(M Clara Wresti/Fransisca Romana)
(M Clara Wresti/Fransisca Romana)
(WINDORO ADI/RATIH PRAHESTI SUDARSONO/ COKORDA YUDISTIRA/ MADINA NUSRAT)
(NELI TRIANA)
Barang Publik?
Dari kacamata administrasi negara, memperbaiki pelayanan pergi haji ini tidak bisa dilepaskan dari karakter barang /jasa yang terjadi. Secara teoretis, jenis barang (jasa) dapat diperinci menurut dua dimensi (Savas: 1985). Pertama, pola konsumsinya.Kedua, dari sifat eksklusivitasnya. Suatu barang (jasa) dikatakan barang publik jika pola konsumsinya dapat bersama-sama (kolektif) dan sifat eksklusivitasnya tidak ada. Sebaliknya barang yang pola konsumsinya berpola individual dan sifat eksklusivitasnya nyata dikatakan sebagai barang privat (pribadi).
Di sini terdapat barang antara, yakni adanya kecenderungan dari dua dimensi tersebut bersifat campuran atau bisa dominan salah satunya dan tidak ekstrem serta memiliki dampak (eksternalitas). Di antara kedua jenis barang terdapat barang jenis tol (toll goods),yakni dari pola konsumsinya bersifat kolektif, tetapi eksklusivitasnya muncul karena harus bersaing untuk mendapatkannya, contohnya di sini adalah jalan tol.
Di samping itu ada barang jenis wadah-bersama (common-pool-goods),yakni jika bersifat tidak eksklusif, tetapi pola konsumsinya individual, contohnya adalah air bawah tanah. Sebuah bangsa yang umumnya berhaluan sosialis dapat menggerakkan segala jenis barang (jasa) yang dikonsumsi masyarakatnya menjadi barang publik jika untuk mendapatkannya semua disediakan negara tanpa perlu bersaing, baik dikonsumsi secara individual maupun secara kolektif.
Jadi di negara tersebut hanya terdapat barang publik murni dan barang “wadah bersama”. Sebaliknya di negara-negara kapitalis, negara mengatur sedemikian rupa beberapa barang (jasa), diperoleh dengan bersaing. Terciptalah yang semula barang publik menjadi barang tol, bahkan barang pribadi. Pergi haji dari sisi jenis barang (jasanya) dikonsumsi secara kolektif dan karena terdapat paket pesawat terbang, penginapan,dan lain-lain yang dikonsumsi secara pribadi dan harus bersaing, tampak jenis barang (jasa) pergi haji ini cenderung ke arah toll goods.
Kecenderungan seperti ini menjadikan haji tidak harus dikelola dari A hingga Z oleh pemerintah sendiri. Jika dilakukan pemerintah, secara teoretis akan membuat tidak efisien dari sisi pengelolaannya. Jika hal itu terjadi,berapa banyak pajak akan tersedot untuk hal-hal yang sebetulnya dikonsumsi secara individu. Terdapat ketidakadilan bagi masyarakat luas, kepentingan negara yang lebih luas pun dapat terganggu.
Jika pemerintah tetap mengandalkan ongkos pergi haji dari jamaah (charging) pun jelas akan mengaburkan sumber pembiayaan negara.Yang ideal dari jenis toll goods ini adalah pemerintah menjadi fasilitator atau regulator yang bertindak dengan pola steering rather than rowing. Dengan demikian,pelayanan pergi haji dari pendanaan oleh sumber pajak hanya untuk soal strategis, tidak perlu sampai operasional- teknis. Kemungkinan operasional-teknis, kalaupun ada, adalah dalam rangka pengawasan oleh pemerintah.
Pergeseran Paradigma Pelayanan
Sifat internasional dalam pergi haji adalah poin utama dalam pelayanan ini pula sehingga mau tidak mau membawa intervensi negara. Di dalam negeri,Asosiasi Muslim Penyelenggara Umrah dan Haji (Amphuri) harus menjadi operator. Pemerintah harus menjadi pengawas yang mumpuni. Paradigma pelayanan saat ini adalah ke arah new public services, yaitu masyarakat harus diberdayakan.
Negara harus kuat dalam fungsinya sebagai law enforcer. Negara harus mampu menjadi penyambung lidah bangsa Indonesia ke Pemerintah Arab Saudi.Kepentingan ini untuk mendapatkan kuota haji. Negara dalam hal ini Kementerian Agama adalah regulator dan fasilitator.Kuota ini harus di-share per daerah. Kementerian Agama juga yang mengatur standar ongkos haji. Ongkos ini dipantau, jika ada biro haji yang melanggar, harus ditindak dengan tegas tanpa pandang bulu.
Dari segi ongkos ini, negara dapat memberikan subsidi mengingat dana haji sejak lama telah terkumpul sampai tak terbatas, bahkan ada wakaf tanah para haji Indonesia di Arab Saudi yang hingga kini dapat digunakan. Tapi subsidi negara ini tetap perlu dihitung dengan cermat agar tidak terjadi pemborosan uang negara. Dalam hal ini akhirnya jamaah haji dalam mengurus pergi hajinya hanya berurusan dengan biro haji swasta saja.
Selebihnya biar biro tersebut berurusan dengan Kementerian Agama sebagai pengatur. Biro tersebut bekerja menurut domisilinya. Sifat toll goods ini menjadi alat ukur bahwa konsumen (jamaah-haji) tidak berurusan dengan negara, tetapi dengan operator.Operator yang efektif dalam toll goods dari praktik berbagai negara dan berbagai jenis barang cenderung oleh vendor di luar institusi pemerintah, kalaupun pemerintah berupa badan usaha. Dengan demikian tidak cocok pula pergi haji diurus oleh sebuah badan pemerintah. Kalaupun akan ada badan pemerintah, sebaiknya hanya sebagai regulator-law-enforcer semata.
●
Berdasarkan alasan di atas, pemerintah melakukan beberapa langkah untuk mendukung PPP. Indonesia Infrastructure Summit diadakan beberapa kali untuk menyosialisasikan, mempromosikan, dan mengundang keterlibatan swasta untuk bekerja sama dalam penyediaan infrastruktur melalui skema PPP. Beberapa institusi seperti PT Sarana Multi Infrastructure (SMI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) dibentuk untuk memperkuat implementasi PPP.
Pemerintah juga telah menyusun nota kesepahaman antara Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan dan Kepala BKPM untuk memperkuat koordinasi dan memperjelas pembagian tugas serta mengharmoniskan langkah dan kegiatan dalam melakukan fasilitasi pelaksanaan PPP.
Sayangnya, berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah itu belum memberikan hasil yang memuaskan. Sektor swasta belum banyak yang tertarik untuk terlibat di dalam PPP.Sampai saat ini,dari target 100 proyek yang akan ditawarkan kepada sektor swasta pada periode 2010–2014, baru sekitar 4%-an yang baru berhasil ditenderkan.
Beragam Masalah
Terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa lambatnya implementasi PPP di Indonesia merupakan akumulasi dari beberapa masalah. Pertama, pemerintah dan DPR terlambat menyediakan legal framework yang bisa mendukung percepatan pelaksanaan PPP. Misalnya,proses legislasi RUU Pengadaan Lahan berjalan lambat dan masih terdapat peraturan yang bersifat tumpang tindih di antara satu dengan yang lainnya.
Masalah itu kemudian membuat semakin tingginya ketidakpastian, risiko, dan biaya yang harus dipikul swasta jika mereka terlibat dalam pembangunan infrastruktur melalui PPP. Kedua, PPP belum dilengkapi dengan jaminan penggantian biaya investasi dari pemerintah bila proyek infrastruktur tersendat di tengah jalan karena problem pengadaan lahan ataupun munculnya konflik dengan masyarakat di sekitar proyek.
Ketiga, proyek infrastruktur yang ditawarkan kepada swasta tidak dipersiapkan secara matang.Penyebabnya, penanggung jawab proyek kerja sama (PJPK) di kementerian/ lembaga/pemda/ BUMN/BUMD belum punya pengalaman bagaimana mempersiapkan proyek yang akan ditawarkan kepada swasta. PJPK lebih terbiasa mempersiapkan proyek-proyek yang didanai APBN/ APBD.
Karena itu, dokumen studi kelayakan PJPK cenderung lebih teknis dan belum memasukkan isuisu yang terkait dengan masalah hukum, ekonomi dan keuangan, risiko, kebutuhan dan dukungan yang akan diberikan pemerintah, serta masalah yang mungkin muncul jika swasta terlibat dalam proyek PPP Keempat, di mata swasta, komitmen PJPK untuk menjaga kerja sama relatif masih rendah.
Tidak jarang kerja sama di antara pemerintah dan swasta berakhir di tengah jalan karena PJPK mengalihkan pembiayaan dari skema PPP menjadi skema APBN. Kondisi seperti ini membuat sektor swasta memiliki persepsi bahwa PJPK merupakan pihak yang tidak terlalu bisa dipercaya. Kelima, PJPK (birokrat) lebih suka menggunakan APBN daripada menawarkan kepada swasta untuk membangun beberapa jenis infrastruktur.
Pertimbangannya adalah PJPK mendapatkan kesempatan untuk memperoleh insentif dan fee (baik legal ataupun ilegal) dari setiap proyek yang dibiayai APBN. Karena itu, PJPK sering memilih proyek dengan rate of return on investment (RoI) relatif tinggi yang justru dikerjakan dengan pembiayaan APBN,sementara proyek dengan RoI relatif rendah malah ditawarkan kepada sektor swasta. Keenam, rendahnya RoI dari proyekproyek infrastruktur yang ditawarkan semakin membuat swasta tidak tertarik terlibat dalam PPP karena sampai saat ini PPP tidak dilengkapi dengan jaminan mengenai viability gap.
Artinya, di satu sisi, RoI dari proyek-proyek infrastruktur yang ditawarkan kepada sektor swasta berada di kisaran 14%-an.Di sisi lain,sektor swasta menghitung agar mereka mendapat keuntungan yang layak, maka RoI harus berada pada level 18%-an. Ketujuh, kapasitas kelembagaan di beberapa kementerian belum terbangun secara solid karena adanya dualisme pengelolaan proyek.
Misalnya, di Kementerian Pekerjaan Umum, terdapat BPJT yang bertanggung jawab dalam pengelolaan jalan tol dan Binamarga yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan jalan umum. Masalahnya adalah Badan Penyelenggara Jalan Tol (BPJT) dan Binamarga sering kali bekerja secara tidak harmonis. Artinya, ketika BPJT membangun satu ruas jalan tol, Binamarga justru membangun jaringan jalan yang berdekatan dan menjadi alternatif dari jalan tol.
Kedelapan, pola pikir pemerintah, khususnya pemerintah daerah, mengenai PPP belum terbangun secara baik. Pemerintah daerah masih sering mengasumsikan PPP sebagai salah satu sumber pendapatan sehingga menerbitkan berbagai macam peraturan yang membebani sektor swasta.
Agenda Prioritas
Pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa PPP memiliki peran penting untuk mendukung pembangunan kuantitas dan kualitas infrastruktur. Beberapa negara seperti Amerika,Inggris,Belanda, Australia, dan India sudah sejak puluhan tahun yang lalu mengadopsi dan mendapatkan manfaat dari kebijakan ini.
Misalnya, di Australia, melalui PPP, pemerintah negara itu mampu membangun dan menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat dan pelaku bisnis tanpa terlalu membebani keuangan negara (Foster,2010).Terdapat indikasi bahwa implementasi PPP di negara lain memberikan manfaat yang sifatnya simbiosis mutualisme bagi pemerintah dan sektor swasta yang terlibat.
Mengacu pada pengalaman negara-negara seperti di atas, ada baiknya pemerintah,DPR, dan stakeholders lainnya lebih fokus dan serius mengatasi berbagai masalah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Karena itu, pemerintah dan DPR perlu segera menyelesai kan proses legislasi UU Pengadaan Lahan, meminimalkan overlapping beberapa peraturan, menyiapkan sistem insentif (seperti viability gap dan jaminan penggantian biaya investasi bila proyek infrastruktur tersendat di tengah jalan), serta meningkatkan kualitas dan kapabilitas PJPK.
●
Dengan dalih keamanan, adanya tahanan politik adalah penanda (signifier) yang mencerminkan konstruksi politik rezim diktator, ungkap John Elster dalam Political Psychology: 1993. Demonstran yang meluber dengan kekuatan massa besar hanya bisa ditangani dengan model mediasi dan komunikasi proseduralistik.
Putin tampaknya tidak menghitung ekses dari penangkapan membabi-buta demonstran itu. Aksi represif militer itu menurunkan elektabilitasnya dalam pilpres yang diajukannya sendiri pada 4 Maret tahun depan. Partainya, United Russia pada Minggu lalu mendapatkan peruntungan 49,5 sehingga mendapatkan 238 kursi.
Perolehan yang jauh jika dibandingkan dengan kubu oposisi karena Partai Komunis mendapatkan 92 kursi dan Partai Liberal Demokrasi 56 kursi. Meski legitimasi politik pemilu dipertanyakan, hasil akhir masih mendudukkan partai Putin dalam peringkat wahid. Posisi Putin sebenarnya di atas angin. Namun kondisi politik yang kian memanas bisa membalikkan posisinya. Apalagi dengan arogansinya, bisa jadi ia terpuruk, bahkan lebih mengerikan jika dijebloskan dalam skandal kekerasan negara.
Di seberang jalan, ruang dunia internasional telah menanti dengan godamnya untuk meluluhlantakkan kekuasaan Putin hanya dengan hitungan hari. Hillary Clinton sudah menyerukan pidato tentang problem aksi represif Putin terhadap demonstran sebagai masalah yang diperhatikan serius. Adapun kubu Barat, dengan Organization for the Secuirty and Co-operation in Europe (OSCE), sudah memasang kuda-kuda perang.
Rezim otoriter telah menjadi momok menakutkan bagi rezim demokrasi. Demokrasi telah menjadi kekuasaan itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh Foucault sebagai taksonomi politik. Atas nama demorasi, banyak korban jiwa bergelimpangan. Bahkan bagi Zizek lebih percaya negara paling demokratis seperti Amerika memiliki terornya sendiri dengan simbol Guantanamo.
Tebar Teror
Tuduhan Putin bahwa Amerika mendalangi protes rakyat terhadapnya agak berlebihan. Ia harusnya berkaca terlebih dahulu karena dia sendiri yang membangun dinasti dalam tubuh politik negara. Namun tentu saja etika politik mengatakan hal yang berseberangan, jika demokrasi itu mengharuskan pula sirkulasi penguasa, bukan penguasa yang mapan dan tak tergantikan.
Putin membangun kastil, seperti ditulis Sean Guillory dalam artikelnya ‘’The ‘New Desembrists’ Face off Against Putin’’.
Dalam situasi konflik ini, mediasi merupakan sarana paling manjur ketimbang insiden militer. Kita tahu bersama Rusia pernah beberapa kali mengalami revolusi bersenjata, dari transisi Grand Duchy Mosko 1283, Kerajaan Tzar Rusia 1547, Kekaisaran Rusia 1721, hingga puncaknya Revolusi Bolshevik 1917. Bedanya, sejarah zaman dulu belum ada koordinasi tiap-tiap bangsa yang membangun kekaisarannya sendiri.
Namun sekarang, Yves Dezalay dan Madsen kekaisaran sudah terbangun dalam peradaban dunia dalam era posindustrial dan posteknologi, yang dikawal oleh Amerika dan Eropa sehingga segala keputusan di dunia ditentukan oleh kepentingan-kepentingan negara adidaya tersebut.
●