Category: Uncategorized

  • Pendidikan Karakter dan Harga Diri Bangsa

    Pendidikan Karakter dan Harga Diri Bangsa
    Sirikit Syah, DIREKTUR MEDIA WATCH,
    MAHASISWA PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA.
    Sumber : SINAR HARAPAN, 14 Desember 2011
    Pada suatu pagi di pompa bensin, saya merasa dihina negara dalam antrean di mana sebuah spanduk berbunyi “BBM hanya untuk orang tidak mampu!”, dan petugas memisahkan pembeli golongan mampu dan tak mampu berdasarkan jenis kendaraan.
    Pagi itu kami perlu membeli BBM, bersama belasan pembeli lainnya yang segolongan dengan kami. Pengalaman itu amat tidak menyenangkan. Kendaraan kami menuju antrean, dan ketika petugas bertanya, “Beli apa, pak?”, suami saya menjawab, “Yang untuk orang miskin. Kami bagian dari rakyat Indonesia yang miskin alias tidak mampu.”
    Nada suami saya dongkol karena merasa telah dicap (distempel) atau diberi label pemerintah, melalui petugas pompa bensin, sebagai “orang tidak mampu”.
    Rasanya tidak ada negara yang mempermalukan rakyatnya sendiri seperti ini. Mempermalukan di depan publik, di ranah terbuka. Bahkan belakangan dijadikan ILM (iklan layanan masyarakat) di televisi.
    Semua orang diberi tahu dan saling tahu tentang siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu. Negara tidak pernah berpikir dampak psikologis pada para pembeli BBM yang diberi label “orang tak mampu”. Negara menanamkan perasaan terhina dan rendah diri di benak sebagian rakyatnya. Rakyat Indonesia dikondisikan untuk kehilangan martabat dan harga diri.
    Betapa paradoksnya tindakan melecehkan bangsa sendiri ini oleh pemerintahan Presiden SBY, dengan pidato 14 Mei tahun ini juga dari presiden yang sama tentang “Pencanangan Tahun Pendidikan Karakter”.
    Pemimpin yang berbicara tentang perlunya pendidikan karakter bagi bangsa, pada tarikan napas yang sama menghilangkan harga diri bangsa dengan cara menggolong-golongkan rakyat mampu–tak mampu di ranah publik. Mungkinkah pendidikan karakter yang dimaksud tidak memasukkan unsur “bangga akan harga diri” atau “martabat” sebagai individu rakyat maupun sebagai bangsa?
    Kita menjadi tak tahu lagi maksud sesungguhnya para pemimpin kita. Kita bahkan tak tahu lagi apa yang diajarkan para guru pada anak-anak kita di sekolah. Bukankah perkara rasa malu, kejujuran, ketertiban, kebersihan, kedisplinan, itu tidak ada teorinya, melainkan harus dicontohkan? Tak ada gunanya mulut berbusa bicara kejujuran, kalau kelakuan tidak jujur.
    Apa gunanya sekolah-sekolah memasang spanduk “Jaga Kebersihan” kalau tak ada tempat sampah di tiap sudut sekolah? Apa gunanya kantor mempunyai slogan “Cintai dan Lestarikan Lingkungan”, kalau sampah organik dan sampah daur ulang tempatnya sama?
    Apa gunanya seorang ayah menasihati anaknya untuk jujur, kalau kemudian dia menyekolahkan anaknya itu melalui pintu belakang alias menyuap? Atau presiden menyerukan “Kita Bisa”, bila di tempat-tempat umum kita digiring ke golongan “tidak mampu”?
    Menggembosi Pendidikan Karakter
    Perilaku rakyat kecil yang miskin banyak yang lebih terhormat daripada perilaku para pemimpin yang mabuk kekuasaan, tamak harta benda, tak punya malu, dan tak punya harga diri.
    Ada yang mengaku lupa (alias hilang ingatan), ada yang mengaku sakit-sakitan, dan ada yang meninggalkan jabatan menteri di tengah jalan karena tak mampu menjawab persoalan Bank Century. Semuanya bertentangan dengan “pendidikan karakter bangsa” yang dicanangkan Presiden SBY Mei lalu.
    “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Pepatah itu tampaknya menjadi amat signifikan ketika kita membahas persoalan pendidikan karakter. Namun pemerintah telah menggembosi sendiri semangat pendidikan karakternya ketika di pompa-pompa bensin rakyat diklarifikasi menjadi dua kelas sederhana: golongan mampu dan tak mampu.
    Memang rasanya hanya di Indonesia pemerintah mendesakkan mental “tidak mampu” ke benak rakyatnya. Banyak orang tua dipaksa mengaku miskin agar mereka mendapatkan haknya untuk pendidikan anak-anak mereka, atau untuk mengakses layanan kesehatan.
    Anak-anak muda, generasi penerus bangsa, sejak muda sudah diajari untuk “tidak tahu malu”. Meskipun UUD 45 mengatakan pendidikan anak Indonesia dibiayai negara, untuk mengaksesnya anak harus mengaku miskin lebih dulu, yang prosesnya (mengurus dari RT, RW, kelurahan) pasti akan menyakitkan dan memalukan bagi rakyat yang hanya ingin bisa sekolah atau mendapatkan keringanan biaya rumah sakit.
    Para orang tua ini dipermalukan dalam memperoleh “surat keterangan miskin” agar anaknya bisa sekolah tanpa bayar, atau bila ada kerabat yang membutuhkan layanan rumah sakit.
    Sekarang untuk menjalankan kehidupan sehari-hari kita juga harus menahan malu dicap sebagai orang miskin oleh negara. Di pompa bensin, para pengendara sepeda motor, para sopir angkot, dan para pegawai swasta antre membeli BBM “khusus untuk orang tak mampu”.
    Orang-orang ini, rakyat kecil ini, sesungguhnya jauh lebih terhormat daripada Gayus Tambunan, Nazarudin, Nunun, para hakim yang rakus suap, bahkan Sri Mulyani. Mereka ini, meski digolongkan “tidak mampu”, adalah orang “paling mampu” di negeri ini.
    Mereka menciptakan pekerjaannya sendiri, mempekerjakan orang lain, tidak menerima gaji dari negara, tidak korupsi, bahkan membayar pajak. Mereka survive dengan penuh martabat, dan pemerintah masih saja menghina mereka.
    Rakyat Indonesia menyaksikan ditemukan begitu banyak uang, rupiah-dolar-yen, di rumah-rumah para tersangka koruptor (bahkan sampai di bak cucian di kamar mandi!).
    Begitu banyak uang beredar di kalangan petinggi partai politik, wakil rakyat, dan pemimpin pemerintahan. Namun betapa teganya mereka yang berkecimpung dalam uang ini berkata kepada rakyat: “Indonesia sedang bangkrut, kalian beli BBM agak mahal dikit ya. Kalau nggak mau mahal ya kena stempel miskin.”
    Pemerintahan ini telah sangat menyakiti hati rakyat Indonesia, para penabung di Bank Century yang ditilep dananya, warga negara non-PNS yang rajin bayar pajak tapi tak mendapat bantuan apa pun dari pemerintah, dan para pemberi suara yang ditinggalkan.
    Mungkin presiden perlu duduk merenung di akhir tahun ini: “Karakter bangsa bagaimana yang mesti dididikkan pada generasi muda Indonesia, dan bagaimana menerapkannya.” 
  • Berkaca dari Sondang

    Berkaca dari Sondang
    Lilik H.S., PENELITI DI LEMBAGA PEMBEBASAN, MEDIA, DAN ILMU SOSIAL
    Sumber : SINAR HARAPAN, 14 Desember 2011
    “Stop eksploitasi buruh! Jangan biarkan kematianku sia-sia!” teriak Chun Tae-il sesaat sebelum api menjilat tubuhnya. Tanggal 13 November 1970, buruh pabrik garmen di Kota Seoul, Korea Selatan itu membakar diri di depan aksi massa.
    Barangkali hanya kebetulan Sondang Hutagalung dan Chun Tae-il sama-sama berusia 22 tahun ketika mengakhiri hidupnya. Kebetulan juga Sondang melakukan aksinya di bulan yang sama dengan Mohammed Bouazizi yang tewas terpanggang api pada 17 Desember 2010, bulan ketika dunia memperingati Hari HAM sedunia.
    Aksi Chun Tae-il pada 1970-an itu segera mengguncang Korea Selatan. Aksi dan pemogokan buruh bergemuruh seantero negeri. Buruknya kondisi kerja, upah rendah, dan PHK massal adalah lahan kering yang dengan cepat tersulut api.
    Berjarak 40 tahun kemudian, tindakan nekad Bouazizi, pedagang kecil dari Tunisia yang dilatari frustasi ekononi akut, mendapat respons serupa. Api perlawanan massa menjalar cepat di Tunisia, hingga rezim Presiden Zine al-Abidine Ben Ali pun terjungkal.
    Bagaimana dengan Sondang? Rakyat di negeri ini pun dibuat terperangah. Pertama kali dalam sejarah orang membakar diri tepat di depan Istana Negara. Reaksi yang timbul beragam. Banyak yang mengutuk, tak sedikit yang menempatkannya sebagai martir perjuangan.
    Tapi sejumlah reaksi yang bergema di sosial media tak lantas bersambut dengan tumpah ruah orang turun ke jalan. Orang justru lebih banyak memperdebatkan motif dan cara kematian Sondang. Banyak yang menilai sebagai konyol dan sia-sia.
    Sondang mati tanpa meninggalkan pesan politik secara harfiah. Tetapi, apakah pesan selalu harus selalu tersurat? Dalam rekaman video pada aksi Kamisan pada 18 Agustus 2011, aksi korban pelanggaran HAM yang rutin digelar tiap minggu di depan istana, Sondang menyatakan, “Kalau saya bermimpi menjadi anggota DPR, saya akan ajak anggota DPR, menteri, presiden untuk bisa melihat kondisi rakyat sekarang.”
    Menerobos Kemampatan
    Sondang adalah bagian dari anak muda yang gelisah. Ia hanya tak tahu metode perjuangan paling tepat untuk menyuarakan aspirasinya. Ia juga berada di tengah situasi ekonomi politik yang tengah mampat. Barangkali, dia berharap aksinya mampu menerobos kemampatan ini. Kebetulan cara yang dipilihnya ganjil dan tak dapat dinalar sebagian besar orang.
    Gelombang neoliberalisme telah menerjang setiap sendi kehidupan rakyat. Dampak pasar bebas, privatisasi, dan penghapusan subsidi ini telah menjerat di segala sektor masyarakat.
    Mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, petani kehilangan akses lahan, para buruh menjadi tenaga outsourcing,dan perempuan kian terdesak menjadi buruh migran. Tingkat pengangguran meningkat dan kesenjangan sosial pun semakin lebar. Dalam kondisi ini, protes-protes rakyat bak membentur tembok.
    Semoga kita belum lupa bahwa sejarah perubahan selalu ditabuh anak-anak muda yang gelisah, yang tak bisa nyaman ketika menyaksikan kemiskinan dan penindasan dibiarkan merajalela, sementara hukum menjadi pajangan belaka.
    Pada periode akhir 1980-an, di bawah cengkeraman sistem otoritarian Soeharto, ada sekelompok anak muda yang gelisah, yang mengadang risiko menyelinap di dusun-dusun di Kedung Ombo, Boyolali, Jawa Tengah, dan mengadvokasi para petani yang dirampas tanahnya dengan dalih pembangunan waduk.
    Anak-anak muda itu kemudian juga menyelinap di basis kampung-kampung buruh serta mengorganisasi kekuatan dari kampus, yang ketika itu tengah sekarat oleh kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
    Bertahun kemudian, orang juga mencibir ketika anak-anak muda ini membentuk partai, yakni PRD (Partai Rakyat Demokratik), dengan mengusung program politik pencabutan dwifungsi ABRI, lima Paket UU Politik, serta pembebasan Timor-Timur.
    Kelak, bertahun kemudian, tuntutan politik itu berbuah. Sayang, transisi demokrasi pada 1998 tak berjalan mulus. Kekuatan ekonomi dan politik tetap dipegang tangan-tangan lama.
    Negeri Paradoks
    Keresahan Sondang adalah keresahan bersama. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perih ketika api mulai menjilat tubuhnya.
    Barangkali, ia ingin menghayati keperihan yang diderita para korban pelanggaran HAM, para ibu yang anak dan suaminya diculik, yang tiada kabar hingga berbelas tahun lamanya, juga keperihan rakyat Papua yang puluhan tahun hidup nestapa di atas limpahan emas yang dikeruk dan dijual negara.
    Mungkin lewat perih itulah Sondang ingin bicara. Dia ingin penguasa mendengar. Dia ingin gerakan rakyat menggeliat kembali dan kembali ke khittah membangun pemberdayaan rakyat.
    Sayangnya, negeri Sondang adalah Indonesia, sebuah negeri yang dihuni banyak orang yang gampang lupa. Bergunung kasus hukum dan pelanggaran HAM menguap begitu saja, kemudian kita sudah tersihir berita-berita baru. Kemudian sibuk lagi memperdebatkan hal-hal baru dan lupa problem utama bangsa ini.
    Negeri ini juga penuh paradoks. Pejabat dan politikus bisa dengan nyaman menggerogoti uang negara dan pamer kekayaan sementara di belahan Nusa Tenggara Timur, busung lapar yang melanda balita, dan angka kematian ibu terus meningkat.
    Korupsi bukan dianggap sebagai kejahatan luar biasa, sehingga koruptor masih bisa berdiri tegak dan tersenyum ketika disorot kamera televisi.
    Mereka juga tak merasa resah kendati Indonesia nyaris berdiri di jurang kebangkrutan. Sumber daya alam telah habis dikeruk dan dijual, dan beban utang luar negeri mencapai triliunan rupiah. Jangan lupa, Indonesia juga bertengger dalam jajaran negara terkorup di dunia.
    Chun Tae-il, Bouazizi, dan Sondang sama-sama rakyat kecil, sama-sama dipagut resah akibat kekuasaan yang korup. Sayangnya para pejabat, politikus, dan sebagian besar dari kita tak cukup merasa resah, juga ketika ada anak manusia demi didengar suaranya membakar diri di depan mata kita.  
  • Catatan untuk Sondang

    Catatan untuk Sondang
    Samdysara Saragih, MAHASISWA JURUSAN TEKNIK FISIKA ITS SURABAYA
    Sumber : REPUBLIKA, 14 Desember 2011
    Belum genap setahun aksi bakar diri pemuda Tunisia bernama Mohamed Bouazizi yang dilakukan pada 17 Desember 2010, aksi yang mirip juga terjadi di Indonesia. Adalah seorang mahasiswa Universitas Bung Karno Jakarta bernama Sondang Hutagalung yang melakukannya di depan Istana Merdeka pada Rabu, 7 Desember lalu. Sampai sekarang, tidak jelas motif utama yang melatarbelakangi tindakannya itu. Dan sepertinya, ini akan terus jadi pertanyaan karena pada Sabtu (10/12), nyawanya tidak tertolong.

    Sebagai seorang berlatar belakang mahasiswa cum aktivis, banyak yang menduga aksinya itu punya muatan politik. Beberapa di antaranya mengatakan, Sondang kecewa karena berbagai aksinya tidak ditanggapi oleh pemerintah. Salah satu contoh ialah dalam penanganan hukum atas kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama ini.

    Tapi, yang kemudian jadi pertanyaan penting adalah: apakah Sondang memang berniat menjadikan dirinya sebagai martir untuk membangkitkan gerakan rakyat, seperti terjadi di Tunisia? Apalagi, momentun aksinya itu dilakukan menjelang peringatan Hari Antikorupsi yang jatuh pada 9 Desember dan Hari HAM sedunia 10 Desember. Dua tahun lalu, masyarakat antikorupsi melancarkan unjuk rasa besar-besaran di depan Istana Merdeka sampai-sampai presiden perlu ‘mengasingkan diri’ ke luar kota.

    Bisa jadi, sebagai aktivis yang paham dalam psikologi ‘aksi massa’, Sondang menginginkan hal yang sama terjadi pada tahun ini. Malah lebih besar dengan momentum kematiannya. Dari situ, aksi bisa menjalar lebih luas hingga kalau perlu menjadikan pemerintahan SBY-Boediono seperti rezim Ben Ali yang akhirnya jatuh.

    Jika benar dugaan ini, ‘eksperimen’ Sondang dengan sendirinya telah gagal. Aktivis dan mantan aktivis menanggapi dingin pelancaran aksi besar-besaran. Pemimpin politik yang nyata-nyata bisa memanfaatkan situasi ini pun terkesan tidak bereaksi macam-macam.
    Media massa menjadikannya berita ‘kelas dua’ yang tidak berpretensi menghasut sama sekali. Dengan kata lain, boro-boro jadi martir, malah banyak yang menganggapnya sebagai sebuah kebodohan. Sama dengan bunuh diri gara-gara putus cinta atau kelaparan.

    Berkat Demokrasi?
    Pertanda apakah ini? Bisakah kita mengatakan bahwa rakyat Indonesia menikmati demokratisasi sedemikian rupa sehingga sebuah people power dirasa tidak perlu? Bisa jadi ya! Kaum oposan tentu percaya sejelek-jeleknya pemerintah, mereka masih bisa mengadakan koreksi terhadapnya. Masih banyak ruang konstitusional yang bisa digunakan untuk, katakanlah dalam bentuk paling ekstrem, menjatuhkan pemerintahan yang korup dan inkonstitusional. Dan, yang lebih penting lagi, rezim ini toh akan berakhir secara alami lewat pemilihan umum.

    Para mantan aktivis sadar, apabila cara seperti 13 tahun lalu kembali digunakan, dengan sendirinya reformasi telah gagal. Ketika mereka dulu berjuang, yang ada dalam kepala mereka tentu supaya cara-cara ‘parlemen jalanan’ tidak perlu ada jika lembaga negara bisa memainkan peranannya. Jangan sampai cara yang sama terus berulang. Seperti yang pernah dikatakan mantan aktivis 1990-an Budiman Soedjatmiko, jangan sampai ‘kutukan Mpu Gandring’ berlaku.

    Lagi pula, dalam alam demokratis ini, pilar keempat demokrasi, yakni pers masih memainkan perannya dengan maksimal. Bermacam kritikan, opini, anekdot, kartun bernada kecaman terhadap pemerintah hadir setiap hari di media-media cetak dan elektronik Indonesia. Meski tidak semuanya direspons oleh pemerintah, baik di pusat maupun daerah, tapi tidak sedikit pula yang langsung mendapat tanggapan dan tindakan. Pemerintah sendiri membiarkan semua kebebasan ini tanpa berkeinginan mengulangi masa-masa kelam rezim Orde Baru.

    Dalam alam demokratisasi seperti ini, tentu pikiran-pikiran untuk mengadakan revolusi disingkirkan sementara waktu. Hal inilah yang membedakan mengapa di Tunisia, kematian Bouazizi bisa memantik emosi rakyat. Di bawah rezim tiran Ben Ali, kebebasan dipasung. Musuh politik disingkirkan serta pers dibatasi. Ditambah lagi kondisi perekonomian warga yang terpuruk.

    Lagi-lagi, kecuali yang terakhir, Indonesia jelas berbanding terbalik dengan Tunisia. Hak mengeluarkan pendapat entah lewat lisan maupun tulisan, dijamin oleh undang-undang. Filosof Friedrich Hegel (1770-1831) ketika menjadi profesor di Universitas Berlin mengatakan, apabila hak rakyat bersuara tidak dipasung, maka keinginan untuk memberontak dengan kekerasan terhadap pemerintah akan teredam secara alami (Marsilam Simanjuntak, 1996).

    Inilah yang menjadi filosofi dasar demokrasi supaya jatuh bangunnya pemerintahan terjadi bukan lewat revolusi melainkan cara-cara damai. Rakyat dapat menghukum pemimpinnya lewat pemilu.

    Konsekuensi logis dari hal ini adalah pemerintah mau tak mau harus membuka daun telinga dan hatinya lebar-lebar guna mendengar suara rakyat. Suara rakyat sudah diadagiumkan sama dengan suara Tuhan: vox populi vox dei. Sebagai pengemban amanat, pemimpin wajib mendengar suara rakyat layaknya mendengar wangsit dari Yang Atas.

    Tanpa perlu berdemonstrasi, apalagi sampai bunuh diri, pemimpin sudah seharusnya tahu mana yang harus dikerjakannya. Aksi unjuk rasa sangat dibolehkan dalam sistem demokrasi. Tapi, semakin banyaknya rakyat yang turun ke jalan itu adalah pertanda bahwa pilar-pilar utama demokrasi lagi sakit. Bahwa lembaga negara tidak menjalankan perannya dengan maksimal.

    Pemerintahan SBY-Budiono beruntung mereka dipilih dalam sistem demokrasi dengan 60 persen suara rakyat. Sampai sekarang tidak ada kondisi bergolak berarti yang dapat mengusik pemerintahannya akibat aksi one man show Sondang. Orang-orang masih pergi ke mal, berekreasi, dan menonton pertandingan seru olahraga di televisi.

    Mungkin ini tidak dibayangkan oleh Sondang sendiri. Atau, jangan-jangan justru dia sengaja mau lari dari ini semua. Bahwa dunia ini sungguh tidak adil dan dia tak sanggup untuk melihat ketidakadilan itu tanpa berbuat apa-apa. Dia frustrasi seperti halnya seorang ibu di Jakarta yang membakar diri sendiri dan anaknya gara-gara tidak punya uang untuk beli makanan.

    Bedanya, barangkali, tindakan Sondang punya pesan politik, sedang orang yang tidak bakar diri di depan Istana hanya dianggap efek sosial-psikologis biasa. Tapi, dalam negara demokratis, pemerintah wajib memandang kedua kejadian ini secara sama bahwa mereka untuk sementara gagal dalam memenuhi keinginan rakyat!  

  • Humanisme untuk Papua

    Humanisme untuk Papua
    Budi Susilo Soepandji, GUBERNUR LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL
    Sumber : KORAN TEMPO, 14 Desember 2011
    Papua ibarat satu koin mata uang. Di satu sisi, tanah Papua kaya akan sumber kekayaan alam.Tapi, di sisi lainnya, Papua ternyata masih miskin sarana-prasarana dan infrastruktur hasil pembangunan. Kesejahteraan masih sebatas impian dan angan-angan masyarakat Papua. Besarnya dana otonomi khusus yang telah dikucurkan pemerintah ternyata tidak disertai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua ke arah yang lebih baik. Muaranya, otonomi khusus dipandang belum efektif mewujudkan kesejahteraan masyarakat Papua.
    Rasa frustrasi karena kekecewaan dan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Papua berujung pada keinginan ekstrem sebagian putra-putri Papua untuk memisahkan diri dari NKRI. Ironis, memang. Papua, yang eksotik dan kaya akan sumber daya alam, ternyata rendah tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
    Lantas, di mana letak permasalahannya? Mengapa terasa begitu sulit mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan di tanah Papua? Apakah kebijakan penyelenggara negara yang belum mampu memenuhi harapan masyarakat Papua? Atau sebab lain yang bersumber dari lingkungan internal masyarakat Papua sendiri? Atau karena dorongan faktor kepentingan eksternal yang menginginkan pemisahan Papua dari NKRI? Bagaimana bangsa ini harus bersikap untuk mendapatkan solusi cerdas mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian di Papua?
    Human Security dan Humanisme
    Tanah Papua memang secara geografis jauh dari pusat pemerintahan, tapi proses pembangunan di tanah Papua harus berjalan serasi dan seirama dengan pembangunan wilayah lain di Indonesia. Masyarakat Papua, sebagai warga negara, memiliki hak yang sama untuk menikmati pembangunan yang berkeadilan di wilayahnya. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jelas mengamanatkan kewajiban penyelenggara negara untuk memenuhi hak-hak konstitusi warga negaranya.
    Terkait dengan hal tersebut, Rudolfo Severindo, mantan Sekjen ASEAN, berpendapat bahwa masalah hak asasi manusia selalu dihadapkan pada dua dilema besar, yaitu keseimbangan hak antara sipil dan politik di satu sisi; serta keseimbangan hak ekonomi dan sosial di sisi lainnya. UUD 1945 jelas mencantumkan bahwa hak sipil dan politik warga negara dijamin oleh negara. Demikian pula hak sosial dan ekonomi.
    Meski demikian, dalam pelaksanaannya negara memiliki keterbatasan untuk melayani dan memenuhi kebutuhan setiap warga negaranya. Hal yang paling utama bagi negara bukan terletak pada dicukupinya segala keinginan rakyat oleh negara, melainkan bagaimana negara memberikan jaminan dan peluang sebesar-besarnya bagi rakyatnya untuk memperoleh hak-hak mereka. Dengan realitas seperti itu, terpenuhinya hak–hak konstitusi warga negara akan berpulang kembali kepada bagaimana peran aktif masyarakat itu sendiri untuk memanfaatkan jaminan dan peluang yang diberikan oleh
    negara.
    Dalam konteks Papua, kesejahteraan masyarakat Papua merupakan tanggung jawab semua pihak yang berkepentingan, utamanya masyarakat Papua itu sendiri. Keinginan memisahkan diri dari NKRI dengan alasan peningkatan kesejahteraan bukan merupakan pilihan cerdas. Bagi negara, tantangan dalam menyelesaikan masalah Papua bukan hanya bagaimana menangani kekuatan bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM), tetapi bagaimana memenangi hati dan pikiran rakyat Papua dengan memberikan jaminan terhadap keamanan individual dan keamanan politik. Untuk mencapai tujuan itu, tidak ada pilihan selain memberdayakan masyarakat Papua dengan pendekatan humanistik yang menghormati harkat dan martabat masyarakat Papua sebagaimana mestinya. Dari sinilah alasan pentingnya pengarusutamaan kesejahteraan dan humanisme dalam menyelesaikan masalah Papua.
    Empat Fondasi Utama
    Setidaknya terdapat empat fondasi utama yang perlu dibangun secara paralel dengan upaya peningkatan kesejahteraan, yaitu demokrasi lokal, penegakan hukum, keadilan ekonomi, dan penghormatan akan harkat dan martabat masyarakat Papua. Empat fondasi utama tersebut harus diupayakan oleh semua pihak melalui pendekatan yang seimbang antara soft power (humanisme) dan hard power. Pendekatan hard power, dalam bentuk penegakan hukum dan keamanan, masih dibutuhkan untuk memberikan jaminan terhadap terpenuhinya hak-hak konstitusi masyarakat Papua terkait dengan keamanan individual (security from physical violence and threat), dan keamanan politik
    (protection of basic human rights and freedom).
    Apabila pada 2005 bangsa ini mampu menyelesaikan masalah Aceh, yang juga tidak kalah beratnya, secara damai, penyelesaian serupa terhadap persoalan Papua bukan suatu hal yang mustahil. Komunikasi dan dialog yang konstruktif yang melibatkan pemerintah (pusat dan daerah) dan unsur–unsur masyarakat Papua harus dibangun sebagaimana preseden perdamaian di Aceh. Dialog harus berangkat dari kesamaan tujuan yang mendasar, kesejahteraan masyarakat Papua. Perbedaanperbedaan pandangan harus dapat dikelola dari sudut pandang kesamaan derajat dan kesetaraan sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
    Pendekatan dan perspektif humanisme tidak mengenal adanya perbedaan fisik, gender, budaya, dan ras sebagai manusia. Humanisme hanya mengenal harkat dan martabat manusia sebagai inti humanisme. Karena itu, dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat Papua, semua pihak harus jujur kepada diri sendiri dan mengesampingkan kepentingan serta agenda politik individu maupun kelompok mana pun yang mengedepankan perbedaan.
    Dalam perspektif humanisme pula, bukan suatu kemustahilan untuk hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan di dalamnya. Dari sudut pandang agama pun, kita tidak mengenal pemisahan-pemisahan karena perbedaan ragawi. Melalui humanisme, Afrika Selatan dapat bersatu dan bebas dari belenggu apartheid. Melalui humanisme pula seharusnya bangsa Indonesia dapat melakukan dan berbuat hal yang sama untuk masyarakat Papua. Bersama kita bisa…! 
  • Candu Subsidi Bahan Bakar Minyak

    Candu Subsidi Bahan Bakar Minyak
    Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YLKI DAN ANGGOTA DEWAN TRANSPORTASI KOTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 14 Desember 2011
    Ternyata bukan hanya ganja, mariyuana, rokok, atau bahkan kopi yang membuat seseorang kecanduan. Sebuah kebijakan yang dilanggengkan selama puluhan tahun pun mengakibatkan masyarakat “nyandu”terhadap kebijakan tersebut. Subsidi bahan bakar minyak adalah contoh konkret untuk menggambarkan fenomena tersebut. Selama puluhan tahun, sejak rezim Soeharto, subsidi bahan bakar minyak mendarah-daging di sebagian kelompok masyarakat. Seolah, jika subsidi bahan bakar minyak dicabut, perekonomiannya bangkrut, mati suri. Lalu, bagaimana sebenarnya potret kebijakan subsidi bahan bakar minyak itu?
    Di dunia ini, hanya beberapa gelintir negara yang masih menggelontorkan subsidi via bahan bakar minyak, yaitu Arab Saudi, Iran,Venezuela, plus Indonesia. Bedanya, ketiga negara yang disebut pertama masih surplus minyak, bahkan untuk diekspor. Sedangkan Indonesia? Alih-alih untuk ekspor, untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri saja tak mampu. Secara nasional, kebutuhan bahan bakar minyak mencapai 1,3 juta barel per hari. Tetapi produksi minyak nasional hanya mampu memasok sekitar 900 ribu barel. Untuk menambal kekurangan itu, ya, impor.
    Benar, Indonesia telah menjadi nett importer minyak untuk kebutuhan dalam negeri. Tetapi aneh bin ajaib, kendati mengimpor, pemerintah justru menggelontorkan subsidinya makin kencang. Pada 2011, pemerintah menggelontorkan subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 126 triliun. Belum lagi subsidi sektor ketenagalistrikan Rp 65 triliun. Bandingkan dengan anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk sektor pendidikan (Rp 92 triliun), sektor kesehatan (Rp 14 triliun), dan jaminan sosial yang hanya Rp 9 triliun. Jadi, alokasi subsidi bahan bakar minyak tiga kali lipat dari angka yang dialokasikan untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial! Padahal ketiga sektor itu merupakan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia.
    Penikmat Subsidi
    Tak bisa dielakkan, secara dominan yang menyeruput gurihnya subsidi bahan bakar minyak adalah kelas menengah perkotaan. Khususnya pemilik kendaraan bermotor pribadi, baik roda empat maupun roda dua. Bahkan, yang lebih memprihatinkan, sebuah studi menunjukkan lebih dari 50 persen golongan terkaya di Indonesia menikmati hampir 90 persen subsidi bahan bakar minyak.
    Sementara itu, dan ini sangat ironis, kelompok masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah justru hanya menikmati sekitar 10 persen. Hasil studi ini menjadi sangat meyakinkan jika dikaitkan dengan data dari Direktur Jenderal Minyak dan Gas (2010) bahwa tidak kurang dari 85-90 persen subsidi bahan bakar minyak dikonsumsi oleh sektor transportasi, terutama sektor transportasi darat; dengan perincian mobil pribadi 53 persen dan sepeda motor 40 persen. Sedangkan angkutan barang hanya mendapat 4 persen, dan angkutan umum bahkan hanya 3 persen.
    Dengan ilustrasi itu, sektor yang memetik keuntungan besar dari subsidi bahan bakar minyak adalah industri otomotif. Mereka, industri otomotif, bertempik-sorak. Terbukti, pada 2012 Gabungan Industri Otomotif Indonesia (Gaikondo) menargetkan mobil baru yang terjual sebanyak 800 ribu unit. Dan 70 persennya akan terjual di area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Relevan dengan data itu, menurut data Polda Metro Jaya, di Jakarta setiap hari pihaknya mengeluarkan 1.500 STNK untuk sepeda motor baru, plus 300 STNK untuk mobil baru.
    Selain sangat tidak tepat sasaran, subsidi bahan bakar menimbulkan dampak ikutan yang amat parah; misalnya, pertama, dalam konteks perkotaan, akibat langsung dari fenomena ini adalah kemacetan. Bahkan, menurut studi USAID, kerugian sosial dan ekonomi akibat kemacetan di Jakarta minimal mencapai Rp 57 triliun (2008).
    Kedua, relevan dengan hal itu, pemerintah menjadi malas membangun sarana transportasi massal cepat di kota-kota besar. Kalaupun dibangun, belum tentu angkutan massal cepat itu diminati oleh konsumen. Untuk apa menggunakan angkutan umum massal, toh biaya operasi kendaraan pribadi masih sangat murah, karena bahan bakarnya masih disubsidi?
    Ketiga, pemerintah pun menjadi malas untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan. Padahal negeri Khatulistiwa ini sangat kaya akan sumber-sumber energi baru dan terbarukan, misalnya panas bumi. Bahkan 40 persen energi panas bumi (geothermal) dunia disimpan di perut bumi Indonesia. Itu semua tak pernah dikembangkan, karena pemerintah dikerangkeng oleh subsidi bahan bakar minyak.
    Kesimpulan, Saran
    Pemerintah, bersama DPR, telah menetapkan bahwa pada 2012 tidak akan ada kenaikan harga bahan bakar minyak. Artinya, alokasi anggaran subsidi bahan bakar minyak makin tinggi. Jelas, ini suatu pelanggengan kebijakan yang sangat tidak tepat, bahkan sesat pikir. Aneh dan ironis, justru pemerintah berpromosi via iklan di berbagai media, plus di area SPBU, bahwa “bahan bakar minyak bersubsidi hanya untuk golongan yang tidak mampu”. Substansi iklan itu benar. Masalahnya, mengapa  pemerintah hanya berani mengimbau, padahal secara normatif-konstitusional pemerintah mempunyai instrumen yang lebih kuat, yaitu pricing policy. Lagi pula, kalau sudah tahu bahwa pengguna bahan bakar bersubsidi bukan dari golongan yang tidak mampu, mengapa pemerintah hanya berpangku tangan?
    Penggelontoran subsidi via bahan bakar, dan penikmatnya adalah kendaraan pribadi, merupakan kebijakan sesat pikir. Peruntukan subsidi seharusnya dialokasikan untuk komoditas berjangka panjang: subsidi produk pertanian, pangan, pendidikan, dan kesehatan. Jadi, Presiden Yudhoyono (bahkan DPR) seharusnya tidak ciut nyali untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak dengan cara menaikkan harga. Bukan malah menjadikan subsidi bahan bakar minyak sebagai komoditas politik jangka pendek. Bebaskan masyarakat dari penyakit “racun candu” subsidi bahan bakar minyak!  
  • Selamatkan Rakyat Indonesia dari Kebangkrutan

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Selamatkan Rakyat Indonesia dari Kebangkrutan
    Sumber : KOMPAS, 14 Desember 2011
    Reni Aryanti (31) kehilangan ayahnya, Robinson, yang meninggal akibat diabetes dan gagal ginjal pada 2001. Buruh perusahaan itu mengisahkan, setelah ayahnya berhenti bekerja sebagai sopir di Serang, Banten, karena sakit, Reni dan keluarga habis-habisan membiayai pengobatan ayahnya. Bahkan, keluarga Reni membayar biaya rawat inap dengan televisi 20 inci, barang berharga yang tersisa.
    Nasib serupa dialami Norma (40), warga Medan. Penderita tumor payudara itu menuturkan, keluarganya terpaksa pinjam uang sana-sini dan menggadaikan barang untuk membiayai operasinya. Keluarganya berupaya mengurus Jaminan Kesehatan Masyarakat, tetapi ditolak.
    Reni dan Norma merupakan bagian dari jutaan penduduk Indonesia kelas menengah bawah. Mereka berpendapatan pas-pasan, hanya cukup untuk hidup sehari-hari. Begitu ada anggota keluarga yang sakit cukup berat, sendi ekonomi rumah tangga mereka langsung hancur.
    Guru besar ekonomi kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Hasbullah Thabrany menyatakan, banyak rumah tangga bangkrut ketika sakit. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, 150 juta orang di dunia jatuh miskin ketika sakit. Jutaan di antaranya di Indonesia.
    Karena itu, mendesak kehadiran program jaminan sosial untuk melindungi rakyat dari kebangkrutan rumah tangga akibat sakit berat, kematian, atau kehilangan pekerjaan.
    Jika di perkotaan banyak orang tak mampu membayar biaya perawatan, di pelosok negeri ini fasilitas pelayanan dan tenaga kesehatan sering tak tersedia.
    Sebagai gambaran, dari liputan Kompas, sekitar 30 keluarga sejak dipindah pemerintah untuk tinggal di pinggir jalan lintas Buru, Desa Modanmohai, Kecamatan Waeapo, Pulau Buru, Maluku, delapan tahun lalu, mengaku belum pernah melihat petugas kesehatan datang.
    ”Kalau yang sakit masih bisa jalan, ya, jalan 12 jam ke puskesmas terdekat di Waeapo. Namun, kalau tidak bisa dan tak ada kendaraan melintas, warga pasrah saat yang sakit meninggal,” kata Kepala Desa Modanmohai Haris Latubual, Maret lalu.
    Sistem Kesehatan
    Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Asuransi Kesehatan Universitas Gadjah Mada Prof Ali Ghufron Mukti berpendapat, pemerintah perlu membangun sistem kesehatan, termasuk asuransi kesehatan, untuk menjamin akses pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk. ”Pemerintah tak cukup membayar rumah sakit seperti pada Jamkesmas. Namun, juga harus membangun sistem kesehatan mulai dari operator obat, tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, dan sistem rujukan,” ungkapnya.
    Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri mengakui, program Jamkesmas baru mencakup 60 persen penduduk miskin. Fasilitas kesehatan di rumah sakit daerah dan tenaga dokter yang dibutuhkan untuk melayani 238 juta penduduk Indonesia juga masih sangat kurang.
    Terkait jaminan kesehatan, menurut Ali Ghufron, yang ideal adalah berbasis solidaritas, yaitu ada gotong royong di antara yang kaya, menengah, dan miskin. Penduduk yang mampu membayar iuran sendiri, sedangkan iuran penduduk miskin dibayar pemerintah. Dengan demikian, peserta bisa mendapatkan seluruh pengobatan yang dibutuhkan. Kalaupun harus membayar, tidak terlalu memberatkan.
    Sulastomo, Ketua Tim SJSN 2001-2004, menyatakan, model pembiayaan ini memotivasi nilai-nilai berupa rasa kebersamaan, kepedulian, dan solidaritas sosial, sesuai falsafah Pancasila.
    Sebenarnya sejak 2004 Indonesia memiliki Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Namun, UU itu tak kunjung diimplementasikan. Sampai tahun 2010, dari 10 peraturan pemerintah dan sembilan peraturan presiden untuk melaksanakan UU SJSN, hanya satu perpres yang diterbitkan, yaitu Perpres tentang Tata Kerja dan Organisasi Dewan Jaminan Sosial Nasional. Karena itu, tahun 2010 DPR berinisiatif mengajukan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
    Pembahasan RUU BPJS sampai tahun ini diwarnai tarik-menarik antara DPR dan pemerintah. Dari soal kekuatan UU hanya menetapkan atau mengatur, sampai bentuk badan penyelenggaranya apakah badan wali amanah di bawah presiden atau badan usaha milik negara khusus. Lewat kompromi, akhirnya 28 Oktober lalu RUU disetujui dan 25 November UU BPJS ditandatangani presiden.
    Namun, jalan untuk penerapan program jaminan sosial masih panjang. Pemerintah dan DPR sepakat, BPJS diterapkan dalam dua tahap. BPJS Kesehatan dilaksanakan 1 Januari 2014. Adapun BPJS Ketenagakerjaan, yang mengurus jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan pensiun, selambatnya 1 Juli 2015.
    Ini perlu komitmen kuat karena banyak pekerjaan rumah harus diselesaikan, antara lain menyusun pelbagai peraturan, melakukan sosialisasi ke masyarakat, dan mengawal transformasi BUMN jadi badan publik.
    Bagi bidang kesehatan, pelaksanaan UU itu setidaknya menyelesaikan dua masalah. Menjamin akses rakyat terhadap pelayanan kesehatan serta pemerataan tenaga dan fasilitas kesehatan. Tenaga kesehatan terdorong menyebar karena mendapat imbalan layak di mana pun bekerja. Adapun dana yang terkumpul bisa menjadi dana pinjaman untuk meningkatkan sarana dan melengkapi alat kesehatan rumah sakit mitra BPJS. 
    Dengan demikian, semua rumah sakit bisa memiliki sarana yang cukup lengkap dan layak.                (Atika Walujani Moedjiono)

      

  • Riset-riset Minus Penerapan

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Riset-riset Minus Penerapan
    Sumber : KOMPAS, 14 Desember 2011
    Riset menyuguhkan keunggulan, daya saing, dan kesejahteraan sosial. Sayangnya, riset di Indonesia masih miskin penerapan. Dari tahun ke tahun, perhatian pemerintah justru kian menyusut dengan indikasi dana riset yang kian minim.
    Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) 2010 Program Pembangunan PBB (UNDP) mendudukkan Indonesia pada peringkat ke-110. Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, Indonesia kalah unggul. Singapura peringkat ke-27, Malaysia (57), Thailand (92), dan Filipina (99).
    Survei Indeks Pertumbuhan Daya Saing Global (Global Growth Competitiveness Index) 2011 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-46, Singapura (2), Malaysia (21), dan Brunei (28). Survei mencakup inovasi, telematika, dan transfer teknologi.
    Kedua hasil itu mengindikasikan Indonesia kalah unggul, daya saing, dan kesejahteraan sosial. Penerapan hasil-hasil riset sangat rendah.
    Situasi Terkini
    Nani Grace Berliana, peneliti pada Pusat Penelitian dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Pappiptek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menggambarkan situasi terkini seiring terus menyusutnya dana riset di Indonesia.
    Tahun 1969-1970, anggaran riset/penelitian dan pengembangan (litbang) sebesar 2,03 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
    Empat puluh tahun kemudian, pada 2009, anggaran litbang menyusut dari 2,03 persen menjadi 0,21 persen dari APBN.
    Secara absolut, angka nominalnya memang meningkat 420 kali. Namun, itu jauh lebih rendah dibanding peningkatan nominal APBN yang naik 4.000 kali.
    Peneliti Pappiptek lainnya, Erman Aminullah, menyertakan data intensitas riset nasional yang merosot. Pada 1990 sebesar 0,13 persen, tahun 2010 menjadi 0,08 persen. Pada periode sama produk domestik bruto (PDB) naik 30 kali lipat.
    Di sinilah yang menarik. Erman menyimpulkan, peningkatan ekonomi di Indonesia bukan bersumber pada inovasi dari kegiatan riset.
    ”Ekonomi tumbuh bersumber pengalaman informal, bukan kegiatan ilmiah formal,” katanya.
    Pembelajaran diperoleh dari pengalaman pemakaian peralatan pada sistem produksi. Interaksi dengan pengguna lain, pemasok, dan perusahaan induk menjadi pembelajaran, bukan riset formal.
    Berbagai produk yang diproduksi atau dirakit di dalam negeri, seperti sepeda motor, memang mengalami inovasi. Namun, inovasinya dari kegiatan riset perusahaan-perusahaan induk di luar negeri.
    Komposisi Pelaku
    Komposisi sumber daya manusia litbang tahun 2009 sebanyak 62.995 orang, meliputi 58 persen peneliti, 23 persen teknisi, dan 19 persen staf pendukung. Belanja litbang Rp 4,72 triliun, terbagi 42,8 persen untuk lembaga litbang pemerintah, 38,5 persen untuk perguruan tinggi negeri, dan 18,7 persen untuk industri.
    Ini mengindikasikan rendahnya peran swasta dalam hal belanja litbang yang hanya 18,7 persen. Dominasi belanja litbang oleh pemerintah ini berbanding terbalik dengan Malaysia.
    Pemerintah Malaysia hanya memegang 15 persen untuk belanja litbang, disusul Singapura 36,6 persen dan Thailand 55 persen. Itu pun swasta di Indonesia lebih memprioritaskan belanja litbang untuk promosi 46 persen dan belanja lisensi 50 persen. Hanya 4 persen untuk riset.
    Menurut Nani Grace, semua itu dapat dipahami karena manufaktur di Indonesia secara umum berteknologi rendah dengan urutan terbesar di bidang makanan dan minuman, pakaian jadi, tekstil, furnitur, karet, serta bahan galian.
    Selama ini, sektor swasta kerap dikejar agar meningkatkan kontribusi dana litbang. Kenyataannya, swasta tak butuh aktivitas litbang yang tinggi.
    Selama 10 tahun (2001-2011), riset kedokteran (clinical medicine) yang terbanyak dimuat jurnal ilmiah internasional, yaitu 1.020 jurnal.
    Ironisnya, menurut Guru Besar Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Iwan Dwiprahasto, meski jadi kajian terbanyak masuk jurnal ilmiah internasional, obat-obatan masih bergantung pada bahan baku impor 96 persen. Hasil riset obat-obatan dan kedokteran banyak.
    ”Hanya saja, penerapan risetnya masih kurang,” kata Iwan.
    Terbengkalai
    Kepala LIPI Lukman Hakim mengamini ketika riset disebut miskin penerapan. Bahkan, ia mengakui banyak produk riset ilmiah formal terbengkalai.
    Baru-baru ini LIPI mengekspos 130 produk riset yang umumnya tanpa sambutan dalam penerapannya. Hingga kini buntu cara optimalisasi penerapannya.
    Hasil riset LIPI dikelompokkan dalam 12 kluster. ”Yang dibutuhkan pemasaran hasil-hasil riset itu,” kata Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta.
    Gusti mencontohkan, hasil riset Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI berupa radar kelautan dengan jangkauan 30 kilometer yang disebut Indonesian Sea Radar (Isra). Lisensi komersialisasinya dibeli badan usaha milik negara, PT Inti. ”Belum ada yang menggunakan radar kelautan ini sebagai produk dalam negeri,” kata Lukman Hakim.
    Menristek Gusti sampai mengungkapkan, pemanfaatan hasil riset hingga menjadi produk dalam negeri perlu setengah dipaksa. Namun, itu baru wacana.

    Tanpa terobosan dan kemauan superkuat, potensi riset yang solutif tak akan berbuah apa-apa. Seperti tahun-tahun yang lewat.  (NAWA TUNGGAL)

  • Benang Kusust yang Belum Terurai

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Benang Kusust yang Belum Terurai
    Sumber : KOMPAS, 14 Desember 2011
    Reformasi guru yang menyasar 2,9 juta guru TK hingga SMA/SMK sederajat bergulir sejak tahun 2006 dan akan berlangsung hingga tahun 2015. Pemerintah menginginkan guru yang profesional.
    Guru menjadi perhatian utama karena di situlah kunci jika ingin kualitas pendidikan secara nasional meningkat. Perbaikan pun dijalankan dengan mengharuskan guru memiliki sertifikat sebagai guru profesional. Guru yang ada saat ini sebagian besar menjalani uji sertifikasi.
    Guru yang lolos sertifikasi semestinya memenuhi syarat sebagai guru yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Selain berpendidikan minimal D-4/S-1 dan bersertifikat guru profesional, guru harus memiliki kompetensi profesional (keilmuan), kepribadian, pedagogik (pendidik), dan sosial.
    Namun, di tingkat pendidikan saja masih banyak guru yang terjegal. Dari data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), hampir 50 persen atau sekitar 1,8 juta guru belum bergelar sarjana. Sebagian besar yang belum berpendidikan S-1 adalah guru SD (26 persen).
    Para guru yang lolos sertifikasi mendapat tunjangan profesi guru senilai satu kali gaji pokok. Pada tahun 2011 saja, alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk tunjangan profesi guru mencapai Rp 18,53 triliun untuk 731.002 guru. Tahun depan, seiring meningkatnya guru yang lolos sertifikasi, alokasi dana dari pemerintah naik menjadi Rp 30,53 triliun.
    Kualitas Dipertanyakan
    Lebih dari lima tahun sertifikasi guru berjalan, pemerintah menuding kinerja guru tak kunjung memuaskan. Dalam kacamata pemerintah dan masyarakat, profesionalisme yang diiming-imingi dengan peningkatan kesejahteraan tidak berbanding lurus dengan mutu guru yang diharapkan meningkat.
    Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh memutuskan untuk lebih mengutamakan sertifikasi guru lewat jalur pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) dibandingkan dengan penilaian portofolio. Selain itu, guru mesti menjalani tes kompetensi untuk bisa diikutkan dalam sertifikasi.
    Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo mengatakan, sertifikasi guru tidak otomatis meningkatkan kualitas guru. Sebab, sertifikasi bukanlah alat untuk meningkatkan mutu guru, melainkan proses penetapan seseorang untuk memperoleh sertifikat pendidikan.
    Tidak Sederhana
    Sertifikasi guru barulah langkah kecil. Jika buru-buru meminta peningkatan kualitas yang signifikan karena gaji guru melonjak, rasanya tidak pas.
    Persoalan guru Indonesia tidak sesederhana itu. Kekeliruan dimulai dari pendidikan calon guru. Rekrutmen mahasiswa calon guru tidak selektif. Bahkan, anak-anak cerdas di jenjang SMA/MA sangat sedikit yang berminat menjadi guru. Mereka memilih profesi lain.
    Saat menjadi guru, banyak pula yang tidak sesuai dengan bidang pendidikannya. Ketidaksesuaian guru dengan bidang yang diampunya untuk di jenjang SD sebanyak 34,8 persen, SMP 31,49 persen, SMA 49,24 persen, dan SMK 22,68 persen.
    Belum lagi persoalan guru honorer yang terus membengkak. Pada tahun 2009 tercatat 526.614 guru honorer di sekolah negeri dan swasta.
    Di satu sisi, keberadaan guru honorer yang digaji Rp 50.000-Rp 500.000 itu memang dibutuhkan sekolah karena kekurangan guru. Ada juga yang memang permainan ”politik” daerah sebagai janji saat pemilihan kepala daerah (pilkada).
    Padahal, sesuai hitungan Kemdikbud di atas kertas, mestinya tidak ada kekurangan guru. Rasio guru dan siswa secara nasional di jenjang TK hingga SMA/SMK saat ini masih ideal, yakni 1:15-23, sedangkan rasio maksimal 1:15-32.
    Akan tetapi, penataan tidak bisa dilakukan untuk mengatasi kekurangan guru yang umumnya terjadi di pedesaan atau pinggiran, sementara di perkotaan terjadi kelebihan guru. Sebab, desentralisasi pendidikan berimplikasi guru milik pemerintah kabupaten/kota sehingga tidak bisa sembarangan dipindahkan.
    Kondisi guru yang milik daerah ini juga rawan korban politik. Kesinambungan karier guru dan kepala sekolah sangat tergantung dinamika politik saat pemilihan kepala daerah. Desentralisasi guru pada akhirnya malah menimbulkan banyak masalah. Benang kusut yang masih membelit guru Indonesia ini menimbulkan dorongan untuk mengembalikan kewenangan guru pada pemerintah pusat. Sentralisasi guru ini semestinya dipertimbangkan demi menjaga mutu pendidikan bagi generasi masa depan.

    (Ester Lince Napitupulu)

  • Beratnya Tingkatkan Kualitas Manusia Indonesia

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Beratnya Tingkatkan Kualitas Manusia Indonesia
    Sumber : KOMPAS, 14 Desember 2011
    Di manakah posisi presiden, sebagian besar menteri, gubernur, dan sebagian kelas menengah Indonesia sekitar 30-40 tahun lalu? Jika melihat biografi tokoh-tokoh terkemuka negeri ini, sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga kelas menengah bawah dan hidup di tengah suasana pedesaan.
    Mengapa mereka bisa menempati posisi yang sekarang? Ini terutama karena faktor pendidikan. Pendidikanlah yang menaikkan status sosial ekonomi mereka, terutama pendidikan tinggi. Meminjam istilah Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, Anies Baswedan, pendidikan menjadi ”eskalator sosial”.
    Melalui pendidikan, wawasan mereka terbuka, pengetahuan bertambah, dan pergaulan semakin luas. Dampak ikutannya, kualitas manusia semakin meningkat dan status sosial ekonomi mereka naik.
    Namun, keluhan yang sering terdengar di masyarakat adalah sulitnya mendapatkan akses pendidikan bermutu. Semakin tinggi jenjang pendidikan, akses pendidikan semakin sulit, daya tampung terbatas, dan biaya semakin mahal.
    Memang, jika melihat paparan persentase pencapaian bidang pendidikan, kelihatannya sangat menakjubkan. Angka Partisipasi Murni (APM) SD sederajat mencapai 95,3 persen. Adapun Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP sederajat 98,3 persen, APK SMA 70,3 persen, dan APK perguruan tinggi 23,9 persen.
    Karena jumlah penduduk Indonesia sedemikian besar, sekitar 240 juta jiwa, persentase yang kecil menjadi besar jika diwujudkan dalam angka. Jumlah siswa SD, misalnya, sangat bagus, mencapai sekitar 31,05 juta jiwa. Angka putus sekolah pun hanya sekitar 1,5 persen.
    ”Namun, karena jumlah penduduk yang besar, angka putus sekolah 1,5 persen ini sekitar 500.000 siswa,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh.
    Angka-angka lainnya bisa membuat miris karena lulusan SMP hanya 12,9 juta orang serta lulusan SMA/MA dan SMK hanya sekitar 9,1 juta orang. Artinya, jika dibandingkan dengan lulusan SD yang mencapai 31,05 juta orang, sekitar 20 juta anak tidak melanjutkan pendidikan hingga lulus SMA.
    ”Jumlah 20 juta jiwa ini sangat besar,” kata Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono.
    Bukan sekadar besar, tetapi jumlah 20 juta orang yang hanya bisa mengenyam bangku SD ini akan menjadi beban sosial pada masa depan. Rendahnya kualitas pendidikan juga akan sangat memengaruhi kualitas manusia Indonesia pada masa depan.
    Padahal, dari sisi Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2011 bidang pendidikan, manusia Indonesia tergolong rendah, berada di urutan ke-119 dari 187 negara. Di Asia Pasifik, Indonesia di urutan ke-12 dari 21 negara.
    Adapun IPM Indonesia 2011 sebesar 0,617 dan menempati peringkat ke-124 dari 189 negara. Artinya, IPM Indonesia selama 31 tahun naik meskipun tidak signifikan dan tetap berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, serta Filipina.
    ”Kesenjangan pembangunan antardaerah membuat rata-rata kualitas manusia Indonesia rendah” kata Kepala Perwakilan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Indonesia El Mostafa Benlamlih di Jakarta.
    ”Manipulasi Konstitusi”
    Untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia melalui pendidikan, sebenarnya sudah dialokasikan anggaran yang cukup memadai. Bahkan, anggaran pendidikan ”dikunci” dalam konstitusi, minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Otomatis, seiring dengan naiknya APBN, anggaran pendidikan juga meningkat setiap tahun.
    Jika tahun 2009 anggaran pendidikan Rp 208 triliun, tahun 2010 naik menjadi Rp 225,2 triliun, tahun 2011 menjadi Rp 248,9 triliun, dan tahun 2012 menjadi sekitar Rp 281,4 triliun.
    Kelihatannya anggaran ini besar. Namun, kenyataannya, terjadi semacam ”manipulasi konstitusi” karena anggaran ini harus dibagi dengan 16 kementerian lain yang mengemban ”fungsi pendidikan”. Akibatnya, anggaran yang diterima Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya sekitar Rp 78 triliun dan Kementerian Agama yang menaungi sejumlah madrasah hingga perguruan tinggi keagamaan sekitar Rp 30 triliun.
    Dengan anggaran yang terbatas, memang tidak mudah untuk menyelesaikan persoalan yang sangat beragam. Di bidang pendidikan, misalnya, masih terdapat persoalan banyaknya murid yang tidak mampu secara ekonomi, banyaknya sekolah rusak, serta kesenjangan kualitas pendidikan Jawa dan luar Jawa.
    Di bidang kesehatan, anggaran yang tersedia juga sangat terbatas, dalam APBN Perubahan 2011 hanya Rp 29,45 triliun atau 2,23 persen dari total APBN. Ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyebutkan bahwa anggaran kesehatan pemerintah pusat minimal 5 persen dari APBN di luar gaji.
    Anggaran yang terbatas menjadikan sangat berat menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat, seperti angka kematian ibu melahirkan yang tahun 2010 masih 214 per 100.000 kelahiran hidup serta jumlah kematian anak usia balita yang pada 2007 tercatat 44 anak usia balita meninggal tiap 1.000 kelahiran hidup.
    Persoalan sosial pun masih menghadang. Sebagai contoh, prevalensi gizi buruk mencapai 4,9 persen dan gizi kurang mencapai 13 persen.
    Berbagai persoalan ini, mulai kondisi sosial ekonomi, kesehatan, hingga pendidikan, menjadi tantangan berat untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. (LUK/THY)
  • Rakyat Tak Terlindungi

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Rakyat Tak Terlindungi
    Sumber : KOMPAS, 14 Desember 2011
    Menjadi manusia Indonesia memang tidaklah mudah. Hingga menjelang 67 tahun Indonesia merdeka, hak seluruh rakyat untuk hidup sehat masih sulit diwujudkan.
    Proses pembangunan yang berfokus ekonomi dan abai dengan imbasnya bagi kesehatan masyarakat membuat penyakit serta persoalan kesehatan yang dihadapi rakyat makin kompleks.
    Kematian ibu saat melahirkan masih menjadi momok besar. Hingga 2010, jumlah kematian ibu melahirkan masih mencapai 214 per 100.000 kelahiran hidup. Ini menempatkan Indonesia dalam kelompok negara-negara Asia dengan angka kematian ibu tertinggi. Target menurunkan angka kematian ibu menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015—sesuai target Tujuan Pembangunan Milenium—sulit tercapai.
    Jumlah kematian anak usia balita lebih mudah ditekan. Pada 2007, terdapat 44 anak balita meninggal tiap 1.000 kelahiran hidup. Jumlah ini diharapkan bisa menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup pada 2015.
    Meski demikian, lolos dari kematian bukan berarti masalah yang dihadapi bayi dan anak balita tuntas. Gizi buruk menghadang bayi-bayi tak berdosa akibat kemiskinan orangtua. Riset Kesehatan Dasar 2010 menyebutkan, prevalensi gizi buruk mencapai 4,9 persen, sedangkan prevalensi gizi kurang mencapai 13 persen.
    Penderita kurang gizi (gizi buruk dan gizi kurang) bisa saja bertahan hingga dewasa. Namun, jangan harapkan mereka akan bisa bersaing dalam Pasar Bebas ASEAN 2015. Pertumbuhan otak manusia mencapai 80 persen saat berusia 2 tahun dan mencapai 95 persen saat berumur 6 tahun.
    ”Gangguan kecerdasan akibat kurang gizi berdampak seumur hidup,” ucap Ketua Divisi Tumbuh Kembang Anak dan Remaja Rumah Sakit Umum Dr Soetomo, Surabaya, Ahmad Suryawan (Kompas, 10/11).
    Kemiskinan juga membuat anak-anak kurang pangan hewani hingga tubuh mereka pendek dan daya tahan mereka lemah. Pada saat bersamaan, mereka yang mampu membelikan bahan pangan ”bermutu” bagi anak lebih banyak memberikan lemak dan karbohidrat.
    Kegemukan pun mengancam. Kondisi itu diperparah dengan pola asuh yang salah, sempitnya ruang terbuka, hingga proses pendidikan yang lebih banyak menekankan pada kecerdasan intelektual sehingga membuat anak-anak kurang beraktivitas fisik.
    Infeksi Lama dan Baru
    Saat anak-anak tumbuh remaja dan menjadi manusia dewasa, mereka harus berhadapan dengan lingkungan yang tak ramah. Berbagai penyakit infeksi lama mengintai mereka, mulai malaria, tuberkulosis, hingga demam berdarah. Belum tuntas persoalan itu ditangani, bebagai penyakit infeksi baru yang lebih menyeramkan, seperti HIV/ AIDS, flu burung, flu babi, hingga sindrom pernapasan akut parah (SARS), menghadang.
    Walau penyakit infeksi masih menjadi ancaman, ternyata penyakit tidak menular kini justru menjadi penyebab kematian terbesar di Indonesia. Jantung, stroke, hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis, yang dahulu banyak menyerang kelompok lanjut usia, kini semakin banyak diderita orang muda yang masih produktif.
    Jika penyebaran penyakit infeksi sangat ditentukan oleh kondisi geografis, seperti perkotaan atau pedesaan, penyakit tidak menular tidak mengenal perbedaan wilayah. Masyarakat kota dan desa menghadapi ancaman yang sama.
    Selain banyak menyebabkan kematian, proses penyembuhan penyakit tak menular membutuhkan waktu lama. Biaya yang dibutuhkan untuk penyembuhan juga tidak murah. Ini belum lagi beban ekonomi yang harus ditanggung keluarga akibat hilangnya sumber pendapatan utama keluarga. Terlebih lagi, sejumlah penyakit tidak menular bisa menimbulkan cacat permanen bagi penderitanya.
    ”Penyakit tidak menular berdampak negatif pada ekonomi dan produktivitas bangsa,” kata Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih.
    Jatuh Miskin
    Menjadi orang sakit juga bukan perkara mudah. Belum terwujudnya sistem jaminan menyeluruh dan mahalnya biaya pengobatan membuat banyak orang tiba-tiba jatuh miskin saat sakit. Adapun mereka yang miskin harus bergulat memperebutkan Jaminan Kesehatan Masyarakat yang terbatas. Hanya mereka yang berduit besarlah yang bisa mendapatkan layanan istimewa meskipun kualitas layanannya belum tentu istimewa.
    Terbatasnya jumlah dan rasio tenaga kesehatan terhadap pasien membuat kualitas layanan yang diberikan kurang optimal. Beban berat yang harus ditanggung tenaga kesehatan sering kali membuat diagnosis penyakit dan pengobatan yang dilakukan kurang sesuai.
    Masalah kesehatan memang tidak hanya dipicu oleh persoalan-persoalan dari bidang kesehatan semata. Kemiskinan, buruknya transportasi, pembangunan tidak merata, ketidakjelasan peta jalan penyiapan dan rekrutmen tenaga kesehatan, hingga pembangunan yang tidak berpihak pada kebijakan kesehatan membuat sektor kesehatan harus menanggung beban berat.
    Anggaran kesehatan masih terbatas. Anggaran Kementerian Kesehatan pada APBN Perubahan 2011 hanya mencapai Rp 29,45 triliun atau 2,23 persen dari nilai APBN total. Ini bertentangan dengan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa anggaran kesehatan pemerintah pusat minimal 5 persen dari APBN di luar gaji.
    Bandingkan dengan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang pada APBN Perubahan 2011 mencapai Rp 129,7 triliun atau 440 persen anggaran kesehatan. Padahal, imbas subsidi BBM akan sangat memengaruhi kondisi kesehatan masyarakat, mulai meningkatnya polusi udara, tingginya angka kecelakaan lalu lintas, semakin banyaknya penyakit-penyakit degeneratif yang muncul, hingga berbagai persoalan kejiwaan.
    ”Anggaran kesehatan yang kecil hanya pantas untuk negara miskin,” kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany (Kompas, 16/11).
    Jika kesehatan masih dianggap sebagai investasi sumber daya manusia bangsa, sudah selayaknya pemerintah dan DPR memberi perhatian lebih pada sektor kesehatan. Investasi ini memang tidak akan tampak hasilnya dalam lima tahun mendatang, sesuai dengan periode kepemimpinan politik.
    Namun, investasi ini menjadi modal untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain.  (M Zaid Wahyudi)