Category: Uncategorized
-
Sentralisasi Pendidikan
Sentralisasi PendidikanMohammad Abduhzen, DIREKTUR EKSEKUTIF INSTITUTE FOR EDUCATION REFORM UNIVERSITAS PARAMADINA; VISITING SCHOLAR DI OHIO STATE UNIVERSITY COLUMBUS, AMERIKA SERIKATSumber : KOMPAS, 10 Desember 2011Mengatasi masalah distribusi dan peningkatan mutu pendidikan, pemerintah memutuskan menyentralisasi pengelolaan guru. Sesederhana inikah solusinya?Masalah ketidakmerataan guru muncul sebelum dan bukan disebabkan oleh desentralisasi, melainkan sikap pemerintah yang sering kali menggampangkan urusan pendidikan. Pemerintah jarang melihat pendidikan dalam perspektif yang lebih substansial. Sentralisasi mestinya dikaitkan dengan ide reformasi pendidikan yang total, fundamental, dan gradual.Rencana kebijakan untuk menyentralisasi pengelolaan guru, melalui surat keputusan bersama (SKB) lima menteri terkait, juga menunjukkan ”cara mudah” menangani pendidikan.Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengutak-atik mekanisme penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari model tahun 2010, yang tanpa melibatkan pemerintah daerah, ke mekanisme 2011 melalui pemerintah kabupaten/kota. Tahun 2012 mendatang, mekanisme itu dikembalikan seperti 2010 dengan alasan yang sama: untuk mengatasi keterlambatan.Begitu pula dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang lama dipersiapkan, tanpa ”ba-bi-bu”, pada 2006 pemerintah malah memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Manajemen manasuka telah membuat pendidikan kita jalan di tempat, tetapi mengigau tentang sekolah bertaraf internasional.Memang DibutuhkanSentralisasi pendidikan memang dibutuhkan, pertama, karena posisi strategis pendidikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan bukan hanya untuk pemberantasan buta huruf atau sekadar sekolah seperti yang dipahami kebanyakan orang. Lebih dari itu, pendidikan adalah upaya mempertahankan eksistensi: cara menyelesaikan berbagai persoalan dan jalan utama menuju terwujudnya kesejahteraan, kecerdasan, dan martabat bangsa.Sensitivitas bidang pendidikan setidaknya setara dengan (atau malah lebih) dari 6 bidang yang kini jadi urusan pemerintah (pusat), yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, hukum, moneter, dan fiskal. Namun, resentralisasi menuntut pendidikan masuk urusan pemerintah harus merevisi UU Pemerintahan Daerah.Kedua, pilihan desentralisasi pendidikan dalam situasi kebangsaan dan kenegaraan yang belum memiliki pola-pola efektif serta baik seperti sekarang tidak hanya menghambat kemajuan, tetapi juga melahirkan berbagai efek destruktif. Janji desentralisasi akan membawa berbagai inovasi dan akselerasi melalui otoritas pemerintah daerah ternyata tak terbukti. Modal kemanusiaan kita sangat terbatas dan masih dalam fantasi sentralistis sehingga ketika desentralisasi dipaksakan yang terjadi hanyalah eror. Bahwa selama Orde Baru pendidikan kita sentralistis dan tidak mengalami kemajuan, penyebabnya bukan sentralisasi, melainkan lebih karena mentalitas birokrasi kita.Ketiga, selama ini desentralisasi pendidikan kita sebetulnya semu. Praktis sebagian besar urusan pendidikan dijalankan secara sentralistis. Pembelajaran, misalnya, meskipun ada KTSP yang seyogianya memberi otoritas lebih luas kepada sekolah, komite sekolah, dan pemerintah daerah dalam menentukan apa yang seharusnya diajarkan, kenyataannya waktu yang disediakan cuma dua jam pelajaran (masing-masing 40 menit) pada muatan lokal. Selebihnya, mata pelajaran, materi, dan jam pelajaran ditetapkan dari pusat melalui Kepmen No 23-24/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Kurikulum, gaji guru, BOS, sertifikasi, infrastruktur, ujian nasional, dan buku pelajaran juga ditetapkan pusat. Jadi, gagasan resentralisasi pendidikan sesungguhnya hanyalah sebuah penegasan, formalitas yang memang diperlukan.Keempat, sentralisasi pendidikan dibutuhkan untuk menggalakkan reformasi yang secara normatif telah dimulai sejak amendemen UUD 1945, di mana anggaran pendidikan ditetapkan minimal 20 persen dari APBN dan APBD.Kemudian berlanjut dengan perubahan diametral tentang definisi pendidikan dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengutamakan peran aktif murid dalam pembelajaran. Lalu, masalah profesionalisme guru dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.Perlunya Reformasi PendidikanGagasan pembaruan ini seharusnya menjadikan pendidikan kita secara operasional lebih baik. Namun, sayangnya, arah dan gejala perbaikan itu sampai kini belum tampak jelas sehingga reformasi di bidang pendidikan perlu dipacu kembali.Reformasi pendidikan adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia jika ingin menangkap peluang di tengah pergeseran kekuatan ekonomi yang pendulumnya tengah berayun dari Barat ke Timur/Asia.Tak ada negara di dunia ini yang mengalami akselerasi kemajuan tanpa terlebih dahulu membenahi sistem pendidikannya. Negara-negara yang memahami formula kemajuan dan konstelasi perubahan global ini dengan serius berinvestasi pada bidang pendidikan, di antaranya dengan mengirimkan mahasiswa ke sentra-sentra kemajuan iptek dunia.Peluang Indonesia untuk maju dan berperan dalam globalisasi yang cepat dan dahsyat ini terbuka lebar. Potensi sumber daya manusia, alam, dan budaya kita sangat menjanjikan. Namun, semua itu perlu perombakan serius, terutama dalam bidang pendidikan. Sistem pendidikan kita terlalu usang dan tidak kompatibel untuk mengantarkan bangsa ini masuk dan bermain pada lingkaran tengah kemajuan.Latar pendidikan kita adalah situasi terjajah 100 tahun lalu ketika pemerintah kolonial menerapkan politik etisnya. Kendati bangsa ini telah merdeka, realitas pendidikan kita belum beranjak dari menyiapkan calon pegawai sipil pribumi (sekarang PNS) dan tenaga kerja murah.Reformasi harus menjadikan pendidikan sebagai wahana pemerdekaan dan perwujudan cita-cita kemerdekaan. Untuk itu, pendidikan perlu disentralisasikan. ● -
Desa Menuntut Rekognisi Negara
Desa Menuntut Rekognisi NegaraRobert Endi Jaweng, MANAJER HUBUNGAN EKSTERNAL KOMITE PEMANTAUAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAHSumber : KOMPAS, 10 Desember 2011Demonstrasi yang mulai rutin dilakukan perangkat desa, asosiasi pemerintahan desa, dan berbagai kelompok terkait lain berisi satu tuntutan puncak: segera sahkan UU Desa!Mereka menilai lemahnya posisi desa—bahkan pada era otonomi ini—disebabkan oleh dominasi lembaga supradesa yang menyubordinasikan desa sebagai bagian rezim pemda dan norma pengaturan desa hanya dicantolkan dalam sejumlah pasal di UU No 22/1999 atau UU No 32/2004 saat ini.Patut dicatat, sejumlah institusi pemegang fungsi legislasi di pusat sudah bergerak. Berdasarkan konsensus DPR-pemerintah untuk memisahkan pengaturan pemda, desa, dan pilkada dalam tiga UU berbeda, Kementerian Dalam Negeri telah bolak-balik mengundang banyak pihak mendiskusikan draf persiapan sebelum diusulkan ke DPR. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bahkan sudah menyelesaikan dan menyetujui susunan RUU tersebut dalam Sidang Paripurna DPD Juli 2011 untuk dijadikan usulan RUU ke DPR.Jantung PerkaraTerlepas dari proses legislasi yang mungkin membuat berbagai pihak tak sabar menanti, perhatian pada mutu materi muatan UU baru nanti adalah niscaya. Para pejuang desa dituntut untuk menyiapkan draf tandingan yang solid-komprehensif, tidak semata melemparkan wacana yang berserakan, terpisah-pisah, sehingga sulit diuji koherensi antar-isu yang diperjuangkan.Keseriusan juga penting untuk menjawab tudingan bahwa unjuk rasa belakangan ini hanya mengekspresikan kepentingan sempit—perangkat desa jadi PNS, misalnya—bahkan banyak partai politik besar yang membonceng dengan agendanya.Sejauh niatnya murni memberdayakan desa agar fungsional, terkelola secara efektif, dan jadi basis demokrasi yang kokoh di ranah lokal, hemat saya, wacana penataan (pengaturan) harus dimulai dari pencarian jati diri kedudukan desa. Isu ini, selain banyak memancing polemik, juga amat fundamental sebagai basis (re)konstruksi desa. Apalagi, ada utang masa lalu saat entitas lokal itu ”diberangus” sikap prasangka-desa (Chambers: 1988), anti-desa (Lawang: 2006), lewat ”intervensi negara atas desa dan integrasi desa ke dalam negara”.Ikhtiar ”mendudukkan” desa secara pas berarti membaca otonomi desa secara berbeda dari otonomi daerah di level supradesa. Meski pilar desentralisasi dan otonomi saling terkait, dalam konteks desa terdapat logika sistem yang berlainan.Di level daerah, otonomi hanya akan ada jika didahului desentralisasi kewenangan dari Jakarta (otonomi pemberian). Sebaliknya, otonomi desa bukanlah lantaran adanya desentralisasi, tetapi memang secara nyata sudah lama eksis, berbasis lokal-asali, serta inheren dalam dirinya. Maka, yang dibutuhkan semata rekognisi negara dan lembaga supradesa atas eksistensi desa (otonomi pengakuan) dan tak bisa dicabut lantaran bukan otonomi pemberian dari otoritas supradesa. Inilah hakikat self-governing community yang diimajinasikan sebagai prototipe pengelolaan desa sesungguhnya.Kental RekognisiMaka, arah dasar legislasi nanti mesti kental politik rekognisi, bukan desentralisasi. Pekerjaan pemerintah/DPR/DPD memang jadi sulit karena tak bisa asal pukul rata seperti halnya UU Pemda. Lebih dari sekadar kemampuan teknis legal-drafting, yang jauh lebih dibutuhkan adalah kecerdasan legislative-assessment guna menakar ”segala yang eksistensial” tadi di 70.000 desa seantero Nusantara. Jelas, derajat kebertahanan otonomi asali tidak merata, di sebagian tempat malah telah lama hilang digerus ”modernisasi” atau diberangus mesin Orba yang menghendaki keseragaman desa. Tingkat perkembangan sosio-ekonomi juga pasti bervariasi, bahkan senjang luar biasa antara desa di Jawa dan di Papua.Untuk ”keluar” dari kesulitan politik legislasi, sebagian pihak mengusulkan: UU Desa bersifat generik, digariskan nada dasarnya saja, sementara rincian lebih lanjut diatur kabupaten. Sebagian pakar datang dengan substansi usulan lain: pembuatan tipologi desa sebagai formula akomodasi pluralitas lokal dan derajat perkembangan sosial sehingga pengaturan mesti bersifat asimetris. Namun, ada saja yang optimistis: realitas keragaman lokal dan hakikat otonomi asali dalam instrumen kebijakan akan terpelihara sejauh anggota DPR/DPD bisa memahami karakter desa perwakilannya.Apa pun itu, garis dasar yang wajib dipegang adalah tidak lagi mengulang corak pengaturan Orba (UU No 5/1974) yang kental uniformisasi, jangan juga latah dengan pola era desentralisasi yang mengatur serba terbatas dan hanya menyentuh segi instrumen yang justru problematik. Jika perkara kedudukan desa ini tetap tak selesai secara baik, boleh jadi kita hanya kembali ke cerita lama ketika desa dijadikan miniatur negara. Otonomi desa hanya sebagai bagian/turunan dari otonomi daerah.Jadi, RUU Desa bukan semata polemik soal status sekretaris desa ataupun perangkat desa sebagai PNS, mengalokasikan pembiayaan desa dalam APBN hingga 10 persen, dan seterusnya. Ini jelas ironis dan menimbulkan kecurigaan ketika keprihatinan dasar adalah soal lemahnya posisi desa di depan kedigdayaan lembaga supradesa, padahal kondisi yang memprihatinkan justru soal kesejahteraan dan status kepegawaian pejabat desa. Lalu, apa beda mereka dengan elite penyelenggara negara yang lain? ● -
Mantan Polisi, Bekas Selebritas
Mantan Polisi, Bekas SelebritasReza Indragiri Amriel, PSIKOLOGSumber : KORAN TEMPO, 10 Desember 2011Norman Kamaru tidak lagi berpangkat brigadir satu. Polisi yang dibuat tenar lewat rekaman lipsync-nya di laman youtube.com itu dipecat dengan tidak hormat dari institusi Kepolisian RI. Bagi Norman, dijatuhi sanksi pemecatan secara tidak hormat tampaknya bukan persoalan. Di ruang publik, Norman tetap tampil high profile. Walau persidangan etik profesi atas dirinya belum rampung, Norman justru hinggap dari satu etalase ke etalase selebritas lainnya.Iming-iming kekayaan, sulit diingkari, menjadi pesona yang begitu menggiurkan. Walau perlu diingat, kesejahteraan finansial yang membaik—bisa jadi—bukan satu-satunya motif yang mendorong Norman sehingga berani banting setir dari pelayan masyarakat menjadi penghibur masyarakat. Salah satu fakta yang diidentifikasi sebagai sumber stres yang signifikan di organisasi kepolisian adalah pengakuan.Tingginya tuntutan tugas, termasuk risiko bahaya, dapat mengisap personel kepolisianke dalam pusaran ketidaknyamanan kerja. Pada saat yang sama, institusi kepolisian direpresentasikan oleh penyelia tidak memiliki waktu dan kepedulian memadai terhadap kebutuhan manusiawi bawahannya. Tekanan terhadap polisi juga datang dari masyarakat. “Sempurna”sudah, menjadi polisi sama artinya dengan menjadi manusia super, yang pantang takut, haram mengaku letih, dan aib berkata sedih. Pokoknya bekerja, titik.Berprofesi sebagai polisi berarti mendekatkan diri pada keadaan dehumanisasi. Suasana hati yang demikian galau, serta terus-menerus berada di luar jarak pandangorganisasi, akan menjadi faktor risiko bagi munculnya perilaku yang tak pantas (misconducts). Wujudnya bisa sikap apatis, bisa pula yang memangsa, semisal korupsidan perilaku brutal. Semuanya adalah manifestasi aspirasi personel yang tidak terpenuhi dan atensi lembaga yang tidak memadai.Dari situ, keputusan Norman mengundurkan diri dari institusi Polri barangkali seharusnya justru memberikan inspirasi, bahkan alternatif solusi, bagi sistem pengembangan sumber daya manusia Polri, yang oleh banyak kalangan dinilai masihbelum sepenuhnya obyektif dan transparan berbasis kinerja—tanpa menihilkan sentuhan kemanusiaannya.Kalau selama ini keluar dari Polri lebih berawal dari penyikapan lembaga, sebagai sanksi atas pelanggaran personel, misalnya, di masa mendatang perlu didorong agar undur diri lebih banyak berangkat dari inisiatif pribadi personel. Para punggawa tribrata memeriksa dan menakar diri masing-masing guna menjawab apakah mereka masih pantas atau sudah tak layak berada di korps Polri.Keluarnya personel dari kepolisian tidak selamanya menjadi kabar buruk bagi institusikepolisian. Turnover merupakan kesempatan bagi lembaga mengganti para aparatnya yang tidak efektif bekerja dan tidak menjunjung etika. Secara keseluruhan, turnover adalah peluang pembenahan sistem dan—terlebih—kultur organisasi.Di atas itu semua, yang menjadi pertimbangan utama sebenarnya adalah kepentinganmasyarakat. Logikanya sederhana: ketika jiwa pengabdian sudah pupus dari batin personel, dan digantikan oleh obsesiobsesi baru, kebutuhan publik akan layanan terbaik kepolisian harus tetap berada di prioritas tertinggi. Dengan kata lain, apaboleh buat, sudah menjadi risiko “kodrati” profesi: dalam kondisi seburuk apa pun,tetap polisi yang harus memahami masyarakat, bukan masyarakat yang harus mendengarkan keluh-kesah polisi.Walau terkesan positif, pengunduran diri personel kepolisian menyisakan persoalanmenyangkut biaya finansial yang telanjur dikeluarkan guna merekrut dan membinapersonel-personel tersebut. Hal ini yang melatari penilaian bahwa problem turnoverpada organisasi kepolisian di sejumlah negara sudah mencapai titik kritis. Contoh dari beberapa negara bagian di Amerika Serikat, tingkat pengunduran diri polisi (14 persen) lebih tinggi daripada profesi perawat (12 persen) dan guru (13 persen). Masa kerja mereka rata-rata 33 bulan sejak bergabung. Yang terbanyak adalah personel yang masih berada pada usia emas, yakni 26-30 tahun dan 31-36 tahun.Tapi, karena mempertahankan personel yang tidak layak berimbas pada lebih besarnyabiaya ataupun beban yang harus ditanggung oleh lembaga dan masyarakat, turnover tetap dipandang sebagai kenyataan dengan efek kerugian lebih minimal.Norman bagaimana?Atas diri Norman sendiri, saya hanya mengkhawatirkan pilihan kariernya setelah —kasarnya—dipecat dari Polri. Norman selama ini dikenal, bahkan dielu-elukan masyarakat, karena ia adalah polisi yang bernyanyi.Tidak sungguh-sungguh bernyanyisebenarnya.Kunci ketenaran Norman adalah tatkala ia mengenakan seragam Brimob dan berlenggak-lenggok tanpa mengeluarkan sepatah nada pun dari mulutnya. Publik tidak pernah mendengar, apalagi mengagumi, tarikan suaranya. Jangan-jangan, hanya dengan formula serupa Norman tetap asyik ditonton khalayak. Norman yang berbusana selain seragam polisi tidak akan dilirik orang. Norman yang bernyanyi dengan suaranya sendiri juga tidak akan didengar orang. Ah, nasib orang siapa tahu! Wallahualam.● -
Penegakan Hak Asasi Manusia Pasca-Sondang
Penegakan Hak Asasi Manusia Pasca-SondangUsman Hamid, PENELITI DI PUSAT PENELITIAN POLITIK LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)Sumber : SINDO, 10 Desember 2011Saya terhentak ketika mendengar bahwa aksi bakar diri di depan Istana dilakukan mahasiswa yang aktif bersolidaritas kepada perjuangan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Bagaimana kita memaknainya dalam peringatan Hari HAM kali ini? Sondang Hutagalung––jika benar hasil tes DNA dokter–– adalah mahasiswa yang kerap ada dan aktif berperan dalam prakarsa-prakarsa Kontras untuk memperjuangkan keadilan dan HAM.Jika ke Kontras,hampir selalu kita temui dia sedang berkumpul sesama aktivis mahasiswa dan mendiskusikan permasalahan HAM atau seputar bagaimana membangun gerakan mahasiswa dan peranan pemuda. Sondang aktif mempersiapkan kegiatan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk melakukan aksi diam pada setiap Kamis,pukul 4 sore, di depan Istana.
Ia dikenal ramah, menyukai olahraga sepak bola. Pada akhir pekan, saya kerap melihatnya membaca buku di perpustakaan Kontras. Dalam dua bulan terakhir, Sondang tak hadir di tengahtengah berbagai kegiatan Kontras yang belakangan begitu intensif memantau perkembangan Papua.
Ketidakhadiran ini hal biasa karena sebagai seorang aktivis mahasiswa, mungkin saja dia tengah mengikuti kegiatan dengan organisasi lain ataumelakukan tugastugas mahasiswa. Lalu apa yang terjadi sebenarnya? Yang pasti, orang tua, keluarga, dan kerabat dekatnya amat bersedih hati. Kita pun bersedih dan dibuatnya tak percaya.
Dan bila direnungkan lebih mendalam lagi, kita seperti diajak untuk merefleksikan aksi ini sebagai suatu bentuk pengorbanan diri sekaligus untuk membangun perhatian dan menggelorakan spirit kejuangan (martyrdom) yang lebih luas. Tindakan ini dikenal sebagai self-immolation yang dikenal selama berabad-abad sebagai protes politik terhadap ketidakadilan dan kezaliman kekuasaan yang nyaris mustahil dikoreksi.
Keadaan yang nyaris tak terkoreksi itu melahirkan semacam tindakan dramatik dan revolusioner pada diri aktor selfimmolation untuk menarik perhatian dari khalayak luas dengan menyerahkan tubuhnya pada api sebagai aksi pengabdian diri. Majalah Times dan New York Times mencatat, setidaknya terdapat 100 orang dalam kurun 1963–1971 yang melakukan self-immolation sebagai protes terhadap Amerika Serikat dalam Perang Vietnam.
Dalam gelombang baru dari revolusi sosial, Sondang Hutagalung mengingatkan kita pada Mohamed Bouazizi, seorang sarjana Tunisia yang dagangannya dirampas oleh aparat karena dianggap ilegal.Di tengah ketatnya kontrol kekuasaan, dia kemudian menempatkan aksi bakar tubuhnya sebagai wujud protes terhadap kesewenangwenangan.
Bouazizi atau Sondang juga seperti mengulangi Jan Palach, seorang mahasiswa Czechnya yang menentang aksi pendudukan militer Soviet dengan cara membakar diri dan kemudian melahirkan perlawanan yang meluas.
Tak Menentu
Lalu apakah kondisi kehidupan masyarakat Indonesia sudah sedemikian kritisnya sehingga seorang mahasiswa seperti Sondang berani mengambil tindakan demikian? Keadaan penegakan HAM di Tanah Air memang semakin tak menentu. Pemerintahan yang berkuasa selalu menyangkal dan menunda pemenuhan tuntutan berbagai lapisan rakyat bawah.
Media massa setiap hari merekam perlawanan-perlawanan sosial perseorangan maupun kelompok masyarakat terhadap kebijakan negara yang tidak adil.Tindakan-tindakan represif negara semakin dihidupkan kembali sekaligus semakin gagal meredam suara-suara protes.
Dalam penelitian mendalam, Imparsial dan Kontras bekerja sama dengan Federasi Internasional HAM yang berbasis di Paris, Prancis (FIDH) menyimpulkan bahwa walaupun sejak 1998 terjadi perbaikan melalui berbagai pernyataan politik mengenai komitmen penegakan HAM, Indonesia terus menghadapi tantangan serius dalam isu HAM.
Di antaranya ketiadaan hukuman dalam kasus-kasus kekerasan yang dilakukan aparat keamanan negara, berbagai legislasi yang inkonsisten dengan kewajiban Indonesia kepada konvensi HAM internasional, sistem peradilan yang lemah dan korup, serta berkembangnya intoleransi terhadap kaum minoritas.
Penelitian yang berjudul “Shadows and Clouds: Human Rights in Indonesia, Shady Legacy,Uncertain Future (2010)” menemukan budaya kebal hukum dan ketiadaan hukuman (impunitas) terbawa dari pemerintahan Soeharto. Ini adalah persenyawaan dari besarnya kekuasaan militer,reformasi polisi yang tak memadai, dan kerentanan sistem peradilan dari pengaruh eksternal.
Penyelidikan kredibel terhadap pelanggaran HAM berat, terutama yang melibatkan aparat keamanan, jarang dilakukan. Sejumlah anggota militer, apalagi perwira, yang dituduh atau didakwa dalam pelanggaran HAM tetap menjalankan tugas aktifnya, bahkan mendapat kenaikan pangkat dan promosi jabatan militer hingga jabatan di jajaran kementerian. Status kontrol sipil dari pemerintah dan DPR terhadap tentara masih meragukan.
Dalam merespons Papua, taktik bersenjata ala Orde Baru masih diterapkan untuk membungkam suara kritis di Papua, termasuk dengan penyiksaan warga sipil secara brutal dengan stigma separatis. Contoh lainnya adalah rendahnya akuntabilitas atas pembunuhan pembela HAM Munir Thalib Said pada 2004 dan putusan bebas bagi terdakwa dalang pembunuhan tersebut,Muchdi Purwo-pranjono, setelah melalui persidangan yang penuh cacat.
Berlakunya legislasi antiterorisme dan penyalahgunaannya juga telah menyebabkan pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan dan intelijen. Baru-baru ini Badan Intelijen Negara diberi wewenang yang eksesif, mengatasi institusi hukum. Sebelumnya Undang- Undang Antiterorisme (UU 15/2003) memuat definisi “terorisme” yang luas sehingga membuka pintu pelaksanaan sewenang-wenang oleh negara. Praktik dari UU ini membuktikan kekuasaan yang luas tanpa kendali pada pelaksana hukum.
Nah, kondisi seperti inilah yang mungkin dipikirkan oleh seorang mahasiswa seperti Sondang. Kita selayaknya berempati dan mengambil prakarsa untuk mengubah keadaan ini.
● -
Quo Vadiz Penghormatan HAM?
Quo Vadiz Penghormatan HAM?Muhamad Haripin, PENELITI DI PUSAT PENELITIAN POLITIK LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)Sumber : SINDO, 10 Desember 2011Kondisi HAM di Indonesia saat ini masih memprihatinkan. Hak prinsipil warga negara untuk hidup tenteram, sejahtera, dan bebas dari ancaman belum dapat dilaksanakan sepenuhnya.
Negara yang semestinya menjamin terpenuhinya HAM, tidak jarang, malah menjadi pelanggar utama. Kasus kekerasan yang menimpa kaum miskin kota dalam kasus penggusuran, atau dalam konteks lebih luas,kekerasan sistematik terhadap penduduk asli di tanah Papua, memperlihatkan bahwa negara, melalui aparatur penegak hukum maupun keamanannya, telah bertindak sewenang-wenang dan abai terhadap asas perikemanusiaan yang adil dan beradab.Namun, pelanggaran HAM tidak melulu berkaitan dengan kekerasan fisik/militer.Korupsi, diskriminasi atas akses sosial ekonomi, pengerdilan identitas kelompok tertentu,juga termasuk dalam praktik pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.Dalam kasus ini, pelanggarnya tidak terbatas kepada negara, tapi juga merembet ke kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan modal maupun koersif, atau memiliki kedekatan dengan sumber kuasa.
Dalam beberapa kasus yang sempat ramai diberitakan, misalnya penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah dan razia paksa terhadap restoran yang buka saat bulan puasa. Organisasi masyarakat bahkan melakukan kekerasan fisik dan melakukan tindakan sweeping yang sama sekali bukan wewenangnya (extrajudicial violence). Di Indonesia dewasa ini state violence berpadu dengan civil violence.
Kedua tipe kekerasan tersebut sama-sama berakibat destruktif. Terlebih,hukum dan sistem penegakan hukum di Indonesia telah dengan mudah dimanipulasi demi kepentingan segelintir orang. Kondisi yang terjadi adalah pelaku kekerasan tidak tersentuh dan—atau bahkan dapat dengan mudah—lari dari hukum.
Dengan kondisi seperti itu, potret Indonesia dalam penghormatan terhadap HAM tampak muram.Kebanggaan sebagai salah satu negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dan anggota G-20 menjadi pudar ketika dihadapkan kepada wajah bopeng pelanggaran HAM.
Penghormatan HAM
Dalam rangka peringatan Hari HAM Sedunia tahun ini, yang jatuh pada 10 Desember,negara dan masyarakat perlu diingatkan kembali mengenai urgensi penghormatan terhadap HAM. HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada tiap individu. Kalaupun dengan bernegara, warga meletakkan sebagian haknya untuk dibatasi oleh negara, bukan berarti negara lantas bisa bertindak semaunya.
Relasi negara-masyarakat di Indonesia mesti diletakkan dalam koridor demokrasi. Penguatan negara (strong state) bukan berarti masyarakat lemah (weak society),atau sebaliknya. Peningkatan kapabilitas dua entitas tersebut pada aspek tertentu sulit dipungkiri akan berlangsung secara divergen karena perbedaan kepentingan maupun perspektif.Namun, pada aspek lain,kondisi konvergen pun mungkin terjadi.
Dalam urusan penghormatan atas HAM inilah semestinya konvergensi tersebut terjadi: negara dan masyarakat sepakat bahwa HAM merupakan prioritas dalam setiap kebijakan pemerintah,baik itu untuk pembangunan yang berdimensi ekonomi (development) ataupun keamanan strategis (security).
Komnas HAM
Dalam konteks ketatanegaraan, peran ‘lembaga khusus’ seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menjadi penting untuk dikedepankan. Serupa dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),Komnas HAM semestinya tidak sungkan untuk bertindak progresif dalam penegakan HAM di Indonesia.Komnas HAM memosisikan dirinya di ‘sepatu’ korban, bukan penguasa atau pelanggar HAM.
Instrumen hukum tentang HAM telah tersedia,di antaranya UU 39/1999 tentang HAM, UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM,UU 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik,serta UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.Permasalahan yang sedari dulu hingga kini mendera adalah implementasi berkelanjutan serta konsisten atas berbagai regulasi tersebut.
Pada kondisi demikian,Komnas HAM semakin diperlukan sebagai lembaga yang memiliki militansi dan imparsialitas dalam menyelidiki serta mengadvokasi penyelesaian pelanggaran HAM. Perhatian serius terhadap kinerja Komnas HAM perlu diberikan dan publik pun jangan sampai luput mengawasi.Terlebih, belakangan ini ada tendensi Komnas HAM bersikap plin-plan.
Komnas HAM sudah saatnya berhenti menjadi ‘lembaga ratapan.’ Tiap pelapor yang mengadu haknya dilanggar patut mendapat kepastian serta keyakinan bahwa Komnas HAM memiliki nyali sekaligus taji guna membela mereka.Wewenang yang telah dimiliki pun mesti dipergunakan semaksimal mungkin bagi penegakan HAM secara holistik sekaligus substantif,dan tercapainya keadilan bagi korban.
Tanpa harus bersikap keras terhadap negara, peran Komnas HAM yang lebih bersikap imparsial dalam membela rakyat adalah suatu keniscayaan jika Komnas HAM tak ingin kehilangan pamornya di mata masyarakat.Selamat Hari HAM Sedunia!
● -
Perbaikan Hak Sipil, Defisit Hak Ekosob
Perbaikan Hak Sipil, Defisit Hak EkosobIfdhal Kasim, KETUA KELOMPOK KAJIAN HAM DAN HHI FAKULTAS HUKUM UNDIPSumber : SINDO, 10 Desember 2011Penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia terus mengalami koreksi dari tahun ke tahun.Pada masa lalu—ketika rezim otoriter mencengkeram praksis politik di Indonesia—para pejuang HAM di dalam negeri terus menyerukan penghormatan negara atas hak-hak sipil dan politik (sipol).
Atas nama stabilitas nasional, rezim otoriter pada masa lalu dengan mudah melakukan pelanggaran hak-hak sipol. Kini,ketika praksis demokrasi menjadi suatu keniscayaan sejarah, pelanggaran hakhak sipol memang mengalami penurunan,namun akhir-akhir ini kita juga melihat kecenderungan terjadi arus balik dalam penikmatan hak-hak tersebut. Hak beragama dan berkeyakinan serta hak berpendapat dan berekspresi, misalnya, menghadapi tantangan dan hambatan tersendiri.Pada titik ini, perjuangan bagi pemenuhan hak-hak sipol masih harus terus diperjuangkan. Meski demikian, kita juga harus berbagi perhatian pada rumpun lain dalam HAM yang tak kalah pentingnya dari hakhak sipol, yaitu pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob). Ketentuan- ketentuan tentang kewajiban negara dalam hak-hak ekosob tercantum dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB).
Dengan lahirnya kovenan ini,paradigma “charity”telah digeser menjadi paradigma “hak”, yang dapat diklaim oleh warga.Melalui UU No 11 Tahun 2005 Indonesia telah meratifikasi instrumen tersebut. Ratifikasi tentu belum cukup menjamin pemenuhan hak-hak ekosob.
Menurut data pengaduan Komnas HAM pada 2009 dan 2010, sebanyak 36% dari 6.000 pengaduan ke Komnas HAM adalah pengaduan atas terlanggarnya hak-hak ekosob. Angka ini menunjukkan bahwa persoalan pemenuhan hak-hak ekosob adalah isu HAM yang serius pada saat ini dan masa-masa mendatang.
Cakupan Hak-Hak Ekosob
Apa yang kita maksud dengan hak-hak ekosob ini? Yang tercakup ke dalam kategori hakhak ekosob ialah hak atas penentuan nasib sendiri; hak atas jaminan persamaan laki-laki dan perempuan; hak atas pekerjaan; hak atas kebebasan berserikat; hak atas upah yang adil; hak mogok; hak atas pendidikan; hak atas kesehatan; hak atas perumahan; hak atas pangan; hak atas lingkungan yang sehat dan bersih; hak atas hidup yang layak; perlindungan terhadap keluarga; hak atas jaminan reproduksi perempuan; hak untuk mendapatkan akses pada kemajuan ilmu pengetahuan, seni, sastra dan teknologi.
Berdasarkan pada kajian- kajian mutakhir hak-hak ekosob,para pakar mulai menyadari bahwa hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya ternyata tidak melulu merupakan hak-hak positif (positive rights). Ditemukan cukup banyak hak-hak yang diakui di dalamnya menuntut bukan saja negara tidak mengambil tindakan tertentu untuk melindungi hak (state obligation not to do something). Jadi bukan melulu mengharuskan negara aktif mengambil tindakan (state obligation to do something).
Hal ini dapat kita lihat pada klausulklausul dalam perumusan tentang hak berserikat,hak mogok, kebebasan memilih sekolah,kebebasan melakukan riset, larangan menggunakan anakanak untuk pekerjaan berbahaya, dan seterusnya, yang terdapat di dalam CESCR.
Situasi Hak Ekosob
Hak-hak ekosob belum dinikmati secara menyeluruh oleh warga negara Indonesia. Selain masih merupakan barang mewah, hak-hak ini juga ditandai oleh pelanggaran-pelanggaran yang masif (grave), yang hingga saat ini sulit dicari jalan penyelesaian dan pemenuhannya.
Bila dibanding dengan pelanggaranpelanggaran di bidang hak-hak sipol yang telah memiliki mekanisme yang memadai baik di tingkat internasional maupun nasional, pelanggaran-pelanggaran yang berskala masif di bidang hak-hak ekosob (ecosoc rights) masih belum memiliki mekanisme dan prosedur penyelesaian yang jelas.
Seakan-akan pelanggaran terhadap hak ekosob tidak menimbulkan kewajiban bagi negara untuk menanganinya: seakan ada impunitas yang tersembunyi. Pelanggaran atas hak ekosob bukan hanya mengedepan pada masa transisi sekarang, melainkan sudah mengakar jauh di masa pemerintahan sebelumnya (Orde Baru).
Saat ini pelanggaran terhadap hak ekosob semakin meluas. Apalagi setelah pemerintah SBY-Boediono memutuskan untuk mencabut berbagai fasilitas subsidi terhadap belanja-belanja sosial (social expenditure), termasuk pencabutan terhadap subsidi sekolah, kesehatan, hingga pada BBM.
Kita menyaksikan bertambahnya jumlah orang miskin, nelayan-nelayan kecil yang tak melaut, fasilitas kesehatan dasar tak terpenuhi, merebaknya busung lapar, gizi anak yang rendah (sehingga memunculkan isu lost generation), biaya sekolah semakin tak terjangkau oleh rakyat kecil, lapangan kerja semakin langka, dan seterusnya.Semua fenomena itu menunjukkan dengan sangat gamblang bahwa negara telah melalaikan atau melanggar kewajibannya terhadap pemenuhan hak-hak ekosob.
Perlu Ada Mekanisme
Belakangan ini semakin banyak ikhtiar yang dilakukan para sarjana dan aktivis HAM untuk memalingkan perhatian ke arah advokasi hak-hak ekonomi ekosob. Pada 1998, Komite Ecosoc mengeluarkan Komentar Umum (General Comment) No 9 yang mendorong negara menyediakan mekanisme penyelesaian hukum (yustisiabilitas) atas pelanggaran hak-hak ekosob.
Tidak kalah besar artinya,dalam keseluruhan upaya ini adalah, kajian yang dibuat oleh Sub-Komisi HAM PBB (melalui pelapor khususnya) mengenai impunitas dalam pelanggaran hak-hak ekosob. Kajian itu telah menggugah perhatian orang akan semakin pentingnya perlindungan terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Pada 10 Desember 2008 akhirnya PBB berhasil merumuskan Optional Protocol to the International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Resolusi Majelis Umum A/RES/63/117). Melalui Protokol Pilihan tersebut sekarang tersedia mekanisme pengaduan terhadap pelanggaran hak-hak ekosob.
Protokol Pilihan memperkenalkan mekanisme seperti communication, interim measures, friendly settlement, dan inquiry procedure. Mekanisme ini memberi peluang bagi warga negara atau individu untuk melakukan pengaduan dan meminta tanggung jawab negara atas pemenuhan hak ekosob.
Komite dapat meminta negara pihak, berdasarkan informasi yang akurat terdapat indikasi pelanggaran yang sistematis atau grave,melakukan inquiry ke negara yang bersangkutan. Pelaksanaan “penyelidikan” memang dilakukan secara rahasia dan kerja sama dari negara pihak. Temuan-temuan penyelidikan akan disampaikan ke negara yang bersangkutan, dan Komite akan memantau followup dari rekomendasi yang disampaikan dalam laporan hasil penyelidikan tersebut.
Hingga kini harus diakui bahwa kita masih menghadapi jalan buntu untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak ekosob. Kondisi ini terjadi karena hingga kini kita belum memiliki mekanisme nasional dalam menjamin pemenuhan hak-hak ekosob.Protokol Pilihan untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mungkin bisa kita jadikan rujukan dalam upaya kita membangun mekanisme nasional yang dimaksud.
Tanpa tersedianya suatu mekanisme yang efektif dan aplikatif, sulit bagi kita memutus mata rantai impunitas yang selama ini membelit hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Inilah tantangan kita bersama!
● -
Beban Sejarah HAM
Beban Sejarah HAMRahayu, KETUA KELOMPOK KAJIAN HAM DAN HHI FAKULTAS HUKUM UNDIPSumber : SUARA MERDEKA, 10 Desember 2011UNTUK kali ke-63, hari ini dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM), menandai penerimaan Universal Declaration of Human Rights (UDHR), dokumen internasional yang menjadi standar pencapaian yang berlaku untuk semua rakyat dan semua negara. Dokumen yang diterima 10 Desember 1948 ini telah menjadi fondasi bagi tatanan dunia baru guna menghapus sejarah kelam masa lalu yang penuh pelanggaran HAM.Dengan mendasarkan pada prinsip persamaan (equality), martabat kemanusiaan (dignity), dan persaudaraan (brotherhood), deklarasi yang menegaskan pengakuan atas martabat manusia tersebut masih menjadi inspirasi penting bagi seluruh umat untuk menghormati hak asasi tiap individu.
Bagi Indonesia, momentum peringatan ini adalah saat tepat untuk merefleksi diri. Pada era reformasi kita meraih capaian positif dengan melahirkan beberapa perubahan penting yang kontributif bagi penghormatan dan perlindungan HAM. Dari amandemen UUD 1945, ratifikasi berbagai instrumen hukum internasional, hingga berbagai UU dan kebijakan berkaitan dengan topik itu. Termasuk pembentukan institusi nasional, yang semuanya menegaskan komitmen pemerintah.
Namun kemajuan politik hukum tentang HAM ternyata tidak berkorelasi positif dengan penegakannya di lapangan.
Beberapa kasus pelanggaran berat HAM hingga hari ini tak juga jelas penanganannya. Kasus berat seperti Tragedi 27 Juli dan Mei 1998 yang sudah diselesaikan penyelidikannya oleh Komnas HAM masih mandek di Kejakgung. Adapun korban kerusuhan Mei 1998, meskipun sudah lebih dari 200 kali melakukan aksi di depan istana Presiden, hal itu tak mampu mengusik SBY untuk segera menuntaskan kasus itu.
Begitu pula penuntasan kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998, yang sudah dimandatkan DPR tak kunjung ditindaklanjuti Presiden dengan membentuk pengadilan HAM ad hoc. Pembayaran ganti rugi bagi korban lumpur Lapindo pun hingga hari ini masih terus menyisakan persoalan.
Belum lagi berbagai kasus kekerasan yang belakangan merebak, seperti yang berlanjut di Papua yang mengakibatkan korban jiwa, konflik horizontal antarkelompok masyarakat yang makin sering terjadi di berbagai tempat, unjuk rasa buruh menuntut perbaikan upah hingga ancaman teroris yang mengusik rasa aman masyarakat. Tak tertanganinya kasus-kasus tersebut secara tuntas makin menegaskan betapa lemahnya penegakan HAM.
Apa pun alasannya, pelanggaran HAM bukan perbuatan khilaf yang bisa begitu saja dimaafkan melainkan juga kejahatan yang harus dipertanggungjawabkan. Penegakan HAM merupakan salah satu kewajiban konstitusional [Pasal 28 I Ayat (4) UUD NRI 1945] pemerintah di samping kewajiban menghormati, melindungi, memajukan, dan memenuhi HAM tiap warga negara.
Internasionalisasi Isu
Sesungguhnya penegakan hukum HAM adalah bukti penghargaan dan perlindungan terhadap nilai kemanusiaan yang menjadi roh kedaulatan bangsa. Bila pemerintah terus melakukan pembiaran atas kejahatan HAM, hal itu makin mempertebal stigma yang masih kuat melekat.Keadaan ini dikhawatirkan menjadi kendala bangsa ini dalam membangun diri di tengah pergaulan internasional mengingat salah satu prinsip utama yang mendasari hubungan antarnegara pada era global adalah penghormatan terhadap HAM.
Kecenderungan global yang menempatkan HAM sebagai isu sentral dalam hubungan internasional mengakibatkan derajat strategis dan bobot politik persoalan itu makin besar dalam agenda politik luar negeri kita.
Bila persoalan itu tidak diselesaikan dengan cepat dan tepat, dikhawatirkan mengundang keterlibatan masyarakat internasional untuk mengambil alih penyelesaian melalui mekanisme sanksi internasional sebagaimana di Myanmar, Sudan, Libia, dan beberapa negara lain.
Tekanan internasional semacam ini pernah dialami Indonesia terkait dengan pelanggaran berat HAM di Timor Timur pascajajak pendapat 1999. Internasionalisasi isu HAM menunjukkan bahwa persoalan yang berkaitan dengan penegakan HAM di sebuah negara tidak dapat dilepaskan dari domain hukum internasional.
Yurisdiksi domestik tak lagi dapat dijadikan dalih untuk tidak menegakkan dan mengungkap terjadinya pelanggaran HAM di suatu negara.
Tidak ada pilihan bagi pemerintah Indonesia selain secara bersungguh-sungguh harus memperbaiki kinerja keberpihakannya pada penegakan HAM. Apa pun persoalannya harus segera diselesaikan sesuai norma hukum dengan mengedepankan perlindungan dan penghormatan pada HAM, demokrasi, keadilan, dan perdamaian agar kelak tidak menjadi beban sejarah bagi generasi mendatang.
Karena, seperti kata Hannah Arendt bahwa negeri yang tak mampu disinari oleh masa lalu hanya akan mengembara dalam kabut masa depan.
● -
Hatta dan PAN di Setgab
Hatta dan PAN di SetgabArya Fernandes, ANALIS DARI CHARTA POLITIKA INDONESIA, FELLOW PARAMADINA GRADUATE SCHOOL OF POLITICAL COMMUNICATIONSumber : SUARA MERDEKA, 10 Desember 2011“Publik lebih memberi perhatian luar biasa terhadap kebijakan capres, terutama dalam bidang ekonomi”PARTAI Amanat Nasional (PAN) pada 9-11 Desember 2011 menyelenggarakan rapat koordinasi nasional (rakornas) dan silaturahmi nasional (silatnas). Rakernas kali ini terasa berbeda dari sebelumnya karena ada dua isu utama yang diperkirakan jadi perbincangan serius di internal. Pertama; pencalonan ketua umum partai itu, Hatta Rajasa sebagai capres 2014. Kedua; posisi PAN di dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi. Dua isu utama ini bisa memengaruhi konstelasi politik di tingkat nasional.
Isu pencapresan selalu menarik bagi publik, partai, dan media. Setelah Susilo Bambang Yudhoyono tak dapat lagi mencalonkan diri sebagai capres, pemilu 2014 menjadi wilayah tanpa tuan. Semua kandidat punya peluang sama untuk berkompetisi. Apalagi, hasil survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) Oktober 2011 menunjukkan tidak ada figur kuat menjelang Pemilu 2014, selain Megawati dengan tingkat keterpilihan 19,6%.
Di bawahnya, berderet sejumlah nama, seperti Prabowo Subianto (10,8%), Aburizal Bakrie (8,9%), Wiranto (7,3%), Hamengku Buwono X (6,5%), Hidayat Nur Wahid (3,8%), Surya Paloh (2,3%), Sri Mulyani (2%), Ani Yudhoyono (1,6%), Hatta Rajasa (1,6%), Anas Urbaningrum (1,5%), Sutanto (0,2%), dan Djoko Suyanto (0,2%).
Dalam pemilu, tren perilaku pemilih selalu menjadi acuan bagi partai atau kandidat untuk merancang dan merumuskan strategi politik. Tak heran, bila survei persepsi publik kemudian menjadi instrumen untuk memetakan perilaku pemilih dan pergerakan opini publik.
Bagaimana dengan tren perilaku pemilih di Indonesia? Sejumlah riset telah dilakukan untuk melihat pola dan tren perilaku pemilih di Indonesia, terutama, sejak Pemilu 1999 sampai 2009. Di antaranya dilakukan oleh Saiful Mujani (Lembaga Survei Indonesia) dan R William Liddle (Ohio State University).
Studi Mujani dan Liddle (2010) menunjukkan tiga hal utama dalam memengaruhi perilaku pemilih. Yaitu, kepemimpinan, performa kabinet dan evaluasi publik terhadap kondisi ekonomi nasional. Mujani dan Liddle juga menemukan matinya politik aliran dalam Pemilu 1999, 2004, dan 2009. Menurut keduanya, agama, kelas, suku, dan wilayah tidak lagi menjadi faktor dominan dalam mempengaruhi perilaku pemilih.
Tahun 1999 misalnya, keberhasilan PDIP menunjukkan karisma kepemimpinan atau kesukaan pemilih terhadap figur-figur pemimpin. Pilihan publik terhadap PDIP dipengaruhi oleh identifikasi pemilih yang kuat terhadap sosok Megawati. Begitu juga pilihan terhadap PAN melalui figur Amien Rais, dan PKB lewat Gus Dur.
Pola ini juga terjadi pada 2004. Tingkat kesukaan publik terhadap figur calon berkorelasi positif terhadap pilihan pada partai. Pilihan publik terhadap Partai Demokrat misalnya dipengaruhi oleh kesukaan publik terhadap figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bagaimana dengan Pemilu 2009? Pilihan terhadap capres lebih dipengaruhi oleh performa kabinet dan evaluasi positif publik terhadap kondisi perekonomian secara nasional (Mujani, Liddle, 2010). Jika menjelang 2014 perfoma dan kinerja kurang memuaskan dan situasi ekonomi juga tidak mengembirakan, publik akan memberi hukuman bagi Demokrat dan koalisi.
Dilema Koalisi
Sebagai partai yang tergabung dalam koalisi, partai-partai koalisi, seperti PAN akan mengalami dilema politik dalam menentukan positioning politiknya jelang 2014: bergabung atau memilih di luar. Dilema bertumpu pada kesulitan merumuskan orientasi dan perilaku, apakah menjadi policy-seeking party, vote-seeking party, atau office-seeking party?
Menurut Strom (1990), policy-seeking party adalah model perilaku partai yang menekankan pada kebijakan, isu, dan program partai. Vote-seeking party adalah perilaku partai yang menekankan aspek elektoral: unggul dalam perolehan suara. Adapun, office-seeking party menekankan aspek patronase dan pengamanan posisi strategis di pemerintahan.
Saya kira, sebagai partai koalisi, PAN harus memilih di antara tiga model tersebut. Apakah akan menekankan penguatan pada level isu, kebijakan, dan program untuk merebut dukungan pemilih atau memilih sebagai vote-seeking party yang selalu bermain dengan isu populis dalam merebut hati pemilih. Atau mempertahankan posisi dan patronase politik dengan partai penguasa?
Ke depan, saya melihat pertarungan isu dan gagasan mewarnai kampanye 2014. Meskipun karisma personal masih memengaruhi, publik lebih memberi perhatian luar biasa terhadap kebijakan capres, terutama dalam bidang ekonomi.
● -
Gerakan Politik Fundamentalisme
Gerakan Politik Fundamentalisme(Reportase Ceramah Thomas Meyer)Saidiman Ahmad, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)Sumber : JIL, 9 Desember 2011Fundamentalisme tidak terkait dengan satu agama. Ia ada pada semua agama. Demikian Prof. Dr. Thomas Meyer (Universitas Dortmund, Jerman) mengenai salah satu karakter fundamentalisme. Pandangan itu dikemukakan dalam ceramah dan diskusi publik bertajuk “What is Fundamentalism?” 22 November 2011. Acara ini diselenggarakan oleh Jaringan Islam Liberal berkerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung. Selain Thomas Meyer, hadir pula Ulil Abshar-Abdalla sebagai pembanding.Pada kesempatan itu, Thomas Meyer mengemukakan Sembilan karakter fundamentalisme. Pertama, fundamentalisme merupakan gejala yang ada di semua agama. Ia tidak terkait dengan agama tertentu. Bahkan sebenarnya fundamentalisme hanya salah satu cara memahami agama.Kedua, fundamentalisme lebih sebagai ideology politik ketimbang agama. Dalam banyak sekali kasus, nuansa politik gerakan fundamentalisme sangat kuat. Mereka membangun framing ketertindasan ummat yang kemudian mereka jadikan kerangka gerakan. Mereka mendesakkan suatu sistem politik baru. Tak jarang di antara mereka bermetamorfosis menjadi partai politik dan ikut serta dalam pemilihan umum yang demokratis.Bagi Meyer, fundamentalisme sesungguhnya adalah bagian dari modernitas. Ia merupakan respon langsung terhadap modernism. Ia adalah bentuk modern dan anti-modernisme. “Fundamentalis is a modern form of anti-modernism,” tegas Meyer.Karakter ketiga fundamentalisme, menurut Meyer, adalah bahwa ia lahir sebagai respon terhadap krisis. Ada pengandaian bahwa dunia sekarang ini sedang berada pada situasi kacau balau baik secara ekonomi, politik, maupun budaya. Krisis kepemimpinan dalam segala ranah kehidupan itulah yang mendorong lahirnya gerakan fundamentalisme.Keempat, fundamentalisme ditandai dengan suatu prinsip superioritas diri atas yang lain. Di sini politik identitas mewujud. Kaum fundamentalis selalu merasa diri mengatasi yang lain. Mereka menganggap diri sebagai yang paling benar, yang paling saleh, yang paling lurus. Selebihnya adalah kesesatan dan penyimpangan.Meyer juga menyebut, kelima, bahwa ciri yang kuat pada fundamentalisme adalah mereka begitu anti dan membenci kampanye kesetaraan gender dan pluralisme. Itulah yang menjelaskan kenapa semua gerakan fundamentalisme selalu menyasar pengungkungan terhadap perempuan. Peraturan-peraturan yang mereka desakkan hampir selalu berkaitan dengan bagaimana perempuan diatur. Mereka begitu bebal dan tak mau menerima gagasan bahwa pada dasarnya semua manusia sama apapun latar belakang seks dan budayanya.
Ciri keenam dari fundamentalisme, menurut Meyer, adalah resistance identity. Ini yang kemudian menjustifikasi kenapa gerakan fundamentalisme selalu mengarah pada totalitarianism. Ciri ketujuh adalah bahwa fundamentalisme selalu melakukan penolakan terhadap identitas dan menolak budaya demokrasi.Kedelapan, kaum fundamentalis merasa terjebak dalam ketidak-amanan. Ini pula yang biasa disebut sebagai mental terkepung. Ada kekuatan di luar sana yang mereka sangka akan menghancurleburkan mereka. Akibatnya, mereka sangat reaktif dan acapkali agressif.Meyer menjelaskan bahwa bahwa demokrasi bukanlah majoritarian rule melainkan rule of law. Memang betul bahwa ada pemilihan umum. Tapi bukan berarti penguasa terpilih harus selalu menjalankan amanat kelompok mayoritas. Demokrasi justru memilih pemimpin untuk bergerak dalam koridor hukum. Rule of law adalah unsur paling penting dalam demokrasi. Kaum fundamentalis dicirikan, kesembilan, oleh penolakannya terhadap rule of law. “Jika kau ingin menyaksikan bahwa semua orang bisa menjalankan ibadah secara bebas, maka yang pertama yang harus ditegakkan adalah rule of law,” demikian Meyer. Meyer mencontohkan bagaimana kekuatan fundamentalis tahun 1920-an dan 1930-an di Jerman begitu kuat dan mereka menegakkan suatu demokrasi mayoritarianisme yang tak lain adalah totalitarianisme.Ulil Abshar-Abdalla memberi tanggapan atas paparan Prof. Meyer. Menurut Ulil, ada kesamaan antara fundamentalisme Islam dan komunisme serta Marxisme. Fundamentalisme Islam ditandai dengan klaim ideology komprehensifnya. Semua hal hendak diatur. Semua hal hendak dikontrol.Hal lain, menurut Ulil, yang menarik adalah bahwa gerakan fundamentalisme (terutama Islam) pada praktiknya sangat terobsesi untuk mengatur wilayah privat, bukan wilayah publik. Kampanye yang mereka usung sejauh ini justru sangat didominasi oleh isu-isu ruang privat, misalnya moralitas, pakaian perempuan, minuman keras, perzinahan, dan seterusnya. Mereka justru tidak terlalu peduli dengan persoalan publik.Prof. Meyer menimpali bahwa sebenarnya kaum fundamentalis ingin mendominasi kehidupan publik untuk mengatur kehidupan privat.Ulil menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai gerakan fundamentalisme adalah suatu realitas yang sungguh-sungguh dinamis. Idealisasi dari kaum fundamentalis ternyata tidak terbukti dalam realitas kehidupan politik. Ketika para fundamentalis terjun ke dunia politik, mereka tak bisa menghindarkan diri dari kompromi sebagaimana yang lazim terjadi di dunia politik praktis.Pada intinya, Ulil hendak menyatakan bahwa fundamentalisme adalah barang yang terus bergerak dan berubah. Ia tidak diam di tempat dan membatu. ● -
Menakar Peluang Papua Pisah dari RI
Menakar Peluang Papua Pisah dari RIKristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPANSumber : SINAR HARAPAN, 9 Desember 2011Judul di atas sekadar hendak mengingatkan pada Jakarta agar tak gegabah bertindak di bumi Papua. Ini karrna rentetan peristiwa demi peristiwa politik yang terjadi sejak pelaksanaan UU No 21/2001 mengenai Otonomi Khusus (Otsus) Papua sampai insiden Kongres Rakyat Papua III di Abepura 19 Oktober lalu memperlihatkan pelaksanaan kebijakan yang keliru.Dalam catatan saya, bukan hanya sekali masyarakat di Papua meminta agar Otsus Papua dikembalikan. Misalnya, ribuan rakyat pada 12 Agustus 2005 menggelar aksi menuntut dikembalikannya Otsus Papua.Ini dilakukan karena Jakarta dianggap mengingkari UU No 21/2001 dengan menerbitkan Inpres No 1/2003 mengenai Percepatan Pelaksanaan UU No 45/1999 mengenai Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya, dan Kota Sorong.Dalam UU Otsus Papua, status otonomi khusus di Provinsi Papua adalah satu kesatuan wilayah yang tidak terpecah-pecah. Kalaupun akan ada pemekaran, itu haruslah melalui mekanisme Majelis Rakyat Papua (sesuai PP No 54/2005), yang waktu itu belum terbentuk. Tentunya langkah pemekaran itu dilakukan dalam rangka memecah gerakan ingin merdeka, selain wilayah Papua yang memang terlalu luas.Selain itu, sekian tahun pelaksanaan Otsus juga tidak memperbaiki situasi. Penduduk aslinya rata-rata tetap miskin dan terbelakang. Penikmat dana Otsus adalah para birokrat, para elite, atau yang terkait, dan para pendatang di perkotaan.Disinyalir sekitar 60 persen dana Otsus kembali ke bank-bank besar di Jakarta, atau menjadi properti antara lain di Jakarta, Manado, Sydney, dan Melbourne.Ketika itu pemerintah (Departemen Dalam Negeri) menjanjikan “penyempurnaan” pelaksanaan Otsus Papua, termasuk akan ada audit dan berbagai langkah lain.Tuntut ReferendumPada Juni 2010, atau lima tahun kemudian, juga berulang aksi politik mendesak pengembalian Otsus Papua. Kali ini melibatkan Majelis Rakyat Papua dan peserta Musyawarah Masyarakat Asli Papua.Tuntutannya: gelar referendum yang melibatkan masyarakat internasional, keluar dari RI, hentikan proses pilkada di seluruh Papua, hentikan program transmigasi ke Papua, bebaskan para tahanan politik Papua, dan demiliterisasi di Papua.Penyebab kemarahan antara lain selama pelaksanaan Otsus telah terjadi ketimpangan pertumbuhan penduduk antara orang asli dan masyarakat pendatang. Komposisinya adalah penduduk asli 30 persen, pendatang 70 persen. Dengan begitu, logikanya dana Otsus lebih banyak dinikmati pendatang.Pemekaran juga dituding sebagai instrumen untuk memecah entitas Papua, sementara bagi uat elite lokal pemekaran berarti posisi, kekuasaan, dan anggaran. Kini, banyak pejabat daerah di Papua ikut menghiasi daftar koruptor yang divonis pidana oleh Pengadilan Tipikor.Kajian DroogleverSebagai exercise apakah Papua bisa merdeka, sejarawan Belanda Profesor Drooglever dari Universitas Leiden (2004) membuat kajian ilmiah yang hasilnya menyatakan, proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 tidak sah. Reaksi Jakarta adalah: integrasi Irian Barat ke Republik Indonesia sudah final dan disahkan masyarakat internasional.Terkait reaksi itu, seorang diplomat senior, yang pernah aktif di badan HAM PBB, mengingatkan gerakan pemisahan diri Papua sangat kuat di ranah internasional dan mereka memanfaatkan semua lini dan kesempatan. Setiap pelanggaran HAM apa pun di Papua tercatat di Komisi HAM PBB.Saya pun sependapat bahwa hasil Pepera sudah final. Meski parameter yang dipakai 40 tahun lalu itu tak sesuai dengan ukuran hari ini. Namun hukum internasional juga tidak menyebutkan formula one man one vote untuk proses penentuan nasib sendiri. Apalagi ketika itu Indonesia dan Belanda bersepakat Pepera dilaksanakan melalui musyawarah perwakilan, 1 : 750.Namun saya ragu, apakah pengakuan dunia itu suatu harga mati?Dalam sejumlah kasus, wilayah-wilayah yang memisahkan diri dari induknya (seksesi) atau merdeka pasca-Perang Dingin memenuhi sejumlah aspek: (1) pelanggaran HAM berat, khususnya terhadap kaum minoritas/penduduk asli, (2) sejarah integrasi yang tidak mantap atau dipaksakan, (3) pengakuan internasional terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri, dan (4) ada kepentingan negara-negara besar.“Remedial Seccession”Seorang diplomat senior lainnya mengingatkan terbukanya peluang seksesi di Papua karena di sana terjadi pelanggaran HAM berat, “pemusnahan” penduduk secara sistematis, dan diskriminasi.Menurutnya, dunia mengenal konsep remedial seccession, yakni pemisahan diri demi mengakhiri diskriminasi dan pelanggaran HAM. Pola itu berlaku pada kasus Bangladesh (pisah dari Pakistan), Kosovo (pisah dari Serbia), dan Timor Timur.Kita mengalami, dunia memihak rakyat Timor Timur untuk pisah dari Indonesia. Dewan Keamanan melalui Resolusi 1264 tanggal 15 September 1999 memandatkan penggelaran pasukan multinasional. Segera Australia memimpin pasukan multinasional masuk Timtim pada 19 September 1999, untuk meredam kekacauan selepas jajak pendapat yang dimenangi kubu pro kemerdekaan.Negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, mendukung kelahiran negara Timor Leste, karena proses integrasinya belum tuntas diakui dunia, terjadi pelanggaran HAM berat di sana, dan pemerintah pusat di Jakarta tak berdaya. Kita beruntung tidak masuk ke pengadilan HAM internasional karena masalah Timor Timur.Di Kosovo, situasinya mirip dengan Timor Timur, dan Serbia ditekan secara militer dan politik oleh NATO. Sementara itu, di Chechnya (Rusia), meski di sana juga terjadi pelanggaran berat HAM, Barat enggan ikut campur. Ini karena Moskwa punya hak veto di Dewan Keamanan, juga karena mereka enggan berperang dengan Rusia.Akhiri Pelanggaran HAMSulit menyangkal pelanggaran HAM tak terjadi di Papua. Meski begitu, negara-negara besar belum langsung intervensi. Mudah mendeteksi indikasi keterlibatan mereka, yakni bila berbagai media dan LSM internasional mulai aktif mencoba mengubah opini dunia. Kemudian, dukungan militer dan logistik secara konsisten dialirkan untuk kubu yang menuntut pemisahan diri.Sejauh ini, Amerika Serikat baru menempatkan 2.500 prajurit di Darwin, Australia (hanya satu jam terbang ke Papua). Pasukan sebesar satu batalion tim pendarat tentulah tak cukup kalau harus berperang di Laut China Selatan, tetapi lebih cocok untuk mengamankan Timika.Kembali ke judul tulisan ini, saran saya adalah: segera akhiri pelanggaran HAM di Papua oleh TNI/Polri, jangan ulang kesalahan di Timor Timur. Segera wujudkan kesejahteraan di Papua lewat pembangunan pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur.Dampingi pelaksanaan Otsus Papua, jangan biarkan mereka berjalan sendiri. Akhiri juga perampasan hak-hak ulayat rakyat hanya demi kepentingan bisnis besar. Sangat mendesak untuk digelarnya investigasi berbagai kasus pelanggaran HAM sampai tuntas. Segera wujudkan pula janji dialog Jakarta-Papua itu. ●