Category: Uncategorized

  • Keluarga Berencana yang Manusiawi

    Keluarga Berencana yang Manusiawi
    Aloys Budi Purnomo, ROHANIWAN, BUDAYAWAN INTERRELIGIUS, ANGGOTA DEWAN PENASIHAT BKKBN JAWA TENGAH
    Sumber : SUARA MERDEKA, 7 Desember 2011
    Kepala BKKBN mengingatkan, hanya dalam satu dekade, penduduk melonjak 32 juta jiwa lebih karena kita membiarkan terbengkalainya program keluarga berencana (KB). Diingatkan pula kemungkinan penduduk naik lipat dua mendekati 500 juta jiwa dalam 50 tahun ke depan. Lonjakan jumlah penduduk dan sinyalemen kegagalan program keluarga berencana (KB) menjadi ancaman masa depan demografis kita. Namun, kegagalan dan ancaman itu masih sangat terfokus pada kalkulasi jumlah dan angka kelahiran.

    Selama ini, ada anggapan, program KB kaitannya dengan lonjakan jumlah penduduk hanya dipahami pada pembatasan jumlah kelahiran. Itulah sebabnya, gagal mengerem laju pertumbuhan pendudukan akan dianggap sebagai kemunduran, bahkan kegagalan program. Benar, tanpa diimbangi kualitas, pertumbuhan penduduk tak terkendali akan menjadi beban dan menanam bencana, baik ekonomi maupun sosial politik. Benar pula, bahwa penduduk besar dengan dominasi struktur usia muda memang menjadi aset tak ternilai dan keunggulan kompetitif ekonomi.

    Dalam konteks ini, pertanyaan serius harus diajukan dan dijawab. Apakah program KB hanya sekadar merupakan pembatasan kelahiran? Apakah sebetulnya yang menjadi inti pokok dari program itu yang benar dan sejati menurut perspektif moral kultural religius?

    Secara moral kultural religius, adalah suatu kesalahan fundamental, bila program KB hanya dipahami pada soal pembatasan jumlah kelahiran anak. Perspektif yang sempit, maka laju pertumbuhan penduduk harus direm, merupakan sesat pikir. Ekspresinya, gagal mengerem laju pertumbuhan penduduk adalah kemunduran atau kegagalan program KB pula.

    Logika selanjutnya, pertumbuhan penduduk tak terkendali adalah beban, bahkan ancaman bencana masa depan. Lonjakan jumlah penduduk identik dengan program KB yang terbengkalai, bahkan gagal! Apakah memang demikian?

    Mari kita tempatkan kesejatian program KB bukan semata-mata dalam ranah pembatasan kelahiran atau jumlah penduduk. Program ini harus diletakkan dalam konteks membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera dalam semangat keadilan dan menghargai martabat kehidupan.

    Program KB adalah perencanaan matang, cermat, dan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek kemanusiaan dan keadilan dalam rangka keluarga bahagia dan sejahtera.  Itulah sesungguhnya, inti dan maksud program yang sejati. Ketika suami istri merancang kehidupan keluarganya secara matang, cermat, dan manusiawi, berapa pun jumlah anak yang dianugerahkan Tuhan bukanlah beban melainkan berkat. Dengan demikian, suami istri tidak terjebak dalam upaya membatasi jumlah anak, apalagi dengan menghalalkan segala cara yang kemudian mengabaikan aspek moral dan kemanusiaan.

    Pengaturan Kelahiran

    Hakikat KB bukan pembatasan kelahiran, melainkan pengaturan kelahiran (birth control). Pengaturan kelahiran tidak sama dan jangan dipersempit menjadi pembatasan jumlah kelahiran anak. Salah kaprah pemahaman hakikat KB sebagai pembatasan jumlah anak, apalagi dengan penggunaan alat kontrasepsi, secara moral kehidupan justru melanggar prinsip-prinsip etis humanis religius.

    Program KB yang benar, bertanggung jawab, dan manusiawi tidak hanya sekadar pembatasan kelahiran dan jumlah anak tetapi strategi merancang semua aspek dan dimensi kehidupan keluarga. Bahkan, sekiranya proses pengaturan kelahiran dilakukan, prinsip etis humanis religius harus menjadi pegangan utama.

    Tanggung jawab pengaturan kelahiran lalu tidak pertama-tama diatur oleh pemerintah, tapi oleh suami istri. Merekalah yang bertanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan dengan mempersiapkan dan menyediakan fasilitas yang diperlukan demi perkembangan masa depannya.

    Prinsipnya, KB adalah upaya dan usaha mencapai kesejahteraan jasmani dan rohani bagi seluruh anggota keluarga, melalui perencanaan yang matang dan bijaksana. Lebih dari sifat etatistik, campur tangan pemerintah yang terlalu dominan, prinsip subsidiaritas dan solidaritaslah yang harus dikembangkan. Cara-cara yang bersifat abortif dan sterilisasi (pengguguran dan pemandulan) harus dihindari. Cara-cara ini merendahkan martabat kehidupan dan berlawanan dengan hidup manusiawi.

    Peran pemerintah mestinya difokuskan pada penyediaan segala infrastruktur yang dibutuhkan untuk menopang penduduk agar mereka hidup bahagia dan sejahtera dari sisi ekonomi, sosial, dan politik. Infrastruktur itu tak terbatas pada aspek pangan dan air bersih, tapi juga papan dan penyediaan lapangan kerja. Benar, dalam arti ini, pemerintah memang belum maksimal mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera, untuk tidak mengatakan gagal mewujudkan program KB secara benar.

    Karenanya, peran pemerintah mengatasi kegagalan program KB adalah dengan meningkatkan tersedianya berbagai fasilitas di bidang pendidikan, kesehatan, energi, dan transportasi. Propaganda program KB sebagai pembatasan kelahiran dan jumlah anak harus diganti dengan implementasi kesejahteraan dan peningkatan sarana prasarana yang menunjang perencanaan keluarga yang bahagia dan sejahtera.

  • Menakar KPK Selera DPR

    Menakar KPK Selera DPR
    Agus Riewanto, KANDIDAT DOKTOR ILMU HUKUM UNS SURAKARTA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 7 Desember 2011
    Keterpilihan Abraham Samad sebagai Ketua KPK yang baru ini menyiratkan Komisi III DPR lebih mengutamakan energi baru dalam pemberantasan korupsi. Bagaimana prospek pimpinan baru komisi antikorupsi itu, dengan melihat konstelasi mutakhir politik hukum dalam pemberantasan korupsi lima tahun ke depan?

    Pilihan DPR itu lebih pada sosok yang belum populer, belum memiliki prestasi besar, dan bukan tokoh nasional. Kelebihannya masih muda, baru berusia 45 tahun pada 27 November lalu dan belum terkontaminasi oleh kekuasaan politik. Dia mengungguli Bambang Widjojanto, rangking I seleksi versi pansel bentukan pemerintah. Ketidakterpilihan Bambang lebih disebabkan kedekatannya dengan pegiat sejumlah LSM antikorupsi dan membuat takut DPR.

    Busyro Muqoddas tak diminati karena terlalu keras mengkritik anggota DPR, yang disebutnya hedonis dan boros. Adapun Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, dan Aryanto Sutadi dianggapnya telah terlibat jauh dengan kekuasaan politik. Posisi itu mereka khawatirkan mudah menjegal kekuatan politik di parlemen.

    Lebih dari itu, ketiganya di mata DPR tak memiliki rekam jejak prestasi luar biasa. Husein saat memimpin PPATK dinilai tak berhasil mendorong transparansi rekening pejabat publik yang diduga korup. Abdullah Hehamahua sebagai Penasihat KPK gagal mendorong lembaganya mengusut kasus-kasus besar korupsi, dan Aryanto Sutadi disebut dalam beberapa kasus gratifikasi saat menjabat di Polri.

    Pilihan terhadap pimpinan baru KPK itu bukannya tanpa cacat mengingat keterpilihan mereka adalah hasil kompromi elite politik di parlemen, terutama anggota setgab koalisi parpol pendukung pemerintah, yang terdiri atas PD, PKB, PAN, PKS, PPP, dan Golkar. Hal itu bisa terlihat saat molornya rapat Komisi III dalam voting.

    Bahkan, jauh sebelumnya lobi-lobi intensif telah dilakukan di kantor setgab untuk menyamakan persepsi. Kelima pimpinan baru itu tampaknya dianggap paling bisa mengakomodasi kepentingan politik partai-partai di DPR agar selamat dari gempuran KPK lima tahun ke depan.

    Terpilihnya Abraham Samad juga mencerminkan betapa DPR tak cukup memiliki komitmen memberantas karena wajah baru tersebut dianggap lebih mudah dititipi kepentingan politik. Lain halnya bila Bambang Widjojanto yang terpilih yang ketegasan sikapnya dapat membahayakan posisi politik partai di DPR dan nasib pemerintahan SBY. Apalagi 2012-2014 adalah tahun krusial politik nasional. Dalam tiga tahun kecenderungan korupsi kekuasaan dan anggaran negara pasti cukup besar dari politikus dan birokrat guna mengisi pundi-pundi guna penggalangan kekuatan politik menuju Pemilu 2014. Di titik ini, dugaan adanya kepentingan menempatkan sosok yang sesuai dengan selera DPR dan pemerintah menemukan relevansinya.

    Model Pencegahan

    Tantangan pimpinan baru KPK adalah keberanian mengusut kasus-kasus besar yang selama ini dibentengi kekuatan politik. Misalnya, kasus bailout Bank Century, korupsi wisma atlet SEA Games, mafia pajak, dan kasus cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Senior Gubernur BI.

    Jika Abraham Samad dan komisioner lainnya bisa mengusut tuntas sejumlah megaskandal, hal itu dapat memulihkan citra pemberantasan korupsi yang selama ini cenderung tebang piilih dan penuh rekayasa politik. Namun bila gagal maka pergantian pimpinan KPK itu hanyalah rutinitas sebagaimana layaknya pergantian kepengurusan organisasi.

    Nakhoda baru komisi antikorupsi itu dituntut segera menyinergikan relasi penegakan hukum, bersama Polri dan kejaksaan mengingat selama ini sinergi itu tidak berjalan karena egosektoral masing-masing institusi. Publik juga berharap pimpinan baru KPK mampu mengubah pemberantasan korupsi menjadi model pencegahan, seperti dilakukan China, Hong Kong, Malaysia, Singapura, dan Selandia Baru.

    Upaya itu bisa dilakukan dengan mendorong reformasi birokrasi, perbaikan pelayanan publik, remunerasi pada semua insitusi pelayanan publik, pembatasan transaksi tunai bagi pejabat publik dan menggantinya lewat rekening bank, serta merancang ’’kurikulum’’ antikorupsi pada semua lini lembaga pendidikan.

    Apakah pimpinan baru komisi antikorupsi itu bisa mewujudkan harapan masyarakat agar negeri ini segera beranjak dari indeks korupsi yang anjlok menuju negara yang bersih? Sejarahlah yang akan mengujinya.

  • Kajian Ekonomi, dari Boeke, Berkeley, hingga ANU

    Kajian Ekonomi, dari Boeke, Berkeley, hingga ANU
    Thee Kian Wie, STAF AHLI, PUSAT PENELITIAN EKONOMI–LIPI (P2E-LIPI), JAKARTA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 6 Desember 2011
    Sewaktu Indonesia masih Hindia Belanda, kajian tentang ekonomi Indonesia didominasi ekonom Belanda, khususnya Professor JH Boeke yang terkenal dengan teorinya tentang dualisme ekonomi.
    Dikemukakannya bahwa ekonomi Indonesia terdiri atas dua sistem sosial yang saling berbenturan, yaitu sistem sosial yang diimpor dari luar yang pada umumnya merupakan kapitalisme dan sistem dalam negeri yang prakapitalis.
    Implikasi kebijakan dari teori Boeke yaitu bahwa masyarakat prakapitalis yang terdapat di Indonesia dan masyarakat kapitalis lainnya tidak berpotensi untuk berkembang.
    Teori itu dikritik keras oleh banyak ekonom, misalnya Prof DH Burger (Belanda) dan juga Prof M Sadli. Kini teori Boeke tak pernah dibahas lagi dalam buku teks ekonomi.
    Profesor Burger juga telah menulis buku dua jilid tentang sejarah sosiologi-ekonomi Indonesia dalam bahasa Belanda. Jilid pertama tentang sejarah sosiologi-ekonomi Indonesia sebelum abad ke-20 telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Profesor Prajudi Atmosudirdjo.
    Sewaktu masih Hindia Belanda, tak banyak ekonom di Indonesia, karena pendidikan ilmu ekonomi hanya ada di negeri Belanda. Jumlah mahasiswa Indonesia yang dapat belajar sangat terbatas, yaitu Mohamad Hatta, Aboetari, Saroso, dan Sumitro Djojohadikusumo.
    Mereka alumni Sekolah Tinggi Ekonomi Belanda (sekarang Universitas Erasmus) di Rotterdam. Khusus Sumitro Djojohadikusumo, dia meraih gelar doktor ekonomi di Sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam pada 1943, dengan disertasinya ”Het Volkscredietwezen in de Depressie” (Dinas Perkreditan Rakyat selama Depresi Ekonomi tahun 1930-an).
    Sesudah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, pada 1951 Dr. Sumitro—setelah lepas dari jabatan Menteri Perdagangan dan Industri selepas kejatuhan Kabinet Moh Natsir—diangkat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) yang baru didirikan pada September 1950.
    Semasa menjadi dekan FEUI (1951–1957) dia berhasil menjadikan FEUI sebagai fakultas ekonomi paling terkemuka di Indonesia.
    Dia banyak merekrut guru besar dan lektor Belanda melalui hubungannya dengan Sekolah Tinggi Ekonomi Belanda, seperti Prof Emile van Konijnenburg yang juga Presiden Direktur Garuda Indonesian Airways (yang pada waktu itu adalah usaha patungan antara maskapai KLM dan pemerintah Indonesia), Prof CF Scheffer, Prof Van der Velden, Prof. Weinreb, Drs C van der Straaten, dan Drs F Ormeling.
    Dominasi Berkeley
    Dengan memburuknya hubungan politik Indonesia dan Belanda pertengahan 1950-an, terkait soal Irian Barat dan eksodus pengajar Belanda, Prof Sumitro menjalin hubungan dengan Universitas California di Berkeley pada 1956.
    Sejumlah staf pengajar muda dikirim belajar, antara lain: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dan Suhadi Mangkusuwono. Sejumlah profesor didatangkan dari Berkeley: Prof Bruce Glassburner, Prof. Leon Mears, Prof Leonard Doyle, Prof Don Blake, dan dua mahasiswa pascasarjana Hans Schmitt dan Ralph Anspach.
    Para guru besar dari Universitas Berkeley itu memanfaatkan kesempatan untuk membuat kajian, terutama Prof Glassburner dan Prof Mears. Prof Glassburner menyunting buku berjudul The Economy of Indonesia–Selected Readings, diterbitkan Cornell University Press, Ithaca, 1971.
    Di situ banyak diulas tentang berbagai aspek ekonomi Indonesia selama 1950-an dan awal 1960-an. Sementara itu, Prof Mears menghasilkan buku Rice Marketing in the Republic of Indonesia (penerbit PT Pembangunan Press, Jakarta, 1961).
    Seorang ekonom Amerika yang sejak awal 1970-an hingga kini masih mengamati dan mengkaji ekonomi Indonesia, khususnya tentang perkembangan industri manufaktur, kesempatan kerja dan kemiskinan, adalah Prof Gustav Papanek (Universitas Boston), yang telah menyunting buku The Indonesian Economy, terbit pada 1981.
    Kiblat Baru: ANU
    Akan tetapi sejak awal 1970-an kajian tentang ekonomi Indonesia bergeser ke Australia, khususnya The Australian National University (ANU), Canberra, yang diprakarsai Prof HW Arndt.
    Ketika menjadi Kepala Department of Economics, Research School of Pacific Studies, ANU, pada 1963, Arndt menyadari Australia tak mungkin mengabaikan perkembangan ekonomi Indonesia, negara tetangga terbesar dan terdekat.
    Setelah kunjungan ke berbagai universitas ke Indonesia dan bertemu dengan beberapa ekonom muda yang terkemuka, seperti Widjojo Nitisastro dan Moh Sadli, pada November 1964, Arndt memulai proyek kajian khusus tentang ekonomi Indonesia, yaitu Proyek Indonesia ANU.
    Dia merekrut Dr David Penny (ekonom pertanian), Kennetth Thomas, Dr J Panglaykim, dan dua asisten peneliti, yaitu Lance Castles dan Boediono (kini Wakil Presiden RI).
    Arndt juga meluncurkan penerbitan pertama jurnal khusus tentang ekonomi Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES) pada Juni 1965. Kini BIES sudah memasuki tahun ke-47 dan merupakan satu-satunya jurnal ekonomi di dunia yang khusus membahas masalah ekonomi Indonesia.
    Khususnya tulisan pertama dalam BIES, yaitu Survey of Recent Developments, mungkin adalah tulisan yang paling diminati para pembaca BIES.
  • Anak-anak Papua yang Membanggakan

    Anak-anak Papua yang Membanggakan
    Kristanto Hartadi, WARTAWAN SENIOR SINAR HARAPAN
    Sumber : SINAR HARAPAN, 6 Desember 2011
    Masalah Papua memenuhi benak saya hari-hari ini, karena banyak hal terjadi di sana yang membuat saya akhirnya bertanya: apakah Papua akan merdeka, seperti yang terjadi di provinsi RI ke-27 Timor Timur?
    Seorang rekan diplomat senior dan pernah menjadi duta besar di sejumlah negara ketika saya tanyakan hal itu menjawab pasti: merdeka tidak bisa, tapi untuk lepas dari Indonesia terbuka peluangnya.
    Artinya, jelasnya, Papua sudah pernah “dimerdekakan” oleh Indonesia ketika akhirnya Belanda memilih menyerahkan wilayah terakhir yang didudukinya di Hindia Belanda itu pada tahun 1962.
    Agar Belanda tidak terlalu hilang muka digelarlah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), dengan metode disesuaikan dengan situasi saat itu di Irian Barat. Jadi, kalau sebutannya merdeka lagi itu tak lazim, katanya.
    Mengenai hal ini saya akan coba tulis dalam kesempatan lain. Masih terkait Papua, Senin (5/12), saya hadir dalam sebuah diskusi terbatas mengenai soal pendidikan di Papua. Salah satu narasumber adalah Prof Dr Yohanes Surya, yang berhasil membuktikan bahwa anak-anak Papua yang dididiknya jauh dari bodoh, bahkan cerdas.
    Dia buktikan itu bahwa anak-anak pedalaman (dari Puncak Jaya, Mulia, Tolikara) yang diambil secara acak, karena mereka rata-rata tidak mampu membaca, menulis, dan berhitung, dalam tempo beberapa bulan dapat diubah sampai mampu menjadi juara Olimpiade Sains.
    Pilih Panjat Pohon
    Rekan Antie Sulaiman, staf di Pusat Kajian Papua, di Universitas Kristen Indonesia, mengeluhkan di rumahnya ada dua anak asuh asal Papua, tetapi mereka “nakal-nakal”, sulit disuruh belajar, senangnya bermain dan memanjat pohon, bahkan ada yang dua kali tidak naik kelas.
    Oleh Yohanes Surya dijawab apa yang dihadapinya juga demikian, karena mereka menjadi “nakal” tak lain karena takut menghadapi soal yang mereka tidak paham, sehingga memilih lari, memanjat pohon, atau bersembunyi di kolong.
    Bahkan, tuturnya, ada seorang anak asal Merauke yang kesenangannya bermain dengan buaya, namun kalau diberi soal lari tunggang langgang.
    “Jadi, pada tahap awal harus diajarkan kepada mereka bahwa matematika itu mudah, jangan ajarkan mereka kali-kalian kalau tambah dan kurang belum tuntas, misalnya,” kata Yohanes. Kini di Surya Institut terdapat 600 anak dari berbagai kabupaten di Papua menjalani pendidikan dan tahun depan akan datang lagi 400 anak.
    Berkat keberhasilannya mendidik anak-anak di Papua itu, Yohanes Surya diajak bekerja sama oleh PP Muhammadiyah untuk mengajarkan metodenya itu. Ini karena ada sekitar 1 juta murid di berbagai lembaga pendidikan dasar Muhammadiyah, juga PB NU, memintanya mengajarkan matematika dan fisika untuk jutaan anak di pesantren-pesantren mereka.
    Dalam diskusi itu juga terungkap bahwa banyak pihak di Republik Indonesia yang tidak suka kalau anak-anak Papua menjadi pintar karena “nanti Papua makin cepat merdeka dari Indonesia”.
    Anggapan itu pasti akan langsung dibantah pemerintah. Kenyataannya, dana otonomi khusus yang triliunan rupiah tidak berbuahkan pada didirikannya lebih banyak sekolah di kampung, di gunung, di lembah, atau di pantai-pantai Papua.
    Banyak anak Papua tetap terbelakang karena tidak terjangkau pendidikan yang layak. Sementara itu, anak-anak dari para pendatang yang tinggal di kota-kota besar di Papua lebih merasakan dana otonomi khusus, fasilitas pendidikan mereka jauh lebih baik.
    UP4B Mau Bikin Apa?
    Dalam upaya mengatasi desakan Papua untuk memisahkan diri yang makin kuat itu, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).
    Saya menduga UP4B ingin meniru kisah sukes Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRRN) pimpinan Kuntoro Mangkusubroto, yang pascatsunami 26 Desember 2004, mengelola dana sekitar Rp 70 triliun untuk merehabilitasi wilayah Aceh dan Nias.
    Namun, kritik dan pertanyaan banyak muncul. Wah, Otsus Papua dinilai gagal sekarang malah digantikan oleh sebuah “unit”? Sebagai badan “koordinasi”, apa kewenangan yang dimiliki UP4B? Apakah UP4B tak lebih dari proyek yang lain lagi? Tipuan apa lagi yang akan dimainkan di Papua?
    Menjadi tugas UP4B, yang dipimpin Letjen TNI (purn) Bambang Dharmono, untuk membuktikan bahwa pesimisme yang muncul itu tidak beralasan, dan tugas pertamanya adalah kesejahteraan di Papua membaik, setidaknya dalam dua tahun mendatang.
    Namun, meski tidak mengurusi soal keamanan, ketua UP4B wajib mengingatkan Presiden Yudhoyono dan rekan-rekannya di jajaran TNI/Polri agar mengakhiri gelar militer di Papua. Ingatkan aparat keamanan itu, pelanggaran hak-hak asasi manusia yang masih dan eksesif itulah yang berpotensi “memerdekakan Papua”.
    Mari kita buka catatan sejarah, renungkan lagi apa yang membuat rakyat Timor Timur memilih pisah dari Indonesia, meski sudah lebih dua dekade terintegrasi.
  • Memulai Pembaruan dari Ranah Minang

    Memulai Pembaruan dari Ranah Minang
    Evi Rahmawati, MAHASISWI UIN JAKARTA
    Sumber : JARINGAN ISLAM LIBERAL, 6 Desember 2011
    Ketika kata pembaruan dikaitkan dengan Islam, maka yang ingin diperbarui sejatinya bukan Islam sebagai agama, bukan pula al-Quran sebagai kitab suci, melainkan pembaruan terhadap penafsiran atas keduanya. Karena tafsir seseorang atas al-Quran bukanlah al-Quran itu sendiri. Ia sekadar tafsir atasnya. Maka, perubahan atas tafsir terhadap al-Quran dan agama masih mungkin. Jika al-Quran sudah pasti kebenarannya, absolut, maka penafsiran terhadapnya masih mengandung banyak kemungkinan, termasuk kemungkinan salah. Untuk itu, sebagai sebuah produk penafsiran atas al-Quran, maka kebenaran dalam sebuah penafsiran menjadi relatif. Hasilnya, oleh karena mengimani sebuah penafsiran, maka seseorang bukan saja bisa menjadi konservatif pada level pemikiran, bahkan ia bisa mendasarkan aksi terornya dari al-Quran, sebagaimana yang dilakukan para teroris akhir-akhir ini.
    Itulah penekanan Abdul Moqsith Ghazali atas pembaruan yang ingin dilakukan melalui buku berjudul “Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia” yang untuk pertama kalinya di-launching di IAIN Imam Bonjol Padang, 22 November 2011 lalu. Buku yang merupakan antologi tulisan beberapa intelektual Muslim semisal M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendy, Abdul Moqsith Ghazali, Ulil Abshar-Abdalla, Neng Dara Affiah, Budhy Munawar-Rachman, Ihsan Ali-Fauzi, dkk. ini menurut Moqsith membawa agenda pembaruan yang berdasar pada tiga sendi atau pokok pemikiran: sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.
    Secara lugas, Abdul Moqsith Ghazali yang dikenal dengan keluasan pemahaman fikih dan ushul fikih dalam menjelaskan pemikiran liberalnya itu, menegaskan bahwa sekularisme adalah solusi terbaik untuk mengatasi kompleksitas kehidupan bangsa Indonesia. 
    Sekularisme merupakan model yang tidak bisa dihindarkan ketika mendudukkan relasi agama dengan negara. Sebagai sebuah negara yang plural, maka sistem pemerintahan yang perlu dikembangkan di Indonesia mesti mampu mengakomodir segenap kebutuhan bangsa yang plural itu. Jika sebaliknya, maka tidak menutup kemungkinan akan banyak wilayah yang ingin memisahkan diri manakala Indonesia dipaksa menjadi negara agama. Karena pluralitas bangsa kita dengan segenap kearifan lokalnya sendiri-sendiri itulah, Islamisasi negara menjadi tidak mungkin dilakukan. Namun demikian, tambah Moqsith, “desain sekularisme yang tepat bagi Indonesia adalah sekularisme yang ramah terhadap agama. Seperti Kanada, bukan model Prancis yang sekularismenya antiagama dan dan melarang seluruh simbol-simbol keagamaan di ruang publik.”
    Tentang pluralisme, Moqsith meyakini betapa pluralisme penting untuk ditegakkan dalam Islam. Menurut doktor dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan disertasi yang sudah terbit sebagai buku dengan judul “Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Al Quran” ini, gagasan dan praktik pluralisme dalam tubuh Islam masih sarat dengan berbagai persoalan. Banyak hal yang harus kita perbarui terkait dengan cara pandang kita terhadap agama-agama dan kelompok lain. Padahal, Islam sendiri tumbuh dalam konteks yang plural. Bahkan selama masa hidupnya, Nabi memiliki keluarga dari berbagai kalangan agama dan golongan. Karena itu, jika pluralisme ditolak, maka sama saja dengan menentang konsep dasar Islam dan konteks kehidupan Nabi sendiri.
    Kalaupun di Kitab Suci terdapat ayat walan tardlo ‘ankal yahuudu walan nashaara hatta tattabi’a millatahum apakah lantas kita juga menutup mata atas ketentuan lain yang secara tegas dinyatakan al-Quran yang sangat menghargai dan membenarkan ajaran-ajaran (kitab) mereka? Apakah kita mengingkari ayat waanzalnaa ilaikal kitaaba bilhaqqi mushaddiqan limaa bayna yadayhi minal kitaabi wamuhaiminan ‘alaihi fahkum bainahum bima anzala Allah? Demikian Moqsith menantang peserta agar membuka pandangan atas kebenaran agama-agama lainnya di hadapan Allah.
    Sementara, ketika memaparkan gagasannya mengenai liberalisme, pengajar di beberapa universitas terkemuka di Indonesia yang juga adalah Kyai bagi beberapa kalangan santri ini pun secara cerdik melakukan pendekatan sejarah kultural setempat (Sumatra Barat). Dengan merunut kejadian sejarah, ada semacam pembuktian betapa akar kebebasan berpikir telah lebih dulu dilakukan oleh ulama besar dari Sumatera Barat, Kyai Haji Agus Salim. Moqsith menceritakan bahwa satu abad yang lalu Kyai Haji Agus Salim telah menjadi peletak dasar pemikiran Islam liberal di Indonesia. Dengan tegas, ia mendobrak kemapanan konsep hijab bagi perempuan dan laki-laki. Agus Salim, papar Moqsith, menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan tidak perlu dipisahkan oleh hijab yang sifatnya material, karena yang menjadi hijab laki-laki dan perempuan adalah spiritualitasnya, hatinya.
    Dengan sedikit sanjungan, Moqsith menyatakan kekagumannya akan keunikan Sumatra Barat, yang bisa dikatakan sebagai representasi, semacam taman mini pemikiran Islam di indonesia. Di Sumatera Barat, kita bisa melacak kelahiran tokoh besar dari mulai yang Islamis, semisal Haji Agus Salim, hingga yang komunis, seperti Tan Malaka. Karena akar sejarah yang sedemikian beragamnya itu, maka tak heran jika kita bisa mendapati dualisme yang berbeda dalam keberislaman di Padang. Semisal persoalan penerapan Syariah Islam, baik yang menolak ataupun yang menyuarakan, semua ada di sini, Padang, Sumatera Barat. Namun tidak bisa dielakkan bahwa Padang bisa dikatakan sebagai tempat lahirnya para pembaharu Islam di sepanjang sejarahnya. Karena itu, pembaharuan pemikiran Islam bukan saja mungkin, tetapi sudah sewajarnya terjadi di kota bagian Sumatra Barat ini.
    Selain Abdul Moqsith Ghazali, dalam diskusi dan launching buku yang dipenuhi oleh sekitar seratus peserta tersebut, juga hadir pembicara dari kalangan muda, yakni Zelfeni Wimra. Dalam paparannya, Zelfeni yang selain dosen pada fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang juga dikenal sebagai seorang cerpenis itu menekankan bahwa ketika pembaruan dikaitkan dengan Islam, terlebih dahulu kita harus menentukan akan mendekati Islam dari segi apa. Ada tiga pendekatan yang bisa dilakukan: pendekatan terhadap Islam sebagai akidah, Islam sebagai gerakan, dan Islam sebagai ilmu pengetahuan. Bagi Wimra, jika ingin mendekati Islam sebagai akidah, maka konsekuensinya harus ada kepatuhan di sana, sami’na wa atha’na. Lain halnya jika kita akan melakukan pembaruan dengan memperlakukan Islam sebagai sebuah gerakan, maka yang ditekankan di sini adalah bagaimana kemudian gerakan ini kembali dievaluasi dan ditafsirkan agar bisa menemukan sistem yang cocok untuk masyarakat Muslim. Sementara, jika pembaruan dilakukan dengan mendekati Islam sebagai pancaran ilmu, maka konsekuensinya adalah konflik. Karena, ilmu itu sendiri lahir dari konflik, dan dengan demikian, Wimra meyakini, bahwa Islam itu sendiri adalah agama konflik. Itulah mengapa sepanjang sejarah kelahirannya, Islam selalu diiringi dengan konflik.
    Setelah mempertanyakan pijakan awal yang ingin diambil dalam melakukan pembaruan ini, Wimra mempertegas keyakinannya bahwa, “Pembaruan memang perlu dilakukan, terutama dengan titik tolak Islam sebagai pancaran ilmu.” Ia meyakini bahwa dalam al-Quran sendiri termaktub sebuah isyarat akan pentingnya bagi umat Islam untuk terus memproduksi penafsiran. Ia menyebutkan salah satu ayat yang menceritakan bagaimana al-Quran menantang kafir Quraisy manakala mereka meragukan kebenaran al-Quran. Dengan tegas al-Quran menyeru mereka untuk mendatangkan satu saja ayat yang lebih hebat, paling tidak sama kualitasnya dengan al-Quran.
    Bagi Wimra, jika kalangan yang dipandang menentang Islam saja diberi kesempatan untuk merespon ayat-ayat dalam al-Quran, lantas mengapa umat Islam sendiri tidak bisa? Karena itu,  Wimra meyakini bahwa ayat tersebut adalah sebuah isyarat, semacam pintu masuk bagi umat Islam untuk lebih giat lagi melakukan penafsiran terhadap al-Quran, serta mengeksplorasi ayat-ayat yang ada di dalamnya agar bisa membuka penafsiran secara lebih kontekstual.
  • Solusi Iklim

    Solusi Iklim
    Tejo Pramono, STAF GERAKAN PETANI INTERNASIONAL, LA VIA CAMPESINA
    Sumber : REPUBLIKA, 6 Desember 2011
    Perundingan perubahan iklim COP 17 masih terus berlangsung sampai 9 Desember ini di Durban, Afrika Selatan. Pertemuan di Durban kali ini cukup menentukan daripada pertemuan sebelumnya karena memutuskan dilanjutkan atau tidaknya Protokol Kyoto pasca-2012.

    Jepang, Kanada, dan Amerika Serikat (AS) terang-terangan menolak kelanjutan Protokol Kyoto yang mewajibkan pengurangan emisi bagi negara industri (annex 1 countries). Mereka menginginkan pada pengurangan sukarela atau tanpa target tertentu. Sementara itu, Indonesia bersama negara 77 plus Cina mendukung kelanjutan Protokol Kyoto.

    Kita berharap Protokol Kyoto dilanjutkan lagi karena tanpa kewajiban pengurangan emisi di negara industri, mustahil dampak perubahan iklim dikurangi secara drastis. Selain soal kelanjutan Protokol Kyoto, perundingan UNFCCC dihujani banyak kritik karena memunculkan solusi palsu perubahan iklim.

    Pengurangan emisi karbon melalui model offsettingalias tukar guling karbon adalah solusi palsu. Pasalnya, negara pengemisi tetap boleh mengemisi asalkan membayar kepada negara berkembang yang mereforestasi hutan.

    Bukan Jalan Keluar

    Proposal mengenai pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan serta penjagaan stok karbon atau dikenal dengan REDD+ adalah salah satu bentuk dari praktik tukar guling karbon tersebut. Solusi yang sejati tentunya adalah negara industri melakukan pengurangan emisi secara domestik di negara masing-masing. Sementara, negara berkembang juga menjaga hutannya dari deforestasi.

    Soal REDD+ yang kini juga banyak didorong oleh delegasi Indonesia sebenarnya menyimpan persoalan lain yang pelik. Setelah REDD+ dijalankan, akan terjadi pindah atau pengalihan tanggung jawab pengurangan emisi. Setelah negara pengemisi setuju REDD+, kewajiban pengurangan emisi karbon beralih ke negara berkembang yang kini banyak mengajukan diri sebagai penerima proyek REDD+. Jika demikian, bukankah REDD+ adalah jalan ‘cuci tangan’ dari ‘dosa’ emisi karbon selama ini dari negara industri.

    Hal lain adalah menyangkut kedaulatan pengelolaan hutan di negara berkembang. Setelah REDD+ disepakati, seluruh kegiatan pengelolaan hutan harus disetujui oleh negara yang membiayai REDD+. Artinya, Pemerintah Indonesia dan masyarakat penghuni hutan tidak bebas lagi menentukan pemanfaatan atas hutan yang mereka diami. Bisa dibayangkan apabila negara pendana REDD+ tidak menyetujui, petani dan masyarakat adat di hutan tersebut bisa saja tersingkir karena hutan diperuntukkan bagi karbon, bukan kehidupan rakyat.

    Bukan tidak mungkin ke depan konflik antara rakyat penghuni hutan, petani, dan aparat akan meningkat. Pasalnya, pelaksanaan dari REDD+ dipaksakan alias tanpa proses persetujuan dari masyarakat. Walaupun ada mekanisme untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat penghuni hutan melalui //free prior informed consent (FPIP), hingga saat ini, tiada pelaksanaan yang baik. Kalaupun dilaksanakan, prosesnya sangat bias karena masyarakat diiming-imingi dengan janji dana kredit karbon. 

    Masalah tidak berhenti di situ. Mekanisme pasar karbon untuk pendanaan REDD+ memiliki potensi menjadi ajang spekulasi bisnis karbon oleh spekulan ataupun dikorupsi oleh pejabat pemerintah. Hal itu karena banyak pialang perantara yang menawarkan proyek-proyek REDD+ ke perusahaan-perusahaan yang memiliki kewajiban pengurangan emisi. Dampaknya, akan terjadi pasar karbon di mana transaksi ini menjadi ajang spekulasi.

    Dalam situasi semacam ini disayangkan delegasi Indonesia sangat ambisius untuk mendorong pengurangan emisi melalui mekanisme REDD+. Mereka seolah tanpa berpikir panjang bahwa terdapat banyak sekali prasyarat-prasyarat atau modalitas yang kemudian membatasi kedaulatan masyarakat yang tinggal di hutan untuk mengelola teritorinya.

    Dewan nasional perubahan iklim Indonesia juga bahkan tidak membuat pembatasan hal-hal apa saja yang bisa menjurus pada spekulasi karbon. Logika berpikir yang melihat perubahan iklim sebagai peluang bisnis adalah awal dari berlarut-larutnya penyelesaian negosiasi perubahan iklim. Akibatnya, konferensi perubahan iklim bergeser dari tujuan untuk meminta pertanggungjawaban para pengemisi karbon, menjadi ladang bisnis karbon.

    Penulis ingin mengingatkan delegasi perubahan iklim Indonesia bahwa menjalankan mekanisme pasar dan tukar guling karbon akan membuat Indonesia rugi berlipat-lipat. Sudah dua tahun berturut-turut ini bencana dampak perubahan iklim telah mengakibatkan serangan hama dan membuat Indonesia kekurangan pasokan pangan.

    Tidak terbayangkan bencana apa lagi yang akan muncul bila suhu iklim global terus meningkat. Bencana iklim yang meningkat adalah ongkosnya langsung yang harus dibayar hari ini. Adapun potensi pendapatan dari bisnis karbon tidak lebih dari mengharap dapat lotre dari spekulasi karbon.

    Solusi Sejati
    Bagi Indonesia, ada beberapa solusi sejati yang harus diperjuangkan dalam mengatasi perubahan iklim di tingkat perundingan iklim dan di dalam negeri. Pertama, delegasi perubahan iklim harus berjuang keras agar Protokol Kyoto dilanjutkan dan diimplementasikan dengan prioritas di negara industri tanpa melalui mekanisme offsetting.

    Kedua, dana perubahan iklim global melalui Green Climate Fund mempercepat pencairan dana mitigasi dan adaptasi dengan mekanisme yang melibatkan negara-negara berkembang yang menjadi korban dari bencana iklim. Delegasi perubahan iklim Indonesia harus menolak keterlibatan Bank Dunia dalam pengelolaan dana perubahan iklim atas dasar pencemar tidak layak mengelola dana mitigasi iklim. 

    Adapun di dalam negeri, karena bencana akibat dampak perubahan iklim paling banyak terjadi di sektor pertanian, yang harus dilakukan adalah segera melakukan transformasi model pertanian. Sistem pertanian konvensional ala revolusi hijau, selain ikut meningkatkan emisi gas rumah kaca, juga sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.

    Adapun pertanian agroekologi, yaitu pertanian alami (natural farming) sangat tahan terhadap bencana iklim dengan perolehan hasil yang lebih produktif. Karena itu, untuk menyelamatkan kebutuhan pangan nasional, pemerintah harus segera mengubah pertanian konvensional ke agroekologi.

    Kini, telah banyak bukti ilmiah yang menyebut agroekologi bahkan menjadi solusi perubahan iklim. Pertama, agroekologi mampu mengembalikan bahan organik (utamanya karbon) dalam tanah sebanyak 20-35 persen.

    Agroekologi akan meningkatkan populasi bakteri nitrogen-fixating yang efektif untuk mengurangi emisi. Bahkan, penelitian Jules Pretty menunjukkan bahwa pertanian agroekologi menggunakan 6-10 kali lipat lebih rendah energi fosil daripada pertanian industrial.
            
    Kedua, mengubah model produksi ternak dan daging yang terkonsentrasi dan industrial menjadi peternakan dengan sistem pakan alami yang terintegrasi dengan produksi pangan, akan mengurangi 5-9 persen emisi GRK. Ketiga, perubahan orientasi konsumen ke konsumsi pangan lokal (food with less carbon foot print) dan segar (minim penyimpanan), akan mengurangi emisi GRK 10-12 persen.

    Bila konsumen bisa beralih mengonsumsi pangan lokal, transportasi pangan melalui kargo pesawat bisa diturunkan 140 persen. Kondisi ini juga akan berdampak pada pengurangan emisi dari sektor pelayaran dan penerbangan sebesar dua kali lipat atau sama dengan emisi tahun 1990 (Intertanko 2007). Alangkah besarnya pengurangan emisi GRK Indonesia bila mampu mengurangi impor 4 juta ton gandum per tahun dari benua Amerika.

    Keempat, penghentian deforestasi dan rekonversi perkebunan monokultur, termasuk perkebunan agrofuel kembali ke agroekologi berbasis rakyat mampu mengurangi emisi GRK sebanyak15-18 persen. Semoga Indonesia tidak terjebak dalam sistem kasino karbon dan muncul dengan agroekologi sebagai solusi nyata perubahan iklim.

  • Papua yang Sulit Didekati

    Papua yang Sulit Didekati
    Anggun Trisnanto, DOSEN HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA, MALANG
    Sumber : KORAN TEMPO, 6 Desember 2011
    Sekitar lima orang berteriak dan berkumpul sambil membawa bendera Bintang Kejora di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag. Walaupun teriakan mereka lantang, pesan yang dibawa tidak jelas. Dalam bahasa Indonesia yang kurang fasih, para simpatisan gerakan OPM ini berteriak lantang: “Indonesia pembunuh! Indonesia penjajah! Merdeka Papua!” Pemandangan ini tampak biasa-biasa saja.Tidak ada penjagaan polisi, apalagi barikade tentara Kerajaan Belanda.
    Menyuarakan Papua merdeka bukan lagi hal yang aneh.Tidak hanya di Den Haag, di mana para simpatisan ini banyak berkumpul, tetapi wacana ini sudah menjadi menu pokok perbincangan di kalangan elite politik Jakarta. Namun yang jelas adalah, apa yang disuarakan dan dipersepsikan oleh lima pemuda di Den Haag itu (yang kesemuanya sebenarnya secara morfologi tidak menunjukkan fisik orang Papua kebanyakan) dan para elite politik di Jakarta atau pembaca surat kabar biasa bisa jadi berbeda.
    Mengapa bisa terjadi seperti ini? Dalam kacamata epistemologi, untuk bisa berpendapat dibutuhkan bukti atau fakta segar yang lengkap dari obyek yang diteliti. Inilah kemudian yang menjadi “bahan bakar” untuk menilai suatu obyek masalah. Dalam kasus Papua, diskresi informasi muncul di mana semua orang bisa berpendapat semau mereka tanpa risalah atau referensi berupa fakta yang benar. Lebih lanjut, sulit untuk memberi argumen obyektif untuk kasus Papua ketika informasi yang beredar benar-benar tidak ada linearitas (kesesuaian).
    Bagaimana mungkin ada informasi yang menyebutkan bahwa tambang Freeport sekarang dijaga oleh sekumpulan tentara asing (tentara AS). Selain hal ini begitu
    mengejutkan, terlebih lagi adalah apakah benar memang ada hal seperti itu yang terjadi. Kasus Papua benar-benar bisa dikategorikan sebagai kasus yang sangat tertutup, kalaupun belum bisa dikategorikan masuk dalam kasus luar biasa. Yang kemudian banyak muncul adalah argumen atau penilaian yang abstrak tentang apa yang terjadi. Sampai saat ini, belum ada riset ilmiah atau risalah dokumenter yang bisa
    dipertanggungjawabkan secara publik. Kalaupun ada, hanya bukti catatan perjalanan
    misionaris atau riset terdahulu yang menyimak kehebatan suku Asmat, Dani, dan Baliem.
    Apakah mungkin berlarutnya kasus Papua memang terjadi karena interpretasi yang salah atau berlebihan tentang Papua? Jelas kelima pemuda yang berdemo di depan
    KBRI itu tidak bisa dijadikan panutan. Kalaupun kita harus memilih, seharusnya pemerintah memberi penjelasan atas simpang-siurnya informasi yang ada. Sebagai
    khalayak umum, yang kita tahu hanya efek dari masalah yang terjadi di sana. Bisa berupa jumlah korban, intensitas konflik, atau hasil perundingan. Kalaupun terpaksa, hanyalah “update status”dari teman-teman yang aktif di jejaring sosial yang kebetulan berasal dari Papua atau yang pernah bekerja di sana. Lalu, ke mana perginya fakta konkret tentang Papua?
    Parahnya lagi adalah apabila kesimpangsiuran informasi ini digunakan oleh pihak tertentu atau bahkan dipolitisasi untuk kepentingan beberapa pihak. Alasannya mungkin mudah ditebak, yaitu membuat kasus Papua seperti “floating mass” tidak jelas, tak tentu arah, dan tidak selesai. Sedangkan di pihak lain, masyarakat di sana masih terkungkung dalam kemiskinan, lemahnya birokrasi, dan layanan sosial atau minimnya fasilitas pendidikan. Yang jelas, hal ini tidak boleh dibiarkan terjadi atau minimal diupayakan untuk “dibongkar” atau ditemukan fakta yang sahih atas apa yang terjadi di Papua.
    Mungkin berbeda tapi bisa dijadikan pembanding adalah bagaimana rezim di Timur Tengah (Mesir, Libya,Aljazair) tumbang. Serupa tapi tak sama, mereka juga mengalami kasus seperti Papua dalam artian informasi yang ada sangat tidak bisa diandalkan. satu-satunya media alternative adalah suara Al Jazeera, yang memberitakan hari per hari apa yang sedang terjadi. Dalam hal ini juga, media jejaring sosial di sana menjadi faktor kunci keberhasilan gerakan.
    Sangat sulit untuk mengandalkan informasi dari masyarakat Papua, mengingat infrastruktur yang terbatas, sehingga berita dan fakta pun akhirnya menjadi barang
    langka.Tetapi, sangat mungkin untuk dicoba, menyatukan informasi melalui serpihan-
    serpihan cerita dari teman atau karib yang sedang ada di sana.Yang dibutuhkan hanya kemauan untuk mencatat, mengkoordinasikan fakta, dan mencari celah di mana linearitas itu muncul sehingga member gambar terang tentang fakta. Secara epistemologi, hal ini sangat mungkin terjadi walaupun butuh waktu dan upaya yang
    dahsyat.
    Walaupun solusi belum bisa didapatkan, setidaknya benang merah kasus Papua teridentifikasi. Hanya tinggal memilah mana informasi yang sahih dan mana yang telah
    direkayasa. Semoga hal ini membantu.
  • Banjir Pangan Impor

    Banjir Pangan Impor
    Khudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI)
    Sumber : KORAN TEMPO, 6 Desember 2011
    Secara agregat, kinerja sektor pertanian Indonesia tidak mengecewakan. Selama puluhan tahun neraca perdagangan pertanian masih surplus.Tahun lalu, nilai surplus
    US$ 18,537 miliar atau Rp 166,83 triliun (kurs Rp 9.000 per dolar AS), naik 40 persen
    dari angka pada 2009 (US$ 13,14 miliar). Surplus selalu terjadi karena didukung terus membaiknya kinerja subsektor perkebunan, terutama kelapa sawit. Tahun lalu, surplus subsektor perkebunan mencapai US$ 24,674 miliar, naik 39,9 persen dari angka pada 2009 (US$ 17,632 miliar).
    Sebaliknya, neraca subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan selalu
    negatif. Kinerja ketiga subsektor ini jauh dari menggembirakan. Dari ketiganya, defisit paling mencemaskan terjadi di subsector tanaman pangan dan peternakan. Pada 2009, defisit terbesar dialami subsector tanaman pangan. Pada 2010, dengan defisit US$ 3,505 miliar, peternakan menggeser posisi subsektor tanaman pangan (US$ 3,416 miliar).
    Tahun ini, impor pangan tetap mengalir deras. Pada semester I 2011, impor pangan
    mencapai US$ 6,35 miliar, naik 18,7 persen dari periode yang sama tahun lalu (US$
    5,35 miliar). Impor meliputi beras, kedelai, jagung, biji gandum, tepung terigu, gula
    pasir, gula tebu, daging, mentega, minyak goreng, susu, telur unggas, kelapa, kelapa
    sawit, lada, kopi, cengkeh, kakao, cabai kering, tembakau, bawang merah, dan kentang. Melihat cakupannya, betapa luasnya pangan impor kita. Karena begitu luasnya, impor pangan sering kali menimbulkan masalah.Yang terbaru adalah impor kentang. Para petani kentang sampai turun ke jalan karena usaha taninya terancam oleh kehadiran kentang impor murah.
    Defisit subsektor pangan, peternakan, dan hortikultura memiliki implikasi serius bagi Indonesia. Sebab, sampai saat ini ketiga subsektor tersebut menjadi gantungan hidup jutaan warga. Menurut Kementerian Pertanian, pada 2009 jumlah tenaga kerja di subsektor perkebunan hanya 19,7 juta jiwa, 10 juta di antaranya menekuni kelapa sawit. Adapun subsektor pangan, hortikultura, dan peternakan menyerap tenaga kerja jauh lebih besar. Subsektor tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, dan tebu) saja ditekuni 17,8 juta keluarga. Jika satu keluarga diasumsikan terdiri atas empat orang, berarti jumlahnya 71,2 juta jiwa (29,7 persen warga Indonesia). Membanjirnya komoditas pangan, peternakan, dan hortikultura impor akan membuat produksi petani/peternak domestik terdesak. Ini bukan semata-mata soal daya saing, tapi lebih karena taktik dan politik dagang yang tidak fair.
    Hampir semua bahan pangan penting dan pokok dunia, seperti gandum, beras, jagung, gula, kedelai, daging sapi, dan daging unggas, harganya terdistorsi oleh berbagai bantuan/subsidi domestik, pembatasan akses pasar, dan subsidi ekspor. Sejumlah
    negara juga sering membuat kebijakan pembatasan impor, baik negara yang nett importer maupun yang nett exporter. Inilah yang membuat harga pangan di pasar
    dunia amat artifisal, antara ada dan tidak ada, dan tidak menggambarkan tingkat
    efisiensi. Menjadikan harga pangan dunia sebagai basis referensi efisiensi jelas menyesatkan. Karena itu, ketika ada sebuah produk pangan domestik terdesak
    oleh pangan impor yang harganya murah, tidak bisa serta-merta produk pangan kita
    dicap tidak efisien dan tidak bisa bersaing.
    Harga pangan di pasar dunia yang murah sering kali menjadi legitimasi kebijakan impor. Argumen yang selalu diputar ulang: untuk apa bersusah-payah memproduksi
    pangan sendiri kalau harga impor jauh lebih murah? Argumen di balik ini adalah soal
    daya saing. Argumen ini ceroboh dan sesat. Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa menjadi satu-satunya ukuran daya saing dan efisiensi, karena harga itu terdistorsi oleh subsidi. Subsidi dipraktekkan sejumlah negara maju. Pendapatan petani beras, gula, dan daging sapi di negara-negara OECD yang berasal dari bantuan pemerintah masing-masing mencapai 78 persen, 51 persen, dan 33 persen. Artinya, hanya 22
    persen pendapatan petani beras di negara OECD yang berasal dari usaha tani. Sisanya
    dari subsidi pemerintah (Sawit, 2007).
    Di Amerika Serikat, ada 20 komoditas yang dilindungi dan disubsidi pemerintah. Dari US$ 24,3 miliar subsidi pada 2005, sekitar 70-80 persen diterima 20 komoditas ini. Lima komoditas penting adalah beras, jagung, kedelai, gandum, dan kapas. Meskipun dalam perjanjian WTO subsidi itu harus dikurangi, dari tahun ke tahun subsidi tidak berkurang, melainkan terus bertambah dengan beras. Ujung dari beleid subsidi berlebihan itu adalah dumping. Setelah Farm Bill pada 1996, dumping kedelai AS naik dari 2 persen menjadi 13 persen, dumping beras naik dari 13,5 persen menjadi 19,2 persen, dan jagung naik dari 6,8 persen menjadi 19,2 persen.
    Untuk menjaga pendapatan petani, AS meluncurkan kredit ekspor. Pada 2001 kredit ekspor mencapai US$ 750 juta. Fasilitas khusus ini diberikan kepada importir kedelai
    Indonesia. Saat itu harga impor cuma Rp 1.950 per kg, sementara harga kedelai lokal Rp 2.500 per kg. Disparitas harga yang tinggi membuat ngiler siapa saja untuk mengimpor.Kebijakan itu kita terima begitu saja tanpa mempertimbangkan dampaknya di kemudian hari. Bea masuk 5-10 persen sama sekali tidak mampu melindungi petani kedelai dari gempuran impor. Akibatnya, kini kita bergantung pada impor kedelai hampir mutlak dari AS.
    Akibat kebijakan pro-impor, tanpa banyak disadari, ketergantungan kita pada pangan impor nyaris tidak berubah. Sampai saat ini Indonesia belum bisa keluar dari ketergantungan impor sejumlah bahan pangan penting: susu (70 persen dari kebutuhan), gula (30 persen), garam (50 persen), gandum (100 persen), kedelai (70
    persen), daging sapi (30 persen), induk ayam, dan telur.Ketika harga naik, impor pangan akan menguras devisa. Pada saat yang sama, impor membuat kita kian bergantung pada pangan dari luar negeri. Padahal pasar pangan dunia jauh dari sempurna, hanya dikuasai segelintir pelaku, dan jumlah yang diperdagangkan tipis.
    Mengimpor pangan dari luar negeri, walaupun dengan harga lebih murah dari pada pharga pangan petani domestik, akan menimbulkan dampak sosial berbeda. Bedanya,
    kalau mengimpor pangan dari luar negeri akan menimbulkan efek berantai di luar negeri, yaitu apa yang dalam ekonomi disebut efek pengganda (multiplier effect). Sebaliknya, jika membeli pangan petani domestik, meskipun lebih mahal, akan menciptakan efek berantai di dalam negeri. Efek berantai itu dalam bentuk konsumsi,
    pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja (Arief, 2001). Inilah bedanya efisiensi komersial dan efisiensi sosial.
  • Lingkaran Pemodal, Media, Penguasa

    Lingkaran Pemodal, Media, Penguasa
    Agus Sudibyo, ANGGOTA DEWAN PERS; WAKIL DIREKTUR YAYASAN SET JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 6 Desember 2011
    Ketika berbicara tentang kedudukan pers dalam rezim yang demokratis, mau tak mau kita harus selalu berangkat dari yang ideal tentang lembaga sosial yang independen dan imparsial, terutama saat menghadapi kontestasi politik yang kompleks.
    Independensi media, pun sulit mewujudkannya, harus selalu jadi titik tolak bagi setiap perbincangan tentang peran politik media. Ketika belakangan ini DPR membahas perubahan UU Pemilu, salah satu persoalan yang muncul: bagaimana pengaturan peran media dalam pemilu.
    Pada saat yang sama terjadi konsolidasi politik melibatkan pemilik media. Beberapa pemilik media merapatkan diri ke parpol atau beberapa aktor politik mengakuisisi media yang sudah mapan. Perkembangan ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang independensi media. Benarkah independensi pers kita sudah mapan sebagaimana diyakini banyak pihak atau jangan-jangan masih sangat rentan?
    Di satu sisi, pers Indonesia kini secara politis sangat independen. Tiada kekuatan resmi yang mampu memaksakan kehendaknya secara langsung kepada pers. Pemerintah, DPR, dan lembaga yudikatif selalu jadi bulan-bulanan kritik pedas dan kadang-kadang tidak proporsional dari pers. Namun, di sisi lain muncul keraguan apakah kritisisme itu juga berlaku ketika media berhadapan dengan pemiliknya atau partai politik wadah sang pemilik bergabung.
    Panggung kepada Pemilik
    Kita perlu menunggu pemilu berlangsung untuk mendapat jawaban pasti. Namun, beberapa fakta dapat dipertimbangkan. Pertama, sulit menemukan media nasional ataupun lokal yang berani kritis memberitakan dan mendiskusikan kasus atau skandal yang melibatkan pemilik media itu. Media sangat kritis terhadap kasus KKN, tetapi berbeda urusannya jika tersua keterlibatan pemilik media di dalamnya.
    Kedua, muncul kecenderungan beberapa media memberikan panggung kepada pemiliknya untuk menyampaikan klarifikasi kasus atau agenda politik. Dalam beberapa momentum, pemilik media bahkan melakukan one man show di media yang ia miliki. Di beberapa daerah lazim terjadi foto pemilik media terpampang di halaman utama sedang berjabat tangan dengan pejabat negara atau figur publik tertentu.
    Ketika musim pemilu tiba, masalahnya lebih rumit. Yang dihadapi bukan sekadar kasus yang melibatkan pemilik media, melainkan juga partai politik dan politisi yang dekat dengannya. Yang perlu diberitakan secara menguntungkan bukan hanya pemilik media, juga jaringan politiknya. Maka, peraturan tentang peran media dalam pemilu mendesak dirumuskan komprehensif dan transparan. Tujuannya menciptakan keseimbangan antara lembaga sosial dan lembaga bisnis pada diri media, mereduksi praktik instrumentalisasi media, dan penggunaan media sebagai sepenuhnya properti pribadi.
    Di dalam diri media selalu bersemayam sekaligus entitas sebagai lembaga bisnis dan lembaga sosial. Konsekuensinya media tak seharusnya diperlakukan sebagai properti pribadi. Media harus berdiri di tengah-tengah para kontestan politik yang sama-sama berkepentingan memasarkan politik atau pencitraan diri melalui media. Media profesional harus selalu membentengi pemberitaannya dari infiltrasi motif pribadi atau kelompok dan memastikan bahwa kepentingan publik jadi prioritas utama.
    Sesungguhnya tak salah jika media memanfaatkan momentum pemilu untuk keuntungan bisnis. Namun, perlu pengaturan agar iklan-iklan politik tak mencederai prinsip ruang publik yang harus adil kepada semua pihak, menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok, dan memperhatikan benar ihwal akuntabilitas dana iklan politik.
    Sejak Pemilu 1999, iklan politik jadi andalan kontestan menjaring preferensi publik. Namun, gegap gempita iklan politik selalu meninggalkan tanda tanya. Publik tak tahu apakah gebyar iklan pemilu benar-benar steril dari penyalahgunaan anggaran publik (APBN atau APBD), dari beroperasinya duit pengusaha hitam atau pejabat bermasalah yang ingin cari perlindungan politik.
    Tak Memadai
    Aturan main pemilu tak memadai untuk menghadapi masalah ini. Menurut UU Pemilu lama, hanya biaya kampanye parpol yang harus dilaporkan kepada KPU. Tak jelas bagaimana transparansi dana sumbangan dari simpatisan. UU Pemilu juga hanya menyatakan ”materi kampanye meliputi visi, misi, dan program” (Pasal 94). Padahal, kampanye pemilu dapat dilakukan dengan slogan partai, warna khas partai, dan profil tokoh partai.
    Ruang lingkup kampanye yang tak komprehensif mempermudah manipulasi dan munculnya iklan terselubung. Sementara itu, transparansi dana kampanye hanya diwajibkan kepada parpol dan tak eksplisit diwajibkan kepada media dan biro iklan yang berurusan langsung dengan pemasang iklan. Peraturan tentang peran politik media harus mengantisipasi munculnya lingkaran politik yang secara eksklusif hanya melibatkan pemodal, media, dan penguasa politik.
    Lingkaran politik ini akan memfasilitasi praktik instrumentalisasi ruang publik media dan penggunaan media sebagai properti pribadi. Masyarakat pun teralienasi dari ruang publik media. Masyarakat hanya jadi penonton pasif dari apa yang dipanggungkan para elite politik. ●
  • Peta Jalan KPK

    Peta Jalan KPK
    Teten Masduki, SEKRETARIS JENDERAL TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 6 Desember 2011
    Pimpinan KPK jilid ketiga yang baru terpilih di DPR, puas tak puas, harus diterima sebagai realitas politik.
    Tak ideal memang, tetapi tak terlalu buruk, di tengah pekatnya warna korupsi politik dan wacana pembubaran KPK yang terus ditiupkan politisi DPR. Bahkan, di luar dugaan, Bambang Widjojanto terpilih. Banyak harapan masyarakat dialamatkan kepada pimpinan baru. Sejak berdiri 2003, KPK menunjukkan kerja mengagumkan dibandingkan lembaga hukum konvensional lain, tetapi dampaknya belum cukup berpengaruh. Efek jera belum bisa dihadirkan. Korupsi terus tumbuh bersamaan gencarnya KPK memburu koruptor. Apalagi kini KPK kehilangan mitra utamanya, pengadilan tipikor, yang belakangan menunjukkan gejala kehancuran dengan banyaknya terdakwa korupsi dibebaskan, seperti lazimnya di pengadilan umum.
    Sejak berdiri hingga Oktober 2011, KPK baru menuntaskan 228 dari sekitar 50.000 kasus yang dilaporkan masyarakat. Keuangan negara yang bisa diselamatkan Rp 135,3 triliun, Rp 896,68 miliar disetor ke kas negara dari hasil penindakan. Di tengah korupsi menggurita, angka ini menunjukkan probabilitas koruptor diadili sangat rendah. Hanya koruptor apes masuk penjara. Selama kemungkinan koruptor tertangkap kecil, hukuman yang diterima ringan, dan dengan benefit besar yang mereka nikmati, wajar koruptor tak takut dipenjara di negeri ini. Rata-rata hukuman bagi koruptor di pengadilan tipikor cuma 4 tahun 3 bulan dan di bawah dua tahun di pengadilan umum.
    Realitas ini harus dijawab dengan kerja keras dan cerdas oleh pimpinan baru KPK. Dari sinilah KPK harus punya peta jalan serta strategi tepat dan efektif. Merujuk keberhasilan ICAC di Hongkong yang legendaris, awalnya mereka mengarahkan seluruh sumber daya fokus pada penegakan hukum yang efektif untuk membersihkan aparat hukum. Baru belakangan mereka lebih memperbesar kerjanya mengintervensi penyusunan rencana aksi pencegahan korupsi di badan-badan pemerintah prioritas dan swasta, termasuk mengembangkan pendidikan publik untuk mengubah budaya korupsi di masyarakat dan memperkuat dukungan masyarakat.
    Sinergi ketiga pendekatan harus bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi, indikator keberhasilan pemberantasan korupsi yang hasilnya nyata bisa dinikmati masyarakat, sehingga pemberantasan korupsi dapat dukungan luas. Dari statistik kasus yang ditangani KPK, terlihat tak ada pilihan prakondisi tertentu yang harus dibenahi lebih dulu untuk mengubah keadaan yang lebih luas. Kasus menyebar, duta besar (4), mantan menteri (2), kepala lembaga/kementerian (6), pejabat eselon (91), kepala daerah (36), hakim (3), anggota DPR/DPRD (46), pimpinan komisi (7), swasta (54), dan lainnya (30).
    Pilihan random itu entah untuk menebar rasa takut di semua sektor atau dari segi pembuktian relatif paling gampang. Belum lagi jika dikaji lebih dalam program pencegahan dan pendidikan masyarakat yang sepintas tak sinergis satu sama lain. Dengan sumber daya terbatas, ini menunjukkan buruknya manajemen dan organisasi. Salah satu target capaian pembangunan nasional 2014 adalah Indeks Persepsi Korupsi 5,0 (kini 3,0) dan peringkat Kemudahan Berusaha ke-75 (kini ke-129). Untuk itu, agenda pemberantasan korupsi setidaknya harus diarahkan untuk mengurangi transaksi suap dalam perizinan bisnis, pajak, dan bea cukai serta penegakan hukum yang keras untuk membersihkan mafia hukum dan korupsi politik.
    Ini barangkali relevan untuk tipologi transaksi korupsi yang terfragmentasi secara luas sejak era reformasi, yang hampir sulit menghadirkan efek deteren lewat penegakan hukum meluas seperti ditangani KPK dan aparat hukum lain selama ini. Tugas ini tak bisa seluruhnya bisa dialamatkan kepada KPK. Hanya masalahnya kita tak bisa berharap banyak terhadap institusi kejaksaan dan kepolisian, yang sampai saat ini masih belum pulih.
    Di negara dengan kualitas tata kelola pemerintahan buruk seperti Indonesia, program antikorupsi yang punya dampak tinggi adalah reformasi kebijakan ekonomi, rule of law, pemangkasan birokrasi, pengadilan yang independen, kebebasan pers, dan perluasan partisipasi masyarakat (Huther and Shah, 2000). Di luar itu hanya pemborosan waktu dan anggaran.
    Pengembangan institusi yang relatif baik pada era KPK jilid I mulai diabaikan pimpinan KPK berikutnya. Dengan investigator kurang dari 100 orang, rasanya tak masuk akal mengharapkan KPK dapat menebaskan pedangnya di mana-mana meski dengan dukungan teknologi tinggi dan metode investigasi profesional. Kunci keberhasilan pemberantasan korupsi Hongkong sangat ditentukan kecukupan sumber daya. Perbandingan investigator dan pegawai negeri 1 : 200 dan dukungan anggaran 0,38 persen dari anggaran nasional atau 13 dollar AS per kapita (Kwok, 2011). Belum lagi independensi penyidik dan penuntut KPK yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan, yang dalam hal tertentu untuk kepentingan karier mereka lebih loyal ke institusi asal. Kita membangun KPK sejatinya untuk memutus mata rantai mafia hukum, bukan mendaur ulang. Di sini batu ujian nyali pimpinan baru KPK untuk merekrut penyidik dan penuntut sendiri. Pimpinan sebelumnya tak berani karena takut menuai gugatan.
    Imperioritas dalam kadar tertentu diperlihatkan KPK terhadap kejaksaan dan kepolisian dalam fungsi koordinasi dan pengawasan kepada kedua institusi. KPK sungkan mengambil alih kasus korupsi yang macet di kedua institusi, padahal ada tendensi kasus yang jadi kewenangan KPK diserobot kejaksaan dan kepolisian.
    Kemandirian terhadap politik adalah persoalan serius lain. Terbuka lubang sangat lebar bagi campur tangan politisi di DPR terhadap KPK mulai dari proses seleksi, perencanaan prioritas program dan anggaran. Orang per orang politisi berkepentingan membangun relasi dengan pimpinan KPK. Pertemuan Nazaruddin dan petinggi KPK contohnya.
    Masalah mendasar KPK selama ini adalah miskin dukungan politik tingkat tinggi. Pimpinan KPK kurang memanfaatkan dukungan dari gerakan antikorupsi masyarakat yang besar untuk menghadirkan dukungan politik formal. Dukungan masyarakat hanya digunakan terbatas sebagai tameng dari serangan balik koruptor. KPK produk dari gerakan sosial antikorupsi. Sekali mengingkari sejarah ini sama saja mengabaikan kekuatan utamanya.
    Dalam jangka pendek, kehadiran pimpinan baru KPK harus segera terasa getarannya. Ini bisa jika berhasil menuntaskan kasus-kasus korupsi besar yang tertunda penyelesaiannya dan dicurigai publik ada pertimbangan tertentu di baliknya. Keadaan harus diubah: koruptor harus gemetar terhadap KPK, bukan sebaliknya. ●