Category: Uncategorized

  • Perjuangan Harus Pro-Kehidupan, Titik!

    Perjuangan Harus Pro-Kehidupan, Titik!
    Reza Indragiri Amriel, MANTAN KETUA DELEGASI INDONESIA PROGRAM PERTUKARAN PEMUDA, PSIKOLOG
    Sumber : KORAN TEMPO, 13 Desember 2011
    Aksi bakar diri di depan Istana Negara beberapa hari lalu menyisakan pertanyaan. Apakah pelaku melakukan aksi bunuh diri (suicide) namun keburu digagalkan oleh orangorang di lokasi kejadian? Ataukah pelaku pada dasarnya tidak menginginkan kematian kendati aksinya mendekati kematian (parasuicide)?
    Apa pun jawabannya, tindakan mencederai diri sendiri yang ditujukan sebagai
    bentuk protes terhadap ketidakadilan tampak kian berat bobotnya. Dari cap jempol darah, mogok makan, jahit mulut, menyayat kening, hingga bakar diri. Walau tidak berdarah-darah, penghilangan bagian tubuh sebagai cara menyampaikan aspirasi juga terlihat pada aksi pangkas rambut hingga gundul.
    Karena dilakukan di depan Istana Negara, di tengah kondisi kehidupan bangsa yang morat-marit, mudah bagi siapa pun untuk langsung berspekulasi bahwa aksi bakar diri pekan lalu itu bermuatan politik. Memang tidak keliru kalau menduga demikian,walau juga tidak bisa digeneralisasi bahwa aksi-aksi ekstrem dalam setting yang serupa niscaya selalu mengusung misi yang sama.
    Sebagai perbandingan, meski berbeda dalam modusnya, ketika John Hinckley Jr menembak Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, publik juga spontan mengaitkan aksi Hinckley dengan kampanye politik tertentu. Setelah kajian dilakukan lebih mendalam, barulah khalayak tercengang karena aksi Hinckley itu sama sekali tidak berlatar politik.
    Kembali ke peristiwa bakar diri di depan Istana Negara, deskripsi ringkas Usman Hamid di Apa Kabar Indonesia Petang (TV One, 9 Desember 2011) tentang pelaku sebagai mahasiswa yang—antara lain—cerdas, gemar berdiskusi, altruistis, dan kerap ke perpustakaan Kontras, mengindikasikan bahwa pelaku tergolong melek politik. Pelaku berarti bukan tipe individu yang mudah dihasut dan diperalat pihak lain.
    Artikulasi Politik
    Sebagai akademisi, saya bisa membayangkan rasa kehilangan ketika mahasiswa yang dianggap potensial tidak pernah lagi terlihat di kampus. Demikian pula sebagai ayah dari tiga anak, saya tahu persis kepedihan yang merajalela akibat sang buah hati pergi tak kembali.
    Tidak semata pilu, saya salut melihat anak muda yang hirau kepada nasib bangsanya. Ketika lembaga-lembaga pendidikan tinggi berlomba menyiapkan para mahasiswa mereka agar unggul di aspek akademis dan laris di dunia kerja, keberadaan kaum cendekia muda yang juga bersemangat menyalurkan energi mereka untuk memahami kehidupan bangsanya sungguh pantas diapresiasi.
    Satu persoalan muncul; pendidikan politik, termasuk yang digencarkan oleh lembaga-lembaga non-pemerintah, ternyata belum sempurna apabila sebatas mengisi dimensi kognitif para partisipan. Laiknya pendidikan holistik, pengayaan muatan kognitif harus disertai dengan penguatan dimensi afektif. “Kurikulum” yang lebih utuh ini menjadi sangat relevan karena artikulasi atas isi kognisi (pengetahuan politik) pada kenyataannya menuntut kematangan psikologis berupa kesediaan untuk menyelami batin orang lain dan menyuarakannya lewat langgam nirkekerasan.
    Pertanyaannya, sudah seberapa jauhkah program-program pemberdayaan masyarakat melalui semacam pendidikan politik juga memasukkan nilai penting afeksi itu ke dalam bahasannya? Kognisi yang tajam, namun afeksi yang majal, akan membentuk individu (tak terkecuali partisipan pendidikan politik) yang kuat pada aspek moral thought, namun belum tentu mengejawantah ke moral behavior yang baik pula. Keterputusan antara moral thought dan moral behavior itu, menurut Tangney, Stuewig, dan Mashek (2007), diakibatkan oleh tipisnya moral emotion. Padahal moral emotion inilah yang berfungsi sebagai jembatan agar—dalam konteks aksi bakar diri—pengetahuan politik juga bisa mewujud ke perilaku politik yang terbebas dari warna kekerasan. Baik kekerasan terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri.
    Pencederaan lewat bakar diri, jika berisikan muatan politik, memang akan melipatgandakan daya dentum dari pesan yang ingin disampaikan pelaku. Dan tampaknya efek seperti itulah yang mengemuka setelah insiden bakar diri di depan Istana Negara. Efektivitas aksi bakar diri itu sendiri masih belum terlihat.
    Setidaknya, itu karena pelaku tidak mengirim satu pun pesan spesifik tentang isu politik yang sesungguhnya tengah ia usung.
    Yang menonjol justru fakta bahwa, akibat aksi bakar diri, kita kehilangan satu anak muda yang sejatinya bisa diandalkan. Aksi bakar diri dan berbagai metode parasuicide lainnya menjadi momen yang mengalihkan sosok potensial-produktif ke sosok yang kehilangan keberdayaannya.
    Pada saat yang sama, yang paling merisaukan adalah kemungkinan adanya duplikasi perilaku atas bakar diri tersebut.Kekhawatiran ini beralasan, karena Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) beberapa tahun lalu pernah menyimpulkan bahwa aksi bunuh diri di kawasan Asia lebih merupakan hasil peniruan (copycat suicide). Sekian banyak tindak kriminal yang menghebohkan juga produk dari pencontohan perilaku.
    Duplikasi perilaku itu dipandang oleh banyak pihak sebagai efek pemberitaan media. Media terhenti pada pendeskripsian, bahkan acap sangat terperinci, dan tidak berlanjut secara kontinu dengan pesan gamblang tentang bagaimana seharusnya perilaku-perilaku ekstrem tersebut disikapi masyarakat. “Netralitas” macam itulah yang berekses pada tidak terkuncinya persepsi publik bahwa pro-kehidupan merupakan satu-satunya kampanye yang semestinya dilestarikan.
    Karena itulah, meski aksi bakar diri di depan Istana Negara bukan merupakan kejahatan, saya risau membayangkan tindakan tersebut mengilhami anak-anak muda lainnya tatkala ingin mengartikulasikan pandangan politik mereka. Sekali lagi, saya respek kepada kaum muda yang melek mata terhadap politik. Tapi, karena kita butuh banyak anak muda yang punya ghirah (semangat) kebangsaan, dan karena kita semua (semestinya) sepakat bahwa politik yang ingin kita bangun adalah politik kebangsaan yang steril dari kekerasan—baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri—maka kalangan muda harus sungguh-sungguh berketetapan hati dan berkekuatan langkah pada budi perangai yang nirkekerasan pula.
    Terkenang saya akan tamsil Bung Karno, “Seribu orang tua hanya sanggup bermimpi. Satu pemuda mampu mengubah dunia.” Pasti yang dimaksud oleh Bung Karno adalah pemuda yang jiwa-raganya hidup. Di situlah pemberitaan tentang aksi bakar diri dan kelakuan-kelakuan serupa lainnya harus dibubuhi tanda titik.  
  • Rawagede: Menguak Cara Den Haag Berhitung

    Rawagede: Menguak Cara Den Haag Berhitung
    Joss Wibisono, REDAKTUR SENIOR SIARAN INDONESIA RADIO NEDERLAND DI HILVERSUM
    Sumber : KORAN TEMPO, 13 Desember 2011
    Setelah permintaan maaf dan santunan ganti rugi kasus Rawagede, tibalah saatnya kita bertanya: mengapa Belanda baru melakukannya sekarang, 64 tahun setelah kejadian? Mengapa tidak dulu-dulu? Di sini ucapan Liesbesth Zegveld, pengacara sembilan orang yang menggugat negara Belanda, bermakna penting karena menyiratkan jawabannya.
    Kepada pers Belanda, Zegveld dengan jitu menguraikan hitung-hitungan politis dan ekonomis Den Haag. Pertama-tama dia menganggap pemerintah Belanda sebenarnya senang atas keputusan pengadilan yang memenangkan para penggugat. Jumlah mereka sembilan, tetapi dua meninggal sebelum vonis, dan satu lagi (anak korban) ditolak. Tinggallah enam orang ahli waris, dan itu adalah jumlah yang mudah diatasi. Makanya, vonis pengadilan cepat-cepat diterima, Den Haag tidak naik banding dan juga cepat mencapai schikking alias berdamai dengannya sebagai wakil para penggugat.
    Liesbeth tidak mau menggunakan kata “murah” karena, baginya, hal itu “tidak  cocok” untuk konteks ini. Tapi sebenarnya itulah yang terjadi, Den Haag tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam tapi tetap bisa memohon maaf. Dan karena permintaan maaf itu, pamor serta gengsi Belanda naik di pentas internasional. Terkikislah noda-noda masa lampau yang mencorengi ambisi Belanda menjadi markas besar pelbagai badan arbitrase internasional.
    Kita tahu, selain Mahkamah Internasional yang antara lain memutuskan Sipadan-Ligitan sebagai wilayah Malaysia, di Den Haag masih ada pelbagai lembaga peradilan internasional lain. Mahkamah Pidana Internasional ICC, Tribunal Yugoslavia, dan Tribunal Sierra Leone, misalnya. Tentunya Den Haag lebih pantas menjadi tuan rumah pelbagai lembaga internasional itu kalau bersih dari noda masa lampau.
    Situs Tempo.co memberitakan, masih ada 76 kasus kejahatan perang Belanda yang potensial bisa dibawa ke pengadilan. Salah satunya adalah kasus Raymond Westerling, kapten keturunan Belanda-Turki yang dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan 40 ribu orang di Sulawesi Selatan. Tapi pada situs yang sama juga ada berita betapa sulit mengumpulkan korban yang berhasil selamat. Sampai sekarang baru delapan orang yang berhasil didata.
    Di sinilah duduk masalahnya.Kelak, dalam kasus Westerling, Belanda bisa saja
    kembali kalah di pengadilan. Lagi-lagi Den Haag akan harus meminta maaf dan
    membayar santunan ganti rugi. Tapi berapa orang yang benar-benar akan menerima santunan ganti rugi? Dari hari ke hari jumlah mereka makin sedikit, sehingga bisa-bisa Den Haag kelak akan harus meminta maaf saja, tanpa perlu membayar santunan, karena memang sudah tidak ada lagi korbannya. Permintaan maaf yang gratis, betapa ini sebuah prospek yang sangat menarik bagi Belanda.
    Cara berhitung seperti ini baru diterapkan dalam masa jabatan Uri Rosenthal,
    menteri luar negeri sekarang yang berasal dari partai konservatif VVD. Sebelumnya, di bawah Maxime Verhagen, seorang tokoh partai Kristen Demokrat CDA, yang terjadi justru teguran kepada Koos van Dam. Sebagai duta besar di Jakarta,Van Dam, yang hadir pada peringatan di Balongsari, Desember 2008, sebenarnya sudah menyampaikan permohonan maaf. Mungkin ketakutan ditagih santunan (yang lazimnya memang menindaklanjuti ucapan maaf), Menlu Verhagen memarahi Van Dam. Tentu bisa kita pertanyakan kualitas iman Verhagen sebagai seorang politikus partai agama.
    Soal jumlah saksi dan korban yang makin sedikit ini juga berlaku di Belanda. Sebab, di Belanda, kita tentunya bicara tentang para pelaku, yaitu para veteran yang juga makin sedikit jumlahnya. Salah satunya, secara anonim dan lewat seorang dokter, sempat muncul di televisi Belanda, dalam acara Altijd Wat (Ada-ada Saja) disiarkan akhir Oktober lalu oleh televisi NCRV.Kepada dokter yang juga veteran dan pernah bertugas di Indonesia, dia mengaku melakukan penembakan di Rawagede seminggu sebelum 9 Desember 1947, dan menurut dia korban tewas mencapai 120 orang.Konon kabarnya, veteran ini sekarang sakit keras.
    Bisa jadi dia adalah pelaku terakhir pembantaian Rawagede yang masih hidup. Yang lain sudah meninggal, termasuk pemimpin tertinggi para veteran Belanda:
    Pangeran Bernhard, ayahanda Ratu Beatrix. Ketika Bernhard masih hidup, sulit dibayangkan pemerintah Belanda akan bertindak seperti sekarang. Pengungkapan kejahatan perang di Indonesia sebenarnya sudah terjadi pada 1969 ketika dalam acara Achter het Nieuws (Di Balik Berita) disiarkan oleh televisi VARA.
    Empat puluh tahun lebih tidak diambil tindakan apa-apa terhadap para veteran
    ini. Lobi mereka memang sangat kuat. Dan aksi mereka juga tak kenal lelah. Salah satunya, pada awal 1990-an, mereka berhasil memaksa sejarawan Loe de Jong yang menulis sejarah Belanda selama Perang Dunia Kedua supaya tidak menggunakan istilah oorlog misdaden (kejahatan perang) bagi tindakan tentara Belanda di Indonesia dalam buku sejarah Belanda.
    Tapi para veteran ini pun lekang oleh masa. Sejak Pangeran Bernhard tutup usia
    pada Desember 2004, mereka pun kehilangan pengaruh.Keperkasaan mereka patah, lobi mereka mereda. Tidaklah mengherankan kalau pada 2005 Menteri Luar Negeri Ben Bot berani menyatakan Belanda secara moral mengakui 17 Agustus 1945 sebagai kemerdekaan Indonesia. Ben Bot adalah Menlu Belanda pertama yang hadir pada peringatan detik-detik proklamasi dan peringatan banjir darah di Balongsari.
    Sekarang kita berharap Belanda akan benar-benar mengakui 17 Agustus 1945.
    Yang mungkin tak kita ketahui adalah bahwa keputusan pengadilan Den Haag
    pada 14 September itu didasarkan pada dalil bahwa banjir darah Rawagede berlangsung ketika Indonesia masih merupakan wilayah Belanda. Bagi pengadilan, Indonesia baru merdeka pada 27 Desember 1949. Tidaklah mengherankan kalau pengadilan berpendapat negara tidak boleh tidak sewenang-wenang terhadap warganya. Dan walaupun warga itu adalah penduduk Rawagede, negara mereka bukanlah Indonesia, melainkan Belanda.  
  • “Permata” Ekonomi yang Bisa Lebih Berkilau

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    “Permata” Ekonomi yang Bisa Lebih Berkilau
    Sumber : KOMPAS, 13 Desember 2011
    Sebuah bank internasional di Jakarta memberikan judul ”Indonesia, the Economic Jewel of Asia” untuk acara Global Economic Outlook 2012. Sebuah ungkapan yang bukan tanpa alasan karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2012 bakal tetap tinggi.
    Sejumlah pimpinan perusahaan berskala dunia dan pengamat internasional mengungkapkan hal senada. Paul Polman, Chief Executive Officer (CEO) Unilever Global, akhir September lalu, menegaskan, ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh sekalipun ada krisis di Eropa dan Amerika Serikat. Rick Goings, CEO Tupperware Worldwide, pekan lalu, di Jakarta menegaskan, saat ini merupakan era emas bagi Indonesia.
    Penulis buku laris Asia Hemisfer Baru Dunia, Kishore Mahbubani, menegaskan, saat ini merupakan era Asia, dan Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang akan tampil. ”Indonesia punya keindahan fisik dan budaya. Tidak ada tempat lain di dunia seperti ini. Hilangkan sedikit ’kesopanan’ yang Anda miliki untuk merebut peluang investasi,” ujar Kishore Mahbubani.
    Pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif menggembirakan. Pemerintah dan DPR menetapkan pertumbuhan ekonomi 6,7 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012. Bank Indonesia lebih berhati-hati dengan menetapkan pertumbuhan 2012 sebesar 6,3-6,7 persen.
    Lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) juga relatif optimistis. Ekonomi Indonesia masih akan bergerak pada kisaran 6,3-6,7 persen. Skenario terburuk, jika krisis ekonomi global berlanjut serta memengaruhi China dan India, ekonomi Indonesia masih tumbuh sekitar 4 persen.
    Ekonomi yang terus tumbuh di tengah krisis global jelas membuat Indonesia bagai ”permata”, baik bagi pemerintah, swasta nasional, maupun investor asing. Apalagi dengan jumlah kelas menengah Indonesia yang kini mencapai 56,5 juta orang. Kelas menengah versi Bank Dunia adalah mereka yang belanja per kapitanya 2 dollar AS (sekitar Rp 19.000) hingga 20 dollar AS (sekitar Rp 180.000) per hari.
    Bagi pemerintah, pertumbuhan ekonomi 6,7 persen dengan asumsi pertumbuhan 1 persen menyerap 450.000 tenaga kerja, maka bisa terserap sekitar 3 juta tenaga kerja. Bisa menekan jumlah penganggur yang sekitar 16,5 juta orang (sekitar 6,8 persen) belakangan ini.
    Namun, kalau pemerintah mau serius mengatasi pengangguran sekaligus angka kemiskinan negeri ini yang mencapai 29,7 juta orang (12,5 persen), sebenarnya angka pertumbuhan ini bisa lebih tinggi lagi. ”Permata” ekonomi yang ada bisa lebih berkilau lagi.
    Nouriel Roubini, Guru Besar New York University, di Jakarta mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa 8 persen sampai 9 persen. Semua ini bisa terjadi apabila Indonesia serius menangani pembangunan infrastruktur.
    Sebenarnya soal pembangunan infrastruktur, banyak pihak, terutama pengusaha, mengeluhkannya. Biaya angkutan truk di Indonesia mencapai Rp 3.300 per kilogram, sementara di negara tetangga hanya Rp 2.200 per kilogram. Bagaimana bisa bersaing?
    Tidak mengherankan, harga jeruk china di Jawa lebih murah daripada harga jeruk pontianak atau jeruk medan. Lebih murah membawa barang dari Jakarta ke Singapura dibandingkan dengan Jakarta ke Surabaya.
    Itu sebabnya, Indonesia, yang merupakan negeri agraris, mengimpor buah-buahan dan sayur-sayuran senilai Rp 17,6 triliun. Bahkan juga mengimpor ikan dan garam, padahal laut di negeri ini luas dan kaya.
    Pemerintah Tidur?
    Muncul tuduhan bahwa pemerintah tidak banyak berbuat. Bahkan ada tuduhan, pemerintah hanya tidur. Jika pemerintah sigap, pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi, bahkan mencapai angka dua digit.
    Pemerintah sebenarnya punya sejumlah program berkaitan dengan percepatan pembangunan ekonomi. Mei lalu, muncul Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Penentuan enam koridor pembangunan ekonomi yang dipuji berbagai pihak.
    Namun, dalam kenyataannya, MP3EI sampai kini belum banyak beranjak dari rencana. Padahal, kalau segera diimplementasikan, ada peluang investasi yang hebat. Sebuah daya dorong pertumbuhan ekonomi yang berdampak luas.
    Dalam kenyataan, pemahaman soal MP3EI saja tidak sampai ke pemerintahan di daerah. Banyak kepala daerah tidak paham MP3EI, apalagi sampai menerapkannya. Alhasil, semuanya mandek, apalagi jika tak ada upaya terobosan, inovasi.
    Di sisi lain, pemerintah juga tak punya dana yang cukup untuk bermanuver membangun infrastruktur. Dari APBN 2012 sekitar Rp 1.400 triliun, sekitar 80 persen untuk belanja rutin. Pemerintah hanya berharap dari swasta, termasuk swasta asing, untuk membangun infrastruktur.
    Sementara swasta malas bergerak jika kondisinya tak menggairahkan. Semisal, banyak dari mereka keberatan dengan UU Ketenagakerjaan yang tidak kondusif. Korupsi dan ekonomi biaya tinggi membuat investor harus kehilangan sejumlah besar uang pada awal berusaha.
    Belum lagi ketidakpastian hukum seperti berkaitan dengan upaya pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur. Di sisi lain, ada tumpang tindih dan peraturan yang saling tidak mendukung antara daerah dan pusat, semangat otonomi yang tak mendukung iklim berusaha.
    Tak heran investor lebih suka membuka sektor jasa perdagangan. Pusat pembelanjaan paling mudah. Perbankan juga lebih suka memberikan pinjaman ke arah ini.
    Munculnya kelas menengah yang demikian besar dengan potensi beli yang tinggi dipermarak munculnya sektor jasa. Padahal, dari sisi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pertumbuhan ekonomi akibat sektor jasa dan sektor konsumsi tidak signifikan dalam menyerap tenaga kerja dibandingkan dengan sektor manufaktur dan pertanian.
    Maka terlihat Indonesia lebih suka mengimpor garam, ikan, sapi, beras, gula, jagung, buah-buahan, dan sayuran. Tak ada upaya mendorong sektor pertanian yang intinya lebih memberdayakan kehidupan masyarakat desa, juga lebih menciptakan lapangan pekerjaan.
    Namun, masih ada asa bagi Indonesia untuk berbenah diri. Dengan produksi dan ekspor seperti minyak sawit mentah, batubara, karet, timah, dan kakao, Indonesia masih bisa bermanuver menjadi target investasi. Apalagi, pertumbuhan ekonomi yang positif di tengah krisis global saat ini membuat Indonesia tetap menarik.
    Infrastruktur yang pas-pasan, korupsi yang masih mewabah, ekonomi biaya tinggi, dan peraturan yang tidak mendukung sudah membuat pertumbuhan ekonomi bisa 6,7 persen. Sebuah permata ekonomi yang sudah menarik. Permata ini akan kian berkilau jika hal-hal itu diatasi. Perlu segera bertindak.

    (ppg) 

  • Hambatan Pengembangan Industri

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Hambatan Pengembangan Industri
    Sumber : KOMPAS, 13 Desember 2011
    Mengembangkan industri dalam negeri membutuhkan upaya yang tidak sederhana. Upaya tersebut harus dimulai dengan memetakan persoalan yang dihadapi setiap sektor industri terlebih dahulu. Memetakan persoalan dengan tepat dan diikuti solusi yang sesuai akan memandu Indonesia menahan fase deindustrialisasi yang tengah berlangsung.
    Meski sudah menapaki sektor industri lebih dari 30 tahun, Organisasi Pengembangan Industri PBB menyatakan Indonesia tidak pernah menjadi negara industri. Indonesia baru menjadi negara semi-industri karena tidak memenuhi beberapa kriteria sebagai syarat sebuah negara industri.
    Bank Dunia pun pada 2008 pernah melansir berita bahwa sejak 2003 daya saing Indonesia dalam kancah industri antarbangsa memperlihatkan adanya paradoks. Di satu sisi, terjadi peningkatan daya saing komoditas hasil industri Indonesia di pasar dunia. Namun, di sisi lain, industri dalam negeri banyak yang gulung tikar.
    Sementara ekonom di dalam negeri banyak yang menyatakan bahwa Indonesia sekarang masuk dalam proses deindustrialisasi. Data menunjukkan, pada 2009 terdapat 2.635 perusahaan industri yang tutup. Pada saat yang sama hanya 2.018 perusahaan yang baru tumbuh. Selisih angka-angka tersebut menunjukkan pertumbuhan perusahaan industri yang minus, yaitu sebesar 2 persen dari total industri yang ada.
    Peran sektor industri manufaktur dalam produk domestik bruto pun kian menurun dalam lima tahun terakhir. Porsinya tinggal sekitar 26 persen terhadap PDB. Porsi paling besar berada di sektor-sektor tersier (48 persen).
    Secara makro, ciri-ciri deindustrialisasi dapat dilihat dari melambatnya pertumbuhan sektor industri, menurunnya kontribusi sektor industri terhadap PDB, melemahnya sektor industri dalam penyerapan tenaga kerja, tingginya ekspor primer tanpa nilai tambah, dan lonjakan produk impor yang dijual dengan harga murah.
    Adapun secara mikro, ciri-ciri deindustrialisasi dapat dilihat dari meningkatnya sektor informal akibat pemutusan hubungan kerja sektor manufaktur dan menurunnya kapasitas produksi. Hasil studi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) 2010 bahkan menunjukkan banyaknya produsen beralih menjadi pedagang karena tingkat risiko bisnis yang rendah.
    Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi. Mulai dari tidak dikuasainya rantai pasokan untuk meningkatkan daya saing, ekonomi biaya tinggi, lemahnya dukungan perbankan dan infrastruktur, hingga keterbatasan inovasi teknologi. Tidak dikuasainya rantai pasokan (supply chain) untuk meningkatkan daya saing industri menunjukkan adanya pemetaan masalah yang tidak sempurna dalam rantai nilai dari hulu hingga hilir. Akibatnya, langkah penanganannya pun menjadi tak tepat sasaran.
    Litbang Kompas mencoba memetakan persoalan daya saing industri di tiga sektor, yaitu industri tekstil dan produk tekstil (TPT), kerajinan ukiran, serta kerajinan perak dari sisi rantai nilai dengan keterkaitan ke belakang (backward) dan ke depan (forward). Secara sederhana, rantai nilai dengan keterkaitan ke belakang bermakna hubungan industri dengan input-input atau proses penyediaan bahan baku (praproduksi hingga produksi). Sementara rantai nilai dengan keterkaitan ke depan terkait dengan kegiatan pascaproduksi ketika produk dilempar ke pasar.
    ”Backward” dan ”Forward”
    Hasil survei terhadap pelaku UKM di tiga sektor industri ini menunjukkan pola persoalan yang berbeda. Industri TPT memiliki persoalan keterkaitan ke belakang yang lebih banyak dibandingkan dengan dua industri lain. Dari 15 variabel yang diukur, industri TPT memiliki hambatan praproduksi di 10 variabel.
    Dalam berproduksi, industri TPT menghadapi persoalan utama terkait ketersediaan bahan baku. Untuk tahun ini saja, Asosiasi Pertekstilan Indonesia di Jawa Barat menyebutkan industri tekstil pada awal tahun mengalami kekurangan bahan baku kapas. Penghasil kapas, seperti Amerika Serikat, China, Pakistan, dan Australia, mengalami kegagalan panen. Juga terjadi perubahan fungsi lahan dari ladang kapas menjadi ladang jagung. Hal ini menyebabkan suplai berkurang yang akibatnya tidak hanya dirasakan oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara lain.
    Namun, bukan soal bahan baku itu saja. Masih ada kendala terkait permesinan yang berumur tua, jenis dan biaya transportasi, retribusi dan pungutan liar terhadap bahan baku yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, pemanfaatan teknologi, peran perbankan, ketersediaan energi listrik, serta regulasi di daerah yang membebani. Hambatan sebelum dan selama berproduksi inilah yang lebih dirasakan industri TPT ketimbang saat produk sudah dilempar ke pasar. Setelah proses produksi, relatif perusahaan TPT tidak menemui hambatan karena produksinya masih mudah diserap pasar, baik pasar domestik maupun ekspor.
    Para pelaku UKM TPT mengakui, perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan China dapat dan telah membuat rantai produksi terganggu. Impor pakaian jadi meniadakan proses pengolahan. Namun, produksi lokal masih tertolong karena sejumlah inovasi yang dilakukan dan adanya momen musiman seperti awal tahun ajaran baru atau hari-hari raya agama yang membuat permintaan produk masih cukup tinggi.
    Persoalan di industri kerajinan, seperti perak dan ukiran, lain lagi. Meskipun tidak memiliki hambatan keterkaitan ke belakang sebanyak industri TPT, ia juga mengalami kesulitan utama dalam penyediaan bahan baku. Namun, kesulitan ini bisa diatasi dengan diversifikasi bahan baku.
    Persoalan di kedua jenis industri kerajinan ini lebih banyak terkait dengan kegiatan pascaproduksi. Dari 14 variabel yang diukur, industri kerajinan perak dan ukiran memiliki hambatan pascaproduksi di 10 variabel. Hambatan tersebut menyangkut strategi memasarkan produk, pemenuhan selera konsumen, pungli dan retribusi saat pemasaran, jumlah konsumen yang menyusut, serta ketiadaan asosiasi yang bisa memperjuangkan nasib mereka.
    Persoalan berbeda yang dihadapi ketiga industri ini pada dasarnya terletak pada karakteristik produk. Untuk industri yang produknya termasuk barang tidak tahan lama (seperti tekstil dan produknya), permintaan pasar cenderung lebih dinamis (elastis). 
    Dengan demikian, persoalan pascaproduksi relatif minim. Sementara industri yang produknya tergolong barang tahan lama, permintaan pasarnya lebih kaku (inelastis) sehingga persoalan cenderung terletak pada pascaproduksi. Penyerapan produk sangat ditentukan oleh kondisi daya beli masyarakat.
    Pemetaan persoalan seperti ini perlu dilakukan di seluruh sektor industri untuk mendapatkan solusi yang tepat dan terarah. Dengan menguraikan persoalan satu demi satu, kebijakan yang diambil akan lebih tepat sasaran sehingga dapat meningkatkan daya saing industri.

    (GIANIE/RATNA SRI WIDYASTUTI/BIMA BASKARA, Litbang Kompas)

  • Akses Mudah dan Suku Bunga Rendah, Harus!

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Akses Mudah dan Suku Bunga Rendah, Harus!
    Sumber : KOMPAS, 13 Desember 2011
    Jangan beri masyarakat kita pilihan: akses mudah atau suku bunga pinjaman rendah? Berikan dua hal tersebut sekaligus. Otoritas kebijakan dan industri perbankan bisa bersama mewujudkan.
    Selama ini, akses masyarakat terhadap perbankan terganjal kendala, di antaranya ketiadaan kolateral atau agunan, minimnya pemenuhan syarat oleh usaha mikro, kecil, dan menengah, serta tidak ada pengetahuan tentang perbankan.
    Keterbatasan akses bukan hanya terhadap 121 bank umum, melainkan juga sekitar 1.680 bank perkreditan rakyat di Indonesia. Secara umum, sekitar 60 persen dari 237,5 juta penduduk Indonesia masih belum tersentuh lembaga keuangan. Jadi, untuk 142,5 juta jiwa tersebut, mengakses kredit perbankan juga masih di awang-awang.
    Soal suku bunga kredit perbankan juga tak kalah pelik. Selama ini, bank di Indonesia menerapkan suku bunga yang cukup tinggi dengan berbagai dalih. Alasan umumnya, suku bunga simpanan masih tinggi. Apalagi, masih banyak bank yang mengandalkan dana mahal alias deposito—yang suku bunganya jelas lebih tinggi dibandingkan tabungan dan giro—untuk menghimpun dana pihak ketiga.
    Bahkan, ada bankir yang terus terang mengakui harus menawarkan suku bunga simpanan tinggi agar nasabah tidak kabur ke bank lain. Akibatnya, selisih suku bunga deposito satu bulan dengan suku bunga pinjaman cukup tinggi.
    Namun, kondisi perbankan yang tidak efisien patut diselisik. Ketidakefisienan berdampak besar terhadap tingginya suku bunga kredit yang ditanggung nasabah. Sederhananya, suku bunga kredit terdiri dari suku bunga dasar kredit (SBDK) ditambah premi risiko. SBDK terdiri dari biaya operasional, biaya dana, dan margin.
    Biaya operasional bank yang tidak efisien cenderung tinggi. Rasio biaya operasional dibandingkan pendapatan operasional (BOPO) sebagai ukuran efisiensi bisa menunjukkan hal itu.
    Di Indonesia, BOPO perbankan pada Oktober 2011 sebesar 86,4 persen. Pada tahun 2008, BOPO mencapai 88,6 persen, yang turun bertahap menjadi 86,6 persen pada tahun 2009 dan 86,1 persen pada tahun 2010.
    Namun, jika dibandingkan BOPO perbankan di wilayah ASEAN yang berada pada kisaran 40-60 persen, perbankan Indonesia masih jauh dari efisien.
    Lalu biaya yang ditanggung bank untuk mengumpulkan dana. Alasan tawaran suku bunga simpanan tinggi mestinya sudah tak digunakan lagi.
    Jika dicermati, cukup banyak usaha untuk menurunkan suku bunga pinjaman bank. Misalnya, per 31 Maret 2011, Bank Indonesia mewajibkan bank memublikasikan SBDK untuk kredit korporasi, ritel, dan konsumer.
    Tahap awal, aturan itu hanya berlaku bagi bank beraset Rp 10 triliun atau lebih, yang saat itu jumlahnya 42 bank. Harapannya, bank-bank itu akan menjadi acuan bagi bank lain dalam menerapkan SBDK.
    Publikasi tersebut dilakukan melalui situs web bank yang bersangkutan, di kantor bank, ataupun laporan keuangan per triwulan melalui surat kabar. Tujuannya, SBDK lebih terbuka sehingga masyarakat bisa memilih.
    Pengusaha menyambut baik kebijakan tersebut. Transparansi pada akhirnya akan membuat suku bunga turun. Jika suku bunga kredit turun, pengusaha akan banyak mengambil kredit modal kerja dan investasi. Perekonomian terdongkrak.
    Rasio Kredit
    Sebagai gambaran, rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) di Indonesia masih rendah, yakni 29,1 persen pada tahun 2010. Angka itu naik tipis dari 27,7 persen pada tahun 2009 dan 26,6 persen pada tahun 2008.
    Bandingkan dengan rasio kredit terhadap PDB di China yang sebesar 131,1 persen. Atau dengan Thailand yang mencapai 116,7 persen, Malaysia sekitar 114,9 persen, Singapura sebesar 102,1 persen, dan Korea Selatan sekitar 100,8 persen.
    Survei Bank Indonesia menunjukkan, dana internal perusahaan masih mendominasi pembiayaan modal kerja dan investasi, yakni 48 persen dan 61 persen. Adapun kredit bank hanya mencakup 25 persen modal kerja dan 21 persen investasi.
    Padahal, dengan asumsi perekonomian Indonesia akan tumbuh 6,3-6,7 persen pada tahun 2012, diperlukan pembiayaan setidaknya Rp 598 triliun. Jumlah itu setara dengan laju pertumbuhan kredit 26,9 persen.
    Sayangnya, masyarakat umum belum banyak menyadari haknya untuk memilah dan memilih SBDK yang sesuai dengan kemampuannya. Alasannya, pilihan bank sudah cocok atau kemudahan transaksi. BI perlu mencari cara untuk mengajak masyarakat sadar memilah lebih dahulu SBDK yang paling sesuai.
    Sepanjang tahun 2011, Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan 75 basis poin. Salah satu alasannya, mendorong pertumbuhan perekonomian. Dengan turunnya suku bunga acuan, suku bunga kredit akan mengikuti turun sehingga kredit lebih banyak mengucur. Peran bank-bank besar menjadi motor penurunan suku bunga sangat diharapkan. Dengan jaringan teknologi informasi yang canggih, logikanya, bank-bank besar itu lebih efisien. Dengan kata lain, tak ada lagi tekanan beban operasional yang besar jika bantuan TI sudah sangat canggih.

    (Dewi Indriastuti)

  • Tahun Prihatin Pertanian-Pangan

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Tahun Prihatin Pertanian-Pangan
    Sumber : KOMPAS, 13 Desember 2011
    Pemerintah tahun 2011 menetapkan sejumlah sasaran produksi pangan dan pertanian. Ada lima komoditas utama yang menjadi prioritas penanganan, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi.
    Produksi empat dari lima komoditas utama itu tidak mencapai target. Produksi beras, jagung, dan kedelai malah turun.
    Jika dibandingkan target produksi 2011, produksi padi lebih rendah 5,2 juta ton gabah kering giling, jagung 4,77 juta ton pipilan kering, kedelai 629.932 ton kupasan kering, dan 400.000 ton gula kristal putih.
    Akibat tak tercapainya target produksi, negara kehilangan potensi pendapatan riil dari empat komoditas strategis itu sebesar Rp 40,2 triliun. Bukan angka yang kecil. Sebab, uang itu akan langsung ada di masyarakat dan nyata menggerakkan perekonomian nasional, terutama di desa.
    Daging sapi berbeda masalahnya. Hasil sensus sapi Badan Pusat Statistik 2010 menunjukkan populasi sapi nasional 15,8 juta ekor. Itu karena selama ini Indonesia jorjoran mengimpor sapi bakalan dan daging sapi. Namun, yang pasti, impor daging sapi dan jeroan sekitar 90.000 ton serta sapi bakalan 500.000 ekor pada 2011.
    Jika dihitung secara keseluruhan, impor komoditas pangan, baik yang berada di bawah kewenangan Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, maupun Kementerian Perindustrian, pada 2011 mendekati Rp 100 triliun.
    Dibandingkan era 2004 saat anggaran sektor pertanian hanya Rp 4 triliun, dana APBN dan APBN-P 2011 untuk sektor pertanian di atas Rp 17 triliun atau lebih dari empat kali lipatnya.
    Kalau kinerja lima komoditas utama itu saja loyo, kita tidak usah bicara komoditas pertanian lain karena tentu perhatian pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, tidak akan sebesar lima komoditas utama itu. Kalaupun ada peningkatan, sangat mungkin karena sistemnya sudah jalan dan swasta lebih banyak berperan.
    Melihat kenyataan di atas, sangat boleh jadi dikatakan tahun ini merupakan tahun kegagalan produksi pangan dan pertanian. Memang data BPS menunjukkan nilai tukar petani mengalami peningkatan 0,12 poin menjadi 105,64 dibandingkan 2010. Namun, kenaikan nilai tukar petani lebih karena naiknya harga semua komoditas pertanian, bukan karena peningkatan produksi dan produktivitas.
    Wacana
    Ada sejumlah faktor pemicu kegagalan. Yang terutama adalah pemerintah masih senang berwacana. Makin hari, pemerintah justru makin menjauhkan diri dari petani. Pemerintah kurang mendengarkan persoalan petani, menangkap persoalan itu, mendudukkan soal, lalu mencarikan solusi paling tepat, bukan untuk mengejar kepentingan segelintir pejabat dan pengusaha, melainkan untuk bangsa.
    Ibarat orang menderita panas dan demam akibat radang karena bakteri di tenggorokan, yang diberikan hanya obat panas. Itu juga yang terjadi di pertanian.
    Pada saat petani memerlukan berbagai dukungan yang lebih, seperti perbaikan infrastruktur irigasi, jalan, benih, pupuk, alat produksi, sarana pascapanen, lahan, industri pengolahan untuk memberikan jaminan pasar, pengaturan tata niaga yang baik, dan pendampingan, yang diberikan malah program bantuan sosial.
    Sebut saja program pengembangan usaha agribisnis pertanian yang sudah menyalurkan dana lebih dari Rp 2,8 triliun, lembaga mandiri mengakar di masyarakat, dan sarjana membangun desa.
    Sejumlah program itu merupakan program instan untuk meredam panas dan demam petani, itu pun kalau tepat sasaran. Hal itu mengingat dana bansos tersebut, seperti terungkap dalam rapat kerja Komisi IV DPR dan Menteri Pertanian, tak lebih dari sekadar kompromi bagi-bagi uang. Pengawasan dan evaluasi minim.
    Pemerintah juga tidak pernah secara terbuka menunjukkan kepada publik progres berbagai program itu, lengkap dengan evaluasi. Publik juga tidak diajak turut mengawasi, kecuali sekadar formalitas.
    Pada saat yang sama, petani dan para pelaku usaha di bidang hortikultura memimpikan ada gudang penyimpanan lengkap dengan ruang pendingin skala besar untuk menampung komoditas seperti buah dan sayur dalam jumlah puluhan ribu ton di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, dan di sejumlah tempat lain.
    Manajemen stok diperlukan agar saat produksi melimpah, semua barang petani bisa diserap. Dengan demikian, harga bisa dijaga dan petani tetap semangat berproduksi. Kalau perlu, bisa untuk ekspor.
    Sebaliknya, kalau produksi turun, barang di dalam gudang tinggal dikeluarkan. Biayanya tentu murah. Apalagi jika dibandingkan manfaat yang bisa didapat mengingat Indonesia negara dengan jumlah penduduk besar dan 43 persen penduduknya bertumpu pada sektor pertanian.
    Namun, yang terjadi, pemerintah tak pernah mau melakukan lompatan pemikiran. Sudah bisa ditebak, berbagai program biasa-biasa saja yang dilakukan. Kalau membantu ruang pendingin ya cukup ukuran satu kontainer. Dan celakanya, sudah merasa melakukan banyak hal.
    Dalam hal ini, Indonesia harus meniru China. China menyadari memiliki jumlah penduduk besar, apa yang mereka buat selalu berskala raksasa sehingga manfaatnya terasa.
    Kondisi sama juga menimpa tanaman pangan. Sudah tahu produktivitas tak beranjak sejak sepuluh tahun terakhir, tetapi lahan pertanian terus dikonversi. Setiap saat, Menteri Pertanian dan DPR serta masyarakat berteriak, konversi lahan sawah 110.000 hektar per tahun. Namun, tak ada satu pun yang bergerak menghentikannya. Alasannya kendali ada di pemerintah daerah. Sulit dipahami kalau pemerintah pusat punya tujuan baik bagi kepentingan bangsa harus kalah dengan kepentingan sempit daerah. Kok, presiden kalah dengan bupati/wali kota.
    Bagaimana dengan benih. Petani selalu menginginkan benih berkualitas unggul, benih apa saja. Begitu juga dengan pasar, yang mulai senang dengan komoditas spesifik. Yang terjadi, penelitian kita tidak mampu memenuhi itu. Ada baiknya kalau lembaga penelitian berada dalam satu kendali, seperti BPPT, agar semua terpusat, mulai dari perencanaan kebijakan, anggaran, hingga evaluasi.
    Kementerian Pertanian cukup mengorder sesuai kebutuhan dengan batas waktu tertentu. Kalau tidak memenuhi, berarti kegagalan bagi lembaga penelitian sehingga semua jelas.
    Perusahaan BUMN terkait pertanian dan pangan juga senang jalan sendiri. Sampai saat ini, PT Sang Hyang Seri, perusahaan benih BUMN, hanya sibuk menggarap benih padi, itu pun keteteran dan sebagian besar tugas PSO. Jangan harap bisa mengembangkan sayap ke bisnis benih hortikultura, perkebunan, dan sebagainya.
    Industri pupuk dengan rencana penyeragaman pupuk majemuk juga mengingkari keberagaman lokasi. Tentu sulit diterima, apalagi oleh petani.
    Yang sangat penting dan tak boleh diabaikan adalah passion para pemimpin dan pejabat, baik pusat maupun daerah, terhadap sektor pertanian dan pangan. Ini sudah hilang sejak era reformasi. Sepertinya hal ini juga berulang pada 2012.

    (Hermas E Prabowo)

  • Senjakala Perumahan Rakyat

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Senjakala Perumahan Rakyat
    Sumber : KOMPAS, 13 Desember 2011
    Tahun 2011 menoreh catatan manis bagi industri properti. Derapnya kian lincah, baik sektor perkantoran, kondominium, apartemen sewa, residensial, pusat perbelanjaan, maupun kawasan industri.
    Kegairahan bisnis properti masih menjanjikan harapan cerah pada 2012. Pertumbuhan ekonomi nasional, perkembangan industri, dan meningkatnya kaum menengah baru menjadi kunci gairah investasi.
    Meski demikian, semarak properti menyisakan potret buram di sektor perumahan rakyat menengah bawah. Perumahan rakyat mulai memasuki ”zona merah”, ditandai dengan kekurangan rumah yang semakin kronis.
    Dalam evaluasi perumahan rakyat, awal Desember lalu, Kementerian Perumahan Rakyat mengakui pemenuhan rumah rakyat di Indonesia sudah mencapai kondisi darurat. Jika pada 2004 rumah tangga di Indonesia kekurangan rumah 5,4 juta unit, tahun 2010, Badan Pusat Statistik mencatat kekurangan bisa 13,6 juta unit.
    Krisis rumah rakyat sesungguhnya sudah bisa diprediksi. Pertumbuhan kebutuhan rumah setiap tahun mencapai 800.000 unit, sedangkan ketersediaan rumah tidak lebih dari 500.000 unit. Apabila 70 persen kebutuhan rumah itu berasal dari masyarakat menengah bawah, bisa dipastikan segmen masyarakat ini kian jauh dari hak dasarnya memperoleh rumah layak.
    Harga rumah susun bersubsidi dipatok maksimum Rp 144 juta per unit, rumah tapak maksimum Rp 70 juta per unit, sedangkan rumah murah Rp 25 juta per unit. Sasaran rumah susun subsidi adalah masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan, sedangkan rumah tapak dan rumah murah adalah masyarakat berpenghasilan maksimum Rp 2,5 juta per bulan.
    Untuk membantu penyerapan rumah bagi segmen masyarakat ini, pemerintah menggulirkan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau FLPP sejak Oktober 2010. FLPP berupa subsidi suku bunga kredit tetap sebesar 8,15-9,95 persen selama tenor 15 tahun. Dana dihimpun dari pemerintah dan perbankan.
    Tahun 2010, anggaran FLPP dari pemerintah sebesar Rp 2,6 triliun untuk membiayai kredit rumah susun, rumah tapak sederhana, dan rumah murah bagi masyarakat menengah bawah. Namun, terobosan pemerintah dalam pembiayaan perumahan terganjal sejumlah masalah.
    Sejak 2010, pengembang menghentikan pembangunan rumah susun bersubsidi di DKI Jakarta, padahal 60 persen kebutuhan rumah susun berada di Jakarta. Pengembang tiarap karena proyek rusun sederhana dinilai tak lagi menguntungkan akibat ketidakjelasan perizinan dan kriteria konsumen rumah susun subsidi yang memberatkan. Oktober 2011, hanya satu pengembang menyatakan minat membangun rumah susun di Jakarta.
    Dari sisi pembiayaan, kinerja bank pelaksana untuk menyalurkan FLPP masih jauh dari harapan. Hingga 7 November 2011, realisasi FLPP baru 74.400 unit atau 46,23 persen dari target penyaluran 160.925 unit, dengan nilai Rp 2,45 miliar. Dari jumlah tersebut, penyerapan rumah susun subsidi hanya 116 unit atau 11 persen dari target 1.000 unit.
    Selama ini, pengembang membangun rumah tapak bersubsidi berukuran 22-36 m2 yang dijual dengan harga maksimum Rp 70 juta per unit. Dengan ketentuan baru tipe rumah minimal 36 m2, pengadaan rumah akan sulit, terutama di kota-kota besar yang harga tanahnya semakin mahal.
    Di tengah krisis pengadaan rumah tapak, pemerintah membuat langkah blunder dengan rencana menaikkan harga patokan maksimum rumah susun subsidi pada 2012. Bisa dipastikan, masalah rumah rakyat akan melebar tidak sebatas pengadaan dan pembiayaan, tetapi juga keterjangkauan rumah.
    Dengan harga patokan maksimum rumah subsidi saat ini, penyerapan rumah masih rendah. Kenaikan harga rumah subsidi akan menambah sulit keterjangkauan rumah bagi masyarakat menengah bawah. Kesenjangan pemenuhan kebutuhan dasar yang meruncing dapat mengganggu stabilitas sosial kemasyarakatan.
    Kegagalan sistem kelembagaan penyediaan rumah publik harus segera disikapi. Pembangunan rumah tak bisa lagi diserahkan penuh kepada pengembang yang berorientasi mencari keuntungan. Saatnya pemerintah mengikuti jejak negara-negara maju yang dominan dalam penyediaan rumah rakyat. Di Singapura, 80 persen rumah susun publik dibangun pemerintah.
    Pembentukan badan perumahan rakyat di Indonesia dinantikan untuk mendorong program perumahan lebih fokus melalui koordinasi dengan BUMN lain atau pemerintah daerah guna menghimpun lahan (bank tanah) dan memudahkan perizinan. Selain itu, akuisisi lahan, merencanakan pembangunan rumah, mengelola aset negara, dan sumber daya. Tahun 2012 adalah masa pembuktian bagi seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, BUMN, dan pemda—untuk menggerakkan kembali perumahan rakyat.
    (BM Lukita Grahadyarini)
  • Mengungkap Jaringan Korupsi Senayan

    Mengungkap Jaringan Korupsi Senayan
    Sebastian Salang, KOORDINATOR FORUM MASYARAKAT
    PEMANTAU PARLEMEN INDONESIA (FORMAPPI)
    Sumber : SINDO, 13 Desember 2011
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wa Ode Nurhayati sebagai tersangka. Keputusan KPK itu mengejutkan dan kontroversial. Mengapa? Wa Ode dikenal getol mengungkap permainan anggaran di DPR yang diduga melibatkan sejumlah anggota dan pimpinan.
    Pimpinan Banggar bahkan diperiksa KPK lantaran Wa Ode mengungkap indikasi permainan dibalik penetapan daerah penerima dana PPID.Anehnya, status sejumlah orang yang telah diperiksa belum jelas hingga saat ini. Sebaliknya, Wa Ode yang mengaku belum pernah diperiksa justru ditetapkan jadi tersangka. Pertanyaannya, standar apakah yang digunakan KPK?

    Karena Wa Ode ditetapkan sebagai tersangka justru karena kasus yang diungkapnya. Strategi apa yang sedang dimainkan KPK? Wa Ode ingin dijadikan justice collaborator atau ingin dibungkam lantaran suaranya yang terus melengking menyanyikan lagu tentang praktik mafia anggaran di lingkungan Senayan?

    Skenario Pembungkaman

    Keberanian Wa Ode selama ini mengungkap praktik dan modus permainan anggaran di Banggar maupun komisi DPR adalah sikap penuh risiko. Banyak pihak gerah, terancam, dan terganggu permainan “bisnisnya”. Karena itu, yang berkepentingan untuk menghentikan sepak terjang Wa Ode tidak sedikit. Bagi kelompok tersebut banyak cara membungkam Wa Ode, misalnya, dengan mengajaknya menjadi bagian dari permainan mafia anggaran, menyuap atau cara kekerasan seperti mengancam dan intimidasi.

    Pilihan lain melalui Badan Kehormatan (BK) DPR. Ketua DPR Marzuki Alie pernah mengadukan Wa Ode ke Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tuduhan melanggar kode etik. BK DPR juga pernah mengajukan permohonan kepada PPATK untuk mengungkap transaksi Wa Ode yang mencurigakan. Anehnya, transaksi yang diungkap hanya milik Wa Ode, padahal transaksi yang mencurigakan milik anggota DPR cukup banyak. Mengapa tidak semua transaksi yang mencurigakan diungkap jika ingin membongkar dan menegakan hukum yang adil?

    Ada kekhawatiran yang sangat besar dibalik penetapan Wa Ode sebagai tersangka oleh KPK. Pertama, orang yang memiliki keberanian seperti Wa Ode untuk mengungkap kebobrokan dan praktik korupsi lembaganya akan kapok. Itu artinya membunuh semangat setiap warga bangsa yang ingin membantu penegak hukum mengungkap kejahatan lembaganya. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi dan strategi mengungkap kejahatan oleh orang yang menjadi bagian dari suatu lembaga atau jaringan.

    Kedua, KPK terjebak dalam skenario besar para mafia anggaran yang ingin membungkam dan memutus mata rantai informasi permainan anggaran yang telah menghancur negeri ini. Saya berharap hal ini tidak terjadi karena jika di kemudian hari terbukti, institusi KPK menjadi taruhannya.Penjelasan Nazaruddin tentang ada skenario besar di balik permainan anggaran dan penentuan tersangka oleh KPK hendaknya menjadi pelajaran berharga.

    Meski pernyataan itu perlu dibuktikan lebih jauh, info tersebut telah direkam dengan baik dalam memori publik. Karena itu,saya berharap keputusan KPK ini merupakan sebuah strategi untuk membongkar jaringan kerja politisi dan aparat pemerintah dalam menjarah anggaran negara. Jaringan ini demikian kuat dan solid sehingga tidak mudah diungkap. Jaringan mafia anggaran ini,menurut Busyro Muqoddas, demikian kuat sehingga menguasai semua kekuatan strategis dalam penegak hukum di Indonesia.

    Di sinilah harapan itu diletakkan kepada KPK bahwa mereka bukan bagian dari skenario para mafia, melainkan memiliki strategi sendiri untuk mengungkap jaringan mafia. Wa Ode diharapkan menjadi pintu masuk menerobos jaringan mafia anggaran yang memiliki segala kekuatan (uang, kekuasaan, aparat penegak hukum, dan preman).

    Tantangan Wa Ode dan KPK

    Jika Wa Ode terbukti,harapannya ia bisa mengungkap jaringan mafia anggaran di Senayan. Di sinilah idealisme serta komitmen Wa Ode dibutuhkan. Semua informasinya akan sangat membantu tugas KPK dalam mengungkap korupsi anggaran di DPR maupun pemerintah. Jika hal itu dilakukannya, ia layak mendapat perlindungan dan ditetapkan sebagai justice collaborator. KPK memiliki kewenangan itu dan ia berhak mendapat perlindungan bahkan dibebaskan dari berbagai tuduhan.

    Penghargaan seperti ini menjadi dorongan bagi siapa pun yang menjadi bagian dari pelaku kejahatan dan bersedia membongkar kejahatan tersebut untuk menghentikannya dan meminimalisasi korban atau kerugian negara. Bagi KPK, kasus Wa Ode ini menjadi ujian integritas sekaligus independensinya. Sejak awal keputusan KPK telah dipertanyakan bahkan dicurigai.

    Jika Wa Ode terbukti, hampir dipastikan dia bukan sendirian, permainan anggaran negara bisa terjadi hanya jika ada kerja sama dengan pihak lain di DPR, eksekutif (pusat dan daerah) serta pengusaha. Jika KPK hanya menetapkan Wa Ode sendirian dan tidak ada tersangka lain, dengan mudah publik menyimpulkan bahwa KPK menjadi bagian dari permainan besar. KPK sedang ditantang dalam kasus Nazaruddin, sampai sekarang belum ada nama lain yang ditetapkan sebagai tersangka, padahal Nazaruddin telah mengungkap keterlibatan begitu banyak pihak.

    Demikian juga dengan kasus Wa Ode,KPK akan diuji profesionalitasnya, kemandirian nya dari intervensi penguasa atau pemilik modal dengan mengungkap keterlibatan sejumlah politisi Senayan dan pejabat pemerintah di pusat maupun daerah. Jika KPK lolos dari dua ujian ini, kepercayaan serta dukungan publik pada lembaga tersebut akan meningkat. Sebaliknya, jika gagal, KPK akan menjadi sasaran cemoohan publik dan akan kehilangan kepercayaan masyarakat.  

  • Pemilu Liberal Vs Pemilu Konstitusional

    Pemilu Liberal Vs Pemilu Konstitusional
    Ahmad Yani, WAKIL KETUA FRAKSI PPP DPR RI,
    ANGGOTA PANSUS RUU PERUBAHAN UU PEMILU 
    Sumber : SINDO, 13 Desember 2011
    Jika tidak dikawal dengan baik, pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang- Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR,DPD, dan DPRD bisa jadi akan melenceng dari konstitusi.

    Hal tersebut karena beberapa gagasan dan rumusan pasal justru bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22E,Pasal 27 ayat 1,Pasal 28D ayat 3,dan Pasal 28I ayat 2. Beberapagagasanyangmasuk rumusan pasal dimaksud adalah penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold/ PT) atau ambang batas suara sah nasional sebuah partai untuk dapat diikutkan dalam penentuan perolehan kursi.

    Tadinya dalam UU No 10/2008 Pasal 202 ambang batas tersebut hanya berlaku pada penentuan kursi DPR dan besarnya 2,5% dari suara sah secara nasional. Sekarang pemerintah menginginkan ambang batas tersebut dinaikkan menjadi empat% dan berlaku untuk tingkat DPR, DPRD provinsi,dan DPRD kabupaten/ kota.

    Adapun sikap fraksi partai-partai di DPR beragam, mulai dari yang menginginkan tetap 2,5% hingga dinaikkan menjadi 5%. Masalahnya bukan seberapa besar PT akan ditetapkan, dan apakah tetap berlaku hanya untuk penentuan kursi DPR, ataukah diperluas ke kursi DPRD. Namun,konsepsi dan implementasi PT itu sudah cacat secara konstitusional.

    Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat 1 ditegaskan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Norma konstitusi ini sejalan dengan Pasal 28D ayat 3: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

    Dari kedua ayat konstitusi di atas dapat dipahami bahwa semua warga negara Indonesia mempunyai posisi politik (political standing) dan posisi hukum (legal standing) yang sama tanpa pengecualian sedikit pun. Konsekuensinya, semua warga negara wajib menaati hukum dan pemerintahan negara secara totalitas tanpa ada yang ditinggalkan atau diabaikan karena kepentingan pribadi.

    Semua warga negara juga memiliki peluang dan akses yang sama dalam memasuki dan memengaruhi pemerintahan, termasuk memperoleh jabatan dan kedudukan dalam pemerintahan,memberikan aspirasi,kritik,dan dukungan, serta berkesempatan untuk memilih atau dipilih dalam pemerintahan dan parlemen.

    Dilusi

    Penerapan PT, berapa pun besarnya, akan mendilusi atau menghilangkan kesamaan kedudukan tersebut. Ambang batas parlemen juga mengakibatkan sebagian warga negara mempunyai peluang yang lebih besar dalam pemerintahan, termasuk parlemen, sementara peluang yang lain dikurangi atau dihilangkan. Dengan PT 2,5%, sebanyak 19 juta lebih suara hangus dalam Pemilu 2009 alias tidak terkonversi menjadi kursi DPR.

    Itu kira-kira 18% suara atau beda tipis dengan perolehan suara partai pemenang pemilu. Artinya, 19 juta warga negara telah dihilangkan kesamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, bahkan kesempatannya memperoleh akses dan pengaruh dalam pemerintahan juga dilenyapkan begitu saja. Sebanyak itu pula orangorang yang tidak mempunyai wakil rakyat, padahal mereka telah menggunakan hak pilihnya dengan benar.Yang duduk di DPR bukanlah orang yang mereka pilih.

    Barangkali rendahnya tingkat kepercayaan rakyat kepada DPR RI disumbangkan oleh disparitas kedudukan warga negara dan keterwakilan rakyat ini. Para warga yang pilihannya tidak terwakili di parlemen hanya karena memilih peserta pemilu yang tidak lolos PT jelas dirugikan. Mereka hakikatnya tidak terwakili (unrepresented). Sebaliknya, ada warga yang memilih partai politik peserta pemilu yang lolos PT akan mengalami keterwakilan berlebih (over-represented).

    Hal ini karena ketidaklolosan para peserta pemilu tertentu dikonversikan menjadi tambahan kursi bagi peserta pemilu yang lolos PT tanpa perlu mendapat tambahan suara sedikit pun. Selama ini beberapa pakar pemilu, pengamat politik, dan LSM melihat kadar keterwakilan hanya dari jumlah kursi untuk tiap provinsi dan daerah pemilihan (dapil). Namun, kurang atau lebihnya kadar keterwakilan juga bisa dilihat dari ada atau tidaknya PT.

    Bila besaran PT dinaikkan sesuai usul pemerintah dan atau partai-partai tertentu, jumlah suara warga yang hangus akan bertambah hampir dua kali lipatnya. Ketidaksamaan di mata hukum dan pemerintahan juga semakin meluas, dan itu artinya semakin jauh dan melenceng dari amanat konstitusi. Padahal, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28I ayat 2 menegaskan:

    “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”. Alihalih menghilangkan diskriminasi, keberadaan PT dalam UU Pemilu malah memperbesar diskriminasi.

    Watak Liberal

    Bila penyelenggaraan pemilu melenceng dari konstitusi, lantas pemilu seperti apa yang sedang dan akan digelar? Tampaknya, seperti penyelenggaraan sistem perekonomian negara yang kerap disebut beraliran neoliberal,penyelenggaraan pemilu juga dikhawatirkan berwatak liberal.Pemilu liberal berarti pemilu yang bebas sesuai pilihan pasar politik dan tidak terikat pada empat pilar negara dan bangsa Indonesia yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

    Pemilu liberal bermakna mematikan semua pesaing seolaholah negara ini miliknya sendiri. Pemilu liberal akan menggerus pelaksanaan Sila Keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Selain itu, pemilu liberal juga menabrak pilar Bhineka Tunggal Ika. Soalnya, yang boleh hidup dalam pemilu liberal hanya yang paling banyak suara, dana, dan kekuatan politiknya.

    Padahal, keempat pilar telah memberi hak hidup dan berkembang bagi setiap aspirasi dan golongan masyarakat yang tumbuh dan berkembang di Indonesia sepanjang aspirasi dan golongan masyarakat itu tidak berdasarkan dan menyerukan sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Misalnya,mengajak kepada atheisme, komunisme, penghinaan agama, separatisme, terorisme, legalisasi kriminalitas, dan sebagainya.

    Jika kita mencermati perkembangan politik di dunia Barat, tampaklah strategi liberalisasi politik yang dijalankan di sana juga ditiru di sini.Di Amerika Serikat misalnya, setelah Partai Republik dan Partai Demokrat menguasai parlemen, kedua partai tersebut menciutkan dapil Anggota DPR (House of Representatives), menetapkan sistem distrik dan penentuan kursi berdasarkan prinsip pemenang meraih semua kursi (the winner takes all).

    Dapil disusun sedemikian rupa sehingga hanya kedua partai tersebut yang menguasai parlemen secara bergantian sejak AS berdiri pada abad ke-18. Dalam beberapa kali pemilihan wakil partai lain mampu menembus parlemen, tapi jumlahnya kecil sekali dan tidak signifikan.

    Berbagai strategi dan taktik boleh disusun dan dikembangkan agar menang dalam pemilu, namun pemilu Indonesia seharusnya tetap diselenggarakan dalam bingkai Pancasila, konstitusi, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Kalau tidak, berbagai ketidakadilan dan instabilitas politik yang sekarang menimpa negara-negara liberal Barat akan menghantam bangsa kita.  

  • Runtuhnya Sosialisme Arab

    Runtuhnya Sosialisme Arab
    Mohammad Affan, PENELITI TIMUR TENGAH DARI UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
    Sumber : SUARA KARYA, 13 Desember 2011
    Tamat sudah riwayat diktator Libia Moammar Khadafi. Akhir riwayat Khadafi ini sekaligus menandai berakhirnya sosialisme Arab Islam yang dikumandangkannya sejak Revolusi Al-Fatih, 1 September 1969. Saat itu, ia dan pendukungnya berhasil menumbangkan kekuasaan Raja Idris dan mengganti sistem pemerintahan kerajaan dengan sosialisme.
    Revolusi Al-Fatih, bagi Khadafi, bukanlah kudeta yang menggulingkan kekuasaan raja. Al-Fatih secara harafiah berarti pembuka atau penakluk. Artinya, permulaan atau pengantar kepada era baru yang memerangi keterbelakangan, ketidakpedulian, dan kemiskinan. Karena itulah, rakyat Libia, ketika itu, berharap revolusi Al-Fatih menjadi awal baru bagi sejarah kehidupan mereka yang merdeka, berdaulat, dan sejahtera.
    Harapan itu di awal kepemimpinan Khadafi cukup menjanjikan. Sejumlah kebijakan Khadafi betul-betul pro rakyat. Misalnya, menasionalisasi aset-aset negara yang dikuasai pihak asing dan menyita semua harta kepemilikan warga negara asing yang diperoleh dari pengerukan kekayaan sumber daya Libia.
    Sayang, dalam perjalanannya, kepemimpinan yang sebelumnya berbasis penuh pada kadaulatan rakyat mulai berubah menjadi rezim otoriter dan diktator. Inilah yang membawa pendulum berbalik ke arah Khadafi. Nasibnya bahkan jauh lebih parah dari Raja Idris. Ia ditangkap dalam pelariannya dan dibunuh oleh rakyatnya sendiri.
    Terlepas dari praktik otoritarianisme Khadafi, ide sosialisme yang diusungnya, sesungguhnya cukup khas. Khadafi menafsirkan sosialisme (isytirakiyah) sebagai suatu sistem yang berdasarkan Alquran dan kebudayaan Arab, bukan pada gagasan Marxis atau ideologi sosialis mana pun. Ini disebutnya dengan ‘sosialisme baru’ atau ‘sosialisme Arab Islam’.
    Ciri pembeda sosialisme berkarakter Islam adalah penghargaannya terhadap hak kepemilikan pribadi sebagai sesuatu yang suci. Ini berbeda sepenuhnya dari sistem kapitalis manakala suatu kelas masyarakat menguasai seluruh kelas yang lain, dan sistem komunis di mana pemerintah menguasai seluruh kelas atas nama buruh.
    Ia meyakini istilah ini selain terdapat dalam Alquran maupun Hadis, juga telah dilaksanakan oleh masyarakat zaman Nabi dan sesudahnya. Di antara prinsip tersebut adalah kepemilikan pribadi, kerja bersama atau produksi, persamaan, dan keadilan sosial. Sumber daya alam (SDA) tidak termasuk dalam kategori kepemilikan pribadi sehingga harus didistribusikan secara merata di kalangan masyarakat.
    Tafsir sosialisme itu ia rumuskan dalam Buku Hijau (Kitab al-Akhdar) yang kemudian menjadi basis ideologi pemerintahannya. Ia menginterpretasi konsep Syura dalam Alquran (QS. 42:38) sebagai jawaban atas demokrasi Barat. Syura ditafsirkan dalam bentuk Komite dan Kongres Rakyat yang berfungsi sebagai lembaga legislatif dan ekskutif. Ia mendukung pemilihan wakil rakyat secara langsung, karena demokrasi perwakilan menurutnya salah, sebab tidak mewakili rakyat sepenuhnya.
    Eksperimen baru sosialisme ini bersandar kepada ‘kedaulatan rakyat secara langsung’ yang mulai dipraktikkan sejak Maret 1977 dalam sebuah pemerintahan yang disebut ‘Persatuan Rakyat Arab-Libia Sosialis’. Nama itu dimaksudkan untuk membedakan Libia dari sebuah negara republik yang dipimpin presiden. Dalam negara jamahir (rakyat atau massa), setiap orang adalah penguasa dan semua orang setara.
    Namun, di sinilah titik krusialnya. Meskipun secara de jure Khadafi bukan pemimpin tertinggi pemerintahan, namun de facto keputusan kongres tidak bisa jalan tanpa persetujuannya. Dengan kata lain, ia sesungguhnya yang memegang kendali kongres rakyat. Di sinilah kemudian otoritarianisme Khadafi bersembunyi di balik kedok kongres rakyat yang disebut Persatuan Sosialis Arab.
    Sebagai penggerak revolusi saat ini, NTC menjanjikan kebebasan baru bagi rakyat Libia. Besar kemungkinan NTC akan mengadopsi model demokrasi Barat. Ini adalah konsekuensi dari bantuan NATO dan AS yang telah mendukung penuh perjuangan NTC menggulingkan Khadafi.
    Persoalannya, menerapkan demokrasi Barat di tengah kehidupan masyarakat yang sebelumnya dibangun dengan ideologi sosialisme, tentu tidak mudah. Tantangan utamanya adalah struktur sosial masyarakat yang sudah lama terbentuk di Libia. Rakyat Libia terstruktur di sekitar keluarga, klan, dan suku, yang menopang nilai dan tradisi keagamaan yang dianggap sakral, serta mengembangkan sikap konservatif dan parakis di tengah masyarakat.
    Kunci langgengnya rezim Khadafi adalah kemampuannya menerapkan koalisi kelas atau kesukuan dan bukan partai politik. Sumber utama sosialisme Khadafi, selain agama juga adat atau tradisi masyarakat (‘Urf) yang diterjemahkan sebagai identitas kesukuan atau kebangsaan (qawmiyah). Identitas kesukuan itu diikat dengan konsep umamiyah (nasionalisme multisuku). Jadi, kebangsaan adalah bentuk kesukuan, dan kesukuan berasal dari ikatan keluarga.
    Dengan demikian, masa depan demokrasi di Libia sangat bergantung pada kemampuan mengakomodasi kepentingan suku-suku. Setidaknya ada empat wilayah yang merupakan konsentrasi suku-suku kuat di Libia, yaitu Benghazi di timur, Tripoli di barat, Fezzan di selatan, dan Sirte tempat suku utama
    pendukung Khadafi. Jika kepentingan empat wilayah itu mampu disinergikan dan difasilitasi dengan baik, niscaya stabilitas akan segera terwujud di Libia.
    Sebaliknya, kalau NTC tidak mampu menjembatani kepentingan suku-suku tersebut, sangat mungkin Libia akan kembali ke era sebelum Revolusi Al-Fatih yang diwarnai instabilitas sosial, konflik antarsuku, dan persaingan politik. Bahkan, Libia bisa bernasib sama dengan Irak dan Afganistan.