Category: Uncategorized
-
Muda Berani Korupsi
Muda Berani KorupsiZamhuri, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MURIA KUDUS (UMK)Sumber : SUARA MERDEKA, 13 Desember 2011SETELAH heboh kasus Gayus Halomoan P Tambunan, PNS muda usia pada Ditjen Pajak dalam kasus pencucian uang, tindak pidana korupsi, dan penggelapan, di pengujung tahun ini publik kembali dikejutkan berita sejumlah PNS muda usia terindikasi korupsi. Hal ini setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyinyalir banyak PNS muda usia dan muda pengabdian melakukan praktik pencucian uang dari anggaran negara. Mereka berasal dari Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai (SM, 07-09/12/11). Disebutkan, ada 1.818 rekening bermasalah yang terindikasi tipikor.Menurut PPATK, uang haram milik PNS muda tersebut merupakan hasil pencucian uang dari proyek fiktif, gratifikasi, dan suap. Modus yang dilakukan mereka yang saat ini berusia 28-38 tahun adalah dengan mengalirkan dana ke anak, istri, atau suami melalui asuransi. Temuan ini tentu saja menambah beban kerja aparat hukum, terutama KPK, dan memperburuk stigma abdi negara.Perilaku korup yang dilakukan PNS sebenarnya bukan berita baru. Namun tatkala hal itu dilakukan oleh PNS muda usia, publik kaget karena semestinya mereka masih idealis, masih bersih, namun faktanya sudah tereduksi oleh perilaku yang jadi penyakit bawaan birokrat. Tindakan mereka termasuk berani mengingat pemerintah kini menggalakkan gerakan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Apalagi Kementerian PAN dan RB gencar mereformasi birokrasi, salah satunya melalui kebijakan remunerasi.Temuan awal terkait dengan banyak PNS muda usia korupsi menunjukkan bahwa korupsi tidak bisa direduksi dengan kebijakan remunerasi. Penyebab suburnya perilaku korup di kalangan PNS tentu sangat kompleks dan karena hukum sebab-akibat. Korupsi adalah akibat, yaitu akibat birokrasi yang permisif, yang memberikan peluang tumbuhnya korupsi dan karena PNS muda usia tersebut kehilangan idealisme yang seharusnya menjadi roh pengabdian.Ladang korupsi subur karena ada persemaian bibit korupsi sejak proses hulu perekrutan CPNS. Sudah menjadi rahasia umum dalam proses itu pelamar harus memberikan uang pelicin agar mudah diterima. Besar kecilnya pelicin bergantung pada jenjang pendidikan dan job yang diincar. Soal sumpah jabatan dan keharusan mengabdi hanya dianggap ritual mekanis yang tidak menumbuhkan efek pengabdian dan etos kepatuhan.Paham MaterialismePerilaku korup PNS muda itu karena luruhnya etos idealisme yang tereduksi oleh pandangan materialisme. Mereka mengganti medan pengabdian masyarakat dengan penghambaan terhadap materi dan kekayaan. Paham klasik, sebagaimana dilontarkan Epikuros, mendominasi wacana alam pikiran bahwa satu-satunya cara untuk tetap diakui eksistensinya dalam dunia materialisme adalah dengan cara sebanyak mungkin menumpuk harta.Dalam kondisi pragmatis, keuangan PNS muda yang bersumber hanya dari gaji tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan materinya yang fluktuaktif. Pandangan dan kebutuhan materialistis itulah menjadi pemicu korupsi. Pada sisi lain, menurut Hamdan Zoelfa, salah satu hakim Mahkamah Konstitusi, cara pandang yang dijadikan dasar untuk mendefinisikan dan memberikan pengertian korupsi pada perundang-undangan tentang korupsi mendasarkan pada filsafat idealisme, yang hanya mengandalkan dunia ide.Bisa jadi PNS muda usia yang korup itu menganggap tindakannya bukan sesuatu yang tercela, dengan mendalihkan pada beberapa hal. Pertama; upaya mengembalikan biaya yang mereka keluarkan sewaktu melamar menjadi CPNS. Kedua; alasan pertama menjadi pembenar untuk melakukan tindakan di level berikutnya karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan materi terkait dengan gaya hidup (paham materialisme).Ketiga; pertentangan antara paham materialisme dalam paham pikiran dan paham idealisme dalam rumusan UU. Pertentangan antara alam pikiran PNS bahwa tindakannya itu merupakan sikap realistis karena tuntutan kebutuhan materi, sementara rumusan UU menganut paham idealisme. Padahal ide tak bisa menjawab realitas material yang sesungguhnya terjadi.Fenomena PNS muda usia menjadi generasi muda koruptor menunjukkan bahwa praktik korupsi bukannya mengendor melainkan makin menggurita. Pemberantasan korupsi tak mungkin hanya mengandalkan aparat hukum, dimotori KPK, tetapi butuh keterlibatan semua komponen bangsa. Amat mungkin mewujudkan upaya nonhukum (positif) sebagaimana gagasan Mahfud MD tentang kebun koruptor dan tidak menshalati jenazah koruptor supaya ada efek jera. ● -
Kemauan Politik demi Hukum
Kemauan Politik demi HukumManunggal K Wardaya, KOORDINATOR SERIKAT PENGAJAR HAK ASASI MANUSIA (SEPAHAM) INDONESIA, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNSOED PURWOKERTOSumber : SUARA MERDEKA, 13 Desember 2011”Yang ada di Indonesia saat ini bukan kemiskinan melainkan pemiskinan karena negara membiarkan tumbuh suburnya korupsi”DALAM penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM), peran sentral dan vital disandang oleh negara. Pasalnya, negara memiliki aparat penegak hukum dan birokrasi, dan dapat memberdayakannya demi terealisasinya pelbagai jaminan hak dan kebebasan manusia. Salah satu prestasi besar gerakan reformasi setelah pengesahan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah pencantuman sejumlah klausul hak dan kebebasan asasi manusia dalam UUD 1945.Harapan akan kondisi yang lebih baik makin menguat dengan ratifikasi International Covenant on Economic Social and Cultural Right (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada September 2005.Tak dapat dimungkiri ratifikasi dua perjanjian internasional HAM itu dan Deklarasi HAM 1948 sebagai the international bills of human rights merupakan kemajuan yang makin mengukuhkan dasar hukum penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan HAM di Tanah Air.Meskipun instrumen yang menjadi bekal pemerintahan era reformasi kini lebih lengkap ketimbang pada masa Orba, capaian dan implementasinya yang relatif lebih transparan dan demokratik ternyata tak menunjukkan kemajuan signifikan. Memang beberapa hak dan kebebasan dasar dalam bidang sipil dan politik yang terasa lebih baik, misalnya lebih terbukanya ruang kebebasan berekspresi, berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.Namun beberapa hak sipil dan politik masih teringkari dan bahkan mengalami kemunduran. Contohnya antara lain masih tidak jelasnya nasib dan keberadaan sejumlah aktivis 1997/1998. Hingga kini tak ada langkah serius pemerintah mengusut keberadaan mereka yang diduga keras dihilangkan secara paksa.Terkait dengan perlindungan terhadap pembela hak asasi manusia, pemerintah juga setengah hati memberikan keadilan atas terampasnya hak hidup Munir. Hal itu terbukti dengan masih tak terungkapnya aktor yang mengotaki pembunuhan pembela hak asasi manusia tersebut.Sementara itu, tataran implementasi kebebasan beragama yang dijamin kukuh dalam Deklarasi HAM 1948, ICCPR, dan UUD 1945 justru mengalami kemerosotan. Publik melihat masih ada diskriminasi, perlakuan istimewa (privilege), pengakuan, dan perlindungan hanya terhadap agama tertentu yang mainstream, yang mayoritas. Padahal Pasal 4 ICCPR menyebutkan beragama dan berkeyakinan adalah salah satu hak asasi manusia sebagai non-derogable rights yang dalam masa kegentingan sekali pun tak dapat dikurangi.Kemauan PolitikTerkait dengan bidang ekonomi, sosial, dan budaya, berbagai kasus kekerasan yang menimpa TKI menunjukkan lemahnya posisi tawar negara melindungi pekerja migran.Ketidakmampuan negara menciptakan lapangan kerja di dalam negeri tak dibarengi dengan perlindungan hukum memadai dan tindakan diplomatik yang preventif manakala warga negara mencari penghidupan di negara lain.Kesungguhan pemerintah menuntaskan kasus korupsi pun tidak menggembirakan. Tahun lalu ikon korupsi uang pajak Gayus Tambunan meski berstatus tahanan dapat berkeliaran. Pemberian fasilitas terhadap koruptor adalah bukti ketidaksungguhan memerangi korupsi.Tertangkapnya Nunun Nurbaetie, tersangka kasus suap cek perjalanan terkait dengan pemilihan Deputi Senior Gubernur BI, belum menjadi indikator keterjaminan penegakan hukum bila nanti aparat penegak hukum tidak bisa menuntaskan kasus itu.Tidak salah kiranya bahwa yang ada di Indonesia bukan kemiskinan melainkan pemiskinan karena tindakan negara yang secara sistematik membiarkan tumbuh suburnya korupsi yang pada akhirnya menimbulkan konsekuensi ekonomi berat yang harus dipikul oleh rakyat.Setumpuk instrumen hukum HAM yang dimiliki Indonesia bukanlah tongkat ajaib yang bisa dalam sekejap mata membawa ke arah yang lebih baik. Instrumen hukum apa pun, entah itu ratifikasi perjanjian internasional, jaminan hak dan kebebasan dasar, baik dalam UUD maupun UU organik, akan menjadi macan kertas tanpa ada implementasi yang konkret dan kemauan politik kuat dari pemerintah. ● -
Menyoal HAM Para Koruptor
Menyoal HAM Para KoruptorPeter Lewuk, PENGAMAT POLITIK THE ADAM MALIK CENTER, JAKARTASumber : SINAR HARAPAN, 12 Desember 2011Setiap tanggal 10 Desember kita memperingati hari hak-hak asasi manusia atau HAM sedunia. Dalam rangka itu menarik untuk dipersoalkan HAM para koruptor di negeri ini.Di tengah-tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi, justru belakangan ini para koruptor dan penasihat hukumnya berteriak lantang tentang hak asasi para koruptor sebagai manusia.Gejala itu muncul lantaran adanya pro dan kontra soal obral remisi yang diberikan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada para narapidana korupsi.Selama ini, para koruptor kerah putih itu juga menikmati fasilitas mewah ala hotel di penjara. Tidak itu saja, kolusi antara koruptor dan oknum pejabat rumah tahanan membuat mereka dengan leluasa keluar masuk rumah tahanan, malah ada yang jalan-jalan ke luar negeri.Gencarnya pemberitaan media massa tentang “keistimewaan” itu tentu saja membuat publik marah. Ini karena selain tak memberikan efek jera dan penggentar, keistimewaan itu juga melukai rasa keadilan masyarakat maupun para narapidana lainnya yang tak mampu “membeli” oknum aparat penegak hukum.Atas Nama HAMMemang betul bahwa setiap manusia mempunyai hak-hak asasi, tetapi janganlah disalahgunakan. Seolah-olah atas nama HAM orang bisa berbuat apa saja termasuk korupsi.Padahal, harus dipahami HAM hanya mutlak bagi orang perorangan atau individu sejauh dia tidak pernah berada dan hidup bersama orang lain, namun ini adalah sesuatu yang mustahil. Manusia pada hakikatnya adalah “ada bersama” atau makhluk sosial, semenjak di dalam rahim ibu.Oleh karena itu, HAM tidak pernah mutlak melainkan ada batasnya. Dengan kata lain, yang menjadi batas dari HAM seseorang adalah HAM orang lain, terlebih lagi karena manusia hidup bersama dalam masyarakat, bangsa, dan negara.Jadi, HAM tidak penah berdiri sendiri, melainkan selalu dalam konteks sosial dan konteks negara. Oleh karena itu, dalam konteks bernegara, misalnya, sekalipun seorang pejabat memiliki kekuasaan yang besar, dia tidak bisa menggunakan kekuasaannya itu sebebas-bebasnya atas nama HAM.Bahwa, misalnya, pejabat negara dan aparatur pemerintah di eksekutif, legislatif, dan yudikatif menuntut hak mereka dari negara karena mereka telah bekerja untuk negara. Ingat, hak itu telah diberikan oleh negara dalam bentuk gaji yang pantas, tunjangan, dan beberapa privilese lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.Harus diingat bahwa pelaksanaan HAM para pejabat negara dan aparatur pemerintah dari pusat sampai daerah justru dibatasi oleh HAM ratusan juta rakyat Indonesia, terutama hak untuk menikmati kesejahteraan dan keadilan sosial-ekonomi.Bila para oknum pejabat negara dan aparatur pemerintah mencuri uang negara secara masif-kuantitatif dari pusat sampai ke daerah di seluruh Indonesia, bisa dibayangkan jutaan rakyat Indonesia yang miskin tak akan mendapatkan hak mereka itu.Itulah sebabnya, korupsi dikategorikan sebagai pelanggaran berat atas HAM rakyat atau kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Hal tak lain karena dampak korupsi sangat luar biasa merugikan rakyat Indonesia.Satu contoh saja, ketika didesak untuk mengesahkan RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS, DPR dan pemerintah tampak setengah hati dan ogah dengan alasan uangnya dari mana.Padahal, ratusan bahkan ribuan triliun uang negara dirampok oleh para pengusaha hitam yang berkolusi dengan oknum-oknum pejabat yang berwatak korup dan tidak punya rasa malu.Meski akhirnya disahkan menjadi UU, keluhan tentang dari mana uang yang akan dikelola BPJS membuktikan betapa DPR dan pemerintah tidak sadar, atau pura-pura tidak sadar, bahwa kalau untuk urusan berkorupsi ria, selalu ada uang, tetapi untuk jaminan sosial bagi rakyat, maka tidak ada uang.Nah, apabila para oknum pejabat negara dan aparatur pemerintah menjadi koruptor, yang berarti melanggar berat atas HAM seluruh rakyat Indonesia, pantaskah para koruptor itu berbicara tentang HAM yang melekat pada diri mereka?Hilangnya HAMSangat tak pantas kalau seorang pelanggar HAM masih berbicara lantang tentang hak asasinya sebagai manusia. Ketika para oknum pejabat negara dan aparatur pemerintah “berubah menjadi tikus”, mereka tidak pernah berpikir tentang HAM rakyat atas kesejahteraan sosial-ekonomi, yang mereka langgar atau rampas.Tetapi, ketika sekarang dipidana karena kejahatan korupsinya, malah para koruptor bersama para penasihat hukum berteriak lantang membela hak-hak koruptor sebagai manusia. Pembelaan HAM model ini, tentu akan menjadi bahan cemoohan, cibiran, dan tertawaan orang banyak, yang menyaksikan perilaku para koruptor dan para penasihat hukumnya.Karena itu, menurut saya, HAM para koruptor untuk jangka waktu tertentu hilang dengan sendirinya karena kejahatan yang dilakukannya. Masih beruntung koruptor tidak dijatuhi hukuman mati.Padahal, hukuman mati untuk para koruptor itu dimungkinkan oleh undang-undang. Jadi, para koruptor itu sudah menghilangkan HAM mereka sendiri selama berapa tahun masa tahanan sesuai vonis hakim.Nah, kalau diargumentasikan bahwa moratorium atau penghentian pemberian remisi kepada para koruptor adalah sebuah bentuk pelanggaran atas HAM para koruptor, harus dikontra-argumentasikan pula bahwa HAM para koruptor itu telah ditukar atau dibayar dengan kejahatan korupsi yang mereka lakukan, sehingga remisi tidak perlu diberikan kepada mereka. Biarlah para koruptor itu menikmati hotel prodeo hingga batas waktunya mereka dibebaskan.Lebih bijaksana bagi negara untuk “menghilangkan HAM” para koruptor yang merampok uang rakyat sebagai impas terhadap hak rakyat atas keadilan dan kesejahteraan sosial-ekonomi yang dirampas para koruptor.Meski uang yang dikorupsi itu tidak dapat kembali ke negara, tetapi dengan penghilangan HAM, terutama melalui hukuman seberat-beratnya, diharapkan menimbulkan efek jera, rasa takut, dan rasa malu serta berpikir sejuta kali sebelum mencuri dari negara. ● -
Koruptor Generasi Gayus
Koruptor Generasi GayusMasduri, PENELITI DI PUSAT KAJIAN FILSAFAT DAN POLITIK IAIN SUNAN AMPEL SURABAYASumber : REPUBLIKA, 12 Desember 2011Korupsi benar-benar telah membuat negara kita limbung. Tidak jelas akan berarah ke mana karena semua kekayaan negara sekarang sedang digerogoti koruptor. Korupsi tidak saja monopoli elite pusat, tapi juga sudah menyebar ke berbagai daerah. Bahkan, pelakunya pun tak lagi para penguasa dan pemilik kebijakan, tapi juga mereka yang masuk dalam kelompok generasi muda.Berdasarkan penemuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ada 1.800 rekening bernilai puluhan hingga ratusan miliar rupiah milik pegawai negeri sipil (PNS). Yang mengherankan, para pemiliki rekening tersebut berusia antara 28-38 tahun. Secara logika, jika hanya bekerja sebagai PNS tidak mungkin pada usia yang begitu muda, mereka dapat mengumpulkan uang sebesar itu. Karena gaji maksimal seorang PNS hanya 12 juta per bulannya.
Temuan ini tentu semakin memprihatinkan kita semua. Sebab, kasus korupsi yang besar saja masih banyak yang belum terselesaikan (menumpuk), sekarang muncul lagi kasus baru yang tak kalah besarnya. Kita berharap, PPATK segera mengungkap secara terang-terangan dan menyerahkan hasil temuannya itu kepada penegak hukum. Kepolisian, kejaksaan, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bergerak cepat dan tangkas dalam menyelesaikan kasus temuan PPATK tersebut.
Persoalan seperti ini merupakan realitas memprihatinkan bagi masa depan negara Indonesia. Kekhawatiran akan ancaman kesejahteraan bangsa semakin merisaukan. Sebab, korupsi sudah mengjangkiti para pegawai negeri sipil (PNS) yang berusia muda. Seharusnya, para generasi muda ini, bersuara lantang dalam menyuarakan pemberantasan korupsi, bukan malah terlibat dalam perbuatan tak terpuji itu.
Tentu kita sangat prihatin karena korupsi yang sudah sangat menggurita. Semakin hari, korupsi bukannya makin berkurang, malah berkembang biak sangat cepat. Berbagai hukuman yang diberikan kepada koruptor tampaknya tidak membuat mereka jera untuk berhenti melakukannya. Alih-alih malu dan menghindarinya, sebaliknya malah semakin menjadi dan merajalela.
Ketidakjeraan para koruptor yang sudah dihukum ini menunjukkan bahwa aparat penegak hukum kita masih gagal dalam menjalankan tugasnya. Hukuman yang harusnya dibuat untuk memberikan efek jera dan rasa takut dalam melakukan tindak pelanggaran, malah makin didekati dan dilaksanakan. Faktanya, hukuman bagi mereka yang sudah di penjara, justru memancing yang lain untuk menikmati hal yang sama.
Ketidakjeraan orang untuk berbuat korupsi membuktikan bahwa hukuman yang diberikan tak berhasil. Hukum belum membuat mereka berhenti untuk melakukannya. Seakan, tinggal di penjara justru sangat mengenakkan dibanding di luar penjara. Mereka pun sepertinya berlomba-lomba untuk melakukan korupsi dan merampas uang negara.
Apalagi, hukuman bagi koruptor yang hanya berkisar antara tiga hingga empat tahun. Kemudian bila sudah menjalani hukuman hingga dua per tiganya, mereka berkesempatan menghirup udara bebas secara bersyarat. Belum lagi bila mendapatkan remisi atau pemotongan masa hukuman. Kondisi ini jelas tidak adil. Sebab, merampok uang negara hingga puluhan bahkan ratusan miliar, tapi hanya dihukum tak lebih dari lima tahun, menunjukkan bahwa banyak orang yang ingin melakukan upaya serupa.
Belakangan ini, makin santer terdengar adanya fasilitas mewah di penjara. Kondisi ini bagaikan surga bagi pelaku korupsi sebab mereka bisa menikmati kemewahan kendati berada di balik terali besi. Ketika realitas hukum kita seperti ini, tidak usah heran jika koruptor kian hari terus berkembang biak.
Kita makin tambah prihatin dengan hasil survei KPK baru-baru ini. Sebab, dari 22 instansi pusat yang disurvei, Kementerian Agama (Kemenag) menempati peringkat pertama instansi paling korup. Fakta ini tentu mengejutkan kita semua. Karena, Kementerian Agama yang seharusnya menjadi panutan dan contoh bagi instansi lain dalam melakukan perbuatan baik, justru terindikasi lebih korup dibandingkan lainnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa keberagamaan masyarakat Indonesia masih jauh dari nilai-nilai esensial yang diajarkan dalam agama. Jika dulu tokoh agama sering mengkritik pemerintah, sekarang saatnya mereka melakukan gebrakan baru internalisasi nilai-nilai agama dalam setiap pemeluknya.
Kita tentu tak bisa begitu saja membantah hasil survei tersebut. Sebab, survei memiliki bukti konkret yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Untuk itu, diperlukan sebuah upaya konkret dari setiap lembaga untuk memperbaiki kinerjanya.
Sekarang ini tantangan korupsi semakin berat. Apa yang ditemukan oleh PPATK itu telah menambah panjang daftar kasus korupsi yang makin menumpuk. Karenanya, semua pihak harus berupaya maksimal untuk secara aktif melakukan pemberantasan korupsi. Para penegak hukum harus berjuang mati-matian melawan korupsi. Begitu juga eleman masyarakat lainnya untuk bahu membahu menghapus praktik kotor dan tak terpuji itu dari Tanah Air ini. Para tokoh masyarakat dan agama kita harapkan lebih maksimal lagi dalam membentengi umat, terutama generasi muda dalam menghadapi godaan korupsi.
Regenerasi Koruptor
Temuan PPATK terkait dengan rekening gendut para anggota PNS yang rata-rata masih muda adalah fenomena lama korupsi di Indonesia. Tidak begitu lama, kita pernah dihebohkan dengan kasus Gayus Halamoan Tambunan, mantan pegawai Ditjen Pajak yang tersangkut kasus korupsi. Usianya masih muda setara dengan kisaran umur PNS yang dipaparkan oleh PPATK.Munculnya koruptor-koruptor muda seperti hasil temuan PPATK menunjukkan bahwa di negara kita ada gejala regenerasi koruptor. Kasus rekening gendut PNS tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kasus Gayus, pasti ada keterkaitan antara uang yang ada di rekening itu dengan atasanya. Sekjen Transparancy Internasional Indonesia, Teten Masduki, menyebut PNS itu hanya operator dari bos-bosnya. Tidak mungkin dengan jabatan yang masih rendah akan bisa melakukan penyelewengan secara maksimal.
Jika persoalan ini tidak usut secara tuntas dengan hukuman yang setimpal dan seberat-beratnya, akan ada kemungkinan regenerasi koruptor yang semakin besar. Karena gereget darah muda yang dimiliki PNS atau jajaran elite kita masih panas. Mereka suka mencoba-coba, apalagi melihat hukuman bagi koruptor tidak terlalu berat.
● -
Revivalisme Islam Asia Tenggara
Revivalisme Islam Asia TenggaraHery Sucipto, DIREKTUR PUSAT KAJIAN TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM (PKTTDI) FISIP-UMJSumber : REPUBLIKA, 12 Desember 2011Perang Salib telah membuat dunia Islam semakin terpuruk. Dunia Islam berada di bawah penjajahan negara-negara Barat. Sejak saat itu dunia Islam menghadapi fron perjuangan selanjutnya, yakni melawan penjajahan. Hasilnya, pada pertengahan abad 20, dunia Islam berhasil mengenyahkan penjajahan dan merebut kembali kemerdekaan. Dengan diperolehnya kemerdekaan, umat Islam punya kesempatan untuk membangun kembali kejayaan peradabannya sebagaimana pernah diraih kekhalifahan Umayah di Baghdad dan kekhalifahan Abbasiyah di Kordova.Jika di masa lalu peradaban Islam bersinar di Timur Tengah dan Eropa, di era globalisasi sekarang ini banyak yang meyakini bahwa fajar kebangkitan Islam akan terbit dari Asia Tenggara. Indonesia dan Malaysia menjadi bagian terpenting yang berpotensi untuk memimpin dunia baru Islam. Sementara cahaya peradaban yang pernah terbit di Timur Tengah kini telah redup. Di abad modern ini tidak ada lagi optimisme bahwa Timur Tengah akan mampu mempertahankan kegemilangan peradaban yang pernah ditorehkan di pentas sejarah.
Sementara itu, Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, semakin solid. Berbagai rintangan dan krisis yang mewarnai perjalanan menuju kebangkitan dan kemajuan dapat diatasi secara perlahan tapi pasti. Konsolidasi yang semakin solid di tingkat regional dan internasional menjadi instrumen ampuh untuk mewujukan potensinya sebagai pemimpin baru dunia Islam.
Islam kontemporer
Islam di Asia Tenggara tumbuh subur dan berkembang pesat menjadi sebuah kekuatan besar yang patut diperhitungkan. John L Esposito dalam artikelnya berjudul “Islam’s Southeast Asia Shift, a success that Could Lead Renewal in the Muslim World” yang dimuat Asiaweek edisi 4 April 1997 menyoroti perkembangan Islam di Asia Tenggara pada masa kontemporer ini. Ketika banyak orang mengidentikkan Islam dengan Arab, Esposito mengatakan, Islam Asia Tenggara adalah Islam periferal. Pada tahun 1990-an, Esposito mengungkapkan kekagumannya bahwa Islam di Asia Tenggara terutama di Malaysia dan Indonesia akan memainkan peranan penting dalam memimpin dunia Islam.Ramalan bahwa fajar kebangkitan dunia Islam akan terbit dari Asia Tenggara telah banyak disampaikan para pakar dan ilmuwan, baik sarjana Barat maupun sarjana Timur (buku-buku yang membahas soal ini antara lain: Mohammed Ayoob (Ed), 1981, The Politic of Islamic Resurgence, Croom Helm London; James P Piscatory (Ed), 1983, Islam in the Political Process, Cambridge University Press; John L Esposito (Ed), 1983, Voices of Resurgent Islam, Oxford University Press). Mereka hampir memiliki keyakinan yang seragam bahwa kebangkitan Islam Asia Tenggara merupakan sesuatu yang taken for granted. Para sarjana Barat dan Timur mengakui kebangkitan Asia Tenggara, baik secara historis, sosiologis, politis, maupun secara natural.
Di samping ramalan itu, berdasarkan pada catatan sejarah, pembaruan Islam baik secara politis maupun kultural pada umumnya selalu datang dari kawasan periferal, seperti Iran, Turki Usmani, Asia Selatan, dan Asing Tenggara, yang membentangkan kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan besar. Pada abad ke-21 ini, sejarah itu sepertinya akan mengulangi dirinya sendiri, yakni pembaruan akan kembali datang dari kawasan periferal. Kawasan Asia Tenggara akan terus bergeser dengan bergerak menuju ‘pusat’ sebagai sebuah kekuatan dinamis, yakni pembaruan dalam tubuh Islam dan masyarakat Islam. Alhasil, dunia baru Islam di era globalisasi ini akan dimulai dari Asia Tenggara.
Era globalisasi yang ditandai dengan globalisasi ekonomi menampilkan Asia sebagai sebuah pasar kuat. Komunikasi massa juga telah memacu penemuan kembali Islam Asia Tenggara, baik secara kultural maupun ekonomi. Pada saat dunia Arab dibayang-bayangi kepentingan strategis minyak dan ledakan politik Asia Barat, Malaysia dan Indonesia muncul sebagai pemain penting dalam kepemimpinan dunia Islam. Pertumbuhan ekonomi Malaysia, politik Muslim, dan pluralisme mengubur stereotip negatif yang ditampilkan oleh peristiwa-peristiwa dari Revolusi Iran sampai perang sipil Aljazair.
Ketika dunia memandang Islam tidak cocok dengan abad modern dengan tuduhan terorisme dan radikalisme, Islam Asia Tenggara memperlihatkan alternatif-alternatifnya. Islam di Asia Tenggara jauh lebih multireligius, multikultural, moderat, dan pluralistik. Di Asia Tenggara terdapat dinamisme, kesejahteraan, dan pertumbuhan yang tidak terdapat di kawasan Asia Barat. Para intelektual Muslim memainkan peran lebih besar dalam membangun Indonesia dan Malaysia.
Di Indonesia, peran Islam sudah semakin transparan dalam lanskap politik dan institusi, dalam pemerintahan sampai ke LSM-LSM. Para sarjana dan profesional sedang memformulasikan suatu bentuk pemikiran kreatif tentang pembaruan keagamaan, sosial, demokratisasi, pluralisme, dan hak-hak perempuan dalam dunia Islam.
Malaysia dan Indonesia adalah sebentuk jawaban bahwa Islam sangat kompatibel dengan era modernisasi, dan peradaban Islam juga tidak pernah berkonflik dengan Barat. Kedua negara itu juga dengan terang-terangan menegaskan identitas keislamannya, namun pada saat yang sama mempromosikan pluralisme.
Karakteristik Islam Asia Tenggara
Melihat perkembangan dan dinamikanya saat ini, Islam di Asia Tenggara sangatlah unik dan setidaknya memiliki empat karakteristik. Pertama, pluralis. Fakta sejarah memang mencatat bahwa budaya Islam Melayu dari segi keagamaannya, secara fikih yang menonjol adalah madzhab Syafi’i, dan secara teologis adalah Asy’ari. Namun, pada perkembangan kontemporer di era globalisasi ini, di mana berbagai aliran dapat masuk dan berkembang pesat, dunia Melayu semakin menonjolkan pluralisme keagamaan.Kedua, toleran. Di samping kebudayaan orang-orang Melayu sendiri yang menonjolkan budaya toleransi yang kuat, penyebaran Islam di bumi Melayu tidak pernah mengenal model fundamentalisme Islam. Fundamentalisme tersebut hanya terjadi sekali ketika gerakan Paderi muncul di Sumatra Barat dengan menempuh jalan kekerasan. Fundamentalisme juga muncul belakangan ini, namun sudah banyak ditentang oleh arus utama yang lebih representatif.
Ketiga, moderat. Islam yang tumbuh di Malaysia dan Indonesia memiliki sikap yang lebih moderat, toleran, dan kooperatif kepada penguasa. Berbeda dengan pertumbuhan Islam di Timur Tengah yang lebih opresif terhadap lawan-lawan politiknya. Ideologi politik Indonesia dan Malaysia adalah ideologi yang sangat relevan dengan ajaran-ajaran Islam. Ideologi Pancasila di Indonesia dinilai sudah sesuai dengan Islam sehingga tidak perlu ditentang dengan kekerasan. Bahkan di Malaysia, Islam disebut agama seni sehingga persoalan-persoalan ideologis tidak akan pernah menjurus pada konflik kekerasan.
Keempat, pendekatan kultural. Di Malaysia, Islam dikembangkan dengan jalan kultural. Salah satunya dengan pembentukan Jaringan Usahawan Melayu Antarbangsa (JUMA). Begitu juga di Indonesia, sejak berlakunya kebijakan fusi partai-partai Islam umat Islam lebih memilih jalur kultural sebagai wahana perjuangannya. Berbeda dengan dunia Timur Tengah, Islam disebarkan dengan pendekatan politik sehingga sampai detik ini sering kali mengalami kegagalan.
● -
Ekumenisme dan Masyarakat Terbuka
Ekumenisme dan Masyarakat TerbukaUlil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)Sumber : JIL, 12 Desember 2011Dalam setiap peradaban atau lingkungan kebudayaan, atau lebih kecil lagi lingkungan tradisi tertentu, selalu akan kita jumpai dua kelompok yang saling berseberangan: kaum puritan dan kaum ekumenis. Kaum puritan – yakni mereka yang hendak menjaga kemurnian tradisi dan peradaban. Kaum ekumenis – yakni mereka yang membuka diri pada komunikasi dengan, juga pengaruh dari tradisi dan peradaban yang lain.Entah kenapa, tampaknya setiap peradaban cenderung membutuhkan semacam “lawan” di seberang yang menjadi kebalikan dari citra-diri (self image) peradaban itu – semacam “enemy in the mirror” (istilah Roxanne L. Euben). Mungkin dengan lawan semacam itu, suatu peradaban agak mudah menegakkan garis batas antara apa yang tergolong “peradaban” dan “non-peradaban”.Bangsa Yunani, misalnya, mengenal istilah “barbar” (dari kata barbaros): mereka yang bukan warga negara (civis), dan dengan demikian juga tak beradab. Dalam tradisi Yahudi, dikenal istilah gentiles: orang-orang non-Yahudi yang dipandang lebih rendah karena menyembah “ilah-ilah” atau Tuhan palsu. Dalam tradisi Arab, dikenal istilah ‘ajami (plural: ‘ajam): orang-orang non-Arab yang berkomunikasi dalam bahasa yang buruk (‘ujmah), dan karena itu sulit dipahami. Dalam tradisi fikih Islam klasik, dikenal dua istilah yang oleh kaum Islamis-radikal di era modern dieksploitasi untuk merumuskan pandangan dunia yang dikotomis: dar al-Islam (negara Islam) dan dar al-harb (negara perang atau non-Islam). Dalam peradaban India kuno dikenal istilah mleccha – yakni orang-orang yang berasal dari luar etnik Aria dan dianggap sebagai bangsa yang kotor. Dan seterusnya, dan seterusnya.Dalam setiap peradaban terdapat juga kecenderungan “centrism” – kecenderungan melihat dirinya sebagai pusat dunia (paku buwana, paku dunia, istilah dalam tradisi politik Jawa), sebagai puncak perkembangan dari yang terbaik pada zamannya, dan karena itu cenderung memandang orang-orang lain yang berada di luar lingkup pengaruhnya dengan mata yang agak merendahkan. Bahkan, suatu peradaban kadang memandang “peradaban” lain sebagai pesaing, kalau tidak malah lawan yang harus disingkirkan.Tentu saja, kecurigaan antara peradaban tak menghalangi adanya kontak dan saling pengaruh antar mereka. Secara historis kontak antar peradaban sebetulnya jauh lebih sering berlangsung ketimbang permusuhan. Meskipun tetap ada, permusuhan biasanya bersifat intermittent, kadang-kadang saja, tidak berlangsung terus-menerus.Wahana di mana kontak ini berlangsung sangat beragam, umumnya pada sektor budaya, pengetahuan, ekonomi, dan kehidupan sehari-hari yang berwatak fluid, cair. Salah satu contoh sangat baik adalah kegiatan penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani pada era Islam klasik, persisnya pada zaman dinasti Abbasiyah (r. 750-1519 M) di Baghdad – terutama buku-buku filsafat. Kegiatan penerjemahan yang penuh antusiasme ini direkam oleh seorang Arabist dari Universitas Yale, Dimitri Gutas, dalam bukunya Greek Thought, Arabic Culture (1998).Kontak dan saling pengaruh antar peradaban memang sama sekali tak terhindarkan. Hampir mustahil membayangkan suatu peradaban yang “murni” secara total, serta terisolasi sama sekali dari pengaruh-pengaruh di sekitarnya. Memang, dalam setiap peradaban/kebudayaan selalu kita jumpai kaum purist, mereka yang menghendaki kemurnian total bagi peradaban tertentu, serta hendak membersihkan elemen-elemen asing yang “najis” yang akan mengotorinya.Tetapi, yang menghuni peradaban, bukan hanya kaum puritan saja. Ada orang-orang lain yang, saya kira, jauh lebih banyak jumlahnya, yang ingin saya sebut sebagai kaum ekumenis – mereka yang hendak membangun kontak dan komunikasi antar peradaban dan kebudayaan (hiwar al-hadarat, istilah mantan presiden Iran Muhammad Khatami dulu).Yang menarik, permusuhan antar peradaban biasanya cenderung terjadi antara kaum “puritan” dari peradaban yang satu vis-a-vis kaum puritan dari peradaban lain. Apa yang pernah dikatakan oleh Tariq Ali, penulis The Clash of Fundamentalisms, memang tepat: yang kerap terjadi adalah benturan antara kaum fundamentalis dari satu tradisi tertentu dengan kaum fundamentalis dari tradisi lain – fundamentalisme Usamah bin Ladin di satu pihak, dan fundamentalisme George W. Bush di pihak lain.“Permusuhan” juga biasa terjadi antara kaum puritan dan ekumenis dalam peradaban (atau agama) tertentu; sementara kaum ekumenis dari pelbagai peradaban yang berbeda-beda biasanya akan mudah untuk saling berjumpa satu dengan yang lain. Kaum ekumenis yang biasanya pro-dialog dari agama tertentu, misalnya, juga akan dengan mudah bertemu serta berkomunikasi dengan kaum ekumenis dari agama lain.Jumlah kaum ekumenis dalam setiap peradaban biasanya jauh lebih banyak ketimbang kaum puritan. Salah satu penjelasannya sederhana: wahana peradaban yang paling kongkrit adalah kehidupan sehari-hari yang dihuni oleh masyarakat pada umumnya. Watak kehidupan semacam itu biasanya terbuka, cair, dan akomodatif. Dalam arena kehidupan sehari-hari inilah perjumpaan dan saling-pengaruh antar peradaban dan kebudayaan biasa berlangsung secara diam-diam. Proses saling pengaruh itu kerap berlangsung di luar pengawasan kaum “literati” atau “terpelajar” (the learned) yang biasanya menobatkan dirinya sebagai penjaga kemurnian.Pengaruh kaum puritan kerap menguat dalam momen-momen tertentu – misalnya saat terjadi perubahan yang cepat yang menghancurkan fondasi normatif dan kelembagaan yang lama dalam sebuah masyarakat, sementara fondasi yang baru belum dirumuskan. Dalam momen-momen krisis atau adanya ancaman dari “luar”, pengaruh kaum puritan juga biasanya akan meningkat. Bahaya akan muncul manakala puritanisme itu kemudian bercampur-aduk dengan unsur “politik” (dalam pengertian perebutan sumber-sumber daya yang biasanya langka dalam masyarakat). Fundamentalisme muncul persis pada titik itu: yakni proses politisasi atas “perbedaan” yang ada antar budaya, peradaban, tradisi, atau agama (politicization of difference, dalam istilah Thomas Meyer, seorang political theorist dari Jerman).Sebagaimana ditunjukkan dalam banyak kasus di negeri-negeri Timur Tengah dan lainnya, peran kaum puritan juga membesar dalam situasi di mana kekuasaan politik otoriter bercokol untuk waktu yang lama (Indonesia, Mesir, Tunisia, ds.), menghancurkan kekuatan-kekuatan pengimbang (oposisi) dalam masyarakat. Dalam situasi semacam itu, biasanya puritanisme muncul sebagai artikulator kepentingan masyarakat luas yang ditindas oleh penguasa otoriter.Begitu kekuasaan otoriter itu tumbang, digantikan dengan sistem baru yang lebih terbuka, pelan-pelan pengaruh kaum puritan akan memudar, sementara kecenderugan ekumenis akan menguat. Politisasi identitas dan perbedaan yang dilakukan oleh kaum puritan biasanya akan mudah terjadi dalam masyarakat yang tertutup. Dalam masyarakat terbuka (open society dalam pengertian yang dipahami oleh Karl Popper), di mana informasi, pengetahuan serta ‘penelaahan kritis’ (critical inquiry) tersedia secara memadai bagi masyarakat, puritanisme (fundamentalisme) biasanya akan pelan-pelan melemah, sementara ekumenisme akan mengalami pengukuhan. Masyarakat pengetahuan tidak bisa lain kecuali akan menjadi masyarakat yang terbuka, karena watak pengetahuan itu sendiri yang selalu membuka diri pada kritik dan kontra-kritik (bandingkan dengan ideologi yang biasanya cenderung menutup).Yang menarik ialah tekanan yang begitu besar yang diberikan oleh Islam terhadap dimensi pengetahuan (‘ilm). Dalam pandangan saya, ini menandakan visi sosial yang dikehendaki Islam ialah tegaknya masyarakat yang terbuka (open society), di mana pertukaran informasi, pengetahuan dan perbedaan pendapat bisa berlangsung dengan bebas. Masyarakat yang tertutup (biasanya menjadi ciri khas puritanisme) tidaklah meggambarkan visi sosial yang dikehendaki oleh Islam.Masyarakat yang terbuka biasanya juga akan memperkuat kecenderungan-kecenderungan yang moderat dalam masyarakat, sementara masyarakat yang tertutup justru mendorong tumbuhnya sejumlah kecenderungan puritan yang ekstrem. Tentu saja, dalam masyarakat yang terbuka bisa saja muncul tendensi puritan pada golongan tertentu, biasanya sebagai reaksi atas lanskap kultural dalam masyarakat yang kian mencair, melemahnya identitas, serta suasana sosial yang cenderung “serba boleh” (easy-going-ism).Akan tetapi kecenderungan puritan semacam ini sulit meluaskan cakupan pengaruhnya karena kleim puritanisme oleh satu kelompok akan dengan mudah disanggah oleh kleim serupa dari kelompok lain. Dalam masyarakat yang terbuka, sejumlah kleim yang berbeda-beda tentang puritanisme bisa muncul secara simultan dan berkompetisi satu dengan yang lain. Dalam suasana semacam ini, terjadi proses “check and recheck” pada tataran kehidupan kebudayaan. Inilah yang menjelaskan kenapa moderasi adalah ciri yang selalu menandai masyarakat yang terbuka.Jika Islam menghendaki tegaknya masyarakat yang moderat (ummatan wasathan; QS 2:143), maka cita-cita ini tidak bisa lain kecuali dicapai dengan bentuk masyarakat yang terbuka. Ada kecenderungan untuk memahami ide “moderasi” sebagai sesuatu yang sudah ada begitu saja dari awalnya (given). Moderasi, menutu hemat saya, adalah hasil akhir dari suatu proses, dan harus diperjuangkan, bukan sesuatu yang sudah ada dan tersedia begitu saja dalam masyarakat. Proses menuju moderasi tak bisa dicapai kecuali melalui masyarakat yang terbuka di mana pandangan-pandangan yang “ekstrem” (termasuk juga yang puritan) dengan bebas bisa dikemukakan, dan pelan-pelan, melalui proses dialog terus-meneru, dua kecenderungan itu kemudian mengalami proses “pelunakan”.Dalam masyarakat yang terbuka, fungsi dialog adalah persis seperti mesin bubut yang menghaluskan permukaan yang kasar pada setiap benda. Sebaliknya, dalam masyarakat yang tertutup, “permukaan-permukaan yang kasar” itu tak mendapatkan kesempatan untuk mengalami proses gesekan dengan kecenderungan yang beragam dalam masyarakat untuk kemudian, melalui gesekan itu, mengalami penghalusan (moderasi).Demikianlah, jika kita menghendaki agar kecenderungan ekumenistis, dialog, dan moderasi makin menguat dalam masyarakat, maka tiada jalan lain kecuali kita harus terus berusaha membangun masyarakat yang terbuka, sekaligus mempunya komitmen yang kuat pada kerangka etis tertentu. Saya hendak menyebutnya “open and ethical society”.● -
Mampukah Kapitalisme Modern Bertahan?
Mampukah Kapitalisme Modern Bertahan?Kenneth Rogoff, GURU BESAR EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK PADA HARVARD UNIVERSITY, MANTAN EKONOM KEPALA PADA IMFSumber : KORAN TEMPO, 12 Desember 2011Saya sering ditanya apakah krisis keuangan global yang terjadi saat ini menandai awal berakhirnya kapitalisme modern. Suatu pertanyaan yang menggelitik, karena ia tampaknya beranggapan bahwa sudah ada penggantinya yang menunggu di balik ayar. Sebenarnya, untuk saat ini, satu-satunya alternatif yang serius untuk menggantikan paradigma Anglo-Amerika yang saat ini dominan adalah bentuk lain dari kapitalisme itusendiri.Kapitalisme kontinental Eropa, yang menggabungkan tunjangan sosial dan kesehatan yang murah hati dengan jam kerja yang wajar, cuti yang panjang, pensiun muda, dan distribusi pendapatan yang relatif merata, tampaknya memiliki segalanya yang bisa diterima—kecuali kesinambungannya. Kapitalisme Cina, yang keras, dengan persaingan yang ketat di antara perusahaan-perusahaan ekspor negeri itu dan jaring pengaman sosial yang lemah serta campur tangan pemerintah yang luas, banyak disebut-sebut sebagai ahli waris tak terelakkan dari kapitalisme Barat. Ini bukan hanya karena luasnya negeri itu serta laju pertumbuhannya yang konsisten tetap tinggi. Tapi sistem ekonomi Cina itu sendiri juga terus mengalami evolusi.Sesungguhnya tidak jelas seberapa jauh struktur politik, ekonomi, dan keuangan Cina ini bakal terus bertransformasi, dan apakah Cina pada akhirnya akan berubah menjadi lembaran kapitalisme baru. Bagaimanapun, Cina masih dibebani kerentanan sosial, ekonomi, dan keuangan suatu negara berpenghasilan rendah yang tumbuh dengan pesat.Barangkali persoalan yang sebenarnya adalah bahwa, dalam lingkup sejarah, semua bentuk kapitalisme sekarang ini pada akhirnya bakal mengalami transisi. Kapitalisme modern sudah mengalami perjalanan yang luar biasa panjangnya sejak dimulainya revolusi Industri dua abad yang lalu, yang berhasil mengangkat miliaran manusia awam dari lembah kemiskinan. Bandingkan dengan Marxisme dan sosialisme, yang punya catatan yang penuh bencana. Tapi, sementara industrialisasi dan kemajuan teknologi menyebar ke Asia (dan sekarang ke Afrika), suatu hari kelak perjuangan untuk hidup itu bakal tidak lagi menjadi tujuan utama, sementara berbagai cacat kapitalisme terlihat makin terang-benderang.Pertama, bahkan ekonomi-ekonomi utama kapitalis telah gagal mengenakan harga pada public goods, seperti udara dan air yang bersih, dengan efektif. Gagalnya upaya mencapai kesepakatan yang baru mengenai perubahan iklim menunjukkan gejala-gejala kelumpuhan ini.Kedua, bersama dengan berlimpahnya kekayaan, kapitalisme telah menghasilkan tingkatan ketidakmerataan yang luar biasa. Kesenjangan yang semakin lebar sebagian merupakan produk sampingan dari inovasi dan kewiraswastaan. Orang tidak mengeluh mengenai keberhasilan Steve Jobs; sumbangan yang diberikannya jelas. Tapi tidak selalu begitu: kekayaan yang berlimpah telah memberi jalan bagi kelompok-kelompok dan individu-individu untuk membeli kekuasaan dan pengaruh politik, yang kemudian digunakan untuk menambah kekayaan. Cuma segelintir negara—Swedia, misalnya—yang berhasil mengekang lingkaran setan itu tanpa menyebabkan lumpuhnya pertumbuhan.Persoalan ketiga adalah penyediaan dan distribusi layanan medis, suatu pasar yang gagal memenuhi kebutuhan dasar mekanisme harga yang menghasilkan efisiensi ekonomi, dimulai dari sulitnya konsumen menilai kualitas perawatan medis yang mereka terima.Masalah ini cuma bakal bertambah buruk: biaya layanan kesehatan dibandingkan dengan proporsi pendapatan pasti meningkat, sementara masyarakat semakin kaya dan semakin tua, mungkin lebih dari 30 persen dari PDB dalam beberapa dekade. Dalam layanan kesehatan, yang mungkin lebih daripada pasar lainnya mana pun, banyak negara menghadapi dilema moral bagaimana mempertahankan insentif produksi dan konsumsi dengan efisien tanpa menimbulkan disparitas yang tidak bisa diterima dalam akses memperoleh layanan kesehatan ini.Ironisnya, masyarakat kapitalis modern gigih melakukan kampanye publik yang menganjurkan orang agar lebih memperhatikan kesehatan mereka, sementara di sisi lain mendorong suatu ekosistem ekonomi yang memikat konsumen melakukan diet atau cara makan yang tidak sehat. Menurut Centers for Disease Control di Amerika Serikat, 34 persen rakyat negeri itu mengalami obesitas. Jelas, pertumbuhan ekonomi menurut ukuran konvensional, yang ditekankan pada tingginya konsumsi, tidak bisa menjadi tujuan yang hendak dicapai itu sendiri.Keempat, sistem kapitalis saat ini sangat tidak menghargai kesejahteraan generasi yang belum lahir. Sepanjang sejarah sejak Revolusi Industri, hal ini tidak dianggappenting. Sedangkan manfaat kemajuan teknologi telah dijadikan alasan diberlakukannya kebijakan-kebijakan yang dangkal. Secara keseluruhan, tiap generasimengalami hidup yang lebih dari generasi sebelumnya, Tapi, dengan melonjaknya jumlah penduduk dunia yang sekarang sudah mencapai lebih dari tujuh miliar, serta ancaman kendala sumber daya yang tampak semakin nyata, tidak ada jaminan bahwa kemajuan ini bisa terus dipertahankan.Krisis keuangan jelas merupakan masalah kelima, mungkin masalah yang telah menimbulkan pemikiran yang mendalam akhir-akhir ini. Dalam dunia keuangan, inovasi teknologi yang terus-menerus itu tidak berhasil mengurangi risiko, dan mungkin bahkan telah memperbesarnya.Pada prinsipnya, tidak ada di antara masalah-masalah kapitalisme itu yang tidak bisa diatasi, dan para ekonom telah menawarkan berbagai solusi berbasis pasar. Dikenakannya harga karbon secara global akan mendorong perusahaan-perusahaandan individu-individu menginternalisasi ongkos berbagai kegiatan yang menimbulkan solusi. Sistem perpajakan bisa dirancang untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi redistribusi pendapatan tanpa perlu melibatkan langkah-langkah ang mendistorsi keadaan, dengan mengurangi pengeluaran dana pajak yang tidak transparan dan menekan tingkat laba. Pengenaan harga layanan kesehatan yang efektif bisa mendorong keseimbangan yang lebih baik antara pemerataan dan efisiensi. Sistem keuangan bisa diregulasi dengan lebih baik, dengan perhatian yang lebih ketat diberikan pada akumulasi utang yang berlebihan.Akankah kapitalisme menjadi korban dari keberhasilannya sendiri dalam memberikankelimpahan kekayaan? Di saat topik berakhirnya kapitalisme banyak dibicarakan, kecil kemungkinan hal itu akan terjadi. Meski demikian, sementara polusi, ketidakstabilankeuangan, masalah kesehatan, dan ketidakmerataan terus meningkat, dan sementara sistem politik mengalami kelumpuhan, masa depan kapitalisme tampaknya tidak begitu pasti seperti terlihat sekarang. ●HAK CIPTA: PROJECT SYNDICATE, 2011. -
Aksi Bakar Diri dan Moralitas Negara
Aksi Bakar Diri dan Moralitas NegaraJoko Riyanto, KOORDINATOR RISET PUSAT KAJIAN DAN PENELITIAN KEBANGSAAN (PUSKALITBA) SOLOSumber : KORAN TEMPO, 12 Desember 2011Saya terentak ketika mendengar kabar bahwa aksi bakar diri di depan Istana dilakukan mahasiswa yang aktif bersolidaritas terhadap perjuangan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Ia adalah Sondang Hutagalung, 22 tahun, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno angkatan 2007. Sondang adalah aktivis komunitas Sahabat Munir sejak satu setengah tahun lalu (Koran Tempo, 10 Desember 2011).Jika dilihat dari sasaran aksinya, yakni di depan Istana Negara, jelas bahwa si pelaku bakar diri menjalankan aksi protes terhadap rezim. Ia punya sasaran protes yang sangat jelas: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Wakil Presiden Boediono.Sangat mungkin, motif dari aksi protes bakar diri adalah ketidakpuasan terhadap rezim SBY-Boediono. Selama dua periode SBY memerintah, tidak ada perbaikan sedikit pun terhadap kehidupan rakyat. Yang terjadi justru sebaliknya: kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, korupsi merajalela, biaya hidup makin meroket, dan lain sebagainya.Sondang Hutagalung mengingatkan kita pada Mohamed Bouazizi, seorang sarjana Tunisia yang melakukan bakar diri di depan khalayak ramai. Aksi bakar diri Bouazizi, seorang pedagang sayur dan buah-buahan, ini merupakan protes atas kesewenangandan ketertindasannya selama ini yang dilakukan oleh penguasa setempat. Juga Chun Tae Il, aktivis buruh di Korea Selatan, melakukan bakar diri karena tidak tahan terhadap kondisi pemerintahannya.Tindakan bakar diri ini jelas sudah menjurus pada “kenekatan” rakyat. Media massa setiap hari merekam perlawanan-perlawanan sosial perseorangan maupun kelompok masyarakat terhadap kebijakan negara yang tidak adil. Tapi pemerintah sepertinya tidak pernah mau mendengarkan suara rakyat yang disuarakan mahasiswa, disuarakan para aktivis/LSM, dan disuarakan tokoh lintas agama. Pemerintahan yang berkuasa selalu menyangkal dan menunda pemenuhan tuntutan berbagai lapisan rakyat bawah.Inilah ironisnya, di mana negara sebenarnya lahir dan dibangun di atas dasar kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah, yang sama-sama menderita, dan teleologi-kebaikan umum (common good) sebagaimana tesis Ernest Rennan tentang lahirnya sebuah negara kebangsaan dengan memiliki cita-cita yang sama. Tetapi, dalam praksisnya, negara tidak pernah sanggup membangun kesejahteraan bagi seluruh masyarakat bangsa dan mengantarkannya kepada pemenuhan cita-cita bersama sebagai wujud moralitas dan etika politik negara.Masyarakat tidak pernah mengalami proteksi sosial, politik, dan ekonomi memadai. Itu juga merupakan gambaran situasi dan kondisi kehidupan masyarakat bangsa di mana negara tidak pernah hadir secara serius untuk menunjukkan keberpihakannya. Artinya, semua itu merupakan wujud konkret tak terbantahkan dari materialisme politik, hedonisme ekonomi, dan kapitalisme total kekuasaan yang sedang mencapai puncak popularitasnya dalam rangkaian hidup negara selama ini. Dan kaum miskin pun benar-benar kian terjungkal dan semakin dijadikan obyek penderita, ibarat domba korban yang diantar ke pelataran mesbah, bisu, tiada berkata, hanya sorot mata pilu pengiringinya.Ternyata kemerdekaan kita yang sudah 66 tahun ini tak diiringi dengan kemerdekaan dari penderitaan dan kesejahteraan. Penderitaan rakyat di republik ini mirip yang digambarkan dalam metafora Antony Giddens dalam The Third Way (1990) dengan sebutan Juggernaut (truk besar yang meluncur tanpa kendali karena beratnya beban).Bahkan mungkin republik ini mirip pula dengan sinyalemen lain (Giddens, 1994: 4): manufactures uncertainty (perusahaan ketidakpastian).Kita pun memasuki sebuah situasi yang disebut—meminjam istilah Gramsci— “momen krisis”. Ini momen di mana rakyat mulai tidak puas terhadap kinerja para pejabat di pemerintahan. Maka, kita bertanya sudah sejauh mana implementasi moralitas negara menunjukkan bentuknya dalam mensejahterakan rakyat. Pertanyaan itu perlu diadopsi di sini, mengingat sudah lama kesejahteraan rakyat tidak pernah tercipta di negeri ini. Lantas, kapan rakyat bisa tersenyum (mesem), apalagi tertawa (gemuyu)?Moralitas negara adalah sebentuk perilaku keberpihakan negara yang benar-benar jujur kepada masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab moral yang dimilikinya. Negara tanpa moral adalah negara otoritarianisme dan diktator. Filsuf Jean Jacques Rousseaumengistilahkannya sebagai volonte generale untuk melokalisasi pihak-pihak yang dianggap masuk kriteria tanggung jawab negara saat memanifestasikan perlindungannya.Aksi bakar diri di depan Istana, seharusnya, menggugah kesadaran pemerintahan SBY-Boediono untuk secepatnya berbenah, karena makin banyak rakyat yang frustrasi akibat berbagai ketidakadilan. Masih segar dalam ingatan kita, ketika Presiden SBY dilantik, komitmennya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, membangun demokrasi yang lebih bermartabat, dan membumikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Janji itulah yang kini dan terus ditagih rakyat sepanjang periode pemerintahan SBY-Boediono.Di mata rakyat, pemimpin ideal itu “melindungi tiap orang untuk hidup dengan cara yang layak, dan harus mencegah kemungkinan bahwa seseorang menjadi terlunta-lunta dansengsara dalam kehidupan materiilnya” (Kleden, 2004: xxi). Negara tidak selayaknya membuat rakyat sengsara. Pada tataran itulah, segala macam kepincangan dalam tata ruang negara, kemiskinan, pengangguran, kapitalisme, monopoli ekonomi, krisis energidan pangan, sepenuhnya harus menjadi tanggung jawab moral negara untuk direkonstruksi. Dan sinilah peran dan kebijakan pemimpin sangat dibutuhkan dalam membebaskan rakyat dari kesengsaraan, yang selanjutnya membuat rakyat sejahtera sehingga rakyat pun bisa tersenyum, bukan melakukan aksi bakar diri. ● -
Berita Gembira (?) dari Eropa
Berita Gembira (?) dari EropaSunarsip, CHIEF ECONOMISTSumber : REPUBLIKA, 12 Desember 2011Pada 8-9 Desember lalu, telah berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Uni Eropa (UE). Tujuan utama digelarnya KTT ini adalah untuk merumuskan pakta kebijakan fiskal baru sebagai syarat untuk menjamin kelancaran program penyelesaian krisis di Eropa.Terdapat dua butir kesepakatan penting dari pakta kebijakan fiskal baru ini. Pertama, negara UE berkewajiban menjaga defisit struktural anggaran pemerintah sebesar 0,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ketentuan ini harus diinternalisasikan ke dalam konstitusi mereka. Ketentuan ini juga harus mengandung mekanisme koreksi secara otomatis ketika terjadi penyimpangan.
Kedua, kesepakatan fiskal baru ini juga akan memiliki prosedur dan kontrol bagi negara-negara yang defisit anggarannya melebihi 3 persen dari PDB (sesuai Maastricht Treaty). Konsekuensinya, akan ada penalti bagi anggota UE yang memiliki defisit anggaran di atas 3 persen dari PDB.
KTT UE juga menyepakati sejumlah rencana percepatan penyelesaian krisis di Eropa. Pertama, menghentikan keterlibatan swasta dalam penyelesaian utang dan akan lebih mengandalkan IMF. Kedua, UE akan menaikkan plafon dana talangan melalui the European Stability Mechanism (ESM) atau the European Financial Stability Facility (EFSF) hingga 500 miliar euro (670 miliar dolar AS) pada Maret 2012.
Ketiga, UE juga sepakat untuk menyuntikkan dana tambahan kepada IMF sebesar 200 miliar euro (270 miliar dolar AS) dalam bentuk pinjaman bilateral untuk menjamin IMF memiliki dana yang cukup guna mengatasi krisis di Eropa. Dari jumlah itu, sebesar 150 miliar euro berasal dari negara-negara Zona Euro.
Secara umum, hasil kesepakatan dari KTT UE menyiratkan sentimen positif bagi proses pemulihan krisis Eropa. Setelah kesepakatan tersebut, negara-negara lain juga menyatakan minatnya untuk membantu penyelesaian krisis di Eropa, terutama setelah dibukanya mekanisme penyelesaian krisis melalui IMF. Cina yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia menegaskan kesediaannya untuk membantu Eropa. Negara-negara G-20 juga membuka diri ikut terlibat dalam penyelesaian krisis Eropa melalui peminjaman dana kepada IMF dengan syarat negara-negara tersebut melakukan hal yang sama seperti yang telah digariskan dalam kesepakatan KTT UE tersebut.
Serangkaian kejadian pada akhir pekan lalu tersebut menjadi berita gembira bagi pemulihan krisis di Eropa. Faktanya, pascadicapainya kesepakatan tersebut, pasar keuangan global memberikan reaksi positif. Indeks Dow Jones pada Jumat (9 Desember) mengalami kenaikan 186,56 poin atau 1,6 persen menjadi 12.184,26 poin. Pasar saham Eropa secara umum juga menguat. Sayangnya, pasar obligasi pemerintah tidak bergerak setelah European Central Bank (ECB) menegaskan tidak akan melakukan pembelian obligasi pemerintah secara agresif. Padahal, pasar berharap ECB aktif membeli obligasi pemerintah, terutama obligasi dari negara Eropa yang terkena krisis.
Namun, sinyal positif ini diperkirakan belum akan memberikan keyakinan yang cukup bahwa krisis Eropa akan cepat berakhir. Ini mengingat di saat yang sama juga terdapat berita negatif terkait dengan krisis Eropa. Belum lama ini, Standard & Poor’s (S&P) mengancam akan menurunkan credit rating untuk EFSF sebesar satu-dua peringkat jika ada penurunan credit rating dari negara-negara yang menjadi penjaminnya.
Di sisi lain, Moody’s juga telah memotong peringkat utang tiga bank raksasa asal Prancis, seperti BNP Paribas, Societe Generale dan Credit Agricole. Moody’s menurunkan peringkat utang BNP dan Credit Agricole sebanyak satu tingkat menjadi Aa3, sedangkan peringkat Societe Generale dipotong satu tingkat menjadi A1.
Seiring dengan penurunan peringkat utang yang dialami sejumlah negara dan lembaga keuangan di Eropa, harga obligasi sejumlah negara di Eropa kembali tertekan. Secara otomatis, imbal hasil atau yield obligasi tersebut terkerek naik. Pemangkasan peringkat utang itu tentunya akan meningkatkan biaya utang yang secara tak langsung akan menambah beban bagi negara Eropa yang memperoleh pembiayaan dari surat utang tersebut.
Krisis di Eropa ini tentunya perlu dicermati secara serius. Ini mengingat krisis yang disebabkan akibat membengkaknya utang pemerintah ini diperkirakan masih akan berlangsung lama akibat ketidakpastian atas penyelesaiannya serta dimensi permasalahannya yang sangat luas. Saat ini tengah terjadi suatu lingkaran buruk yang secara negatif saling memengaruhi, yaitu antara krisis utang pemerintah, kondisi perbankan yang merapuh, dan aktivitas ekonomi yang melambat, yang pada gilirannya dapat mengeskalasi krisis lebih buruk dan berkepanjangan.
Krisis Eropa jelas telah memberikan efek negatif terhadap perekonomian kita sekalipun masih relatif minimal. Pengaruh dari krisis Yunani telah kita rasakan sejak pertengahan 2010. Pada 2011, optimisme yang tumbuh pada awal tahun atas prospek ekonomi global kembali memudar ketika lembaga pemeringkat kredit Fitch menurunkan peringkat kredit utang Portugal dan Yunani pada April dan Mei 2011. Pada awal September 2011, skala krisis meluas ke Italia dan Spanyol dan memicu investor menilai ulang risiko berinvestasi serta mereposisi portofolio pada aset emerging market, termasuk di Indonesia.
Kita menyaksikan rupiah mengalami tekanan dalam beberapa bulan terakhir di tengah kondisi pasokan valas yang tidak berimbang. Cadangan devisa kita dalam beberapa bulan terakhir juga mengalami penurunan signifikan, baik karena capital outflow maupun untuk kebutuhan stabilisasi nilai tukar. Pada akhir November 2011, cadangan devisa turun menjadi 111,32 miliar dolar AS dari posisi 113,96 miliar dolar pada Oktober 2011. Dalam tiga bulan terakhir ini, cadangan devisa menurun sebesar 13,3 miliar dolar AS.
Dari jalur perdagangan, krisis Eropa juga telah memperlihatkan pengaruh negatifnya. Ekspor pada Oktober lalu memperlihatkan penurunan yang cukup signifikan, yaitu sebesar -4,21 persen, sedangkan impor mengalami kenaikan sebesar 3,18 persen. Kinerja ekspor impor ini menyebabkan surplus perdagangan mengalami penurunan signifikan menjadi 1,15 miliar dolar dari 2,37 miliar dolar AS pada September 2011. Beruntung, selama 2011, ekonomi Indonesia relatif masih terisolasi dari dampak rambatan krisis Eropa melalui jalur perdagangan karena kuatnya basis permintaan domestik dalam struktur perekonomian.
Pengalaman menunjukkan bahwa penanganan krisis sering menelan biaya yang sangat besar dan waktu yang lama. Sehubungan dengan belum pastinya prospek pemulihan krisis di Eropa, otoritas sektor keuangan perlu mengantisipasi dampak lanjutan dari krisis di Eropa ini dengan mempersiapkan Protokol Manajemen Krisis (PMK).
Ke depan, nantinya PMK ini perlu dituangkan menjadi suatu pedoman dan payung hukum yang mengatur proses pencegahan dan penanganan krisis secara sistematis dan terintegrasi dalam skala nasional melalui Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Dengan kata lain, semestinya pengesahan RUU JPSK ini mendapat prioritas untuk diselesaikan pemerintah dan DPR RI.
● -
Ironi Agrobisnis Hortikultura
Ironi Agrobisnis HortikulturaBustanul Arifin, GURU BESAR UNIVERSITAS LAMPUNG; PROFESSORIAL FELLOW INTERCAFE DAN MB-IPBSumber : KOMPAS, 12 Desember 2011Diskusi publik tentang kinerja hortikultura Indonesia selama seminggu terakhir seharusnya menjadi panggilan bangun tidur (wake-up call) bagi perumus kebijakan dan pejabat pemerintah.Sektor agrobisnis yang seharusnya berpotensi mendorong kesejahteraan petani dan memajukan pertanian Indonesia ternyata jauh dari harapan. Kinerja produksi tidak kunjung membaik, jika tidak dikatakan semuanya hampir menurun.Pada periode 2007-2010, produksi mangga turun 29 persen menjadi 1,3 juta ton, jeruk turun 23 persen menjadi 2 juta ton, durian turun 17 persen menjadi 0,5 juta ton, rambutan turun 27 persen menjadi 0,5 juta ton, dan manggis turun 24 persen menjadi hanya 84.000 kilogram. Produksi pepaya, pisang, dan markisa naik tipis.Pada periode yang sama, produksi bawang merah naik 31 persen menjadi 1,1 juta ton, produksi cabai naik 17 persen menjadi 1,3 juta ton, produksi kubis naik 7 persen menjadi 1,4 juta ton, produksi wortel naik 14 persen menjadi 400.000 ton, dan produksi kentang naik 6 persen menjadi 1,1 juta ton.Kinerja perdagangan hortikultura setali tiga uang. Alih-alih menghasilkan devisa negara, impor sektor hortikultura semakin besar. Sampai Oktober 2011, nilai impor komoditas dan produk olahannya itu tercatat Rp 17,6 triliun atau naik 38 persen dari periode yang sama tahun 2010.Sebaliknya, upaya menembus pasar ekspor komoditas hortikultura tropis nan eksotis, seperti markisa, manggis, paprika, anggrek ungu, dan mawar hitam, seakan menghadapi tembok besar. Persyaratan karantina yang superketat di negara tujuan masih sangat sulit ditembus oleh pelaku hortikultura domestik, kecuali hanya beberapa eksportir. Dalam urusan ini, pemerintah masih belum menunjukkan kinerja yang dapat dibanggakan.Agrobisnis hortikultura memang sangat bervariasi, baik dalam kapasitas pelaku, skala usaha dan akses terhadap informasi, jaringan pasar, teknologi, pembiayaan, maupun perbankan. Subsektor sayuran umumnya melibatkan petani kecil dengan tingkat pendidikan tidak terlalu tinggi, skala usaha ekonomi tidak terlalu efisien, dan sering terombang-ambing oleh struktur pasar yang tidak bersahabat.Subsektor buah-buahan masih mengandalkan musim, tanpa sentuhan teknik budidaya yang memadai sehingga juga cukup sulit menghadapi keganasan administrasi bisnis supermarket dan ritel modern. Kedua subsektor ini seakan mewakili sebagian besar dari agrobisnis hortikultura Indonesia yang sampai saat ini masih sangat rentan terhadap kejutan-kejutan perdagangan internasional, seperti pada kasus banjir impor kentang dan bawang merah selama ini.Sebagaimana khasnya sektor lain yang berisiko tinggi, kesalahan penghitungan sedikit saja pada ekonomi hortikultura dapat mengakibatkan kerugian yang tidak kecil. Tidak terlalu mengherankan apabila inisiatif investasi di sektor hortikultura yang sebenarnya berpenghasilan sangat tinggi itu juga cukup rendah. Pemerintah seakan tidak mampu bekerja keras untuk memfasilitasi aktivitas investasi sektor hortikultura yang amat dibutuhkan saat ini.Beberapa kasus lapangan seakan mengonfirmasi ironi agrobisnis hortikultura sehingga solusi yang harus diambil juga perlu lebih spesifik, tidak pukul rata.Beberapa petani bawang di Brebes, Jawa Tengah, dua minggu lalu, bercerita tentang ketidakpastian dan keterpurukan agrobisnis bawang merah yang mereka usahakan. Petani jelas menderita kerugian ekonomi (dan emosional) jika harga jual bawang merah jatuh sampai Rp 3.000 per kilogram. Ekspektasi petani ketika mulai tanam, harga jual bawang merah setidaknya Rp 10.000 per kilogram. Ketua kelompok tani dengan emosional menyampaikan usul kepada pemerintah agar menutup total impor bawang merah.Seorang sahabat yang menekuni bisnis buah-buahan sejak mahasiswa di era 1980-an ternyata harus mengalami jatuh-bangun yang dahsyat karena agrobisnis buah-buahan memang penuh tantangan dan risiko.Risiko usaha, seperti gangguan cuaca serta serangan hama dan penyakit tumbuhan, tidak terlalu berat dan masih dalam batas toleransi. Beban menjadi besar ketika pelaku di sektor hulu ini harus menanggung risiko pemasaran, potongan harga, kontribusi promosi, dan lain-lain yang diterapkan supermarket dan hipermarket yang menjadi outlet pelaku agrobisnis buah-buahan.Pemerintah perlu mengambil langkah kebijakan. Pertama, izin impor produk hortikultura lebih diperketat, terutama yang berpotensi mencederai ekonomi petani kecil yang jumlahnya sangat besar. Kementerian Pertanian perlu lebih selektif memberikan rekomendasi impor sambil memanfaatkan kaidah-kaidah perlindungan teknis dan ekonomis sebagaimana yang menjadi kewenangan Badan Karantina Pertanian.Kedua, pembenahan struktur pasar hortikultura dalam negeri, termasuk peningkatan kapasitas pelaku tentang peningkatan mutu, persyaratan kesehatan sesuai tuntutan konsumen modern yang lebih beragam.Ketiga, pembenahan fungsi intelijen pasar dan perbaikan diplomasi ekonomi oleh semua kantor perwakilan Indonesia di luar negeri. Langkah ini selain bermanfaat untuk promosi negara Indonesia, juga akan berkontribusi pada peningkatan daya saing agrobisnis secara umum. ●