Category: Uncategorized

  • Degradasi Hutan

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Degradasi Hutan
    Sumber : KOMPAS, 14 Desember 2011
    Kebutuhan terhadap logam, bahan bakar, dan perkebunan menjadi penyebab mengapa hutan-hutan konservasi ataupun hutan lindung terus-menerus terdegradasi.
    Ekosistem hutan sebagai penyangga kehidupan makhluk hidup dibongkar. Buntutnya, manusia menuai bumerang yang dilemparnya, mulai bencana tanah longsor, banjir, hingga kekeringan melanda sejumlah daerah di Indonesia. Sejatinya, hutan konservasi, seperti taman nasional, cagar alam, atau suaka margasatwa, didesain untuk melindungi kekayaan hayati bumi. Tak kalah penting, hutan terlindungi itu berfungsi sebagai daerah serapan air dan penyeimbang segala aktivitas manusia yang cenderung merusak lingkungan.
    Seiring dengan pertumbuhan manusia, aktivitas eksploitasi alam, kekayaan mineral, dan perkebunan di Indonesia beberapa waktu terakhir mulai melirik kawasan konservasi. Besar kemungkinan, area yang membutuhkan izin berlapis untuk diturunkan statusnya menjadi hutan lindung ini kini jadi daerah tersisa yang masih memiliki kandungan bahan tambang tinggi. Hal ini membuat seakan-akan semua perusahaan dan pemerintah daerah membabi-buta mengeksplorasi hutan konservasi.
    Indikasi seperti ini terjadi di berbagai daerah Indonesia. Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menunjukkan, sedikitnya 3 juta hektar hutan konservasi ataupun yang telah diturunkan statusnya menjadi hutan lindung sedang dan akan berubah fungsi menjadi areal pertambangan. Perusakan hutan masih bakal terus berlangsung dan kawasan konservasi akan semakin menyusut.
    Ini didasarkan pada masih ditempatkannya sektor pertambangan sebagai sumber utama dalam pembangunan ekonomi—bersama infrastruktur dan transportasi—yang bisa menggunakan areal hutan seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
    Diincar Pertambangan
    Eksploitasi bahan tambang memang dipastikan sebagai sumber mudah dalam meraih pendapatan negara. Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pun semakin mempermudah dan memuluskan langkah untuk mengesahkan penggunaan hutan untuk pertambangan.
    Pada tahun 2011 ini, pemerintah ditaksir mendapatkan pendapatan bukan pajak dari pertambangan sebesar Rp 15,2 triliun. Hanya yang perlu diingat, hal ini adalah pencapaian jangka pendek. Setelah bahan tambang habis dikeruk dari perut bumi, tidak ada sisa yang didapat generasi mendatang. Dengan beroperasinya pertambangan, kerugian terus terjadi dan dialami warga setempat. Hilangnya keanekaragaman hayati dan berkurangnya mata air yang membuat warga kesulitan air untuk kebutuhan sehari-hari jadi tak terhitung. Ini belum lagi kerugian akibat bencana tanah longsor dan banjir.
    Salah satu contoh nyata adalah alih fungsi kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone menjadi kawasan pertambangan yang membuat cemas warga Desa Sogitia, Bone Bolango, Gorontalo (Kompas, 7/12/2011).
    Dirambah Perkebunan
    Di sektor perkebunan, ancaman malah lebih besar. Meski penggunaan hutan untuk perkebunan membutuhkan izin pelepasan (tidak seperti pertambangan yang ”hanya” izin pinjam pakai), kerusakan yang disebabkan malah masif. Kementerian Kehutanan mencatat, lebih dari 460.000 hektar hutan konservasi berubah menjadi perkebunan sawit. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan Kementerian Kehutanan 2011 mencontohkan, terdapat izin tak prosedural di Kalimantan Tengah yang mencapai 285 izin usaha perkebunan dengan luas sekitar 3,8 juta hektar.
    Perkebunan kelapa sawit, yang mulai dikembangkan di Indonesia tahun 1960-an, kini semakin luas. Tahun 2007 hingga 2010, luasan bertambah dari 6,7 juta hektar menjadi 8 juta hektar. Luasnya hampir 4 persen dari total daratan Indonesia.
    Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mencatat, luasan sekitar 8 juta hektar ini menghasilkan 21,9 juta ton minyak sawit (hanya 5 juta ton yang dikonsumsi di dalam negeri dan sisanya ekspor) atau rata-rata 2,7 ton minyak sawit per hektar. Produktivitas ini masih kurang dibandingkan dengan kemampuan negara tetangga, Malaysia, yang mencapai 3,5 ton minyak sawit per hektar.
    Mengapa usaha perkebunan sawit di Indonesia terus berupaya mengekspansi hutan? Mengapa tidak meningkatkan efektivitas dan produktivitasnya?
    Sejak Mei 2010 hingga 2012, melalui kebijakan moratorium, pemerintah berjanji tidak akan menerbitkan izin baru di kawasan hutan ataupun gambut. Ini dituangkan dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru.
    Akan tetapi, dalam revisinya yang baru diluncurkan pada 9 Desember 2011, areal hutan gambut berkurang 3,6 juta hektar dengan alasan itu hasil pengecekan lapangan, pengeplotan baru melalui citra satelit, dan penyesuaian dengan tata ruang daerah.
    Ini menunjukkan pemberian izin atau alih fungsi kawasan akan tetap terjadi. Daerah-daerah yang didorong meningkatkan pendapatan asli daerah serta mengejar biaya politiknya masih akan terus berlomba menurunkan status hutan konservasi dan hutan lindungnya. Namun, keputusan diizinkan atau tidak tetap berada di tangan Menteri Kehutanan.

    (ICHWAN SUSANTO)

  • Membongkar Lingkaran Setan

    Membongkar Lingkaran Setan
    Novri Susan, Sosiolog Unair; PHD Student of Global Studies Doshisha University, Kyoto, Jepang; Fellow Jejaring Intelektual Publik Indonesia     
    Sumber : SINDO, 14 Desember 2011
     
    Berita utama harian SINDO (8/12/11) dengan judul Kasus Rekening PNS Muda Sistemik memaparkan kemungkinan praktik korupsi di kalangan PNS muda tidak lepas dari “arahan” para pemimpin mereka. Jadi,rekening miliaran rupiah para PNS muda golongan 3-b tersebut bukan hasil praktik korupsi yang mandiri. 
    Secara sosiologis, praktik sosial yang ingin meraih tujuan- tujuan tertentu cenderung diorganisasikan secara kolektif. Pengorganisasian yang sarat perencanaan, taktik, pembagian kerja, dan implementasi visi.Korupsi sebagai praktik pun tidak lepas dari realitas sosiologis tersebut.

    Para PNS muda yang diduga korup tersebut jelas merupakan bagian dari pengorganisasian kolektif.Mereka mungkin anggota-anggota baru yang direkrut, dilatih, dan diserahi peran kerja oleh jejaring korupsi di mana mereka bekerja. Fenomena sosiologi korupsi ini adalah salah satu dimensi permasalahan yang harus dipecahkan oleh bangsa Indonesia.

    Reproduksi Koruptor

    Praktik korupsi di lingkungan kekuasaan tahun-tahun lalu belum terungkap bersih dan pemberantasannya saat ini pun masih terseok-seok. Anggota jejaring korupsi tidak berkurang, bahkan seolah makin bertambah. Hal ini menyajikan fenomena bahwa reproduksi jejaring korupsi berlangsung secara lancar dan aman. Proses sosial transmisi pengetahuan berlangsung secara intensif, bertahap, dan sehari-hari.

    Mereka, para PNS muda, yang menaati dan menyetujui kandungan pengetahuan tersebut akan diperlakukan istimewa dengan segala fasilitas yang disediakan. Sebaliknya PNS muda yang gagal direproduksi sebagai bayi koruptor, mungkin dikucilkan, dipojokkan, atau bahkan dimutasi ke daerah terpencil Indonesia.

    Proses reproduksi koruptor tersebut tidak terjadi di setiap bagian struktur kekuasaan negara, namun bisa dimungkinkan terjadi di sebagian besar struktur kekuasaan negara. Karena, menurut Michael Hartmann (The Sociology of Elites,2007),proses reproduksi generasi-generasi baru merupakan keniscayaan sosial, sebagai bagian dari mekanisme mempertahankan eksistensi kelompok atau kolektivisme.

    Elite atau pimpinan senior merupakan kelembagaan yang sangat esensial dalam proses reproduksi tersebut. Artinya, pada konteks reproduksi generasi-generasi muda korup cenderung berlangsung terus-menerus di tiap bagian struktur kekuasaan di mana terdapat elite senior yang korup. Reproduksi generasigenerasi muda korup pada kenyataannya terus berlangsung. Alhasil, kekuatan jejaring korupsi tetap atau bahkan makin kuat, kokoh, dan terus mengisap harta negara.

    KPK sebagai lembaga khusus di era transisi demokrasi Indonesia jelas menghadapi kekuatan jejaring koruptor yang tidak kecil.Pada kondisi inilah KPK, dan lembaga-lembaga hukum lain, tidak bisa lagi bekerja terlalu lembut dan ragu-ragu. Selama ini KPK dipandang tidak tegas dan ikut irama permainan elite-elite politik di pusat kekuasaan.

    Potong Generasi

    Gagasan yang sering menjadi wacana publik luas dalam isu penaklukan jejaring koruptor adalah gerakan potong generasi (cut off generation). Asumsi dasar gagasan ini, golongan senior (tua) merupakan produk budaya dan jejaring Orde Baru yang korup dan kolutif. Potong generasi mungkin mampu menghentikan atau mereduksi secara signifikan kekuatan jejaring koruptor.

    Memang pada kenyataannya posisi-posisi penting dalam struktur kekuasaan negara saat ini masih dipegang oleh elite-elite yang meniti karier sejak masa Orde Baru. Tentu tidak tepat seratus persen menunjuk hidung kalangan PNS senior pasti membawa budaya korup Orde Baru dan bagian dari jejaring koruptor. Ada sebagian pejabat PNS senior yang benar-benar mengabdi pada rakyat.

    Namun jumlah pejabat bersih itu tampaknya sangat sedikit. Gerakan potong generasi tentu mensyaratkan metode yang cerdas oleh kekuatan politik demokratis. Mungkin gerakan lustrasi (pembersihan) komunis pada masa Orde Baru merupakan salah satu bentuk metode potong generasi yang bisa dimanfaatkan. Siapa pun yang diindikasikan sebagai anggota dan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) bisa diberi sanksi sesuai level posisi dan peranannya.

    Tokoh-tokoh yang diposisikan penting atas peran strategisnya menyebarkan ideologi komunisme diasingkan sebagai tahanan politik. Sama halnya gerakan potong generasi komunis di Eropa Timur pada gelombang demokratisasi awal pada akhir 1980-an dan awal 1990-an dengan pembuatan regulasiregulasi yang membatasi ruang gerak politik kaum komunis.

    Gerakan potong generasi koruptor sebenarnya bisa juga mengambil metode lustrasi yang digunakan memangkas kalangan komunis tersebut.Isu mendasar dari gagasan potong generasi ini adalah keseriusan kekuasaan demokratis melakukan formulasi metode yang akurat, efisien, dan tepat sasaran. Seperti menciptakan indikator generasi-generasi yang bisa dipangkas dari struktur pemerintahan.

    Salah satu wacana yang perlu dipertimbangkan tentang indikator adalah kualitas dan kuantitas praktik korupsi. Indikator ini menolak usia, seperti PNS tua dan PNS muda. Jika PNS muda secara kuantitas dan kualitas telah mempraktikkan kejahatan korupsi yang merugikan maka bisa dimasukkan kategori potong generasi. Perlu kesadaran dan visi politik yang kuat untuk melakukan gebrakan potong generasi di struktur kekuasaan negara.

    Laporan tentang PNS muda dengan rekening miliaran rupiah adalah peringatan yang kesekian kali tentang terus direproduksinya generasi korup dalam pemerintahan. Pada kenyataannya negara bangsa Indonesia saat ini tengah terjebak pada lingkaran setan praktik korupsi yang disebabkan oleh reproduksi generasi-generasi koruptor secara masif. Oleh karenanya kekuasaan demokratis harus mampu membongkar lingkaran setan tersebut dan membawa Indonesia keluar dari bayangan gelap kejahatan korupsi.  

  • Dilema : Simalakama

    Dilema : Simalakama
    Mudji Sutrisno SJ, BUDAYAWAN
    Sumber : SINDO, 14 Desember 2011
    Pengertian “dilema” ada pada situasi ketika orang harus melakukan pilihan sikap atau putusan (utamanya moral: yang menyangkut baik buruknya seseorang dan menentukan kualitas pribadinya) di mana tindakan memilih yang satu sama sulitnya dengan pilihan tindakan keduanya.
    Dilema menaruh situasi “bingung memilih” lantaran akibat-akibat pilihannya sama parah atau sama bobot. Pepatah kita menyatakan dengan gemilang soal dilema ini,“buah simalakama: memilih yang satu bapak mati, memilih yang kedua si ibu mati.” Dilema ini mengisyaratkan keadaan pilihan putusan hidup yang tidak mudah lantaran ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama,orangnya mesti paham apa itu nilai.

    Dalam arti ini,nilai, adalah “apa yang dipandang berharga dalam hidup ini dan layak dihayati untuk kesejahteraannya dan sesamanya”. Nilai hanya akan tampil keluar dalam wujud nyata aksi atau tindakan. Maka diskusi mengenai nilai adalah wacana abstrak karena seharusnya tidak diwacanakan, tetapi dilakukan dan dihayati dalam hidup. Kedua,berada dalam situasi dilematis; simalakama, orang diandaikan menjalaninya dalam tahap-tahap menimbang cermat dengan budi dan hati (baca nurani) lalu mengambil putusannya dan kemudian mengevaluasi setelahnya.

    Di sinilah “dilema” mengandaikan penghayatan hidup ini sebagai sebuah “proses’. Situasi dilematis sebenarnya mengungkapkan bahwa pilihan moral hidup manusia itu secara nyata tidak bisa dikalkulasi secara hitunghitungan matematis.Timbangannya bukanlah hitam dan putih namun “abu-abu”. Apa artinya? Maksudnya, realitas hidup nyata kita sesungguhnya adalah “abu-abu”.

    Kenyataan ini mesti diterima dahulu untuk bisa menemukan jalan keluar dilematis.Ketika realitas itu abu-abu maka tugas setiap adalah setiap kali dalam aksinya berusaha semakin membuat lebih banyak putihnya dan semakin mengurangi hitamnya dalam keabu-abuan kenyataan moral nyata kita.

    Bila hitam menjadi metafora ‘yang jahat’ dan putih menjadi metafora ‘yang baik’ maka usaha tiap orang Indonesia dalam kenyataan keabu-abuan sehari-hari mestinya mengusahakan lebih banyak ‘yang putih’ agar abu-abunya hidup menjadi lebih putih. Di sini, personifikasi dan metafora yang jahat diungkapkan dalam setan atau si jahat.

    Memilih

    Mengapa kejahatan terus ada di dunia ini kendati tidak kurang-kurang agama dan kata bijak diajarkan? Jawab lugasnya, karena adanya si jahat yang merusak tatanan cipta yang oleh Tuhan atau Allah dalam keyakinan agama dimaksud untuk membahagiakan ciptaan-Nya, manusia, asal ia menuruti jalan dan petunjuk benar dari Allah.

    Bila ia menuruti si jahat maka ia akan tersesat. Barangkali inilah sebabnya, teks suci mau menjelaskan dengan bahasa narasi sumber dan asal kejahatan yaitu masuknya “setan atau si jahat” yang sudah merusak sejak awal di taman penciptaan. Barangkali itu pula Freud yang menemukan psikoanalisa atau analisa ketidaksadaran manusia merangkumkan dua gerak kebudayaan yang satu sama lain bertentangan.

    Yang satu adalah budaya cinta kehidupan dengan motor sumbernya yaitu eros. Sedang yang kedua adalah death culture: budaya thanatos yang destruktif merusak kehidupan. Inikah personifikasi sang perawat hidup dalam Wisnu? Dan sang perusak hidup dan ciptaan dalam Syiwa? Lalu, ketika dua energi eros dan thanatos yang menggerakkan kebudayaan yang satu menumbuhkannya dan yang kedua mematikannya, kita dalam membahas situasi dilema di atas menjadi lebih mudah dicerahkan dan menemukan pemahaman mendalamnya.

    Apa itu? Yaitu memilih adalah sebuah proses. Ia bukan jalan pintas atau instan.Memilih adalah juga bukan lompatan mendadak apalagi dalam proses berkeputusan dalam berbangsa dan bernegara yang majemuk suku, agama, identitas unik masingmasing. Karena itu, dalam pilihan dengan pertaruhan hidup-matinya sebuah bangsa, terletak persoalan penting untuk pilihan-pilihan dilematis yaitu “tanggung jawab”.

    Bila belum lama ini, sebuah proses pemilihan seleksi dan pemilihan ketua KPK atau sederet panitia seleksi untuk anggota- anggota yang mestinya penuh tanggung jawab mengemban amanah bangsa dan suara rakyat yang merupakan suara Tuhan, pertanyaan kritis gugatan kita adalah: atas nama siapakahAnda, wakil-wakil rakyat, melakukan proses pemilihan? Atas nama “nilai” sebagai yang baik untuk bangsa ataukah kepentingan Anda sendiri berikut agenda-agenda yang dipolitisasi yang ujung-ujungnya pasti akan cepat tertemukan dan tercium?

    Apakah Anda pembawa budaya mati atau pembawa budaya hidup untuk sejahteranya bangsa ini? Ketika simalakama berada di depan Anda antara memakan buahnya Anda ditendang dari partai dan tidak memakan buahnya Anda akan kalah dan tak mampu memenuhi hasrat kekuasaan untuk menang,maka di situ pulalah, saat-saat ini kita jadi belajar.Dua pelajaran pentingnya yaitu yang kesatu, bahwa proses memilih dalam situasi dilematis mengandaikan kematangan pertimbangan budi dan nurani para wakil ini.

    Dan kedua pengandaian kemampuan menanggungjawabi pilihannya sebagai “proses kultural”: menimbang apa yang baik, apa yang benar, dan apa yang indah dalam kehidupan berbangsa ini lalu tidak memberi celah sekecil apa pun untuk si jahat masuk dan merusaknya. Oleh karena itu deskripsi nyata saat pemilihan ketua KPK mutakhir manakala dalam pemilihan untuk calon pemimpin KPK suara 55 samasama ditempati oleh Bambang Widjojanto dan Abraham Samad.

    Namun ketika proses pemilihan dilakukan untuk memilih ketua KPK, angka suara Abraham Samad mutlak 55 beda jauh separuh dengan Bambang Widjojanto. Sebuah contoh nyata di depan kita antara proses politik. Pertanyaannya: dilematiskah? Kemudian nomor urutan kategorisasi dari yang diunggulkan oleh Panitia Seleksi Calon Pemimpin KPK (yang sama sekali tidak diambil pertimbangannya oleh para wakil rakyat ini) hanya menandai saja dan menegaskan “garis merah tebal”

    bahwa pada ujungnya proses pemilihan direduksi hanya jadi proses politis dengan kepentingan politis alias kekuasaan. Kita buktikan dengan edar waktu ke depan gaduh riuh politik kuasa yang menang kalah untuk kepentingan partai.Lalu di mana pertanggungan jawab amanah pemilu titipan suara rakyat yang diwakilkan pada pundak Anda-Anda? ●  

  • Kapitalisme Picu Krisis

    Kapitalisme Picu Krisis
    Galih Prasetyo, ALUMNUS UNIVERSITAS NASIONAL, JAKARTA
    Sumber : SUARA KARYA, 12 Desember 2011
    Belakangan ini, di berbagai belahan dunia, kita menyaksikan drama demonstrasi menentang ‘modal’. Menyeruaknya kerumunan demonstran itu berlangsung dalam bahasa ‘resistensi’ terhadap Wall Street lantaran dianggap sebagai jantung kapitalisme global.
    Di saat sistem kapitalisme kian menghegemoni, di sisi lain, kapitalisme kerap menemui krisis. Terlalu banyak contoh tragedi krisis, semisal, krisis Asia yang berujung menyeret Indonesia ke jurang krisis 1997-1998. Bahkan, krisis ekonomi terjadi di Amerika tahun 2008 dan yang terbaru, Yunani juga dilanda krisis serius yang selanjutnya menular ke sejumlah negara eropa lainnya.
    Sistem kapitalisme sering dikaitkan dengan rumah besar bernama globalisasi. Kapitalisme dan globalisasi seolah tak bisa dipisahkan. Sehingga, segalanya seolah makin terintegrasi. Termasuk korporasi dan negara-bangsa.
    Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan terkait penyebab terjadinya krisis yang merupakan bukti ‘kegagalan pasar’ (market failure). Sebagaimana diyakini Joseph E Stiglitz dalam Whither Socialism? (1994), kegagalan pasar terjadi lantaran munculnya kenyataan incomplete markets di mana terdapat imperfect information sehingga membuat pasar tidak efisien.
    Meskipun tercipta complete market bisa dipastikan tidak akan kompetitif karena akan selalu ada pembeli potensial dalam setiap pasar. Imperfect information menciptakan ketimpangan informasi (asymmetric information) yang membuka celah para pelaku pasar bertindak sesuai kepentingan dirinya, mengejar keuntungan seluas-luasnya.
    Tak terkecuali, pasar modal pun berpeluang dijadikan sarang pasar spekulatif yang digelembungkan. Itu sebabnya, persaingan yang tidak sehat mudah ditemukan. Faktor eksternalitas semacam itu yang menghadirkan sederetan konsekuensi dari aktivitas suatu pihak yang cenderung merugikan sebagian besar pihak.
    Adam Przeworski dalam karyanya, States and Markets: A Primer in Political Economy (2003) berpendapat, An externality is an effect of actions of an individual that affects the welfare (utility) of others. Faktor eksternalitas memiliki sisi positif dan negatif. Eksternalitas menjadi positif apabila tindakan satu individu berpengaruh memberikan kesejahteraan terhadap individu yang lain. Sedangkan eksternalitas dinilai negatif ketika mengurangi kesejahteraan yang lain.
    Contoh, soal fasilitas busway di Jakarta. Terlepas dari masalah yang kemudian muncul. Nasmun, pemerintah telah berusaha membawa eksternalitas yang positif bagi orang banyak. Contoh sebaliknya, Rajaratnam, pendiri hedge fund terbesar dunia, Galleon, disinyalir melakukan kecurangan di bursa saham sehingga memperoleh keuntungan haram dari pasar modal senilai 63,8 juta dolar dalam jangka waktu tujuh tahun. Dalam hal ini, yang dirugikan para nasabahnya.
    Dia memiliki kemampuan memprediksikan lalu lintas pergerakan saham. Sebab, banyak menerima bocoran informasi dari orang dalam (insider trading).
    Perdagangan berbasis informasi orang dalam di lantai bursa jelas menabrak aturan. Peristiwa semacam itu adalah bukti bahwa hampir selalu terjadi ketimpangan informasi dalam pasar.
    Ternyata, bukan hanya pasar, negara pun bisa mengalami kegagalan (government failure). Tentu kita ingat saat kompromi Keynesian diterapkan di Amerika pada 1970-an. Dalam model ekonomi Keynesian, perekonomian diarahkan berdasarkan ketatnya campur tangan negara. Namun, yang terjadi adalah ledakan inflasi akibat ekspansi uang dan meningkatnya belanja publik. Dari situ ketegangan antara pasar dan negara mesti dicarikan jalan keluar. Setidaknya, untuk menemukan kebaikan di antara keduanya sekaligus.
    Kaum liberal juga marak membicarakan sejauh mana peran negara dan pasar di era globalisasi. Jagdish Bhagwati dalam In Defense of Globalization (2004) menegaskan bahwa dalam pengadaan proyek liberalisasi ekonomi atas pasar bebas harus juga dibarengi dengan pengadaan jaring pengaman sosial. Karena itu, negara memerlukan seperangkat mekanisme institusional untuk mengatasi guncangan yang terkadang muncul. Jagdish Bhagwati menyebutnya dengan globalization that requires management.
    Jagdish Bhagwati mencatat keberhasilan pembangunan di negara-negara Asia Timur lantaran adanya kombinasi antara pertumbuhan ekonomi pasar dengan proteksi. Dengan kata lain, terjadi campuran atas resep liberal dengan resep nasionalisme ekonomi.
    Negara dan pasar harus berimbang dan saling melengkapi agar keberhasilan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai. Maka, negara bertindak sebagai pengawal dari mekanisme pasar yang tak jarang dinodai oleh ketamakan para pelaku pasar. Negara memiliki kewajiban melakukan suatu rekonstruksi tertentu terkait perkara-perkara proteksi, seperti mengatur kebijakan industri, menyediakan perlindungan sosial, dan sekaligus menciptakan kesejahteraan.
    Menyangkut wacana pasar bebas, perdagangan masih lebih baik ketimbang tidak adanya proses perdagangan. Menurut Bhagwati, diperlukan manajemen transisi menuju liberalisasi. Serta pentingnya well-timing dan well-phased liberalisasi agar terhindar dari semacam krisis finansial Asia yang terjadi akhir 1990-an.
    Banyak kalangan menyebut krisis yang terus berulang lebih dari soal kegagalan pasar atau negara, melainkan akibat krisis kapitalisme di dalam tubuhnya sendiri. Muncul dugaan kapitalisme memang melekat cacat bawaan. Apa mungkin kita dituntut meretas jalan lain di luar kapitalisme? Sementara kita tak bisa mengelak bahwa kapitalisme kian merasuk kenyataan kita.
    Sebagai sebuah sistem, kapitalisme pun tidak menjamin stabil dan mapan. Selalu ada lubang yang terbuka untuk kemungkinan dilengkapi. Sekurangnya, krisis dalam kapitalisme bisa dipahami sebagai ‘koreksi diri’. Layaknya manusia ada kalanya mengalami sakit.  
  • Indonesia sebagai Kiblat Pemikiran Islam Dunia

    Indonesia sebagai Kiblat Pemikiran Islam Dunia
    Evi Rahmawati, MAHASISWA UIN SYARIF HIDAYATULLAH;
    AKTIF DI LEMBAGA STUDI AGAMA DAN FILSAFAT (LSAF)
    Sumber : JIL, 12 Desember 2011
    “Ulil menegaskan optimismenya bahwa Indonesia memiliki peluang untuk menjadi kiblat pemikiran Islam di kancah internasional. Ia mengajukan keberatannya terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh dua sarjana dari Washington mengenai sebarapa Islamkah negara-negara Islam itu dilihat dari berbagai kriteria, seperti pengakuan terhadap hak-hak minoritas, toleransi, pluralisme, transparansi sistem pemerintahan, dsb. Dalam riset tersebut posisi Indonesia berada di bawah peringkat Malaysia. Menurut Ulil, Indonesia jauh lebih pantas menuai peringkat di atas Malaysia, sekurang-kurangnya kalau melihat berbagai perkembangan yang kita miliki hingga saat ini. Bahkan, Ulil mempertegas keyakinannya dengan menyertakan nubuat dari Fazlur Rahman, yang menyatakan bahwa masa depan dunia Islam justru ada di Indonesia, bukan di Arab Saudi.”
    Islam adalah agama yang membawa kemajuan. Sebagaimana manusia, melalui akalnya yang secara pasti diberkahi kemampuan untuk terus bergerak dan berkembang secara dinamis. Pun Islam bukanlah agama statis yang senantiasa memberi tempat pada kejumudan.
    Demikian Neng Dara Affiah menjelaskan spirit yang ingin disampaikan buku Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia. Neng Dara menyampaikan hal itu dalam acara peluncuran buku Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia tersebut pada 28 November 2011 lalu di Aula Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang. Buku ini memuat 19 tulisan dari beberapa intelektual muslim Indonesia, di antaranya tulisan Neng Dara Affiah dan Ulil Abshar Abdalla yang menjadi narasumber dalam acara tersebut, juga Syamsul Arifin yang pada kesempatan yang sama bertindak sebagai moderator.
    Peluncuran buku di UIN Malang ini merupakan bagian dari roadshow yang diselenggarakan Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI) –sebuah kelompok intelektual Muslim yang berikhtiar memproduksi para pemikir sekaligus pemikiran-pemikiran keislamannya. Roadshow yang dilakukan di empat kota di Indonesia (Padang, Malang, Makassar, dan Jakarta) tersebut diharapkan bisa memperkenalkan pemikiran keislaman yang tertuang dalam buku ini. Dengan begitu, acara ini dapat membuka ruang diskusi yang lebih hidup dan produktif.
    Masih menurut Neng Dara, dengan cara pandang optimis ia memberikan keyakinan bahwa Islam sangat mungkin membawa kemajuan seiring dengan dinamika manusia. Dalam kesempatan ini Neng Dara mencoba melacak beberapa prasyarat bagi kemajuan Islam dalam menghadapi tantangan-tantangan mutakhir. Pertama, Islam sangat mengutamakan potensi kemajuan yang dimiliki manusia. Jika diibaratkan, manusia seperti pohon yang akarnya kuat, batangnya kokoh dan daunnya rimbun. Manusia akan selalu mengalami perkembangan pemikiran sepanjang perjalanannya. Kedua, Islam percaya akan penegakan hak-hak perempuan. Sebab, isu perempuan bukan isu marjinal, melainkan isu sentral yang sama pentingnya dengan isu kemanusiaan lainnya. Ketiga, Islam kompatibel dengan demokrasi sebagai sistem negara yang baik. Meski demokrasi di negara kita terkesan compang-camping, namun itu tidak harus menjadi alasan untuk putus asa terhadapnya, karena nila-nilai yang dikandung demokrasi sangat dibutuhkan untuk menciptakan sebuah sistem masyarakat yang adil. Keempat,  Islam sangat ramah terhadap hak-hak minoritas. Kaum minoritas di sini bisa siapa saja, apakah itu kaum agama atau kepercayaan minoritas, atau kaum minoritas lain yang berpotensi mengalami diskriminasi. Kelima, Islam percaya akan kebebasan berpikir. Ketika imajinasi intelektual tidak diintervensi, maka akan melahirkan produk pemikiran yang tak terbatas pula.
    Dalam diskusi yang disambut sangat baik oleh sebagian besar elemen kampus tersebut, Neng Dara, sebagaimana kiprahnya selama ini banyak berkecimpung dalam isu-isu perempuan, meyakini bahwa Islam sesungguhnya adalah agama yang percaya akan penegakan hak-hak perempuan. Adalah salah kaprah jika agama justru dijadikan sebagai legitimasi untuk meminggirkan hak-hak perempuan. Dalam kesempatan tersebut, Neng Dara juga menyatakan keresahannya akan Perda-Perda yang kian menjamur, bahkan angkanya mencapai 207 Perda bernuansa syari’ah—menurut catatan pemantauan Komnas Perempuan—yang kesemuanya memiliki kecenderungan diskriminatif terhadap hak-hak perempuan.
    “Kecenderungan tersebut bisa dikatakan semacam syndrome, yang menganggap aurat perempuan sebagai “momok” menakutkan. Sehingga, kaum perempuan mesti diatur sedemikian rupa agar tidak mengancam stabilitas masyarakat. Padahal, dalam catatan sejarah, tidak ada preseden atau contoh di masa lalu negara mengatur cara-cara perempuan berpakaian. Tentu saja, kita mesti sepakat, karena tubuh perempuan adalah miliknya sendiri, yang tidak harus menjadi bagian dari urusan Negara,” demikian Neng Dara memberikan penekanan.
    Neng Dara Affiah yang selama dua periode didapuk sebagai Komisioner Komnas Perempuan dan juga aktif di Fatayat NU tersebut mengajak peserta diskusi untuk kembali mengingat sejarah, bilamana pergerakan perempuan bersemi di awal tahun 1920-an yang dipelopori oleh gerakan Poetri Mardika di tahun 1912. Pada masa itu, menurutnya, pergerakan perempuan sama halnya dengan gerakan-gerakan lainnya: lantang melakukan kontrol terhadap kolonialisme. Bahkan Sukarno telah lebih dulu memperlihatkan penghargaannya terhadap hak-hak perempuan melalui bukunya Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Repoeblik Indonesia, racikan dari bahan-bahan diskusi pada “Kursus Wanita” yang digerakkannya setiap dua pekan sekali di Yogyakarta. “Dengan demikian,” tegas Neng Dara—hendak memerikan sebuah ironi—, “jika Sukarno saja di masa itu sudah sadar bahwa persoalan hak-hak perempuan adalah persoalan bersama (masyarakat), alangkah lucunya bila di masa kini masih ada yang menganggap isu-isu perempuan sebagai isu pinggiran, yang tidak terlalu seksi bahkan untuk sekedar diperbincangkan.”
    Sementara, Ulil Abshar Abdalla yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, membuka perbincangannya dengan memuji UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sebagai cerminan kampus pembaharu yang sejak semula sudah dicita-citakan oleh para pembaharu muslim, semisal Kiai Haji Ahmad Dahlan. Menurut salah seorang pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) tersebut, core atau inti dari pembaruan yang ingin dilakukan oleh pemuka-pemuka Islam semisal Muhammad Abduh adalah bagaimana agar masyarakat muslim tetap mempertahankan otentisitasnya sebagai muslim, tanpa menutup diri terhadap modernitas. “We are moslem, and yet in the same time, we are modern,” jelas Ulil.  Dalam tradisi NU sendiri kita bisa menjumpai istilah al-muhâfadhah ‘ala al-qadîmi al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah (mempertahankan tradisi yang baik dan mengadopsi hal-hal baru yang lebih baik).
    Atas dasar tersebut, Ulil juga bermaksud menularkan kepada para peserta diskusi perihal optimismenya bahwa Indonesia memiliki peluang untuk menjadi kiblat pemikiran Islam di kancah internasional. Ia mengajukan keberatannya terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh dua sarjana dari Washington mengenai sebarapa Islamkah negara-negara Islam itu dilihat dari berbagai kriteria, seperti pengakuan terhadap hak-hak minoritas, toleransi, pluralisme, transparansi sistem pemerintahan, dsb. Dalam riset tersebut posisi Indonesia berada di bawah peringkat Malaysia. Menurut Ulil, Indonesia jauh lebih pantas menuai peringkat di atas Malaysia, sekurang-kurangnya kalau melihat berbagai perkembangan yang kita miliki hingga saat ini, termasuk keberadaan kampus Islam modern semisal UIN Malang, yang merupakan perkawinan sempurna antara tradisionalisme dan modernisme. Bahkan, Ulil mempertegas keyakinannya dengan menyertakan nubuat dari Fazlur Rahman, yang menyatakan bahwa masa depan dunia Islam justru ada di Indonesia, bukan di Arab Saudi.
    Lebih jauh, Ulil—yang merupakan salah satu peneliti pada Freedom Institute tersebut—menyatakan optimismenya terhadap potensi kemajuan dunia Islam di tangan Indonesia. Karena sampai sejauh ini Indonesia berhasil menaklukkan tantangan-tantangan berat yang mungkin saja tidak bisa dihadapi negara lain manakala mengalami masa transisi politik. Menurut pengamatannya, ketika sebuah negara mengalami transisi politik, ia akan berhadapan dengan fase-fase berbahaya yang bisa mengancam stabilitas pemerintahan. Akibatnya, negara yang dalam masa transisi rentan mengalami balkanisasi, sebuah gejala disintegrasi yang diakibatkan oleh menjamurnya separatisme. Contoh paling representatif adalah pengalaman Uni Soviet dan negara-negara di Timur Tengah.
    “Sementara Indonesia,” sambung Ulil, “berhasil melalui masa transisi tanpa harus kehilangan banyak. Mungkin seketika kita teringat akan Timor Leste. Tetapi itu hanya sebuah pengecualian. Pada kenyataannya, Indonesia tetap menjadi negara kesatuan yang utuh hingga sekarang.” Ulil meyakini bahwa gerakan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peranan penting dalam hal ini. Di mana masyarakat NU telah lebih dulu mengamini ijtihad politik pendahulunya, KH Ahmad Shiddiq, yang mendeklarasikan Indonesia sebagai negara final. Sehingga, umat Islam Indonesia tidak perlu lagi mencontoh bentuk pemerintahan di negara Islam lainnya. “Deklarasi yang diprakarsai Ahmad Shiddiq, Rais Am NU pada masa itu (1984), merupakan sebuah strategi efektif dalam menumbuhkan kesadaran nasionalisme masyarakat melalui legitimasi agama,” demikian Ulil menyatakan kebanggaannya atas tradisi luhur yang telah dibangun oleh NU sejak Muktamarnya yang ke-27, tahun 1984 itu.
    Di samping itu, Indonesia berhasil melalui masa transisi tanpa kudeta militer. Kita bisa melihat kondisi memprihatinkan yang dialami Mesir manakala negara ini mengalami masa transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju demokrasi. Ketika pemerintahan Husni Mubarak berhasil ditumbangkan, Mesir masih terus mengalami pergolakan hebat yang diakibatkan oleh perlawanan masyarakat terhadap kepemimpinan baru yang diusung oleh kalangan militer. Indonesia sedikit lebih beruntung karena transisi di masa reformasi dipimpin oleh kalangan sipil, yaitu B.J. Habibie. Kepemimpinan Habibie sebagai tokoh sipil, tidak bisa kita lupakan begitu saja jasanya. Adalah kontribusi Habibie yang berhasil meloloskan undang-undang penting semisal UU tentang Otonomi Daerah, pemisahan antara TNI dan POLRI, dsb.
    Kemajuan lain yang diperlihatkan Indonesia adalah dukungan serta partisipasi masyarakat yang begitu besar terhadap demokrasi. Beberapa inisiatif terus dilakukan masyarakat demi mendukung wacana demokrasi melalui berbagai elemen, apakah itu melalui tokoh masyarakat, partai politik, NGO (LSM), Perguruan Tinggi Islam semisal IAIN yang sumbangannya cukup besar dalam mewacanakan demokrasi. Sebagaimana pernah dilakukan UIN Syarif Hidayatullah yang pernah membuat semacam buku panduan tentang HAM. Atau misalnya NU yang pernah membuat halaqah yang khusus menyoroti fikih korupsi.
    Sebagai penutup, Ulil menambahkan bahwa perlu ada upaya untuk terus meningkatkan capaian-capaian yang telah Indonesia miliki. Salah satunya adalah dengan terus mengembangkan tradisi keilmuan di kalangan sarjana, sehingga nubuat Fazlur Rahman di atas bukan sekadar pujian atau harapan kosong. Dalam kesempatan itu, Ulil mengungkapkan kerinduannya terhadap iklim intelektualisme yang pernah begitu subur di tahun 1970-an, masa di mana gerbong pemikiran Islam tengah mengalami kejayaan saat Cak Nur dan Gus Dur menjadi masinisnya. Sementara sekarang, Ulil melihat bahwa tradisi seperti di masa itu (dekade 70-an) sudah mulai luntur. Karena itulah, Ulil yang juga salah satu pengarah KEMI, ingin mengoptimalkan peran komunitas epistemik ini sebagai mediator yang diharapkan bisa menghidupkan kembali kejayaan pemikiran Islam yang pernah berkibar beberapa dekade lalu.
    Ulil pun menambahkan, bahwa upaya lain yang harus dilakukan oleh para sarjana adalah memperbanyak karya dalam bahasa Inggris. Karena bahasa ini adalah satu-satunya mediator yang paling efektif untuk melebarkan sayap pemikiran kita di dunia Internasional. Selain itu, lanjut Ulil, kita juga harus berupaya mengembangkan dan memperbanyak jurna-jurnal ilmiah yang bisa dijadikan rujukan orang lain manakala ingin belajar tentang Islam Indonesia. Upaya terakhir yang perlu dilakukan adalah dengan membuka diri terhadap segala pendekatan keilmuan, apakah itu pendekatan yang tradisional atau yang liberal. Dengan terbuka terhadap beragam pendekatan itu, maka diharapkan bisa merangsang dialog-dialog yang sehat demi perkembangan keilmuan kita di masa mendatang. Maka dengan memenuhi upaya-upaya tersebut, Ulil menegaskan keyakinannya bahwa Indonesia bisa memenuhi nubuat Prof Fazlur Rahman sebagai negara model keislaman internasional, laiknya mercusuar yang bisa menerangi dunia Islam lainnya.
    Sementara itu, Dr. Lutfi Mustofa, dosen Filsafat di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang juga menjadi narasumber pada diskusi tersebut menguraikan sejarah pembaruan serta fase yang dilewatinya. Menurutnya, pembaruan dalam Islam melewati fase pertamanya di abad 17-18, yang dipicu oleh kesadaran akan kondisi internal Islam yang mengalami penurunan, bahkan jauh tertinggal dari masyarakat Barat. Sementara fase selanjutnya, pembaruan kemudian dimotivasi oleh kolonialisme. Menjalarnya penjajahan di berbagai dunia Islam itulah yang kembali membangunkan gairah masyarakat di dunia Islam untuk melakukan pembaruan.
    Pada titik inilah Lutfi Mustofa hendak menggiring peserta pada harapan yang sama: pembaruan pemikiran Islam di Indonesia tidak lain mimpi bersama bangsa ini dalam membangun masyarakat yang lebih dewasa dalam mengantarkan pola hubungan yang lebih harmonis antara negara dan agama. Yakni, menampilkan wajah agama yang mendorong nilai-nilai universal untuk mendorong sekularisme di Indonesia.  
  • Menghalau Radikalisme Agama di Sekolah

    Menghalau Radikalisme Agama di Sekolah
    Abdul Moqsith Ghazali, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 12 Desember 2011
    “Kelompok Islam Wahabi berideologi puritan sekaligus radikal terus mendirikan sejumlah pesantren. Tak kurang dari belasan pesantren yang telah dirintis kelompok Wahabi di Indonesia. Sebagaimana sekolah Wahabi di Arab Saudi, sejumlah pesantren Wahabi di Indonesia mengkampanyekan doktrin yang sama. Mereka suka memusyrikkan dan mengkafirkan orang yang berbeda dengan ajaran Wahabi. Tak cukup hanya mengkafirkan dan memusyrikkan, jika suasana sosial-politik sudah pendukung, kelompok Wahabi tak ragu untuk menggunakan cara kekerasan di dalam mengubah pendirian orang Islam lain. Jalan kekerasan itu pernah dilakukan kelompok Wahabi Arab Saudi terhadap umat Islam lain yang dianggap menyimpang. Kelompok Wahabi tak hanya bengis kepada non-muslim, tapi juga keras kepada umat Islam sendiri yang non-Wahabi.”
    Sekolah adalah tempat anak-anak bertumbuh secara intelektual dan matang secara sosial. Di sekolah-sekolah publik, sekolah tak hanya dihuni satu kelompok; kelompok agama, kelompok etnik, dan kelompok sosial-ekonomi. Para siswa datang dari berbagai strata dan lapisan sosial-keagamaan. Di antara mereka, ada yang beragama Protestan, Katolik, Hindu, Budha, di samping Islam bahkan Konghucu dan berbagai jenis aliran kepercayaan lainnya. Dengan demikian, sekolah memiliki peranan penting dalam proses pengolahan pluralitas menjadi pluralisme. Sekiranya pluralitas adalah fakta, maka prluralisme adalah kesadaran untuk menghargai perbedaan-perbedaaan itu. Bahwa seseorang tak boleh di-ekskomunikasi dan diisolasi karena yang bersangkutan menganut agama tertentu. Setiap orang punya hak dan bebas memilih suatu agama. Hak itu dijamin dan dilindungi konstitusi: UUD 1945.
    Namun, belakangan muncul anomali dan deviasi. Sejumlah penelitian menunjukkan adanya kecenderungan radikalisasi agama di sekolah. Kerap diberitakan sejumlah media, sejumlah siswa sekolah menghilang tanpa sepengetahuan guru dan orang tuanya. Setelah dilacak ternyata mereka menjadi bagian dari gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Kita tahu NII adalah salah satu gerakan yang terus memupuk dan mengkampanyekan berdirinya negara Islam seperti yang dikehendaki pendirinya, yaitu S.M Kartosoewirjo. Dalam ideologi NII lantang dikatakan bahwa negara Indonesia adalah negara kafir, karena tak berdiri di atas fondasi al-Qur’an dan Hadits. Tak sedikit di antara mereka yang membolehkan pencurian karena harta warga negara Indonesia adalah harta fa’i atau ghanimah yang boleh diambil, dengan cara paksa seperti perampokan atau dengan cara penipuan. Bahkan, orang lain yang tak berbai’at dan tak mengakui NII dianggap kafir. Umat agama lain adalah ancaman.
    Itu di sekolah publik yang didirikan dan dibiayai oleh negara. Belum lagi kalau kita bicara pembelajaran di lembaga pendidikan yang dikelola swasta yang jumlahnya jauh lebih banyak. Kelompok Islam Wahabi berideologi puritan sekaligus radikal terus mendirikan sejumlah pesantren. Tak kurang dari belasan pesantren yang telah dirintis kelompok Wahabi di Indonesia. Sebagaimana sekolah Wahabi di Arab Saudi, sejumlah pesantren Wahabi di Indonesia mengkampanyekan doktrin yang sama. Mereka suka memusyrikkan dan mengkafirkan orang yang berbeda dengan ajaran Wahabi. Tak cukup hanya mengkafirkan dan memusyrikkan, jika suasana sosial-politik sudah pendukung, kelompok Wahabi tak ragu untuk menggunakan cara kekerasan di dalam mengubah pendirian orang Islam lain. Jalan kekerasan itu pernah dilakukan kelompok Wahabi Arab Saudi terhadap umat Islam lain yang dianggap menyimpang. Kelompok Wahabi tak hanya bengis kepada non-muslim, tapi juga keras kepada umat Islam sendiri yang non-Wahabi.
    Bukan hanya kelompok Wahabi. Kita juga menyaksikan gelombang radikalisme itu dihentakkan kelompok-kelompok radikal Islam Indonesia asuhan Osama bin Laden, Abdullah Azzam, Ayman al-Zawahiri, dan lain-lain. Sebagaimana kaum Wahabi, mereka pun mendirikan sejumlah pesantren, para tokohnya banyak yang berperan sebagai muballigh/da’i di tengah masyarakat. Bukan hanya orang tua yang datang ke pengajian tokoh-tokoh radikal Islam itu, melainkan justru sebagian besarnya adalah anak-anak muda tanggung yang biasanya masih dalam proses pencarian jati diri. Otak mereka dicuci untuk menghancurkan negeri sendiri. Anak-anak muda itu diberi pemahaman bahwa Indonesia adalah negara thagut yang wajib dibasmi. Pencucian otak berlangsung secara sistematis dan terstruktur dalam kurikulum pendidikan mereka. Bahkan, pesantren mereka tak hanya berperan sebagai ruang ajar radikalisme melainkan tempat latihan merakit dan meledakkan bom. Masih segar dalam ingatan, meledaknya bom di Ma’had Umar ibn Khattab, Bima Nusa Tenggara Barat, pada Senin 11 Juli 2011. 
    Sekolah telah berubah fungsi; dari lumbung pertumbuhan intelektualisme menjadi tempat persemaian mudigah radikalisme. Menghadapi itu, saya mengusulkan dua langkah. Pertama, pemerintah jangan ragu untuk mengintervensi sekolah-sekolah anti Pancasila, UUD 1945, dan negara bangsa. Pemerintah perlu memasukkan mata pelajaran pendidikan kewarga-negaraan ke semua jenjang sekolah di Indonesia, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Sejak dini, anak-anak didik kita perlu mendapatkan asupan pengetahuan tentang, misalnya, (a) kenapa kita menempuh jalan demokrasi dan bukan teokrasi; (b) kenapa Indonesia tak menjadi negara agama melainkan negara yang bertumpu pada Pancasila; (c) kenapa seluruh warga negara berkedudukan sama; yang satu tak lebih unggul dari yang lain karena faktor agama yang dianutnya. 
    Kedua, kontrol wali murid terhadap sekolah sangat diperlukan. Orang tua tak boleh “pasrah-bongkokan” pada sekolah. Mereka perlu tahu tentang jenis-jenis mata pelajaran sang anak dan siapa pengajarnya. Bagaimana pandangan sekolah tersebut tentang negara Indonesia, umat berbeda agama-keyakinan, dan perempuan. Bahkan, secara lebih khusus, wali murid perlu mengetahui tentang siapa pengajar-dosen agamanya [menyangkut latar belakang pendidikan dan keluarga dari yang bersangkutan]. Dengan menjadi orang tua yang proaktif dan kritis, maka anak-anak kita tak akan salah asuhan. Sebab, tak sedikit anak-anak yang unggul di bidang fisika dan kimia, tapi di tangan guru agama fundamentalis bisa menjadi anak fundamentalis bahkan teroris. Na’udzu billah. 
    Dua langkah ini diajukan sebagai upaya untuk menghalau radikalisme agama yang tumbuh subur di sekolah-sekolah Indonesia belakangan ini.  
  • Agama dan Sikap terhadap Waria

    Agama dan Sikap terhadap Waria
    Abdul Muiz Ghazali, ALUMNUS PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA, JOGJAKARTA
    Sumber : JIL, 12 Desember 2011
    “Kita membutuhkan tafsir keagamaan yang lebih menghargai dan memanusiakan kaum waria. Sebagaimana manusia lain, waria juga punya hak untuk mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan penindasan. Tak seluruh waria berperilaku seksual seperti dituduhkan sebagian kalangan. Banyak di antara para waria yang ahli ibadah, bekerja produktif, berpendidikan tinggi, bermoral baik, dan sebagainya.”
    Waria dianggap meresahkan. Mereka diusir, dianiaya, dan dibunuh. Tak jarang pemerintah melalui aparaturnya seperti polisi dan satpol PP melakukan sejumlah penggerebekan terhadap waria. Tindak kekerasan dan diskriminasi tak pernah sirna dari kehidupan waria. Peminggiran bahkan tak hanya terhadap waria, tapi juga terhadap siapa saja yang mendampingi dan mendiskusikan tentang waria. Dengan demikian, tak banyak orang yang berani turun tangan mengadvokasi waria. Sebab, waria telah dipandang sebagai penyimpangan. Waria dianggap sumber maksiat dan kejahatan. Menurut kelompok kontra waria, Allah hanya menciptakan laki-laki dan perempuan, tidak waria.
    Tak satu pun ayat al-Qur’an yang menyinggung jenis kelamin (identitas seks) selain laki-laki (al-dzakar) dan perempuan (al-untsa). Tetapi, dalam hadits disebut jenis kelamin lain yang dinamakan khuntsa, yakni seseorang yang mempunyai alat kelamin ganda (hermaphrodit). Kitab-kitab fikih telah banyak menyinggung soal hukum khuntsa ini, bahkan fikih telah mengajukan satu kategori lebih lanjut, yaitu khuntsa musykil, berikut postulat-postulat hukumnya. Dengan demikian, khuntsa bukan waria karena waria hanya memiliki satu alat kelamin: penis. Waria lebih tepat dipahami sebagai seorang laki-laki yang memiliki kecenderungan seksual perempuan. Kondisi seperti ini dalam hadits dinamakan mukhannats, yaitu laki-laki yang menyerupai perempuan.
    Dalam hadits riwayat ‘Aisyah dikatakan bahwa seorang mukhannats pernah masuk ke ruangan istri-istri Nabi. Lalu Nabi tak menginginkannya. Nabi bersabda, “Tidakkah kamu lihat, mukhannats ini mengerti apa saja yang ada di sini. Maka, jangan masukkan mereka ke rumah kalian”. Setelah itu, istri-istri Nabi menghalangi mukhannats tersebut jika yang bersangkutan hendak memasuki rumah. (HR. Muslim). Menghadapi hadits ini, al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim coba membuat kategorisasi. Yaitu, mukhannats min khalqin (given) dan mukhannats bi al-takalluf (constructed). Pada yang pertama, menurut al- Nawawi, mereka tidak tercela dan tidak berdosa. Bergaul dengan mereka tidak dilarang. Sementara terhadap yang kedua, hukumnya dosa dan terlaknat.
    Setarikan nafas dengan al-Nawawi adalah pendapat Ibn Hajar. Ia juga membagi mukhannats ke dalam dua bagian: min ashlil khilqah (tercipta sejak dalam janin) dan bil qashdi (lelaki yang dengan sengaja memoles dirinya dan berperilaku seperti perempuan).  Menurut Ibn Hajar, jenis pertama tak terlaknat (ghair mal’un) tapi harus tetap diupayakan agar yang bersangkutan bisa mengubah diri menjadi lelaki sejati. Membiarkan dan merelakan diri dengan kondisi itu tanpa ada usaha, ia akan tetap mendapat celaan—celaan sosial juga teologis.
    Pandangan al-Nawawi dan Ibn Hajar “diinspirasikan” oleh firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 5. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa penciptaan manusia itu ada yang sempurna (mukhallaqah) dan ada yang tak sempurna (ghair mukhallaqah). Mayoritas mufassir memahami ghair mukhallaqah ini sebagai ketidaksempurnaan secara jasmaniah, baik berupa keguguran maupun cacat. Ini wajar karena para mufassir hanya melihat apa yang ada saat itu dan ilmu pengetahuan masih belum berkembang seperti sekarang ini.
    Namun, jika memperhatikan penjelasan kedokteran, kita akan menemukan penjelasan lain. Janin bermula dari zygote, penyatuan sperma dan ovum. Jika zygote mengandung satu kromosom X dari perempuan dan satu kromosom Y dari laki-laki, maka ia akan menjadi janin laki-laki. Sebaliknya, jika zygote terdiri dari kromosom X dari benih laki-laki dan satu kromosom X dari benih perempuan, maka ia akan menjadi janin perempuan. 
    Tapi, jika dalam zygote terjadi kombinasi tanpa mengalami pembelahan kromosom, maka si janin akan mengidap kelainan. Bukan hanya itu, ketika janin berusia delapan minggu akan tetapi kurang mendapat asupan testoteron ke otaknya, sekalipun berjenis kelamin laki-laki, maka secara kejiwaan, termasuk orientasi seksualnya, adalah perempuan.
    Itu mungkin yang dimaksud ghair mukhallaqah dalam ayat tersebut. Sebab, dalam al-Qur’an terdapat penjelasan bahwa ada sebagian lelaki yang tidak berhasrat secara seksual dan tidak menginginkan untuk hidup bersama perempuan. Al Qur’an menamakannya sebagai ghair uli al-irbat min al rijal (QS., 24:31). Waria secara kejiwaan memang tidak memiliki hasrat untuk membangun rumah tangga dengan perempuan. 
    Sebaliknya, sebagaimana perempuan, waria menghendaki membangun rumah tangga bersama laki-laki. Ini hanya sedikit ayat yang bisa dipakai untuk merespons waria, bahwa waria adalah seorang lelaki yang sejak dalam janin memiliki “kelainan” otak atau jiwa (ghair mukhallaqah) yang tidak memiliki hasrat seksual sedikitpun terhadap wanita (ghair uli al-irbat).
    Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kedudukan waria dalam hukum Islam? Bagaimana tentang perilaku seksualnya? Sama-sama “berkelainan”, waria berbeda dengan khuntsa (hermaphrodit). Waria tak pernah menjadi diskursus dalam fikih Islam. Misalnya, tentang shalatnya, zakatnya, hajinya, dan hukum warisnya. Diskursus tentang waria selalu mengarah pada perilaku seksualnya. Waria (di)identik(kan) dengan sodomi atau liwath. Tentang sodomi ini, nyaris semua ulama mengharamkannya. Sodomi dianggap sebagai perilaku seksual abnormal, menjijikkan dan karena itu harus diajuhi. 
    Dalil yang menjadi sandaran keharamannya adalah al-Qur’an yang mengisahkan tentang kisah Nabi Luth (misalnya, QS., 7:80-81; 26:165-166; 27:54-55). Sejumlah hadits yang mengutuk perilaku kaum Luth juga banyak.
    Namun sebagaimana zina, seluruh ulama memberi satu rambu bahwa tuduhan sodomi memerlukan empat saksi yang masing-masing saksi melihat dengan mata telanjang masing-masing, hubungan seksual itu dilakukan. Tanpa ada empat orang saksi, tuduhan itu tidak sah dan penuduhnya bisa mendapat hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali. Dengan perkataan lain, menuduh sodomi kepada waria tanpa menghadirkan empat orang saksi adalah qadzaf, sebuah tuduhan palsu yang notabene adalah tindak kriminal. Apalagi tak seluruh waria melakukan praktek sodomi. Tak sedikit di antara mereka, yang memandang bahwa sodomi adalah kejahatan. Karena itu, menghindari generalisasi terhadap perilaku seksual waria adalah jalan arif dan bijaksana.
    Dalam kasus sodomi banyak waria mempertanyakan, kenapa hanya waria yang dipersalahkan. Kenapa publik tak juga menghukum para pria yang datang menghampiri para waria. Di sini tampak adanya diskriminasi dan ketidakadilan. Sebab, demikian waria beragumen, sodomi itu mengandaikan dua pihak: waria dan pria yang mendatangi. Para waria juga kerap bertanya, jika perilaku seksual waria dianggap menyimpang, mengapa orang ramai tak jua memandang perilaku pria yang menyodomi waria sebagai menyimpang.
    Dengan penjelasan-penjelasan ini, kita membutuhkan tafsir keagamaan yang lebih menghargai dan memanusiakan kaum waria. Sebagaimana manusia lain, waria juga punya hak untuk mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan penindasan. Tak seluruh waria berperilaku seksual seperti dituduhkan sebagian kalangan. Banyak di antara para waria yang ahli ibadah, bekerja produktif, berpendidikan tinggi, bermoral baik, dan sebagainya.  
  • Deklarasi Juanda 1957, Produk Geopolitik “Par Excellence”

    Deklarasi Juanda 1957,
    Produk Geopolitik “Par Excellence”
    Urip Santoso, PENASIHAT FORUM MASYARAKAT MARITIM INDONESIA, CHAIRMAN CENTRE FOR MARITIM STUDIES INDONESIA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 13 Desember 2011
    Deklarasi Juanda tahun 1957 dalam era Soekarno bernilai sangat geopolitis dan geostrategis. Tetapi apakah hal itu dihayati para pemimpin di era reformasi?
    Padahal salah satu hasil penting deklarasi ini adalah UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), yang merupakan pengakuan Indonesia sebagai negara archipelago (maritim) terbesar di dunia.
    Bayangkan teritori Indonesia menjadi mekar hampir lima kali luas asalnya menjadi 5.193.250 km persegi, di mana 60 persennya atau 3.166.163 km persegi berupa laut (Prof Dr M Dimyati Hartono, SH). Artinya, kodrat dan sejarahnya adalah bahari atau maritim. Apakah identitas ini masih ada setelah 66 tahun Indonesia merdeka?
    Memang banyak masalah yang menyangkut eksistensi Indonesia sebagai negara bahari. Sayangnya, kita tidak mampu menyelesaikan secara tangkas dan terhormat berbagai persoalan kebaharian itu.
    Artinya, walaupun Indonesia oleh UNCLOS resmi diakui sebagai negara maritim terbesar di dunia, kenyataannya kita belum diperlakukan sebagai negara maritim yang tangguh. Moto TNI AL “Yalesveva Jayamahe” hanya menjadi semacam paradoks.
    Kita perlu menemukan kembali identitas kebaharian sebagai identitas bangsa. Jakob Oetama, salah satu sosok yang mempunyai komitmen tentang eksistensi kebaharian Indonesia, pernah menyatakan keprihatinannya 10 tahun lalu. Dia melemparkan gagasan menarik tentang pentingnya menemukan kembali (reinventing) Indonesia melalui kelautan.
    Kata reinventing secara implisit mengandung makna ada sesuatu yang hilang dan harus ditemukan kembali. Apakah yang sudah hilang itu? Yang hilang adalah kesadaran bahwa bangsa kita adalah bangsa bahari yang dulu pernah jaya. Oleh karena itu, menemukan kembali (reinventing) Indonesia berarti menemukan kembali identitas kebaharian sebagai identitas bangsa.
    Penemuan kembali identitas sebaiknya tidak terjebak pada sekadar romantisme sejarah Sriwijaya dan Majapahit dahulu yang memang jaya. Sekadar menyebut contoh; kasus-kasus Sipadan dan Ligitan di Pantai Timur Kalimantan, Ambalat di sebelah barat Kalimantan, dan belum lama ini seorang nelayan Indonesia meninggal di penjara Malaysia.
    Ahmad Zailani atau Eli (34) bersama 12 nelayan dari Deli Serdang, Sumatera Utara, ditahan di penjara Malaysia. Eli kemudian meninggal di penjara.
    Yang lebih parah lagi adalah kebijaksanaan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang membuka keran impor ikan untuk memenuhi permintaan industri pengalengan. Padahal dapat dipastikan ikan-ikan itu juga berasal dari perairan Indonesia.
    Pemerintah seharusnya mencari jalan keluar yang mendasar. Bukankah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari awal sudah bersemboyan pembangunan yang pro-job, pro-growth,dan pro-poor? Sangat mengenaskan, memang, nasib nelayan Indonesia.
    Ada olok-olok yang beredar di lingkungan para nelayan di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Mereka mengatakan nelayan itu “digdaya” (sakti), tetapi sebetulnya hanyalah akronim. Arti sebenarnya gudig sedaya; sangking miskinnya, seluruh badannya gudigan (kudisan).
    Tagih Janji SBY
    Ada masalah yang tidak kalah penting. Sesuai pesan UU RI No 17 Tahun 2008, seharusnya pada 2011 sudah terbentuk Coast Guard Indonesia yang sudah operasional. Tetapi yang kita saksikan saat ini barulah Bakorkamla yang sudah dapat diperhitungkan tidak mungkin dapat berfungsi secara efisien untuk menjaga dan mengatur lautan yang demikian luasnya.
    Institusi Bakorkamla terdiri dari tidak kurang tujuh instansi yang masing-masing per UU memiliki kewenangan (otoritas) wilayah hukumnya sendiri-sendiri. Tidak mengherankan kalau hingga sekarang masih sulit untuk Indonesia memiliki coast guard di bawah satu komando.
    Mengapa? Penyebab utamanya, kepentingan-kepentingan sempit masing-masing sektor. Lautan dari dulu tidak dapat dikapling seperti halnya di darat.
    UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025 (UU RI No 17 Tahun 2007) telah disetujui dan ditandatangani Presiden SBY pada 5 Februari 2007.
    Di sana tersurat tentang Visi dan Misi Pembangunan Nasional tahun 2005–2025, yang antara lain mencantumkan kalimat ”Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional”. Artinya, menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan.
    Selama ini ada dua Presiden RI yang memberikan perhatian serius pada masalah kebaharian/maritim. Pertama, Presiden Soekarno yang pada 1 Juni 1945 dalam pidatonya menjelaskan Pancasila sebagai dasar negara berkata, our geopolitical destiny is maritim. Di kemudian hari secara konsekuen, Soekarno membuktikan apa yang dia katakan.
    Soekarno mendukung sepenuhnya ikhtiar dan usaha PM Juanda mengenai Deklarasi Juanda. Lantas, dalam usaha merebut kembali Irian Jaya (Nederlands Nieuw Guinea) di tahun 1962, dia mengembangkan Indonesia menjadi negara yang sangat disegani tidak saja di lingkungan ASEAN, tapi juga di Asia Selatan. Dalam rangka Trikora itu, hadir kapal tempur RI Irian dan kapal-kapal selam Indonesia kelas Whiskey.
    Di udara, Belanda digentarkan pesawat-pesawat bomber dan tempur MIG dan Ilyushin. Presiden kedua adalah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menghidupkan kembali tanggal 13 Desember resmi sebagai Hari Nusantara pada 1999.
    Bagi SBY yang masih mempunyai waktu 25 bulan ke depan diharapkan bisa memenuhi janjinya yang termaktub dalam UU RI tahun 2007. Dia perlu menunjukkan akankah dirinya dikenang rakyatnya sebagai Presiden RI ke-3 yang menemukan kembali identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari?
    Artinya, merealisasi Deklarasi Juanda tanggal 13 Desember yang isinya menyatakan Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki corak tersendiri. Kedua, bahwa sejak dahulu kala Kepulauan Nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan. Ketiga, ketentuan ordonansi 1939 dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia.
    Deklarasi itu mengandung satu tujuan, yakni mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat, untuk menentukan batas-batas NKRI sesudah dengan asas negara kepulauan, dan untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI. 
  • Makna Hari Nusantara

    Makna Hari Nusantara
    Rokhmin Dahuri, KETUA UMUM MASYARAKAT AKUAKULTUR INDONESIA
    Sumber : REPUBLIKA, 13 Desember 2011
    Kendati Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957 secara geopolitik dan geoekonomi sangat penting bagi kejayaan dan kedaulatan bangsa Indonesia, namun kita baru memperingatinnya sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada 13 Desember 2000. Kemudian, melalui Keppres No 126/2001, Presiden Megawati Soekarnoputri mengukuhkan Hari Nusantara, 13 Desember sebagai Hari Nasional, yang kemudian diperingati setiap tahun. Tanpa Deklarasi Djoeanda, potensi kekayaan laut Indonesia hanya sekitar 1/3 dari potensi yang kita miliki sekarang.

    Wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh tiga mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau kita. Sehingga, di antara pulau-pulau Indonesia terdapat laut bebas (internasional), yang memisahkan satu pulau dengan lainnya, memisahkan kita, dan ini berarti ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
     
    Kita patut bersyukur bahwa Ir H Djoeanda, perdana menteri pada waktu itu, dengan berani pada tanggal 13 Desember 1957 mendeklarasikan kepada dunia bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas seperti diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie 1939. Wilayah laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.

    Deklarasi Djoeanda tidak langsung diterima oleh masyarakat dunia, bahkan Amerika Serikat dan Australia menentangnya. Namun, berkat kegigihan perjuangan diplomasi oleh para penerusnya, seperti Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja dan Dr Hasyim Djalal, deklarasi yang berisikan konsepsi negara kepulauan (archipelagic state) tersebut diterima oleh masyarakat dunia dan akhirnya ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Nation Convention on Law of the Sea, UNCLOS) 1982.  

    Peran Strategis Laut

    Kini, kita memiliki wilayah laut, termasuk ZEEI, seluas 5,8 juta kilometer persegi (km2) yang merupakan tiga per empat dari total wilayah Indonesia. Di dalamnya terdapat lebih dari 17 ribu pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 95.200 km, terpanjang kedua setelah Kanada. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia.

    Di sinilah Deklarasi Djoeanda mendapatkan peran geopolitik yang sangat mendasar bagi kesatuan, persatuan, dan kedaulatan Indonesia. Oleh karena itu, Deklarasi Djoeanda sejatinya merupakan salah satu dari tiga pilar utama bangunan kesatuan dan persatuan NKRI, yaitu: Kesatuan Kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928; Kesatuan Kenegaraan dalam NKRI yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945; dan Kesatuan Kewilayahan (darat, laut, dan udara) yang diumumkan oleh Perdana Menteri Djoeanda pada 13 Desember 1957.

    Selain geopolitik, laut juga memiliki peran geokonomi yang sangat strategis bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Laut kita mengandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik berupa sumber daya alam (SDA) terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi); SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan; maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah.

    Lebih dari itu, laut Indonesia juga berperan sentral untuk pengendalian dinamika iklim global, siklus hidrologi, siklus biogeokimia, penetralisasi limbah, dan sistem penunjang lainnya yang membuat sebagian besar permukaan bumi layak dan nyaman dihuni manusia. Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita dayagunakan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

    Potensi total ekonomi 11 sektor kelautan itu mencapai 800 miliar dolar AS (Rp 7.200 triliun) per tahun, lebih dari enam kali lipat APBN 2011 atau satu setengah kali PDB saat ini. Sedangkan kesempatan kerja yang dapat dibangkitkan sekitar 40 juta orang. Karena itu, bila kita mampu mendayagunakan potensi ekonomi kelautan secara produktif, maka masalah pengangguran dan kemiskinan otomatis akan terpecahkan.

    Pengembangan sektor-sektor ekonomi kelautan yang berlangsung di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan lautan juga bakal menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru yang menyebar secara proporsional di seluruh wilayah nusantara. Hal ini tentu akan membantu penyelesaian permasalahan nasional lainnya berupa distribusi penduduk yang sangat tak seimbang, urbanisasi, dan brain drain dari luar Jawa ke Jawa dan dari desa ke kota. 

    Pembangunan ekonomi kelautan, utamanya sektor perhubungan laut dan industri galangan kapal, juga akan secara signifikan meningkatkan efisiensi dan daya saing perekonomian Indonesia. Betapa tidak, sekitar 70 persen dari total barang ekspor Indonesia harus melalui Singapura karena hingga kini kita belum memiliki hubport bertaraf internasional. Ongkos per kontainer untuk mengangkut barang dari Jakarta ke Surabaya dua kali lebih mahal ketimbang dari Singapura ke Los Angles.

    Saat ini, biaya logistik di Indonesia mencapai 30 persen dari biaya produksi. Sedangkan, AS, Singapura, atau emerging economies lain, seperti Malaysia, Thailand, China, dan Vietnam mampu menekan hingga di bawah 10 persen. Yang lebih mengenaskan, sejak 1986 sampai sekarang kita menghamburkan devisa 15 miliar dolar AS setiap tahunnya untuk membayar kapal-kapal asing yang mengangkut barang ekspor-impor dan antarpulau.

    Reorientasi Pembangunan

    Sayangnya, hingga kini kontribusi ekonomi kelautan terhadap PDB masih rendah, hanya 22 persen. Sementara, negara-negara dengan potensi kelautan yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Korea Selatan, Jepang, Cina, Thailand, Norwegia, dan Islandia, sumbangan sektor kelautan bagi PDB-nya rata-rata lebih dari 35 persen.

    Oleh sebab itu, kini saatnya kita mereorientasi pembangunan nasional dari yang berbasis daratan ke kelautan. Pada tataran praktis, koridor-koridor ekonomi dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) hendaknya dibangun berbasis pada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan wilayah pulau-pulau kecil. Artinya, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi harus dibangkitkan dengan membangun kelompok-kelompok industri terpadu berbasis ekonomi kelautan yang ditopang oleh pelabuhan berkelas dunia.

    Pelabuhan-pelabuhan laut itu dapat digunakan juga untuk mengapalkan komoditas dan produk yang berasal dari wilayah daratan, seperti perkebunan, tanaman pangan, ternak, industri manufaktur, dan pertambangan. Sarana transportasi laut juga harus diperkuat dan dikembangkan agar mampu memecahkan masalah konektivitas antarwilayah pulau yang selama ini membuat ekonomi nasional kurang efisien. Pada saat yang sama, kita tingkatkan pendayagunaan sumber daya laut dalam, perikanan, migas, dan mineral lainnya di wilayah ZEEI bagian Samudra Hindia maupun Samudra Pasifik. 

    Selanjutnya, tata ruang wilayah darat, baik pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota hendaknya disusun (ulang) berdasarkan pada peruntukan wilayah pesisir dan laut. Industri berat dan pertambangan sebaiknya ditempatkan di wilayah-wilayah darat yang wilayah pesisir dan lautnya memiliki kapasitas mengasimilasi limbah yang tinggi atau bukan untuk sektor-sektor pembangunan yang mensyaratkan kualitas lingkungan prima.

    Apabila seluruh kebijakan politik-ekonomi (seperti fiskal-moneter, ekspor-impor, pendidikan, iptek, dan otonomi daerah) mendukung pembangunan ekonomi kelautan, insya Allah cita-cita kita bersama untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar yang maju, adil-makmur, dan mandiri pada 2025 sebagaimana tersurat dalam dokumen MP3EI akan terwujud. Semoga puncak peringatan Hari Nusantara ke-11 yang bakal digelar di Kota Dumai, Riau, pada 13 Desember tahun ini diberkahi Allah SWT.  

  • Mendorong Industri Hilir Komoditas Pertanian

    Mendorong Industri Hilir Komoditas Pertanian
    Khudori, ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT
    Sumber : REPUBLIKA, 13 Desember 2011
    Berbagai usaha dilakukan pemerintah untuk mendorong dan mengembangkan industri hilir, khususnya industri berbasis bahan baku komoditas pertanian. Berbagai usaha sudah dilakukan. Namun, industri hilir berbasis komoditas pertanian belum begitu berkembang. Berbagai komoditas unggulan, seperti minyak sawit, karet, kopi, kakao, teh, rempah-rempah, dan produk biji-bijian, dijual dalam bentuk mentah dengan nilai tambah rendah.

    Ironisnya, setelah diolah, produk jadi itu membanjiri pasar kita. Yang meraih keuntungan tentu importir yang mengolah bahan mentah itu. Industri (hilir) pertanian sebagai pertanda keberhasilan transformasi ekonomi nasional jauh panggang dari api.

    Untuk mendorong industri hilir, komoditas pertanian diusulkan menerapkan bea ekspor atau menutup ekspor bahan mentah (baku). Pemberlakuan bea ekspor diusulkan untuk kelapa, kelapa sawit (CPO), dan kakao. Sedangkan, penutupan ekspor bahan mentah diusulkan untuk rotan. Alasan klasik selalu mengiringi usulan ini: bea ekspor atau penutupan ekspor bahan mentah akan menjamin pasokan bahan baku bagi industri domestik. Hal ini akan mendorong perkembangan industri hilir. Pertanyaannya, benarkah bea ekspor atau penutupan ekspor bahan mentah langkah tepat mendorong industri hilir?

    Beban Bagi Petani
    Bahan baku merupakan unsur penting bagi berkembang-tidaknya industri hilir. Ketika bahan baku tersedia berkesinambungan, industri hilir akan mendapatkan kepastian pasokan berproduksi sepanjang tahun dengan harga rendah. Masalahnya, bahan baku bukan satu-satunya penentu berkembang-tidaknya industri hilir.

    Di luar bahan baku ada lembaga keuangan (perbankan), ketersediaan infrastruktur pendukung, ekonomi biaya tinggi akibat pelbagai pungutan, beban pajak yang memberatkan, dan berbagai insentif yang tidak mendukung. Tanpa dukungan memadai dari semua faktor itu, ketersediaan bahan baku tidak akan menjamin industri hilir berkembang. Bahan baku pun sia-sia.

    Salah satu contohnya adalah bea ekspor minyak sawit mentah (CPO). Berbagai kajian menunjukkan, bea ekspor bukan instrumen yang tepat untuk mendorong industri hilir. Karena, kenaikan rata-rata satu persen bea keluar hanya menurunkan ekspor rata-rata 0,36 persen (Susila, 2008). Artinya, ekspor tidak elastis terhadap perubahan bea keluar. Kenaikan bea keluar tak akan efektif mendorong industri hilir sawit karena tidak otomatis membendung ekspor CPO, terutama saat harga produk primer perkebunan amat tinggi seperti saat ini.

    Selain itu, karena posisinya kuat, pengusaha akan mencari kompensasi kenaikan bea keluar, baik ke hilir maupun hulu. Sebagai pihak yang paling lemah, petani akan menjadi korban. Eksportir akan mentransfer beban bea keluar itu kepada petani. Ini ditunjukkan oleh elastisitas ekspor terhadap perubahan harga ekspor umumnya yang inelastis (elastisitas antara 0,10-0,66).

    Menurut hitungan Susila (2008), dengan bea keluar hanya lima persen, gross margin petani turun Rp 540 ribu/hektare/tahun. Dengan penguasaan lahan 3,6 juta hektare dari 8,36 juta hektare sawit oleh petani, pendapatan petani yang ditransfer kepada eksportir atau pemilik industri refinery senilai Rp 1,94 triliun. Ini perampasan legal dengan kedok bea ekspor. Sungguh tidak adil bahwa petani harus menyubsidi industri hilir dan eksportir yang kaya.

    Dengan struktur perdagangan produk kelapa sawit yang masih dibelit masalah struktural, seperti di Indonesia, dampak distorsi dari bea ekspor CPO amat nyata. Selain menurunkan pendapatan petani, kenaikan bea keluar berdampak negatif pada industri hulu sawit yang dicerminkan oleh penurunan harga di tingkat produsen (petani), areal, produktivitas, dan produksi. Bahkan, menurut kalkulasi Oktaviani (2007), bea keluar 6,5 persen dan 15 persen akan menekan variabel makroekonomi (inflasi, product domestic brutto/PDB, dan upah riil). Bea keluar 6,5 persen dan 15 persen justru mendorong peningkatan ekspor CPO Malaysia, saingan utama Indonesia, masing-masing sebesar 2,4 persen dan 4,9 persen.

    Dampak yang tidak diinginkan semacam ini juga ditemukan pada komoditas pertanian lainnya. Menurut Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), setelah 1,5 tahun penerapan bea ekspor, industri pengolahan kakao hingga kini tidak berkembang. Bea ekspor justru mempersulit industri dan menurunkan daya saing industri pengolahan kakao domestik. Bea keluar hanya cocok untuk industri yang mempunyai modal besar, jaringan pemasaran, dan produk bervariasi. Artinya, masalah industri hilir kakao bukan persoalan bahan baku.

    Oleh karena itu, harus ditelisik terlebih dahulu secara saksama apakah benar biaya bahan baku adalah penyebab tidak berkembangnya industri pengolahan komoditas pertanian dalam negeri. Hal ini penting karena yang memikul beban bea ekspor adalah petani. Kita dapat belajar dari kasus perkebunan, kehutanan, dan perikanan laut. Data serial waktu yang cukup panjang, 1960-2000, menunjukkan bahwa pada periode tersebut harga-harga di pasar dunia untuk minyak sawit turun dari 1.102 dolar AS ke 307 dolar AS per ton; minyak kelapa turun dari 1.507 dolar AS ke 446 dolar AS per ton; kakao turun dari 285 sen menjadi 90 sen per kg; karet turun dari 377 sen menjadi 68 sen per kg.

    Secara agregat perkembangan sama, yaitu harga riil produk pertanian turun dari indeks 208 pada 1960 menjadi 87 pada 2000 dan indeks harga bahan baku pertanian turun dari indeks 220 pada 1960 menjadi 91 pada 2000 (pada 1990=100) (Pakpahan, 2004). Potret terbaik bisa dilihat pada industri berbasis kehutanan. Setelah jutaan hektare hutan dieksploitasi dan Indonesia berubah menjadi penghembus gas-gas rumah kaca, industri berbasis kehutanan tidak berkembang. Di bidang perikanan laut kurang-lebih sama: setelah laut dieksploitasi berlebih, industri berbasis perikanan laut juga tidak berkembang. Di tengah melimpahnya sumber daya perikanan, kini kita justru mengimpor ikan.

    Untuk mendorong industri hilir komoditas pertanian, solusinya tidak bisa dipukul rata. Masing-masing komoditas memiliki karakteristik persoalan berbeda. Untuk mendorong industri hilir, kebijakan mestinya diarahkan untuk mengatasi masalah riil yang menjadi penyebab lambatnya industri hilir pertanian.

    Pertama, memudahkan industri hilir menembus pasar yang didominasi perusahaan multinasional, seperti kebijakan tarif, promosi, dan kerja sama bilateral/multilateral. Kedua, menurunkan tarif bea masuk untuk mesin dan bahan penolong industri hilir perkebunan. Ketiga, melakukan harmonisasi tarif yang belum harmonis. Keempat, memberikan insentif investasi dalam bentuk keringanan pajak (tax holiday), kemudahan izin investasi, dan dukungan infrastruktur yang memadai.