalam membangun politik hegemoninya di Timur Tengah dan Asia Selatan. Dalam kasus Irak, AS mengalami kegagalan total untuk menguasai Negeri Seribu Satu Malam itu setelah melakukan invasi untuk menggulingkan Saddam Husein pada 2003 lalu. Sedangkan, di Afghanistan, meski dibantu pasukan NATO, AS juga gagal mengusai negara bergolak tersebut. Bahkan, hampir 2.500 nyawa prajurit terbaiknya hilang di Afghanistan. Boleh dikatakan Taliban saat ini masih menguasai sebagian besar wilayah Afghanistan ketika malam hari, namun ketika siang hari digantikan oleh pasukan NATO dan Afghanistan.

    Kegagalan politik AS di Timur Tengah semakin nyata setelah rezim Mubarak, Ben Ali, dan Ali Abdullah Saleh yang selama ini menjadi pendukung kuatnya bertumbangan satu persatu dan digantikan rezim yang kurang bersahabat dengan AS dan Israel. Bahkan, Partai An Nahdhah yang memenangkan Pemilu Parlemen di Tunisia jelas anti-Israel, sementara kekuatan partai pendukung Ikhwanul Muslimin yang tergabung dalam Aliansi Demokrat dan Aliansi Islam Partai Nour diprediksi akan memenangkan Pemilu Parlemen Mesir yang akan digelar pada Senin (28/11) nanti. Jika kedua aliansi kekuatan politik Islam itu menang, tamatlah sudah pengaruh AS dan Israel di Mesir. 
          
    Meski politik hegemoni AS di Timur Tengah semakin goyah, namun AS tetap berusaha menguasai berbagai sumber minyak di wilayah Timur Tengah dengan mengandalkan sekutu setianya, Arab Saudi. Sebab, bagi AS, tersedianya pasokan minyak secara aman dan lancar dari Timur Tengah sangat vital bagi kehidupan negara superpower yang berpenduduk 320 juta orang tersebut. Krisis minyak di AS pascaperang Timur Tengah pada 1973 lalu menjadi pelajaran sangat berharga akan pentingnya persediaan minyak bumi bagi negara adidaya itu.    

    Apalagi, negara-negara Islam di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, UEA, Qatar, Bahrain, dan Libya saat ini menguasai 75 persen cadangan minyak dunia yang mencapai 685,6 miliar barel. Sedangkan, cadangan minyak lainnya ada di negara-negara Amerika Tengah dan Selatan (98,6 miliar barel), Eropa dan Eurasia (97,5 miliar barel), Afrika (77,4 miliar barel), Amerika Utara, termasuk AS dan Kanada (49,9 miliar barel), dan Asia Pasifik, termasuk Indonesia (38,7 miliar barel). 

    Strategi AS untuk menguasai cadangan minyak dunia adalah dengan berusaha mengooptasi geopolitik dan geostrategis sumber-sumber minyak di Timur Tengah. Semua cara dilakukan AS untuk menguasai negara-negara Islam penghasil minyak dunia itu, seperti operasi intelijen, pengintaian, penyusupan melalui pasukan khusus, hingga invasi militer dalam skala penuh, seperti Afghanistan dan Irak.

    Sementara itu, di Asia Selatan, para geolog AS sudah lama mengetahui melalui pengamatan satelit, jauh dibawah bumi Afghanistan yang terlihat tandus dan gersang itu terdapat cadangan minyak bumi luar biasa besarnya yang diperkirakan tidak kalah dengan Arab Saudi. Jika AS mampu menguasai Afghanistan dengan mengalahkan para pejuang Taliban, ke depannya Afghanistan akan menjadi rebutan berbagai perusahaan minyak raksasa AS. Sementara, perusahaan minyak Eropa hanya akan mendapat sebagian kecil meski negara-negara Eropa yang tergabung dalam NATO turut mengirim pasukannya ke Afghanistan.  

    Selain itu, untuk melanggengkan penguasaannya atas cadangan minyak dunia yang sangat strategis, sampai 2003 tercatat AS telah menempatkan 75 persen kekuatan militernya yang total berjumlah 1,5 juta pasukan pada 730 basis militernya di lebih dari 50 negara di dunia, dan yang terbaru yaitu di Darwin Australia tahun depan.

    Penempatan basis-basis militer tersebut memang disengaja tidak jauh dari sumber-sumber minyak, terutama di Timur Tengah dan wilayah strategis di Asia Pasifik. Untuk itu, dari tahun ke tahun AS terus menambah anggaran militernya. Sementara, anggaran tahun ini mencapai tiga triliun dolar.

    Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kiblat politik luar negeri AS semakin diarahkan ke kawasan Asia Pasifik? Pertama, jelas untuk membendung kekuatan militer Cina yang semakin dominan di kawasan strategis itu. Kedua, AS merasa gagal dengan politik hegemoninya di Timur Tengah untuk membendung pengaruh Iran yang semakin kuat secara militer dan diplomasi. Ketiga, AS memiliki banyak pasukan dan pangkalan militer strategis di kawasan Asia Pasifik, bahkan Asia Tengah.

    Selain membendung pengaruh Cina, AS diam-diam juga berusaha menghalangi pengaruh Rusia yang kembali bangkit pascaruntuhnya komunisme awal 1990 lalu. Keempat, perhatian AS terhadap Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia semakin besar. AS memandang Indonesia yang kaya akan barang tambang secara geopolitik dan geostrategi semakin penting untuk mendukung politik hegemoninya di kawasan Asia Pasifik, terutama untuk menghadapi pengaruh Cina yang diprediksi akan menjadi negara superpower baru pada pertengahan abad ini menggantikan AS.

  • Jebakan RUU Pangan

    Jebakan RUU Pangan
    Didik J Rachbini, KETUA MAJELIS WALI AMANAT INSTITUT PERTANIAN BOGOR
    Sumber : Kompas, 2 Desember 2011

    Rancangan Undang-Undang Pangan yang mulai dibahas di DPR masih menyisakan banyak masalah. Tumpuan pangan nasional masih pada produksi dan konsumsi beras sehingga swasta dibebaskan bermain di pasar dan impor sejalan dengan produksi. Semua itu berpotensi membuat petani semakin tidak sejahtera.
    RUU Pangan memang menuai kritik karena ditengarai sangat liberal. Swasta yang tidak diatur berpotensi menjadi spekulan dan mematikan petani kecil.

    Selanjutnya Pasal 15 menyebutkan bahwa sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri, cadangan pangan dan impor, meskipun harus diutamakan produksi dan cadangan dalam negeri. Ini berarti peluang impor sejalan dengan usaha produksi dan cadangan pangan dalam negeri.
    Pasal 15 menyetarakan produksi dalam negeri dan impor sehingga memudahkan impor sebagai komplemen yang bersamaan dengan produksi dalam negeri. Semestinya sistem produksi dan cadangan diatur dalam pasal yang berbeda. Dengan demikian, sasaran swasembada pangan utama secara nasional menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk mewujudkannya.

    Memasukkan peran swasta dalam stok pangan nasional bisa bertentangan dengan kewajiban pemerintah untuk menjaga harga pangan yang baik, tetapi terjangkau rakyat. Masalahnya, pangan seperti beras sudah menjadi komoditas politik untuk kepentingan nasional dalam hal ketersediaan dan keamanannya. Oleh karena itu, seharusnya peran swasta tidak berdiri bebas seperti dalam pasar yang bersaing sempurna, tetapi berada dalam kendali negara untuk tujuan ketersediaan pangan dan sekaligus kesejahteraan petani.

    Peran pemerintah

    Dalam hal peran negara dalam sistem produksi pangan, kelemahan RUU ini adalah menempatkan peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk bersubstitusi, bukan saling melengkapi.

    Dalam Pasal 20 dan 21 disebutkan bahwa pemerintah dan/atau pusat wajib mengembangkan teknologi pangan, memfasilitasi pengembangan sarana dan prasarana produksi. Pasal seperti ini lemah sehingga pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa saling tuding jika gagal menjalankan kewajiban menjaga ketersediaan dan keamanan pangan.

    Kelemahan lain RUU ini ada pada Pasal 48, yang mengaitkan kebijakan produksi dan perdagangan pangan dengan kebijakan inflasi. Perlu diketahui bahwa jika kebijakan produksi dan perdagangan pangan dipakai untuk mengendalikan inflasi, kebijakan tersebut akan kehilangan kesempatan dan kekuatannya untuk meningkatkan kesejahteraan petani. RUU Pangan tidak boleh menyandera hak petani demi kepentingan moneter.

    Perlu diketahui bahwa masalah inflasi sangat kompleks, mulai dari faktor moneter dan sektor riil, sektor dalam negeri dan luar negeri. Pada sisi sektor riil, harga pangan beras hanyalah salah satu dari ribuan produk lain.

    Kebijakan inflasi harus dijalankan seimbang untuk mengendalikan harga semua produk yang mungkin memengaruhi harga secara agregat, tidak dikhususkan pada pangan terutama beras. Padahal, produk industri lain dibiarkan saja mengikuti pasar, tidak dikendalikan sehingga nilai tukar petani terus tergerus seperti sekarang. Penurunan nilai tukar petani akan menurunkan kesejahteraan petani.

    Dengan demikian, Ayat 2a tentang pengendalian inflasi pada Pasal 48 seharusnya dihapus. Jika kebijakan pangan dibuat dengan mempertimbangkan inflasi, tujuan kebijakan pangan untuk kesejahteraan petani menjadi hilang.

    Perencanaan pangan

    Produksi pangan memerlukan perencanaan karena terkait dengan berbagai indikator produksi termasuk iklim, apalagi sistem produksi pangan ini ditopang oleh usaha rumah tangga petani kecil yang rentan terhadap segala perubahan. Di sinilah peran negara atau pemerintah membuat perencanaan produksi beras untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan pokok dan sekaligus kesejahteraan petani. Selain itu, pemerintah juga perlu terlibat di dalam sistem penyangga pangan.

    Dalam hal peranan negara, RUU Pangan sudah mengakomodasi aspek ini, seperti terlihat pada Bab III Pasal 6. Disebutkan bahwa perencanaan pangan dilakukan untuk merancang penyelenggaraan pangan ke arah kedaulatan pangan, kemandirian pangan, ketahanan pangan, dan keamanan pangan.
    Sistem perencanaan pangan ini terintegrasi dengan perencanaan nasional dan perencanaan daerah serta mengikutsertakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Aspek perencanaan ini merupakan bagian awal dari kebijakan pangan seperti yang terlihat pada Pasal 7, 8, 9, dan 10.

    Sistem perencanaan pangan sangat penting karena pada musim panen, pasokan sangat melimpah dan mengakibatkan harga turun. Negara wajib menyerap pasokan petani sehingga petani tetap bergairah berproduksi pada periode berikutnya. Di sinilah perlunya sistem penyimpanan dan cadangan pangan agar harga tetap wajar dan menjadi insentif bagi jutaan petani kecil.

    Dalam aspek perencanaan, perlu dipertimbangkan antara lain produksi dan kebutuhan konsumsi, cadangan pangan, impor, ekspor, keanekaan pangan, distribusi, serta perdagangan. Aspek lain adalah keamanan
    pangan, penelitian dan pengembangan, pengendalian harga, keamanan pangan, pembiayaan, ataupun kelembagaan (Pasal 10).

    Ada masa pasokan beras sangat kurang sehingga perlu penyangga, seperti saat paceklik atau tidak panen. Sebaliknya ada masa panen raya, yaitu saat pasokan berlimpah sehingga harga pangan cenderung turun dan merugikan petani.

    Kondisi inilah yang harus diperhatikan dalam Rancangan Undang-Undang Pangan sehingga ketidaksempurnaan pasar dan fluktuasi pasokan bisa diatasi dengan peran negara. Bukan sebaliknya, diisi oleh swasta besar, yang akan menjadi spekulan dan berpotensi mematikan produsen petani kecil ataupun rakyat konsumen.

  • Suku Jawa dan Tionghoa Mengapa Berkurang?

    Suku Jawa dan Tionghoa Mengapa Berkurang?
    Jousairi Hasbullah, ANALIS STATISTIK SOSIAL BPS
    Sumber : Kompas, 2 Desember 2011
    Hasil Sensus Penduduk 2010, yang secara rinci baru saja dipublikasikan BPS, dibandingkan dengan hasil Sensus 1930 pada zaman Belanda, mengalami penurunan signifikan persentase suku Jawa dan Tionghoa di Indonesia. Gejala positifkah?
    Persentase suku Jawa di Indonesia jauh berkurang. Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan angka 40,22 persen, bandingkan hasil Sensus 1930 yang 47,02 persen di seluruh Indonesia. Persentase suku Tionghoa menurun lebih tajam, yaitu dari 2,04 persen pada tahun 1930 tinggal 1,20 persen tahun 2010.
    Angka absolut kedua suku tersebut tidak berkurang. Suku Jawa pada tahun 1930 berjumlah 27,8 juta jiwa dari 60 juta penduduk Indonesia waktu itu dan tahun 2010 menjadi 95, 2 juta dari total 237 juta penduduk Indonesia. Sementara orang Tionghoa pada tahun 1930 sebanyak 1,2 juta jiwa dan kini 2,8 juta jiwa.
    Menentukan suku bangsa seseorang biasanya dilakukan dengan dua pendekatan utama, yaitu pendekatan antropologis yang didasarkan garis keturunan dan pendekatan etnodemografis yang didasarkan dari pengakuan yang bersangkutan. Pendekatan antropologis yang jauh lebih rumit sangat tidak memungkinkan diterapkan dalam sensus yang berskala masif, dengan varian kemampuan petugas yang sangat heterogen. Sebaliknya, pendekatan etnodemografis lebih praktis, mudah, dan memungkinkan digunakan dalam sensus.
    Seorang migran yang telah menetap cukup lama di daerah lain dan budaya setempat: tradisi, bahasa, nilai, dan norma telah mewarnai perilaku kesehariannya, dapat saja menyatakan sebagai anggota suku tempat dia berada. Petugas sensus akan mencatat sesuai dengan pengakuan yang bersangkutan. Inilah yang disebut pendekatan etnodemografis.
    Mengapa Menurun?
    Penurunan persentase suku ini dapat saja direspons negatif. Beberapa anggota kelompok suku biasanya lebih suka melihat persentase yang meningkat sebagai tanda bahwa nilai-nilai, budaya, dan bahasa suku masih dominan. Biasanya sangat penting untuk berbagai keperluan, termasuk kepentingan politik.
    Di sisi lain, penulis memandang penurunan persentase suku Jawa dan Tionghoa sebagai hal positif. Pertama, pada suku Jawa ataupun Tionghoa tingkat fertilitasnya di bawah rata-rata orang Indonesia.
    Rata-rata anak yang dilahirkan oleh perempuan Indonesia (2010) sebanyak 2,15 anak, di provinsi yang didominasi oleh suku Jawa jauh lebih rendah. Di Jawa Tengah 1,99 anak dan di Yogyakarta hanya 1,39 anak. Pada suku Tionghoa, kemungkinan angka fertilitasnya juga jauh 
    lebih rendah. Akibatnya laju pertambahan populasi orang Jawa dan orang Tionghoa berlangsung lebih lamban dibandingkan dengan suku-suku lain di Indonesia.
    Kedua, migrasi suku Jawa telah berlangsung sejak lama ke berbagai penjuru Nusantara, baik melalui jalur force migration (kuli kontrak, transmigrasi) maupun migrasi spontan sebagai pengaruh dari chain migration (migrasi berantai), yaitu mengikuti famili yang telah pindah ke daerah lain. Mereka yang telah turun-temurun berbaur bukan hanya secara fisik melalui jalur perkawinan antarsuku, juga secara budaya—termasuk dengan nilai-nilai lokal setempat, kemungkinan tak lagi mengaku sebagai suku Jawa melainkan sebagai anggota suku tempat mereka berada.
    Fenomena yang sama tampaknya terjadi pada suku Tionghoa. Orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18 dan ke-19, misalnya, yang telah beberapa generasi tinggal menyatu dengan suku-suku lokal setempat, sebagian di antara mereka tak lagi mengidentifikasi diri sebagai orang Tionghoa, tetapi sebagai orang suku setempat.
    Jika saja data yang dikemukakan didasarkan atas hasil sensus penduduk pada masa pemerintahan Soeharto, barangkali pengakuan tersebut dapat dipertanyakan tingkat kesukarelaannya, apakah karena memang merasa sebagai suku setempat atau karena rasa takut. Namun, ketika pengakuan itu datang pada tahun 2010, saat kebebasan dirasakan oleh semua orang, pengakuan tersebut adalah pengidentifikasian diri yang memang diyakini apa adanya.
    Ketiga adalah fenomena Jakarta dan sekitarnya. Orang-orang Jawa dan Tionghoa yang telah hidup di lingkungan Betawi dalam beberapa generasi kemungkinan besar tak lagi menganggap diri mereka orang Jawa atau orang Tionghoa, tetapi orang Betawi. Indikasi ini sangat nyata dengan pertambahan anggota suku Betawi yang luar biasa selama 80 tahun terakhir. Pada tahun 1930 jumlah orang Betawi baru 1,66 persen dari total penduduk Indonesia, saat ini meningkat menjadi 2,87 persen. Tahun 1930 suku Betawi menempati urutan ke-8 suku terbesar di Indonesia, saat ini menempati posisi lima besar nasional.
    Semangat Multikultural
    Hasil sensus, di mana pun, membatasi kajiannya pada fakta umum dan makro. Untuk merinci lebih jelas mengapa suatu fenomena terjadi, butuh kajian ilmiah yang lebih mendalam. Namun, dari kecenderungan umum ini kita mendapatkan hipotesis berharga bahwa suku Jawa dan suku Tionghoa, yang menurun persentasenya, selain telah berkontribusi positif pada pembatasan kelahiran juga dan yang utama memiliki semangat pembauran yang tinggi. Begitu juga dengan suku Betawi yang terbuka terhadap pendatang.
    Dapatkah kita mengatakan bahwa ketiga suku tersebut, tanpa banyak diketahui selama ini, telah menjadi pelopor dari semangat multikultural yang positif untuk persatuan Indonesia. Suatu tantangan untuk dikaji lebih mendalam bagi kelangsungan Indonesia sebagai negara-bangsa pada masa mendatang. ●