Category: Uncategorized

  • Kelangkaan Pangan ala Spekulan Wall Street

    Kelangkaan Pangan ala Spekulan Wall Street
    Khudori, ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT,
    PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI) 
    Sumber : SINDO, 16 Desember 2011
    Dua abad lalu, saat penduduk belum semiliar jiwa, Thomas Malthus tahun 1798 mengingatkan bahwa bumi tidak akan mampu memberi makan. Per 31 Oktober lalu, bumi telah dihuni 7 miliar jiwa, tapi mereka masih bisa makan.

    Sepertinya dugaan Malthus meleset sehingga pendeta dan matematikawan itu jadi olok-olok.Apakah ”batas Malthus” dibuang ke tempat sampah? Sudut pandang Malthus tidak berbeda dari pandangan Adam Smith di jilid pertama The Wealth of Nations. “Tidak seorang pun yang berakal sehat meragukan jumlah penduduk harus berada dalam batasansumberdaya.

    Kapasitas masyarakat dalam meningkatkan sumber daya dari batas itu juga sangat terbatas,”kata Tim Dyson,profesor kependudukan di London School of Economics, Inggris. Pertumbuhan populasi masih tinggi dan harapan hidup membaik.Pada 1914,penduduk dunia 1,6 miliar dan pada 2025 diperkirakan jadi 8 miliar. Tahun 1900, bayi lelaki dan perempuan bisa hidup hingga usia 46–48 tahun.

    Kemajuan ilmu pengetahuan, pelayanan kesehatan, dan kualitas pangan membuat harapan hidup mencapai 70 tahun.Di sisi lain, luas lahan pertanian kian sempit, terdesak keperluan nonpertanian. Bagaimana meningkatkan produksi pangan saat pestisida mencemari sungai, danau, dan air? Bisakah produksi digenjot saat terjadi erosi genetika intensif, salinitas mencemari sawah,lahan rusak, dan hanya tersedia sedikit air irigasi?

    Bisakah mendongkrak produksi pangan saat perubahan iklim dan cuaca semakin sulit diprediksi sehingga pola tanam kacau-balau? Untuk bisa memberi makan 9,5 juta miliar pada 2050,dunia harus meningkatkan produksi pangan sebesar 70% (FAO, 2011). Jika tidak, akan terjadi kelaparan massal. Bukankah saat ini ada sekitar semiliar manusia dengan perut lapar saat pergi ke tempat tidur?

    Kelaparan masif ini sering kali dimanipulasi secara sesat dengan mengatakan terjadi kelangkaan pangan di planet bernama bumi. Dunia saat ini telah menghasilkan makanan yang bisa memberi makan 1,5 kali jumlah penduduk bumi. Sejumlah studi menunjukkan praktik-praktik pertanian berkelanjutan bahkan bisa memberi makan 10 miliar jiwa, populasi puncak planet ini (http://www.foodfirst.org/en/n ode/1778).

    Suplai pangan yang melimpah itu tidak mengalir pada yang memerlukan, tapi menuju kepada mereka yang berduit. Kemiskinan membuat warga di negara-negara miskin tak bisa mengakses pangan, terutama ketika harga pangan melambung tinggi. Argumen harga pangan melambung karena lonjakan permintaan dari China dan India,

    dua negara berpenduduk besar, telah misleading alias tidak benar. Sementara argumen lain mengenai tekanan pasar dari sisi pasokan tidak mampu menjelaskan volatilitas ekstrem dan lonjakan harga di pasar pangan global dalam beberapa tahun terakhir, terutama tahun 2007–2008.

    Bahan Spekulasi

    Volatilitas ekstrem dan lonjakan harga pangan adalah hasil dari fenomena baru: penimbunan besar-besaran produk derivatif komoditas pangan. Menurut Executive Director Food First Eric Holt Gimenez (2011), ini produk keuangan khusus yang dikreasi lembaga keuangan kuat. Dimotori Wall Street, para investor institusional, baik bank investasi, hedge fund, reksa dana, dana pensiun maupun hibah universitas, berebut menimbun.

    Cara kerjanya, pertama, investor institusional mengubah komoditas pangan jadi aset spekulatif. Keuntungan spekulatif, bukan permintaan riil, jadi pembimbing harga pangan. Kedua, investor kuat melobi dan menyuap anggota parlemen guna menderegulasi pasar keuangan dengan membebaskan mereka dari tanggung jawab publik. Ketiga, investor institusional menimbun produk derivatif dengan memperjualbelikan secara berulang-ulang sehingga menciptakan kelangkaan pangan (semu) di pasar berjangka.

    Hasil dari serangkaian ini adalah harga meroket karena investor institusional telah menciptakan kejutan permintaan sehingga terjadi kelangkaanbuatan( semu) yangsangat besar di pasar pangan global. Hal itu terjadi pada rentang 2007–2008 saat krisis pangan mencapai puncak dan berulang pada 2010.Pada periode itu harga sejumlah pangan pokok seperti beras,gandum,dan jagung naik dua-tiga kali lipat.Kejutan permintaan itu menciptakan ratusan juta barisan warga miskin baru.

    Sebaliknya,korporasi multinasional menangguk keuntungan besar lewat spekulasi. Misal, pada 2008 spekulasi berkontribusi pada sepertiga (USD1,5 miliar) laba Goldman Sachs (The Wall Street Journal, 19/11/2008). Volatilitas ekstrem dan lonjakan harga pangan akibat spekulasi memiliki ramifikasi rumit karena spekulan bukan perusahaan guram, tapi korporasi transnasional (TNCs) yang kekuatan kapitalnya jauh melampaui entitas sebuah negara.

    Misalnya, per Maret 2008, dua korporasi (Morgan Stanley dan Goldman Sachs) di pasar komoditas menguasai 1,5 dari 11 miliar bushelkontrak berjangka jagung di Chicago Board of Trade (The Brock Report, 2008). Kedua perusahaan mendominasi pasar melalui penguasaan commodity index funds––gabungan dari 24 komoditas pertanian dan nonpertanian dalam satu instrumen investasi yang sering disebut “perjudian” harga (Suppan, 2009).

    Pada 2006–2008, perusahaan-perusahaan yang tidak diatur (unregulated funds) ini mengontrol 33% dari seluruh kontrak berjangka komoditas pertanian (Christopher,2008). Ketika tenang,spekulan nyaman membiakkan investasi di pasar finansial: uang, modal, dan utang. Saat bergejolak, mereka berhamburan dari sarang membawa portofolio investasi.Mereka mencari tempat yang lebih aman untuk mengeramkan investasi, salah satunya di pasar komoditas.

    Menurut Bank of International Settlements,investasi di pasar komoditas (di luar emas dan logam mulia) pada 2002 baru USD770 miliar, naik USD7 triliun pada Juni 2007, dan meledak jadi USD12,6 triliun pada Juni 2008. Sampai saat ini belum ada aturan ketat yang membatasi gerak perusahaan untuk berspekulasi di pasar komoditas.Tanpa aturan ketat, spekulasi di pasar komoditas akan membuat harga pangan tidak stabil karena kelangkaan semu. Para pemrotes Occupy Wall Street tidak salah menduduki Wall Street karena penggerak pasar keuangan itu menciptakan malapetaka.  

  • Mempermalukan Koruptor

    Mempermalukan Koruptor
    Victor Silaen, DOSEN FISIP UNIVERSITAS PELITA HARAPAN (UPH)     
    Sumber : SINDO, 16 Desember 2011
    Korupsi di negeri ini begitu centang-perenang. Bayangkan, hampir semua urusan yang memerlukan pelayanan dari pemerintah bisa dipercepat asalkan ada uang “pelicin”.

    Tak aneh jika dikarenakan “tradisi” itu muncul pelesetan “SUMUT” yang artinya “semua urusan mesti uang tunai”. Jika tersandung perkara,“kasih uang habis perkara”(KUHP). Di kalangan elite politik (wakil rakyat) dan pemerintah juga berlaku praktik “kasih uang dapat uang”. Artinya, kalau (pemerintah) ingin agar anggaran untuk sebuah proyek segera cair, setorlah uang (kepada wakil rakyat) terlebih dulu.

    Dijamin, kalau setorannya pas,dana pun mengucur.Itu sebabnya banyak wakil rakyat yang berkeberatan dengan wacana pembubaran Badan Anggaran di lembaga legislatif. Alasannya jelas: itu “proyek” mereka. Inilah Indonesia. Benar, hampir dalam semua urusan mesti ada uang tunainya. Untuk memarkir kendaraan, misalnya, hampir-hampir tak ada lahan publik yang bebas dari petugas parkir, baik yang berseragam resmi maupun tidak.

    Tapi keduanya sama saja: sama-sama tidak memberikan karcis parkir meski kita sudah membayar ongkos parkir. Berikut ini saya kutipkan beberapa berita aktual. Pertama, 17 Oktober lalu, Bupati (nonaktif) Lampung Timur Satono divonis bebas dari dakwaan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) senilai Rp119 miliar.

    Majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang,Bandar Lampung, menilai jaksa penuntut umum tidak bisa membuktikan seluruh pasal yang didakwakan secara berlapis. Padahal,jaksa menuntut 12 tahun penjara.Hanya selisih dua hari, 19 Oktober, giliran mantan Bupati Lampung Tengah Andi Ahmad Sampurna Jaya divonis bebas dari tuntutan 10 tahun penjara dalam perkara korupsi APBD senilai Rp28 miliar.

    Beberapa hari sebelum itu, ada juga terdakwa korupsi yang dibebaskan. Mochtar Muhammad,Wali Kota Bekasi (nonaktif), dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor Bandung. Mochtar dituntut 12 tahun penjara dan denda subsider enam bulan oleh jaksa KPK karena didakwa melakukan empat perkara. Bayangkan, ketiga pejabat yang didakwa korup dan dituntut hukuman minimal 10 tahun penjara itu bebas.

    Tidakkah ini merupakan indikator bahwa pemberantasan korupsi di Tanah Air menapaki jalan terjal? Sudah sanksi hukum bagi para koruptor lemah, komisi antikorupsi (KPK) pun terusmenerus dilemahkan oleh berbagai pihak. Tak pelak, bersoraklah para pelaku kejahatan luar biasa itu karena Indonesia masih merupakan surga bagi mereka.

    Maka, jangan heran kalau hasil survei KPK barubaru ini menyebutkan Kementerian Agama menduduki peringkat terbawah dalam indeks integritas dari 22 instansi pusat yang diteliti. Ironis! Para birokrat yang pekerjaan sehariharinya mengurusi agama justru paling rakus mencuri uang negara.

    Mempermalukan

    Atas dasar itulah upayaupaya memerangi korupsi dari segala sisi patut didukung pelbagai pihak dan kalangan.Kebijakan Kementerian Hukum dan HAM untuk menghapus pemberian remisi bagi para koruptor, misalnya, jelas harus didukung.Tak penting benar apakah kebijakan itu disebut “moratorium” atau “pengetatan syarat pemberian remisi”. Sebab yang jauh lebih penting adalah tujuan di balik kebijakan itu: demi semakin menggentarkan para koruptor (maupun calon koruptor) agar tak mudah melaksanakan niat busuknya.

    Kita harus menyadari bahwa korupsi adalah sebentuk kejahatan luar biasa. Karena itulah kita harus memeranginya dengan cara-cara yang luar biasa pula. Maka ide yang dilontarkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD baru-baru ini layak dipertimbangkan untuk dijadikan kebijakan antikorupsi berikutnya. Menurut Mahfud, para koruptor layak ditempatkan di kebun khusus yang didirikan di sebelah kebun binatang.”Saya putus asa (menghadapi koruptor).

    Saya punya ide gila. Buat saja kebun koruptor di samping kebun binatang. Kalau Bambang Widjojanto terpilih (sebagai ketua KPK),saya mau mengusulkan itu,” ujar Mahfud beberapa waktu lalu. Kini Bambang Widjojanto telah terpilih menjadi salah satu pimpinan KPK.Meskipun Bambang tidak menjadi ketua komisi antikorupsi itu, kiranya Mahfud tetap bersemangat memperjuangkan ide gilanya itu menjadi kenyataan.

    Meski ide tersebut,menurut Mahfud, terkesan main-main, kita berharap kelak dapat menjadi terobosan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sungguh kita tak dapat membayangkan apa jadinya bangsa ini ke depan jika tumor korupsi bukannya menjinak, tetapi justru mengganas. Mungkin selama ini negara memang salah bersikap terhadap koruptor.

    Bayangkan,selain memberi “hadiah”berupa diskon masa tahanan setiap tahunnya, negara pun pernah memberi “anugerah” berupa pengampunan kepada seorang koruptor karena alasan sakit parah. Setelah bebas, si koruptor langsung diterbangkan ke vila pribadinya di sebuah perbukitan di Kalimantan Timur. Seterusnya ia beristirahat di sana, di rumah asri seluas 30 hektare yang dilengkapi dengan istal kuda, area berkuda, landasan helikopter, dan kebun kelapa sawit.

    Ternyata ia masih kaya-raya.Tidakkah ini melukai rasa keadilan kita? Inilah yang membuat kita miris dan bertanya: kalau begitu mampukah praktik korupsi diperangi secara signifikan? Ketua Eksekutif Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria, Mallam Nuhu Ribadu, pernah berkata, “Kita punya masalah sama: kita cenderung memberi hormat kepada orang yang justru tak layak dihormati.

    Kamu melecehkan dirimu, kamu melecehkan kebijakanmu. Kamu punya kesempatan yang baik, tapi kamu membuat para pencuri itu tetap jadi pencuri karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang manusia, jadi jangan ada toleransi bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria, kami menangkap para koruptor kakap dan ini membuat trickle down effect.” (Tempo, 16/9/2007).  

  • RUU Konflik yang Mendatangkan Konflik

    RUU Konflik yang Mendatangkan Konflik
    Yesmil Anwar, DOSEN HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN (UNPAD) DAN
    UNIVERSITAS PASUNDAN (UNPAS), BANDUNG
    Sumber : SINDO, 16 Desember 2011
    Konflik merupakan hal yang lumrah dalam hidup bermasyarakat karena konflik merupakan bagian dari keberadaan individu yang berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.

    Hal tersebut disebabkan heterogenitas eksistensi individu yang melahirkan berbagai kepentingan yang tidak jarang bertabrakan satu sama lain.Bahkan kadang konflik dibutuhkan dalam suatu masyarakat sebagai upaya untuk melakukan perubahan. Yang terpenting adalah memahami konflik dan memanajemeninya dengan tata kelola yang baik, dari hulu sampai ke hilir anatomi konflik.

    Atas dasar latar belakang pemikiran di atas, pertamatama penulis ingin mengkritik bakal aturan yang sedang dibahas mengenai konflik ini,yaitu RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. Judul RUU ini terkesan kurang memberikan kejelasan substansi yang diaturnya dan tampak sempitnya pemahaman perancang RUU terhadap permasalahan konflik sosial. Dalam RUU ini terlihat bahwa dari segi makna, kata “penanganan” konflik sosial lebih berorientasi pada tindakan yang dilakukan saat konflik terjadi.

    Keterbelahan Konsep

    Dalam RUU ini pasal-pasal yang berkaitan dengan masalah pencegahan konflik sosial kurang jelas dan kabur. Selain itu definisi konflik sosial hanya bersifat fisikal. Contohnya sebagaimana tertulis bahwa benturan konflik sosial adalah benturan dengan kekerasan fisik antara dua atau lebih kelompok masyarakat atau golongan yang mengakibatkan cedera dan atau jatuhnya korban jiwa,kerugian harta benda berdampak luas,

    dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang menimbulkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga menghambat pembangunan nasional dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Padahal konflik sosial dapat bersifat nonkekerasan atau bersifat laten seperti dalam persaingan perdagangan, ekonomi, diskriminasi pendidikan. Itu semua juga bisa berujung pada kekerasan fisik.

    Fungsi pengamanan dalam RUU ini akan menimbulkan masalah karena tidak adanya kepastian hukum yang disebabkan konsep pendekatan adat yang sangat dominan.Padahal keberadaan aparat kepolisian sangatlah penting dalam penangan konflik sosial,terutama pada saat terjadinya konflik. Dan di dalam UU kepolisian maupun dalam peraturan pelaksanaannya di lapangan, langkah-langkah pengamanan sudah diatur secara jelas.

    Penangan secara adat yang dominan akan menyebabkan tergerusnya kepastian hukum.Mestinya kedua penangan tersebut dapat bersinergi satu sama lain dengan Polri sebagai koordinator di lapangan. Seharusnya sistem peringatan dini yang merupakan tulang punggung dari pengelolaan konflik diatur secara terperinci dan terintegrasi dalam sistem hukum positif.

    Banyak UU yang sudah mengatur peringatan dini,di antaranya dalam UU Penanganan Bencana, UU Kepolisian maupun UU Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum. Namun dalam RUU ini pasal-pasalnya belum mengatur secara jelas substansi sistem peringatan dini.Untuk itu masih diperlukan pengaturan lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP).

    Revisi

    Ada beberapa hal yang perlu didiskusikan dalam merevisi RUU ini, di antaranya sebagai berikut. Pertama,RUU ini juga kurang menyentuh masalah ekonomi yang sering menjadi akar masalah konflik sosial dan kecemburuan sosial.Termasuk eksploitasi habis-habisan sumber daya alam suatu wilayah seperti yang terjadi sekarang di Papua (Freeport). Kedua, dalam pengaturan pengamanan, mekanisme resolusi konflik belum diatur secara jelas. Ketiga, pelimpahan penanganan konflik sosial dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah harus diatur secara hati-hati agar tidak ada benturan kepentingan di daerah.

    Keempat,RUU ini akan melahirkan suatu bentuk ketidakpastian hukum karena ada kewenangan ganda, yaitu penyelesaian konflik melalui pranata adat dan versi penegak hukum.Kelima,dalam RUU ini tidak diatur dengan jelas mengenai kesebandingan antara besar kecilnya konflik dengan upaya pengamanan yang dilakukan Polri sehingga sulit untuk memprediksi seberapa besar kekuatan Polri boleh digunakan dalam mengendalikan suatu konflik sosial.

    RUU penanganan konflik ini hanya berorientasi pada penanganan konflik (conflict manifest), tetapi belum memuat proses pengelolaan konflik (conflict management) secara utuh menyeluruh. Untuk itu revisi benar-benar harus menukik pada beberapa substansi tahap awal terjadinya konflik sosial, yaitu, pertama, di mana mulai tersemai benih-benih masalah. Kedua, semakin sering dan semakin banyak benih-benih tersebut.

    Ketiga, tahap pematangan, adanya kelompok yang terorganisasi dalam konflik. Keempat, tahap pemanasan,yaitu coba-coba (testing the water). Kelima, tahap letupan dengan korban-korban fisik dan manusia. RUU Penangan Konflik Sosial ini berkecenderungan hanya mengatur tahap kelima. Oleh sebab itu RUU Penanganan Konflik ini harus dirombak atau ditolak oleh DPR karena jangan sampai nantinya menjadi sebuah UU tentang PenangananKonflikSosialyangmendatangkan konflik sosial.

    Kedaulatan Bangsa dan Negara

    Dalam RUU ini dicantumkan pula Pasal 53 ayat 3 dan ayat 4 yang melibatkan pihak internasional dalam penanganan konflik di dalam negara RI. Namun, naskah akademiknya justru mengatakan sebaliknya, yaitu bahwa pihak internasional adalah salah satu faktor yang sering menjadi penyebab konflik sosial di berbagai negara.

    Tentunya dalam hal ini harus dianalisis secara mendalam sehingga kedaulatan negara tidak terlukai meskipun tidaklah dapat dimungkiri segi-segi positif dari keberadaan masyarakat internasional dalam penanganan konflik di suatu negara. Kita punya pengalaman tentang hal ini, contohnya di Aceh.  

  • Arah Politik Islam Timur Tengah

    Arah Politik Islam Timur Tengah
    Ibnu Burdah, PEMERHATI MASALAH TIMTENG DAN DUNIA ISLAM;
    DOSEN FAKULTAS ADAB UIN SUNAN KALIJAGA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 16 Desember 2011
    DI tengah proses pemilu yang sedang dan akan berlangsung di beberapa negara Arab, gerakan politik dan partai Islam di Timur Tengah (Timteng) perlu mempertimbangkan dan merespons tiga situasi baru yang melingkupi jika ingin memperoleh penerimaan luas dari masyarakat di negara masing-masing. Tiga lingkungan baru itu adalah peningkatan interaksi global, kondisi umat Islam yang masih diliputi keterbelakangan, keterpurukan, dan keterpecahan, serta revolusi rakyat Arab yang berupaya menggariskan dan mengimajinasikan masyarakat yang lebih baik. Tanpa kemampuan dan sensitivitas tinggi dalam merespons, tak akan mudah memperoleh popularitas dan diterima secara luas, bahkan untuk sekadar bertahan.

    Revolusi Arab memberikan arah baru bagi kehidupan politik, sosial, dan ekonomi di negara-negara tersebut. Mereka setidaknya sepakat menolak otoritarianisme, diskriminasi, dan ketertutupan sosial, serta penumpukan kapital dan alat-alat produksi di tangan segelintir orang. Dengan berbagai penyederhanaan, masyarakat Timur Tengah secara umum menginginkan demokrasi, kesetaraan sosial, dan keadilan ekonomi.

    Tiga situasi baru itu menuntut gerakan dan partai politik Islam untuk memiliki spirit kuat guna  mendorong peningkatan kemampuan dan kebangkitan masyarakatnya dalam berbagai bidang kehidupan, dan memiliki komitmen kuat terhadap nilai keterbukaan dan humanitarian. Komitmen itu bukan hanya memandang nilai itu sebatas instrumen untuk merebut kekuasaan atau kepentingan sempit kelompok melainkan juga sebagai ajaran substansial dan dipraktikkan dalam sebagian episode sejarah Islam.

    Beberapa hal itulah yang kini diupayakan oleh partai dan gerakan politik Islam di negara-negara hasil Arab Springs, misalnya Tunisia, Mesir, Libia, Maroko, dan negara lain yang dilanda gerakan rakyat. Mereka tidak hanya berupaya menampilkan diri sebagai partai dan gerakan yang mampu menemukan kembali vitalitas masyarakatnya namun juga berupaya melakukan bedah ideologi yang membawa mereka ke spektrum ideologi Tengah.

    Fakta Baru

    Partai Hurriyah wa al-Adalah di Mesir, al-Nahdhah al-Islamiy di Tunisia, Partai al-Adalah wa Tanmiyah di  Maroko, Partai Keadilan dan Pembangunan di Turki, dan partai-partai Islam di negara-negara Arab lainnya, sudah tak lagi mewacanakan khilafah dan negara Islam. Tentu merupakan kekeliruan besar jika kita mengatakan bahwa keinginan membangun negara atau khilafah Islam itu dengan serta merta hilang dari pengikut partai-partai itu.

    Faktanya pernyataan resmi dan tokoh-tokoh mereka jelas sekali menunjukkan adanya perubahan diskursus secara signifikan.
    Sebagai yang paling populer dan terbesar di negara masing-masing, partai dan gerakan itu sudah menyatakan dan menunjukkan sebagian komitmennya bahwa mereka memperjuangkan terwujudnya negara yang demokratis, masyarakat madani yang kuat dan terbuka, dan menjunjung nilai-nilai humanitarian.

    Partai al-Hurriyah wa al-Adalah sebagai contoh kecil, menjelang pendiriannya menyatakan bahwa inti dari demokrasi sesungguhnya adalah syura yakni pertukaran pikiran, pendapat, dan kepentingan untuk mencari yang terbaik bagi kepentingan bersama. Itulah satu-satunya jalan yang bisa menghindarkan kelompok-kelompok yang bisa jadi saling bertentangan untuk tidak menggunakan cara kekerasan dalam mencapai tujuan.

    Namun partai-partai Jihadi dan Salafi, seperti Hizb al-Tanmiyah wa al-Adalah (Jamaah Islamiyah), Hiz al-Nur (Salafi), Hiz al-Fadhila, dan kelompok lain yang berorientasi sama tetap ada dan tumbuh di hampir semua negara di Timur Tengah, terutama negara-negara Arab hasil revolusi rakyat sekarang ini.

    Kendati mereka terus berupaya menjatuhkan legitimasi partai Islam yang ke Tengah itu dengan jargon-jargon Islam yang murni dan kewajiban melaksanakan jihad, partai-partai tersebut sepertinya tidak bisa memperoleh popularitas dan penerimaan yang melampaui partai-partai moderat. Salah satu sebabnya karena mereka mengingkari begitu saja kenyataan-kenyataan baru yang melingkupi.  

  • Mesuji: Potret Penindasan

    Mesuji: Potret Penindasan
    Mahmudi Asyari, DOKTOR DARI UIN JAKARTA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 16 Desember 2011
    MANTAN Wakil KSAD Letjen (Purn) Kiki Syahnakri dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu mengeluhkan mengapa karakter bangsa ini tidak berubah ke arah yang lebih baik meskipun segalanya, termasuk UUD, sudah mengalami perubahan (amendemen). Menurut purnawirawan perwira tinggi itu, ketika UUD sudah diamendemen mengingat kedudukannya sebagai hukum dasar negara seharusnya watak, karakter, dan perilaku warga negara, terutama para pengelola negara, juga berubah.

    Perubahan itu mengingat bangsa kita pada era reformasi berkomitmen terhadap demokrasi, yang bukan hanya memuja hukum melainkan juga memegang teguh dan menaatinya sebagai aturan main. Bila hanya memuja kebebasan tanpa supremasi hukum maka yang ada hanya segerombolan orang yang cenderung bertindak destruktif.

    Keluhan Kiki selain wajar, menurut saya pantas disampaikan kepada generasi seprofesinya dengan mendalilkan meskipun TNI mengklaim sudah mereformasi diri, kenyataannya tidak banyak berubah. Meskipun UU tentang TNI, dan juga regulasi mengenai Polri, mengamanatkan bahwa anggota korps itu tidak boleh berhadapan dengan rakyat sipil, faktanya banyak rakyat menjadi korban keperkasaan salah tempat.

    Hal itu terlihat sebagaimana kesaksian korban kekerasan di Mesuji yang mengatakan bahwa ada anggota Polri terlibat dalam kekerasan itu, yang mengakibatkan sejumlah orang tewas. Ini membuktikan bahwa perilaku buram pada masa lalu, sebagaimana dikatakan mantan Aster KSAD Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi, yang mendampingi warga Mesuji mengadu ke Komisi III DPR, masih berlanjut sampai saat ini.

    Bedanya pada masa lalu, didahului dengan pelabelan stigma pengikut komunisme, ekstrem dan sebagainya. Bisa jadi rekan sekorpsnya yang kini masih aktif menilai pernyataan Saurip hipokrit karena pada masa lalu juga terjadi praktik serupa. Bisa jadi karena dia sudah di luar kekuasaan.

    Melindungi Warga

    Tapi saya menilai pengakuannya itu justru lebih baik ketimbang banyak melakukan tindakan antikemanusiaan, bahkan menghilangkan nyawa orang, tapi merasa tidak bersalah. Bahkan mengidam-idamkan praktik represif itu masih boleh diterapkan pada masa kini.

    Alangkah indahnya jika semua lapisan masyarakat di Indonesia hirau terhadap kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran, tidak harus menunggu setelah keluar dari sistem, karena hal itu tidak ubahnya orang sekarat.
    Artinya, sudah tidak ada faedahnya selain hanya menambah wacana. Malah lebih baik meniru Dicky Chandra yang ketika merasa tidak bisa memperbaiki sebuah keadaan ia memilih keluar dari sistem apa pun risikonya, sembari kemudian menyuarakan keadilan dan kebenaran.

    Praktik seperti terjadi di Mesuji, sebagai sebuah bentuk penindasan, sudah lama terjadi, terutama semasa Orba. Negara yang seharusnya melindungi warganya malah sering tampil menjadi penindas. Bedanya zaman dulu tidak banyak orang meributkan karena penguasa lebih dahulu menguncinya dengan melabeli dengan sebutan kelompok ekstrem, pengikut PKI, dan sebagainya.

    Dengan ada stigma buruk yang disematkan itu, negara seperti sah membinatangkan warganya,  bahkan jika perlu menghilangkan hak hidupnya. Anehnya, rezim itu mengklaim sebagai pengamal sejati Pancasila dan UUD 1945. Perilaku penguasa seperti itulah yang kini dipertontonkan di Mesuji. Saya kira banyak ”Mesuji” lain di negara kita, yang membuat rakyat harus kalah meskipun secara hukum mereka benar. Hal itu tentu menjadi tantangan bagi MPR yang kini giat mengampanyekan UUD 1945, yang salah satu teksnya yang sering muncul di ruang publik adalah ”guna melindungi warga negara”.

    Pertanyaan, kapan UUD 1945 bisa menjadi pelindung warga jika sampai saat ini, sudah sekian lama, hal itu tidak bisa juga dilakukan. Jawabannya, tentu –mengingat saat ini masih tahap sosialisasi– ”akan”, bukan ”sedang”. Mengingat UUD 1945 sudah kali keempat diamendemen dan di dalamnya ada penegasan masalah HAM,  seharusnya tidak boleh ada lagi praktik otoritarian negara kepada rakyatnya.  

  • Mempertanyakan Kembali HAM untuk LGBTI

    Mempertanyakan Kembali HAM untuk LGBTI
    Muhammad Royyan Firdaus, MAHASISWA AKIDAH-FILSAFAT IAIN CIREBON
    Sumber : JIL, 15 Desember 2011
    Penghormatan terhadap hak- hak manusia (human rights) tampaknya sudah diterima sebagai bagian dari pikiran bangsa Indonesia. Negara Republik Indonesia (RI) juga sudah menjadi salah satu dari negara-negara peserta karena sudah menandatangani dan meratifikasi sebagian perjanjian internasional hak-hak manusia (international human right treaties) yang utama sebagai bagian dari hukum dan kebijakan nasionalnya. Dengan demikian, RI terikat secara hukum dan kebijakan dalam menunaikan kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak manusia. Satu kewajiban tambahan adalah mempromosikan hak-hak manusia supaya dapat diketahui publik.
    Selain itu, di pasal 28 UUD 1945 dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan secara rinci mengenai penghormatan terhadap hak-hak manusia. Bahkan, Indonesia berusaha mengakomodasi kebutuhan keadilan bagi korban yang menderita karena suatu kejahatan serius (serious crime), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan genosida melalui UU No. 26/2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
    Wacana hak-hak manusia terus meluas dengan ratusan judul buku diterbitkan atau dipublikasikan dan beredar di mana-mana. Begitu pula organisasi-organisasi kemasyarakatan baik organisasi yang punya “hubungan” dengan pemerintah (tercatat dari pemerintahan rezim Soeharto hingga sekarang) atau pun berdiri secara independen, bertumbuh biak layak jamur di musim hujan. Pendek kata, wacana hak-hak manusia sudah menyebar di tengah-tengah masyarakat.
    Secara legal maxim, memang kita akui wacana hak-hak manusia sudah menyebar di tengah-tengah masyarakat kita. Ironinya, wacana HAM ini justru dibarengi dengan serangkaian fenomena sebaliknya di negeri tercinta ini. Mulai dari kasus Ahmadiyah, pemaksaan para murid non-Islam untuk mengenakan jilbab di berbagai daerah, kasus pembunuhan Munir, Perda- Perda tentang hukuman cambuk dan hukuman mati. Belum lagi kasus-kasus besar yang hilang begitu saja dari perhatian media. Kita bisa sebut di sini misalnya kasus Poso, Timor Leste, Trisakti, Semanggi I dan II, serta tragedi Tanjung Priok, penyerbuan ormas Islam pada hari Pancasila di Tugu Monas, dan sebagainya.
    Belum lagi kalau kita memasukkan kasus-kasus diskriminasi terhadap kaum LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Interseks) yang nota bene perhatian pemerintah dalam soal ini kurang serius. Paradigmanya mungkin begini: menangani pelanggaran HAM berat saja yang menjadi prioritas tidak kelar-kelar, apalagi perkara sepele seperti itu. Mestinya apa pun jenisnya, pelanggaran tetap saja pelanggaran. Boleh saja dibuat skala prioritas. Tapi jangan sampai ada politik tebang pilih, apalagi politik belah bambu. Yang satu diangkat, sementara kelompok LGBTI terus diinjak dan dibiarkan terus dalam kondisi ketertindasan.
    Pandangan tentang seksualitas, dalam hal ini LGBTI, menempati posisi peripheral atau pinggiran di dalam konstitusi publik. Bagaimana tidak? Konstitusi publik selalu dilegitimasi kekacauan tafsir keagamaan. Sedangkan tafsir keagamaan dihegemoni oleh “paradigm” heteronormativitas, yaitu pandangan bahwa yang disebut normal dalam relasi seksual adalah dengan lawan jenis. Sementara tafsir keagamaan, kita tahu, memandang fenomena LGBTI sebagai immoral, less-religius, penyakit sosial, menyalahi kodrat, dan bahkan dituduh sekutu setan. Tafsir keagamaan yang dihegemoni oleh heteronormativitas ini jugalah yang ikut serta melegitimasi tindakan diskriminasi terhadap pelaku LGBTI; mulai dari pengasosiaan kaum LGBTI dengan HIV/AIDS, penayangan sinetron-sinetron Islam di TV yang berbau mendiskriditkan kaum LGBTI (misal sinetron “Azab bagi Homoseksual”), razia satpol PP, hingga mindset negatif publik terhadap mereka.
    Secara teologis, penolakan terhadap homoseksual dinisbahkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang berkisah tentang Nabi Luth (lihat Q.S. al-Naml, 27: 54-58; al-A’raf, 7: 80-81; al-Syu’ara, 26: 160-175). Di samping al-Qur’an, ditemukan juga sejumlah hadis Nabi. Di antaranya, hadis riwayat al-Tabrani dan al-Baihaqi, Ibnu Abbas, Ahmad, Abu Dawud, Muslim dan al-Tirmizi, dan masih banyak dasar teologis lainnya. Atas dasar teologis inilah, sejumlah kelompok tertentu yang konon mengaku paling saleh menghakimi seraya memandang mereka (kaum LGBTI) tidak kurang dan tidak lebih layaknya hewan.
    Benarkah al-Qur’an dan hadis yang kita prioritaskan paling “VVIP” sebagai tibyan li kulli syai’ berkata demikian? jika memang benar adanya, lalu apa yang memotivasi Nabi Luth untuk mengeluarkan fatwa tersebut? Apakah hanya karena kaum Nabi Luth melakukan sesuatu yang ma sabaqokum bihaa min ahadin min al-‘alamin (sesuatu yang belum dikerjakan oleh seorang pun sebelum kamu di dunia ini), lantas secara langsung diorentasikan sebagai kegiatan fahisyah/keji? Di samping itu ditemukan ayat lain dalam Q.S. Hud (11: 77-83) yang menjelaskan tawaran Nabi Luth dalam negosiasi menawarkan putrinya untuk dinikahi oleh pelaku LGBTI. Ayat di atas jelas sekali beraroma kepentingan individu Nabi Luth.
    Hemat saya pribadi, rasanya naïf mengaitkan satu tragedi (azab) dengan sebab tertentu (perilaku kaum Luth), seolah-olah kita tahu persis apa yang menjadi kehendak Tuhan (tragedi pemusnahan kaum Nabi Luth dianggap sebagai akibat perilaku homoseksualitas mereka).
    Menurut hemat saya, “azab” ini sebenarnya lebih disebabkan kepada pengingkaran kaum Nabi Luth yang mendustakan, mencemooh, dan mengancam akan mengusir Nabi Luth serta tamu-tamu kehormatannya, bukan karena orientasi seksualnya yang dianggap menyimpang. Azab juga lebih disebabkan pada kesombongan kaum Luth yang menantang Tuhan agar menurunkan azab dan siksaan-Nya. Kesimpulan ini berdasarkan pada teks suci yang menyebutkan adanya ancaman kaum Luth yang mengatakan, ’’Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir (la in lam tantahi ya luth latakunanna minal mukhrajin, Q.S. al-Syura [26]: 167). Kaum Luth juga mengatakan bahwa Nabi Luth sebagai orang yang munafik dan sok suci (innahum unasun yatathahharun, Q.S. al-A’raf [7]: 82). Selain menghina nabi, kaum Luth juga memperlakukan tamu-tamu Nabi Luth dengan tidak baik dan membuatnya malu sampai-sampai Nabi Luth mengatakan, “Sesungguhnya mereka adalah tamuku, maka janganlah kamu memberi malu” (inna ha-ula’i dhaifii fala tafdlahun). Buruknya lagi, kaum Luth yang sombong itu menantang Tuhan agar Dia menimpakan siksa dan azab terhadap mereka.
    Jikalau memang Allah membenci kaum LGBTI, toh kaum LGBTI baik-baik saja di Belanda, kanada, dan Inggris dan Negara- Negara yang sudah melegalkan kaum minoritas ini?
    Pada prinsipnya kaum LGBTI ini memiliki dua “varian”. Pertama, bersifat kontruksi sosial budaya, seperti budaya warok Reog Ponorogo, wandhu dalam tradisi Ludruk dan tari Bugis Cirebon. Kedua, bersifat “given” yang merupakan hak mutlak Tuhan. Seorang dokter syaraf dalam suatu forum tertentu menyatakan tentang laporan terbaru dari penelitian Human Genom Project (proyek gen manusia). Dikatakan dalam laporan tersebut bahwa potensi homoseksualitas adalah sesuatu yang inheren di dalam setiap orang. Struktur gen manusia “pada-mulanya” adalah perempuan. Kromosom Y yang menjadikan seorang laki- laki, sebenarnya merupakan penyimpangan terhadap susunan kromsom manusia. Hanya saja, di dalam diri setiap manusia kadar penyimpangannya berbeda. Bila penyimpangannya itu bersifat total, maka manusia itu menjadi laki-laki sepenuhnya, sedangkan jika penyimpangannya itu hanya sedikit atau sebagian saja maka muncullah manusia-manusia “yang-lain”, termasuk homoseksual.
    Membaca kasus-kasus diskriminasi terhadap kaum LGBTI, jelas memperlihatkan bahwa negara sudah masuk dalam ranah privat kaum ini karena memaksa mereka untuk meninggalkan identifikasi diri yang dianggap “menyimpang” itu demi sebuah “moral publik” yang konsepnya menggunakan pandangan mayoritas terhadap minoritas. Padahal proses identifikasi diri dan pencarian jati diri seorang manusia merupakan sebuah ranah privat yang tidak dapat diintervensi oleh siapa pun, bahkan orang-orang terdekatnya. 
    Dalam proses pengidentifikasian diri inilah harga diri dan martabat (dignity) seorang manusia melekat. Martabat manusia adalah hal yang paling hakiki sebagai manusia. Dalam konvensi internasional dan UUD 1945 hasil amandemen beserta UU HAM telah juga dinyatakan bahwa martabat manusia adalah termasuk jenis kebebasan pribadi dan haruslah dilindungi tanpa diskriminasi.  

  • Liberalisasi Kalangan Islamis

    Liberalisasi Kalangan Islamis
    Darmaningtyas, DI REKTUR INSTRAN (INSTITUT STUDI TRANSPORTASI)
    Sumber : KORAN TEMPO, 15 Desember 2011
    Salah satu fenomena penting Musim Semi Arab yang berlangsung sampai kini adalah proses liberalisasi pemikiran yang terjadi di kalangan Islamis. Dalam sebuah kolom di harian Al-Hayat (11 Desember 2011), pemikir Mesir, Al-Sayyid Yasin, menyiratkan adanya gerakan ke tengah bandul yang kini terjadi dalam kancah politik Islam Timur Tengah. “Kalangan Islam-modernis kini tampak semakin Islamis, sementara kalangan Islam-fundamentalis—seperti di Partai Nahdlah (Tunisia), Partai Kebebasan dan Keadilan (Mesir), maupun Partai Keadilan dan Pembangunan Maroko—justru tampak makin liberal.”
    Beberapa pernyataan kalangan Islamis Tunisia, Maroko, maupun Mesir setelah menang pemilihan umum menunjukkan bahwa mereka kini lebih liberal dibanding saat masih menjadi oposisi atau dipinggirkan oleh kekuasaan. Abdul Ilah bin Kiran, Sekjen Partai Keadilan dan Pembangunan Maroko, misalnya, mengatakan bahwa partainya akan memimpin Maroko sebagaimana layaknya partai politik, bukan sebagai institusi keagamaan. Seakan mengamini sekularisme, dia menegaskan bahwa tempat wacana dan anjuran keagamaan adalah masjid, bukan dunia politik. Karena itu, “Kami akan menjalankan politik praktis sembari tidak mencampuri urusan pribadi warga negara.”
    Upaya menunjukkan moderasi Islam, kalau bukan liberalisme, juga tampak dari berbagai pernyataan petinggi Partai Kebangkitan Tunisia maupun Partai Kebebasan dan Keadilan Mesir. Mereka kini berupaya menghindar atau berkelit dari isu-isu sensitif yang sangat tipikal di kalangan Islamis, seperti soal Islamisasi konstitusi, pemaksaan aturan-aturan syariat, maupun pembatasan kebebasan sipil. Pertanyaannya: apakah kalangan Islamis kini benar-benar mengalami liberalisasi di tengah kekalahan partai-partai non-Islamis, atau ini hanya propaganda politik yang bersifat sementara belaka?
    Setidaknya ada dua pandangan dalam melihat gejala ini. Dalam pandangan yang pesimistis, kalangan Islamis dianggap hanya “berlagak liberal” karena kekuasaan memang belum benar-benar dalam genggaman mereka. Secara geopolitik pun, mereka tetap harus ekstrahatihati dalam menghadapi jebakan-jebakan kekuasaan yang bisa menyalip mereka di tikungan-tikungan terakhir. Karena iklim global masih kurang bersahabat, mereka justru harus menunjukkan bahwa kehadiran mereka di tampuk kekuasaan tidak perlu dikhawatirkan. Moderasi dan liberalisasi dianggap bukanlah kondisi yang real dan genuine terjadi di kalangan Islamis.
    Sementara itu, kalangan yang optimistis justru menganggap moderasi atau liberalisasi kalangan Islamis ini merupakan bagian dari pergulatan internal yang genuine dan respons Islamis yang masuk akal dalam menghadapi tantangan-tantangan kekuasaan. Pandangan ini juga menyatakan bahwa wacana-wacana yang dikembangkan kalangan liberal dalam soal hubungan agama dan negara serta kebebasan sipil sedikit-banyak telah merembes dan menembus banteng-benteng pertahanan ideologis kaum Islamis arus utama, seperti Ikhwanul Muslimin. Dalam konteks ini, wacana-wacana ekstrem yang berkembang di kalangan Islamis selama ini dianggap hanya sebagai cara mereka untuk mengadakan dan memobilisasi dukungan populer dalam menghadapi rezim yang otoriter. Pandangan kedua ini setidaknya diperkuat beberapa studi tentang pergolakan di jantung Islamis yang antara lain dilakukan Leonard Binder, Raymond William Baker, Shadi Hamid, James Piscatori, maupun Graham Fuller.
    Studi Binder dalam Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies (1988), misalnya, menunjukkan wujud dua jenis liberalisme Islam yang berkembang di Timur Tengah. Jenis pertama mengakui bahwa lembaga-lembaga politik liberal, seperti parlemen, pemilihan umum yang regular, dan pentingnya jaminan kebebasan sipil, dapat dibenarkan (justifiable) dari sudut pandang Islam. Ia tak hanya tidak bertentangan dengan teks-teks dasar Islam, tapi juga dapat dilihat sebagai aplikasi terhadap sebagian semangat Quran dan praktek perpolitikan Islam yang historis.
    Jenis kedua liberalisme Islam justru menegaskan bahwa tegaknya negara Islam yang liberal bukan hanya mungkin, tapi bahkan sangat diharapkan. Negara yang Islamis sekaligus menghargai kebebasan warganya tak hanya dianggap sesuai dengan semangat Islam, tapi juga tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah legal formal Islam yang tidak secara langsung dan ketat mengatur hubungan antara agama dan politik. Tampaknya, jenis kedua dari liberalisme Islam inilah yang kini mulai berkecambah dan mengalami pengarusutamaan di kalangan Islamis Timur Tengah.
    Pandangan Binder ini lebih jauh diperkuat penulis buku Islam Without Fear: Egypt and The New Islamists (2003), Raymond William Baker. Dalam buku ini, Baker menunjukkan varian-varian baru kalangan Islamis Mesir, seperti Muhammad al-Ghazali, Kamal Abu al-Magd, Muhammad Salim al-Awa, Fahmi Huwaidi, Tareq al-Bishri, dan juga Yusuf al-Qardawi. Mereka bukan hanya kalangan Islamis tercerahkan, tapi juga ikut mentransformasi pemikiran politik Islam secara signifikan ke arah yang lebih liberal.
    Kalangan-kalangan Islamis arus utama seperti merekalah yang kini memainkan peranan penting dalam mengeliminasi wajah garang Islam dalam kancah politik. Itu setidaknya tecermin dari buku Al-Qardawi, seperti Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam (Fikih Kekuasaan dalam Islam) ataupun Thariq al-Bishri dalam Al-Malamih al-Amah li al-Fikr al-Siyasi al-Islami (Corak Umum Pemikiran Politik Islam Modern). Kecenderungan itu lebih jelas lagi dari buku Fahmi Huwaidi, Demi Islam, Demi Demokrasi (Lil Islam wa li al-Dimoqratiyyah), yang sangat menghargai kebebasan sipil dan mampu menghindarkan bahasa politik Islam dari isu-isu trivial yang khas pada kalangan Islamis.
    Studi-studi Shadi Hamid, James Piscatori, maupun Graham Fuller juga menunjukkan bahwa akomodasi kalangan Islamis dalam kancah politik praktis justru akan memoderasi dan membuat mereka lebih ahlan wa sahlan terhadap pragmatisme. Wacana-wacana mereka yang bersifat ekstrem maupun eksklusif pelan-pelan akan menjadi lebih inklusif ketika berhadapan dengan tantangan untuk sukses memerintah, yang nyata-nyata penuh rintangan baik di tingkat lokal maupun regional.
    Ini artinya, kecenderungan liberalisasi setidaknya menandakan bahwa wacana Islam liberal tidaklah sia-sia dan kini mulai mengalami perembesan—kalau bukan pengarusutamaan—di kalangan Islamis arus utama seperti Ikhwanul Muslimin. Namun apakah negara-negara Arab akan bertransformasi menjadi negara demokrasi liberal, tentu masih harus ditunggu. Sebab, pembaruan Islam acap kali tidak berhasil mengangkut semua gerbong umatnya. Selalu saja ada beberapa segmen yang ketinggalan kereta peradaban, seperti kaum Salafi Mesir saat ini. Sementara Ikhwani mulai friendly terhadap ide dan pandangan Islam yang liberal dan bergerak mendekati model Islamis Turki, kaum Salafi justru kini mengambil dan menempati posisi kolot Ikhwani. ●
  • Berkaca pada Runtuhnya Jembatan

    Berkaca pada Runtuhnya Jembatan
    W. Riawan Tjandra, DIREKTUR PASCASARJANA DAN DOSEN FAKULTAS HUKUM
    UNIVERSITAS ATMA JAYA, YOGYAKARTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 15 Desember 2011
    Jembatan merupakan salah satu wujud terpenting dari sarana pelayanan publik pemerintah dalam bentuk barang yang dipergunakan sebagai fasilitas umum. Keberadaan jembatan menjadi sangat penting karena, di balik sebuah jembatan yang terbentang, tecermin hubungan antar wilayah yang melancarkan akses ekonomi, sosial, dan budaya. Eksistensi sebuah jembatan juga mencerminkan sebuah komitmen penguasa mengenai perlindungan/jaminan keamanan yang diberikan kepada rakyat pengguna terhadap bahaya alam, terutama sungai besar. Maka, di balik ambruknya sebuah jembatan, sebenarnya tak hanya semata-mata runtuhnya sebuah bangunan fasilitas umum atau suatu konstruksi, namun juga terputusnya akses ekonomi, sosial, dan budaya, serta gagalnya perlindungan negara terhadap rakyat yang menggunakan jembatan tersebut.
    Jika menggunakan telaah filosofis, ditinjau dari semiotika, jembatan ibarat sebuah uang publik yang menghubungkan negara dengan ruang privat. Ruang publik mempunyai peran yang sangat sentral, yang melaluinya komunikasi sosial dan politik dapat berlangsung. Ruang publik adalah ruang konkret sekaligus abstrak yang di dalamnya opini publik dibentuk. Ruang publik terbentuk ketika dalam suatu masyarakat berkembang minat bersama (common interest) dan mengkomunikasikan serta mensosialisasi minat bersama tersebut tanpa ada paksaan apa pun. Dalam konstruksi sebuah jembatan tecermin hubungan antara negara yang melaksanakan mandat konstitusional untuk melindungi rakyatnya dan aktivitas antarindividu yang menggunakan jembatan sebagai akses penghubung. Ibarat sebuah ruang publik, jembatan menghubungkan kepentingan privat dan fungsi proteksi negara.
    Sungguh merupakan suatu ironi, di saat para atlet negeri ini berhasil mendulang emas di SEA Games dan di tengah sukses penyelenggaraan KTT ASEAN 2011 yang digelar di Nusa Dua, Bali, dalam waktu yang hampir bersamaan, baru saja Jembatan Mahakam II di Kutai Kartanegara, yang menghubungkan Tenggarong Seberang dan Tenggarong Kota, runtuh dan menimbulkan korban luka, meninggal, dan tenggelam di arus sungai Mahakam, serta menyebabkan beberapa unit mobil rusak. Berdasarkan temuan dari Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalimantan Timur, Kodim Tenggarong, Kementerian Pekerjaan Umum Bidang Jalan, dan Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Tenggarong, jembatan tersebut ternyata sudah enam kali ditabrak ponton, yaitu kapal pengangkut batu bara yang berlambung datar.
    Tabrakan terakhir diindikasikan terjadi pada 23 Januari 2010, yang mengakibatkan jembatan sepanjang tak kurang dari 700 meter dengan lebar sekitar 10 meter dan memiliki tinggi 5 meter ini hampir ambruk. Sejak peristiwa itu, BNPB meminta BPPT melakukan audit teknologi dan sekaligus perbaikan dengan mengencangkan baut di bawah jembatan. Runtuhnya jembatan itu bisa juga akibat, saat perbaikan, jembatan yang menjadi jalur alternatif utama lalu lintas Tenggarong Seberang-Tenggarong Kota ini tidak ditutup. Jembatan yang menjadi kebanggaan masyarakat Kutai Kartanegara ini runtuh dalam waktu 30 detik setelah talitali penyangga jembatan gantung ini satu per satu putus. Menjelang jembatan itu runtuh, beberapa saksi mata mengisahkan puluhan
    kendaraan dengan tujuan Samarinda sedang antre di jalur kiri.
    Jika menilik kisah ambruknya jembatan yang juga dikenal sebagai Jembatan Kutai Kartanegara (Kukar) itu, kultur ketidakdisiplinan bisa diletakkan sebagai salah satu faktor utama penyebab runtuhnya jembatan itu. Melihat rentetan tabrakan kapal dengan tiang penyangga utama jembatan tersebut, seharusnya otoritas yang berwenang mengatur pemanfaatan Sungai Mahakam segera membuat kebijakan menutup akses kapal-kapal yang membahayakan jembatan tersebut. Di sisi lain, sudah jamak di negeri ini, mulai dari pengadaan beras hingga pembangunan jembatan maupun jalan tak lepas dari perilaku koruptif. Contoh material konstruksi dari jembatan yang runtuh tersebut harus diteliti di sebuah laboratorium yang independen untuk meneliti kualitas material konstruksi berdasarkan standar konstruksi menurut regulasi di bidang jasa konstruksi. Setiap kegagalan konstruksi membutuhkan analisis mengacu pada etika maupun regulasi konstruksi untuk menemukan akar masalah yang menjadi penyebab utama kegagalan tersebut. Kontraktor yang membangun dan merawat jembatan merupakan kunci utama untuk menelusuri penyebab robohnya Jembatan Kukar.
    Pembangunan sebuah jembatan mengharuskan adanya perencanaan berdasarkan analisis konstruksi yang sangat cermat, apalagi sebagai sebuah jembatan gantung yang panjangnya lebih dari 500 meter, tentu membutuhkan standar keamanan yang sangat tinggi. Jika dibandingkan dengan Jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Madura, Jembatan Suramadu memiliki konstruksi yang berbeda dengan Jembatan Kukar. Bahkan jembatan sepanjang 5,4 km yang menghubungkan akses “Kota Buaya” dengan “Pulau Garam” ini diprediksi mampu bertahan hingga 100 tahun. Ditinjau dari aspek manajemen konstruksi, konstruksi yang dipergunakan untuk kedua jembatan tersebut sangat berbeda. Untuk Jembatan Kukar, dipergunakan konstruksi cable stay yang konvensional, sedangkan Jembatan Suramadu menggunakan cable stay namun dirancang secara lebih kokoh dan tinggi. Berbeda dengan konstruksi yang dipergunakan untuk Jembatan Kukar yang merupakan jembatan rangka yang dimodifikasi.
    Runtuhnya Jembatan Kukar juga menjadi cermin ketidaksigapan pemerintah terhadap manajemen bencana. Hal itu juga dikeluhkan SBY sendiri ihwal lambatnya informasi yang diterimanya setelah ambruknya Jembatan Kukar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkritik lambatnya sistem pelaporan runtuhnya Jembatan Kukar. SBY mengaku menerima informasi musibah ini malah dari SMS dan berita media massa, bukan dari saluran informasi resmi yang seharusnya segera berfungsi setelah terjadinya musibah tersebut. Di era informasi seperti saat ini, tentunya manajemen informasi seperti yang terjadi pada saat robohnya Jembatan Kukar tentu juga mencerminkan kegagalan sistem informasi dan komunikasi pemerintah.
    Sinergi Kebijakan
    Selain itu, belum adanya sinergi kebijakan antarinstitusi penyelenggara pemerintahan baik pusat maupun daerah tak jarang turut memperparah kondisi pelayanan publik. Pengawasan dan pembinaan jembatan yang ada di seluruh Indonesia sepenuhnya tetap berada di bawah kendali Kementerian Pekerjaan Umum. Hal itu juga berlaku untuk Jembatan Kutai Kartanegara yang roboh tersebut meski jembatan tersebut hanya menghubungkan antarkecamatan. Meskipun dibangun oleh pemerintah kabupaten, Kementerian Pekerjaan Umum semestinya ikut bertanggung jawab mengawasi sejak pembangunan hingga pemeliharaan. Pada saat pemeliharaan pun ada sejumlah pedoman pemeliharaan yang harus dipatuhi. Pengerjaan harus dilakukan dengan menggunakan tenaga ahli di bidangnya.
    Dinas perhubungan dan kepolisian setempat seharusnya juga bertanggung jawab dalam menentukan izin akses lalu lintas di atas jembatan itu. Jika perbaikan hanya berupa pengecatan jembatan, maka lalu lintas di atas jembatan masih diperkenankan. Namun, jika merupakan perbaikan berkala yang menyangkut struktur jembatan, seharusnya diambil langkah tegas untuk menutup akses lalu lintas di atas jembatan itu.
    Pemeliharaan sebuah jembatan merupakan suatu hal yang tak kalah penting dibandingkan dengan momentum saat membangun jembatan itu. Pemeliharaan sebuah jembatan harus diserahkan kepada kontraktor yang memiliki standar, karena di balik pemeliharaan sebuah jembatan tecermin manajemen keselamatan terhadap rakyat pengguna jembatan itu. Hal itu menjadi bagian dari fungsi proteksi negara terhadap rakyatnya. Jembatan merupakan salah satu sarana pemerintah (government instrument) yang harus dikelola berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, seperti asas kecermatan, asas kehati-hatian, dan asas perlindungan keselamatan publik.
    Runtuhnya Jembatan Kukar dan beberapa jembatan lain setelah ambruknya Jembatan Kukar, antara lain di Sulawesi Selatan dan Papua, untuk kesekian kalinya bisa digunakan sebagai cermin mengenai perlunya ada sinergi antaraktor kebijakan dan sekaligus pentingnya memiliki kultur kedisiplinan sebagai sebuah bangsa yang besar. Rusaknya sebuah fasilitas publik selama ini sering kali hanya merupakan ujung dari ruwetnya berbagai persoalan di belakangnya, dari soal lemahnya koordinasi hingga korupsi. Sangat mungkin, di balik kegagalan sebuah konstruksi juga tecermin mentalitas korup yang abai terhadap dampak keselamatan sebuah konstruksi fisik, yang pada tingkat tertentu juga merusak konstruksi sosial suatu negara. ●
  • Berharap Masih Ada Asa pada Tahun 2012

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011 TENTANG METROPOLITAN
    Berharap Masih Ada Asa pada Tahun 2012
    Sumber : KOMPAS, 15 Desember 2011
    Tujuh bulan lagi Pemilu Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta digelar. Selama masa itu, kemungkinan besar pejabat di lingkup Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak berani mengambil keputusan strategis. Selain takut risiko, semua pihak juga disibukkan urusan pilkada dan kampanye.
    Kondisi kritis ini, jika tidak dicermati secara apik, bisa berdampak signifikan terhadap mobilitas ataupun aktivitas Jakarta sebagai ibu kota negara. Padahal, masih banyak persoalan yang tertinggal pada 2011. Pekerjaan yang belum selesai adalah kemacetan yang kian menjadi, perbaikan transportasi publik yang belum maksimal, banjir dan penyediaan ruang terbuka hijau, serta tata ruang yang tak sinkron dengan infrastruktur lainnya.
    Namun, ada juga beberapa catatan positif yang dilakukan pemerintahan Fauzi Bowo selama tahun 2011, yakni perbaikan di bidang pendidikan dan kesehatan. Hasilnya, banyak puskesmas tingkat kelurahan memperoleh ISO 9001:2008. Jumlah puskesmas rawat inap terus bertambah dan semua puskesmas kelurahan bisa melayani perawatan gigi hanya dengan tarif Rp 5.000. Sementara pelayanan terhadap keluarga miskin jumlahnya terus naik dari 2,3 juta warga tahun 2009 menjadi 2,5 juta warga tahun 2010. Tahun 2011 ditargetkan naik menjadi 2,7 juta warga.
    Di bidang pendidikan, DKI Jakarta mengalokasikan anggaran sebesar 27,05 persen dalam APBD. Dalam hal kesejahteraan guru, mereka mampu memberikan gaji hingga Rp 6 juta-Rp 8 juta per bulan.
    Buruknya Koordinasi
    Namun, ada juga catatan tebal yang harus diperhatikan Fauzi Bowo akibat buruknya koordinasi dan ketidakprofesionalan dalam pelaksanaan kerja proyek gorong-gorong di sisi timur Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Proyek yang pengerjaannya dimulai pada pertengahan Oktober 2011 itu mengakibatkan kemacetan hebat selama berminggu-minggu di sepanjang Jalan MH Thamrin hingga Jalan Jenderal Sudirman.
    Selain memakan banyak korban pengendara sepeda motor yang terpeleset akibat ceceran tanah dan lubang yang menganga, proyek itu juga menguras energi warga saat melakukan perjalanan. Belum lagi bicara kerugian ekonomi akibat menurunnya produktivitas dan pemborosan energi.
    Cara kerja seperti ini mencerminkan koordinasi yang buruk di level pelaksana. Kondisi yang sama sering terjadi dalam hal gali lubang tutup lubang di sejumlah wilayah Jakarta, entah untuk pengerjaan serat optik, pipa PDAM, ataupun gorong-gorong. Tidak heran banyak jalan berlubang, rusak, atau bergelombang di Jakarta.
    Padahal, jalan rusak merupakan salah satu penyebab utama kecelakaan. Simak saja data Operasi Zebra yang berlangsung selama dua pekan, terjadi 200 kasus kecelakaan. Dari jumlah itu, 152 kasus kecelakaan akibat faktor jalan, antara lain 75 kasus karena jalan berlubang, 14 kasus jalan rusak, 38 kasus jalan licin, dan 24 kasus jalan berlubang.
    Masalah Banjir
    Catatan lain yang tidak boleh dilupakan adalah banjir yang menimpa warga Kampung Pulo, Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan, yang terjadi sejak Maret 2011 hingga kini. Selain meminta perlindungan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, warga juga meminta Pemprov DKI menghilangkan banjir akibat penyempitan di Sungai Krukut yang menciut dari 4-6 meter menjadi 1-3 meter agar rumah warga RT 09, 10, 11, dan 14 Kampung Pulo tak lagi terendam.
    Masalah itu cuma satu contoh kasus. Belum lagi bicara banjir di wilayah lain akibat 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut. Sementara pada saat sama terjadi curah hujan yang tinggi, kapasitas sungai terus menciut, ditambah rob yang menghadang laju air ke laut.
    Selain itu, alih fungsi lahan, sungai, dan situ juga terus terjadi dengan cepat untuk kawasan permukiman ataupun area bisnis. Kondisi ini diperparah oleh besarnya eksploitasi air tanah akibat ketidakmampuan PDAM memasok air bersih secara merata kepada semua warga. Dampaknya, penurunan tanah di Jakarta kian cepat sehingga air kian sulit diserap dan lari ke laut.
    Oleh sebab itu, tugas jangka menengah dan panjang Pemprov DKI adalah konsisten menjaga ekosistem. Tidak bisa semua proyek masuk-keluar semaunya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2010-2030, seperti proyek Waduk Krukut. Proyek yang akan dikerjakan pada tahun 2012 itu muncul gara-gara banjir di Kampung Pulo.
    Transportasi Publik
    Pembangunan fasilitas transportasi publik kondisinya nyaris setali tiga uang. Tetap buruk dan tidak memadai akibat tidak imbangnya antara jumlah perjalanan orang yang mencapai 22,5 juta trip per hari dan pengadaan armada transportasi publik. Akibatnya, sekitar 78 persen warga memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk bepergian, sisanya memakai bus transjakarta berkapasitas angkut 250.000 orang dan kereta komuter 400.000 orang per hari.
    Kemampuan tampung jalan di Jakarta hanya 1 juta unit, sedangkan jumlah kendaraan yang melakukan perjalanan mencapai 3 juta unit. Belum lagi setiap hari bertambah 1.000 sepeda motor baru dan sekitar 300 mobil baru. Praktis jalan di Jakarta nyaris tidak bergerak dan macet sepanjang hari.
    Sementara itu, kualitas kriminalitas di Jakarta kian meningkat, tak mengenal waktu, dan tak mengenal strata ekonomi korban. Kejahatan tersadis menimpa mahasiswi Universitas Bina Nusantara, Livia. Korban tak hanya dirampok hartanya, tetapi juga diperkosa dan dibunuh. Selain Livia, masih ada kasus serupa, bahkan pada Rabu (14/12) menimpa seorang pedagang sayur.
    Belum lagi kasus mutilasi yang menimpa ibu dan anak di wilayah Jakarta Utara hanya karena diminta dinikahi. Kasus lain yang tak kalah heboh adalah pembunuhan pelajar pemenang olimpiade sains nasional, Christhoper, oleh penganggur hanya karena tergiur telepon seluler.
    Semua itu begitu mudah dilakukan oleh pelaku hanya karena tergiur hal sepele. Semoga masih ada asa pada tahun 2012 di kota yang kian sakit dan terasing ini.(Banu Astono)
  • Belum Ada Satu Kata Hadapi Kemacetan

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011 TENTANG METROPOLITAN
    Belum Ada Satu Kata Hadapi Kemacetan
    Sumber : KOMPAS, 15 Desember 2011
    Sudah setahun sejak Wakil Presiden Boediono mengeluarkan 20 langkah mengatasi kemacetan di Jabodetabek, yang dikerjakan baru soal penertiban parkir di pinggir jalan, sterilisasi jalur busway, dan penambahan park and ride di dekat stasiun kereta rel listrik.
    Sementara benih otoritas transportasi Jabodetabek cuma sebatas dibahas dan dipresentasikan. Dampaknya, kemacetan seakan tidak pernah beranjak dari Jakarta dan sekitarnya. Saban pagi, ribuan atau bahkan jutaan kendaraan dari Bodetabek masih membanjiri Jakarta.
    Bahkan, di sejumlah titik masuk ke Jakarta kemacetan masih tampak vulgar. Serbuan kendaraan pribadi ke Jakarta, antara lain, terlihat dari kenaikan volume kendaraan yang masuk Gerbang Tol Jagorawi di Bogor 3-4 persen per tahun. Sementara dari 24.000 kendaraan yang masuk di Gerbang Tol Ciawi sekitar 30 persen melaju pada pagi.
    Hal serupa terjadi di Kota Tangerang. Tahun 2010 tercatat 39.081 kendaraan yang menuju Jakarta melalui beberapa jalan. Jumlah ini naik dibandingkan dengan waktu sebelumnya.
    Yang lebih mendesak dipikirkan, meroketnya pertumbuhan kendaraan di Jabodetabek. 
    Polda Metro Jaya mencatat kendaraan di wilayah hukum Polda sampai Oktober 2011 mencapai 13.122.973 unit, kendaraan pribadi 12,7 juta unit. Padahal, 2009 masih 9,6 juta unit. Eksesnya, angka kecelakaan terus meningkat. Kurun Januari-Oktober 2011, tercatat 6.728 kasus kecelakaan yang menyebabkan 935 orang meninggal. Selama 2010, kecelakaan 8.235 kali, dan 1.048 orang meninggal. Hal ini karena buruknya manajemen angkutan umum, baik untuk mengakomodasi perjalanan komuter maupun perjalanan di dalam Jakarta.
    Kecelakaan dan Pelayanan
    Pembenahan transportasi angkutan umum darat harus dilakukan karena kenyamanan dan keamanannya masih jauh dari harapan. Sedikitnya ada 877 kendaraan umum—termasuk transjakarta—mengalami kecelakaan pada Januari hingga Oktober 2011. Sebagian besar terjadi lantaran sopir yang ugal-ugalan demi ”kejar setoran”.
    Belum lagi kasus pemerkosaan di angkutan umum yang sempat mencuat. Tindakan reaktif diambil jajaran Dinas Perhubungan DKI Jakarta, yakni sebatas menguliti kaca film angkutan umum dan membuat kartu identitas sopir.
    Sementara faktor kenyamanan angkutan umum, seperti kualitas pengemudi, keandalan kendaraan, dan kepemilikan angkutan, belum mendapatkan dorongan penuh untuk berubah. Muncul wacana menghapus kepemilikan kendaraan umum pribadi menjadi kepemilikan kolektif, misalnya koperasi atau badan usaha lainnya, sehingga bisa dikontrol sesuai dengan standar pelayanan minimal.
    Selain itu, sistem setoran diganti dengan penggajian awak bus. Hal ini untuk menghindari persaingan tidak sehat di jalanan yang bisa membahayakan penumpang dan pengguna jalan lainnya. Kondisi trayek yang masih tumpang tindih dan tidak jelas antara angkutan utama dan penyangga juga perlu dibenahi. Kenyamanan dan keamanan angkutan umum merupakan taruhan untuk menarik orang agar mau meninggalkan kendaraan pribadi dan naik angkutan umum. Tanda kehancuran angkutan umum mulai terlihat.
    Di Kota Bogor, hanya 15.000 orang memakai jasa bus per hari. Padahal, ada 207 bus besar dan 152 bus dengan kapasitas angkut 12.080. Apabila setiap bus bisa pergi dua kali ke Jakarta, paling tidak tersedia 24.000 kursi. Di Kota Tangerang, jumlah penumpang angkutan umum juga terus turun, dan kini tinggal 40 persen dari kapasitas angkut.
    Kapasitas Angkut Stagnan
    Kesemrawutan manajemen angkutan umum terlihat dari kapasitas angkut yang cenderung stagnan. KRL, misalnya, masih berkutat di angka angkut 400.000 orang per hari. Padahal, Wapres menargetkan 1,2 juta orang per hari terangkut pada 2014. Namun, target itu akhirnya diundur jadi 2019. Itu pun dengan catatan jika ada komitmen dari semua pihak untuk memajukan KRL. Sejumlah perubahan KRL tahun ini, seperti sistem operasi tunggal dan jalur lingkar, memang mendesain KRL mendekati pola pengangkutan kereta komuter ideal. Namun, ini tak serta-merta mendongkrak signifikan daya angkut.
    Harapan bertumpu pada pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2011 yang menugaskan PT KAI untuk mengurus sarana dan prasarana jalur lingkar Jabodetabek.
    Sementara bus transjakarta tahun ini secara efektif beroperasi di dua jalur baru, yakni koridor 9 dan 10. Namun, pembukaan jalur baru tidak serta-merta meningkatkan kualitas dan pelayanan busway. Seperti KRL, jadwal kedatangan busway masih acak-acakan. 
    Terobosan untuk menempatkan pemantau bus di koridor 1 belum terlampau efektif untuk memberikan kepastian kepada penumpang. Berbagai persoalan yang perlu dibenahi ini membuat daya angkut transjakarta masih stagnan.
    Pertambahan penumpang umumnya terjadi karena ada pembukaan jalur baru. Dengan jumlah bus 525 unit, kapasitas angkut transjakarta berkisar 350.000 per hari atau 89 juta per tahun. Jika digabungkan antara KRL dan transjakarta, kapasitas angkut sehari berkutat di 750.000-800.000 perjalanan. Padahal, angka perjalanan di Jakarta ditaksir tidak kurang dari 20 juta per hari. Perlu solusi cerdas untuk menyelesaikannya sebelum sebagian besar warga kota ini menjadi ”stroke”.

    (Antony Lee/Pingkan Elita Dundu/Ratih P Sudarsono/Agnes Rita Sulistyawaty)