Category: Uncategorized

  • Adakah Asa di KPK?

    Adakah Asa di KPK?
    Ikrar Nusa Bhakti, PROFESOR RISET DI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA BIDANG INTERMESTIC AFFAIRS
    Sumber : KOMPAS, 6 Desember 2011
    Terkejut, kecewa, curiga, marah. Begitulah rentetan ungkapan yang muncul setelah Komisi III Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menentukan Abraham Samad sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi 2011-2015 lewat voting kedua, pekan lalu.
    Abraham Samad menang mutlak dengan 43 suara, mengalahkan Busyro Muqoddas (5), Bambang Widjojanto (4), Zulkarnain (3), dan Adnan Pandupraja (1).
    Abraham Samad disebut ”hanyalah” anak muda daerah dari Makassar yang prestasinya belum menonjol. Selain itu, ia juga dituduh menjadi pendukung penerapan Syariat Islam di Sulawesi Selatan dan amat dekat dengan kelompok garis keras Islam, seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan Laskar Jundulah (The Jakarta Post, 3/12/2011).
    Pandangan itu dibantah Abraham Samad melalui pernyataan di Metro TV, Sabtu (3/12/2011) petang, bahwa ia adalah nasionalis sejati, anak pejuang 45, yang akan membela tegaknya NKRI sampai akhir hayatnya.
    Bukan Pilihan Panitia
    Kekecewaan terjadi karena tokoh-tokoh nasional yang sudah banyak dikenal masyarakat dan memiliki rekam jejak lebih baik di bidang hukum dan pemberantasan korupsi malah tidak terpilih menjadi anggota dan atau ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Bahkan, dari empat besar calon ketua dan anggota KPK versi Panitia Seleksi Anggota dan Ketua KPK—Bambang Widjojanto, Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, dan Handoyo Sudradjat—hanya Bambang Widjojanto yang masuk ke jajaran pimpinan KPK. Permainan politik macam apa lagi yang dilakukan DPR untuk melemahkan KPK?
    Kecurigaan muncul karena proses pemungutan suara yang mundur panjang. Seharusnya berlangsung pukul 09.00, tetapi diundur menjadi pukul 14.00 karena adanya upaya Partai Demokrat untuk mengegolkan Yunus Husein sebagai anggota dan ketua KPK.
    Lobi-lobi yang dilakukan Partai Demokrat justru semakin memperkuat kecurigaan banyak pihak akan adanya kedekatan Yunus Husein dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat. Padahal, seperti diungkapkan oleh Yunus Husein, seharusnya orang mencurigai dirinya lebih dekat dengan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang dahulu mengangkat dia sebagai Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ketimbang dengan Presiden SBY.
    Pemilihan Abraham Samad dinilai dimotivasi kepentingan politik para anggota Dewan. Bagaikan mengulang voting saat sidang paripurna DPR tahun lalu terkait hak angket skandal Bank Century, ada enam partai politik (Partai Golkar, PDI-P, PKS, PPP, Partai Hanura, dan Partai Gerindra) yang fraksi-fraksinya di Komisi III secara aklamasi sepakat memilih empat nama baru unsur pimpinan KPK: Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Adnan Pandupraja, dan Zulkarnain.
    Enam fraksi itu juga sepakat memilih Abraham Samad sebagai ketua baru KPK (Kompas, 3/12/2011). Tak heran bila Komisi III DPR dinilai menerapkan model perwakilan politik bertipe wali (karena memutuskan sesuatu tanpa berkonsultasi dengan konstituen) dan politico (karena keputusan politik itu adalah cermin dari kepentingan partai dan bukan kepentingan masyarakat).
    Apa yang diinginkan enam fraksi di Komisi III DPR itu sebenarnya tidak jelek-jelek amat, yaitu agar KPK di bawah kepemimpinan baru bersedia mengusut empat kasus besar: skandal pemberian dana talangan kepada Bank Century, korupsi pembangunan wisma atlet di Palembang (dan tentunya pusat olahraga di Bogor), mafia pajak, dan pemberian cek perjalanan pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom pada 2004.
    Namun, menjadi perlu diwaspadai bila dilihat dari adanya motivasi politik yang mengaitkan penyelesaian kasus Bank Century sebagai senjata pamungkas untuk melakukan ”leadership challenge” sebelum Pemilu 2014 (The Jakarta Post, 3/12/2011).
    Kita tidak tahu pasti apa yang dimaksud dengan ”leadership challenge”. Apakah sebatas usulan pergantian ketua DPR ataukah pergantian pimpinan pemerintahan? Jika ucapan Achmad Basarah dari Fraksi PDI-P benar, kita sangat menyayangkan penggunaan kasus hukum yang ditangani KPK sebagai alat manuver politik di DPR.
    Masih Ada Asa
    Lepas dari adanya berbagai kelemahan Abraham Samad, ada nilai-nilai positif dari pemilihan dirinya sebagai Ketua KPK.
    Pertama, inilah kesempatan bagi anak-anak muda yang berkarya untuk bangsa di daerah untuk berperan lebih besar secara nasional sebagai ketua KPK. Pada masa lalu, Bambang Widjojanto adalah tokoh pejuang HAM di Tanah Air yang naik pangkat menjadi Ketua Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH) di Jakarta setelah berkarya nyata sebagai Ketua LBH Jayapura pertengahan 1980-an.
    Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan Ketua KPK Busyro Muqoddas juga anak-anak daerah yang menjadi dosen di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, sebelum ke Jakarta.
    Amien Rais juga dosen di Universitas Gadjah Mada sebelum menjadi Ketua Umum PP Muhammadyah—menggantikan Ahmad Syafii Maarif—sekaligus motor penggerak gerakan reformasi 1997/1998. Ia kemudian menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat pertama era reformasi hasil Pemilu 1999.
    Kedua, meski pendekatan budaya bukan hal penting dalam menentukan tingkah laku seseorang, Abraham Samad adalah orang Bugis/Makassar yang mengagungkan budaya siri untuk mempertahankan martabat. Dalam budaya siri juga terkandung rasa malu jika ia tidak mampu menjalankan tugas. Tidaklah mengherankan jika Samad bersedia mengundurkan diri jika dalam setahun tidak ada karya monumental sebagai Ketua KPK.
    Ketiga, Abraham Samad tidak saja telah menandatangani pakta integritas yang disodorkan Partai Hanura, tetapi juga berjanji akan menumpas habis korupsi tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih, bahkan sampai ke jajaran DPR dan Istana sekalipun.
    Keempat, bila pimpinan KPK menjadi lima serangkai yang kompak dan saling mengisi, bukan hal mustahil KPK generasi ketiga ini mampu meningkatkan kembali kepercayaan dan kepuasan publik. Saat ini KPK berada di titik nadir (32 persen), jauh di bawah tingkat kepuasan publik yang dicapai KPK pada Februari 2009, yang sempat mencapai 61,4 persen.
    KPK juga diharapkan dapat meningkatkan indeks korupsi Indonesia dari saat ini berada pada level 3 dari skala 0-10 (0 sangat buruk dan 10 sangat bersih) ke level 5 atau bahkan 7 dalam kurun waktu 5 tahun mendatang.
    Kelima, bila Abraham Samad sebagai anggota dan Ketua KPK termuda dapat bersinergi dengan para seniornya di KPK, bukan mustahil pimpinan KPK periode 2011-2015 adalah yang paling solid yang pernah dimiliki KPK. Jika pandangan penulis ini benar, bukan saja masih ada asa kita kepada KPK, melainkan kita telah melihat secercah sinar di ujung terowongan panjang yang gelap dalam persoalan pemberantasan korupsi di negeri yang kita cintai ini.
    Mudah-mudahan ini bukan suatu impian semusim! ●
  • Demokrasi Model Indonesia?

    Demokrasi Model Indonesia?
    Boni Hargens, Pengajar Ilmu Politik UI; Sedang Belajar di Humboldt Universität-zu Berlin, Jerman
    Sumber : KOMPAS, 6 Desember 2011
    Ketika berada di Jakarta, Presiden Jerman Christian Wulff menyebut Indonesia model demokrasi di tengah negara Islam lain (Deutschlandradio, 1/12).
    Dia juga mengulang apa yang pernah dikatakannya sebelumnya bahwa Islam adalah bagian dari Jerman sebagaimana Kristen dan Yahudi. Dengan kata lain, Wulff mau menjelaskan Indonesia adalah sahabat Jerman.
    Memang tak semua sepakat. Bahkan, guru besar di Universitas Humboldt, Prof Dr Boike Rehbein, menyebut itu propaganda seusai kuliah Struktur Sosial dan Politik di Asia Tenggara. Bagaimanapun, kita sambut baik pujian politisi Partai Kristen Demokrat ini sebagai terobosan untuk kerja sama bilateral yang mangkus dan berguna ke depan.
    Sebenarnya ada kesamaan kondisi kedua negara belakangan ini. Media Jerman minggu-minggu terakhir ramai memberitakan ”Neo-Nazi Trio”: tiga anggota Neo-Nazi (Beate Zschäpe, Uwe Böhnhardt, dan Uwe Mundlos), yang baru terungkap melakukan pembunuhan berantai beberapa tahun terakhir di Jerman. Tahun 2000-2006 mereka membunuh delapan pengusaha keturunan Turki dan tahun 2007 menewaskan dua polisi di Heilbronn. Dua pemuda dari tiga pelaku sudah membakar diri dalam mobil. Beate Zschäpe yang masih hidup menyerahkan diri ke polisi.
    Hadapi Radikalisme
    Kanselir Angela Merkel nyaris tiap hari mengomentari soal penguatan sistem keamanan sosial menghadapi radikalisme kanan ke depan. Indonesia pun masih bermasalah dengan radikalisme. Ahmadiyah diserang dan rumah ibadah dibakar adalah contohnya. Namun, Wulff kok memuji.
    Pujian juga pernah diterima Indonesia pada paruh pertama 1990-an dengan sebutan ”Macan Asia”. Tahun 1997-1998 fondasi ekonomi roboh dan krisis politik menghancurkan semua pujian.
    Memang betul, sesudah 1998, transisi politik pada tataran struktural berjalan normal. Barangkali kekaguman terhadap Indonesia karena kemampuan mengelola ini. Dimensi kebebasan sipil dan hak politik dipuji sejak 2004 oleh Freedom House di Washington. Kita punya banyak media dan segudang parpol.
    Soal pemerintahan baik dan bersih, Indonesia adalah model kalau KPK dan BPK jadi patokan. Hitung saja, berapa mantan menteri (meski belum ada satu pun mantan presiden!), gubernur, dan bupati/wali kota diperiksa dan dipenjara. Namun, mari kita lihat tataran substansial. Berapa kasus serius besar merugikan negara dan rakyat terungkap tuntas? Bagaimana dengan kasus BLBI,
    Century, Lapindo, penggelapan pajak Gayus? Bagaimana kadar kebebasan sipil bagi minoritas? Berapa jumlah riil orang miskin dan kehilangan pekerjaan?
    Berapa manusia diperbudak di berbagai industri dengan jaminan keselamatan dan upah tak manusiawi, serta pekerja wanita di aneka industri hiburan yang luput dari perlindungan hukum?
    Kejahatan Kemanusiaan
    Belum lama (22/11/2011), Saskia Schäfer, pemerhati Islam di Asia Tenggara, membuat presentasi di Universitas Freie di Berlin soal Ahmadiyah di Indonesia. Pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah di Temanggung cuma dihukum 4-5 bulan penjara. Model demokrasi macam apa yang mempertimbangkan kejahatan kemanusiaan lebih ringan dari kejahatan konvensional seperti mencuri telur di pasar?
    Tentu kita tak berpretensi meminta Wulff memikirkan pertanyaan ini, termasuk kalaupun keesokan harinya ia lupa pernah memuji Indonesia. Sama seperti ketika dalam tiap kasus orang asing dibunuh oleh mereka yang terindikasi bagian dari jaringan Neo-Nazi di Jerman, pihak keamanan akan selalu mengatakan, ”Kami sedang telusuri apakah korban terlibat sindikat kriminal tertentu.” Toh, tak ada yang bertanya mengapa korban selalu diduga kriminal? Kenapa tak fokus ke pelaku saja?
    Jubah demokrasi masih cukup lebar untuk membalut masalah seperti ini. Di atas kertas, demokrasi tak diukur dari apa kata korban, tapi dari apa kata pelaku. Maka tiap penilaian adalah sah. Bahkan, kalaupun tiap hari presiden mau memberi penghargaan kepada tiap kroni atau famili dengan judul ”pahlawan demokrasi”, itu pun sah. Tak ada yang salah, meski tak juga benar. Toh, demokrasi ditentukan pelaku.
    Akan tetapi, sekali kita berpikir tentang demokrasi dari dimensi korban, kotak pandora akan terbongkar. Bahwa elite demokrasi kita betul berhasil membuat kita merdeka berpikir, tetapi tidak berhasil memikirkan kemerdekaan kita. Kemerdekaan sebagai manusia dan sebagai subyek politik. Benarkah demokrasi seperti ini cuma model atau ini cuma demokrasi model kita? ●
  • Membanggakan Kedudukan

    Membanggakan Kedudukan
    Sukardi Rinakit, PENELITI SENIOR SOEGENG SARJADI SYNDICATE
    Sumber : KOMPAS, 6 Desember 2011
    Pagi, 22 November 2011. Ketika mendengar cerita Tragedi Lapangan Zakeus dari teman-teman Elsam Papua dan Persekutuan Gereja-gereja Papua, Buya Ahmad Syafii Maarif dan Salahuddin Wahid tidak bisa menahan air mata. Nurani mereka terluka.
    Setelah mendengar cerita sedih itu, hampir setiap malam ingatan saya dihunjam oleh kehadiran seorang sahabat, almarhum Franky Sahilatua. Dulu di perbatasan Papua dan Papua Niugini, setelah dengan syahdu menyanyikan lagu ”Pancasila Rumah Kita”, Franky lantang menyanyikan: Tanah Papua/tanah yang kaya/di sana aku lahir/bersama angin/bersama ombak/aku dibesarkan/hitam kulit kering rambut/aku Papua/biar langit terbelah/aku Papua.
    Apa yang terjadi di Papua sama seperti peristiwa lain, termasuk robohnya Jembatan Kartanegara, dari perspektif budaya politik menggambarkan karakter kepemimpinan kita saat ini. Para pemimpin, dari tingkat pusat sampai daerah, umumnya hanya menikmati kekuasaan. Mereka lupa pesan orang-orang tua di kampung dulu bahwa siapa pun yang suka ngagungake pangkate (membanggakan kekuasaannya) akan dipermalukan jika ada perubahan zaman.
    Krisis Legitimasi
    Keluhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai mandeknya komunikasi politik dan sistem pelaporan membenarkan berlakunya praktik mengagung-agungkan kekuasaan di kalangan elite politik tersebut. Baik eksekutif maupun legislatif umumnya terlalu bangga pada dirinya sendiri dan kedudukan yang dipegangnya saat ini.
    Semua itu berawal dari kemenangan dalam kontestasi politik. Kerasnya persaingan dan besarnya sumber daya politik yang diperlukan untuk mendapatkan kursi kekuasaan membuat pemenang terjebak dalam kebanggaan berlebihan. Mereka merasa menjadi serba ”super”. Diri mereka menggelembung menjadi lebih besar dari cita-citanya.
    Akibatnya, kebijakan politik yang mereka ambil sebatas yang tampak di depan mata dan berjangka pendek. Mereka miskin visi. Kebijakan prorakyat yang diambil tak lebih dari sekadar bedak yang mudah luntur apabila kena gerimis. Pendeknya, kebatinan mereka secara umum jauh dari upaya suci untuk menyelesaikan permasalahan yang membelit rakyat. Semua serba formalitas dan artifisial. Mereka lebih suka menunjukkan identitas super dengan pakaian perlente, mobil mewah, dan rumah bagus.
    Dalam konstruksi seperti itu, harapan Presiden akan bekerjanya sistem pelaporan dan komunikasi politik yang efektif adalah tidak realistis. Semua simpul dalam jalur eksekutif adalah simpul mati (kebanggaan akan kekuasaan). Tak mengherankan jika mereka tidak segera melapor kepada Presiden tentang apa yang terjadi, termasuk kekerasan di Papua, karena mereka belum mendapat laporan dari bawah. Fenomena yang sama terjadi pada jalur legislatif dan kepengurusan partai politik.
    Para elite politik tersebut juga malas mengomunikasikan kepada publik semua kebijakan pemerintah karena itu bukan identitas super mereka. Tak mengherankan jika para menteri lebih suka diam setelah sidang kabinet. Dalam konteks ini, penambahan jabatan wakil menteri pada reshuffle lalu secara hipotesis tidak menipiskan sikap mengagung-agungkan kekuasaan, tetapi justru memperparahnya.
    Mengerasnya kultur kebanggaan akan kedudukan di setiap simpul kekuasaan, termasuk dalam birokrasi dan koalisi partai politik, memicu munculnya anggapan bahwa pemerintah mengalami krisis legitimasi. Beberapa indikator sering ditunjuk, antara lain lemahnya penegakan hukum dalam kasus korupsi, minimnya instruksi Presiden yang dijalankan menteri, dan sistem pelaporan yang macet.
    Indikator-indikator tersebut, meminjam renungan Habermas, merujuk pada terjadinya krisis rasionalitas dalam administrasi politik. Seluruh jaringan birokrasi hampir mampat dan berkarat. Akibatnya, krisis motivasi melanda bangunan sosial-budaya bangsa. Masyarakat akhirnya menjadi pesimistis.
    Secara prediktif, sistem pelaporan dan komunikasi politik pemerintah diduga akan semakin buruk. Hal itu disebabkan sikap beberapa partai koalisi pemerintah, terutama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang kemungkinan kecewa terhadap Partai Demokrat yang bersikeras mengajukan parliamentary threshold (ambang batas parlemen) 4 persen. Sementara PPP dan PKB mengajukan ambang batas 2,5 persen. Mereka pantas kecewa karena loyalitas mereka tidak diimbangi oleh keberpihakan Partai Demokrat.
    Uniknya, krisis legitimasi yang melanda ranah politik tersebut tidak menyebar di arena ekonomi. Di sini, yang muncul justru optimisme pelaku usaha. Dalam pandangan mereka, Indonesia saat ini begitu cantik dan menggairahkan. Jumlah kelas menengahnya 131 juta orang, ketiga terbesar di Asia setelah China dan India. Mereka bertambah rata-rata 7 juta orang dalam 10 tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan 6,5 persen dan inflasi 4 persen.
    Banyak pihak percaya bahwa gerak positif tersebut terjadi bukan karena peran pemerintah, melainkan para pelaku ekonomi bergerak sendiri. Secara otonom, mereka membangun sistem peringatan dini guna membaca segala perubahan ekstrem yang terjadi di tingkat domestik dan global.
    Itu yang belum Presiden lakukan: membangun red-line guna menghadapi elite politik yang hanya membanggakan kekuasaan. ●
  • Kebudayaan (yang) Mendidik

    Kebudayaan (yang) Mendidik
    Radhar Panca Dahana, PENGAJAR ILMU HUKUM DI FAKULTAS HUKUM UGM YOGYAKARTA
    Sumber : SINDO, 6 Desember 2011
    Dengan pengucapan lugas, guru senior yang mantan pengajar di Kepulauan Seribu itu menegaskan pendapat yang, bersama saya, saling mengafirmasi: di masa kini guru tidak lagi pantas menyandang gelar “pahlawan” dengan keterangan apa pun di baliknya.

    Tentu saja Amin Hamzah, MA (yang juga dikenal sebagai Amir Hamzah karena kegiatan persajakannya), guru senior itu, memiliki alasan sendiri di balik pendapat itu. Sebagaimana saya. Alasan itu bukan hanya berita di sebuah media massa yang memperlihatkan bagaimana guru-guru di zaman sekarang, bahkan di tingkat sekolah dasar, memiliki penghasilan tetap bulanan yang bisa lebih tinggi dari seorang profesor senior.

    Atau karena berita-berita lain yang mengabarkan penyimpangan perilaku dari sementara guru.Tapi juga berdasarkan sebuah cerita kecil dari pengalaman saya memberi pelatihan pada guru dan dosen. Dalam salah satu acara itu terjadi sebuah peristiwa yang membuat saya dan panitia merasa gerah, karena para dosen yang ikut pelatihan itu menyebarkan gosip di kalangan mereka sendiri, yang pada akhirnya menciptakan keresahan bahkan akhirnya protes keras pada satu kesempatan evaluasi.

    Gosip itu adalah: para dosen merasa tidak puas dengan nilai uang saku yang diberikan panitia mereka dan menduga panitia menggunakan sebagian hak mereka itu untuk kepentingan personal dari panitia. Beberapa instruktur dan koordinator panitia berusaha meredakan dan mengklarifikasi isu atau gosip itu.Ternyata tidak berhasil.Bahkan seorang dosen, lulusan sebuah sekolah agama ternama, menegaskan, “Tidak apa kami tidak dibilang pahlawan dan dianggap sebagai guru ‘matre’.

    Memang begitu kenyataannya.”Dengan penuh keyakinan dosen itu menatap kawan-kawannya mencoba meraih persetujuan dari koleganya. Saya terhenyak, diam beberapa jurus. Dan memutuskan untuk tidak melanjutkan kebisuan—sebagai cara untuk tidak terlibat dalam proses penyelesaian masalah itu—karena tuntutan untuk bertambah kuat. Bukan jawaban atau respons keras yang saya berikan saat itu sebagai pokok soal, tapi realitas dari guru/dosen, lengkap dengan mindset, visi, ide, hingga ruang imajinasi mereka yang kini sungguh telah menghina dan merendahkan (profesi) mereka sendiri.

    Di titik ini, tentu muncul kesadaran dalam diri kita: kita setuju dengan pemerintah dan banyak kalangan, persoalan terbesar—bahkan sumber persoalan utama— dari dunia pendidikan adalah justru ada pada (tenaga) pengajarnya. Kini kita pun mafhum, bahwa masalah dan penyelesaiannya tidak pada masalah kesejahteraan atau penghargaan material pada guru/ dosen, tapi pada cara berpikir, mentalitas, dan akhir cara hidup mereka.

    Absennya Koneksi Eksternal

    Persoalan utama berkelindan dengan berbagai per-soalan kompleks dan multidimensi dari dunia pendidikan kita. Yang harus diakui belum mampu menghasilkan jalan keluar yang komprehensif dan memuaskan, dalam arti sekurangnya memberi hasil munculnya manusia-manusia cerdas atau terpelajar yang komplet dengan kualitas-kualitas kemanusiaan lainnya, termasuk dalam kemampuan merespons tantangan mutakhir.

    Salah satu pokok dalam kelindan masalah itu nampak dari ketidakmampuan pendidikan formal—sekolah-sekolah— untuk menjangkau hal-hal atau variabel dependen dan independen di luar dirinya, yang ternyata turut—bahkan lebih—memengaruhi perkembangan seorang anak/siswa. Kondisi itu memberi keuntungan pada pendidikan formal bersama aparatusnya karena mereka memperoleh terdakwa atau kambing hitam bagi kegagalan- kegagalan yang dihasilkannya.

    Apa yang menjadi tanggung jawab sekolah adalah semua hal yang terjadi di dalam area sekolah, di luar itu bukan urusan dan bukan tanggung jawab aparatus pendidikan formal. Tentu saja, situasi tidak menguntungkan itu tidak hanya disebabkan oleh visi pendidikan yang pendek dari aparatus, terutama guru, tapi pada filosofi dan pemahaman dasar pencipta kurikulum yang kurang komprehensif.

    Sistem pendidikan dan pengajaran dengan landasan kurikulum itu kehilangan koneksi atau relasinya dengan faktorfaktor eksternal atau pemangku kepentingan pendidikan lain seperti keluarga, orang tua,lingkungan,saranasarana teknologis mutakhir, dan lainnya. Dengan absennya koneksi dan perhitungan yang komprehensif itu, wajarlah jika kemudian terjadi ketidaksejajaran bahkan konflik di antara para pemangku kepentingan itu.

    Dan hasil yang kita lihat nyata saat ini, pendidikan formal dapat dikatakan tidak mampu atau gagal menjadi pesaing, apalagi pemenang, dari kompetisi pengaruh itu. Seorang anak atau siswa dalam kenyataan umumnya ternyata lebih ditentukan atau dipengaruhi perkembangan pengetahuan, kecerdasan, apalagi kepribadian,oleh variabel- variabel yang dinamik dari pergaulan, lingkungan, sarana teknologis (informasi dan komunikasi), atau sarana hiburan mutakhir lainnya.

    Sebuah upaya besar dan mendasar harus dilakukan, terutama oleh obligor terbesar dunia pendidikan—aparatus formalnya—untuk menciptakan kurikulum dan praktik pengajaran yang secara langsung dan aktif ikut menciptakan koneksi di atas, dan membangun sebuah sistem pendidikan yang komprehensif dengan dimensi ruang dan waktu yang lebih lapang. Sebuah kurikulum semacam ini akan menjangkau pula apa pun hal eksternal, di luar area sekolah, yang dianggap turut memengaruhi sang murid.

    Sebuah mata pelajaran bisa mengikutsertakan keluarga, saudara atau orang tua murid, atau mungkin sebuah lapangan sepak bola tempat siswa bermain dengan temannya, atau warnet di mana murid menghabiskan waktunya, atau bahkansebuahgengremajadimana seorang murid berafiliasi. Di sini, dengan pendekatan yang penuh persuasi,secara langsung faktor-faktor eksternal itu dirangsang dan digerakkan untuk turut mengambil porsi tanggung jawabnya dalam proses pendidikan seorang anak.

    Kebudayaan yang Imanen

    Di sinilah sebenarnya kata “kebudayaan” yang telah pulang kembali pada dunia pendidikan, mendapatkan artikulasi, pemahaman dasar, dan praktik yang sebenarnya. Kebudayaan bukanlah sebuah kerja atau proses terpisah yang dilesakkan dalam padatnya kurikulum.Ia menjadi roh dari pendidikan itu sendiri, dalam arti kebudayaan adalah sebuah proses interdisiplin dan multidimensional dalam proses pewarisan nilai-nilai yang membentuk siswa menjadi manusia yang penuh integritas.

    Di dalamnya tentu termasuk transmisi nilai, keahlian, hingga ritus-ritus adat dan seni yang hidup di satu lokal di mana pendidikan diselenggarakan. Hal terakhir ini penting, karena dengan itu integritas karakter yang dituju pendidikan memiliki landasan ideal,eksistensial, bahkan primordialnya; hal-hal yang tak dapat dilucuti dari keberadaan manusia Indonesia.

    Dalam model ini,adalah wajib seorang siswa tidak hanya mendapatkan pengajaran yang berdampak pada kemampuan kognitifnya.Namun ia harus juga merasakan pengalaman bagaimana proses produksi sebuah karya seni, hidup dalam sebuah sanggar atau komunitas budaya, atau menjalani ritus-ritus artistik atau spiritual,dan semua lokal.

    Maka tidak terelakkan,kembalinya kata “kebudayaan”dalam kementerian pendidikan saat ini tidak lagi dapat menggunakan dasar filosofis dan ideologis yang digunakan di masa Soeharto (pra-Reformasi) bahkan di masa pra-Orde Baru. Tuntutan dan tantangan mutakhir yang berkembang membuat semua format lama itu usang dan kurang memadai. Kebudayaan bukan lagi dipahami sebagai cabang-cabang kesenian, apalagi melesakkan jam pelajaran tambahan, apalagi sekadar aksi-aksi karitatif yang menyesatkan seniman dan dinamika proses di dalamnya.

    Kebudayaan adalah sebuah infrastruktur di mana semua proses dinamis yang dibutuhkan bagi kebudayaan menghasilkan produk-produk terbaiknya, termasuk di dalamnya pendidikan. Dan sesungguhnya ia juga imanen atau ada dalam pengertian yang sama di sektor-sektor govermental lainnya. Karena kita tahu, dimensi itulah,landasan kultural itulah yang kini absen dalam peri hidup kita sebagai manusia, bangsa dan negara.

  • Antara Janji dan Tugas KPK

    Antara Janji dan Tugas KPK
    Zainal Arifin Mochtar, PENGAJAR ILMU HUKUM DI FAKULTAS HUKUM UGM YOGYAKARTA
    Sumber : SINDO, 6 Desember 2011
    Seleksi komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi selesai sudah. Mereka yang terpilih akan segera dilantik. Tugas yang sedemikian banyak, tugas perkara yang menumpuk, adalah tantangan membangun institusi KPK agar lebih kuat.

    Pada saat yang sama, masih juga diimbuhi dengan janji-janji personal yang dikeluarkan kandidat-kandidat komisioner KPK yang terpilih tempo hari. Janji dan tugas KPK akan terakumulasi menjadi tantangan baru bagi KPK. Mampukah? Maukah? Secara yuridis sebenarnya ada yang tidak terlalu pas dalam janji-janji personal para kandidat ini,apalagi yang menjanjikan secara personal akan menyelesaikan kasus tertentu bahkan dengan janji mundur dalam setahun.

    Begitu pula janji menaikkan indeks persepsi korupsi (IPK) secara bertahap maupun janji-janji personal lainnya. Kita tentu bisa membaca itu sebagai cita-cita personal yang akan dilakukan, tetapi masalahnya akan punya peluang untuk menjadi backfirekarena janji itu adalah janji personal yang belum tentu bisa terwujud secara institusional. UU KPK secara jelas menggunakan kata kolektif dan kolegial untuk menggambarkan pola kerja KPK.

    Dalam segala hal, kolektivitas dan kolegialitas harus dikedepankan. Menjadikan sistem yang bekerja, termasuk dalam proses pengambilan keputusan. Untuk janji-janji tertentu semisal menaikkan IPK Indonesia masih terasa cukup wajar karena tentu kerja kolektif dan kolegial mudah untuk mendorong ke arah sana.

    Namun, ketika menjanjikan kasus tertentu untuk dituntaskan, bisa jadi akan ada distingsi di antara para komisioner. Khususnya jika dalam kasus korupsi yang penuh dengan kepentingan politik. Kasus korupsi yang penuh kepentingan politik seringkali tidak menjadikan hukum sebagai barometernya, tetapi kepentingan politiklah yang digunakan sebagai barometer.

    Ketika komisioner KPK terpilih sudah berani berjanji di hadapan ‘blok’ politik tertentu untuk menyelesaikan perkara tertentu, kondisi yang paling berbahaya adalah penyelesaiannya pun terpaksa mengikuti kehendak ‘blok’ politik yang mengusung sang komisioner terpilih. Ini tentu sangat berpotensi menjadi sandungan besar bagi pola kerja KPK yang seharusnya kolegial-kolektif dan pada saat yang sama terikat pada janji menyelesaikan kasus berdasarkan perspektif kepentingan politik tertentu.

    Misalnya di kasus Century. Mengikatkan janji pada “blok’ pengusung kasus Century tentu saja menjadi penyelesaian berdasarkan keinginan “blok” pengusung. Atau pada pertanyaan ‘serupa,tapi tak sama’, bagaimana dengan kasus lain yang berkaitan dengan “blok” pengusung semisal kasus-kasus pajak.Kerja KPK akhirnya harus dititipkan tambahan beban bukan hanya mendorongnya berdasarkan perspektif hukum, melainkan boleh jadi berbaur dengan kepentingan politik.

    Tugas

    Padahal, tugas menjalankan hukum berdasarkan UU KPK sudah menumpuk. Bagaimana KPK menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi yang hingga saat ini masih paling lemah dikerjakan KPK. Jika penindakan dan pencegahan sudah mulai berjalan dan dibantu banyak lembaga lain yang juga bekerja melakukan penindakan dan pencegahan, beda halnya dengan koordinasi dan supervisi yang sangat spesifik menjadi tugas KPK.

    Apalagi dalam tugas itu yang disasar adalah lembaga-lembaga yang bekerja langsung maupun tidak langsung dalam pemberantasan korupsi. Bukan hanya tugas yang berkaitan substansi kerja, melainkan KPK juga diharapkan dengan membangun institusi yang layak untuk dapat mengerjakan semua tugasnya secara serius.

    Padahal, kita semua paham, postur kelembagaan KPK masih jauh dari layak untuk mengerjakan semua tugas secara efektif seperti yang diharapkan pembentuk UU maupun aspirasi masyarakat ketika UU tersebut dibuat. Secara internal KPK bahkan punya persoalan internal yang hingga saat ini belum terjawab dengan baik perihal aturan internal dan sumber daya manusianya.

    Belum lagi ada juga tantangan yang berkaitan kerja eksternal dalam membentuk UU KPK. Pembentuk UU sedang dalam proses melakukan perubahan terhadap UU KPK. Sadar atau tidak, ini sangat berbahaya karena sama dengan membuka kesempatan lebar bagi kekuatan politik untuk menjinakkan KPK melalui revisi atas UU KPK.

    Hal yang berpotensi akan bersalin rupa menjadi UU penjinakan KPK. Meskipun memang secara faktual ada beberapa aturan yang sudah tidak cukup pas dan harus diperbaiki, KPK harus berpikir keras untuk tetap bekerja berdasarkan UU yang ada sembari harus memberikan kawalan atas kemungkinan involutif akibat perubahan UU KPK.

    Roadmap

    KPK harus mulai mencicil jawaban kerja yang dititahkan dan janji yang sudah diucapkan. Ada beberapa langkah wajib yang harus dikerjakan sedari awal sebagai bagian dari menjawab itu. Sekarang saatnya KPK untuk punya roadmap yang jelas untuk melakukan pemberantasan korupsi.Peta yang jelas untuk menggambarkan fokus kerja yang akan dihela selama setahun ke depan hingga yang lebih panjang hingga bertahun-tahun kemudian.

    Roadmap yang menggambarkan bukan saja perbaikan kerja pemberantasan dan pencegahan, melainkan juga soal fokus perbaikan sektor internal KPK. Sembari pada saat yang sama mengerjakan prioritas kasus yang memang sangat penting untuk diselesaikan. KPK juga harus bisa berbagi peran di daerah-daerah yang selama ini sangat kurang, dan artinya membutuhkan penguatan internal KPK agar bisa menjangkau daerah.

    Saya berdoa sekaligus berharap, KPK mampu mengerjakan pemberantasan korupsi secara lebih tegas dan berani. Sadar atau tidak KPK adalah salah satu pertaruhan masa depan bangsa ini. Jika mampu mengerjakan semua amanah yang ada,akan ada harapan besar memenangkan pertarungan dengan para koruptor. Semoga!

  • Kita Butuh “Kegilaan” Abraham dan BW

    Kita Butuh “Kegilaan” Abraham dan BW
    Bambang Soesatyo, ANGGOTA KOMISI III DPR RI/FRAKSI PARTAI GOLKAR
    Sumber : SINDO, 6 Desember 2011
    Kasus Century dengan bukti-bukti yang lebih dari cukup juga tidak bergerak maju. Kita tampak seperti perang-perangan saja dalam pemberantasan korupsi. Padahal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berulang-ulang mengatakan, dia akan hunus pedang dan pimpin sendiri perang melawan korupsi.

    Namun,realitas yang terjadi: hanya perangperangan, pedang-pedangan, tapi korupsinya beneran! Kita ini seperti berada dalam suatu negara dengan pemimpin yang tidak hanya cerdas dalam berpidato dan gagah dalam penampilan, tapi juga santun dalam berkorupsi.Akibatnya rakyat tertipu dan korupsi tetap merajalela. Untuk mengatasinya harus ada langkah- langkah luar biasa dari pemangku kekuasaan dan penegak hukum,khususnya KPK.

    Prioritas kerja pimpinan baru KPK adalah memulihkan independensi KPK dan kompak menangkal upaya kooptasi oleh pihak-pihak tertentu. Agenda kerja yang satu ini sangat berat.Akan ada upaya memperlemah posisi kepemimpinan KPK dengan cara mencari-cari dan mengungkit kesalahan yang mungkin pernah dilakukan di masa lalu.

    Selain itu, pimpinan KPK juga harus selalu waspada dan patuh pada etika, karena akan muncul banyak perangkap yang bisa direkayasa untuk memperlemah posisi setiap figur pimpinan KPK. Kita ingatkan pimpinan baru KPK untuk belajar dari pengalaman buruk yang pernah menimpa beberapa figur pimpinan KPK sebelumnya. Pengalaman mereka sangat berharga dan mahal.

    Kepemimpinan mereka menjadi tidak efektif karena ketidakpatuhan pada etika kepemimpinan. Kepemimpinan sebelumnya relatif lemah karena ada figur yang terperangkap dalam beberapa masalah yang direkayasa pihak tertentu. Perjuangan mantan Ketua KPK Antasari Azhar dan para kuasa hukumnya untuk bebas dari dakwaan terlibat pembunuhan berencana barangkali bisa memberi gambaran tambahan tentang perilaku kekuasaan menyikapi sepak terjang KPK.

    Seandainya Antasari benar-benar hanya menjadi korban rekayasa kasus pembunuhan itu, kemenangannya tidak otomatis memulihkan independensi dan nyali KPK. Menurut persepsi publik,KPK tak lagi bernyali setelah Antasari dijadikan pesakitan. Dan, publik mafhum bahwa hanya kekuasaan dan kekuatan besar yang bisa mengubah status Ketua KPK menjadi pesakitan.

    Formasi baru kepemimpinan KPK di satu sisi berhasil menumbuhkan harapan baru, tetapi di sisi lain menimbulkan kemarahan dan kegelisahan pihak-pihak tertentu yang merasa tidak bersih dari perilaku korup. Kemarahan dan kegelisahan mereka akan dikompensasi dengan upaya mengooptasi atau memperlemah KPK. Hal inilah yang harus disadari dan diwaspadai pimpinan baru KPK.

    Beban pimpinan baru KPK pun bertambah berat karena publik menunggu realisasi janji-janji tentang pelaksanaan proses hukum sejumlah kasus besar yang saat ini direkayasa menghadapi kebuntuan.Antara lain skandal Bank Century dan kasus cek pelawat dalam pemilihan deputi gubernur senior (DGS) Bank Indonesia tahun 2004,Wisma Atlet SEA Games, Hambalang,dan lain-lain.

    Pekerjaan berat yang langsung dihadapi saat ini adalah menyikapi pendapat publik tentang kejanggalan dakwaan terhadap Muhammad Nazaruddin dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games Palembang. Publik merasa aneh karena dugaan keterlibatan beberapa nama dan seorang menteri dalam kasus ini tidak disinggung dalam dakwaan terhadap Nazaruddin.

    Khusus kasus-kasus ini kita perlu “kegilaan” darah muda Abraham Samad sebagai ketua KPK yang baru dan kegarangan Bambang Widjojanto untuk tidak tunduk pada intervensi kekuasaan, baik dari Istana maupun dari Senayan.

    Perilaku Kekuasaan

    Jika kekuasaan bersih,KPK pasti kuat dengan sendirinya. Sebaliknya, kalau penuh noda korupsi,kekuasaan akan memperlemah KPK dengan kekuatan dan kewenangannya. Sangat mudah untuk dimengerti bahwa konsistensi atau kuat-lemahnya KPK hanya bergantung pada satu faktor, yakni perilaku kekuasaan itu sendiri.

    Kekuasaan yang bersih sudah pasti membutuhkan KPK yang kuat, konsisten, dan independen.Kekuasaan akan diuntungkan oleh produktivitas KPK memerangi perilaku korup penyelenggara pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. Apa jadinya kalau kekuasaan itu sendiri kotor akibat noda korupsi di semua lini kewenangan?

    Sudah pasti kekuasaan itu akan gelisah, takut pada bayang-bayang dan mencari ragam cara untuk membangun rasa aman saat terkini maupun di kemudian hari.Kalau kekuasaan itu menggenggam wewenang kontrol atas semua institusi penegak hukum, cara paling instan adalah mempreteli kewenangan penegak hukum, termasuk KPK tentu saja. Sampai kita pada pertanyaan bersama; apakah kekuasaan di negara ini, saat ini, bersih?

    Mereka yang prokekuasaan pasti punya versi jawaban sendiri. Sebaliknya, mereka yang kritis pun punya versi lain. Untuk menyegarkan ingatan, semua komponen masyarakat sebaiknya tidak lupa bahwa penguasa saat ini masih berutang dalam penyelesaian kasus Bank Century, kasus mafia pajak, dugaan suap pembangunan Wisma Atlet, proyek Hambalang, hingga kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK).

    Jika peduli pada kepentingan bangsa dan negara, tanpa perlu didorong-dorong, kekuasaan mestinya mengerahkan KPK menggelar perang mengejar dan menyergap jaringan mafia pajak.Menyedihkan karena jaringan mafia pajak tak pernah terungkap, karena baik KPK maupun penegak hukum lain hanya fokus pada seorang Gayus Tambunan. Memang proses hukum kasus dugaan suap Wisma Atlet SEA Games Palembang dan proyek Hambalang tengah berjalan.

    Namun, proses hukum itu lebih terlihat sebagai upaya menghibur dahaga publik akan keadilan, karena dakwaan hanya dialamatkan kepada orang-orang yang secara politis lemah. Seolah-olah keadilan telah ditegakkan. Rakyat tak mau lagi dibohongi. Namun, untunglah pada akhirnya kini kita berhasil memilih pimpinan KPK yang memberikan harapan.Formasi baru pimpinan KPK yang dipimpin anak muda ini bukan tanpa konsekuensi.

    Terjadi benturan kepentingan di DPR antara kubu yang ingin memperjuangkan aspirasi kekuasaan versus kubu yang konsisten berupaya memulihkan kekuatan dan independensi KPK. Itulah inti persoalan yang sebenarnya. Mari kita beri kesempatan untuk mereka bekerja. Kita beri waktu satu bulan untuk konsolidasi internal.

    Kalau dua hingga tiga bulan atau dalam 100 hari pertama mereka tidak membawa perubahan yang berarti, baru kita teriaki. Dan jika dalam satu tahun KPK tetap memble,kita minta mereka mundur sesuai janji yang mereka ucapkan sendiri.

  • Revolusi Teknologi dalam Layanan Jasa

    Revolusi Teknologi dalam Layanan Jasa
    Jeffrey D. Sachs, GURU BESAR EKONOMI DAN DIREKTUR EARTH INSTITUTE DI COLUMBIA UNIVERSITY
    Sumber : KORAN TEMPO, 5 Desember 2011
    Dalam ilmu ekonomi ada pandangan yang terkenal bahwa biaya jasa (seperti biaya layanan kesehatan dan pendidikan) cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya harga barang (seperti makanan, minyak, dan mesin). Pendapat ini tampaknya benar: orang di mana-mana di dunia sekarang ini hampir tidak mampu
    membayar biaya layanan kesehatan dan pendidikan—biaya yang tampaknya
    meningkat setiap tahun lebih cepat ketimbang inflasi secara keseluruhan. Tapi biaya
    jasa kesehatan, pendidikan, dan jasa-jasa lainnya itu bisa menurun dengan tajam
    berkat revolusi teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang berlangsung saat ini.
    Biaya jasa dibandingkan dengan harga barang bergantung pada produktivitas. Jika petani lebih mahir menanam pangan, sedangkan guru kurang mahir mengajar anak didik, harga pangan bakal cenderung turun dibanding biaya pendidikan. Lagi pula proporsi populasi yang terlibat dalam bidang pertanian juga bakal berkurang, karena sekarang tidak banyak lagi petani yang dibutuhkan untuk menghasilkan pangan di seluruh negeri.
    Inilah pola jangka panjang yang telah kita saksikan: pangsa tenaga kerja di bidang produksi barang telah menurun, sedangkan harga barang telah menurun pula dibanding biaya jasa. Di Amerika Serikat, sekitar 4 persen dari rakyatnya pada 1950 bekerja di bidang pertanian, 38 persen di bidang industri (termasuk pertambangan, konstruksi, dan manufaktur), serta 58 persen di bidang jasa. Menjelang 2010, proporsinya berubah masing-masing menjadi sekitar 2 persen, 17 persen, dan 81 persen. Sementara itu, biaya jasa kesehatan dan pendidikan telah melonjak bersama biaya jasa lainnya.
    Tapi revolusi produktivitas di bidang jasa sekarang bisa terwujudkan. Sebagai guru besar, saya merasakan ini dalam ruang kelas saya mengajar. Sejak saya mulai mengajar 30 tahun yang lalu, tampaknya teknologi yang digunakan tidak banyak berubah. Katakan saya berdiri di depan kelas dan memberi kuliah selama satu jam. Benar, papan tulis sudah berganti dengan proyektor, dan kemudian dengan PowerPoint, tapi “sistem (dasar) produksi ruang kelas” itu tampaknya tidak banyak
    berubah.
    Dalam dua tahun terakhir ini, semuanya telah berubah—menuju perbaikan. Pada pukul 8 pagi setiap Selasa, kami menghidupkan komputer di Columbia University dan ikut dalam sebuah “ruang kelas global” bersama 20 universitas lainnya di seantero dunia. Seorang guru besar atau pakar pembangunan di suatu negara memberikan kuliah, sedangkan beratusratus mahasiswa mendengarkan lewat videoconferencing.
    Teknologi informasi dengan drastis telah mengubah ruang kelas dan menekan biaya produksi materi pendidikan berkelas. Banyak universitas sekarang menempatkan kegiatan mengajarnya online gratis, sehingga semua orang di dunia bisa mengikuti kuliah fisika, matematika, atau ekonomi dari tenaga pengajar kelas dunia. Di Stanford University, musim gugur ini dua guru besar ilmu komputer memberi kuliah online bagi mahasiswa di mana saja di dunia; sekarang sebanyak 58 ribu mahasiswa telah tercatat mengikuti kuliah mereka.
    Terobosan yang sama yang sekarang bisa dilakukan di bidang pendidikan ini bisa juga dilakukan di bidang layanan kesehatan. Sistem layanan kesehatan Amerika kesohor mahalnya, karena banyak di antara biaya utama layanan ini dikendalikan oleh Ikatan Dokter Amerika dan perusahaan-perusahaan asuransi kesehatan swasta sebagai pemegang monopoli yang melambungkan harga. Monopoli biaya seperti ini harus diakhiri.
    Namun ada alasan lain tingginya biaya layanan kesehatan ini. Banyak orang menderita penyakit kronis, seperti sakit jantung, diabetes, obesitas, dan depresi serta gangguan mental lainnya. Penyakit-penyakit ini bisa menelan biaya yang tinggi jika penderita tidak mendapat perawatan dan penanganan yang baik. Banyak sudah orang akhirnya masuk ruang rawat darurat rumah sakit karena mereka tidak memperoleh advis dan bantuan untuk menjaga kondisi kesehatan mereka atau mencegah timbulnya penyakit itu sendiri.
    Sekarang teknologi informasi bisa membantu mereka. Perusahaan-perusahaan yang inovatif, seperti CareMore di California, telah menggunakan ICT untuk menjaga agar pasien-pasien mereka tetap sehat dan dijauhkan dari rumah sakit. Misalnya, ketika para pasien CareMore setiap hari memeriksakan berat badan mereka pada timbangan di rumah, angka berat badan mereka itu diteruskan ke unit layanan kesehatan CareMore. Jika terjadi perubahan berat badan yang membahayakan, yang bisa disebabkan oleh gagal jantung kongestif, CareMore segera menjemput serta membawa pasien itu ke
    rumah sakit untuk diperiksa dengan cepat, dan dengan demikian mencegah terjadinya
    krisis yang mematikan.
    Pendekatan-pendekatan yang dilakukan perusahaan yang inovatif ini menggabungkan
    tiga ide. Pertama, menggunakan ICT untuk membantu individu-individu memantau kondisi kesehatan mereka, dan menghubungkan individu itu dengan dokter ahli. Kedua, memberdayakan pekerja kesehatan masyarakat memberikan layanan berbasis rumah guna mencegah timbulnya penyakit yang lebih serius dan menekan biaya dokter serta rumah sakit yang tinggi itu.
    Ketiga, mengenali bahwa banyak penyakit itu timbul atau memburuk karena keadaan sosial individu yang bersangkutan. Mungkin pasien itu terpencil, seorang diri, menderita depresi, terkena PHK, atau menghadapi persoalan pribadi atau keluarga lainnya. Jika kondisi sosial ini dibiarkan tanpa penanganan, bisa timbul keadaan medis yang serius, yang memerlukan biaya penanganan yang mahal atau bahkan membawa kematian.
    Karena itu, layanan kesehatan yang baik holistik sifatnya, artinya membantu orang
    bukan hanya sebagai pasien yang tiba di ruang rawat darurat rumah sakit, tapi juga sebagai individu dan anggota keluarga di rumah mereka serta dalam lingkungan
    masyarakat mereka sendiri. Layanan kesehatan holistik itu lebih manusiawi, efektif, dan efisien dari segi biaya. Revolusi ICT membukakan jalan menuju layanan kesehatan holistik yang baru dan ampuh.
    Dalam bahasa ekonomi, ICT itu disruptive, artinya bakal memenangi persaingan melawan cara-cara yang mahal harganya yang ada sekarang. Melaksanakan teknologi
    yang disruptive itu tidak mudah. Mereka yang mengenakan biaya yang tinggi, terutama kelompok monopolis yang sudah berurat berakar, akan mengadakan perlawanan. Anggaran belanja negara mungkin akan mendukung cara-cara lama yang berlaku sekarang ini.
    Namun janji datangnya penghematan biaya dan kemajuan dalam penyediaan jasa sudah mendekati kenyataan. Negara-negara di dunia, kaya ataupun miskin, bakal memetik keuntungan dari percepatan inovasi di era informasi sekarang ini.
    HAK CIPTA: PROJECT SYNDICATE, 2011
  • Impor Ikan untuk Siapa?

    Impor Ikan untuk Siapa?
    Muhamad Karim, Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan Dan Peradaban Maritim (PK2PM)
    Sumber : SINAR HARAPAN, 5 Desember 2011
    Pembangunan kelautan dan perikanan kini mengalami kekisruhan akibat pemerintah hendak mengimpor ikan dari negara lain. Ironis memang sebagai negara kelautan di dunia.
    Dalih yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kita kekurangan bahan baku untuk industri perikanan. Alasan yang klise, sebab sejak dua dasawarsa silam soal kekurangan bahan baku sudah menghiasi jagad perikanan Indonesia.
    Jadi, itu amat retoris dan mengada-ada. Padahal, bila mengurusi perikanan ini dengan pendekatan yang tepat, tak mungkin kekurangan bahan baku. Apa masalahnya?
    Problem Kekurangan Bahan Baku
    Soal kekurangan bahan baku ikan dalam industri perikanan telah bersifat struktural. Setiap tahunnya sejak revolusi biru hingga kini, kekurangan bahan baku kerap kali menggoyang eksistensi industri pengolahan ikan kita. Simaklah BUMN Perikanan Usaha Mina yang hingga kini bubar tak ketahuan rimbanya.
    Pemerintah pun tak mampu menjelaskan akar persoalan sesungguhnya hingga kini. Apakah memang Indonesia benar kekurangan ikan? Mungkinkah kita dikibuli negara asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia? Atau pengusaha penangkapan ikan yang beroperasi ikan di Indonesia tak pernah melaporkan hasil tangkapannya secara benar demi menghindari pajak?
    Sangat terbuka kemungkinan mafia perikanan sudah menggurita dalam bisnis perikanan Indonesia sehingga pemerintah bengong saja. Hingga kini pemerintah gagal mengungkap mafia perikanan Indonesia, kendati telah membentuk satgas mafia hukum.
    Problem ekonomi politik semacam ini merupakan konspirasi aparat, korporat (domestik dan asing), dan politikus dalam bisnis perikanan tangkap. Korbannya adalah industri perikanan nasional. Menurut hemat penulis, alasan kekurangan bahan baku sebenarnya menjustifikasi ketidakmampuan pemerintah.
    Amat kontras bila dibandingkan dengan usaha perikanan rakyat yang berkembang baik sebagai industri rumahan hingga usaha mikro yang tak mengeluh soal kekurangan bahan baku. Apakah pernah usaha ikan kayu, ikan asap, ikan pindang, maupun ikan asin mengeluhkan kekurangan bahan baku?
    Mengapa pemerintah tak pernah berupaya memberdayakan usaha perikanan rakyat yang sudah berkembang dalam keluarga nelayan perikanan tangkap, terutama di kawasan timur Indonesia? Umpamanya, di Maluku, Sulawesi Utara, hingga Papua.
    Namun pemerintah justru membuat kebijakan aneh yang belum tentu menuai hasil baik. Contohnya, kebijakan minapolitan hingga kini mau mengembangkan industrialisasi kelautan dan perikanan.
    Pasalnya, kebijakan semacam itu tak berdasarkan realitas masyarakat dan kondisi perikanan Indonesia yang bersifat multispesies. Pengambil kebijakan kelautan dan perikanan di Indonesia ini gemar mencontoh hal-hal yang belum tentu adaptif dan implementatif dengan kondisi Indonesia.
    Simaklah, pertama, model pengelolaan wilayah pesisir yang dicontek dari Amerika Serikat sejak 1996 itu, apa ada hasilnya? Apa betul wilayah pesisir Indonesia menjadi bertambah baik dan degradasi berkurang? Fakta membuktikan justru sebaliknya.
    Pesisir Indonesia makin rusak dan proyek-proyek pesisir itu hanya menghasilkan dokumen-dokumen dan malah menambah daftar utang Indonesia.
    Kedua, program COREMAP, soal pengelolaan terumbu karang. Hasilnya pun tak signifikan bagi perbaikan ekosistem terumbu karang dan kesejahteraan nelayan. Padahal program itu dananya bersumber dari utang luar negeri.
    Penulis mau mengatakan, pemerintah Indonesia cenderung “latah” dalam membuat kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan. Mestinya pemerintah mempertimbangkan aspek-aspek sosiokultural dan historis empiris dalam membangun kebijakannya. Lantas bagaimana semestinya?
    Pendekatan Heterodoks
    Dalam kepustakaan ekonomi politik, pendekatan heterodoks muncul sebagai kritik atas teori arus utama (klasik, neoklasik, dan keynesian) yang gagal menjelaskan problem pembangunan di negara dunia ketiga. Kebijakan industrialisasi kelautan dan perikanan yang hendak diusung KKP kini dipastikan akan menuai kegagalan di masa datang.
    Ini karena, pertama, konsep industrialisasi kelautan dan perikanan dengan dukungan impor bahan baku sejatinya mengadopsi strategi industri subtitusi impor (ISI). Kaum heterodoksian mengkritiknya karena itu merupakan manifestasi dari konsep keseimbangan pasar.
    Permintaan bahan baku tinggi sementara persediaan kurang, solusinya impor. Kaum heterodoksian memandang kekurangan bahan baku ikan tak bisa hanya dijelaskan dengan konsep hukum keseimbangan pasar yang amat matematis itu, tetapi ada komponen lain, mulai soal politik, mafia perikanan, hingga pasar gelap yang mempengaruhi harga ikan.
    Kedua, merujuk teori regulasi (heterodoks)-nya Robert Boyer, pasar bukan hanya sebagai institusi ekonomi, melainkan juga berperan sebagai institusi sosial dan politik. Simaklah dalam tradisi relasi patronase antara juragan sebagai patron dan anak buah kapal sebagai klien.
    Memang di berbagai daerah hubungan ini ada kecenderungan eksploitatif, tetapi relasi patronase ini juga memproduksi hubungan sosial yang selaras dengan habitus masyarakat pesisir yang tak bisa diabaikan.
    Kebijakan politik pembangunan kelautan dan perikanan mestinya memandang pola relasi masyarakat di wilayah pesisir tak hanya sebatas ekonomi an sich, melainkan sisi habitusnya perlu dipertimbangkan, karena telah menstruktur dalam kehidupan masyarakat secara turun-temurun.
    Ketiga, pendekatan heterodoks juga mengharamkan teori neoklasik dalam pasar tenaga kerja yang merasionalisasikan eksploitasi atas buruh oleh pemilik modal. Konsep industrialisasi kelautan dan perikanan sejatinya akan berujung pada rasionalisasi pasar tenaga kerja yang otomatis berujung pada eksploitasi atas buruh nelayan dan industri penangkapan hingga pengolahan ikan.
    Sejumlah Saran Solusi
    Lantas bagaimana pendekatan heterodoks dalam pembangunan kelautan dan perikanan?
    Pertama, kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan mestinya dibangun atas dasar realitas yang berkembang di masyarakat pesisir dan kondisi geografi Indonesia (aliran regulasi), sehingga tak menjadikan negara maju sebagai referensi pembangunannya.
    Umpamanya, kebijakan industrialisasi perikanan lebih berorientasi pada industri skala menengah dan industri rumahan semacam industri ikan kayu, ikan asap, ikan pindang, dan ikan asin yang berorientasi memenuhi konsumsi ikan domestik.
    Seharusnya tak perlu impor ikan karena memang hingga kini industri perikanan rakyat tak mengeluhkan bahan baku. Itu hanya keluhan pejabat KKP dan intelektual yang hanya beretorika di media publik.
    Sumber daya ikan Indonesia pun berbeda dengan Jepang di wilayah subtropis yang keragamannya spesiesnya rendah ketimbang Indonesia di daerah tropik yang keragamannya tinggi. Karena itu, konsep pengelolaan sumber daya dan pengembangan ekonominya bersifat pluralis/majemuk.
    Kedua, kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan mesti mengedepankan nilai-nilai lokal, agama, dan tradisi lokal, terutama dalam pengelolaan sumber daya. Lee (2003) menyatakan kesuksesan Jepang dalam pembangunan ekonominya karena perwujudan nilai-nilai kebajikan (virtue) yang terkandung dalam ajaran konfusianisme dan peran negara dalam pembangunan.
    Nilai-nilai yang diangkat antara lain kedermawanan, kepatuhan terhadap otoritas patriarkis (semangat kekeluargaan), nepotisme, otoriter, kesadaran nasional, semangat komunitas, kegairahan pendidikan, kerja keras, dan gaya hidup hemat.
    Indonesia belum tentu sukses jika mengadopsi nilai-nilai ala Jepang ini. Nilai-nilai yang dikembangkan seharusnya nilai-nilai ke-Indonesiaan, seperti gotong royong, semangat kekeluargaan, relasi patron client egaliter berbasis agama (Lutfi, 2010), hingga kesadaran nasionalisme ekonomi. Bila hal ini berkembang, kebijakan industrialisasi berbasis impor ikan mestinya harus dibuang jauh-jauh.
    Ketiga, mendayagunakan UKMK dan LSM lokal/nasional sebagai fasilitator dan katalisator pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan. Pemerintah tak perlu menganggap LSM sebagai ”musuh” karena kerap kali mengkritik pemerintah. Mestinya, LSM sebagai mitra kritis pemerintah dalam mensukseskan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan.
    Keempat, pemerintah tak bisa berpangku tangan membiarkan mekanisme pasar bekerja secara bebas (liberalisasi) dalam industrialisasi perikanan. Kebijakan KKP hendak mengimpor ikan dengan alasan kekurangan bahan baku, bukti KKP berkiblat pada mekanisme pasar bebas.
    Negara melepaskan tanggung jawabnya sebagai vektor penentu arah dalam kebijakan pembangunan dengan membiarkan impor. Siapa yang dikorbankan?Otomatis usaha perikanan tangkap domestik dan perikanan rakyat yang berupa industri rumahan dan keluarga.
    Bahkan, nelayan-nelayan penangkap ikan akan pengangguran karena pasti harga ikan impor lebih murah ketimbang harga ikan domestik. Pasalnya, biaya proses penangkapan ikan amat mahal akibat pemerintah tak memberikan perlindungan dan subsidi BBM.
    Sejatinya, negara berperan sebagai instruktur terhadap pasar dan mengatur ekonomi yang mendasar, khususnya industri perikanan rakyat di daerah. Bukan sebaliknya, pasar yang menjadi instruktur negara dan mengorbankan rakyat kecil, khususnya nelayan tradisional dan pengolah ikan industri rumahan.
    Dengan pendekatan heterodoks ini akan mereposisikan pembangunan kelautan dan perikanan sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Semoga! ●
  • Mengendalikan Defisit Anggaran

    Mengendalikan Defisit Anggaran
    Makmun Syadullah, PENELITI UTAMA BADAN KEBIJAKAN FISKAL KEMENTERIAN KEUANGAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 5 Desember 2011
    Kebijakan utang luar negeri telah ada sejak masa Orde Lama, namun pembengkakan utang terjadi pada masa ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa. Pada saat itu mungkin tidak terpikirkan bahwa dampak utang luar negeri akan terus membebani dan
    menggerus anggaran negara hingga masih terasa sampai saat ini. Akibatnya, alokasi anggaran untuk belanja pembangunan semakin minim.
    Akumulasi utang luar negeri terus menggunung akibat bertambahnya jumlah utang luar
    negeri, khususnya saat terjadi krisis moneter pada 1998. Krisis mengakibatkan rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS, sehingga negara terbebani oleh membengkaknya jumlah utang. Kondisi ini ikut menyumbang keterpurukan anggaran negara dengan defisit yang semakin besar, belum lagi beban pembayaran bunga utang luar negeri setiap tahunnya.
    Dalam RAPBN 2011, pemerintah mematok rasio utang terhadap PDB sebesar 1,8 persen. Namun, karena adanya perubahan sejumlah asumsi, terutama terkait dengan harga minyak global, Kementerian Keuangan memperkirakan defisit anggaran 2011 akan meningkat mencapai 2,1 persen atau setara dengan Rp 151,1 triliun. Padahal, sebelumnya, defisit anggaran hanya dipatok Rp 124,7 triliun.
    Dilihat dari rasio utang terhadap PDB, yang merupakan salah satu indikator dari kondisi perekonomian suatu negara, rasio utang terhadap PDB saat ini sebesar 28,2 persen.
    Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan pada masa krisis tahun 1998, yang
    mencapai 151,2 persen. Pemerintah memperkirakan rasio utang terhadap PDB dapat
    ditekan hingga 25 persen pada 2011.
    Meskipun rasio utang terhadap PDB terus menurun, pemerintah perlu mewaspadai
    dampak utang, mengingat pada 2012 ekonomi global terancam terkena dampak krisis Eropa dan Amerika. Dampak langsung dari krisis ini mungkin kecil, mengingat ekspor Indonesia ke kawasan Eropa hanya mencapai 10 persen, namun dampak tidak langsung diperkirakan cukup besar. Dampak tidak langsung ini datang melalui Jepang dan Singapura, di mana kedua negara ini diperkirakan akan terkena dampak krisis keuangan global itu. Apabila dampak krisis terhadap kedua negara ini cukup signifikan, secara tidak langsung Indonesia juga terkena imbasnya karena pasar ekspor utama Indonesia dewasa ini adalah Jepang dan Singapura.
    Dampak ini dikhawatirkan akan memberi pengaruh yang sangat tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Apabila pertumbuhan ekonomi Indonesia terganggu, penerimaan negara juga berpotensi terganggu. Ujungujungnya adalah defisit keuangan negara perlu diwaspadai akibat risiko tidak tercapainya target penerimaan negara. Krisis global secara tidak langsung juga akan berdampak semakin mahalnya biaya penerbitan surat utang negara. Meskipun pada 2012 pemerintah tidak akan memanfaatkan sumber pembiayaan dari luar negeri, pemanfaatan dana dalam negeri pun akan kena imbas krisis global. Ini karena sumber-sumber dalam negeri sebenarnya juga berasal dari capital inflow.
    Gambaran di atas mengisyaratkan bahwa APBN 2012 sangat rentan terhadap defisit. Di satu sisi volatilitas harga minyak global akan berdampak pada defisit anggaran negara, di sisi yang lain krisis yang melanda Amerika Serikat dan kawasan Eropa akan berdampak semakin mahalnya biaya untuk menutup defisit anggaran.
    Tentunya, menghadapi kondisi seperti ini diperlukan kebijakan pemerintah yang super hati-hati. Pemerintah harus mencari alternatif lain untuk mencapai target pertumbuhan
    ekonomi yang telah ditetapkan untuk 2012. Salah satu terobosan yang dapat ditempuh
    adalah dengan memacu laju konsumsi dalam negeri. Dalam konteks inilah, pemerintah
    tampak ragu dalam mengambil kebijakan apakah akan menaikkan harga bahan bakar
    minyak, membatasi bahan bakar minyak bersubsidi, atau melakukan penjatahan bahan
    bakar minyak bersubsidi. Apa pun pilihannya secara langsung akan berdampak pada daya beli masyarakat, yang ujung-ujungnya akan menurunkan laju konsumsi masyarakat.
    Dalam konteks dengan utang, pemerintah sebaiknya terus berusaha menekan laju pertumbuhan defisit anggaran agar rasio utang terhadap PDB dapat diturunkan. Hal ini dapat ditempuh melalui keharusan, bukan sekadar imbauan, kepada seluruh kementerian, khususnya pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran pada kementerian/lembaga/pemerintah daerah untuk menghemat anggaran yang akan dialokasikan pada tahun 2012. Penghematan yang bisa dilakukan, misalnya, mengurangi frekuensi perjalanan dinas, baik dalam perjalanan dinas dalam negeri maupun luar negeri, yang tidak perlu dan tidak mendesak; mengurangi acara seminar, sosialisasi, dan rapat-rapat dinas di luar kota dengan menggunakan hotel mewah; dan sebagainya. Selama ini kegiatan-kegiatan seperti itu lebih bersifat untuk menambah penghasilan pegawai sehingga, kalaupun dikurangi, anggarannya tidak akan berdampak pada pencapaian target-target APBN.
    Sementara itu, dari sisi belanja modal, dilakukan penghematan dengan mengkaji kembali hal-hal yang tidak perlu dan kurang bermanfaat, serta melakukan evaluasi atas standar berbagai jenis kegiatan, barang, dan jasa yang dapat ditugaskan kepada kementerian terkait untuk menutup ruang terjadinya penyimpangan oleh siapa pun yang bertanggung jawab atas program tersebut. Di lain pihak, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran harus dapat mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan kepada kementerian/lembaga/pemerintah daerah secara transparan dan akuntabel.
  • Kebebasan “Pilih-Pilih”

    Kebebasan “Pilih-Pilih”
    Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 5 Desember 2011
    Kebebasan beragama (religious freedom), saya kira, merupakan prinsip yang saat ini sudah diterima sebagai norma universal oleh banyak umat beragama dari tradisi keagamaan manapun, tak terkecuali umat Islam. Mungkin masih ada golongan yang berpikiran triumfalistik (pikiran yang menghendaki agama tertentu mengalahkan dan menundukkan agama-agama lain [dari kata “triumph” yang artinya: menang]) dan berpendapat bahwa tak ada kebebasan beragama; sebaliknya, semua orang haruslah dipaksa memeluk agama tertentu yang dianggap “paling benar”.
    Golongan yang triumfalistik itu, saya kira, jumlahnya tidaklah banyak. Sebagian besar umat beragama saat ini pelan-pelan sudah bisa menerima gagasan tentang kebebasan beragama sebagai norma dasar yang berlaku universal. Berdasarkan norma ini, seseorang tak bisa dipaksa untuk memeluk agama tertentu, entah Islam atau agama-agama lain. Kepemelukan seseorang terhadap agama atau sistem kepercayaan apapun haruslah didasarkan pada pilihan bebas orang yang bersangkutan.
    Yang menarik, norma kebebasan beragama ini mendapat justifikasi dari dalam tradisi agama itu sendiri. Dalam kasus Islam, misalnya, kita jumpai sejumlah ayat dalam Quran yang menegaskan tentang pentingnya norma ini. Ayat yang paling populer yang menyokong norma kebebasan beragama adalah Al-Baqarah:256. Ayat itu menegaskan, la ikraha fi ‘l-din—tak ada paksaan dalam beragama.
    Marilah kita tengok sebentar, bagaimana sejarah munculnya ayat di atas itu. (Ingat, ayat dalam Quran pun memiliki sejarah, konteks yang melatari kemunculannya; prinsip historisitas ini penting untuk terus diperhatikan). Saya akan kutipkan keterangan Al-Tabari (839-923 M) dalam tafsirnya yang masyhur Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi ‘l-Quran, tentang sabab al-nuzul atau alasan turunnya ayat tersebut:
    Ada “gugon tuhon” atau mitos tertentu yang berkembang di kalangan masyarakat Arab di Madinah pada zaman pra-Islam. Mereka percaya, jika seorang anak memeluk agama Yahudi, maka umurnya akan panjang. Sebab, demikian kepercayaan mereka, agama Yahudi lebih tinggi derajatnya ketimbang Agama bangsa Arab. Demikianlah, perempuan-perempuan Arab di Madinah yang memiliki anak dan selalu meninggal saat masih kecil, membuang kaul atau ber-nazar akan meyahudikan anak-anak yang lahir dari rahim mereka, dengan harapan anak-anak itu akan berumur panjang.
    Saat Banu al-Nadir, salah satu suku Yahudi, diusir oleh Nabi dari Madinah pada 628 M, karena berkomplot dengan suku-suku Arab lain untuk menyerang komunitas Islam yang baru berdiri di Madinah dalam Perang Parit (Ghazwa al-Khandaq), sebagian orang-orang Arab dari suku Ansar risau dan bertanya kepada Nabi: Bagaimana dengan anak-anak kami yang berada di tengah-tengah suku Yahudi dan memeluk agama itu? Apakah mereka juga harus terusir bersama dengan orang-orang Yahudi dari Madinah? Bolehkah kami memaksa anak-anak kami itu masuk Islam agar tetap tinggal bersama kami di Madinah? Saat itulah turun Al-Baqarah:256: tak ada paksaan dalam agama. Prinsip tentang kebebasan beragama juga ditegaskan oleh sejumlah ayat lain dalam Quran: 10:99-100, 108; 18:29; 88:21-22.
    Yang menjadi persoalan adalah: jika kebebasan beragama diterima sebagai norma universal, kenapa kita, saat ini, masih menyaksikan banyak sekali kasus-kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap sekte-sekte minoritas dalam Islam, seperti Syiah atau Ahmadiyah? 
    Beberapa waktu terakhir ini, kita menyaksikan sejumlah kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah di berbagai daerah; juga kekerasan terhadap Syiah di Madura, misalnya. Di Pakistan, kabar tentang kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah dan Syiah, hampir rutin kita dengar dari waktu ke waktu.
    Pertama-tama, haruslah dikatakan bahwa tindakan kekerasan semacam itu tak ada hubungannya dengan Islam, sebab Islam sama sekali tak bisa membenarkan tindakan semacam itu. Islam menganut norma yang sangat jelas: tak ada paksaan dalam beragama. Ini norma universal yang tak dapat dikualifikasi atau dibatalkan dalam keadaan apapun. Juga, Islam adalah agama yang menganut prinsip perdamaian dan kewelasan (compassion). Setiap hari, umat Islam melaksanakan sembahyang lima kali, dan mengawali ibadah hariannya itu dengan bacaan al-Fatihah yang dibuka dengan formula yang sangat terkenal, formula basmalah: Dengan nama Tuhan yang Pengasih dan Penyayang. Kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang atas nama Islam beberapa waktu terakhir ini , entah terhadap golongan di dalam atau di luar Islam, adalah tindakan yang, dari kaca mata Islam, tak bisa dibenarkan.
    Hal berikutnya yang harus dikatakan ialah: kekerasan atas nama agama itu memiliki faktor yang kompleks. Kerapkali Islam hanyalah dipakai untuk menjustifikasi atau membungkus alasan-alasan lain yang tersembunyi, misalnya alasan-alasan yang jauh lebih “material” sifatnya. Meskipun, harus diakui, alasan dan argumentasi keagamaan tetaplah menduduki posisi penting dalam kerangka berpikir yang dianut oleh kelompok-kelompok pelaku kekerasan atas nama Islam tersebut.
    Kembali ke pertanyaan awal: kenapa kekerasan terhadap sekte-sekte dan golongan dalam Islam itu tetap dan terus terjadi? Saya menduga, salah satunya, di luar faktor-faktor lain yang lebih materialistik sifatnya, ialah karena adanya kecenderungan pada golongan tertentu dalam Islam untuk mudah menganggap sesat, kafir, musuh, atau murtad golongan-golongan lain yang mempunyai tafsiran berbeda dalam lapangan akidah. Ini kecenderungan yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, dan, mestinya, haruslah sudah berhenti saat ini, karena hanya akan membahayakan kehidupan umat yang damai.
    Pandangan yang mudah mengkafirkan atau menyesatkan golongan lain yang berbeda itu, dalam banyak kasus, mempunyai implikasi empiris yang membatasi atau bahkan menghilangkan sama sekali kebebasan keyakinan dan beragama dari golongan yang disesatkan itu. Ini terjadi pada kelompok Ahmadiyah, juga pada kelompok Syiah, jika kecenderungan intoleran terhadap kelompok yang terakhir ini tak segera dihentikan. Membatasi keyakinan sekte tertentu, apalagi melarangnya dengan alasan, sekte tersebut menyimpang dan sesat, jelas berlawanan dengan pesan pokok yang terkandung dalam Al-Baqarah:256 di atas, selain, tentunya, dengan konstitusi negara kita yang menjamin kebebasan keyakinan bagi semua golongan, tanpa diskriminasi apapun.
    Dalam penafsiran saya, kebebasan yang dimaksud dalam Al-Baqarah:256 mencakup dua jenis kebebasan sekaligus. Pertama, kebebasan eksternal, yakni kebebasan bagi seseorang untuk masuk atau tidak masuk ke dalam agama tertentu. Kedua, kebebasan internal, yakni kebebasan bagi seseorang untuk memilih sekte, mazhab, dan golongan tertentu dalam agama yang dipeluk oleh yang bersangkutan. Dengan demikian, sesorang bebas untuk memeluk atau tidak memeluk agama Islam, misalnya. Manakala orang itu memutuskan untuk masuk Islam, maka ia juga memiliki kebebasan untuk mengikuti golongan apapun yang ada dalam Islam: Sunni, Syiah, Mu’tazilah, Wahhabiyah, Ahmadiyah, dsb. Sebab, Islam bukanlah entitas yang monolitik; di dalam Islam, sejak masa-masa formatifnya sendiri, kita jumpai banyak sekte, mazhab, dan golongan yang berbeda-beda.
    Tampaknya, penafsiran yang saat ini umum diikuti oleh umat Islam terhadap ayat 2:256 itu masih sebatas pada kebebasan eksternal saja, yakni kebebasan seseorang untuk masuk atau tak masuk ke dalam Islam, atau agama-agama yang lain. Tetapi, kebebasan internal tampaknya kurang diperhitungkan, bahkan cenderung ditolak. Saya melihat suatu anggapan yang secara sembunyi-sembunyi berkembang di kalangan umat: bahwa seseorang haruslah mengikuti “sekte” tertentu yang benar, bukan yang sesat, dalam Islam. Dengan kata lain, seseorang tak bebas untuk mengikuti sekte yang oleh golongan tertentu dianggap “sesat”. Pertanyaannya: Sesat menurut siapa? Sebab, golongan tertentu bisa saja dianggap sesat oleh golongan lain, sementara oleh kelompok yang mengikutinya, tentulah ia adalah sekte yang lurus, bukanlah sesat sama sekali.
    Tafsiran yang konsisten terhadap Al-Baqarah:256 itu haruslah sedemikian rupa sehingga mencakup dua jenis kebebasan sekaligus – kebebasan eksternal dan kebebasan internal. Jika kita hanya membatasi cakupan kebebasan yang dimaksud dalam ayat itu pada kebebasan eksternal saja, maka saya menyebutnya sebagai kebebasan selektif, kebebasan yang “pilih-pilih” saja. Wa ‘l-Lahu a’lam bi ’l-shawab. ●