(ICHWAN SUSANTO)
(ICHWAN SUSANTO)
Para PNS muda yang diduga korup tersebut jelas merupakan bagian dari pengorganisasian kolektif.Mereka mungkin anggota-anggota baru yang direkrut, dilatih, dan diserahi peran kerja oleh jejaring korupsi di mana mereka bekerja. Fenomena sosiologi korupsi ini adalah salah satu dimensi permasalahan yang harus dipecahkan oleh bangsa Indonesia.
Reproduksi Koruptor
Praktik korupsi di lingkungan kekuasaan tahun-tahun lalu belum terungkap bersih dan pemberantasannya saat ini pun masih terseok-seok. Anggota jejaring korupsi tidak berkurang, bahkan seolah makin bertambah. Hal ini menyajikan fenomena bahwa reproduksi jejaring korupsi berlangsung secara lancar dan aman. Proses sosial transmisi pengetahuan berlangsung secara intensif, bertahap, dan sehari-hari.
Mereka, para PNS muda, yang menaati dan menyetujui kandungan pengetahuan tersebut akan diperlakukan istimewa dengan segala fasilitas yang disediakan. Sebaliknya PNS muda yang gagal direproduksi sebagai bayi koruptor, mungkin dikucilkan, dipojokkan, atau bahkan dimutasi ke daerah terpencil Indonesia.
Proses reproduksi koruptor tersebut tidak terjadi di setiap bagian struktur kekuasaan negara, namun bisa dimungkinkan terjadi di sebagian besar struktur kekuasaan negara. Karena, menurut Michael Hartmann (The Sociology of Elites,2007),proses reproduksi generasi-generasi baru merupakan keniscayaan sosial, sebagai bagian dari mekanisme mempertahankan eksistensi kelompok atau kolektivisme.
Elite atau pimpinan senior merupakan kelembagaan yang sangat esensial dalam proses reproduksi tersebut. Artinya, pada konteks reproduksi generasi-generasi muda korup cenderung berlangsung terus-menerus di tiap bagian struktur kekuasaan di mana terdapat elite senior yang korup. Reproduksi generasigenerasi muda korup pada kenyataannya terus berlangsung. Alhasil, kekuatan jejaring korupsi tetap atau bahkan makin kuat, kokoh, dan terus mengisap harta negara.
KPK sebagai lembaga khusus di era transisi demokrasi Indonesia jelas menghadapi kekuatan jejaring koruptor yang tidak kecil.Pada kondisi inilah KPK, dan lembaga-lembaga hukum lain, tidak bisa lagi bekerja terlalu lembut dan ragu-ragu. Selama ini KPK dipandang tidak tegas dan ikut irama permainan elite-elite politik di pusat kekuasaan.
Potong Generasi
Gagasan yang sering menjadi wacana publik luas dalam isu penaklukan jejaring koruptor adalah gerakan potong generasi (cut off generation). Asumsi dasar gagasan ini, golongan senior (tua) merupakan produk budaya dan jejaring Orde Baru yang korup dan kolutif. Potong generasi mungkin mampu menghentikan atau mereduksi secara signifikan kekuatan jejaring koruptor.
Memang pada kenyataannya posisi-posisi penting dalam struktur kekuasaan negara saat ini masih dipegang oleh elite-elite yang meniti karier sejak masa Orde Baru. Tentu tidak tepat seratus persen menunjuk hidung kalangan PNS senior pasti membawa budaya korup Orde Baru dan bagian dari jejaring koruptor. Ada sebagian pejabat PNS senior yang benar-benar mengabdi pada rakyat.
Namun jumlah pejabat bersih itu tampaknya sangat sedikit. Gerakan potong generasi tentu mensyaratkan metode yang cerdas oleh kekuatan politik demokratis. Mungkin gerakan lustrasi (pembersihan) komunis pada masa Orde Baru merupakan salah satu bentuk metode potong generasi yang bisa dimanfaatkan. Siapa pun yang diindikasikan sebagai anggota dan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) bisa diberi sanksi sesuai level posisi dan peranannya.
Tokoh-tokoh yang diposisikan penting atas peran strategisnya menyebarkan ideologi komunisme diasingkan sebagai tahanan politik. Sama halnya gerakan potong generasi komunis di Eropa Timur pada gelombang demokratisasi awal pada akhir 1980-an dan awal 1990-an dengan pembuatan regulasiregulasi yang membatasi ruang gerak politik kaum komunis.
Gerakan potong generasi koruptor sebenarnya bisa juga mengambil metode lustrasi yang digunakan memangkas kalangan komunis tersebut.Isu mendasar dari gagasan potong generasi ini adalah keseriusan kekuasaan demokratis melakukan formulasi metode yang akurat, efisien, dan tepat sasaran. Seperti menciptakan indikator generasi-generasi yang bisa dipangkas dari struktur pemerintahan.
Salah satu wacana yang perlu dipertimbangkan tentang indikator adalah kualitas dan kuantitas praktik korupsi. Indikator ini menolak usia, seperti PNS tua dan PNS muda. Jika PNS muda secara kuantitas dan kualitas telah mempraktikkan kejahatan korupsi yang merugikan maka bisa dimasukkan kategori potong generasi. Perlu kesadaran dan visi politik yang kuat untuk melakukan gebrakan potong generasi di struktur kekuasaan negara.
Laporan tentang PNS muda dengan rekening miliaran rupiah adalah peringatan yang kesekian kali tentang terus direproduksinya generasi korup dalam pemerintahan. Pada kenyataannya negara bangsa Indonesia saat ini tengah terjebak pada lingkaran setan praktik korupsi yang disebabkan oleh reproduksi generasi-generasi koruptor secara masif. Oleh karenanya kekuasaan demokratis harus mampu membongkar lingkaran setan tersebut dan membawa Indonesia keluar dari bayangan gelap kejahatan korupsi.
●Dalam arti ini,nilai, adalah “apa yang dipandang berharga dalam hidup ini dan layak dihayati untuk kesejahteraannya dan sesamanya”. Nilai hanya akan tampil keluar dalam wujud nyata aksi atau tindakan. Maka diskusi mengenai nilai adalah wacana abstrak karena seharusnya tidak diwacanakan, tetapi dilakukan dan dihayati dalam hidup. Kedua,berada dalam situasi dilematis; simalakama, orang diandaikan menjalaninya dalam tahap-tahap menimbang cermat dengan budi dan hati (baca nurani) lalu mengambil putusannya dan kemudian mengevaluasi setelahnya.
Di sinilah “dilema” mengandaikan penghayatan hidup ini sebagai sebuah “proses’. Situasi dilematis sebenarnya mengungkapkan bahwa pilihan moral hidup manusia itu secara nyata tidak bisa dikalkulasi secara hitunghitungan matematis.Timbangannya bukanlah hitam dan putih namun “abu-abu”. Apa artinya? Maksudnya, realitas hidup nyata kita sesungguhnya adalah “abu-abu”.
Kenyataan ini mesti diterima dahulu untuk bisa menemukan jalan keluar dilematis.Ketika realitas itu abu-abu maka tugas setiap adalah setiap kali dalam aksinya berusaha semakin membuat lebih banyak putihnya dan semakin mengurangi hitamnya dalam keabu-abuan kenyataan moral nyata kita.
Bila hitam menjadi metafora ‘yang jahat’ dan putih menjadi metafora ‘yang baik’ maka usaha tiap orang Indonesia dalam kenyataan keabu-abuan sehari-hari mestinya mengusahakan lebih banyak ‘yang putih’ agar abu-abunya hidup menjadi lebih putih. Di sini, personifikasi dan metafora yang jahat diungkapkan dalam setan atau si jahat.
Memilih
Mengapa kejahatan terus ada di dunia ini kendati tidak kurang-kurang agama dan kata bijak diajarkan? Jawab lugasnya, karena adanya si jahat yang merusak tatanan cipta yang oleh Tuhan atau Allah dalam keyakinan agama dimaksud untuk membahagiakan ciptaan-Nya, manusia, asal ia menuruti jalan dan petunjuk benar dari Allah.
Bila ia menuruti si jahat maka ia akan tersesat. Barangkali inilah sebabnya, teks suci mau menjelaskan dengan bahasa narasi sumber dan asal kejahatan yaitu masuknya “setan atau si jahat” yang sudah merusak sejak awal di taman penciptaan. Barangkali itu pula Freud yang menemukan psikoanalisa atau analisa ketidaksadaran manusia merangkumkan dua gerak kebudayaan yang satu sama lain bertentangan.
Yang satu adalah budaya cinta kehidupan dengan motor sumbernya yaitu eros. Sedang yang kedua adalah death culture: budaya thanatos yang destruktif merusak kehidupan. Inikah personifikasi sang perawat hidup dalam Wisnu? Dan sang perusak hidup dan ciptaan dalam Syiwa? Lalu, ketika dua energi eros dan thanatos yang menggerakkan kebudayaan yang satu menumbuhkannya dan yang kedua mematikannya, kita dalam membahas situasi dilema di atas menjadi lebih mudah dicerahkan dan menemukan pemahaman mendalamnya.
Apa itu? Yaitu memilih adalah sebuah proses. Ia bukan jalan pintas atau instan.Memilih adalah juga bukan lompatan mendadak apalagi dalam proses berkeputusan dalam berbangsa dan bernegara yang majemuk suku, agama, identitas unik masingmasing. Karena itu, dalam pilihan dengan pertaruhan hidup-matinya sebuah bangsa, terletak persoalan penting untuk pilihan-pilihan dilematis yaitu “tanggung jawab”.
Bila belum lama ini, sebuah proses pemilihan seleksi dan pemilihan ketua KPK atau sederet panitia seleksi untuk anggota- anggota yang mestinya penuh tanggung jawab mengemban amanah bangsa dan suara rakyat yang merupakan suara Tuhan, pertanyaan kritis gugatan kita adalah: atas nama siapakahAnda, wakil-wakil rakyat, melakukan proses pemilihan? Atas nama “nilai” sebagai yang baik untuk bangsa ataukah kepentingan Anda sendiri berikut agenda-agenda yang dipolitisasi yang ujung-ujungnya pasti akan cepat tertemukan dan tercium?
Apakah Anda pembawa budaya mati atau pembawa budaya hidup untuk sejahteranya bangsa ini? Ketika simalakama berada di depan Anda antara memakan buahnya Anda ditendang dari partai dan tidak memakan buahnya Anda akan kalah dan tak mampu memenuhi hasrat kekuasaan untuk menang,maka di situ pulalah, saat-saat ini kita jadi belajar.Dua pelajaran pentingnya yaitu yang kesatu, bahwa proses memilih dalam situasi dilematis mengandaikan kematangan pertimbangan budi dan nurani para wakil ini.
Dan kedua pengandaian kemampuan menanggungjawabi pilihannya sebagai “proses kultural”: menimbang apa yang baik, apa yang benar, dan apa yang indah dalam kehidupan berbangsa ini lalu tidak memberi celah sekecil apa pun untuk si jahat masuk dan merusaknya. Oleh karena itu deskripsi nyata saat pemilihan ketua KPK mutakhir manakala dalam pemilihan untuk calon pemimpin KPK suara 55 samasama ditempati oleh Bambang Widjojanto dan Abraham Samad.
Namun ketika proses pemilihan dilakukan untuk memilih ketua KPK, angka suara Abraham Samad mutlak 55 beda jauh separuh dengan Bambang Widjojanto. Sebuah contoh nyata di depan kita antara proses politik. Pertanyaannya: dilematiskah? Kemudian nomor urutan kategorisasi dari yang diunggulkan oleh Panitia Seleksi Calon Pemimpin KPK (yang sama sekali tidak diambil pertimbangannya oleh para wakil rakyat ini) hanya menandai saja dan menegaskan “garis merah tebal”
bahwa pada ujungnya proses pemilihan direduksi hanya jadi proses politis dengan kepentingan politis alias kekuasaan. Kita buktikan dengan edar waktu ke depan gaduh riuh politik kuasa yang menang kalah untuk kepentingan partai.Lalu di mana pertanggungan jawab amanah pemilu titipan suara rakyat yang diwakilkan pada pundak Anda-Anda?
●
Wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh tiga mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau kita. Sehingga, di antara pulau-pulau Indonesia terdapat laut bebas (internasional), yang memisahkan satu pulau dengan lainnya, memisahkan kita, dan ini berarti ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Kita patut bersyukur bahwa Ir H Djoeanda, perdana menteri pada waktu itu, dengan berani pada tanggal 13 Desember 1957 mendeklarasikan kepada dunia bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas seperti diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie 1939. Wilayah laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.
Deklarasi Djoeanda tidak langsung diterima oleh masyarakat dunia, bahkan Amerika Serikat dan Australia menentangnya. Namun, berkat kegigihan perjuangan diplomasi oleh para penerusnya, seperti Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja dan Dr Hasyim Djalal, deklarasi yang berisikan konsepsi negara kepulauan (archipelagic state) tersebut diterima oleh masyarakat dunia dan akhirnya ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Nation Convention on Law of the Sea, UNCLOS) 1982.
Peran Strategis Laut
Kini, kita memiliki wilayah laut, termasuk ZEEI, seluas 5,8 juta kilometer persegi (km2) yang merupakan tiga per empat dari total wilayah Indonesia. Di dalamnya terdapat lebih dari 17 ribu pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 95.200 km, terpanjang kedua setelah Kanada. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia.
Di sinilah Deklarasi Djoeanda mendapatkan peran geopolitik yang sangat mendasar bagi kesatuan, persatuan, dan kedaulatan Indonesia. Oleh karena itu, Deklarasi Djoeanda sejatinya merupakan salah satu dari tiga pilar utama bangunan kesatuan dan persatuan NKRI, yaitu: Kesatuan Kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928; Kesatuan Kenegaraan dalam NKRI yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945; dan Kesatuan Kewilayahan (darat, laut, dan udara) yang diumumkan oleh Perdana Menteri Djoeanda pada 13 Desember 1957.
Selain geopolitik, laut juga memiliki peran geokonomi yang sangat strategis bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Laut kita mengandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik berupa sumber daya alam (SDA) terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi); SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan; maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah.
Lebih dari itu, laut Indonesia juga berperan sentral untuk pengendalian dinamika iklim global, siklus hidrologi, siklus biogeokimia, penetralisasi limbah, dan sistem penunjang lainnya yang membuat sebagian besar permukaan bumi layak dan nyaman dihuni manusia. Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita dayagunakan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Potensi total ekonomi 11 sektor kelautan itu mencapai 800 miliar dolar AS (Rp 7.200 triliun) per tahun, lebih dari enam kali lipat APBN 2011 atau satu setengah kali PDB saat ini. Sedangkan kesempatan kerja yang dapat dibangkitkan sekitar 40 juta orang. Karena itu, bila kita mampu mendayagunakan potensi ekonomi kelautan secara produktif, maka masalah pengangguran dan kemiskinan otomatis akan terpecahkan.
Pengembangan sektor-sektor ekonomi kelautan yang berlangsung di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan lautan juga bakal menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru yang menyebar secara proporsional di seluruh wilayah nusantara. Hal ini tentu akan membantu penyelesaian permasalahan nasional lainnya berupa distribusi penduduk yang sangat tak seimbang, urbanisasi, dan brain drain dari luar Jawa ke Jawa dan dari desa ke kota.
Pembangunan ekonomi kelautan, utamanya sektor perhubungan laut dan industri galangan kapal, juga akan secara signifikan meningkatkan efisiensi dan daya saing perekonomian Indonesia. Betapa tidak, sekitar 70 persen dari total barang ekspor Indonesia harus melalui Singapura karena hingga kini kita belum memiliki hubport bertaraf internasional. Ongkos per kontainer untuk mengangkut barang dari Jakarta ke Surabaya dua kali lebih mahal ketimbang dari Singapura ke Los Angles.
Saat ini, biaya logistik di Indonesia mencapai 30 persen dari biaya produksi. Sedangkan, AS, Singapura, atau emerging economies lain, seperti Malaysia, Thailand, China, dan Vietnam mampu menekan hingga di bawah 10 persen. Yang lebih mengenaskan, sejak 1986 sampai sekarang kita menghamburkan devisa 15 miliar dolar AS setiap tahunnya untuk membayar kapal-kapal asing yang mengangkut barang ekspor-impor dan antarpulau.
Reorientasi Pembangunan
Sayangnya, hingga kini kontribusi ekonomi kelautan terhadap PDB masih rendah, hanya 22 persen. Sementara, negara-negara dengan potensi kelautan yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Korea Selatan, Jepang, Cina, Thailand, Norwegia, dan Islandia, sumbangan sektor kelautan bagi PDB-nya rata-rata lebih dari 35 persen.
Oleh sebab itu, kini saatnya kita mereorientasi pembangunan nasional dari yang berbasis daratan ke kelautan. Pada tataran praktis, koridor-koridor ekonomi dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) hendaknya dibangun berbasis pada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan wilayah pulau-pulau kecil. Artinya, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi harus dibangkitkan dengan membangun kelompok-kelompok industri terpadu berbasis ekonomi kelautan yang ditopang oleh pelabuhan berkelas dunia.
Pelabuhan-pelabuhan laut itu dapat digunakan juga untuk mengapalkan komoditas dan produk yang berasal dari wilayah daratan, seperti perkebunan, tanaman pangan, ternak, industri manufaktur, dan pertambangan. Sarana transportasi laut juga harus diperkuat dan dikembangkan agar mampu memecahkan masalah konektivitas antarwilayah pulau yang selama ini membuat ekonomi nasional kurang efisien. Pada saat yang sama, kita tingkatkan pendayagunaan sumber daya laut dalam, perikanan, migas, dan mineral lainnya di wilayah ZEEI bagian Samudra Hindia maupun Samudra Pasifik.
Selanjutnya, tata ruang wilayah darat, baik pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota hendaknya disusun (ulang) berdasarkan pada peruntukan wilayah pesisir dan laut. Industri berat dan pertambangan sebaiknya ditempatkan di wilayah-wilayah darat yang wilayah pesisir dan lautnya memiliki kapasitas mengasimilasi limbah yang tinggi atau bukan untuk sektor-sektor pembangunan yang mensyaratkan kualitas lingkungan prima.
Apabila seluruh kebijakan politik-ekonomi (seperti fiskal-moneter, ekspor-impor, pendidikan, iptek, dan otonomi daerah) mendukung pembangunan ekonomi kelautan, insya Allah cita-cita kita bersama untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar yang maju, adil-makmur, dan mandiri pada 2025 sebagaimana tersurat dalam dokumen MP3EI akan terwujud. Semoga puncak peringatan Hari Nusantara ke-11 yang bakal digelar di Kota Dumai, Riau, pada 13 Desember tahun ini diberkahi Allah SWT.
●
Ironisnya, setelah diolah, produk jadi itu membanjiri pasar kita. Yang meraih keuntungan tentu importir yang mengolah bahan mentah itu. Industri (hilir) pertanian sebagai pertanda keberhasilan transformasi ekonomi nasional jauh panggang dari api.
Untuk mendorong industri hilir, komoditas pertanian diusulkan menerapkan bea ekspor atau menutup ekspor bahan mentah (baku). Pemberlakuan bea ekspor diusulkan untuk kelapa, kelapa sawit (CPO), dan kakao. Sedangkan, penutupan ekspor bahan mentah diusulkan untuk rotan. Alasan klasik selalu mengiringi usulan ini: bea ekspor atau penutupan ekspor bahan mentah akan menjamin pasokan bahan baku bagi industri domestik. Hal ini akan mendorong perkembangan industri hilir. Pertanyaannya, benarkah bea ekspor atau penutupan ekspor bahan mentah langkah tepat mendorong industri hilir?
Beban Bagi Petani
Bahan baku merupakan unsur penting bagi berkembang-tidaknya industri hilir. Ketika bahan baku tersedia berkesinambungan, industri hilir akan mendapatkan kepastian pasokan berproduksi sepanjang tahun dengan harga rendah. Masalahnya, bahan baku bukan satu-satunya penentu berkembang-tidaknya industri hilir.
Di luar bahan baku ada lembaga keuangan (perbankan), ketersediaan infrastruktur pendukung, ekonomi biaya tinggi akibat pelbagai pungutan, beban pajak yang memberatkan, dan berbagai insentif yang tidak mendukung. Tanpa dukungan memadai dari semua faktor itu, ketersediaan bahan baku tidak akan menjamin industri hilir berkembang. Bahan baku pun sia-sia.
Salah satu contohnya adalah bea ekspor minyak sawit mentah (CPO). Berbagai kajian menunjukkan, bea ekspor bukan instrumen yang tepat untuk mendorong industri hilir. Karena, kenaikan rata-rata satu persen bea keluar hanya menurunkan ekspor rata-rata 0,36 persen (Susila, 2008). Artinya, ekspor tidak elastis terhadap perubahan bea keluar. Kenaikan bea keluar tak akan efektif mendorong industri hilir sawit karena tidak otomatis membendung ekspor CPO, terutama saat harga produk primer perkebunan amat tinggi seperti saat ini.
Selain itu, karena posisinya kuat, pengusaha akan mencari kompensasi kenaikan bea keluar, baik ke hilir maupun hulu. Sebagai pihak yang paling lemah, petani akan menjadi korban. Eksportir akan mentransfer beban bea keluar itu kepada petani. Ini ditunjukkan oleh elastisitas ekspor terhadap perubahan harga ekspor umumnya yang inelastis (elastisitas antara 0,10-0,66).
Menurut hitungan Susila (2008), dengan bea keluar hanya lima persen, gross margin petani turun Rp 540 ribu/hektare/tahun. Dengan penguasaan lahan 3,6 juta hektare dari 8,36 juta hektare sawit oleh petani, pendapatan petani yang ditransfer kepada eksportir atau pemilik industri refinery senilai Rp 1,94 triliun. Ini perampasan legal dengan kedok bea ekspor. Sungguh tidak adil bahwa petani harus menyubsidi industri hilir dan eksportir yang kaya.
Dengan struktur perdagangan produk kelapa sawit yang masih dibelit masalah struktural, seperti di Indonesia, dampak distorsi dari bea ekspor CPO amat nyata. Selain menurunkan pendapatan petani, kenaikan bea keluar berdampak negatif pada industri hulu sawit yang dicerminkan oleh penurunan harga di tingkat produsen (petani), areal, produktivitas, dan produksi. Bahkan, menurut kalkulasi Oktaviani (2007), bea keluar 6,5 persen dan 15 persen akan menekan variabel makroekonomi (inflasi, product domestic brutto/PDB, dan upah riil). Bea keluar 6,5 persen dan 15 persen justru mendorong peningkatan ekspor CPO Malaysia, saingan utama Indonesia, masing-masing sebesar 2,4 persen dan 4,9 persen.
Dampak yang tidak diinginkan semacam ini juga ditemukan pada komoditas pertanian lainnya. Menurut Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), setelah 1,5 tahun penerapan bea ekspor, industri pengolahan kakao hingga kini tidak berkembang. Bea ekspor justru mempersulit industri dan menurunkan daya saing industri pengolahan kakao domestik. Bea keluar hanya cocok untuk industri yang mempunyai modal besar, jaringan pemasaran, dan produk bervariasi. Artinya, masalah industri hilir kakao bukan persoalan bahan baku.
Oleh karena itu, harus ditelisik terlebih dahulu secara saksama apakah benar biaya bahan baku adalah penyebab tidak berkembangnya industri pengolahan komoditas pertanian dalam negeri. Hal ini penting karena yang memikul beban bea ekspor adalah petani. Kita dapat belajar dari kasus perkebunan, kehutanan, dan perikanan laut. Data serial waktu yang cukup panjang, 1960-2000, menunjukkan bahwa pada periode tersebut harga-harga di pasar dunia untuk minyak sawit turun dari 1.102 dolar AS ke 307 dolar AS per ton; minyak kelapa turun dari 1.507 dolar AS ke 446 dolar AS per ton; kakao turun dari 285 sen menjadi 90 sen per kg; karet turun dari 377 sen menjadi 68 sen per kg.
Secara agregat perkembangan sama, yaitu harga riil produk pertanian turun dari indeks 208 pada 1960 menjadi 87 pada 2000 dan indeks harga bahan baku pertanian turun dari indeks 220 pada 1960 menjadi 91 pada 2000 (pada 1990=100) (Pakpahan, 2004). Potret terbaik bisa dilihat pada industri berbasis kehutanan. Setelah jutaan hektare hutan dieksploitasi dan Indonesia berubah menjadi penghembus gas-gas rumah kaca, industri berbasis kehutanan tidak berkembang. Di bidang perikanan laut kurang-lebih sama: setelah laut dieksploitasi berlebih, industri berbasis perikanan laut juga tidak berkembang. Di tengah melimpahnya sumber daya perikanan, kini kita justru mengimpor ikan.
Untuk mendorong industri hilir komoditas pertanian, solusinya tidak bisa dipukul rata. Masing-masing komoditas memiliki karakteristik persoalan berbeda. Untuk mendorong industri hilir, kebijakan mestinya diarahkan untuk mengatasi masalah riil yang menjadi penyebab lambatnya industri hilir pertanian.
Pertama, memudahkan industri hilir menembus pasar yang didominasi perusahaan multinasional, seperti kebijakan tarif, promosi, dan kerja sama bilateral/multilateral. Kedua, menurunkan tarif bea masuk untuk mesin dan bahan penolong industri hilir perkebunan. Ketiga, melakukan harmonisasi tarif yang belum harmonis. Keempat, memberikan insentif investasi dalam bentuk keringanan pajak (tax holiday), kemudahan izin investasi, dan dukungan infrastruktur yang memadai.
●