Category: Uncategorized

  • Kekuatan Moral di Balik Putusan Bebas

    Kekuatan Moral di Balik Putusan Bebas
    Romli Atmasasmita, GURU BESAR UNIVERSITAS PADJADJARAN (UNPAD)
    Sumber : SINDO, 12 Desember 2011
    Putusan bebas dalam perkara pidana bukan hal yang terlarang karena ada pijakan hukum dalam KUHAP.Semua sarjana hukum pasti harus sudah mengetahui. Tetapi,mengapa putusan bebas dalam perkara korupsi menjadi heboh luar biasa?

    Hal ini disebabkan masyarakat telah memandang korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa dan membawa akibat kerugian negara yang sangat signifikan sehingga dianggap tidak pantas/ tidak layak terdakwa korupsi dapat dibebaskan. Pandangan ini keliru karena hukum tidak membedabedakan orang dan harus diperlakukan sama di muka hukum sekalipun terdakwa korupsi ketika dibandingkan dengan perkara maling ayam atau terorisme.

    Pandangan ini benar jika putusan bebas terdakwa korupsi adalah hasil rekayasa seperti penyuapan terhadap hakim atau jaksa penuntut umum. Apakah makna kedua pandangan tersebut? Kedua pandangan tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa pemeriksaan perkara pidana termasuk perkara korupsi harus didasarkan pada ketentuan UU Hukum Acara Pidana yang berlaku.

    Lalu harus diperkuat oleh fakta persidangan dan putusan pengadilan harus diambil berdasarkan keyakinan hakim dan minimal dua alat bukti yang terbukti di muka persidangan. Jika terbukti dan hakim yakin, putusan pengadilan menjadi bebas. Jika perbuatan yang dituduhkan terdakwa terbukti, tetapi ada unsur pembenar atau penghapus pidana, putusan pengadilan adalah dilepaskan dari segala tuntutan pidana.

    Jika perbuatan terdakwa terbukti dan hakim berdasarkan dua alat bukti di persidangan berkeyakinan terdakwa bersalah,putusan pengadilan adalah menghukum terdakwa.Sistem hukum acara pidana Indonesia secara objektif telah memuat ketentuan tentang jenis putusan pengadilan yang dipandang adil dan sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.

    Multitafsir

    UU Korupsi tahun 1999 yang diubah dengan tahun 2001 memang diakui memuat ketentuan-ketentuan yang rentan multitafsir seperti unsur melawan hukum. Sekalipun telah ada putusan MKRI mengenai penafsiran hukum yang dibenarkan dari sudut UUD 1945, tetapi tetap saja masih ada putusan pengadilan yang menafsirkan unsur melawan hukum dengan fungsi yang positif yaitu apriori harus menghukum, bukan sebaliknya menafsirkan unsur melawan hukum yang negatif, yang dapat membebaskan terdakwa.

    Perbedaan penafsiran hukum itu merupakan hal yang lazim terjadi. Namun, jika hakim majelis memiliki satu pendapat yaitu harus menghukum dalam perkara korupsi, sikap hakim tersebut tergolong “abuse of power” karena sikap tersebut tidak mencerminkan imparsialitas dan integritas seorang hakim.

    Putusan bebas atau menghukum atau dilepas dari segala tuntutan pidana harus dihormati oleh siapa pun, termasuk penuntut umum karena masih ada upaya hukum yang disediakan di dalam KUHAP kecuali untuk putusan bebas. Namun, praktik pengadilan sampai saat ini masih terdapat yurisprudensi yang membolehkan penuntut umum mengajukan perlawanan terhadap putusan bebas melalui upaya banding atau kasasi dengan alasan teknis yuridis semata-mata.

    Hal ini sulit dipahami sebagian besar orang awam termasuk terdakwa yang diputus bebas karena bagi mereka hukum adalah hukum, harus dibaca dan ditafsirkan sebagaimana tertulis di dalam UU-nya. Pandangan ini sesungguhnya sejalan dengan asas lex certa yaitu bunyi ketentuan tidak boleh di multitafsirkan dan harus dibaca sebagaimana bunyi ketentuannya.

    Mengapa demikian,karena hukum pidana merupakan “pisau bermata dua”yaitu di satu sisi berfungsi menghukum terdakwa dan sekaligus melindungi orang lain dari kejahatan. Dengan dua fungsi tersebut, penggunaan hukum pidana tidak boleh berada dalam keragu-raguan. Jika hal ini terjadi, pilihan hakim satu-satunya hanyalah membebaskan terdakwa, bukan malahan menghukumnya; inilah salah asas fundamental hukum pidana yang telah dianut dan berkembang sejak abad ke 18.

    Praduga

    Pisau hukum pidana yang tajam itu sejak diundangkannya selalu dikawal oleh asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan di sinilah letak perbedaannya dengan pisau hukum perdata atau hukum administrasi negara. Namun dalam praktik,pengawalan asas praduga tak bersalah sering disubstitusi sebagai asas praduga bersalah (presumption of guilt).

    Meski demikian, penegak hukum seperti itu melupakan satu hal yang fundamental yaitu bahwa seseorang yang diduga melakukan kejahatan adalah seorang sosok manusia bukan “hewan peliharaan” yang setiap saat dapat dicampakkan begitu saja. Di sinilah titik persoalan sesungguhnya dari judul tulisan ini bahwa terdakwa adalah tetap seorang homo sapiens termasuk salah satu makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

    Menjadi jelas kiranya mengapa putusan pengadilan di Indonesia menggunakan irahirah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Seorang hakim harus diakui sebagai “wakil Tuhan YME”di dunia yang fana ini. Ketiga jenis putusan tetap harus dihormati oleh semua pihak termasuk oleh negara sendiri yang diwakili penuntut umum.

    Adapun upaya hukum yang masih diperbolehkan menurut hukum acara merupakan cara untuk mencapai kepastian hukum dan keadilan dengan cara menemukan kebenaran materil dari suatu perkara pidana. Jika upaya hukum tersebut telah dilaksanakan dan tiba pada putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, kewajiban jaksa sebagai wakil negara untuk melakukan eksekusinya tanpa ditunda-tunda dengan alasan apa pun.

    Dalam hal putusan bebas yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, eksekusi harus segera dilaksanakan karena penundaan eksekusi satu hari pun adalah pelanggaran terhadap hak dan kemerdekaan terdakwa yang bersangkutan.

    Di sinilah kekuatan moral spiritual sila perikemanusiaan yang adil dan beradab sebagai nilai luhur bangsa Indonesia yang telah menempatkan Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa Indonesia.

  • Dimana Rasa Keadilan Itu?

    Dimana Rasa Keadilan Itu?
    Irman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI)
    Sumber : SINDO, 12 Desember 2011
    Di tengah keputusasaan masyarakat akan keadilan di negeri ini,dua kejadian beruntun terjadi.

    Pertama, tertangkapnya Nunun Nurbaeti di Thailand setelah sekian lama melakukan pelarian ke luar negeri.Terlepas dari kontroversi apa pun, tertangkapnya Nunun menjadi kabar baik bagi upaya pemberantasan korupsi setelah Nazaruddin juga berhasil ditangkap di Kolombia, sekaligus kado istimewa bagi Ketua KPK Busyro Muqoddas yang akan segera berakhir masa jabatannya.

    Kedua, Sondang Hutagalung, mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) yang membakar diri di depan Istana Negara beberapa waktu lalu, meninggal dunia. Meninggalnya Sondang menjadi berita duka yang mengiris hati para penggiat demokrasi dan hak asasi manusia. Kedua kejadian ini memang paradoks. Tertangkapnya Nunun merupakan bukti bahwa upaya pemberantasan korupsi mulai menemukan titik terang.

    Mulai terlihat ada upaya dari aparatur penegak hukum, terutama KPK, untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang saat ini mendapat sorotan masyarakat luas. Kita tentu mengapresiasi upaya-upaya seperti ini. Karena bagaimanapun korupsi adalah ancaman serius. Jika ada, dugaan itu harus diproses secara hukum demi kepastian bagi masyarakat.

    Semakin tinggi kepastian,semakin tinggi pula tingkat kepercayaan masyarakat kepada institusi penegak hukum. Namun, meninggalnya Sondang menyisakan sebuah tanda tanya tentang keadilan yang sesungguhnya. Sondang merelakan nyawanya demi menyuarakan keadilan dan hak asasi manusia di depan Istana Negara tanpa pamrih.

    Sondang adalah tubuh yang menjadi api suci,membakar jiwanya dalam lautan keputusasaan yang mendalam.Sondang adalah sebuah pengorbanan tanpa menghitung untung-rugi. Di mana rasa keadilan itu? Inilah yang dipertanyakan Sondang ketika melakukan aksi bakar diri.

    Negara dan Keadilan Masyarakat

    Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa negara dibentuk untuk empat tujuan yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Empat tujuan bernegara tersebut sesungguhnya sangat bertautan dengan keadilan.

    Bahkan dalam Pancasila, sila terakhir yang menjadi penutup dari falsafah dasar negara adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, keadilan merupakan tujuan utama yang penting. Kita semua sepakat bahwa kesejahteraan itu tidak hanya diukur dari statistik ekonomi (pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi,dan investasi), tetapi juga dari keadilan bagi semua orang, yang mencakup keadilan hukum, politik, ekonomi, dan sosial-budaya.

    Dalam hal ekonomi misalnya, dari tahun ke tahun ekonomi kita memang terus tumbuh dengan baik.Namun,pertumbuhan itu belum dirasakan dampaknya secara merata oleh masyarakat, karena pertumbuhan tersebut masih berpusat di kota-kota besar, didominasi oleh sektor modern,belum meratanya kualitas pendidikan masyarakat, serta berbagai faktor lainnya.

    Pun dari sisi demokrasi, seringkali kita terlalu terlena dengan status kita sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.Dalam hal proses,masyarakat dunia memang memberi apresiasi yang besar atas proses transisi demokrasi yang terjadi.Namun, jika kita jujur melihat, nyatanya demokrasi, otonomi, dan desentralisasi belum serta-merta berjalan lurus dengan berkurangnya korupsi, meningkatnya kesejahteraan dan pelayanan publik (kesehatan dan pendidikan), rasa keamanan, ketertiban, dan jaminan sosial.

    Demokrasi tidak sekadar bertujuan untuk sirkulasi kekuasaan lima tahunan secara demokratis. Bukan sekadar urusan siapa menjadi presiden, wakil presiden, anggota DPR dan DPD, menteri, gubernur, bupati, dan wali kota, melainkan bagaimana negara menciptakan keadilan hukum, ekonomi, politik, sosial-budaya, meningkatkan kesejahteraan, keamanan, ketertiban, dan kenyamanan bagi semua warga negara.

    Ada fenomena akhir-akhir ini yang membutuhkan sebuah analisis sosiologis yang mendalam. Bagaimana menjelaskan pembunuhan yang dilakukan para pelajar yang bermula dari sebuah perkelahian biasa, peraih medali emas olimpiade matematika yang dibunuh dengan motif pencurian BB, seorang TKW Tuti Tursilawati yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati, dan tentu masih banyak lagi kejadiankejadian seperti ini di daerah.

    Masyarakat kebanyakan sedang berhadapan dengan kenyataan sulitnya mendapatkan akses ekonomi, kesejahteraan yang masih jauh dari harapan, ketidakadilan yang makin melebar, korupsi yang makin merajalela, hukum yang tidak berpihak pada rakyat kecil, rasa aman yang terusik, serta berbagai fenomena sosial lainnya. Barangkali kondisi-kondisi inilah yang memicu rasa frustrasi masyarakat.

    Mari coba kita tengok sebuah fakta tentang penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. The World Justice Project dalam Rule of Law Index 2010 memberi sebuah penilaian yang sangat memprihatinkan. Dari 35 negara yang disurvei seperti Amerika Serikat,Swedia, Prancis, Jepang,Korea Selatan, Spanyol, Australia, Afrika Selatan,Meksiko,Argentina, Turki,Thailand, Peru, Bolivia, Maroko, dan sebagainya, Indonesia mendapatkan nilai rendah untuk keadilan (access to justice) dengan peringkat ke-32 dari 35 negara.

    Sementara untuk kategori pemenuhan hak-hak dasar masyarakat,kita berada di posisi tengah-bawah di peringkat ke-25 dari 35 negara. Data ini menunjukkan betapa masih rendahnya komitmen terhadap hukum dan keadilan. Sistem demokrasi yang kita adopsi ternyata belum mampu memberi perlindungan hukum kepada warga negara, keadilan bagi semua orang, karena masih ada diskriminasi serta rendahnya kesadaran akan pentingnya penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.

    Padahal keadilan itu sangat penting. Ada sebuah ungkapan yang sangat populer, yang seringkali menginspirasi saya,hukum dan keadilan harus tetap ditegakkan meski langit runtuh. Ungkapan ini menggambarkan betapa pentingnya penegakan hukum yang dilandasi nilai kejujuran, moral, etika, dan tanggung jawab. Sebagai negara hukum yang demokratis, hukum harus memayungi hak-hak semua orang.

    Sangat menyedihkan dan miris manakala hukum dipermainkan dan keadilan diperjualbelikan. Inilah saatnya untuk menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan. Jangan ada lagi pertanyaan yang muncul, di mana rasa keadilan itu kini berada?

  • Tembakau sebagai Obat

    Tembakau sebagai Obat
    M. Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
    Sumber : SINDO, 12 Desember 2011
    Kelihatannya, tulisan John Josselyn tentang pemanfaatan tembakau sebagai obat, yang dikutip Wanda Hamilton untuk bukunya, Nicotine War, dari tulisan CA Weslager, Magic Medicine of the Indian, kita menemukan informasi yang berkebalikan dengan sikap pihak-pihak yang antitembakau.

    Josselyn menyebutkan, tembakau bisa melancarkan pencernaan, meringankan encok, sakit gigi, mencegah infeksi, bisa membikin badan hangat, tapi sekaligus bisa menyejukkan mereka yang berkeringat, memulihkan semangat yang sudah loyo, serta mencegah nafsu makan.

    Tembakau bahkan bisa membunuh kutu rambut dan telurnya,dan tumbukan daunnya yang masih hijau bisa menyembuhkan luka, bisa dibikin sirup untuk aneka penyakit, dan bisa dijadikan asap untuk sakit tuberkolusis, batuk paru-paru dan rematik, dan semua penyakit akibat hawa dingin yang lembab. Selama berabad-abad, suku Indian,yang memiliki peradaban canggih,menggunakan tembakau untuk obat sebagaimana disebutkan di atas.

    Tradisi pengobatan itu terpelihara dalam lintas abad yang panjang. Namun,kepentingan bisnis farmasi Amerika,dengan dukungan dokter-dokter ahli yang meyakinkan, menyatakan tembakau berbahaya.Orang harus berhenti merokok. Obat yang dipakai menghentikan merokok dibuat pabrik farmasi. Dan pabrik farmasi bisa membikin rokok sintetis tanpa tembakau.

    Di halaman 111 buku Hamilton, Nicotine War tadi, kita temukan kesangsian: argumen untuk membangun kesehatan publik, yang ditempuh Amerika Serikat, lama-lama menimbulkan pertanyaan: ini program menyelamatkan nyawa manusia apa memaksakan obat dan agenda? Setelah para ahli mempelajari kekuatan tembakau sebagai obat, orang bisa membuat obat lain—yang bukan tembakau—dan menjadikan obatnya sebagai satu-satunya rujukan obat bagi penyakitpenyakit tertentu.

    Sekali lagi, temuannya bisa diracik dari kandungan tembakau,tapi untuk memusuhi dan membunuh tembakau. Perhitungan daganglah— dan kepentingan politik dagang— yang menjadi penyebab gencarnya ‘perang melawan tembakau’. Argumen kesehatan publik diutamakan.Faktor ekonomi—bahwa orang miskin bisa makin miskin karena merokok— menjadi argumen tambahan.

    Agar lebih dramatis, disebutlah ‘baby smokers’, dan banyak labeling yang membunuh harkat tembakau yang pada hakikatnya—seperti dipertahankan berabad-abad di masyarakat suku Indian—merupakan obat, disebut sumber penyakit. Dengan membaca uruturutan logis argumen Hamilton di dalam Nicotine War tadi,kita menjadi tahu bahwa tradisi hebat suku Indian itu bukan mati dalam perjalanan melintasi abad ilmu pengetahuan, melainkan dibunuh secara semena- mena,dengan kebohongan ilmiah, untuk kepentingan dagang.

    Sekali lagi, tradisi hebat itu bukan mati, melainkan dibunuh. Apa yang sampai di negeri kita, usaha membunuh tembakau— artinya membunuh kebenaran ilmiah juga—dibantu dengan kekuatan rohaniah. Karena argumen kesehatan tak terlalu meyakinkan,dan argumen ekonomi tak membikin guncangan yang diharapkan, berikutnya digunakan argumen moral untuk mengharamkan tembakau—di sini bahasa teknisnya mengharamkan merokok—dan perang total melawan tembakau pun meluas ke seluruh dunia.

    Pedagang itu jenis manusia yang menempatkan kata hemat pada urutan nomor satu bagi prioritas nilai hidupnya. Tapi pedagang besar, berskala besar, memperlihatkan pada kita semangat murah hati, mengucurkan dana besar seolah tanpa memikirkan untungrugi. Siapa saja yang memiliki potensi untuk membantunya membunuh tembakau dibantu. Semua pihak yang menguntungkan diperlakukan sebagai sahabat.

    Dan sahabat lebih penting daripada keuntungan. Sikap kapitalis tulen kelihatan lebih manusiawi daripada sikap pedagang biasa. Rangkul sana rangkul sini, pesta sana pesta sini,anggur, kemabukan, makanan mewah, dan bau parfum yang lembut, menandai “persahabatan” dengan semua pihak. Betul mereka tak menghitung untung-rugi? Semua dihitung. Sudah pasti dengan sangat cermat agar jangan sampai rugi.

    Sikap menyebar dana ke seluruh dunia bukan sikap orang mabuk, melainkan sikap kapitalis yang sangat waras. Di seluruh dunia ada lembaga-lembaga yang didanai untuk membantunya membunuh tembakau. Di seluruh dunia ada tokoh-tokoh— ilmuwan, aktivis, rohaniwan, atau yang agak kelihatan seperti rohaniwan dan para pejabat negara maupun para anggota DPR—yang sukarela menjadi sahabat “orang kaya” ini.

    Dan kelihatannya mereka inilah yang mabuk karena bantuan tersebut.Mereka sedemikian mabuk, sampai lupa bahwa “persahabatan”mereka dengan “orang kaya” itu menghancurkan kepentingan negerinya, bangsanya, dan rakyat, yang semula. Rakyat, baik petani tembakau, buruh-buruh tani tembakau, buruh pabrik kretek, pengecer kretek, dan berjutajuta warga yang bergantung pada mereka,dirugikan oleh sikap bersahabat dari “orangorang kaya” tadi, dan kita dirugikan oleh orang mabuk, hanya karena merasa bersahabat dengan orang kaya.

    Bagaimanapun, kelihatannya ini cerminan mentalitas kuli.Watak kuli—maaf—biarpun kelihatan agak terpelajar, dan pernah menikmati pendidikan tinggi, termasuk di luar negeri, tetap minder biarpun diam-diam. Jiwanya mudah terpukul oleh pihak yang lebih kaya.Mereka tunduk pada pemilik uang yang menjamin kehidupan mereka menjadi lebih baik.

    Mentalitas kuli itu juga tampak pada semangat hidupnya untuk “menelan tanpa mengunyah”, argumen para pemilik pabrik farmasi bahwa rokok berbahaya, dan produk pabriknya yang sehat.Mereka menerima tanpa “reserve” argumen para pedagang besar yang mencelakai kita itu sebagai kebenaran. Selebihnya, sikap rendahan juga tampak pada mereka. Melawan “orang kaya”—apalagi bule yang memberi uang—tidak mungkin.

    Maka, mereka gigih melawan bangsanya sendiri. Mereka gencar mengancam petani. Mereka sebarkan perda, dan ancaman kriminal kepada bangsanya sendiri. Kepatuhan sudah tumpah seutuhnya pada bos Amerika. Maka, tembakau sebagai obat, tak boleh disebut, tak boleh diingat, tak boleh hidup dalam kesadaran. Yang dipompakan ialah kebohongan: tembakau sebagai sumber penyakit. Dan “koeli-koeli”itu pun patuh.

  • Perspektif Penangkapan Nunun

    Perspektif Penangkapan Nunun
    Yeferson Kameo, DOSEN FAKULTAS HUKUM, TINGGAL DI SALATIGA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 12 Desember 2011
    HARUS diakui, bahwa di tengah kritik keras aktivis antikorupsi terhadap upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air, pemerintah telah menorehkan prestasi dalam upaya memberantas korupsi. Terkait dengan penangkapan Nunun Nurbaetie pada 9 Desember 2011 oleh polisi Thailand di rumah kontrakan mewah di negara itu, yang kemudian menyerahkannya kepada petugas KPK di atas pesawat Garuda di bandara di Bangkok, kita perlu mengacungi jempol kepada pemerintah, termasuk media sebagai pilar keempat demokrasi di Tanah Air, setelah hukum.

    Wanita sosialita itu menjadi buron Interpol terkait dengan dugaan suap menggunakan 480 cek perjalanan (traveller’s cheque) senilai tak kurang dari Rp 24 miliar. Cek itu diberikan kepada sejumlah anggota DPR untuk memenangkan Miranda Swaray Goeltom menjadi Deputi Senior Gubernur BI.

    Seperti diketahui bersama, dalam perspektif hukum sebagaimana artikel penulis berjudul ”Misteri Tas Hitam Nazaruddin” (SM, 15/08/11), proses pemulangan mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat itu dari persembunyiannya di Kolombia,  juga menorehkan prestasi luar biasa bagi pemerintah, termasuk Polri, jajaran Ditjen Keimigrasian, dan KPK yang bekerja keras memburu dan memulangkannya.

    Kembali perlu dicatat bahwa pemulangan Nazaruddin dan Nunun, selain menorehkan prestasi, juga melahirkan kejutan (presedensi) fenomenal bagi hukum acara perburuan koruptor yang melarikan diri dari Tanah Air setelah merampok harta publik atau uang rakyat untuk memperkaya diri dan keluarga atau kelompoknya.

    Terobosan itu tidak ada dalam text book hukum, meskipun diskresi dapat ditemukan dalam UU tentang Polri. Terobosan hukum fenomenal yang dapat memberi andil bagi kepustakaan hukum dunia adalah,” meskipun negara tempat buron korupsi itu singgah dan bersembunyi tidak memiliki perjanjian ekstradisi (extradition treaty) dengan kita, buron dapat dikembalikan dengan mulus.” (Lihat  ”Wacana Nasional” , SM, 15/08/11).

    Apa di balik semua prestasi luar biasa dan terobosan hukum yang signifikan bagi kepustakaan hukum dunia itersebut? Dalam perspektif hukum, kuncinya adalah pada kemauan politik (political will) pemerintah dalam memberantas korupsi dengan cara-cara luar biasa (extraordinary). Hal ini sejalan dengan pengertian korupsi yang oleh berbagai peraturan perundang-undangan, terutama KUHPidana, dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

    Namun, perkenankanlah saya menyampaikan perspektif untuk mewaspadai politisasi (politicking) di balik kemauan politik (politic will) penangkapan Nunun dan persidangan Nazaruddin.

    Mematuhi Hukum

    Jangan sampai kemauan politik memberantas korupsi yang telah ditunjukkan secara meyakinkan oleh pemerintah ternyata sekadar didorong oleh kesadaran yang mengandung kepalsuan. Artinya, kesadaran yang muncul secara tiba-tiba karena hanya mengejar tujuan atau agenda politik sempit golongan politik dalam pemerintahan atau yang ingin berkuasa, bersifat temporer dan dangkal.

    Pandangan itu penting dikemukakan mengingat masih banyak pengamat antikorupsi yang menyinyalir bahwa yang dilakukan pemerintah dalam konteks pemberantasan korupsi hanya adegan sandiwara.

    Maksudnya, ketika pemerintah terdesak oleh kepungan politik pesaing mereka yang tidak berada di pusat pemerintahan, apalagi disertai dengan ancaman penggunaan hak politik yaitu hak menyatakan pendapat maka reaksi yang muncul adalah menciptakan bargaining politik dengan cara mencari tumbal, bisa jadi seperti yang dilakukan terhadap Nunun.

    Ditambah lagi, citra politik sangat mahal; manakala sejumlah partai mulai menyusun strategi menghadapi pemilu, suksesi kepemimpinan nasional 2014 dengan cara mulai mengelus-elus capres dan wapres yang sudah pasti akan menggantikan SBY.

    Perspektif hukum mendikte, bahwa kemauan politik pemberantasan korupsi wajib dimulai dari kepatuhan terhadap hukum, tanpa syarat, atau tanpa bermaksud untuk tawar-menawar (political bargaining). Selain itu, perlu mewaspadai politisasi dari penguasa dalam upaya menyandera atau menyumbat suara kritis yang ingin membongkar korupsi, yang senyatanya telah menyandera prinsip konstitusional bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat.

  • Korupsi yang Tidak Mati Mati

    Korupsi yang Tidak Mati Mati
    Gunarto, WAKIL REKTOR II UNISSULA, DOSEN MAGISTER ILMU HUKUM
    Sumber : SUARA MERDEKA, 12 Desember 2011
    SEBAGAI anak bangsa, sungguh sulit menerima rangkaian parade penyimpangan dan penyelewengan kekuasaan yang tampil begitu vulgar dalam bentuk lomba mengeruk kekayaan negara. Korupsi demi korupsi terjadi secara berlapis. Belum tuntas penuntutan sebuah kasus perkara korupsi, muncul lagi kasus korupsi yang lain. Negara ini tak ubahnya seperti puding untuk diiris dan dinikmati dalam pesta megakorupsi yang tidak berujung.

    Jika korupsi selama ini biasa terjadi pada level elite, baru-baru ini Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan rekening gendut milik PNS yang usia pengabdiannya masih sangat muda. Secara kalkulasi, perbandingan gaji dan usia pengabdiannya, tidak memungkinkan mreka memiliki nilai rekening sebesar itu. Semuanya menjadi mungkin manakala menggunakan jalan pintas: korupsi. Karena itu, korupsi akan terus jadi model bagi upaya percepatan pengerukan keuangan negara untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.

    Maka benar kiranya ketika mantan ketua KPK Busyro Muqoddas menyentil bahwa pejabat publik kita terasuki hedonisme komunal yang mempertontonkan kemegahan dan kemewahan di atas keterbatasan ekonomi rakyat. Hedonisme ini merupakan penyakit birokrasi paling berbahaya sebab merangsang seseorang mengeruk kekayaan untuk melayani nafsu keserakahan yang tidak terbatas. Ukurannya bukan lagi kebutuhan melainkan kesenangan; mobil mewah, fasilitas berlebih, kenyamanan, dan menuntut dilayani.

    Merujuk Satjipto Rahardjo (2010), hedonisme mengakumulasi korupsi dalam dua bentuk yang berjalan bersamaan. Pertama; terjadinya korupsi konvensional, berupa pengerukan kekayaan negara secara membabi-buta untuk melayani kesenangan diri. Jenis ini mudah dipahami dan dipantau publik. Kedua; korupsi kekuasaan dengan menempatkan sistem otoritas yang dimiliki bertentangan dengan keinginan rakyat, yaitu penyelewengan kekuasaan, tidak peduli pada rakyat.

    Jika jenis pertama hanya berkaitan dengan aset, jenis kedua lebih mengarah pada penggunaan otoritas tidak pada tempatnya. Sistem otoritas ini cenderung menjadi alat negosiasi yang memiliki potensi ekonomi sangat besar. Fakta ini bisa dibaca dalam jual-beli perizinan, kebijakan impor garam saat petani panen garam, atau impor beras saat panen raya gabah. Tindakan atau kebijakan semacam ini merupakan bentuk korupsi kekuasaan yang mengingkari keinginan dan kebutuhan rakyat.

    Sesungguhnya, secara formal kita memiliki regulasi yang tegas melarang korupsi. Ada UU mengatur mengenai hal itu sebagaimana tertuang dalam UU Antikorupsi (UU Nomor 31 Tahun1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001). Kita juga memiliki Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dan lembaga yang angker yakni KPK. Namun, perangkat hukum dan keangkeran lembaga itu masih kurang efektif mencegah korupsi. Bahkan korupsi kian merajalela sehingga menimbulkan pesimisme terhadap masa depan pemberantasannya.

    Alat Legitimasi

    Jika hukum hanya dianggap kumpulan pasal demi pasal maka korupsi kekuasaan tidak akan pernah tersentuh oleh tajamnya pisau hukum. Pasalnya UU Antikorupsi hanya menyebut kerugian keuangan negara. Padahal ada kerugian lain dari korupsi kekuasaan, yaitu terjadinya kesengsaraan pada lapis masyarakat karena mereka dikorbankan melalui kebijakan negara atau kebijakan yang dibuat oleh pemangku otoritas negara.

    Kelemahan sistem seperti ini, mengutip Nonet Selznick, menyebabkan hukum terisolasi dari kepentingan sosial. Seolah hukum tidak memiliki daya respons terhadap basis dasar kebutuhan masyarakat dan hukum semacam ini tidak dapat dijadikan alat untuk mencapai keadilan substantif. Karena itu, perilaku pejabat yang hedonis, memperjualbelikan kebijakan, atau komersialisasi perizinan, tidak akan pernah tersentuh oleh formula hukum konvensional.

    Sebagai upaya penyempurnaan sistem hukum demi terberangusnya korupsi maka Nonet-Selznick menawarkan beberapa formula,  yakni keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum; peraturan sebagai subordinasi keadilan dan kebijakan; pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan kemaslahatan masyarakat; memupuk sistem kewajiban sebagai ganti dari sistem paksa; kekuasaan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat; serta keterbukaan dan akomodasi aspirasi publik untuk menjaga integrasi advokasi hukum dan cita sosial.

    Jika prinsip-prinsip ini bisa diterapkan maka korupsi dalam berbagai bentuknya mudah dijinakkan melalui instrumen hukum sehingga hukum benar-benar dapat diandalkan sebagai alat legitimasi bagi kebaikan dan keadilan substantif secara komunal.

  • “Powerful Words by Heart”

    “Powerful Words by Heart”
    Puspita Zorawar, EXPERTISE PERSONAL DEVELOPMENT INDONESIA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 10 Desember 2011
    Pada suatu kesempatan, saya pernah menjadi salah satu pembicara dalam seminar mahasiswa di Jakarta dengan judul “Wordsmart di Era Multimedia”.
    Salah satu topik yang dibahas pada waktu itu adalah kemampuan menyampaikan gagasan melalui kata-kata atau tulisan merupakan salah satu potensi besar yang dapat menjadi alternatif profesi di masa kini.
    Howard Gardner, penulis Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (1983), berpendapat bahwa di antara ketujuh kecerdasan yang dimiliki manusia, salah satu di antaranya adalah kecerdasan bahasa.
    Ini merupakan suatu kepekaan terhadap bahasa lisan atau bahasa tulis (baca: kata-kata). Seseorang dengan kecerdasan ini akan mampu mempelajari bahasa dengan cepat serta menggunakannya dengan tepat.
    Rangkaian kata yang mengandung arti (lazim kita sebut kalimat) merupakan bagian yang sangat penting dalam proses berkomunikasi. Dengan demikian, tujuan berkomunikasi kita akan tercapai.
    Walau dalam proses komunikasi sering ketika sender (komunikator) menyampaikan pesan kepada receiver (komunikan), terjadi banyak variabel yang sering menjadi penghalang pesan dapat diterima dengan baik, namun saya ingin menyampaikan bahwa hampir 80 persen proses berkomunikasi diwakili oleh rangkaian kata.
    Seorang pengarang buku best seller menggunakan kata-kata yang tepat untuk menghibur, menginformasikan pengetahuan, atau memberi motivasi, memberi manfaat kepada orang lain (pembacanya), sehingga buku-buku mereka dapat laris dibeli orang.
    Namun, di sisi lain, oleh pihak lain, rangkaian kata juga dapat digunakan untuk mengungkapkan emosi seseorang, untuk menuduh, memfitnah, memaki-maki orang lain, bahkan mengintimidasi seseorang.
    Tidak lama setelah seminar tersebut, seorang senior saya, sebut saja Pak Adit, seorang direktur di sebuah perusahaan multinasional menelepon saya dari luar pulau dalam sebuah perjalanan dinasnya. Selain karena akan mengoordinasikan suatu hal, beliau juga menceritakan kegemasannya pada seseorang, sebut saja Pak Hiro.
    Pak Adit bercerita bahwa Pak Hiro telah melakukan tindakan tidak terpuji sebagai seorang profesional, menelepon sekretarisnya dengan “penuh amarah”. Ia memaki-maki sang sekretaris karena permohonannya agar Pak Adit dapat menjadi pembicara dalam suatu sarasehan internal perusahaan tempat Pak Hiro bekerja tidak kunjung mendapat tanggapan.
    Sementara itu, menurut sekretaris Pak Adit, hal tu terjadi karena jadwal Pak Adit padat sekali sehingga sekretaris Pak Adit belum dapat memberikan konfirmasi sebagai pembicara, seperti yang diminta oleh Pak Hiro.
    Pak Adit memang salah seorang ahli di Indonesia dalam materi yang diajukan Pak Hiro untuk sarasehan internal di perusahaannya.
    Pak Hiro merasa memiliki kuasa dengan mengatasnamakan sebuah perusahaannya untuk “memaksa” Pak Adit memberikan konfirmasi segera, karena tentu saja eventinternal tersebut akan lebih menarik kehadiran para karyawan perusahaan tersebut jika dapat menghadirkan Pak Adit.
    Namun, apa yang terjadi pada akhirnya? Karena kata-kata yang penuh amarah, ditambah dengan penyampaian dengan emosi tinggi dari Pak Hiro, tanpa berpikir panjang, tanpa melihat perusahaan apa yang mengundang, langsung saja Pak Adit memutuskan menolak permintaan tersebut.
    Bahkan, Pak Adit menginstruksikan kepada sang sekretaris bahwa jika suatu ketika ada permintaan lagi dari Pak Hiro, sebaiknya langsung saja ditolak dengan cara yang profesional.
    Pak Adit tidak tertarik lagi kepada content (isi pesan) yang disampaikan oleh Pak Hiro melalui sekretarisnya, namun hanya satu hal yang menjadi pertimbangan Pak Adit, yaitu context (situasi) bahwa seseorang telah meminta sesuatu dengan penuh amarah adalah tindakan yang tidak profesional.
    The real art of conversation is not only to say the right thing at the right time, but also to leave unsaid the wrong thing at the tempting moment.
    Kata-kata yang disampaikan pada saat kita berkomunikasi, dengan siapa pun, selalu keluar dari hati kita. Kata-kata yang penuh amarah justru berpotensi menggagalkan tujuan proses berkomunikasi. Kata-kata yang penuh amarah dari Pak Hiro, membuat Pak Adit tidak pernah merasa trust (percaya) lagi kepada Pak Hiro.
    Kata-kata seperti pedang, seperti pedang bermata dua. Ketika kita berkomunikasi, setelah kita mendengarkan pihak lain, kemudian pada saat kita akan memberikan feedback, kata-kata yang kita rangkai dengan benar, kita sampaikan secara asertif, dalam waktu yang tepat akan membuahkan hasil luar biasa. Itulah the powerful word by heart, yang akan sangat berpengaruh apakah komunikasi kita dapat efektif atau tidak.
    Kata-kata yang kita sampaikan dalam proses komunikasi kita, sudah seharusnya mewakili isi hati kita. Kata-kata yang telah kita sampaikan kepada orang lain, tidak akan lenyap diterbangkan angin dan hilang begitu saja. Setiap perkataan kita akan mempunyai makna tertentu bagi yang mendengarkannya.
    Hati kitalah yang menentukan apakah kita berkata-kata untuk memberikan manfaat kepada orang lain atau tidak.
    Ketika kita ingin membangun generasi muda untuk menjadi pemimpin yang lebih baik di masa yang akan datang, kata-kata yang kita sampaikan kepada mereka adalah kata-kata yang memercayakan sebuah tanggung jawab kepada mereka, misalnya “Kalian pasti bisa menyelesaikan ujian dengan baik, bahkan dapat berprestasi lebih baik lagi dari semester sebelumnya”. Sebaiknya kita tidak hanya menyampaikan kata-kata yang sekadarnya, misalnya “Kalau ujian, kalian jangan lupa belajar ya…”
    Pernyataan pertama dan pernyataan yang kedua akan menghasilkan dampak yang berbeda. Pernyataan pertama mengandung arti: memercayakan tanggung jawab, mendukung perolehan prestasi yang meningkat dari sebelumnya, membuka diskusi (open communications) lebih jauh tentang bagaimana solusi untuk mencapai prestasi yang lebih baik lagi.
    Namun, komunikasi dengan pernyataan yang kedua, hanyalah sekadar mengingatkan bahwa ketika ujian jangan lupa belajar, tidak mengandung makna lebih, bahkan kecil kemungkinan menghasilkan prestasi.
    Kata-kata yang dirangkai dengan tujuan positif sesuai dengan isi hati kita yang positif, menjadikan kita menyampaikan powerful words by heart dalam berkomunikasi dengan orang lain. Berkomunikasi dengan efektif adalah tidak hanya menyampaikan kata-kata, namun menyampaikan powerful words by heart. Wise men speak because they have something to say; fools because they have to say something (Plato).
  • Akankah Toleransi Agama di Indonesia Berlanjut?

    Akankah Toleransi Agama di Indonesia Berlanjut?
    Franz Magnis-Suseno SJ, ROHANIWAN DAN DOSEN DI SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 10 Desember 2011
    Kekerasan terhadap orang Kristen di Indonesia sering kali menjadi berita. Namun, tindak-tindak kekerasan atas orang Kristen tidak semestinya mengaburkan fakta bahwa mayoritas umat kristiani hidup dan beribadah bebas dari ketakutan dan gangguan di sebuah negara mayoritas muslim, dan bahwa pindah agama pun tidak pernah dilarang di sini.
    Namun, dalam beberapa tahun belakangan, tingkat kebebasan beragama telah menurun. Pemerintah harus memiliki keberanian untuk menghentikan tren ini dan melindungi minoritas agama untuk terus menegakkan kebebasan beragama.
    Dalam sembilan bulan pertama di 2011 saja, Forum Komunikasi Kristiani Jakarta mencatat adanya 31 kali kejadian gangguan terhadap gereja. Pada 2010, mereka mencatat ada 47 insiden.
    Di banyak daerah, hampir tidak mungkin untuk membangun gedung gereja baru dan ketika umat kristiani melaksanakan kebaktian Minggu mereka di tempat yang tidak berizin, mereka sering kali terpaksa berhenti di bawah ancaman kekerasan. Bahkan, tahun ini beberapa ancaman bermotif agama berubah menjadi insiden kekerasan.
    Meski sangat berhasil memerangi terorisme, pemerintah seperti enggan mengambil tindakan ketika kalangan minoritas terancam. Meski pemerintah mengecam penggunaan kekerasan, ini tidak selalu didukung dengan aksi.
    Misalnya, ketika tiga orang Ahmadiyah terbunuh di Cikeusik, polisi lokal tidak turun tangan, dan kemudian, para pelaku hanya menerima hukuman tiga sampai tujuh bulan kurungan penjara.
    Adanya kesenjangan antara pernyataan mengecam kekerasan dan konsekuensinya, mendorong orang-orang di daerah masuk dalam politik sektarian yang menindas kalangan minoritas.
    Sudah lebih dari setahun, jemaat Presbiterian di Bogor kerap diusik oleh kelompok-kelompok non-Kristen karena harus menggelar kebaktian hari Minggu di pinggir jalan setelah gerejanya ditutup oleh wali kota.
    Kendati Mahkamah Agung kemudian menyatakan bahwa penutupan ini tidak sah, gereja tersebut tetap ditutup oleh wali kota, yang menghiraukan pandangan sebagian warga muslimnya.
    Ini memperlihatkan macetnya toleransi dan ketertiban masyarakat. Pada masa lalu, perlawanan terhadap pembangunan gereja sering kali dijustifikasi dengan argumen bahwa gereja-gereja yang dibangun ini akan memurtadkan warga muslim. Argumen-argumen ini biasanya dibantah melalui dialog atau diselesaikan lewat pengadilan.
    Kini, orang tidak lagi peduli dengan dalih-dalih seperti itu dan langsung saja mengatakan bahwa mereka tidak ingin ada gereja di kawasan perumahan mereka.
    Pada saat yang sama, banyak pemerintah daerah tengah memberlakukan peraturan berdasarkan syariat Islam yang semakin membatasi tidak saja aktivitas kaum minoritas agama, tetapi juga hak-hak warga negara, terutama perempuan.
    Pemerintah perlu mengumumkan bahwa ada wilayah-wilayah – seperti kebebasan beragama dan hak asasi manusia – yang tidak bisa menjadi kewenangan yurisdiksi pemerintah daerah, yang rentan akan kepentingan politik yang memecah-belah, dan yang diatur dan dilindungi oleh pemerintah pusat.
    Perkembangan Positif
    Namun, kendati ada berita-berita yang mengganggu, telah ada berbagai perkembangan positif yang perlu kita ingat dan lanjutkan. Dalam 15 tahun terakhir, hubungan antara orang Kristen dan muslim arus utama terus membaik.
    Bila empat puluh tahun yang lalu orang Kristen cenderung meminta perlindungan dari militer ketika ada masalah muncul, kini mereka berpaling ke Nahdlatul Ulama, organisasi muslim terbesar di Indonesia, tidak saja untuk meminta perlindungan tetapi juga untuk memperlihatkan pada publik bahwa hubungan antaragama di tingkat akar rumput masihlah kuat.
    Di banyak tempat, hubungan yang saling percaya terjalin antara tokoh Kristen dan tokoh muslim arus utama di tingkat daerah.
    Mahasiswa sekolah teologi Katolik secara rutin menggelar acara dan singgah di pesantren, dan di beberapa tempat, pemuda Banser Nahdlatul Ulama melindungi gereja-gereja selama perayaan Natal dan Paskah, yang kian memperlihatkan adanya ikatan antaragama yang kuat.
    Di tingkat tokoh agama, pada 10 Januari silam, beberapa tokoh terkenal dari berbagai agama mengeluarkan deklarasi bersama yang mengkritik pemerintah karena gagal mewujudkan janji yang telah dibuatnya kepada publik. Tiga contoh ini memperlihatkan bahwa mempertahankan hubungan baik dan pengertian adalah kunci untuk membangun hubungan antaragama yang baik.
    Lantas, apakah orang Kristen di Indonesia menghadapi lebih banyak tantangan di masa depan? Kebebasan beragama cukup berakar pada budaya Indonesia dan dihormati oleh Islam arus utama.
    Perbaikan nyata dalam hubungan antara orang Kristen dan muslim arus utama dalam 15 tahun terakhir mungkin menjadi penjamin kuat akan masa depan toleransi beragama dan ketertiban masyarakat di Indonesia. 
  • Sondang Hutagalung

    Sondang Hutagalung
    Budiarto Shambazy, WARTAWAN KOMPAS
    Sumber : KOMPAS, 10 Desember 2011
    Mohamed Bouazizi drop out dari SMP karena orangtuanya tak mampu bayar uang sekolah. Untuk memperbaiki nasib, mereka pindah ke kota lebih kecil, R’gueb, dan bekerja di peternakan saudara.
    Namun, peternakan bangkrut karena jadi korban pemerasan aparat. Merasa sia-sia, Bouazizi dan keluarga balik lagi ke Sidi Bouzid, Tunisia tengah.
    Ia memutuskan mencoba peruntungan sebagai penjual buah dan sayur dengan modal gerobak serta utang kanan-kiri untuk membeli dagangan. Sayang, usaha kaki lima dilarang, gerobaknya jadi langganan disita polisi.
    Jumat, 17 Desember 2010, pagi, ia tak tahan karena frustrasinya memuncak. Utangnya sekitar Rp 1,7 juta. Ia pergi mengadu ke gubernur mengapa polisi belum mengembalikan gerobaknya.
    Namun, ia diusir polisi. Tak ada jalan keluar lagi, Bouazizi mengambil jalan pintas. Ia lalu membakar diri di depan kantor gubernur.
    Aksi konyol itu membuat Bouazizi menderita luka bakar parah. Rakyat marah. Sepanjang akhir pekan setelahnya, massa melakukan demonstrasi dan menjarah.
    Pembakaran dan penjarahan segera menyebar ke seluruh negeri. Perlahan tetapi pasti, rakyat tergerak mempersoalkan tingkat pengangguran yang tinggi dan korupsi para pejabat.
    Rezim Presiden Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali berupaya bertahan. Namun, percuma karena ihwal pembakaran dan penjarahan ditiru di mana-mana karena menyebar melalui media sosial.
    Aksi Bouazizi ditiru beberapa demonstran di Mesir dan Aljazair karena efektif memicu revolusi. Kurang dari dua bulan, ”Revolusi Melati” di Tunisia merembet ke sejumlah negara Timur Tengah.
    Padahal, kultur membakar diri akibat frustrasi sosial tidaklah dikenal di kedua kawasan itu. Aksi itu lebih sering terjadi di Asia, terutama di kawasan Asia Timur dan Asia Selatan.
    Kita jelas tak mengenal kultur bakar diri, makanya tercengang menyaksikan aksi itu dilakukan Sondang Hutagalung. Tak pernah ada yang bakar diri di depan istana sejak 1945.
    Sudah beberapa kali terjadi belakangan ini orang loncat dari gedung, menjatuhkan diri dari jembatan penyeberangan, atau membakar diri sekeluarga.
    Padahal, budaya protes kita terhadap keadaan yang sumuk tidak begitu. Protes kita masih berwatak jinak, misalnya demonstrasi ke istana yang merupakan bentuk modern dari mépé (berjemur diri di alun-alun).
    Kita lebih kenal amarah politik yang diwarisi budaya Melayu yang lebih mengerikan, yakni amuk (to run amok). Itulah yang terjadi, misalnya, pada 1965-1966 dan 1998.
    Apa yang dilakukan pembakar diri adalah perbuatan kurang waras dan bertentangan dengan agama walau Bouazizi terbukti periang dan religius. Satu-satunya motivasi mereka nekat karena putus asa akibat kondisi sosial dan ekonomi terpuruk.
    Pembakar diri memprotes rasa ketidakadilan. Dan, yang perlu digarisbawahi, para pemimpinlah yang bertanggung jawab atas terciptanya ketidakadilan tersebut.
    Kalau bukan para pemimpin, lalu siapa? Pasalnya, hanya jajaran pemimpin negara—pemerintah dan parlemen yang mengawasi pemerintah serta yudikatif yang mengemban keadilan—yang wajib mengurus rakyat.
    Lihat ketiga cabang kekuasaan kita yang sering diguyoni dengan ”Trias Poli-thieves”. Ketiga cabang kekuasaan terdiri atas ”execu-thieves”, ”legisla-thieves”, dan ”judica-thieves”.
    Tikus-tikus koruptor menguasai ketiga cabang kekuasaan. Korupsi tak lagi sekadar mengentit alias mengais-ngais dari anggaran belanja, tetapi juga menjarah anggaran untuk dibagi-bagikan sejak ia ditetapkan oleh eksekutif dan yudikatif.
    Korupsi mudah ketahuan dan segera diperiksa KPK, Kepolisian, ataupun Kejaksaan. Namun, mereka ternyata bukan sapu-sapu yang bersih sehingga sukar diharapkan menyapu kotoran.
    ”Judica-thieves”? Lihat saja sebagian keputusan Pemilu-Pilpres 2009 dan pilkada yang ternyata diperdagangkan oleh Mahkamah Konstitusi yang kini disidik Panitia Kerja Mafia Kursi DPR.
    Betul kata judul buku politisi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, Perang-perangan Melawan Korupsi. Pembasmian korupsi ibarat anak-anak yang bermain perang-perangan semata.
    Kepolisian dan Kejaksaan menjalankan peran memainkan ”penyidik-penyidikan” sekaligus ”penyelidik-penyelidikan” skandal-skandal korupsi. KPK bertindak sebagai aktor yang bermain ”periksa-periksaan” koruptor. Lalu Pengadilan Tipikor memainkan peran menjalankan ”sidang-sidangan” seperti yang dilakukan terhadap M Nazaruddin.
    Korupsi makin hari makin absurd. Permainan perangan-perangan melawan korupsi sudah berlangsung sekitar dua tahun. Sondang menjadi peringatan bagi kita bahwa korupsi di republik ini sudah mencapai kondisi luar biasa.
    Selain membakar diri, muncul fenomena baru: dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Internasional, mahasiswa dan aktivis pendemo menyatroni rumah Ketua Umum Partai Demokrat.
    Pembakar diri seperti Bouazizi atau Sondang bukan pencari sensasi yang haus perhatian dan ingin dikenang sebagai ”pahlawan”. Mereka disebut sebagai ”korban” yang ingin agar rakyat ”bangkit”.
    Makna dua kata, korban dan bangkit, itulah yang menjadi esensial. Setiap perjuangan memerlukan pengorbanan dahulu demi membangkitkan harapan rakyat agar nasib bangsa jadi lebih baik lagi.
    Kita wajib periksa diri: walau sistem demokratis, apakah the ruling elite yang berkuasa masih belum kapok korupsi? Percuma membanggakan demokrasi jika tujuannya tidak lebih dari sekadar memperkaya diri.
  • Menuju HAM Hijau

    Menuju HAM Hijau
    Andang L. Binawan, PENGAJAR SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, ANGGOTA THE CLIMATE REALITY PROJECT
    Sumber : KOMPAS, 10 Desember 2011
    Hak asasi manusia, dalam pengertian yuridis sampai hari ini, lebih dipahami dalam konteks relasi kekuasaan individu dengan negara. Suatu pemahaman yang menjadi terlalu sempit dalam kehidupan modern saat ini.
    Merunut dari sejarahnya, paham HAM memang muncul dalam dua konteks penting. Di satu sisi berupa penyalahgunaan kekuasaan negara—terutama kekuatan politik—terhadap warganya yang semakin besar. Di sisi lain, kesadaran akan martabat individu yang semakin tinggi.
    Dalam perjalanannya, pemahaman itu menjadi terlalu sempit karena kekuasaan pada zaman modern tidak lagi menjadi monopoli negara. Hal itu bisa muncul dalam wujud kekuasaan ekonomi yang juga sangat besar pada korporasi-korporasi bisnis. Dalam kaitan itulah, jaminan HAM ke depan juga semakin luas.
    Konteks Baru
    Sudah banyak dibicarakan bagaimana banyak korporasi bisnis berkembang menjadi raksasa. Pada tahun 2000 saja, laporan penelitian Sarah Anderson dan John Cavanagh yang berjudul Top 200: The Rise of Corporate Global Power menyebutkan, ada 51 korporasi bisnis yang masuk dalam 100 kekuatan ekonomi dunia. Itu berarti sudah melewati jumlah 49 negara yang menjadi kekuatan ekonomi.
    Anderson dan Cavanagh juga menemukan bahwa 200 korporasi bisnis terbesar ini tumbuh lebih cepat dibanding aktivitas ekonomi yang lain. Jika penjualan mereka ditotal, hasilnya lebih besar daripada total ”penjualan” semua negara dikurangi 10 negara terbesar. Data itu jelas menggarisbawahi bahwa kekuasaan ekonomi korporasi bisnis sangatlah besar. Dengan demikian, dampaknya pada jaminan HAM tentu juga besar.
    Makin menjulangnya kekuasaan ekonomi korporasi bisnis itu sangat mudah dipahami. Perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi memungkinkan pertumbuhan korporasi bisnis melampaui batas-batas politis dan geografis suatu negara. Digitalisasi uang memegang peran paling penting dalam pertumbuhan itu karena membuka peluang penumpukan modal menjadi tak terbatas.
    Jika tidak cepat tanggap, kekuasaan ekonomi itu juga menjadi tak terbatas. Potensi ancamannya tinggi, terutama jika mengacu pada Lord Acton: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely: orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, kecenderungan jahat semakin menjadi-jadi. Kekuasaan politis tidak lagi bisa mengaturnya.
    Sekarang saja dampaknya sudah sangat terasa, baik terhadap individu manusia maupun terhadap lingkungan, langsung maupun tidak langsung. Pembatasan dan pengaturan yang lebih ketat dan terkoordinasi menjadi semakin mendesak, terutama karena pengaturan yang ada masih terkesan parsial, belum sinergis.
    Nilai Bersama
    Meski demikian, besarnya kekuatan dan perkembangan zaman yang bergerak cepat membuat pengaturan eksternal atau pemaksaan dari luar tidak selalu efektif. Maka pertanyaannya kemudian, mungkinkah ada pengaturan dari dalam, yang berarti internalisasi pembatasan kekuasaan tersebut?
    Hal itu tidak akan gampang dipahami mengingat pembatasan kekuasaan berarti pembatasan upaya meraih laba sebanyak-banyaknya, yang selama ini dipahami sebagai esensi dari sebuah korporasi bisnis. Corporate social responsibility (CSR)—semacam upaya perusahaan untuk lebih bertanggung jawab pada lingkungan sosialnya—masih berkesan sebagai upaya memoles diri.
    Mark Kramer dan Michael Porter, dua akademisi Amerika Serikat, menawarkan upaya membatasi penyalahgunaan kekuasaan secara internal ini melalui creating shared value (CSV) atau pengembangan nilai bersama. Muncul tahun 2006, konsep ini makin matang dalam artikel mereka di Harvard Business Review edisi Februari 2011.
    CSV bertolak dari keprihatinan bahwa kapitalisme dipahami dan dijalankan secara sempit, berpusat pada keuntungan finansial korporasi semata. Akibatnya, bukan hanya membahayakan pihak lain, melainkan juga diri sendiri. Prinsip saling tergantung menjadi penting di sini.
    Pengembangan CSV juga bertolak dari terlalu minimnya CSR. CSV memang secara mendasar berbeda dari CSR dalam beberapa pokok. Menurut kedua penulis itu, ada enam perbedaan. Yang terpenting adalah bahwa dalam CSR, nilai yang mau diperjuangkan ”hanya” berbuat baik. Sebaliknya, CSV mendasarkan diri pada nilai bahwa keuntungan ekonomis dan keuntungan sosial punya kaitan erat, termasuk dalam hal pembiayaan. Karena itu, nilai yang diperjuangkan sebuah korporasi tidak bisa terpisah dari nilai dalam masyarakat.
    HAM Hijau
    Pokok penting dari konsep CSV yang diluncurkan Kramer dan Porter itu memberi angin optimisme bagi jaminan HAM yang lebih menyeluruh. Kesadaran yang lebih mendalam bahwa lembaga atau korporasi bisnis terkait secara integral dengan bagian ”dunia” yang lain berimplikasi bahwa keprihatinan dunia adalah juga keprihatinan sebuah perusahaan. Mengingat HAM adalah salah satu nilai penting yang diperjuangkan dunia, tidak terlalu sulit nantinya lembaga bisnis mengadopsi nilai HAM dalam perjuangannya.
    CSV mungkin masih jauh untuk Indonesia. Akan tetapi, beberapa pokok gagasan CSV bisa dikembangkan, terutama dalam rangka negosiasi memadukan kepentingan masyarakat dan perusahaan. Dalam hal ini, sangatlah mungkin, misalnya, gagasan CSV diadopsi oleh perusahaan semacam Freeport yang menghadapi banyak konflik untuk bernegosiasi dengan pemerintah dan masyarakat setempat.
    Lebih jauh, dalam konteks HAM, berpijak pada kesamaan pandangan akan kesalingtergantungan antara lembaga bisnis dan masyarakat, individu dan negara, manusia dan alam, sekat-sekat yang selama ini menghalangi penegakan HAM bisa makin relatif. HAM lalu tidak hanya dipahami dalam konteks hidup individu vis-a-vis negara, tetapi juga vis-a-vis lembaga bisnis, khususnya yang besar, dan di situ pula konsep HAM menjadi jauh lebih luas dan integral.
    HAM akan makin hijau karena juga terkait dengan jaminan pemeliharaan lingkungan demi hidup manusia, baik yang sekarang maupun generasi mendatang.
  • Berharap KPI Jemput Bola

    Berharap KPI Jemput Bola
    Veven Sp. Wardhana, PENGHAYAT BUDAYA MASSA
    Sumber : KORAN TEMPO, 10 Desember 2011
    Selasa malam, 6 Desember 2011, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyelenggarakan perhelatan Anugerah KPI 2011, penghargaan untuk pelbagai produk yang ditayangkan stasiun televisi di Indonesia —yang kali sekarang memasuki tahun keempat. Saya termasuk salah satu juri untuk salah satu mata tayangan khas televisi, yakni talk show—sementara bidang lainnya: program anak, sinetron lepas, film dokumenter, liputan investigatif, ditambah khusus pengabdian atau lifetime achievement dan televisi peduli keberagaman.
    Untuk peristiwa ini, sedikitnya saya punya tiga catatan. Pertama, jika kali ini merupakan perhelatan yang keempat kalinya, berarti ada yang pertama, kedua, dan ketiga—dan itu yang gaungnya boleh dikatakan kurang terasa. Gaung yang berkaitan dengan KPI selama ini lebih pada adanya pelbagai teguran KPI terhadap stasiun atau tayangan televisi itu sendiri—plus siasat stasiun televisi dalam menghadapinya.
    Kedua adalah soal bagaimana mekanisme penilaian dilakukan. Catatan ketiga berkaitan dengan pemahaman penggunaan terminologi mata tayangan yang dinilai untuk disemati Anugerah KPI.
    Dalam hal gaung dan gema KPI sebagai lembaga penyemprit, apa boleh buat, saya cenderung menaruh hormat mengingat kenyataan selama ini sudah begitu banyak keluhan dan kritik masyarakat terhadap mata acara televisi—terutama televisi komersial (boleh baca: televisi swasta)—yang nyaris tak digubris para pengelola penyiaran. KPI setidaknya sudah secara resmi menyuarakan kritik itu menjadi teguran, yang bisa saja memiliki konsekuensi hukum, misalnya dicabutnya atau setidaknya diistirahatkannya sebuah mata acara sebelum pengelola atau kreator melakukan pembenahan ke dalam.
    Tentu, mandeknya sebuah tayangan lebih berdampak ekonomi ketimbang hukum pidana. Belum pernah terjadi, atas putusan pengadilan, sebuah stasiun televisi harus membayar ganti rugi atau pemimpinnya dijebloskan ke bui. Paling-paling, jika sebuah
    acara melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan/atau Standar Program Siaran
    (SPS), serta KPI memintanya “istirahat”, pasokan iklanlah yang terkena dampaknya. Toh, stasiun televisi tak pernah kurang akal. Tanpa perlu berpayah-payah benar, tayangan pusparagam Empat Mata, yang kena palu ketok teguran itu, bisa kembali muncul dalam waktu relatif ringkas dengan tambahan embel-embel dalam kurung,
    sehingga menjadi (Bukan) Empat Mata—dan sepertinya mulus-mulus belaka.
    Surya Citra Televisi (SCTV) rupanya punya kiat sama dan sebangun. Sesudah KPI melayangkan surat resmi teguran pada 26 Agustus 2011 atas sinetron serial Islam KTP, belakangan hari sinema televisi ini bermimikri menjadi Bukan Islam KTP (tanpa harus ada tambahan dalam kurung).Teguran diarahkan juga ke sisipan iklan—yang jauh lebih diburu stasiun penyiaran—yang akibat ekonominya pastilah jauh lebih besar. Terakhir, KPI menegur iklan “Gigi Palu Nyangkut di Buah Dada”dan “Oli Top 1 Action Matic”. Keduanya mengeksploitasi buah dada perempuan model yang sama sekali sungguh- sungguh tak ada kaitannya dengan produk yang diiklankan. Juga iklan kartu pulsa yang menggunakan ikon (lagi-lagi) Tukul Arwana, terutama ungkapan yang dianggap merendahkan, “wong ndeso!”.
    Lantas, bagaimana pertimbangan pemberian penghargaan Anugerah KPI itu? Saat saya diminta menjadi salah satu penilai, kepada salah seorang panitia saya tanyakan:
    apakah yang dinilai itu paket yang diseleksi oleh KPI sebagai penyelenggara ataukah berdasarkan kiriman dari masing-masing stasiun televisi. Bagi saya, mekanisme ini
    sangat penting. Jika KPI yang memilihkan paket-paket untuk dinilai para juri, maknanya paket-paket tersebut sudah layak KPI, dan diharapkan tak akan ada kerja ganda jika di kemudian waktu koridor P3 dan SPS ala KPI itu ternyata memberikan catatan cacat terhadap paket-paket yang sudah kadung dinilai tim juri. Pihak panitia, sebagaimana juga Ketua KPI Dadang Rahmat Hidayat, menyatakan saat memberikan sambutannya dalam acara Anugerah KPI 2011—disiarkan langsung oleh TVRI—program yang dinilai para juri berdasarkan yang didaftarkan masing-masing stasiun televisi.
    Sungguh tak berbeda dibandingkan dengan penghargaan yang pertama kali diselenggarakan KPI, pada 2007, yang kala itu menggunakan nama “asing”: KPI Awards—yang saya juga sempat diminta menjadi juri. Dibandingkan dengan perhelatan pertama Anugerah KPI, kali ini saya tak mencoba melakukan konfirmasi ke masing-masing stasiun televisi yang tidak mengirimkan karya mereka, sehingga saya tak tahu persis kemungkinan persamaan dan perbedaan yang mendasarinya tak menyertakan tayangan mereka dalam momentum penganugerahan ini. Untuk yang pertama, rata-rata stasiun televisi yang tak mengirimkan produk dan/atau program mereka disebabkan oleh kekurangpercayaan mereka atas kinerja KPI, yang menurut analisis saya lebih disebabkan masa-masa “bulan racun”(untuk melawankatakan dengan “bulan madu”) lembaga-lembaga penyiaran swasta dengan KPI, yang lahir atas amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang banyak pasal dan ayatnya ditentang oleh lembaga penyiaran.
    Karena itu, untuk masa mendatang, KPI tak lagi perlu semata menunggu kiriman tiap stasiun televisi. KPI harus jemput antena (mestinya: jemput bola) sebagaimana ketika
    mereka menilai mata tayangan yang dianggap tak layak siar karena menerabas P3 dan/ atau SPS. Momentum Anugerah KPI bukanlah diniatkan untuk mendapatkan pemenang atau juara sebagaimana laiknya sebuah lomba atau sayembara. Boleh dibilang, perhelatan ini merupakan semacam tradisi rutin untuk mengevaluasi berjenis-jenis tayangan di televisi—mestinya juga siaran radio—yang kemudian dinilai layak, sehat, dan, hmm?, bertanggung jawab terhadap publik.
    Justru dengan pemilihan yang dilakukan lebih dulu oleh KPI—ini menyangkut catatan ketiga—tak bakal lagi ada jenis atau format tayangan yang salah kirim, salah kotak, atau salah terminologi, yang tak sebatas salah administrasi. Setidaknya, dalam program talk show, ada dua tayangan yang lebih cocok dikategorikan sebagai reality show. Dari program film dokumenter—sebagaimana dinyatakan Tedjabayu, salah satu penilai, juga terjadi kesalahkaprahan senada dan seirama: reality show didaftarkan sebagai film dokumenter. Di bidang sinetron atau sinema televisi, juri Maman Suherman juga membisikkan: seharusnya yang dinilai adalah yang berjenis sinetron lepas (satu tayang
    usai). Namun tak sedikit stasiun televisi mengirim dan mendaftarkan berepisode-episode sinema serial bersambungan. Sesungguhnya sih tak jadi soal jika memang ada kategorisasi macam itu—dan sebaiknya memang ada mengingat Festival Film Indonesia malah menyingkirkannya sebagai sinema televisi dengan memberikan label minor bahwa sinetron itu beda kelas dengan FTV alias film televisi.
    Atau KPI sendiri masih gagap dan gugup menerapkan pelbagai terminologi dan kategorisasi yang memang menjadi kekhasan budaya televisi itu.