Category: Uncategorized

  • Jangan Lupa Manusianya

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011 TENTANG METROPOLITAN
    Jangan Lupa Manusianya
    Sumber : KOMPAS, 15 Desember 2011
    Kesehatan adalah kekayaan yang sesungguhnya, bukanlah kepingan-kepingan perak atau emas. Namun, seseorang yang mengabaikan pendidikan juga akan lumpuh sampai akhir hidupnya.
    Filsuf asal India, Mahatma Gandhi, dan filsuf Yunani kuno, Plato, sudah mengingatkan itu berabad-abad lalu.
    Tak heran, tahun 2011 ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berupaya melakukan sejumlah perbaikan di bidang pendidikan dan kesehatan.
    Hal ini terlihat dalam alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2011. Di bidang pelayanan pendidikan, alokasi APBD Jakarta bahkan melampaui amanat Undang-Undang Dasar, yaitu sekurang-kurangnya 20 persen.
    Alokasi anggaran pendidikan di DKI tahun 2011 mencapai 27,05 persen. Dengan anggaran sebesar itu, DKI mampu memenuhi kebutuhan pemberian bantuan operasional pendidikan (BOP) dan bantuan operasional sekolah (BOS).
    Kesejahteraan guru pun terus ditingkatkan. Saat ini, total penghasilan guru di Jakarta berkisar Rp 6 juta-Rp 8 juta per bulan. Ini merupakan take home pay tertinggi di Indonesia.
    Kemajuan layanan pendidikan dapat dilihat dari indikator tingkat kelulusan. Tahun 2011, tingkat kelulusan untuk SD sebesar 100 persen, SMP 99,99 persen, SMA 99,53 persen, dan SMK 99,87 persen.
    Sektor kesehatan, meski tidak dialokasikan anggaran sebesar pendidikan, juga menunjukkan perbaikan. Membaiknya pelayanan kesehatan di puskesmas adalah salah satu indikatornya.
    Tahun 2011, sebanyak 49 puskesmas kelurahan di DKI Jakarta menerima ISO 9001:2008 atas kualitas pelayanan yang diberikan. Ditambah dengan capaian tahun sebelumnya, sebanyak 85 puskesmas kelurahan di DKI sudah meraih ISO dari total 338 puskesmas.
    Jumlah puskesmas kecamatan yang menerapkan rawat inap pun terus bertambah. Pada tahun 2010 hanya ada tiga puskesmas, tetapi pada tahun 2011 bertambah enam puskesmas.
    Kini, semua puskesmas kelurahan juga telah mampu memberi layanan klinik gigi dengan tarif yang relatif murah, yakni Rp 5.000.
    Layanan poli rawat jalan di puskesmas kelurahan juga semakin bertambah dengan jumlah pengunjung yang semakin meningkat.
    Sementara itu, untuk RSUD, Pemprov DKI menargetkan semua rumah sakit daerah meraih ISO 9001:2008 dan melakukan akreditasi 16 jenis layanan untuk meraih akreditasi pelayanan lengkap.
    Sementara itu, terkait dengan pelayanan kesehatan keluarga miskin, jumlah penerima layanan kesehatan keluarga miskin meningkat dari 2,3 juta warga pada tahun 2009 menjadi 2,5 juta warga pada tahun 2010. Tahun 2011, Pemprov DKI menargetkan 2,7 juta warga dapat dilayani melalui program untuk keluarga miskin ini. Target ini hampir tercapai.
    Layanan kesehatan yang baik tentunya akan berdampak pada peningkatan usia harapan hidup. Dalam tiga tahun terakhir, usia harapan hidup warga Jakarta memang mengalami peningkatan. Tahun 2010, rata-rata usia harapan hidup pria di Jakarta 74,3 tahun dan wanita 77,9 tahun.
    Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2011 nanti juga bisa lebih memastikan keberhasilan DKI. Tiga tahun terakhir, DKI memang terus mengalami peningkatan. Tahun 2010, IPM mencapai 77,8. Angka itu tertinggi dibandingkan dengan daerah lain di seluruh Indonesia.
    Jangan Proyek Semata
    Meskipun demikian, terlepas dari sejumlah capaian itu, masih banyak juga pekerjaan rumah yang harus dilakukan DKI pada tahun 2012.
    Wajah suram pendidikan di DKI masih banyak terlihat. Perbaikan fisik yang menjadi fokus dinas pendidikan ternyata tidak sepenuhnya berjalan lancar. Sejumlah bangunan yang baru saja direhabilitasi ternyata berkualitas tidak baik. Contoh paling baru, runtuhnya plafon ruang kelas III SD Negeri Kelapa Dua 03 Pagi di Kecamatan Kebon Jeruk, 7 Desember lalu.
    November lalu, ambrolnya plafon SDN 01 di Jalan Utan Kayu bahkan melukai 10 siswa. Plafon SDN 13 Pagi/SDN 14 Petang di Jalan Pondok Gede juga runtuh pada bulan sama. Keduanya juga baru direnovasi dalam 1-2 tahun lalu. Sebelumnya, pada Mei, kanopi SDN 02 Kwitang, Jakarta Pusat, juga ambrol dan menghancurkan kantin.
    Kasus pembakaran ruang kelas oleh siswa di SMAN 19 adalah indikasi lain bahwa masih ada yang salah dengan sistem pendidikan yang dijalankan. Ini belum lagi jika bicara soal kekerasan di kalangan pelajar.
    Tidak sedikit pelajar yang kedapatan membawa senjata tajam. Tawuran antarsekolah juga masih saja terjadi dan tidak jarang menimbulkan korban jiwa. Sepanjang tahun 2011, setidaknya empat siswa tewas akibat kekerasan di kalangan pelajar.
    Padahal, fenomena tawuran sudah berlangsung lebih dari 30 tahun di Jakarta. Artinya, sistem untuk menekan tawuran masih jalan di tempat.
    Korupsi di dunia pendidikan pun menjadi catatan tersendiri. Skandal dana BOS/BOP yang diungkap Indonesia Corruption Watch di sejumlah sekolah adalah contohnya.
    Evaluasi juga perlu dilakukan pada proyek-proyek pembangunan fisik sarana kesehatan masyarakat. Meskipun dari sisi kuantitas jumlahnya semakin banyak, hal ini belum meningkatkan kualitas mental masyarakatnya.
    Jakarta ternyata tergolong tinggi dalam hal gangguan mental dan emosional warganya, seperti depresi dan perilaku agresif. Jumlah penderita gangguan jiwa ringan naik dari 159.029 orang pada tahun 2010 menjadi 306.621 orang pada triwulan kedua tahun 2011. Gangguan jiwa juga lebih banyak menimpa warga usia produktif, 20-40 tahun.
    Para ahli kesehatan jiwa bahkan menilai bahwa Jakarta sudah terlambat untuk membangun kota yang bisa menyehatkan jiwa warganya. Lingkungan permukiman yang tidak sehat karena kepadatan dan sanitasi yang tidak memadai adalah beberapa penyebabnya.
    Kemacetan parah di jalan yang hampir setiap saat ditemui warga Jakarta memperparah hal itu. Ini belum lagi beban hidup di kota yang sangat berat. Sementara ruang terbuka hijau sebagai oase warga untuk melepas kepenatan kian tergusur oleh gedung-gedung.
    Tak heran, toleransi semakin menurun dan tawuran, kekerasan dalam rumah tangga, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, perceraian, serta bunuh diri kerap terjadi. Jika tahun mendatang perencanaan kota yang sehat jiwa tidak segera dijalankan, bukan tidak mungkin fenomena gunung es ini bisa meledak dan memunculkan kekacauan sosial.
    Sosialisasi nilai-nilai melalui dunia pendidikan menjadi penting. Peran keluarga dalam pendidikan juga menjadi vital. Pemprov DKI Jakarta selaku pembuat kebijakan perlu membuat terobosan. Pembangunan harus sampai menyentuh mental manusianya, tidak cukup sekadar menjadi proyek.

    (M Clara Wresti/Fransisca Romana)

  • Rasa Terasing dan Cari Jalan Pintas

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011 TENTANG METROPOLITAN
    Rasa Terasing dan Cari Jalan Pintas
    Sumber : KOMPAS, 15 Desember 2011
    Kejahatan di angkot dan bertambahnya angka bunuh diri kaum menengah ke atas pada tahun ini menjadi babak baru peristiwa kriminal Jakarta.
    Kamis (1/9), RS (27), seorang karyawati, diperkosa saat pulang bekerja. Malam itu, di atas angkot D-02 jurusan Pondok Labu-Ciputat, Jakarta Selatan, perempuan itu ”digilir” empat pemerkosa yang tidak lain adalah awak angkot itu. Sebelumnya, Selasa (16/8), jenazah mahasiswi Bina Nusantara, Livia (21), ditemukan di Cisauk, Kabupaten Tangerang. Terungkap kemudian korban dirampok, diperkosa, dan dibunuh empat sopir tembak mikrolet M-24, Slipi-Srengseng.
    Dinas Perhubungan DKI Jakarta bereaksi dengan seragam dan identitas resmi sopir angkot. Harapan mereka tidak akan ada lagi sopir tembak yang menjadi sumber kejahatan di angkot.
    Ironisnya, di tengah operasi, sopir tembak angkot dengan nomor polisi B 2945 WT, Apriyansyah (16), teler setelah menenggak minuman keras dan empat butir tablet perangsang.
    Pria tanpa surat izin mengemudi yang cuma jebolan SD ini tertidur di atas kemudi kendaraan yang berhenti di persimpangan Jalan Otto Iskandardinata, Jatinegara, sehingga membuat macet lalu lintas.
    Masih Sebatas Atribut
    Kasus Apriyansyah menunjukkan, langkah Pemerintah DKI masih cuma sebatas atribut, dan tidak menyelesaikan akar masalah sopir tembak. Sopir tembak menjamur sejak jumlah angkot melebihi kebutuhan penumpang. Para sopir resmi menjadi sulit membayar setoran harian kepada para pemilik angkot.
    Untuk memperoleh pendapatan lebih banyak, para sopir resmi menggunakan beberapa sopir tembak. Dengan demikian, waktu bekerja bisa lebih panjang. Untuk menekan biaya, para sopir resmi menggunakan anak-anak jalanan. Sopir resmi senang, anak-anak jalanan pun senang karena tidak lagi mendapat sebutan penganggur, tetapi pekerja.
    Dengan kenyataan seperti ini, langkah yang seharusnya dilakukan Pemerintah DKI adalah menghitung kembali kebutuhan angkot di setiap trayek. Caranya mudah. Survei pendapatan sopir dan pemilik angkot.
    Soal bisnis pemilik angkot, patokannya adalah angka rata-rata bunga pinjaman bank berbanding nilai investasi angkot. Patokan untuk sopir angkot adalah pendapatan yang ia bawa pulang setelah dipotong setoran dan biaya operasional. Selama pendapatan sopir mampu memenuhi kebutuhan minimalnya, ia tidak akan menggunakan sopir tembak. Kebutuhan minimal itu adalah kebutuhan makan keluarga dan biaya kontrak rumah.
    Bunuh Diri
    Sejak Januari sampai awal Desember 2011, sekurangnya ada enam pelaku bunuh diri dari lingkungan menengah ke atas di Jakarta. Sabtu (12/2), Siti Nazmatu Sadiah (22) terjun dari lantai 22 Essence Darmawangsa, Jakarta Selatan. Rabu (3/3), Innawati Kusumo (52) meloncat dari lantai 21 Apartemen Mediterania Regency, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sabtu (24/9), Steven Wijaya (23) terjun dari lantai 24 Salemba Residence, Jakarta Pusat. Minggu (21/11), Indah Haspriantini meloncat dari lantai tiga ruko di Kompleks Apartemen Pallazo, Kemayoran, Jakpus.
    Selasa (23/11), Caroline Oktavianie Tamboto (19) terjun dari lantai sembilan Kondominium Golf Karawaci Town Richmond, dan terakhir, Minggu (4/12), Kevin (21) melompat dari lantai 10 areal parkir mal timur Grand Indonesia. Dibanding jumlah total pelaku bunuh diri, jumlah pelaku bunuh diri dari kalangan menengah ke atas masih kurang dari 10 persen. Polda Metro Jaya mencatat, tahun 2009, jumlah pelaku bunuh diri 165 orang, tahun 2010 naik menjadi 176 orang.
    Meski tidak ada penjelasan mengenai kategori kelas ekonomi dan sosial para pelaku dalam catatan tersebut, bisa diduga para pelaku nyaris seluruhnya berasal dari kelas menengah ke bawah. Hal ini, antara lain, bisa dilihat dari identitas dan latar belakang pelaku yang menghadapi tekanan ekonomi. Mereka umumnya memilih terjun dari menara-menara pemancar, melompat dari jembatan, minum racun, menggantung atau membakar diri.
    Kohesi Sosial
    Para pelaku dari golongan menengah ke atas memilih cara yang nyaris seragam, melompat dari mal, apartemen, atau bangunan tinggi lainnya. Meski relatif bebas dari tekanan ekonomi, mereka menghadapi persoalan eksistensi diri, seperti merasa teralienasi atau merasa hidup sia-sia karena kehadirannya tidak lagi dianggap berarti bagi orang lain.
    Ada berbagai sebab yang membuat manusia mengalami perasaan seperti itu. Meski demikian, semuanya bermuara pada melemahnya kohesi sosial.
    Kohesi sosial melemah, antara lain, karena kian mengecilnya ruang untuk saling menyapa, saling berbagi, dan membuka diri dengan sesama. Ruang-ruang itu mengecil oleh persaingan dan pola kerja, prosedur resmi, hedonisme, sikap ortodoks, serta kian canggihnya alat telekomunikasi yang membuat manusia merasa jauh meski dekat.
    Oleh sebab itu, persoalan ini menjadi hal mendasar yang harus dibahas. Kita bisa memulai bagaimana semua pihak meminimalkan rasa alienasi warga di perkotaan yang kian menguat.

    (WINDORO ADI/RATIH PRAHESTI SUDARSONO/ COKORDA YUDISTIRA/ MADINA NUSRAT)

  • Doa Parjianti di Akhir Tahun

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011 TENTANG METROPOLITAN
    Doa Parjianti di Akhir Tahun
    Sumber : KOMPAS, 15 Desember 2011
    Bangun di pagi hari di akhir November 2011. Mendung menggantung, gerimis mulai mengguyur Kampung Pulo, Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan. Parjianti menghela napas. Sekilas dilihatnya sepasang sepatu bot, ember, kain pel, dan sapu plastik di sudut rumahnya. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, ia yakin banjir akan menggenangi rumahnya lagi.
    Ingatan Parjianti (38), warga RT 11 Kampung Pulo, kembali ke bulan ketiga di tahun ini. Waktu itu musim hujan baru saja lengser dari puncaknya. Namun, sisa hujan justru menjadi petaka. Sungai Krukut yang melintasi kampungnya sejak Maret itu menyempit semakin parah.
    Dari sungai dengan lebar 4-6 meter, kini menjadi 1-3 meter saja. Sebabnya, pemilik tanah tepat di seberang Kampung Pulo berbenah. Gorong-gorong besar dibuat lengkap dengan talut, sebagian badan sungai tertutup meski di bawahnya ada saluran air, ada jalur pejalan kaki, dan tanah lapang cukup luas. Namun, bagi warga, harus berkubang air kotor berbulan-bulan tentu membutuhkan ketahanan ekstra.
    Tanah Kampung Pulo memang berstatus tanah garapan. Banyak warga mengaku membeli tanah kepada pengurus kampung setempat belasan hingga 25 tahun silam. Sebagian mengaku menyimpan bukti kuitansi pembelian tanah yang rata-rata pada 1980-an seharga Rp 50.000 per meter persegi. Mereka juga warga resmi karena memiliki kartu tanda penduduk dan kartu keluarga resmi.
    Warga Kampung Pulo hanya bagian kecil dari sekian banyak warga perkampungan pinggir kali. Di sepanjang Ciliwung, dari Kalibata sampai Manggarai, Jakarta Selatan, diperkirakan ada 71.000 keluarga penghuni bantaran.
    Penataan Warga Bantaran
    Namun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mau dianggap melakukan pembiaran. Selain meragukan mereka, Gubernur Fauzi Bowo juga menyatakan telah mendatangi dan memperingati warga akan adanya ancaman bencana tersebut. Sekaligus menjelaskan soal rencana kerja birokrasinya membuat waduk di Kampung Pulo sebagai parkir air agar potensi banjir bisa dikurangi. ”Saya meragukan legalitas mereka,” ujar Fauzi.
    Hal itu diperkuat oleh penegasan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Sarwo Handayani yang menyatakan sudah ada agenda penataan warga bantaran kali. Apabila benar rencana pembangunan waduk itu seperti yang dikatakan Gubernur Fauzi Bowo, proyek tersebut akan mulai dilaksanakan pada 2012.
    Menurut Sarwo, agar hak warga tetap terlindungi dan terlayani, DKI menerapkan resettlement solution framework. ”Kami gunakan konsep ini saat DKI dan pemerintah pusat melaksanakan pengerukan dan penataan 13 sungai mulai 2012. Kami akan melakukan sejumlah pendekatan kepada masyarakat dibantu para ahli, termasuk sosiolog, perencana kota, lingkungan, dan lainnya,” katanya.
    Rencana Pemprov DKI untuk menata bantaran kali bukan persoalan mudah. Menyitir pendapat sosiolog Robertus Robert yang pernah mengadakan penelitian tentang penghuni bantaran, warga di pinggir Ciliwung rata-rata sudah menetap tiga sampai empat generasi. Urbanisasi dan pertarungan mendapatkan rezeki di Ibu Kota yang dipandang lebih mudah dibandingkan dengan di daerah asal melatarbelakangi pilihan hidup warga bantaran tersebut.
    Setelah beradaptasi puluhan tahun mereka tentu butuh pendekatan dari berbagai bidang ilmu dan proses yang cukup memakan waktu agar bersedia ditata dan direlokasi. ”Kalau tidak, yang akan muncul adalah bencana sosial,” kata Robertus.
    Kacau di Mana-Mana
    Ini salah satu sisi wajah kota ini yang menanggung beban dan konsekuensi penataan kota yang tidak baik. Bahkan, ahli tata kota dari Universitas Tarumanegara, Suryono Herlambang, lebih berani lagi mengatakannya, amburadul. Suryono, yang mendalami dan mengikuti perkembangan pemanfaatan lahan dan perkembangan properti di Jabodetabek, khususnya di wilayah Jakarta, menyimpulkan tata Kota Jakarta saat ini kacau-balau.
    Masalah itu tidak hanya terjadi di bantaran kali, tetapi juga kawasan premium. Apabila tertulis dalam draf perencanaan pembangunan, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2010-2030, itu pun baru sekadar wacana.
    Lihatlah Grogol sekarang, sepanjang Jalan S Parman sampai Gatot Subroto tumbuh berapa pusat perbelanjaan besar? Berapa pintu masuk ataupun keluar tol, adakah jalan-jalan alternatif ketika terjadi kemacetan luar biasa di ruas jalan itu?
    Kondisi ini belum membedah soal manajemen lalu lintas yang kacau, memecahkan masalah limbah air kotor ataupun sampah rumah tangga yang terus meningkat volumenya, plus tidak adanya keseimbangan volume rumah mewah, sedang, dan sederhana.
    Pembangunan fasilitas transportasi publik terasa terengah-engah mengejar pembangunan infrastruktur lain, terkadang terlihat ketidaksinkronan antara keduanya. Misalnya, syarat utama dibangunnya perumahan atau kompleks perkantoran sebenarnya harus dekat dengan fasilitas transportasi publik. Kenyataannya, perumahan, perkantoran, pusat belanja berlomba hadir dekat mulut tol atau jalan layang. Kendaraan pribadi makin merajai jalanan. Boleh dibilang, kendaraan pribadi menjadi ”transportasi massal” di Jakarta.
    Mengapa semua ini terjadi karena seluruh program tidak pernah melibatkan rakyat dalam proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan pembangunan. Mengutip pendapat planolog Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, rakyat hanya sebagai penonton, sementara semua pembangunan masih berorientasi proyek dan sekadar mengejar keuntungan atau jalan keluar sesaat.
    Di tengah kekacauan itu, penghuni tepi kali yang tidak memiliki kekuatan politis ataupun ekonomi hanya bisa berdoa, semoga ada secercah asa positif pada tahun 2012.

    (NELI TRIANA)

  • Risiko dan Prospek Ekonomi Nasional

    Risiko dan Prospek Ekonomi Nasional
    Satrio Wahono, PENGAMAT MANAJEMEN, MAGISTER FILSAFAT UI
    Sumber : SUARA KARYA, 15 Desember 2011
    Sektor ekonomi 2012 sejatinya merupakan tahun vivere pericoloso (menyerempet-nyerempet bahaya dan risiko) akibat kemungkinan datangnya imbas yang tergelar di tahun ini dan berbagai yang siap menghadang di tahun berikutnya. Oleh karena itu, memetakan berbagai faktor risiko bagi perekonomian Indonesia menjadi suatu keniscayaan. Ibaratnya, sebagai langkah ‘sedia payung sebelum hujan’ untuk menghadapi berbagai kemungkinan buruk di masa depan.
    Sekurangnya ada empat risiko utama memasuki tahun 2012 yang harus kita cermati supaya bisa lebih siap dalam menjalani perekonomian nasional.
    Pertama, faktor risiko berimbasnya krisis ekonomi di AS dan krisis utang di Eropa pada perekonomian Indonesia. Meskipun berbagai kalangan berusaha menenangkan bahwa perekonomian kita cukup kuat dan bahwa krisis global tak akan banyak memengaruhi pendapatan ekspor kita secara keseluruhan karena adanya pasar alternatif, tak urung faktor risiko ini tetap membayang.
    Pasalnya, arus deras hot money asing ke sektor keuangan kita membuat indikator makro-ekonomi domestik seperti IHSG dan nilai tukar rupiah memiliki keterkaitan erat dengan sektor finansial (financial linkage). Alhasil, jika terus berlanjut, krisis finansial global di atas tetap akan menggoyang fundamental perekonomian serta menggerus cadangan devisa kita.
    Belum lagi, bahaya PHK yang sudah terjadi di mana-mana, seperti dalam industri telekomunikasi kita, mengingat pengusaha sekarang bisa berdalih melakukan PHK dengan isu kenaikan upah minimum provinsi (UMP).
    Kedua, 2012 adalah tahun di mana akan terjadi faktor siklus bencana terkait iklim, utamanya banjir besar lima tahunan sesudah 2002 dan 2007. Artinya, bencana alam yang demikian akan melumpuhkan perekonomian selama beberapa waktu, mengakibatkan masalah dalam stok pangan dan bahan bakar, serta memunculkan masalah logistik dan pengiriman. Akibatnya, harga-harga akan melonjak, inflasi melejit, dan pertumbuhan ekonomi terhambat.
    Ketiga, akibat iklim yang tak menentu, permintaan bahan bakar pun akan meningkat pesat. Sehingga, harga bahan bakar fosil jelas akan ikut naik. Nah, mengingat Indonesia masih memberikan subsidi pada bahan bakar dan juga energi semisal listrik, dana APBN jelas akan kian tersedot untuk pos subsidi. Dampaknya, anggaran-anggaran untuk pos-pos krusial lain seperti pembangunan infrastruktur, anggaran pendidikan dan kesehatan, dan lain sebagainya akan terpangkas hingga bisa mencapai taraf yang menurunkan kualitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
    Keempat, suka tak suka, tahun depan kita akan mengalami saat di mana bulan puasa, Idul Fitri, dan tahun ajaran baru akan datang secara bersamaan pada akhir Juli hingga akhir Agustus. Kedatangan momen-momen penguras uang seperti ini jelas akan melejitkan inflasi akibat sumbangan kelompok bahan makanan, transportasi, konsumsi bahan bakar, dan pendidikan. Kenaikan harga menggila tanpa disertai peningkatan daya beli tentu akan menjadi bom waktu yang bisa mengerikan dampaknya.
    Untuk mengurangi dampak negatif dari faktor-faktor risiko di atas, ada lima solusi yang bisa dilaksanakan bersama-sama ke depan.
    Pertama, Indonesia harus mulai mengurangi ketergantungan pada hot money yang seringnya tidak memiliki kaitan dengan sektor riil kita. Caranya, Indonesia harus memperkuat sektor riil dengan mendorong sektor perbankan menggelontorkan kredit berbunga rendah kepada sektor riil. Bank Indonesia (BI) sejatinya sudah berusaha melakukan itu dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan (BI rate), namun sayang transmisinya ke tingkat suku bunga pinjaman (lending rate) masih jauh dari memuaskan. Karena itu, BI harus mencari cara untuk mendesak sektor perbankan menurunkan bunga pinjaman dan memberikan akses kredit lebih mudah bagi sektor riil. Ringkasnya, BI harus merevitalisasi fungsi perbankan agar berjalan sesuai khittahnya sebagai lembaga intermediasi.
    Kedua, pemerintah juga mesti mulai menggalakkan kampanye cinta produk Indonesia seperti ajakan membeli produk-produk Indonesia. Singkat kata, kita harus mulai menggaungkan slogan Buy Indonesia! sebagaimana dilakukan AS dengan Buy America untuk menggerakkan perekonomian. Sehingga, pasar kita tidak menjadi sasaran empuk untuk mengemukkan pundi-pundi negara lain, melainkan juga bermanfaat bagi negara kita sendiri.
    Ketiga, sektor ekspor kita harus lebih kreatif mendongkrak ekspor dengan meningkatkan kualitas, ragam, keamanan, dan higienitas produk supaya dapat memenuhi standar negara tujuan ekspor. Sehingga, negara-negara tujuan ekspor, termasuk negara tujuan alternatif, tidak punya banyak alasan untuk menolak masuk produk kita.
    Keempat, di sisi lain, kita juga harus membatasi impor demi melindungi produk domestik kita. Apabila sektor-sektor tertentu sudah mengalami liberalisasi dalam hal tarif, kita masih bisa mengenakan non-tariff barrier (hambatan nontarif) untuk membendung berlimpahnya produk impor menyesaki pasar Indonesia.
    Hambatan nontarif itu bisa berupa kewajiban memenuhi SNI, standar lingkungan, dan sebagainya. Dengan begitu, pasar domestik bisa terlindungi.
    Terakhir, pemerintah mesti mengevaluasi lagi racikan alokasi subsidi dan transfer dana pembangunan yang pas supaya subsidi bisa tepat sasaran ke kelompok yang berhak dan mampu meningkatkan kualitas pembangunan fisik dan manusia secara keseluruhan. Juga, usaha-usaha mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) perlu digalakkan untuk mencegah kebocoran atau inefisiensi anggaran.
    Berbekal kelima solusi praktis di atas, semoga Indonesia tahun depan mampu melalui tahun vivere pericoloso dengan penuh kemenangan!
  • Sihir “Daya Saing”

    Sihir “Daya Saing”
    Rahmat Pramulya, DOSEN DI UNIVERSITAS TEUKU UMAR, MEULABOH, ACEH
    Sumber : SUARA KARYA, 15 Desember 2011
    Daya saing seolah telah menjadi kata kunci sakti. Dengan jargon daya saing, seolah semua harus mengarahkan perhatian kepada prasyarat-prasyarat agar dapat mengantongi bahkan memenangkan persaingan global.
    Daya saing bak ‘dewa’ yang diagung-agungkan. Jargon daya saing sepintas memang tampak apik. Menggunakan ragam indikator yang tampak valid sehingga mampu menyihir dunia, mulai dari kalangan pemerintah, akademisi, pebisnis, hingga politisi. Dunia kemudian didorong untuk bersama-sama mengejar indikator-indikator tersebut.
    Betulkah konsep daya saing seindah yang ditangkap selama ini oleh banyak bangsa di dunia? Jika kita lakukan penelusuran, mantra daya saing ini sengaja dihembuskan oleh barisan pakar ekonomi yang pro-liberal (kaum neolib). Kita pun latah terbawa arus tuntutan daya saing ini.
    Menarik sekali apa yang ditulis Eriyatno (2011) dalam bukunya berjudul Membangun Ekonomi Komparatif tentang pentingnya paradigma ekonomi domestik yang lebih mementingkan swasembada dan swadaya untuk produk-produk strategis, terutama di sektor pangan dan energi. Dikatakannya, meskipun Indonesia tetap dalam jalur partisipatif terhadap pasar global, tetapi masih tetap harus mengkhususkan pada komoditas yang menyangkut harkat hidup orang banyak dan pemanfaatan sumber daya lokal. Upaya ini tentu sangat berseberangan dengan paham neolib yang mengedepankan globalisasi perdagangan dan pencegahan aturan proteksi.
    Ekonomi Komparatif
    Menurut analisis ini, penguatan ekonomi domestik yang mampu meredam gejolak harga perdagangan antar-negara akan membangun interkoneksi dari pusat-pusat ekonomi lokal sehingga mengurangi kesenjangan antar-daerah. Tindakan ini sekaligus memperkokoh bangunan negara.
    Strategi ekonomi komparatif lebih memperhatikan komoditas unggulan daerah seperti hasil bumi, hasil tambang, dan produk kesenian daripada sekuat tenaga dan ngoyo membangun produk-produk industri untuk bersaing di pasaran dunia, seperti tekstil, mobil, pesawat udara, dan lain-lain yang menurut kaum neolib merupakan pilihan cerdas terhadap suatu proses kebijakan globalisasi.
    Model ekonomi komparatif yang diajukan Eriyatno bisa dirujuk sebagai upaya solusi permasalahan bangsa dengan perluasan lapangan kerja, penanggulangan kemiskinan, ketersediaan pangan dan energi, kesehatan masyarakat, serta pemerataan hasil pembangunan ke daerah. Berbeda dengan ekonomi neolib yang penggerak utamanya adalah untuk menghasilkan uang dan menggunakan uang untuk menghasilkan uang bagi siapa pun yang punya uang, ekonomi komparatif lebih ditujukan untuk membina kehidupan dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan masyarakat.
    Terkait dengan tujuan investasi, kaum neolib memandang bahwa tujuan investasi adalah untuk memaksimalkan keuntungan swasta. Dengan kata lain, peran keuntungan (laba) adalah untuk memaksimalkan tujuan akhir. Sementara ekonomi komparatif memandang tujuan investasi adalah untuk meningkatkan hasil yang bermanfaat serta menjadikan keuntungan (laba) sebagai suatu cara untuk mempertahankan daya hidup.
    Ekonomi komparatif berupaya untuk memutar haluan kebijakan ekonomi yang selama ini mengarah pada peningkatan kekayaan yang bersifat semu ke arah pembentukan kekayaan yang bersifat riil. Dicontohkan Eriyatno (2011), apabila kita ingin memaksimalkan keuntungan perusahaan, maka pengukuran kinerja ekonomi dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) merupakan langkah yang masuk akal.
    Namun, apabila tujuan pembangunan adalah kesehatan penduduk dan pelestarian alam, maka penggunaan PDB sebagai indikator untuk mengukur kinerja ekonomi adalah langkah salah. Itu karena kebijakan yang ditetapkan malah mempromosikan pertumbuhan kekayaan semu atas pengorbanan kesejahteraan rakyat dan lingkungan yang riil.
    Penggunaan indikator saham di bursa untuk kinerja sektor riil seperti industri justru bisa mengarah kepada jebakan analisis. Tentu saja hal ini sangat tidak cocok untuk digunakan di Indonesia.
    Sudah semestinya indikator finansial digeser ke indikator kesejahteraan yang nyata seperti tingkat kematian anak, tingkat kecukupan gizi, kejahatan remaja dan lain-lain yang terkait kesejahteraan masyarakat lokal. Sementara untuk sistem alam, akan lebih tepat jika yang dijadikan ukuran bagi kesehatan lingkungan adalah tingkat biodiversitas, emisi gas, pencemaran lingkungan, tata guna lahan dan konservasi.
    Yang tak kalah pentingnya adalah soal kedaulatan ekonomi negara. Penguatan potensi nasional dalam hubungan antar negara memang sangat diperlukan agar dapat bersaing secara setara, namun kondisi potensi nasional saat ini yang masih sangat lemah telah membuat ketergantungan tehadap para pemodal besar dari luar negeri untuk investasi di Negara kita sangat besar. Situasi ini menjadikan kedaulatan ekonomi nasional terpuruk. Menjadi hal penting menjaga kedaulatan ekonomi nasional yang tali-temali dengan kedaulatan politik.
    Mengamini pandangan ekonom kerakyatan, Prof Mubyarto, bahwa kemandirian telah menjadi tuntutan politis bagi Indonesia merdeka. Kemandirian adalah bagian integral dan makna merdeka itu sendiri. Tidak ada kemerdekan yang genuine tanpa kemandirian. Apabila kemerdekaan memiliki suatu makna, adalah karena kemandirian memberikan martabat bagi bangsa yang memangku kemerdekaan itu. Martabat bangsa merdeka tidak tergantung pada bangsa lain, tidak berada dalam protektorat tidak dalam posisi tersubordinasi. Kemandirian adalah martabat yang diraih sebagai hasil perjuangan berat.  
  • Paradigma Administrasi Pelayanan Haji

    Paradigma Administrasi Pelayanan Haji
    Irfan Ridwan Maksum, GURU BESAR TETAP ILMU ADMINISTRASI NEGARA
    FISIP UNIVERSITAS INDONESIA; KETUA PROGRAM MIA-SPS-UMJ    
    Sumber : SINDO, 15 Desember 2011
    Tidak terasa musim haji telah berlalu. Jamaah haji Indonesia pun sudah pulang ke Tanah Air. Keluhan terhadap segala hal mengenai kegiatan pergi haji masyarakat Indonesia yang diatur dan diurus oleh pemerintah tidak pernah sepi dari kritik, kajian, analisis, baik oleh akal sehat maupun secara ilmiah di berbagai diskusi politik,pidato tokoh politik,dan forum-forum resmi maupun tidak resmi.

    Pergi haji masyarakat Indonesia sama tuanya dengan usia bangsa Indonesia. Sejarahnya bersifat khas, mulai diurus secara privat, oleh pemerintah jajahan Hindia-Belanda, oleh kongsi-kongsi Hindia-Belanda sampai di masa kemerdekaan kini oleh Pemerintah RI dan swasta. Saat ini pergi haji tersebut menjadi komoditas politik yang tidak bisa dipandang sebelah mata yang ternyata selalu bermasalah.Tentu membutuhkan curahan pikiran kita semua agar dicari jalan keluar terbaik.

    Barang Publik?

    Dari kacamata administrasi negara, memperbaiki pelayanan pergi haji ini tidak bisa dilepaskan dari karakter barang /jasa yang terjadi. Secara teoretis, jenis barang (jasa) dapat diperinci menurut dua dimensi (Savas: 1985). Pertama, pola konsumsinya.Kedua, dari sifat eksklusivitasnya. Suatu barang (jasa) dikatakan barang publik jika pola konsumsinya dapat bersama-sama (kolektif) dan sifat eksklusivitasnya tidak ada. Sebaliknya barang yang pola konsumsinya berpola individual dan sifat eksklusivitasnya nyata dikatakan sebagai barang privat (pribadi).

    Di sini terdapat barang antara, yakni adanya kecenderungan dari dua dimensi tersebut bersifat campuran atau bisa dominan salah satunya dan tidak ekstrem serta memiliki dampak (eksternalitas). Di antara kedua jenis barang terdapat barang jenis tol (toll goods),yakni dari pola konsumsinya bersifat kolektif, tetapi eksklusivitasnya muncul karena harus bersaing untuk mendapatkannya, contohnya di sini adalah jalan tol.

    Di samping itu ada barang jenis wadah-bersama (common-pool-goods),yakni jika bersifat tidak eksklusif, tetapi pola konsumsinya individual, contohnya adalah air bawah tanah. Sebuah bangsa yang umumnya berhaluan sosialis dapat menggerakkan segala jenis barang (jasa) yang dikonsumsi masyarakatnya menjadi barang publik jika untuk mendapatkannya semua disediakan negara tanpa perlu bersaing, baik dikonsumsi secara individual maupun secara kolektif.

    Jadi di negara tersebut hanya terdapat barang publik murni dan barang “wadah bersama”. Sebaliknya di negara-negara kapitalis, negara mengatur sedemikian rupa beberapa barang (jasa), diperoleh dengan bersaing. Terciptalah yang semula barang publik menjadi barang tol, bahkan barang pribadi. Pergi haji dari sisi jenis barang (jasanya) dikonsumsi secara kolektif dan karena terdapat paket pesawat terbang, penginapan,dan lain-lain yang dikonsumsi secara pribadi dan harus bersaing, tampak jenis barang (jasa) pergi haji ini cenderung ke arah toll goods.

    Kecenderungan seperti ini menjadikan haji tidak harus dikelola dari A hingga Z oleh pemerintah sendiri. Jika dilakukan pemerintah, secara teoretis akan membuat tidak efisien dari sisi pengelolaannya. Jika hal itu terjadi,berapa banyak pajak akan tersedot untuk hal-hal yang sebetulnya dikonsumsi secara individu. Terdapat ketidakadilan bagi masyarakat luas, kepentingan negara yang lebih luas pun dapat terganggu.

    Jika pemerintah tetap mengandalkan ongkos pergi haji dari jamaah (charging) pun jelas akan mengaburkan sumber pembiayaan negara.Yang ideal dari jenis toll goods ini adalah pemerintah menjadi fasilitator atau regulator yang bertindak dengan pola steering rather than rowing. Dengan demikian,pelayanan pergi haji dari pendanaan oleh sumber pajak hanya untuk soal strategis, tidak perlu sampai operasional- teknis. Kemungkinan operasional-teknis, kalaupun ada, adalah dalam rangka pengawasan oleh pemerintah.

    Pergeseran Paradigma Pelayanan

    Sifat internasional dalam pergi haji adalah poin utama dalam pelayanan ini pula sehingga mau tidak mau membawa intervensi negara. Di dalam negeri,Asosiasi Muslim Penyelenggara Umrah dan Haji (Amphuri) harus menjadi operator. Pemerintah harus menjadi pengawas yang mumpuni. Paradigma pelayanan saat ini adalah ke arah new public services, yaitu masyarakat harus diberdayakan.

    Negara harus kuat dalam fungsinya sebagai law enforcer. Negara harus mampu menjadi penyambung lidah bangsa Indonesia ke Pemerintah Arab Saudi.Kepentingan ini untuk mendapatkan kuota haji. Negara dalam hal ini Kementerian Agama adalah regulator dan fasilitator.Kuota ini harus di-share per daerah. Kementerian Agama juga yang mengatur standar ongkos haji. Ongkos ini dipantau, jika ada biro haji yang melanggar, harus ditindak dengan tegas tanpa pandang bulu.

    Dari segi ongkos ini, negara dapat memberikan subsidi mengingat dana haji sejak lama telah terkumpul sampai tak terbatas, bahkan ada wakaf tanah para haji Indonesia di Arab Saudi yang hingga kini dapat digunakan. Tapi subsidi negara ini tetap perlu dihitung dengan cermat agar tidak terjadi pemborosan uang negara. Dalam hal ini akhirnya jamaah haji dalam mengurus pergi hajinya hanya berurusan dengan biro haji swasta saja.

    Selebihnya biar biro tersebut berurusan dengan Kementerian Agama sebagai pengatur. Biro tersebut bekerja menurut domisilinya. Sifat toll goods ini menjadi alat ukur bahwa konsumen (jamaah-haji) tidak berurusan dengan negara, tetapi dengan operator.Operator yang efektif dalam toll goods dari praktik berbagai negara dan berbagai jenis barang cenderung oleh vendor di luar institusi pemerintah, kalaupun pemerintah berupa badan usaha. Dengan demikian tidak cocok pula pergi haji diurus oleh sebuah badan pemerintah. Kalaupun akan ada badan pemerintah, sebaiknya hanya sebagai regulator-law-enforcer semata.  

  • Kerja Sama Kaya Problem

    Kerja Sama Kaya Problem
    Latif Adam, PENELITI PUSAT PENELITIAN EKONOMI (P2E)-
    LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)    
    Sumber : SINDO, 15 Desember 2011
    Dengan segala kekurangan yang dihadapi pemerintah dalam melakukan pembangunan, public private partnership (PPP) tampak menjadi solusi terbaik. Paling tidak terdapat tiga alasan yang mendasari mengapa negeri ini membutuhkan PPP.

    Pertama, kualitas dan kuantitas infrastruktur yang tersedia sudah tidak memadai untuk mendukung akselerasi pembangunan.Kedua,kemampuan keuangan negara untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur sangat terbatas. Ketiga, sektor swasta memiliki keahlian yang mumpuni untuk membangun infrastruktur secara efektif dan efisien.

    Berdasarkan alasan di atas, pemerintah melakukan beberapa langkah untuk mendukung PPP. Indonesia Infrastructure Summit diadakan beberapa kali untuk menyosialisasikan, mempromosikan, dan mengundang keterlibatan swasta untuk bekerja sama dalam penyediaan infrastruktur melalui skema PPP. Beberapa institusi seperti PT Sarana Multi Infrastructure (SMI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) dibentuk untuk memperkuat implementasi PPP.

    Pemerintah juga telah menyusun nota kesepahaman antara Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan dan Kepala BKPM untuk memperkuat koordinasi dan memperjelas pembagian tugas serta mengharmoniskan langkah dan kegiatan dalam melakukan fasilitasi pelaksanaan PPP.

    Sayangnya, berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah itu belum memberikan hasil yang memuaskan. Sektor swasta belum banyak yang tertarik untuk terlibat di dalam PPP.Sampai saat ini,dari target 100 proyek yang akan ditawarkan kepada sektor swasta pada periode 2010–2014, baru sekitar 4%-an yang baru berhasil ditenderkan.

    Beragam Masalah

    Terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa lambatnya implementasi PPP di Indonesia merupakan akumulasi dari beberapa masalah. Pertama, pemerintah dan DPR terlambat menyediakan legal framework yang bisa mendukung percepatan pelaksanaan PPP. Misalnya,proses legislasi RUU Pengadaan Lahan berjalan lambat dan masih terdapat peraturan yang bersifat tumpang tindih di antara satu dengan yang lainnya.

    Masalah itu kemudian membuat semakin tingginya ketidakpastian, risiko, dan biaya yang harus dipikul swasta jika mereka terlibat dalam pembangunan infrastruktur melalui PPP. Kedua, PPP belum dilengkapi dengan jaminan penggantian biaya investasi dari pemerintah bila proyek infrastruktur tersendat di tengah jalan karena problem pengadaan lahan ataupun munculnya konflik dengan masyarakat di sekitar proyek.

    Ketiga, proyek infrastruktur yang ditawarkan kepada swasta tidak dipersiapkan secara matang.Penyebabnya, penanggung jawab proyek kerja sama (PJPK) di kementerian/ lembaga/pemda/ BUMN/BUMD belum punya pengalaman bagaimana mempersiapkan proyek yang akan ditawarkan kepada swasta. PJPK lebih terbiasa mempersiapkan proyek-proyek yang didanai APBN/ APBD.

    Karena itu, dokumen studi kelayakan PJPK cenderung lebih teknis dan belum memasukkan isuisu yang terkait dengan masalah hukum, ekonomi dan keuangan, risiko, kebutuhan dan dukungan yang akan diberikan pemerintah, serta masalah yang mungkin muncul jika swasta terlibat dalam proyek PPP Keempat, di mata swasta, komitmen PJPK untuk menjaga kerja sama relatif masih rendah.

    Tidak jarang kerja sama di antara pemerintah dan swasta berakhir di tengah jalan karena PJPK mengalihkan pembiayaan dari skema PPP menjadi skema APBN. Kondisi seperti ini membuat sektor swasta memiliki persepsi bahwa PJPK merupakan pihak yang tidak terlalu bisa dipercaya. Kelima, PJPK (birokrat) lebih suka menggunakan APBN daripada menawarkan kepada swasta untuk membangun beberapa jenis infrastruktur.

    Pertimbangannya adalah PJPK mendapatkan kesempatan untuk memperoleh insentif dan fee (baik legal ataupun ilegal) dari setiap proyek yang dibiayai APBN. Karena itu, PJPK sering memilih proyek dengan rate of return on investment (RoI) relatif tinggi yang justru dikerjakan dengan pembiayaan APBN,sementara proyek dengan RoI relatif rendah malah ditawarkan kepada sektor swasta. Keenam, rendahnya RoI dari proyekproyek infrastruktur yang ditawarkan semakin membuat swasta tidak tertarik terlibat dalam PPP karena sampai saat ini PPP tidak dilengkapi dengan jaminan mengenai viability gap.

    Artinya, di satu sisi, RoI dari proyek-proyek infrastruktur yang ditawarkan kepada sektor swasta berada di kisaran 14%-an.Di sisi lain,sektor swasta menghitung agar mereka mendapat keuntungan yang layak, maka RoI harus berada pada level 18%-an. Ketujuh, kapasitas kelembagaan di beberapa kementerian belum terbangun secara solid karena adanya dualisme pengelolaan proyek.

    Misalnya, di Kementerian Pekerjaan Umum, terdapat BPJT yang bertanggung jawab dalam pengelolaan jalan tol dan Binamarga yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan jalan umum. Masalahnya adalah Badan Penyelenggara Jalan Tol (BPJT) dan Binamarga sering kali bekerja secara tidak harmonis. Artinya, ketika BPJT membangun satu ruas jalan tol, Binamarga justru membangun jaringan jalan yang berdekatan dan menjadi alternatif dari jalan tol.

    Kedelapan, pola pikir pemerintah, khususnya pemerintah daerah, mengenai PPP belum terbangun secara baik. Pemerintah daerah masih sering mengasumsikan PPP sebagai salah satu sumber pendapatan sehingga menerbitkan berbagai macam peraturan yang membebani sektor swasta.

    Agenda Prioritas

    Pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa PPP memiliki peran penting untuk mendukung pembangunan kuantitas dan kualitas infrastruktur. Beberapa negara seperti Amerika,Inggris,Belanda, Australia, dan India sudah sejak puluhan tahun yang lalu mengadopsi dan mendapatkan manfaat dari kebijakan ini.

    Misalnya, di Australia, melalui PPP, pemerintah negara itu mampu membangun dan menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat dan pelaku bisnis tanpa terlalu membebani keuangan negara (Foster,2010).Terdapat indikasi bahwa implementasi PPP di negara lain memberikan manfaat yang sifatnya simbiosis mutualisme bagi pemerintah dan sektor swasta yang terlibat.

    Mengacu pada pengalaman negara-negara seperti di atas, ada baiknya pemerintah,DPR, dan stakeholders lainnya lebih fokus dan serius mengatasi berbagai masalah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Karena itu, pemerintah dan DPR perlu segera menyelesai kan proses legislasi UU Pengadaan Lahan, meminimalkan overlapping beberapa peraturan, menyiapkan sistem insentif (seperti viability gap dan jaminan penggantian biaya investasi bila proyek infrastruktur tersendat di tengah jalan), serta meningkatkan kualitas dan kapabilitas PJPK.  

  • Politik Ketakutan Putin

    Politik Ketakutan Putin
    Awaludin Marwan, PENELITI DARI SATJIPTO RAHARDJO INSTITUTE;
    PEMERHATI POLITIK INTERNASIONAL     
    Sumber : SUARA MERDEKA, 15 Desember 2011
    TIADA jalan lain, selain menebarkan teror bagi penguasa diktator untuk melanggengkan kekuasaannya. Bermodalitas teror semuanya bisa dijinakan. Media yang seharusnya menjadi simbol kebebasan ditaklukkan oleh Vladimir Putin. Demikian tulis Aljazeera Oktober lalu. Begitu disiplinnya kekuasaan Putin sehingga sistem ekonomi, politik, dan hukum dikendalikan efektif. Demonstrasi pada hari Sabtu diikuti lebih dari 60 ribu orang merupakan pukulan berat baginya. Rezim otoritarianis kembali terlihat warnanya manakala lebih dari 1.600 demonstran ditangkap.

    Dengan dalih keamanan, adanya tahanan politik adalah penanda (signifier) yang mencerminkan konstruksi politik rezim diktator, ungkap John Elster dalam Political Psychology: 1993. Demonstran yang meluber dengan kekuatan massa besar hanya bisa ditangani dengan model mediasi dan komunikasi proseduralistik.

    Putin tampaknya tidak menghitung ekses dari penangkapan membabi-buta demonstran itu. Aksi represif militer itu menurunkan elektabilitasnya dalam pilpres yang diajukannya sendiri pada 4 Maret tahun depan. Partainya, United Russia pada Minggu lalu mendapatkan peruntungan 49,5 sehingga  mendapatkan 238 kursi.

    Perolehan yang jauh jika dibandingkan dengan kubu oposisi karena Partai Komunis mendapatkan 92 kursi dan Partai Liberal Demokrasi 56 kursi. Meski legitimasi politik pemilu dipertanyakan, hasil akhir masih mendudukkan partai Putin dalam peringkat wahid. Posisi Putin sebenarnya di atas angin. Namun kondisi politik yang kian memanas bisa membalikkan posisinya. Apalagi dengan arogansinya, bisa jadi ia terpuruk, bahkan lebih mengerikan jika dijebloskan dalam skandal kekerasan negara.

    Di seberang jalan, ruang dunia internasional telah menanti dengan godamnya untuk meluluhlantakkan kekuasaan Putin hanya dengan hitungan hari. Hillary Clinton sudah menyerukan pidato tentang problem aksi represif Putin terhadap demonstran sebagai masalah yang diperhatikan serius. Adapun kubu Barat, dengan Organization for the Secuirty and Co-operation in Europe (OSCE), sudah memasang kuda-kuda perang.

    Rezim otoriter telah menjadi momok menakutkan bagi rezim demokrasi. Demokrasi telah menjadi kekuasaan itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh Foucault sebagai taksonomi politik. Atas nama demorasi, banyak korban jiwa bergelimpangan. Bahkan bagi Zizek lebih percaya negara paling demokratis seperti Amerika memiliki terornya sendiri dengan simbol Guantanamo.

    Tebar Teror

    Tuduhan Putin bahwa Amerika mendalangi protes rakyat terhadapnya agak berlebihan. Ia harusnya berkaca terlebih dahulu karena dia sendiri yang membangun dinasti dalam tubuh politik negara. Namun tentu saja etika politik mengatakan hal yang berseberangan, jika demokrasi itu mengharuskan pula sirkulasi penguasa, bukan penguasa yang mapan dan tak tergantikan.

    Putin membangun kastil, seperti ditulis Sean Guillory dalam artikelnya ‘’The ‘New Desembrists’ Face off Against Putin’’.


    Publik Rusia sebenarnya sudah mengetahui sejak awal adanya trik politik hingga puncaknya di Stadion Luzhniki akhir November, Putin memperoleh nominasi calon presiden. Namun kenapa demonstrasi besar-besaran di kota Vladivostok, Novosibirsk, Arkhangelsk, Kaliningrad, St Petersburg, dan kota lain itu baru terjadi setelah pemilu?

    Tuntutannya demonstran yang diwakili oleh Vladimir Ryzhkow yang menginginkan pemilu ulang, pembubaran komisi pemilihan, dan pembebasan tahan politik tampaknya tak digubris oleh status quo. Malah Putin memberikan instruksi penambahan aparat kepolisian dalam jumlah besar untuk berjaga-jaga mengamankan situasi chaos.

    Dalam situasi konflik ini, mediasi merupakan sarana paling manjur ketimbang insiden militer. Kita tahu bersama Rusia pernah beberapa kali mengalami revolusi bersenjata, dari transisi Grand Duchy Mosko 1283, Kerajaan Tzar Rusia 1547, Kekaisaran Rusia 1721, hingga puncaknya Revolusi Bolshevik 1917. Bedanya, sejarah zaman dulu belum ada koordinasi tiap-tiap bangsa yang membangun kekaisarannya sendiri.

    Namun sekarang, Yves Dezalay dan Madsen kekaisaran sudah terbangun dalam peradaban dunia dalam era posindustrial dan posteknologi, yang dikawal oleh Amerika dan Eropa sehingga segala keputusan di dunia ditentukan oleh kepentingan-kepentingan negara adidaya tersebut.  

  • Di Bawah Naungan Islamis

    Di Bawah Naungan Islamis
    Novriantoni Kahar, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 5 Desember 2011
    “Beberapa intelektual menyebut eksperimen “Islam adalah solusi” ini merupakan fase utopia-ideologis yang tak dapat dielakkan sebelum terjadi pencerahan intelektual dan kultural yang massif dan radikal di Timur Tengah. Masyarakat Arab harus diberi kesempatan bertualang dengan Islamisme dalam suatu iklim demokratis agar mereka dapat menilai, memberi insentif, atau justru menghukumnya lewat mahkamah kotak suara pada pemilihan umum berikutnya.”
    Kemenangan beberapa partai Islam di Tunisia, Maroko, Mesir, dan kemungkinan Libya, Yaman dan Suriah belakangan ini membuat pengamat Timur Tengah memplesetkan istilah Musim Semi Arab (al-Rabi’ al-‘Arabi) menjadi Musim Semi Islamisme (al-Rabi’ al-Islamawi). Panen raya elektoral kaum Islamis ini kini menimbulkan pertanyaan tentang paras Islamisme ketika berkuasa. Apakah kaum Islamis akan mengalami moderasi atau justru lebih radikal dan memaksakan agenda-agenda yang akan mengekang kebebasan sipil? Dengan kata lain: apakah kaum Islamis akan mengubah sistem (transform the system) atau justru akan dipaksa berubah oleh sistem (be transformed by the system) sembari mengompromikan ideologi asasi mereka?
    Belum Terjadi, Mari Diuiji
     
    Tentu banyak faktor sosial-politik-ekonomi yang menjelaskan mengapa partai-partai Islamis mampu mengalahkan pesaing-pesaing mereka dari partai-partai sekular. Dengan resiko mensimplifikasi, percobaan yang error oleh rezim-rezim otoriter non-Islamis berhasil dimanfaatkan kaum Islamis yang selama ini beroposisi atau menjaga jarak dengan kekuasaan. Stigmatisasi “akibat tidak menerapkan syariat, westernis, kolaborator Zionis” yang mereka tinjukan kepada lawan-lawan politik mereka, berhasil memberi keuntungan elektoral.
    Percobaan Islamisme yang banal dan error di Afganistan, Iran, maupun Palestina tentu bukan rahasia. Namun mereka berkilah bahwa itu disebabkan faktor-faktor di luar kekuasaan mereka seperti konspirasi Barat, tekanan Zionis, dan lain-lain. Bagi mereka, eksperimentasi Islamisme par excellent belum pernah terjadi dan teruji. Kini tibalah saatnya mencoba dan membuktikan bahwa “Islam adalah solusi” di dalam suatu iklim berdemokrasi.
    Beberapa intelektual menyebut eksperimen “Islam adalah solusi” ini merupakan fase utopia-ideologis yang tak dapat dielakkan sebelum terjadi pencerahan intelektual dan kultural yang massif dan radikal di Timur Tengah. Masyarakat Arab harus diberi kesempatan bertualang dengan Islamisme dalam suatu iklim demokratis agar mereka dapat menilai, memberi insentif, atau justru menghukumnya lewat mahkamah kotak suara pada pemilihan umum berikutnya.
    Menuju Demokrasi Illiberal
     
    Prasangka bahwa kalangan Islamis akan membajak demokrasi lalu menegakkan otoritarianisme berwajah baru memang cukup beralasan juga. Wakil Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan Mesir, Essam El-Arian, misalnya mengatakan, dia tak bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal demi berdemokrasi. Itu tugas Allah dan kehendak rakyat. Karena itu, ketentuan-ketentuan normatif Islam seperti soal jilbab bisa saja akan diagendakan ketika mereka berkuasa. Karenanya Mesir pasca-Mubarak bisa jadi akan bertranformasi dari “negara otoriter semi-liberal” menuju “negara demokrasi illiberal” sebagaimana formulasi Fareed Zakaria.
    Otoritarianisme semi-liberal dan demokrasi illiberal, kata Muktaz Billah—dosen ilmu politik di Universitas Michigan, AS (www.shorouqnews.com, 13/12/11)—sama-sama melanggar hak asasi manusia. Hanya saja, otoritarianisme semi-liberal mengakui hak-hak dasar dan kebebasan primordial individu, namun ia dapat ditunda, diabaikan, atau dilanggar bila dianggap mengganggu stabilitas politik atau mengancam eksistensi rezim. Itulah yang terjadi pada masa Husni Mubarak. Sementara dalam sistem demokrasi illiberal, pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan individu berlangsung lewat tirani mayoritas. Jenis dan volume kebebasan yang diberikan kepada warga negara ditentukan oleh selera mayoritas. Hak dasar atas kebebasan pun dianggap bukan sesuatu yang melekat secara primordial pada tiap individu melainkan karunia yang dihibahkan mayoritas yang beriman kepada supremasi prosedural demokrasi.
    Kekhawatiran ini kini nyata dan sangat berasalan di Mesir maupun Libya; namun tidak di Maroko ataupun Tunisia. Shadi Hamid, ahli Ikhwanul Muslimin merumuskan: bila kesempatan terbuka lebar, kalangan Islamis yang berkuasa dipastikan akan mengusung legislasi-legislasi sosial yang konservatif (socially conservative legislation) seperti segregasi seksual, pengetatan aturan perempuan, atau aspek-aspek trivial dari Islam. Namun sosiolog Saad Eddin Ibrahim optimis bahwa kultur dagelan (ruh al-marh) yang melekat pada orang Mesir dan masyarakat Arab yang relatif terbuka justru akan menjadi aspek penghalang bagi penerapan legislasi-legislasi sosial yang illiberal (al-Masr al-Yaum, 16/7/2011).

    Memeluk atau Dipeluk Kekuasaan
     
    Karena itu, pilihan kaum Islamis di era demokrasi adalah gagal memerintah atau berubah. Olivier Roy misalnya percaya, alih-alih sukses memaksakan ketentuan syariat (the logic of the syariah), kaum Islamis justru akan terpaksa memeluk kekuasaan dan bermain dalam kerangka logis bernegara (the logic of the state). Namun penilaian normatif seperti ini kurang memberi gambaran tentang pola-pola hubungan kaum Islamis dengan kekuasaan. Studi James Piscatori yang menguji tiga model performa kaum Islamis di Iran, Turki, dan Palestina setidaknya menampilkan beberapa catatan menarik.
    Menurut Piscatori, (1) ideologi tidaklah serta merta akan menjadi rompi pengekang (straitjacket) bagi kalangan Islamis untuk bermanuver dan bertransformasi. Tak hanya partai Islam Turki yang berubah dari Erbakanisme menuju Erdoganisme; kaum Islamis Iran pun bergerak di antara pendulum tuntutan demokrasi dan kuasa clerisocracy ala mullah. Hamas pun berubah dari retorika “perempuan adalah tempat mengandung dan pengayom keluarga” menjadi penyerta perempuan secara lebih aktif di dalam kegiatan sosial, di parlemen, bahkan menjadi polwan.
    Memang (2) tantangan riil memerintah juga tidak serta merta akan mentransformasi mereka menjadi pengingkar nilai-nilai dan ideologi asasi mereka. Sudah pasti pula mereka tidak akan menjadi liberal, kecuali dalam soal ekonomi. Namun yang pasti, mereka akan lebih welcome dengan pragmatisme. Kalangan Islamis tidak akan mengubah persepsi konflik Arab-Israel dari “konflik eksistensial-peradaban” menjadi “konflik situasional-teritorial”. Namun di tingkat aksi, besar kemungkinan mereka tak akan mengambil portofolio kementerian yang sensitif seperti soal pertahanan dan urusan luar negeri. Radikalisasi kalangan Islamis, kata Shadi Hamid, kemungkinan tak akan terjadi dalam kebijakan luar negeri (Foreign Affair edisi Mei-Juni 2011).
    (3) Radikalisasi atau moderasi kalangan Islamis juga ditentukan oleh sistem politik di negara masing-masing. Faktor ini ikut menentukan apakah mereka akan menjadi lebih demokratis seperti Turki atau tetap otoriter sebagaimana Iran maupun Gaza. Di Tunisia maupun Mesir, kini masih berlangsung tarik menarik soal konstitusi, sistem pemerintahan, maupun posisi militer. Semua itu kelak akan ikut menentukan paras dan performa kaum Islamis di kekuasaan. Ingat, kaum Islamis Turki bermetamerfosa sedemikian rupa karena berbagai faktor seperti sistem politik dan militer, massa sekuler yang kritis, ditambah soal geo-politik.
    Dan terakhir (4), kaum Islamis hanya bersedia mengompromikan nilai-nilai ideal dan ideologi asasi mereka “dengan berat hati” dan “hanya oleh suatu tekanan yang sangat besar”. Selain itu yang membedakan mereka secara kategoris dengan para kompetitor, aspek itu pulalah yang menjadi alasan konstituen untuk memberi mereka mandat. Kegagalan memperoleh mayoritas mutlak di parleman dan wujudnya lapisan masyarakat sekular yang kritis seperti di Tunisia dan Mesir, kemungkinan akan memaksa mereka menjadi moderat. Interdependensi dengan dunia luar juga akan sangat mempengaruhi fluktuasi radikalisasi dan moderasi.
    Dalam konteks Mesir, kalangan Ikhwani dari Partai Kebebasan dan Keadilan yang akan berkoalisi dengan kalangan Salafis Partai Cahaya (Hizb an-Nur), kemungkinan akan mengegolkan legislasi-legislasi konservatif yang berdampak membatasi kebebasan sipil. Namun mereka tak akan membatalkan Perjanjian Damai Camp David (1979) sehingga memicu ketegangan diplomatik dengan Israel dan suporter utamanya. Selain merisikokan hilangnya kompensasi damai sebesar 3 miliar dolar per tahun dari Paman Sam, aksi itu juga akan berimplikasi perang-damai yang terbukti mempercepat ketuntuhan suatu rezim seperti di masa Abdel Nasser.
    Intinya, beberapa studi menunjukkan bahwa perilaku kaum Islamis di kekuasaan lebih mengarah ke moderasi ketimbang radikalisasi. Retorika dan gertak sambal mereka sebelum berkuasa tak akan serta merta dibuktikan setelah mereka berkuasa, terlebih bila eksistensi mereka justru terancam. Mereka akan dipeluk kekuasaan ketimbang sebaliknya. ●  
  • Minoritas Muslim Perlu Fikih Minoritas

    Minoritas Muslim Perlu Fikih Minoritas
    Abdul Moqsith Ghazali, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 14 Desember 2011
    “Belajar dari pengalaman Mekah, yang perlu dikembangkaan minoritas muslim dalam berelasi dengan mayoritas non-Islam di Barat adalah al-fiqh al-akbar (fikih makro) bukan al-fiqh al-asghar (fikih mikro). Jika fikih mikro terlampau sibuk untuk mengatasi persoalan “receh” atau “trivial” dalam fikih seperti soal penyembelihan hewan kurban, maka fikih makro lebih mengembangkan penegakan moral atau etika publik. Dengan pengembangan al-fiqh al-akbar, peluang umat Islam untuk mencari titik temu dengan pengikut abrahamic religion lain seperti Kristen dan Yahudi lebih mungkin dilakukan.”
    Sebagian umat Islam tak betah tinggal di negeri-negeri Muslim yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Tak sedikit umat Islam berpindah ke beberapa negara di Barat yang mayoritas penduduknya beragama non-Islam, seperti Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan lain-lain. Motif perpindahannya sangat beragam, mulai dari niat awal untuk mencari ilmu lalu menetap sebagai warga negara, mencari pekerjaan demi meningkatkan taraf hidup-ekonominya hingga mencari suaka politik akibat serentetan ancaman di negerinya sendiri.
    Kita tahu bahwa sebagian besar umat Islam yang pindah ke Barat adalah awam di bidang ilmu-ilmu keislaman. Karena itu, sesampainya di tanah tujuan (Barat), banyak di antara mereka yang gagap dan bingung. Di satu sisi umat Islam yang pindah itu harus tetap bekerja di sejumlah perusahaan Barat untuk memenuhi nafkah keluarga. Namun, di sisi lain, mereka menghadapi sebuah kenyataan betapa tak mudahnya melaksanakan ajaran Islam di Barat yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Sejumlah keluhan kerap di sampaikan.
    Jika dikelompokkan, keluhan minoritas muslim tentang pelaksanaan ajaran Islam di Barat menyentuh hampir semua aspek dalam Islam. Pertama, keluhan di bidang ibadah mahdlah (ibadah murni), seperti shalat (termasuk shalat Jum’at), dan puasa. Mencari masjid untuk shalat Jum’at di Barat susah. Umat Islam tak jarang harus menempuh perjalanan jauh agar shalat Jum’at bisa dilangsungkan, sementara yang bersangkutan pada saat yang sama juga harus bekerja di perusahaan. Terlampau sering meninggalkan pekerjaan dengan alasan shalat Jum’at kadang tak segera dipahami oleh atasan mereka di Barat.
    Kedua, dalam bidang ahwâl syakhshiyyah (hukum keluarga) juga ada masalah. Di bidang ini, sebagian minoritas muslim di Barat menghadapi soal pelik mengenai status perkawinan. Banyak dijumpai, suami dan istri pada mulanya beragama Kristen. Namun, seiring waktu kadang si istri memeluk Islam, sementara si suami masih menganut agama lamanya. Konsisten dengan fikih lama-konvensional, maka si isteri harus bercerai dari suaminya. Karena perempuan Islam tak dibolehkan menikah dengan orang laki-laki bukan Islam. Hingga sekarang, pernikahan beda agama masih sulit untuk ditembus kehalalannya karena begitu kukuhnya argumen naqliyah yang mengharamkannya. Namun, tak jarang fikih Islam berkata “A”, umat Islam berkata “B”. Tak sedikit umat Islam di Barat lebih mempertahankan pernikahannya sekalipun beda agama, dengan alasan tak mungkin menghancurkan bangunan keluarga yang telah tegak dengan peluh dan air mata. Demi anak dan keutuhan keluarga, mereka memilih mempertahankan keluarga daripada menghancurkannya.
    Berbagai upaya telah ditempuh agar keharaman nikah beda agama bisa dilonggarkan. Jika kita menganggap bahwa non-Islam di Barat adalah Ahli Kitab, maka semestinya tak ada masalah sekiranya orang Islam hendak menikahi perempuan Yahudi dan Kristen di sana. Al-Qur’an dengan tegas mengatakan tentang kehalalan laki-laki muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab. Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya, Fath al-Mu’in, membolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan Yahudi-Israel. Sementara tentang pernikahan perempuan muslim dengan laki-laki Ahli Kitab, semua ulama cenderung mengharamkannya. Pengharaman ini muncul dari sebuah kekhawatiran: bahwa jika laki-lakinya non-muslim dan perempuannya yang muslim, maka besar kemungkinan agama isteri dan anak-anak akan mengikuti agama sang suami. Namun, kekhawatiran ini tak banyak terbukti. Berbagai riset menunjukkan, anak-anak yang lahir dari orang tua berbeda agama banyak mengikuti agama ibu. Di tengah masyarakat Barat yang menjunjung tinggi kebebasan beragama, tekanan suami agar isteri dan anak-anak mengikuti agama diri si suami sebenarnya tak terlampau mengkhawatirkan.   
    Soal dalam perkawinan ini tak pelak juga akan berimbas pada pewarisan. Pandangan fikih yang (konon) diacukan pada sebuah hadits melarang umat Islam mewariskan hartanya pada keluarga atau keturunan non-muslim. Perbedaan agama (ikhtilâf al-dîn) dianggap sebagai penghalang (mâni’) terjadinya proses waris-mewarisi. Ketentuan ini tak mudah ditunaikan keluarga muslim di Barat di mana salah satu anggota keluarganya ada yang berbeda agama. Dengan demikian diperlukan pemahaman yang lebih kontekstual terhadap ketentuan fiqhiyyah seperti ini. Yusuf al-Qardhawi berusaha memberi solusi: bahwa orang Islam boleh menerima warisan dari orang non-muslim, tapi tidak buat sebaliknya. Pendapat ini tanggung dan tak menyelesaikan masalah. Orang akan menggugat pandangan al-Qardhawi ini: bahwa umat Islam hanya mencari “enaknya saja”—siap menerima warisan tapi tak siap mewariskan. Ia dinilai tidak adil (unfair).
    Jika ditelusuri, ikatan kewarisan dalam Islam terjadi karena ikatan darah bukan ikatan agama. Perbedaan agama dijadikan sebagai penghalang kewarisan (mâni’ al-irtsi) dalam fikih Islam terdahulu, karena umat Islam terlibat konflik dengan umat agama lain. Artinya, dalam suasana normal (ketika umat Islam tak berada dalam suasana perang dengan umat agama lain), maka fikih Islam kembali ke hukum normal lagi. Bahwa perbedaan agama tak boleh dijadikan sebagai penghalang. Saya cenderung tak mempersoalkan sekiranya seorang anak yang beragama Kristen di Barat hendak mewariskan harta kepada orang tuanya yang beragama Islam. Begitu juga sebaliknya. Darah yang mengalir dalam tubuh anak adalah darah orang tua. Sementara dalam kasus suami-istri, sekalipun tak ada hubungan darah, mereka telah sepakat mengadakan satu ikatan kukuh (mîtsâqan ghalîzhan) untuk hidup bersama dalam hubungan sebagai suami-isteri, karena itu wajar kalau terjadi waris-mewarisi. 
    Ketiga, dalam bidang muamalah juga ada masalah. Tak sedikit ulama fikih yang berpendapat perihal haramnya umat Islam bersahabat dengan umat agama lain. Tak hanya disitu, bahkan juga diharamkan untuk memilih kepala negara non-muslim. Menerapkan pandangan fikih demikian di Barat potensial menimbulkan masalah. Umat Islam akan kian teralienasi dari komunitas besar di Barat. Padahal, sebagai warga negara, umat Islam mustinya mengintegrasikan diri dalam sebuah komunitas. Ia tak boleh menarik diri dari lalu lalang pergaulan masyarakat. Dalam keadaan demikian, sekalipun banyak teks agama yang melarang umat Islam bergaul dengan umat non-muslim, umat Islam di Barat akhirnya cenderung tak mempedulikannya.
    Dengan latar itu, ulama Islam berfikir agar minoritas muslim di Barat mendapatkan penanganan khusus dari sudut fikih. Sebab, bertumpu pada fikih arus utama akan merepotkan posisi umat Islam di sana. Jabir Thaha al-‘Alwani dan Yusuf al-Qardhawi menempuh solusi progresif dengan merintis fikih baru, fikih minoritas (fiqh al-aqalliyyat). Jabir al-‘Alwani menulis buku berjudul Toward a Fiqh for Minorities. Yusuf al-Qaradhawi menulis buku “Fi Fiqh al-Aqalliyyat al-Muslimah”. Di Indonesia, Ahmad Imam Mawardi menulis buku Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqalliyyat dan Evolusi Maqashid al-Syariah, dari Konsep ke Pendekatan.   
    Bagi saya, ada beberapa hal yang perlu disampaikan untuk mengukuhkan argumen-argumen para penggagas fikih minoritas itu. Pertama, fikih minoritas harus dilandaskan pada pengalaman umat Islam awal di Mekah ketika menjadi minoritas. Dalam periode Mekah, Islam fokus pada penyampaian pokok-pokok ajaran Islam, seperti akidah dan etika. Persoalan syariat tak menjadi bahasan utama. Fakhr al-Din al-Razi berkata, kehadiran Nabi Muhammad bukan untuk membawa syariat baru, melainkan untuk meneguhkan syariat Nabi Ibrahim. Merujuk kepada al-Qur’an (al-Nisa’ [4]: 163), sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi Muhammad diutus pada mulanya untuk menggenapi syariat Nabi Nuh.
    Belajar dari pengalaman Mekah ini, yang perlu dikembangkaan minoritas muslim dalam berelasi dengan mayoritas non-Islam di Barat adalah al-fiqh al-akbar (fikih makro) bukan al-fiqh al-asghar (fikih mikro). Jika fikih mikro terlampau sibuk untuk mengatasi persoalan “receh” atau “trivial” dalam fikih seperti soal penyembelihan hewan kurban, maka fikih makro lebih mengembangkan penegakan moral atau etika publik. Dengan pengembangan al-fiqh al-akbar, peluang umat Islam untuk mencari titik temu dengan pengikut abrahamic religion lain seperti Kristen dan Yahudi lebih mungkin dilakukan.
    Kedua, melakukan penafsiran ulang terhadap hadits, juga al-Qur’an. Sebab, banyak pandangan fikih yang sempit disandarkan pada al-Qur’an. Tak selayaknya minoritas muslim mengembangkan fikih eksklusif, fikih tertutup yang selalu memandang orang lain secara negatif. Umat Islam di Barat membutuhkan fikih pluralis, yaitu sejenis tafsir keagamaan yang lebih positif memandang umat agama lain. Umat Islam tak perlu membesar-besarkan hal-hal kecil yang cenderung memisahkan dirinya secara sosial dari umat agama lain, tapi justru perlu memperbanyak kesamaan-kesamaan di antara umat beragama. Dengan tegas al-Qur’an meminta umat Islam untuk mencari kesamaan bukan perbedaan dengan umat agama lain. Mencari perbedaan itu mudah, sementara mencari persamaan itu susah.
    Jika mengikuti tuntunan etik-moral al-Qur’an dan sejarah keteladanan Nabi Muhammad, kita akan tahu bahwa umat agama lain bukanlah ancaman bagi umat Islam. Pluralitas keagamaan itu menjelma dalam keluarga Nabi Muhammad. Buku-buku sejarah menunjukkan, Nabi Muhammad pernah memiliki menantu musyrik (Abu al-‘Ash, suami dari Zainab binti al-Rasul), budak perempuan beragama Kristen Koptik (Maria al-Qibthiyah) dan Yahudi (Raihanah), mertua beragama Yahudi (ayahanda dari Shafiyah, istri Nabi). Waraqah ibn Naufal yang memberi kesaksian dan pengakuan atas kenabian Muhammad adalah saudara sepupu Khadijah binti Khuwailid (isteri Nabi).
    Ketiga, umat Islam di Barat tak boleh memposisikan diri sebagai muslim dzimmi apalagi muslim harbi. Di bidang politik dan pemerintahan, umat Islam bisa menjadi bagian dari proses dan dinamika perpolitikan di sana. Sekularisasi yang menjadi pilihan negara-negara Barat sesungguhnya merupakan peluang atau kesempatan bagi umat Islam untuk terlibat dalam berbagai aktivitas publik. Umat Islam bisa menjadi anggota parlemen dan pejabat publik lainnya.
    Namun, umat Islam harus tahu batas-batas terjauh yang tak mungkin diterobos. Misalnya, umat Islam di Barat tak usahlah berimajinasi untuk memiliki lembaga peradilan sendiri yang khusus menyelesaikan persoalan perdata dan pidana umat Islam. Umat Islam tak perlu mengusulkan sanski-sanksi hukum fikih jinayat (pidana) Islam seperti hukum qishash, hukum rajam, hukum potong tangan, hukum pancung, dan lain-lain. Hukum penjara bagi pelaku kriminal tak usah diusulkan untuk diganti hukum potong tangan, hukum pancung, hukum qishash seperti yang diujarkan secara harafiah dalam al-Qur’an. Menangkap spirit al-Qur’an, kita tahu bahwa yang terpenting dari pemberian sanksi hukum adalah bagaimana menjerakan para pelaku kriminal (zawâjir). Jika dengan hukum penjara, tujuan hukum sudah tercapai, maka tuntutan untuk menerapkan sanksi hukum seperti potong tangan sudah tak diperlukan lagi.
    Keempat, menyelesaikan masalah dalam fikih keseharian, mulai dari soal ibadah mahdlah sampai soal makanan-minuman (al-ath’imah wa al-asyribah). Di antaranya: (a) Tentang penyembelihan hewan kurban. Banyak ulama berpendirian bahwa hewan kurban bisa diganti dengan mata uang. Dengan demikian, minoritas muslim tak perlu berkeras ingin menyembelih hewan kurban secara massal. Barat yang menjunjung tinggi kebersihan tak akan mengijinkan penyembelihan hewan kurban secara sembarangan seperti yang kerap kita saksikan di Indonesia. Minoritas muslim juga harus sadar bahwa penyembelihan hewan kurban merupakan perkara sunnah saja. Sekiranya tak mungkin dilakukan, tidak apa-apa untuk ditinggalkan. Ada banyak saluran yang bisa dipakai orang kaya Islam di Barat untuk membantu mereka yang papa-miskin. 
    (b) Soal poligami dan pemukulan istri. Minoritas muslim tak usah menerapkan poligami. Dalam pandangan Barat, menikah dengan banyak perempuan itu adalah bagian dari perkawinan primitif. Menyemarakkan poligami akan menimbulkan stigma negatif, bukan hanya terhadap minoritas muslim di Barat, melainkan juga terhadap agama Islam sendiri. Begitu juga soal pemukulan suami terhadap istri. Masyarakat Barat tak mengerti kenapa seorang suami diberi kewenangan untuk memukul istrinya. Bagi Barat, memukul seorang istri tak bisa dipahami. Memukul tetap dianggap sebagai tindakan kriminal, sekalipun dengan merujuk pada al-Qur’an. Sejumlah tafsir kontemporer telah diedarkan bahwa ayat al-Qur’an yang memperkenalkan pemukulan istri ((misalnya Q.S. al-Nisa [4]: 34) itu tak bisa dimaknai secara harafiah. Ia lahir dari sebuah konteks yang berbeda dengan konteks umat Islam hari ini.
    (c) Soal shalat Jum’at. Sekiranya tak mungkin melaksanakan shalat Jum’at, karena satu dan lain hal, maka minoritas muslim bisa segera menggantinya dengan shalat zhuhur. Dalam pandangan fikih, hujan saja bisa dijadikan alasan untuk tak mengikuti shalat Jum’at. Jika tak memungkinkan menyelenggarakan shalat Jum’at karena tak memenuhi ambang batas 40 orang seperti yang ditetapkan mazhab Syafii, dengan mengikuti mazhab Hanafi, shalat Jum’at bisa tetap dilakukan:  yaitu dengan empat orang (satu dari yang empat adalah imam). Al-Thabari, seperti dikutip Ibn Rushd, berkata bahwa shalat Jum’at bisa diselenggarakan dengan satu imam dan satu makmum. Ada yang berkata, shalat Jum’at itu termasuk fardlu kifayah. Jika dalam satu negara bagian atau satu provinsi tertentu, satu kelompok kecil muslim telah menyelenggarakan shalat Jum’at, maka gugurlah kewajiban bagi kelompok muslim lain untuk melakukan ibadah shalat Jum’at. Bahkan, ada yang berkata, ibadah Jum’at itu hanya sunnah belaka (baca Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid Juz I, hlm. 113-114). Beragam pandangan fikih ini sengaja saya kemukakan agar umat Islam memiliki banyak pilihan, sehingga mereka bebas untuk menentukan yang terbaik dan maslahat buat dirinya.
    (d) Dalam soal makanan dan minuman, fikih Islam sangat tegas perihal halal dan haramnya. Menghadapi rigiditas fikih Islam, minoritas muslim beruntung dengan tranparansi Barat yang melengkapi seluruh jenis makanan dan minuman dengan mencantumkan daftar komposisi dan ingredients-nya di bungkus produk itu. Dengan demikian, minoritas muslim di Barat akan mengetahui tentang jenis-jenis makanan yang mengandung unsur babi, misalnya. Namun, jika ragu dengan kehalalan makanan atau minuman, minoritas muslim di Barat bisa mengatasinya dengan membawa makanan dan minuman sendiri—seperti kerap dilakukan para aktivis Islam di Jakarta.
    Dalam perkara fikih sehari-hari ini, sejumlah kaidah fikih bisa dipakai untuk mengatasi kebuntuan. Misalnya, al-masyaqqatu tajlibu al-taisîr (kesulitan dapat mendatangkan kemudahan); dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalb al-mashâlih (menghindari kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan); al-dlarûrah tubîhu al-mahdhûrah (kemudaratan bisa menghalalkan yang terlarang); al-amr idzâ dlâqa ittasa’a wa idza ittasa’a dlâqa (segala sesuatu jika sempit akan meluas, dan jika meluas akan menyempit); al-umûr bi maqâshidihâ (segala sesuatu tergantung maksud-tujuannya). Dengan bersandar pada beberapa kaidah fikih tersebut, maka minoritas muslim bisa keluar dari kekakuan fikih konvensional.